Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

PERDARAHAN SUB ARACHNOID

Disusun oleh :

Ghrena Amadea M. A.
1161050035

Pembimbing :

dr. Cynthia M. Sahetapy, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU NEUROLOGI

PERIODE 3 APRIL – 6 MEI 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan Tugas
Refarat yang berjudul “Perdarahan Sub Arcahnoid”. Refarat ini disusun
sebagai bagian dalam rangka memenuhi salah satu tugas kami sebagai
mahasiswa kedokteran yang mengikuti program studi profesi dokter di
bagian Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia periode 3 April – 6 Mei 2017.
Saya juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
pihak yang telah membantu, kepada yang terhormat konsulen kami
dr.Chyntia M. Sahetapy, Sp.S, sehingga refarat ini dapat diselesaikan sesuai
dengan waktunya.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan refarat ini masih terdapat
banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun keterbatasan referensi,
oleh karena itu kritik dan saran saya harapkan. Akhir kata, semoga Refarat
ini dapat berguna dan memberikan pengetahuan bagi kita.

Jakarta, April 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan subarachnoid


(PSA) menyiratkan adanya darah didalam ruang subarachnoid akibat
beberapa proses patologis. Penggunaan istilah medis umum SAH merujuk
kepada tipe perdarahan non-traumatik, biasanya berasal dari ruptur
aneurisma Berry atau arteriovenous malformation (AVM)/malformasi
arteriovenosa (MAV).1
Insiden tahunan PSA aneurisma non-traumatik adalah 6-25 kasus per
100.000. Lebih dari 27.000 orang Amerika menderita ruptur aneurisma
intrakranial setiap tahunnya. Insiden tahunan meningkat seiring dengan usia
dan mungkin dianggap remeh karena kematian dihubungkan dengan
penyebab lain yang tidak dapat dipastikan dengan autopsi. Beragam insiden
PSA telah dilaporkan pada daerah lain di dunia (2-49 kasus per 100.000).1
insidennya 62% pendarahan subarachnoid timbul pertama kali pada
40-60 tahun. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja,
tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid
jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Pada MAV laki-laki lebih banyak
daripada wanita.2
Mortalitas / Morbiditas dapat diperkirakan 10-15% pasien meninggal
sebelum akhirnya sampai di rumah sakit. Angka mortalitas meningkat
sebesar 40% dalam minggu pertama. Sekitar setengahnya meninggal dalam
6 bulan pertama. Angka mortalitas dan morbiditas meningkat seiring usia
dan perburukan keseluruhan kesehatan pasien. Kemajuan dalam manajemen
PSA telah menghasilkan pengurangan relatif pada angka mortalitas yang
melebihi 25%. Bagaimanapun, lebih dari 1/3 yang selamat memiliki defisit
neurologis mayor.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga
diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid).2 Diantara lapisan
dalam (pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid mater) jaringan yang
melindungan otak (meninges).3 Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan
yang mengancam nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen
yang serius.
2.2 Anatomi 2
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan
luarnya adalah duramater dan lapisan dalamnya, dibagi menjadi arachnoidea
dan piamater.
 Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang
kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal).
Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat
di tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus
venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan
dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara
bagian-bagian otak.
 Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura
dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium
subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor
cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh
trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang
menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan
piamater yang secara relative sempit dan terletak di atas permukaan
hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di
daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna
arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan.
Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan
dengan rongga sub arachnoid umum.
 Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure dan
sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke
dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia
membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung
dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk
membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim
berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea
di tempat itu.

