Anda di halaman 1dari 101

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan dinamika kependudukan,

epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, serta globalisasi dan demokratisasi dengan semangat

kemitraan, kerja sama lintas sektoral serta mendorong peran serta aktif

masyarakat. Melalui Visi, Misi Masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan,

Untuk mencapai masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan ditempuh

melalui. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan

masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani, Melindungi kesehatan

masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna,

merata, bermutu, dan berkeadilan, Menjamin ketersediaan dan pemerataan

sumberdaya kesehatan, Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.

(Kementerian kesehatan 2015). Salah satu penyakit infeksi saluran pencernaan

adalah gastroenteritis akut. Gastroenteritis akut adalah peradangan akut lapisan

lambung dan usus yang ditandai dengan anoreksia, rasa mual, nyeri abdomendan diare.

Gastroenteritis sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di

negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit ini masih sering

menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam

waktu yang singkat. Gastroenteritis akut juga sering disebut flu perut tetapi

penyakit ini tidak disebabkan oleh virus influenza. Virus yang dapat menyebabkan

gastroenteritis akut meliputi rotaviruses, adenoviruses, caliciviruses, astroviruses,


2

norwalk virus dan sekelompok noroviruses. Gastroenteritis akut juga disebabkan

oleh bakteri dengan gejala utama gastroenteritis akut yaitu seperti muntah-

muntah, sakit kepala, demam, dan kadang-kadang abdominal cramps (Powel,

2003).

Penyakit gastroentritis (GE) merupakan peradangan pada lambung dan

usus yang ditandai dengan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah dan

sering kali disertai peningkatan suhu tubuh. Diare yang dimaksudkan adalah

buang air besar berkali-kali (dengan jumlah yang melebihi 4 kali, dan bentuk feses

yang cair, dapat disertai dengan darah atau lendir. (Suratun, 2015). Gastroenteritis

atau diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab

gastroenteritis yang terbanyak adalah gastroenteritis infeksi. Gastroenteritis atau

diare infeksi dapat disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Fenomena yang terjadi

di Ruang Cempaka RSUD Sampang dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan

didapatkan bahwa anak yang di diagnosa gastroentritis (GE) mengalami masalah

keperawatan hipertermi.

Menurut World Health Organization (WHO), tahun 2015 sebanyak 2.35

juta kasus telah dilaporkan dari Amerika, dimana 37.687 kasus merupakan

merupakan gastroentritis (GE) berat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia tahun 2015 mulai periode Januari sampai Juli kasus

gastroentritis (GE) sebesar 48.905 penderita. Meningkat pada tahun 2016 dimana

tercatat penderita gastroentritis (GE) di 34 Provinsi di Indonesia sebanyak 71.668

orang dan 641 diantaranya meninggal dunia. Berdasarkan data internal

pencegahan dan pengendalian penyakit (P2P), pada tahun 2016 penderita

gastroentritis (GE) di 34 Provinsi di Indonesia sebanyak 129.179 orang dimana


3

1.240 diantaranya meninggal dunia. Dan di Provinsi Jawa Timur selama bulan

Januari 2016 kasus gastroentritis (GE) terjadi di 37 Kabupaten, dengan total

jumlah sebanyak 3.136 kasus gastroentritis (GE) dengan angka kematian

sebanyak 52 kasus. Menurut Dinas Kesehatan (DinKes) Kabupaten Sampang

jumlah penderita gastroentritis (GE) tahun 2018 dalam tiga bulan terakhir

sebanyak 63 penderita. Rata-rata penderita gastroentritis (GE) di dominasi oleh

anak-anak dan balita. Penyakit gastroentritis (GE) disebabkan oleh infeksi virus,

bakteri, atau parasit. Biasanya infeksi ini menyebar melalui makanan atau

minuman yang telah terkontaminasi. Infeksi virus yang paling sering

menyebabkan infeksi yaitu norovirus dan rotavirus. Pada kasus yang jarang,

bakteri penyebab infeksi adalah E. coli dan Salmonella. Biasanya bakteri ini

ditemukan pada daging unggas mentah atau telur yang terkontaminasi (Sinaga,

2011). Pada saat ini manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala panas atau

demam, demam yang terjadi pada infeksi virus, bakteri, atau parasit ini timbulnya

mendadak tinggi (dapat mencapai 39-40°C) berlangsung 2-7 hari dan disertai

dengan menggigil, tidak mau bermain, nafsu makan menurun, mual, nyeri pada

seluruh tubuh dan ruam. Hipertermi Adalah suatu masalah yang harus ditangani

terutama pada anak dan bayi, maka apabila terjadi demam harus segera diatasi,

demam yang tidak segera diatasi atau berkepanjangan akan berakibat fatal, seperti

halnya bisa menyebabkan kejang demam pada anak, dehidrasi bahkan terjadi

syok, dan gangguan tumbuh kembang pada anak. Salah satu upaya untuk

menurunkan suhu tubuh yaitu sponge bath tindakan ini merupakan suatu

prosedur untuk meningkatkan kontrol kehilangan panas tubuh melalui evaporasi

dan konduksi, yang biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami demam
4

tinggi. Tujuan dilakukan tindakan yaitu untuk menurunkan suhu tubuh pada

pasien yang mengalami hipertermi (Hidayati, 2014). Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Roihatul dan Ni’matul Khasanah (2017) pada anak usia prasekolah

dan sekolah yang mengalami demam di ruang perawatan anak Rumah Sakit

Muhammadiyah Gersik menunjukkan bahwa pemberian antipiretik yang disertai

sponge bath mengalami penurunan suhu yang lebih besar jika dibandingkan

dengan pemberian antipiretik saja. Berdasarkan fenomena dan data diatas peneliti

tertarik untuk meneliti tentang asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami

gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD Kabupaten

Sampang.

1.2 Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan pada Anak

yang mengalami gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD

Kabupaten Sampang.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami

gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD Kabupaten

Sampang?
5

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Melaksanakan asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami

gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD Kabupaten

Sampang.

1.4.2 Tujuan Khusus

1) Melakukan pengkajian pada asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami

gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD Kabupaten

Sampang.

2) Menetapkan diagnosa pada asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami

gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD Kabupaten

Sampang.

3) Menyusun perencanaan pada asuhan keperawatan pada Anak yang

mengalami gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD

Kabupaten Sampang.

4) Melaksanakan tindakan pada asuhan keperawatan pada Anak yang

mengalami gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD

Kabupaten Sampang.

5) Melakukan evaluasi pada asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami

gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD Kabupaten

Sampang.
6

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Teoritis

Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang cara pemberian

asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami gastroentritis (GE) dengan

hipertermi di Ruang Cempaka RSUD Kabupaten Sampang.

1.5.2 Manfaat Praktis

1) Bagi perawat

Diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan secara

mandiri pada pasien dengan gastroentritis (GE) dengan terapi nonfarmakologi

sponge bath terhadap hipertermi.

2) Bagi Rumah Sakit Kabupaten Sampang

Diharapkan dapat menambah bahan masukan dan informasi bagi perawat

yang ada di RS dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada anak yang

menglami gastroentritis (GE) dengan terapi nonfarmakologi sponge bath terhadap

hipertermi.

3) Bagi Institusi Pendidikan Nazhatut Thullab Sampang

Diharapkan dapat menambah salah satu wacana dan tambahan informasi

tentang salah satu tindakan mandiri perawat dalam pemberian terapi

nonfarmakologi untuk mengatasi hipertermi dengan sponge bath yang bisa

diaplikasikan di Rumah Sakit.

4) Bagi klien dan keluarga

Diharapkan dapat menambah informasi pada pasien dan keluarga tentang cara

mengatasi hiperthermi pada anak dalam pemberian terapi nonfarmakologi dengan

sponge bath yang bisa diaplikasikan secara mandiri, efektif dan efisien.
7

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Medis GE (gastroentritis)

2.1.1 Definisi

Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan

elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih

buang air dengan bentuk tinja yang encer dan cair (Suriadi,2010).

Gastroenteritis adalah peradangan akut lapisan lambung dan usus yang di

tandai denagn anoreksia, rasa mual, nyeri abdomen dan diare (Edelwz, 2009).

Gastroenteritis adalah Suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau

tidak seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume, keenceran, serta

frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan

atau tanpa lendir darah (Aziz, 2006).

Gastroenteritis adalah Penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi

defikasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja

(menjadi cair) dengan/tanpa darah atau lendir (Suratmaja, 2005).

Berdasarkan defenisi penyakit gastroenteritis menurut para ahli maka

penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa penyakit gastroenteritis

adalah meningkatnya frekwensi buang air besar dimana pada bayi > 4x/ hari

dan pada anak >3x/ hari dengan konsistensi tinja encer, cair, dapat disertai

lendir dan darah yang dapat menyebabkan terjadinya kekurangan cairan dan

elektrolit yang berlebihan.


8

2.1.2 Anatomi & Fisiologi Gastroentritis

Gambar 2.1.
Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaaan

1) Anatomi

Menurut Syaifuddin, ( 2003 ), susunan pencernaan terdiri dari :

a) Mulut

(1) Bagian luar yang sempit / vestibula yaitu ruang diantara gusi, gigi,

bibir, dan pipi.

(a) Bibir

Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam

d tutupi oleh selaput lendir (mukosa). Otot orbikularis oris

menutupi bibir. Levator anguli oris mengakat dan depresor anguli

oris menekan ujung mulut.


9

(b) Pipi

Di lapisi dari dalam oleh mukosa yang mengandung papila, otot

yang terdapat pada pipi adalah otot buksinator.

(c) Gigi

Bagian keras yang terdapat di dalam mulut dari banyak vertebrata.

Mereka memiliki struktur yang bervariasi yang memungkinkan

mereka untuk melakukan banyak tugas.

(2) Bagian rongga mulut atau bagian dalam yaitu rongga mulut yang

di batasi sisinya oleh tulang maksilaris palatum dan mandibularis di

sebelah belakang bersambung dengan faring.

(a) Palatum

Terdiri atas 2 bagian yaitu palatum durum (palatum keras) yang

tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah tulang maksilaris

dan lebih kebelakang yang terdiri dari 2 palatum. Palatum mole

(palatum lunak) terletak dibelakang yang merupakan lipatan

menggantung yang dapat bergerak, terdiri atas jaringan fibrosa

dan selaput lendir.

(b) Lidah

Terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir,

kerja otot lidah ini dapat digerakkan ke segala arah. Lidah dibagi

atas 3 bagian yaitu : Radiks Lingua = pangkal lidah, Dorsum

Lingua = punggung lidah dan Apek Lingua + ujung lidah. Pada

pangkal lidah yang kebelakang terdapat epligotis. Punggung lidah

(dorsum lingua) terdapat puting- puting pengecapatau ujung saraf


10

pengecap. Fenukun Lingua merupakan selaput lendir yang

terdapat pada bagian bawah kira-kira ditengah-tengah, jika tidak

digerakkan ke atas nampak selaput lendir.

(c) Kelenjar Ludah

Merupakan kelenjar yang mempunyai ductus bernama ductus

wartoni dan duktus stansoni. Kelenjar ludah ada 2 yaitu kelenjar

ludah bawah rahang (kelenjar submaksilaris) yang terdapat di

bawah tulang rahang atas bagian tengah, kelenjar ludah bawah

lidah (kelenjar sublingualis) yang terdapat di sebelah depan di

bawah lidah. Di bawah kelenjar ludah bawah rahang dan kelenjar

ludah bawah lidah di sebut koronkula sublingualis serta hasil

sekresinya berupa kelenjar ludah (saliva). Di sekitar rongga mulut

terdapat 3 buah kelenjar ludah yaitu kelenjar parotis yang

letaknya dibawah depan dari telinga di antara prosesus mastoid

kiri dan kanan os mandibular, duktusnya duktus stensoni, duktus

ini keluar dari glandula parotis menuju ke rongga mulut melalui

pipi (muskulus buksinator). Kelenjar submaksilaris terletak di

bawah rongga mulut bagian belakang, duktusnya duktus watoni

bermuara di rongga mulut bermuara di dasar rongga mulut.

Kelenjar ludah di dasari oleh saraf-saraf tak sadar.

b) Faring (tekak)

Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan

kerongkongan (esofagus), di dalam lengkung faring terdapat tonsil

(amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung


11

limfosit.

c) Esofagus

Panjang esofagus sekitar 25 cm dan menjalar melalui dada dekat dengan

kolumna vertebralis, di belakang trakea dan jantung. Esofagus

melengkung ke depan, menembus diafragma dan menghubungkan

lambung. Jalan masuk esofagus ke dalam lambung adalah kardia.

d) Gaster ( Lambung )

Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling banyak

terutama didaerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas fundus

uteri berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik, terletak

dibawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah

kiri fudus uteri.

e) Intestinum minor ( usus halus )

Adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada

pylorus dan berakhir pada seikum, panjang + 6 meter. Perbatasan usus

halus dan kolon terdapat katup ileosekalis yang berfungsi mencegah

aliran feses ke dalam usus halus. Derajat kontraksi sfingter iliosekal

terutama diatur oleh refleks yang berasal dari sekum. Refleksi dari

sekum ke sfingter iliosekal ini di perantarai oleh pleksus mienterikus.

Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat

diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang

melumasi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan- pecahan

makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil

enzim yang mencerna protein, gula, dan lemak. Iritasi yang sangat kuat
12

pada mukosa usus,seperti terjadi pada beberapa infeksi dapat

menimbulkan apa yang dinamakan ”peristaltic rusrf” merupakan

peristaltik sangat kuat yang berjalan jauh pada usus halus dalam beberapa

menit. intesinum minor terdiri dari :

(1) Duodenum ( usus 12 jari )

Panjang + 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiru. Pada

lengkungan ini terdapat pankreas. Dan bagian kanan duodenum ini

terdapat selaput lendir yang membuktikan di sebut papila vateri.

