Referat Bell S Palsy
Referat Bell S Palsy
PENDAHULUAN
Bell’s palsy (BP) atau Idiopathic Facial Paralysis (IFP) adalah penyebab paling sering dari
kelumpuhan wajah unilateral dan penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah di seluruh dunia.
Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara akut. Sir Charles Bell (1821)
adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua
kelumpuhan nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy.
Kelumpuhan ini adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum dari saraf kranial dan
hingga saat ini penyebabnya tidak diketahui.(1-2)
Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang,
dimana setiap tahunnya terdapat 40.000 orang di Amerika Serikat yang menderita penyakit ini.
Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada
perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy. Di dunia, insiden
tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia pada
tahun 1997. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-
40 tahun. Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang
berusia di atas 60 tahun. Peluang untuk terjadinya Bell’s palsy pada laki-laki sama dengan wanita.
Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, dimana kemungkinan terkena Bell’s palsy dapat
mencapai 3,3 kali lipat.(2-5)
Dalam sebagian besar kasus, Bell’s palsy secara bertahap membaik dari waktu ke waktu
namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa.
Gejala sisa ini berupa kontraktur dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy
cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat
merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa
asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi
lesi, dan potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional
limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum,
1
berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini
dapat menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri, terutama bagi penderita wanita.
Oleh karena itu, diperlukan terapi secara cepat dan tepat untuk mencapai pemulihan terbaik fungsi
saraf wajah dan penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari serta bersosialisasi
dengan masyarakat.(2-5)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Bell’s palsy (BP) atau Idiopathic Facial Paralysis (IFP) adalah kelumpuhan
nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut, penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) dan tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus
fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer. Sir Charles Bell (1821), seorang dokter bedah
yang berasal dari Skotlandia adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita
dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya disebut Bell's palsy. Kelumpuhan ini adalah salah satu gangguan
neurologis yang paling umum dari saraf kranial.(1-2)
3
yang berasal dari nukleus salivatori superior bergabung dengan serat dari traktus
solitarius superior untuk membentuk nervus intermedius.(6)
Nervus intermedius terdiri dari serat sensorik dari lidah, mukosa, dan kulit
postaurikular, serta serat parasimpatis ke kelenjar ludah dan lakrimal. Serat ini
kemudian bersinaps dengan ganglion submandibula, yang memiliki serat yang
memasok glandula sublingual dan submandibula. Serat dari nervus intermedius juga
terdiri dari ganglion pterygopalatina, yang memiliki serat parasimpatis yang memasok
hidung, palatum, dan glandula lakrimalis. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-
tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke
korda timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke
nukleus traktus solitarius.(2-3,6)
Serat-serat nervus fasialis lalu berjalan di sekitar nukleus nervus abducens dan
keluar dari pons di sudut cerebellopontine. Serat tersebut kemudian melalui kanalis
auditorius interna bersama dengan bagian vestibular dari nervus vestibulokokhlear.(6)
Nervus fasialis mengandung serat parasimpatis ke hidung, glandula
submandibularis, glandula sublingualis dan glandula lakrimalis. menyebabkan jalur
nervus ini berliku-liku, baik pusat maupun perifer. Nervus fasialis memiliki jalur
intraosseal sepanjang 30-mm melalui canalis auditorius interna (bersama-sama nervus
kranialis kedelapan) dan melalui kanalis falopi yang berada pada tulang temporal
petrosa. kurungan tulang ini yang membatasi seberapa saraf dapat bengkak sampai
terkompresi.(2-3,5-6)
Nervus fasialis melewati foramen stylomastoideus di tulang tengkorak dan
berakhir ke cabang-cabang zygomatic, buccal, mandibular, dan cervical. saraf ini
mempersarafi otot ekspresi wajah, yang meliputi muskulus frontalis, orbicularis oculi,
orbicularis oris, businator, dan platysma. otot-otot lain dipersarafi oleh saraf wajah
termasuk muskulus stapedius, stylohyoid, occipitalis, dan auricularis anterior dan
posterior. Semua otot yang dipersarafi oleh nervus fasialis yang berasal dari arkus
branchialis kedua.(2-3,5-6)
Pada pembagiannya, Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
4
a) Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah
b) Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submandibularis serta sublingual
dan lakrimalis.
c) Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
d) Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.(5)
2.3. Etiologi
Hingga saat ini Bell’s palsy masih belum diketahui penyebabnya. Diperkirakan,
penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada
nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai saat ini masih diperdebatkan.
