Siti Nurtiani
Siti Nurtiani
DIABETES MELITUS
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem kesehatan nasional bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang
lebih tinggi yang memungkinkan orang hidup lebih produktif baik sosial
maupun ekonomi dalam bentuk pembangunan kesehatan di Indonesia.
Dengan meningkatnya status sosial dan ekonomi, pelayanan kesehatan
masyarakat, perubahan gaya hidup dan bertambahnya umur harapan hidup,
maka di Indonesia mengalami pergeseran pola penyakit dari penyakit menular
menjadi penyakit tidak menular, hal ini di kenal dengan transisi epidemiologi.
Empat jenis penyakit tidak menular utama menurut WHO adalah penyakit
kardiovaskular (penyakit jantung koroner dan stroke), kanker, penyakit
pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes
mellitus (Depkes RI dalam Hasdianah, 2012).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Apa definisi dan penyebab dari diabetes melitus?
2. Bagaimana patofisiologi diabetes melitus?
3. Bagaimana tanda dan gejala diabetes melitus?
4. Bagaimana penatalaksanaan diabetes melitus?
5. Bagaimanakah Asuhan keperawatan Diabetes Mellitus?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuannya yaitu :
1. Mengetahui definisi dan penyebab dari diabetes melitus.
2. Mengetahui patofisiologi diabetes melitus.
3. Mengetahui tanda dan gejala diabetes melitus.
4. Mengetahui penatalaksanaan diabetes melitus.
5. Mengetahui Asuhan keperawatan Diabetes Mellitus
BAB II
PEMBAHASAN
2. Etiologi
Umumnya diabetes mellitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau
sebagian besar dari sel-sel beta dari pulau-pulau langerhans pada pankreas
yang berfungsi menghasilkan insulin, akibatnya terjadi kekurangan
insulin. Disamping itu diabetes mellitus juga dapat terjadi karena
gangguan terhadap fungsi insulin dalam memasukan glukosa kedalam sel.
Gangguan itu dapat terjadi karena kegemukan atau sebab lain yang belum
diketahui. (Smeltzer dan Bare, 2015)
Diabetes mellitus atau lebih dikenal dengan istilah penyakit kencing
manis mempunyai beberapa penyebab, antara lain :
a. Pola makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya diabetes mellitus.
Konsumsi makanan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan
sekresi insulin dalam jumlah yang memadai dapat menyebabkan kadar
gula dalam darah meningkat dan pastinya akan menyebabkan diabetes
mellitus.
b. Obesitas (kegemukan)
Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90kg cenderung memiliki
peluang lebih besar untuk terkena penyakit diabetes mellitus.
Sembilan dari sepuluh orang gemuk berpotensi untuk terserang
diabetes mellitus.
c. Faktor genetis
Diabetes mellitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen
penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya
menderita diabetes mellitus. Pewarisan gen ini dapat sampai ke
cucunya bahkan cicit walaupun resikonya sangat kecil.
f. Pola hidup
Pola hidup juga sangat mempengaruhi faktor penyebab diabetes
mellitus. Jika orang malas berolahraga memiliki risiko lebih tinggi
untuk terkena penyakit diabetes mellitus karena olahraga berfungsi
untuk membakar kalori yang tertimbun didalam tubuh, kalori yang
tertimbun di dalam tubuh merupakan faktor utama penyebab diabetes
mellitus selain disfungsi pankreas.
3. Klasifikasi
DM dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori klinis (Smeltzer dan Bare,
2015), yaitu :
a. DM tipe 1
DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus), dapat
terjadi disebabkan karena adanya kerusakan sel-β, biasanya
menyebabkan kekurangan insulin absolut yang disebabkan oleh proses
autoimun atau idiopatik. Umumnya penyakit ini berkembang ke arah
ketoasidosis diabetik yang menyebabkan kematian. DM tipe 1 terjadi
sebanyak 5-10% dari semua DM. DM tipe 1 dicirikan dengan onset
yang akut dan biasanya terjadi pada usia 30 tahun (Smeltzer dan Bare,
2015).
b. DM tipe 2
DM tipe 2 atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus),
dapat terjadi karena kerusakan progresif sekretorik insulin akibat
resistensi insulin. DM tipe 2 juga merupakan salah satu gangguan
metabolik dengan kondisi insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak
cukup jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di jaringan tidak
berespon terhadap insulin tersebut. DM tipe 2 mengenai 90-95%
pasien dengan DM. Insidensi terjadi lebih umum pada usia 30 tahun,
obesitas, herediter, dan faktor lingkungan. DM tipe ini sering
terdiagnosis setelah terjadi komplikasi (Smeltzer dan Bare, 2015).
c. DM tipe tertentu
DM tipe ini dapat terjadi karena penyebab lain, misalnya, defek
genetik pada fungsi sel-β, defek genetik pada kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), penyakit
metabolik endokrin, infeksi, sindrom genetik lain dan karena
disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS
atau setelah transplantasi organ) (Smeltzer dan Bare, 2015).
d. DM gestasional
DM ini merupakan DM yang didiagnosis selama masa kehamilan,
dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa
kehamilan. Terjadi pada 2-5% semua wanita hamil tetapi hilang saat
melahirkan (Smeltzer dan Bare, 2015).
4. Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang
tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan
tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia prosprandial (sesudah makan). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urin (glikosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di eksresikan ke dalam urin, eksresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan
diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia). (Smeltzer dan Bare, 2015).
5. Manifestasi Klinis
Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya seringkali tidak
dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Manifestasi klinis Diabetes
Melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka
timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik
yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang
ginjal untuk ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus
(polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan
timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price dan Wilson, 2012).
6. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe 2 akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 terbagi dua
berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Smeltzer dan Bare, 2015 ; PERKENI, 2015).
a. Komplikasi akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton
(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan
terjadi peningkatan anion gap (PERKENI, 2015).
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan
mengalami keadaan hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari
berdebar-debar, banyak keringat, gementar, rasa lapar, pusing,
gelisah, dan kesadaran menurun sampai koma (PERKENI, 2015).
b. Komplikasi kronik
Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien
DM saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih
lama. Penyakit DM yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama
akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik.
2) Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada
pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari
retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik
dibagi dalam 2 kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan
retinopati proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan
stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan
retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan
pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina.
Seterusnya, nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal
akibat kebocoran selaput penyaring darah. Nefropati diabetik
ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam),
terdapat retinopati dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik
pada DM mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga
molekul-molekul besar seperti protein dapat masuk ke dalam
kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut dapat
menyebabkan kegagalan ginjal progresif dan upaya preventif pada
nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah
(Smeltzer dan Bare, 2015)
3) Neuropati
Diabetes neuropati adalah kerusakan saraf sebagai komplikasi
serius akibat DM. Komplikasi yang tersering dan paling penting
adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal dan
biasanya mengenai kaki terlebih dahulu, lalu ke bagian tangan.
Neuropati berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi. Gejala yang sering dirasakan adalah kaki terasa terbakar
dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah
diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal. Apabila
ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi. Semua penyandang
DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki (PERKENI,
2015).
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada
Diabetes Mellitus meliputi :
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik,
kehilangan gastrik yang berlebihan (muntah, diare)
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak
cukupan insulin
c. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi,
penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi.
d. Risiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual berhubungan
dengan perubahan kimia endogen: ketidak seimbangan glukosa/insulin
atau elektrolit.
3. Intervensi Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik,
kehilangan gastrik yang berlebihan (muntah, diare).
yang diharapkan: Mendemonstrasikan hidrasi adekuat.
Kriteria evaluasi klien akan:
Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan:
1) Tanda-tanda vital stabil.
2) Nadi perifer dapat diraba.
3) Turgor kulit baik.
4) Pengisian kapiler baik.
5) Haluaran urine normal secara individu
6) Kadar elektrolit dalam batas normal.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak cukupan
insulin
Hasil yang diharapkan: Jumlah kalori/Nutrisi normal
Tabel 2.2 Intervensi untuk Diagnosa Keperawatan Kedua
Intervensi Rasional
Mandiri:
1) Timbang berat badan setiap hari se-suai1) Mengkaji pemasukan makanan yang
indikasi. adekuat (termasuk absorbsi dan
utilisasinya).
2) Tentukan program diet dan pola ma-kan 2) Mengidentifikasi kekurangan dan
pasien dan bandingkan dengan makanan penyimpangan dari kebutuhan ter-
yang dapat dihabiskan oleh pasien. apeutik.
3) Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri
abdomen/perut kembung, mual,3) Hiperglikemia dan gangguan kese-
muntahan makanan yang tidak dicerna imbangan cairan dan elektrolit dapat
dan pertahankan keadaan puasa sesuai menurunkan motilitas/fungsi lambung
dengan indikasi. (distensi atau ileus paralitik) yang akan
4) Berikan makanan cair yang meng-andung mempengaruhi pilihan intervensi.
zat makanan (Nutrien) dan eletrolit dan4) Pemberian makanan melalui oral le-bih
segera jika pasien sudah dapat baik jika pasien sadar dan fungsi
mentoleransinya melalui pem-berian gastrointestinal baik.
cairan lewat oral. Selanjutnya terus
upayakan pemberian makanan yang
lebih padat sesuai dengan yang dapat
ditoleransinya.
5) Identifikasi makanan yang disukai
/dikehendaki termasuk kebutuhan sesuai
dengan etnik. 5) Jika makanan yang disukai pasien dapat
dimasukkan dalam perencanaan makan,
6) Libatkan keluarga pasien pada kerja sama ini dapat diupayakan setelah
perencanaan makanan sesuai indi-kasi. pulang.
6) Meningkatkan rasa keterlibatanya;
7) Observasi tanda-tanda hipoglikemia . memberikan informasi pada keluarga
seperti perubahan tingkat kesadaran, untuk memahami kebutuhan nutrisi
kulit lembab (dingin), denyut nadi cepat, pasien.
lapar, peka rangsang, cemas, sakit7) Karena metabolisme karbohidrat mu-lai
kepala, pusing, dan sempoyo-ngan. terjadi (gula darah akan berkurang, dan
sementara tetap diberikan insulin maka
hipoglikemia dapat terjadi). Jika pasien
dalam keadaan koma, hipoglikemia
mungkin terjadi tanpa memperlihatkan
Intervensi Rasional
perubahan tingkat kesadaran. Ini secara
potensial dapat mengancam kehidupan
yang harus dikaji dan ditangani secara
cepat melalui tindakan yang
direncanakan.
c. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi
leukosit, perubahan pada sirkulasi.
Hasil yang diharapkan: Resiko infeksi berkurang.
Kriteria evaluasi klien akan:
1) Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Tabel 2.3 Intervensi untuk Diagnosa Keperawtan Ketiga
Intervensi Rasional
Mandiri:
1) Observasi tanda-tanda infeksi dan 1) Pasien mungkin masuk dengan infeksi
peradangan seperti demam, kemerahan, yang biasanya telah men-cetuskan
adanya fus pada luka, sputum purulen, keadaan ketoasidosis atau dapat
urine warna keruh, atau berkabut. mengalami infeksi noso-komial.
2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan 2) Mencegah timbulnya infeksi.
melakukan cuci tangan yang baik pada
semua orang yang berhubungan dengan
pasien termasuk pasiennya sendiri.
3) Pertahankan teknik aseptik pada pro-
sedur invasif (seperti pemasangan infus,
3) Kadar glukosa yang tinggi dalam darah
pemasangan kateter dan sebagainya), akan menjadi media terbaik untuk
pemberian perawatan, dan pertumbuhan kuman.
pemeliharaan.
4. Implementasi Keperawatan
Dilaksanakan sesuai dengan intervensi atau perencanaan dan prioritas
masalah.
5. Evaluasi Keperawatan
Mengacu pada kriteria tujuan yaitu sebagai berikut:
a. Dx 1:
Mendemonstrasikan hidrasi adekuat
b. Dx 2:
1) Menunjukkan energi seperti biasanya
2) Mendemonstrasikan berat badan stabil atau penambahan kearah
rentang biasanya.
3) Nilai laboratorium normal
c. Dx 3:
Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya
infeksi.
d. Dx 4:
Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah yang saya buat, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyakit
Diabetes Militus (DM) ini sangat brrbahaya dan menakutkan. Banyak sekali faktor
yang menyebabkan seseorang menderita penyakit Diabetes Militus. Seperti
conohnya, Obesitas(berat badan berlebih),faktor genetis, pola hidup yang tidak
sehat (jarang berolah raga), kurang tidur, dan masih banyak yang lainnya.
B. Saran
Adapun saran bagi pembaca dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Selalu berhati-hatilah dalam menjaga pola hidup. Sering berolah raga dan
istirahat yang cukup.
2. Jaga pola makan anda. Jangan terlalu sering mengkonsumsi makanan atau
minuman yang terlalu manis. Karena itu dapat menyebabkan kadar gula
melonjak tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
2. Manfaat pendidikan
Memberikan referensi mengenai pembahasan yang menyeluruh
meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan gangguan pada system
perkemihan yang dibahas.
3. Manfaat praktis
a. Bagi profesi
Sebagai salah satu sumber literature dalam pengembangan
bidang profesi keperawatan khususnya keperawatan medical bedah
tentang penyakit gagal ginjal kronis.
b. Bagi peneliti
Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pembahasan
dan proses keperawatan yang dilakukan pada klien dengan gangguan
system perkemihan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal
lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan
pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat
ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu
beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit ( toksik uremik ) di dalam darah. (Arif Muttaqin,2011; 166)
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung
progresif, dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerulus
kurang dari 50 ml/menit. (Arjatmo Tjokonegoro,2001;427)
2.2 Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal
ginjal kronis. Akan tetapi apapun sebabnya, respon yang terjadi adalah
penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan
dapat mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar
ginjal.
1. Penyakit dari ginjal
a. penyakit pada saringan (glomerulus) : glomerulonefritis
b. infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis
c. batu ginjal : nefrolitiasis
d. kista di ginjal : polcystis kidney
e. trauma langsung pada ginjal
f. keganasan pada ginjal
g. sumbatan : tumor, batu, penyempitan/striktur
2. Penyakit umum di luar ginjal
a. penyakit sistemik : diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi
b. dyslipidemia
c. infeksi di badan : tbc paru, sifilis, malaria, hepatitis
d. preeklamsi
e. obat-obatan
f. kehilangan banyak cairan yang mendadak ( luka bakar )
2.3 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak
oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-
gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada
tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai
15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga
stadium yaitu:
Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum
Nitrogen (BUN) normal dan penderita asimtomatik.
Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo
filtration Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum
Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai
meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan
poliuri.
Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia).
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo
filtration rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau
kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen
meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)
5. EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN GAGAL GINJAL KRONIS (GGK)
b. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum : Klien lemah dan terlihat sakit berat
Tingkat Kesadaran : Menurun sesuai dengan tingkat uremia
dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat
TTV : Sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat,
tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai
berat
2. Sistem Pernafasan
Klien bernafas dengan bau urine (fetor uremik), respon uremia
didapatkan adanya pernafasan kussmaul. Pola nafas cepat dan dalam
merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon dioksida
yang menumpuk di sirkulasi
3. Sistem Hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi
pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD
meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada dan
sesak nafas, gangguan irama jantung, edema penurunan perfusiperifer
sekunder dari penurunan curah jantungakibat hiperkalemi, dan
gangguan kondisi elektrikal otot ventikel.
Pada system hematologi sering didapatkan adanya anemia.
Anemia sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi
gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan
kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
4. System Neuromuskular
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral,
seperti perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien sering
didapatkan adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning feet
syndrome, restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
5. Sistem Kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau
peningkatan aktivitas system rennin- angiostensin- aldosteron. Nyeri
dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
6. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada
laki-laki akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang
menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan metabolic tertentu.
Pada wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai
amenorea.
Angguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15
ml/menit) terjadi penuruna klirens metabolic insulin menyebabkan
waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan ini dapat
menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa darah akan
berkurang. Gangguan metabolic lemak, dan gangguan metabolism
vitamin D.
7. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi
penurunan libido berat
8. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare
sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan
ulkus saluran cerna sehingga sering di dapatkan penurunan intake
nutrisi dari kebutuhan.
9. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot,
nyeri kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya
infeksi, pruritus, demam ( sepsis, dehidrasi ), petekie, area ekimosis
pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit jaringan
lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi.
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder
dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
Intervensi Rasional
Kaji status cairan : Pengkajian merupakan dasar dan
a. Timbang berat badan
data dasar berkelanjutan untuk
harian
memantau perubahan dan
b. Keseimbangan masukan
mengevaluasi intervensi
dan pengeluaran
c. Turgor kulit dan adanya
edema
d. Distensi vena leher
e. Tekanan darah, denyut
dan irama nadi
Adenokortikosteroid, golongan
Lakukan dialysis predison digunakan untuk
menurunkan proteinuri
Dialysis akan menurunkan volume
cairan yang berlebih.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi : Menyediakan data dasar untuk
a. Perubahan berat badan
memantau perubahan dan
b. Pengukuran
mengevaluasi intervensi
antopometrik
c. Nilai laboratorium
(elektrolit seru, BUN,
kreatinin,
protein,transferin, dan
kadar besi)
Menyediakan makanan
kesukaan pasien dalam
batas-batas diet
Intervensi Rasional
Kaji terhadap kekeringan Perubahan mungkin disebabkan oleh
kulit, pruritis, ekskoriasi, dan penurunan aktivitas kelenjar keringat
infeksi atau pengumpulan kalsium dan posfat
pada lapisan kutaneus.
Kaji terhadap adanya petekie Perdarahan yang abnormal sering
dan purpura dihubungkan dengan penurunan jumlah
dan fungsi platelet akibat uremia
Intervensi Rasional
Kaji faktor yang menimbulkan Menyediakan informasi tentang
keletihan : indikasi tingkat keletihan
a. Anemia
b. Ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit
c. Retensi produk sampah
d. Depresi
Tingkatkan kemandirian
dalam aktivitas perawatan diri Meningkatkan aktivitas ringan/sedang
yang dapat ditoleransi, bantu dan memperbaiki harga diri
jika keletihan terjadi
Intervensi Rasional
Kaji perubahan dari gangguan Menentukan bantuan individual dalam
persepsi dan hubungan dengan menyusun rencana perawatan atau
derajat ketidak mampuan pemilihan intervensi
4.1 Kesimpulan
Gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan
irreversibel, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti yang paling baik,
akan tetapi mempunyai beberapa kendala seperti keterbatasan donor, biaya
mahal, efek samping obat-obatan imunosupresi dan rejeksi kronik yang
belum bisa diatasi. Keuntungan transplantasi ginjal ialah menghasilkan
rehabilitas paling baik dibandingkan dialysis.
4.2 Saran
Diharapkan makalah ini bisa memerikan masukan bagi rekan- rekan
mahasiswa calon perawat, sebagai bekal untuk dapat memahami mengenai
penyakit gagal ginjal kronis menjadi bekalkan dalam pengaplikasian dan
praktik bila menghadapi kasus yang kami bahas ini.
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
A. Latar Belakang
Hipertrofi prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat(secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun)menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembesaran aliran urinarius.
Hipertrofi prostat benigna tidak diketahui secara jelas penyebabnya namun
kemungkinan disebabkan pengaruh hormon androgen dan estrogen serta perubahan
endokron pada usia lanjut dengan manisfestasi klinik susah untuk berkemih,nyeri saat
mengawali dan mengakhiri aliran urine dan ketidak mampuan untuk mengosongkan
isi kandung kemih.
Mengingat kita manusia tidak akan pernah terlepas dari hukum alam dan
banyaknya kasus hipertrofi prostat benigna yang ada diindonesia khusunya
dipontianak yang menyerang pria tua umur lebih dari 50 tahun,maka kami tertarik
untuk membahas makalah ini yang dikumpulkan dari beberapa literature yang berupa
teori-teori mengenai hipertrofi prostat yang kiranya nanti dapat dijadikan pegangan
untuk penanganan asuhan keperawatan kasus tersebut.
B. Tujuan Penulisan
1. Memberikan gambaran yang jelas terhadap penerapan asuhan keperawatan pada
pasien dengan hipertrofi prostat benigna
2. Memenuhi salah satu syarat pembuatan makalah pada MA:KMB III
C. Metode Penulisan
1. Kepustakaan
Yaitu membaca referensi-referensi yang memepunyai hubungan dengan
gangguan sistem perkemihan:hipertrofi prostat benigna
2. Diskusi kelompok bersama mahasiswa membahas mengenai gangguan sistem
perkemihan
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2. Anatomi Fisiologi
Vesikula seminalis atau kandung mani adalah dua buah kelenjar tubuler yang
terletak kanan dan kiri dibelakang leher kandung kemih.salurannya bergabung
dengan vasa deferentia,untuk membentuk saluran ejakulator(ductus ejaculatorius
communis).sekret vesika seminalis adalah komponen pokok dari air mani
Epididimis adalah organ kecil yang terletak dibelakang testis serta terkait
padanya.terdiri atas sebuah tabung sempit yang sangat panjang dan berliku
dibelakang testis.melalui tabung ini sperma berjalan dari testis masuk kedalam vas
deferens,vas deferens adalah sebuah saluran yang berjalan dari bagian bawah
epididimis naik dibelakang testis,masuk ketali mani(funikulus spermatikus)dan
mencapai rongga abdomen melalui saluran inguinal,dan akhirnya berjalan masuk
kedalam pervis
Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah walkut atau buah kemari besar,letaknya
dibawah kandung kemih mengelilingi uretra dan terdiri atas kelenjar
majemuk.saluran dan otot polos.prosta mengeluarkan sekret cairan yang bercampur
dengan sekret dari testis.pembesaran prostat akan membendung uretra dan
menyebabkan retensio urine
Skorotum(kandung buah pelir) adalah sebuah struktur berupa kantong yang terdiri
atas kulit tanpa lemak subkutan,berisi sedikit jaringan otot.testis berada didalamnya
setiap testis berada dalam pembungkus yang disebut tunika vaginalis,yang dibentuk
dari peritoneum
Penis(zakar) terdiri atas jaringan seperti busa dan memanjang dari glans
penis(kepala zakar),tempat muara uretra.kulit pembungkus glans penis adalah
preputum atau kulup.isi pelvis laki-laki kandung kemih dengan vas deferens dan
kelenjar prostat rektum dan peritoneum pelvis.kelenjar limfe dan banyak pembuluh
limfe,serabut saraf sakralis,arteri dan vena.
3. Etiologi
4. Patofisiologi
Pada umumnya nodul berasal dari sekitar uretra dalam lobus medialis dan
gangguan lebih tengah lagi dari lobus lateralis.duktus kelenjar yang membesar
hampir selalu bermuara proksimal velumontanum.
Walaupun nodul tadi tidak berkapsul murni tetapi pada irisan tampak jelas
diakibatkan tekanan oleh parenkum disekitarnya uretra dapat terjepit sehingga
merupakan celah yang disebabkan oleh nodul kanan dan kiri.kelenjar yang baru
terbentuk mempunyai ukuran bervariasi dan ditutupi sel-sel kalumnar yang
hipertrofi,memberi gambaran khusus penonjolan papil dan lipatan-lipatan,bentuk
grandula maupun yang fibromuskular.dapat tampak dalam nodul sekitar jaringan
prostat adalah kecil berupa nekrosis iskemi yang dikelilingi sel-sel yang mengalami
metaplasia skuamosa,hal trsebut tampak jelas dari kesukaran mengawali
,mempertahankan dan menghentikan pengeluaran urine.kadang-kadang didapati juga
nokturia yang sering dan disebabkan karena menonjolnya dasar uretra yang berakibat
retensi urine residu yang banyak dalam kandungan kencing setelah miksi.
5. Tanda dan Gejala
1. Sering berkemih tetapi sedikit
2. Sakit saat mengawali dan mengakhiri aliran urine
3. Tidak mampu mengosongkan seluruh isi kandung kemih
4. Terlalu lancar pancaran urine
6. Pemerikasaan laboratorium
Urinalisis
Pemeriksaan kultur dan sensititubs urine
Kreatinin serum
BUN serum
Asam fosfat
SDP
Sistoskopi
Urografi ekskretori/IVP
Pemeriksaan retrograd
7. Penatalaksanaan medis
Kateterisasi
Antibiotik
Masukan dan haluaran
Pembedahan
Reseksi transuretral prostat(TURP)
Prostatektomi suprapubis
Prostatektomi retropubis
Prostatektomi retropubis radikal
Sistostomi drainase kandung kemih
8. Komplikasi
Pielonefritis
Hidronefrosis
Azotemia
Uremia
3. Pola eliminasi
- Adanya penurunan kekuatan/dorongan aliran urine
- Keragu-raguan pada perkemihan awal
- Adanya ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan
lengkap
- Adanya nokturia,disuria,hematuria
- Duduk untuk berkemih
2. Masalah keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan distensi kandung kemih yang ditandai oleh
adanya ungkapan nyeri(skala 7-9),gelisah dan meringis.
2. Retensi urine yang berhubungan dengan:pembesaran prostat dan
ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat yang
ditandai oleh adanya ungkapan penurunan kekuatan/dorongan aliran
urine,keragu-raguan saat berkemih, dan ketidakmampuan untuk mengosongkan
kandung kemih dengan lengkap.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis,dan kebutuhan pengobatan yang
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi yang ditandai oleh
pertanyaan meminta informasi dan tidak akurat mengikuti instruksi
4. Perubahan pola seksualitas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan
seksualitas yang ditandai oleh penurunan libido dan impoten.
5. Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan kemungkinan
prosedur bedah yang ditandai oleh kecemasan dan ketakutan
6. Resiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
pascaobstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi
secara kronis
3. Rencana keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan distensi kandung kemih yang ditandai oleh
adanya ungkapan nyeri(skala 7-9),gelisah dan meringis.
Tujuan :Nyeri berkurang sampai dengan teratasi dalam waktu 1x24 jam
Sasaran:
1. Melaporkan nyeri berkurang/hilang
2. Skala nyeri 1-2(dapat ditoleransi)
3. Pasien tampak rileks
4. Klien dapat tidur/istirahat dengan tenang
Intervensi
1. Kaji nyeri,perhatikan lokasi,karakteristik,intensitas(skala 0-10)lamanya
Rasional:memberikan informasi untuk membantu dalam menetukan pilihan/
keefektifan intervensi
2. Berikan posisi yang nyaman(semifowler)dan ajarkan teknik relaksasi
Rasional:meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian,dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
3. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional:tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi
akut.namun,ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan
menghilangkan nyeri kolik
4. Dorong menggunakan rendam duduk,sabun hangat untuk perineum.
Rasional:meningkatkan relasasi otot
5. Masukan kateter dan dekatkan untuk kelancaran drainase
Rasional:pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan
kelenjar
6. Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi
Rasional:diberikan untuk menghilangkan nyeri berat,memberikan relaksasi
mental dan fisik.
Intervensi
1. Kaji ketidakmampuan pasien berkemih
Rasional:memberikan informasi mengenai ketidakmampuan sehingga dapat
dilakukan intervesi yang tepat
2. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional:meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pad kandung kemih
3. Observasi aliran urine,perhatikan ukuran dan kekuatan
Rasional:bergina untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
4. Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih,perhatikan penurunan haluaran
urine dan perubahan berat jenis
Rasional:retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan
atas,yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal adanya defisit aliran darah keginjal
menganggu kemampuannya untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi
5. Palpasi/perkusi area suprapubik
Rasional:Distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapublik
6. Awasi tanda-tanda vital dengan tepat
Rasional:mengontrol faal ginjal
7. Berikan rendaman duduk sesuai indikasi
Rasional:meningkatkan relaksasi otot,penurunan edema,dan dapat meningkatkan
upaya berkemih
8. Berikan obat sesuai indikasi
Rasional:menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh
kateter
Intervensi:
1. Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
Rasional:memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
informasi terapi
2. Dorong menyatakan rasa takut/perasaan dan perhatian
Rasional:membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan rehabilitasi
vital
3. Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual
Rasional:Mungkin merupakan ketakutan yang tidak dibicarakan
4. Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual,dorong prtanyaan dan
tingkatkan dialog tentang masalah
Rasional:memilih informasi tentang anatomi mambantu pasien memahami
implikasi tindakan lanjut,sesuai dengan afek penampilan seksual
5. Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik,contoh urine keruh,
berbau:penurunan haluan urine,ketidakmampuan untuk berkeih
Rasional:Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius
Intervensi
1. Kaji riwayat seksual
Rasional:mengidentifikasi informasi mengenai seksual masa lalu klien sehinga
mudah dalam pemberian intervensi
2. Berikan dorongan untuk bertanya tentang seksualitas atau fungsi seksual yang
mungkin menganggu pasien
Rasional:memberikan banyak informasi tentang seksualitas membantu dalam
perbaikan pola seksual
3. Gali hubungan pasien dengan pasangannya
Rasional:mengidentifikasi masalah lebih spesifik lagi
4. Identifiasi penghambat untuk memuaskan fungsi seksual
Rasional:Mencari penyebab lebih baik untuk perbaikan
5. Ajarkan tehnik istirahat sebelum melakukan aktivitas seksual
Rasional:menyimpan energi untuk aktivitas seksual
6. Anjurkan klien untuk berolah raga secara teratur dan menjaga kesehatan
Rasional:agar tubuh tetap fit dan mampu melakukan aktivitas seksual dengan
baik
Intervensi:
1. Kaji tingkat ansietas dan diskusikan penyebabnya bila mungkin
Rasional:Identifikasi masalah spesifik akan meningkatkan kemampuan individu
untuk menghadapinya dengan lebih realitis
2. Selalu ada untuk pasien,buat hubungan saling percaya dengan pasien/orang
terdekat
Rasional:menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu dalam diskusi
tentang subjek sensitif
3. Observasi tanda-tanda vital
Rasional:peningkatan tanda-tanda vital merupakan salah satu tanda awal
terjadinya peningkatan ansietas
4. Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi
Rasional:membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan.dan
mengurangi masalah karena ketidaktahuan,termasuk ketakutan akan kanker
5. Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan prosedur/menerima pasien.lindungi
privasi pasien
Rasional:menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien
6. Dorong pasien untuk menyatakan masalah/perasaan
Rasional:mendefinisikan masalah,memberikan kesempatan untuk menjawab
pertanyaan,memperjelas kesalahan konsep,dan solusi pemecahan masalah
7. Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya
Rasional:memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan
kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberi informasi
8. Kolaborasi:pemberian obat antiansietas(contoh:sedatif) sesuai program
Rasional:diberikan hanya dengan kolaborsi dokter bila intervensi lain tidak
menolong karena efek samping menekan susunan saraf pusat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hipertrofi prostat benigna adalah pembesaran granula dan jaringan seluler
kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan
proses penuaan;kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan uretra;sehingga
hipertrofi prostat seringkali menghalangi pengosongan kandung kemih(standar
perawatan pasien edisi V volume 3,penerbit EGC).penyebab hipertrofi prostat ini
tidak diketahui secara jelas namun diduga karena pengaruh hormon androgen dan
estrogen dan perubahan endokrin pada usia lanjut
Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien adalah sakit saat mengawali dan
mengakhiri aliran urine,tidak mampu mengosongkan seluruh isi kandung kemih
sekaligus,sering berkemih tetapi sedikit,dan terlalu lancar pancaran urine.
Perangkat diagnostik yang dilakukan adalah Urinalisis,Pemeriksaan kultur dan
sensititubs urine,Kreatinin serum,BUN serum,Asam fosfat,SDP,Sistoskopi,Urografi
ekskretori/IVP,dan Pemeriksaan retrograd
Terapi yang dilakukan adalah Kateterisasi,Antibiotik,Masukan dan haluaran,
Pembeda han,Reseksi transuretral prostat(TURP),Prostatektomi suprapubis,
Prostatektomi retropubis,Prostatektomi retropubis radikal,dan Sistostomi drainase
kandung kemih.Komplikasi yang dapat terjadi adalah Pielonefritis, Hidronefrosis,
Azotemia, dan Uremia
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah Nyeri yang berhubungan dengan
distensi kandung kemih yang ditandai oleh adanya ungkapan nyeri(skala 7-9),gelisah
dan meringis,Retensi urine yang berhubungan dengan:pembesaran prostat dan
ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat yang ditandai
oleh adanya ungkapan penurunan kekuatan/dorongan aliran urine,keragu-raguan saat
berkemih, dan ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan
lengkap,Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis,dan kebutuhan pengobatan
yang berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi yang ditandai oleh
pertanyaan meminta informasi dan tidak akurat mengikuti instruksi,Perubahan pola
seksualitas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan seksualitas yang
ditandai oleh penurunan libido dan impoten,Ansietas yang berhubungan dengan
perubahan status kesehatan dan kemungkinan prosedur bedah yang ditandai oleh
kecemasan dan ketakutan,Resiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan
dengan pascaobstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu
distensi secara kronis.
B. Saran
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
1.3 Tujuan
2.2 Etiologi
Etiologi atau penyebab dari HIV/AIDS karena terganggunya system
imun dalam tubuh ODHA. Partikel virus bergabung dengan sel DNA pasien
sehingga orang yang terinfeksi HIV akan seumur hidup tetap terinfeksi.
Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam dan lain sebagainya
pada 3-6 minggu setelah infeksi (Sudoyo, 2006).
Selain karena terganggunya system imun, HIV juga disebabkan oleh
penyebarluasan melalui berbagai jalur penularan diantaranya:
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah 0’01% sampai 0,07%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum
ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi 20% sampai 30%,
sedangkan jika gejala AIDS sudah jelas maka kemungkinannya mencapai
50% (PELKESI, 1995).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui kontak antara
membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan (Lily V, 2004).
Penularan dari ibu ke anak yang biasa terjadi adalah sebagai berikut:
2.3 Patofisiologi
Penyebab acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah human
immunodeficiencyvirus (HIV), yang melekat dan memasuki limfosit T helper
CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4 + dan sel-sel imunologis
lainnya, dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap. Sel-sel
yang memperkuat dan mengulang respons imunologis diperlukan untuk
mempertahankan kesehatan yang baik dan bila sel-sel tersebut berkurang dan
rusak maka fungsi imun lain akan terganggu.
HIV dapat pula menginfeksi makrofag, sel-sel yang dipakai virus untuk
melewati sawar darah otak masuk ke dalam otak. Fungsi limfosit B juga
terpengaruh dengan peningkatan produksi immunoglobulin total yang
berhubungan dengan penurunan produksi antibody spesifik. Dengan
memburuknya sistem imun secara progresif, tubuh menjadi semakin rentan
terhadap infeksi oportunistik dan juga berkurang kemampuannya dalam
memperlambat replikasi HIV. Infeksi HIV dimanifestasikan sebagai penyakit
multisystem yang dapat bersifat dolman bertahun-tahun karena menyebabkan
imunodefisiensi secara bertahap. Kecepatan perkembangan dan manifestasi
klinis penyakit ini bervariasi orang ke orang (Bezt, Cecily Lynn. 2009).
(HIV
RETROVIRUS)
3. Pada tahap akhir, orang-orang yang sistem kekebalan tubuhnya rusak akan
menderita AIDS. Pada tahap ini penderita sering diserang penyakit
berbahaya seperti kelainan otak, meningitis, kanker kulit, luka bertukak,
infeksi yang menyebar, tuberkulosis paru (TBC), diare kronik, candidiasis
mulut dan pneumonia.
Menurut Cecily L Betz, anak-anak dengan infeksi HIV yang didapat pada
masa perinatal tampak normal pada saat lahir dan mulai timbul gejala pada 2
tahun pertama kehidupan. Manifestasi klinisnya antara lain:
1) Berat badan lahir rendah.
2) Gagal tumbuh.
3) Limfadenopati umum.
4) Hepatosplenomegali.
5) Sinusitis.
6) Infeksi saluran pernapasan atas berulang.
7) Parotitis.
8) Diare kronik atau kambuhan.
9) Infeksi bakteri dan virus kambuhan.
10) Infeksi virus Epstein-Barr persisten.
11) Sariawan orofaring.
12) Trombositopenia.
13) Infeksi bakteri seperti meningitis.
14) Pneumonia interstisial kronik.
Selain itu ada tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis
HIV menurut klasifikasi WHO, antara lain:
Gejala mayor:
Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
Diare kronis
Demam memanjang tanpa sebab
Tuberkolosis
Gejala minor
Limfadenopati generalisa
Kandidiasis oral
Batuk menetap
Distress pernapasan / pneumonia
Infeksi berulang
Infeksi kulit generalisata
2.5 Komplikasi
1. Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC).
2. Pneumonia interstitial limfoid.
3. Tuberkulosis (TB).
5. Candidiasis esophagus.
6. Limfadenopati
7. Diare kronik
2.7.1 Pengkajian
Selain faktor di atas, hal yang perlu dikaji adalah semua faktor yang
mempengaruhi sistem imun antara lain:
Pengkajian Kardiovaskuler
Pengkajian Respiratori
Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia,
nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
Pengkajian Neurologik
Pengkajian Gastrointestinal
Pengkajain Renal
Pengkajaian Muskuloskeletal
Pengkajian Hematologik
Pengkajian Endokrin
2.7.3 Perencanaan
Sasaran bagi pasien HIV/ AIDS dengan diagnosa di atas mencakup
pasien mengalami risiko infeksi minimal, pasien tidak menyebarkan
penyakit pada orang lain, pasien mendapatkan nutrisi yang optimal, dan
pasien berpartisipasi dalam kelompok sebaya dan aktivitas keluarga.
