VEGETASI Untuk KONSERVASI TANAH DAN AIR
VEGETASI Untuk KONSERVASI TANAH DAN AIR
VEGETASI
UNTUK
KONSERVASI TANAH DAN AIR
(MK. KONSERVASI LINGKUNGAN; smno.psdl.pdkl.ppsub.2013)
1. Pendahuluan
Erosi tanah adalah peristiwa terangkutnya tanah dari satu tempat ke tempat
lain oleh air atau angin. Pada dasarnya ada tiga proses penyebab erosi yaitu pelepasan
(detachment) partikel tanah, pengangkutan (transportation), dan pengendapan
(sedimentation). Erosi menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas (top soil) dan unsur
hara yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Erosi yang disebabkan oleh air
hujan merupakan penyebab utama degradasi lahan di daerah tropis termasuk
Indonesia. Tanah-tanah di daerah berlereng mempunyai risiko tererosi yang lebih
besar daripada tanah di daerah datar. Selain tidak stabil akibat pengaruh kemiringan,
air hujan yang jatuh akan terusmenerus memukul permukaan tanah sehingga
memperbesar risiko erosi. Berbeda dengan daerah datar, selain massa tanah dalam
posisi stabil, air hujan yang jatuh tidak selamanya memukul permukaan tanah karena
dengan cepat akan terlindungi oleh genangan air.
2
Tanah yang hilang akibat proses erosi tersebut terangkut oleh air sehingga
menyebabkan pendangkalan saluran drainase termasuk parit, sungai, dan danau. Erosi
yang telah berlanjut menyebabkan rusaknya ekosistem sehingga penanganannya akan
memakan waktu lama dan biaya yang mahal. Menurut Kurnia et al. (2002), kerugian
yang harus ditanggung akibat degradasi lahan tanpa tindakan rehabilitasi lahan
mencapai Rp 291.715,- /ha, sedangkan apabila lahan dikonservasi secara vegetatif,
maka kerugian akan jauh lebih rendah. Pencegahan dengan teknik konservasi yang
tepat sangat diperlukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab erosi.
Kondisi sosial ekonomi dan sumber daya masyarakat juga menjadi
pertimbangan sehingga tindakan konservasi yang dipilih diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas lahan, menambah pendapatan petani serta memperkecil
risiko degradasi lahan. Pada dasarnya teknik konservasi dibedakan menjadi tiga yaitu:
(a) vegetatif; (b) mekanik; dan (c) kimia. Teknik konservasi mekanik dan vegetatif
telah banyak diteliti dan dikembangkan. Namun mengingat teknik mekanik umumnya
mahal, maka teknik vegetatif berpotensi untuk lebih diterima oleh masyarakat.
Teknik konservasi tanah secara vegetatif mempunyai beberapa keunggulan
dibandingkan dengan teknik konservasi tanah secara mekanis maupun kimia, antara
lain karena penerapannya relatif mudah, biaya yang dibutuhkan relatif murah, mampu
menyediakan tambahan hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu,
buah maupun hasil tanaman lainnya. Hal tersebut melatarbelakangi pentingnya
informasi mengenai teknologi konservasi tanah secara vegetatif.
Dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan
harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu teknologi
pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan
bilama memiliki ciri seperti : dapat meningkatkan pendapatan petani, komoditi yang
diusahakan sesuai dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar, tidak
mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan teknologi tersebut dapat
diterapkan oleh masyarakat.
Ada beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan
pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) yaitu :
a. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage,
countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan
residu tanaman, dll.
b. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
c. Struktur/konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek
dam, Saluran, dll.
d. Manajemen, berupa perubahan penggunaan lahan.
Tanah dengan penutup tanah yang baik berupa vegetasi, mulsa residu
tanaman akan memperkecil erosi dan limpasan permukaan. Harsono (1995), lahan
tertutup dengan hutan, padang rumput dapat mengurangi erosi hingga kurang dari 1%
dibandingkan dengan tanah terbuka. Permukaan tanah dengan penutupan yang baik
dapat berdampak terhadap :
o Menyediakan cadangan air tanah
o Memperbaiki/menstabilkan struktur tanah,
o Meningkatkan kandungan hara tanah, sehingga lebih produktif
o Mempertahankan kondisi tanah dan air.
o Memperbaiki ekonomi petani.
