Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP BAGIAN BANGSAL

RSUD RAA SOEWONDO PATI

Disusun oleh:

dr. Desi Ratna Ningsih

Pembimbing:

dr. Joko Mardianto

dr. Reni Kurniawati

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RSUD RAA SOEWONDO PATI

TAHUN 2018/2019
I. IDENTITAS
a. Nama : by. Ny. R
b. Usia : 7 hari
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Alamat : Muktiharjo RT 3/6
e. Pekerjaan Orang tua : Bidan
f. Tanggal dirawat : 15 Oktober 2018
g. Ruang perawatan : Perinatal Level 1
h. No. RM : 2142xx

II. ANAMNESIS
Pasien dirawat di ruang Perinatal level 1 pada tanggal 15 Oktober
2018 diantar orang tuanya (alloanamnesis).
a. Keluhan utama : kuning
b. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien bayi datang ke Poli RSUD RAA Soewondo Pati pada tanggal
15 Oktober 2018 dengan keluhan badan kekuningan seluru tubuh kecuali
telapak tangan dan kaki sejak 2 hari setelah lahir. Gejala kuning dimulai
dahi, kepala, leher berlanjut area dada, perut, semakin bertambah pada
lengan, tungkai, tangan dan kaki. Keadaan umum bayi nampak lemes dan
rewel. Menurut orang tua bayi, kulit bayi nampak kering, bayi BAB hitam
1 hari setelah lahir. BAB lembek 3-5x/hari berwarna kuning, BAK kuning
jernih dan sering. Bayi nampak malas minum ASI dan lebih sering tidur.
Bayi sering muntah (gumoh) setelah disusui. Pemberian susu formula
disangkal. Demam disangkal.
Bayi lahir tanggal 08 Oktober 2018 secara SC. Saat lahir menangis
kuat, gerak aktif dan tidak sianosis. Berat badan 2500 gram, panjang badan
44 cm, lingkar kepala 31 cm, heart rate 136 kali/menit, respirasi rate 50
kali/menit, dan suhu tubuh 36,7oC. Keluarga pasien tidak ada yang
mengeluh menderita hepatitis. Pada pemeriksaan golongan darah ibu
didapatkan hasil golongan darah [A,Rh+] dan ayah golongan darah A.
c. Riwayat penyakit dahulu:
 Diare : disangkal
 Asfiksia : disangkal
 Demam : disangkal
 Kejang : disangkal
 Perdarahan spontan : disangkal
 Hepatitis : disangkal
 Atresia bilier : disangkal
d. Perawatan Persalinan
 Suction : dilakukan
 Penyuntikan vit . K : dilakukan
 Pemberian tetes mata : dilakukan
 Perawatan tali pusar : dilakukan
e. Riwayat Imunisasi :
 HB0 : diakui
f. Riwayat Penyakit Keluarga :
 Hepatitis : disangkal
 Sirosis hepatis : disangkal
 Def. Glukosa 6 Fosfat Dehidrogenase : disangkal
 Anemia : disangkal
 Riwayat tranfusi : disangkal
 Riwayat neonatus ikterik : disangkal
g. Riwayat kehamilan :
 DM : disangkal
 Gawat janin : disangkal
 Malnutrisi intrauterin : disangkal
 ISK : disangkal
 Pengunaan obat : disangkal (hanya mengkonsumsi obat
vitamin kehamilan)
h. Riwayat persalinan :
 P1Ao lahir SC ec presentasi bokong dan Oligohidramnion UK 38
minggu.
i. Sosial ekonomi : Keadaan ekonomi cukup

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : lemes
b. Kesadaran : stupor
c. BB : 2500 gram
d. Tanda Vital :
HR : 136 x/menit, reguler, isi, dan tegangan
cukup
suhu : 36,7o C
RR : 50 x/menit
e. Kepala : mesocephal, caput succedanum (-), cepal haematom (-).
f. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil isokor,
ref. Pupil (+/+), konjungtivitis (-/-), katarak kongenital (-/-)
g. Telinga : dbn, simetris, serumen (-),
h. Hidung : dbn, secret -/-, septum deviasi -/-, choncha anemis -/-,
nafas cuping hidung (-/-)
i. Mulut : pucat (-), kering (+), kuning (+), lidah kuning (+), pallatum
kuning (+)
j. Leher : pembesaran KGB (-/-)
k. Thorax : simetris
Cor
Inspeksi : dbn, iktus kordis terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Auskultasi : suara jantung I dan II reguler, suara tambahan (-)
Perkusi : batas jantung normal, pekak

Pulmo
Inspeksi : gerak nafas simetris/ tidak ada nafas tertinggal, retraksi dada
(-) hernia diafragmatika (-)
Palpasi : krepitasi (-), massa (-)
Auskultasi : vesikuler dex et sin
l. Abdomen :
Inspeksi : gerak usus (+), supel, hernia umbilikalis (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : massa (-)
Hepar : dbn
Lien : dbn
Ren : dbn
m. Punggung : spina bifida (-)
n. Extremitas : sianosis (-), akral dingin (-), ikterik (+/+)
Reflek primitif: rooting (+), sucking (+), Tonic neck reflek (+), reflek moro
(+)
o. Genital : Labia dbn
p. Anus : lubang anus (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal : 15 Oktober 2018
Bilirubin Total : 15,67 mg/dl
Bilirubin Direct : 0,77 mg/dl
Bilirubin Indirect : 14, 90 mg/dl

V. DIAGNOSA BANDING
Ikterik fisiologis
Ikterik patologis

VI. DIAGNOSA KERJA

Neonatus Hiperbilirubin

VII. TERAPI
Terapi sinar 1,5 x 24 jam

Monitor : Keadan umum, ikterus dan tanda vital.

VIII. FOLLOW UP
Tanggal 16-10-2018
S: kuning (+)
O: KU : aktif, menangis, kulit mengelupas, BAB (+), BAK (+)
HR : 148 kali/menit S : 36,4o C
RR : 52 kali/menit SpO2 : 99 %
A: hiperbilirubin neonatus
P: Foto terapi
BB Cairan Kalori Protein
2500 gr 431,25 cc 250 5
ASI 431,25 cc 280,31 6,47

I. KEBUTUHAN CAIRAN DAN ENERGI


BB = 2500 gram
Usia = 7 hari

Kebutuhan cairan neonatus-bayi 2-10 kg ( 4 hari-2 mingu) : 150- 200cc /kgBB/


hari
Cairan: 2,5 kg x 175 cc = 437, 5 cc

Kebutuhan kalori bayi usia 4-10 hari : 150-200 kkal/kg BB/hari


Kalori : 100 kkal x 2,5 kg = 250 kkal

Protein : 2,5 g/ kgBB/hari: 2,5 x 2,5 kg = 6,25 kal/ hari


TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat hiperbilirubinemia atau akumulasi bilirubin


dalam darah. Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup
bulan dan 80% bayi kurang bulan. Ikterus pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis
dan pada sebagian lagi mungkin bersifat patologis, yang dapat menimbulkan gangguan yang
menetap atau menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan sifat bilirubin indirek yang
neurotoksik. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian agar
akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.1