2.7.4 Evaluasi
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
HIV secara umum adalah virus yang hanya dapat menginfeksi manusia,
memperbanyak diri didalam sel manusia, sehingga menurunkan kekebalan
manusia terhadap penyakit infeksi. AIDS adalah sekumpulan tanda dan gejala
penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh
seseorang yang didapat karena terinfeksi HIV. Penularan HIV dari ibu ke
anak yang biasa terjadi selama dalam kandungannya (antepartum),selama
persalinan (intrapartum),pada bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu
yang terinfeksi (post partum) dan pada bayi tertular melalui pemberian ASI.
Menurut Cecily L Betz, anak-anak dengan infeksi HIV yang didapat pada
masa perinatal tampak normal pada saat lahir dan mulai timbul gejala pada 2
tahun pertama kehidupan.
Sasaran bagi pasien HIV/ AIDS dengan mencakup pasien mengalami risiko
infeksi minimal, pasien tidak menyebarkan penyakit pada orang lain, pasien
mendapatkan nutrisi yang optimal, dan pasien berpartisipasi dalam kelompok
sebaya dan aktivitas keluarga.
3.2 Saran
Karena sampai saat ini belum diketahui vaksin atau obat yang efektif
untuk pencegahan atau penyembuhan AIDS, maka untuk menghindari infeksi
HIV dan menekan penyebarannya, cara yang utama adalah melakukan
tindakan pencegahan melalui perubahan perilaku.
DAFTAR PUSTAKA
Bezt, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
DR. Nursalam, M.Nurs dan Ninuk Dian Kurniawati, S.Kep. Ns. 2007. Asuhan
Keperawatan
pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS Edisi Pertama. Salemba Medika:
Jakarta.
Martono, Lydia Harlina. 2008. Peran Orang Tua Dalam Mencegah Dan
Menanggulangi
Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: Balai Pustaka
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV.
Jakarta:
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningitis adalah radang membran pelindung sistem syaraf pusat. Penyakit
ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme, luka fisik, kanker, atau obat-obatan
tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang
belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan
kematian. Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti
virus, bakteri, jamur atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.
Daerah "sabukmeningitis" di Afrika terbentang dari Senegal di barat ke Ethiopia
di timur. Daerah ini ditinggali kurang lebih 300 juta manusia. Pada 1996 terjadi
wabah meningitis di mana 250.000 orang menderita penyakit ini dengan 25.000
korban jiwa. Oleh karena itu dalam Makalah ini kami akan membahas secara
detail tentang Meningitis. Tujuannya agar pembaca Mengerti dan Waspada
terhadap penyakit meningitis.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dasar teori dan konsep dasar asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan meningitis.?
C. Tujuan
D. Manfaat
Sebagai bahan acuan dan pemahaman konsep mengenai konsep dasar teori
dan konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan meningitis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi/Pengertian
2. Etiologi
a. Bakteri:
Terjadi katup
ledak/PA yang inflamasi pada piamater, arachroid, CSS
Hipertermi
berlebihan
Meningitis
Kejang
eksudat
risiko
cedera
edema serebral
kerusakan neurologis
tek. intakranial
meningkat yang mensarafi otot
Walaupun banyak jenis organisme penyebab meningitis, secara umum tanda dan gejalanya
hampir sama semua, antara lain:
a. Secara umum gejala meningitis adalah sakit kepala, demam, mual, muntah, photopobia,
adanya tanda rangsang meningeal/iritasi meningen seperti; kaku kuduk positif, tanda
Kernig positif, dan tanda Brudzinski positif, perubahan tingkat kesadaraan, kejang,
peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi saraf kranial, dan penurunan status mental
(Ignatavicius & Wrokman, 2006; Hickey, 1997).
b. Salah satu komplikasi lanjut dari meningitis adalah koma, hal ini merupakan prognosis
yang buruk, dan dapat terjadi pada 5%-10% pasien meningitis bakterial.
c. Tanda dan gejala lain yang tidak khas pada pasien meningitis adalah; terjadi
hipersensitivitas kulit, hiperanalgesia, dan hipotonus otot, walaupun fungsi motorik masih
dapat dipertahankan. Efek toksin pada otak atau trombus pada suplai vaskular ke area
serebral menyebabkan ketidakmampuan permanen fungsi serebral, jika terjadi perubahan
patologi, maka dapat terjadi hemiparesis, demensia, dan paralisis (Hickey, 1997).
Obstruksi jalan napas atau disritmia jantung dapat terjadi.
d. Gejala meningitis yang diakibatkan dari infeksi dan peningkatan tekanan intracranial
(TIK):
1) Sakit kepala dan demam
Sakit kepala dan demam adalah gejala awal meningitis. Sakit kepala dihubungkan
dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen. Demam
umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit.
2) Perubahan pada tingkat kesadaran
Perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan meningitis bakteri.
Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya penyakit.
Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula respons
individu terhadap proses fisiologi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi
letargi, tidak responsif, dan koma.
3) Iritasi meningen
Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali, yang umumnya
terlihat pada semua tipe meningitis.
a) Rigiditas nukal (kaku leher)
Rigiditas nukal merupakan tanda awal dan rigiditas nukal adalah upaya untuk
fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher. Fleksi
paksaan menyebabkan nyeri berat.
b) Tanda Kernig positif
Ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah abdomen,
kaki tidak dapat diekstensikan sempurna.
c) Tanda Brudzinski
Bila leher pasien difleksikan maka hasilnya adalah fleksi lutut dan pinggul; bila
dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah di salah satu sisi, maka gerakan
yang sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan.
d) Fotofobia
Pada beberapa pasien, tanpa alasan yang diketahui pasien meningitis mengalami
fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya.
4) Kejang dan peningkatan TIK
Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka. Tanda-tanda
peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema serebral.
5) Adanya ruam
Ruam merupakan salah satu cirri yang mencolok pada meningitis meningokokal
(Neisseria meningitis). Sekitar setengah dari semua pasien meningitis, terdapat ruam
petekie dengan lesi purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas.
6) Infeksi fulminating
Terjadi pada sekitar 10 % penderita meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda
septicemia : demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar
wajah dan ekstremitas), syok, dan tanda-tanda kuagulopati intravascular diseminata
(KID).
Pada Neonatus:
a. Sukar untuk diketahui manifestasinya tidak jelas dan tidak spesifik ada kemiripan
dengan anak yang lebih tua, seperti:
1) Menolak untuk makan
2) Kemampuan menelan buruk
3) Muntah dan kadang-kadang ada diare
4) Tonus otot lemah, pergerakan melemah dan kekuatan menangis melemah
5) Hypothermia/demam, joundice, iritabel, mengantuk, kejang-kejang
6) RR yang tidak teratur/apnoe, sianosis dan kehilangan BB.
7) Ketegangan , fontanel menonjol mungkin ada atau tidak
8) Leher fleksibel
9) Kolaps kardiovaskuler, kejang-kejang dan apnoe terjadi bila tidak diobati/ditangani.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Analisis CSS dari fungsi lumbal.
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jenis sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
a) Meningitis bakterial: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah
putih dan protein meningkat, glukosa meningkat, kultur positif terhadap beberapa
jenis bakteri.
b) Meningitis virus: tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur
virus biasanya dengan prosedur khusus.
2) Glukosa serum: meningkat
3) LDH serum: meningkat (meningitis bakteri)
4) Sel darah putih: sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
5) Elektrolit darah: dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit
terutama hiponatremi.
6) Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya
kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien
meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
7) ESR/LED: meningkat pada meningitis
8) Kultur darah/hidung/tenggorokan/urine: dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi
atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.
9) Uji tuberkulin positif dari kurasan lambung untuk meningitis tuberkulosis.
b. Radiologi
1) MRI/CT scan: CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau
penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah
sangat parah. CT scan dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak
ventrikel, hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
2) Rontgen dada/kepala/sinus: mengindikasikan adanya infeksi intrakranial.
3) Elektroensefalografi (EEG), akan menunjukkan perlambatan yang menyeluruh di
kedua hemisfer dan derajatnya sebanding dengan radang.
8. Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis meningitis dilakukan tes laboratorium. Tes ini memakai
darah atau cairan sumsum tulang belakang. Cairan sumsum tulang belakang diambil dengan
proses yang disebut pungsi lumbal (lumbar puncture atau spinal tap). Sebuah jarum ditusukkan
pada pertengahan tulang belakang, tepat di atas pinggul. Jarum menyedot contoh cairan sumsum
tulang belakang. Tekanan cairan sumsum tulang belakang juga dapat diukur. Bila tekanan terlalu
tinggi, sebagian cairan tersebut dapat disedot. Tes ini aman dan biasanya tidak terlalu
menyakitkan. Namun setelah pungsi lumbal beberapa orang mengalami sakit kepala, yang dapat
berlangsung beberapa hari (Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken, et al., 2006). Diagnosis meningitis
lebih spesifik berdasarkan penyebabnya sebagai berikut :
a. Diagnosis meningitis bakteri akut:
Pemeriksaan CSS menunjukkan tekanan meningkat dengan warna keruh sampai purulen,
dan peningkatan jumlah lekosit (500 - 35000/cmm) yang terutama terdiri sel PMN (stadium
awal). Kadar protein meningkat dan kadar glukosa menurun. Hendaknya dilakukan
pengecatan CSS (Gram) disamping pembiakkan kuman. Pemeriksaan lain seperti X-foto
tengkorak, sinus paranasalis mastoid, toraks, dan EEG.
b. Diagnosis meningitis tuberkulosis:
1) Adanya gejala rangsangan selaput otak seperti kaku tengkuk, tanda Kernig, dan
Brudzinski.
2) Pemeriksaan CSS menunjukkan :
a) Peningkatan sel darah putih terutama limfosit
b) Peningkatan kadar protein
c) Penurunan kadar glukosa
3) Ditambah 2 atau 3 dari kriteria dibawah ini :
a) Ditemukannya kuman tuberkulosis pada pengecatan dan pembiakan CSS
b) Kelainan foto toraks yang sesuai dengan tuberculosis
c) Pada anamnesis kontak dengan penderita tuberkulosis aktif
9. Pengobatan
Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai perawatan intensif suportif untuk
membantu pasien melaluimasa kritis :
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Pemberian cairan intravena.
c. Bila gelisah berikan sedatif/penenang.
d. Jika panas berikan kompres hangat, kolaborasi antipiretik.
e. Sementara menunggu hasil pemeriksaan terhadap kausa diberikan:
1) Kombinasi amphisilin 12-18 gram, klorampenikol 4 gram, intravena 4x sehari.
2) Dapat dicampurkan trimetropan 80 mg, sulfa 400 mg.
3) Dapat pula ditambahkan ceftriaxon 4-6 gram intra vena.
f. Pada waktu kejang:
1) Melonggarkan pakaian.
2) Menghisap lendir.
3) Puasa untuk menghindari aspirasi dan muntah.
4) Menghindarkan pasien jatuh.
g. Jika penderita tidak sadar lama:
1) Diit TKTP melalui sonde.
2) Mencegah dekubitus dan pneumonia ostostatikdengna merubah posisi setiap dua jam.
3) Mencegah kekeringan kornea dengan borwater atau salep antibiotic.
h. Jika terjadi inkontinensia, pasang kateter.
i. Pemantauan ketat terhadap tanda-tanda vital.
j. Kolaborasi fisioterapi dan terapi bicara.
k. Konsultasi THT (jika ada kelainan telinga, seperti tuli).
l. Konsultasi mata (kalau ada kelainan mata, seperti buta).
m. Konsultasi bedah (jika ada hidrosefalus).
Terapi Farmakologis
b. Pengobatan simtomatis :
1) Diazepam IV : 0.2 – 0.5 mg/kg/dosis, atau rectal 0.4 – 0.6/mg/kg/dosis kemudian
klien dilanjutkan dengan.
2) Fenitoin 5 mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.
Penurun panas :
1) Antipiretika : parasetamol atau salisilat 10 mg/kg/dosis.
2) Kompres air PAM atau es.
c. Pengobatan suportif :
1) Cairan intravena.
2) Zat asam, usahakan agar konsitrasi O2 berkisar antara 30 – 50%.
10. Komplikasi
a. Hidrosefalus obstruktif
b. Meningococcus Septicemia ( mengingocemia )
c. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
d. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
e. Efusi subdural
f. Kejang
g. Edema dan herniasi serebral
h. Cerebral palsy
i. Gangguan mental
j. Gangguan belajar
k. Attention deficit disorder
l. Ketidaksesuaian sekresi ADH
m. Pengumpulan cairan subdural
n. Lesi lokal intrakranial dapat mengakibatkan kelumpuhan sebagian badan
o. Retardasi mental, tuli, kebutaan karena atrofi nervus II ( optikus )
p. Pada meningitis dengan septikemia menyebabkan suam kulit atau luka di mulut,
konjungtivitis.
q. Epilepsi
r. Pneumonia karena aspirasi
s. Emfisema subdural
t. Keterlambatan bicara
u. Kelumpuhan otot yang disarafi nervus III (okulomotor), nervus IV (toklearis ), nervus VI
(abdusen). Ketiga saraf tersebut mengatur gerakan bola mata.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis kuman
penyebab. Disni harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan
mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien meningitis,
biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat dari infeksi dan
peningkatan TIK.
Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit kepala
dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen.
Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu
mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang
diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan
meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya
penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula
respons individu terhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
Pengkajian lainnya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama menjalani perawatan di
RS, pernahkah menjalani tindakan invasif yang mungkin masuknya kuman ke meningen
terutama melalui pembuluh darah.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengakajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit, dan
hemoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh
imunologis pada masa sebelmunya. Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan pada klien
terutama apabila adan keluhan batuk produktif dan pernah menjalani pengobatan obat
antituberkulosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis tuberkulosa.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, sperti pemakaian obat
kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat
ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan perupakan data dasar
untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
d. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
nafas, dan peninngkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada klien
meningitis yang disertai adanya gangguan pada sistem pernafasan. Palpasi thoraks
hanya dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi
pleura masif (jarang terjadi pada klien meningitis). Auskultasi bunyi nafas tambahan
seperti ronchi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer
dari paru.
2) B2 (blood)
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningtis biasanya berkisar pada
tingkat tinggi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi
memantau pemberian asuhan keperawatan.
g. Fungsi serebi
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, lain gaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien meningitis tahap
lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
h. Pemeriksaan saraf kranial
1) Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan.
2) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema
mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai abses serebri dan
efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung lama.
3) Saraf III,IV,VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pu[il pada klien meningitis yang tidak
disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitis
yang mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan
didapatkan. Dengan alasan yang berlebihan terhadap cahaya.
4) Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah
dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menalan baik.
8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usaha
dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (ringiditan nukal).
9) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi
Indra pengecap normal.
Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada meningitis tahap
lanjut mengalami perubahan.
i. Pemeriksaan refleks
Tidak menemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan meningitis
disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga
berhubungan dengan meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka.
k. Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, dan suhu
normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Sensai propriopseptif dan
deskriminatif normal
l. Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan peningkatan TIK. Tanda-
tanda peningktakan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema serebri terdiri atas
perubahan karakteristik tanda-tanda vital ( melebarnya tekan pulsa dan bradikardia ),
pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
Adanya ruam merupakan salah satu cirri yang menyolok pada meningitis
meningokokal (Neisseria meningitis ). Sekitar setengah dari semua klien dengan tipe
meningitis mengalami lesi-lesi pada kulit di antaranya ruam petekia dengan lesi purpura
sampai ekimiosis pada daerah yang luas.
Iritasi meninge mengakibat sejumlah tanda yang mudah dikenali yang
umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Tanda tersebut adalah rigiditas
nukal, tanda kernig (+) dan adanya tanda Brudzinski, Kaku kuduk adalah tanda
awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya
spasme otot-otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat.
Pemeriksaa untuk melihat adanya tanda kaku kuduk ( ringditas nukal). Bila leher
ditekuk secara pasif akan terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel pada
dada. Pemeriksaan untuk melihat adanya tanda kering. Cara pemeriksaan dengan fleksi
tungkai atas tegak lurus kemudian dicoba untuk diluruskan tungkai bawah pada sendi
lutut. Hasil normal didapatkan apabila tungkai bawah membentuk sudut 135o terhadap
tungkai atas. Hasil kering (+) bila didapatkan ekstensi lutut pasif terdapat hambatan
karena ada nyeri.
Tanda Kerning positif : ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan
fleksi kea rah abdomen, kaki tidak akan dapat diekstensikan sempurna.
Tanda Brudzinski : Tanda ini didapatkan apabila leher klien difleksikan,
maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada
ektremitas bawah pada salah satu sisi, maka gerakan yang sama terlihat pada
sisi ektremitas yang berlawanan.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Analisis CSS dari fungsi lumbal.
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jenis sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan
penurunan kesadaran, sakit kepala, kaku kuduk, kejang, TD meningkat, gelisah.
b. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan suhu tubuh > 37,5°C,
sakit kepala, kelemahan.
c. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder akibat meningitis.
d. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dngan sakit
kepala, nyeri sendi, RR meningkat, TD meningkat, nadi meningkat, wajah meringis
kesakitan, skala nyeri >0.
e. Gangguan rasa nyaman (mual) berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan
mual, muntah, nafsu makan menurun.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan tahanan sekunder akibat
gangguan neuromuskular ditandai dengan tonus otot menurun, kekuatan menangis
melemah.
3. Rencana Keperawatan
indikasi. Jaga kepala pasien tetap dari kepala akan menurunkan TIK.
nafsu makan makan dengan orang lain (keluarga, orang lain (keluarga, saudara, orang
Tidak ada
menurun. saudara, atau orang tua). tua) apat membantu meningkatkan
muntah
keinginan untuk makan.
Nafsu makan
meningkat - Gunakan alat makan - Penggunaan alat makan
5. Evaluasi
No.
Diagnosa Keperawatan Evaluasi
Dx
1. Gangguan perfusi jaringan serebral Tercapainya perfusi jaringan serebral adekuat :
berhubungan dengan peningkatan Tingkat kesadaran membaik (GCS: E4 M6
TIK. V5).
Klien tidak sakit kepala.
Klien tidak kaku kuduk.
Tidak terjadi kejang.
TD dalam batas normal (bayi 85/54 mmHg,
toddler 95/65 mmHg, sekolah 105-165 mmHg,
remaja 110/65 mmHg).
Klien tidak gelisah.
2. Hipertermi berhubungan dengan Tercapainya suhu tubuh normal:
proses inflamasi. Suhu tubuh 36-37,5°C
Klien tidak sakit kepala
Klien merasa lebih bertenaga
3. Risiko cedera berhubungan dengan Tidak terjadi cedera.
perubahan fungsi serebral sekunder
akibat meningitis.
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) Nyeri teratasi:
berhubungan dengan peningkatan Klien tidak sakit kepala
TIK. Nadi, RR, dan TD dalam batas normal
(Nadi: bayi 120-160x/mnt, toddler 90-
140x/mnt, prasekolah 80-110 x/mnt, sekolah
75-100x/mnt, remaja 60-90x/mnt; RR: bayi
35-40 x/mnt, toddler 25-32x/mnt, anak-anak
20-30 x/mnt, remaja 16-19 x/mnt; TD: bayi
85/54 mmHg, toddler 95/65 mmHg, sekolah
105-165 mmHg, remaja 110/65 mmHg)
Wajah tidak meringis kesakitan
Skala nyeri 0
5. Gangguan rasa nyaman (mual) Gangguan rasa nyaman mual teratasi:
berhubungan dengan peningkatan Tidak ada mual
TIK. Tidak ada muntah
Nafsu makan meningkat
6. Hambatan mobilitas fisik Tercapainya mobilitas secara mandiri:
berhubungan dengan kekuatan dan Tonus otot meningkat
tahanan sekunder akibat gangguan 555 555
neuromuskular. 555 555
Kekuatan menangis meningkat
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang melapisi otak dan medula spinalis)
dan disebabkan oleh virus, bakteri, atau organ-organ jamur
Meningitis merupakan salah satu penyakit infeksi SSP yang akut dan memiliki angka
kematian dan kecacatan yang tinggi. Diagnosis meningitis sering mengalami kelambatan karena
gejala dan tanda klinis meningitis tidak spesifik terutama pada bayi.
Penyebab-penyebab dari meningitis meliputi:
1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama
meningokokus, pneumokokus, dan basil influenza.
2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.
3. Organisme jamur.
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara
terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat
dan perifer. Neurogenic bladder adalah keadaan malfungsi kandung kemih karena
disfungsi neurologis atau disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau
cedera.
Disfungsi kandung kemih neurogenik dapat menyulitkan berbagai kondisi neorologis.
Di Amerika Serikat, kandung kemih neurogenik mempengaruhi 40–90% dari orang-orang
dengan multiple sclerosis, 37–72% dari mereka dengan Parkinsonisme, dan 15% dari orang-
orang dengan stroke. Detrusor hyperreflexia terlihat di 50–90% dari orang-orang dengan
multiple sclerosis, sementara yang lain 20-30 % memiliki detrusor areflexia. Ada lebih dari
200.000 orang dengan cedera tulang, dan 70–84% dari orang-orang ini memiliki setidaknya
beberapa derajat disfungsi kandung kemih .
Pada pengamatan terhadap asuransi dan farmasi,bahwa ada klaim dari hampir 60.000
pasien dengan kandung kemih neurogenik selama 4 tahun dan menemukan tingkat 29–36%
lebih rendah infeksi saluran kemih, 9–14% tingkat retensi urin dan 6–11% tingkat penghalang
saluran kemih. Infeksi saluran kemih atas dicatat dalam 1.4–2.2% dari kandung kemih
neurogenik kohort, dan penyakit sistemik yang serius juga didiagnosis dalam kelompok ini
termasuk septikemia di 2.6–4.7% dan gagal ginjal akut 0.8–2.2%. Kandung kemih
neurogenik pasien rata-rata 16 kantor dan 0.5 ruang gawat darurat kunjungan per tahun,
sekitar sepertiga dari mereka menuju rawat inap
Istilah Neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik ataupun
menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan fungsi urologi
akibat kelainan neurologis. Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas yang
terintegrasi antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai
refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis
bagiansakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan vesica urinaria dapat diakibatkan
olehlesi pada berbagai derajat. Banyak penyebab yang mendasari timbulnya Neurogenic
bladder sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan.
B. TUJUAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai tujuan yang terdiri dari tujuan
umum dan tujuan khusus sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ilmiah ini adalah memberikan gambaran mengenai
penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan Neurogenic Bladder
2. Tujuan khusus penulisan makalah ilmiah ini adalah agar dapat menggambarkan
tentang:
a. Konsep dasar Neurogenic Bladder
b. pada pasien Neurogenic Bladder
c. Perumusan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Neurogenic Bladder
d. Rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan
Neurogenic Bladder
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem
saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa
berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi
(underactivebladder ) maupun kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan
kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali (overactive bladder ) (Rackley, 2009;
Waxman, 2010).
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
(Snell, 2006; Waxman, 2010)
Gangguan vesica urinaria dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras yang
terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :
a. Lesi supra pons.
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh
aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian
medial,ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat
hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan,
tumor,demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada
hidrosefalusatau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih
yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat
kegagalan dalam memulai proses miksi secara volunteer.
b. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis.
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian
sacralmedula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan
pengaturan fungsi spingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain
adalah:
1. Vesica urinaria yang hiperrefleksi.
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan vesica urinaria
yanghiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk
terjadinyakontraksi vesica urinaria. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi
dalam jumlah yang sedikit.
c. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun ekstradural akan
menimbulkan gangguan LMN dari fungsi vesica urinaria dan hilangnya sensibilitas
vesicaurinaria. Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan karena mekanisme
untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, vesica urinaria menjadi atonik atau
hipotonik bilakerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance vesica urinaria juga
hilang karena halini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya
persyarafan. Sensibilitasdari peregangan vesica urinaria terganggu namun sensasi nyeri
masih didapatkan karenainformasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui
n.hipogastrikus ke daerahthorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme
penutupan namun jaringanelastik dari leher vesica urinaria memungkinkan terjadinya
miksi. Mekanisme untuk mempertahankan miksi selama kenaikan tekanan intra
abdominal yang mendadak hilang,sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk
atau bersin.
D. MANIFESTASI KLINIK
Gejalanya bervariasi berdasarkan apakah kandung kemih menjadi kurang aktif atau
overaktif.Suatu kandung kemih yang kurang aktif biasanya tidak kosong dan meregang
sampai menjadi sangat besar.
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan
inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya
frekuensi,urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising
value )karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons
maupun suprasakral.
Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis.Pada pria adalah
penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis sepertihipertrofi prostat atau
striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medullaspinalis bagian sakral,
DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia
detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibatgangguan kontraksi
detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai
refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun hanyasedikit kasus dari lesi
frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa.
Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons
dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jarassensorik masih utuh,
akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahansfingter yang dapat
bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang
mengakibatkan retensi kronik dengan overflow
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Kandung kemih yang membesar bisa diketahui pada pemeriksaan perut bagian bawah.
Urografi intravena, sistografi maupun uretrografi dilakukan untuk memperkuat diagnosis.
Pemeriksaan tersebut bisa menunjukkan ukuran ureter dan kandung kemih, batu ginjal,
kerusakan ginjal dan fungsi ginjal. Bisa juga dilakukan pemeriksaan USG atau
sistoskopi.Dengan memasukkan kateter melalui uretra bisa diketahui jumlah air kemih yang
tersisa. Untuk mengukur tekanan di dalam kandung kemih dan uretra bisa dilakukan dengan
cara menghubungkan katetera dengan suatu alat pengukur (sistometografi).
F. PENATALAKSANAAN
a. Kateterisasi
b. Meningkatkan intake cairan
c. Pembedahan merupakan cara terakhir
Pada kandung kemih yang kurang aktif, jika penyebabnya adalah cedera saraf, maka
dipasang kateter melalui uretra untuk mengosongkan kandung kemih, baik secara
berkesinambungan maupun untuk sementara waktu.Kateter dipasang sesegera mungkin agar
otot kandung kemih tidak mengalami kerusakan karena peregangan yang berlebihan dan
untuk mencegah infeksi kandung kemih.
Pemasangan kateter secara permanen lebih sedikit menimbulkan masalah pada wanita
dibandingkan dengan pria.Pada pria, kateter bisa menyebabkan peradangan uretra dan
jaringan di sekitarnya.
Pada kandung kemih overaktif, jika kejang pada saluran keluar kandung kemih
menyebabkan pengosongan yang tidak sempurna, maka bisa dipasang kateter. Pada pria
lumpuh yang tidak dapat memasang kateternya sendiri, dilakukan pemotongan sfingter (otot
seperti cincin yang melingkari lubang) di saluran keluar kandung kemih sehingga proses
pengosongan bisa terus berlangsung dan dipasang penampung air kemih. Bisa diberikan
rangsangan listrik pada kandung kemih, saraf yang mengendalikan kandung kemih atau
medula spinalis; supaya kandung kemih berkontraksi.Tetapi hal ini masih dalam taraf
percobaan.
Pemberian obat-obatan bisa memperbaiki fungsi penampungan air kemih oleh
kandung kemih.Pengendalian kandung kemih overaktif biasanya bisa diperbaiki dengan
obat yang mengendurkan kandung kemih, seperti obat anticholinergik.Tetapi obat ini bisa
menimbulkan efek samping berupa mulut kering dan sembelit.Kadang dilakukan
pembedahan untuk mengalirkan air kemih ke suatu lubang eksternal (ostomi) yang dibuat di
dinding perut atau untuk menambah ukuran kandung kemih.Air kemih dari ginjal dialirkan
ke permukaan tubuh dengan mengambil sebagian kecil usus halus, yang dihubungkan
dengan ureter dan disambungkan ke ostomi; air kemih dikumpulkan dalam suatu
kantung.Prosedur ini disebut ileal loop.
Penambahan ukuran kandung kemih dilakukan dengan menggunakan sebagian usus
dalam suatu prosedur yang disebut sistoplasti augmentasi disertai pemasangan kateter oleh
penderita sendiri.Sebagai contoh, sautau hubungan dibuat diantara kandung kemih dan
lubang di kulit (verikostomi) sebagai tindakan sementara sampai anak cukup dewasa untuk
menjalani pembedahan definitif.
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya batu
ginjal.Dilakukan pengawasan ketat terhadap fungsi ginjal.Jika terjadi infeksi, segera
diberikan antibiotik.Dianjurkan untuk minum air putih sebanyak 6-8 gelas/hari.
(Brunicardi,2006;Ropper and Brown,2005;Rackley,2009;Waxman,2010)
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan mengurangi gejala.
1. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat dilakukan dengan cara :
a. Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal
b. Kompresi eksternal dan penekanan abdomen,crede's manoeuvre
c. Clean intermittent self-catheterisation
d. Indwelling urethral catheter
2. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor :
a. Bladder training (bladder drill)
b. Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin
3. Penatalaksanaan operatif .
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan
neurologiskongenital atau cedera medula spinalis.
G. KOMPLIKASI
1. Kebocoran urin
2. Retensio urin
3. Rusaknya pembuluh darah ginjal
4. Infeksi kandung kemih dan ureter.
H. PROGNOSIS
Prognosis baik jika kelainan terdiagnosis dan diobati sebelum terjadi kerusakan ginjal
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
Untuk mengidentifikasi masalah eliminasi urine dan mengumpulkan data guna
menyusun suatu rencana kepe-rawatan, perawat melakukan pengkajian riwayat kepe-rawatan,
melakukan pengkajian fisik, mengkaji urine klien, dan meninjau kembali informasi yang
telah diperoleh dari tes dan pemeriksaan diagnostik.
a. Riwayat Keperawatan
Riwayat keperawatan mencakup tinjauan ulang pola eliminasi dan gejala-gejala
perubahan urinarius, serta mengkaji faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan
klien untuk berkemih secara normal.
a) Pola Perkemihan
Perawat menanyakan pada klien mengenai pola berkemih hariannya, termasuk
frekuensi dan waktunya, volume normal urine yang dikeluarkan setiap kali berkemih, dan
adanya perubahan yang terjadi baru-baru ini. Frekuensi berkemih bervariasi pada setiap
individu dan sesuai dengan asupan serta jenis-jenis haluaran cairan dari jalur yang lain.
Waktu berkemih yang umum saat bangun tidur, setelah makan, dan sebelum tidur.
Kebanyakan orang berkemih rata-rata sebanyak lima kali atau lebih dalam satu hari.
Klien yang sering berkemih pada malam hari kemungkinan mengalami penyakit ginjal
atau pembesaran prostat.Informasi tentang pola berkemih merupakan dasar yang tidak
dapat dipungkiri untuk membuat suatu perbandingan.
4. B4 blader
Ginjal
Apabila ginjal terinfeksi atau mengalami peradangan, biasanya akan timbul nyeri
di daerah pinggul. Adanya nyeri tekan di daerah pinggul pada awal penyakit pada saat
memperkusi sudut kostovertebra (sudut yang dibentuk oleh tulang belakang dan tulang
rusuk ke-12).Peradangan ginjal menimbulkan nyeri selama perkusi dilakukan.
Auskultasi juga dilakukan untuk mendeteksi adanya bunyi bruit di arteri ginjal (bunyi
dihasilkan dari perputaran aliran darah yang melalui arteri yang sempit).
Perawat yang memiliki keterampilan tinggi belajar mempalpasi ginjal selama proses
pemeriksaan abdomen. Posisi, bentuk, dan ukuran ginjal dapat mengungkapkan adanya
masalah seperti tumor.
Kandung Kemih
Pada orang dewasa, kandung kemih terletak di bawah simfisis pubis dan tidak
dapat diperiksa oleh perawat.Saat kandung kemih berdistensi, kandung kemih terangkat
sampai ke atas simfisis pubis pada garis tengah abdomen dan dapat membentang sampai
tepat di bawah umbilikus.Pada inspeksi, perawat dapat melihat adanya pembeng-kakan
atau lekukan konveks pada abdomen bagian bawah.Perawat dengan perlahan mempalpasi
abdomen bagian bawah.Kandung kemih dalam keadaan normal teraba lunak dan bundar.
Saat perawat memberi tekanan ringan pada kandung kemih, klien mungkin akan
merasakan suatu nyeri tekan atau bahkan sakit. Walaupun kandung kemih tidak terlihat,
palpasi dapat menyebabkan klien merasa ingin berkemih.Perkusi pada kandung kemih
yang penuh menimbulkan bunyi perkusi tumpul.
5. B5 bowel
Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.Perubahan pada pola defekasi
misal terdapat darah pada feses, nyeri pada defekasi.
6. B6 bone
Perawat mengkaji kondisi kulit klien.Masalah eliminasi urine sering dikaitkan
dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Perawat mengkaji status hidrasi klien
dengan mengkaji turgor kulit dan mukosa mulut.kelemahan/ keletihan, keterbatasan
partisipasi pada latihan.
c. Pemeriksaan laboratorium
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan pada kasus
urologi. Pemeriksaannya meliputi :
a) Makroskopik dengan menilai warna, bau, dan berat jenis urine.
b) Kimiawi, meliputi : pemeriksaan derajat keasaman (Ph), protein, dan gula
dalam urine.
c) Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast (silinder) atau
bentukan lain dalam urin.
Urine mempunyai Ph yang bersifat asam yaitu rata-rata 5,5 – 6,5. Jika
didapatkan Ph yang relatif basa kemungkinan terdapat infeksi oleh bakteri pemecah
urea,sedangkan jika pH yang terlalu asam kemungkinan terdapat asidosis pada
tubulus ginjal atau ada batu asam urat.
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN RENCANA TINDAKAN RASIONAL
& HASIL YANG DIHARAPKAN
1 Nyeri berhubungan dengan a. Kaji tingkat Nyeri a. Memberikan informasi tentang efektivitas
distensikandung kemih intervensi
i. Mencegah infeksi
i. Lakukan perawatan kateter setiap hari
A. KESIMPULAN
Neurogenic Bladder atau Kandung Kemih Neurogenik adalah suatu
kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengontrol kandung
kemih dengan baik karena kerusakan pada saraf yang mengontrol kemampuan
berkemih, menyebabkan kandung kemih menjadi lebih aktif atau kurang aktif.
Orang-orang yang menderita kandung kemih neurogenik yang lebih aktif mampu
berkemih, tetapi mereka memiliki kesulitan untuk mengosongkan kandung kemih
secara keseluruhan. Mereka juga dapat mengalami gejala, seperti keinginan yang
kuat untuk sering berkemih tetapi hanya dapat mengeluarkan sejumlah kecil urin
dan kebocoran urin/mengompol. Karena mereka cenderung untuk menahan
sejumlah kecil urin pada kandung kemih, hal ini meningkatkan resiko mereka
untuk terinfeksi pada saluran kemih. Namun, penderita kandung kemih
neurogenik kurang aktif mampu menahan sejumlah besar urin tetapi tidak mampu
merasakan kandung kemih penuh atau tidak. Mereka juga memiliki kesulitan
dalam mengendalikan otot-otot kandung kemih secara baik. Oleh karena itu,
mereka akan sering mengompol ketika kandung kemih terisi melewati batas.
Kondisi ini umumnya ditemukan pada orang-orang dengan penyakit neurogenik,
seperti Alzheimer, penyakit Parkinson, sklerosis multipel dan cedera medula
spinalis. Perawatan biasanya termasuk kateterisasi, dengan memasukan pipa tipis
kedalam kandung kemih untuk mempermudah pengosongan kandung kemih.
Apabila tidak dirawat secara tepat, kandung kemih neurogenik dapat
menyebabkan gagal ginjal karena tekanan yang dihasilkan sebagai akibat ekspansi
kandung kemih yang berlebihan dan infeksi saluran kemih.
B. SARAN
1. Bagi Mahasiswa
Benevento B.T. and Marca L. Sipski. 2002. Neurogenic Bladder, Nuerogenic Bowel, and
Sexual Dysfunction in People With Spinal Cord Injury Phys Ther . 82 (6): 601-612.
Faiz and Moffat. 2004.At Glance ANATOMY.Jakarta:Erlangga
Guytonand and Hall.2007.Buku ajar Fisiology kedokteran Edisi 11.Jakarta:EGC
Neurogenic bladder dysfunction and its management, In Greenwood R et al. Neurological
rehabilitation. New Tork : Churchil LivingstoneGuyton and Hall. 2007
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Rackley R. 2009. Neurogenic Bladder . Medscape reference. In
:http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7(Diakses 3 April 2011)
Ropper, Allan H and Brown Robert H. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology
Eighth Edition.McGraw-Hill Companies, In
Snell, RS. 2006.Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6 . Jakarta :
EGC
Waxman, Stephan G. 2010. A Lange Medical Book Clinical Neuroanatomi Twenty-Sixth
Edition.McGraw-Hill Companies, Inc
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN MASALAH FRAKTUR
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
C. PATOFISIOLOGI
Fraktur / patah tulang terjadi karena benturan tubuh, jatuh / trauma (long). Baik itu
karena trauma langsung, misalnya : tulang kaki terbentur bumper mobil, karena trauma tidak
langsung , misalnya : seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa oleh
karena trauma akibat tarikan otot misalnya tulang patella dan dekranon, karena otot triseps
dan biseps mendadak berkontraksi. (Oswari).
