Anda di halaman 1dari 9

IMAN SEBAGAI NILAI-NILAI DASAR EKONOMI

Pendahuluan

Islam adalah agama sempurna yang disempurnakan oleh Allah swt. Sesuai dalam
firman Allah swt dalam surat Al-Maidah Ayat 3: “... Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam
sebagai agamamu.” Maka sebagai seorang yang ber dan berislam hal tersebut akan menjadi
motivasi kuat untuk terus menerapkan nilai dan ajaran Islam dalamsegala macam aspek
kehidupannya kebenaran mengantarkan seseorang yakin, keyakinan mengantarkan seseorang
tenang dan tiada yang diharapkan oleh manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia
melainkan sebuah ketenangan.

Allah swt mengharapkan orang yang beriman menjalankan keislamannya secara


menyeluruh. Tidak memilih sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Demikian sesuai
dengan ajaran yang terdapat dalam Islam. apabila selalu menjadi pijakan dalam kehidupan
akan menghasilkan seseorang yang bahagia dunia dan akhirat.

Menjadi seorang muslim tidaklah perkara yang mudah, namun bukan sebuah hal yang
mustahil. Ajaran Islam dibangun berdasarkan keyakinan dan rasionalitas. Keduanya saling
mendukung untuk keberlangsungan hidup manusia. Sesuatu yang diyakini namun tidak dapat
diterima oleh akal manusia, akan mudah tumbang seiring dengan proses berpikir manusia
yang dilengkapi dengan perangkat otak dan akal. Sebaliknya, sesuatu yang sangat logis
apabila tidak dibarengi dengan sebuah keyakinan yang kuat maka hanya akan menghasilkan
manusia yang sombong dan besar kepala. Kerugian akan segera didapatnya.

Maka cukuplah Islam bagi kita, untuk menggerakkan seluruh akal dan jasmani kepada
hal yang baik dan perbaikan. Islam agama yang paling benar di sisi Allah swt. Sesuai dengan
firman-Nya: ‫( إن الدين عند هللا اإل سالم‬QS Ali Imran: 19) “Sesungguhnya agama disisi Allah swt
adalah Islam.” Apabila ada manusia yang mencari ajaran agama selain Islam, maka hal
tersebut adalah sebuah kesia-siaan yang justru menjerumuskan manusia kedalam lubang
kesesatan dan kesengsaraan dunia akhirat. Sesuai dengan firman Allah swt dalam Surat Ali
Imran ayat 85: “dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima,
dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” Naluri manusia tidak ingin merugi,
maka sangat disesalkan apabila kita mencari agama selain Islam justru akan membawa kita
dalam kerugian yang nyata.

1
Dari dua ayat diatas kita dapat menyimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya
agama yang benar, sedangkan agama selain Islam adalah salah, tidak benar dan tidak diterima
oleh Allah swt. Untuk apa kita menjalankan kehidupan dengan melaksanakan ajaran agama
diluar Islam. Mengapa agama selain Islam tidak diterima Allah swt? Dapat kita ketahui
bersama bahwa agama-agama selain Islam telah mengalami penyimpangan dan telah
dicampuri oleh tangan manusia yang mengakibatkan kesempurnaan sebuah agama menjadi
hilang. Produk yang dihasilkan manusia tidak akan luput dari kesalahan dan
ketidaksempurnaan, karena manusia dasarnya adalah memiliki kekurangan. Sedangkan
Tuhan harus memiliki sifat kesempurnaan, sehingga segala hal yang datang dari sisi Allah
swt hasilnya adalah kesempurnaan, ditambah dengan pengakuan dari Allah swt terhadap
kesempurnaan dan kebenaran agama Islam.

Dari pemaparan diatas, terdapat sebuah pertanyaan dalam diri kita? Untuk apa kita
harus mengikuti ajaran agama Islam yang harus kita yakini sebagai ajaran agama yang paling
benar? pertanyaan ini menanyakan perihal tujuan, bisa kita anggap sebagai tujuan hidup.
Atau dengan kata lain pertanyaan nya adalah: apa tujuan hidup kita?