3
Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada akhirnya akan
mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akibat tingginya sedimentasi
akan mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga akan mempengaruhi kelancaran
jalur pelayaran.
Erosi dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami, dan
baik untuk ekosistem. Misalnya, kerikil secara berkala turun ke elevasi yang lebih
rendah melalui angkutan air. erosi yang berlebih, tentunya dapat menyebabkan
masalah, semisal dalam hal sedimentasi, kerusakan ekosistem dan kehilangan air
secara serentak. Banyaknya erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk
besarnya dan intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu pula
musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk tipe sedimen, tipe
batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringn lahan. Faktor biologis termasuk
tutupan vegetasi lahan,makhluk yang tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan
ooleh manusia.
Umumnya, dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah
hujan tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai tentunya lebih
terkena erosi. Batuan induk Sedimen yang kaya pasir atau debu, terletak pada area
dengan kemiringan yang curam, lebih mudah tererosi, begitu pula area dengan batuan
lapuk atau batuan pecah. porositas dan permeabilitas sedimen atau batuan berdampak
pada kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam tanah.
Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang terbentuk lebih sedikit,
sehingga mengurangi erosi permukaan. Sedimen yang mengandung banyak lempung
cenderung lebih mudah bererosi daripada pasir atau silt.
Faktor yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe tutupan
lahan. pada hutan yang tak terjamah, minerla tanah dilindungi oleh lapisan humus dan
5
lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi tanah dengan meredam dampak tetesan
hujan. lapisan-lapisan beserta serasah di dasar hutan bersifat porus dan mudah
menyerap air hujan. Biasanya, hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin
ribut) saja yang akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. bila
Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat peresapan air
menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. Kebakaran yang parah dapat menyebabkan
peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti denga hujan lebat.
itu pemilihan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan (Kasdi Subagyono,
Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
3. Teknik Vegetatif
Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan
tanaman/vegetasi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari
erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta
perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi (Kasdi Subagyono,
Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Pada dasarnya konservasi tanah secara
vegetatif adalah segala bentuk pemanfaatan tanaman ataupun sisa-sisa tanaman untuk
mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman berfungsi sebagai pelindung
tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran
permukaan (runoff), serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah.
Tajuk tumbuhan berfungsi menahan laju butiran air hujan dan mengurangi
tenaga kinetik butiran air dan pelepasan partikel tanah sehingga pukulan butiran air
dapat dikurangi. Air yang masuk di sela-sela kanopi (interception) sebagian akan
kembali ke atmosfer akibat evaporasi. Fungsi perlindungan permukaan tanah
terhadap pukulan butir air hujan merupakan hal yang sangat penting karena erosi
yang terjadi di Indonesia penyebab utamanya adalah air hujan. Semakin rapat
penutupannya akan semakin kecil risiko hancurnya agregat tanah oleh pukulan
butiran air hujan. Batang tanaman juga menjadi penahan erosi air hujan dengan cara
merembeskan aliran air dari tajuk melewati batang (stemflow) menuju permukaan
tanah sehingga energi kinetiknya jauh berkurang. Batang juga berfungsi memecah
dan menahan laju aliran permukaan. Jika energi kinetik aliran permukaan berkurang,
8
maka daya angkut materialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan
yang relatif tinggi untuk meresapkan air. Beberapa jenis tanaman yang ditanam
dengan jarak rapat, batangnya mampu membentuk pagar sehingga memecah aliran
permukaan. Partikel tanah yang ikut bersama aliran air permukaan akan mengendap
di bawah batang dan lama-kelamaan akan membentuk bidang penahan aliran
permukaan yang lebih stabil.
Keberadaan perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat tanah yang
disebabkan oleh penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakan habitat yang baik bagi
organisme dalam tanah, sebagai sumber bahan organik bagi tanah dan memperkuat
daya cengkeram terhadap tanah (Foth, 1995, Killham, 1994, Agus et al., 2002).