Fraktur dibagi menjadi fraktur tuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit.
(Mansjoer).
Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan
sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis
dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma
fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi
dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Corwin).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoksia
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan
syndrom kompartemen. (Brunner & Suddarth, 2002 : 2287).
Pengobatan dari fraktur tertutup bisa konservatif atau operatif. Theraphy konservatif
meliputi proteksi saja dengan mitella atau bidai. Imobilisasi dengan pemasangan gips dan
dengan traksi. Sedangkan operatif terdiri dari reposisi terbuka, fiksasi internal dan reposisi
tertutup dengan kontrol radio logis diikuti fraksasi internal. (Mansjoer).
Pada pemasangan bidai / gips / traksi maka dilakukan imobilisasi pada bagian yang
patah, imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas tulang agak
cepat (Price & Willsen).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi dari
imobilisasi antara lain : adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh
penekanan, hilangnya otot (Long).
Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh diimobilisasi, mengakibatkan
berkurangnya kemampuan perawatan diri (Carpenito). Pada reduksi terbuka dan fiksasi
interna (OKIF) fragme-fragmen tulang dipertahankan dengan pen, sekrup, pelat, paku.
Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadi infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera
mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price &
Willson). Pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat mengakibatkan nyeri
yang hebat (Brunner & Suddarth).
Penyimpangan KDM
D. KLASIFIKASI FRAKTUR
Fraktur di klasifikasikan sebagai berikut :
1) Fraktur tertutup
Merupakan fraktur tanpa komplikasi dengan kulit tetap utuh disekitar
fraktur tidak menonjol keluar dari kulit.
2) Fraktur terbuka
Pada tipe ini, terdapat kerusakan kulit sekitar fraktur, luka tersebut
menghubungkan bagian luar kulit. Pada fraktur terbuka biasanya potensial
untuk terjadinya infeksi, luka terbuka ini dibagi menurut gradenya.
Grade I : luka bersih, kurang dari 1 Cm.
Grade II : luka lebih luas disertai luka memar pada kulit dan otot.
Grade III : paling parah dengan perluasan kerusakan jaringan lunak terjadi pula
kerusakan pada pembuluh darah dan syaraf.
3) Fraktur komplit
Pada fraktur ini garis fraktur menonjol atau melingkari tulang periosteum
terganggu sepenuhnya.
4) Fraktur inkomplit
Garis fraktur memanjang ditengah tulang, pada keadaan ini tulang
tidak terganggu sepenuhnya.
5) Fraktur displaced
Fragmen tulang terpisah dari garis fraktur.
6) Fraktur Comminuted
Fraktur yang terjadi lebih dari satu garis fraktur, dan fragmen tulang
hancur menjadi beberapa bagian (remuk).
7) Fraktur impacted atau fraktur compressi
Tulang saling tindih satu dengan yang lainnya.
8) Fraktur Patologis
Fraktur yang terjadi karena gangguan pada tulang serta osteoporosis atau tumor.
9) Fraktur greenstick
Pada fraktur ini sisi tulang fraktur dan sisi tulang lain bengkak.
E. TANDA DAN GEJALA
1. Nyeri tekan : karena adanya kerusakan syaraf dan pembuluh darah.
2. Bengkak dikarenakan tidak lancarnya aliran darah ke jaringan.
3. Krepitus yaitu rasa gemetar ketika ujung tulang bergeser.
4. Deformitas yaitu perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena kuatnya
tarikan otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang.
5. Gerakan abnormal, disebabkan karena bagian gerakan menjadi tidak normal disebabkan
tidak tetapnya tulang karena fraktur.
6. Fungsiolaesa/paralysis karena rusaknya syaraf serta pembuluh darah.
7. Memar karena perdarahan subkutan.
8. Spasme otot pada daerah luka atau fraktur terjadi kontraksi pada otot-otot involunter.
9. Gangguan sensasi (mati rasa) dapat terjadi karena kerusakan syaraf atau tertekan oleh
cedera, perdarahan atau fragmen tulang.
10. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
11. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
12. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
F. KOMPLIKASI
- Malunion : Fraktur sembuh dengan deformitas (angulasi, perpendekan/rotasi)
- Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari normal.
- Nonunion : Fraktur yang tidak menyambung yang juga disebut pseudoarthritis, nonunion
yaitu terjadi karena penyambungan yang tidak tepat, tulang gagal bersambung kembali.
G. PENATALAKSANAAN
a. Medis
1) Traksi
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstreminasi klien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan
segaris dengan sumbu tarikan tulang yang patah. Kegunaan traksi adalah antara lain
mengurangi patah tulang, mempertahankan fragmen tulang pada posisi yang
sebenarnya selama penyembuhan, memobilisasikan tubuh bagian jaringan lunak,
memperbaiki deformitas.
Jenis traksi ada dua macam yaitu : Traksi kulit, biasanya menggunakan
plester perekat sepanjang ekstremitas yang kemudian dibalut, ujung plester
dihubungkan dengan tali untuk ditarik. Penarikan biasanya menggunakan katrol dan
beban. Traksi skelet, biasanya dengan menggunakan pin Steinman/kawat kirshner
yang lebih halus, biasanya disebut kawat k yang ditusukan pada tulang kemudian pin
tersebut ditarik dengan tali, katrol dan beban.
2) Reduksi
Reduksi merupakan proses manipulasi pada tulang yang fraktur untuk
memperbaiki kesejajaran dan mengurangi penekanan serta merenggangkan saraf dan
pembuluh darah.
Jenis reduksi ada dua macam, yaitu : Reduksi tertutup, merupakan metode
untuk mensejajarkan fraktur atau meluruskan fraktur, dan Reduksi terbuka, pada
reduksi ini insisi dilakukan dan fraktur diluruskan selama pembedahan dibawah
pengawasan langsung. Pada saat pembedahan, berbagai alat fiksasi internal
digunakan pada tulang yang fraktur.
b. Fisiotherapi
Alat untuk reimobilisasi mencakup exercise terapeutik, ROM aktif
dan pasif. ROM pasif mencegah kontraktur pada sendi dan mempertahankan
ROM normal pada sendi. ROM dapat dilakukan oleh therapist, perawat atau
mesin CPM (continous pasive motion). ROM aktif untuk meningkatkan
kekuatan otot.
c. Proses Penyembuhan Tulang
1) Fase formasi hematon (sampai hari ke-5)
Pada fase ini area fraktur akan mengalami kerusakan pada kanalis havers dan
jaringan lunak, pada 24 jam pertama akan membentuk bekuan darah dan fibrin yang
masuk ke area fraktur sehingga suplai darah ke area fraktur meningkat, kemudian
akan membentuk hematoma sampai berkembang menjadi jaringan granulasi.
2) Fase proliferasi (hari ke-12)
Akibat dari hematoma pada respon inflamasi fibioflast dan kapiler-kapiler
baru tumbuh membentuk jaringan granulasi dan osteoblast berproliferasi membentuk
fibrokartilago, kartilago hialin dan jaringan penunjang fibrosa, akan selanjutnya
terbentuk fiber-fiber kartilago dan matriks tulang yang menghubungkan dua sisi
fragmen tulang yang rusak sehingga terjadi osteogenesis dengan cepat.
3) Fase formasi kalius (6-10 hari, setelah cidera)
Pada fase ini akan membentuk pra prakulius dimana jumlah prakalius nakan
membesar tetapi masih bersifat lemah, prakulius akan mencapai ukuran maksimal
pada hari ke-14 sampai dengan hari ke-21 setelah cidera.
4) Fase formasi kalius (sampai dengan minggu ke-12)
Pada fase ini prakalius mengalami pemadatan (ossificasi) sehingga terbentuk
kalius-kalius eksterna, interna dan intermedialis selain itu osteoblast terus diproduksi
untuk pembentukan kalius ossificasi ini berlangsung selama 2-3 minggu. Pada
minggu ke-3 sampai ke-10 kalius akan menutupi tulang.
5) Fase konsolidasi (6-8 Bulan) dan remoding (6-12 bulan)
Pengkokohan atau persatuan tulang proporsional tulang ini akan menjalani
transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalius
tulang akan mengalami remodering dimanaosteoblast akan membentuk tulang baru,
sementara osteoklast akan menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan
terbentuk tulang yang menyeruapai keadaan tulang yang aslinya.
H. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinis Fraktur adalah nyeri, hilangnya sungsi deformitas, pemendekan
ekstremitas krepitus, pembekakan lokal dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai frogmen tulang diimobilisasi
spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap menjadi seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada faktur lengan atau tungkai menyebabkan defromitas (terlihat
maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan
ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu
sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen satu dengan lainnya (uji
krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembekakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera. ( Brunner dan Suddarth, 2001 : 2358 )
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
- Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
- Mengetahui tempat dan type fraktur
- Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodic
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun
( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau
cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan
reflek batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit
dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin,
sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian sekunder
Data demografi : identitas klien
Riwayat kesehatan sekarang : kejadian yang mengalami cedera.
Riwayat kesehatan masa lalu : riwayat penyakit DM, TB, arthritis, osteomielitis,
dan lain-lain.
Riwayat imunisasi : Polio, Tetanus.
a. Aktivitas/istirahat
kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
Tachikardi
Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
Cailary refil melambat
Pucat pada bagian yang terkena
Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
Kesemutan
Deformitas, krepitasi, pemendekan
kelemahan
d. Kenyamanan
nyeri tiba-tiba saat cidera
spasme/ kram otot
e. Keamanan
laserasi kulit
perdarahan
perubahan warna, pembengkakan local
f. Integumen, laserasi, perdarahan edema, perubahan warna kulit.
g. Sistem otot : kekuatan gerak koordinasi.
h. Pemeriksaan diagnostic.
Pemeriksaan ronthgen menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
Scan tulang, tomogram, scan ct, MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
Hitung darah lengkap : HT, mungkin meningkat (hemoton sentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan leukosit adalah respon stress normal setelah trauma
Diagnosa Keperawatan
a. tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan trauma jalan nafas.
Tujuan yang ingin dicapai adalah bersihan jalan nafas efektif.
Intervensi : yang akan dilakukan adlah,
-tinggikan tempat tidur30 derajat,
-observasi frekuensi/irama pernafasan,
-observasi adanya batuk, wheezing dan edema,
-observasi tanda-tanda vital.
-Auskultasi bunyi nafas, ajarkan tekhnik nafas dalam,
-ubah posisi secara periodic,
-berikan minum2-3 liter/hari
-kolaborasi dalam pemberian oksigen.
b. resiko tinggi trauma berhubungan dengan hilangnya integritas tulang/fraktur).
Tujuan yang akan dicapai adalah klien terhindar dari trauma.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- pertahanan traksi baring sesuai indikasi letakan papan dibawah tempat tidurortopedik,
- pertahanan posisi netral pada bagian, fraktur dengan bantal,
- anjurkan klien menghindari untuk beban yang berat,
- kolaborasi dengan tim medis lain, rinthgen.
c. resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasangan
kawat di rahang).
Tujuan yang akan dicapai adalah gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi.
Intervensi yang akan dilakukan adalah,
- timbang berat badan setiap hari,
- berikan air minum hangat bila mual,
- anjurkan klien bersandar bila makan atau minum,
- anjurkan makan dengan sedotan berikan makan sedikit tapi sering dengan konsistensi
yang sesuai,
- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.
d. gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot
Tujuan yang akan dicapai adalah nyeri berkurang.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- kaji karakteritik nyeri, lokasi dan intensitas (skala 0-10).
- Perrtahankan mobilisasi tirah baring, tinggikan bagian ekstremitas yang nyeri, beri
kompres dingin, observasi tanda-tanda vital (TD,N,S,RR).
- Ajarkan tekhnik relaksasi,
- kolaborasi dengan dokter dalampemberian therapy analgetik.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan kerangka neuromuskuler).
Tujuan yang akan dicapai adalah klien mampu bermobilisasi secara bertahap.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- kaji tingkat mobilitas klien,
- bantu klien dalam mobilisasi,
- ukur TD setelah aktivitas,
- bantu klien dalam gerakan pada ekstremitas yang sakit dan tidak sakit, anjurkan klien
untuk gerakan pada ekstremitas yang tidak nyeri,
- kolaborasi dengan tim medis lain : fisiotherapy.
f. resiko tinggi integritas kulit berhubungan dengan cidera tusuk fraktur terbuka, bedah
perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat dan sekrup
Tujuan yang akan dicapai adalah gangguan integritas kulit teratasi.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- kaji keadaan luka (adanya tanda-tanda infeksi).
- Pertahankan tempat tidur kering dan bebas dari kerutan, rubah posisi akan setiap 2 jam
sekali,
- lakukan perawatan luka, observasi daerah yang terpasang balutan, libatkan keluarga
dalam perawatan luka.
g. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan kawat pada rahang.
Tujuan yang akan dicapai adalah klien dapat berkomunikasi, dengan baik.
Intervensi yang akan dilakukan adalah :
tentukan luasnya ketidak mampuan berkomunikasi,
berikan pilihan cara berkomunikasi, validasi upaya arti komunikasi, antisipasi kebutuhan,
tempatkan catatan didekat klien.
h. resiko tiggi infeksi berhubungan dengan tidak ada kuatnya pertahan primer.
Tujuan yang akan dicapai adalah infeksi tidak terjadi.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- kaji kulit apakah terdapat iritasi atau robekan kontinuitas jaringan observasi tanda-tanda
vital, terutama suhu,
- observasi tanda-tanda infeksi, lakukan perawatan luka secara septic dan antiseptic, kaji
balutan luka
- kolaborasi dengan tim medis lain : laboratorium dalam pemeriksaan darah (LED dan
leukosit), kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotic.
i. Anxietas berhubungan dengan krisis situasi.
Tujuan yang akan dicapai adalah klien tidak cemas lagi.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
diskusikan tindakan keamanan, bantu mengekspresikan ketakutan, bantu untuk mengakui
kenyataan, termasuk marah, beri penjelasan tentang peubahan wajah, berikan cermin bila
pasien menghendaki, ajarkan tekhnik manajemen stress.
j. Kurang pegetahuan tentang kondisi prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi
Tujuan yang akan dicapai adalah pengetahuan klien akan bertambah.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
kaji sejauh mana tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya, beri pendidikan kesehatan
tentang penyakitnya, beri reinfoercement positif jika klien menjawab dengan cepat, pilih
berbagai strategi belajar seperti : tekhnik ceramah, tanya jawab dan demonstrasikan dan
tanyakan apa yang tidak diketahui klien.
MANAJEMEN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN POST OP
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
(Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis
vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya financial,
hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi
(termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode
puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune
(peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi
kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat
penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ;
Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid,
antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan
atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan
alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia,
dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson,
2006) meliputi :
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op
frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat
akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti
kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan
akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
- Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk
memblok stimulasi nyeri.
2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai
energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas
sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
- perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat
digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan
dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari
latihan.
3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara
tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
- tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka. R/ mengetahui sejauh mana
perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses
peradangan.
d. d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan
steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah
terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area
kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak
nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah
yang berisiko terjadi infeksi.
4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik
yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
- penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena
ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi,
kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
- tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital. R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu
tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan
leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat
terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
- melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga
tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya
akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai
keberhasilan dari tindakan yang dilakukan
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN HIPERTIROID DAN HIPOTIROID
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018
1. HIPERTIROID
A. Definisi Hipertiroid
B. Epidemiologi
C. Etiologi
D. Patofisiologi
Patogenesis
Proses pengeluaran hormone tiroid yang normal adalah sebagai berikut:
Hipotalamus Hipofisis Tiroid
(menerima
TRH/TIH)
Keterangan:
Panah hitam : umpan balik positif
Panah merah : umpan balik negative
Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terjadi suatu peningkatan kadar
hormone tiroid didalam tubuh maka akan terjadi feedback negative menuju hipotalamus.
Ketika feedback negative diterima oleh hipotalamus, maka akan terjadi pengeluaran
hormone inhibiting yang akan menurunkan sekresi/pembuatan hormone tiroid. Proses ini
terjadi ketika tiroid tidak mengalami suatu kelainan, apabila terjadi suatu kelainan pada
tiroid maka proses yang akan terjadi adalah sebagai berikut .
Hipotalamus Hipofisis Tiroid
(menerima
TRH/TIH)
Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan hormone tiroid.
Hal ini disebabkan oleh penutupan reseptor TSH dan TIH oleh Tiroid
Stimulating Inhibitor yang akan merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi
hormone tiroid secara terus menerus. Ketika produksi hormone tiroid telah
dirasa cukup oleh tubuh, maka tubuh akan memberikan umpan balik negative
kepada hipotalamus untuk mengeluarkan TIH (Tiroid Inhibiting hormone) yang
akan menurunkan produksi hormone tiroid. Dalam kejadian ini, TIH tidak akan
memberikan efek kepada kelenjar tiroid karena reseptornya ditutupi oleh TSI
sehingga kelenjar tiroid akan melanjutkan proses produksi hormone tiroidnya.
Ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium mengenai kadar hormone tiroid, maka akan
didapatkan hasil berupa peningkatan hormone T3 dan T4 tanpa adanya peningkatan
hormone TSH. Kejadian ini didapatkan pada kasus penderita hipertiroidisme, yang akan
menyebabkan peningkatan kadar metabolism di dalam tubuh dan peningkatan tmbuh
kembang dari penderita tersebut.
Patofisiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh antibody reseptor TSH yang merangsang
aktifitas tiroid, sehingga produksi tiroksin (T4) meningkat. Akibat peningkatan
ini ditandai dengan adanya tremor, ketidakstabilan emosi, palpitasi,
meningkatnya nafsu makan, kehilangan berat badan. Kulit lebih hangat dan
berkeringat, rambut halus, detak jantung cepat, tekanan nadi yang kecil,
pembesaran hati, kadang kadang terjadi gagal jantung. Peningkatan cardiac
output dan kerja jantung selama ketidakstabilan atrial menyebabkan
ketidakteraturan irama jantung, terutama pada pasien dengan penyakit
jantung.Ancaman bagi kehidupan di kombinasi dengan delirium atau koma,
temperatur tubuh naik sampai 41o C, detak jantung meningkat, hipotensi, muntah
dan diare.
Penyakit Graves memiliki gejala-gejala patognomonik sebagai ciri khas atau
tanda khusus. Beberapa gejala patognomonik yang menyertai penyakit Graves,
yaitu:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi sitotoksik yang
bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor yang ditemukan di
orbital fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid. Sitokin yang berasal dari
limfosit yang disintesis menyebabkan inflamasi di orbital fibroblast dan otot
ekstraokular, dan hasilnya adalah pembengkakan pada otot orbital.
Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan terjadi akibat
peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan diplopia, aliran air mata
yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia juga terjadi. Penyebabnya terletak
pada reaksi imun terhadap antigen retrobulbar yang tampaknya sama dengan
reseptor TSH. Akibatnya terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi limfosit,
akumulasi asam mukopolisakarida, dan peningkatan jaringan ikat retrobulbar
(Silbernagl, et al., 2006).
Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu metode yang
dinamakan NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara keseluruhan, dan
kadang-kadang kronologi gangguan pada mata pasien tidak berurutan seperti
yang tertera di daftar NO SPECS untuk menilai derajat keparahan yang
diderita pasien tersebut. Sehingga ditakutkan hasilnya jadi kurang valid.
1) Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara visualisasi antara iris
bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk Graves Disease
biasanya iris pasien bisa terlihat di bagian bawah palpebra, padahal
normalnya tidak.
2) Untuk menilai proptosis juga bisa menggunakan alat exopthalmometer
(Harrison, 2005).
b. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson, tremor
pada penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor kasar. Tremor
halus terjadi dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan dianggap sebagai efek dari
bertambahnya kepekaan sinaps saraf pengatur tonus otot di daerah medulla
(Guyton, 2007).Gejala lain yang mengiringi penyakit Graves, diantaranya:
1) Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan terjadinya peningkatan
metabolisme pada tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan asupan makanan
yang lebih banyak untuk megimbanginya.
2) Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon tiroid
membuat tbuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik yang ada di
dalam otot untuk membentuk glukosa melalui proses glukoneogenesis.
Karena diambil dari otot, maka pemakaian senyawa glukogenik secara
terus-menerus dapat mengurangi massa otot sehingga berat badan pun bisa
mengalami penurunan (Guyton, 2007).
3) Berdebar-debar
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon tiroid dapat
merangsang saraf simpatis yang berkaitan dengan hormon-hormon yang
dibentuk medulla suprarenal, yaitu epinephrin dan norepinephrin. Kedua
hormon tersebut dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dengan cara
menstimulasi α dan β reseptor, terutama β reseptor yang berada di
membran plasma otot jantung (Guyton, 2007).
4) Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal
Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi
getah pencernaan dan pergerakan saluran cerna, sehingga
hipertiroidisme seringkali menyebabkan diare.
E. Manifestasi Klinis
Gejala dan Tanda : Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk
palpitasi, kegelisahan, mudah capai, hiperkinesia dan diare, keringat banyak, tidak tahan
panas, dan senang dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa penurunan
nafsu makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksik pada mata , dan takikardia ringan
umumnya terjadi pada umumnya terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya masa otot
dapat sangat berat sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan. Pada
anak-anak terdapat pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat. Pada
pasien-pasien di atas 60 tahun, manifestasi kardiovaskuler dan miopati sering lebih
menonjol; keluhan yang paling menonjol adalah palpitasi, dispnea pada latihan, tremor,
nervous, dan penurunan berat badan.
F. Diagnosis
Anamnesis
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama, yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak. Tiroidal dapat berupa
goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akhibat sekresi
hormon tiroid yang berlebihan. Gejala hipertiroidisme dapat berupa
hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang meningkat seperti pasien mengeluh
lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat berlebih, berat badan menurun
sementara nafsu makan. meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan
atau atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti oftalmopati
dan infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya.
Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada hipertiroid perlu
juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang memiliki penyakit yang
sama atau memiliki penyakit yang berhubungan dengan autoimun
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal yang berupa
oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang ditandai dengan mata
melotot, fissura paplebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Pada
manifestasi tiroidal dapat ditemukan goiter difus, eksoftalmus, palpitasi, suhu
badan meningkat, dan tremor.
PemeriksaanPenunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free thyroxine index),
pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom,
penguruan kadar TSH serum, test penampungan yodium radiokatif (radioactive
iodine uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning).
Gold Standard Diagnosis
Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan FT4.
G. Penatalaksanaan
Farmakologis
Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid. Terdapat 2 kelas obat
golongan tionamid, yaitu tiourasil yang dipasarkan dengan nama propiltiourasil
(PTU) dan imidazol yang dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol.
Mekanisme kerja obat antitiroid bekerja dengan dua efek, yaitu efek intra dan
ekstratiroid. Berikut merupakan mekanisme masing-masing efek.
a. Mekanisme aksi intratiroid adalah menghambat oksidasi dan organifikasi
iodium, menghambat coupling iodotirosis, mengubah struktur molekul
tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin sehingga mencegah atau
mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4.
b. Mekanisme aksi ekstratiroid adalah menghambat konversi T4 menjadi T3 di
jaringan perifer. Obat yang bekerja dengan mekanisme aksi ekstratiroid
adalah propiltiourasil (PTU).
2. HIPOTIROID
A. Definisi Hipotiroid
Disgenesis Tiroid
Defek perkembangan (disgenesis tiroid) merupakan 90% dari bayi yang terdeteksi
hipotiroidisme. Pada sekitar sepertiga bayi tidak ditemukan adanya sisa jaringan tiroid
(aplasia), sedangkan duapertiga lainnya jaringan tiroid yang tidak sempurna ditemukan
pada lokasi ektopik, dari dasar lidah (tiroid lidah) sampai posisi normalnya di leher.
Kebanyakan bayi dengan hipotiroidisme kongenital pada saat lahir tidak bergejala
walaupun ada agenesis total kelenjar tiroid. Situasi ini dianggap berasal dari perpindahan
transplasenta sejumlah sedang tiroksin ibu (T4) yang memberikan kadar janin 25-50%
normal pada saat lahir. Kadar T4 serum yang rendah ini dan secara bersamaan kadar TSH
meningkat memungkinkan pendeteksian neonatus dengan hipotiroid.
Jaringan tiroid ektopik (lidah, bawah lidah, subhioid)dapat memberikan jumlah hormon
tiroid yang cukup selama bertahun-tahun atau dapat gagal pada masa anak-anak. Anak
yang terkena biasanya datang karena tumbuh massa pada dasar lidah atau pada linea
mediana leher, biasanya setinggi hioid. Kadang-kadang disertai dengan kista duktus
tiroglossus. Pengambilan secara bedah jaringan tiroid ektopik dari individu eutiroid dapat
mengakibatkan hipotiroidisme karena tidak memiliki jaringan tiroid yang lain.
Antibodi Penyekat-Reseptor Tirotropin (TRBAb)
TRBAb dahulu disebut penghambat imunoglobulin pengikat tiroid (TBII). Penyebab
hipotiroidisme kongenital sementara yang tidak biasa adalah antibodi ibu yang lewat
secara transplasenta yang menghambat pengikatan TSH pada reseptornya pada neonatus.
Frekuensinya adalah 1 dalam 50.000-100.000 bayi. Harus dicurigai adanya riwayat
penyakit tiroid autoimun ibu termasuk tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves,
hipotiroidisme pada terapi penggantian, ng hipotiroidisme kongenital berulang yang
bersifat sementara pada saudara kandung berikutnya. Diagnosis yang benar dalam kasus
ini adalah mencegah pengobatan berkepanjangan yang tidak perlu, waspada klinis
terhadap kemungkinan berulang pada kehamilan berikutnya, dan menawarkan prognosis
yang baik pada orang tua.
D. Patofisiologi
E. Manifestasi Klinis
F. Diagnosis
Anamnesis :
o Apakah berasal dari daerah gondok endemik?
o Struma pada ibu. Apakah ibu diberi KI, PTU waktu hamil?
o Adakah keluarga yang struma?
o Perkembangan anak.
Gejala klinis :
Dicurigai adanya hipotiroid bila skor Apgar hipotiroid kongenital > 5; tetapi tidak
adanya gejala atau tanda yang tampak, tidak menyingkirkan kemungkinan
hipotiroid kongenital.
Hernia umbilicalis 2
Kromosom Y tidak ada (wanita) 1
Pucat, dingin, hipotermi 1
Tipe wajah khas edematus 2
Makroglosi 1
Hipotoni 1
Ikterus lebih dari 3 hari 1
Kulit kasar, kering 1
Fontanella posterior terbuka (>3cm) 1
Konstipasi 1
Berat badan lahir > 3,5 kg 1
Kehamilan > 40 minggu 1
Total 15
Laboratorium :
o Pemeriksaan fungsi tiroid T4 dan TSH dilakukan untuk
memastikan diagnosis, apabila ditemukan kadar T4 rendah
disertai TSH meningkat maka diagnosis sudah dapat
ditegakkan.
o Pemeriksaan darah perifer lengkap, air kemih, tinja, kolesterol
serum (biasanya meningkat pada anak > 2 tahun).
o Apabila ibu dicurigai menderita hipotiroid maka bayi perlu
diperiksa antibodi antitiroid. Kadar TBG diperiksa bila ada
dugaan defisiensi TBG yaitu bila dengan pengobatan hormon
tiroid tidak ada respon.
Results inResults in
Name Normal Value
Hypothyroidism Hyperthyroidism
Thyroid Stimulating 0.3 – 5.0µU/mL or
High Low
Hormone (TSH) 0.3 – 5.0 mU/L
Total T4 5 – 11µg/dL or Low High
Immunoassay 64 – 142 nmol/L
Radiologis :
USG atau CT scan tiroid.
G. Penatalaksanaan
Hormon tiroid
Obat pilihan adalah Sodium L-Thyroxine, diberikan sedini mungkin.
1. Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid ada, diberikan dosis seperti tabel
berikut :
H. Komplikasi
- Gondok
Stimulasi terus menerus agar tiroid mengeluarkan hormon, dapat
menyebabkan kelenjar membesar. Gondok dapat mengganggu pernapasan
dan saat menelan makanan.
- Gangguan jantung
Hipertiroid dapat meningkatkan kadar kolestrol, mengganggu fungsi
jantung, pembesaran jantung dan gagal jantung.
- Gangguan mental
Misalnya depresi.
- Peripheral neuropathy
Merusak saraf perifer, yaitu saraf yang membawa informasi dari otak dan
saraf tulang belakang ke seluruh tubuh.
- Myxedema
Gejalanya adalah sensitiv terhadap suhu dingin, mengantuk, sangat lesu dan
pingsan. Pemicu myxedema coma adalah sedativ, infeksi dan stress.
- Infertilitas
Kadar hormon tiroid yang terlalu rendah dapat menyebabkan gangguan pada
ovulasi.
- Cacat lahir
Mengalami gangguan mental maupun fisik.
I. Prognosis
Diagnosis seawal mungkin dan terapi yang adekuat akan memberikan hasil
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amory, JK., Irl BH. 2011. Hyperthyroidism from Autoimmune Thyroiditis in a Man with
Type 1 Diabetes Mellitus: a Case Report. Journal of Medical Case Reports 2011, 5:277
Bettendorf M. Thyroid disorders in children from birth to adolescence. Eur J Nucl Med.
2002
Gardner, David G, Dolores Shoback. 2007. Basic and Clinical Endocrinology. Jakarta:
Sagung Seto.
Digeorge, A. Hipotiroidisme. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol 3. Jakarta :
EGC. 2000
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC
Harrison, Tinsley R. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition.
United States of America: McGraw-Hill Companies.
Lee, S.L., Ananthankrisnan, S., Ziel, S.H., Talavera, S., Griffing, G.T., 2011.
Hyperthyroidism. http://emedicine.medscape.com (Diakses tanggal 3 November 2014)
Palacios, SS. Eider, PC. Juan, CG. 2012. Management of Subclinical Hyperthyroidism.
International Journal of Endocrinology and Metabolism April 2012; 10(2): 490-496
Pauline, M. Chamacho., Hossein, Gharib., Glen, W. Sizemore. 2007. Evidence-Based
Endocrinology.
Rose, S. R. Update Newborn Screening and Therapy for Congenital Hypothyroidism.
Off. J of AAP. Pediatrics. 2006
Schteingart, D.E. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Huriawati H., Natalia S., Pita
W., Dewi A.M (Editors). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Dalam.
Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Hal: 1225-36
Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku
kedokteran: EGC
Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta:EGC
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
PRURITUS, EKSEMA & PSORIASIS
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psoriasis merupakan sejenis penyakit kulit yang penderitanya mengalami proses
pergantian kulit yang terlalu cepat. Kemunculan penyakit ini terkadang untuk jangka
waktu lama atau timbul/hilang. Berbeda dengan pergantian kulit pada manusia normal
yang biasanya berlangsung selama tiga sampai empat minggu, proses pergantian kulit
pada penderita psoriasis berlangsung secara cepat yaitu sekitar 2–4 hari, (bahkan bisa
terjadi lebih cepat) pergantian sel kulit yang banyak dan menebal.
Psoriasis dapat dijumpai di seluruh belahan dunia dengan angka kesakitan
(insidens rate)yang berbeda. Segi umur, Psoriasis dapat mengenai semua usia, namun
biasanya lebih kerap dijumpai pada dewasa.
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran yang
nyata tentang penyakit psoriasis dan tentang pelaksanaan Askep pada klien dengan
psoriasis dengan menggunakan metode keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Psoriasis adalah suatu penyakit peradangan kronis pada kulit dimana penderitanya
mengalami proses pergantian kulit yang terlalu cepat. Penyakit ini secara klinis sifatnya
tidak mengancam jiwa dan tidak menular tetapi karena timbulnya dapat terjadi pada
bagian tubuh mana saja sehingga dapat menurunkan kualitas hidup seseorang bila tidak
dirawat dengan baik. (Effendy, 2005)
Psoriasis penyakit kulit kronik residif dengan lesi yang khas berupa bercak-bercak
eritema berbatas tegas di tutupi oleh skuama tebal berlapis-lapis berwarna putih
mengkilat.(Siregar, 2005).
2. kulit
Kulit dalah bagian tubuh paling luar. Segala kotoran, sinar matahari, asap
kendaraan yang menempel, akan berpengaruh. Kulit terdiri atas tiga bagian utama, yaitu
epidermis, dermis, dan hipodermis. Epidermis terdiri dari stratum korneum yang kaya
akan keratin, stratum lucidum, stratum granulosum yang kaya akan keratohialin, stratum
spinosum dan stratum basal yang mitotik. Dermis terdiri dari serabut-serabut penunjang
antara lain kolagen dan elastin. Sedangkan hipodermis terdiri dari sel-sel lemak, ujung
saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh getah bening. pada kesehatan kulit.
Gambar 2.1 Struktur kulit
Epidermis tersusun atas lapisan tanduk (lapisan korneum) dan lapisan Malpighi.
Lapisan korneum merupakan lapisan kulit mati, yang dapat mengelupas dan digantikan
oleh sel-sel baru. Lapisan Malpighi terdiri atas lapisan spinosum dan lapisan
germinativum. Lapisan spinosum berfungsi menahan gesekan dari luar. Lapisan
germinativum mengandung sel-sel yang aktif membelah diri, mengantikan lapisan sel-sel
pada lapisan korneum. Lapisan Malpighi mengandung pigmen melanin yang memberi
warna pada kulit.
Lapisan dermis ini mengandung pembuluh darah, akar rambut, ujung saraf,
kelenjar keringat, dan kelenjar minyak. Kelenjar keringat menghasilkan keringat.
Banyaknya keringat yang dikeluarkan dapat mencapai 2.000 ml setiap hai, tergantung
pada kebutuhan tubuh dan pengaturan suhu. Keringat mengandung air, garam, dan urea.
Fungsi lain sebagai alat ekskresi adalah sebgai organ penerima rangsangan, pelindung
terhadap kerusakan fisik, penyinaran, dan bibit penyakit, serta untuk pengaturan suhu
tubuh.
Pada suhu lingkungan tinggi (panas), kelenjar keringat menjadi aktif dan
pembuluh kapiler di kulit melebar. Melebarnya pembuluh kapiler akan memudahkan
proses pembuangan air dan sisa metabolisme. Aktifnya kelenjar keringat mengakibatkan
keluarnya keringat ke permukaan kulit dengan cara penguapan. Penguapan
mengakibatkan suhu di permukaan kulit turun sehingga kita tidak merasakan panas lagi.
Sebaliknya, saat suhu lingkungan rendah, kelenjar keringat tidak aktid dan pembuluh
kapiler di kulit menyempit. Pada keadaan ini darah tidak membuang sisa metabolisme
dan air, akibatnya penguapan sangat berkurang, sehingga suhu tubuh tetap dan tubuh
tidak mengalami kendinginan. Keluarnya keringat dikontrol oleh hipotalamus.
2.4 Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan penemuan lesi psoriasis pada pemeriksaan fisik.
Riwayat medis pasien psoriasis seharusnya meliputi informasi mengenai onset dan
durasi lesi, adanya riwayat keluarga psoriasis, adanya faktor pemicu, adanya faktor
terapi antipsoriasis terdahulu (jika ada) yang dilengkapi dengan data efikasi serta
efek samping paparan terhadap senyawa kimia dan toksin, serta riwayat alergi
(makanan, obat, dan lingkungan).
Biopsi kulit terhadap lesi juga berguna dalam mengkonfirmasi diagnosis.
2.6 Etiologi
Penyebab psoriasis adalah auto imun, terdapat predisposisi genetik tetapi secara
pasti diturunkannya tidak diketahui. Psoriasis tampaknya merupakan suatu penyakit
keturunan dan juga berhubungan dengan kekebalan dan respon peradangan. Diketahui
faktor utama yang menunjang penyebab psoriasis adalah hiperplasia sel epidermis.
Penyelidikan sel kinetik menunjukkan bahwa pada psoriasis terjadi percepatan proliferasi
sel-sel epidermis serta siklus sel germinatum lebih cepat dibandingkan sel-sel pada kulit
normal. Pergantian epidermis hanya terjadi dalam 3-4 hari sedangkan turn over time
epidermis normalnya adalah 28-56 hari.. Faktor genetik sangat berperan, dimana bila
orang tuanya tidak menderita psoriasis, resiko untuk mendapat psoriasis 12 %, sedangkan
jika salah seorang orang tuanya menderita psoriasis resikonya mencapai 34-39 %. Hal
lain yang menyokong adanya faktor genetik ialah bahwa psoriasis berkaitan dengan
HLA. Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua tipe : Psoriasis tipe I dengan awitan dini
bersifat familial dan berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57, dan Cw6 sedangkan
psoriasis tipe II dengan awitan lambat bersifat nonfamilial dan berhubungan dengan
HLA-B27 dan Cw2 dan Psoriasis Pustulosa berkorelasi dengan HLA-B27. Psoriasis
merupakan kelainan multifaktorial dimana faktor genetik dan lingkungan memegang
peranan penting.