DEFINISI

Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai akumulasi berlebihan bilirubin serum


sehingga kulit dan atau sklera tampak ikterik. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak
apabila serum bilirubin > 2 mg/dL, sedangkan pada neonatus baru tampak apabila kadar BTS
>5 mg/dL (86 μmol/L).4 Secara klinis hiperbilirubinemia tampak sebagai ikterus, yaitu warna
kuning pada kulit dan mukosa yang disebabkan karena deposisi produk akhir katabolisme
heme.2,3,5 Dibeberapa institusi, bayi dinyatakan menderita hiperbilirubinemia apabila kadar
BTS mencapai ≥12 mg/dL pada bayi aterm, sedangkan pada bayi preterm bila kadarnya ≥10
mg/dL. Pada kadar ini, pemeriksaan yang mengarah pada proses patologis harus dilakukan.6
Hiperbilirubinemia merupakan kejadian yang sering dijumpai pada minggu-minggu pertama
setelah lahir. Penyebab terbanyak hiperbilirubinemia adalah karena peningkatan kadar BIS.
Secara umum dinyatakan bahwa seorang bayi dianggap ’bermasalah’ bila kadar BIS >10
mg/dL, umumnya dapat ditemukan penyebab patologis pada bayi ini.5,7,12
BIS bersifat neurotoksik bagi bayi pada kadar dan keadaan tertentu. Bilirubin direk
tidak bersifat neurotoksik namun kadar yang tinggi menunjukkan kemungkinan adanya
gangguan yang serius.1,6,7,10
Nilai rujukan bilirubin serum untuk bayi baru lahir adalah sebagai berikut : 2

Prematur Aterm

Tali pusat < 2 mg/dL < 2 mg/dL


0-1 hari < 8 mg/dL < 6 mg/dL

1-2 hari < 12 mg/dL < 8 mg/dL

2-5 hari < 16 mg/dL < 12 mg/dL

Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus


ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak
dikendalikan(Mansjoer,2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar,
tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan
sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani(Etika et al,2006).

Gambar 2.1 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram
Bhutani
EPIDEMIOLOGI

Ikterus lebih sering terjadi pada bayi laki-laki. Insidens sangat bervariasi, lebih sering
terjadi pada Asia Timur dan Indian-Amerika. Frekuensi juga lebih tinggi pada orang Yunani
yang hidup di Yunani daripada yang hidup di luar. Bayi Afro-Amerika yang mengalami
ikterus biasanya berhubungan dengan defisiensi G6PD.3

ETIOLOGI

Etiologi hiperbilirubinemia indirek dibagi menjadi :7


1. Etiologi yang sering :
a. Hiperbilirubinemia fisiologis
b. Inkompatibilitas golongan darah ABO dan Rhesus
c. Breast milk jaundice
d. Infeksi
e. Subdural hematom/ sefal hematom, ekimosis, hemangioma
f. Bayi dari ibu diabetes mellitus
g. Polisitemia/ hiperviskositas
2. Etiologi yang jarang :
a. Defisiensi G6PD
b. Defisiensi piruvat kinase
c. Sferositosis kongenital
d. Lucey-Driscoll syndrome
e. Crigler-Najjar disease
f. Hipotiroidisme
g. Hemoglobinopati

Kadar BIS juga ditentukan oleh beberapa faktor seperti : kecepatan produksi bilirubin,
kadar albumin, dan obat-obatan (sulfonamid, diuretikum, salisilat).4,5,7,10 Hiperbilirubinemia
lebih sering terjadi pada bilirubin indirek, walaupun dapat pula dijumpai peningkatan kadar
bilirubin direk dalam darah. Penyebabnya antara lain:4
 Hiperbilirubinemia fisiologik
 Anemia hemolitik
a. kongenital : sferositosis herediter, defisiensi piruvat kinase, defisiensi
G6PD.
b. acquired : inkompatibilitas ABO atau Rhesus, infeksi, obat-obatan.
 Polisitemia
 Perdarahan
 Defek glukoronil transferase : tipe I (sindrom Crigler-Najjar), tipe II, sindrom
Gilbert, sindrom Lucey-Driscoll
 Breast milk dan breast feeding jaundice
 Gangguan metabolik : galaktosemia, hipotiroidisme, maternal diabetes
 Peningkatan siklus enterohepatik : obstruksi saluan cerna

PATOFISIOLOGI

Metabolisme Bilirubin 2,5

Bilirubin merupakan produk cincin porfirin hemoglobin eritrosit, yang merupakan zat
yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam air. Merupakan suatu zat antioksidan pada
kadar rendah, namun bersifat neurotoksik pada kadar tinggi.1,4,9
Bilirubin dibentuk dari hasil degradasi hemoglobin (gambar 1), sekitar 75% dari
hemolisis dan 25% dari eritropoiesis yang inefektif. Pertama-tama hemoglobin diubah
menjadi biliverdin melalui sebuah reaksi yang tergantung adenosin trifosfat yang dikatalisis
oleh hemeoksigenase, yang menghasilkan sebuah molekul karbon dioksida untuk setiap
molekul biliverdin.9,13,14 Biliverdin dikatalisis oleh biliverdin reduktase menjadi bilirubin
indirek. Bilirubin indirek bersifat nonpolar, tidak larut dalam air dan terikat albumin serum.
Namun terdapat sebagian bilirubin indirek bebas (Bf) yang dapat masuk kedalam otak, cairan
interstisial dan cairan serebrospinal. Bilirubin indirek bebas inilah yang bertanggungjawab
pada proses toksisitas bilirubin otak. Bilirubin indirek bebas mudah melewati sawar darah
otak/ SDO, namun bilirubin indirek yang terikat albumin tidak dapat memasuki otak, kecuali
bila ada gangguan pada SDO. Metodologi untuk mengukur bilirubin indirek bebas sejauh ini
belum tersedia di sebagian besar rumah sakit.9,13,14,15
Bilirubin indirek diambil oleh sel-sel hepar, dikonjugasi dengan glukoronida oleh
UDPGT (UDP-glucoronyl transferase) menjadi bilirubin direk (conjugated) yang larut dalam
air dan diekskresikan pada empedu. Meskipun bilirubin direk tidak bersifat neurotoksik,
namun terikat pada albumin dan berkompetisi dengan bilirubin indirek untuk berikatan
dengan albumin. Kemudian bilirubin direk akan disimpan dalam kandung empedu dan
diekskresikan ke duodenum. Selanjutnya sebagian kecil bilirubin direk ini dipecah lagi oleh
enzim ß-glukoronidase menjadi bilirubin indirek dan kembali ke hati (siklus enterohepatik).
Sedangkan bilirubin direk yang ada dalam usus akan mengalami oksidasi oleh kuman usus
menjadi urobilinogen. Lalu sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui feses, sebagian lagi
melalu urin. 4,9,14,16

Gambar 1. Sintesis & metabolisme bilirubin (masuknya BIS bebas ke otak) 9

 Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk akibat degradasi Hb pada RES. Tingkat
penghancuran Hb ini lebih tinggi pada neonatus dibandingkan bayi yang lebih tua.
Satu gram Hb dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek (larut dalam lemak).

 Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin untuk diangkut dalam plasma. Lalu
bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit tanpa albumin, dan
berikatan dengan protein ligandin.

 Konjugasi
Dalam hepatosit bilirubin dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide (BDG) dan
sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide (BMG) oleh enzim glukoronil
transferase.

 Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk (larut dalam air) dan
diekskresikan ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk tidak
diserap, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorpsi (siklus enterohepatik).

 Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus


Bilirubin direk pada janin akan mengalami dekonjugasi oleh enzim ß-glukoronidase
agar bisa larut dalam lemak dan menembus sawar plasenta untuk kemudian diekskresi
oleh hepar ibu. Dalam ASI juga terkandung banyak enzim ß-glukoronidase. Setelah
lahir kadar enzim tersebut yang masih tinggi pada bayi, akan meningkatkan jumlah
bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek yang kemudian tereabsorpsi,
sehingga siklus enterohepatik pun meningkat. Pada bayi baru lahir fungsi hepar belum
matang atau bila terdapat gangguan fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila
terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar
bilirubin indirek dalam darah dapat meningkat. Bilirubin indirek juga sangat
bergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar
albuminnya rendah sehingga bilirubin indirek yang bebas meningkat.2,5

Gambar 1. Metabolisme Bilirubin

Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis

Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu pada
neonatus. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari ke-2 dan 3, tidak mempunyai
dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi
menjadi kernicterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.5 Proses tersebut
antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek
(80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada
hari ke-2 – 3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5 – 7, kemudian akan menurun kembali
pada hari ke 10 – 14. Kadar bilirubin biasanya < 12 mg/dL pada bayi cukup bulan dan < 10
mg/dL pada bayi kurang bulan.1

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus dianggap patologis
bila : 5

 terjadi pada 24 jam pertama


 peningkatan mencapai 5 mg/dL atau lebih dalam 24 jam
 kadar bilirubin total > 12,5 mg/dL pada bayi cukup bulan dan > 10 mg/dL
pada bayi kurang bulan
 disertai proses hemolisis
 berat lahir < 2000 gram
 masa gestasi < 36 minggu
 asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernapasan
 infeksi
 trauma lahir pada kepala
 hipoglikemia, hiperkarbia
 hiperosmolalitas darah
 tetap berlangsung selama 10 hari pada bayi cukup bulan atau 21 hari pada bayi
kurang bulan.6
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh
tertentu, misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari,
bahkan terjadinya kematian. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis
apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Tingginya kadar bilirubin yang dapat
menimbulkan efek patologis tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi.1

Membran sel darah merah atau eritrosit mengandung berbagai jenis protein dan
karbohidrat yang mampu merangsang pembentukan antibodi serta bereaksi dengan antibodi
tersebut. Lebih dari 300 bentuk dan jenis antigen telah diketahui dan ditentukan
klasifikasinya. Beberapa jenis telah diketahui peran biologisnya, namun struktur, fungsi dan
dasar imunogenitas sebagian besar antigen belum jelas diketahui. Selama ini diketahui bahwa
gen yang menentukan antigen eritrosit diturunkan melalui hukum Mendel. Sebagian besar
antigen itu menyatakan dirinya tanpa menghiraukan adanya alel lain, sehingga sifatnya itu
disebut kodominan.1,2,3
Sistem yang sering digunakan dalam imunohematologi adalah sistem ABO dan
Rhesus. Antigen utama pada sistem ABO disebut antigen A dan B, antibodi utamanya adalah
anti-A dan anti-B. Ada tidaknya antibodi dan spesifitas antibodi tidak ditentukan secara
genetik, tetapi antibodi dibentuk setelah pemaparan terhadap antigen yang ada di lingkungan
dan memiliki struktur serta spesifitas yang sama dengan antigen eritrosit. Sedangkan pada
sistem Rhesus, terdiri atas bermacam-macam antigen, antara lain antigen D, C, E, c dan e.
Antigen utama dalan sistem Rhesus adalah antigen D yang paling mudah merangsang
pembentukan antibodi. Rhesus positif [Rh +] adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen
pada eritrositnya sedang Rhesus negatif [rh -] adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-
antigen pada eritrositnya. 1,2,3
Mekanisme inkompatibilitas eritrosit golongan ABO maupun Rhesus dalam sirkulasi
darah dapat terjadi melalui transfusi darah ataupun kehamilan. Sekitar 20% ibu dengan [rh -]
membentuk anti-D setelah mengandung janin [Rh +]. Antibodi maternal isoimun bersifat
spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin
yang dapat melewati plasenta serta merusak eritrosit janin. Hal inilah yang dapat
menyebabkan penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir.2
Penyakit hemolisis pada bayi sering ditandai dengan gejala kuning (ikterus) sejak
lahir yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin indirek sebagai hasil dari pemecahan
eritrosit, dimana eritrosit janin dan bayi memiliki jenis Hb dan sifat membran yang berbeda
serta umur yang lebih singkat. Namun demikian gejala ikterus pada bayi baru lahir dapat pula
disebabkan berbagai hal lain, seperti ikterus fisiologis, breastmilk jaundice, disfungsi
plasenta, kelainan pembekuan darah, dan sepsis.4,5

Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI

Keberhasilan proses menyusui ditentukan oleh faktor ibu dan bayi. Hambatan pada
proses menyusui dapat terjadi karena produksi ASI yang tidak cukup, atau ibu kurang sering
memberikan kesempatan pada bayinya untuk menyusu. Pada beberapa bayi dapat terjadi
gangguan menghisap. Hal ini mengakibatkan proses pengosongan ASI menjadi tidak efektif.
ASI yang tertinggal di dalam payudara ibu akan menimbulkan umpan balik negatif sehingga
produksi ASI menurun. Gangguan menyusui pada ibu dapat terjadi preglandular (defisiensi
serum prolaktin, retensi plasenta), glandular (jaringan kelenjar mammae yang kurang baik,
riwayat keluarga, post mamoplasti reduksi), dan yang paling sering gangguan postglandular
(pengosongan ASI yang tidak efektif).

Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa


breastfeeding jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice (BMJ). Perbedaannya dapat dilihat
pada Tabel 1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami hiperbilirubinemia yang
dikenal dengan BFJ. Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada
hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak. Breastfeeding jaundice tidak memerlukan
pengobatan dan tidak perlu diberikan air putih atau air gula. Bayi sehat cukup bulan
mempunyai cadangan cairan dan energi yang dapat mempertahankan metabolismenya selama
72 jam. Pemberian ASI yang cukup dapat mengatasi BFJ. Ibu harus memberikan kesempatan
lebih pada bayinya untuk menyusu. Kolostrum akan cepat keluar dengan hisapan bayi yang
terus menerus. ASI akan lebih cepat keluar dengan inisiasi menyusu dini dan rawat gabung.

Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang masih


meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada
hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab
hiperbilirubinemia lainnya. Penyebab BMJ berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang
ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya. Semua bergantung
pada kemampuan bayi tersebut dalam mengkonjugasi bilirubin indirek (bayi prematur akan
lebih berat ikterusnya). Penyebab BMJ belum jelas, beberapa faktor diduga telah berperan
sebagai penyebab terjadinya BMJ. Breastmilk jaundise diperkirakan timbul akibat
terhambatnya uridine diphosphoglucoronic acid glucoronyl transferase (UDPGA) oleh hasil
metabolisme progesteron yaitu pregnane-3-alpha 20 beta-diol yang ada dalam ASI ibu-ibu
tertentu. Pendapat lain menyatakan hambatan terhadap fungsi glukoronid transferase di hati
oleh peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang tidak diesterifikasi dapat juga
menimbulkan BMJ. Faktor terakhir yang diduga sebagai penyebab BMJ adalah peningkatan
sirkulasi enterohepatik. Kondisi ini terjadi akibat (1) peningkatan aktifitas beta-glukoronidase
dalam ASI dan juga pada usus bayi yang mendapat ASI, (2) terlambatnya pembentukan flora
usus pada bayi yang mendapat ASI serta (3) defek aktivitas uridine diphosphateglucoronyl
transferase (UGT1A1) pada bayi yang homozigot atau heterozigot untuk varian sindrom
Gilbert.

Pedoman terapi sinar pada breastfeeding jaundice dan breastmilk jaundice

The American Academy of Pediatrics (AAP) telah membuat parameter praktis untuk
tata laksana hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan yang sehat dan pedoman terapi sinar
pada bayi usia gestasi > 35 minggu. Pedoman tersebut juga berlaku pada bayi cukup bulan
yang sehat dengan BFJ dan BMJ. AAP tidak menganjurkan penghentian ASI dan telah
merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali dalam 24 jam).
Penggantian ASI dengan pemberian air putih, air gula atau susu formula tidak akan
menurunkan kadar bilirubin pada BFJ maupun BMJ yang terjadi pada bayi cukup bulan
sehat.

Gartner dan Auerbach mempunyai pendapat lain mengenai pemberian ASI pada bayi
dengan BMJ. Pada sebagian kasus BMJ, dilakukan penghentian ASI sementara. Penghentian
ASI akan memberi kesempatan hati mengkonjungasi bilirubin indirek yang berlebihan.
Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian ASI dilanjutkan sampai 18-24 jam dan
dilakukan pengukuran kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat
setelah penghentian ASI selama 24 jam, maka jelas penyebabnya bukan karena ASI, ASI
boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab hiperbilirubinemia yang lain. Jadi
penghentian ASI untuk sementara adalah untuk menegakkan diagnosis.

Persamaannya dengan AAP yaitu bayi dengan BFJ tetap mendapatkan ASI selama
dalam proses terapi. Tata laksana yang dilakukan pada BFJ meliputi (1) pemantauan jumlah
ASI yang diberikan apakah sudah mencukupi atau belum, (2) pemberian ASI sejak lahir dan
secara teratur minimal 8 kali sehari, (3) pemberian air putih, air gula dan formula pengganti
tidak diperlukan, (4) pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi BAB dan BAK, (5)
jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu melakukan penambahan volume cairan dan
stimulasi produksi ASI dengan melakukan pemerasan payudara, (6) jika kadar bilirubin
mencapai kadar 20 mg/dL, perlu melakukan terapi sinar jika terapi lain tidak berhasil, dan (7)
pemeriksaan komponen ASI dilakukan jika hiperbilirubinemia menetap lebih dari 6 hari,
kadar bilirubin meningkat melebihi 20 mg/dL, atau riwayat terjadi BFJ pada anak
sebelumnya.
Yang dimaksud dengan fototerapi intensif adalah radiasi dalam spektrum biru-hijau
(panjang gelombang antara 430-490 nm), setidaknya 30 μW/cm2 per nm (diukur pada kulit
bayi secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke permukaan kulit
bayi seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik dari manufaktur
unit fototerapi tersebut.

Selanjutnya pertanyaan yang sering timbul adalah kapan terapi sinar harus dihentikan.
Sampai saat ini belum ada standar pasti untuk menghentikan terapi sinar, akan tetapi terapi
sinar dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada di bawah nilai cut off point dari setiap
kategori. Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit pertama kali setelah lahir (umumnya
dengan kadar BST > 18 mg/dL (308 mol/L) maka terapi sinar dapat dihentikan bila BST
turun sampai di bawah 13 - 14 mg/dL (239 mol/L). Untuk bayi dengan penyakit hemolitik
atau dengan keadaan lain yang diterapi sinar diusia dini dan dipulangkan sebelum bayi
berusia 3-4 hari, direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang bilirubin 24 jam setelah
dipulangkan. Bayi yang dirawat di rumah sakit untuk kedua kali dengan hiperbilirubinemia
dan kemudian dipulangkan, jarang terjadi kekambuhan yang signifikan sehingga pemeriksaan
ulang bilirubin dilakukan berdasarkan indikasi klinis.

Sebagian besar unit neonatal di Indonesia masih memberikan terapi sinar pada setiap
bayi baru lahir cukup bulan dengan BST > 12 mg/dL atau bayi prematur dengan BST >10
mg/dL tanpa melihat usia. Diharapkan agar penggunaan terapi sinar atau transfusi tukar
disesuaikan dengan anjuran AAP. Gartner dan Auerbach merekomendasikan jika kadar
bilirubin > 20 mg/dL pada bayi cukup bulan, maka penting untuk menurunkan kadar bilirubin
secepatnya. Terapi sinar harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan laboratorium
darah untuk penegakan diagnosis BFJ dan BMJ. Pada beberapa kasus, pemberian cairan intra
vena dapat dipertimbangkan misalnya ada dehidrasi atau sepsis. Terapi sinar dapat dilakukan
bila ada riwayat pada saudara sebelumnya mengalami BMJ. Batas kadar bilirubin untuk
melakukan terapi sinar biasanya lebih rendah pada kasus tersebut (< 12 mg/dL). Pemantauan
lanjut saat bayi sudah di rumah juga penting dilakukan. Pemantauan dapat berlangsung
selama kurang lebih 14 hari. Pemantauan dilakukan terutama jika kadar bilirubin mencapai >
12 mg/dL.
MANIFESTASI KLINIS

Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira
6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit
mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning kotor.
Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat(Nelson, 2007).