Pada papila veteri ini bermuara saluran empedu ( duktus koledukus )

dan saluran pankreas ( duktus pankreatikus ).

(2) Yeyenum dan ileum

Mempunyai panjang sekitar + 6 meter. Dua perlima bagian atas

adalah yeyenum dengan panjang ± 2-3 meter dan ileum dengan

panjang ± 4 – 5 meter. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada

dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum

yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Akar

mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang

arteri dan vena mesentrika superior, pembuluh limfe dan saraf ke

ruang antara 2 lapisan peritoneum yang membentuk mesenterium.

Sambungan antara yeyenum dan ileum tidak mempunyai batas yang

tegas. Ujung bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan

seikum dengan perataraan lubang yang bernama orifisium

ileoseikalis, orifisium ini di perkuat dengan sfingter ileoseikalis dan

pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukini.
13

Mukosa usus halus. Permukaan epitel yang sangat luas melalui

lipatan mukosa dan mikrovili memudahkan pencernaan dan absorbsi.

Lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan submukosa yang dapat

memperbesar permukaan usus. Pada penampangan melintang vili di

lapisi oleh epiel dan kripta yang menghasilkan bermacam-macam

hormon jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam

pencernaan.

f) Intestinium Mayor ( Usus besar )

Panjang ± 1,5 meter lebarnya 5 – 6 cm. Lapisan–lapisan usus besar

dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot

memanjang, dan jaringan ikat. Lapisan usus besar terdiri dari :

(1) Seikum

Di bawah seikum terdapat appendiks vermiformis yang berbentuk

seperti cacing sehingga di sebut juga umbai cacing, panjang 6 cm.

(2) Kolon asendens

Panjang 13 cm terletak di bawah abdomen sebelah kanan membujur

ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati membengkak ke kiri,

lengkungan ini di sebut Fleksura hepatika, di lanjutkan sebagai

kolon transversum.

(3) Appendiks ( usus buntu )

Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari akhir

seikum.

(4) Kolon transversum

Panjang ± 38 cm, membunjur dari kolon asendens sampai ke kolon


14

desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat

fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura linealis.

(5) Kolon desendens

Panjang ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membunjur

dari atas ke bawah dari fleksura linealis sampai ke depan ileum kiri,

bersambung dengan kolon sigmoid.

(6) Kolon sigmoid

Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring dalam

rongga pelvis sebelah kiri, bentuk menyerupai huruf S. Ujung

bawahnya berhubung dengan rectum. Fungsi kolon : Mengabsorsi air

dan elektrolit serta kimus dan menyimpan feses sampai dapat

dikeluarkan.

g) Rektum dan Anus

Terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum

mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan

os koksigis. Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang

menghubungkan rectum dengan dunia luar ( udara luar ). Terletak di

antara pelvis, dindingnya di perkuat oleh 3 sfingter :

(1) Sfingter Ani Internus

(2) Sfingter Levator Ani

(3) Sfingter Ani Eksternus


15

2.1.3 Etiologi

Gastroenteritis bukanlah penyakit yang datang dengan sendirinya. Biasanya

ada yang menjadi pemicu terjadinya gastroenteritis. Secara umum, berikut ini

beberapa penyebab gastroenteritis menurut Rofiq (2007), yaitu :

1) Infeksi oleh bakteri, virus atau parasit

2) Alergi terhadap makanan atau obat tertentu

3) Infeksi oleh bakteri atau virus yang menyertai penyakit lain seperti : campak,

infeksi telinga, infeksi tenggorokan, dan malaria.

4) Pemanis buatan, makanan yang tidak dicerna dan tidak diserap usus akan

menarik air dari dinding usus. Dilain pihak, pada keadaan ini proses transit di

usus menjadi sangat singkat sehingg air tidak sempat diserap oleh usus besar.

Hal inilah yang menyebabkan tinja berair pada gastroenteritis. Selain rotavirus,

gastroenteritis juga disebabkan akibat kurang gizi, alergi, tidak tahan terhadap

laktosa, dan sebagainya. Bayi dan balita banyak yang memiliki intoleransi

terhadap laktosa dikarenakan tubuh tidak punya atau hanya sedikit memiliki

enzim laktosa yng berfungsi mencerna laktosa yang terkandung susu sapi.

5) Faktor Psikologis : Rasa takut dan cemas (jarang tetapi dapat terjadi pada anak

yang lebih cemas).


16

Menurut Suratmadja (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

gastroenteritis dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Keadaan Hygiene & Sosial Penderita Meninggal


Sanitasi Budaya Gastroent
Gizi eritis

Kuman/
Penyebab Masyarakat Carier
Penyakit
gastroenteriti
s
Keadaan Sosial Lain-lain
Penduduk EKonomi faktor
Sumber : Suratmaja, 2005

2.1.4 Pencegahan Diare

Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006)

adalah sebagai berikut:

1) Pemberian ASI

ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi

dan zat- zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan

terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif

mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada

pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi-bayi

yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare (Depkes RI,

2006). Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama

kehidupan resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu

formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu

formula biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga bisa

mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2006).


17

2) Pemberian Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai

dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan

masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan

pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare

ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian (Depkes RI, 2006).

Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan

pendamping ASI yang lebih baik yaitu :

a) Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi

masih meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan

sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih

sering (4 kali sehari) setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua

makanan yang dimasak dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan

pemberian ASI bila mungkin

b) Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-

bijian untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging,

kacang–kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam

makanannya. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan

menyuapi anak, serta menyuapi anak dengan sendok yang bersih.

c) Memasak atau merebus makanan dengan benar, menyimpan sisa

makanan pada tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar

sebelum diberikan kepada anak (Depkes RI, 2006)


18

3) Menggunakan air bersih yang cukup

Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur

fecal-oral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut,

cairan atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari

tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar

(Depkes RI, 2006).

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih

mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan

masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Depkes RI, 2006).

Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan

menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi

mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2006).

Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah:

a) Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia.

b) Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan,

membuat lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber

yang digunakan serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas

sumber untuk menjauhkan air hujan dari sumber.

c) Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan

gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air.

4) Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting

dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan

dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja
19

anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan

sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes RI,2006).

5) Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan

jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap

penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat

jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban (Depkes RI, 2006).

Yang harus diperhatikan oleh keluarga :

a) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat

dipakai oleh seluruh anggota keluarga.

b) Bersihkan jamban secara teratur.

c) Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang

air besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan

setapak dan tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari

sumber air, hindari buang air besar tanpa alas kaki. (Depkes RI, 2006)

6) Membuang Tinja Bayi yang Benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya. Hal ini

tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anakanak

dan orangtuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar, berikut

hal-hal yang harus diperhatikan:

a) Kumpulkan tinja anak kecil atau bayi secepatnya, bungkus dengan daun

atau kertas koran dan kuburkan atau buang di kakus.

b) Bantu anak untuk membuang air besarnya ke dalam wadah yang bersih

dan mudah dibersihkan. Kemudian buang ke dalam kakus dan bilas


20

wadahnya atau anak dapat buang air besar di atas suatu permukaan

seperti kertas koran atau daun besar dan buang ke dalam kakus.

c) Bersihkan anak segera setelah anak buang air besar dan cuci

tangannya(Depkes RI, 2006)

7) Pemberian Imunisasi Campak

Diare sering timbul menyertai campak sehingga pemberian imunisasi campak

juga dapat mencegah diare oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera

setelah berumur 9 bulan (Depkes RI, 2006). Anak harus diimunisasi terhadap

campak secepat mungkin setelah usia 9 bulan. Diare dan disentri sering

terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang sedang menderita campak

dalam 4 mingggu terakhir. Hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan

tubuh penderita. Selain imunisasi campak, anak juga harus mendapat

imunisasi dasar lainnya seperti imunisasi BCG untuk mencegah penyakit

TBC, imunisasi DPT untuk mencegah penyakit diptheri, pertusis dan tetanus,

serta imunisasi polio yang berguna dalam pencegahan penyakit polio (Depkes

RI, 2006). Pencegahan terhadap diare atau pencarian terhadap pengobatan

diare pada balita termasuk dalam perilaku kesehatan. Adapun perilaku

kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) adalah suatu respon seseorang

(organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta

lingkungan.
21

2.1.5 Klasifikasi

Terdapat beberapa pembagian diare:

1) Berdasarkan lamanya diare:

a) Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.

b) Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan

kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah (failure to

thrive) selama masa diare tersebut (Suraatmaja, 2007).

2) Berdasarkan mekanisme patofisiologik:

a) Diare sekresi (secretory diarrhea)

b) Diare osmotik (osmotic diarrhea)(Suraatmaja, 2007)

2.1.6 Manifestasi Klinis

Infeksi usus menimbulkan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila

terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala

gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut, dan muntah. Sedangkan manifestasi

sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. Penderita dengan diare cair

mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan

bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan

kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan

dehidrasi, asidosis metabolik, dan hipovolemia. Dehidrasi merupakan keadaan

yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps

kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang

terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi

hipertonik atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa

dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat (Juffrie, 2010).
22

Manifestasi Klinik gastroenteritis menurut (Cecyly, Betz.2002) adalah:

1) Konsistensi feces cair (diare) dan frekuensi defekasi semakin sering

2) Muntah (umumnya tidak lama)

3) Demam (mungkin ada, mungkin tidak)

4) Kram abdomen, tenesmus

5) Membrane mukosa kering

6) Berat badan menurun

2.1.7 Tanda – tanda Dehidrasi

Bagian tubuh Nilai untuk gejala yang ditentukan


yang diperiksa 0 1 2
Keadaan Umum Sehat Gelisah, cengeng, Mengigau, koma
apatis, ngantuk atau syok
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun – ubun Normal Sedikit cekung Sangat cekung
besar
Mulut Normal Kering Kering & sianosis
Denyut Kuat >120 Sedang (120-140) Lebih dari 140
nadi/menit
Tabel 2.1 Skor Maurice King (Juffrie & Mulyani, 2016).

Catatan :

1) Untuk menentukan kekenyalan kulit, kulit perut “dicubit” selama 30-60 detik

kemudian dilepas. Jika kulit kembali normal dalam waktu :

a) 2-5 detik : turgor agak kurang (dehidrasi ringan)

b) 5-10 detik : turgor kurang (dehidrasi sedang)

c) >10 detik : turgor sangat kurang (dehidrasi berat)

2) Berdasarkan skor yang ditemukan pada penderita, dapat ditentukan derajat

dehidrasinya :

a) Skor 0-2 : dehidrasi ringan


23

b) Skor 3-6 : dehidrasi sedang

c) Skor >7 : dehidrasi berat

3) Berdasarkan MTBS (manajemen terpadu balita sakit)

a) Dehidrasi

(1) Gelisah rewel/muntah

(2) Mata cekung

(3) Haus, minum dengan lahap

(4) Cubitan kulit perut kembalinya lambat

2.1.8 Patofisiologi

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya gastroenteritis menurut

(Iwansain, 2007) yaitu:

1) Gangguan osmotik

Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan

tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air

dan elektrolit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan

merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul gastroenteritis.

2) Gangguan sekresi

Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi

peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya

timbul gastroenteritis kerena peningkatan isi lumen usus.

3) Gangguan mortilitas usus

Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk

menyerap makanan sehingga timbul gastroenteritis. Sebaliknya bila


24

peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan,

selanjutnya dapat timbul gastroenteritis pula.

2.1.9 Komlikasi

Menurut Nursalam (2008), akibat diare dan kehilangan cairan serta elektrolit

secara mendadak dapat terjadi berbagai komplikasi sebagai berikut:

1) Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, atau hipertonik).

2) Renjatan hipovolemik.

3) Hipokalemia (gejala meteorismus, hipotoni otot lemah, dan bradikardi).

4) Intoleransi sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim

laktose.

5) Hipoglikemia.

6) Kejang, terjadi pada dehidrasi hipertonik.

7) Malnutrisi energi protein (akibat muntah dan diare jika lama atau kronik).

2.1.10 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Davey (2005) pemeriksaan gastroenterititis yang dapat

dilakukan yaitu:

1) Tes darah lengkap, anemia atau trombositosis mengarahkan dugaan adanya

penyakit kronis. Albumim yang rendah bisa menjadi patokan untuk tingkat

keparahan penyakit namun tidak spesifik.

2) Kultur tinja bisa mengidentifikasi organisme penyebab. Bakteri C.difficile

ditemukan pada 5% orang sehat. Oleh karenanya diagnosis di tegakan

berdasarkan adanya gejala disertai ditemukanya toksin, bukan berdasar

ditemukanya organisme saja.Foto polos abdomen, pada foto polos abdomen

bisa terlhat kalsifikasi pankreas, walaupun diduga terjadi insufiensi pankreas,


25

sebaiknya diperiksa dengan endoscopic retrograde

cholangiopancreatography (ERCP) atau CT pancreas.

2.1.11 Penatalaksanaan

Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah

Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS DIARE), yang didukung oleh Ikatan

Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satusatunya

cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat

penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat

diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program LINTAS DIARE

yaitu:

1) Oralit

Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah

tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia

berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit

saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas

yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit

merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan

yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana

kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus. Pemberian oralit

didasarkan pada derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).

a) Diare tanpa dehidrasi

(1) Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret

(2) Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret

(3) Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret


26

b) Diare dengan dehidrasi ringan sedang

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan

selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa

dehidrasi.

c) Diare dengan dehidrasi berat

Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke

Puskesmas untuk di infus. (Kemenkes RI, 2011)

2) Zinc

Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc

dapat menghambat enzim Inducible Nitric Oxide Synthase(INOS), dimana

ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi

epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang

mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare (Kemenkes

RI, 2011). Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama

dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar,

mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada

3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc

segera saat anak mengalami diare. Dosis pemberian Zinc pada balita:

a) Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari

b) Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.

Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara

pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang

atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare (Kemenkes RI, 2011).
27

3) Pemberian ASI/makanan

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada

penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah

berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering

diberi ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari

biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan

makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan

sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian

makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan

berat badan (Kemenkes RI, 2011).

4) Pemberian antibiotika hanya atas indikasi

Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare

pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada

penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek

kolera (Kemenkes RI, 2011). Obat-obatan anti diare juga tidak boleh

diberikan pada anak yang menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat.

Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini

tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan

sebagian besar menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat

fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit

(amuba, giardia) (Kemenkes RI, 2011).

5) Pemberian Nasihat

Menurut Kemenkes RI (2011), ibu atau pengasuh yang berhubungan erat

dengan balita harus diberi nasehat tentang:


28

a) Cara memberikan cairan dan obat di rumah

b) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :

(1) Diare lebih sering

(2) Muntah berulang

(3) Sangat haus

(4) Makan/minum sedikit

(5) Timbul demam

(6) Tinja berdarah


29

2.1.12 Woc GE (gastroentritis)


30

2.2 Konsep Hipertermi & SOP

2.2.1 Definisi Hipertermi

Menurut Wilkinson (2006) hipertermia merupakan keadaan suhu tubuh

seseorang yang meningkat diatas rentang normalnya. Hipertermia terjadi karena

pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh

pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu

hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi (Noer, 2004).

Menurut Potter & Perry (2010) hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh

yang berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas

ataupun mengurangi produksi panas. Suhu rektal >38°C (100,4 F). Suhu inti

(rektal) lebih dapat diandalkan dari pada metode lain pada anak <1 tahun (Lalani,

2011).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hipertermia adalah

keadaan dimana suhu tubuh meningkat diatas rentang normal dan tubuh tidak

mampu untuk menghilangkan panas atau mengurangi produksi panas. Rentang

normal suhu tubuh anak berkisar antara 36,5°C – 37,5°C.

2.2.2 Penyebab

Menurut Nelson (2000) hipertermia disebabkan oleh mekanisme pengatur

panas hipotalamus yang disebabkan oleh meningkatnya produksi panas endogen

(olahraga berat, hipertermia maligna, sindrom neuroleptik maligna,

hipertiroidisme), pengurangan kehilangan panas (memakai selimut berlapis-lapis,

keracunan atropine), atau terpajan lama pada lingkungan bersuhu tinggi (sengatan

panas). Ada juga yang menyebutkan bahwa hipertermia atau demam pada anak

terjadi karena reaksi transfusi, tumor, imunisasi, dehidrasi, dan juga karena
31

adanya pengaruh obat. Menurut Sari Pediatri (2008) tiga penyebab terbanyak

demam pada anak yaitu penyakit infeksi (60% - 70%), penyakit kolagen-vaskular,

dan keganasan. Walaupun infeksi virus sangat jarang menjadi penyebab demam

berkepanjangan, tetapi 20% penyebab adalah infeksi virus. Sebagian besar

penyebab demam padaanak terjadi akibat perubahan titik pengaturan hipotalamus

yang disebabkan adanya pirogen seperti bakteri atau virus yang dapat

meningkatkan suhu tubuh. Terkadang demam juga disebabkan oleh adanya bentuk

hipersensitivitas terhadap obat (Potter & Perry, 2010).

Dari beberapa penyebab hipertermia diatas, dapat disimpulkan bahwa

hipertermia disebabkan karena adanya faktor endogen, pengurangan kehilangan

panas, akibat terpajan lama lingkungan bersuhu tinggi (sengatan panas), ada juga

yang menyebutkan bahwa hipertermia atau demam pada anak terjadi karena

reaksitransfusi, imunisasi, dehidrasi, adanya penyakit, adanya pirogen seperti

bakteri atau virus dan juga karena adanya pengaruh obat.

2.2.3 Batasan Karakteristik

Menurut NANDA (2012) batasan karakteristik pada hipertermia meliputi :

1) Konvulsi

Suatu kondisi medis saat otot tubuh mengalami fluktuasi kontraksi dan

peregangan dengan sangat cepat sehingga menyebabkan gerakan yang tidak

terkendali seperti kejang.

2) Kulit kemerahan

Tanda pada hipertermia seperti kulit kemerahan disebabkan karena adanya

vasodilatasi pembuluh darah.


32

3) Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal

Hal ini berhubungan dengan adanya produksi panas yang berlebih,

kehilangan panas berlebihan, produksi panas minimal, kehilangan panas

minimal, atau kombinasi antara keduanya.

4) Kejang

Kejang terjadi karena adanya peningkatan temperatur yang tinggi sehingga

otot tubuh mengalami fluktuasi kontraksi dan peregangan dengan sangat

cepat sehingga menyebabkan gerakan yang tidak terkendali seperti kejang.

5) Takikardia

Takikardia merupakan tanda-tanda dini dari gangguan atau ancaman syok,

pernapasan yang memburuk, atau nyeri (Wong, 2008).

6) Takipnea

Takipnea merupakan tanda-tanda dini dari gangguan atau ancaman syok,

pernapasan yang memburuk, atau nyeri.

7) Kulit terasa hangat

Fase dingin pada hipertermia akan hilang jika titik pengaturan hipotalamus

baru telah tercapai. Dan selama fase plateau, dingin akan hilang dan anak

akan merasa hangat. Hal ini juga terjadi karena adanya vasodilatasi pembuluh

darah sehingga kulit menjadi hangat.

2.2.4 Faktor – faktor yang Berhubungan

Menurut NANDA (2012) faktor yang berhubungan atau penyebab dari

hipertermia meliputi :

1) Anestesia
33

Setiap tanda-tanda vital di evaluasi dalam kaitannya dengan efek samping

anestesi dan tanda-tanda ancaman syok, pernapasan yang memburuk, atau

nyeri karena anestesi ini dapat menyebabkan peningkatan suhu, kekakuan

otot, hipermetabolisme, destruksi sel otot (Wong, 2008).

2) Penurunan respirasi

Penguapan yang tidak dapat keluar akan mengganggu sirkulasi dalam tubuh

sehingga menyebabkan hipertermi yang diakibatkan oleh kenaikan set point

hipotalamus.

3) Dehidrasi

Tubuh kehilangan panas secara kontinue melalui evaporasi. Sekitar 600 –900

cc air tiap harinya menguap dari kulit dan paru-paru sehingga terjadi

kehilangan air dan panas. Kehilangan panas air ini yang menyebabkan

dehidrasi pada hipertermia.

4) Pemajanan lingkungan yang panas

Panas pada 85 % area luas permukaan tubuh diradiasikan ke lingkungan.

Vasokontriksi perifer meminimalisasi kehilangan panas. Jika lingkungan

lebih panas dibandingkan kulit, tubuh akan menyerap panas melalui radiasi.

5) Penyakit

Penyakit atau trauma pada hipotalamus atau sumsum tulang belakang (yang

meneruskan pesan hipotalamus) akan mengubah kontrol suhu menjadi berat.

6) Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan

Pakaian yang tidak tebal akan memaksimalkan kehilangan panas.


34

7) Peningkatan laju metabolisme

Panas yang dihasilkan tubuh adalah hasil sampingan metabolisme, yaitu

reaksi kimia dalam seluruh sel tubuh. Aktivitas yang membutuhkan

reaksikimia tambahan akan meningkatkan laju metabolik, yang juga akan

menambah produksi panas. Sehingga peningkatan laju metabolisme sangat

berpengaruh terhadap hipertermia.

8) Medikasi

Demam juga disebabkan oleh adanya bentuk hipersensitivitas terhadap obat.

9) Trauma

Penyakit atau trauma pada hipotalamus atau sumsum tulang belakang (yang

meneruskan pesan hipotalamus) akan mengubah kontrol suhu menjadi berat.

10) Aktivitas berlebihan

Gerakan volunter seperti aktivitas otot pada olahraga membutuhkan energi

tambahan. Laju metabolik meningkat saat aktivitas berlebih dan hal ini

menyebabkan peningkatan produksi panas hingga 50 kali lipat.

2.2.5 Proses Pengaturan Suhu Tubuh

Menurut Ganong (2008) mekanisme pengaturan suhu tubuh dibagi menjadi

dua yaitu mekanisme yang diaktifkan oleh dingin dan mekanisme yang diaktifkan

oleh panas. Mekanisme yang diaktifkan oleh dingin itu sendiri terdiri dari

peningkatan produksi panas (menggigil, lapar, peningkatan aktivitas voluntar,

peningkatan sekresi norepinefrin dan epinefrin) dan penurunan pengeluaran panas

(vasokontriksi kulit, menggulung tubuh, dan horipilasi). Sedangkan mekanisme

yang diaktifkan oleh panas terdiri dari peningkatan pengeluaran panas


35

(vasodilatasi kulit, berkeringat, peningkatan pernapasan) dan penurunan

pembentukan panas (anoreksia, apati dan inersia). Respons refleks yang diaktifkan

oleh dingin dikontrol dari hipotalamus posterior. Respons yang dihasilkan oleh

panas terutama dikontrol dari hipotalamus anterior, walaupun sebagian

termoregulasi terhadap panas masih tetap terjadi setelah deserebrasi setingkat

rostral mesensefalon. Rangsangan hipotalamus anterior menyebabkan terjadinya

vasodilatasi kulit dan pengeluaran keringat sehingga lesi di regio ini menyebabkan

panas. Pembentukan panas dapat berubah akibat pengaruh mekanisme endokrin

walaupun tidak terjadi asupan makanan atau gerakan otot yang menjadi sumber

utama panas. Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan peningkatan pembentukan

panas yang cepat namun singkat. Hormon tiroid menimbulkan peningkatan yang

lambat namun berkepanjangan.

Menurut Asmadi (2008) sistem pengatur suhu tubuh terdiri atas tiga bagian

yaitu reseptor yang terdapat pada kulit dan bagian tubuh lainnya, integrator

didalam hipotalamus, dan efektor sistem yang mengatur produksi panas dengan

kehilangan panas. Reseptor sensori yang paling banyak terdapat pada kulit. Kulit

mempunyai lebih banyak reseptor untuk dingin dan hangat dibanding reseptor

yang terdapat pada organ tubuh lain seperti lidah, saluran pernafasan, maupun

organ visera lainnya. Bila kulit menjadi dingin melebihi suhu tubuh, maka ada

tiga proses yang dilakukan untuk meningkatkan suhu tubuh. Ketiga proses

tersebut yaitu menggigil untuk meningkatkan produksi panas, berkeringat untuk

menghalangi kehilangan panas, dan vasokontriksi untuk menurunkan kehilangan

panas. Hipotalamus integrator sebagai pusat pengaturan suhu inti berada

dipreoptik area hipotalamus. Bila sensitif reseptor panas di hipotalamus


36

dirangsang, efektor sistem mengirim sinyal yang memprakarsai pengeluaran

keringat dan vasodilatasi perifer. Hal tersebut dimaksudkan untuk menurunkan

suhu, seperti menurunkan produksi panas dan meningkatkan kehilangan panas.

Sinyal dari sensitif reseptor dingin di hipotalamus memprakarsai efektor untuk

vasokontriksi, menggigil, serta melepaskan epineprin yang meningkatkan

metabolisme sel danproduksi panas. Hal tersebut dimaksudkan untuk

meningkatkan produksi panas dan menurunkan kehilangan panas. Faktor sistem

yang lain adalah sistem saraf somatis. Bila sistem ini dirangsang, maka seseorang

secara sadar membuat penilaian yang cocok, misalnya menambah baju sebagai

respons terhadap dingin, atau mendekati kipas angin bila kepanasan (Asmadi,

2008).

2.2.6 Proses Terjadinya Demam

Suhu tubuh dikontrol oleh pusat termoregulasi di hipotalamus, yang

mempertahankan suhu tubuh pada angka sekitar set point (37°C). Suhu tubuh

diatur dengan mekanisme thermostat di hipotalamus. Mekanisme ini menerima

masukan dari reseptor yang berada di pusat dan perifer. Jika terjadi perubahan

suhu, reseptor-reseptor ini menghantarkan informasi tersebut ke termostat, yang

akan meningkatkan atau menurunkan produksi panas untuk mempertahankan suhu

set point yang konstan. Akan tetapi, selama infeksi substansi pirogenik

menyebabkan peningkatan set point normal tubuh, suatu proses yang dimediasi

oleh prostaglandin. Akibatnya, hipotalamus meningkatkan produksi panas sampai

suhu inti (internal) mencapai set point yang baru (Connel, 1997 dalam Wong,

2008). Sebagai tambahan, terdapat kelompok reseptorpada hipotalamus

preoptik/anterior yang disuplai oleh suatu jaringan kaya vaskuler dan sangat
37

permeabel. Jaringan vaskuler yang khusus ini disebut organum

vasculorumlaminae terminalis (OVLT). Sel-sel endotel OVLT ini melepaskan

metabolit asam arkidonat ketika terpapar pirogen endogen dari sirkulasi.

Metabolit asam arkidonat yang sebagian besar prostaglandin E2 (PGE2),

kemudian diduga berdifusi kedalam daerah hipotalamus preoptik/anterior dan

mencetuskan demam (Harrison, 1999).