2.8 Patofisiologi
Mekanisme imun yang diperantai oleh sel memainkan peranan penting dalam
perkembangan psoriasis. Aktivasi imun yang diperantai oleh sel T inflamator pada kulit
membutuhkan dua sinyal sel T yang dimediasi oleh interaksi sel-sel antara permukaan
protein dengan APC (antigen-presenting cells), seperti sel dendritik dan makrofag. Sinyal
pertama merupakan interaksi antara reseptor sel T dengan antigen yang diperkenalkan
oleh APC, sedangkan sinyal kedua (disebut sebagai konstimulasi) diperantai oleh
berbagai interaksi permukaan.
Ketika sel T diaktivasi, sel tersebut bermigrasi dari nodus limfa dan aliran darah
ke kulit dan mensekresikan berbagai sitokin, terutama interferon-γ dan interleukin-2,
yang menginduksi perubahan patologis yang dikenal sebagai psoriasis. Keratinosit lokal
dan neutrofil menginduksi dihasilkannya sitokin lain, seperti TNF-α (tumor necrosis
factor-α) dan IL-8 (interleukin-8).
Sebagai akibat dari produksi dan aktivasi sel T patogenik, sel epidermal psoriasis
berproliferasi pada laju 7x lebih cepat daripada sel epidermal normal. Proliferasi sel
epidermal rupanya meningkat juga pada kulit normal pasien yang beresiko psoriasis.
Genetik merupakan komponen yang berpengaruh secara signifikan pada psoriasis.
Studi terhadap antigen histokompatibilitas pada pasien psoriasis mengindikasikan
hubungan yang signifikan, terutama HLA-Cw6, yakni psoriasis kemungkinan
berkembang 9-15 kali lebih tinggi apabila terdapat hubungan keluarga.
Iklim, stres, alkohol, merokok, infeksi, trauma, dan obat-obatan tertentu dapat
memperburuk psoriasis pada 80% pasien, sedangkan 90% pasien memburuk pada cuaca
dingin. Lesi psoriasis dapat berkembang pada daerah luka (seperti bekas menggosok,
pengambilan darah, gigitan serangga, operasi) pada kulit yang nampak normal (respon
Koebner). Litium karbonat, inhibitor ACE, tetrasiklin, serta interferon dilaporkan dapat
memperparah psoriasis.
3. Psoriasis Inversa
Inversa psoriasis ditemukan pada ketiak, pangkal paha, dibawah payudara, dan di
lipatan-lipatan kulit di sekitar kemaluan dan panggul. Tipe psoriasis ini pertama kali
tampak sebagai bercak (lesions) yang sangat merah. Bercak itu bisa tampak licin dan
bersinar. Psoriasis Inverse sangat (particularly irritating) menganggu karena iritasi yang
disebabkan gosokan/garukan dan keringat karena lokasinya di lipatan-lipatan kulit dan
daerah sensitif tender).
Psoriasis inversa, atau psoriasis lentur adalah umum pada orang gemuk dan
diperparah oleh gesekan dan keringat. Kondisi ini berkembang di lipatan kulit yang
ditandai sebagai halus, bercak mengkilap kulit merah, meradang dan lembab dan bersisik
lesi terutama di ketiak, selangkangan, di bawah payudara dan di sekitar alat kelamin.
Hampir terjadi sampai 2 - 6% dari orang yang menderita psoriasis memiliki psoriasis
inversa.
5. Psoriasis Eritroderma
Tipe psoriasis ini sangat berbahaya, seluruh kulit penderita menjadi merah matang
dan bersisik, fungsi perlindungan kulit hilang, sehingga penderita mudah terkena infeksi.
Hanya 1-2% dari orang yang menderita psoriasis memiliki psoriasis eritroderma. Jenis
psoriasis dapat dihitung sebagai yang terburuk dari semua. Hasilnya kemerahan luas,
gatal parah, nyeri dan ketidaknyamanan, dehidrasi dan demam. Ini biasanya dipicu oleh
kortikosteroid, kulit terbakar parah atau sensitivitas terhadap cahaya selama pengobatan
fototerapi, atau jenis lain dari psoriasis yang tidak terkontrol.
Jangan meremehkan psoriasis eritroderma karena infeksi yang fatal dan
mengancam nyawa juga. Hal ini dapat menutupi seluruh tubuh Anda dengan ruam merah
yang dapat mengupas gatal atau terbakar intens. Peradangan kulit yang ekstrim dan
pengelupasan kulit mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengatur suhu dan
melakukan fungsi lainnya penghalang normal.
6. Psoriasis Eksudativa
Bentuk ini sangat jarang. Biasanya kelainan psoriasis kering, tetapi pada bentuk
ini kelainannya eksudatif seperti dermatitis akut.
7. Psoriasis Seboroik
B. Psoriasis Artritis
2. Kortikosteroid topikal
Indikasi :
Kortikosteroid topikal dipakai untuk mengobati radang kulit yang bukan
disebabkan oleh infeksi, khususnya penyakit eksim, dermatitis kontak, gigitan serangga,
dan eksim skabies bersama-sama dengan obat skabies. Kortikosteroid menekan berbagai
komponen reaksi pada saat digunakan saja; kortikosteroid sama sekali tidak
menyembuhkan dan bila pengobatan dihentikan, kondisi semula mungkin muncul
kembali. Obat-obat ini diindikasikan untuk menghilangkan gejala dan penekanan tanda-
tanda penyakit bila cara lain seperti pemberian emolien tidak efektif.
Kortikosteroid topikal tidak berguna dalam pengobatan urtikaria dan
dikontraindikasikan untuk rosasea dan kondisi ulseratif karena kortikosteroid
memperburuk keadaan. Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk sembarang gatal dan
tidak direkomendasikan untuk akne vulgaris.
Cara pakai:
Kortikosteroid sistemik atau topikal yang kuat sebaiknya dihindari atau diberikan
pada psoriasis hanya di bawah pengawasan dokter spesialis karena walaupun obat ini
dapat menekan psoriasis dalam jangka pendek, bisa timbul kekambuhan karena
penghentian obat, bahkan kadang memicu psoriasis postula yang hebat. Pemakaian
kortikosteroid topikal yang kuat pada psoriasis yang luas dapat menimbulkan efek
samping sistemik dan lokal. Cukup meresepkan kortikosteroid yang lebih lemah untuk
jangka singkat (2-4 minggu) untuk psoriasis fleksural dan wajah (catatan: pada wajah
jangan digunakan yang lebih kuat dari hidrokortison 1%). Pada kasus psoriasis kulit
kepala boleh menggunakan kortikosteroid yang lebih kuat, seperti betametason atau
fluosinonid.
Secara umum kortikosteroid topikal yang paling kuat hanya dicadangkan untuk
dermatosis yang sukar diatasi, seperti diskoid kronik lupus eritematosus, lichen simplex
chronicus, hypertrophic lichen planus, dan palmoplantar pustulosis. Kortikostreoid yang
kuat tidak boleh digunakan pada wajah dan fleksur kulit, tetapi kadang-kadang pada
keadaan tertentu, dokter spesialis meresepkannya untuk daerah tersebut dengan
pengawasan khusus. Bila pengobatan topikal gagal, injeksi kortikosteroid intralesi khusus
digunakan hanya pada kasus-kasus tertentu saja dengan lesi setempat, seperti parut
keloid, lichen planus hypertrofik atau alopecia localized areata.
Pada lesi perioral, krim hidrokortison 1% dapat digunakan dalam waktu tidak
lebih dari 7 hari untuk megatasi lesi radang yang tidak terinfeksi pada bibir dan kulit di
sekitar mulut. Salep atau krim hidrokortison dan mikonazol bermanfaat pada inflamasi
yang disertai infeksi oleh organisme yang peka, terutama pada awal pengobatan (sampai
sekitar 7 hari), misalnya keilitis angular. Organisme yang rentan terhadap mikonazol
adalah Candida sp dan beberapa bakteri gram positif, termasuk streptokukokus dan
stafilokokus.
Untuk pemakaian pada anak-anak, khususnya bayi, mereka sangat rentan terhadap
efek samping. Namun, jangan karena profil keamanan kortikosteroid topikal, anak-anak
menjadi tidak diobati. Tujuannya adalah untuk mengatasi kondisi sebaik mugkin;
pengobatan yang tidak memadai akan memperparah kondisi. Kortikosteroid lemah,
seperti salep hidrokortison 1% bermanfaat untuk mengobati ruam popok dan untuk eksim
atopik pada masa kanak-kanak. Kortikosteroid sedang sampai kuat cocok untuk eksim
atopik parah pada anggota badan, digunakan hanya 1-2 minggu. Bila kondisi membaik,
ganti ke sediaan yang kurang kuat. Pada keadaan kambuhan akut eksim atopik, cocok
digunakan sediaan kortikosteroid kuat dalam jangka pendek untuk mengendalikan
kondisi penyakit. Penggunaan harian terus-menerus tidak dianjurkan meskipun
kortikosteroid ringan, seperti hidrokortison 1% sebanding betametason 0,1% yang
digunakan sesekali. Untuk bayi di bawah 1 tahun, hidrokortison merupakan satu-satunya
kortikosteroid yang direkomendasikan penggunaannya. Kortikosteroid lain dengan
potensi lebih kuat dikontraindikasikan. Untuk anak usia di atas 1 tahun, kortikosteroid
topikal dengan potensi kuat-sedang sebaiknya digunakan dengan sangat hati-hati dan
hanya digunakan dalam jangka pendek (1-2 minggu). Kortikosteroid yang sangat poten
hanya dapat digunakan berdasarkan konsultasi dengan dokter spesialis kulit.
Kortikosteroid topikal untuk anak digunakan pada kondisi sebagai berikut:
a. Gigitan dan sengata serangga – kortikosteroid dengan potensi ringan, seperti krim
hidrokortison 1%.
b. Ruam kulit yang disertai inflamasi berat akibat penggunaan popok pada bayi di
atas 1 bulan – kortikosteroid dengan potensi ringan, seperti hidrokortison 0,5 atau
1% selama 5-7 hari (dikombinasikan dengan antimikroba jika terjadi infeksi).
c. Eksim ringan hingga sedang, fleksural, dan eksim wajah atau psoriasis –
kortikosteroid ringan, seperti hidrokortison 1%.
d. Eksim berat di sekitar badan dan lengan pada anak usia di atas 1 tahun –
kortikosteroid dengan potensi kuat atau kuat-sedang selama hanya 1-2 minggu,
segera ganti ke sediaan dengan potensi lebih ringan pada saat kondisi membaik.
e. Eksim di sekitar area kulit yang mengeras, misal telapak kaki, - kortikosteroid
topikal dengan potensi kuat dalam kombinasi dengan urea atau asam salisilat
untuk meningkatkan penetrasi kortikosteroid.
Pilihan formulasi :
Yang biasa digunakan adalah krim larut air untuk lesi yang lembab atau eksudatif
dan salep umumnya dipilih untuk lesi yang kering, bersisik, atau bila efek oklusif
diperlukan. Losio mungkin berguna bila aplikasi minimal dibutuhkan untuk daerah yang
luas atau untuk pengobatan luka eksudatif. Perban oklusif polythene meningkatkan
absorpsi, tetapi juga meningkatkan efek samping; karena itu, dipakai hanya di bawah
pengawasan dalam jangka waktu pendek untuk daerah kulit yang sangat tebal, seperti
telapak tangan dan kaki.
Penambahan urea atau asam salisilat meningkatkan penetrasi dari kortikosteroid.
Sediaan yang mengandung kortikosteroid paling ringan dengan dosis efektif terendah
merupakan salah satu pilihan; sedapat mungkin pengenceran harus dihindari.
Peringatan :
Hindari penggunaan jangka panjang kortikosteroid topikal pada wajah karena
dapat meninggalkan bekas luka dan hindarkan dari mata. Pada anak-anak hindari
penggunaan jangka panjang dan penggunaan kortikosteroid kuat atau sangat kuat; apabila
digunakan, harus di bawah pengawasan dokter spesialis. Peringatan keras juga ditujukan
pada dermatosis pada bayi, termasuk ruam popok, pengobatan sebaiknya dibatasi 5-7
hari. Pada psoriasis penggunaan kortikosteroid kuat dan sangat kuat pada psoriasis dapat
menyebabkan penyakit muncul lagi, timbulnya psoriasis pustular yang merata dan
toksisitas lokal dan sistemik.
Kontraindikasi :
Lesi kulit akibat bakteri, jamur atau virus yang tidak diobati; jerawat rosasea dan
perioral dermatitis; kortikosteroid kuat dikontraindikasikan untuk plak psoriasis dengan
sebaran yang luas.
Efek Samping :
Kelompok kortikosteroid sedang dan lemah jarang menyebabkan efek samping.
Semakin kuat sediaannya, semakin perlu untuk berhati-hati karena absorbsi dari kulit
dapat menyebabkan penekanan adrenal dan Cushing syndrome tergantung dari daerah
tubuh yang diobati dan lamanya pengobatan. Perlu diingat bahwa absorbsi terbanyak
terjadi dari kulit yang tipis, permukaan kasar, serta daerah lipatan kulit dan absorpsi
ditingkatkan oleh adanya oklusi.
Catatan :
Untuk meminimalkan efek samping kortikosteroid topikal, pemakaian sediaan ini
hendaknya dioleskan tipis saja pada daerah yang akan diobati dan gunakan kortikosteroid
yang paling kecil kekuatannya, tapi efektif.
Frekuensi aplikasi :
Sediaan kortikosteroid sebaiknya diberikan sekali atau dua kali sehari saja. Tidak
perlu mengoleskan obat ini lebih sering. Kortikosteroid topikal diratakan secara tipis pada
kulit. Panjang/ banyaknya salep/ krim yang dikeluarkan dari tube dapat digunakan untuk
menentukan banyaknya obat yang dioleskan pada kulit.
Mencampur sediaan topikal pada kulit sedapat mungkin dihindari; sekurang-
kurangnya sebaiknya berselang 30 menit antara pemakaian sediaan yang berbeda.
Penggunaan emolien sesaat sebelum pemakaian kortikosteroid adalah tidak tepat.
3. Analog vitamin D
Vitamin D dan analognya menginhibisi diferensiasi dan proliferasi keratinosit serta
memiliki efek antiinflamasi dengan mengurangi IL-8 dan IL-2. Penggunaan vitamin
D itu sendiri dibatasi sebab adanya kecenderungan untuk menyebabkan
hiperkalsemia.
Kalsipotrien (Dovonex) merupakan analog vitamin D sintetik yang digunakan untuk
plak psoriasis yang ringan hingga sedang. Perbaikan biasanya nampak dalam 2
minggu setelah terapi dan kurang lebih 70% pasien menunjukkan perbaikan yang
signifikan setelah 8 minggu. Efek samping terjadi pada kurang lebih 10% pasien dan
meliputi lesi dan sensasi terbakar serta pedih di sekeliling lesi. Kalsipotrien 0,005%
baik dalam krim, salep atau larutan digunakan 1-2 kali sehari, tetapi tidak lebih dari
100 gram/minggu.
Calcitriol dan Tacalcitol merupakan derivat vitamin D yang lain.
Kalsipotriol, Kalsitriol dan Takalsitol biasa digunakan untuk pengobatan plak
psoriasis. Penggunaannya sebaiknya dihindari pada pasien dengan kelainan
metabolisme kalsium dan digunakan dengan hati-hati pada psoriasis eksfoliatik
eritrodermik atau pustular yang tergeneralisasi (peningkatan resiko hiperkalsemia).
Reaksi kulit lokal (gatal, eritema, rasa terbakar, parestesia dan dermatitis) biasa
terjadi. Tangan sebaiknya dicuci dengan bersih setelah penggunaan untuk
menghindari perpindahan ke lokasi tubuh yang lain. Perburukan psoriasis juga
dilaporkan.
Contoh sediaan Kalsipotriol : Daivonex®, Daivobet®.
4. Tazaroten
Tazaroten (Tazorac) ialah retinoid sintetik yang dihidrolisis menjadi metabolit aktif,
yakni asam tazarotenat, yang kemudian memodulasi proliferasi dan diferensiasi
keratinosit.
Tersedia sebagai gel dan krim 0,05% atau 0,1% dan digunakan sekali sehari
(biasanya di sore hari) untuk plak psoriasis yang ringan hingga sedang. Gel 0,1%
sedikit lebih efektif, tetapi gel 0,05% lebih sedikit menyebabkan iritasi.
Efek samping yang terjadi bergantung pada dosis dan frekuensi; meliputi pruritis,
rasa terbakar, pedihm dan eritema dengan tingkat keparahan yang ringan hingga
sedang.
Penggunaan gel pada kulit yang eksim atau lebih dari 20% area permukaan tubuh
tidak direkomendasikan sebab dapat memicu absorpsi sistemik secara ekstensif.
Tazaroten sering digunakan bersamaan dengan kortikosteroid topikal untuk
menurunkan efek samping lokal serta meningkatkan efikasi.
2. Antralin
Antralin memiliki aktivitas antiproliferasi terhadap keratinosit, menginhibisi sintesis
DNA dengan menyisipkan dirinya diantara helai DNA.
Karena Antralin memberikan efek klinik pada konsentrasi selular yang rendah,
terapi biasanya bermula dari konsentrasi rendah (0,1-0,25%) dengan peningkatan
secara bertahap ke konsentrasi yang lebih tinggi, yakni 0,5-1%. Formulasi krim dan
salep biasanya digunakan pada sore hari dan dibiarkan semalaman.
Sebagai alternatif, terapi antralin kontak singkat (SCAT = short-contact antralin
therapy) dengan durasi penggunaan selama 10-20 menit pada konsentrasi yang lebih
tinggi (1-5%) dalam pembawa yang larut air merupakan pilihan yang efektif dengan
efek samping lokal yang lebih kecil.
Produk antralin harus diaplikasikan hanya pada area yang terinfeksi sebab kontak
dengan bagian kulit yang tidak sakit dapat berdampak pada iritasi dan pewarnaan
yang berlebihan yang biasanya dapat hilang dalam 1 hingga 2 minggu setelah
penghentian terapi. Pewarnaan plak, pada dasarnya, mengindikasikan respon postif
sebab perombakan sel telah cukup diperlambat untuk mengurangi noda/pewarnaan
tersebut.
Inflamasi, iritasi dan pewarnaan kulit serta pakaian sering menjadi efek samping
yang membatasi penggunaan terapi.
1. Siklosporin.
Siklosporin menunjukkan aktivitas imunosupresif dengan mengihibisi fase pertama
aktivasi sel T. Siklosporin juga menginhibisi pelepasan mediator inflamasi dari sel
mast, basofil, dan sel polimorfonuklear
Biasanya digunakan dalam penanganan manifestasi kutan dan artritis akibat
psoriasis yang parah. Terapi secara terus-menerus selama lebih dari 2 tahun dapat
meningkatkan resiko kecacatan yang meliputi kanker kulit dan penyakit
limfoproliferatif.
Table 3.6
Senyawa aktif Regimen Dosis Efek Samping
Siklosporin 2,5-4 mg/kg/hari dalam Nefrotoksisitas,
2 keganasan, hipertensi,
dosis terbagi; dapat hipomagnesemia, hiperkalemia,
ditingkatkan hingga 5 perubahan pada fungsi liver,
mg/kg/hari dalam 1 bulan peningkatan kadar serum lipid,
jika tidak ada perubahan intoleransi GIT
2. Metotreksat
Diindikasikan untuk psoriasis yang sedang hingga parah begitu juga dengan
psoriasis arthritis.
Merupakan analog sintetik asam folat yang bertindak sebagai inhibitor kompetitif
dari enzim dihidrofolat reduktase yang bertanggungjawab dalam konversi
dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat merupakan kofaktor penting
dalam sintetis nukleotida timidilat dan purin yang dibutuhkan dalam sintetis DNA
dan RNA.
Metotreksat menghambat replikasi dan fungsi sel T dan B serta menekan sekresi
berbagai jenis sitokin. Metotreksat juga menekan pembelahan sel epidermal.
Sebaiknya dihindari bagi pasien infeksi aktif sebab adanya aktivitas imunosupresif
dari metroteksat.
3. Takrolimus
Table 3.9
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Takrolimus 0,05 mg/kg setiap hari,
Nefrotoksisitas, imunosupresi,
ditingkatkan menjadi 0,1 gangguan GIT, diare, nausea,
mg/kg setiap hari selama 3 parestesia, hipertensi, tremor,
minggu dan menjadi 0,15 insomnia.
mg/kg setiap hari selama 6
minggu tergantung pada
hasil yang diperoleh.
Agen imunosupresan yang menginhibisi aktivasi sel T, merupakan obat yang
berguna sebagai alternatif pada psoriasis parah yang membandel.
4. Mikofenolat Mofetil
Tabel 3.11
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Mikofenolat mofetil500 mg 4 kali sehari hinggaToksisitas GIT (diare, nausea,
dosis maksimum 4 g/hari muntah), efek hematologi (anemia,
neutropenia, trombositopenia),
infeksi virus dan bakteri; penyakit
limfoproliferatif atau limfoma
dapat terjadi
Mikofenolat mofetil (CellCept) menginhibisi sintesis DNA dan RNA serta telah
menunjukkan memiliki efek anti proliferasi yang spesifik terhadap limfosit.
Digunakan sebagai bagian dalam terapi kombinasi dalam psoriasis sedang hingga
parah dan dermatosis otoimun lainnya.
5. Sulfasalazin
Agen antiinflamasi yang menginhibisi 5-lipoksigenase.
Digunakan secara selektif sebagai terapi alternatif, terutama pada pasien yang
mengalami psoriasis artritis.
Ketika digunakan efektivitasnya tidak sebaik metotreksat, PUVA atau acitretin,
tetapi memiliki tingkat keamanan yang cukup tinggi.
Table 3.14
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Sulfasalazin 3-4 gram/hari selama Gangguan
8 GIT
minggu
6. 6-Tioguanin
Tabel 3.17
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
6-Tioguanin 80 mg 2 kali seminggu, dapatSupresi sumsum tulang, komplikasi
ditingkatkan sebanyak 20 GIT, peningkatan tes fungsi liver.
mg setiap 2-4 minggu; dosis
maksimum 160 mg 3 kali
seminggu
Merupakan analog purin yang digunakan sebagai terapi alternatif untuk
psoriasis ketika terapi konvensional telah gagal. Sifat hepatotoksik obat ini lebih
kecil dibandingkan metotreksat sehingga lebih berguna pada pasien psoriasis parah
dengan gangguan liver.
7. Hidroksiurea
Table 3.18
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Hidroksiurea 1 gram/hari dapat ditingkatkan
Toksisitas sumsum tulang, yang
menjadi 2 gram/hari ditandai dengan leukopenia atau
trombositopenia, reaksi kutan,
ulser pada kaki, anemia
megaloblastik
Menginhibisi sintesis sel pada fase S dalam siklus DNA. Digunakan secara
selektif pada penanganan psoriasis terutama pada pasien dengan penyakit liver, yang
beresiko efek samping pada penggunaan agen lain. Walaupun demikian, hidroksiurea
kurang efektif apabila dibandingkan dengan metotreksat.
1. Infliksimab (remicade)
Merupakan antibodi monoklonal chimeric yang ditujukan untuk melawan TNF-α.
Memiliki afinitas yang tinggi dalam bentuk yang larut dan transmembran TNF-α,
dengan demikian dapat menginhibisi ikatan antara TNF-α dengan reseptornya.
Keuntungan dibanding terapi lain adalah infliksimab tidak secara negatif
berpengaruh terhadap jumlah darah, tingkat enzim liver atau fungsi ginjal.
2. Etenercept
Etanercept (Enbrel) adalah bloker TNF-α yang lain berupa protein fusi yang
mengikat TNF-α secara kompetitif sehingga mengganggu interaksinya dengan
reseptor sel.
Diproduksi dengan menggunakan rekayasa genetik yang menggabungkan domain
ekstraseluler dari reseptor TNF-α dengan fragmen kristal Fc IgG1 manusia.
Etanercept diperoleh dari manusia sehingga meminimalkan imunogenisitas.
Baik dikombinasikan dengan metotreksat pada pasien yang tidak merespon baik
terapi metotreksat tunggal.
Diindikasikan untuk pasien dewasa dengan plak psoriasis kronik yang sedang
hingga parah yang menjadi kandidat untuk terapi sistemik atau fototerapi.
3. Alfacept
Merupakan protein fusi dimerik yang mengkombinasikan domain LFA-3 manusia
dengan bagian Fc dan IgG1 manusia.
Segmen LFA-3 alfacept mengikat CD2 pada sel T secara spesifik sehingga
menginhibisi aktivasi dan proliferasi sel T pada jaringan kutan, juga menginduksi
apoptosis selektif dari sel T memori-efektor sehingga menurunkan limfosit sirkulasi
total yang bergantung pada besarnya dosis.
Digunakan untuk terapi plak psoriasis sedang hingga parah juga untuk psoriasis
artritis.
Respon signifikan biasanya diperoleh setelah 3 bulan terapi.
4. Efalizumab
Merupakan antibodi monoklonal yang diperoleh dari manusia, bekerja menginhibisi
integrin CD11-α yang terlibat dalam aktivasi sel T, migrasi ke kulit, serta fungsi
sitotoksik.
Efalizumab disetujui untuk terapi pada pasien dewasa dengan plak psoriasis kronik
yang sedang hingga berat yang menjadi kandidat terapi sistemik atau fototerapi.
3.4 Fotokemoterapi
Fotokemoterapi umumnya terdiri dari terapi dengan sinar ultraviolet B dan PUVA.
Sinar UVB (290-320 nm) terus menjadi salah satu fotokemoterapi yang penting
dalam intervensi psoriasis. Panjang gelombang UVB yang paling efektif untuk
terapi psoriasis ialah 310-313 nm. Hal tersebut telah dibuktikan dari berbagai studi
klinik pada pasien dengan psoriasis tipe plak.
Fototerapi UVB juga memberikan hasil yang lebih efektif ketika ditambahkan
dengan terapi sistemik, seperti metotreksat dan retinoid.
UV-A yang dikombinasikan dengan metoksalen oral (PUVA) merupakan
pendekatan fotokemoterapi. Kandidat untuk terapi PUVA biasanya mengalami
psoriasis yang melumpuhkan dengan tingkat keparahan sedang hingga berat yang
tidak memberikan respon terhadap terapi konvensional baik topikal maupun
sistemik.
PUVA sistemik terdiri atas obat oral yang berperan sebagai foto sensitizer seperti 8-
metoksipsalen (8-methoxypsoralen).
Rotasi terapi melibatkan penggunaan regimen biologi untuk periode tertentu, lalu
berganti pada regimen nonbiologi, dan terus demikian. Salah satu tujuan pendekatan ini
adalah untuk meminimalkan toksisitas obat yang terakumulasi.
Urutan terapi meliputi menghilangkan lesi psoriasis secara cepat dengan terapi
agresif seperti siklosporin, kemudian diikuti oleh periode transisi dengan menggunakan
obat-obat yang lebih aman, seperti acitretin, yang dimulai dengan dosis maksimal.
Selanjutnya, terapi masuk dalam periode pemeliiharaan dengan menggunakan acitretin
pada dosis rendah atau kombinasi dengan UV-B dan UV-A.
BAB IV
STUDI KASUS
4.1 Studi Kasus
Pasien ini berusia perempuan 41 tahun,sudah menikah berasal dari kalimantan dan
sengaja datang ke Surabaya untuk mengobati sakit kulitnya yang tidak kunjung sembuh.
Keluhan utamanya adalah timbul bercak kemerahan yang awalnya hanya di daerah
lengan kedua tangan disertai nanah yang muncul beberapa hari kemudian sejak 3 bulan
yang lalu. Dalam perjalanannya bercak meluas hingga ke seluruh tubuh juga disertai
nanah. Selain itu pasien juga mengeluhkan panas badan, meriang, mual dan kondisi
badan yang lemah. Sebelumnya tidak pernah menderita penyakit yang serupa. dari
keluarga juga tidak pernah sakit seperti ini. Pada pemeriksaan fisik secara umum
kondisinya lemah namun kesadaran masih baik (GCS 456), didapatkan suhu yang afebris.
selain itu vital sign dalam batas normal.
Status dermatologis :
Regio seluruh tubuh, makula eritematus batas tidak tegas dengan ukuran dan bentuk yang
bervariasi tepi tidak meninggi, diatasnya terdapat pustule yang sebagian sudah pecah
menjadi krusta, pus (+), sebagian makula juga tertutup skuama.
Pemeriksaan Penunjang:
- Diusulkan pemeriksaan DL,UL,LFT,RFT, dan Albumin.
- Pemeriksaan Gram Staining, dan juga biopsi
Diagnosa :
-Psoriasis Pustulosa
Terapi :
- Paracetamol 3 x 500 mg karena pasien mengeluh panas.
- Mebhidrolin napadisilat 3x50 mg,p.o sebagai anti histamin karena pasien mengeluh
gatal.
- Methotrexate(MTX) 5 mg/12 jam selama 3 kali dalam seminggu karena lesinya udah
luas
- Terapi lain mungkin diberikan : infus albumin
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit psoriasis merupakan
salah satu penyakit/gangguan sistem integumen dimana kulit mengalami peradangan
kronis (sering kambuh) yang disebabkan oleh Genetik, Imunologik, Stres Psikik, Infeksi
fokal, Faktor Endokrin, Gangguan Metabolik, Obat-obatan, Alkohol dan merokok.
Penyakit ini terjadi pada setiap usia. Pada psoriasis ditunjukan adanya penebalan
epidermis dan stratum korneum dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah dermis bagian
atas. Selain itu jumlah sel-sel basal yang bermitosis juga meningkat.
Penderita biasanya mengeluh adanya gatal ringan pada tempat-tempat predileksi,
yakni pada kulit kepala, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian
ekstensor terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral.
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan
skuama diatasnya.Skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih serta transparan. Pada
psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner.
Ada dua tipe pengobatan pada penderita psoriasis yaitu pengobatan sistemik dan
pengobatan topikal dimana pengobatan sistemik lebih banyak memberikan efek samping.
B. Saran
Kepada mahasiswa atau pembaca disarankan agar dapat mengambil pelajaran dari
makalah ini sehingga apabila terdapat tanda dan gejala penyakit psoriasis dalam
masyarakat maka kita dapat melakukan tindakan yang tepat agar penyakit tersebut tidak
berlanjut ke arah yang lebih buruk.
LAMPIRAN
1. Psoriasis Vulgaris
2. Psoriasis Gutata
3. Psoriasis Inversa
4. Psoriasis Eritroderma
5. Psoriasis Pustulosa
6. Psoriasis Seboroik
7. Psoriasis Kuku
8. Psoriasis Artritis
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
CEDERA KEPALA
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
A. LATAR BELAKANG
Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada kepala di
Indonesia. Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cidera kepala dan cedera otak sebgai
suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun secara harafiah kedua istiah
tersebut sama karena memakai gradasi respons Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat
gangguan yang terjadi akibat suatu cedera di kepala.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma
yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal Neuroanatomi, Neurofisiologi serta
Neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari
pengkajian fisik yang didapat bisa sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan
asuhan pada klien dengan cedera kepala.
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis otak
dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium ( helm ) yang
membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan
banyak lainnya timbul sekunder dari cedera.
Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk menghindari
rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurologis, dan
merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 2/3 korban dari
kasus ini berusia dibawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengan dari semua klien cedera kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian
tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena cedera bagian
tubuh lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
pendarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial.
Pada beberapa literatur terakhir dapat disimpulkan bahwa cedera kepala atau cedera otak
merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tidak disertai perdarahan
interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Berdasarkan GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu:
1. Cedera kepala ringan / cedera otak ringan , bila GCS : 13-15.
2. Cedera kepala sedang / cedera otak sedang, bila GCS : 9-12.
3. Cedera kepala berat / cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.
Pada klien yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misalnya oleh karena afasia, maka
reksi verbal diberi tanda “X” , atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat
dinilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X” , sedangkan jika
klien dilakukan trakeostomi atau dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh
benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang
diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan ( akselerasi-deselerasi ) pada otak.
B. TUJUAN UMUM
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif pada klien dengan Cedera
Kepala Ringan.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan dari
aspek bio, psikososial dan spiritual.
b. Dapat merumuskan diagnosis keperawatan dan menentukan prioritas masalah pada klien
dengan Cedera Kepala Ringan.
c. Merencanakan tindakan keperawatan berdasarkan diagnosis keperawatan serta dapat
melaksanakan rencana tindakan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan
d. Dapat mengevaluasi hasil akhir terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan pada
klien dengan Cedera Kepala Ringan.
BAB II
KONSEP DASAR
A. DEFINISI
Cidera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai / tanpa perdarahan intestinal dalam
substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (P.Syamsuhidayat, dkk, 1996, 1110
).
Cidera kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan fisik dari luar yang
dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Akibatnya dapat menyebabkan gangguan
kognitif, gangguan tingkah laku, atau fungsi emosional. Gangguan ini dapat bersifat sementara
atau permanen, menimbulkan kecacatan baik partial atau total dan juga gangguan psikososial.
(Donna, 1999)
Cidera kepala adalahsuatu keadaan traumatic yang mengenai otak dan menyebabkan perubahan-
perubahan fisik, intelektual, emosional, social, dan vokasional. (Joyce, M Black, 1997)
Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau
gangguan traumatic yang menimbulkan perubahan fungsi otak (Black M. 1997).
Cedera kepala pada intinya menyatakan suatu cedera akut pada ssuunan saraf pusat, selaput otak,
saraf kranial termasuk fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah,
baik terjadi secara langsung (kerusakn primer) maupun tidak lansung (kerusakan sekunder), yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial
baik bersifat sementara atau menetap.
B. ANATOMI FISIOLOGI
a. Anatomi kepala
Tengkorak terbagi atas
1. Tengkorak Otak
Tengkorak otak menyelubingi otak dan alat pendengar. Tengkorak otak terdiri dari :
a
a) Kubah tengkorak
Kubah tengkorak yang berbentuk cembung menyelubungi rongga tengkorak dari atas dan dari
sisi. Kubah tengkorak terdiri atas beberapa tulang ceper yang dihubungkan oleh sutura
tengkorak. Dari depan ke belakang terdapat berturut-turut sebuah tulang dahi, sepasang
tulang ubun-ubun dan sebuah tulang belakang kepala. Pada dinding sisi kubah tengkorak
terdapat sepasang tulang pelipis. Tulang dahi, tulang belakang kepala turut pula
membentuk dasar tengkorak.
b) Dasar Tengkorak
Bagian dasar tengkorak dapat dibedakan 3 bagian, yaitu lekuk tengkorak depan, lekuk
tengkorak tengah dan lekuk tengkorak belakang. Bagian tengah dasar lekuk tengkorak
depan dibentuk oleh tulang lapisan yang mempunyai banyak lubang halus untuk memberi
jalan kepada serabut-serabut saraf penghidu, oleh karena itu bagian tulang lapisan tersebut
dinamakan lempeng ayakan yang merupakan atap bagi rongga hidung.
Lekuk tengkorak tengah terdiri dari atas bagian tengah dan dua bagian sisi, bagian tengah
adalah pelana turki. Dasar lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah daripada dasar
lekuk tengkorak depan. Lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah lagi daripada
lekuk tengkorak tengah.
2. Tengkorak Wajah
Tengkorak wajah letaknya di depan dan di bawah tengkorak otak. Lubang-lubang
lekuk mata dibatasi oleh lubang dahi, tulang pipi dan tulang rahang atas.
Dinding belakang lekuk mata juga dibentuk oleh tulang baji (sayap besar dan
kecil). Dinding dalamnya dibentuk oleh tulang langitan, tulang lapisan dan
tulang air mata. Selain oleh toreh lekuk mata atas dan oleh lubang untuk saraf
penglihat maka dinding lekuk mata itu tembus oleh toreh lekuk mata bawah
yang terletak antara tulang baji, tulang pipi dan tulang rawan atas. Toreh itu
mangarah ke lekuk wajah pelipis. Tulang air mata mempunyai sebuah lekuk
yang jeluk, yaitu lekuk kelenjar air mata yang disambung ke arah bawah oleh
tetesan air mata yang bermuara di dalam rongga hidung.
b.Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan sebagai scalp, yaitu :
a) kulit
b) jaringan penyambung (connective tissue)
c) galae aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak.
d) Perikranium.
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan akibat laserasi kulit
kepala akan mengakibatkan banyak kehilangan darah, (American College of Surgeons
1997)
c. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kalvakrium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar adalah tempat
lobus frontalis, fosa medis adalah tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi
batang otak bawah dan serebelum, (American College of Surgeons 1997)
d.Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak yang terdiri dari 3 lapisan, yaitu dura meter,
arakhnoid dan pia meter. Dura meter adalah selaput keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat dan tabula interna atau bagian dalam kranium. Di bawah dura meter terdapat
lapisan kedua yang tipis dan tembus pandang di sebut selaput arakhnoid. Lapisan ketiga adalah
pia mater yang melekat pada permukaan kortek serebri, (American College of Surgeons 1997)
a) Serebrum
Setiap hemisfer dibagi atas empat lobus yaitu : lobus frontalis, parietal, oksipital,
temporalis. Fungsi dari setiap lobus berbeda-beda. Berikut penjelasan dari
masing-masing fungsi lobus :
1) Lobus Frontalis, bagian depan bekerja untuk proses belajar, merancang, psikologi,
lobus frontalis bagian belakang untuk proses motorik termasuk bahasa.