Dapat kita katakan bahwa semua manusia menginginkan hidupnya di dunia bahagia.
Apapun agama dan keyakinan seorang manusia, kebahagiaan dunia menjadi tujuan yang
ingin dicapai, hal ini sesuai dengan firman Allah swt pada Al-Qur’an Surat Al Qasas Ayat
77: “...Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia...”. Khusus bagi
kita umat Islam, selain kebahagiaan dunia, kita juga harus mementingkan kebahagiaan
akhirat. Seperti firman Allah swt pada Al-Qur’an Surat Al-A’la Ayat 16-17: “Tetapi kamu
(orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedangkan akhirat adalah lebih baik dan lebih
kekal.” Inilah perbedaan umat Islam dengan umat-umat agama lainnya.

Permasalahan

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun hanya sedikit yang


memahami konsep dasar ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan banyak hal diantaranya
adalah pendidikan keislaman dan lingkungan. Bagi yang terlahir dari keluarga muslim,
seringkali ajaran Islam hanya sebatas ritual sehari-hari yang menjadi kebiasaan, terkadang
nilai-nilai keagamaan belum dijunjung tinggi. Bahkan seringkali ritual menjadi hambar
karena kurang memaknai landasan dan nilai yang terkandung didalamnya. Krisis akhlak
menjadi hasilnya.

2
Lingkungan masyarakat adalah faktor penentu bagi seseorang memainkan peran
ajaran Islam dalam kehidupannya. Sangat disayangkan apabila semakin hari generasi penerus
kita selalu dijauhkan dari nilai-nilai ajaran Agama Islam. Perkembangan teknologi merubah
segalanya. Sebagai contoh, saat ini kita merasa tidak perlu lagi saling berkunjung silaturahim
karena sudah ada sarana telekomunikasi yang memungkinkan kita berbicara dan saling sapa
tanpa harus bertatap muka.

Pada akhirnya kita terhanyut akan perkara-perkara yang mengutamakan tujuan


duniawi semata, melupakan dan menjauhkan kita dari perkara akhirat. Padahal kehidupan
kita di dunia sangat penting untuk mengumpulkan bekal kita nanti di akhirat. Apa yang kita
peroleh di akhirat semata-mata adalah hasil dari segala hal yang kita perbuat selama di dunia.
Manusia hidup di dunia menjadi nikmat dan anugerah yang Allah swt berikan kepada kita.
Tugas kita adalah mengisi kehidupan dunia dengan sebaik-baiknya. Karena kehidupan kita
bukan hanya di dunia semata, namun kita akan dihidupkan kembali setelah mati nanti. Untuk
kemudian hidup kekal di alam akhirat. Sesungguhnya dunia hanya sementara dan akhirat
abadi selamanya. Maka mari kita selalu fokus dan ingat, bahwa apapun yang kita kerjakan,
yang kita lakukan dan yang kita berikan bagi diri kita ini semuanya harus bermuara kepada
perbekalan kita di akhirat.

Tidak dipungkiri bahwa untuk hidup di dunia kita membutuhkan harta, uang dan
materi. Semua adalah penunjang namun bukanlah sebuah tujuan semata. Perlu diingat
kembali bahwa tujuan akhir kita adalah akhirat, disana bukanlah materi yang utama, namun
amal kebaikan yang telah kita lakukan selama di dunia. Meskipun demikian, kita perlu
mencari harta di dunia. Mencari nafkah bagi seorang suami menjadi kewajiban untuk
diberikan kepada keluarganya. Menjaga harta keluarga juga menjadi utama bagi seorang istri
sholehah. Memanfaatkan dengan baik harta menjadi tanggung jawab pemilik. Perlu diingat,
harta akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Bukan hanya bagaimana kita
memanfaatkan harta tersebut, namun juga dari mana asalnya. Baik atau buruk, benar atau
salah kita mendapatkannya, menjadikan kita harus lebih memperhatikan hal-hal tersebut.
Berbeda dengan ibadah lainnya seperti shalat dan puasa, kita akan mempertanggungjawabkan
apakah kita sudah shalat dan puasa dengan baik?