Perakaran tanaman juga membantu mengurangi air tanah yang jenuh oleh air hujan,
memantapkan agregasi tanah sehingga lebih mendukung pertumbuhan tanaman dan
mencegah erosi, sehingga tanah tidak mudah hanyut akibat aliran permukaan,
meningkatkan infiltrasi, dan kapasitas memegang air.
Teknik konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dalam
bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan
maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi ini sering dipadukan
dengan tindakan konservasi tanah dan air secara pengelolaan.
Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan
keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan struktur
tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan
lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat
meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas
tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi.
Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah: 1) Melindungi
permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan terminal dan
memperkecil diameter air hujan), 2) menurunkan kecepatan dan volume air runoff, 3)
menahan partikel-partikel tanah pada tempetnya melelui sistem perakaran dan serasah
yang dihasilkan, dan 4) mempertahankan kapasitas tanah dalam menyimpan air; dan
5) meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air dalam tanah.
Vegetasi secara umum dapat mencegah erosi, namun setiap jenis tanaman
dan banyaknya tajuk terhadap erosi berbeda-beda. Pada tanaman yang rimbun
kemungkinan erosi lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh jarang.
Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi yaitu intersepai air hujan oleh
tanaman, mengurangi kecepatan aliran dan energi perusak air serta meningkatkan
efektivitas mikroorganisme yang berperan dalam proses humifikasi. Juga dapat
menigkatkan agregasi dimana akar-akar tanaman dengan selaput koloidnya
menyebabkan agregat menjadi stabil dan pengaruh traspirasi dimana terjadi
peningkatan kehilangan air tanah melalui penguapan sehingga kemampuan menyerap
air meningkat.
Sruktur tajuk taumbuhan pada suatu areal tertentu, jika berlapis dengan
tanaman penutup tanah dan serasah akan memberikan ketahanan berganda terhadap
pukulan butiran hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Menurut Soemarwoto (1983)
bahwa selain berfungsi menghalangi pukulan langsung air hujan kepermukaan tanah,
vegetasi penutup lahan juga menambah kandungan bahan organik tanah yang
9
erosi yang berarti. Akan tetapi penebangan hutan dimana pohon-pohonnya ditarik
keluar akan menimbulkan erosi tanah
Vegetasi dapat berfungsi dalam konservasi tanah dan air karena ia memiliki
beberapa manfaat yang mendukung terciptanya pertanian berkelanjutan. Vegetasi
memeliki beberapa manfaat yang merupakan ciri pertanian berkelanjutan seperti
konservasi, reklamasi dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap
erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta ha hanya terjadi sebesar 0,4 ton/ha/thn.
Namun pada hutan yang terbakar mengakibatkan erosi meningkat, demikian halnya
dengan sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang
tidak terganggu.
Alley cropping pada lahan miring dapat mengendalikan erosi dan limpasan
permukaan (sumber: http://www.agnet.org/)
Sistem alley cropping antara pohon karet (double row) dan kopi. Pohon karet
juga berfungsi sebagai pohon naungan bagi tanaman kopi (sumber:
http://www.scielo.br/)
Radiasi matahari yang tersedia bagi tanaman kopi dipengaruhi oleh jaraknya dari
pohon karet
16
6.2. Wanatani
Penerapan wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam
mampu mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan
apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim. Proporsi
tanaman tahunan dan semusim yang ideal tergantung pada kemiringan lahan dan
sistem wanatani (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Secara umum proporsi tanaman tahunan makin banyak pada lereng yang semakin
curam demikian juga sebaliknya.
Tanaman semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman
yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman tahunan. Pengolahan tanah pada
tanaman semusim biasanya dilakukan dengan cara mencangkul, mengaduk tanah,
maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat tanah, sehingga tanah
mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu lahan, maka risiko erosi akibat
pengolahan tanah juga semakin besar.
Penanaman tanaman tahunan tidak memerlukan pengolahan tanah secara
intensif. Perakaran yang dalam dan penutupan tanah yang rapat mampu melindungi
tanah dari erosi. Tanaman tahunan yang dipilih sebaiknya dari jenis yang dapat
memberikan nilai tambah bagi petani dari hasil buah maupun kayunya. Selain dapat
menghasilkan keuntungan dengan lebih cepat dan lebih besar, wanatani ini juga
merupakan sistem yang sangat baik dalam mencegah erosi tanah.