2) Lobus parietal, bekerja khusus untuk sensorik somatik (misal sensibilitas kulit) dan
peran asosiasinya, beberapa areanya penting bagi proses kognitif dan intelektual.
3) Lobus Oksipital, merupakan area pengoperasian penglihatan.
4) Lobus temporalis, merupakan pusat pendengaran dan asosiasinya, beberapa pusat
bicara, pusat memori. Bagian anterior dan basal lobus temporalis penting untuk indra
penghidu.
b) Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Masing-masing
struktur mempunyai tanggung jawab yang unik dan fungsi ketiganya sebagai
unit untuk menjalankan saluran impuls yang disampaikan ke serebri dan lajur
spinal.
1) Otak Tengah, merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di atas pons.
Bagian ini terdiri dari bagian posterior yaitu tektum yang terdiri dari bagian bagian
kolikuli superior dan kolikuli inferior dan bagian anterior yaitu pedunkulus serebri.
kolikuli superior berperan dalam refleks penglihatan dan koordinasi gerakan
penglihatan, sedangkan kolikuli inferior berperan dalam reflek pendengaran,
misalnya menggerakkan kepala ke arah datangnya suara. Pedunkulus serebri terdiri
dari berkas serabut-serabut motorik yang berjalan turundari serebelum.
2) Pons, terletak diantara otak tengah dan medula oblongata. Pons berupa jembatan
serabut-serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum, serta
menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata bawah. Pons
merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras kortikoserebelaris yang
menyatukan hemisfer serebri dan serebelum.bagian bawah pons berperan dalam
pengaturan saraf kranial trigeminus, abdusen dan fasialis.
3) Medula Oblongata, terletak diantara pons dan medula spinalis. Pada medula ini
merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung. Vasokonstriktor,
pernapasan,bersin,batuk,menelan, pengeluaran air liur dan muntah.
c) Serebelum
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter
yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium yang menisahkan dari bagian
posterior serebrum. Serebelum terdiri dari bagian tengah, vermis dan dura
hemisfer lateral. Serebelum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas
serabut yang dinamakan pedunkulus. Pendukulus serebeli superior
berhubungan dengan mesensefalon ; pendukulus serebeli media
menghubungkan kedua hemisfer otak ; sedangkan pendukulus serebeli
inferior berisi serabut-serabut traktus spinosere belaris dorsalis dan
berhubungan dengan medula oblongata. Semua aktivitas serebelum berada di
bawah kesadaran. Fungsi utama serebelum adalah sebagai pusat refleks yang
mengkoordinasi dan memperluas gerakan otot, serta mengubah tonus dan
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
2. Medula Spinalis
Medula spinalis terletak di dalam kanalis neural dari kolumna vertebra, berjalan ke bawah dan
memenuhi kanalis neural sampai setinggi vertebra lumbalis kedua. Sepasang saraf spinalis
berada diantara pembatas vertebra sepanjang kolumna vertebra. Di bawah ujung tempat
medula spinalis berakhir. Di dalam ujung tempat medula spinalis terletak interneuron,
serabut sensori, asenden, serabut motorik desenden dan badan sel saraf dan dendrit
somatik sekunder (volunter) dan motor neurons otonom utama. Area sentral medula
spinalis merupakan massa abu-abu yang mengandung badan sel saraf dan neuron
internunsial.
Sistem Saraf Otonom dibagi menjadi dua bagian : Bagian Pertama adalah Sistem Saraf Otonom
parasimpatis (SSOp) dan Sistem Saraf Otonom simpatis (SSOs), bagian simpatis
meninggalkan sistem saraf pusat dari daerah thorakal dan lumbal (torakolumbal) medula
spinalis. Bagian parasimpatis ke luar otak (melalui komponen-komponen saraf karanial) dan
bagian sakral medula spinalis (kraniosakral).
Fungsi simpatis adalah peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernapasan, serta menurunkan
aktivitas saluran cerna.tujuan utama fungsinya adalah mempersiapkan tubuh agar siap
menghadapi stress atau apa yang dinamakan respon bertempur/ lari.
Fungsi parasimpatis adalah menurunkan kecepatan denyut jantung dan pernapasan dan
meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan kebutuhan pencernaan dan
pembuangan. Jadi saraf parasimpatis membantu konservasi dan hemostatis fungsi-fungsi
tubuh.
Cairan Serebrospinal
Fungsi cairan serebrospinal adalah sebagai penahan getaran, menjaga jaringan SSP yang sangat
halus dari benturan terhadap struktur tulang yang mengelilinginya dan dari cedera mekanik. Juga
berfungsi dalam pertukaran nutrien antara plasma dan kompartemen selular. Cairan serebrospinal
merupakan filtrat plasma yang dikeluarkan oleh kapiler di atap dari keempat ventrikel otak.
Seperti yang telah disebutkan, ini serupa dengan plasma minus plasma protein yang besar, yang
ada di balik aliran darah. Sebagaian besar cairan ini dibentuk dalam ventrikel bagian lateral, yang
terletak pada masing-masing hemisfer serebri. Cairan mengalir dari ventrikel lateral ini melalui
duktus ke dalam ventrikel ketiga diensefalon. Dari ventrikel ketiga cairan mengalir melalui
aquaduktus Sylvius midbrain dan masuk ke ventrikel keempat medula. Kemudian sebagian dari
cairan ini masuk melalui lubang (foramen) di bagian atas dari ventrikel ini dan masuk ke dalam
spasium subarakhnoid (sejumlah kecil berdifusi ke dalam kanalais spinalis). Dalam spasium
subarakhnoid, CSS diserap kembali ke dalam aliran darah pada tempat tertentu yang disebut
pleksus subarakhnoid
Pembentukan dan reabsorbsi CSS diatur oleh tekanan osmotik koloid dan hidrostatik yang sama
yang mengatur perpindahan cairan dan partikel-partikel kecil antara plasma dan kompartemen
cairan interstisial tubuh. Secara singkat direview, kerja dari tekanan ini adalah sebagai berikut :
dua tim yang berlawanan dari tekanan mendorong dan menarik mempengaruhi gerakan air dan
partikel-partikel kecil melalui membran kapiler semipermiabel. Satu tim terdiri atas tekanan
osmotik plasma dan tekanan hidostatik CSS. Ini memudahkan gerakan air dari kompartemen CSS
ke dalam plasma. Gerakan air dari arah yang berlawanan dipengaruhi oleh tim dari tekanan
hidrostatik plasma dan tekanan osmotik CSS. Tim yang berpengaruh bekerja secara simultan dan
kontinu. Dalam ventrikel, aliran CSS menurunkan tekanan hidrostatik CSS. Hal ini
memungkinkan tim bersama mempengaruhi gerakan air dan partikel kecil dari plasma ke
ventrikel.
Tekanan hidrostatik darah yang rendah dalam sinus venosus bersebelahan dengan vili arakhnoid
menunjukkan skala untuk gerakan air dan terlarut dari kompartemen CSS kembali ke dalam
aliran darah. Kematian sel-sel yang melapisi kompartemen CSS akan mengeluarkan protein ke
dalam CSS. Ini akan meningkatkan tekanan osmotik CSS dan memperlambat reabsorbsi
(sementara juga mempercepat pembentukan bila kerusakan terjadi di dalam dinding ventrikel).
Peningkatan protein CSS karena hal ini atau penyebab lain dapat merangsang atau mencetuskan
kondisi kelebihan CSS yang disebut hidrosefalus.
Tekanan Intrakranial
Menurut American College of Surgeon, (1997) berbagai proses patologis yang mengenai otak
dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi
otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial
yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya
mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi kenaikan intrakranial tidak hanya merupakan
indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK
normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mm H 2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg
dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat.
Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.
C. ETIOLOGI
1. Cidera setempat (benda tajam)
Trauma benda tajam yang masuk kedalam tubuh merupakan trauma yang dapat menyebabkan
cedera setempat atau kerusakan terjadi terbatas dimana benda tersebut merobek otak.
misal: pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan dari fraktur tengkorak.
Trauma oleh benda tumpul dapat menyebabkan / menimbulkan kerusakan menyeluruh (difuse)
karena kekuatan benturan. Terjadi penyerapan kekuatan oleh lapisan pelindung spt : rambut,
kulit, kepala, tengkorak. Pada trauma berat sisa energi diteruskan keotak dan menyebabkan
kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan pada jaringan otak sehingga dipandang lebih
berat.
Berat ringannya masalah yg timbul akibat trauma bergantung pd beberapa factor yaitu:
a. Lokasi benturan
b. Adanya penyerta seperti : fraktur, hemoragik
c. Kekuatan benturan
d. Efek dari akselerasi (benda bergerak membentur kepala diam) dan deselerasi (kepala
bergerak membentur benda yang diam)
e. Ada tidaknya rotasi saat benturan
a. Trauma primer
Merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
D. KLASIFIKASI
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah
cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepaka.
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi
yaitu berdasarkan :
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau
cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera kepala.
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit atau
mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio
cerebral maupun hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.
Skala Koma Glasgow
No RESPON NILAI
1 Membuka Mata :
-Spontan 4
-Terhadap nyeri 2
-Tidak ada 1
2 Verbal :
-Orientasi baik 5
-Orientasi terganggu 4
- Mampu bergerak 6
-Melokalisasi nyeri 5
-Fleksi menarik 4
-Fleksi abnormal 3
-Ekstensi 2
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih
tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering
terjadi bersamaan.
1) Perdarahan Epidural
2) Perdarahan Subdural
3) Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan
koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak
difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera
Aksona Difus ( CAD).
c. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon
temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media ( Sudiharto
1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas
gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran
progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology timbul
secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi
transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika
terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah
ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung
d. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari
cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi
bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan
otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada
perdarahan epidural.
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga
pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri
dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk
perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist
lebih lanjut.
f. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi,
dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun
terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera
ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang
paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan
sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya
kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible. Dalam
definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam.
Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat
neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk
beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual,
amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma
pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal
Injuri,DAI) adalah dimana penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung
lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya
penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu,
penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering
tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Cidera kepala ringan-sedang
a) Disorientasi ringan
b) Amnesia post partum
c) Hilang memori sesaat
d) Sakit kepala
e) Mual dan Muntah
f) Vertigo dan perubahan posisi
g) Gangguan pendengaran
Gejala :
a) Gangguan kesadaran lebih lama
b) Kelainan neurologis positif
c) Refleks patologis positif, lumpuh, konvulsi
d) Gejala TIK meningkat
e) Amnesia retrograd lebih nyata.
F. PATOFISIOLOGI
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan jaringan serebrospinal.
Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen, glukosa. Berat ringannya
cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak. Cedera yang dialami dapat gegar
otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau hematoma (injury vaskuler, epudural ;
epidural atau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan (deselerasi).
Trauma dapat primer atau sekunder. Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai
kepala saat kejadian. Sedangkan trauma sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer.
Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan intrakranial, kerusakan otak, infeksi
dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada tulang tengkorak
dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat meluas hingga
menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi. Gejalanya akan tampak
seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk dibangunkan dan akhirnya
bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena dan perdarahan
terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan lapisan arakhnoid. Terdapat dua
tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat dikaitkan dengan kontusio
atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam. Manifestasi tergantung pada
besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa kejang, sakit kepala, muntah,
meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya memar dan
robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi, anoxia dan
dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak yang mendesak
ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Dalam jangka
waktu 24 – 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada cedera kepala menurut Batticaca. FB.
2008 :
a. Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan kepala dan leher sejajar.
b. Traksi ringan pada kepala
c. Kolar servikal
d. Terapi untuk mempertahankan homeostatik otak dan mencegah kerusakan otak
sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskuler dan fungsi pernapasan untuk
mempertahankan perfusi serebral yang adekuat. Kontrol perdarahan, perbaiki
hipovolemi, dan evaluasi gas darah arteri.
e. Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan pemantauan TIK. Bila terjadi
peningkatan TIK, pertahankan oksigenasi yang adekuat, pemberian manitol untuk
mengurang edema kepala dengan dehidrasi osmotik, hiperventilasi, penggunaan
steroid, meninggikan posisi kepala ditempat tidur, kolaborasi bedah neuro untuk
mengangkat bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi di kepala. Pasang alat
pemantau TIK selama pembedahan atau dengan teknik aseptik di tempat tidur.
Rawat klien di ICU.
f. Tindakan perawatan pendukung yang lain yaitu, pemantauan ventilasi dan
pencegahan kejang serta pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik bila klien koma berat untuk mengontrol
jalan nafas. Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan
vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan penurunan TIK. Pemberian
terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah trauma kepala yang
menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia (klorpromazin tanpa tingkat
kesadaran). Pasang NGT bila terjadi motilitas lambung dan peristaltik terbalik akibat
cedera kepala.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian yang dilakukan dalam penatalaksanaan keperawatan cedera kepala menurut
Batticaca. FB. 2008 :
a) Riwayat kesehatan
1) Kapan cedera terjadi
2) Apa penyebab cedera
3) Apa peluru kecepatan tinggi
4) Apa objek yang membentur
5) Bagaimana proses terjadinya cedera pada kepala, apa karena jatuh
6) Darimana arah datangnya pukulan, bagaimana kekuatan pukulan
7) Apakah klien kehilangan kesadaran Berapa lama durasi dari periode sadar
8) Dapatkah klien dibangunkan
b) Riwayat tidak sadar atau anamnesis setelah cedera kepala menunjukkan derajat
kerusakan otak yang berarti, dimana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan
pemulihan atau terjadinya kerusakan otak sekunder.
c) Tingkat kesadaran dan responsivitas dengan GCS
d) Tanda vital
e) Fungsi motorik
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala menurut Grace, Piere A.
2006:
a. Rontgen tengkorak : AP, lateral dan posisi Towne
b. CT Scan / MRI : menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, edema serebral.
c. Pengkajian neurologis (Batticaca. FB. 2008)
d. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
e. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
f. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
g. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan
garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
I. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, (2000) komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala adalah :
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan
terjadi pada 2 – 6% pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolelamos, kemosis,dan bruit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
d. Edema pulmonal, komplikasi paru-paru yang serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari
sindrom distres pernapasan dewasa
e. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dan (minggu pertama) atau
lanjut (setelah satu minggu).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan , alamat, pekerjaan, agama, tanggal dan
jam masuk, no MR, diagnosis medis dll.
2. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
tergantung dari seberpa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran.
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien yang mengalami trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dariketinggian, dan trauma langsung ke kepala, akan mengalami
penuruna tingkat kesadaran ( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit
kepala, lemah, tejadi luka di kepala, paralissis, akumulasi sekret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung, dan telinga serta kejang.Adanya penuruna
kesadran dihubungkan karna terjadinya perubahan di dalam intrakranial.Sesuai
denga perkembangan penyakit, dapat terjadi letagi, tidak responsif dan bahkan
koma.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya klien mengalami riwayat cedera kepala sebelumnya, dan mengalami
riwayat penyakit yang memicu terjadinya suatu kejadian yang mengakibatkan
terjadinya cedera kepala serta yang memepengaruhi kondisi kesehatan klien saat
ini, seperti : hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus serta adanya
penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, obat-obat adiktif,konsumsi alkohol
yang berlebihan.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada anggota keluraga yang menderita penyakit keturunan seperti
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, serta yang menderita penyakit
menular lainnya.
3. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan per sistem mulai dari ( B1-B6 )dengan fokus pemeriksaaan
fisik pada pemeriksaan B3( brain )yang terarah dan dihubungkan dengan keluha-
keluhan dari klien.
1) Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya klien mengalami penurunan kesardaran,
biasanya pada klien dengan :
a. Cedera kepala ringan, GCS 13-15
b. Cedera kepala sedang, GCS 9-12
c. Cedera kepala berat, GCS kurang atau sama dengan 8.
2) B1 ( Breathing )
Inspeksi :biasanya didapatkan klien dengan batuk, sesak npas, pengguanaan otot
bantu pernapasan dan peningkatan frekuensi pernapasan, pada ekspansi dada
biasanya terjadi ketidaksimetrisan yang mungkin menunjukkan adanya
atelektasis, lesi pada peru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pneumothoraks, atau penempatan endotrakeal. Dan tube trakeostomi yang kuran
tepat.pada ekspansi dada juga perlu di nilai retraksi dari otot-otot interkostal,
substernal, pernapasan abdomen.
Palpasi : Biasanya fremitus akan menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thorak.
Perkusi : Biasanya terdapat adanya suara redup dan pekak pada keadaan yang
melibatkan trauma pada thoraks / hemothoraks.
Auskultasi : Biasanya terdapat bunyi napas tambahan seperti stridor, ronkhi pada
klien dengan peningkatan sekret.
3) B2 ( Blood )
Pada pemeriksaan jantung biasnya ditemukan beberpa keadaan seperti tekanan darah
meningkat dan kadang juga akan menurun, nadi bradikardi, takikardi, dan
aritmia.nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam
upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.Nadi bradikardi merupakan
tanda dari perubahan perfusi jaringan otak.Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.Hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda dari suatu syok.
4) B3 ( Brain )
a) Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental : biasnya status mental akan mengalami perubahan
Fungsi intelektual : biasanya klien cedara kepala akan mengalami penurunan
dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapat bila
traumakepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin
rusak.disfungsi ini di tunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi yang mengakibatkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalamprogram rehabilitasi mereka.Masalah
psikologis lainnya juga bisa terjadi dan di manifestasikan oleh labilitas
emosional, bermusuhan, frustasi , dendam dan kurang kerja sama.
b) Hemisfer : cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan,
perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan,
disfagia global, afasia.
c) Pemeriksaan saraf kranial.
1) Nervus I
Cedera kepala yang merusak anatomisdan fisiologis saraf ini, klien akan
mengalami kelainan pada fungsi penciuman atau anosmia unilateral dan
bilateral.
2) Nervus II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapangan
penglihatan dan dan menggagu fungsi dari nervus optikus.
3) Nervus III, IV, dan VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan trauma
yang merusak ronga orbital.Biasanya di jumpai keadaan seperti
anisokoria diman gejala ini di anggap sebgai tanda serius jika mdrisis itu
tidak bereaksi pada penyinaran.tanda awal herniasi tentorium adalah
midriasis yang tidak berreaksi pada penyinaran.jika pada trauma kepala
terdapat anisokoria dimana bukannya midriasis yang ditemukan,
melainkan miosis yag bergandengan denga pupil yang normal pada sisi
yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal.Miosis ini
disebabkan oleh lesi lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat
silspinal.Hilangnya fungsi itu berarti pusat silospinal menjadi tidak aktif,
sehingga pupil tidak berdilatasi melainka berkonstriksi.
4) Nervus V
Cedera kepala menyebabkan peralisis nervus trigeminus, didapatka
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
5) Nervus VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6) Nervus VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien dengan cedera ringan biasnya tidak
di dapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf
vestibulokoklearis
7) Nervus IX dan X
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
8) Nervus XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan tidak
ada atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius.
9) Nervus XII
Indra pengecapan mengalami perubahan.
d) Sistem motorik
1) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia ( paralisi pada salah satu sisi )
karena sisi pada sisi otak yang berlawanan.hemiparesis ( kelemahan
salah satu sisi tubuh )adalah tanda yang lain.
2) Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
3) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot
didapatkan grade 0.
4) Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparese dan hemiplegia.
Pemeriksaaan refleks.
1) Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.
2) Pemeriksaan reflek patologis, pada fase akut reflek fisiologis sisi yang
lumpuh akan meghilangsetelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali di dahului dengan reflek patologis.
Sistem sensorik
Biasanya terjadi kehilangan propriosepsi ( kemampuan untuk merasakan
posisi dan gerakan bagian tubuh ) serta kesulitan dalam menginterprestasikan
stimuli visual, taktil dan auditorius.
5) B4 ( Bladder )
Biasanya keadaan urine akan mengalami perubahan seperti, warna, jumlah dan
karakteristiknya.Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal.
6) B5 ( Bowel )
Biasanya terjadi kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase
akut, pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
7) B6 ( Bone )
Biasanya terjadi kelemahan pada seluruh ekstremitas, warna kulit kuning, sianosis,
anemia.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya paerdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara / cairan dan perubahan perbandingan O2 dan
CO2 kegagalan ventilaor
3. Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penunumpukan sputum
peningkatan sekresi sekret penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan kelatihan.
4. Perubahan kenyamanan : nyeri akut berhubungan dengan trauma jarinagn dan reflek
spasme otot sekunder
5. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan edema pada otak
6. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yanh berhubungan dengan perubahan
kemammpuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
7. Gangguan komuknikasi verbal berhubungan dengan terpasangnya endotrakeal dan
paralisis atau kelemahan neuromuskuler.
C. INTERVENSI KEPERWATAN.
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Resiko tinggi TIK b/d Tujuan : dalam waktu
1. Kaji faktor penyebab
1. Deteksi dini untuk
desak ruang sekunder 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK memprioritaskan intervensi,
dari kompresi korteks peningkatan TIK pada mengkaji sttus neurologis atau tanda
serebri dar adanya klien. kegagalan untuk menentukan
Kriteria hasil : klien
perdarahan baik tindakan pembedahan
tidak gelisah, tidak
bersifat intraserebral
mengeluh keala nyeri,
hematoma, subdural 2. Suatu keadaan normal bila
mual dan muntah,
hematoma, dan sirkulasi serebral terpelihara debgan
GCS 4,5,6, tidak
epidural hematoma. baik atau fluktasi di tandai dengan
terdapat papiledema,
tekanan darah siskemik, penurunan
TTV normal.
dari autoreguer kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi
2. Monito TTV tiap lokal vaskularisasi daraj serebral.
3. Tindakan yang terus menerus dapat
empat jam
meningkatkan TIK oleh efek
rangsangan komulatif.
4. Mengurangi tekanan intratorakal
dan intraabdominal sehingga
menghindari peningkatan TIK.
3. Berikan periode
istirahat antara
tindakan perawatan
dan batasi lamanya
prosedur
4. kolaborasi dengan
tim kesehatan lain
pemberian
antibiotik,analgesik,fis
oterapi dada dan
konsul foto toraks
3. Tidak efektif bersihan Tujuan : 1. Kaji keadaan jalan
1. Obstruksi mungkin dapat
Dalam waktu 3x24jam
jalan nafas yang nafas disebabkan oleh akumulasi
terdapat perilaku
berhubungan dengan sekret,sisa cairan
peningkatan
penunumpukan mukus,perdarahan,dan
keefektifan jalan
sputum peningkatan bronkospsame
nafas.
sekresi sekret
Kriteria hasil :
penurunan batuk Bunyi nafas terdengar 2. Pergerakan dada yang simetris
sekunder akibat nyeri bersih, tidak ada suara dengan suara nafas yang keluar dari
dan kelatihan nafas tambahan paru-paru menandakan jalan nafas
tidak terganggu.
2. Evaluasi pergerakan
3. Selama intubasi klien mengalami
dada dan auskultasi
reflek batuk yang tidak dapat efektif.
suara nafas pada
Semua klien tergantung dari
kedua paru.
alternatif yang dilakukan seperti
3. Catat adanya batuk,
menghisap lendir dari jalan nafas.
bertambahnya sesak
4. Batuk yang efektif dapat
napas dan pengeluaran
mengeluarkan sekret dari saluran
sekret melalui
napas.
endotrakeal dan
bertambahnya bunyi
5. Ekspektoran untuk memudahkan
ronki. mengeluarkan lendir dan
4. Anjurkan klien
mengevaluasi perbaikan kondisi
dengan teknik batuk
klien atas pengembangan paru nya.
selama penghisapan
seperti waktu bernapas
panjang, batuk kuat,
bersin jika ada
indikasi.
5. Kolaborasi dengan
tim kesehatan lain
pemberian
ekspektoran,
entibiotik, fisioterapi
dada dan konsul foto
thorak.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC : Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Medula spinalis merupakan bagian lanjutan dari medula oblongata yang menjulur ke
arah kaudal melalui foramen magnum lalu berakhir di antara vertebra lumbal
pertama dan kedua. Fungsi medula spinalis yaitu mengadakan komunikasi antara
otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Cedera medula spinalis dapat
diartikan sebagai suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan
pada daerah medula spinalis. Kerusakan medula spinalis pada daerah lumbal
mengakibatkan paralisis otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta gangguan
spinkter pada uretra dan rectum. Berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang
dipertahankan di bawah lesi, cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet
dan inkomplet. Pembagian ini penting untuk menenetukan prognosis dan penanganan
selanjutnya (Brunner dan Suddarth, 2001).
Cedera medula spinalis paling umum terjadi pada usia usia 16 sampai 30 tahun,
sehingga termasuk salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering
menimbulkan kecacatan permanen pada usia produktif. Kelainan ini sering
mengakibatkan penderita harus terus berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi
roda karena paraplegia. Di antara kelompok usia ini, kejadian lebih sering pada laki-
laki (82%) dari pada wanita (18%). Penyebab paling umum adalah kecelakaan
kendaraan bermotor (MVCs: 39%), jatuh (22%), tindakan kekerasan (25%), dan
olahraga 7%. Sekitar 20% dari orang tua yang mengalami CMS adalah karena jatuh
(Morton, 2005).
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian CMS
sekitar 11,5-53,4 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Angka ini belum termasuk
data jumlah penderita yang meninggal pada saat terjadinya cedera akut (Islam, 2006).
Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data
Research Centre) memperkirakan terdapat 10.000 kasus baru CMS setiap tahunnya
di Amerika Serikat. Insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per
100.000 penduduk (Pinzon, 2007).
Data dari bagian rekam medik RSUP Fatmawati dari Januari-Juni 2003, angka
kejadian fraktur berjumlah 165 termasuk di dalamnya 20 pasien menderita cedera
medula spinalis (12,5%).
Pasien yang mengalami cedera medula spinalis bone loss pada L2-L3 membutuhkan
perhatian lebih dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan mobilisasi. Pasien
beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena
profunda, dan hiperfleksia autonomik. Oleh karena itu, sebagai perawat sangat perlu
untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera
medula spinalis lumbal dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
sehingga masalah dapat teratasi dan pasien dapat terhindar dari kemungkinan
masalah yang buruk.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan angka kejadian cedera medula spinalis dan tingkat keparahan yang
ditimbulkan, maka penulis merumuskan masalah yaitu profesionalisme perawat
sangat diperlukan dalam penanganan pasien cedera medula spinalis melalui
penerapan asuhan keperawatan yang holistik.
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Melalui penulisan karya ilmiah ini, penulis ingin menelaah mengenai asuhan
keperawatan pada pasien dengan cedera medula spinalis yang holistik.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, dan klasifiksi kasus cedera medula
spinalis
b. Mengetahui data-data dasar pengkajian yang diperlukan dalam proses
keperawatan
c. Mampu menyusun langkah-langkah dalam proses keperawatan yang meliputi
pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi penulis, sebagai sarana berlatih menambah pengetahuan dan
mengembangkan ilmu keperawatan dengan mengumpulkan informasi ilmiah
untuk kemudian dikaji, dianalisis, dan disusun dalam satu karya tulis yang
ilmiah, informatif, bermanfaat, serta menambah kekayaan intelektual.
b. Bagi institusi pendidikan dan para akademisi, dapat memperkaya hasanah
ilmu pengetahuan kesehatan di bidang keperawatan, khususnya keperawatan
dewasa/keperawatan medikal bedah untuk dapat dimanfaatkan sebagai
sumber atau bahan kajian dalam menambah ilmu pengetahuan di bidang
keperawatan.
c. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan referensi dalam mengembangkan
pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada kasus cedera medula spinalis
(lumbal) yang belum dikaji dalam penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi perawat, dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam usaha
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang holistik pada kasus cedera
medulla spinalis (lumbal) dengan memberikan informasi mengenai standar
asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosis, perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
b. Bagi institusi kesehatan, sebagai bahan pertimbangan institusi dalam
menentukan kebijakan/keputusan mengenai segala macam bentuk tindakan
asuhan keperawatan yang berorientasi pada respon pasien, sehingga
membantu dalam mempercepat proses penyembuhan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera medula spinalis lumbal adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis khususnya lumbal (Brunner
dan Suddarth, 2001). Berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah
lesi, cedera medula spinalis dapat diklasifikasikan menjadi cedera komplet dan
inkomplet.
B. Etiologi
Penyebab utama Cedera Medula Spinalis (CMS) lumbal adalah trauma, dan dapat pula
disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra, seperti arthropathi spinal, keganasan
yang mengakibatkan fraktur patologik, infeksi, osteoporosis, kelainan kongenital, dan
gangguan vaskular. Penyebab trauma spinal lumbal yang paling banyak dikemukakan
adalah kecelakaan lalu lintas, olah raga, tembakan senapan, serta bencana alam
(Islam, 2006).
C. Patofisiologi
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis lumbal secara langsung.
Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu trauma menimbulkan fraktur dan
instabilitas vertebra sehingga mengakibatkan cedera pada medula spinalis lumbal.
Beberapa saat setelah trauma, cedera sekunder berupa iskemia muncul karena
gangguan pembuluh darah yang terjadi. Iskemia mengakibatkan pelepasan glutamat,
influks kalsium dan pembentukan radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis
yang mengakibatkan kematian sel neuron karena nekrosis dan terputusnya akson pada
segmen medula spinalis yang terkena (lumbal). Akson yang telah rusak tidak akan
tersambung kembali karena terhalang jaringan parut (Islam, 2006).
Kondisi kerusakan saraf lumbal dapat berakibat pada masalah-masalah
biopsikososiospiritual. Masalah biologis yang muncul yaitu nyeri akut, kerusakan
mobilitas fisik, gangguan eliminasi urin dan fekal, dan disfungsi seksual. Masalah
psikologis, pasien mengalami harga diri rendah situasional akibat kerusakan
fungsional pada lumbal. Masalah sosial yaitu gangguan interaksi sosial karena
keterbatasan dalam mobilitas fisik. Masalah spiritual, pasien yang mengalami
penurunan tingkat keyakinan dapat berisiko terhadap kerusakan dalam
beribadah/beragama.
D. Manifestasi Klinis
Pencitraan ini menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena (lumbal) dan
dapat memperlihatkan cedera ligamen atau tendon. Teknik ini dapat
mengidentifikasai lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit
dievaluasi. Pemindaian CT selalu dilakukan pertama tanpa zat kontras, namun jika
dengan zat kontras, maka akan diinjeksi melalui intravena (Brunner dan Suddarth,
2001).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah teknik pencitraan khusus, noninvasif, yang menggunakan medan magnet,
gelombang radio, dan komputer untuk memperlihatakan abnormalitas jaringan
lunak seperti otot, tendon, dan tulang rawan. MRI mempunyai potensial untuk
mengidentifikasi keadaan abnormal serebral dengan mudah dan lebih jelas dari tes
diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan informasi tentang perubahan kimia
dalam sel, namun tidak menyebabkan radiasi sel (Brunner dan Suddarth, 2001).
Gambar 2.2 Foto Magnetic Resonance Imaging (MRI) Lumbal
4. Mielografi.
Merupakan penyuntikan bahan kontras ke dalam rongga subarachnoid spinalis
lumbal. Mielogram menggambarkan ruang subarachnoid spinal dan menunjukkan
adanya penyimpangan medula spinalis atau sakus dural spinal yang disebabkan
oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain. Zat kontras dapat
menggunakan larutan air atau yang mengandung minyak. Metrizamid adalah zat
kontras yang larut air, diabsorbsi oleh tubuh, serta diekskresi melalui ginjal
(Brunner dan Suddarth, 2001).
F. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medula spinalis lumbal agar tidak
berlanjut dan untuk mengobservasi gejala penurunan neurologik. Penatalaksanaan
farmakoterapi dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi,
khususnya metilprednisolon karena dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi
kecacatan bila diberikan dalam delapan jam pertama cedera. Dosis pemberian diikuti
dengan infus kontinu yang dikaitkan dengan perbaikan klinis bermakna untuk pasien
dengan cedera medula spinalis akut. Nalokson telah teruji dalam mengobati binatang
dengan cedera medula spinalis lumbal, mempunyai efek samping minimal dan dapat
meningkatkan perbaikan neurologik pada manusia. Terapi farmakologik yang masih
dalam penyelidikan adalah pengobatan dengan steroid dosis tinggi, mannitol (untuk
menurunkan edema), dan dekstran (untuk mencegah tekanan darah turun cepat dan
memperbaiki aliran darah kapiler) yang diberikan dalam kombinasi (Brunner dan
Suddarth, 2001).
G. Pathway
Bio
Ekstremitas Bawah Genitalia Harga diri rendah situasional
Urinaria Fekal Risiko kerusakan
b.d. kerusakan fungsional dalam beragama b.d.
pada Lumbal sakit/hospitalisasi
Disfungsi Seksual
Konstipasi b.d.
Kelemahan
Kerusakan mobilitas fisik Retensi urin b.d. Hambatan Neurologis pada
Lumbal
b.d. kerusakan dalam Refleks Berkemih
neuromuskular
Inkontinensia urin b.d. Inkontinensia
trauma atau penyakit yang bowel b.d.
keabnormalan
mempengaruhi saraf spinkter rektum
medula spinal
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENGKAJIAN
Tahap pengkajian dari proses keperawatan merupakan proses dinamis yang terorganisir
yang meliputi tiga aktivitas dasar yaitu pertama mengumpulkan data secara sistematis,
kedua memilah dan mengatur data dan ketiga mendokumentasikan data dalam format
yang dapat dibuka kembali. Berikut ini merupakan data pengkajian pada pasien
dengan cedera medula spinalis hari pertama masuk ruang rawat inap.
Tabel 3.1. Data Dasar Pengkajian Menurut Doenges (1999)
Data Tanda dan gejala
Aktivitas/istirahat Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada/ di
bawah lesi.
Kelemahan umum/kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
Sirkulasi Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau bergerak.
Hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
Eliminasi Inkontinensia defekasi dan berkemih.
Retensi urin, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emesis
berwarna seperti kopi tanah/hemetemesis
Integritas ego Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
Makanan/cairan Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik).
Higiene Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(bervariasi).
Neurosensori Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan/kaki. Paralisis
flaccid/spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi, tergantung
pada area spinal yang sakit.
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat dapat berkembang saat terjadi
perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembali normal setelah
syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot/vasomotor.
Kehilangan reflex/reflex asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan
reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat dari bagian tubuh yang terkena
karena pengaruh trauma spinal.
Nyeri/kenyamanan Nyeri/nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma.
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
Pernapasan Napas pendek, sulit bernapas.
Pernapasan dangkal/labored, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronkhi, pucat, sianosis.
Keamanan Suhu yang berfluktuasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
Seksualitas Keinginan untuk kembali seperti fungsi normal.
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Definisi: pengalaman emosional dan sensasi yang tidak menyenangkan yang
muncul dari kerusakan jaringan secara aktual atau potensial atau
menunjukan kerusakan yang menyerang secara mendadak atau pelan dari
intensitas ringan sampai berat yang dapat diantisipasi atau diprediksi
dengan durasi nyeri kurang dari 6 bulan (Asosiasi studi Nyeri
Internasional).
Batasan karakteristik:
a. Laporan secara verbal atau non verbal
b. Fakta dari observasi
c. Gerakan melindungi
d. Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas,
nadi dan dilatasi pupil)
e. Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh kesah)
Faktor yang berhubungan : agen injuri fisik
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
Definisi : keterbatasan dalam kebebasan untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian
tubuh atau satu atau lebih ekstremitas.
Batasan karakteristik :
a. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar
b. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus
c. Kesulitan berbalik (belok)
d. Perubahan gaya berjalan (misalnya penurunan kecepatan berjalan, kesulitan
memulai jalan, langkah sempit, kaki diseret, goyangan yang berlebihan pada
posisi lateral)
e. Bergerak menyebabkan nafas menjadi pendek
f. Usaha yang kuat untuk perubahan gerak (peningkatan perhatian untuk aktivitas
lain, mengontrol perilaku, fokus dalam anggapan ketidakmampuan aktivitas)
g. Pergerakan yang lambat
Faktor yang berhubungan :
a. Kerusakan persepsi sensori
b. Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler
c. Intoleransi aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina
3. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih
Definisi: pengosongan blader tidak sempurna.
Batasan karakteristik:
a. Distensi blader
b. Sedikit, sering berkemih atau tidak sama sekali
c. Sensasi penuh blader
Faktor yang berhubungan:
a. Hambatan dalam refleks
b. Tekanan uretra tinggi karena kelemahan detrusor
4. Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinal
Definisi: kehilangan urin secara terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Batasan karakteristik:
a. Inkontinensia tidak disadari
b. Keterbatasan kesadaran pengisian perineal atau blader
c. Urin mengalir secara konstan pada waktu yang tak dapat diperkirakan tanpa
bantuan kontraksi atau spasme blader
Faktor yang berhubungan:
a. Trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinal
b. Disfungsi neurologi yang mengakibatkan dorongan miksi pada waktu yang tidak
dapat diperkirakan
5. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal
Definisi: penurunan frekuensi defekasi dengan diikuti kesulitan atau pengeluaran
feses yang tidak tuntas atau feses kering dan keras.