Pada konteks harta, ada pertanggungjawaban lebih bagi kita. Inilah pentingnya harta
bagi Islam. Selain kita perlu memperhatikan untuk apa kita belanjakan harta, namun juga
akan dimintai pertanggungjawaban perihal asal muasal kita mendapatkan harta tersebut,

3
apakah kita mendapatkan harta dengan cara yang baik atau sebaliknya. Hal tersebut menjadi
sebuah pengingat bagi kita untuk selalu hati-hati dalam kehidupan, karena kita hidup di dunia
harus memenuhi kebutuhan fisik dan materi.

Ajaran agama Islam yang komprehensif dan menyeluruh tidak dibarengi dengan
bagaimana umatnya memahami agama. Inilah permasalahan kehidupan yang seringkali
muncul dan menghadapi kita. Apabila setiap umat Islam memahami ajaran Islam secara
menyeluruh maka niscaya kehidupan nya akan damai, tentram dan bahagia.

Umat Islam yang tidak faham terhadap ajaran agamanya menjadi permasalahan pokok
betapa sulitnya ajaran Islam dipegang dan dipraktekkan dalam keseharian. Apabila manusia
belum memahami substansi eksistensi dirinya di dunia, yang terjadi hanyalah dominasi dari
hawa nafsu serta keinginan duniawi dan membawa kepada kelupaan serta ketidakfahaman
terhadap ajaran agama Islam yang memiliki nilai luhur tinggi.

Para ulama syariah terbiasa berbeda pendapat, hal ini dikarenakan berbeda pandangan
terhadap suatu dalil yang benar dan hasil ijtihad yang sudah menjadi keniscayaan. Namun
tidak terjadi perpecahan diantara mereka karena mereka saling menghormati perbedaan
pendapat. Tidak ada cacian dan menjelekkan satu sama lain.

Maka pada tulisan ini akan mencoba menjabarkan beberapa hal yang menjadi pokok
ajaran agama Islam, dengan harapan kita kembali kepada sebuah konsep agama Islam yang
menyeluruh, benar dan murni. Memberi harapan untuk melahirkan sebuah keyakinan serta
kefahaman yang tinggi hingga kita dapat melaksanakan ajaran agama Islam dalam keseharian
dengan baik.

Penjelasan

‫سلَّم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ‫س ِع ْن َد َر‬ ٌ ‫ بَ ْينَ َما ن َْح ُن ُجلُ ْو‬: ‫ضا قَا َل‬ ً ‫ي هللاُ َع ْنهُ أ َ ْي‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ع َم َر َر‬ ُ ‫ع ْن‬
َ
‫سفَ ِر‬َّ ‫علَ ْي ِه أَث َ ُر ال‬
َ ‫ الَ ي َُرى‬,‫ش ْع ِر‬ َّ ‫س َوا ِد ال‬
َ ‫ش ِد ْي ُد‬َ ‫ب‬ِ ‫اض الثِيَا‬ ِ َ‫ش ِد ْي ُد َبي‬َ ‫علَ ْينَا َر ُج ٌل‬ َ ‫ات يَ ْو ٍم إِ ْذ‬
َ ‫طلَ َع‬ َ ‫َذ‬
,‫ فأ َ ْسنَ َد ُر ْك َبت َ ْي ِه ِإ َلى ُر ْك َبتَ ْي ِه‬,‫سلَّم‬ َ ُ‫ص َّلى هللا‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َ ِ ‫س ِإلَى النَّ ِبي‬ َ َ‫ َحتَّى َجل‬,ٌ‫َوالَ َي ْع ِرفُهُ ِمنَّا أ َ َحد‬
ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬,‫اإل ْسالَ ِم‬ ِ ‫ع ِن‬ َ ‫ َيا ُم َح َّم ُد أ َ ْخ ِب ْر ِن ْي‬: ‫ َو قَا َل‬,‫علَى َف ِخ َذ ْي ِه‬ َ ‫ض َع َكفَّ ْي ِه‬َ ‫َو َو‬
َ ِ‫ َوتُؤْ ت‬,َ ‫صالَة‬
‫ي‬ ُ ‫ ا َ ِإل ْسالَ ُم أ َ ْن ت َ ْش َه َد أ َ ْن الَ ِإ لَهَ ِإالَّ هللاُ َو أ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬: ‫سلَّم‬
َّ ‫ َوت ُ ِق ْي ُم ال‬,ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ

4
ُ‫ فَ َع ِج ْبنَا لَه‬. ُ‫ص َد ْقت‬ َ : ‫ َقا َل‬.ً‫س ِب ْيال‬ َ ‫ت ِإ َل ْي ِه‬
َ ‫ط ْع‬َ َ‫ْت ِإ ِن ا ْست‬ َ ‫ َوتَ ُح َّج ْال َبي‬, َ‫ضان‬ َّ
ُ َ ‫ َوت‬,َ ‫الز َكاة‬
َ ‫ص ْو َم َر َم‬
‫ َو ْاليَ ْو ِم‬,‫س ِل ِه‬
ُ ‫ َو ُر‬,‫ َو ُكت ُ ِب ِه‬,‫ َو َمالَ ِئ َكتِ ِه‬,ِ‫ أ َ ْن ِباهلل‬: ‫ قَا َل‬,‫ان‬ِ ‫اإل ْي َم‬
ِ ‫ع ِن‬ َ ‫ فَأ َ ْخ ِب ْرنِ ْي‬: ‫ قَا َل‬.ُ‫ص ِدقُه‬
َ ُ‫يَ ْسئَلُهُ َوي‬
‫ أ َ ْن‬: ‫ قَا َل‬,‫ان‬ ِ ‫س‬َ ‫اإل ْح‬ِ ‫ع ِن‬ َ ‫ فَأ َ ْخبِ ْرنِ ْي‬: ‫ قَا َل‬.‫ت‬ َ : ‫ قَا َل‬.ِ‫ َو تُؤْ ِمنَ بِ ْالقَد ِْر َخي ِْر ِه َو ش َِره‬,‫اآلخ ِر‬
َ ‫ص َد ْق‬ ِ
‫ َما‬: ‫ع ِة َقا َل‬ َ ‫سا‬ َّ ‫ع ِن ال‬ َ ‫ فَأ َ ْخبِ ْرنِ ْي‬: ‫ قَا َل‬.‫اك‬ َ ‫هللا َكأَنَّ َك ت َ َراهُ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت َ َراهُ فَإِنَّهُ يَ َر‬
َ ‫ت َ ْعبُ َد‬
‫ َوأ َ ْن‬,‫ أ َ ْن ت َ ِل َد األ َ َمةُ َربَّت َ َها‬: ‫ قَا َل‬,‫اراتِ َها‬
َ ‫ع ْن أ َ َم‬َ ‫ فَأ َ ْخبِ ْرنِ ْي‬: ‫ قَا َل‬.‫سائِ ِل‬ َ ‫ْال َم ْسؤ ُْو ُل‬
َّ ‫ع ْن َها بِأ َ ْعلَ َم ِمنَ ال‬
‫ يَا‬: ‫ ث ُ َّم قَا َل‬,‫ فَلَ ِبثْتُ َم ِليًّا‬, َ‫طلَق‬ ِ َ‫ط َاولُ ْونَ ِف ْي ْالبُ ْني‬
َ ‫ ثم ا َ ْن‬,‫ان‬ َ َ ‫اء يَت‬
ِ ‫ش‬ َ ‫ت َ َرى ْال ُحفَاة َ ْالعُ َراة َ ْالعَالَةَ ِر‬
َّ ‫عا َء ال‬
ُ ‫ هللاُ َو َر‬: ُ‫سائِل؟ قُ ْلت‬
.‫ فَإِنَّهُ ِجب ِْر ْي ُل أَتَا ُك ْم يُعَ ِل ُم ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم‬: ‫ قَا َل‬.‫س ْولُهُ أ َ ْعلَ ُم‬ َّ ‫ي َم ِن ال‬ ْ ‫ أَتَد ِْر‬,‫ع َم ُر‬
ُ
(‫) َر َواهُ ُم ْس ِل ٌم‬