Sistem wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia dan berkembang
menjadi beberapa macam, yaitu pertanaman sela, pertanaman lorong, talun hutan
rakyat, kebun campuran, pekarangan, tanaman pelindung/multistrata, dan
silvopastural.
19
Interaksi sinergistik antara pohon, tanaman semusim dan ternak dalam system
agroforestry (sumber: http://www.agnet.org/)
Alley cropping dengan rumput dan/atau tanaman hijauan pakan perdu atau
pohon. Tanaman pagar yang memnghasilkan hijauan pakan (misalnya
Desmodium rensonii, Leucaena leucocephala, Gliricidia septum, Flemingia
congesta) ditanam menurut garis kontur dengan interval tertentu. Alleys di antara
tanaman pagar dapat ditanami rumput atau hijauan pakan. Pemangkasan rumput
dan hijauan digunakan untuk suplai pakan ternak dengan metode cut-and-carry.
Sistem alley cropping yang emelibatkan aneka jenis tanaman legume (sumber:
http://www.greenstone.org/)
Manfaat ganda pohon sebagai tanaman pagar dalam sistem alley cropping (sumber:
http://www.winrock.org/fnrm/factnet/)
pada masa lampau, utamanya sebelum tahun 1980an, di mana kebanyakan hutan
rakyat berorientasi subsisten, untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga petani sendiri.
Pengelolaan hutan rakyat secara komersial telah dimulai semenjak beberapa ratus
tahun yang silam, terutama dari wilayah-wilayah di luar Jawa. Hutan-hutan --atau
tepatnya, kebun-kebun rakyat dalam rupa hutan-- ini menghasilkan aneka komoditas
perdagangan dengan nilai yang beraneka ragam. Terutama hasil-hasil hutan non-kayu
(HHNK). Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah penghasilnya, di
antaranya:
Getah dan resin:
Karet (Hevea brasiliensis); terutama di Sumatra bagian timur dan
Kalimantan
Jelutung (Dyera spp.); Sumatra dan Kalimantan
Nyatoh (Palaquium spp., Payena spp.); terutama Kalimantan
Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan
dan Lampung, terutama Lampung Barat
Damar batu (Shorea spp.); Sumatra dan Kalimantan
Kemenyan (Styrax benzoin); Sumatera Utara terutama Tapanuli Utara
Buah-buahan:
Durian (Durio spp., terutama D. zibethinus); Sumatra, Kalimantan, Jawa,
dan Maluku.
Jambu mente (Anacardium occidentale); Sulawesi Tenggara dan
Sumbawa
Kluwek atau kepayang (Pangium edule); banyak tempat, terutama di
Jawa.
Kemiri (Aleurites moluccana); Sumatra, Sumbawa dan Sulawesi Selatan
Kopi (Coffea spp.); banyak tempat, termasuk Bali dan Lombok.
Lada (Piper nigrum); Sumatra, Kalimantan
Pala (Myristica fragrans); Aceh dan Maluku
Petai (Parkia speciosa); Sumatra, Kalimantan dan Jawa
Tengkawang (Shorea spp.); Kalimantan
Rempah-rempah lain:
Kulit manis atau kayu manis (Cinnamomum spp.); Sumatra, terutama
Sumatera Barat dan Kerinci
Cengkeh (Syzygium aromaticum), banyak tempat.
Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa.
Kayu-kayuan:
Jeunjing (Paraserianthes falcataria); Jawa, terutama Jawa Barat dan
Jawa Tengah
Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta,
Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta
Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara
Mahoni (Swietenia macrophylla); dari banyak tempat di Jawa Barat dan
Jawa Tengah
26
Lain-lain:
Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
Cendana (Santalum album); Sumba dan Timor
Sagu (Metroxylon sago); Maluku dan Papua.
(5). Pekarangan
Pekarangan adalah lahan di sekitar rumah dengan berbagai jenis tanaman
semusim dan tanaman tahunan. Lahan tersebut mempunyai manfaat tambahan bagi
keluarga petani, dan secara umum merupakan gambaran kemampuan suatu keluarga
dalam mendayagunakan potensi lahan secara optimal. Tanaman yang umumnya
ditanam di lahan pekarangan petani adalah ubi kayu, sayuran, tanaman buah-buahan
seperti tomat, pepaya, tanaman obat-obatan seperti kunyit, temulawak, dan tanaman
lain yang umumnya bersifat subsisten.