Gambaran klinis ikterus fisiologis:


a) Tampak pada hari 3,4
b) Bayi tampak sehat(normal)
c) Kadar bilirubin total < 12 mg%
d) Menghilang paling lambat 10-14 hari
e) Tak ada faktor resiko f)Sebab: proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis)
(Sarwono et al, 1994)
Gambaran klinik ikterus patologis:
a) Timbul pada umur
b) Cepat berkembang
c) Bisa disertai anemia
d) Menghilang lebih dari 2 minggu
e) Ada faktor resiko
f) Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994)

Ikterik dapat terjadi satiap saat dari kehidupan neonatus, tergantung dari
penyebabnya. Ikterik kebanyakan dimulai dari wajah, seiring dengan peningkatan kadar
bilirubin serum kemudian tampak kuning di abdomen, lalu ekstremitas bawah. Warna kulit
kuning terang atau orange merupakan manifestasi dari penumpukan bilirubin indirek dalam
darah. Sedangkan bila bilirubin direk meningkat kadarnya dalam darah maka kulit akan
tampak kuning kehijauan. Tetapi ini hanya dapat dibedakan pada hiperbilirubinemia berat.2

Kernicterus

Kernicterus (ensefalopatia bilirubin) adalah keadaan dimana terjadi kerusakan otak


akibat perlengketan bilirubin indirek (bilirubin indirek bersifat neurotoksik).7 Kernicterus
adalah diagnosis postmortem.4 Biasanya ditemukan pada neonatus dengan kadar bilirubin
indirek dalam darah > 20 mg/dL. Sel otak yang terpapar bilirubin bebas akan mengalami hal-
hal sebagai berikut: 7

 Tanpa gejala dan gangguan fungsional


 ini terjadi pada neonatus cukup bulan yang sehat tanpa penyakit hemolitik berat
tetapi menderita ikterus ringan yang berlangsung singkat.

 Gangguan fungsional yang reversibel


 terjadi pada ikterus neonatal ringan tanpa penyakit hemolitik berat tetapi
berlangsung lebih lama.

 Kerusakan fungsional dan struktural


 terjadi pada ikterus neonatal pada bayi kurang bulan, bayi cukup bulan yang sakit,
hipoksia berat, sepsis, dan trauma yang menyertai hiperbilirubinemia.

Manifestasi Klinis Hiperbilirubinemia

I. Ensefalopati bilirubin akut


Bentuk akut ini terdiri atas 3 tahap :
􀂃 Tahap I (1–2 hari pertama) : refleks hisap lemah, letargi, hipotonia, kejang
(terutama pada bayi yang sangat kuning).
􀂃 Tahap II (pertengahan minggu pertama) : hipertonia bergantian dengan hipotonia,
opistotonus, spasme otot ekstensor, peningkatan tonus otot punggung, dan ekstensor leher
(retrocollis), demam, menangis dengan nada tinggi (high pitch cry), mata tidak dapat
bergerak ke atas (gangguan upward gaze) dan terlihat gejala setting sun.
􀂃 Tahap III (setelah minggu pertama) : hipertonia. Pada fase akut, dapat disertai
gangguan Brainstem Auditory Evoked Response (BAER) dan kelainan pada pemeriksaan
Magnetic Resonance Imaging (MRI).12,19,20,21
II. Ensefalopati bilirubin kronik
Gejala–gejala klinis dari ensefalopati birubin kronik yang klasik (Kernicterus)
berkorelasi dengan temuan–temuan patologis yang spesifik. Sekuele klasik dari
hiperbilirubinemia neonatal yang berlebihan membentuk sebuah tetrad yang terdiri dari:9,19,22
1. gangguan ekstrapiramidal yang menyebabkan serebral palsi atetoid dan spastisitas
2. gangguan pendengaran, baik berupa tuli total atau parsial
3. gangguan gerakan mata kearah atas (gangguan upward gaze)
4. displasia enamel dentin pada gigi susu
Yang kesemuanya berhubungan dengan lesi–lesi patologis pada globus palidus,
nukleus subtalamikus, nukleus auditorik, dan okulomotor pada batang otak. IQ dapat normal
pada sebagian besar anak, namun sebagian kecil dapat mengalami retardasi mental ringan.
Disamping gangguan gerak dapat pula menyebabkan gangguan bicara, ambulasi, komunikasi
dan motorik. Masalah gangguan integrasi visual–motor, ketulian atau neuropati auditori
menyebabkan bertambahnya frustasi dan mengurangi kemampuan intelegensi yang
sebenarnya. Beberapa penelitian melaporkan bahwa proses kronik ini dapat terjadi pada usia
4 bulan-14 tahun.9,19,22
III. Ensefalopati samar/ Neuropati auditorik
Anak–anak ini mengalami gangguan kognitif yang lebih ringan, kelainan neurologis
yang ringan, ganggguan pendengaran dan neuropati auditori. Gejala dapat pula terdeteksi
beberapa tahun kemudian, sehingga sulit membuat korelasi antara hiperbilirubinemia dan
gangguan yang terlihat. Neuropati auditori bukan hanya gangguan pendengaran sensori
neural, namun disebabkan adanya disfungsi pada tingkat batang otak atau saraf tepi. Fungsi
telinga tengah tetap normal. Keadaan ini dapat di identifikasi dengan pemeriksaan Brainstem
Auditory Evoked Response (BAER). Gangguan BAER telah dapat terlihat pada anak dengan
hiperbilirubinemia <20 mg/dL (16-20 mg/dL), dan umumnya membaik setelah di lakukan
terapi sinar. Keadaan ini membuktikan bahwa bilirubin telah masuk ke dalam otak pada kadar
yang lebih rendah dari kadar yang biasa menyebabkan ensefalopati bilirubin akut.19,20,23

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang.

Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan kapan tepatnya bayi mulai kuning dan sudah berapa
lama. Tanyakan juga adakah riwayat inkompatibilitas darah, riwayat keluarga yang menderita
jaundice, anemia, pembesaran hati dan limpa, riwayat ikterus dengan atau tanpa terapi pada
bayi sebelumnya. Pada riwayat kehamilan ibu adakah infeksi intranatal, penggunaan obat-
obatan, diabetes gestasional, atau malnutrisi intrauterin. Pada persalinan apakah disertai
trauma, gawat janin dan asfiksia. Riwayat postnatal terdiri dari berat badan lahir, pengeluaran
mekoneum yang terlambat, konstipasi, vomitus persisten, feses pucat, ASI, penurunan berat
badan lebih dari normal, dan tanda-tanda gangguan metabolik.1,8

Riwayat Keluarga 8

Data Arti Klinis

Jaundice,anemia,batu empedu, splenektomi Anemia hemolitik herediter (mis :


sferositosis)

Saudara kandung dengan ikterus dan anemia Inkompatibilitas darah, G6PD

Saudara kandung dengan ikterus semasa Breast milk jaundice


menyusui

Gangguan hepatologi Ikterus karena gangguan metabolik (mis


: galaktosemia)

Riwayat Kehamilan dan Persalinan 8

Data Arti Klinis

Febris dan ruam saat hamil Infeksi intrauterine

Obat-obatan (Sulfonamid, nitrofurantoin, Defisiensi G6PD


antimalaria)

Trauma saat lahir Perdarahan intrakranial

Delayed cord clamping Polisitemia

Riwayat Postnatal 8

Data Arti Klinis

BB lahir kurang masa kehamilan Polisitemia, infeksi intrauterine

Pengeluaran mekoneum terlambat Peningkatan siklus enterohepatik


bilirubin
Konstipasi Obstruksi saluran cerna

Vomitus persisten Sepsis, stenosis pilorus, galaktosemia

ASI ≤ 7 hari : breast feeding jaundice (intake


tidak adekuat)

> 7 hari : breast milk jaundice

Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan cahaya matahari atau lampu sinar yang
cukup. Ikterus bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus
yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan
warna kulit dan jaringan subkutan.1
Ikterus juga mungkin disertai hepatosplenomegali dan ptekie. Perhatikan pula tanda-
tanda kernicterus.

Penemuan pada Pemeriksaan Fisik8

Data Arti Klinis


IUGR Infeksi intrauterin, polisitemia
Mikrosefali Infeksi intrauterine
Cephal-hematoma, perdarahan Ikterus karena perdarahan
subaponeurotik
Pucat Keadaan hemolitik
Ptekie Infeksi intrauterin, sepsis, eritroblastosis
Plethora Polisitemia
Hepatosplenomegali Anemia hemolitik, infeksi intrauterin,
sepsis, gangguan hepar
Hernia umbilikalis Hipotiroidisme
Katarak Infeksi, galaktosemia
Urine gelap, feses pucat Ikterus obstruktif

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat.1

Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum


bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar
bilirubin total < 15 mg/dL, dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi
sinar.1

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab


ikterus antara lain : 1,3

o Golongan darah ibu dan bayi


o Coombs’ test
Neonatus yang mengalami inkompatibilitas ABO, menunjukkan hasil positif pada
pemeriksaan ini. Tujuan dari pemeriksaan DCT untuk mengetahui apakah sel
darah merah diselubungi oleh IgG atau komplemen, artinya apakah ada proses
sensitisasi pada sel darah merah di invivo (pada tubuh pasien). Bahan yang
dipergunakan adalah sel darah merah pasien. Pada pemeriksaan ini menggunakan
sampel darah dengan antikoagulan EDTA (Desiana Dharmayani, et.al., 2009).
o Darah lengkap dan hapusan darah
o Hitung retikulosit, skrining G6PD
o Bilirubin direk
o Albumin
o End-tidal CO in breath (ETCO)
o Tes faal hati  SGOT dan SGPT meningkat pada gangguan hepatoselular. Alkali
fosfatase dan GGT meningkat pada gangguan kandung empedu. Perbandingan
GGT : SGPT yang > 1 menunjukkan adanya obstruksi bilier.
o Analisa gas darah  toksisitas bilirubin meningkat pada asidosis, khususnya
asidosis respiratorik.
o Tes fungsi tiroid
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi
dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan
pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.1

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa


faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat adalah :1

1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)
2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan Coombs’ test positif)
3. Usia kehamilan < 38 minggu
4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD)
5. Ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
6. Hematoma sefal, bruising
7. ASI eksklusif (bila berat badan turun > 12 % BB lahir)
8. Ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki, usia ibu < 25 tahun
9. Ikterus sebelum bayi dipulangkan
10. DM gestasional
11. Polisitemia
DIAGNOSIS BANDING

Bila ikterus timbul pada 24 jam pertama pikirkan kemugkinan eritroblastosis fetalis,
perdarahan tersembunyi, sepsis, atau infeksi (sifilis, CMV, rubella, toksoplasma). Tanda-
tanda hemolisis adalah adanya peningkatan bilirubin serum yang cepat (> 0,5 mg/dL/jam),
anemia, pucat, retikulositosis, hepatosplenomegali, dan adanya riwayat keluarga. Ikterus pada
hari ke 2-3 biasanya merupakan ikterus fisiologis. Jaundice yang timbul setelah hari ke-3 dan
1 minggu pertama dipikirkan ke arah sepsis atau infeksi traktus urinarius. Jaundice yang
timbul setelah umur 1 minggu adalah karena breast milk jaundice, atresia bilier, hepatitis,
galaktosemia, hipotiroidisme, anemia hemolitik kongenital atau karena obat, dan stenosis
pilorus.2

Waktu Diagnosa Banding Pemeriksaan


Hari ke 1 *Penyakit hemolitik Kadar bilirubin serum
Inkompatibilitas darah (Rh, berkala Hb, Ht,
ABO), Sferositosis. Anemia retikulosit,sediaan hapus
hemolitik nonsferositosis darah golongan darah
(defisiensi G6PD) ibu/bayi, uji Coomb
Hari ke 2 sd ke 5 Kuning pada bayi prematur Hitung jenis darah lengkap
Kuning fisiologik, Sepsis Urin mikroskopik dan biakan
Darah ekstravaskular, urin, Pemeriksaan terhadap
Polisitemia Sferositosis infeksi bakteri, golongan
kongenital darah ibu/bayi, uji Coomb
Hari ke 5 sd ke 10 Sepsis, Kuning karena ASI Uji fingsi tiroid, Uji tapis
Def G6PD, Hipotiroidisme enzim G6PD, Gula dalam
Galaktosemia, Obat-obatan urin Pemeriksaan terhadap
sepsis Urin mikroskopik dan
biakan
Hari ke 10 atau lebih Atresia biliaris, Hepatitis Uji serologi TORCH, Alfa
neonatal Kista koledokusm, fetoprotein, alfa1antitripsin,
Sepsis(terutama infeksi Kolesistografi, Uji Rose-
saluran kemih), Stenosis Bengal
pilorik
Sumber:Levine Ml,Tudehope D.Thearle J.Essentials of Neonatal Medicine Brookes:Waterloo
1990:165
Tabel 2.2 Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya
Sumber:Arif Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran jilid 2,edisi ш Media Aesculapius FK
UI.2007:505

