Anda di halaman 1dari 4

4.

Prosedur Mereorganisasi Kurikulum

Terdapat beberapa cara untuk mereorganisasi kurikulum, yaitu sebagai berikut

a. Reorganisasi Melalui Buku Pelajaran

Buku pelajaran merupakan sumber belajar yang penting bagi peserta didik dalam
mempelajari suatu isi kurikulum. Peserta didik harus lebih banyak belajar melalui buku pelajaran
daripada apa yang diajarkan guru di dalam kelas. Jika buku pelajaran itu sudah ketinggalan,
berarti sekolah tersebut juga ketinggalan. Oleh sebab itu, sangat penting mereorganisasi
kurikulum melalui buku pelajaran di sekolah. Asumsi prosedur ini adalah buku pelajaran disusun
oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Penulis buku pelajaran tentunya menggunakan
berbagai sumber bacaan lain untuk dipelajari oleh peserta didik. Mengingat sumber bacaan yang
digunakan berbeda-beda, maka sekolah harus selektif di dalam mereorganisasi kurikulum
melalui buku pelajaran ini. Jika perlu, sekolah membentuk tim khusus untuk menyeleksi buku
pelajaran tersebut. Jika guru kurang hati-hati dalam memilih buku bacaan, maka dapat berakibat
rusaknya pengetahuan yang diperoleh peserta didik.

b. Reorganisasi dengan Cara Tambal Sulam

Jika disekolah lain memiliki suatu kurikulum yang dianggap baik, kurikulum tersebut dapat
diambil untuk dipelajari. Apabila baik, kurikulum tersebut dapat diambil dipelajari. Apabila
sesuai dengan kondisi dan tujuan sekolah, kurikulum tersebut dapat ditambahkan pada kurikulum
yang ada. Dengan demikian, kurikulum sekolah menjadi kaya dengan program-program terbaik
dan berusaha menghilangkan program yang dianggap kurang baik. Sering terjadi sekolah sukar
membuang program yang kurang baik tersebut, akibatnya program sekolah semakin banyak dan
kurang menunjukkan kesatuan. Pemilihan bahan perlu dikaitkan dengan keseluruhan program
sekolah, sehingga hasil tambal sulam tersebut betul-betul dapat memperbaiki kurikulum yang
ada.

c. Reorganisasi Melalui Analisis Kegiatan

Kurikulum merupakan pengalaman yang diberikan kepada peserta didik agar mencapai
kehidupan seperti orang dewasa. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan analisis kegiatan
kehidupan orang dewasa dan hasilnya dijadikan bahan pelajaran untuk peserta didik. Franklin
Bobbit melakukan analisis kegiatan, yang meliputi kegiatan berbahasa sebagai komunikasi
sosial, kegiatan kesehatan, kegiatan kewarganegaraan, kegiatan sosial, kegiatan rekresi, kegiatan
memelihara kesehatan jiwa, kegiatan keagamaan, kegiatan keluarga, kegiatan non-vokasional,
dan kegiatan kerja yang sesuai dengan panggilan hati. Melalui prosedur ini diharapkan bahan
pelajaran dapat diarahkan pada kegiatan kehidupan nyata.

d. Reorganisasi Melalui Fungsi Sosial

Prosedur ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu Pertama; merumuskan strategi fungsi sosial
yang meliputi: bagaimana hidup yang ideal, merumuskan sifat atau hakikat individu dalam
kehidupan sosial, mengemukakan sifat-sifat belajar, dan merumuskan peranan sekolah tertentu
dalam kehidupan sosial. Kedua; merumuskan ruang lingkup fungsi kehidupan sosial berdasarkan
kriteria tertentu, yang meliputi hidup dalam lingkungan keluarga, kehidupan waktu senggang,
kehidupan sebagai warga negara, kehidupan kelompok yang terorganisasi, kehidupan sebagai
konsumen, kehidupan sebagai produsen, kehidupan berkomunikasi, dan kehidupan transformasi.

e. Reorganisasi Melalui Survei Pendapat

Cara ini dilakukan melalui survey terhadap berbagai pendapat dari berbagai pihak, seperti
peserta didik, orang tua, guru, pengawas, kepala sekolah, tokoh, masyarakat, dan mitra sekolah.

f. Reorganisasi Melalui Studi Kesalahan

Prosedur ini dilakukan melalui analisis kesalahan dan kekurangan terhadap proses dan hasil
kegiatan kurikuler

g. Reorganisasi Melalui Analisis Masalah Remaja

Ross Moaney dan kawan-kawan menganalisis 330 masalah kebutuhan remaja yang dibagi
menjadi 11 kelompok, yaitu perkembangan jasmani dan kesehatan; biaya hidup dan pekerjaan;
kegiatan sosial dan rekreasi; berkeluarga, menikah dan seks; hubungan sosial secara psikologi;
hubungan pribadi; moral dan keagamaan; rumah tangga; dan kerabat; pendidikan dan kerja sama;
penyesuaian terhadap pekerjaan sekolah; kurikulum dan prosedur pembelajaran
5. Isu-Isu dalam Organisasi Kurikulum