Penyebab yang saat ini dipercaya sebagai penyebab antara lain.(3-5)
1. Suhu. Dahulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau
menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya
pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini bahwa terdapat
penyebab lain yang dapat menyebabkan Bell’s palsy.(3-5)
6
2. Infeksi. HSV dianggap sebagai virus utama penyebab Bell’s palsy, karena telah
diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi.
Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase Chain Reaction) pada cairan
endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah
secara axonal dari saraf sensorik dan menempati sel ganglion, pada saat adanya
stress, akan terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada
myelin. Infeksi lain seperti infeksi herpes zoster, Borrelia burgdorferi, syphilis,
Epstein-Barr, cytomegalovirus, human immunodeficiency virus (HIV), dan
mycoplasma juga dipercaya dapat menyebabkan Bell’s palsy.(3-5)
3. Autoimun. Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. Kelainan
autoimun menyebabkan demyelinisasi dari nervus fasialis dan menghasilkan
paralisis nervus fasialis unilateral.(4)
4. Herediter. Riwayat keluarga pada Bell's palsy telah dilaporkan pada sekitar 4%
kasus. Kelainan genetik dalam kasus ini mungkin autosomal dominan dengan
tingkat penetrasi yang rendah. Namun, faktor-faktor predisposisi terjadinya
penurunan secara genetik belum jelas. Sejarah keluarga mungkin juga positif bagi
saraf lainnya, gangguan radix atau pleksus (misalnya, trigeminal neuralgia) pada
saudara kandung. Selain itu, ada laporan tersendiri dari familial Bell's palsy yang
disertai dengan defisit neurologis, termasuk oftalmoplegia dan tremor esensial.
Familial Bell's palsy merupakan manifestasi Bell's palsy yang langka dan memiliki
kecenderungan mengenai perempuan remaja.(2)
2.4. Epidemiologi
Insidensi Bell’s palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000
orang, dimana setiap tahunnya terdapat 40.000 orang di Amerika Serikat yang
menderita penyakit ini. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi.
Insiden Bell’s palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan
tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
7
terendah ditemukan di Swedia pada tahun 1997. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-40 tahun.(2-3)
Bell’s palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan
yang berusia di atas 60 tahun. Peluang untuk terjadinya Bell’s palsy pada laki-laki
sama dengan wanita. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan
terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Pada kehamilan trimester
ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi
dari pada wanita tidak hamil, dimana kemungkinan terkena Bell’s palsy dapat
mencapai 3,3 kali lipat. Pada wanita hamil dengan preeklampsia juga sering terkena
Bell’s palsy.(2-3)
Bell’s palsy diperkirakan menyebabkan sekitar 60-75% dari total kasus
kelumpuhan wajah unilateral akut, dengan 63% terkena di sisi kanan. Bell's palsy juga
dapat mengalami kekambuhan, dengan kejadian rekurensi dilaporkan antara 4-14%.
Bell's palsy bilateral dapat terjadi meski sangat langka. Bell's palsy menyumbang
hanya 23% dari kelumpuhan wajah bilateral dan memiliki tingkat kejadian yang
kurang dari 1% dibanding kelumpuhan saraf wajah unilateral. Sebagian besar pasien
dengan bilateral facial palsy menderita Guillain-Barré syndrome, sarkoidosis,
penyakit Lyme, meningitis (neoplastik atau infeksi), atau neurofibroma bilateral (pada
pasien dengan neurofibromatosis tipe 2).(2-3)
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes.