Gambar 1. Lapisan Meningen


2.3 Epidemiologi
Pendarahan subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh gangguan
peredaran darah otak (GPDO), Usia: insidennya 62% pendarahan
subarachnoid timbul pertama kali pada 40-60 tahun. Pecahnya pembuluh
darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia
25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera
kepala. Kelamin: pada MAV laki-laki lebih banyak daripada wanita.
2.4 Etiologi
Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan
pecahnya aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam
banyak kasus PSA merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma. Penelitian
membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya bisa pecah.
Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic
hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak
ditemukan secara umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga
arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh
darah pada sum-sum tulang belakang dan perdarahan berbagai jenis tumor.2
PSA primer dapat muncul dari ruptur tipe kesatuan patologis
berikut.1
 Aneurisma sakular
 MAV
 Ruptur aneurisma mikotik
 Angioma
 Neoplasma
 Trombosis kortikal
 PSA dapat mencerminkan diseksi sekunder darah dari hematom
intraparenkim (misal perdarahan dari hipertensi atau neoplasma)
 2/3 kasus PSA non-traumatik disebabkan ruptur aneurisma sakular
 Penyebab kongenital mungkin bertanggung jawab untuk PSA
o Kejadian familial sesekali
o Frekuensi aneurisma multipel
o Hubungan aneurisma dengan penyakit sistemik tertentu termasuk
sindroma Ehlers-Danlos, sindroma Marfan, coarctatio aorta,
dan penyakit ginjal polikistik
 Faktor lingkungan yang dihubungkan dengan defek dinding pembuluh
darah dapat termasuk usia, hipertensi, merokok dan arterosklerosis.
2.5 Patofisiologi 2
Aneurisma merupakan luka yang yang disebabkan karena tekanan
hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular
atau biji aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena
dindingnya kehilangan suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung
faktor adventitia yang membantu pembentukan aneurisma. Suatu bagian
tambahan yang tidak didukung dalam ruang subarachnoid.
Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam
arteri karotid bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi
dari lingkaran wilis. Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi
terhadap 125 pasien bahwa pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan
dengan hipertensi, cerebral atherosclerosis, bentuk saluran pada lingkaran
wilis, sakit kepala, hipertensi pada kehamilan, kebiasaan menggunakan obat
pereda nyeri, dan riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki
hubungan dengan bentuk aneurisma sakular.
Aneurisma pada Arteri Serebri yang paling sering adalah aneurisma
sakular yang bersifat kongenital, di mana terjadi kelemahan dinding
vaskuler terutama yang terletak pada cabang-cabang arteri. Aneurisma
sakular terjadi pada Bifurcatio Arteri Intakranial dan bisa ruptur ke dalam
ruang Subarachnoid di dalam sisterna basalis. Sekitar 85% aneurisma terjadi
pada Sirkulasi Anterior terutama pada Sirkulus Willisi. 20% kasus
dilaporkan terjadi aneurisma multipel. Ukuran dan lokasi aneurisma sangat
penting dalam menentukan risiko ruptur. Aneurisma dengan diameter 7mm,
terletak lebih tinggi dari Arteri Basilaris atau berasal dari Arteri Comunikan
Posterior mempunyai risiko yang tinggi untuk rupture.
Infeksi sistemik seperti endokarditis bisa menyebar ke Arteri Serebri
dan menyebabkan aneurisma mikotik, dilaporkan sebanyak 2 hingga 3%
kasus dari ruptur aneurisma. Malformasi arteriovenosa adalah gangguan
komunikasi vaskuler di mana darah arterial memasuki system venous.
Sering terjadi pada Arteri Serebri Media.
Ruptur aneurisma intrakranial bisa meningkatkan tekanan
intrakranial dan menyebabkan nyeri kepala. Tekanan intrakranial bisa
mencapai tekanan perfusi sistemik dan menurunkan sirkulasi darah secara
akut, di mana bisa menyebabkan penurunan kesadaran yang terjadi pada
onset sekitar 50% dari pasien. Peningkatan tekanan intrakranial secara cepat
bisa menyebabkan perdarahan retina subhyaloid.
Gambar 2. Perdarahan Subarachnoid

Gambar 3. Aneurisma pada arteri cerebri

2.6 Gejala 3
Sebelum pecah, aneurisma biasanya tidak menyebabkan gejala-
gejala sampai menekan saraf atau bocornya darah dalam jumlah sedikit,
biasanya sebelum pecahnya besar (yang menyebabkan sakit kepala).
Kemudian menghasilkan tanda bahaya, seperti berikut di bawah ini :
o Sakit kepala, yang bisa tiba-tiba tidak seperti biasanya dan berat
(kadangkala disebut sakit kepala thunderclap).
o Nyeri muka atau mata.
o Penglihatan ganda.
o Kehilangan penglihatan sekelilingnya.
Tanda bahaya bisa terjadi hitungan menit sampai mingguan sebelum
pecah. Pasien harus melaporkan segala sakit kepala yang tidak biasa kepada
dokter dengan segera. Pecahnya bisa terjadi karena hal yang tiba-tiba, sakit
kepala hebat yang memuncak dalam hitungan detik. Hal ini seringkali
diikuti dengan kehilangan kesadaran yang singkat. Hampir separuh
penderita meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Beberapa pasien tetap
dalam koma atau tidak sadar. Yang lainnya tersadar, merasa pusing dan
mengantuk. Mereka bisa merasa gelisah. Dalam hitungan jam atau bahkan
menit, pasien dapat kembali mengantuk dan bingung. Mereka bisa menjadi
tidak bereaksi dan sulit untuk bangun. Dalam waktu 24 jam, darah dan
cairan cerebrospinal disekitar otak melukai lapisan pada jaringan yang
melindungi otak (meninges), menyebabkan leher kaku dan sakit kepala
berkelanjutan, sering muntah, pusing, dan rasa sakit di punggung bawah.
Frekwensi naik turun pada detak jantung dan bernafas seringkali terjadi,
kadangkala disertai kejang.
Sekitar 25% orang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan
kerusakan pada bagian spesifik pada otak, seperti berikut di bawah ini :
o Kelelahan atau lumpuh pada salah satu bagian tubuh (paling sering
terjadi).
o Kehilangan perasa pada salah satu bagian tubuh.
o Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa (aphasia).
Gangguan hebat bisa terjadi dan menjadi permanen dalam hitungan
menit atau jam. Demam adalah hal yang biasa selama 5 sampai 10 hari
pertama.
2.7 Diagnosis
Anamnesa 1
o Nyeri kepala
 Pasien mengalami onset mendadak nyeri kepala yang hebat.
 Nyeri kepala prodromal (peringatan) dari kebocoran darah kecil
(ditunjuk sebagai nyeri kepala sentinel) dilaporkan pada 30-50%
aneurisma PSA.
 Nyeri kepala sentinel dapat muncul beberapa jam sampai
beberapa bulan sebelum ruptur, dengan nilai tengah yang
dilaporkan adalah 2 minggu sebelum diagnosa PSA.
 Kebocoran kecil umumnya tidak memperlihatkan tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) atau
rangsang meningeal.
 Kebocoran kecil bukanlah gambaran MAV.
 Lebih dari 25% pasien mengalami kejang mendekati
onset akut; lokasi pusat kejang tidak ada hubungannya
dengan lokasi aneurisma.
 Mual dan/atau muntah
 Gejala rangsang meningeal (misal kaku kuduk, low back pain,
nyeri tungkai bilateral): ini terlihat pada lebih dari 75% kasus
PSA, namun kebanyakan membutuhkan waktu berjam-jam untuk
terbentuk.
 Fotofobia dan perubahan visus
 Hilangnya kesadaran; sekitar setengah pasien mengalami hal ini
ketika onset perdarahan.