(7). Silvopastural
Sistem silvipastura sebenarnya adalah bentuk lain dari sistem tumpang sari,
tetapi yang ditanam di sela-sela tanaman tahunan bukan tanaman pangan melainkan
tanaman pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja
(Penniseitum purpoides), dan lain-lain (Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan
Undang Kurnia, 2003). Silvipastural umumnya berkembang di daerah yang
mempunyai banyak hewan ruminansia. Hasil kotoran hewan ternak tersebut dapat
dipergunakan sebagai pupuk kandang, sementara hasil hijauannya dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Sistem ini dapat dipakai untuk
mengembangkan peternakan sebagai komoditas unggulan di suatu daerah.
28
menunjukkan bahwa tingkat erosi pada tahun pertama masih tinggi karena rumput
belum tumbuh optimal. Pertumbuhan rumput yang lebih baik pada tahun kedua
mampu menekan jumlah tanah tererosi antara 30-60% pada kemiringan di bawah
20%. Sedimen yang tertahan lama kelamaan akan mendekati bentuk datar sehingga
menciptakan bidang teras alami. Abujamin et al. (1983) melaporkan bahwa setelah 4
tahun (1976/1977 sampai dengan 1979/1980) strip rumput bahia menghasilkan teras
alami hasil endapan partikel tanah terangkut dengan ketinggian sekitar 25-30 cm,
sedangkan pada strip rumput bede sekitar 50-60 cm.
6.4. Mulsa
Strip vetiver dan mulsa untuk mencegah erosi di lahan pertanaman jagung
(Kasdi Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Mulsa sisa tanaman atau bahan-bahan lain dari tanaman yang berfungsi
untuk konservasi tanah dan air diuraikan. Peran mulsa dalam menekan laju erosi
sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase penutupan tanah, tebal lapisan mulsa,
dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi (Abdurachman dan Sutono, 2002).
Menurut Suwardjo et al. (1989), dalam jangka panjang olah tanah minimum dan
pemberian mulsa dapat menurunkan erosi hingga di bawah ambang batas yang dapat
diabaikan (tolerable soil loss). Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi
mulsa, erosi terjadi semakin besar.
32
Mulsa yang diberikan sebaiknya berupa sisa tanaman yang tidak mudah
terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung dengan takaran yang disarankan
adalah 6 t/ha atau lebih. Bahan mulsa sebaiknya dari bahan yang mudah diperoleh
seperti sisa tanaman pada areal lahan masing-masing petani sehingga dapat
menghemat biaya, mempermudah pembuangan limbah panen sekaligus mempertinggi
produktivitas lahan.
sehingga jenis tanaman yang berselang-seling tampak lebih rapat. Sistem ini sangat
efektif dalam mengurangi erosi hingga 70-75% (FAO, 1976) dan vegetasi yang
ditanam (dari jenis legum) akan mampu memperbaiki sifat tanah walaupun terjadi
pengurangan luas areal tanaman utama sekitar 30-50% (Kasdi Subagyono, Setiari
Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Pada dasarnya, sistem barisan sisa tanaman (trash line) ini sama dengan
sistem strip. Sistem ini adalah teknik konservasi tanah yang bersifat sementara
dimana gulma/rumput/sisa tanaman yang disiangi ditumpuk berbaris. Untuk daerah
berlereng biasanya ditumpuk mengikuti garis kontur. Penumpukan ini selain dapat
megurangi erosi dan menahan laju aliran permukaan juga bisa berfungsi sebagai
mulsa. Ketersediaan bahan sisa tanaman harus cukup banyak sehingga
penumpukannya membentuk struktur yang lebih kuat. Sisa tanaman tersebut lemah
dalam menahan gaya erosi air dan akan cepat terdekomposisi sehingga mudah
hanyut. Penggunaan kayu-kayu pancang diperlukan untuk memperkuat barisan sisa
tanaman ini. Sistem ini cukup bagus untuk mempertahankan ketersediaan hara
melalui dekomposisi bahan organik dan melindungi tanah dari bahaya erosi sampai
umur tanaman <5 bulan (Dariah et al., 1998).