Batasan karakteristik:
a. Perubahan pola BAB
b. Feses kering keras dan berbentuk
c. Nyeri saat defekasi
d. Fekuensi BAB menurun
e. Perasaan rektal penuh atau tertekan
Faktor yang berhubungan:
a. Kelemahan neurologis pada lumbal
b. Kurang intake serat
c. Kurang intake cairan
6. Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan spinkter rektum
Definisi:perubahan dalam kebiasaan buang air besar secara normal dengan
karakteristik pengeluaran feses secara involunter
Batasan karakteristik:
a. Ketidakmampuan menunda defekasi
b. Dorongan defekasi
c. Laporan ketidakmampuan merasakan rektal penuh
Faktor yang berhubungan:
a. Abnormal spinkter rektum
b. Kerusakan saraf motorik bawah
c. Kehilangan kontrol spinkter rektal
d. Penurunan kekuatan otot secara umum
7. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau fungsi
(trauma)
Definisi: perubahan fungsi seksual yang diperlihatkan dengan ketidakpuasan, tidak
dihargai, dan tidak adekuat.
Batasan karakteristik:
a. Mengungkapkan masalah
b. Perubahan dalam mencapai kepuasan seksual
c. Perubahan hubungan dengan orang yang berharga
d. Perubahan dalam mencapai peran seks yang diterima
Faktor risiko
a. Perubahan struktur tubuh atau fungsi (trauma)
b. Perubahan biopsikososial seksualitas
C. INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
NOC :
a. Level nyeri (Pain Level)
b. Kontrol nyeri (Pain control)
c. Level kenyamanan (Comfort level)
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam, pasien:
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) (Skala 3)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri (Skala
3)
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) (Skala 3)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang (Skala 3)
e. Tanda vital dalam rentang normal (Skala 3)
NIC :
Manajemen nyeri (Pain Management)
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
d. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
e. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
f. Kolaborasikan dengan dokter dengan memberikan analgesik untuk mengurangi
nyeri
Administrasi analgesik (Analgesic Administration)
a. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
b. Cek riwayat alergi
c. Kolaborasikan dengan dokter dalam menentukan pilihan analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
d. Kolaborasikan dengan dokter dalam menentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
e. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
f. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
g. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
h. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
NOC :
a. Perpindahan sendi: aktif (Joint movement : active)
b. Tingkat mobilitas (Mobility level)
c. Perawatan diri: aktivitas sehari-hari (Self care : ADLs)
d. Perpindahan kerja (Transfer performance)
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan perawatan selama 2 minggu pasien mampu:
a. Meningkatkan aktivitas fisik (skala 4)
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas (Skala 4)
c. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah (Skala 4)
d. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker) (Skala 4)
NIC :
Terapi latihan: ambulasi (Exercise therapy : ambulation)
a. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
b. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
c. Ajarkan pasien dan keluarga tentang teknik ambulasi
d. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
e. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari secara mandiri
sesuai kemampuan
f. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
Manajemen energi (Energy management)
a. Observasi adanya pembatasan pasien dalam melakukan aktivitas
b. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan
c. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
d. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
e. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
Terapi aktivitas (Activity therapy)
a. Kolaborasikan dengan tenaga kesehatan lain dalam merencanakan program latihan
yang tepat
b. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
c. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan
d. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda dan krek
e. Bantu pasien untuk membuat jadwal latihan di waktu luang
3. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih
NOC:
a. Ketahanan urine (Urinary continence)
b. Eliminasi urine (Urinary elimination)
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien:
a. Mampu mengatur pengeluararan urin (Skala 3)
b. Mampu mengosongkan urine seluruhnya (skala 4)
NIC:
Pelatihan pada kandung kemih (Urinary bladder training)
a. Tetapkan awal dan akhir jadwal waktu untuk toileting
b. Ingatkan pasien untuk miksi pada interval telah yang ditentukan
c. Gunakan kekuatan sugesti misalnya dengan mendengarkan air mengalir untuk
membantu pasien dalam mengosongkan urin
Retensi urin (Urinary retention)
a. Lakukan penilaian berkemih yang komprehensif berfokus pada inkontinensia
(contoh pengeluaran kemih, pola pengeluaran urin, fungsi kognitif).
b. Jaga privasi untuk eliminasi
c. Gunakan kateter kemih dengan tepat
d. Monitor intake dan output cairan
e. Pantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
4. Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medula spinal
NOC:
a. Ketahanan urine (Urinary Continence)
b. Eliminasi urine (Urinary Elimination)
c. Integritas jaringan: kulit dan membran mukosa (Tissue integrity: Skin & Muccous
membranes)
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien:
a. Mampu menahan pengeluaran urin sampai tepat dieliminasikan (Skala 3)
b. Mampu mengatur pengeluararan urin (Skala 3)
c. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperature,
hidrasi, pigmentasi) (Skala 3)
NIC:
Perawatan ketidaktahanan urine (Urinary incontinence Care)
a. Identifikasi banyak faktor yang menyebabkan inkontinensia (seperti pengeluaran
urine, fungsi kognitif, obat-obatan)
b. Monitor eliminasi urin termasuk frekuensi, volume, warna urin
c. Instruksikan kepada pasien untuk minum minimal 1500 cc air per hari
d. Monitor efektivitas obat-obatan
Manajemen penekanan (Pressure management)
a. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
b. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
c. Monitor akan adanya kemerahan
d. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
5. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal
NOC:
a. Eliminasi usus (Bowel elimination)
b. Cairan (Hydration)
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien:
a. Nyeri kram tidak muncul (Skala 4)
b. Asupan cairan yang adekuat (Skala 3)
c. Menerapkan manajemen bowel secara mandiri (Skala 3)
d. Membran mukosa basah (Skala 3)
e. Tidak menunjukkan kehausan (Skala 3)
NIC:
Konstipasi bowel (Bowel constipation)
a. Anjurkan pasien atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian yang
tinggi serat
b. Anjurkan pasien atau keluarga menggunakan laksatif
c. Informasikan pasien tentang prosedur untuk defekasi secara mandiri
Pelatihan BAB (Bowel Training):
a. Kolaborasi ke dokter jika pasien memerlukan suppositoria (obat merangsang supaya
buang air yang dimasukkan ke dalam dubur)
b. Anjurkan pasien untuk cukup minum
c. Dorong pasien untuk cukup latihan
d. Kolaborasi pemberian suppositoria laksantif jika memungkinkan
e. Evaluasi status BAB secara rutin
6. Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan spinkter rektum
NOC:
a. Ketahanan usus (Bowel Continence)
b. Eliminasi usus (Bowel Elimination)
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien akan mampu:
a. BAB teratur (Skala 3)
b. Defekasi lunak, feses berbentuk (Skala 3)
c. Penurunan insiden inkontinensia usus (Skala 3)
NIC :
Perawatan pada ketidaktahanan usus (Bowel Inkontinence care)
a. Perkirakan penyebab fisik dan psikologi dari inkontinensia fekal
b. Jelaskan tujuan dari manajemen bowel pada pasien/keluarga
c. Diskusikan prosedur dan kriteria hasil yang diharapkan bersama pasien
d. Cuci area perianal dengan sabun dan air lalu keringkan
e. Jaga kebersihan baju dan tempat tidur
f. Monitor efek samping pengobatan
Pelatihan bowel (bowel training)
a. Latih pasien untuk menahan defekasi selama beberapa saat
b. Pemakaian pampers untuk menghindari pencemaran lingkungan
7. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau fungsi
(trauma)
NOC:
a. Pemulihan penyalahgunaan: seksual (Abuse recovery: sexual)
b. Fungsi seksual (Sexual functioning)
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan perawatan selama 1 minggu pasien akan mampu:
a. Mengekspresikan harapan (Skala 3)
b. Mengekspresikan kemarahan dalam cara yang non destruktif (Skala 3)
c. Mengekspresikan kenyamanan pada tubuh (Skala 3)
d. Mengekspresikan harga diri (skala 3)
NIC:
Konseling seksual (Sexual counseling)
a. Bangun hubungan teraupetik, berdasarkan kepercayaan
b. Bangun hubungan konseling yang nyaman
c. Berikan informasi tentang fungsi seksual yang sesuai
d. Bahas dampak dari penyakit dan situasi tentang seksualitas kesehatan
e. Bahas pengaruh obat tentang seksualitas dengan tepat
f. Bahas tingkat pengetahuan pasien tentang seksualitas pada umumnya
g. Libatkan pasangan (jika sudah menikah) dan dalam membangun hubungan
teraupetik
8. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan fungsional pada
Lumbal
NOC:
a. Pengambilan keputusan (Decision making)
b. Harga diri (Self esteem)
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 1 minggu pasien akan mampu:
a. Mampu mengungkapkan penerimaan diri sendiri dalam situasi (Skala 3)
b. Mampu mengenalkan dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri dalam
cara yang akurat tanpa menegatifkan harga diri (Skala 3)
NIC:
Peningkatan harga diri (Self Esteem Enhancement)
a. Monitor keadaan nilai diri pasien
b. Tentukan kepercayaan penilaian terhadap diri sendiri
c. Monitor frekuensi laporan verbal pasien
d. Fasilitasi lingkungan dan kegiatan yang meningkatkan harga diri
e. Hargai prestasi keberhasilan pasien sebelumnya
9. Risiko kerusakan dalam beragama berhubungan dengan sakit/hospitalisasi
NOC:
a. Rohani (Spiritual well being)
b. Interaksi sosial (Social Interaction)
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien akan mampu:
a. Mengungkapkan ketenangan (Skala 3)
b. Beribadah (Skala 3)
c. Interaksi dengan pemuka agama (Skala 4)
d. Keikhlasan (Skala 4)
e. Mau menerima keadaan (Skala 4)
NIC:
Dukungan spiritual (Spiritual Support)
a. Fasilitasi pasien untuk berdoa dan beribadah
b. Sediakan pemuka agama untuk konsultasi pasien
Peningkatan sosialisasi (Socialization enhancement)
a. Anjurkan keterlibatan pada pembentukan hubungan sesama
b. Anjurkan kesabaran dalam pembangunan hubungan sesama
c. Anjurkan untuk beraktivitas dengan orang lain
d. Anjurkan untuk mengungkapkan masalah kepada orang lain
Tabel 3.2 Skala Pengukuran NOC
1 2 3 4 5
Extremely Substansial Moderately Mildly Not compromised
compromised compromised compromised compromised
Extremely Sebstansial deviasi Moderate deviasi Mild deviasi dari No deviasi dari
deviasi dari dari rentang normal dari rentang normal rentang normal rentang normal
rentang normal
Tergantung, tdk Memerlukan Membutuhkan Mandiri dengan Mandiri penuh
berpartisipasi bantuan orang dan bantuan orang alat bantu
alat
Tdk ada gerakan Gerakan terbatas Gerakan moderat Gerakan subtansial Gerakan penuh
Tidak sama To slight extent To a moderate extentTo ageat extent To a very great
sekali extent
Tidak adekuat Sedikit adekuat Moderat adekuat Substansially Total adekuat
adekuat
Lebih dari 9 7-9 4-6 1-3 Tidak ada
Extensive Substansial moderate limited none
None Limited moderate substantial Extensive
None Slight moderate Substantial Complete
Tidak pernah Jarang positive Kadang positive Sering positive Selalu positive
positive
Sangat lemah Lemah moderat Kuat Sangat kuat
Tidak pernah Jarang Kadan menunjukkan Sering Selalu
menunjukkan menunjukkan menunjukkan menunjukkan
Berat Substansial moderate Ringan Tidak ada
Tidak ada bukti Bukti terbatas Bukti moderat Bukti substantial Bukti extensive
Extreme Substantial Moderate terlambat Mild terlambat dari Tidak terlambat
terlambat dari terlambat dari dari rentang normal rentang normal dari rentang normal
rentang normal rentang normal
Kurang Cukup Rata-rata Baik Baik Sekali
D. IMPLEMENTASI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Manajemen nyeri (Pain Management)
a. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
d. Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
e. Memilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan
inter personal) misalnya
f. Mengkolaborasikan dengan dokter dengan memberikan analgesik untuk
mengurangi nyeri
Administrasi analgesik (Analgesic Administration)
a. Menentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b. Mengecek riwayat alergi
c. Kolaborasikan dengan dokter dalam menentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
d. Kolaborasikan dengan dokter dalam menentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
e. Memilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
f. Memonitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
g. Memberikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
h. Mengevaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
E. EVALUASI
1. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat bergerak dalam batas fungsi atau
belum
O : Pasien sudah memperlihatkan usaha melakukan latihan dalam batas fungsi
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Melatih pasien dengan ROM
2. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah mengonsumsi asupan cairan yang adekuat
atau belum?
O : Pasien sudah mengonsumsi cairan yang adekuat
A : Tujuan tercapai
P : Menjaga asupan cairan yang adekuat
3. Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinal
S : Tanyakan pada pasien apakah terjadi tanda-tanda infeksi pada saluran urine
misalnya berkemih jernih dan urine encer
O : Pasien tidak terjadi tanda-tanda infeksi pada saluran urine (warna urine jernih
dan encer)
A : Tujuan tercapai
P : Menjaga agar tidak timbul tanda-tanda infeksi saluran urine selama masih
perawatan
4. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat buang air besar secara teratur atau
belum.
O : Pasien belum dapat buang air besar secara teratur
A : Tujuan belum tercapai
P : Mengonsumsi makanan berserat yang adekuat dan cairan melalui oral
5. Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan spinkter rektum
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat mengatur pengeluaran BAB atau
belum.
O : Pasien sudah dapat mengatur pengeluaran BAB
A : Tujuan tercapai
P : Mencegah terjadinya inkontinensia bowel lanjutan
6. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau fungsi
(trauma)
S : Tanyakan pada pasien apakah hubungan dengan orang berharga terjaga dengan
baik
O : Hubungan dengan orang berharga terjaga dengan baik
A : Tujuan tercapai
P : Meningkatkan harapan sembuh pada pasien
7. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan fungsional pada lumbal
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat menerima diri dalam situasi ini atau
belum.
O : Pasien sudah dapat menerima diri sesuai kemampuan pasien sekarang
A : Tujuan tercapai
P : Memberikan penghargaan terhadap keberhasilan pasien
8. Risiko kerusakan dalam beragama berhubungan dengan sakit/hospitalisasi
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah beribadah sesuai kepercayaan pasien
O : Pasien sudah melakukan ibadah sesuai kepercayaannya
A : Tujuan tercapai
P : Menjaga privasi ibadah pasien
9. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
S : Tanyakan pada pasien apakah level nyeri sudah berkurang atau belum setelah
perawatan selama 3 x 24 jam?
O : Level nyeri pasien sudah berkurang
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Lakukan kontrol nyeri dan manajemen nyeri selanjutnya
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa cedera medula
spinalis lumbal adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
benturan pada daerah medula spinalis lumbal. Penyebabnya antara lain trauma dan
kelainan pada vertebra (seperti artropati spinal, fraktur patologik, infeksi,
osteoporosis, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular). Instabilitas pada vertebra
lumbal mengakibatkan penekanan saraf lumbal sehingga terjadi gangguan pada saraf
lumbal. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi organ-organ yang dipersarafi yaitu
usus, genitalia, urinari, rektum, dan ekstremitas bawah. Penatalaksanaan ditujukan
untuk mencegah akibat lanjut dari cedera. Asuhan keperawatan yang digunakan
untuk menangani pasien cedera medula spinalis antara lain:
1. Diagnosa: Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik.
Intervensi: berikan obat analgesik dengan tepat.
2. Diagnosa: Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
Intervensi: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.
3. Diagnosa: Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih.
Intervensi: pantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi.
4. Diagnosa: Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit
yang mempengaruhi saraf medula spinalis.
Intervensi: monitor eliminasi urin (frekuensi, volume, dan warna urin).
5. Diagnosa: Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal.
Intervensi: anjurkan pasien dak keluarga untuk menggunakan laksatif.
6. Diagnosa: Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan spinkter
rektum.
Intervensi: jelaskan penyebab fisik dan psikologi dari inkontinensia fekal.
7. Diagnosa: Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau
fungsi (trauma).
Intervensi: bahas tingkat pengetahuan pasien tentang seksualitas pada umumnya.
8. Diagnosa: Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan
fungsional lumbal.
Intervensi: berikan penghargaan prestasi keberhasilan pasien sebelumnya
9. Diagnosa: Risiko kerusakan dalam beragama berhubungan dengan
sakit/hospitalisasi.
Intervensi: sediakan pemuka agama untuk konsultasi pasien.
B. Saran
Penulis menyarankan, sebaiknya seorang perawat dalam setiap pemberian asuhan
keperawatan termasuk pada asuhan keperawatan cedera medula spinalis
menggunakan konsep keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan dasar manusia
yang bersifat holistik yang meliputi aspek biopsikososiospiritual.
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
UROLITHIASIS
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Urolithiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam sistem urinarius.
Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu
terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium
oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat sedangkan nefrolitiasis adalah
adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis renal.
Batu ginjal merupakan batu saluran kemih, sudah dikenal sejak zaman
Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih
mummi. Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai
dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin
terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau
memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine
seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang
terbentu di dalam divertikel uretra.
Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di
kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh
kaliks ginjal dan merupakan batu slauran kemih yang paling sering terjadi.
Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan
di negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju
lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter),
perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka
prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu
saluran kemih.
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan
gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan urolithiasis dan nefrolitiasis?
2. Apa klasifikasi dari urolithiasis dan nefrolitiasis?
3. Apa penyebab terjadinya urolithiasis dan nefrolitiasis?
4. Bagaimana patofisiologi urolithiasis dan nefrolitiasis?
5. Apa manifestasi klinis dari urolithiasis dan nefrolitiasis?
6. Apa komplikasi pada urolithiasis dan nefrolitiasis?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap pasien urolithiasis
dan nefrolitiasis?
8. Apa saja tindakan dan pencegahan yang harus dilakukan dari urolithiasis dan
nefrolitiasis?
9. Apa prognosis dari urolithiasis dan nefrolitiasis?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien urolithiasis dan
nefrolitiasis?
C. Tujuan Penulisan
Setelah mendapatkan bahan pembelajaraan asuhan keperawatan pada klien
urolithiasis, mahasiswa dapat :
1. Mengetahui definisi urolithiasis dan nefrolitiasis.
2. Mengetahui klasifikasi dari urolithiasis dan nefrolitiasis.
3. Mengetahui etiologi urolithiasis dan nefrolitiasis.
4. Memahami patofisiologi urolithiasis dan nefrolitiasis.
5. Mengetahui manifestasi klinis dari urolithiasis dan nefrolitiasis.
6. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi terhadap pasien urolithiasis dan
nefrolitiasis.
7. Memahami pemeriksaan penunjang urolithiasis dan nefrolitiasis.
8. Mengetahui tata cara penatalaksanaan dan pencegahan yang dilakukan
terhadap pasien urolithiasis dan nefrolitiasis.
9. Mengetahui prognosis dari urolithiasis dan nefrolitiasis.
10. Memahami dan mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien
urolithiasis dan nefrolitiasis.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi BSK Batu saluran kemih adalah batu yang terbetuk dari
berbagai macam proses kimia di dalam tubuh manusia dan terletak di dalam
ginjal serta saluran kemih pada manusia seperti ureter (Pharos, 2012: hal 4)
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan obstruksi benda padat pada
saluran kencing yang berbentuk karena faktor presifitasi endapan dan senyawa
tertentu. Batu tersebut bias berbentuk dari berbagai senyawa, misalnya
kalsium oksalat (60%), fosfat (30%), asam urat (5%) dan sistin (1%).
(Prabowo. E dan Pranata, 2014: hal 111)
B. Etiologi
C. Patofisiologi
a. Kolik renal dan non kolik renal merupakan 2 tipe nyeri yang
berasal dari ginjal kolik renal umumnya disebabkan karena
batu melewati saluran kolektivus atau saluran sempit ureter,
sementara non kolik renal disebabkan oleh distensi dari kapsula
ginjal. (Stoller, 2010: hal: 12)
b. Hematuria pada penderita BSK seringkali terjadi hematuria (air
kemih berwarna seperti air teh) terutama pada obstruksi ureter.
(Stoller, 2010: hal: 12)
c. Infeksi jenis BSK apapun seringkali berhubungan dengan
infeksi sekunder akibat obstruksi. (Stoller, 2010: hal: 12)
d. Demam adanya demam yang berhubungan dengan BSK
merupakan kasus darurat karena dapat menyebabkan urosepsis.
(Stoller, 2010: hal: 12)
e. Mual-muntah Obstruksi saluran kemih bagian atas seringkali
menyebabkan mual dan muntah. (Stoller, 2010: hal: 12)
Menurut (Turk, 2011: hal 11). Klasifikasi Batu saluran kemih dapat
diklasifikasikan berdasarkan aspek berikut:
a. Ukuran batu, lokasi batu, karakteristik X-ray dari batu,
penyebab terbentuknya batu, komposisi batu (mineralogi), dan
resiko kelompok terjadinya pembentukan batu. (Turk, 2011: hal
12)
b. Ukuran Batu biasanya dinyatakan dalam milimeter,
menggunakan satu atau dua dimensi pengukuran. Batu bisa
dikelompokkan panjangnya hingga 5mm, >5-10 mm, > 10-20
mm dan > 20 mm. (Turk, 2011: hal 12)
c. Lokasi Batu Batu saluran kemih dapat diklasifikasikan
berdasarkan posisi anatomi pada saluran kemih pada diagnosa:
upper calyx, middle calyx atau lower calyx, renal pelvis, upper
ureter, middle ureter ataudistal ureter, urinary bladder. (Turk,
2011: hal 12)
d. Karakteristik X-ray Batu saluran kemih dapat diklasifikasikan
menurut penampakannya pada X-ray. Batu saluran kemih
bervarisai berdasarkan komposisi mineral. Jika tidak digunakan
komputer tomography Hounsfield
Units (HU) mungkin dapat memberi data mengenai massa jenis batu dan komposisi batu
(kekerasan batu). (Turk, 2011: hal 12)
e. Etiologi pembentukan Batu dapat disebabkan oleh infeksi dan
bukan infeksi, batu karena kelainan genetik, dan pembentukan
batu karena efek samping pengobatan (‘drug stones’). (Turk,
2011: hal 12)
f. Komposisi Batu (mineralogi) Aspek metabolik memiliki peran
penting dala pembentukan batu dan evaluasi metabolik yang
dibutuhkan untuk mengatasi kelainan metabolik. Analisis batu
yang benar dalam hubungannya dengan kelainan metabolik
akan menjadi dasar untuk diagnosa lebih lanjut dan tindakan
selanjutnya. Batu biasanya terdiri dari campuran substansi yang
berbeda. (Turk, 2011: hal 12)
g. Kelompok resiko terkena BSK Status resiko dari pembentuk
batu adalah dari sebab khusus yang memungkinkan terjadinya
atau perkembangan batu dan imperative untuk tindakan
farmakologi. Sekitar 50%dari semua yang terkena batu hanya
satu yang terkena selama hidupnya. Tingginya kejadian
penyakit yang sedikit yang diteliti lebih dari 10% dari semua
pembentuk batu. Tipe batu dan keparahan penyakit merupakan
determinan yang menyatakan pasien dengan resiko rendah atau
resiko tinggi terjadi batu. (Turk, 2011: hal 12)
Menurut (S. Wahap, 2013: hal 168) batu saluran kemih selain memicu
terjadinya renal colic, ada beberapa komplikasi ada beberapa komplikasi yang
di waspadai :
a. Pembendungan dan pembengkakan ginjal
A. Pengkajian
1. Identitas
Secara otomatis ,tidak factor jenis kelamin dan usia yang signifikan dalam proses
pembentukan batu. Namun, angka kejadian urolgitiasis dilapangan sering kali terjadi
pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini dimungkinkan karena pola hidup,
aktifitas, dan geografis. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
2. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang sering terjadi pada klien batu saluran kemih ialah nyeri pada saluran
kemih yang menjalar, berat ringannya tergantung pada lokasi dan besarnya batu, dapat
terjadi nyeri/kolik renal klien dapat juga mengalami gangguan gastrointestinal dan
perubahan. (Dinda, 2011: hal 2)
3. Pola psikososial
Anamnese tentang pola eliminasi urine akan memberikan data yang kuat. Oliguria,
disuria, gross hematuria menjadi ciri khas dari urolithiasis. Kaji TTV, biasanya tidak
perubahan yang mencolok pada urolithiasis. Takikardi akibat nyeri yang hebat, nyeri
pada pinggang, distensi vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis/uretrolithiasis),
teraba massa keras/batu (uretrolthiasis). (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 122)
a. Keadaan umum
a. Laboratorium
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan : obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi sosial.
Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau
hidronefrosis dan batu yang sudah menyebabkan infeksi saluran kemih, harus segera
dikeluarkan. Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti di atas
tetapi diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya mempunyai resiko tinggi dapat
menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang
menjalakankan profesinya, dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih.
(Dinda, 2011:hal 3)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut
Definisi: pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal
kerusakan sedemikian rupa.
Batasan karakteristik:
e. Diaphoresis
f. Prilaku ditraksi
h. Gannguan tidur
b. Sering berkemih
c. Inkontinensia
d. Nokturya
e. Retensi
f. Dorongan
a. Obstopsi anatomic
b. Penyebab multiple
3. Retensi urine
c. Menetes
d. Disuria
e. Sering berkemih
g. Residu urine
5) Gelisah
Kriteria Hasil NOC :
a. Tingkat Kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap kemudahan
fisik dan psikologis
b. Pengendalian nyeri: tindakan individu untuk mengendalikan nyeri
b. Manajemen medikasi
c. Manajemen nyeri
e. Manajemen sedasi
Aktivitas Keperawatan
a. Pengkajian
(c) Laporkan kepada dokter jika tindakn tidak berhasil atau jika
keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari
pengalaman nyeri pasien di maa lalu.
d. Aktivitas lain
a. Pengkajian
1) Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang
di laporkan misalnya: demam, menggigil, nyeri pinggang,
hematuria, serta perubahan konsistensi dan bau urine.
2) Perawatan retensi urine (NIC): instruksikan pasien dan keluarga
untuk mencatat haluaran urine.
c. Aktivitas kolaboratif
Purnomo, B.B. 2010.Pedoman diagnosis & terapi smf urologi LAB ilmu
bedah.Malang: Universitas Kedokteran Brawijaya.
Judith.M.Wilkison dan Nancy.R.2013.Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed
9.Jakarta: EGC
Sandy Wahap, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 2 / Oktober
2012
LUKA BAKAR
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka
bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat mengakibatkan masalah yang kompleks yang dapat meluas melebihi
kerusakan fisik yang terlihat dalam perawatan luka dan tehnik rehabilitasi yang lebih efektif
semuanya dapat meningkatkan rata-rata harapan hidup pada sejumlah klien dengan luka
bakar serius.
Di Amerika di laporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya dengan
jumlah kematian 5-6 ribu kematian pertahun, sedangkan di Indonesia belum ada laporan
tertulis.
Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada tahun 1998 di laporkan 107 kasus luka
bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38% sedangkan di Rumah Sakit Dr. Sutomo
Surabaya pada tahun 2000 dirawat 106 kasus luka bakar, kematian 26,41% (Rohmanazzam,
2008).
B. Tujuan
1. Umum
Agar mahasiswa dapat memperoleh gambaran tentang asuhan keperawatan pada
klien dengan luka bakar.
2. Khusus
a. agar diperoleh gambaran tentang konsep dasar penyakit luka bakar meliputi
pengertian, etiologi, patofisiologi, menifestasi klinis, pemeriksaaan diagnostik,
penatalaksanaan dan komplikasi.
b. Agar diperoleh gambaran tentang konsep dasar keperawatan pada luka bakar meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat membuat analisa data, dapat merumuskan diagnosa
keperawatan, membuat rencana asuhan keperawatan
2. Bagi Akademik
Sebagai acuan dalam menerapkan asuhan keperawatan pada klien ”Luka Bakar”.
BAB II
TINJAUAN TEORI
b. Kelenjar Apokrin
Terdapat di aksil, anus, skrotum, labia mayora dan bermuara pada folikel
rambut. Kelenjar ini memproduksi keringat yang keruh seperti susu yang
diuraikan oleh bakteri menghasilkan bau khas pada aksila.
c. Kelenjar Ekrin
Kelenjar ini terdapat disemua kulit. Melepaskan keringat sebagai reaksi
peningkatan suhu lingkunagn dan suhu tubuh. Kecepatan eksresi keringat
dikendalikan oleh saraf simpatik.
3. Fungsi Kulit :
a. Fungsi Adaptasi:
Kulit sebagai adaptor terhadap rangsangan antara lain temperatu, tekanan,
fisik dan kimia
b. Fungsi Transmisi:
Kulit dapat berfungsi sebagai alat sensorik karena adanya akhiran saraf
c. Fungsi Proteksi :
Melindungi dari benda luar (benda asing, invasi bakteri), melindungi dari
trauma yang terus menerus, mencegah keluarnya cairan yang berlebihan, dan
memproduksi melanin yang mencegah kerusakan kulit dari sinar UV.
d. Fungsi Metabolisme:
Sebagai tempat metaboisme lemak, sintesa vitamin D dan penyimpanan
serum pada lapisan dermis
B. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang sdisebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia
dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Dr. Soetomo, 2001).
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi ( Moenajat, 2001).
C. Etiologi
Luka bakar dapat disebabkan oleh panas, sinar ultraviolet, sinar X, radiasi nuklir,
listrik, bahan kimia, abrasi mekanik. Luka bakar yang disebabkan oleh panas api, uap atau
cairan yang dapat membakar merupakan hal yang lasim dijumpai dari luka bakar yang parah.:
1. Luka Bakar Termal
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan
api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.
2. Luka Bakar Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan
asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan
yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat
terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk
keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri,
pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan
luka bakar kimia.
3. Luka Bakar Elektrik
Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi
listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya
kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
4. Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri
ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber
radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari
akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
D. Patofisiologi
Termal (panas) terjadi pada kerusakan kulit , penguapan meningkat, menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah kapiler, sehingga terjadi ekstravasasi cairan tubuh , ekstravasasi cairan tubuh
menyebabkan tekanan onkotik menurun, hal tersebut menyebabkan cairan ekstravaskular
menurun , sehingga terjadi hipovolemia dan hemokonsentrasi, karena volume cairan menurun ,
volume cairan menurun menyebabkan gangguan sirkulasi makro sehingga terjadi gangguan
perfusi organ penting (otak).
Etiologi(thermal, air panas, api, kimia, asam, alkali, radiasi, elektrik dll.)
luka bakar
vaskular
Kompensasi
KOMPLIKASI
I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksaan luka bakar dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Penanganan luka bakar ringan
Perawatan dibagian emergensi terdapat luka bakar minor meliputi : managemen
nyeri, profilaksis tetanus dan perawatan luka tahap awal.
a. Managemen nyeri
Managemen nyeri sering kali dilakukan dengan pemberian dpsis ringan, seperti
morphine atau mepedifine, dibagian emergensi. Sedangkan analgetik oral diberikan
untuk digunakan oleh pesien rawat jalan.
b.Profilaksis tetanus
Petunjuk untuk pemberian profilaksis tetanus adalah sama pada penderita LB
baik yang ringan maupun yang injuri lainnya. Pada klien yang pernah mendapat
imunisasi tetanus tetapi tidak dalam waktu lima tahun terakhir dapat diberikan boster
tetanus toxoid. Untuk klien yang tidak diimiunisasi dengan tetanus human immune
globulin dan karenanya harus diberikan tetanus toxoid yang pertama dari
sertangkaian pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid.
c. Perawatan luka
Perawatan luka untuk LB ringan terdiri dari membersihkan luka, yaitu
debridemen jaringan yang mati : membuang zat yang merusak (zat kimia, dll) dan
pemberian atau penggunaan krim atau salep antimikroba topikal dan balutan secara
steril. Selain itu perawat juga bertanggung jawab memberikan pendidikan tentang
perawatan luka dirumah dan manifestasi klinis dari infeksi agar klien dapat segera
mencari pertolongan. Pendidikan lain yang diperlukan adalah tentang pentingnya
melakukan ROM (Range OF Mation) secara aktif untuk mempertahankan fungsi
sendi agar tetap normal dan untuk menurunkan pembentukan edema.
2. Penanganan Luka Bakar Berat
Untuk klien dengan luka yang luas maka penanganan pada bagian emergensi akan
meliputi reevaluasi ABC (jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi) dan trauma lain yang
mungkin terjadi : resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang), pemasangan kateter
urin, pemasangan NGT.
a. Reevaluasi jalan napas, kondisi pernapasan, sirkulasi dan trauma lain yang mungkin
terjadi. Menilai kembali keadaan jalan napas, kondisi pernapasan dan sirkulasi untuk
lebih memastikan ada tidaknya kegawatan dan untuk memastikan penanganan secara
dini.
b. Resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang).
Bagi klien dewasa dengan LB lebih dari 15%, maka resusitasi cairan intravena
umumnya diperlukan. Pemberian intravena perifer dapat diberikan melalui kulit yang
tidak terbakar pada bagian proksimal dari ekstremitas yang terbakar. Sedangakan
untuk klien yang mengalami LB yang cukup luas atau pada klien dimana tempat-
tempat untuk pemberian IV yang terbatas, maka dengan pemassangan kanul pada
vena sentral (seperti subklavia, jugularis internal/eksternal, atau femoral) oleh dokter
mungkin diperliukan. Luas atau persentasi luka bakar harus ditentukan dan kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi cairan. adapun cara perhitungan resusitasi cairan adalah
sbb : % BSA x BB x 4.
c. Pemsangan kateter urine
Pemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine setiap
jam. Output urine merupakan indikator yang reliable untuk menentukan keadekuatan
dari resusitasi cairan.
d. Pemasangan NGT
Pemasangan NGT bagi klien LB 20%-25% atau lebih perlu dilakukan untuk
mencegah emesis dan mengurangi resiko untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Disfungsi gastro intestinal akibat dari ileus dapat terjadi umumnya pada klien tahap
dini setelah LB. Oleh karena itu semua pemberian cairan melalui oral harus dibatasi
pada waktu itu.
J. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
a. Hemoglobin : menurun
b. Hematokrit : menurun
c. trombosit : menurun
d. SDP : Leukositosis
e. GDA : Penurunan PaO2/peningkatan PaCO2
4. Foto Rontgen Dada : membantu memastikan cedera inhalasi asap.
5. EKG
K. Komplikasi
1. Infeksi. luka yang terbuka menyebabkan memudahkan kuman patogen masuk kedalam
tubuh.
2. Kehilangan anggota tubuh atau cacat fisik.
3. Sepsis. keadaan terinfeksi oleh mokroorganisme yang menghasilkan pus.
4. Gangguan fungsi organ.
5. Gangguan psikologis terhadap perubahan keadaan citra tubuh (cacat permanen)
6. Syok hipovolemik.
7. Kontraktur. pengerutan jaringan otot atau parut yang menyebabbkan deformitas
c. Resiko tinggi infeksi b.d perubahan primer tidak adekuat : kerusakan perlindungan
kulit, jaringan traumatik.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil :Mencapai penyembuhan luka tepat waktu, bebas eksudat,
purulen dan tidak demam.
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. Isolasi yang tepat 1. Untuk menurunkan proses infeksi
2. Tekankan teknik cuci tangan yang 2. Mencegah kontaminasi silang
baik untuk semua individu
3. Gunakan skort,sarung tangan, 3. Mencegah terpejan pada organisme
masker dan teknik aseptik ketat. infeksius.
4. Batasi pengunjung. 4. Mencegah kontaminasi silang dari
pengunjung.
5. Berikan perawatan khusus pada 5. Mata membengkak karena infeksi
mata.
6. Ganti balutan dan bersihkan area 6. Air melembutkan dan membantu
terbakar. Cuci area degngan agen membuang balutan dan jaringan parut
pembersih ringan. 7. Meningkatkan penyembuhan.
7. Bersihkan jaringan nekrotik. 8. Identifikasi adanya penyembuhan .
8. Periksa luka tiap hari. 9. Indikator sepsis.
9. Awasi TTV untuk demam. Kolaborasi :
Kolaborasi : 1. Membantu untuk mencegah/
1 Berikan agen topikal sesuai mengontrol infeksi luka.
indikasi,
Mis : Antibiotik pilihan pada infeksi luka
Mafedin asetat (sulfaminol). bakar invasif.
2. Kerusakan jaringan/ perubahan
2. Berikan obat denbgan tepat, contoh mekanisme pertahanan meningkatkan
: Tetanus toksoid / antitoksin risiko terjadinya tetanus atau gangren.
klostridial dengan tepat.
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. tutup luka sesegera mungkin 1. suhu tubuh berubah dan gerakan
kecuali perewatan luka bakar udara dapat menyebabkan nyeri
metode pemajanan pada udara hebat pada pemajanan ujung saraf
terbuka 2. peninggian mungkin di perlukan
2. tinggikan ekstremitas luka bakar pada awal untuk menurunkan
secara periodik pembentukan edema
3. kaji keluhan nyeri, perhatikan 3. mengidentifikasi terjadinya
lokasi/ karakter dan intensitas komplikasi
(skala 0-10) 4. pernyataan memungkinkan
4. dorong ekpresi perasaan tentang pengungkapan emosi dan dapat
nyeri menigkatkan mekanisme koping
5. tingkatkan periode tanpa gangguan 5. kekurangan tidur dapat
meningkatkan persepsi
nyeri/kemampuan koping
menurun
kolaborasi :
1. metode IV sering di gunakan pada
Kolaborasi : awal untuk memaksimalkan efek
1. berikan analgesik obat
(nerkotik dan non
nerkotik) sesuai indikasi
e. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d status hipermetabolik (sebanyak
50 % - 60% lebih besar dari proporsi normal pada cedera berat) atau metabolisme
protein.