Pemeriksaan Fisik1
Temuan pada pemeriksaan fisik bisa jadi normal, atau dokter mungkin
menemukan beberapa hal berikut:
o Kelainan neurologis global atau fokal pada lebih dari 25% pasien
o Sindroma kompresi nervus kranialis
 Kelumpuhan nervus okulomotorius (aneurisma arteri komunis
posterior) dengan atau tanpa midriasis ipsilateral.
 Kelumpuhan nervus abdusens
 Hilangnya penglihatan monokuler (aneurisma arteri oftalmika
menekan nervus optikus ipsilateral)
o Defisit motorik dari aneurisma arteri serebral media pada 15% pasien
o Tidak ada tanda-tanda lokal pada 40% pasien
o Kejang
o Tanda-tanda oftalmologis
 Perdarahan retina subhyaloid (perdarahan bulat kecil, mungkin
terlihat miniskus, dekat dengan pangkal nervus optikus),
perdarahan retina lainnya.
 Edema papil
o Tanda – tanda vital
 Sekitar setengah pasien memiliki peningkatan tekanan darah
(TD) ringan sampai sedang.
 TD menjadi labil seiring meningkatnya TIK.
 Demam tidak biasa pada awalnya namun umum setelah hari
keempat dari gangguan darah didalam ruang subarachnoid.
 Takikardi mungkin muncul selama beberapa hari setelah
kejadian perdarahan.
o Tingkatan PSA berdasarkan skema berikut:
 Grade I – nyeri kepala ringan dengan atau tanpa rangsang
meningeal
 Grade II – nyeri kepala hebat dan pemeriksaan non-fokal, dengan
atau tanpa midriasis
 Grade III – perubahan ringan pada pemeriksaan neurologis,
termasuk status mental
 Grade IV – pastinya penekanan tingkat kesadaran atau defisit
fokal
 Grade V – posturisasi pasien atau koma
o Derajat Perdarahan Subarakhnoid (Hunt dan Hess)
• Derajat 0 : tidak ada gejala dan aneurisma belum ruptur
• Derajat 1 : sakit kepala ringan
• Derajat 2 : sakit kepala hebat, tanda rangsang meningeal, dan
kemungkinan adanya defisit saraf kranialis
• Derajat 3 : kesadaran menurun, defisit fokal neurologi ringan
• Derajat 4 : stupor, hemiparesis sedang samapai berat, awal
deserebrasi
• Derajat 5 : koma dalam, deserebrasi
o Ada juga skala baru telah disusun dan diakui oleh World Federation of
Neurologic Surgeont (WFNS) melibatkan Glasgow Coma Scale :
WFN Grade GCS Motor defisit
I 15 Tidak ada
II 14-13 Tidak ada
III 14-13 Ada
IV 12-7 Ada/tidak ada
V 6-3 Ada/tidak ada
Tabel 3. Skala tingkat keparahan perdarahan subarachnoid WFN¹

