Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa nilai yang berhubungan dengan saham akan dibahas di sini, yaitu nilai buku
(book value), nilai pasar (market value) dan nilai intrinsik (intrinsic value). Nilai buku
merupakan nilai saham menurut pembukuan perusahaan emiten. Nilai pasar merupakan nilai
saham di pasar saham dan nilai intrinsik merupakan nilai sebenarnya dari saham.

Memahami ketiga konsep nilai ini merupakan hal yang perlu dan berguna, karena dapat
digunakan untuk mengetahui saham-saham mana yang bertumbuh (growth) dan yang murah
(undervalued). Dengan mengatahui nilai buku dan nilai pasar, pertumbuhan perusahaan
dapat diketahui. Pertumbuhan perusahaan (growth) menunjukkan investment opportunity set
(IOS) atau set kesempatan investasi dimasa datang. Smith dan Watts (1992) juga Gaver dan
Gaver (1993) menggunakan rasio nilai pasar dibagi dengan nilai buku sebagai proksi dari
IOS yang merupakan pengukur pertumbuhan perusahaan. Perusahaan yang bertumbuh
mempunyai rasio lebih besar dari nilai satu yang berarti pasar percya bahwa nilai pasar
perusahaan tersebut lebih besar dari nilai bukunya.

Mengetahui nilai pasar dan nilai intrinsik dapat digunakan untuk mengetahui saham-
saham mana yang murah, tepat nilainya atau yang mahal. Nilai intrinsik merupakan nilai
sebenarnya dari perusahaan. Nilai pasar yang lebih kecil dari nilai intrinsiknya menunjukkan
bahwa saham terebut dijual dengan harga yang murah (undervalued), karena investor
membayar saham tersebut lebih kecil dari yang seharusnya dia bayar. Sebaliknya nilai pasar
yang lebih dari nilai intrinsiknya menunjukkan bahwa saham tersebut dijual dengan harga
yang mahal (overvalued).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja nilai buku dan nilai-nilai lainnya yang berhubungan dengan saham?
2. Apa yang dimaksud dengan nilai pasar?
3. Apa saja yang berhubungan dengan nilai intrinsik?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 NILAI BUKU DAN NILAI-NILAI LAIN YANG BERHUBUNGAN

Untuk menghitung nilai buku suatu saham, beberapa nilai yang berhubunngan
dengannya perlu diketahui. Nilai-nilai ini adalah nilai nominal (par value), agio saham
(additional paid-in capital atau in exess of par value), nilai modal yang disetor (paid-in
capital) dan laba yang ditahan (retained earnings).

2.1.1 Nilai Nominal

Nilai nominal (par value) dari suatu saham merupakan nilai kewajiban yang ditetapkan
untuk tiap-tiap lembar saham. Kepentingan dari nilai nominal adalah untuk kaitannya dengan
hukum. Nilai nominal ini merupakan modal per lembar yang secara hukum harus ditahan di
perusahan untuk proteksi kepada kreditor yang tidak dapat diambil oleh pemegang saham
(Kieso dan Weygandt, 1996, hal. 576). Kadangkala suatu saham tidak mempunyai nilai
nominal (no-par value stock). Untuk saham yang tidak mempunyai nilai nominal, dewan
direksi umumnya menetapkan nilai sendiri (stated value) per lembarannya. Jika tidak ada
nilai yang ditetapkan, maka yang dianggap sebagai modal secara hukum adalah semua
penerimaan bersih (proceed) yang diterima oleh emiten pada waktu mengeluarkan saham
bersangkutan.

2.1.2 Agio Saham

Agio saham (additional paid-in capital atau in excess of par value) merupakan selisih
yang dibayar oleh pemegang saham keada perusahaan dengan nilai nominal sahamnya.
Misalnya nilai nominal saham biasa per lembar adalah Rp. 5.000 dan saham ini dijual sebesar
Rp. 8.000 per lembar, maka agio saham perlembar adalah sebesar Rp. 3.000,-. Agio saham
ditampilkan di neraca dalam nilai totalnya yaitu agio per lembar dikalikan dengan jumlah
lemar yang dijual.

