Laporan Kasus Sindroma Nefrotik
Laporan Kasus Sindroma Nefrotik
IDENTITAS PASEN
Nama : Tn. S
Usia : 18 Tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
I. ANAMNESIS
SMRS
Keluhan Tambahan : Mata Bengkak setisp bangun tidur, Lemas, Mual Muntah
Pasien datang ke poli dengan untuk kontrol rutin. Pasien mengeluh BAK berbuih
sejak 1 minggu SMRS. Nyeri saat buang air kecil (-). Sebelumnya pada bulan agustus
2014 pasien datang dengan keluhan bengkak tubuh yang dialami 1 minggu sebelum
datang ke poli. Bengkak dirsakan timbul secara perlahan, bengkak pertama kali muncul
pada daerah wajah dan tampak pada saat bangun tidur. Pasien juga mengaku bengkak
menjalar ke tangan, perut dan terakhir menjalar sampai ke kaki. Bengkak dirasakan
semakin lama bertambah. Bengkak pada kaki jika ditekan bengkak membentuk
cekungan. Tidak ada demam. Badan terasa lemas dan nafsu makan menurun. Saat ini
pasien tidak mengeluhkan adanya demam. Mual-muntah (+). Nyeri pada dada (-). Nyeri
Perut (+). Riwayat kencing berpasir (-), BAK berbuih (+), BAK selalu tuntas (+), nyeri
pada saat BAK (-), BAK berdarah (-). BAB Tidak ada keluhan. Riwayat mengkonsumsi
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama bengkak seluruh tubuh pada
Hipertensi (-)
Asma (-)
Alergi (-)
Ayah Hipertensi
Riwayat Alergi
Kesadaran : Komposmentis
Status Gizi :
BB : 55 kg
BB Ketika sakit : 49 kg
TB : 170 cm
Kesimpulan : Underweight
A. TANDA VITAL
Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37.2ºC
B. STATUS GENERALIS
Mata : Konjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-, Edema Palpera (-/-)
Paru – paru :
Jantung :
Perkusi :
Abdomen :
Akral : Hangat
Edema : +/+
Pasien laki-laki 18 tahun dengan ke poli untuk kontrol rutin. Pasien mengeluh
BAK berbuih sejak 1 minggu SMRS. Nyeri saat BAK (-),Riwayat kencing
berpasir (-), BAK berbuih (+), BAK selalu tuntas (+). Nausea vomitus (+).
Nyeri Perut (+). Riwayat sindroma nefrotik sebelumnya (+). Edema palpebra
Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37.2ºC
Cholinesterase H 14.187kU/L
Urinalisis
Albumin Urine 4+
Sindroma Nerfrotik
V. ASSESMENT
Sindroma Nefrotik
S: BAK berbuih, Bengkak pada kelopah maa seiap bangun tidur. Riwayat
A: Sindroma nefrotik
P:
Non-medikamentosa
Medikamentosa
Kortikosteroid
ACE inhibitors dan angiotensin receptor blocker
OAINS
Siklofosfamid dan Klorambusil
Siklosporin A
Diuretik
Antikoagulan
Penurun Lemak
Antibiotik
VI. HASIL LABORATORIUM
SGPT 20.30
Test Urin
Color Yellow
pH 7.0
Urobilinogen <1
Bilirubin Negative
Albumin Urine 2+
Keton Negative
Leukosyt esterase 1+
Nitrit Negative
Blood urine 1+
Leukosit Banyak
Eritrosit 3-6
Epitel Positif
Bacterial +
Cast Positif
Granula 2-4
Cholinesterase H 14.187kU/L
Urinalisis
Albumin Urine 4+
HASIL EKG
BAB II
PENDAHULUAN
SINDROM NEFROTIK
Parenkim ginjal terdiri atas dua daerah khusus: korteks ginjal yang terletak di sebelah
luar dan tampak granuler, serta daerah bagian dalam yang berupa segitiga bergaris-garis
(piramid ginjal) yang secara kolektif disebut sebagai medula ginjal (Sherwood, 2001). Tiap-
tiap piramid dipisahkan oleh kolumna Bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks,
sedangkan puncaknya (papila marginalis) membentuk duktus papilaris Bellini masuk ke
dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor, yang selanjutnya
bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter (Wilson, 2006).