Beberapa pakar disiplin ilmu banyak menemukan bentuk atau model organisasi
kurikulum yang berbeda sehingga sulit untuk menghubungkan antara bentuk yang satu dengan
bentuk lainnya. Upaya untuk mengintegrasikan berbagai konsep dari berbagai disiplin ilmu
dalam kurikulum terpadu dinilai kurang berhasil karena kurang menarik minat peserta didik.
Pada tahun 1960-an pernah dilakukan terobosan pertama kurikulum terpadu melalui perluasan isi
kurikulum yang memasukkan disiplin ilmu baru, tetapi tujuan kurikulumnya tidak terintegrasi,
akibatnya kurikulum tersebut hanya bersifat fragmentasi. Kurikulum pun mendapat kritikan yang
tajam dari berbagai pihak.

Untuk menjawab kritikan yang bersifat frgmentasidan tidak relevan tersebut, Peter B.
Dow (1975) telah melaporkan hasil penelitiannya tentang kurikulum terpadu. Dow bersama
Education Center mencoba mengorganisasikan kesempatan belajar yang dihubungkan dengan
minat dan bakat peserta didik, pemeliharaan, rasa cinta kasih, ekspresi takut atau marah,
perselisihan orang tua, dan sebagainya. Selanjutnya, Dow menentukan isi dari berbagai disiplin
ilmu (biologi, antropologi, psikologi, sosiologi, dan linguistic). Tujuannya adalah untuk
membantu peserta didik memenuhi kebutuhan dan minatnya serta dalam waktu yang bersamaan
peserta didik dapat memahami keunggulannya sendiri, hubungan dengan keluarga dan
kebudayaan, termasuk juga menyatukan ras manusia secara keseluruhan. Meskipun demikian,
tidak ada satu disiplin ilmu yang dapat menjawab semua persoalan kehidupan. Begitu juga
sebaliknya, tidak semua persoalan kehidupan dapat dicakup hanya oleh satu disiplin ilmu.
Konsekuensinya adalah setiap peserta didik harus berusaha dan mencoba mempelajari masalah
pribadi dan sosial dalam berbagai perspektif, karena tak seorang pun yang mampu mengatasi
masalah secara memuaskan.

Salah satu alternative pemecahan masalahnya adalah melupakan semua bentuk organisasi
kurikulum sebagai suatu cara untuk memengaruhi peserta didik. Bahan pelajaran disusun secara
hati-hati, disederhanakan dan dihubungkan dengan hal-hal yang menarik minat peserta didik.
Secara individual, peserta didik dapat melakukan berbagai cara untuk mencari pengalaman
sendiri. Peserta didik diberi tanggung jawab sendiri untuk memperoleh kesempatan sendiri.
Peserta didik diberi tanggung jawab sendiri untuk memperoleh kesempatan belajar. Hal semacam
ini dapat memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk mengemukakan pertanyaan sendiri,
mencari jawaban, dan membuat sintesis sendiri, dan mendapat kepuasan sendiri. Untuk
mengorganisasi pengalaman sendiri, ada tiga hal yang dapat dilakukan, yaitu (a) peserta didik
menentukan dan merumuskan sendiri pertanyaan menurut urutan yang diinginkannya, (b) guru
menyiapkan bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik dan mengatur waktu
penyampaiannya, dan (c) peserta didik mengajukan pertanyaannya sendiri kepada guru.

Persepsi orang terhadap organisasi kurikulum sangat beragam. Ada yang mengatakan
bahwa organisasi kurikulum hanya untuk mempersiapkan peserta didik menguasai bahan
pelajaran yang bersifat menyeluruh sekalipun bahan pelajaran tersebut belum tentu cocok dengan
system pembelajaran yang adaptif. Pengembang kurikulum kurang memperhatikan bentuk
organisasi kurikulum tetapi lebih berorientasi kepada makna organisasi secara khusus.
Pengembang kurikulum agak kurang terkesan dengan aturan-aturan organisasi kurikulum
terpadu. Sebaliknya, pengembang kurikulum terpadu sebagai orang yang humanis dan ahli
pendidikan umum, kurang mempercayai berbagai urutan yang diatur dalam mata pelajaran atau
bidang studi. Frank Musgrove (1973) mengemukakan bahwa politis dalam kurikulum terpadu.
Dia juga tidak setuju terhadap analisis sosial yang melihat homogenisasi sebagai suatu tren baru.
Menurutnya, masyarakat lebih bersifat terkotak-kotak, bagian demi bagian, diferensiasi, dan
diversifikasi. Organisasi kurikulum hendaknya bersifat improvisasional.

Anda mungkin juga menyukai