2.1.3 Nilai Modal Disetor

Nilai modal disetor (paid in capital) merupakan total yang dibayar oleh pemegang
saham kepada perusahaan emiten untuk ditukarkan dengan saham prefen atau dengan saham
biasa. Nilai modal disetor merupakan penjumlahan total nilai nominal ditambah dengan agio
saham. Jika perusahan mengelurkan dua kelas saham, yaitu saham preferen dan saham biasa,
saham preferen disajikan terlebih dahulu diikuti oleh saham biasa di neraca untuk
menunjukkan urutan haknya.

2.1.4 Laba Ditahan

Laba ditahan (retained earnings) merupakan laba yang tidak dibagikan kepada
pemegang saham. Laba yang tidak dibagi ini diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagai
sumber dana internal. Laba ditahan dalam penyajiannya di neraca menambah total laba yang
disetor. Karena laba ditahan ini milik pemegang saham yang berupa keuntunngan tidak
dibagikan, maka nilai ini juga akan menambahkan ekuitas pemilik saham di neraca.

2.1.5 Nilai Buku

Nilai buku (book value) per lembar saham menunjukkan aktiva bersih (net assets) yang
dimiliki oleh pemegang saham dengan memiliki satu lembar saham. Karena aktiva bersih
adalah sama dengan total ekuitas pemegang saham, maka nilai buku per lembar saham adalah
total ekuitas dibagi dengan jumlah saham yang beredar:

Nilai buku per lembar = Total Ekuitas

Jumlah saham beredar

Jika perusahaan mempunyai dua macam kelas saham, yaitu saham perferen dan
saham biasa, maka perhitungan nilai buku per lembar untuk masing-masing kelas saham ini
lebih rumit dibandingkan jika hanya mempunyai saham biasa saja. Perhitungan nilai buku per
lembar saham untuk dua macam kelas saham adalah sebagai berikut ini:

a. Hitung nilai ekuitas saham preferen.


Nilai ekuitas dihitung dengan mengalihkan nilai tebus (call price) ditambah dengan
dividen yang di arrears dengan lembar saham preferen yang beredar. Jika nilai tebus
tidak digunakan, maka nilai nominal yang digunakan. Di dalam perhitungan ini, agio
saham untuk saham preferen tidak dimasukkan, karena pemegang saham preferen
tidak mempunyai hak untuk agio ini walaupun berasal dari saham preferen, sehingga
nilai agio ini dimasukkan sebagai tambahan nilai ekuitas saham biasa.
b. Hitung nilai ekuitas saham biasa
Nilai ekuitas saham biasa dihitung dengan mengurangi nilai total ekuitas dengn nilai
ekuitas saham preferen.
c. Nilai buku saham biasa dihitung dengan membagi nilai ekuitas biasa dengan jumlah
lembar saham biasa yang beredar.

Contoh:

Suatu perusahaan mengootorisasi untuk menerbitkan saham biasa sebanyak 1.000.000 lembar
dengan nilai nominal Rp 5.000,-. Pada tanggal 18 Februari tahun ini, perusahaan
mengeluarkan sebanyak 800.000 lembar saham biasa dengan harga Rp 8.000,- per lembar.
Dari penjualan saham biasa ini perusahaan mendapatkan kas sebesar Rp 6.400.000.000,-
(800.000×Rp 8.000,-) yang terdiri dari:

Modal Saham biasa 800.000 × Rp 5.000,- = Rp 4.000.000.000,-


Agio Saham biasa 800.000 × Rp 3.000,- = Rp 2.400.000.000,-
Total Kas Diterima = Rp 6.400.000.000,-

Pada tanggal 17 November tahun ini, perusahaan membeli balik saham biasa yang beredar
sebagai saham treasuri sebanyak 100.000 lembar dengan harga pasar sebesar Rp 15.000,-.
Nilai total saham treasuri adalah:

Saham Treasuri = 100.000 × Rp 15.000,-

= Rp 1.500.000.000

Selanjutnya pada tanggal 5 Desember tahun ini, sebanyak 20.000 lembar saham treasuri
dijual kembali dengan harga Rp 17.500,- per lembarnya. Dari penjualan saham treasuri ini
perusahaan mendapatkan kas sebesar Rp 350.000.000,- (20.000 × Rp17.500,-) yang terdiri
dari:

Modal Saham Treasuri 20.000 × Rp 15.000,- = Rp 300.000.000,-

Agio Saham Treasuri 20.000 × Rp 2.500,- = Rp 50.000.000,-

Total Kas Diterima = Rp 350.000.000,-

Pada tanggal neraca, yaitu 31 Desember tahun ini, posisi saham treasuri perusahaan adalah
sebanyak 800.000 lembar (100.000 lembar pada tanggal 17 November dan dijual 20.000
lembar pada tanggal 5 Desember). Nilai dari saham treasuri ini adalah sebesar Rp
1.200.000.000,- (Rp 1.500.000.000,- ˗ Rp 300.000.000,-). Saham treasuri ini adalah milik
perusahaan, bukan milik pemegang saham biasa, sehingga akan mengurangi total nilai
ekuitas. Misalnya laba ditahan untuk akhir tahun ini adalah sebesar Rp 550.000.000,-, maka
penyajian ekuitas yang nampak di neraca adalah sebagai berikut ini.

2.2 Nilai Pasar

Nilai pasar adalah harga saham yang terjadi di pasar bursa pada saat tertentu yang
ditentukan oleh pelaku pasar. Nilai ini ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham
bersangkutan di pasar bursa.

2.3 Nilai Instrinsik

Nilai instrinsik atau nilai fundamental merupakan nilai sebenarnya dari saham yang
diperdagangkan. Ada dua macam analisis yang banyak digunakan untuk menentukan nilai
sebenarnya dari saham adalah analisis sekuritas fundamental (fundamental security analysis)
atau analisis perusahaan (company analysis) dan analisis teknis (technical analysis). Analisis
fundamental menggunakan data fundamental, yaitu data yang berasal dari keuangan
perusahaan (misalnya laba, deviden yang dibayar, penjualan dan lain sebagainya), sedangkan
analisis teknis menggunakan data pasar dari saham (misalnya harga dan volume transaksi
saham) untuk menentukan nilai dari saham.

Analisis teknis banyak digunakan oleh praktisi dalam menentukan harga saham.
Sedangkan analisis fundamental banyak digunakan oleh akademisi.

Analisis fundamental mencoba menghitung nilai intrinsik dari suatu saham dengan
menggunakan data keuangan perusahaan (sehingga disebut dengan analisis perusahaan).
Untuk analisis fundamental, ada dua pendekatan untuk menghitung nilai instrinsik saham,
yaitu dengan pendekatan nilai sekarang (present value approach) dan pendekatan PER (P/E
ratio approach)

2.3.1 Pendekatan Nilai Sekarang

Pendekatan nilai sekarang melibatkan proses kapitalisasi nilai-nilai masa depan yang
didiskonkan menjadi nilai sekarang. Jika investor percaya bahwa nilai dari perusahaan
tergantung dari prospek perusahaan tersebut di masa mendatang dan prospek ini merupakan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan aliran kas di masa mendatang, maka nilai
perusahaan tersebut dapat ditentukan dengan mendiskonkan nilai-nilai arus kas (Cash flow)
di masa depan menjadi nilai sekarang sebagai berikut,

𝐴𝑟𝑢𝑠 𝑘𝑎𝑠
P 0 * = ∑∞
𝑡=1 (1+𝑘)𝑡

Keterangan:

P0* = nilai sekarang dari perusahaan (value of the firm)

t = periode waktu ke t dari t=1 sampai dengan ∞,

k = suku bunga diskonto (discount rate) atau tingkat pengembalian yang diinginkan
(required rate of return)

Arus kas merupakan kas yang diterima oleh perusahaan emiten. Sebagai alternatif dari
arus kas, laba perusahaan juga dapat digunakan untuk menggunakan nilai perusahaan. Laba
atau earnings yang diperoleh oleh perusahaan dapat ditahan sebagai sumber dana internal
(retained earnings) atau dibagikan sebagai arus kas yang diterima oleh investor.

Dividen merupakan satu-satunya arus pendapatan yang diterima oleh investor, model
diskonto dividen dapat digunakan sebagai pengganti model diskonto arus kas untuk
menghitung nilai instrinsik saham. Model diskonto dividen (dividen discount model) untuk
menghitung nilai intrinsik saham adalah sebagai berikut,

𝐷
P 0 * = ∑∞ 𝑡
𝑡=1 (1+𝐾)𝑡

Keterangan:

Dt = dividen yang dibayarkan untuk periode ke-t.