Artinya:
Umar Bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat
Rasulullah SAW. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat
putih dan rambutnya hitam. Tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan idak ada
seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi Muhammad SAW
lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi Muhammad SAW dan meletakkan kedua tangannya di
atas kedua paha Nabi Muhammad SAW, kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan
kepadaku tentang Islam?” Rasulullah SAW menjawab: “Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang
berhak di ibadahi dengan benar melainkan hanya Allah SWT, dan sesungguhnya Muhammad SAW
adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di Bulan Ramadhan dan engkau
menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya.” Lelaki itu kemudian berkata:
“Engkau benar”. maka kami heran, ia yang bertanya dan ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia
bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang iman?” Nabi SAW menjawab: “Iman adalah, engkau
beriman kepada Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir dan beriman
kepada takdir Allah SWT yang baik dan yang buruk.” Kemdian lelaki tersebut berkata: “Engkau
benar.” lelaki itupun bertanya lagi: “beritahukan kepadaku tentang Ihsan.” Nabi SAW menjawab:
“Hendaklah engkau beribadah kepada Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun
engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi: “beritahukan
kepadaku kapan terjadi kiamat?” Nabi SAW menjawab: “yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada
yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi: “beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya.” Nabi SAW
menjawab: “jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang
bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin) serta penggembala kambing telah saling berlomba
dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.” Kemudian lelaki tersebut segera pergi.
Kami pun terdiam hingga Nabi SAW bertanya: “Wahai Umar! Tahukah engkau siapa yang bertanya

5
tadi?” aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “dia adalah
Malaikat Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian. (HR Muslim)

Iman
Kita awali penjelasan ini dengan sebuah hadits panjang yang di riwayatkan oleh Imam
Muslim. Hadits ini memiliki makna yang prinsip dan mendalam. Di dalam hadits ini terdapat pokok-
pokok ajaran agama Islam seperti Iman, Islam dan Ihsan. Hadits ini unik karena menceritakan
kejadian sejarah dimana Malaikat menghampiri langsung Rasulullah SAW kemudian mengajarkan
pokok agama Islam kepada para sahabat.
Iman, secara etimologi adalah percaya atau pembenaran. Sedangkan istilah syar’i iman adalah
keyakinan dalam hati, perkataan di lisan, amalan dengan anggota badan, iman akan bertambah seiring
dengan ketaatan yang dilakukan dan iman akan berkurang seiring dengan kemaksiatan yang
dilakukan. Kualitas iman seseorang dapat berkurang dan bertambah, hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT: “Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.” (QS Al
Fath: 48).
Dari hadits di atas kita dapat mengelompokkan ada tiga pilar ajaran agama Islam. Pertama
adalah Iman. Dalam tataran aqidah, iman menjadi sebuah akar yang menghujam kedalam hati
manusia, dari sanalah tumbuh keyakinan serta dorongan kuat dan sesuai fitrah manusia untuk berbuat
kebaikan. Iman seperti mutiara di dalam hati manusia yang meyakini 5 hal: Allah SWT sebagai Tuhan
Yang Maha Esa; Malaikat; Kitab-kitab; para Rasul; hari akhir (kiamat) dan beriman kepada takdir
Allah SWT. Yang kemudian kita menyebutnya Rukun Iman.
Mengimani Allah SWT meliputi beberapa hal: pertama berarti percaya atas keberadaan Allah
SWT, meyakini bahwa Allah SWT adalah Esa, tidak ada yang menciptakan dan berkuasa penuh akan
alam semesta serta isinya. Kedua mengimani bahwa hanya Allah SWT yang berhak disembah dan
ketiga mengimani bahwa Allah SWT memiliki nama dan sifat-Nya (Al-Asmaul Husna) yang telah
Allah SWT nisbahkan kepada diri-Nya.
Mengimani Malaikat berarti kita meyakini bahwa: Malaikat adalah makhluk ciptaan Allah
SWT, mereka memiliki tugas khusus yang diberikan Allah SWT kepadanya. Secara jumlah
keseluruhan, tidak ada yang mengetahui melainkan Allah SWT, namun kita wajib mengimani 10
malaikat yaitu Jibril, Mikail, Rakib, Atid, Mungkar, Nakir, Izrail, Israfil, Malik, Ridwan. Malaikat
adalah makhluk yang diciptakan dari cahaya seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits: “Malaikat
diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam Alaihis Salaam
diciptakan dari apa yang telah disifatkan kepada kalian.” (HR Ahmad dan Muslim).
Mengimani kitab-kitab Allah SWT, adalah mempercayai dan meyakini bahwa Allah SWT
menurunkan kitab-kitab-Nya yang berisi ajaran-ajaran agama melalui para nabi dan rasul untuk
disampaikan kepada umat manusia. Setidaknya terdapat tiga tingkatan beriman kepada kitab Allah
SWT: Qotmil (membaca), Tartil (membaca dan memahami arti nya), Hafidz (membaca, memahami