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional (satuan terkecil yang mampu
membentuk urin) berukuran mikroskopik yang disebut nefron (Sherwood, 2001). Setiap
nefron terdiri dari kapsul Bowman dan kapiler glomerolus yang dilingkupinya, tubulus
kontortus proksimal, ansa Henle, tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke tubulus
pengumpul (Wilson, 2006). Setiap ginjal memperoleh pasokan darah dari arteri renalis. Pada
saat memasuki ginjal, arteri renalis bercabang-cabgang hingga akhirnya menjadi arteriol
aferen dengan setiap pembuluh tersebut memperdarahi sebuah nefron (Sherwood, 2001;
Wilson, 2006).
C. Faal Glomerolus
Glomerolus merupakan bagian dominan pada komponen vaskuler nefron (Sherwood,
2001). Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke
tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik
intrakapiler dan tekanan koloid osmotik (Rauf, 2002).
Dalam keadaan normal, ginjal menerima 20% sampai 25% dari curah jantung atau 1.200-
1.250 mL/menit (RBF) (Sherwood, 2001; Wilson, 2006). Bila hematokrit normal dianggap
45%, maka aliran plasma ginjal (RPF) sama dengan 660 mL/menit (Wilson, 2006). Dalam
keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerolus difiltrasi dengan tekanan
filtrasi netto 10 mmHg, menghasilkan laju filtrasi glomerolus rata-rata (GFR) 125 mL/menit
(Sherwood, 2001). Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau diambil berbagai
zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang dieksresi sebagai urin
(Wilson, 2006).
D. Etiologi
Etiologi sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi (Prodjosudjadi, 2007):
Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati,
dan kehilangan albumin melalui urin (Prodjosudjadi, 2007). Pada sindrom nefrotik,
hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat sebagai usaha
kompensasi (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin),
tetapi mungkin normal atau menurun (Gunawan, 2006).
Edema
Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia. Ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskuler, tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga
edema semakin berlanjut (Prodjosudjadi, 2007).
Namun, pada awal tahun 1940an, khususnya pada dua dekade terakhir, banyak
studi yang mendukung adanya konsep yang berlawanan dengan teori underfill. Meskipun
beberapa pasien dengan sindrom nefrotik lesi minimal memiliki volume plasma yang
endah, banyak pasien dengan sindrom nefrotik tidak memiliki manifestasi klinis seperti
yang diharapkn pada teori underfill (penurunan volume plasma, peningkatan sodium-
retaining hormones, dan sebagainya) (Hamm dan Batuman, 2003).
Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Teori ini menjelaskan bahawa retensi
natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstravaskuler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerolus
akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema (Prodjosudjadi,
2007).
Hiperlipidemi
Kadar kolesterol umumnya meningkat, sedangkan trigliserida bervariasi dari
normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya
LDL. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL. Selain itu
ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein
(Lp)a, sedangkan HDL cenderung normal atau rendah (Prodjosudjadi, 2007).
Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X,
trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta
menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI) (Gunawan, 2006).
F. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Perlu diperhatikan masalah penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat
penyakit sistemik lain (Prodjosudjadi, 2007).
2. Pemeriksaan fisik
Terdapat edema anasarka. Tidak jarang mata tertutup akibat edema pada kelopak mata.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan urin, meliputi protein urin, urinalisis, hamaturia, dipstick urin, berat
jenis urin, dan pemeriksaan sedimen. Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam
(fase oliguria) (Betz dan Sowden, 2002; Prodjosudjadi, 2007).
Pemeriksaan darah, meliputi kadar albumin dalam serum, kolesterol serum,
trigliserid, hemoglobin, hematokrit, laju endap darah (LED), dan elektrolit serum
(Betz dan Sowden, 2002; Prodjosudjadi, 2007).
Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab sindrom nefrotik sekunder.
Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya
mahal karena itu sebaiknya hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat
(Prodjosudjadi, 2007).
G. Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium berupa proteinuria masif (>3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemia (<3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.
Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis
vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada sindrom nefrotik primer untuk
menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon
terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal (Gunawan, 2006).