Atau dapat dituliskan sebagai berikut,

𝐷1 𝐷
2 𝐷 ∞
P0* = + (1+𝑘) 2 + ... + (1+𝑘)∞
(1+𝑘)1

Beberapa kasus ditemui di dalam besarnya nilai dividen yang dibayarkan. Beberapa
perusahaan membayar dividen dengan besarnya yang tidak teratur dan beberapa perusahaan
yang lain membayar dividen yang nilainya konstan yang sama dari waktu ke waktu (disebut
dividen tidak bertumbuh atau pertumbuhan nol) dan beberapa perusahaan yang lainnya
bahkan membayar dividen yang selalu naik dengan tingkat pertumbuhan konstan atau tetap.

a. Pembayaran dividen tidak teratur

Kenyataannya beberapa perusahaan membayar dividen dengan tidak teratur, yaitu


dividen tiap-tiap periode tidak mempunyai pola yang jelas bahkan untuk periode-periode
tertentu tidak membayar sama sekali.

Contoh:

Misalnya suatu perusahaan membayar dividen selama 5 periode sebagai berikut ini.

Periode ke t 1 2 3 4 5
Dt Rp 1.000 Rp 1.500 Rp 0 Rp 750 Rp 2.100
Diasumsikan bahwa tingkat bunga diskonto adalah konstan sebesar 20% tiap
periodenya, maka nilai intrinsik saham ini per lembarnya adalah sebesar,

1000 1500 750 2100


P0*= + (1+0,2)2 + 0 + (1+0,2)4 + (1+0,)5 = Rp 3.080,63,-
(1+0,2)

b. Dividen Konstan Tidak Bertumbuh

Umumnya perusahaan enggan memotong dividen karena pengurangan dividen akan


dianggap sebagai sinyal jelek oleh investor. Perusahaan yang memotong dividen akan
dianggap mengalami kesulitan likuiditas sehingga perlu mendapatkan tambahan dana dengan
memotong dividen. Perusahaan emiten tidak ingin mengeluarkan sinyal seperti ini, sehingga
jika tidak sangat terpaksa sekali biasanya perusahaan tidak akan memotong dividennya. Hal
yang paling banyak ditemui adalah perusahaan membayar dividen yang konstan dari waktu
kewaktu untuk menunjukkan bahwa likuiditas perusahaan dalam keadaan stabil. Jika
perusahaan membayar dividen konstan yang nilainya sama dari waktu ke waktu, yaitu
sebesar D, maka nilai intrinsik harga saham di rumus (5-4) menjadi:

𝐏∗ 𝐃 𝐃 𝐃
𝟎= + +⋯ (𝟓.𝟓)
(𝟏+𝐤) (𝟏+𝐤) (𝟏+𝐤)∞

Dan dapat disederhanakan menjadi:

𝐏∗ 𝐃
𝟎= (𝟓.𝟔)
(𝟏+𝐤)
Rumus (5.6) menunjukkan model tidak bertumbuh atau model pertumbuhan nol (zero-
growth model) dari pembayaran dividen untuk menghitung nilai intrinsik saham untuk kasus
pembayaran dividen yang konstan sebesar D dengan tingkat bunga diskonto sebesar k. Kasus
dividen konstan umumnya dilakukan untuk menilai saham preferen karena dividen saham
preferen biasanya adalah konstan yang umumnya dinyatakan dalam persentasi dari nilai
nominalnya.

Contoh:

Kebijaksanaan dividen suatu perusahaan adalah membayar dividen konstan sebesar


Rp1.ooo,- tiap tahunnya. Jika suku bunga diskonto pertahun adalah 20%, maka nilai intrinsik
saham per lembar adalah sebesar:

P∗ Rp 1.000,−
0= =Rp 5.000
(0,2)

c. Pertumbuhan Dividen yang Konstan

Bentuk lain dari model diskonto dividen adalah untuk kasus dividen yang bertumbuh
secara konstan yaitu dengan pertumbuhan sebesar g. Jika dividen periode awal adalah D 0,
maka dividen periode ke satu adalah D0(1=g) dan periode kedua adalah sebesar D0 (1+g)
(1+g) atau D0(1+g)2 dan seterusnya. Untuk kasus pembayaran dividen yang bertumbuh secara
konstan ini, rumus nilai intrinsik saham di (5-4) menjadi:

𝐷0(1+𝑔) 𝐷0(1+𝑔)2 𝐷0(1+𝑔)∞


𝑃0∗ = + + ⋯ (5.7)
(1 + 𝑘) (1 + 𝑘)2 (1 + 𝑘)∞

Rumus ini dapat disederhanakan menjadi:

𝐷0(1+𝑔)
𝑃0∗ = (5.8𝑎)
(𝑘 − 𝑔)

Untuk D1 = D0(1+g) maka menjadi:

𝐷1
𝑃0∗ = (5.8𝑏)
(𝑘 − 𝑔)

Rumus (5.8) disebut dengan model pertumbuhan konstan (constant-growth model).


Rumus ini juga dikenal dengan modal Gordon karena Myra J. Gordon merupakan orang yang
mengembangkan dan mengenalkan model ini. Asumsi dasar dari model ini adalah k (suku
bunga diskonto) harus lebih besar dari g (tingkat pertumbuhan dividen). Jika k lebih kecil
dari g, maka nilai intrinsik saham menjadi negatif yang merupakan nilai tidak realistis untuk
suatu saham. Demikian juga jika nilai k sama dengan g, maka (k-g) akan sama dengan nol
dan akibatnya nilai intrinsik saham akan sangat besar sekali bernilai tak terhingga yang juga
merupakan nilai tidak realistis untuk suatu saham.

Contoh:

Tahun ini emiten membayar dividen sebesar Rp. 1.000 . Seorang investor return (Tingkat
pengembalian) sebesar 20% per tahunnya dan mengharapkan dividen di bayar dengan
pertumbuhan sebesar 5% per tahunnya. Nilai intrinsik saham di perkirakan dapat dihitung
sebesar :

Asumsikan bahwa k>g maka nilai (1 + k) akan sangat lebih besar dibandin gkan dengan nilai
(1+g) sehingga nilai (1+g) akan mendekati nilai nol dan persamaan di atas menjadi :
(1+k)

P0* [ 1 + K) – (1+ g) ] = D0
(1+g)

P0* [(1+K) –(1+g) = D0 (1+g)


P0* (K-g) = D0 (1+ g)

Dan akhirnya menjadi :


P0* = D0 (1+g) atau P0* = D 1
K-g k-g

Return = tingkat pengembalian atau imbal balik

P0* = D1
K-g
= Rp.1.000 – (1 + 0.05)
0,2 – 0.05
= Rp.7.000
Jika harga pasar saham ini per lembarnya Rp.5.000 maka harga pasar saham ini merupakan
harga yang murah. Karena harga pasar lebih rendah dari harga seharuysnya atau nilai
intrinsik yang di perkirakan. Sebaliknya jika harga pasar per lembar Rp.8.000 maka harga
apasar ini mahal karena lebih tinggi dari harga yang di perkirakan.

Contoh:
Maka jika investor menginginkan tingkat pengembalian (k) sebesar 25 % maka nilai intrinsik
saham adalah

P0 = Rp. 1.000 – (1 + 0,05)


0.25 – 0.05
= Rp. 5.250

Contoh:
Pertumbuhan dari dividen sebesar 5% di [perkirakan akan terjadi mulai tahunb k5. Sebelum
tahun ke 5 di perkirakan perusahaan akan membayar dividen yang konstan sebesar Rp.1.000
per tahun. Jika tingkat pengembalian yang di inginkan sebesar 20 % pertahun, maka nilai
intrinsik saham yang diperkirakan adalah :

