Anda di halaman 1dari 5

FIKIH MENGUBAH KEMUNGKARAN

DR MAHMUD TAUFIK MUHAMMAD SA’AD: NAJLA PRESS, JAKARTA,


CETAKAN 1, DESEMBER 2007

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

BAB I: MENGUBAH KEMUNGKARAN MERUPAKAN SUATU KEHARUSAN


DAN TUJUAN
1.1.PENJELASAN DARI SUNNAH TENTANG PENTINGNYA MENGUBAH
(MEMERANGI) KEMUNGKARAN.

1.2.PENJELASAN DARI SUNNAH TENTANG PENTINGNYA MENGUBAH


KEMUNGKARAN.

BAB II: MENGUBAH KEMUNGKARAN MERUPAKAN SUATU KEHARUSAN


DAN TUJUAN PENJELASAN KENABIAN TENTANG SARANA-PRASARANA
MENGUBAH KEMUNGKARAN

2.1.PENJELASAN KENABIAN TENTANG SARANA-PRASARANA MENGUBAH


KEMUNGKARAN.

2.2.PENJELASAN TENTANG KEMUNGKARAN YANG WAJIB DIRUBAH:


HAKIKAT DAN SYARAT-SYARATNYA.

2.3.PENJELASAN TENTANG MENGUBAH KEMUNGKARAN: HAKIKAT DAN


SYARAT-SYARATNYA.

2.4.PENJELASAN TENTANG ORANG YANG MENGUBAH (MEMERANGI)


KEMUNGKARAN: SYARAT-SYARAT DAN ADAB-ADABNYA.

2.5.PENJELASAN TENTANG FAKTA DALAM KEMUNGKARAN: SYARAT-


SYARAT DAN KONDISI-KONDISINYA

2.6.PENJELASAN TENTANG SARANA-SARANA MENGUBAH KEMUNGKARAN:


TINGKATAN-TINGKATAN DAN ADAB-ADABNYA.

2.7.MENGUBAH KEMUNGKARAN DENGAN TANGAN: KONDISI-KONDISI DAN


ADAB-ADABNYA.

2.8.MENGUBAH KEMUNGKARAN DENGAN LISAN: KONDISI-KONDISI DAN


ADAB-ADABNYA

2.9.MENGUBAH KEMUNGKARAN DENGAN HATI: KONDISI-KONDISI DAN


ADAB-ADABNYA

1
2.10.KETIDAKMAMPUAN MENGUBAH DENGAN LISAN ATAU TANGAN

2.11.KESIMPULAN

2.11.1.Apabila telah jelas bahwa merubah kemungkaran bertujuan untuk menolak


bahaya agar eksistensi kehidupan umat Islam terwujud, apabila seorang muslim
merasa yakin atau dugaannya kuat bahwa tindakan dalam merubah kemungkaran akan
mengakibatkan terjadinya kemungkaran yang lebih umum atau lebih langgeng atau lebih
kuat pengaruhnya, maka mayoritas ulama berpendapat agar ia meninggalkan merubah
kemungkaran tersebut kepada tingkat yang lebih rendah demi untuk menghindari
terjadinya sesuatu yang diatasnya (sesuatu yang lebih berat).

2.11.2.Ibnu Qayyim berkata: ”Apabila mengingkari kemungkaran akan


menyebabkan sesuatu yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-
Nya, maka tidak perlu untuk mengingkarinya, sekalipun Allah sendiri membencinya
dan mengutuk pelakunya. Contohnya adalah seperti pengingkaran terhadap raja dan
penguasa dengan memberontak kepada mereka, karena yang ini merupakan sumber
segala kejahatan dan fitnah yang akan berpengaruh sampai akhir masa.”

2.11.3.Rasulullah SAW melihat kemungkaran terbesar di Makkah tapi beliau belum


mampu merubahnya. Tapi ketika Allah telah menaklukan Makkah dan ia menjadi negeri
Islam, beliau bermaksud untuk merubah Baitullah dan mengembalikannya pada pondasi
yang dibangun Nabi Ibrahim. Tapi hal itu tidak jadi beliau lakukan padahal beliau
mampu, disebabkan karena beliau takut akan terjadi sesuatu yang lebih besar karena
orang-orang Quraisy tidak akan mampu menghadapinya mengingat mereka baru masuk
Islam dan masih dekat dengan masa kekafiran.Karena itulah beliau melarang seseorang
mengingkari para penguasa dengan tangan karena akan menyebabkan terjadinya
sesuatu yang lebih besar darinya.