2.2.7 Konsep Sponge Bath

a) Definisi

Sponge bath adalah suatu metode kompres untuk menurunkan suhu dengan

menggunakan air suhu ruangan (20-25°C) atau hangat (suhu 29-32 °C) dengan

cara membilas seluruh tubuh menggunakan waslap atau sepon (Hockenberry,

2009). Dengan sponge bath sinyal dikirim ke hipotalamus posterior sehingga kulit

mengalami vasokontriksi, suhu tubuh diserap pori – pori kulit dan suhu tubuh

menurun.

b) Tujuan dan Manfaat

Tujuan utama dari sponge bath adalah menurunkan suhu tubuh pada anak

yang sedang mengalami demam. Teori Hockenberry (2009). Manfaat dari

pemberian sponge bath adalah menurunkan suhu tubuh yang sedang mengalami

demam, memberikan rasa nyaman, mengurangi nyeri dan ansietas yang

diakibatkan oleh penyakit yang mendasari demam.

c) Mekanisme kerja

Dengan kompres hangat, akan di rangsang untuk mengeluarkan keringat. Jika

keringat telah keluar, secara alami suhu tubuh akan turun. Sehingga dengan

kompres hangat menyebabkan suhu tubuh diluar akan terjadi hangat sehingga
38

tubuh akan menginterprestasikan bahwa suhu diluar cukup panas, akhirnya tubuh

akan menurunkan kontrol pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan suhu

pengatur tubuh, dengan suhu diluar hangat akan membuat pembuluh darah tepi

dikulit melebar dan mengalami vasodilatasi sehingga pori-pori kulit akan

membuka dan mempermudah pengeluaran panas, sehingga akan terjadi perubahan

suhu tubuh. Pada dasarnya, mekanisme kerja dari sponge bath sama dengan

kompres hangat pada umumnya, namun dengan teknik yang sedikit dimodifikasi.

Ketika pasien diberikan kompres hangat, maka akan ada penyaluran sinyal ke

hipotalamus yang memulai keringat dan vasodilatasi perifer. Karena itulah

blocking dilakukan pada titik yang secara anatomis dekat dengan pembuluh besar.

Vasodilatasi inilah yang menyebabkan peningkatan pembuangan panas dari kulit

(Potter, Patricia A., Perry, Anne G; 2010).

d) Teknik sponge bath

Teknik yang digunakan dalam sponge bath dibagi menjadi dua yaitu

persiapan dan pelaksanaan. Tahap persiapan adalah tahap dimana peneliti

mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan dalam tahap pelaksanaan.

a) Persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan meliputi :

(1) Handuk/waslap 3 buah.

(2) Selimut mandi 1 buah.

(3) Baju mandi (jika ada).

(4) Perlak besar 1 buah .

(5) Handscoon.

(6) Termometer suhu tubuh, termometer air.


39

(7) Baskom yang berisi air hangat (37°C).

b) Persiapan pasien dan lingkungan :

(1) Berikan salam, perkenalkan diri dan identifikasi klien dengan

memeriksa identitas klien secara cermat.

(2) Jelaskan tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.

(3) Menyiapkan lingkungan yang aman dan nyaman.

c) Tahap pelaksanaan

(1) Lakukan sponge bath sebelum obat antipiretik telah diminum.

(2) Mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien.

(3) Ukur suhu klien dan catat obat dan waktu pemberian antipiretik yang

telah diminum klien untuk menurunkan suhu tubuh.

(4) Menempatkan perlak dibawah klien.

(5) Membuka seluruh pakaian klien dan tutup tubuh klien dengan

handuk mandi.

(6) Basahi waslap dengan air hangat dan peras.

(7) Lakukan mengelap seluruh tubuh dengan menggunakan waslap

dimulai dari kepala dengan tekanan lembut yang lama. Lap seluruh

tubuh meliputi leher, ketiak, perut dan ektremitas atas dan

ekstremitas bawah, selangkangan sampai kaki.

(8) Lakukan mengelap selama 15 menit .

(9) Jangan lupa pertahankan suhu air 30°C.

(10) Hentikan prosedur apabila klien kedinginan atau suhu tubuh klien

mendekati normal.
40

(11) Pakaikan klien pakaian yang tipis (yang telah disiapkan) dan mudah

menyerap keringat.

(12) Ganti sprei (bila diperlukan).

(13) Ambil perlak dan rapikan alat-alat yang digunakan.

(14) Cata suhu tubuh sebelum dan sesudah tindakan.

(15) Berpamitan dengan klien.

(16) Cuci tangan.

(17) Evaluasi klien pada 15 menit pertama atau dengan periode waktu 2

jam (120 menit) setelah selesai tindakan.

(Hamid MA, 2011)

2.3 Askep Teori GE(Gastroentritis)

2.3.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan dasar utama dan hal yang penting dilakukan dalam

melakukan asuhan keperawatan, baik saat penderita baru pertama kali datang

maupun selama klien dalam masa perawatan (Hadinegoro, 2000). Data yang

diperoleh dari pengkajian klien dengan dengue hemoragic fever (DHF) dapat

diklasifikasikan menjadi :

1) Identitas pasien

a) Umur yang terkena dengue hemoragic fever (DHF) paling sering

menyerang anak-anak dengan usia kurang dari 15 tahun).

b) Jenis kelamin secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan pada penderita

dengue hemoragic fever (DHF).


41

c) Tempat tinggal: penyakit ini semula hanya ditemukan di beberapa

kotabesar saja, kemudian menyebar hampir seluruh kota besar di

Indonesia, bahkan sampai di pedesaan dengan jumlah penduduk yang

padat dan dalam waktu relatif singkat.

2) Keluhan utama

Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien dengue hemoragic fever

(DHF) datang ke rumah sakit adalah panas tinggi dan pasien lemah.

3) Riwayat penyakit sekarang

Didapatkan adanya keluhan panas mendadak dengan disertai menggigil dan

saat demam kesadaran komposmentis. Turunya panas terjadi antara hari ke-3 dan

ke-7, kondisi semakin lemah. Kadang-kadang disertai keluhan batuk pilek, nyeri

telan, mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan

persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya

manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena atau hematemasis.

4) Riwayat penyakit dahulu

Pada dengue hemoragic fever (DHF) biasanya mengalami serangan ulangan

dengue hemoragic fever (DHF) dengan tipe virus yang lain.

5) Riwayat kesehatan keluarga

Penyakit dengue hemoragic fever (DHF) bisa dibawa oleh nyamuk, jadi jika

dalam satu keluarga ada yang menderita penyakit ini kemungkinan tertular itu

besar.

6) Kondisi lingkungan

Sering terjadi pada daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang

kurang bersih (seperti yang mengenang dan gantungan baju yang ada kamar).
42

Serta tempat yang sering dijadikan tempat nyamuk ini adalah lingkungan yang

kurang pencahayaan dan sinar matahari, banyak genangan air, vas, dan bekas.

7) Pengkajian tumbuh kembang : Sesuai dengan tumbuh kembang anak.

8) Pola persepsi fungsional kesehatan

a) Pola nutrisi dan metabolik

Gejala : Penurunan nafsu makan, mual muntah, haus, sakit saat menelan.

Tanda : Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor, nyeri tekan

pada ulu hati.

b) Pola eliminasi

Tanda : Diare/konstipasi, penurunan berkemih, melena, hematuri (tahap

lanjut).

c) Pola aktifitas dan latihan

Gejala : Keluhan lemah.

Tanda : Dispnea, pola nafas tidak efektif, karena efusi pleura.

d) Pola istirahat dan tidur

Gejala : Kelelahan, kesulitan tidur, karena panas/ menggigil.

Tanda : Dispnea, sesak karena efusi pleura, nyeri epigastrik, nyeri otot/

sendi.

e) Sirkulasi

Gejala : Sakit kepala/ pusing, gelisah.

Tanda : Nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, dispnea,

perdarahan nyata (kulit epistaksis, melena hematuri), peningkatan

hematokrit 20% atau lebih, trombosit kurang dari 100.000/mm.


43

9) Pemeriksaan fisik

a) Keadaan umum

Lemah, suhu tubuh tinggi (39,4– 41,1°C).

b) Tanda-tanda vital : Tekanan darah (hipotensi), suhu (meningkat), nadi

(takikardi), pernafasan (cepat).

c) Integumen

Inspeksi : Kulit kering, tampak bintik merah (petekie), hematom,

ekimosit.

Palpasi : Teraba panas (demam)

d) Kepala

Inspeksi : Bentuk mesochepal, klien tampak berkeringat, klien tampak

cemas.

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada kepala, tidak ada benjolan atau

pembengkakan pada kepala

e) Mata

Inspeksi : Bentuk mata simetris, sklera tidak ikterus, pupil isokor, reaksi

pupil teerhadap cahaya ada, kelopak mata agak cekung, konjungtiva

tampak anemis.

Palpasi : Tidak ada pembengkakan pada kelopak mata

f) Hidung

Inspeksi : Tidak terdapat lesi, pembengkakan, lubang hidung simetris dan

penciuman baik.

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tanda-tanda sinusitis dan polip hidung
44

g) Mulut dan tenggorokan

Inspeksi : Mukosa bibir tampak kering, tidak ada gangguan bicara, ada

kesulitan menelan.

Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.

h) Thorak dan paru

Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan dan kiri, pola nafas efektif, irama

nafas teratur.

Palpasi : Frekuensi pernafasan 20 x/ menit, tidak ada benjolan, fremitus

suara simetris kanan kiri.

Perkusi : Bunyi paru sonor.

Auskultai : Bunyi nafas vesikuler diseluruh lapang paru.

i) Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak.

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba.

Perkusi : pekak.

Auskultasi : Suara jantung S¹ S² reguler murni.

j) Abdomen

Inspeksi : Dinding perut lebih rendah dari dinding dada, tidak ada

pembengkakan atau tanda-tanda kolik.

Auskultasi : Peristaltik usus 12x/menit.

Perkusi : Tidak ada massa, tidak ada bunyi udara dan cairan.

Palpasi : Ada nyeri tekan.


45

k) Ekstremitas

(1) Kekuatan otot bernilai 4 karena klien mengalami kelemahan.

(2) Jari-jari lengkap tidak ada gejala kontraktur.

(3) Siku, lutut, kaki : persendiaan tidak ada kontarktur, ROM dilakukan

secara aktif (fleksi dan ekstensi).

10) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa dengue hemorrhagic

fever (DHF), diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

radiologi (Hadinegoro, 2000).

a) Pada pemeriksaan darah pasien dengue hemorrhagic fever (DHF) akan

dijumpai :

(1) IgG dengue positif (dengue blood).

(2) Trombositipenia.

(3) Hemoglobin meningkat >20%.

(4) Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).

(5) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinema,

hiponatremia, hipokalemia.

(6) SGOT dan SGPT mungkin meningkat.

(7) Waktu perdarahan memanjang.

(8) Pada analisa gas darah arteri menunjukkan asidois metabolik PCO2

<35-40 mmHg, HCO3 rendah.

b) Pemeriksaan laboratorium urine : pada pemeriksaan urine dijumpai

albumin ringan.

c) Pemeriksaan serologi
46

Beberapa pemeriksaan serologis yang biasa dilakukan pada klien yang

diduga terkena dengue hemoragic fever (DHF) adalah : uji hemaglutinasi

inhibisi (HI test), uji komplemen fiksasi (CF test), uji neutralisasi (N test),

IgM Elisa (Mac. Elisa), IgG Elisa Melakukan pengukuran antibodi pasien

dengan cara HI test (Hemoglobin Inhibiton test) atau dengan uji pengikatan

komplemen (komplemen fixation test) pada pemeriksaan serologi dibutuhkan

dua bahan pemeriksaan yaitu pada masa akut dan pada masa penyembuhan.

d) Pemeriksaan radiologi

(1) Foto thorax : Pada foto thorax mungkin dijumpai efusi pleura.

(2) Pemeriksaan USG : Pada USG didapatkan hematomegali dan

spenomegal.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membaran alveolar-kapiler

2) Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi skunder terhadap diare

3) Perubahan eliminasi alvi (BAB) gastroenteritis berhubungan dengan

peningkatan peristaltik usus

4) Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif

5) Kerusakan integritas kulit b.d eksresi/BAB sering

6) Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan

intake makanan

7) Resiko syok (hipovolemi) b.d kehilangan cairan dan elektrolit

8) Ansietas b.d perubahan status kesehatan


47

2.3.3 Intervensi Keperawatan

1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi skunder terhadap

diare

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 jam diharapkan suhu tubuh

pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil :

1) Suhu dalam batas normal : 36,5°C-37,5°C, bebas dari kedinginan.

2) TD : 120/80 mmHg, RR : 16-24 x/menit, nadi 60-100 x/menit.

3) Tidak mengalami komplikasi yang berarti.

Intervensi:

a) Kaji saat timbulnya demam.

Rasional : Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.

b) Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.

Rasioanal : Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan

umum pasien.

c) Anjurkan pasien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam).

Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh

meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.

d) Berikan kompres hangat.

Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang

mempercepat penurunan suhu tubuh.

e) Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.

Rasional : Pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.

f) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.


48

Rasional : Pemberian cairan dan obat-obatan sangat penting bagi pasien

dengan suhu tinggi.

2) Perubahan eliminasi alvi (BAB) gastroenteritis berhubungan dengan

peningkatan peristaltik usus.

Tujuan : Pola elminasi alvi (BAB) kembali normal sasaran 24 jam

Kriteria :

a) Frekuensi BAB 1 – 3 x/hari

b) Konsistensi lembek

c) Turgor kulit baik

Intervensi :

a) Kaji pola elminasi BAB : frekuensi dan pengikatan konsistesi feces

Rasional : Mengetahui pola eliminasi klien

b) Pertahankan lingkungan bebas bau untuk pasien

(1)Ganti pakaian basah

(2)Beri pengharum ruangan

Rasional : Mencegah terjadinya iritasi

c) Turunkan aktivitas fisik selama episode gastroenteritis

Rasional : Menghindari efek yang lebih parah

d) Berikan makanan yang tidak merangsang dan rendah serat

Rasional : Mencegah terjadinya episode gastroenteritis

e) Obsevasi tanda-tanda vital

Rasional : Memonitor adanya kelainan pada TTV


49

f) Anjurkan pada pasien dan keluarga untuk memberikan minum yang

banyak 2 x dari jumlah BAB

Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi

g) Ukur dan catat input dan output

Rasional : Intake dan output seimbang

h) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi

Rasional : Mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut

i) Memberikan HE

Rasional : Ibu dapat mengetahui dan memahami tentang penyakit

3) Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membaran alveolar-kapiler

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 jam diharapkan gangguan

pertukaran gas pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil :

a) Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.

b) Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress

pernafasan.

c) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada

sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas

dengan mudah, tidak ada pursed lips).

d) Tanda tanda vital dalam rentang normal.

