Anda di halaman 1dari 2

HUKUM SYAR’I WADH’I

Ketika seseorang mengucapkan kalimat “Asyhadu Allaa ilaaha illallah Wa Asyhadu Anna
Muhammadarrasulullah” maka ia menjadi muslim dan terikat dengan hukum-hukum Islam.
Mengikuti perintah dan menjauhi larangan, apabila melakukan perbuatan yang dilarang
akan dikenakan dosa dan jika menunaikan perintah mendapat pahala. Karena tiap amal
perbuatan manusia selama di dunia khususnya para pemeluk Islam diatur dengan hukum-
hukum Allah SWT. Hukum-hukum Allah SWT di dalam Islam disebut dengan hukum syara’.
Tujuan dari keberadaan hukum syara’ adalah menetapkan tujuan dari hidup seorang
manusia selama di dunia yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT, ibadah sesuai dengan
tuntutan Islam yang benar dengan mengetahuinya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Oleh karena itu mempelajari hukum syara’ menjadi sangat penting karena hukum-hukum
nya bersifat mengikat bagi pemeluk agama Islam khususnya bagi mereka yang sudah
dewasa dan berakal, disebut juga dengan istilah mukallaf.

Ushul Fiqh menjadi alat bantu untuk meninjau sebuah hukum syara’ dari segi metodologi
dan sumber-sumbernya. Sementara ilmu Fiqh adalah ilmu hukum-hukum Islam dari segi
hasil penggalian hukum syara’. Produk hukum yang ada menjadi sebuah ketetapan Allah
SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik itu berupa tuntutan perintah dan
larangan, pilihan maupun berupa Wadh’i atau sebab akibat. Kemudian hukum haram,
makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani’) dan ungkapan
lainnya. Seluruhnya adalah objek pembahasan ilmu Ushul Fiqh.

Hukum Syara’

Pengertian Hukum Syara’

Menurut bahasa, arti kata hukum (‫ (الحكم‬adalah mencegah atau memutuskan. Hukum juga
berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah Ushul Fiqh,
hukum dapat diartikan sebagai khitab Allah yang mengatur amal perbuatan mukallaf, baik
berupa iqtidha (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk
meninggalkan). Takhyir (kebolehan bagi mukallaf untuk memilih antara melakukan atau
tidak melakukan), atau wadh’i.

Menurut ulama ahli Ushul Fiqh (ushuliyyun) hukum adalah titah Allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau wadh’i. Sedangkan
menurut ulama ahli Fiqh (Fuqaha), hukum adalah sifat yang bersifat syar’i yang merupakan
pengaruh dari titah Allah. Atau pengaruh titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf, baik dalam bentuk tuntunan, pilihan maupun wadh’i.

Pembagian Hukum Syara’

Hukum syara’ dapat dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi
adalah firman Allah SWT yang berisi tuntunan untuk dikerjakan atau ditinggalkan atau berisi
pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan, objek pembahasan hukum taklifi berupa: halal,
haram, sunnah, mubah, makruh.

Pengertiaan Hukum Wadh’i

Hukum Wadh’i adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat
dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).

Hukum Wadh’i memiliki ciri-ciri sebagai berikut: hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan
suatu peristiwa dengan hukum taklifi, dan hukum wadh’i sebagiannya ada di luar
kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia.

Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i

Hukum Taklifi Hukum Wadh’i


Mengandung tuntutan untuk melaksanakan, Mengandung keterkaitan (hanya
meninggalkan ataupun memilih antara menghubungkan) antara dua persoalan yang
melaksanakan atau meninggalkan suatu salah satu diantaranya bisa dijadikan sebab,
perbuatan. Contoh: shalat fardhu
penghalang atau syarat. Contoh:
(melaksanakan), zina (meninggalkan), makan
menghubungkan antara tergelincirnya
dan minum (mengandung pilihan) matahari dengan kewajiban shalat zuhur,
menghubungkan antara keadaan suci
dengan shalat
Merupakan tuntutan langsung untuk Tidak dimaksudkan untuk langsung
dilaksanakan, ditinggalkan atau memilih dilakukan. Tetapi hukum ini ditentukan syar’i
antara dilaksanakan atau ditinggalkan agar hukum taklifi dapat dilaksanakan.
Contoh: membayar zakat hukumnya wajib,
namun jika tidak bisa langsung dilaksanakan
apabila harta yang dimiliki tidak mencapai
nishab tertentu dan belum sampai haul
Berada dalam kesanggupan dan kemampuan Ada yang berada dalam kesanggupan
mukallaf mukallaf dan ada yang di luar kesanggupan
mukallaf. Contoh: transaksi jual beli menjadi
sebab adanya kepemilikan, bersuci menjadi
syarat sahnya shalat. Hubungan kekerabatan
menjadi sebab adanya hak warisan dan haid
menjadi penghalang shalat
Ditujukan kepada para mukallaf Ditujukan kepada seluruh umat manusia baik
mukallaf atau belum. Contoh: sahnya jual
beli anak-anak yang belum baligh

Anda mungkin juga menyukai