2.11.4.Jadi mengingkari kemungkaran itu ada empat tingkatan:


Pertama: Ia (kemungkaran) hilang lalu sesuatu yang bertentangan dengannya
menggantikan.
Kedua: Menjadi sedikit ,sekalipun tidak hilang secara total.
Ketiga: Ia digantikan oleh sesuatu yang serupa dengannya.
Keempat: Ia digantikan oleh sesuatu yang lebih buruk darinya.
Untuk dua tingkatan pertama hukumnya disyariatkan, untuk yang ketiga masih
diperdebatkan, sedang untuk yang keempat diharamkan.

2.11.5.Mengukur derajat-derajat kemungkaran dalam berbagai drama kehidupan dan


tingkatan-tingkatan yang ada diantaranya adalah memerlukan pandangan yang mendalam
tentang pemahaman agama dan pemahaman yang jeli tentang berbagai kasus
kehidupan, dimana pemahaman ini merupakan dasar dari memahami agama secara baik.
Di samping itu juga memerlukan sikap yang sangat bijaksana dan ikhlas dalam
menasihati guna mewujudkan sesuatu yang masih samar dan membebaskan sesuatu

2
yang masih diperdebatkan. Dan tentu saja usaha serius ini tidak akan bisa dilakukan
kecuali oleh orang para ulama pilihan.

2.11.6.Imam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Mengukur maslahat dan mafsadat itu harus
sesuai dengan neraca syariat. Apabila seseorang merasa mampu mengikuti nash, maka
ia tidak boleh berpaling darinya. Dan jika tidak, maka ia harus berijtihad dengan
pendapatnya untuk mengetahui apa-apa yang masih samar dan belum jelas. Jarang sekali
ada orang yang melenceng dari nash bila ia seorang yang ahli (ulama) dan mengetahui
dalil-dalil hukumnya.”

2.11.7.Berdasarkan hal ini maka apabila seseorang atau kelompok menggabungkan antara
kema’rufan dan kemungkaran, dimana mereka tidak membeda-bedakan antara keduanya,
akan tetapi melakukannya bersama-sama atau meninggalkannya sekaligus, maka tidak
boleh secara langsung melakukan amar makruf nahi mungkar pada mereka. Akan tetapi
dilihat dulu, jika kemakrufannya lebih banyak, maka harus melakukan amar
makruf sekalipun akan menyebabkan kemungkaran yang dibawahnya. Dan tidak perlu
melakukan nahi mungkar karena akan menyebabkan hilangnya kemakrufan yang
lebih besar darinya. Bahkan dalam kondisi demikian melakukan nahi mungkar akan
dapat menghalang-halangi dari jalan Allah dan itu juga merupakan langkah yang dapat
menghilangkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta akan menghilangkan
dilakukannya kebaikan-kebaikan.

2.11.8.Apabila kemungkarannya lebih besar, maka harus dilakukan nahi mungkar


sekalipun akan menyebabkan hilangnya kemakrufan yang dibawanya. Karena dalam
kondisi demikian melakukan amar makruf yang akan mengakibatkan kemungkaran yang
bertambah pada dasarnya juga merupakan tindakan menyuruh kemungkaran dan upaya
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.

2.11.9.Apabila antara kemakrufan dan kemungkaran saling seimbang, maka tidak


dilakukan amar makruf dan juga tidak dilakukan nahi munkar. Terkadang layak
melakukan amar makruf dan terkadang pula layak melakukan nahi munkar, dan
terkadang pula tidak layak melakukan keduanya, mengingat antara keduanya saling
seimbang. Hal ini terjadi dalam beberapa masalah tertentu. Dan pembahasan tentang
masalah ini sangatlah luas, dan tidak ada daya dan kekuatan karena dengan (kehendak)
Allah.