Intervensi:

a) Kaji tingkat pernapasan, kedalaman, dan usaha, termasuk penggunaan

otot aksesori, sengatan hidung, dan pola pernapasan abnormal.


50

Rasional : Pola pernafasan yang cepat dan dangkal serta hipoventilasi

mempengaruhi pertukaran gas.

b) Kaji paru-paru untuk area ventilasi yang menurun dan auskultasi adanya

suara adventif.

Rasioanal : Setiap iregularitas suara nafas dapat mengungkapkan

penyebab gangguan pertukaran gas.

c) Pantau perilaku pasien dan status mental untuk mengatasi kegelisahan,

agitasi, kebingungan, dan (pada tahap akhir) kelesuan yang ekstrem.

Rasional : Perubahan perilaku dan status mental bisa menjadi tanda awal

gangguan pertukaran gas.

d) Pantau tanda dan gejala atelektasis: suara napas bronkial atau tubular,

retak, tamasya dada yang berkurang, tamasya diafragma terbatas, dan

pergeseran trakea ke sisi yang terkena.

Rasional : Keruntuhan alveoli meningkatkan shunting (perfusi tanpa

ventilasi), mengakibatkan hipoksemia.

4) Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 2 x 24 jam diharapkan

kebutuhan cairan terpenuhi dengan kriteria hasil :

a) TTV dalam batas normal : TD 120/80 mmHg, RR 16-24 x/menit, nadi 60-

100 x/menit, suhu 36,5-37,5°C.

b) Membran mukosa lembab, turgor kulit baik.

c) Haluaran urine adekuat.

d) Kadar elektrolit dalam batas normal.

Intervensi:
51

a) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tanda vital.

Rasional : Hipovolemia dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi dan

takikardi.

b) Kaji suhu warna kulit dan kelembabannya.

Rasional : Demam dengan kulit kemerahan, kering menunjukkan

dehidrasi.

c) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membrane mukosa.

Rasional : Merupakan indicator dari dehidrasi.

d) Pantau masukan dan pengeluaran cairan.

Rasional : Memberi perkiraan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan

program pengobatan.

e) Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500ml/hari dalam

batas yang dapat ditoleransi jantung.

Rasional : Mempertahankan volume sirkulasi.

f) Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.

Rasional : Kekurangan cairan dan elektrolit menimbulkan muntah

sehingga kekurangan cairan dan elektrolit.

g) Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB,

nadi tidak teratur.

Rasional : Cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi menimbulkan

kelebihan beban cairan.

h) Berikan terapi misalnya : Kristaloid (D5W, NS) dan koloid, pantau

pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K).


52

Rasional : Mempercepat proses penyembuhan untuk memenuhi kebutuhan

cairan.

5) Kerusakan integritas kulit b.d eksresi/BAB sering.

Tujuan : Mempertahankan integritas kuit

Kriteria :

a) Anus bersih dan kering

b) Tidak tanda-tanda dan gejala-gejala yang membuat diagnosa aktual.

Intervensi :

a) Kaji adanya tanda-tanda kerusakan integritas kulit ; perubahan pada

turgor, gangguan warna, eritema.

Rasional : Dengan mengkaji adanya tanda-tanda kerusakan integritas kulit

maka kondisi pasien dapat di monitoring sedini mungkin dan memungkinkan

intervensi segera.

b) Ganti balut / popok bersihkan bagian perianal dengan air bersih

Rasional : Dengan mengganti balut / popok, bersihkan bagian perianal dengan

air bersih akan dapat menghindari kondisi perianal yang basah dan kotor,

dimana kondisi ini akan dapat meningkatkan populasi bakteri yang dapat

menyebabkan infeksi

c) Lakukan perawatan pada klien dengan tehnik aseptik pada daerah anus

Rasional : Dengan melakukan perawatan klien dengan teknik Aseptik akan

dapat mempertahankan dan meningkatkan keadaan Aseptik klien , dengan

demikian resiko terjadinya perubahan integritas kulit dapat ditekan

sedemikian mungkin
53

d) Angkat pantat klien untuk diangin-anginkan, ketika produk feses

berlebihan

Rasional : Dengan mengangkat pantat klien untuk diangin-anginkan, ketika

produk feses berlebihan akan dapat mempercepat proses penguapan sehingga

kondisi perianal anak akan lebih cepat kering, dengan demikian resiko

terjadinya perubahan integritas kulit dapat di tekan sedemikian mungkin

e) Atur posisi klien senyaman mungkin untuk menghindari iritasi pada kulit

Rasional : Dengan mengatur posisi klien senyaman mungkin akan

mengurangi kemungkinan terjadinya iritasi kulit pada bagian tertentu dengan

posisi ini juga dapat mengurangi keadaan stress anak sehingga akan dapat

membantu menekan faktor predisposisi terjadinya gastroenteritis.

f) Berikan penjelasan pada keluarga dan klien tentang pentingnya untuk

menjaga kebersihan khususnya pada daerah perianal setiap saat.

Rasional: Dengan pemberian penjelasan pada keluarga dan pasien akan

menciptakan kerja sama yang baik dan pengalaman secara subjek dan objektif

pada keluarga dan pasien tentang manfaat untuk menjaga personal hygiene

yang berdampak pada pencapaian tujuan secara optimal.

6) Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan

intake makanan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

diharapkan perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat

teratasi dengan kriteria :

a) Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan.


54

b) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.

c) Berat badan stabil atau bertambah sesuai tujuan.

Intervensi:

a) Observasi keadaan umam pasien dan keluhan pasien.

Rasional : Mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh pasien.

b) Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan

makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien.

Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan

terapeutik.

c) Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.

Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorbsi

dan utilisasinya).

d) Identifikasi makanan yang disukai atau dikehendaki yang sesuai dengan

program diet.

Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam

pencernaan makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.

e) Ajarkan pasien dan Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan

sesuai indikasi.

Rasional : Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberikan informasi

kepada keluarga untuk memahami nutrisi pasien.

f) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti mual.

Rasional : Pemberian obat antimual dapat mengurangi rasa mual sehingga

kebutuhan nutrisi pasien tercukupi.

7) Resiko syok (hipovolemi) b.d kehilangan cairan dan elektrolit.


55

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 jam diharapkan tidak terjadi

syok hipovolemik dengan kriteria hasil :

a) TTV dalam batas normal : TD120/80 mmHg, RR 16-24 x/menit, nadi 60-

100 x/menit, suhu 36,5-37,5°C.

b) Turgor kulit baik.

c) Haluaran urine adekuat.

Intervensi :

a) Monitor keadaan umum pasien.

Rasional : Memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama

pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan

dapat segera ditangani.

b) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.

Rasional : Tanda-tanda vital normal menandakan keadaan umum baik.

c) Monitor tanda perdarahan.

Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga

pasientidak sampai syok hipovolemik.

d) Cek hemoglobin, hematokrit, trombosit.

Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang

dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.

e) Berikan transfusi sesuai program dokter.

Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang

hilang.

f) Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.

Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin.


56

8) Ansietas b.d perubahan status kesehatan.

Tuajuan: kecemasan orang tua teratasi dengan kriteria:

a) Orang tua mengerti keadaan penyakit anaknya

b) Ekspresi wajah ibu tampak tenang

Intervensi :

a) Kaji rasa cemas yang dialami oleh orang tua klien.

Rasional : Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami oleh orang tua

klien.

b) Jalin hubungan saling pecaya antara orang tua klien, anak, dan perawat.

Rasional : Agar klien/keluarga bersikap terbuka dengan perawat.

c) Tunjukkan sikap empati, gunakan sentuhan pada saat yang tepat.

Rasional : Sikap empati akan membuat keluarga merasa diperhatikan

dengan sungguh – sungguh.

d) Beri kesempatan keluarga untuk mengungkapkan rasa cemasnya.

Rasional : Meringankan beban pikiran keluarga.

e) berikan keyakinan kepada keluarga untuk mengungkapkan rasa cemasnya.

Rasional : Sikap positif yang ditunjukkan tim kesehatan dan membantu

menurunkan kecemasan

f) Berikan keyakinan pada keluarga bahwa tim kesehatan memberikan yang

terbaik dan pertolongan optimal.

Rasional : Penjelasan tentang proses penyakit (kolaborasi dokter), menjelaskan

tentang proses perawatan, menjelaskan tentang kemungkinan pemberian


57

perawatan intensif jika memang diperlukan oleh klien untuk mendapatkan

perawatan yang lebih optimal.

2.3.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah

direncanakan mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan mandiri

adalah tindakan keperawatan berdasarkan anlisis dan kesimpulan perawat serta

bukan atas petunjuk tenaga kesehatan yang lain. Sedangkan tindakan kolaborasi

adalah tindakan keperawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama

dengan dokter atau petugas kesehatan yang lain.

2.3.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap atau langkah dalam proses keperawatan yang di

laksanakan dengan saja dan terus menerus yang dilakukan oleh perawat dan

anggota tim kesehatan yang lainnya dengan tujuan untuk memenuhi apakah tujuan

dan rencana keperawatan telah berhasil atau tidak serta untuk melakukan

pengkajian ulang.

2.4 Konsep Anak

2.4.1 Pengertian Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-Undang No.23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa anak adalah siapa

saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih didalam
58

kandungan, yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan

terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam kandungan

hingga berusia 18 tahun (Damayanti, 2008).

2.4.2 Kebutuhan Dasar Anak

Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum digolongkan

menjadi kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang meliputi, pangan atau gizi,

perawatan kesehatan dasar, tempat tinggal yang layak, sanitasi, sandang,

kesegaran jasmani atau rekreasi. Kebutuhan emosi atau kasih sayang (asih), pada

tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu

atau pengganti ibu dengan anak merupakan syarat yang mutlak untuk menjamin

tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kebutuhan

akan stimulasi mental (asah), stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam

proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini

mengembangkan perkembangan mental psikososial diantaranya kecerdasan,

keterampilan, kemandirian, kreaktivitas, agama, kepribadian dan sebagainya.

2.4.3 Tingkat Perkembangan Anak

Menurut Damayanti (2008) karakteristik anak sesuai tingkat

perkembangan :

1) Usia bayi (0-1 tahun)

Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya

dengan kata-kata. Oleh karena itu, komunikasi dengan bayi lebih banyak

menggunakan jenis komunikasi non verbal. Pada saat lapar, haus, basah dan
59

perasaan tidak nyaman lainnya, bayi hanya bisa mengekspresikan perasaannya

dengan menangis.Walaupun demikian, sebenarnya bayi dapat berespon terhadap

tingkah laku orang dewasa yang berkomunikasi dengannya secara non verbal,

misalnya memberikan sentuhan, dekapan, dan menggendong dan berbicara lemah

lembut.

Ada beberapa respon non verbal yang biasa ditunjukkan bayi misalnya

menggerakkan badan, tangan dan kaki. Hal ini terutama terjadi pada bayi kurang

dari enam bulan sebagai cara menarik perhatian orang. Oleh karena itu, perhatian

saat berkomunikasi dengannya. Jangan langsung menggendong atau

memangkunya karena bayi akan merasa takut. Lakukan komunikasi terlebih

dahulu dengan ibunya. Tunjukkan bahwa kita ingin membina hubungan yang baik

dengan ibunya.

2) Usia pra sekolah (2-5 tahun)

Karakteristik anak pada masa ini terutama pada anak dibawah 3 tahun adalah

sangat egosentris. Selain itu anak juga mempunyai perasaan takut ada

ketidaktahuan sehingga anak perlu diberi tahu tentang apa yang akan terjadi

padanya. Misalnya, pada saat akan diukur suhu, anak akan merasa melihat alat

yang akan ditempelkan ke tubuhnya. Oleh karena itu jelaskan bagaimana akan

merasakannya. Beri kesempatan padanya untuk memegang termometer sampai ia

yakin bahwa alat tersebut tidak berbahaya untuknya.

Dari hal bahasa, anak belum mampu berbicara fasih. Hal ini disebabkan

karena anak belum mampu berkata-kata 900-1200 kata. Oleh karena itu saat

menjelaskan, gunakan kata-kata yang sederhana, singkat dan gunakan istilah yang

dikenalnya. Berkomunikasi dengan anak melalui objek transisional seperti


60

boneka. Berbicara dengan orangtua bila anak malu-malu. Beri kesempatan pada

yang lebih besar untuk berbicara tanpa keberadaan orangtua. Satu hal yang akan

mendorong anak untuk meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah

dengan memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya.

3) Usia sekolah (6-12 tahun)

Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap stimulus yang dirasakan yang

mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila berkomunikasi dan

berinteraksi sosial dengan anak diusia ini harus menggunakan bahasa yang mudah

dimengerti anak dan berikan contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan

kognitifnya.

Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomunikasi dengan orang dewasa.

Perbendaharaan katanya sudah banyak, sekitar 3000 kata dikuasi dan anak sudah

mampu berpikir secara konkret.

4) Usia remaja (13-18)

Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari akhir masa anak-

anak menuju masa dewasa. Dengan demikian, pola pikir dan tingkah laku anak

merupakan peralihan dari anak-anak menuju orang dewasa. Anak harus diberi

kesempatan untuk belajar memecahkan masalah secara positif. Apabila anak

merasa cemas atau stress, jelaskan bahwa ia dapat mengajak bicara teman sebaya

atau orang dewasa yang ia percaya. Menghargai keberadaan identitas diri dan

harga diri merupakan hal yang prinsip dalam berkomunikasi. Luangkan waktu

bersama dan tunjukkan ekspresi wajah bahagia.