Dengan demikian, mengukur kadar glukosa darah pada saat diagnosis Bell's palsy
dapat mendeteksi diabetes yang belum terdiagnosis. Penderita diabetes 30% lebih
mungkin mengalami pemulihan parsial dibandingkan pasien non diabetes dengan
tingkat rekurensi pada penderita diabetes melitus juga lebih tinggi. Bell’s palsy juga
lebih sering mengenai penderita immunocompromised.(2-3)
2.5. Patofisiologi
Patofisiologi persis timbulnya Bell‘s palsy masih dalam perdebatan. Teori yang
paling diyakini adalah adanya edema dan iskemia menyebabkan kompresi dari nervus
fasialis dalam kanalis fasialis, karena itu ia terjepit di dalam foramen stilomastoideum
dan menimbulkan kelumpuhan LMN N. VII. Penyebab terjadinya edema dan iskemi
8
masih belum dapat ditegakkan, diperkirakan edema dan iskemia disebabkan oleh
berbagai faktor seperti autoimun dan infeksi. Kompresi nervus fasialis ini dapat dilihat
dengan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI).(1-2,7)
Bagian pertama dari kanalis fasialis yang disebut dengan segmen labirin adalah
bagian yang paling sempit, meatus foramien ini memiliki diameter hanya 0,66 mm.
Lokasi inilah yang diduga merupakan tempat paling sering terjadinya kompresi pada
N.VII pada Bell‘s Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka
terjadinya inflamasi, demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi paling
mungkin terjadi. (1-2,7)
Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bell‘s Palsy bersifat perifer dari nukleus
saraf tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun di ganglion
genikulatum. Namun lesi LMN juga dapat terletak di pons, di sudut serebelo-pontin,
di os petrosus atau korda timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang
tepi nervus fasialis. Lesi di pons biasanya terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Apabila lesi terletak di foramen
stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial saja. Jika lesinya timbul di
bagian proksimal ganglion genikulatum maka akan timbul kelumpuhan motorik
disertai dengan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah) dan
gangguan sistem saraf otonom seperti gangguan lakrimasi atau salivasi. Jika lesi
terletak dekat dengan nervus abdusens paralisis fasialis LMN tersebut dapat disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,
paralisis nervus fasialis LMN juga dapat timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral ataupun hiperakusis. (1-2,6-7)
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy
diarena nervus fasialis dapat menjadi sembab dan terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan Bell’s palsy. Berdasarkan beberapa penelitian
bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan
virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster
karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di
9
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.
Automiun juga dipercaya dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis.
Mekanisme autoimun yang dimediasi sel telah diusulkan sebagai patogenesis dari
Bell's palsy. Aviel et al. melakukan studi klinis pada subjek dewasa dan menemukan
beberapa perubahan dalam limfosit darah perifer selama tahap akut penyakit. (4)
Berdasarkan penjelasan oleh Abramsky et al. mengenai mekanisme imun
terhadap protein myelin dalam patogenesis penyakit ini, perubahan imunologi selular
dan humoural telah dilaporkan pada pasien dewasa dengan Bell palsy. Penurunan
persentase sel T (CD3) dan sel T helper (CD4) telah didokumentasikan dalam fase akut
penyakit dibandingkan dengan pasien kontrol. (4)
Beberapa bukti mengimplikasikan keterlibatan mekanisme imun pada Bell's
palsy. Banyak laporan telah menunjukkan hubungan antara kelumpuhan wajah dan
GBS, sebagai suatu kondisi yang baru-baru ini menunjukan neuritis autoimun yang
dimediasi oleh sel. (4)
Abramsky et al. mendemonstrasikan secara in vitro respon dari human basic
protein (PIL) dari selubung myelin saraf perifer pada pasien dengan Bell's palsy.