Studi Laboratorium4
 Jumlah sel darah lengkap
 Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT)
 Pemeriksaan golongan darah
 Pemeriksaan golongan darah diindikasikan ketika PSA
teridentifikasi atau diduga ada perdarahan hebat.
 Transfusi intra operatif mungkin dibutuhkan
 Troponin I (cTnI): pengukuran cTnI adalah alat prediksi yang
sangat hebat pada kemunculan komplikasi pulmonal dan kardial,
namun cTnI tidak membawa nilai prognosis tambahan untuk
hasil akhir klinis pada pasien dengan aneurisma PSA.
Radiologi4
 Pilihan studi awal adalah CT-scan urgensi tanpa zat kontras
 Pada satu studi yang dipublikasikan New England Journal of Medicine,
CT scan yang berkualitas baik mengungkapkan PSA pada 100% kasus
dalam 12 jam onset dan 93% dalam 24 jam onset. Studi tradisional
lainnya melaporkan sensitivitas 90-95% dalam 24 jam onset perdarahan,
80% dalam 3 hari, dan 50% dalam 1 minggu.
 CT scan negatif palsu dapat dihasilkan dari anemia berat atau PSA
volume kecil.
 Distribusi PSA dapat menyediakan informasi tentang lokasi aneurisma
dan prognosis.
 Perdarahan intraparenkim dapat muncul dengan aneurisma arteri
komunikan media dan arteri komunikan posterior. Perdarahan
intrahemisfer dan intraventrikular dapat muncul dengan
aneurisma arteri komunis posterior.
 Hasil akhir menjadi buruk pada pasien dengan bekuan luas pada
cisterna basalis dibandingkan mereka dengan perdarahan tipis
yang difus.
 Angiografi serebral dilakukan ketika diagnosa PSA sudah dibuat.
 Studi ini menilai hal-hal berikut:
 Anatomi vaskular
 Tempat perdarahan terbaru
 Kehadiran aneurisma lainnya
 Studi ini membantu merencanakan pilihan operasi.
 Temuan angiografi negatif pada 10-20% pasien dengan PSA.
 Jika negatif, beberapa menganjurkan untuk angiografi ulangan
beberapa minggu kemudian.
 MRI jika tidak ditemukan lesi pada angiografi.
 Sensitivitasnya dalam mendeteksi darah dianggap sama atau
lebih rendah dibanding CT scan.
 Biaya lebih tinggi, availabilitas lebih rendah, dan waktu studi
yang lebih lama menjadikannya kurang optimal untuk
mendeteksi PSA.
 MRI seringnya digunakan untuk mendeteksi kemungkinan MAV
yang tidak terlihat pada angiografi.
 MRI dapat kehilangan lesi simtomatik kecil yang belum ruptur.
 Magnetic resonance angiography (MRA) kurang sensitif
dibandingkan angiografi dalam mendeteksi lesi vaskular;
bagaimanapun banyak yang percaya angiografi CT dan/atau
MRA akan memainkan peranan yang lebih terpusat suatu hari
nanti.
 Multidetector computed tomography angiography (MD-CTA)
pada pembuluh darah intrakranial sekarang ini merupakan
pemeriksaan rutin, digabungkan seutuhnya kedalam algoritma
pencitraan dan perawatan pada pasien dengan PSA akut di
banyak pusat studi di Inggris dan Eropa. *Pengurangan-digital
angiografi serebral telah menjadi kriteria standar untuk
mendeteksi aneurisma serebral, namun angiografi CT lebih
populer dan sering digunakan berdasar pada sifat non-invasifnya
dan; sensitifitas dan spesifitas dapat dibandingkan dengan
angiografi serebral.

Gambar 3. CT Brain Non Kontras


Gambar 4. Rekonstruksi CT Angiografi
Tes Lainnya4
 EKG
 Sekitar 20% kasus PSA memiliki iskemik miokard akibat
peningkatan sirkulasi katekolamin.
 Hasil khusus adalah ST non-spesifik dan perubahan gelombang-
T, segmen QRS memanjang, gelombang U, dan peningkatan
interval QT.
 Perubahan EKG mencerminkan iskemik miokard atau infark dan
harus diobati dengan cara biasa. Dugaan PSA kontraindikasi
untuk terapi trombolitik dan antikoagulan.
Prosedur4
 Lumbal Punksi
 Punksi lumbal diindikasikan jika pasien memiliki kemungkinan
PSA dan temuan CT-scan negatif.
 Melakukan CT scan sebelum punksi lumbal untuk
menyingkirkan efek massa intrakranial penting atau perdarahan
intrakranial yang nyata.
 Punksi lumbal bisa jadi negatif jika dilakukan kurang dari 2 jam
setelah perdarahan; punksi lumbal paling sensitif pada 12 jam
setelah onset gejala.
 Sel darah merah pada cairan serebrospinal meningkat secara
konsisten dalam 2 contoh tabung pada PSA, dimana jumlah sel
darah merah pada trauma punksi secara teknis menurun seiring
berjalannya waktu.
 Xanthochromia (supernatan cairan serebrospinal kuning-merah
muda) biasanya terlihat 12 jam setelah onset perdarahan;
idealnya diukur secara spektrografis walaupun banyak
laboratorium bersandar pada inspeksi visual.
 Temuan punksi lumbal disangka positif pada 5-15% dari seluruh
gambaran PSA yang tidak jelas pada CT-scan. Angka ini
mungkin tidak lagi valid dengan kehadiran generasi baru CT
scan. Tabel retrospektif kecil akhir-akhir ini meninjau ulang
tentang pasien pada bagian emergensi yang mengalami generasi
kelima CT-scan dan punksi lumbal; menunjukkan tidak ada
pasien dengan lumbal punksi positif dan CT scan negatif.

2.8 Diagnosis Banding

 Ensefalitis
 Cluster headache
 Migraine headache
 Emergensi hipertensif
 Meningitis
 Stroke hemoragik
 Stroke iskemik
 Arteritis temporal
 Transient Ischemic Attack
2.9 Pengobatan1