61

2.4.4 Tugas Perkembangan Anak

Tugas perkembangan menurut teori Havighurst (1961) adalah tugas yang

harus dilakukan dan dikuasai individu pada tiap tahap perkembangannya. Tugas

perkembangan bayi 0-2 tahun adalah berjalan, berbicara, makan makanan padat,

kestabilan jasmani. Tugas perkembangan anak usia 3-5 tahun adalah mendapat

kesempatan bermain, berkesperimen dan berekplorasi, meniru, mengenal jenis

kelamin, membentuk pengertian sederhana mengenai kenyataan social dan alam,

belajar mengadakan hubungan emosional, belajar membedakan salah dan benar

serta mengembangkan kata hati juga proses sosialisasi.

Tugas perkembangan usia 6-12 tahun adalah belajar menguasai

keterampilan fisik dan motorik, membentuk sikap yang sehat mengenai diri

sendiri, belajar bergaul dengan teman sebaya, memainkan peranan sesuai dengan

jenis kelamin, mengembangkan konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-

hari, mengembangkan keterampilan yang fundamental, mengembangkan

pembentukan kata hati, moral dan sekala nilai, mengembangkan sikap yang sehat

terhadap kelompok sosial dan lembaga. Tugas perkembangan anak usia 13-18

tahun adalah menerima keadaan fisiknya dan menerima peranannya sebagai

perempuan dan laki-laki, menyadari hubungan-hubungan baru dengan teman

sebaya dan kedua jenis kelamin, menemukan diri sendiri berkat refleksi dan kritik

terhadap diri sendiri, serta mengembangkan nilai-nilai hidup.


62

2.5 Konsep Tumbuh Kembang Anak

2.5.1 Pengertian Tumbuh Kembang

Secara alamiah, setiap individu hidup akan melalui tahap pertumbuhan dan

perkembangan, yaitu sejak embrio sampai akhir hayatnya mengalami perubahan

ke arah peningkatan baik secara ukuran maupun secara perkembangan. Istilah

tumbuh kembang mencakup dua peristiwa yang sifatnya saling berbeda tetapi

saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.

Pengertian mengenai pertumbuhan dan perkembangan adalah sebagai berikut :

Pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, atau dimensi

tingkat sel organ, maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram,

pon, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan keseimbangan

metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Adriana, 2013).

Perkembangan (development) adalah bertambahnya skill (kemampuan)

dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan

dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut

adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ, dan

sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat

memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan

tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2012).

Pertumbuhan dan perkembangan secara fisik dapat berupa perubahan

ukuran besar kecilnya fungsi organ mulai dari tingkat sel hingga perubahan organ

tubuh.Pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak dapat dilihat dari

kemampuan secara simbolik maupun abstrak, seperti berbicara, bermain,

berhitung, membaca, dan lain-lain.


63

2.5.2 Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak dapat ditentukan oleh

masa atau waktu kehidupan anak. Menurut Hidayat (2008) secara umum terdiri

atas masa prenatal dan masa postnatal.

1) Masa prenatal

Masa prenatal terdiri atas dua fase, yaitu fase embrio dan fase fetus. Pada

masa embrio, pertumbuhan dapat diawali mulai dari konsepsi hingga 8 minggu

pertama yang dapat terjadi perubahan yang cepat dari ovum menjadi suatu

organisme dan terbentuknya manusia. Pada fase fetus terjadi sejak usia 9 minggu

hingga kelahiran, sedangkan minggu ke-12 sampai ke-40 terjadi peningkatan

fungsi organ, yaitu bertambah ukuran panjang dan berat badan terutama

pertumbuhan serta penambahan jaringan subkutan dan jaringan otot.

2) Masa postnatal

Terdiri atas masa neonatus, masa bayi, masa usia prasekolah, masa sekolah,

dan masa remaja.

a) Masa neonatus

Pertumbuhan dan perkembangan post natal setelah lahir diawali dengan

masa neonatus (0-28 hari). Pada masa ini terjadi kehidupan yang baru di

dalam ekstrauteri, yaitu adanya proses adaptasi semua sistem organ tubuh.

b) Masa bayi

Masa bayi dibagi menjadi dua tahap perkembangan. Tahap pertama

(antara usia 1-12 bulan): pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini

dapat berlangsung secara terus menerus, khususnya dalam peningkatan

sususan saraf. Tahap kedua (usia 1-2 tahun) : kecepatan pertumbuhan pada
64

masa ini mulai menurun dan terdapat percepatan pada perkembangan

motorik.

c) Masa usia prasekolah

Perkembangan pada masa ini dapat berlangsung stabil dan masih terjadi

peningkatan pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada aktivitas fisik

dan kemampuan kognitif. Menurut teori Erikson (dalam Nursalam, 2005),

pada usia prasekolah anak berada pada fase inisiatif vs rasa bersalah

(initiative vs guilty). Pada masa ini, rasa ingin tahu (courius) dan adanya

imajinasi anak berkembang, sehingga anak banyak bertanya mengenai segala

sesuatu di sekelilingnya yang tidak diketahuinya. Apabila orang tua

mematikan inisiatifnya maka hal tersebut membuat anak merasa bersalah.

Sedangkan menurut teori Sigmund Freud, anak berada pada fase phalik,

dimana anak mulai mengenal perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-

laki. Anak juga akan mengidentifikasi figur atau perilaku kedua orang tuanya

sehingga kecenderungan untuk meniru tingkah laku orang dewasa

disekitarnya. Pada masa usia prasekolah anak mengalami proses perubahan

dalam pola makan dimana pada umumnya anak mengalami kesulitan untuk

makan. Proses eliminasi pada anak sudah menunjukkan proses kemandirian

dan perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan perkembangan, anak

sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah (Hidayat, 2008).

d) Masa sekolah

Perkembangan masa sekolah ini lebih cepat dalam kemampuan fisik dan

kognitif dibandingkan dengan masa usia prasekolah.

e) Masa remaja
65

Pada tahap perkembangan remaja terjadi perbedaan pada perempuan dan

laki-laki.Pada umumnya wanita 2 tahun lebih cepat untuk masuk ke dalam

tahap remaja/pubertas dibandingkan dengan anak laki-laki dan perkembangan

ini ditunjukkan pada perkembangan pubertas.

2.5.3 Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak

Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak menurut Adriana, 2013

adalah :

1) Faktor internal

Berikut ini adalah faktor-faktor internal yang berpengaruh pada tumbuh

kembang anak, yaitu :

a) Ras/etnik atau bangsa

Anak yang dilahirkan dari ras/bangsa Amerika tidak memiliki faktor

herediter ras/bangsa Indonesia atau sebaliknya.

b) Keluarga

Ada kecenderungan keluarga yang memiliki postur tubuh tinggi, pendek,

gemuk, atau kurus.

c) Umur

Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun

pertama kehidupan, dan pada masa remaja.

d) Jenis kelamin

Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat

daripada laki-laki. Akan tetapi setelah melewati masa pubertas, pertumbuhan

anak laki-laki akan lebih cepat.


66

e) Genetik

Genetik (heredokonstitusional) adalah bawaan anak yaitu potensi anak

yang akan menjadi ciri khasnya. Ada beberapa kelainan genetik yang

berpengaruh pada tumbuh kembang anak, contohnya seperti kerdil.

f) Kelainan kromosom

Kelainan kromosom umumnya disertai dengan kegagalan pertumbuhan

seperti pada sindroma Down’s dan sindroma Turner’s.

2) Faktor eksternal

Berikut ini adalah faktor-faktor eksternal yang berpengaruh pada tumbuh

kembang anak :

a) Faktor prenatal

(1) Gizi

Nutrisi ibu hamil terutama pada trimester akhir kehamilan akan

mempengaruhi pertumbuhan janin.

(2) Mekanis

Posisi fetus yang abnormal bisa menyebabkan kelainan kongenital

seperti club foot.

(3) Toksin/zat kimia

Beberapa obat-obatan seperti aminopterin atau thalidomid dapat

menyebabkan kelainan kongenital seperti palatoskisis.

(4) Endokrin

Diabetes mellitus dapat menyebabkan makrosomia, kardiomegali,

dan hyperplasia adrenal.

(5) Radiasi
67

Paparan radiasi dan sinar rontgen dapat mengakibatkan kelainan

pada janin seperti mikrosefali, spina bifida, retardasi mental, dan

deformitas anggota gerak, kelainan kongenital mata, serta kelainan

jantung.

(6) Infeksi

Infeksi pada trimester pertama dan kedua oleh TORCH

(Toksoplasma, Rubella, Citomegali virus, Herpes simpleks) dapat

menyebabkan kelainan pada janin seperti katarak, bisu tuli, mikrosefali,

retardasi mental, dan kelainan jantung kongenital.

(7) Kelainan imunologi

Eritoblastosis fetalis timbul atas dasar perbedaan golongan darah

antara janin dan ibu sehingga ibu membentuk antibodi terhadap sel darah

merah janin, kemudian melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah

janin dan akan menyebabkan hemolisis yang selanjutnya mengakibatkan

hiperbilirubinemia dan kerniktus yang akan menyebabkan kerusakan

jaringan otak.

(8) Anoksia embrio

Anoksia embrio yang disebabkan oleh gangguan fungsi plasenta

menyebabkan pertumbuhan terganggu.

(9) Psikologi ibu

Kehamilan yang tidak diinginkan serta perlakuan salah atau

kekerasan mental pada ibu hamil dan lain-lain.

b) Faktor persalinan
68

Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, asfiksia dapat

menyebabkan kerusakan jaringan otak

c) Faktor pasca persalinan

(1) Gizi

Untuk tumbuh kembang bayi, diperlukan zat makanan yang adekuat.

(2) Penyakit kronis atau kelainan kongenital

Tuberculosis, anemia, dan kelainan jantung bawaan mengakibatkan

retardasi pertumbuhan jasmani.

(3) Lingkungan fisik dan kimia

Lingkungan yang sering disebut melieu adalah tempat anak tersebut

hidup berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak (provider).

Sanitasi lingkungan yang kurang baik, kurangnya sinar matahari, paparan

sinar radioaktif dan zat kimia tertentu (pb, merkuri, rokok, dan lain-lain)

mempunyai dampak yang negatif terhadap pertumbuhan anak.

(4) Psikologis

Hubungan anak dengan orang sekitarnya. Seorang anak yang tidak

dikehendaki oleh orang tuanya atau anak yang selalu merasa tertekan,

akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan dan perkembangan.

(5) Endokrin

Gangguan hormon, misalnya pada penyakit hipotiroid, akan

menyebabkan anak mengalami hambatan pertumbuhan.

(6) Sosioekonomi
69

Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan serta

kesehatan lingkungan yang jelek dan tidaktahuan, hal tesebut

menghambat pertumbuhan anak.

(7) Lingkungan pengasuhan

Pada lingkungan pengasuhan, interaksi ibu-anak sangat

memengaruhi tumbuh kembang anak.

(8) Stimulasi

Perkembangan memerlukan rangsangan atau stimulasi, khususnya

dalam keluarga, misalnya penyediaan mainan, sosialisasi anak, serta

keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain terhadap kegiatan anak.

(9) Obat-obatan

Pemakaian kortikosteroid jangka panjang akan menghambat

pertumbuhan, demikian halnya dengan pemakaian obat perangsang

terhadap susunan saraf yang menyebabkan terhambatnya produksi

hormon pertumbuhan.

2.5.4 Aspek Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) menyebutkan aspek-

aspek perkembangan yang dapat dipantau meliputi gerak kasar, gerak halus,

kemampuan bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian.

1) Gerak kasar atau motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan

kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan

otot-otot besar, seperti duduk, berdiri, dan sebagainya.


70

2) Gerak halus atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan

kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh

tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi

yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit, menulis dan sebagainya.

3) Kemampuan bicara dan bahasa adalah aspek yang berhubungan dengan

kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, berbicara,

berkomunikasi, mengikuti perintah dan sebagainya.

Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan

kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan selesai bermain),

berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan

lingkungannya, dan sebagainya.

2.6 Konsep Hospitalisasi

2.6.1 Pengertian Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat

di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak mengalami perubahan dari

keadaan sehat dan rutinitas lingkungan serta mekanisme koping yang terbatas

dalam menghadapi stresor. Stresor utama dalam hospitalisasi adalah perpisahan,

kehilangan kendali dan nyeri (Wong et al, 2009).

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat

yang mengharuskan anak tinggal dirumah sakit untuk menjalani terapi dan

perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah sakit tetap merupakan masalah

besar dan menimbulkan ketakutan dan cemas bagi anak (Supartini, 2014).
71

2.6.2 Reaksi Anak Prasekolah Terhadap Hospitalisasi

Anak usia prasekolah yang dirawat di rumah sakit akan menunjukkan

reaksi menolak makan, sering bertanya, gelisah, menangis perlahan, dan tidak

kooperatif terhadap petugas kesehatan (Jovan, 2008). Karakteristik anak usia

prasekolah dalam merespon terhadap nyeri diantaranya dengan menangis keras

atau berteriak, mengungkapkan secara verbal “aaow” ”uh” ”sakit” ”aduh”,

memukul tangan perawat, menendang dengan kaki, mendorong hal yang

menyebabkan nyeri, kurang kooperatif, membutuhkan restrain, meminta untuk

mengakhiri tindakan yang menyebabkan nyeri, menempel atau berpegangan pada

orang tua, membutuhkan dukungan emosi seperti pelukan, melemah, antisipasi

terhadap nyeri aktual (Hockenberry & Wilson, 2009).

Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan pada anak usia prasekolah

yaitu menolak makan, sering bertanya, menangis perlahan, dan tidak kooperatif.

Ketakutan anak timbul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya

mengancam integritas tubuhnya. Proses tersebut menimbulkan dampak reaksi

agresif, marah, dan berontak pada anak. Juga ekspresi verbal mengucap kata-kata

marah, tidak mau bekerjasama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang

tua (Supartini, 2014). Anak prasekolah juga akan mendorong orang yang akan

melakukan prosedur yang menyakitkan agar menjauh, mencoba mengamankan

peralatan, dan mencoba lari mencari tempat yang aman (Wong et all, 2009).