6
artinya, menghafal dan mengamalkan). Bagi umat Islam, mengimani kitab Allah bukan sekedar
percaya bahwa Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada umat Islam melalui Nabi
Muhammad SAW, namun juga harus membaca, mempelajari, serta memahami kandungan yang
terdapat didalamnya hingga kita mampu untuk mengamalkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.
Mengimani para rasul, adalah mempercayai dan meyakini nabi dari rasul yang diutus Allah
SWT, dan meyakini bahwa ajaran yang dibawa para rasul itu benar bersumber dari Allah SWT. Ada
kesamaan dari semua ajaran tersebut, yaitu mengajak untuk menyembah Allah SWT dan
meninggalkan sembahan selain Allah SWT. Seperti firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan, sembahlah Allah SWT (saja), dan
jauhilah thaghut itu.” (QS An-Nahl: 36). Meskpun terkadang terdapat beberapa perbedaan syariat di
antara para rasul, seperti firman Allah SWT: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang.” (QS Al-Maaidah: 48). Kita wajib meyakini para nabi dan rasul yang
diutus Allah SWT, seperti Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad SAW.
Iman kepada hari kiamat, berarti mempercayai dan meyakini bahwa akan datang hari terakhir,
dimana tidak ada hari setelahnya dan ada kehidupan akhirat yang kekal setelah kehidupan dunia.
Karena tidak ada manusia yang mengetahui kapan terjadinya kehancuran alam semesta. Seperti hadits
diatas: “Tidaklah yang ditanya (Muhammad SAW) lebih mengetahui (kapan hari kiamat terjadi) dari
pada yang bertanya.” (HR Muslim). Hikmah dari mengimani dan meyakini hari akhir bagi umat Islam
adalah pentingnya mempersiapkan bekal (amal kebaikan) yang cukup untuk menghadapi hari
tersebut.
Rukun iman yang keenam yaitu beriman kepada takdir Allah SWT. Maknanya adalah:
mengimani dan meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu, Allah SWT menulis segala
sesuatu, segala hal di dunia ini terjadi atas kehendak Allah SWT dan Dia-lah Allah SWT yang
menciptakan segala sesuatu. Pentingnya mengimani takdir Allah SWT dapat kita lihat dari sebuah
atsar berikut: “apabila kamu bertemu dengan mereka maka kabarkanlah kepada mereka bahwa aku
(Abdullah Ibnu Umar) berlepas diri dari mereka & mereka pun berlepas diri dari aku, Demi Dzat yang
Ibnu Umar bersumpah dengan Nya seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar
gunung Uhud kemudian menginfakan nya maka Allah tidak akan menerima darinya sampai dia
beriman dengan Takdir.” (atsar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim didalam Shahihnya). Buah dari
keimanan seseorang atas takdir Allah adalah ketenangan, sabar dan ikhlas menjadi senjata kita untuk
menghadapi segala macam permasalahan hidup. Ia tidak frustasi apabila mendapatkan kegagalan atau
tidak terwujudnya harapan-harapan, namun ia juga tidak terlalu bangga diri atas nikmat dan karunia
yang didapatnya.
Nilai-nilai keimanan seseorang akan nampak pada kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh
seorang yang yakin dan percaya bahwa segala kegiatannya baik dan buruk akan dicatat oleh malaikat.
Maka akan berfikir sebelum bertindak, menimbang resiko dan tanggungjawab yang lahir seiring
dengan keputusannya melakukan sebuah aktivitas. Dalam hal aktivitas perekonomian, hal ini akan

7
melahirkan sebuah kemanfaatan minimal bagi diri sendiri dan pada akhirnya kemanfaatan bagi orang
lain. Inilah yang diharapkan dari Ekonomi Islam. Memberikan sebanyak-banyaknya manfaat
kebaikan.