Mereka memperkirakan bahwa mekanisme autoimun yang dimediasi sel mungkin
penting dalam patogenesis Bell's palsy. (4)
Transformasi in vitro yang sama mengenai kemunculan P1L ditemukan pada
kasus GBS. Stimulasi spesifik limfosit in vitro dari pasien Bell's palsy dan GBS
menggunakan P1L memberikan hipotesis bahwa sensitisasi in vivo untuk protein
tersebut dapat terjadi dalam dua kondisi ini, dan bahwa mekanisme autoimun yang
dimediasi sel mungkin merupakan faktor penting dalam patogenesis kelumpuhan. (4)
Kesamaan antara GBS dan Bell's palsy berkaitan dengan sensitisasi limfosit
terhadap protein P1L menunjukkan bahwa Bell's palsy mungkin merupakan varian dari
GBS. Persentase limfosit T yang berkurang pada pasien Bell's palsy dan pengurangan
persentase total limfosit T juga telah ditemukan pada pasien dengan GBS akut. (4)
Pada pasien Bell's palsy, persentase sel T supressor berkurang secara signifikan,
sedangkan persentase sel T helper normal, hal ini juga sejalan dengan temuan pada
pasien dengan GBS akut. (4)
10
Aviel et al. menemukan bahwa pasien Bell’s palsy memiliki peningkatan yang
signifikan dalam persentase limfosit B dan penurunan yang signifikan dalam
persentase limfosit T. Perubahan yang sama pada perubahan subpopulasi limfosit
darah perifer juga ditemukan dalam perjalanan beberapa penyakit demielinisasi,
seperti pada Multiple Sclerosis (MS) eksaserbasi akut dan selama tahap akut GBS. (4)
Bell's palsy, seperti GBS, adalah penyakit demielinisasi akut dari sistem saraf
perifer. Dalam kedua penyakit ini, suatu demielinasi neuritis telah ditemukan.
Kesamaan imunologis antara Bell's palsy dan GBS menunjukkan bahwa kedua
penyakit dapat berbagi etiologi dan patogenesis yang sama. Bell's palsy juga dipercaya
merupakan penyakit autoimun post infeksi virus. Infeksi virus dapat mendorong reaksi
autoimun terhadap komponen myelin saraf perifer, yang mengarah ke demielinisasi
saraf kranial, terutama saraf wajah, dengan cara yang belum jelas. (4)
Pemeriksaan sampel serum dari pasien Bell's palsy menunjukkan konsentrasi
sitokin interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-alpha) yang
meningkat dibandingkan dengan populasi kontrol, menunjukkan aktivasi efektor yang
dimediasi sel. (4)
Selain itu telah dipercaya juga bahwa Bell's palsy sebenarnya polineuropati,
dimana kelumpuhan wajah mungkin terkait dengan keterlibatan saraf kranial lainnya.
Dekade terakhir kaya akan studi tentang peran virus dan respon imun dalam
etiopatogenesis dari penyakit demielinisasi pada sistem saraf pusat dan perifer.(4)
2.6.Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :
a. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih
berada disebelah dalam dan sebelah luar foramen tersebut.
Gambaran klinis yang didapatkan adalah mulut turun dan mencong ke sisi
yang sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi
kedudukannya daripada posisi yang sehat, maka penderitanya tidak dapat bersiul,
mengedip dan menutupkan matanya. Gangguan lakrimasi akan terjadi jika mata
tidak terlindungi / tidak bisa menutup mata sehingga pada mata akan lebih mudah
mendapat iritasi berupa angin, debu dan sebagainya.
11
Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata
pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang
mempersyarafi m.orbikularis okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra
tidak dapat menutup dengan sempurna. Kelainan ini akan mengakibatkan trauma
konjungtiva dan kornea karena mata tetap terbuka sehingga konjungtiva dan
kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam bentuk
konjungtivitis atau suatu keratitis. Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan
ini dikenal dengan Bell’s phenomenon (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata).
Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin,
sehingga menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada
sisi yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung
terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot
wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya
benar-benar bersifat Bell’s palsy.
12
mengalami penurunan kemampuan merasa. Jika mengenai muskulus stapedius
maka gejala tanda klinik dapat ditambah adanya hiperakusis.
c. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.
Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah onsetnya seringkali
akut dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga. Sindrom Ramsay Hunt
merupakan Bell’s palsy yang disertai infeksi virus herpes Zoster pada ganglion
geniculatum, lesi–lesi herpetik terlihat pada membrana tympani, canalis auditorium
eksterna, dan pada pinna. Tic fasialis atau spasmus klonik fasialis juga dapat terjadi.