2.6.3 Dampak Hospitalisasi Bagi Anak Usia Prasekolah

Anak usia prasekolah menganggap hospitalisasi merupakan pengalaman

baru dan sering membingungkan yang dapat membawa dampak negatif terhadap

perkembangan normal. Hospitalisasi membuat anak masuk dalam lingkungan


72

yang asing, dimana mereka biasanya dipaksa untuk menerima prosedur yang

menakutkan, nyeri tubuh dan ketidak nyamanan (Wong et al, 2009). Bagi anak

usia prasekolah, sakit adalah sesuatu yang menakutkan. Selain itu, perawatan di

rumah sakit dapat menimbulkan cemas karena anak merasa kehilangan

lingkungan yang dirasanya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan. Anak

juga harus meninggalkan rumah yang dikenalnya, permainan, dan teman

sepermainannya (Supartini, 2014).

Menurut Wong et al (2009), dampak hospitalisasi juga dapat memberikan

manfaat. Manfaat yang terlihat adalah dapat menyembuhkan anak dari sakit dan

hospitalisasi juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengendalikan stres

dan mampu untuk menggunakan kemampuan koping mereka. Lingkungan Rumah

Sakit membuat anak mempunyai pengalaman sosial baru yang dapat memperluas

hubungan interpersonal mereka. Dampak hospitalisasi yang umumnya muncul

pada anak usia prasekolah adalah:

1) Cemas terhadap perpisahan

Berpisah dengan orang tua merupakan stresor yang tinggi pada anak usia

prasekolah yang dirawat di rumah sakit, karena anak masih belum terbiasa dengan

lingkungan rumah sakit yang masih asing, sehingga hal itu dapat memicu

kecemasan terhadap anak. Bentuk kecemasan yang ditunjukkan pada anak adalah

perilaku agresif karena berpisah dengan orang tuanya (Hockenberry & Wilson,

2009).

2) Cedera tubuh

Anak pada usia prasekolah sudah mampu dalam mengenal konsep sakit

meskipun belum mengetahui penyebab dari rasa sakit itu. Anak akan mengalami
73

reaksi terhadap rasa sakit dan cidera tubuh pada saat tindakan infasif. Perilaku

yang ditunjukkan anak adalah meminta pada perawat yang akan melakukan

prosedur untuk menjauh, meminta peralatan yang akan dipakai untuk tindakan dan

berusaha untuk melarikan diri saat akan dilakukan tindakan keperawatan (Wong,

2009).

3) Kehilangan kontrol

Anak usia prasekolah pada umumnya menyukai kebebasan seperti saat bermain

di rumah. pada saat anak dirawat di rumah sakit, akan ada pembatasan gerak

sehingga membuat anak kehilangan kemampuan untuk mengontrol diri dan akan

menjadi tergantung pada lingkungannya. Anak akan meringis, menggigit bibirnya,

dan memukul ketika mengalami perlakuan atau merasakan nyeri, karena tindakan

infasif, seperti pemasangan infuse, injeksi, dan pengambilan darah. Meskipun

demikian anak dapat menunjukkan lokasi nyeri dan mengomunikasikan rasa

nyerinya (Hockenberry & Wilson, 2009).

4) Rasa bersalah dan malu

Anak prasekolah mempersepsikan sakit adalah suatu hukuman. Persepsi itu

akan membatasi kemampuan anak untuk memahami peristiwa yang dialami

selama perawatan sehinnga perawatan dianggap menakutkan bagi anak. Informasi

tentang alasan mengapa anak dirumah sakit membuat anak merasa bersalah dan

malu (Wong et al, 2009).

2.6.4 Hubungan Hospitalisasi pada Anak Prasekolah

Anak usia prasekolah akan mempresepsikan hospitalisasi sebagai

hukuman dan pengalaman yang menakutkan (Supartini, 2014). Sehingga respon

anak terhadap hospitalisasi pada usia prasekolah akan lebih berat dibandingkan
74

dengan anak usia sekolah. Reaksi anak terhadap hospitalisasi menurut

Hockenberry & Wilson (2009) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1) Usia

Anak usia prasekolah mempersepsikan hospitalisasi sebagai suatu pengalaman

yang menakutkan. Semakin bertambah usia anak, semakin baik ia dalam

mengendalikan emosi.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin perempuan lebih cemas dibandingkan laki-laki, laki-laki aktif

dan eksploratif sedangkan perempuan lebih sensitif dan banyak menggunakan

perasaan. Selain itu perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan

lingkungan dari pada laki-laki, kurang sabar dan mudah menggunakan air mata.

3) Pengalaman dirawat di rumah sakit

Anak yang pernah memiliki pengalaman dirawat dirumah sakit sebelumnya

dengan pengalaman yang tidak menyenangkan menyebabkan anak menjadi takut

dan trauma sehingga anak akan sulit beradaptasi dan koopertif dengan tindakan.

Anak yang sebelumnya mendapatkan pengalaman hospitalisasi yang

menyenangkan akan lebih mudah beradaptasi dan kooperatif terhadap tindakan

perawatan.

4) Lama rawat

Tingkat kecemasan anak terhadap respon hospitalisasi tetap tinggi hingga anak

menjalani hospitalisasi lebih dari 2 hari.


75
76

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian yang

digunakan yaitu penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif

adalah berupa penelitian dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study ).

Penelitian ini memusatkan diri secara intensif pada satu objek tertentu yang

mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh oleh semua

pihak yang bersangkutan, dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan dari

berbagai sumber (Nawawi, 2006).

Penelitian studi kasus akan kurang kedalamnya bilamana hanya dipusatkan

pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum memperoleh

gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi kasus akan kehilangan

artinya kalau hanya ditunjukkan sekedar untuk memperoleh gambaran umum

namun tanpa menemukan sesuatu atau beberapa aspek khusus yang perlu

dipelajari secara intensif dan mendalam. Studi kasus yang baik akan dilakukan

secara langsung dalam kehidupan sebenarnya yang diselidiki. Walaupun demikian

data studi kasus yang diperoleh tidak saja dari kasus yang diteliti tetapi juga dapat

diperoleh dari semua pihak yang mengetahui dan mengenal kasus tersebut dengan

baik. Dengan kata lain, data dalam studi kasus dapat diperoleh dari berbagai

sumber namun terbatas dalam kasus yang diteliti. Secara ringkas yang

membedakan metode studi kasus dengan metode penelitian kualitatif lainnya

67
77

adalah kedalaman analisisnya pada kasus yang lebih spesifik (baik kejadian

maupun fenomena tertentu).

3.2 Batasan Istilah

Batasan istilah pada kasus ini asuhan keperawatan anak yang mengalami

dengue hemoragic fever (DHF) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD

Kabupaten Sampang, maka penyusunan studi kasus ini menjabarkan dengue

hemoragic fever (DHF) dan hipertermi.

3.3 Partisipan

Partisipan yang diteliti dalam penelitian ini adalah 2 anak usia bayi dan

prasekolah dengan penyakit dengue hemoragic fever (DHF) yang mengalami

hipertermi yang ada di Ruang Cempaka RSUD Kabupaten Sampang. Partisipan

dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive sampling, yaitu metode

pemilihan partisipan dalam satu penelitian dengan menentukan terlebih dahulu

kriteria yang akan dimasukkan dalam penelitian, dimana partisipan yang diambil

dapat memberikan informasi yang berharga bagi peneliti. (Barn & Grove dalam

Saparwati, 2012). Adapun kriteria partisipan yang telah peneliti tetapkan dalam

penelitian yaitu :

1) Pasien dengue femoragic fever (DHF) yang mengalami panas, derajat 1 dan 2.

2) Bersedia menjadi partisipan dalam penelitian yang dibuktikan dengan

menandatangani informed consent oleh ibu pasien.


78

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.4.1 Tempat penelitian

Tempat yang digunakan sebagai penelitian adalah di Ruang Cempaka

RSUD Kabupaten Sampang.

3.4.2 Waktu penelitian

Penelitian dilakukan antara bulan Januari – April 2018. Kelompok yang

dipilih sebagai subyek penelitian yaitu pasien dengue hemoragic fever (DHF) di

Ruang Cempaka RSUD Kabupaten Sampang dilakukan selama tiga hari.

3.5 Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah pasien dengue hemoragic fever (DHF).

3.6 Instrumen

Instrumen penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Penelitian harus

memiliki kemampuan dalam melakukan pencatatan terhadap data berupa tingkah

laku atau penampilan sumber data. Karena harus dicatat secara tertulis tanpa

memasukkan tafsiran pendapat dan pandangannya.

Instrumen penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri dengan dibantu

instrumen lain yaitu pedoman wawancara, observasi. Peneliti sebagai instrumen

utama karena hanya peneliti yang dapat bertindak sebagai alat ada dan responsive

terhadap realitas karena bersifat kompleks. Bekal informasi awal, peneliti

melakukan observasi secara mendalam melalui wawancara dengan pasien, serta

melakukan observasi terhadap pasien dengue hemoragic fever (DHF).


79

Peneliti merupakan perencana, pengumpulan data, analisis, penafsir data,

peneliti menjadi pelapor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat

penelitian tepat karena menjadi segalanya dan keseluruhan proses penelitian.

Instrumen penelitian dimasukkan sebagai alat pengumpulan data.

3.7 Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif, sumber data primer adalah

penilitian yang melakukan tindakan dan pasien yang menerima tindakan

sedangkan sekunder berupa data hasil wawancara, observasi, dokumentasi serta

triangulasi.

3.7.1 Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu untuk

mengumpulkan data yang di gunakan. Teknik wawancara dalam penelitian ini

adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara sitermatis (hasil anamnesa berisi

tentang identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang penyakit

sekarang dahulu, penyakit sekarang keluarga dan lain-lain).

3.7.2 Observasi

Observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data yang sesuai

dengan sifat penelitian karena mengadakan pengamatan secara langsung atau

pengamatan terlibat dimana peneliti juga menjadi instrumen atau alat dalam

penelitian sehingga peneliti harus mencari data sendiri dengan terjun lansung atau

mengamati dan mencari langsung ke beberapa informan yang telah ditentukan

sebagai sumber data.


80

Metode observasi menekankan pada pemeriksaan fisik yaitu dengan IPPA

(inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi). Metode observasi ini peneliti memilih

jenis observasi partisipatif adalah observasi yang sekaligus melibatkan diri selaku

orang dalam pada situasi tertentu. Hal ini agar memudahakan peneliti memperoleh

data atau informasi dengan mudah dan leluasa.

3.7.3 Dokumentasi

Dokumentasi pada penelitian ini didapatkan dari hasil penelitian dan

pemeriksaan diagnostik dan pemeriksaan penunjang serta data lain yang relevan.

3.8 Uji Keabsahan Data

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan

data dari berbagai cara dan berbagai waktu. Terdapat triangulasi sumber,

triangulasi pengumpulan data, dan triangulasi waktu.

3.8.1 Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber untuk mengkaji kreadibilitas data dilakukan dengan

cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, diantaranya

pasien keluaraga pasien, dan perawat.

3.8.2 Triangualasi Teknik

Triangulasi teknik untuk mengusi kreadibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misal data

diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dokumentasi.


81

3.8.3 Triangulasi Waktu

1) Perpanjangan waktu pengamatan atau tindakan.

2) Informasi tambahan menggunakan triangulasi dari tiga sumber data utama

yaitu klien, perawat dan keluarga klien yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti (Sugiono, 2007).

3.9 Analisis Data

Analisis data dilakukan sejak peneliti dilapangan, sewaktu pengumpulan

data sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data dilakukan dengan cara

mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan teori yang ada dan

selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan. Teknik analisis yang digunakan

dengan cara menarasikan jawaban-jawaban yang diperoleh dari intervensi

wawancara mendalam yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Teknik

analisis dengan cara observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang

menghasilkan data untuk selanjutnya diinterpretasikan dan dibandingka teori yang

ada sebagai bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut.

Urutan dalam analisis adalah:

3.9.1 Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari hasil WOD (wawancara, observasi, dokumen).

Hasil ditulis dalam bentuk cacatan lapangan, kemudian ditulis dalam bentuk

transkip (catatan tersruktur).


82

3.9.2 Meredukasi Data

Data hasil wawancara yang berkumpul dalam bentuk cacatan lapangan

dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data subyektif

dan obyektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik kemudian

dibandingkan dengan nilai normal.

3.9.3 Penyajian Data

Data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagian maupun teks naratif.

Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan identitas diri klien.

3.9.4 Kesimpulan

Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan

hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan

menarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data yang dikumpulkan

terkait dengan data pengkajian diagnosis, perencanaan, tindakan, dan evaluasi.

3.10 Etika Penelitian

Dicantumkan etika yang mendasari penyusunan studi kasus, terdiri dari :

3.10.1 Persetujuan Menjadi Klien (Informed Consent)

Informed consent adalah bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan informed consent

tersebut. Dilakukan sebelum penelitian diberikan dengan memberikan lembar

persetujuan. Tujuan informed consent agar subyek mengerti maksud dan tujuan

penelitian, mengetahui dampaknya jika responden bersedia maka harus

menandatangani lembar persetuan tersebut, dan jika responden tidak bersedia

maka peneliti harus menghormati hak (Hidayat, 2009).


83

3.10.2 Tanpa Nama (Anonimity)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subyek dengan tidak memberikan atau mencantumkan nama

responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan (Hidayat, 2009).

3.10.3 Kerahasiaan (Confidentiality)

Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi ataupun

masalah-masalah lainnya, semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan

pada hasil riset (Hidayat, 2009).


84

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep Dan Aplikasi


Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba medika

Adriana, D. (2013). Tumbuh Kembang & Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta :
Salemba Medika.

