Makalah Farmakologi Toksikologi Obat Saluran Cerna Antagonis Reseptor H2
Makalah Farmakologi Toksikologi Obat Saluran Cerna Antagonis Reseptor H2
FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI I
OBAT SALURAN CERNA
(ANTAGONIS RESEPTOR H-2)
OLEH:
RISMAYA AMINI
J1E111215
2014
BAB I
PENDAHULUAN
(Aziz, 2002).
Meskipun antagonis histamin reseptor H-2 (antagonis H-2)
menghambat kerja histamin pada semua reseptor H-2, namun penggunaan
klinis utamanya ialah sebagai penghambat sekresi asam lambung. Dengan
menghambat secara kompetitif ikatan histamin dengan reseptor H-2, zat ini
mengurangi konsentrasi cAMP intraselular, dengan demikian, juga sekresi
asam lambung. Empat macam obat yang digunakan yaitu simetidin,
ranitidin, famotidin, dan nizatidin, setelah satu dosis tunggal mampu
menghambat (lebih dari 90%) sekresi basal, yang dirangsang makanan dan
sekresi malam hari (Mycek et al, 2001).
II.3.2 Mekanisme kerja
Obat-obat ini diduga bekerja dengan cara menghambat interaksi
histamin dengan reseptor H2 secara kompetitif dan selektif sehingga tidak
memberikan efek pada reseptor H1. Kerja utama obat ini adalah mengurangi
sekresi asam lambung yang disebabkan oleh histamin, gastrin, obat-obat
kolinomimetrik (AINS), rangsangan vagal makanan (terutama asam),
insulin, dan kopi. Juga perlu diketahui, obat-obat ini tidak hanya
menghambat sekresi asam nokturnal tetapi juga basal. Selain itu, obat-obat
ini mereduksi dengan baik volume cairan lambung dan konsentrasi ion
histamin+. Simetidin, ranitidin, dan famotidin memiliki pengaruh yang kecil
terhadap fungsi otot polos lambung dan tekanan sfingter esofagus. Nizatidin
dapat menekan kontraksi asam lambung sehingga memperpendek waktu
pengosongan lambung dan hal ini diduga karena efeknya menghambat
asetilkolinesterase (Staf pengajar departemen farmakologi fakultas
kedokteran universitas sriwijaya, 2008).
II.3.3 Farmakokinetik
Antagonis H2 diabsorpsi secara cepat dan baik setelah pemberian oral.
Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam. Waktu paruh
eliminasi ranitidin, simetidin, dan famotidin kurang lebih 2-3 jam sedangkan
nizatidin lebih pendek yaitu 1,3 jam. Walaupun obat-obat ini mengalami
metabolisme hepatik, obat-obat ini diekskresi dalam jumlah besar di urine
dalam bentuk utuh sehingga pada gangguan ginjal perlu dilakukan
penyesuaian dosis (Staf pengajar departemen farmakologi fakultas
kedokteran universitas sriwijaya, 2008).
II.3.4 Indikasi klinik
a. Ulkus peptikum : Keempat obat ini sama efektifnya dalam
mempercepat penyembuhan ulkus duodenum dan lambung.
Namun, kekambuhan sering terjadi setelah pengobatan dengan
antagonis H2 dihentikan (60-100% per tahun). Hal ini dapat
dicegah secara efektif dengan eradikasi Helicobacter pylori, dan
antagonis H2 masih digunakan secara luas pada pengobatan ulkus
peptikum dalam kombinasi dengan obat-obat antimikroba.
b. Sindrom Zollinger-Ellison : Sindrom Zollinger-Ellison merupakan
suatu keadaan yang jarang dengan tumor yang memproduksi
gastrin menyebabkan hipersekresi HCL. Dengan antagonis H2,
hipersekresi asam lambung dapat dipertahankan pada kadar yang
aman pada pasien dengan sindrom Zollinger-Ellison.
c. Ulkus karena stress akut : Obat-obat ini berguna untuk mengatasi
ulkus karena stress akut yang menyertai trauma fisik pada pasien
dengan risiko tinggi di unit perawatan intensif (ICU).
d. Penyakit refluks gastroesofageal (heartburn) : dosis rendah
antagonis H2, yang akhir-akhir ini dilepaskan untuk dijual bebas
nampaknya efektif untuk mencegah dan mengobati nyeri ulu hati
(refluks gastroesofageal). Karena obat-obat ini bekerja dengan
menghentikan sekresi asam, maka obat-obat ini tidak
menghilangkan gejala selama sedikitnya 45 menit. Antasida lebih
efisien menetralkan asam yang telah disekresi di dalam lambung.