𝐷𝑂 𝐷 0 (1+𝑔)
= ∑𝑛𝑡=1 (1+𝑘)𝑡 + (𝑘−𝑔)(1+𝑘)𝑛

𝑅𝑝.1.000 𝑅𝑝.1000−(1+0.05)
= ∑𝑛𝑡=1 (1+0,2)𝑡 + (0,2−0.05) (1+0,2)5

= Rp. 2.588,73 + Rp. 3.375,77

= Rp.5.964,50

d. Harga Jual Akhir

Model diskonto dividen di (5-3) sampai (5-8) mengasumsikan bahwa arus dividen
sifatnya adalah infiniti, yaitu dividen dibayar terus sampai periode ke- ∞ (tak terhingga).
Investor yang menyukai dividen dan tidak akan menjual sahamnya akan menerima arus
dividen seperti yang diasumsikan diatas. Akan tetapi tidak semua investor menyukai dividen
dan akan memegang saham selamanya. Investor seperti ini biasanya mementingkan capital
gain dibandingkan dividen. Keuntungan modal adalah keuntungan penjualan saham akibat
selisih dari harga jual saham dengan harga belinya. Untuk investor seperti ini harga jual akhir
yang diterima perlu dipertimbangkan sebagai arus kas yang harus masuk ke dalam rumus
model dividen diskonto sebelumnya. Jika investor menjual sahamnya pada periode ke-n
sebesar Pn, maka rumus nilai intrinsik saham dapat dituliskan sebagai berikut:

P0 = D1/(1+k) + D2/(1=k)2 + . . . + Dn/(1+k)n + Pn/(1+k)n

Nilai Pn merupakan nilai harga jual dari saham atau disebut dengan nilai terminal, yaitu niali
akhir yang diterima oleh investor.

Contoh:

Investor memperkirakan bahwa perusahaan akan membayar dividen konstan selama 3 tahun.
Dividen tiap lembar saham untuk tahun sekarang (D0) adalah sebesar Rp500,-. Setelah itu
diperkirakan bahwa pertumbuhan dividen akan menurun, sehingga setelah menerima dividen
pada tahun ketiga, investor akan menjual saham tersebut dengan harga sebesar RP12000,-.
Harga saham yang ditawarkan sekarang adalah sebesar RP5000,- Investor ingin mengetahui
nilai intrinsik dari saham ini untuk menentukan apakah membeli saham ini merupakan
investasi yang menguntungkan. Dengan asumsi bahwa suku bunga diskonto adalah konstan
sebesar 20% tiap tahunnya. Nilai intrinsik dapat dihitung sebagai berikut:

𝑛
Do P n
P0 =∑ ((1+k)t + (1+k)n)
t=1

𝑅𝑝500 𝑅𝑝12000
= ∑3𝑡=1 (1+0,2)𝑡 + (1+0,2)3

= Rp 1.053,24 + Rp 6.944,44

= Rp 7.997,68

Dengan demikian membeli saham sebesar Rp5000 merupakan nilai yang murah(undervalued)
karena nilai intrinsiknya sebesar Rp7.997,68 lebih besar dari nilai belinya.
Contoh:

Dari contoh di atas bahwa suatu perusahaan membayar dividen selama 5 periode sebagai
berikut ini.

Tingkat bunga diskonto adalah konstan sebesar 20% tiap periodenya. Diperkirakan pada
akhir tahun ke-5, investor dapat menjual saham ini sebesar Rp5000. Nilai intrinsik saham ini
per lembarnya adalah sebesar:

Rp1.000 Rp1.500 Rp750 Rp2100 Rp5000


P0 = +(1+0,2)2 + 0 + (1+0,2)4 + (1+0,2)5 + (1+0,2)5
(1+0,2)

= Rp5.090,02

Nilai jual saham Pn sebenarnya juga merupakan niali-nilai diskonto dari arus kas dividen-
dividen untuk periode-periode selanjutnya, yaitu untuk periode ke n+1 sampai ke periode ∞
(tak terhingga) yang dapat dinyatakan secara matematik sebagai :

𝐷
P n = ∑∞ 𝑡
𝑡=𝑛+1 (1+𝐾)𝑡−𝑛

𝐷𝑛+1 𝑛+2𝐷 𝐷∞
= (1+𝑘) + (1+𝑘)2 + . . .+ (1+𝑘)∞

Dari rumus tersebut maka didapat rumus sebagai berikut:

𝐷1 𝐷2 𝐷𝑛 𝑛+1𝐷 𝑛+2𝐷 𝐷 ∞
P0 = (1+𝑘) + (1+𝑘)2 + . . . + (1+𝑘)𝑛 + (1+𝑘)𝑛+1 + (1+𝑘)𝑛=2 + . . . + (1+𝑘)∞

Yang merupakan rumus yang sama dengan model diskonto dividen di (5-4). Dengan
demikian hasil dari nilai intrinsik adalah sama baik untuk arus dividen infiniti atau arus
dividen selama periode tertentu ditambah dengan nilai jual saham bersangkutan.