H. Penatalaksanaan
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik terhadap penyakit dasar
dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan
mengobati komplikasi.
1. Non-medikamentosa
Diet untuk pasien sindrom nefrotik adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi
risiko komplikasi yang ditimbulkan. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1,0 g/kgBB/hari.
Pada pasien dengan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein
sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat,
dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-
2 gram natrium/hari) disertai diuretik dan tirah baring.
2. Medikamentosa
Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa
pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang
baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Pada kebanyakan pasien nefropati
membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk
jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka pemakaian
glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini tidak direkomendasikan.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada sindrom nefrotik bermacam-macam, di
antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis
dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi.
Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat
badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4
minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu
namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.
2
Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg
2
berat badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m luas permukaan tubuh setiap 2
hari selama 4 minggu.
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi
parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (<200 mg/24
jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum <300 mg/dl, diuresis lancar, dan edema
hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol
serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika
klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah
pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid memberi remisi
lengkap pada 67% kasus sindrom nefrotik nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau
parsial pada 50% sindrom nefrotik nefropati membranosa dan 20%-40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian
kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,
hipertensi, diabetes mellitus.
OAINS
Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) dapat digunakan pada pasien nefropati
membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis
prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler
glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain
itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah
agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan
penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan
bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.
Siklosporin A
Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid
atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5
mg/kg/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25%
setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan
prednisolon pada kasus sindrom nefrotik yang gagal dengan kombinasi terapi lain.
Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi,
hipertensi dan nefrotoksis
Diuretik
Untuk mengurangi edema diberikan diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan
tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic
(spironolakton). Bila resisten dengan furosemid oral dapat dikombinasi dengan tiazid,
metalazon, atau asetazolamid.
Pada pasien sindrom nefrotik dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg
furosemid dan 200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat
multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat
ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan
mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat diberikan infus salt-poor
human albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma,
meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin, dan ekskresi natrium. Namun
demikian infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat
diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema
paru pada pasien hipervolemi.
Antikoagulan
Risiko tromboemboli meningkat pada sindrom nefrotik dan perlu mendapat
penanganan. Walaupun pemberian jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu
studi terbukti memberikan keuntungan. Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas
yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus sindroma nefrotik
(paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau
aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus.
Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi ginjal
dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami
proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus
diberikan heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral
sampai 3 bulan atau setelah terjadi kesembuhan sindrom nefrotik. Pemberian heparin
dengan pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol
sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT) yang biasa
dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali normal.
Penurun Lemak
Dislipidemia pada sindrom nefrotik belum secara meyakinkan meningkatkan
risiko penyakit kardiovaskuler, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong
pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin
seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.
Antibiotik
Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis)
diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G
intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian
imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak, herpes.
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal
akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan pada
umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi
ginjal. Pada pasien glomerulo-sklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal,
15%-55% akan kembali terjadi sindrom nefrotik. Rekurensi mungkin disebabkan oleh
adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan
permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein
urin pada pasien sindrom nefrotik karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati
membranosa maupun sindrom nefrotik sekunder karena diabetes melitus. Diduga
imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang
meningkatkan permeabilitas glomerulus.
I. Prognosis
Mortalitas dan prognosis pasien dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi,
berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya terhadap
pengobatan (Betz dan Sowden, 2002).
BAB III
PENUTUP
Betz, C. L. dan Sowden, L. L. 2002. Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC. pp: 335-336.
Hamm, L. L. dan Batuman, V. 2003. Edema in the Nephrotic Syndrome: New Aspect of an Old
Enigma. JASN. 14: 3288–3289. http://jasn.asnjournals.org/cgi/reprint/14/12/3288
Prodjosudjadi, W. 2007. Sindrom Nefrotik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed:
Aru W. Sudoyo dkk. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. pp: 547-549.
Rauf, S. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UH.
p: 4.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2, Alih Bahasa: Brahm U.
Pendit. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 463-475.
Wilson, L. M. 2006. Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih. Dalam: Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Ed: Sylvia A. Price dan Lorraine M.
Wilson. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
pp: 867-875.