Perawatan pra-rumah sakit


 Menilai prosedur ABC
 Triase dan pindahkan pasien dengan tingkat kesadaran berubah atau
pemeriksaan neurologis abnormal ke pusat medis terdekat yang
memiliki CT scan dan bedah saraf.
 Idealnya, diarahkan untuk mencegah sedasi pada pasien ini.
Perawatan departemen emergensi
 Pada pasien yang diduga dengan PSA grade I atau II, perawatan
departemen emergensi dibatasi pada diagnosa dan terapi suportif.
 Identifikasi awal nyeri kepala sentinel merupakan kunci untuk
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas.
 Penggunaan sedasi dengan bijaksana.
 Amankan akses intravena selama menetap di departemen
emergensi dan pantau status neurologis pasien.
 Pada pasien dengan PSA grade III, IV, atau V (misal, pemeriksaan
neurologis berubah), perawatan departemen emergensi lebih luas.
 Menilai prosedur ABC
 Intubasi endotrakeal pada pasien melindungi dari aspirasi yang
disebabkan oleh refleks proteksi saluran nafas yang tertekan.
 Intubasi untuk hiperventilasi pasien dengan tanda-tanda herniasi:
 Thiopental dan etomidate adalah agen induksi optimal pada PSA
selama intubasi. Thiopental bekerja singkat dan memiliki efek
sitoprotektif barbiturat. Thiopental harusnya hanya digunakan
pada pasien hipertensi karena kecenderungannya menurunkan
tekanan darah sistolik, yang merupakan penyebab cedera otak
sekunder. Pada pasien hipotensi dan normotensi, gunakanlah
etomidate.
 Gunakan rangkaian intubasi cepat jika memungkinkan. Pada
prosesnya, untuk mengurangi peningkatan TIK, idealnya
gunakanlah sedasi, defasikulasi, blok neuromuskular kerja-
singkat, dan agen lain dengan kemampuan mengurangi-TIK
(seperti lidokain intravena).
 Hindari hiperventilasi berlebihan atau hiperventilasi yang tidak
mencukupi. Target pCO2 adalah 30-35 mmHg untuk
mengurangi peningkatan TIK. Hiperventilasi berlebihan
mungkin membahayakan daerah yang mengalami vasospasme.
 Cegah sedasi berlebihan, yang menyebabkan pemeriksaan
neurologis serial menjadi lebih sulit dan telah dilaporkan
meningkatkan TIK secara langsung.
 Jika disangka terjadinya herniasi, dapat dilakukan intervensi dibawah
ini:
 Gunakan agen osmotik, seperti mannitol, yang mengurangi TIK
sebesar 50% dalam 30 menit, puncaknya setelah 90 menir, dan
berakhir dalam 4 jam.
 Diuretik loop, seperti furosemid, juga menurunkan TIK tanpa
meningkatkan serum osmolalitas.
 Terapi steroid intravena untuk mengontrol edema otak adalah
kontroversial dan ditentang.
 Monitoring
 Awasi aktivitas jantung, oksimetri, tekanan darah otomatis, dan CO2
tidal-akhir, ketika diaplikasikan.
 Pengawasan CO2 tidal-akhir pada pasien yang diintubasi
memungkinkan klinisi menghindari hiperventilasi berlebihan atau
tidak mencukupi. Target pCO2 adalah 30-35 mmHg untuk
mengurangi peningkatan TIK.
 Pengawasan lini arteri invasif ketika berurusan dengan tekanan darah
yang labil (sering pada PSA tingkat tinggi).
 Obat antihipertensi
 Agen anti hipertensi sebelumnya telah dianjurkan untuk tekanan
darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 90
mmHg.
 Jaga tekanan darah sistolik dalam rentang 90-140 mmHg sebelum
pengobatan aneurisma, kemudian biarkan hipertensi untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik < 200 mmHg.
 Berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan yang akan terlibat
dalam pengobatan pasien, seiring praktek individu yang beragam.
 Gunakan pengobatan yang dapat diencerkan dengan cepat.
 Vasopresor dapat diindikasikan untuk mempertahankan tekanan
darah sistolik melebihi 120 mmHg; hal ini mencegah kerusakan SSP
pada penumbra iskemik dari vasospasme reaktif yang terlihat pada
PSA.
 Terapi adjuntif
 Sediakan oksigen tambahan untuk semua pasien dengan cacat SSP.
 Tinggikan kepala setinggi 30° untuk memudahkan drainase vena-
vena intrakranial.
 Cairan dan hidrasi
 Pertahankan euvolemia (CVP, 5-8 mmHg); jika ada vasosapsme
serebral, pertahankan hipervolemia (CVP 8-12 mmHg, atau
PCWP 12-16 mmHg)
 Jangan sampai pasien over hidrasi karena dapat meningkatkan
resiko hidrosfalus
 Pasien dengan PSA juga mengalami hiponatremia dengan
terbuangnya garam dari otak
 Serum glukosa: pertahankan pada level 80-120 mg/dL; gunakan
bolus atau infus insulin jika dibutuhkan.
 Suhu tubuh pusat: jaga agar tetap 37,2°C; berikan asetaminofen
(325-650 mg per oral setiap 4-6 jam) dan gunakan alat pendingin
jika dibutuhkan.
 Memberikan antiemetik untuk mual atau muntah.
 Berikan sedasi dengan hati-hati untuk mencegah penyelubungan
pemeriksaan neurologis, yang dapat membahayakan hasil temuan.
Bagaimanapun, cegah peningkatan TIK sehubungan dengan agitasi
luas dari nyeri dan ketidaknyamanan
 Terapi Kejang