Barisan sisa tanaman tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Untuk
pembuatan barisan sisa tanaman hanya memerlukan antara 10-30 HOK/ha (Agus et
al., 1999). Pada tahun kedua perlu dibuat barisan sisa tanaman yang baru.
Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yang biasa ditanam
pada lahan kering dan dapat menutup seluruh permukaan tanah. Tanaman yang
dipilih sebagai tanaman penutup tanah umumnya tanaman semusim/tahunan dari jenis
legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan, dapat memperbaiki sifat
tanah (fisik, kimia, dan biologi) dan menghasilkan umbi, buah, dan daun. Menurut
Lal (1978), tanaman penutup tanah mampu meningkatkan laju infiltrasi. Laju
infiltrasi pada tanah bera (bare soil) atau belum ditanami, tanah bera alami (natural
fallow), tanah yang ditanami Paspalum notatum, Stylosanthes gracilis, Bracharia
35
Pola tanam adalah sistem pengaturan waktu tanam dan jenis tanaman sesuai
dengan iklim, kesesuaian tanah dengan jenis tanaman, luas lahan, ketersediaan
tenaga, modal, dan pemasaran. Pola tanam berfungsi meningkatkan intensitas
38
penutupan tanah dan mengurangi terjadinya erosi. Biasanya petani sudah mempunyai
pengetahuan tentang pola tanam yang cocok dengan keadaan biofisik dan sosial
ekonomi keluarganya berdasarkan pengalaman dan kebiasaan pendahulunya.
Pengalaman menunjukkan bahwa dalam suatu usaha tani, erosi masih terjadi.
Pemilihan pola tanam yang tepat dapat meningkatkan keuntungan bagi petani dan
meningkatkan penutupan tanah sehingga erosi dapat dikurangi. Misalnya penanaman
padi gogo yang disisipi jagung pada awal musim hujan, setelah panen disusul
penanaman kedelai dan pada saat bera ditanami benguk (Mucuna sp.). Jenis tanaman
dapat lebih bervariasi tergantung keinginan petani dan daya dukung lahannya (Kasdi
Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003).
Pertanaman majemuk yang merupakan salah satu bagian dalam pola tanam
pada dasarnya merupakan sistem dimana satu bidang olah ditanami lebih dari satu
jenis tanaman pangan. Misalnya dalam satu bidang olah ditanami sekaligus tanaman
jagung, padi gogo, mukuna (benguk), dan kedelai. Sistem ini bertujuan untuk
mempertinggi intensitas penggunaan lahan, dan dapat mengurangi risiko gagal panen
untuk salah satu tanaman, meningkatkan nilai tambah bagi petani dan juga termasuk
tindakan pengendalian hama dan pengendalian erosi. Pada tahun 1974, hasil
penelitian IRRI membuktikan bahwa populasi hama penggerek jagung (Ostrinia
nubilalis) pada penanaman tumpang sari antara jagung dan kacang tanah berada
dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah populasi hama tersebut
pada saat jagung ditanam secara monokultur.
Dengan penerapan pertanaman majemuk, penutupan tanah akan lebih rapat
sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung dan
menahan aliran permukaan. Sistem pertanaman yang termasuk sistem pertanaman
majemuk adalah sistem pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (inter
cropping), dan tumpang gilir (relay cropping).
The rotation of crops is not only necessary to offer a diverse "diet" to the
soil micro organisms, but as they root at different soil depths, they are
capable of exploring different soil layers for nutrients. Nutrients that have
been leached to deeper layers and that are no longer available for the
commercial crop, can be "recycled" by the crops in rotation. This way the
rotation crops function as biological pumps. Furthermore, a diversity of
crops in rotation leads to a diverse soil flora and fauna, as the roots
excrete different organic substances that attract different types of bacteria
and fungi, which in turn, play an important role in the transformation of
these substances into plant available nutrients. Crop rotation also has an
important phytosanitary function as it prevents the carry over of crop-
specific pests and diseases from one crop to the next via crop residues.