Bagian Patologi Klinik. (2009). Peran pemeriksaan laboratorium dalam diagnose


Demam Berdarah Dengue.RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Brasier Ju, Garcia, Spratt, Forshey & Helsey. (2012). A three-component


biomarker panel for prediction of dengue hemorraghic fever. Am. J. Trop.
Med. Hyg.

Doengoes, M. (2002). Rencana asuhan keperawatan : pedoman umum


perencanaan dan pendokumentasiaan perawatan pasien . Jakarta : EGC

DepKes, RI. (2005). Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Demam


Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Damayanti. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Bandung : D-Medika.

FKUI. (2000). Ilmu Penyakit Dalam (Edisi Kedua). Jakarta : FKUI

Ganong, William F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Huda Nurarif A, dkk. (2015). NANDA NIC-NOC. Mediaction jogja : yogyakarta.

Hadinegoro, S. (2000). Pengelolaan demam berdarah dengue, siomposium


penanggulangan Demam Berdarah Dengue.

Hidayat. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak, Tumbuh Kembang Anak.


jakarta : BUKU kedokteran EGC

Harrison. (1999). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.Edisi 13. Jakarta : EGC

Hamid, Muhammad Ali. (2011). Keefektifan Kompres Tepid Sponge yang


dilakukan Ibu dalam Menurunkan Demam pada Anak : Randimized
Control Trial di Puskesmas Mumbulsasi Kabupaten Jember, Tesis Program
Studi Magister Kedokteran UNS. Dari http://eprints.uns
,ac.id/7020/1/211211812201107501.pdf diakses tanggal 05 Desember 2017
pukul 09.30 WIB.
85

Hidayat, A Aziz Alimul. (2009). Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data.
Jakarta : Salemba Medika.

IDAI. (2009). Apa itu diare. http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel. 24


november 2018

Isneini, Memed. (2014). Efektifitas penurunan suhu tubuh antara kompres hangat
dan water tsponge bath pada pasien anak usia 6 bulan- 3, diperoleh tanggal
23 november 2015darihttp://eprints.ums.ac.id

Kurane I, Ennis E Francis. (1992). Immunity and Immunopathologi in Dangue


Virus Infection. Seminar Imunology vol 4; 121-127.

Lalani, Amina. (2011). Kegawatdaruratan Pediatri. Jakarta : EGC

Nursalam, R dkk. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi Dan Anak (Untuk Perawat
Dan Bidan). Jakarta : salemba medika.

Nelson, W.E. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC

Noer. (2004). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta : EGC

NANDA. (2012-2014). Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2012-2014


Definisi dan Klasifikasi. Philadhelpia.

Potter & Perry. (2010). Fundamentals Of Nursing Edisi 7. Jakarta. Salemba


Medika.

Nawawi, Hadari, Martini. (2006). Instrumen Penelitian Bidang Sosial.


Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Sugiyono. (2007). Statistika Untuk Penelitian I.CV. Bandung : ALFABETA.

Soejiningsih. (2012). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

Soegijanto Soegeng. (2004). gastroentritis. Tinjauan dan Temuan Baru di Era


2003.Surabaya : Airlangga University Press.

Soedarto. (2012). Gastroentritis. Jakarta : V Sagung seto.

Vasanwala, dkk. (2011). Could peak proteinuria determine whether patient with
dengue fever develop dengue hemorraghic/dengue shock syndrome/- A
prospective cohort study. BMC Infectious Diseases.

World Health Organization (WHO). (1999). Guidelines for treatment of dengue


fever/dengue hemorrhagic fever in small hospitals. New Delhi.
86

lampiran 1

FORMULIR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

PENELITIAN

Formulir permohonan menjadi responden

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : BUDI RAMADHAN

Nim : 16011

Adalah mahasiswa Akademi Keperawatan Nazhatut Thullab Sampang,

sedang melakukan penelitian tentang “Asuhan keperawatan pada Anak yang

mengalami gastroentritis (GE) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD

Kabupaten Sampang”.

Pengumpulan data melalui desain studi kasus dengan metode wawancara,

observasi, studi dokumentasi.

Hasil penelitian ini sangat tergantung kepada kerjasama dari saudara, oleh

karena itu saya mohon kerjasamanya. Kerahasiaan identitas saudara akan dijaga

dan tidak akan disebarluaskan.

Saya sangat menghargai kesediaan, perhatian serta perkenan saudara,

untuk itu saya sampaikan terimakasih. Semoga kesediaan saudara dapat menjadi

dukungan untuk pengembangan ilmu Keperawatan dan kinerja profesi mendatang.

Sampang,…………. 2018

Peneliti

BUDI RAMADHAN
87

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :

Umur :

Setelah mendapat penjelasan maksud tujuan penelitian ini saya bersedia

menjadi responden pada penelitian yang dilakukan oleh saudari Vitria ningsih

mahasiswi Akademi Keperawatan Nazhatut Thullab Sampang, yang sedang

melakukan penelitian “Asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami

gastroentritis (Ge) dengan hipertermi di Ruang Cempaka RSUD Kabupaten

Sampang”.

Bersama ini saya menyatakan bersedia untuk berperan aktif dalam

penelitian ini.

Sampang,…………. 2018

Responden

(.....................................)
88

Lampiran 3

SOP TINDAKAN SPONGE BATH

Pengertian Sponge bath adalah teknik menggunakan air suam – suam


kuku (30˚C) selama 15 menit yang dibilas ke seluruh tubuh
menggunakan waslap.

Tujuan Tujuan dari sponge bath adalah menurunkan suhu tubuh pada
anak yang sedang mengalami demam dan memberi rasa
nyaman.
Prosedur a) Persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan meliputi :
(1) Handuk/waslap 5 buah
(2) Selimut mandi 1 buah
(3) Baju mandi (jika ada),
(4) Perlak besar 1 buah
(5) Handscoon
(6) Termometer suhu tubuh, termometer air
(7) Baskom yang berisi air hangat (30°C)

b) Persiapan pasien dan lingkungan :


(1) Berikan salam, perkenalkan diri dan identifikasi
klien dengan memeriksa identitas klien secara
cermat
(2) Jelaskan tentang prosedur tindakan yang akan
dilakukan
(3) Menyiapkan lingkungan yang aman dan nyaman

c) Tahap pelaksanaan
(1) Lakukan sponge bath sebelum pemberian obat
antipiretik diminum.
(2) Mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien
(3) Ukur suhu klien dan catat obat dan waktu pemberian
antipiretik yang telah diminum klien untuk
menurunkan suhu tubuh.
(4) Menempatkan perlak dibawah klien
(5) Membuka seluruh pakaian klien dan tutup tubuh
klien dengan handuk mandi
(6) Basahi waslap dengan air hangat dan peras
(7) Lakukan mengelap seluruh tubuh dengan
menggunakan waslap dimulai dari kepala dengan
tekanan lembut yang lama. Lap seluruh tubuh
meliputi leher, ketiak, perut dan ektremitas atas dan
89

ekstremitas bawah, selangkangan sampai kaki.


(8) Lakukan mengelap selama 15 menit
(9) Jangan lupa pertahankan suhu air 30°C
(10) Hentikan prosedur apabila klien kedinginan atau
suhu tubuh klien mendekati normal
(11) Pakaikan klien pakaian yang tipis (yang telah
disiapkan) dan mudah menyerap keringat.
(12) Ganti sprei (bila diperlukan)
(13) Ambil perlak dan rapikan alat-alat yang digunakan
(14) Cata suhu tubuh sebelum dan sesudah tindakan
(15) Berpamitan dengan klien.
(16) Cuci tangan
(17) Evaluasi klien pada 15 menit pertama atau dengan
periode waktu 2 jam (120 menit) setelah selesai
tindakan.
90

Lampiran 4

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANAK

TanggalMasuk : Jam Masuk :


Ruang/ Kelas : Kamar No. :
PengkajianTanggal : Jam :

A. IDENTITAS
Nama Klien : Nama Ayah :
Tanggal lahir : Nama Ibu :
Umur : Pekerjaan Ayah/ Ibu :
Suku/Bangsa : Pendidikan Ayah/ Ibu :
Agama : Suku/ Bangsa :
Alamat : Agama :
Sumber Informasi : Alamat :
Diagnosa Medis :

B. RIWAYAT KEPERAWATAN SEKARANG


1. Keluhan Utama

2. Riwayat Penyakit Saat Ini

C. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Prenatal :
2. Natal :
3. Post Natal :
91

D. RIWAYAT KEPERAWATAN SEBELUMNYA


1. Penyakit yang pernah di deritaIbu :

2. Pernah dirawat di Rumah Sakit :


3. Penggunaan obat-obatan :
4. Tindakan (operasi/ tindakan lain) :
5. Alergi :
6. Kecelakaan :
7. Imunisasi :

E. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA


1. Penyakit yang pernah diderita oleh anggota keluarga

2. Lingkungan rumah dan komunitas

3. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan

4. Persepsi keluarga terhadap penyakit anak

F. RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN


1. BB saat ini : kg, TB : cm, LK : cm, LD : cm, LLA :
cm
2. BB lahir : gr, BB sebelum sakit : kg
3. Panjang lahir : cm
4. Pengkajian perkembangan (DDST)
5. Tahap perkembangan psikososial:

6. Tahap perkembangan psikoseksual:


92

G. GENOGRAM

Ket. : Laki-laki X :Meninggal

: Perempuan : Klien

- - - - : Tinggal dalam 1 rumah

: Arah hubungan

H. RIWAYAT NUTRISI
1. Frekuensi makan : x/hari
2. Nafsu makan :( ) Baik ( ) tidak nafsu, alasan
3. Minum : Jenis , Jumlah cc/hari
4. Jenis makanan rumah :
5. Makanan yang tidak disukai/ alergi/ pantangan :

I. OBSERVASI DAN PENGKAJIAN FISIK


a) Keadaan Umum : Kesadaran :
b) Tekanan darah : Nadi :
x/menit
o
c) Respirasi : x/menit Suhu : C

1. PERNAFASAN
a) Bentuk dada :
b) Pola nafas :
c) Suara nafas :
93

d) Penggunaan otot-otot bantu pernafasan :


e) Perkusi thorax :
f) Alat bantu pernafasan:
g) Batuk :
h) Lainnya sebutkan :

2. KARDIOVASKULER
a) Nyeri dada :
b) Irama jantung :
c) Pulsasi :
d) Bunyi jantung :
e) CRT :
f) Cyanosis :
g) Clubing finger :
h) Lainnya sebutkan :

3. PERSYARAFAN
a) Reflek-reflek
(1) Menghisap :
(2) Menoleh :
(3) Menggenggam :
(4) Babinsky :
(5) Moro :
b) Patella :
c) Kejang :( ) ya, jenis ( )
tidak
d) Kaku kuduk :
e) Nyeri kepala :
f) Istirahat tidur : Siang, Jam/hari, Malam
Jam/hari
g) Kelainan N. Cranialis :
h) Lain-lain :
94

4. GENITOURINARIA
a) Bentuk alat kelamin :
b) Uretra :
c) Kebersihan alat kelamin :
d) Frekuensi kemih : x/hari, Warna : , Bau :
e) Produksi urin : ml/hari
f) Masalaheliminasiurin :
g) Lainnya, sebutkan :

5. PENCERNAAN
a) Mulut
(1) Mukosa :
(2) Bibir :
(3) Lidah :
(4) Kebersihan rongga mulut :
b) Abdomen
(1) Nyeri tekan : Lokasi , Peristaltik
x/menit
c) BAB
(1) Frekuensi : x/hari, Warna :
(2) Bau : , Konsistensi :
(3) Keluhan :
d) Lainnya, sebutkan :
95

6. MUSKULOSKELETAL DAN INTEGUMEN


a) Kemampuan pergerakan sendi lengan dan tungkai (ROM):

b) Kekuatan otot/ tonus otot :


c) Fraktur :
d) Dislokasi :
e) Kulit :
f) Akral :
g) Turgor kulit :
h) Kelembaban :
i) Oedema :
j) Kebersihan :
k) Lainnya, sebutkan :

7. PENGINDRAAN
a) Mata
(1) Reflek cahaya :
(2) Gerakan mata :
(3) Konjungtiva :
(4) Sklera :
(5) Pupil :
(6) Lainnya, sebutkan :
b) Hidung
(1) Reaksi alergi :
(2) Sekret :
(3) Lainnya, sebutkan :
c) Mulut dan tenggorokan
(1) Gigi geligi :
(2) Kesulitan menelan :
(3) Lainnya, sebutkan :
96

8. ENDOKRIN
a) Pembesaran kelenjar tiroid :
b) Pembesaran kelenjar parotis :
c) Hiperglikemia :
d) Hipoglikemia :
e) Lainnya, sebutkan :

9. ASPEK PSIKOSOSIAL
a) Ekspresi afek dan emosi :
b) Hubungan dengan keluarga :
c) Dampak hospitalisasi bagi anak :
d) Dampak hospitalisasi bagi orang tua :

J. DATA PENUNJANG
1. Laboratorium :

2. USG :

3. Roentgen :

4. Terapi yang didapat :

K. DATA TAMBAHAN

Pemeriksa

( )
97

Analisa Data

Initial :....................... Dx Medis :.......................

No. Register :....................... Ruangan :.......................

Analisa Data Etiologi Masalah

Klien 1

Klien 2
98

Diagnosa Keperawatan

Initial :....................... Dx Medis :.......................

No. Register :....................... Ruangan :.......................

Data Problem Etiologi

Klien 1

Klien 2
99

Perencanaan

Initial :....................... Dx Medis :.......................

No. Register :....................... Ruangan :.......................

DIAGNOSA INTERVENSI RASIONAL


KEPERAWATAN
(Tujuan & Kriteria
Hasil)

Klien 1

Klien 2
100

Evaluasi

Initial :....................... Dx Medis :.......................

No. Register :....................... Ruangan :.......................

EVALUASI HARI 1 HARI 2 HARI 3

Klien 1
101

Klien 2

Anda mungkin juga menyukai