 Penggunaan anti konvulsan sebagai profilaksis tidak dengan segera
mencegah kejang setelah PSA, tapi gunakanlah anti konvulsan pada
pasien yang memang kejang atau jika praktek lokal menginginkan
penggunaan rutin.
 Mulailah dengan anti konvulsan yang tidak merubah tingkat
kesadaran (misal, awalnya fenitoin, barbiturat atau benzodiazepin
hanya untuk menghentikan kejang aktif).
 Kalsium antagonis untuk mengurangi tingkat keparahan vasospasme
otak
 Penggunaannya yang bijak penting karena resiko kenaikan hipotensi
primer atau sekunder.
 Medikasi kerja-singkat direkomendasikan; diskusikan intervensi ini
dengan ahli bedah.
 Statin
 Statin dapat memperbaiki reaktivitas vasomotor serebral melalui
mekanisme kolesterol-dependen dan kolesterol-independen.
 Penggunaannya masih kontroversial, namun 2 studi kecil cukup
menjanjikan. Pengobatan akut dengan statin memperbaiki
vasospasme serebral dan mengurangi vasospasme sehubungan
dengan defisit iskemik tertunda.
 Magnesium
 Percobaan baru saat ini sedang mengevaluasi peran magnesium
sulfat untuk mencegah iskemik serebral tertunda. Magnesium adalah
agen neuroprotektif yang bertindak sebagai antagonis reseptor-
NMDA dan penghambat kanal kalsium. Studi dua fase telah
menunjukkan efek yang bermanfaat, dan percobaan fase ketiga
sedang berlangsung.
 Penggunaan anti fibrinolitik, seperti asam aminokaproat epsilon,
merupakan kontroversi
 Anti fibrinolitik secara kompetitif menghambat aktivasi plasminogen
dan telah dilaporkan mengurangi insiden perdarahan ulang.
 Laporan lainnya memperingatkan pengurangan efek vasospasme dan
meningkatkan kemunculan hidrosefalus. Diskusikan dengan ahli
bedah saraf tentang penggunaannya.
 Drainase ventrikular emergensi oleh ahli bedah saraf mungkin penting.
Konsultasi
 Dapatkan konsultasi bedah saraf emergensi untuk pengobatan yang
pasti.
 Intervensi radiologi mungkin dibutuhkan ketika intervensi bedah
dianggap penting oleh konsultan bedah saraf (misalnya, bekuan besar
yang menyebabkan munculnya efek massa dan membutuhkan
pengangkatan emergensi)
 Banyak pusat-pusat pemeriksaan untuk angiografi dini pada semua
pasien.
Medikasi
Tujuan medikasi adalah untuk mengurangi nyeri, edema, dan keparahan
vasospasme serebral, membebaskan mual dan muntah dan mencegah
konvulsi.
Analgetik
Kontrol nyeri penting untuk kualitas perawatan pasien. Analgetik
memastikan kenyamanan pasien. Kebanyakan analgetik memiliki
kemampuan sedasi yang menguntungkan pasien yang didukung oleh
trauma.
 Fentanyl citrate (Sublimaze)
Dosis Dewasa : 2- 3 mcg/kg BB i.v; tidak boleh melebihi 50 mcg
Antiemetik
 Promethazine (phenergan)
Obat anti dopaminergik yang efektif dalam mengobati muntah.
Menghambat reseptor dopaminergik mesolimbik post sinaptik di
otak dan mengurangi stimulus pada sistem retikular batang otak.
Dosis Dewasa : 12,5 mg p.o/p.r 3 x sehari
25 mg i.v/i.m; diulang setiap 2 jam seperlunya
Antikonvulsi
Obat ini digunakan untuk mencegah kejang paska trauma.
Penggunaan pada pasien dengan PSA yang tidak kejang merupakan
kontroversi dan bergantung pada pilihan bedah saraf masing-masing
individu; biasanya digunakan pada pasien yang kejang. Mungkin diberikan
dosis awal konvensional.
 Phenytoin (Dilantin)
Bekerja di korteks motorik, dimana fenitoin dapat menghambat
aktivitas kejang; aktivitas pusat batang otak yang bertanggung jawab
pada fase tonik kejang grand mal juga dihambat.
Dosis Dewasa
Dosis muatan : 15-20 mg/kg BB p.o/i.v sekali atau dalam dosis
terbagi, diikuti dengan 100-150 mg/dosis
dengan interval 30 menit
Dosis awal : 100 mg (suspensi 125 mg) p.o/i.v dibagi 3 x/hari
Maintenance : 300-400 mg/hari p.o/i.v dibagi 3 x/hari (1 x
sehari/2 x sehari jika darurat); naikkan menjadi
600 mg/hari (suspensi 625 mg) seperlunya;
tidak lebih dari 1500 mg/hari; infus rata-rata
tidak lebih dari 50 mg/menit
 Fosphenytoin (Cerebyx)
Garam ester difosfat pada fenitoin yang bekerja sebagai prodrug
fenitoin larut-air; esterase plasma merubah fosfenitoin menjadi
fosfat, formaldehida, dan fenitoin; fenitoin, pada gilirannya,
menstabilkan membran neuron dan menurunkan aktivitas kejang.
Dosis ditampilkan sebagai phenytoin equivalents (PE) untuk
menghindari perlunya melakukan penyesuaian berbasis berat
molekul ketika mengubah antara dosis sodium fosfenitoin dan
fenitoin. Pemberian secara intravena merupakan pilihan dan harus
digunakan pada situasi emergensi
Dosis :Dewasa
Dosis muatan : 15-20 mg PE/kg BB i.v/i.m pada 100-150 mg
PE/menit
Maintenance : 4-6 mg PE/kg BB/hari i.v/i.m pada 150 mg
PE/menit untuk meminimalkan resiko
hipotensi
Agen Osmotik
Obat ini digunakan dalam usaha menurunkan TIK dan edema otak