Sebab dan mekanisme sebenarnya belum diketahui yang dianggap sebagai
sebabnya adalah suatu rangsangan iritatif di ganglion geniculatum. Namun
demikian gerakan - gerakan otot wajah involunter bisa bangkit juga sebagai suatu
pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut
muka terangkat dan kelompok mata memejam secara berlebihan.
d. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus
Gejala - gejala Bell’s Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus VIII.
e. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons
Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar
nervus fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi pada
daerah tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectus lateralis atau
gerakan melirik kearah lesi.(1,7)
13
Gambar 4. Manifestasi Klinis Bell’s Palsy Berdasarkan Lokasi Lesi(7)
2.7. Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese
dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata
dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan.
Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka
menderita stroke atau tumor intrakranial. Biasanya timbul secara mendadak,
penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu
bangun pagi, bercermin atau saat sikat gigi, berkumur atau diberitahukan oleh orang
14
lain bahwa salah satu sudut mulut penderita lebih rendah. Bell’s palsy hampir selalu
unilateral, namun pernah dilaporkan terjadi secara bilateral.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata mereka.
Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air
mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan
terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat dari lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
Mata kering.
Hiperakusis: Kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga akibat
peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain paralisis
wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus fasialis tidak mengalami
gangguan.
Definisi klasik Bell’s palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari
nervus fasialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus
fasialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan gambaran
gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke
wajah bagian lateral.
Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus fasialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan
15
dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis,
frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti
mengenai pola paralisis wajah.
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya normal.
Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami komplikasi.
c. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat
dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes atau
16
tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak
dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.
d. Pemeriksaan radiologi.
palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien-pasien
dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila
tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan
membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya
Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma
maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.(1-8)
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada Bell’s palsy dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
dengan terapi antivirus, kortikosteroid, rehabilitasi medis, maupun tindakan operatif.
17
Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Bell’s palsy(8)
a. Terapi medikamentosa
1. Agen antiviral.
Hampir semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom
virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen
antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, pemberian
antivirus merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan. Acyclovir
400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s
palsy. Akan tetapi, penelitian saat ini menunjukkan bahwa pengobatan
18
Bell’s palsy menggunakan antivirus tidak memberikan hasil akhir yang
lebih baik pada penderita Bell’s palsy, baik penggunaan antiviral sebagai
monoterapi ataupun sebagai terapi kombinasi dengan steroid.(2,8)
Penelitian Numthavaj P et al menyimpulkan dalam mengobati Bell’s
palsy dengan antiviral ditambah kortikosteroid dapat menyebabkan tingkat
pemulihan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan mengobati dengan
prednison saja tapi ini tidak cukup bermakna secara statistik, prednisone
merupakan pengobatan berbasis bukti terbaik. (2,8)
Berbeda dengan Frank M et al yang menyatakan pasien dengan
Bell’s palsy, perawatan dini dengan prednisolon secara signifikan
meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada 3 dan 9 bulan. Tidak
ada bukti dari manfaat mengingat pengobatan tunggal atau manfaat
tambahan dalam kombinasi dengan prednisolon atau asiklovir. (2,8)
Goudakos JK and Markou KD pada penelitian meta-analisis,
berdasarkan bukti yang tersedia menunjukkan bahwa agen antivirus untuk
kortikosteroid pengobatan Bell’s palsy tidak terkait meningkat dalam
tingkat pemulihan lengkap dari fungsi motorik wajah.(2,8)
19
Tabel 1. Farmakologi dan Farmakodinamik Acyclovir
Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan
langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi
secara selektif.
Dosis dewasa 4000 mg peroral jam dibagi menjadi 5 dosis/hari selama 10 hari.
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang
bersifat nefrotoksik.
2. Kortikosteroid.
Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk
memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk
menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Penelitian
saat ini juga menyebutkan bahwa pemberian prednisone sebagai
kortikosteroid selama 10 hari menyebabkan pemulihan Bell’s palsy lebih
baik dibandingkan dengan pemberian plasebo dalam 1 sampai 3 bulan.
Baugh et al melakukan suatu penelitian secara metaanalisis dan
mendapatkan bahwa Prednison dengan dosis besar setidaknya selama 5 hari
pertama (25mg dua kali sehari selama 10 hari atau pemberian 60mg/ hari
selama 5 hari lalu dilakukan tapering off) selama 3 hari pertama onset
20
meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Pemberian terapi setelah 3 hari
paska onset belum memberikan hasil yang jelas.