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk


mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan
kernicterus. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar
konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal).1

Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau


albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau
transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar
bilirubin.1

Tabel 1 : Pedoman fototerapi bayi kuning cukup bulan yang dengan dan tanpa faktor risiko
berdasarkan Canadian Pediatrics Society

Umur (Jam) Kadar Bilirubin Total Darah (mg/dL)


Tanpa faktor risiko Dengan faktor risiko
24 10 8
48 15 13
≥ 72 > 18 > 16

Tabel Rekomendasi “American Academy of Pediatrics” (AAP) untuk penanganan


hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup bulan:

Usia ( jam )
Dipertimbangkan Fototerapi Transfusi ganti Tranfusi ganti
fototerapi * jika fototerapi dan fototerapi
gagal ** intensif
≤ 24 *** *** *** ***
25 – 48 ≥ 12 ≥ 15 ≥ 20 ≥ 25
49 – 72 ≥ 15 ≥ 18 ≥ 25 ≥ 30
> 72 ≥ 17 ≥ 20 ≥ 25 ≥ 30
Keterangan
* terapi sinar pada kadar bilirubin darah ini tergantung keadaan klinis bayi kuning
tsb

** terapi sinar seharusnya dapat menurunkan kadar bilirubin sehingga berada kadar
dibawah untuk melakukan tranfusi ganti, tetapi jika terjadi maka dianggap bahwa
fototerapi gagal, sehingga dipertimbangkan untuk tranfusi ganti

*** bayi baru lahir cukup bulan menunjukan keadaan kuning kurang dari 24 jam tidak
dianggap sehat dan memerlukan pemantauan lebuh lanjut.

Tabel Rekomendasi “American Academy of Pediatrcs” (AAP) untuk penanganan


hiperbilirubinemi pada neonatus prematur (sehat dan sakit)

Total serum bilirubin (mg/dL)

Neonatus sehat Neonatus sakit

Berat badan Fototerapi Transfusi tukar Fototerapi Transfusi tukar

< 1500 gr 5-8 13-16 4-7 10-14


1500- 2000 gr 8-12 16-18 7-10 14-16
2000-2500gr 12-15 18-20 10-12 16-18
>2500 gr Sesuaikan dengan Sesuaikan dengan 13-15 18-22
penanganan penanganan
hiperbilirubin hiperbilirubin
berdasarkan usia berdasarkan usia

Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin1

Terapi sinar Transfusi tukar

Usia Bayi sehat Faktor Risiko* Bayi sehat Faktor Risiko*

Mg/dL μmol/L mg/dL μmol/L mg/dL μmol/L mg/dL μmol/L

Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220

Hari 2 15 260 13 220 25 425 15 260

Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340

Hari 4 dst 20 340 17 290 30 510 20 340

*  Faktor risiko : Ikterus timbul pada usia < 24 jam, inkompatibilitas golongan darah
(dengan Coombs’ test positif), usia kehamilan < 38 minggu, penyakit-penyakit hemolitik,
ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya, hematoma sefal, bruising, ASI
eksklusif (bila berat badan turun > 12 % BB lahir), ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki,
usia ibu < 25 tahun, ikterus sebelum bayi dipulangkan, DM gestasional, polisitemia.

Terapi Sinar

Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi


bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi
senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu.
Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat
meninggalkan usus halus. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar
dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.1

Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon
yang diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar bayi
mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu
dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar
ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau
setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau
inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk
memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.1

Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8
jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun
gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di
pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL. Lamanya
penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.1

Pada saat mendapat terapi sinar perlu diperhatikan pula terapi suportif lain seperti
termoregulasi dan terapi cairan. Terapi sinar meningkatkan insensible water loss sehingga
pada bayi dengan berat badan < 1500 gram perlu dinaikkan kebutuhannya sebanyak 0,5
ml/kg/jam, sedangkan untuk bayi dengan berat badan > 1500 gram dinaikkan sebanyak 1
ml/kg/jam.4
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan
efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain :
enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek
samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan
sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.1

Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, jarang terjadi dan reversibel. Komplikasi
yang sering terjadi (Sastroasmoro, 2004) :
a) Bronze baby sindrom : mekanisme berkurangnya ekresi hepatic hasil penyinaran bilirubin
b) Diare : bilirubin indirek menghambat laktase
c) Hemolisis : fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
d) Dehidrasi : Insesible Water Loss ↑ (30-100%) karena menyerap energi foton.
e) Ruam kulit : Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan
pelepasan histamin.
Transfusi Tukar

Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang telah
terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi
tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul
perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi. Kriteria
melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin
terhadap albumin.1

Kriteria Transfusi Tukar Berdasarkan Berat Bayi dan Komplikasi 1

Berat Bayi Tidak Komplikasi Rasio Ada Komplikasi Rasio


(gram) (mg/dL) Bili/Alb (mg/dL) Bili/Alb

< 1250 13 5.2 10 4

1250 – 1499 15 6 13 5.2

1500 – 1999 17 6.8 15 6

2000 – 2499 18 7.2 17 6.8


≥ 2500 20 8 18 7.2

Yang dimaksud ada komplikasi apabila :1

1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5


2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam
O
4. Suhu rektal ≤ 35 C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi ≤1000 g

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang
terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah
darah golongan O rhesus positif. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses
aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan
ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu.
Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B
yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180
cc/kgBB.1

Macam Transfusi Tukar:1

1. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb bayi.
2. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat mengganti
65 % Hb bayi.
3. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.

Volume Darah pada Transfusi Tukar1

Kebutuhan Rumus*

‘Double Volume’ BB x volume darah x 2

‘Single Volume’ BB x volume darah

Polisitemia BB x volume darah x (Hct sekarang –Hct yang diinginkan)

Hct sekarang

Anemia BB x volume darah x (Hb yang diinginkan – Hb sekarang)

(Hb donor – Hb sekarang)

BB x volume darah x (Hct yang diinginkan – Hct sekarang)

(Hct donor)

* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB

* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB


Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang
dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat
mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya komplikasi
transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.1

Lain-lain

Pada bayi dengan breast milk jaundice pemberian ASI sebaiknya diberi jeda 24-48
jam dan diselingi dengan PASI untuk menurunkan kadar bilirubin. Ibu dengan golongan
darah Rhesus (-) dapat diberikan terapi profilaksis immunoglobulin Rhesus. Hal ini untuk
mengurangi kejadian hemolitik karena inkompatibilitas Rhesus. Operasi dilakukan pada
kasus atresia bilier. Fenobarbital digunakan untuk mempercepat metabolisme bilirubin
dengan cara meningkatkan konsentrasi ligandin, meningkatkan produksi glukoronil
transferase, dan meningkatkan ekskresi bilirubin. Ini akan menurunkan kadar bilirubin serum
pada minggu pertama. Pemberian bisa pada saat ibu hamil atau diberikan pada bayi. Dosis
untuk bayi adalah 4-5 mg/kg/hari diberikan saat 4 hari pertama. Efek samping antara lain
sedasi, letargi, gangguan pencernaan, ataksia, dan ruam.3,4