dengan menciptakan gradien osmotik melewati sawar darah otak yang tetap
utuh; sebagaimana difusi air dari otak ke kompartemen pembuluh darah,
TIK menurun.
 Mannitol (Osmitrol, Resectisol)
Dapat mengurangi tekanan ruang subaraknoid dengan menciptakan
gradien osmotik antara CSS didalam ruang subaraknoid dan plasma;
tidak untuk pemakaian jangka panjang
Dosis Dewasa : Awalnya menilai kecukupan fungsi ginjal dengan
memasukkan dosis percobaan sebesar 200 mg/kg
BB i.v selama 3-5 menit (harus menghasilkan urin
sekurang-kurangnya 30-50 mL/jam urin selama 2-
3 jam) 1,5-2 g/kg BB sebagai larutan 20% (7,5-10
mL/kg BB) atau larutan 15% (10-13 mL/kg BB)
i.v selama setidaknya 30 menit
Diuretik
Obat ini digunakan untuk menurunkan volume plasma dan edema
dengan menyebabkan diuresis.
 Furosemide (Lasix)
Digunakan pada keadaan akut untuk mengurangi peningkatan TIK.
Mekanisme usulan dalam menurunkan TIK termasuk berikut: (1)
supresi ambilan sodium serebral, (2) hambatan karbonik anhidrase
menghasilkan pengurangan produksi CSS, dan (3) hambatan pompa
kation-klorida membran sel, dengan demikian mempengaruhi
perpindahan air kedalam sel astroglial.
Dosis Dewasa : 20-40 mg/hari i.v/i.m diberikan lambat; bergantung
pada respon, berikan pada kenaikan 20-40 mg, tidak lebih dari 6-8
jam setelah dosis sebelumnya, sampai muncul diuresis yang
diinginkan
Penghambat kanal kalsium
Obat ini dapat mengurangi efek mengganggu influks kalsium pada
pasien dengan trauma saraf akut. Sayangnya studi eksperimental
menggunakan penghambat kanal kalsium konvensional pada model cedera
kepala, hasilnya mengecewakan secara keseluruhan; bagaimanapun,
beberapa studi menyarankan penghambat kanal kalsium yang mungkin
efektif dalam mengurangi edema otak dan disfungsi kognitif dibandingkan
dengan plasebo.
 Nimodipine (Nimotop)
Digunakan untuk memperbaiki cacat neurologis akibat spasme yang
mengikuti PSA disebabkan ruptur kongenital aneurisma intrakranial
pada pasien dalam kondisi neurologis yang baik. Ketika penelitian
menunjukkan manfaatnya, tidak ada bukti yang mengidentifkasikan
obat untuk mencegah atau mengurangi spasme arteri serebral;
karenanya mekanisme aksi sesungguhnya tidak diketahui.
Dosis Dewasa : 60 mg p.o/n.g setiap 4 jam selama 21 hari
Agen Hemostatik
Obat ini merupakan penghambat poten fibrinolisis dan dapat
membalik keadaan yang dihubungkan dengan fibrinolisis luas.
Penggunaannya masih kontroversial; dihimbau untuk berkonsultasi dengan
dokter sebelum menggunakannya.
 Aminocaproic acid (Amicar)
Menghambat fibrinolisis melalui hambatan substansi plasminogen
activator dan, untuk mengurangi derajatnya, melalui aktivitas anti
plasmin. Masalah utama pada penggunaan obat ini adalah trombus
yang terbentuk selama pengobatan tidak mengalami lisis dan
efektivitasnya tidak pasti. Telah digunakan untuk mencegah
rekurensi PSA.
Dosis Dewasa : 36 g/hari p.o/i.v dibagi dalam 6 dosis,
tidak boleh melebihi 30 g/hari
Obat anti hipertensi
Obat ini digunakan dalam usaha mengurangi TIK dengan mengurangi
tekanan darah perifer.
 Nitroprusside (Nitropress)
Menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan aktivitas inotropik
jantung. Kerja-singkat dan poten. Pentingnya pengawasan yang
cermat.
Dosis Dewasa:
Dosis awal : 0,3-0,5 mcg/kg BB/menit i.v; meningkat pada
kenaikan 0,5 mcg/kg BB/menit; pengenceran
untuk mendapatkan efek hemodinamik
Dosis rata-rata : 3 mcg/kg BB/menit
 Labetalol (Trandate, Normodyne)
Menghambat kedudukan reseptor α, β-1 dan β-2 adrenergik;
menurunkan TD
Dosis Dewasa : 20-30 mg i.v selama 2 menit diikuti
dengan 40-80 mg selang 10 menit;
tidak boleh melebihi 300 mg/dosis
2.10 Komplikasi 1,8
 Hidrosefalus dapat terbentuk dalam 24 jam pertama karena obstruksi
aliran CSS dalam sistem ventrikular oleh gumpalan darah.
 Perdarahan ulang pada PSA muncul pada 20% pasien dalam 2 minggu
pertama. Puncak insidennya muncul sehari setelah PSA. Ini mungkin
berasal dari lisis gumpalan aneurisma.
 Vasospasme dari kontraksi otot polos arteri merupakan simtomatis pada
36% pasien.
 Defisit neurologis dari puncak iskemik serebral pada hari 4-12.
 Disfungsi hipotalamus menyebabkan stimulasi simpatetik berlebihan,
yang dapat menyebabkan iskemik miokard atau menurunkan tekanan
darah labil.
 Hiponatremia dapat muncul sebagai hasil pembuangan garam serebral.
 Aspirasi pneumonia dan komplikasi lainnya dapat muncul.
 Disfungsi sistole ventrikel kiri: disfungsi sistole ventrikel kiri pada
orang dengan PSA dihubungkan dengan perfusi miokard normal dan
inervasi/persarafan simpatetik abnormal. Temuan ini dijelaskan oleh
pelepasan berlebihan norepinefrin dari nervus simpatetik miokard, yang
dapat merusak miosit dan ujung saraf