Kesimpulan
Umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang benar. diawali dengan pemahaman
dasar-dasar ajaran Islam yang dimulai dengan Islam, Iman dan Ihsan. Agar pondasi keimanan
seseorang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan benar. Kemudian dalam penerapan sehari-
hari dapat dengan mudah diaktualisasikan, untuk mencapai tujuan hidup yaitu falah di dunia dan
akhirat.
Apabila melihat konsep Ekonomi dalam kacamata keislaman, maka pelarangan riba menjadi
hal yang mendasar untuk kita hindari. Konsep time value of money atau nilai uang atas waktu tidak
dapat kita terima. Bertambahnya nilai uang apabila uang menjadi modal, bukan sekedar potensi
keuntungan yang belum terjadi. Keuntungan berbanding lurus dengan resiko. Dalam transaksi apapun
kita juga harus menghindari sifat-sifat spekulatif tinggi, ketidakjelasan dan perjudian. Setiap muslim
juga harus mensakralkan perjanjian atau akad. Oleh karena akad adalah sebuah komitmen yang dalam
Islam harus dipegang teguh tanpa kompromi. Islam mengajarkan konsisten dan tanggung jawab atas
apa yang telah disepakati diawal. Pada akhirnya, segala aktivitas perekonomian setiap individu tidak
akan menyimpang dari ajaran Islam dan menghasilkan kehidupan yang seimbang tanpa adanya
ketimpangan sosial dan permasalahan kehidupan lainnya.

Referensi
Adinugraha, Hendri Hermawan. (2013). Norma Dan Nilai Dalam Ilmu Ekonomi Islam. Media
Ekonomi & Teknologi Informasi Vol.21 No. 1 Maret 2013: 49-59

Adnan, Muhammad Akhyar. (2002). Pengembangan Nilai-Nilai Islam Dalam Kajian Ilmu Ekonomi.
Millah Vol. II, No.2, Januari 2002

A Santosa, E Wibowo. (2011) Ekonomi Islam Dalam Konteks Ke-Indonesia-An (Perspektif Jalan
Ketiga). Value Added Majalan Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah
Semarang Vol 8, No.1 (2011)

Furqani, Hafas. (2016). Pembangunan Ekonomi Islam dengan Tipologi Ilmiah. Maqdis (Jurnal Kajian
Ekonomi Islam)-Volume 1, No.1, Januari-Juni 2016: 83-96

Ismail, Y. & Sarif, S.M. (2011). The Role of Tawhidic Paradigm in the Transformation of
Management System. In Zulkepli Abd Ghani, Musa Abu Hassan, Mohd Rusdhan Mohd Jailani, and

8
Khatijah Othmand, Prosiding Seminar Transformasi Sistem Pengurusan Islam di Malaysia 2011
(Proceedings of the National Seminar on Islamic Management Systems Transformation (Trans-
SPI)(pp.127-147)(ISBN: 978-967-5295-91-1), organized by Islamic Science University Malaysia
(USIM), PWTC, Kuala Lumpur, 1-2 October.

Iqbal, Zamir. (1997). Islamic Financial Systems. Finance & Development. World Bank Publications
June 1997

Kamali, Mohammad Hashim. (1999). Maqasid Al-Shariah: The Objectives Of Islamic Law. Islamic
Studies 38/2 (1999)

Mohd Mahudin, N.D., Mohd Noor, N., Dzulkifli, M. A., & Janon, N.S. (2016). Religiosity among
Muslims: A scale development and validation study. Makara Hubs-Asia, 20(2): 109-121.

Schumm, Walter, Y. And Kohler, L. Alison. (2016). Social Cohesion and the Five Pillars of Islam: A
Comparative Perspective. The American Journal of Islamic Social Sciences 23:2

Zaman, Nazim,Ali (2013) Towards an authentic Islamic development model: Incorporating the roles
of trust and leadeship in the Islam – Iman – Ihsan paradigm , Durham theses, Durham University.
Available at Durham E-Theses Online: http://etheses.dur.ac.uk/6946

Anda mungkin juga menyukai