2.11.10.Di antara contoh tentang hal ini adalah pengakuan Nabi SAW terhadap Abdullah
bin Ubay dan orang-orang yang semisalnya dari kalangan dedengkot-dedengkot munafik
dan orang-orang fasik, disebabkan mereka itu memiliki banyak pendukung. Karena
menghilangkan kemungkarannya itu sejenis dengan hukumannya yaitu akan
menyebabkan hilangnya kemakrufan yang lebih banyak darinya, disebabkan
kemarahan kaumnya dan perlindungan mereka terhadapnya; dan disamping itu juga akan
menyebabkan orang-orang menjadi berpaling jika mereka mendengar bahwa Muhammad
membunuh sahabat-sahabatnya.

3
2.11.11.Kasus ini terjadi ketika Abdullah bin Ubay berkata berkenaan dengan para
pasukan ketika itu ada seorang laki-laki Muhajirin yang menampar seorang laki-laki
Anshor lalu antara mereka saling membela golongannya. Maka Abdullah bin Ubay
berkata: ”Mereka melakukannya?! Demi Allah sesungguhnya jika kita telah kembali ke
Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah
daripadanya.”

2.11.12.Ternyata berita ini sampai kepada Nabi SAW, maka Umar pun berdiri dan
berkata, ”Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal leher orang munafik ini”. Maka
sabda Nabi SAW, ”Biarkan saja ia, jangan sampai nanti orang-orang mengatakan bahwa
Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.” (Muttafaq Alaih).

2.11.13.Begitulah hikmah kenabian yang wajib diteladani oleh orang-orang yang


merubah kemungkaran. Karena itulah Umar RA berkata setelah mengetahui jelas cahaya
hikmah kenabian dalam masalah ini, ”Demi Allah, (sekarang) aku telah mengetahui
bahwa perintah Rasulullah SAW lebih besar berkahnya daripada perintahku.”

2.11.14.Oleh karena itu, merubah kemungkaran yang akan berpengaruh pada individu
atau golongan tidak boleh dilakukan kecuali setelah mempelajari hal-hal yang
melingkupinya dan yang berkenaan dengannya, mempelajari keseimbangan antara
langkah ini dengan pengaruh-pengaruhnya. Hal ini memerlukan konsultasi dengan para
ulama dan ahli hikmah.

2.11.15.Banyak dokter yang berhenti mengobati suatu penyakit karena khawatir (bila
terus diobati) akan menyebabkan lahirnya penyakit baru atau efek yang lebih buruk,
hingga ketika waktunya telah tepat untuk mengobatinya maka ia pun baru
melakukannya karena efek negatifnya telah minim. Padahal kelalaian dokter dalam
masalah ini lebih sedikit bila dibandingkan kelalaian orang yang merubah kemungkaran.

2.11.16.Dan aku tidak menduga bahwa seseorang akan menuduh langkah yang dilakukan
sang dokter ini merupakan pengkhianatan atau kelancangan dalam menjalankan
kewajibannya; bahkan yang pantas dikatakan adalah sebagaimana yang dikatakan oleh
spesialis yang bijak: ”Lebih tepat dan lebih benar.”

2.11.17.Begitu pula tidaklah layak bila masyarakat umum menuduh para Ulama bersikap
pengecut ketika mereka berwasiat agar bersabar dalam menghadapi kemungkaran
sampai tiba saat dan moment yang tepat untuk melakukannya, yang akan
menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan lebih besar. Inilah salah satu dari sisi-sisi
makna Al-Qur’an dalam firman Allah:”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah.” (QS An Nahl 16:125), dan firman-Nya: ”Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku,
Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”(QS
Yusuf 12: 108).

4
2.11.18.Sikap yang bijaksana dan hati-hati merupakan dua penopang utama bagi
kesuksesan dalam merubah kemungkaran, yang akan melahirkan ridha Allah Azza wa
Jalla dan mewujudkan tujuan dari pembebanan ini.

2.11.19.Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas baginda Nabi


Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya. Dan segala puji bagi Allah, Tuhan
sekalian Alam.

Anda mungkin juga menyukai