2.11 Prognosis1,8

 Munculnya defisit kognitif, bahkan pada kebanyakan pasien yang


dianggap memiliki hasil akhir yang baik.
 Lebih dari 1/3 yang selamat dari PSA memiliki defisit neurologis mayor.
 Faktor yang mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas adalah
sebagai berikut:
o Beratnya perdarahan
o Derajat vasospasme serebral
o Muculnya perdarahan ulang
o Lokasi perdarahan
o Usia dan kesehatan keseluruhan pasien
o Kemunculan kondisi komorbid dan sumber dari rumah sakit (misal
infeksi, infark miokard)
o Angka ketahanan hidup dihubungkan dengan tingkatan PSA saat
munculnya. Laporan menggambarkan angka ketahanan hidup 70%
untuk grade I, 60% untuk grade II, 50% untuk grade III, 40% untuk
grade IV dan 10% untuk grade V.11
BAB III
PENUTUP

Orang yang mengalami subarachnoid hemorrhage dirawat di rumah


sakit dengan segera. Istirahat total tanpa alasan adalah perlu. Analgesik
seperti opoid (tetapi bukan aspirin atau obat-obatan anti-inflammatory
nonsteroidal lainnya, yang dapat memperburuk pendarahan) diberikan untuk
mengendalikan sakit kepala hebat. Pelembut tinja diberikan untuk mencegah
bersusah payah selama buang air besar. Nimodipine, penghambat saluran
kalsium, biasanya diberikan melalui mulut untuk mencegah vasospasm dan
stroke ischemis berikutnya. Dokter melakukan penghitungan (seperti
memberikan obat-obatan dan menyesuaikan jumlah cairan infus yang
diberikan) untuk menjaga tekanan darah pada level rendah yang cukup
untuk menghindari pendarahan lebih lanjut dan cukup tinggi untuk menjaga
aliran darah menuju bagian-bagian rusak pada otak. Kadangkala, potongan
tabung plastik (shunt) kemungkinan diletakkan di dalam otak untuk
mengeringkan cairan cerebrospinal keluar dari otak. Prosedur ini
menghilangkan tekanan dan mencegah hydrochepalus.1,2,5
Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat.
Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang
dipasang selang drainase didalam otak untuk mengurangi
tekanan.Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri
yang lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari.
Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya sangat tinggi, terutama pada
penderita yang mengalami koma atau stupor. Sebagian besar ahli bedah
menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari setelah
timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang
mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan
terjadinya perdarahan kembali. 4,8,11
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfa AY, Soedomo A, Toyo AR, Aliah A, Limoa A, et al. Gangguan


Peredaran Darah Otak (GPDO) Dalam Harsono ed. Buku Ajar Neurologi
Klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Madya University Press; 2009. hal. 59-
107
2. Lombardo MC. Penyakit Serebrovaskular dan Nyeri Kepala Dalam: Price
SA eds. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 4th ed. Jakarta:
EGC; 2008. p. 961-79
3. Listiono, Djoko. L. Stroke Hemorhagik. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta :
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama ; 2008. pg 180-204.
4. Lindsay KW, Bone I. Localised Neurological Disease and Its Management.
Neurology and Neurosurgery illustrated. London: Churchill Livingstone;
2004. p. 238-44
5. Feigin V. Memahami Faktor Resiko Stroke. Stroke Panduan Bergambar
Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke. Jakarta: Penerbit PT Bhuana
Ilmu Populer; 2006. p. 22-43
6. Sacco RL, Toni D, Brainin M, Mohr JP. Classification Of Ischemic Stroke
In: Clinical Manifestation In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf
PA eds. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 4th ed.
Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004. p 61-74
7. Mardjono M, Sidharta P. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf
Pusat Dalam Mardjono M, Sidharta P eds. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 9.
Jakarta: PT Dian Rakyat; 2003. hal. 269-92
8. Caplan LR, Chung C-S. Neurovascular Disorders In: Goetz CG eds.
Textbook Of Clinical Neurology. 2nd ed. Chicago: Saunders; 1996. p. 991-
1016
9. Georgiadis D, Schwab S, Werner H. Critical Care of The Patient with Acute
Stroke In: Therapy In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA eds.
Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 4th ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone; 2004. p. 987-1024
10. Mendelow AD. Intracerebral Hemorrage In: Therapy In: Mohr JP, Choi
DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA eds. Stroke Pathophysiology, Diagnosis,
and Management. 4th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004. p.
1217-30

Anda mungkin juga menyukai