Tujuan : nutrisi adekuat
Kriteria hasil : BB stabil,regenerasi jaringan
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. auskultasi bising usus 1. ileus sering berhubungan dengan
2. pertahankan jumlah kalori periode pasca luka bakar,tetapi
ketat,timbang tiap hari,kaji biasanya dalam 46-48 jam dimana
ulang persen area permukakn makanan oral dapat di mulai
tubuh terbuka/luka tiap 2. pedoman tetap untuk memasuki
minggu kalori
3. berikan makanan dalam porsi 3. membantu mencegah distensi
kecil sedikit tapi sering gaster/ketidaknyamanan dan
4. berikan kebersihan oral meningkatkan pemasukan
sebelum makan 4. mulut bersih mengkatkan rasa dan
membantu nafsu makan yang baik
kolaborasi :
Kolaborasi : 1. berguna dalam membuat
1. rujuk ke ahli diet kebutuhan nutrisi individu dan
2. berikan makanan sedikit mengidentifikasi rute yang tepat
melalui selang enterik bila di 2. memberikan makanan bila pasien
butuhkan tidak mampu untuk
mengkonsumsi kebutuhan kalori
total harian
Kolaborasi : Kolaborasi :
1. Berikan tempat tidur yang 1. Mencengah tekanan lama pada
nyaman jaringan
2. Bersihkan dan tutup luka 2. Untuk menurunkan jaringan parut
bakar dengan cepat dan infeksi
g. Kerusakan integritas kulit b.d trauma : kerusakan permukaan kulit karena destruksi
lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam)
Tujuan : integritas kulit normal / baik
Kriteria hasil : adanya regenerasi jaringan,mencapai penyembuhan luka tempat
waktu pada area luka
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
Pra operasi 1. Memberikan informasi dasar tentang
1. Kaji /catat kebutuhan penanaman kulit dan
ukuran,warna,kedalaman kemungkinan petunjuk tentang
luka,perhatikan jaringan nekrotik sirkulasi pada area graft.
dan kondisi di sekitar luka. 2. Menyiapkan jaringan untuk
2. Berikan perawatan luka bakar penanaman dan menurunkan resiko
yang tepat dan terkontrol infeksi infeksi/ kegagalan draft
Pasca operasi
3. Tinggikan area draft bila
mungkin/tepat Pasca operasi
4. Pertahankan balutan diatas area 3. Menurunkan
draft baru dan atau sisi donor pembengkakan/pembatasan resiko
sesuai indikasi con : pemisahan draft
berlubang,petroleum,tak berekat 4. Area mungkin di tutupi oleh bahan
dengan permukaan tembus pandang
tak reatif untuk mmenghilangkan
robekan dari epitel baru /melindungi
Kolaborasi : jaringan sembuh
1. Siapkan /bantu prosedur
bedah balutan biologis.con : Kolaborasi :
hemograft (alograft) 1. Graf kulit diambil dari kulit orang
2. Heterograft itu sendiri atau orang meninggal
(donor mati) digunakan untuk
penutupan sementara pada luka
bakar luas sampai kulit orang itu
siap di tanam.tes graft
2. Kulit graft mungkin dari binatang
dengan penggunaan yang sama
untuk heterograft yang berlubang
h. Gangguan citra tubuh (penampilan peran) b.d krisis situasi : kejadian traumatik
peran klien tergantung, kecacatan dan nyeri
Tujuan : untuk menyatakan penerimaan situasi diri
kriteria hasil : memasukan perubahan konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. Kaji makna 1. Episode traumatik mengakibatkan
kehilangan/perubahan pada perubahan tiba-tiba,membuat
pasien/orang terdekat perasaan kehilangan pada kehilangan
2. Terima dan akui ekspresi aktual /yang di rasakan
frustasi,ketergantungan 2. Penerimaan perasaan sebagai respon
marah,perhatiakn perilaku normal terhadap apa yang terjadi
menarik diri perbaikan
3. Persikap realitis dan positif 3. Meningkatkan kepercayaan dan
selama pengobatan,pada mengadakan hubungan antara pasien
penyuluhan kesehatan,dan dan perawat
menyusun tujuan dalam 4. Kata – kata penguatan dapat
keterbatasan mendukung terjadinya koping positif
4. Berikan penguatan positif
terhadap kemajuan dan dorong
usaha untuk mengikuti tujuan
rehabilitasi Kolaborasi :
1. Membantu dalam identifikasi cara
Kolaborasi : untuk meningkatkan
1. Rujuk terapi fisik,konsul /mempertahankan kemandirian
pskiatrik,con : layanan
sosial ,psikologis sesuai
kebutuhan
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Kasus Pemicu
Tn.N usia 43th, agama islam, suku bangsa melayu, pekerjaan buruh bangunan. tempat
tinggal jln.mawar no.33 simpang IV sipin,jambi.klien masuk ruang bedah RSD raden
mattaher jambi tanggal 20-02-2010 dengan alasan luka bakar akibat tersiram air panas.dari
hasil pengkajian di peroleh data klien terbaring di tempat tidur .Terdapat luka bakar pada
paha atas kiri dan kanan. Paha kanan dan kiri tampak merah dan melepuh. Klien mengeluh
nyeri pada daerah luka bakar.badan terasa lemah pada ekstremitas bawah tampak
tegang.tingkat kesadaran composmestis dari pemeriksaan fisik di peroleh : TD 110/80
mmHg,N 90 x/i,RR 26 x/i,S 37,2ºC. Konjungtiva tampak anemis, mukosa bibir tampak
kering. Kapilarevil 4 detik. Dari hasil pemeriksaan laboratorium HB : 11,4gr%, Lk :
28.300ml3, HT : 49%, Trombosit :101.000/ml 3. Dan saat di diagnosa luka bakar grade 2.
keterangan dari keluarga klien di dapatkan bahwa tidak ada anggota keluarga yang
mengalami luka bakar
B. Analisa Data
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1 Ds : trauma : kerusakan Kerusakan
klien masuk RS dengan permukaan kulit integritas kulit
alasan luka baakibat karena destruksi
tersiram air panas lapisan kulit
Do : (parsial/luka bakar
Paha kanan dan kiri tampak dalam)
merah dan melepuh
pada estremitas bawah
tampak tegang
luka bakar grade 2
2 Ds : kerusakan nyeri
klien mengeluh nyeri pada kulit/jaringan
daerah luka bakar
Do :
pada ekstremitas bawah
tampak tegang
N 90x/i
26 x/i
3 Ds : nyeri/tak nyaman Kerusakan
Kien mengatakan badannya mobilitas fisik
terasa lemah
Do :
Klien tampak terbaring di
tempat tidur
Terdapat luka bakar paha
kiri dan kanan
Paha tampah merah dan
melepuh
Ekstremitas bawah tampak
tegang
4 Ds : - perubahan primer Resiko tinggi
Do : tidak adekuat : infeksi
S 37,2 ºC kerusakan
Leukosit 28.000 ml³ perlindungan kulit
C. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri/tak nyaman d.d klien masuk RS dengan alasan luka
bakar akibat tersiram air panas, paha tampak merah dan melepuh, pada estremitas bawah
tampak tegang, luka bakar grade 1&2.
2. Nyeri b.d kerusakan kulit/jaringan d.d klien mengeluh nyeri pada daerah luka bakar ,pada
ekstremitas bawah tampak tegang,N 90x/i,26 x/i.
3. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri/tak nyaman d.d Kien mengatakan badannya terasa
lemah,Klien tampak terbaring di tempat tidur, Terdapat luka bakar paha kiri dan
kanan,Paha tampah merah dan melepuh,Ekstremitas bawah tampak tegang.
4. Resiko tinggi infeksi b.d perubahan primer tidak adekuat : kerusakan perlindungan kulit
d.d S 37,2 ºC,Leukosit 28.000 ml³.
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
PYELONEPHRITIS & HYDRONEPHROSIS
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
A. Latar Belakang
Manusia adalah individu yang mempunyai sub-sub sistem. Sub-sub sistem
tersebut adalah sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, sistem pencernaan, sistem
muskuloskeletal, sistem persyarafan, sistem perkemihan, dan sistem-sistem yang
lainnya. Keseimbangan antara semua sistem diatas itulah yang menyebabkan manusia
dikatakan sehat secara jasmani.Semua sistem tersebut melibatkan organ-organ dalam
menjalankan tugasnya, seperti sistem perkemihan yang melibatkan organ ginjal,
ureter, kandung kemih, dan uretra.
Ginjal merupakan bagian utama dari saluran kemih yang terdiri dari organ-organ
tubuh yang berfungsi memproduksi maupun menyalurkan air kemih (urin) ke luar
tubuh. Berbagai penyakit dapat menyerang komponen-komponen ginjal, antara lain
yaitu infeksi ginjal. Infeksi ginjal atau pielonefritis merupakan peradangan pada
jaringan ginjal. Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas tentang bagaimana cara
memberikan asuhan keperawatan yang baik kepada pasien yang mengalami
pielonefritis agar tidak berlanjut menjadi pielonefritis kronik.
B. Masalah
Masalah yang kami angkat pada makalah ini mengenai asuhan keperawatan pada pasien
dengan pielonefritis.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan proses pembelajaran mata kuliah ini
peserta didik diharapkan mampu mempraktekkan pengelolaan
pelayanan keperawatan profesional dan mahasiswa dapat menerapkan
konsep dasar dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
khususnya pada kasus pielonefritis.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tinjauan pustaka tentang pielonefritis.
b. Melakukan pengkajian pada klien pielonefritis.
c. Menganalisa data-data yang ditemukan pada klien pielonefritis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMI FISIOLOGI
1. Ginjal
Fungsi vital ginjal ialah sekresi air kemih dan pengeluarannya dari tubuh manusia.
Di samping itu, ginjal juga merupakan salah satu dari mekanisme terpenting
homeostasis. Ginjal berperan penting dalam pengeluaran zat-zat toksin/racun,
memperlakukan suasana keseimbangan air. mempertahankan keseimbangan
asam-basa cairan tubuh, dan mempertahankan keseimbangan garam-garam dan
zat-zat lain dalam darah.
2. Ureter
Air kemih disekresi oleh ginjal, dialirkan ke vesika urinairia (kandung kemih)
melalui ureter. Ureter berada pada kiri dan kanan kolumna vertebralis (tulang
punggung) yang menghubungkan pelvis renalis dengan kandung kemih.
3. Vesika urinaria
Aliran urine dari ginjal akan bermuara ke dalam kandung kemih (vesika
urinaria). Kandung kemih merupakan kantong yang dapat
menggelembung seperti balon karet, terletak di belakang simfisis
pubis, di dalam rongga panggul.Bila terisi penuh, kandung kemih dapat
terlihat sebagian ke luar dari rongga panggul.
4. Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang
berfungsi menyalurkan air kemih ke luar dan juga untuk menyalurkan semen. Pada
laki-laki, uretra berjalan berkelok-kelok, menembus prostat, kemudian melewati
tulang pubis, selanjutnya menuju ke penis. Oleh karera itu, pada laki-laki, uretra
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu pars proetalika, pars membranosa, dan pars
kavernosa. Muara uretra ke arah dunia luar disebut meatus. Pada perempuan,
uretra terletak di belakang simfisis pubis, berjalan miring, sedikit ke atas,
panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Muara uretra pada perempuan terletak di sebelah
atas vagina, antara klitoris dan vagina. Uretra perempuan berfungsi sebagai saluran
ekskretori.
Ginjal merupakan bagian utama dari sistem saluran kemih yang terdiri atas
organ-organ tubuh yang berfungsi memproduksi maupun menyalurkan air kemih
(urine) ke luar tubuh. Berbagai penyakit dapat menyerang komponen-komponen
ginjal, antara lain yaitu infeksi ginjal.
Pielonefritis dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Pyelonefritis akut
Pyelonefritis akut biasanya singkat dan sering terjadi infeksi berulang karena
terapi tidak sempurna atau infeksi baru. 20% dari infeksi yang berulang terjadi
setelah dua minggu setelah terapi selesai.Infeksi bakteri dari saluran kemih
bagian bawah ke arah ginjal, hal ini akan mempengaruhi fungsi ginjal. Infeksi
saluran urinarius atas dikaitkan dengan selimut antibodi bakteri dalam
urin.Ginjal biasanya membesar disertai infiltrasi interstisial sel-sel
inflamasi.Abses dapat dijumpai pada kapsul ginjal dan pada taut
kortikomedularis.Pada akhirnya, atrofi dan kerusakan tubulus serta glomerulus
terjadi.Pyelonefritis akut merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering
ditemui.Gangguan ini tidak dapat dilepaskan dari infeksi saluran
kemih.Infeksi ginjal lebih sering terjadi pada wanita, hal ini karena saluran
kemih bagian bawahnya (uretra) lebih pendek dibandingkan laki-laki, dan
saluran kemihnya terletak berdekatan dengan vagina dan anus, sehingga lebih
cepat mencapai kandung kemih dan menyebar ke ginjal. Insiden penyakit ini
juga akan bertambah pada wanita hamil dan pada usia di atas 40 tahun.
Demikian pula, penderita kencing manis/diabetes mellitus dan penyakit ginjal
lainnya lebih mudah terkena infeksi ginjal dan saluran kemih.
b. Pielonefritis kronis
Pyelonefritis kronis juga berasal dari adanya bakteri, tetapi dapat juga karena
faktor lain seperti obstruksi saluran kemih dan refluk urin.Pyelonefritis kronis
dapat merusak jaringan ginjal secara permanen akibat inflamasi yang
berulangkali dan timbulnya parut dan dapat menyebabkan terjadinya renal
failure (gagal ginjal) yang kronis. Ginjal pun membentuk jaringan parut
progresif, berkontraksi dan tidak berfungsi. Proses perkembangan kegagalan
ginjal kronis dari infeksi ginjal yang berulang-ulang berlangsung beberapa
tahun atau setelah infeksi yang gawat. Pembagian Pielonefritis Pielonefritis
akut Sering ditemukan pada wanita hamil, biasanya diawali dengan hidro
ureter dan hidronefrosis akibat obstruksi ureter karena uterus yang membesar.
2. Etiologi
a. Bakteri
Escherichis colli
Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus besar)
merupakan penyebab infeksi yang sering ditemukan pada pielonefritis
akut tanpa komplikasi
Basilus proteus dan Pseudomonas auroginosa.
Pseudomonas juga merupakan patogen pada manusia dan merupakan
penyebab infeksi pada saluran kemih.
Klebsiella enterobacter
Klebsiella enterobacter merupakan salah satu patogen menular yang umumnya
menyebabkan infeksi pernapasan, tetapi juga dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih
Species proteus
Proteus yang pada kondisi normal ditemukan di saluran cerna, menjadi
patogenik ketika berada di dalam saluran kemih.
Enterococus
Mengacu pada suatu spesies streptococus yang mendiami saluran cerna dan
bersifat patogen di dalam saluran kemih
Lactobacillus
Adalah flora normal di rongga mulut, saluran cerna, dan vagina,
dipertimbangkan sebagai kontaminan saluran kemih. Apabila ditemukan
lebih dari satu jenis bakteri, maka spesimen tersebut harus
dipertimbangkan terkontaminasi. Hampir semua gambaran klinis
disebaban oleh endotoksemia. Tidak semua bakteri bersifat patogen di
saluran perkemihan, tetapi semua bakteri tersebut ditemukan dalam
sampel biakan urine. Namun, bakteri-bakteri tersebut tetap merupakan
kontaminan.
b. Obstruksi urinari track. Misal batu ginjal atau pembesaran prostat.
c. Refluks, yang mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih
kembali ke dalam ureter.
d. Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi aliran darah dan aliran plasma efektif
ke ginjal dan saluran kencing. Kecepatan filtrasi glomerulus dan fungsi
tubuler meningkat 30-50%. Dibawah keadaan yang normal peningkatan
kegiatan penyaringan darah bagi ibu dan janin yang tumbuh tidak membuat
ginjal dan uretra bekerja ekstra. Keduanya menjadi dilatasi karena peristaltik
uretra menurun. Sebagai akibat, gerakan urin ke kandung kemih lebih lambat.
Stasis urin ini meningkatkan kemungkinan pielonefritis.
Estrogen dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi yang terjadi pada
kadung kemih yang akan naik ke ginjal. Bendungan dan atoni ureter dalam
kehamilan mungkin disebabkan oleh progesteron, obstipasi atau tekanan
uterus yang membesar pada ureter.
Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah
oleh aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan
ureter di tempat masuknya ke kandung kemih. Berbagai penyumbatan fisik pada
aliran air kemih (misalnya batu ginjal atau pembesaran prostat) atau arus balik air
kemih dari kandung kemih ke dalam ureter, akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi ginjal.
3. Patofisiologi
Umumnya bakteri seperti Eschericia coli, Streptococus fecalis,
Pseudomonas aeruginosa, dan Staphilococus aureus yang menginfeksi ginjal
berasal dari luar tubuh yang masuk melalui saluran kemih bagian bawah (uretra),
merambat ke kandung kemih, lalu ke ureter (saluran kemih bagian atas yang
menghubungkan kandung kemih dan ginjal) dan tibalah ke ginjal, yang kemudian
menyebar dan dapat membentuk koloni infeksi dalam waktu 24-48 jam. Infeksi
bakteri pada ginjal juga dapat disebarkan melalui alat-alat seperti kateter dan
bedah urologis. Bakteri lebih mudah menyerang ginjal bila terdapat hambatan
atau obstruksi saluran kemih yang mempersulit pengeluaran urin, seperti adanya
batu atau tumor.
Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang
tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kalik dan
pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghsilkan fibrosis
dan scarring. Pielonefritis kronis muncul stelah periode berulang dari pielonefritis
akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratif dan menjadi kecil serta atrophic.
Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal.
Pathway Pielonefritis
Penyebab (bakteri)
Hematuria Demam
Nyeri Akut
Kurang pengetahuan
Hipertermi
Perubahan kenyamanan
Ansietas
Gangguan Penguapan berlebihan Mukosa kering
Pola Tidur
Nafsu makan
Resiko
berkurang
kekurangan
volume cairan
Gangguan
nutrisi
Intoleransi
Aktivitas Kelemahan
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis pielonefritis
adalah:
a. Whole blood
b. Urinalisis
c. USG dan Radiologi : USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya
batu ginjal, kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya
d. BUN
e. Creatinin
f. Serum Electrolytes
g. Biopsi ginjal
h. Pemeriksaan IVP : Pielogram intravena (IVP) mengidentifikasi perubahan atau
abnormalitas struktur
6. Komplikasi
Ada tiga komplikasi penting dapat ditemukan pada pielonefritis akut
(Patologi Umum & Sistematik J. C. E. Underwood, 2002: 669)
a. Nekrosis papila ginjal. Sebagai hasil dari proses radang, pasokan darah pada
area medula akan terganggu dan akan diikuti nekrosis papila ginjal, terutama
pada penderita diabetes melitus atau pada tempat terjadinya obstruksi.
b. Fionefrosis. Terjadi apabila ditemukan obstruksi total pada ureter yang dekat
sekali dengan ginjal. Cairan yang terlindung dalam pelvis dan sistem kaliks
mengalami supurasi, sehingga ginjal mengalami peregangan akibat adanya
pus.
c. Abses perinefrik. Pada waktu infeksi mencapai kapsula ginjal, dan meluas ke
dalam jaringan perirenal, terjadi abses perinefrik.
7. Penatalaksanaan Medik
Infeksi ginjal akut setelah diobati beberapa minggu biasanya akan sembuh
tuntas. Namun residu infeksi bakteri dapat menyebabkan penyakit kambuh
kembali terutama pada penderita yang kekebalan tubuhnya lemah seperti
penderita diabetes atau adanya sumbatan/hambatan aliran urin misalnya oleh batu,
tumor dan sebagainya. Penatalaksanaan medis menurut Barbara K. Timby dan
Nancy E. Smith tahun 2007:
a. Mengurangi demam dan nyeri dan menentukan obat-obat antimikrobial seperti
trimethroprim-sulfamethoxazole (TMF-SMZ, Septra), gentamycin dengan atau
tanpa ampicilin, cephelosporin, atau ciprofloksasin (cipro) selama 14 hari
b. Merilekskan otot halus pada ureter dan kandung kemih, meningkatkan rasa
nyaman, dan meningkatkan kapasitas kandung kemih menggunakan obat
farmakologi tambahan antispasmodic dan anticholinergic seperti oxybutinin
(Ditropan) dan propantheline (Pro-Banthine)
c. Pada kasus kronis, pengobatan difokuskan pada pencegahan kerusakan ginjal
secara progresif.
8. Pencegahan
Untuk membantu perawatan infeksi ginjal, berikut beberapa hal yang harus
dilakukan:
a. minumlah banyak air (sekitar 2,5 liter ) untuk membantu pengosongan
kandung kemih serta kontaminasi urin.
b. Perhatikan makanan (diet) supaya tidak terbentuk batu ginjal
c. banyak istirahat di tempat tidur
d. terapi antibiotika
C. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian pada klien pielonefritis menggunakan
pendekatan bersifat menyeluruh yaitu :
a. Data biologis meliputi :
1) Identitas Klien
2) Identitas penanggung
b. Riwayat kesehatan :
1) Riwayat infeksi saluran kemih
2) Riwayat pernah menderita batu ginjal
3) Riwayat penyakit DM, Jantung
c. Pengkajian fisik :
1) Palpasi kandung kemih
2) Infeksi darah meatus
3) Pengkajian warna, jumlah, bau dan kejernian urine
4) Pengkajian pada costovertebralis
d. Riwayat psikososial
Usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan persepsi terhadap kondisi
penyakit mekanisme kopin dan system pendukung
e. Pengkajian pengtahuan klien dan keluarga
1) Pemahaman tentang penyebab / perjalanan penyakit
2) Pemahaman tentang pencegahan, perawatan dan terapi medis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d hipertermi, perubahan
membran mukosa, kurang nafsu makan
b. Nyeri akut b.d proses peradangan / infeksi
c. Hipertermia b.d demam, peradangan / infeksi
d. Ansietas b.d hematuria, kurang pengetahuan tentang penyakit dan tujuan
pengobatan
e. Gangguan pola tidur b.d hipertermi, nyeri
f. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
g. Resiko kekurangan volume cairan b.d intake tidak adekuat
3. Intervensi
Dx. 1 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d hipertermi,
perubahan membran mukosa, kurang nafsu makan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien
merasa nafsu makan bertambah.
Kriteria Hasil : menunjukkan status gizi : asupan makanan, cairan dan zat gizi.
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
1 Pantau / catat permasukan diet Membantu dan mengidentifikasi
defisiensi dan kebutuhan diet.
Kondisi fisik umum, gajala uremik
(contoh : mual, anoreksia, gangguan
rasa) dan pembatasan diet multiple
mempengaruhi pemasukan makanan.
Mambran mukosa menjadi kering
2 Tawarkan perawatan mulut sering/cuci dan pecah. Perawatan mulut
dengan larutan (25%) cairan asam menyejukkan, meminyaki dan
asetat. Berikan permen karet, permen membantu menyegarkan rasa mulut
keras, penyegar mulut diantara makan yang sering tidak nyaman pada
uremia dan membatasi pemasukan
oral. Pencucian dengan asam asetat
membantu menetralkan amonea
yang dibentuk oleh perubahan urea.
5 Kolaborasi :
Awasi pemeriksaan laboratorium ~ Menurun karena anemia, hemodilusi
sesuai indikasi atau kehilangan darah aktual.
~ ~ Cairan garam faal/dekstrosa,
6 Berikan cariran IV (contoh, garam elektrolit, dan NaHCO3 mungkin
faal)/ volume ekspender (contoh diinfuskan dalam sisi vena
albumin)selama dialisa sesuai idikasi hemofelter Cav bila kecepatan
ultrafiltrasi tinggi digunakan untuk
membuang cairan ekstraseluler dan
cairan toksik. Volume ekspender
mungkin dibutuhkan selama / setelah
hemodialisa bila terjadi hipotensi
tiba-tiba.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri piala ginjal, tubulus, dan jaringan
interstisial dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai kandung kemih melalui
uretra dan naik ke ginjal. Meskipun ginjal menerima 20% - 25% curah jantung,
bakteri jarang mencapai ginjal melalui darah; kasus penyebaran secara hematogen
kurang dari 3%.
Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus besar)
merupakan penyebab dari 90% infeksi ginjal diluar rumah sakit dan penyebab dari
50% infeksi ginjal di rumah sakit. Infeksi biasanya berasal dari daerah kelamin yang
naik ke kandung kemih.
Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah oleh
aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di
tempat masuknya ke kandung kemih.
B. Saran
Saran kami dalam makalah ini semoga para pembaca bisa lebih memahami isi
dari makalah ini dan dapat menerapkannya dalam melakukan asuhan keperawatan
dan membandingkan dengan referensi lainnya.
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
STROKE
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Stroke atau gangguan perdarahan otak (GPDO) merupakan ppenyakit neurologis
yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke
merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan
karena terjadinya ganggan peredaran otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan
kapan saja. Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal ( global ) dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam aau lebih yang menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke
merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa
kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, gangguan proses berfikir daya
ingat, dan bentuk-bentu kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi
otak.
Badan kesehatan sedunia WHO memperkirakan sekitar 15 juta orang terserang
stroke setiap tahunnya. Stroke merupakan penyebab kematian utama urutan
kedua pada kelompok usia diatas 60 tahun, dan urutan kelima penyebab
kematiian pada kelompok usia 15-59 tahun. Diindonesia prevalensi stroke
terus meningkat setiap tahunnya, seiring dengan peningkatan usia harapan
hidup dan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tidak diimbangi
dengan perbaikan prilaku dan pola hidup yang sehat.
BAB II
KONSEP DASAR
A. Definisi
hemiplegia).
2. Lumpuh pada salah satu sisi wajah “Bell’s Palsy”.
7. Gangguan persepsi.
b. Incontinentia urinae.
4. Daerah Posterior
c. Hemibalisme.
5. Daerah vertebrobasiler
1. Anatomi
Gambar 2.1
serebellum.
Korteks serebri selain dibagi dalam lobus juga dibagi menurut fungsi
dan banyaknya area. Cambel membagi bentuk korteks serebri menjadi 20
area. Secara umum korteks dibagi menjadi empat bagian:
1. Korteks sensoris, pusat sensasi umum primer suatu hemisfer serebri
yang mengurus bagian badan, luas daerah korteks yang menangani
suatu alat atau bagian tubuh tergantung ada fungsi alat yang
bersangkutan. Disamping itu juga korteks sensoris bagian fisura
lateralis menangani bagian tubuh bilateral lebih dominan.
2. Korteks asisiasi. Tiap indra manusia, lorteks asosiasi sendiri
merupakan kemampuan otak manusia dalam bidang intelektual,
ingatan, berpikir, rangsangan yang diterima diolah dan disimpan
serta dihubungkan dengan data yang lain. Bagian anterior lobus
temporalis mempunyai hubungan dengan fungsi luhur dan disebut
psikokorteks.
3. Korteks motoris menerima impuls dari korteks sensoris, fungsi
utamanya adalah kontribusi pada taktus piramidalis yang mengatur
bagian tubuh kontralateral.
4. Korteks pre-frontal terletak pada lobus frontalis berhubungan dengan
sikap mental dan kepribadian.
b. Batang otak
c) Pusat pernafasan
c. Cerebellum
Sentuhan bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula. Refleks
menelan dan muntah.
i. Vagus (N.X) : Dengan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah
terdapat gerakan uvula. Mempersarafi faring, laring dan langit lunak.
j. Aksesorus (N.XI) : Pemeiksaan dengan cara meminta pasien mengangkat
bahunya dan kemudian rabalah massa otot dan menekan ke bawah
kemudian pasien disuruh memutar kepalanya
dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa). Mengontrol
pergerakankepaladanbahu.
k. Hipoglosus (N.XII) : Pemeriksaan dengan inspeksi dalam keadaan diam
didasar mulut, tentukan adanya artrofi dan fasikulasi. Mengontrol gerak
lidah.
G. Penatalaksanaan
1) Obati penyebabnya.
3) Berikan neuroprotektor.
g. Pertimbangkan terapi hipovolemik dan nimodipin untuk mencegah
vasopasme bila secara klinis, CT scan menunjukan perdarahan
subaraknoid akut.
H. Intervensi keperawatan
a) Circulation status.
c) Memproses informasi.
c) Memverbalkan perasaan.
Intervensi (NIC):
Exercrise therapy: ambulation.
a) Monitor TTV sebelum dan sesudah latihan dan lihat respon pasien.
b) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan.
c) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera.
d) Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi.
Intervensi:
a) Komunikasi meningkat.
b) Komunikasi ekspresif.
c) Komunikasi resepresif.
d) Gerakan berkoordinasi.
Intervensi:
Intervensi:
Intervensi:
Intervensi:
A. Kesimpulan
Stroke adalah kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan
suplai darah ke bagian otak. Stroke dapat dibagi menjadi 2 yaitu : stroke hemorrhagi dan
stroke non-hemorrhagi. Penyebab stroke antara lain thrombosis, embolisme, iskemia, dan
hipoksia. Faktor resiko pada stroke antara lain : hipertensi, penyakit kardiovaskuler,
kolesterol tinggi, obesitas, peningkatan hematokrit, diabetes mellitus, kontrasepasi oral,
penyalahgunaan obat dan konsumsi alkohol. Tanda dan gejala stroke tergantung pada luas
dan lokasi yang dipengaruhinya. Diagnosis stroke biasanya ditegakkan berdasarkan
perjalanan penyakit dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat membantu
menentukan lokasi kerusakan pada otak. Ada dua jenis teknik pemeriksaan imaging
(pencitraan) untuk mengevaluasi kasus stroke atau penyakit pembuluh darah otak
(Cerebrovascular Disease/CVD), yaitu Computed Tomography (CT scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI).
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien dengan stroke bersifat komprehensif,
pengkajian mengarah pada keluhan-keluhan klien serta pemeriksaan fisik dilakukan
secara per sistem.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba medika.
Smeltzer, Suzanne C. Dan Brenda G.Bare. 2002.Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth. Edisi ke 8. Jakarta: EGC
http:// tutiiskandar.wordpress.com/2009/01/30/makalah-stroke/just another Wordpress.com
Mansjoer,Arief, et al. 2000. Kapita selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MALARIA
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit yang terdapat di daerah Tropis. Penyakit ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk
berkembangbiak dan berpotensi melakukan kontak dengan manusia dan menularkan
parasit malaria. Contoh faktor-faktor lingkungan itu antara lain hujan, suhu, kelembaban,
arah dan kecepatan angin, ketinggian. Salah satu faktor lingkungan yang juga
mempengaruhi peningkatan kasus malaria adalah penggundulan hutan, terutama hutan-
hutan bakau di pinggir pantai. Akibat rusaknya lingkungan ini, nyamuk yang umumnya
hanya tinggal di hutan, dapat berpindah di pemukiman manusia, kerusakan hutan bakau
dapat menghilangkan musuh-musuh alami nyamuk sehingga kepadatan nyamuk menjadi
tidak terkontrol.
Patway Malaria
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
a. Setelah mengikuti seminar ini mahasiswa diharapkan dapat memahami
tentang malaria.
b. Mahasiswa dapat memahami etiologi malaria
c. Mahasiswa dapat menguraikan tanda gejala malaria.
d. Mahasiswa dapat menguraikan patofisiologi malaria
e. Mahasiswa dapat menguraikan asuhan keperawatan
f. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan pasien dengan malaria
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN MALARIA
A. Pengertian
Malaria adalah penyakit yang bersifat akut maupun kronik yang disebabkan oleh
protozoa genus plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali
(Mansjoer)
Malaria adalah infeksi parasit pada sel darah merah yang disebabkan oleh suatu protozoa
spesies plasmodium yang ditularkan kepada manusia melalui air liur nyamuk ( Pearce,
Evelyn C)
Malaria adalah penyakit infeksi dengan demam berkala, yang disebabkan oleh Parasit
Plasmodium dan ditularkan oleh sejenis nyamuk Anopeles (Tjay & Raharja)
Malaria adalah penyakit infeksi yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh
protozoa genus plasmodium ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali.
B. Etiologi
Protozoa genus plasmodium merupakan penyebab dari malaria yang terdiri dari empat
spesies, yaitu :
1) Plasmodium falcifarum penyebab malaria tropika
Memberikan banyak komplikasi dan mempunyai perlangsungan yang cukup
ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan menyebabkan malaria tropika/
falsiparum (demam tiap 24-48 jam)
Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang system tubuh, malaria
tropika merupakan malaria yang paling berat di tandai dengan panas yang ireguler,
anemia, splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya komplikasi.
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi)
pada malaria tertiana (P. Vivax dan P. Ovale). Pematangan skizon tiap 48 jam
maka periodisitas demamnya setiap hari ke 3, sedangkan malaria kuartania (P.
Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari.
Tiap seangan ditandai dengan bebeapa serangan demam periodik. Demam khas
malaria terdiri atas 3 stadium, yaitu menggigil (15 menit – 1 jam), puncak demam
(2 – 6 jam), dan tingkat berkeringat (2 – 4 jam). Demam akan mereda secara
bertahan karena tubuh dapat beradaptasi terhadap parasit dalam tubuh dan ada
respon imun.
2. Splenomegal
3. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling kerap adalah
anemia karena P. Falciparum. Anemia disebabkan oleh :
E. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan mikroskopis malaria
Diagnosis malaria sebagai mana penyakit pada umumnya didasarkan pada
manifestasi klinis (termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan ditemukannya
parasit (plasmodium) di dalam penderita. Uji imunoserologis yang dirancang
dengan bermacam-macam target dianjurkan sebagai pelengkap pemeriksaan
mikroskopis dalam menunjang diagnosis malaria atau ditujukan untuk survey
epidemiologi di mana pemeriksaan mikrokopis tidak dapat dilakukan. Diagnosis
definitif demam malaria ditegakan dengan ditemukanya parasit plasmodium
dalam darah penderita. Pemeriksaan mikrokropis satu kali yang memberi hasil
negatif tidak menyingkirkan diagnosis deman malaria. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan serial dengan interval antara pemeriksaan satu hari.
3. Pemeriksaan imunoserologis
Pemeriksaan imunoserologis didesain baik untuk mendeteksi antibodi spesifik
terhadap paraasit plasmodium maupun antigen spesifik plasmodium atau eritrosit
yang terinfeksi plasmodium teknik ini terus dikembangkan terutama
menggunakan teknik radioimmunoassay dan enzim immunoassay.
4. Pemeriksan Biomolekuler
Pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik parasit/
plasmodium dalam darah penderita malaria.tes ini menggunakan DNA lengkap yaitu
dengan melisiskan eritrosit penderita malaria untuk mendapatkan ekstrak DNA.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan khusus pada kasus- kasus malaria dapat diberikan tergantung dari
jenis plasmodium, menurut Tjay & Rahardja (2002) antara lain sebagai berikut:
a. Malaria Tersiana/ Kuartana
Biasanya di tanggulangi dengan kloroquin namun jika resisten perlu di tambahkan
mefloquin single dose 500 mg p.c (atau kinin 3 dd 600 mg selama 4-7 hari). Terapi
ini disusul dengan pemberian primaquin 15 mg /hari selama 14 hari)
b. Malaria Ovale
Berikan kinin dan doksisklin (hari pertama 200 mg, lalu 1 dd 100 mg selama 6 hari).
Atau mefloquin (2 dosis dari masing-masing 15 dan 10 mg/ kg dengan interval 4-6
jam). Pirimethamin-sulfadoksin (dosis tunggal dari 3 tablet ) yang biasanya di
kombinasikan dengan kinin (3 dd 600 mg selama 3 hari).
c. Falcifarum
Kombinasi sulfadoksin 1000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet dalam dosis
tunggal sebanyak 2-3 tablet. Kina 3 x 650 mg selama 7 hari. Antibiotik seperti
tetrasiklin 4 x 250 mg/ hari selama 7-10 hari dan aminosiklin 2 x 100 mg/ hari selama
7 hari
G. Komplikasi
Menurut Gandahusa, Ilahude dan Pribadi (2000) beberapa komplikasi yang dapat terjadi
pada penyakit malaria adalah :
a. Malaria otak
Malaria otak merupakan penyulit yang menyebabkan kematian tertinggi (80%)
bila dibandingkan dengan penyakit malaria lainnya. Gejala klinisnya dimulai
secara lambat atau setelah gejala permulaan. Sakit kepala dan rasa ngantuk
disusul dengan gangguan kesadaran, kelainan saraf dan kejang-kejang bersifat
fokal atau menyeluruh.
b. Anemia berat
Komplikasi ini ditandai dengan menurunnya hematokrit secara mendadak (<> 3
mg/ dl. Seringkali penyulit ini disertai edema paru. Angka kematian mencapai
50%. Gangguan ginjal diduga disebabkan adanya , penurunan aliran darah
keginjal, yang dikarenakan sumbatan kapiler, sebagai akibatnya terjadi penurunan
filtrasi pada glomerulus.
c. Edema paru
Komplikasi ini biasanya terjadi pada wanita hamil dan setelah melahirkan.