Hubungan curah hujan dan hari hujan dan beberapa alternatif pola
tanam di Desa Kandangan, Semarang tahun 1986/1987 (P3HTA,
1988)
44
45
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman A., Sutono, dan I. Juarsah. 1997. Pengkayaan bahan organik tanah
dalam upaya pelestarian usaha tani lahan kering di DAS bagian hulu.hlm. 89-
105 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Review. Cisarua-Bogor, 4-6
Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Abdurachman, A., A. Barus, Undang Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola
tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim.
Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4:41-46.
Abdurachman, A., dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan
berlereng. hlm.103-145 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju
Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian.
Abdurachman, A., S. Abujamin, dan Suwardjo. 1982. Beberapa cara konservasi tanah
pada areal pertanian rakyat. Disampaikan pada Pertemuan Tahunan
Perbaikan Rekomendasi Teknologi tgl. 13-15 April. Pusat Penelitian Tanah,
Bogor (Tidak dipublikasikan).
Abujamin, S. 1978. Peranan rumput dalam usaha konservasi tanah. Seminar LP.
Tanah, 8 Juli 1978 (Tidak dipublikasikan).
Abujamin, S., A. Adi, dan U. Kurnia. 1983. Strip rumput permanen sebagai salah satu
cara konservasi tanah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 1: 16-20.
Adiningsih, J.S. dan Mulyadi. 1992. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan
lahan alang-alang. hlm. 29-46 dalam Prosiding Seminar Lahan Alang-alang:
Pemanfaatan Lahan Alang-alang untuk Usahatani Berkelanjutan. Bogor, 1
Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Tala’ohu, A Dariah, B.R.
Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi Tanah
dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi
Pusat. Jakarta.
Agus, F., A.Ng. Ginting, dan M. van Noordwidjk. 2002. Pilihan Teknologi
Agroforestri/Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di
Sumberjaya, Lampung Barat. International Centre for Research in
Agroforestry, Bogor.
Agus, F., A.Ng. Ginting, U. Kurnia, A. Abdurachman, and P. van der Poel. 1998. Soil
erosion research in Indonesia: Past experience and future direction. pp. 255-
267. In F.W.T. Penning de Vries, F. Agus, and J. Kerr (Eds.). Soil Erosion at
Multiple Scales: Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts.
CAB International, Wallingford, UK.
Anonim, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Arsyad, S. 1976. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
46
Bezkorowajnyi, P.G.; Gordon, A.M.; McBride, R.A. 1993. The effect of cattle foot
traffic on soil compaction in a silvo-pastoral system. Agroforestry Systems.
21: 1-10.
Clason, T.R. 1995. Economic implications of silvipastures on southern pine
plantation. Agroforestry Systems. 19: 227-238.
Dariah, A., S. Damanik, S.H. Tala'ohu, D. Erfandi, A. Rachman, dan N.L. Nurida.
1998. Studi teknik konservasi tanah pada lahan pertanaman akar wangi di
Kecamatan Semarang, Kabupaten Garut. hlm. 185-197 dalam Prosiding
Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai: Alternatif dan Pendekatan Implementasi Teknologi Konservasi
Tanah. Bogor, 27-28 Oktober 1998. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan
Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Erfandi, D., Ai Dariah, dan H. Suwardjo. 1989. Pengaruh Alley cropping terhadap
erosi dan produktivitas tanah Haplothrox Citayam. hlm. 53-62 dalam
Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah Bidang Konservasi Tanah dan
Air. Bogor, 22-24 Agustus 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Erfandi, D., H. Suwardjo, dan O. Sopandi. 1994. Alternatif teknologi penanggulangan
lahan kritis akibat perladangan berpindah di Propinsi Jambi. hlm. 1-10 dalam
Risalah Hasil Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah
untuk Mengatasi Masalah Perladangan Berpindah. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Bogor.
FAO. 1976. Soil Conservation for Development Countries. Soil Bulletin No. 30.
Foth, H.D. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Foth, H.D., 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. (Fundamentals of Soil Science). Gadjah
Mada Univesity Press. Yogyakarta.