(Mycek et al, 2001).
II.3.5 Efek samping
Efek samping simetidin biasanya ringan dan disertai terutama dengan
aktivitas farmakologis utama dari obat tersebut, yaitu mengurangi produksi
asam lambung. Efek samping hanya terjadi pada sejumlah kecil pasien, dan
umumnya tidak memerlukan penghentian obat. Efek samping yang paling
sering terjadi ialah sakit kepala, pusing, diare, dan nyeri otot. Efek susunan
saraf pusat lainnya (bingung, halusinasi) terjadi pada pasien lanjut usia atau
penggunaan jangka panjang. Simetidin dapat juga memiliki efek endokrin,
karena obat ini bekerja sebagai antiandrogen nonsteroid. Efek ini meliputi
ginekomastia, galaktorea (pengeluaran ASI yang berkepanjangan), dan
jumlah sperma yang berkurang. Simetidin menghambat sitokrom P-450 dan
dapat memperlambat metabolisme (jadi memperkuat efek) dari beberapa
obat (misalnya warfarin, diazepam, fenitoin, quinidin, karbamazepin,
teofilin, imipramin), kadang-kadang menyebabkan efek klinik yang serius
(Mycek et al, 2001).
II.3.6 Contoh obat
a. Simetidin
Mekanisme kerja
Simetidin merupakan antagonis kompetitif histamin pada reseptor
H2 dari sel parietal sehingga secara efektif dapat menghambat
sekresi asam lambung. Simetidin juga memblok sekresi asam
lambung yang disebabkan oleh rangsangan makanan, asetilkolin,
kafein, dan insulin. Simetidin digunakan untuk pengobatan tukak
lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, misal
sindrom Zolinger – Ellison (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Farmakokinetik
Simetidin dapat dicerna secara cepat dalam saluran cerna, kadar
plasma tertinggi dicapai dalam 1 jam bila diberikan dalam keadaan
lambung kosong dan 2 jam bila diberikan bersama – sama dengan
makanan (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Efek samping
Simetidin dapat menimbulkan efek samping seperti diare, pusing,
kelelahan dan rash (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Dosis
Dosis Simetidin adalah 200 – 400 mg (Siswandono & Soekardjo,
1995).
b. Ranitidin
Mekanisme kerja
Ranitidin HCl merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas
pada reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi
asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung
(Siswandono & Soekardjo, 1995).
Farmakokinetik
Ranitidin HCl diserap 39–87% setelah pemberian oral dan mempunyai
masa kerja yang cukup panjang, pemberian dosis 150 mg efektif
menekan sekresi asam lambung selama 8–12 jam. Kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 2–3 jam setelah pemberian oral, dengan waktu
paro eliminasi 2–3 jam (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Efek samping
Efek samping Ranitidin HCl antara lain hepatitis, trombositopenia dan
leukopenia yang terpulihkan, sakit kepala dan pusing (Siswandono &
Soekardjo, 1995).
Dosis
Dosis Ranitidin HCl adalah 150–300 mg (Siswandono & Soekardjo,
1995).
c. Famotidin
Mekanisme kerja
Famotidin merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada
reseptor H2, sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam
lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung.
Famotidin merupakan antagonis H2 yang kuat dan sangat selektif
dengan masa kerja panjang (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Farmakokinetika
Penyerapan Famotidin dalam saluran cerna tidak sempurna 40–45 %
dan pengikatan protein plasma relatif rendah 15–22 %. Kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 1–3 jam setelah pemberian oral, waktu paro
eliminasi 2,5–4 jam, dengan masa kerja obat 12 jam (Siswandono &
Soekardjo, 1995).
Efek samping
Efek samping obat antara lain adalah trombositopenia, konstipasi,
diare, sakit kepala dan pusing (Siswandono & Soekardjo, 1995).
Dosis
Dosis Famotidin adalah 20–40 mg (Siswandono & Soekardjo, 1995).
d. Nizatidin
Efek farmakologi dan potensi nizatidin sama seperti ranitidin. Berbeda
dengan simetidin, ranitidin, dan famotidin (yang dimetabolisme oleh
hati), nizatidin dieliminasi terutama oleh ginjal. Karena sedikit terjadi
metabolisme first-pass dengan nizatidin, maka ketersediaan hayatinya
hampir 100% (Mycek et al, 2001).
BAB III
PENUTUP
Aziz, N. 2002. Peran Antagonis Reseptor H-2 dalam Pengobatan Ulkus Peptikum.
Sari Pediatri Vol. 3 No. 4. Hal 222 – 226.