PROGNOSIS

Pada umumnya prognosis baik, kecuali pada kernicterus yang dapat menyebabkan
kematian.3

FOLLOW UP

Bayi yang telah mendapat terapi bisa dipulangkan bila intake baik dan kadar bilirubin
serum mencapai batas normal dalam 2x pemeriksaan. Pada ikterus berat sebaiknya dilakukan
evaluasi fungsi pendengaran. Bayi dengan ikterus hemolitik harus diobservasi selama
beberapa minggu. Hal ini disebabkan karena kadar hemoglobin yang rendah. Pertimbangkan
pula pemberian transfusi bila dibutuhkan.3

PENCEGAHAN

Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan melakukan pengawasan


antenatal yang baik, menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa
kehamilan dan kelahiran, mencegah dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus,
penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus, iluminasi yang baik pada bangsal
bayi baru lahir, dan pencegahan infeksi.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman RM. Ikterus dan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Dalam : Behrman,
Kliegman, Arvin, editor. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-15. Philadelphia : WB
Saunders Co ; 2000. h.610-16.
2. Uhudiah U, Oktavia D. Pemberian terapi sinar berdasarkan penilaian klinis pada neonatus
dengan hiperbilirubinemia. Dalam : Rusdidjas, Tjipta GD, Dimyati Y, editor. Kongres
Nasional VIII Perinasia & Simposium Internasional. Medan : Perinasia ; 2003. h.74-81.
3. Indiarso F. Tranfusi tukar pada neonatus dengan hiperbilirubinemia. Dalam : Rusdidjas,
Tjipta GD, Dimyati Y, editor. Kongres Nasional VIII Perinasia & Simposium International.
Medan : Perinasia ; 2003. h.84-98.
4. Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the term newborn. American Family
Physician 2002 ; 65 : 599-606.
5. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. Dalam : Fanaroff AA,
Martin RJ, editor. Neonatal-perinatal medicine ; Diseases of the fetus and infant. Edisi-6.
New York : Mosby-Year Book Inc ; 1997. h.1345-62.
6. Aminullah A. Ikterus dan hiperbilirubinemia pada neonatus. Dalam : Markum AH, Ismael
S, editor. Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI ; 1999. h.313-7.
7. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Hyperbilirubinemia. Dalam : Gomella
TL, editor. Neonatology ; Management procedures, On-call problems, diseases and drugs.
New York : Lange Medical Book/McGraw-Hill Co ; 2004. h.381-95.
8. Rahardjani KB. Penatalaksanaan ikterus pada neonatus. Dalam : Riwanto I, Sidhartani M,
editor. Penatalaksanaan terbaru ikterus. Semarang : BP UNDIP Semarang ; 1998. h.33-45.
9. Shapiro SM. Bilirubin toxicity in the developing nervous system. Ped Neurol 2003 ; 29 (5)
: 410-21.
10. Rifai RF. Hiperbilirubinemia. Dalam : Trihono PP, Praborini A, editor. Pediatrics Update
2003. Jakarta : IDAI Cabang Jakarta ; 2003. h.1-6.
11. Anonim. Perinatologi. Dalam : Hasan R, Alatas H, editor. Buku ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UI ; 1985. h.1101-15.
12. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal Hyperbilirubinemia. New Eng J Med
2001 ; 344(8) : 581-90.
13. Stevenson DK, Fanaroff AA, Maisels MJ, Young BW, Wong RJ, Vreman HJ, dkk.
Prediction of Hyperbilirubinemia in Near-term and Term infants. Pediatrics 2001 ; 108(1) :
31-9.
14. Pusponegoro HD. Kernicterus ; Patofisiologi, manifestasi klinis dan pencegahan. Dalam :
Yunanto A, Sembiring M, Hartoyo E, Andayani P, editor. Simposium Nasional Perinatologi
dan Pediatri Gawat Darurat 2005. Banjarmasin : UKK Perinatologi dan Pediatri Gawat
Darurat ; 2005. h.1-7.
15. Hansen T. Mechanism of bilirubin toxicity : clinical implication. Clinical Perinatology
2002 ; 29 : 765-78.
16. Amin SB, Ahlfors C, Orlando MS, Dalzell E, Merle KS, Guillet R. Bilirubin and serial
Auditory Brainstem Responses in premature infants. Pediatrics 2001 ; 107(4) : 667-70.
17. Hansen TWR, Tommarello S, Allen JW. Subcelluler Localization of Bilirubin in Rat
brain after invivo iv administration of [H] Bilirubin. Pediatric Research 2001 ; 49 : 203-7.
18. Ostrow JD, Pacolo L, Shapiro SM, Tiribelli C. New Concept in Bilirubin
Encephalopathy. Eur Journal Clin Invest. 2003 ; 33 : 988-997.
19. Kaplan M, Hammerman C. Understanding and preventing severe neonatal
Hyperbilirubinemia : Is bilirubin neurotoxicity really a concern in the developed world?
Clinical Perinatology 2004 ; 31 : 555-75.
20. Ip S, Chung M, Kulig J, O’Brien R, Sege R, Glicken S, dkk. An-evidence based review of
important issues concerning neonatal Hyperbilirubinemia. Pediatrics 2004 ; 114(1) : e130-
e53.
21. Govaert P, Lequin M, Swarte R, Robben S, Coo RD, Kuperus NW, dkk. Changes in
globus pallidus with (Pre) term Kernicterus. Pediatrics 2003 ; 112(6) : 1253-63.
22. American Association of Pediatrics. Clinical practice guidelines : Management of
Hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks gestation. Pediatrics 2004 ; 114 :
297-316.
23. Buthani VK, Johnson LH, Keren R. Diagnosis and management of Hyperbilirubinemia in
the term neonate : for a safer first week. Pediatric Clinics North America 2004 ; 51 : 843-61.
Eritrosit

Hemoglobin

HEM GLOBIN

Besi/ Fe Bilirubin indirek/ Limpha dan


4 pirol bilirubin magrofag
PRA
Hem Oksigenase
Biliverdin HEPATIK

Biliverdin Plasma darah


reduktase + Albumin

+ as. Glukoronat/
bilirubin direk INTRA
HEPAR
HEPATIK

Duktus biliaris

Duodenum
urai bakteri

UROBILINOGEN

Diserap di usus Ginjal POST


Strekobilin
HEPATIK

Feses Vena Porta Urin

Empedu

Anda mungkin juga menyukai