Hamilton, L.S. dan P.N.King, 1997. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika (Tropical
Forested Watersheds). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Harsono, 1995. Hand Out Erosi dan Sedimentasi. Program Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Haryati, U., Achmad Rachman, dan A. Abdurachman. 1990. Aplikasi mulsa dan
pupuk hijau Sonosiso untuk pertanaman jagung pada tanah Usthorthents di
Gondanglegi. hlm. 1-8 dalam Risalah Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian
Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Tugu-Bogor, 11-13 Januari 1990.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA), Salatiga,
Departemen Pertanian.
Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran
permukaan serta produksi tanaman dengan berbagai teknik konservasi pada
tanah Typic Eutropepts di Ungaran, Jawa Tengah. Pembrit. Penel. Tanah dan
Pupuk 13: 40-50.
Irawan. 2002. Investment analysis of Alley cropping for sustainable farming of
sloping lands. p. 51-62. In Proceedings Management of Sloping Lands for
Sustainable Agriculture Final Report of Asialand Sloping. Land Project,
Phase 4.
Jaindl, R.G.; Sharrow, S.H. 1988. Oak/Douglas-fir/sheep: A three crop silvopastoral
system. Agroforestry Systems. 6: 147-152.
47
Sharrow, S.H.; Fletcher, R.A. 1995. Trees and pastures: 40 years of agrosilvopastoral
experience in western Oregon. In: Rietveld, W.J., tech. coord. Agroforestry
and sustainable systems: Symposium proceedings; 1994 August 7-10; Fort
Collins, CO. General Technical Report RM-GTR-261. Fort Collins, CO: U.S.
Dept. of Agriculture, Forest Service, Rocky Mountain Forest and Range
Experiment Station: 47-52.
Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi.
Faperta IPB. Bogor.
Sinukaban, N., 2003. Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Subagyono, K., T. Vadari, Sukristiyonubowo, R.L. Watung, and F. Agus. 2004. Land
Management for Controlling Soil Erosion at Micro catchment Scale in
Indonesia. p. 39-81. In Maglinao, A.R. and C. Valentin (Eds.) Community-
Based Land and Water Management Systems for Sustainable Upland
Development in Asia: MSEC Phase 2. 2003 Annual Report. International
Water management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office.
Bangkok. Thailand.
Suhardjo, M., A. Abas Idjudin, dan Maswar. 1997. Evaluasi beberapa macam strip
rumput dalam usaha pengendalian erosi pada lahan kering berteras di lereng
perbukitan kritis D.I. Yogyakarta. hlm. 143-150 dalam Prosiding Seminar
Rekayasa Teknologi Sistem Usahatani Konservasi. Bagian Proyek Penelitian
Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis Yogyakarta (YUADP
Komponen-8). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sukirno, 1995. Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Program Studi Teknik Pertanian
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sukmana, S., H. Suwardjo, A. Abdurachman, and J. Dai. 1985. Prospect of Flemingia
congesta Roxb. for reclamation and conservation of volcanic skeletal soils.
Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4:50-54
Suwardjo, A. Abdurachman, and Sofijah Abujamin. 1989. The use of crop residue
mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk. 8:
31-37
Suwardjo, H., Z. Kadir, dan A. Abdurachman. 1987. Pengaruh cara pemanfaatan sisa
tanaman terhdap kadar bahan organik dan erosi pada tanah Podsolik Merah
Kuning di Lampung. hlm. 409-424 dalam Prosiding Pertemuan Teknis
Penelitian Tanah. Cipayung, 21-
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-Sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada
Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi FPS IPB. Bogor.
Thomson, L.M. 1957. Soil and Soil Fertility. Mc Graw-Hill Book Company Inc. New
York.
Troeh, F.R., J.A. Hobbs, and R.L. Donahue. 1980. Soil and Water Conservation for
Productivity and Environmental Protection. Prentice-Hall, Inc., Englewood
Cliffs, New Jersey. USA.
Watung, R.L., T. Vadari, Sukristiyonubowo, Subiharta, and F. Agus. 2003. Managing
Soil Erosion in Kaligarang Catchment of Java, Indonesia. Phase 1 Project
Completion Report. International Water management Institute (IWMI).
Southeast Asia Regional Office. Bangkok. Thailand.
49
Wolters, G.L. 1981. Timber thinning and prescribed burning as methods to increase
herbage in grazed and protected longleaf pine ranges. J. Range Management.
34: 494-497.