Dosis dewasa 25 mg/ dua kali sehari peroral selama 10 hari atau 60mg/hari
selama 5 hari lalu dilakukan tappering off.
Kehamilan B
21
b. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda
asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air
mata yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun
jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya
adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami
kontak langsung dengan kornea.
c. Rehabilitasi medik
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan
guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan
penyandang cacat mencapai integritas sosial.
22
melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan
adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik
prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak
berperan. (2)
1) Program Fisioterapi
Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses
regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan
faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari
aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
23
2) Program Terapi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah.
Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk
permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi
penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan
berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,
latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin. (2,4,8)
3) Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari
pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja
dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan
menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja
pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah
biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau
melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan
penderita. (2,4,8)
4) Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat
menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita
muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia
sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat
diperlukan. (2,4,8)
5) Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut
mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu
diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y”
plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada
penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya
kontraktur. (2,4,8)
24
d. Operatif
Indikasi terapi operatif yaitu:(2)
25
a. Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang
salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke
kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
b. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri,
selalu timbul gerakan bersama. Contohnya yaitu:
Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter)
elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.
Pada saat meperlihatkan gigi (menyeringai), maka mata penderita pada sisi
sakit manjadi tertutup.
Bila penderita menggerakkan suatu bagian wajahnya, maka semua otot wajah
pada sisi lumpuh manjadi kontraksi.
Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah/keliru.
c. Clonic fasial spasm (Hemifacial spasm)
Timbul “kedutan” (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)
pada wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1 sisi wajah saja tetapi
kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya. Bila mengenai kedua sisi
wajah, maka tidak terjadi bersamaan pada kedua sisi wajah.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi
ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan
atau 1-2 tahun kemudian. Kecuali sebagai komplikasi bell’s palsy, maka hemifacial
spasm dapat disebabkan oleh kompresi N.VII oleh tumor atau aneurisme pada
daerah sudut serebelo pontis atau lengkungan arteri serebeler antero inferior yang
berlebihan atau arteri auditorius internus.
d. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih
jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila
26
kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah
istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.
e. Regenerasi sensorik yang tidak sempurna
Kelainan yang dapat timbur antara lagi ageusia, disgeusia, ataupun kelainan
pendengaran yang menetap.(1-2,4)
2.10. Prognosis
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
27
BAB III
KESIMPULAN
Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut
dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema
dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. 2. Ada beberapa teori
yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu teori iskemik vaskuler, teori infeksi
virus, teori herediter, teori imunologi.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi
akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah
sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan
antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Antara 80-85%
penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan. Paralisis ringan atau sedang pada
saat gejala awal terjadi merupakan tanda prognosis baik sehingga prognosis pasien dengan
Bell’s palsy relatif baik meskipun pada beberapa pasien gejala sisa dan rekurensi dapat
terjadi.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and Victor’s
Principles of Neurology.8th ed. New York : McGraw Hill,2005.p.1181-4.
2. Taylor DC, Zachariah, S., Khoromi, S. Bell’s Palsy. in: Benbadis SR, editor. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed on: March 16th, 2016
3. Bell’s palsy. Available at: http://www.nhs.uk/Conditions/Bells-
palsy/Pages/Symptoms.aspx. Accessed on: March 16th, 2016
4. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, de Vincentiis M. Bell's palsy and
autoimmunity. Elsevier: Autoimmunity Reviews 2012:12:323–328.
5. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2008.p.59-68.
6. Mardjono M. Sidharta P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5th ed.
Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005.p.159-63.
7. Baehr M, Frotscher. Facial Nerve and Nervus Intermedius. M. Duus’ Topical Diagnosis in
Neurology. Stuttgart: Thieme, 2005.p.167-74.
8. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, Schwartz SR, Drumheller CM, Burkholder R, et al.
Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy. SAGE: American Academy of Otolaryngology—
Head and Neck Surgery Foundation 2013:149:1-27.
29