2.3.2 Pendekatan PER

Alternatif selain menggunakan arus kas atau arus dividen dalam menghitung nilai
fundamental atau nilai intrinsik saham adalah dengan menggunakan nilai laba perusahaan
(earnings). Salah satu pendekatan yang populer yang menggunakan nilai earnings untuk
mengestimasi nilai intrinsik adalah pendekatan PER (price earnings ratio) atau disebut juga
dengan pendekatan earnings multiplier. PER (price earnings ratio) menunjukkan rasio dari
harga saham terdapat earnings. Ratio ini menunjukkan berapa besar investor menilai harga
saham terhadap kelipatan dari earnings. Misalnya nilai PER adalah 5, maka ini menunjukkan
bahwa harga saham merupakan kelipatan dari 5 kali earnings perusahaan. Misalnya earnings
yang digunakan adalah earnings tahunan dan semua earnings dibagikan dalam bentuk
dividen, maka nilai PER sebesar 5 juga menunjukkan lama investasi pembelian saham akan
kembali selama 5 tahun.

Contoh:

Harga pasar dari suatu saham adalah sebesar Rp 20.000,-. Laba bersih yang diperoleh
perusahaan diperkirakan konstan dari tahun ke tahun sebesar Rp 5.000,- per lembarnya per
tahun.

Besarnya PER adalah:

𝑅𝑝 20.000, −
PER =
𝑅𝑝 5.000, −

= 4𝑥

Berikut ini adalah contoh beberapa PER untuk perusahaan-perusahaan yang mengumumkan
laba interimnya pada tanggal 30 Juni 2007.

Tabel 5.3 PER beberapa perusahaan.

Nama Perusahaan Harga Saham Earnings per PER per


pada tanggal share (EPS) per 30/6/2007
Pengumuman 30/6/2007
laba 30/6/2007
PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. 9.850,00 657,00 14.99
PT Indosat, Tbk. 6.500,00 311,00 20.90
PT 573,00 12,00 47.75
PT Timah Indonesia, Tbk. 12.150,00 3.102,00 3.92
PT International Nickel, Tbk. 55.500,00 12.884,00 4.31
PT 285,00 22,00 12.95
PT Astra Agro Lestari, Tbk. 13.750,00 866,00 15.88
PT Aneka Tambang, Tbk. 2.510,00 602,00 4.17
PT Bumi Resources, Tbk. 2.275,00 673,00 3.38
PT Bank Mandiri, Tbk. 3.125,00 206,00 15.17
PT Bank BCA, Tbk. 5.450,00 353,00 15.44
PT Bank Niaga, Tbk. 819,00 66,00 12.41
PT Unilever Indonesia, Tbk. 6.700,00 276,00 24.28
Contoh 5.14:

Laba bersih per lembar saham yang diestimasi untuk periode selanjutnya (E1) adalah sebesar
Rp 2.500,-. Harga pasar saham perusahaan ini adalah Rp.20.000,-. Investor memperkirakan
PER untuk saham ini adalah 10. Nilai intrinsik saham ini dapat dihitung sebesar:
P0
P0∗ = ∙ E
E1 1

= 10 ∙ 𝑅𝑝 2.500, −

= 𝑅𝑝 25.000

Karena harga pasar saham ini adalah sebesar Rp 20.000,- sedang nilai intrinsiknya adalah
sebesar Rp 25.000,-, maka saham ini dijual dengan harga yang murah (undervalued).

Rumus PER dapat dikembangkan lebih lanjut dengan menderivasinya menggunakan model
diskonto dividen. Dengan menggunakan model pertumbuhan dividen yang konstan di
persamaan (5-8) sebagai berikut:

P D1
0=
k−g

Rumus PER dapat diderivasi dengan membagi kedua sisi persamaan di atas dengan nilai E1,
sehingga didapatkan:

P0 D1 ⁄E1
=
E1 k−g

Rumus (5-10) menunjukkan faktor-faktor yang menentukan besarnya PER, yaitu:

1. PER berhubungan positif dengan rasio pembayaran dividen terhadap earnings


(D1/E1).
2. PER berhubungan negatif dengan tingkat pengembalian yang diinginkan (k).
3. PER berhubungan positif dengan tingkat pertumbuhan dividen (g).

Anda mungkin juga menyukai