Frekuensi pernapasan meningkat. Merupakan komplikasi yang berat yang
menyebabkan kematian. Biasanya disebabkan oleh kelebihan cairan dan Adult
Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
b. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal atau sedikit menurun. Denyut perifer kuat dan
cepat (fase demam) Kulit hangat, diuresis (diaphoresis ) karena vasodilatasi.
Pucat dan lembab (vaso kontriksi), hipovolemia,penurunan aliran darah.
c. Eliminasi
Gejala : Diare atau konstipasi; penurunan haluaran urine
Tanda : Distensi abdomen
e. Neuro sensori
Gejala : Sakit kepala, pusing dan pingsan.
Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientas deliriu atau
koma.
f. Pernapasan.
Tanda : Tackipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan .
Gejala : Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Masalah kesehatan kronis, misalnya hati, ginjal, keracunan alkohol,
riwayat splenektomi, baru saja menjalani operasi/ prosedur invasif, luka
traumatik
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan malaria berdasarkan dari tanda dan gejala
yang timbul dapat diuraikan seperti dibawah ini (Doengoes, Moorhouse dan Geissler,
1999):
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan
makanan yang tidak sdekuat ; anorexia; mual/muntah
b. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan sistem kekebalan
tubuh; prosedur tindakan invasif
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme, dehidrasi, efek
langsung sirkulasi kuman pada hipotalamus.
d. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang di perlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrient dalam tubuh.
e. Kurang pengetahuan, mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/ mengingat
kesalahan interprestasi informasi, keterbatasan kognitif.
3. Perencanaan Keperawatan
Rencana keperawatan malaria berdasarkan masing-masing diagnosa diatas
adalah :
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan
makanan yang tidak sdekuat; anorexia; mual/muntah .
Intervensi :
1) Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai. Observasi dan catat
masukan makanan klien
Rasional : mengawasi masukan kalori atau kualitas kekeurangan konsumsi
makanan.
2) Berikan makan sedikit dan makanan tambahan kecil yang tepat
Rasional : Dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian makan terlalu cepat
setelah periode anoreksia
3) Pertahankan jadwal penimbangan berat badan secara teratur.
Rasional : Mengawasi penurunan berat badan atau efektifitas nitervensi
nutrisi
4) Diskusikan yang disukai klien dan masukan dalam diet murni.
Rasional : Dapat meningkatkan masukan, meningkatkan rasa berpartisipasi/
kontrol
5) Observasi dan catat kejadian mual/ muntah, dan gejala lain yang
berhubungan
Rasional : Gejala GI dapat menunjukan efek anemia (hipoksia) pada organ
6) Kolaborasi untuk melakukan rujukan ke ahli gizi
Rasional : Perlu bantuan dalam perencanaan diet yang memenuhi kebutuhan
nutrisi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan bertambahnya usia harapan hidup orang
Indonesia, jumlah manusia lanjut usia di Indonesia akan
bertambah banyak pula. Dengan demikian, masalah penyakit
akibat penuaan akan semamkin banyak kita hadapi. Salah satu
penyakit yang harus diantisipasi adalah penyakit osteoporosi
dan patah tulang. Pada situasi mendatang, akan terjadi
perubahan demografis yang akan meningkatkan populasi lanjut
usia dan meningkatkan terjadinya patah tulang karena
osteoporosis.
Kelainan ini 2-4 klien lebih serng terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Dari seluruh klien, satu antara tiga wanita
yang berusia di atas 60 tahun Dan satu diantara enam pria yang
berusia di atas 75 tahun akan mengalami patah tulang akibat
kelainan ini.
Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang
yang progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah
patah. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti kalsium dan
fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Untuk
mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan
persediaan kalsium dan mineral lainnya yang memadai, dan
harus menghasilkan hormon dalam jumlah yang mencukupi
(hormon paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen
pada wanita dan testosteron pada pria). Juga persediaan vitamin
D yang adekuat, yang diperlukan untuk menyerap kalsium dari
makanan dan memasukkan ke dalam tulang.
Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya
sampai tercapai kepadatan maksimal (sekitar usia 30 tahun).
Setelah itu kepadatan tulang akan berkurang secara perlahan.
Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam
tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh,
sehingga terjadilah osteoporosis. Sekitar 80% persen penderita
penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita muda
yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea).
Hilangnya hormon estrogen setelah menopause meningkatkan
risiko terkena osteoporosis.
B. Tujuan
Setelah membaca makalah ini diharapkan dapat memahami tentang konsep
osteoporosis serta bagaimana proses keperawatan pada penyakit tersebut dan
mampu menerapkannya dalam memberikan pelayanan kesehatan nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS
A. PENGKAJIAN.
a. Anamnesa
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan dan
sebagainya
2. Riwayat penyakit dahulu
Dalam pengkajian Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita
pasien sebelum diagnosis osteoporosis muncul seperti reumatik, Diabetes
Mellitus, hipertiroid, hiperparatiroid dan lain sebagainya.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan keluhan-keluhan yang dirasakan pasien sehingga ia dibawa
ke Rumah Sakit, seperti nyeri pada punggung.
4. Riwayat penyakit keluarga
Dalam pengkajian, kita juga perlu mengkaji riwayat penyakit keluarga
pasien, yaitu apakah sebelumnya ada salah satu keluarga pasien yang
memiliki penyakit yang sama.
6. B6 (Bone).
Pada Inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis, klien osteoporosis
sering menunjukkan kifosis atau ngibbus (dowager’s hump) Dan
penurunan tinggi badan Dan berat badan. Ada gaya berjalan, deformitas
tulang, leg-length inequality, Dan nyeri spinal. Lokasi fraktur sering terjadi
adalah antara vertebra torakalis 8 Dan lumbalis 3.
B. FAKTOR RESIKO OSTEOPOROSIS
H. DIAGNOSIS
Tes yang dilakukan adalah dengan metode screnning. Hasil yng diberikan
berupa T-score. Tes ini disebut sebagai tes awal pada penederita
osteoporosis. Harga diagnosis ini masih tergolong murah.
c. Quantitative computed tomoogaphy
OHP menunjukan rusaknya kolagen pada tulang OHP ini bisa diambil
dari urine. Namun hubungan antara Hydroxyproline dan resopsi
tulang masih terbilang kecil. Tes ini diambil dari urine dan
dilakukan pada pagi hari disertai dengan puasa.
2. Crossed type collagen
a. N-Telopeptida (NTx)
Sama rti CTx dan NTx. DPD juga terdapat pada kolagen dan
dilakukan tes urine.
d. Hidroksilisin glikosida
pasian akan di ukur tekanan darah dan lain-lain. Selain itu riwayat
penykit osteoporosis dalam keluarga juga perlu diketahui.
b. 25-hydroxy vitamin D test
Tes ini untuk mengetahui seberapa besar kadar kalsium dalam tulang.
Prose tes yang dillakukan denga diagnosis 25-hydroxy vitamin D.
darah pasien di ambil untuk di analisis
Sebulm diagnosis, dianjurkan untuk menghndari beberapa asupan
obat dan komsumsi jenis makan tertentu bianya yang tidak boleh
dikomsumsi adalah berbgai nutrisi yang mengandung vitamin D atau
kalsium yang cukup banyak
d. tes kadar fosfor dalam darah
I. DIAGNOSA KEPERWATAN
1. Nyeri sehubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebrae
2. Perubahah mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi sekunder
terhadap perubahan skletal (kiposis), nyeri sekunder atau frkatur
baru.
3. Risiko injury (cedera) berhubungan dengan dampak sekunder
perubahan skletal dan ketidakseimbangan tubuh.
J. RENCANA KEPERAWATAN
A. Kesimpulan
Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan densitas/
matriks/massa tulang, peningkatan prositas tulang, dan penurunan proses
mineralisasi deisertai dengan kerusakakn arsitektur mikro jaringan tulang yang
mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi mudah
patah.
Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia, genetik,
defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti
konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, alcohol serta sifat fisik tulang
(densitas atau massa tulang) dan lain sebagainya.
Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi. Fraktur kompresi
ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet
B. Saran
1. Lansia
Harus lebih memperhatikan kesehatan dengan menghindari faktor-faktor
resiko osteoporosis serta memenuhi asupan gizi yang lengkap terutama untuk
tulang
2. Tenaga medis
Sebagai seorang tenaga medis harus mampu memberikan pendidikan
kesehatan yang baik terutama bagi lansia sehingga dapat menghindarkan atau
mencegah terjadinya penyakit osteoporosis
3. mahasiswa
harus lebih memahami tentang asuhan keperaawatan pada gangguan system
musculoskeletal “osteoporosis” sehingga mampu menerapkannya di lhan praktik
demi memberi pelayanan kesehatan yang baik bagi klien
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
GANGGUAN KELENJAR ADRENAL
DISUSUN OLEH:
SITI NURTIANI
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf,
mengontrol dan memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-
sama bekerja untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Fungsi
mereka satu sama lain saling berhubungan, namun dapat dibedakan
dengan karakteristik tertentu. Misalnya, medulla adrenal dan kelenjar
hipofise posterior yang mempunyai asal dari saraf (neural). Jika
keduanya dihancurkan atau diangkat, maka fungsi dari kedua kelenjar
ini sebagian diambil alih oleh sistem saraf.
Bila sistem endokrin umumnya bekerja melalui hormon,
maka sistem saraf bekerja melalui neurotransmiter yang dihasilkan
oleh ujung-ujung saraf.
B. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian dari Gangguan kelenjar adrenal?
b. Apa Etiologi dari Gangguan kelenjar adrenal?
c. Bagaimana manifestasi klinis dari Gangguan kelenjar adrenal?
d. Bagaimana Patofisiologi dari Gangguan kelenjar adrenal?
e. Bagaimana cara Penatalaksanaan terhadap Gangguan kelenjar adrenal?
f. Bagaimana dalam Pemberian Gangguan kelenjar adrenal?
BAB II
PEMBAHASAN
b. Medulla Adrenal
Medulla adrenal merupakan bagian dalam dari kelenjar adrenal,
mempengaruhi tekanan fisikal dan emosional. Medulla adrenal
mensekresi hormon berikut:
1) Efinefrin (adrenalin)
Hormon ini menambah kecepatan denyut dan kontraksi jantung,
memfasilitasi aliran darah ke otot dan otak, menyebabkan relaksasi
otot polos, membantu dalam perubahan glikogen menjadi glukosa
pada hati, dan aktifitas lainnya (Sabra, 2008).
2) Norepinefrin (Noradrenalin)
Hormon ini memiliki sedikit efek pada otot polos, proses metabolic, dan
kardiak output, tetapi memiliki efek vasokontriksi kuat, da
menigkatkan tekanan darah (Sabra, 2008).
PENYAKIT ADDISON
1. Pengertian
Penyakit Addison adalah: penyakit yang terjadi akibat fungsi korteks inadekuat untuk
memenuhi kebutuhan pasien akan hormone hormone korteks adrenal (Soediman,
1996)
Penyakit Addison adalah: lesi kelenjar primer karena penyakit destruktif atau atrofik,
biasanya autoimun atau tuberkulosa.(Baroon, 1994)
2. Etiologi
a. Tuberculosis
b. Histoplasmosis
c. Koksidiodomikosis
d. Kriptokokissis
e. Pengangkatan kedua kelenjar adrenal
f. Kanker metastatik (ca paru, lambung, payudara, melanoma, limfoma)
g. Adrenalitis autoimun
3. Patofisiologi
Pada 30% penderita, kelenjar adrenal mengalami kerusakan akibat kanker, amiloidosis,
infeksi (misalnya tuberkulosis) dan penyakit lainnya. Pada 70% penderita lainnya,
penyebabnya tidak diketahui tetapi para ahli menduga bahwa kelenjar adrenal
mengalami kerusakan akibat reaksi autoimun. Penekanan kelenjar adrenal juga terjadi
pada orang-orang yang mengkonsumsi kortikosteroid (misalnya prednison).
Jika terjadi kekurangan kortikosteroid, maka tubuh akan membuang sejumlah besar
natrium dan menimbun kalium, sehingga kadar natrium darah menjadi rendah dan
kadar kalium darah menjadi tinggi. Ginjal tidak mampu mengkonsentrasikan air
kemih; karena itu jika penderita minum terlalu banyak air atau kehilangan terlalu
banyak natrium, maka kadar natirum darah menjadi rendah. Ketidakmampuan ginjal
untuk mengkonsentrasikan air kemih pada akhirnya menyebabkan penderita banyak
berkemih dan mengalami dehidrasi. Dehidrasi berat dan kadar natrium yang rendah
akan mengurangi volume darah dan bisa menyebabkan syok.
Kekurangan kortikosteroid juga menyebabkan kepekaan yang luar biasa terhadap insulin
(hormon yang secara normal terdapat di dalam darah), sehingga kadar gula darah bisa
turun. Kekurangan kortikosteroid menghalangi tubuh untuk membuat karbohidrat dari
protein, melawan infeksi atau menyembuhkan luka. Otot menjadi lemah dan bahkan
jantung bisa menjadi lemah serta tidak mampu memompa darah sebagaimana
mestinya.
4. Manifestasi klinik
a. Gejala awal: kelemahan, fatique, anoreksia, nausea, muntah, BB menurun,
hipotensi, dan hipoglikemi
b. Astenia (gejala cardinal): pasien kelemahan yang berlebih
c. Hiperpigmentasi (menghitam seperti: perunggu, coklat spt: seperti terkena
sinar matahari) biasanya pada kulit buku jari, lutut, siku
d. Rambut pubis dan aksilaris berkurang pada perempuan
e. Hipotensi arterial (TD: 80/50 mmHg / kurang)
f. Abnormalitas fungsi gastrointestinal
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Penurunan konsentrasi glukosa darah dan natrium (hipoglikemia dan
hiponatremia)
2) Peningkatan kosentrasi kalium serum (hiperkalemia)
3) Peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis)
4) Penurunan kadar kortisol serum
5) Kadar kortisol plasma rendah
c. CT Scan
Detektor kalsifikasi adrenal dan pembesaran adrenal yang sensitive hubungannya
dengan insufisiensi pada tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltratif
malignan dan non malignan, dan haemoragik adrenal
d. Gambaran EKG
Tegangan rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal
sekunder akibat adanya abnormalitas elektrolit
6. Penatalaksanaan
a. Medik
1) Terapi dengan pemberian kortikosteroid setiap hari selama 2 sampai 4
minggu dosis 12,5 sampai 50 mg/hari
2) Hidrokortison (solu- cortef) disuntikan secara IV
3) Prednison (7.5 mg/hari)dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi
pengganti kortisol
4) Pemberian infuse dekstrosa 5%dalam larutan saline
5) Fludrokortison: 0,05-0,1 mgper oral dipagi hari
b. Keperawatan
1) Pengukuran TTV
2) Memberikan rasa nyaman dengan mengatur atau menyediakan waktu
istirahat pasien
3) Menempatkan pasien dalam posisi setengah duduk dengan kedua tungkai
ditinggikan
4) Memberikan suplemen makanan dengan penambahan garam
5) Follow up: mempertahankan berat badan, tekanan darah dan elektrolit
yang normal disertai regresi gambaran klinis
6) Memantau kondisi pasien untuk mendeteksi tanda dan gejala yang
menunjukan adanya krisis Addison
7. Komplikasi
a. Syok (akibat dari infeksi akut atau penurunan asupan garam)
b. Kolaps sirkulasi
c. Dehidrasi
d. Hiperkalemia
e. Sepsis
Krisis Addison disebabkan karena hipotensiakut (hiperkortisolisme) ditandai
dengan sianosis, panas, pucat, cemas, nadi cepat.
Gejala Klinis:
Muncul perlahan-lahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan bisa hilang-
timbul. Gejala bervariasi, terdiri dari berat badan bertambah, amenorea sekunder atau
infertilitas, kelemahan otot, perubahan wajah, hipertensi dan diabetes. Bisa disertai sakit
punggung perdarahan bawah kulit, striae, jerawat dan hirsutisme. Sering juga disertai
perubahan mental sampai psikosis.
Kadang-kadang gejala klinis tidak jelas. Distribusi lemak bisa normal dan berat badan
hanya sedikit bertambah. Diagnosis harus dipertimbangkan bila dijumpai pasien dengan
hipertensi dan diabetes, obesitas terutama dengan striae, hirsutisme dan/atau virilisasi dan
obesitas dengan psikosis.
Patologi
Tidak ada perubahan histologis spesifik kecuali pada hipofisis dan adrenal. Perubahan
non-spesifik seperti kardiomegali hipertensif, osteoporosis. Tes toleransi glukosa
menunjukkan kurva diabetes.
Etiologi
Ada 4 tipe sindrom Cushing :
1) Penyakit Cushing ditemukan pada kira-kira 80% pasien. Kerusakan mungkin
terletak di hipotalamus, tetapi ini belum terbukti. Yang jelas hipofisis anterior
terlibat dan mengeluarkan ACTH berlebihan. Histologis hipofisis menunjukkan
pemusatan basofil fokal atau small basophilic adenoma. Sel-sel basofil
menunjukkan degranulasi (Crooke’s change) sekunder terhadap glukokortikoid
berlebihan. Jarang dijumpai tumor yang cukup besar yang sampai menyebabkan
fossa melebar. Tejadi hiperplasia bilateral korteks adrenal.
2) Tumor Adrenal. Dijumpai pada kira-kira 15% pasien. Biasanya adenoma kecil,
tunggal, dan jinak. Dapat berubah menjadi karsinoma yang mengeluarkan
kortikosteroid. Metastasis tumor juga bisa menghasilkan kortikosteroid. Bisa juga
dijumpai tumor bilateral.
3) ACTH Ectopic. Salah satu sindrom Cushing oleh karena produksi ektopik adalah
ACTH oleh tumor maligna non-endokrin, biasanya oat-cell broncial cacinoma.
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gambaran sindrom Cushing yang khas.
Gejala klinis ditandai dengan penyakit yang cepat menjadi berat. Penurunan berat
badan, edema dan pigmentasi.
4) Alkoholisme. Ini dapat menyebabkan sindrom Cushing sementara yang tak dapat
dibedakan dari penyakit Cushing.
Diagnosis
Diagnosis awal sindrom cushing bergantung pada jumlah sekresi kortisol. Kortisol plasma
merupakan tes penyaring terbaik, tetapi kadar kortisol bisa sedikit meninggi pada
kegemukan dan stres. Pada sindrom Cushing, kadar kortisol plasma bisa hampir normal
tetapi tidak ada ritme diurnal. Kortisol plasma berlebihan bisa juga disebabkan oleh diet
rendah kalori pada pasien gemuk. Pemberian deksametason tengah malam tidak mampu
menekan produksi kortisol. Kenyataan ini membantu untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan 17-steroid urin tidak dapat dipercayai kecuali kalau hasilnya amat tinggi.
Pemeriksaan kortisol bebas urin menunjukkan laju produksi kortisol. Adanya osteoporosis
terganggu bisa membantu menegakkan diagnosis.
Diagnosis Etiologi
Setelah terbukti sekresi kortisol berlebihan, diperlukan diagnosis etiologi dalam rangka
pengobatan. Kadar ACTH plasma yang merendah menunjukkan adanya tumor adrenal dan
meninggi pada penyakit Cushing serta amat tinggi pada sindrom ACTH ektopik. Mungkin
ini merupakan satu-satunya tes terbaik. Hipokalemik alkalosis diduga menunjukkan adanya
produksi ACTH ektopik. Tes supresi deksamentason jangka lama kurang dapat dipercaya
untuk membedakan tumor adrenal dari penyakit Cushing. Adanya karsinoma, misalnya di
paru, bisa membantu memastikan diagnosis.
Pengobatan
Tumor adrenal harus diangkat, tetapi sisa kelenjar adrenal akan mengalami atrofi. Terapi
substitusi kortikosteroid dibutuhkan selama berbulan-bulan dan diperlukan penghentikan
secara bertahap untuk mengembalikan fungsi adrenal ke normal.
Tumor hipofisis harus diobati dengan radiasi eksternal, implantasi atau hipofisektomi
transfenoidal. Adrenalektomi total merupakan pengobatan yang sering dilakukan tetapi bisa
terjadi renjatan postoperasi, sepsis dan penyembuhan yang lambat. Pada pasien yang
menjalani adrenalektomi total diperlukan kortikosteroid permanen. Komplikasinya adalah
sindrom Nelson, disebabkan oleh pembesaran kelenjar hipofisis. Biasanya dengan
pigmentasi kulit yang hebat bertahun-tahun setelah adrenalektomi total. Pengobatan
alternatif penyakit Cushing adalah dengan merusak hipofisis melalui berbagai cara.
Penyembuhan kurang pasti tetapi lebih aman dan terhindar dari risiko sindrom Nelson.
Ada 3 jenis obat yang sekarang tersedia yang digunakan untuk menekan sekresi kortisol
karsinoma. Terdiri dari metyrapone, amino gluthemide dan o, p-ODD. Bisa digunakan untuk
mengendalikan sindrom Cushing (dan untuk mengurangi risiko operasi) sebelum pengobatan
radikal atau sebagai alternatif jika tindakan bedah merupakan kontraindikasi.
Prognosis
Sindrom Cushing yang tidak diobati akan fatal dalam beberapa tahun oleh karena gangguan
kardiovaskular dan sepsis. Setelah pengobatan radikal kelihatan membaik, bergantung
kepada apakah gangguan kerusakan kardiovaskular ireversibel.
Pengobatan substitusi permanen memberikan risiko pada waktu pasien mengalami stres dan
diperlukan perawatan khusus. Karsinom adrenal atau yang lainnya cepat menjadi fatal oleh
karena kakeksia dan/atau metastasis
BAB III
Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
Penyakit Addison bisa terjadi pada laki – laki maupun perempuan yang
mengalami krisis adrenal
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh kelemahan, fatique, nausea dan muntah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita tuberkulosis, hipoglikemia maupun ca
paru, payudara dan limpama
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien dengan penyakit Addison gejala yang sering muncul ialah pada
gejala awal : kelemahan, fatiquw, anoreksia, nausea, muntah, BB turun,
hipotensi dan hipoglikemi, astenia (gejala cardinal). Pasien lemah yang
berlebih, hiperpigmentasi, rambut pubis dan axila berkurang pada
perempuan, hipotensi arterial (TD : 80/50 mm)
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang
sama / penyakit autoimun yang lain.
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Lelah, nyeri/ kelemahan pada otot (terjadi perburukan setiap hari
Tidak mampu beraktivitas atau bekerja
Tanda : peningkatan denyut jantung atau denyut nadi pada aktivitas yang
minimal. Penurunan kekuatan dan rentang gerak sendi. Depresi,
gangguan konsentrasi, Letargi
b. Sirkulasi
Tanda: Hipotensi termasuk hipotensi postural
Takikardi, disritmia, suara jantung melemah
Nadi perifer melemah
Pengisian kapiler memanjang
Ekstremitas dingin, sianosis, dan pucat
c. Integritas ego
Gejala: adanya riwayat riwayat factor stress yang baru dialami, termasuk
sakit fisik atau pembedahan
Perubahan gaya hidup
Ketidak mampuan mengatasi stress
Tanda: Ansietas, peka rangsang, depresi, emosi tidak stabil
d. Eliminasi
Gejala: diare, sampai adanya konstipasi
Kram abdomen
Perubahan frekuensi dan karakteristik urin
Tanda: Diuresis yang diikuti oliguria
e. Makanan atau cairan
Gejala: Anoreksia berat, mual, muntah
Kekurangan zat garam
BB menurun dengan cepat
Tanda: Turgor kulit jelek, membrane mukosa kering
f. Neurosensori
Gejala: Pusing, sinkope, gemetar kelemahan otot, kesemutan
Tanda: disorientasi terhadap waktu, tempat, ruang (karena kadar natrium
rendah), letargi, kelelahan mental, peka rangsangan,cemas, koma (dalam
keadaan krisis)
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri otot, kaku perut, nyeri kepala
Nyeri tulang belakang, abdomen, ekstrimitas (pada keadaan krisis)
h. Pernapasan
Gejala: Dipsnea
Tanda: Pernapasan meningkat, takipnea, suara nafas: krekels, ronkhi pada
keadaan infeksi
i. Keamanan
Gejala: tidak toleran terhadap panas, cuaca udara panas
Tanda: Hiperpigmentasi kulit (coklat kehitaman karena terkena sinar
matahari) menyeluruh atau berbintik bintik
Peningkatan suhu, demam yang diikuti dengan hipotermi (keadaan krisis)
j. Seksualitas
Gejala: Adanya riwayat menopause dini, amenore
Hilangnya tanda tanda seks sekunder (berkurangnya rambut rambut pada
tubuh terutama pada wanita)
Hilangnya libido
Pemeriksaan diagnostic:
1) Kortisol plasma menurun
2) ACTH meningkat (pada primer) menurun (pada sekunder)
3) ADH meningkat
4) Aldosteron menurun
5) Elektrolit: kadar dalam serum mungkin normal atau natrium sedikit
menurun sedangkan kalium sedikit meningkat
6) Glukosa; hipoglikemi
7) Ureum/ keratin: mungkin meningkat (karena terjadi penurunan
perfusi jaringan ginjal)
8) Analisa gas darah: asidosis metabolic
9) Sel darah merah (eritrosit): anemia numokronik, Ht meningkat
(karena hemokonsentrasi)jumlah limfosit mungkin rendah, eosinofil
meningkat
10) Urin 24 jam : 17 kerosteroid, 17 hidroksikortikoid, dan 17 kelogenik
steroid menurun
11) Pemeriksaan EKG
B. Diagnosa keperawatan
1. Kekurangan volume cairan b.d kekurangan natrium dan kehilangan cairan
melalui ginjal, kelenjar keringat, saluran gastrointestinal (karena kekurangan
aldosteron)
2. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak adekuat
(mual, muntah, anoreksia),defisiensi glukokortikoid
3. Intoleransi aktifitas b.d penurunan produksi metabolime ketidak seimbangan
cairan elektrolit dan glukosa
4. Penurunan curah jantung b.d berubahnya kecepatan, irama, dan konduksi
jantung (akibat dari ketidakseimbangan elektrolit)
5. Perubahan proses pikir b.d penurunan kadar natrium (hipotremia), penurunan
kadar glukosa (hipoglikemia), gangguan keseimbangan asam basa
6. Gangguan harga diri b.d perubahan dalam kemampuan fungsi, perubahan
karakteristik tubuh
7. Kurang pengetahuan tentang: penyakit, prognosis, pengobatan b.d kurang
pemajanan/ mengingat, keterbatasan kognitif
C. Rencana keperawatan
DX. 1: Kekurangan volume cairan b.d kekurangan natrium dan
kehilangan cairan melalui ginjal, kelenjar keringat, saluran
gastrointestinal (karena kekurangan aldosteron)
Tujuan : klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
setelah dilakukan tindakan
KH : - Pengeluaran urin adekuat (1cc/kgBB/jam
a. TTVdbn: N:80-100 x/mnt S: 36-37C
TD: 120/80 mmHg
b. Tekanan nadi perifer jelas: kurang dari 3 det
c. Turgor kulit elastis
d. Pengisian kapiler baik kurang dari 3 det
e. Membrane mukosa lembab
f. Warna kulit tidak pucat
g. Rasa haus tidak ada
h. BB ideal: (TB-100)-10%(TB-100)
i. Hasil lab dbn:
1) Ht : W: 37-47% L: 42-52%
2) Ureum: 15-40 mg/dl
3) Natrium: 135-145 mEq/L
4) Kalium: 3,3-5,0 mEq/ L
5) Kreatinin: 0,6-1.2 mg/dl
Intervensi:
1. Pantau TTV, catat perubahan tekanan darah pada perubahan posisi, kekuatan dari
nadi perifer
R/: Hipotensi postural merupakan bagian dari hipovolemia akibat
kekurangan hormone aldosteron dan penurunan curah jantung sebagai
akibat dari penurunan kortisol
2. Ukur dan timbang BB klien
R/: Memberikan perkiraan kebutuhan akan pengganti volume cairan dan
kefektifan pengobatan. Peningkatan BB yang cepat disebabkan oleh
adanya retensi caairan dan natrium yang berhubungnn dengan
pengobatan steroid
3. Kaji pasien mengenai ada rasa haus, kelelahan, nadi cepat, pengisian kapiler
memanjang, turgor kulit jelek, membrane mukosa kering. Catat warna kulit dan
temperaturnya
R/: Mengidentifikasi adanya hipovolemia dan mempengaruhi kebutuhan
volume pengganti.
5. Aukultasi bising usus (peristaltic usus). Catat dan laporkan adanya mual, muntah,
dan diare.
R/: Kerusakan fungsi saluran cerna dapat meningkatkan kehilangan cairan
dan elektrolit dan mempengaruhi cara untuk pemberian cairan dan
nutrisi
Kolaborasi
8. Berikan cairan, antara lain:
Cairan NaCl 0,9%
R/: Mungkin membutuhkan cairan pengganti 4-6Ltr.dengan pemberian
cairan NaCl 0,9% melalui Iv 500-1000ml/jam, dapat mengatasi
kekurangan natrium yang sudah terjadi
Larutan glukosa
R/: Dapat menghilangkan hipovolemia
10. Pasang atau pertahankan kateter urin dan selang NGT sesuai indikasi
R/: dapat memfasilitasi pengukuran haluaran dengan akurat baik urin
maupun dari lambung, memberikan dekompresi lambung dan
membatasi muntah
11. Pantau hasil laboratorium
Hematokrit (Ht)
R/: Peningkatan kadar Ht darah merupakan indikasi terjadinya
hemokonsentrasi yang akan kembali normal sesuai dengan terjadinya
dehidrasi pada tubuh
Natrium
R/: hiponatremia merupakan indikasi kehilangan melalui urin yang
berlebihan karena gangguan reabsorpsi pada tubulus ginjal
Kalium
R/: penurunan kadar aldosteron mengakibatkan penurunan natrium dan air
sementara itu kalium tertahan sehingga dapat menyebabkan
hyperkalemia
Dx 2: Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak adekuat (mual,
muntah, anoreksia) defisiensi glukortikoid
Tujuan: kebutuhan nutrisi klien kembali adekuat setelah dilakukan tindakan intervensi
KH :
a. Tidak ada mual muntah
b. BB ideal (TB-100)-10%(TB-100)
c. Anoreksia (-)
d. Hb: W: 12-14 gr/dl L: 13-16 gr/dl
e. Ht: W: 37-47 L:42-52%
f. Albumin: 3,5-4,7g/dl
g. Globulin: 2,4-3,7g/dl
h. Bising usus: 5-12x/mnt
i. TTV dbn: N: 80-100x/mnt TD: 120/80mmHg
j. Temperature kulit hangat
k. Nyeri kepala (-)
l. Kesadaran compos mentis
Intervensi:
1. Aukultasi bising usus dan kaji apakah ada nyeri perut, mual atau muntah
R/: Kekurangan kortisol dapat menyebabkan gejala intestinal berat yang
mempengaruhi pencernaan dan absorpsi dari makanan
2. catat adanya kulit yang dingin atau basah, perubahan tingkat kesadaran, nadi
yang cepat, nyeri kepal, sempoyongan
R/: Gejala hipoglikemia dengan timbulnya tanda tersebut mungkin perlu
pemberian glukosa dan mengindikasikan pemberian tambahan
glukortikoid
5. Berikan lingkungan yang nyaman untuk makna contoh bebas dari bau tidak
sedap, tidak terlalu ramai
R/: Dapat meningkatkan nafsu makan dan memperbaiki pemasukan
makan
Kolaborasi
6. Pertahankan status puasa sesuai indikasi
R/: Mengistirahatkan gastrointestinal, mengurangi rasa tidak enak dan
kehilangan
7. Berikan glukosa intravena dan obat obatan sesuai indikasi seperti glukokortikoid
R/: Memperbaiki hipoglikemi, memberi sumber energi pemberian
glukokortikoid akan merangsang glukoneogenesis, menurunkan
pengguanaan glukosa dan membantu penyimpanan glukosa sebagai
glikogen
Intervensi
1. kaji tingkat kelemahan klien dan identifikasi aktifitas yang dapat dilakukan oleh klien
R/: Pasien biasanya telah mengalami penurunan tenaga, kelemahan otot menjadi terus
memburuk setiap hari karena proses penyakit dan munculnya ketidak seimbangan
natrium dan kalium
3. Sarankan pasien untuk menentukan masa atau periode antara istirahat dan melakukan
aktivitas
R/: Mengurangi kelelahan dan mencegah ketegangan pada jantung
4. Diskusikan cara untuk menghemat tenaga misal: duduk lebih baik daripada berdiri selama
melakukan aktifitas
R/: Pasien akan dapat melakukan aktivitas yang lebih banyak dengan mengurangi
pengeluaran tenaga pada setiap kegiatan yang dilakukan
Dx 4: Penurunan curah jantung b.d berubahnya kecepatan, irama dan konduksi jantung (akibat
dari ketidakseimbangan elektrolit)
Tujuan: Curah jantung klien kembali adekuat setelah dilakukan tindakan
KH:
a. TTV dbn N: 80-100x/mnt RR:16-20x/mnt TD: 12/80 mmHg S: 36-37c
b. Nadi perifer teraba dengan baik
c. Pengisian kapiler kurang dari 3 det
d. Hasil lab kalium darah: 3,3-5,0 mEq/L
e. Disritmia (-)
f. Warna kulit tidak pucat
Intervensi:
1. Pantau TTV dan catat adanya disritmia
R/: Peningkatan fungsi jantung merupakan manifestasi awal sebagai
kompensasi hipovolemia dan penurunan curah jantung
2. Pantau suhu tubuh, catat bila ada perubahan yang mencolok dan tiba tiba.
R/: Hiperpireksia yang tiba tiba terjadi diikuti oleh hipotermia sebagai
akibat dari ketidakseimbangan hormonal, cairan dan elektrolit yang
mempengaruhi fungsi jantung dan curah jantung
5. Tempatkan pasien pada ruangan yang tenang dan dengan kelembapan yang
sesuai, tidak bising dan dibatasi aktivitas
R/: Respon normal pasien terhadap stress adalah kurang dan stimulus
yang biasanya tidak menimbulkan masalah dapat berpengaruh
negative pada pasien
Kolaborasi
7. Berikan O2
R/: Kadar oksigen yang maksimal dapat membantu menurunkan kerja
jantung
Dx. 5: Perubahan proses pikir b.d hiponatremia, hipoglikemia, gangguan keseimbangan asam basa
Tujuan: Proses pikir klien kembali efektif setelah dilakukan tindakan
KH:
a. Mempertahankan tingkat kesadaran mental
b. Tidak mengalami cedera
c. Klien dapat mengenal tempat, orang, dan waktu
d. TTV dbn : N: 80-100x/mnt TD: 120/80 mmHg RR: 16-20x/mnt
e. Hasil lab :Hb L: 13-16 gr/dl
W: 12-14 gr/dlHt L: 42-51%
W: 37-47%
Glukosa darah: 80-110 mg/dl
Intervensi:
1.Pantau TTV dan status neurologis
R/: Memberikan patokan untuk dasar perbandingan atau pengenalan terhadap temuan abnormal
2. Panggil pasien dengan namanya orientasikan pada orang, tempat, dan waktu sesuai
kebutuhan
R/: Menolong mempertahankan orientasi dan menurunkan kebingungan
3.Tetapkan dan pertahankan jadwal perawatan rutin untuk memberikan waktu istirahat yang
teratur
R/: Meningkatkan orientasi dan mencegah kelelahan yang berlebih
4.Sarankan pasien untuk melakukan perawatan diri sendiri sesuai dengan kemampuan
dengan waktu yang cukup untuk menjalankan seluruh tugasnya
R/: Menolong pasien dalam menjaga dan memberikan sentuhan yang nyata dan
mempertahankan orientasi pada lingkungan
Kolaborasi
5.Pantau hasil pemeriksaan lab mis: glukosa darah, osmolaritas serum, Hb, Ht
R/: Perubahan yang terus menerus pada mental memerlukan evaluasi lanjut
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Kelenjar adrenal Terletak di kutub atas kedua ginjal. Disebut juga sebagai kelenjar
suprarenalis karena letaknya di atas ginjal. Dan kadang juga disebut sebagai kelenjar
anak ginjal karena menempel pada ginjal. Kelenjar adrenal terdiri dari dua lapis yaitu
bagian korteks dan bagian medulla. Keduanya menunjang dalam ketahanan hidup dan
kesejahteraan, namun hanya korteks yang esensial untuk kehidupan.
B. Saran
Meskipun kasus Gangguan kelenjar adrenal ini jumlahnya tidak sebanyak penyakit-
penyakit umum lainnya yang sering kita jumpai, tetapi kita sebagai calon - calon
tenaga kesehatan professional tetap harus tahu dan memahami kasus ini. Semoga
dengan makalah ini dapat memberikan setitik pengetahuan baru bagi kita sebagai
mahasiswa keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA