Anda di halaman 1dari 76

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

BEDAH UMUM

DAFTAR ISI :
1. Apendisitis Akut ................................................................................ 2
2. Hernia Ingualis ……………………………………………………. 6
3. Batu Empedu ………………………………………………………. 9
4. Tumor Jinak Payudara …………………………………………….. 13
5. Tumor Ganas Payudara ...................................................................... 19
6. Luka Bakar .......................................................................................... 24
7. Trauma Thoraks (Pnemothoraks & Hematotoraks) ............................ 30
8. Hemoroid.............................................................................................. 35
9. Fistula Perianal...................................................................................... 38
10. Batu Saluran Kemih.............................................................................. 40
11. BPH....................................................................................................... 48
12. Hidrokel testis....................................................................................... 59
13. Torsio testis........................................................................................... 65
14. Penyakit Hirschprung............................................................................ 70
15. Ileus Obstruktif .................................................................................... 78

APENDISITIS AKUT

Definisi :
Proses keradangan akut pada usus buntu / Apendiks vermiformis.

1
Anamnesis :
1. Sering dimulai dengan nyeri di daerah epigastrium. Setelah beberapa jam, nyeri
berpindah dan menetap di fosa iliaka kanan.
2. Gejala ini disusul dengan anoreksia, mual dan muntah – muntah.
3. Suhu badan sub febril 37.5 – 38.5C, sampai terjadi penyulit dimana suhu badan
akan meningkat sampai 40C.
Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
 Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Pada penekanan
perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan
terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
 Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak apendiks
apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri,
maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini
merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
 Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi
panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator

2
internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika
Kriteria Diagnosis:
1. Kriteria anamnesis diatas
2. Kriteria pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis:
Apendisitis akut
Diagnosis Banding
 Batu ureter kanan
 Tumor sekum
 Crohn’s disease
 Kehamilan ektopik terganggu
 Colitis
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium rutin darah lengkap leukosit > 10.000 sel, didominasi sel PMN dan
urine lengkap (untuk wanita ditambahkan PPT)
USG abdomen (tidak rutin)
Terapi :
 Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
 Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas
fisik sampai pembedahan dilakukan.
 Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
 Apendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Tehnik Operasi
Apendektomi
1. Penderita dalam posisi terlentang, ahli bedah dalam general anestesi. Dilakukan
tindakan aseptik dan antiseptik pada seluruh abdomen dan dada bagian bawah,
kemudian lapangan operasi dipersempit dengan doek steril.
2. Dilakukan insisi dengan darah oblik melalui titik Mc.Burney tegak lurus antara
SIAS dan umbilikus (irisan Gridiron), irisan lain yang dapat dilakukan adalah
insisi traversal dan paramedian.

3
3. Irisan diperdalam dengmemotong lemak mencapai aponeurosis muskulus oblikus
abdominis Ekternus (MOE)
4. MOE dibuka sedikit dengan skalpel searah dengan seratnya, kemudian diperlebar
ke lateral dan ke medial dengan pertolongan pinset anatomi. Pengait luka tumpul
dipasang di bawah MOE, tampak di bawah MOE muskulus Oblikus Internus
(MOI)
5. MOI, kemudian dibuka secara tumpul dengan gunting atau klem arteri searah
dengan seratnya sampai tampak lemak peritoneum, dengan haak LangenBack otot
dipisahkan. Pengait dipasang di bawah muskulus tranversus abdominis.
6. Peritoneum yang berwarna putih dipegang dengan menggunakan 2 pinset bedah
dan dibuka dengan gunting, perhatikan apa yang keluar pus, udara atau cairan lain
(darah, feses dll) periksa kultur dan tes kepekaan kuman dari cairan yang keluar
tsb. Kemudian pengait luka diletakkan di bawah peritonium.
7. Kemudian sekum (yang berwarna putih, memilikitanca koli dan haustra) dicari
dan diluksir. Apendiks yang basisnya terletak pada pertemuan tiga taenia
mempunyai bermacam – macam posisi antara lain antesekal, retrosekal, anteileal
dan pelvinal.
8. Setelah ditemukan sekum dipegang dengan darm pinset dan ditarik keluar, dengan
kassa basah sekum dikeluarkan kearah mediokaudal, sekum yang telah keluar
dipegang oleh asisten dengan ibu jari berada di atas.
9. Mesenterium dengan ujung spendiks di pegang dengan klem Kocher kemudian
mesoapendiks di klem potong dan diligasi berturut – turut sampai pada basis
apendiks dengan menggunakan benang suter 3/0.
10. Pangkal apendiks di crush dengan apendiks klem kocher dan pada bekas crush
tersebut diikat dengan sutera No, 00 – 2 ikatan
11. Dibagian distal dari ikatan diklem dengan kocher dan diantara klem kocher dan
ikatan tersebut apendiks dipotong dengan pisau yang telah diolesi betadine, ujung
sisa apendiks digosok betadine.
12. Sekum dimasukkan ke dalam rongga perut.
13. Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis. Pada kasus perforasi dapat dipasang
drain sub facial.
Edukasi :

4
1. Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang dapat terjadi
2. Menjelaskan perawatan luka di rumah, kontrol luka jahitan 7 hari
post operasi, bila tidak ada faktor resiko lain diet bebas tinggi
protein.
Prognosis :
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanationam : dubia ad bonam
3. Ad fumgsionam : dubia ad bonam
Mortalitas
1.1 % jika apendiks tidak perforasi
15 % jika telah terjadi perforasi
Indikator medis :
1. Kriteria pulang perbaikan klinis minimal 3 hari perawatan
2. Indikasi operasi bila didapatkan apendisitis akut,
periapendikuler infiltrat, dan apendisitis perforate
Kepustakaan
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC,
Jakarta 1997.

HERNIA INGUALIS

Definisi :
Benjolan di daerah inguinal dan dinding depan abdomen yang masih bisa dimasukkan
kedalam cavum abdomen.
Kadang benjolan tidak bisa dimasukkan ke cavum abdomen disertai tanda – tanda
obstruksi seperti muntah, tidak bisa BAB, serta nyeri.
Anamnesis :

5
- Benjolan daerah inguinal yang timbul bila penderita berdiri atau mengejan,
batuk, atau mengangkat beban berat dan menghilang pada waktu istirahat
berbaring dan dapat masuk kembali bila penderita berbaring.
- Sebagian besar tidak memberikan keluhan
- Nyeri yang disertai mual atau muntah baru timbul kalau terjadi inkarserasi
Pemeriksaan Fisik :
- inspeksi saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis lateralis muncul
sebagai penonjolan di regio ingunalis yang berjalan dari lateral atas ke medial
bawah.
- Palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan hernia, diraba konsistensinya,
dan dicoba mendorong apakah benjolan dapat direposisi.
- Kantong hernia yang kosong kadang dapat diraba pada vunikulus spermatikus
sebagai gesekan dari dua lapis kantong yang memberikan sensasi gesekan dua
permukaan sutera
Kriteria Diagnosis
1. Kriteria Anamnesa diatas
2. Kriteria pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis : Hernia Inguinalis
Diagnosis Banding :
 Hidrokel testis
 Tumor testis
 Orchitis
 Tarsio testis
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk faktor penentu terjadinya hernia RO-
thorax : COPD – USG : adalah BPH
Terapi :
Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian
penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi.

6
Reposisi tidak dilakukan pada hernia inguinalis strangulata, kecuali pada pasien anak-
anak, reposisi spontan lebih sering (karena cincin hernia yang lebih elastis).
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang
rasional.
Tehnik operasi Herniotomi – Herniorafi Linchtenstein
Hernia inguinalis lateralis dan medialis :
1. Penderita dalam posisi supine dan dilakukan anestesi umum, spinal anestesi atau
anestesi lokal.
2. Dilakukan insisi oblique 2 cm medial sias sampai tuberkulum pubikum
3. Insisi diperdalam sampai tampak aponeurosis MOE (Muskulus Obligus
Abdominis Eksternus)
4. Aponeurosis MOE dibuka secara tajam
5. Funikulus spermatikus dibebaskan dari jaringan sekitarnya dan dikait pita dan
kantong hernia diidentifikasi.
6. Isi hernia dimasukkan ke dalam cavum abdomen, kantong hernia secara tajam dan
tumpul sampai anulus internus.
7. Kantong hernia diligasi setinggi lemak preperitonium, dilanjutkan dengn
herniotomi.
8. Perdarahan dirawat, dilanjutkan dengernioplasty dengan mesh.
9. Luka operasi ditutup lapis demi lapis
Edukasi:
1. Menjelaskan perjalanan penyakit pasien dan komplikasi yang dapat terjadi
(Perdarahan, Infeksi luka operasi, Cedera usus, Cedera kantong kemih, Cedera
vesdeferen, Cedera testis,orra sarchitis, atropi testis, Cedera saraf intra
inguinal, ilia hipogastrik atau genota femral)
2. Menginformasikan Pasien disarankan tidak berolah raga berat atau
mengangkat benda berat selama 6 – 8 minggu untuk mencegah kekambuhan.,
dan setelah operasi luka harus bersih, kering, dan kontrol luka jahit.
3. Bila tidak ada faktor risiko diit bebas, terutama lunak.
Prognosis :
Tergantung keadaan hernia : repombilis atau strangulata, kondisi dan penyakit
penyerta.

7
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanationam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam
Indikator Medis
1. Kriteria pulang berdasarkan perbaikan klinis dengan lama perawatan minimal
2 hari
2. Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi
berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi.
Kepustakaan
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC,
Jakarta 1997.

BATU EMPEDU

Difinisi :
Terdapatnya batu dalam kantung empedu dan atau dalam saluran empedu.
Anamnesis :
Kurang lebih 10% penderita batu empedu bersifat asimtomatik
Gejala – gejala yang dapat timbul :
- Nyeri (60%)
Bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium kanan menjalar ke
bahu kanan.
Nyeri ini sering timbul karena rangsangan makanan berlemak
Nyeri dapat terus, bila terjadi penyumbatan atau keradangan
- Demam

8
Timbul bila terjadi keradangan. Sering disertai menggigil
Pemeriksaan Fisik
- Bila terjadi penyumbatan duktus sistikuitus atau kolesistitis dijumpai nyeri tekan
hipokondrium kanan, terutama pada waktu penderita menarik napas dalam
(MURPHY’S SIGN)
- Ikterus
- Ikterus obstruksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran empedu utama
(duktus hepatikus/koledokus)
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas disertai beberapa pemeriksan
penunjang untuk memastikan
Diagnosis: Batu Empedu ( Kolelitiasis)
Diagnosis banding :
- Gastritis
- Tukak peptik
- Pankreatitis
Pada ikterus obstruksi
- Kolangio karsinoma
- Karsinoma pankreas (sindroma Courvoisier)
Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium
2. Ultrasonografi
3. Kolesistografi oral
4. Pemeriksaan khusus pada ikterus obstruksi :
- Kolangiografi perkutan transhepatik (PTC)
- “Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography” (ERCP)
Computerized Tomography Scanning (CT Scan)
Terapi :
- Batu kantong empedu : kolesistektomi (ICOPIM 5.511)
- Disertai batu saluran empedu : kolesistektomi + koledokolitotomi (ICOPIM
5.513)
+ antibiotika profilaksis :

9
Ampisilin 1g.i.v. + aminoglikosida 60 mg. i.v.(1x) atau sefalosporin generasi III
1g i.v.(1x), kombinasi dengan metronidazol 0,5 gr i.v (drip dalam 30 menit)
- Disertai keradangan (kolesistitis/kolangitis)
+ antibiotika terapi : kombinasi tripel antibiotika
o Ampisilin 3x1g/hari i.v
o Aminoglikosida 3x60 mg/hari i.v
o Metronidazol 3x0.5 gi.v (drip dalam 30 menit) atau antibiotika ganda
o Sefalosporin gen.III 3x1 gm/hari i.v. + metronidazol 3x1g/hari i.v
Tehnik Operasi :
1. Insisi dinding anterior abdomen subcostal kanan, dapat juga insisi paramedian
kanan.
2. Dilakukan eksplorasi untuk melihat adanya kelainan lain.
3. Klem fundus kantong dan didorong ke atas Hartmann-klem pouch dan ditarik ke
bawah.
4. Dilakukan identifikasi dan isolasi arteri sistika dan duktus sistikus
5. Setelah dibebaskan dari jaringan sekitarnya diikat dengan sutera 00 dan dipotong
6. Kantong empedu dibebaskan dari hepar secara tajam dengan gunting dengan
merawat perdarahan secara cermat.
7. Evaluasi duktus koledokus – tak ada kelainan
8. Luka laparotomi ditutup.
Dapat juga dilakukan kolesistektomi secara retrograde, dimulai dari fundus ke arah
Calot. Perdarahan biasanya lebih banyak.
Edukasi :
- Menginformasikan tentang penyakit ( Lebih banyak dijumpai pada wanita dengan
perbandingan 2:1 dengan pria (Female), Lebih sering pada orang yang gemuk
(Fat), Bertambah dengan tambahnya usia (Forty), Lebih banyak pada multipara
(fertile), Lebih banyak pada orang – orang dengan diet tinggi kalori dan obat –
obatan tetentu (Food), Sering memberi gejala – gejala saluran cerna (Flatulen))
- Menginformasikan terkait komplikasi yang dapat terjadi (Cedera duktus
koledokus, Cidera duodenum atau colon transversum, Fistel biliaris, Abses
susdiafragma, Batu residual duktus biliaris)

10
- Bila menjalani operasi, rawat luka harus bersih, kering, dan kontrol jahitan 1
minggu post operasi, dengan diit rendah lemak.
Prognosis:
- Ad vitam : dubia at bonam
- Ad sanationam : dubia at bonam
- Ad functionam : dubia at bonam
Mortalitas Kurang dari 1%
Indikator Medis
Indikasi operasi terutama pada kasus irreponible. Pasca operasi penderita dirawat di
ruangan 3-4 hari, diobservasi komplikasi seperti nyeri pasca operasi, gangguan
motilitas usus. Setelah pasase usus baik penderita bisa mulai diet per oral. Kemudian
diizinkan rawat jalan.
Keputstakaan
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC,
Jakarta 1997.

11
TUMOR JINAK PAYUDARA

Definisi :
Tumor jinak ialah lesi jinak yang berasal dari parenkim, stroma, areola dan papilla
mamma.
Termasuk : Tumor jinak jaringan lunak mamma, lipoma, hemangioma mamma.
Untuk Mudahnya disini dimasukkan pula displasia mamma.
Tidak termasuk : Tumor jinak kulit mamma
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Tumor jinak mamma maupun tumor non neoplasma bemanifestasi sebagi :
1. benjolan pada mamma
2. Jaringan mamma yang padat dan noduler
3. Nyeri pada mamma.
Gambaran Klinis Khas
1. FIBROADENOMA MAMMA (ICD D24)
Tumor pada mamma yang
 Timbul pada wanita muda, 15 – 30 tahun
 Membesar sangat pelan, dalam tahunan
 Bentuk bulat dan oral

12
 Batas tegas
 Tidak besar, 2-5 cm
 Permukaan rata
 Konsistensi padat kenyal
 Sangat mobil dalam korpus mamma
 Tidak ada tanda invasi atau metastase
 Dapat single atau multiple
 >4 cm diperlukan FNA untuk menyingkirkan kemungkinan tumor
filodes
2. TUMOR FILODES (ICD D24)
Tumor pada mamma yang
 Bentuk bulat atau oval
 Batas tegas
 Besar > 5cm
 Permukaan dapat berbenjol – benjol
 Tidak melekat dengan kulit atau m.pektoral sangat mobil dalam
korpus mamma
 Tidak ada tanda invasi atau metastase
 Vena subkutan melebar
3. DISPLASIA MAMMA (ICD N….) ada 3 varian
1) Tanpa tumor yang jelas
 Keluhan nyeri pada mamma yang siklus sesuai dengan siklus
menstruasi nyeri pada mamma pra menstrusai dan menghilang
setelah menstruasi.
 Jaringan mamma padat, menyeluruh atau segmental, uni atau
bilateral, noduler (Fibrosklerosis, ICD 610.2) mengeras
(Fibrosklerosis, ICD 610.3)
2) Berbentuk tumor
a. Kista : dapat uni atau bilateral
Kista berisi cairan serous atau keruh
Singel (Kista mamma singel, ICD N.60.0)
Multiple (Kista mamma multipel, ICD N.60.3)
b. Tumor padat
Bentuk tidak teratur

13
Bentuk tidak tegas
Sering multipel dan bilateral
Tumor padat ini sering sukar dibedakan dengan kanker mamma
c. Bentuk campuran padat
Mamma padat noduler disertai tumor baik yang kistus maupun
yang padat
4. HIPERTROFI MAMMA (ICD N62)
a. Mamma membesar jauh melebihi ukuran normal untuk orang lain.
b. Kelainan dapat uni atau bilateral
c. Dapat ditemukan pada :
1) Bayi : disebut Hipertrofi mamma neonatorium
2) Anak – anak : disebut Hipertrofi mamma pre-pubertal
3) Laki – laki : disebut Ginekomasti
5. CAIRAN PUTTING SUSU (NIPPLE DISCHARGE)
Cairan yang keluar spontan dari uting susu diluar laktasi dapat disebabkan
oelh :
1. Intraduktal papilloma
2. Displasia mamma
3. Mastitis
4. Kanker mamma
5. Galaktore
6. Trauma,dll
Kriteria Diagnosis :
1. Mengacu pada kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis : Tumor jinak Mammae
Diagnosis Banding :
 Karsinoma payudara
 Displasis mamma
 Hipertrofi mamma
Pemeriksaan Penunjang
Bila pemeriksaan klinis jelas suatu tumor jinak, pemeriksaan penunjang klinis (triple
diagnostic) dikerjakan bila diperlukan, tergantung kepada ada atau tidaknya faktor
resiko pada penderita (usia, riwayat keluarga, tumor payudara multipel atau residif)

14
 Imaging : USG mamma, mammografi kdang – kadang MRI payudara
Sitologi atau histopatlogi ; FNA, imprint sitologi dari cairan putting susu, core biopsy
atau open biopsy.
Terapi
Terapi yang digunakan adalah pengangkatan tumor mammae tersebut. Terapi
konservatif hanya mengawasi dan pemberian obat untuk mengurangi gejala yang
dikeluhkan
Tehnik Operasi
1. Dengan pembiusan general, punggung penderita diganjal bantal tipis, sendi bahu
diabduksikan ke arah kranial.
2. Lokasi tumor ditandai dengan spidol/tinta.
3. Desinfeksi lapangan operasi (dibawah klavikula), midsternal, linea aksilaris
posterior, sela iga ke ‘/clan 8, dengan larutan desinfektan povidone iodine 105.
4. Lapangan operasi dipersempit dengan duk steril. Bila memungkinkan insisi
dikerjakan sirkumareolar, tetapi bila lokasi tumor cukup jauh dari areola(>4cm),
maka insisi dikerjakan diatas tumor sesuai dengan garis Langer atau diletakkan
pada daerah – daerah yang tersembunyi.
5. Untuk isisi sirkumareolar maka putting susu dipegang dengan jari telunjuk dan
ibu jari, dilakukan marker insisi. Dengan pisau dilakukan insisi periareolar
sampai fasia superfisialis subkutan.
6. Flap kulit diangkat keatas dengan bantuan hak tajam, dengan gunting dilakukan
undermining sepanjang fasia superfisial kearah lokasi tumor.
7. Rawat perdarahan, lalu indentifikasi tumor
8. Jepit jaringan sekitar tumor pada 3 tempat dengn kocher, lalu dilakukan eksisi
tumor sesuai tuntunan kocher
9. Rawat perdarahan lagi, orientasi selururuh bed tumor lalu dipasang redon drain
dengan lubang di kuadran lateral bawah (bila menggunakan penrose drain, darin
dikeluarkan di garis insisi).
10. Jahit subkutan fat dengan plaint cat gut 3.0
11. Jahit luka dengan prolene 4.0
12. Luka operasi ditutup dengan kasa betadine

15
13. Dilakukan nggdressing luka operasi dengan tehnik suspensi payudara (BH
buatan) tanpa menggangg grakan sendi bahu.
Edukasi :
1. Menginformasikan pencegahan yang dapat dilakukan ( menghindari makanan
yang tinggi lemak, menghindari pemakaian obat hormonal terutama
esterogen, rajin melakukan SADARI)
2. Bila dilakukan operasi perawatan luka harus bersih, kering dan kontrol luka
jahit 1 minggu post operasi.
Prognosis :
1. Ad vitam : dubia at bonam
2. Ad. Sanationam : dubia at bonam
3. Ad. Functionam : dubia at bonam
Komplikasi operasi
a. Perdarahan : hemostasis y ang kurang baik akan menyebabkan perdarahan
dan terjadi
hematom.
Mortalitas : Tidak ada
Indikator Medis :
 Drain handschoen/penrose di angkat hari ke -2, drain continous dilepas bila
produksi <10 cc/24 jam
 Bila luka bersih dan tidak ada keluhan klinis diperbolehkan rawat jalan, lama
perawatan minimal 2 hari.
Kepustakaan
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC, Jakarta
1997.

16
TUMOR GANAS PAYUDARA

Definisi :
 Neoplasma yang terjadi pada jaringan Mammae. Tumor ganas : invasif duktal,
invasif lobular dan varian lainnya (mukoid, papiler, meduler, kribriform dll).
Sampai saat ini penyebab pasti kanker payudara, belum diketahui karena bersifat
multifaktoral.
Anamnesis: benjolan pada mamma, Jaringan mamma yang padat dan noduler
membesar cepat, dan nyeri pada mamma. Faktor resiko kanker payudara

17
 Usia > 35 tahun
 Menarche < 12 tahun menapouse > 55 tahun
 Nullipara
 Riwayat keluarga (orang tua, saudara kandung) dengan kanker payudara
Pemeriksaan Fisik : pemeriksaan fisik payudara
Kriteria Diagnosis : sesuai kriteria anamnesa dan pemeriksaan fisik dengan
tambahan konfirmasi biopsi.
Diagnosis:
kanker payudara ditegakkan dengan :
 Diagnosa konfirmasi keganasan : pemeriksaan klinis, FNA & pencitraan
(mamografi dan/atau USG payudara. (triple diagnostic)
 Diagnosa stadium kanker payudara : pemeriksaan klinis-laboratorium dan
pencitraan (foto toraks/paru – USG liver/abdomen – k/p bone scanning).
Pada keadaan dimana salah satu komponen dari triple diagnostic mengalami ketidak
sesuaian interpretasi maka dikerjakan biopsi dengan pemeriksan potong beku (bila
ada fasilitas) atau biopsi saja dulu untuk mengatasi jenis histopatologinya. Terapi
berikutnya tergantung dari hasil histopatologinya.
Diagnosis Banding :
- Keganasan lainnya dari payudara (sarkoma-limfoma dll)
- Tumor phylodes (ganas dan jinak)
- Mastitis yang luas (terutama mastitis tuberkolusa)
Pemeriksaan Penunjang :
 Mandatory
- Mamografi dan/atau USG payudara
- Foto toraks
- FNAB tumor payudara
- USG liver/abdomen
- Pemeriksaan kimia darah lengkap untuk persiapan operasi
 Oprional
- Bone scanning
- Pemeriksaan kimia darah/tumor marker : CEA,Ca 15-3, CA 125
Terapi :

18
Bedah
Tehnik operasi
Secara singkat tehnik operasi dari mastektomi radikal modifikasi dapat dijelaskan
sebagi berikut :
1. Penderita dalam general anesthesia, lengan ipsilateral dengan yang dioperasi
diposisikan abduksi 90, pundak ipsilateran dengan yang dioperasi diganjal bantal
tipis.
2. Desinfiksi lapangan operasi, bagian atas sampai dengan pertengahan leher, bagian
bawah sampai dengan umbilikus , bagian medial sampai pertengahan mamma
kontralateral, bagian lateral sampai dengan tepi lateral skapula. Lengan atas
didesinfeksi melingkar sampai dengan siku kemudian dibungkus dengan doek
steril dilanjutkan dengan mempersempit lapangan operasi dengan doek steril.
3. Bila didapatkan ulkus pada tumor payuidak berjarak 2 cdara, maka ulkus harus
ditutup dengan kasa steril tebal (buic gaas) dan dijahit melingkar.
4. Dilakukan insisi (macam – macam insisi adalah stewart, rr, Willy Meyer, Halsted,
insisi S) dimana garis insisi paling tidak bejarak 2 cm dari tepi tumor, kemudian
dibuat flap.
5. Flap atas sampai di bawah klavikula, flap medial samai parasternal ipsilateral,
flap bawah sampai inframammary fold, flap lateral sampai tepi anterior m.
Latissimus dorsi dan mengidentifikasi vasa dan N. Thoraclis dorsalis.
6. Mastektomi dimulai dari bagian medial menuju lateral sambil merawat
perdarahan, terutama cabang pembuluh darah interkostal di daerah parasternal.
Pada saat sampai pada tepi lateral m.pektoralis mayor dengan bantuan haak
jaringaan mamma dilepaskan dari m.Pektoralis minor dan seratus anterior
(mastektomi simple). Pada mastektomi radikal otot pektoralis sudah mulai.
7. Diseksi aksila dimulai dengan mencari adanya pembesaran KGB aksila level I
(lateral m.pektoralis minor), level II (dibelakang m.Pektoralis minor) dan level III
(medial m.pektoralis minor). Diseksi jangan lebih tinggi pada daerah vasa
aksilaris, karena dapat mengakibatkan edema lengan vena – vena yang menuju ke
jaringan mamma diligasi. Selanjutnya mengidentifikasi vasa dan n.Thorachalis

19
longus dam thoracalis dorsalis, interkostobrachialis. KGB internerural selanjutnya
didiseksi dan akhirnya jaringan mamma dan KGB aksila terlepas sebagai satu
kesatuan (en bloc)
8. Lapangan operasi dicuci dengan larutan sublimat dan Nacl 0.9%
9. Semua alat alat yang dipakai saat operasi diganti set baru, begitu juga dengan
handscoen operator, asisten dan instrumen serta doek sterilnya.
10. Evaluasi ulang sumber perdarahan
11. Dipasang 2 buah drain, drain yang besar (redon, no. 14) diletakkan dibawah vasa
aksilaris, sedang drain yang lebih kecil (no.12) diarahkan ke medial.
12. Luka operasi ditutup lapis demi lapis.
Non Bedah
1. Radioterapi : pre dan pasca operasi atau primer
2. Kemoterapi : neoadjuvant atau adjuvant atau primer dengan: CMF
(cyclofosfamid, metotrexat, flourouracil), CAF/CEF (cyclofosfamid,
adriamycin, epirubicin, cisplatinum)
3. Hormonterapi : pada kasus reseptor hormonal positif dengan cara ovariektomi
bilateral, radiokastrasi, tamoxifen selama 5 tahun, anastrozole, letrozole,
exemestane, GnRH analogeu (gozereline).
Edukasi :
1. menginformasikan pasien dan kelaurga tentang faktor prognostik dan faktor
prediktif tumor ganas payudara
Faktor prognostik : pengukuran klinis atau biologis yang berhubungan dengan
disease free survival atau overall survival tanpa pemberian adjuvant systemic therapy
Faktor diagnostik tersebut sanling memiliki keterkaitan yaitu :
- Yang berhubungan dengan penderita : usia, ras, status, menopouse
- Yang berhubungan dengan tumor : jenis histopatologi, grading, ukuran tumor,
metastase, KGB, angioinvasif, perinodal invasif, status reseptor hormonal
(ER/PR) overekpresi gen HER-2/ncu, status gen p53,cathepsin D
- Yang berhubungan dengan modalitas terapi.
Faktor prediktif adalah : setiap pegukuran yang berhubungan dengan berespon atau
kurang beresponnya terhadap pengobatan tertentu.

20
2. Menginformasikan kapan dan rencana tindakan ataupun kontrol rutin
Tahun 1 dan 2  kontrol tiap 2 bulan
Tahun 3 s/d 5  kontrol tiap 3 bulan
Setelah tahun 5  kontrol tiap 6 bulan
Pemeriksaan fisik : tiap 6 bulan
Thorak foto : tiap 6 bulan
Lab marker : tiap 2 – 3 bulan
Mammografi kontralateral : tiap tahun aau ada indikasi
USG abdomen : tiap 6 bulan atau ada indikasi
Bone scanning : tiap 2 tahun atau ada indikasi.
Prognosis :
Begantung pada staging
Ad vitam : dubia at bonam
Ad sanationam : dubia at bonam
Ad functionam : dubia at bonam
Komplikasi operasi
Dini : perdarahan
Lesi n. Thoracalis longus  wing scapula
Lesi n. Thoracalis dorsalis
Lambat : infeksi
Nekrosis flap
Wound dehiscene
Seroma
Edema lengan
Kekakuan sendi bahu  kontraktur
Mortalitas Hampir tak ada untuk tindakan operasi
Indikator Medis :
Indikasi Operasi
 Kanker payudara stadium dini (I,II)
 Kanker payudara stadium lanjut lokal dengan peryaratan tertentu
Keganasan jaringan lunak pada payudara.Pasca bedah penderita dirawat di ruangan
dengan mengobservasi produksi drain, memeriksa Hb pasca bedah. Rehabilitasi

21
dilakukan sesegera mungkin dengan melatih pergerakan sendi bahu. Drain dilepas
bila produksi masing –masing drain < 20 cc / 24 jam. Umumnya drain sebelah medial
dilepas lebih awal, karena produksinya lebih sedikit. Jahitan dilepas umumnya hari ke
10 s/d 14.
Kepustakaan :
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC,
Jakarta 1997.
LUKA BAKAR

Definisi :
Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api ketubuh (flash), terkena
air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat
bahan-bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn).
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :
a. Dalam luka bakar
 Tingkat I
Dengan keluhan terkena sumber panas, kemerahan, nyeri ringan , pada
pemeriksaan hanya mengenai epidermis.
 Tingkat II
Dengan keluhan terkena sumber panas, nyeri hebat seperti terbakar, dan dapat
berbentuk scar dengan dasar luka berwarna merah atau pucat, pada
pemeriksaan fisik Dibagi manjadi :
1. Superfisial, mengenai epidermis dan lapisan atas dari corium. Elemen –
elemen epiteliat yaitu dinding dari kelenjar keringat, lemak dan folikel
rambut masih banyak. Karenanya penyembuhan/epitelialisasi akan mudah
dalam 1 – 2 minggu tanpa terbentuk cicatrix.
2. Dalam, sisa – sisa jaringan epitelial tinggal sedikit, penyembuhan lebih
lama 3 – 4 minggu dan disertai pembentukan parut hipertropi.

22
 Tingkat III
Dengan keluhan terkena sumber panas, pada pemeriksaan mengenai seluhur
tebal kulit, tidak ada lagi sisa elemen epitelia. Luka bakar yang lebih dalam
dari kulit seperti sub kutan dan tulang dikelompokkan juga pada tingkat III.

b. Luas luka bakar


Walce membagi tubuh atas bagian – bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal
dengan nama Rule of Nine

Kriteria Diagnosis :
1. Sesuai kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis : Luka bakar grade I/II/III
Pemeriksaan Penunjang :
Terutama untuk luka bakar berat :
- lab darah (darah lengkap, kimia darah, analisa gas darah, urea/creatinin, faktor
pembekuan darah).
- Foto thorax

23
Terapi
Prioritas pengelolaan penderita luka secara umum perlu diperhatikan seperti
pengelolaan penderita trauma pada umumnya yaitu : Airway, Breathing, dan
Circulation.
 Terapi cairan
Orang dewasa dengan luka bakar tingkat II – III 20% atau lebih sudah ada
indikasi untuk pemberian infus karena kemungkinan timbulnya syok.
Sedangkan pada orang tua dan anak – anak batasnya 15%
Formula yang dipakai untuk pemberian cairan adalah formula menurut Bexter.
Formula Baxter terhitung dari saat kejadian maka (orang dewasa) :
 8 jam pertama ½ (4cc x KgBB x % luas luka bakar) Ringer Lactat
 16 jam perikutnya ½ (4cc x Kg x % luas luka bakar) Ringer Lactat
ditambah 500 – 1000 cc koloid
Modifikasi Formula Bexter untuk anak – anak adalah :
 Replacement : 2 cc/KgBB/% luas luka bakar
 Kebutuhan faali : umur sampai 1 tahun 100cc/KgBB
Umur 1 – 5 tahun 75cc/KgBB :
……………….
Umur 5 – 15 tahun 50cc/KgBB :
………………. +
Total cairan
: ……………….

Sesuai dengan anjuran Moncrief maka 17/20 bagian total cairan diberikan
dalam bentuk larutan Ringer Lactat dan 3/20 bagian diberikan dalam bentuk
koloid. Ringer lactat dan koloid dibeikan bersama dalam botol yang sama.
Dalam 8 jam pertama diberikan ½ jumlah total cairan dan dalam 16 jam
berikutnya diberikan ½ jumlah total cairan.

24
Tanda – tanda klinis penderita dan laboratorium apakah cairan yang diberikan
sudah memadai.
 Pengelolaan nyeri
Nyeri yang hebat dapat menyebabkan neurogenik syok yang terjadi pada jam
– jam pertama setelah trauma. Morphin diberikan dalam dosis 0.05 mg/Kg
(iv)
 Perawatan Luka
o Perawatan pertama
- Segera setelah terbakar, dinginkan luka dengan air dingin, yang
terbaik dengan tempetur 20C selama 15 menit.
- Luka bakar tingkat II dan III, penderita dibersihkan seluruh tubuhnya,
rambutnya dikeramas, kuku – kuku dipotong, lalu lukanya dibilas
dengan cairan yang mengandung desinfektan seperti sabun cetrimid
0.5% (savlon) atau kalium permanganat. Kulit – kulit yang mati
dibuang, bullae dibuka karena kebanyakan cairan di dalamnya akan
terinfeksi.
o Perawatan definitif
- Perawatan tertutup
Setelah luka bersih, ditutup dengan selapis kain steril berlubang –
lubang (tulle) yang mengandung vaselin dengan atau tanpa antibiotika
lalu dibebat tebal untuk mencegah evaporasi dan melindungi kulit dari
trauma dan bakteri. Sendi – sendi ditempatkan pada posisi full
extension.
- Perawatan terbuka
Eksudat yang keluar dari luka beserta debris akan mengering akan
menjadi lapisan eschar. Penyembuhan akan berlangsung dibawah
eschar. Penderita dirawat di dalam ruangan isolasi. Setiap eschar yang
pecah harus diberikan obat – obatan lokal dan dikontrol bila ada

25
penumpukan pus dibawah eschar maka harus dilakukan pemupukan
eschar (escharotomi).
- Perawatan semi terbuka
Sama seperti perawatan terbuka tetapi diberikan juga obat – obatan
lokal. Obat lokal berbentuk krim yang akan melunakkan eschar dan
memudahkan perawatan untuk dibersihkan.
 Obat – obatan lokal
Silver sulfadiazin krim 1% diberikan sehari – hari sekali. Silver sulfadiazin
bekerja sebagai bakterisida yang efektif terhadap kuman gram positif.
 Mandi
Badan penderita setiap 1-2 hari setelah resusitasi selesai harus dibersihkan
dari kototran yang melekat dengan memandikannya. Luka dibilas dengan
cairan yang mengandung desinfektan (savlon 1:30 atau kalium permanganat
1:10.000). Escharotomi pada perawatan terbuka umumnya dikerjakan pada
minggu kedua dengan cara eksisi memakai pisau, dermatom, elektro eksisi
atau enzimatik (kolagenase).
 Skin Grafting
Skin grafting sangat penting untuk penderita utnuk mempercepat
penyembuhan, mengurangi kehilangan cairan.
 Antibiotika Sistemik
Bakteri yang berada pada luka umumnya gram positif dan hanya berkembang
stempat, tetapi bakteri gram negatif seperti pseudomonas sangat invasif dan
banyak menimbulkan sepsis. Karena banyaknya jaringan nekrotik pada luka
bakar maka penetrasi antibiotika sistemik ke luka tidaklah meyakinkan. Oleh
karena itu antibiotika sistemik digunakan bila timbul gejala sepsis. Macam
antibiotika ditentukan dari kultur dari bagian yang terinfeksi, baik luka, darah
maupun urine.
 Nutrisi

26
Dukungan nutrisi yang baik sangat membantu penyembuhan luka bakar.
Edukasi :
- Menginformasikan perjalanan penyakit dan faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka bakar khususnya (usia, nutrisi,
oksigenasi, infeksi, merokok, diabetes mellitus, sirkulasi, faktor
mekanik, steroid, antibiotik).
Rehabilitasi
- Peletakan sendi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan kontraktur
- Fisioterapi sangat diperlukan untuk mencegah kekakuan.
Prognosis : bergantung pada derajat luka bakar
Sangat bergantung pada derajat dan luas luka bakar
1. Ad. Vitam : dubia at bonam
2. Ad. Sanationam : dubia at bonam
3. Ad. Functionam : dubia at bonam
Komplikasi Luka Bakar
 Fase akut : syok, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
 Fase subakut : infeksi dan sepsis
 Fase Lanjut : parut hipertropik
Mortalitas pada luka bakar disebabkan oleh :
 Syok karena kehilangan cairan
 Gagal jantung karena Myocardial Depressing Factor
 Sepsis
 Gagal ginjal akut
 Komplikasi lain seperti pnemonia
Indikator Medis :
- Indikasi rawat inap untuk anak terutama balita setiap luka bakar karena
mempertimbangkan kesulitan menilai dehidrasi
- Untuk dewasa bergantung pada derajat dan luas luka bakar
Kepustakaan :

27
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC,
Jakarta 1997.

TRAUMA THORAKS (PNEMOTHORAKS & HEMATOTHORAKS)

Definisi :
Semua keadaan rudapaksa pada thoraks dan dinding thoraks, baik trauma/rudapaksa
tajam maupun tumpul.
- Bila kemudian di dapatkan udara atau gas dalam rongga pleura
tersebut kita sebut sebagai pneumothoraks
- Bila terjadi kumpulan darah didalam rongga pleura kita sebut dengan
hemaothoraks
Anamnesis:
1. Sesak nafas, pernafasan asimetri
2. Nyeri, nafas berkurang dan batuk. Hemothoraks jarang menimbulkan nyeri.
3. Denyut jantung lebih cepat
4. Kulit dapat sianosis untuk yang berat, kadang anemia dan syok hipovolemik
terjadi untuk hemothoraks
Pemeriksaan Fisik :
1. Pneumothoraks : dapat terjadi pengembangan pada sisi yang sakit, dan saat
bernafas tertinggal, trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
(pneumomediastinum).
Palpasi : pada sisi yang sakit celah intercostal melebar, iktus terdorong kesisi
sehat, fremitus melemah pada sisi sakit. Didapatkan emfisema subcutis
Perkusi : suara ketok sisi sakit hipersonor sampai timpani, batas jantung
terdorong ke arah sehat.
Auskultasi : suara nafas lemah sampai hilang pada sisi sakit.
2. Hematothorax : saat bernafas dada yang sakit tertinggal, trakea dan jantung
terdorong ke sisi yang sehat bila berat.

28
Palpasi : pada kondisi berat sisi yang sakit celah intercostal melebar, iktus
terdorong kesisi sehat, fremitus melemah pada sisi sakit.
Perkusi : suara ketok sisi sakit yang terakumulasi darah pekak/redup, batas
jantung terdorong ke arah sehat.
Auskultasi : suara nafas lemah sampai hilang pada sisi sakit yang
terakumulasi darah.
Kriteria Diagnosis :
Sesuai kriteria anam nesis dan pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis : Trauma thoraks ( pneumothorax/hematothorax)
Diagnosis Banding :
1. Cardiac tamponade
2. Sesak non trauma – asma
Pemeriksaan Penunjang
1. X-Foto thoraks 2 arah (PA/AP & Lat)
2. Lab Darah
3. CT scan thorax
Terapi :
1. Observasi dan pemberian Oksigen
2. Tindakan dekompresi (dapat menggunakan infus set, jarum abocath, atau
lebih baik dengan WSD)
Pemasangan SWD
1. Pasien dalam keadaan posisi ½ duduk (±45)
2. Dilakukan desinfeksi dan penutuban lapangan operasi dengan doek steril
3. Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain 2% secara infiltrasi pada daerah
kulit sampai pleura
4. Tempat yang akan dipasang drain adalah :
o Linea axillaris depan, pada ICS IX-X (Buelau)
o Dapat lebih proximal, bila perlu. Terutama pada anak – anak karena
letak diafragma tinggi
o Linea medio-clavicularis (MCL) pada ICS II-III (Monaldi)
5. Dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan bawah kulit
6. Dipasang jahitan penahan secara matras vertikal miring dengan side 0.1

29
7. Dengan gunting berujung lengkung atau klem tumpul lengkung, jaringan
bawah kulit dibebaskan sampai pleura dengan secara pelan pleura ditembus
hingga terdengar suara hisapan, berarti pleura parictalis sudah terbuka.
Catatan : pada hematothoraks akan segera menyemprot darah keluar, pada
pnemothoraks, udara yang keluar.
8. Drain dengan trocarnya dimasukkan melalui lobang kulit tersebut kearah cranial
lateral. Bila memakai drain tanpa trocar, maka ujung drain dijepit dengan klaim
tumpul, untuk memudahkan mengarahkan drain.
9. Harus diperiksa terlebih dahulu, apakah pada drain sudah cukup dibuat atau
terdapat lobang – lobang samping yang panjangnya kira – kira dari jarak apex
sampai lobang kulit duapertiganya.
10. Drain kemudian didorong masuk sambil diputar sedikit kearah lateral sampai
ujungnya kira – kira ada dibawah apex paru (Bulleau)
11. Setelah drain pada posisi, maka diikat dengan benang pengikat berputar ganda,
diakhiri dengan simpul hidup.
12. Bila dipakai drainage menurut Monaldi, maka drain didorong ke bawah dan
lateral sampai ujungnya kira – ira dipertengahan rongga toraks.
13. Sebelum pipa drainage dihubungkan dengan sistem botol penampung, maka harus
diklem dahulu.
14. Pipa drainage ini kemudian dihubungkan dengan sistem botol penampung, yang
akan menjamin terjadinya kembali tekanan negatif pada rongga intrapleural,
disamping juga akan menampung sekrit yang keluar dari rongga toraks.
3. Thoracoscopy
4. Thoracostomy
Edukasi
- Untuk sementara waktu dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
- Berlatih meniup balon perlahan lahan
- Kontrol 7 hari setelah diperbolehkan pulang atau bila ada keluhan
batuk, sesak nafas
Prognosis :

30
Bila dilakukan secara benar, komplikasi dapat dihindari. Morbiditas sangat rendah,
mortalitas 0%.
1. Ad vitam : dubia at bonam
2. Ad sanationam : dubia at bonam
3. Ad functionam : dubia at bonam
Indikator Medis :
1. Kriteria pencabutan
 Sekrit serous, tidak hemorage
Dewasa : jumlah kurang dari 100cc/24 jam
Anak – anak : jumlah kurang dari 25 – 50 cc/24 jam
 Paru mengembang
Klinis : suara paru mengembang kanan = kiri
Evaluasi foto toraks
2. Kondisi
 Pada trauma
Hemato/pneumothorak yang sudah memenuhi kedua kriteria, langsung
dicabut dengan cara air-tight (kedap udara)
 Pada thoracotomi
a. Infeksi : klem dahulu 24 jam untuk mencegah resufflasi, bila baik cabut
b. Post operatif : bila memenuhi kedua kriteria, langsung dicabut (air-
tight)
c. Post pneumonektomi : hari ke – 3 bila mediastinum stabil (tak perlu
air-tight)
3. Alternatif
1) Paru tetap kolaps, hisap sampai 25cmH20 :
- Bila kedua kriteria dipenuhi, klem dahulu 24 jam, tetap baik  cabut
- Bila tidak berhasil, tunggu sampai 2 minggu  dekortikasi
2) sekrit lebih dari 200cc/24 jam : curiga adanya Chylo thoraks (pastikan
dengan pemeriksaan laboratorium), pertahankan sampai dengan 4 minggu.
- Bila tidak berhasil Toracotomi
- Bila sekrit kurang 100 cc/24 jam, klem kemudian dicabut.
Kepustakaan :

31
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC, Jakarta
1997.

HEMOROID

Definisi :
Dilatasi varikosus vena dari plexus hemorrhoidal inferior dan superior.
Anamnesis :
Keluar darah segar saat BABterutama saat feses keluar atau setelah feses
keluar, keluar benjolan lewat anus dapat keluar masuk dan dapat juga tidak bisa, rasa
nyeri pada dubur dan dapat disertai gatal.

32
Pemeriksaan Fisik :
Dapat ditemukan adanya pembengkakan vena yang mengindikasikan
hemoroid eksternal atau hemoroid internal yang mengalami prolaps. Hemoroid
internal derajat I dan II biasanya tidak dapat terlihat dari luar dan cukup sulit
membedakannya dengan lipatan mukosa melalui pemeriksaan rektal kecuali
hemoroid tersebut telah mengalami trombosis. Daerah perianal juga diinspeksi untuk
melihat ada atau tidaknya fisura, fistula, polip, atau tumor. Selain itu ukuran,
perdarahan, dan tingkat keparahan inflamasi juga harus dinilai.
Kriteria Diagnosis :
- Kriteria diagnosis sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas.
Diagnosis : Hemoroid grade I/II/III/IV
Diagnosis Banding :
- Ca rekti, prolaps rekti, keradangan anorektal.
Pemeriksaan Penunjang :
- Protoskopi, sigmoidoskopi anorektal
Terapi :
Penatalaksanaan Konservatif
Sebagian besar kasus hemoroid derajat I dapat ditatalaksana dengan
pengobatan konservatif. Tatalaksana tersebut antara lain koreksi konstipasi jika ada,
meningkatkan konsumsi serat, laksatif, dan menghindari obat-obatan yang dapat
menyebabkan kostipasi seperti kodein. Penelitian meta-analisis akhir-akhir ini
membuktikan bahwa suplemen serat dapat memperbaiki gejala dan perdarahan serta
dapat direkomendasikan pada awal.
Kombinasi antara anestesi lokal, kortikosteroid, dan antiseptik dapat mengurangi
gejala gatal-gatal dan rasa tak nyaman pada hemoroid.
Pembedahan

33
Hemoroid internal derajat I yang tidak membaik dengan penatalaksanaan
konservatif maka dapat dilakukan tindakan pembedahan. indikasi tatalaksana
pembedahan hemoroid antara lain:
a. Hemoroid internal derajat II berulang.
b. Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala.
c. Mukosa rektum menonjol keluar anus.
d. Hemoroid derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura.
e. Kegagalan penatalaksanaan konservatif.
f. Permintaan pasien.

Pembedahan yang sering dilakukan yaitu:


1. Skleroterapi. Teknik ini dilakukan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %, vegetable
oil, quinine, dan urea hydrochlorate atau hypertonic salt solution. Lokasi injeksi
adalah submukosa hemoroid. Efek injeksi sklerosan tersebut adalah edema, reaksi
inflamasi dengan proliferasi fibroblast, dan trombosis intravaskular. Reaksi ini akan
menyebabkan
fibrosis pada sumukosa hemoroid.
2. Rubber band ligation. Ligasi jaringan hemoroid dengan rubber band menyebabkan
nekrosis iskemia, ulserasi dan scarring yang akan menghsilkan fiksasi jaringan ikat
ke dinding rektum.
3. Infrared thermocoagulation. Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah
menjadi panas. Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur
banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan koagulasi, oklusi,
dan sklerosis jaringan hemoroid.
4. Bipolar Diathermy. Menggunakan energi listrik untuk mengkoagulasi jaringan
hemoroid dan pembuluh darah yang memperdarahinya.
5. Laser haemorrhoidectomy.
6. Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation. Teknik ini dilakukan
dengan menggunakan proktoskop yang dilengkapi dengan doppler probe yang dapat

34
melokalisasi arteri. Kemudian arteri yang memperdarahi jaringan hemoroid tersebut
diligasi menggunakan absorbable suture.
7. Cryotherapy.
8.Stappled Hemorrhoidopexy. Teknik dilakukan dengan mengeksisi jaringan
hemoroid pada bagian proksimal dentate line. Keuntungan pada stappled
hemorrhoidopexy adalah berkurangnya rasa nyeri paska operasi selain itu teknik ini
juga aman dan efektif sebagai standar hemorrhoidectomy
Edukasi :
- Pasien tidak boleh mengejan atau menahan hasrat BAB yang dapat
menyebabkan feses mengeras..
- Makan makanan yang tinggi serat.
- Minum air 6-8 gelas setiap hari
Prognosis :
- Ad vitam : dubia at bonam
- Ad sanationam : dubia at bonam
- Ad functionam : dubia at bonam
Indikator Medis :
- Kepulangan menilai berdasar klinis pasien, dan minimal perawatan 3
hari.
- Untuk grade III/IV sudah mengindikasikan tindakan bedah untuk
dilakukan
Kepustakaan :
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC,
Jakarta 1997.
Fistula Perianal

Definisi :
Saluran abnormal yang dibatasi oleh jaringan granulasi, yang menghubungkan
satu ruang (dari lapisan epitel usus atau rektum) ke ruang rain, biasanya menuju ke
epidermis kulit didekat anus, tapi bisa juga ke organ lainnya seperti kemaluan.

35
Anamnesis :
Radang septik, timbulnya abses dan fistula. Pus atau feses dapat bocor secara
konstan dari lubang kutaneus. Dapat juga pasase flatus atau feses dari vagina atau
kandung kemih, tergantung letak fistula. Biasanya fistula mengelaurkan nanah
atau feses berdarah, ekskoriasi, eritem pada kulit.
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan daerah anus dengan digital/rectal toucher ditemukan satu atau lebih
eksternal opening fistula atau teraba adanya fistula dibawah permukaan kulit.
Eksternal fistula tampak sebagai bisul (bila abses belum pecah) atau jaringan
granulasi. Internal opening fistula dapat dirasakan sebagai daerah indurasi/nodul
di dinding anus.
Kriteria Diagnosis :
- Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas.
Diagnosis : Fistula Perianal
Diagnosis Banding :
- Radang spesifik (TBC)
- Inflamatory bowel disease
- Hydradenitis supurativa
- Sinus pilonidalis
- Keganasan kolon rektum
Pemeriksaan Penunjang :
Fistulografi : pada kasus fistel yang kompleks
Terapi :
Pembedahan terutama fistulotomi selalu dianjurkan karena ada beberapa fistula yang
sembuh secara spontan.
Fistulotomi
Membuka saluran yang menghubungkan anal kanal dan kulit kemudian mengalirkan
pus keluar. Sebelumnya usus bawah dievakuasi secara seksama dengan enema yang
terprogram. Selama pembedahan saluran sinus diidentifikasi dengan memasang alat
kedalam atau dengan menginjeksi saluran dengan larutan biru metilen. Fistula di

36
diseksi keluar atau dibiarkan terbuka dan insisi lubang rektalnya mengarah keluar.
Luka di beri tampon dengan kasa.
Edukasi :
- Tirah baring telungkup sementara.
- Makan makanan yang lebih lunak
- Menjaga higiene lebih baik
Prognosis :
- Ad vitam : dubia at bonam
- Ad sanationam : dubia at bonam
- Ad functionam : dubia at bonam
Indikasi medis :
- Pasien di pulangkan berdasar kondisi klinis dengan lama perawatan
minimal 5 hari.
Kepustakaan :
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC, Jakarta
1997.

BATU SALURAN KEMIH

Definisi :
Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit dimana didapatkan masa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih baik saluran kemih atas
(ginjal dan ureter) dan saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra), yang dapat
menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi. Batu ini bisa
terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu
kandung kemih). Batu ini terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium,
asam urat, atau sistein.

37
BSK memiliki ukuran yang bervariasi. Batu yang berukuran kecil biasanya tidak
menimbulkan gejala dan biasanya dapat keluar bersama dengan urine ketika
berkemih. Batu yang berada di saluran kemih atas (ginjal dan ureter) menimbulkan
kolik dan jika batu berada di saluran kemih bagian bawah (kandung kemih dan uretra)
dapat menyebabkan retensi urin. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun
tubulus renalis dapat menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik
yang hebat di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang yang menjalar ke perut
juga daerah kemaluan dan paha sebelah dalam). Hal ini disebabkan karena adanya
respon ureter terhadap batu tersebut, dimana ureter akan berkontraksi yang dapat
menimbulkan rasa nyeri kram yang hebat.
Anamnesis :
 Rasa Nyeri
Lokasi nyeri tergantung dari letak batu. Rasa nyeri yang berulang (kolik) tergantung
dari lokasi batu. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan diseluruh
area kostovertebratal, tidak jarang disertai mual dan muntah, maka pasien tersebut
sedang mengalami kolik ginjal. Batu yang berada di ureter dapat menyebabkan nyeri
yang luar biasa, akut, dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Pasien sering
ingin merasa berkemih, namun hanya sedikit urine yang keluar, dan biasanya air
kemih disertai dengan darah, maka pasien tersebut mengalami kolik ureter.
 Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang beredar di dalam darah sehingga
menyebabkan suhu badan meningkat melebihi batas normal. Gejala ini disertai
jantung berdebar, tekanan darah rendah, dan pelebaran pembuluh darah di kulit.
 Infeksi
BSK jenis apapun seringkali berhubungan dengan infeksi sekunder akibat obstruksi
dan statis di proksimal dari sumbatan. Infeksi yang terjadi di saluran kemih karena
kuman Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas, dan
Staphiloccocus.
 Hematuria dan kristaluria

38
Terdapatnya sel darah merah bersama dengan air kemih (hematuria) dan air kemih
yang berpasir (kristaluria) dapat membantu diagnosis adanya penyakit BSK.
 Mual dan muntah
Obstruksi saluran kemih bagian atas (ginjal dan ureter) seringkali menyebabkan mual
dan muntah.
Pemeriksaan Fisik :
 Pemeriksaan Tanda Vital (hiperteensi, febris, tanda syok)
 Pemeriksaan status urologi:
- Inspeksi : Penonjolan suprapubik, bila terjadi retensi urin dengan buli
penuh.
- Palpasi : nyeri tekan dan atau nyeri ketok pada regio costo-vertebra angle,
terabanya ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis dan buli-buli
yang penuh akibat retensi urin.
Retensi urin, infeksi yang disertai demam dan menggigil dan terlihat tanda-tanda
gagal ginjal.
Kriteria Diagnosis :
1. Anamnesis, berupa gejala iritatif dan obstuktif.
2. Pemeriksaan Fisik
- Nyeri tekan dan atau nyeri ketok costo-vertebra angle
- Terabanya ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis
- Retensi urin, infeksi yang disertai demam dan menggigil dan terlihat
tanda-tanda gagal ginjal.
3. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium (Darah rutin, Urinalysis)
Radiologis (BNO dan IVP)
Diagnosis : Batu saluran kemih
Diagnosis Banding :
- Infeksi saluran kemih,
- Tumor traktus urogenitalis
Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan Laboratorium

39
 Darah lengkap (untuk mengetahui apakah terjadi infeksi yaitu peningkatan
jumlah leukosit dalam darah) dan elektrolit.
 Urinalisis : urin rutin dan kultur urin.
- Dilakukan untuk mengetahui adanya hematuria dan bakteriuria, dengan
adanya kandungan nitrit dalam urine. Selain itu, nilai pH urine harus diuji
karena batu sistin dan asam urat dapat terbentuk jika nilai pH kurang dari
6,0, sementara batu fosfat dan struvit lebih mudah terbentuk pada pH urine
lebih dari 7,2.23
- Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi
atau inflamasi pada saluran kemih (leukosituria dan hematuria).
- Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
menganggu faal ginjal karena adanya penyulit seperti hidronefrosis
menyebabkan infeksi dan urolithiasis.
- Pemeriksaan kultur urin dilakukan bila terdapat kecurigaan infeksi saluran
kemih, berguna untuk mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi
dan sekaligus menentukan sensitivitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan.
- Pemeriksaan sitology urin dilakukan bila adanya kecurigaan karsinoma
buli – buli.
 Pemeriksaan fungsi ginjal (BUN, Creatinin serum)
2. Pencitraan
- Foto Polos abdomen
Untuk melihat batu di daerah ginjal, ureter dan kandung kemih. Dimana
dapat menunjukan ukuran, bentuk, posisi batu dan dapat membedakan
klasifikasi batu yaitu dengan densitas tinggi biasanya menunjukan jenis
batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, sedangkan dengan densitas
rendah menunjukan jenis batu struvit, sistin dan campuran. Pemeriksaan
ini tidak dapat membedakan batu di dalam ginjal maupun batu diluar
ginjal.
- Intravenous Pyelogram (IVP)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai anatomi dan fungsi ginjal. Jika IVP
belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya

40
penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan
pielografi retrograd.
- Ultrasonografi (USG)
USG dapat menunjukan ukuran, bentuk, posisi batu dan adanya obstruksi.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi diperlukan pada wanita hamil dan
pasien yang alergi terhadap kontras radiologi. Keterbatasn pemeriksaan ini
adalah kesulitan untuk menunjukan batu ureter, dan tidak dapat
membedakan klasifikasi batu.
- Computed Tomographic (CT) scan
Pemindaian CT akan menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang
ukuran dan lokasi batu.
Terapi :
Tujuan dasar penatalaksanaan medis BSK adalah untuk menghilangkan batu,
menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi, dan
mengurangi obstruksi yang terjadi. Batu dapat dikeluarkan dengan cara
medikamentosa, pengobatan medik selektif dengan pemberian obat-obatan, tanpa
operasi, dan pembedahan terbuka.
 Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang berukuran lebih
kecil yaitu dengan diameter kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat
keluar tanpa intervensi medis. Dengan cara mempertahankan keenceran urine
dan diet makanan tertentu yang dapat merupakan bahan utama pembentuk
batu ( misalnya kalsium) yang efektif mencegah pembentukan batu atau lebih
jauh meningkatkan ukuran batu yang telah ada. Setiap pasien BSK harus
minum paling sedikit 8 gelas air sehari.
 Pengobatan Medik Selektif dengan Pemberian Obat-obatan
Analgesia dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan
agar batu dapat keluar sendiri secara spontan. Opioid seperti injeksi morfin
sulfat yaitu petidin hidroklorida atau obat anti inflamasi nonsteroid seperti
ketorolac dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri.
Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter. Pemberian

41
antibiotik apabila terdapat infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu
untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah batu dikeluarkan, BSK dapat
dianalisis untuk mengetahui komposisi dan obat tertentu dapat diresepkan
untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya.
 ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Merupakan tindakan non-invasif dan tanpa pembiusan, pada tindakan
ini digunakan gelombang kejut eksternal yang dialirkan melalui tubuh untuk
memecah batu. Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama
kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu
ureter proximal, atau menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. ESWL dapat mengurangi keharusan
melakukan prosedur invasif dan terbukti dapat menurunkan lama rawat inap
di rumah sakit.
 Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan BSK yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian
mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukan langsung
kedalam saluran kemih. Alat tersebut dimasukan melalui uretra atau melalui
insisi kecil pada kulit (perkutan). Beberapa tindakan endourologi tersebut
adalah :
- PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) adalah usaha mengeluarkan batu
yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukan alat
endoskopi ke sistem kalies melalui insisi pada kulit. Batu kemudian
dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
- Litotripsi adalah memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli.
- Ureteroskopi atau uretero-renoskopi adalah dengan memasukan alat
ureteroskopi per-uretram. Dengan memakai energi tertentu, batu yang
berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui
tuntunan ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.

42
- Ekstrasi Dormia adalah mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya
melalui alat keranjang Dormia.
 Tindakan Operasi
Penanganan BSK, biasanya terlebih dahulu diusahakan untuk mengeluarkan
batu secara spontan tanpa pembedahan/operasi. Tindakan bedah dilakukan jika
batu tidak merespon terhadap bentuk penanganan lainnya. Ada beberapa jenis
tindakan pembedahan, nama dari tindakan pembedahan tersebut tergantung dari
lokasi dimana batu berada, yaitu :
 Nefrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di dalam ginjal
 Ureterolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di ureter
 Vesikolitomi merupakan operasi tebuka untuk mengambil batu yang
berada di vesica urinearia
 Uretrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di uretra
Edukasi :
 Saran untuk perubahan gaya hidup;
- Meningkatkan intake cairan(minimal 1.5liter).
- Kurangi diet tinggi oksalat seperti teh, kacang-kacangan, kedelai, dsb.
- Diet rendah purin dan rendah protein hewani.
- Menghindari duduk dalam waktu lama.
Hindari kebiasaan menahan BAK.
Prognosis :
 Ad vitam : dubia at bonam
 Ad sanationam : dubia at bonam
 Ad functionam : dubia at bonam
Sekitar 80-85% batu keluar secara spontan. Sekitar 20% pasien membutuhkan
perawatan di rumah sakit oleh karena nyeri yang terus menerus, ketidakmampuan
untuk mempertahankan intake cairan enteral, ISK yang proksimal, atau
ketidakmampuan mengeluarkan batu.

43
Kebanyakan morbiditas dan aspek yang berpotensial membahayakan dari
penyakit batu disebabkan adanya kombinasi dari obstruksi saluran kemih dan infeksi
saluran kemih bagian atas. Diagnosis dini dan oprasi drainase secara segera
dibutuhkan dalam situasi ini.
Angka kekambuhan untuk batu ureter adalah sekitar 50% dalam 5 tahun dan 70%
atau lebih dalam 10 tahun. Telah dilaporkant angka kekambuhan setelah episode awal
dari uretrholitiasis adalah 14%, 35%, dan 52% pada 1, 5 dan 10 tahun.
Indikator Medis :
 Indikasi oprasi pada pasien dengan batu ureter, antara lain:
- Batu > 5 mm
- Obstruksi sedang / berat
- Batu di saluran kemih proksimal
- Infeksi berulang
Selama pengamatan batu tidak dapat turun
Kepustakaan :
1. Kalowski S. 1992. Urinary Tract Infections Medicol Progress; 19(3) : 21-24
2. Worcester EM, Coe FL. Nephrolithiasis. Prim Care. Jun 2008;35(2):369-91, vii.
3. Campbell J.E. 1982. Imaging of urinary tract. Medicine International; 1 (22-24):
1054-61
4. Stoller ML, Bolton DM. 2000. Urinary Stone Disease In : Tanagho EA, Mc
Aninch JW Smith’s General Urology, 15 edition. New York: Mc Graw-Hill
Companie, 2000,291-316
Tiselius HG, Alken P, Buck C, Gallucci M, Knoll T, Sarica K, Turk C. Guidelines on
urolithiasis. Arnhem (The Netherlands): European Association of Urology (EAU);
2008 Mar. 128 p.

PEMBESARAN PROSTAT JINAK/ BENIGN PROSTATIC HYPERLASIA


(BPH)

44
Definisi :
Benign Prostatic Hyperplasia meupakan diagnosis secara histologi yang
menunjukkan terjadinya proliferasi dari sel-sel pada prostat. Pada BPH terjadi
peningkatan proliferasi pada epitel di periuretra dan zona transisi. Hal terebut
menyebabkan ukuran prostat bertambah, sehingga menekan uretra yang
menyebabkan terjadinya gangguan aliran keluar urine dari buli-buli.
Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra pars-
prostatika dan menghambat aliran urin sehingga menyebabkan tingginya tekanan
intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomik buli-buli,
yakni: hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS).
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke ureter atau terjadinya refluks vesikoureter.
Jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan jatuh ke
dalam gagal ginjal.
Anamnesis :
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah.
Manifestasi klinis timbul akibat peningkatan intrauretra yang pada akhirnya
dapat menyebabkan sumbatan aliran urin secara bertahap. Meskipun manifestasi
dan beratnya penyakit bervariasi, tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan
penderita datang berobat, yakni adanya LUTS (Lower Urinary Tract Syndrome).
Keluhan LUTS terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritatif.
1. Gejala iritatif (storage), terdiri dari : (key: FUN)
- Frekuensi : sering BAK >8 kali/ 24 jam
- Urgensi : keinginan BAK yang mendesak/ tergesa – gesa untuk buang air
kecil.
- Nokturia : terbangun di malam hari untuk BAK (lebih dari 1 kali)

45
- Disuria : nyeri saat buang air keciil.
2. Gejala obstruksi (Voiding), antara lain : (key: HI POS)
- Hesitansi : menunggu lama pada awal BAK.
- Intermitensi : BAK terputus – putus.
- Pancaran miksi melemah (Power : weak stream)
- Straining : harus mengedan saat BAK.
- Retensi urin
- Inkontinensia karena overflow
Post micturition (key:RT)
- Miksi tidak puas (Incomplete emptying : residual volume >100ml)
- Menetes setelah miksi (Terminal dribbling)
 Keluhan pada saluran kemih bagian atas
Keluhan dapat berupa gejala obstruksi, antara lain : nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis).
 Gejala di luar saluran kemih.
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis
atau hemoroid, yang timbul karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.

Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah International Prostatic


Symptom Score (IPSS). Sistem skoring IPSS terdiri atas 7 pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan LUTS dan 1 pertanyaan yang berhubungan dengan
kualitas hidup pasien.

Dari skor tersebut dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu
sebagai berikut :

- Ringan : skor 0- 7

- Sedang : skor 8-19

- Berat : skor 20-35

46
Pemeriksaan Fisik :
 Status Urologis :
- Inspeksi : Penonjolan suprapubik, bila terjadi retensi urin dengan buli
penuh.
- Palpasi : buli-buli yang penuh dapat teraba sebagai massa kistik si daerah
supra simpisis akibat retensi urin.
 Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan
pemeriksaan fisik yang penting pada BPH, karena dapat menilai tonus sfingter ani,
pembesaran atau ukuran prostat dan kecurigaan adanya keganasan seperti nodul
atau perabaan yang keras. Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat,
konsistensi, cekungan tengah, simetri, indurasi, krepitasi dan ada tidaknya nodul.
- Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, seperti
meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris, dan tidak didapatkan
nodul. Sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras dan
teraba nodul, dan mungkin antara lobus prostat tidak simetri.

47
Pada saat DRE diperhatikan pula tonus sfincter ani dan refleks bulbokavernosus yang
dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral.
Kriteria Diagnosis :
 Anamnesis, berupa gejala iritatif dan obstuktif.
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal,
kedua lbus simetris, tidak dodapatkan nodul. (Evaluasi besarnya prostat,
konsistensi, cekungan tengah, keimetrisan, indurasi, krepitasi dan ada tidaknya
nodul).
Diagnosis : BPH
Diagnosis Banding :
 Diagnosis banding pada pasien dengan keluhan obstruksi, antara lain :
- striktur uretra,
- kontraktur leher vesika,
- batu buli – buli kecil,
- kanker prostat
- kelemahan destrusor (misal pada penderita asma kronik yag menggunakan
obat parasimpatolitik).
 Sedangkan pada pasien dengan keluhan iritatif, diagnosis bandingnya antara lain :
- instabilitas destrusor,
- karsinoma in situ vesika,
- infeksi saluran kemih,
- prostatitis,
- batu ureter distal
batu vesika kecil.
Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan Laboratorium
 Darah lengkap, elektrolit.
 Urinalisis : urin rutin dan kultur urin.
- Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi
atau inflamasi pada saluran kemih (leukosituria dan hematuria).
- Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
menganggu faal ginjal karena adanya penyulit seperti hidronefrosis
menyebabkan infeksi dan urolithiasis.

48
- Pemeriksaan kultur urin dilakukan bila terdapat kecurigaan infeksi saluran
kemih, berguna untuk mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi
dan sekaligus menentukan sensitivitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan.
- Pemeriksaan sitology urin dilakukan bila adanya kecurigaan karsinoma
buli – buli.
 Pemeriksaan fungsi ginjal (BUN, Creatinin serum)
 Pemeriksaan penanda tumor prostat (PSA/ Postate Specific Antigen)
- Perlu dilakukan penanda tumor prostat, jika dicurigai adanya keganasan/
karsinoma prostat.
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specifik. Serum
PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH;
dalam hal ini jika kadar PSA tinggi, berarti: (a) pertumbuhan volume
prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih
jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut. . Pertumbuhan
volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA,
dikatakan bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan
prostat.
Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah :
- 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
- 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
- 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
- 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
Nilai PSA normal di negara – neara yang memiliki prevalensi kanker
postat tinggi adalah di bawah 4 ng/ml. Nilai PSA 4-0 ng/ml dianggap
sebagai daerah kelabu (gray area), perlu dilakukan penghitungan PSA
Density (PSAD), yaitu serum PSA dibagi dengan volume prostat. Apabila
nilai PSAD 0,15, perlu dilakukan biopsy prostat. Nilai PSA 10 ng/ml
dianjurkan untuk dilakukan biopi prostat.
2. Pencitraan

49
- Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran
kemih, batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan bayangan buli-buli yang
penuh terisi urin, yang merupakan tanda retensi urin.
- Pemeriksaan USG prostat secara Trans Rectal Ultra Sound (TRUS),
digunakan untuk mengetahui besar, bentuk dan volume prostat , adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna sebagai petunjuk untuk melakukan
biopsi aspirasi prostat, menentukan jumlah residual urin dan mencari
kelainan lain pada buli-buli.
- Pemeriksaan USG secara Trans Abdominal Ultra Sound (TAUS) dapat
mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi
BPH yang lama.
Cat : Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna
memperkirakan besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini
tidak direkomendasikan. Namun pemeriksaan itu masih berguna jika
dicurigai adanya striktura uretra.
3. Pemeriksaan lain
- Catatan harian miksi (voiding diaries).
Voiding diaries dilakukan unuk menilai fungsi traktus urinarius. Dilakukan
pencatatan waktu(kapan) dan jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta
kapan dan jumlah urine yang dikemihkan. Pencatatan sebaiknya dikerjakan 7
hari berturut – turut, namun pencatatan 3-4 hari sudah cukup untuk menilai
overaktivitas destrusor.
Dari hal ini dapat diketahui apakah pasien menderita nokturia idiopatik,
instabilitas destrusor akibat obstruksi infra- vesika, atau karena polyuria
akibat asupan cairan yang berlebih.
- Pengukuran Residual Urine (post voiding residual urine/ PVR) dilakukan
untuk dapat memperkirakan derajat obstruksi prostat. Residual urine adalah
sisa urin yang tertinggal di dalam buli – buli setelah miksi. Pemeriksaan
residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melaku-kan
pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien

50
berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui
USG atau bladder scan.
- Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses
miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini bertujuan unuk mendeteksi gejala
obstruksi pada saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dengan
uroflometri dapat diukur : 1. Pancaran urin maksimal (Maksimal flowrate-
Qmax), 2. Pancaran rata – rata (Qwave), 3. Waktu yang doided volume).ikuar
(velbutuhkan hingga mencapai pancaran maksimum, 4. Lama pancaran, 5.
Volume urine yang dikeluarkan.
Terapi :
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien,
maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya.
Pilihan terapi BPH, antara lain: (1) tanpa terapi (watchful waiting), (2)
medikamentosa, dan (3) terapi intervensi (Tabel 1). Di Indonesia, tindakan
Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih merupakan pengobatan
terpilih untuk pasien BPH.
Tabel 1. Pilihan Terapi pada BPH
Observas Medikamentos Terapi Intervensi
Pembedahan Invasif
i a
Minimal
Watchful - Antagonis Endourologi: TUMT
waiting adrenergik-α
- TURP HIFU

- TUIP Stent uretra


- Inhibitor
reduktase-5α - TULP TUNA

Elektrovaporisasi ILC
- Fitoterapi

51
1. Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun, tetapi
perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa
terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS di bawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines
masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor
sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7),
pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat
>30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting.
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya
diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan
obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan
pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan
diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju
pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah
jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang
lain.
2. Medikamentosa
Dengan skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang pasien memerlukan
terapi. Jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa
atau terapi lain.
Tujuan terapi medikamentosa adalah :
a. Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik.
b. Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik.
Jenis obat yang digunakan adalah :

52
1. Antagonis adrenergik reseptor α, dapat berupa
- preparat non selektif: fenoksibenzamin
- preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin
- preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan
tamsulosin.
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride.
3. Fitofarmaka
3.Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat
atau pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Yang termasuk ablasi
jaringan prostat adalah pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser
prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi alternatif adalah interstitial laser
coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra.
Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih
merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH.
Edukasi :
Saran untuk perubahan gaya hidup;
- Kurangi intake cairan menjelang tidur atau waktu spesifik lain yg dapat
mengganggu(minimal 1.5liter).
- Kurangi kafein dan alkohol.
- Teknik distraksi; latihan distraksi keinginan berkemih seperti latihan nafas,
penile squeezing, tekanan perineal, mental trik utk pengalihan gangguan
iritatif.
- Bladder retraining; menahan kencing untuk meningkatkan daya tampung
hingga mencapai 400ml, dan waktu antar berkemih.
- Meninjau pengobatan yg dapat mencetuskan gejala iritatif(alfa agonis pada
penilpropalamin, obat flu dsb).
Uretral stripping dsb.
Prognosis :
- Ad vitam : Dubia at bonam
- Ad sanationam : Dubia at bonam
- Ad functionam : Dubia at bonam

53
Mayoritas pasien dengan BPH memperlihatkan perubahan yang lebih baik
dengan terapi, sedangkan pasien yang menderita BPH dalam waktu lama dapat
terjadi komplikasi.
Indikator Medis :
Indikasi operasi pada pasien BPH
a. Indikasi absolut
1.Hematuri berulang
2.Gagal medikamentosa
3.Penurunan fungsi ginjal(ur/cr)
4.Vesicolithiasis
5.ISK berulang
6.Retensi kronis
7.Retensi berulang
8.Divertikel buli
Note: Gagal medikamentosa adalah TIDAK adanya perbaikan skor IPSS
(subjektif) atau nilai uroflowmetri(objektif) setelah penggunaan pengobatan
medikamentosa pada pasien BPH, sedangkan retensi berulang adalah terjadinya
retensi ke 2 setelah retensi pertama kali lalu dilakukan pemasangan kateter urine
disertai pemberian alfa blocker, lalu retensi pada saat TWOC(trial without
catheter/pelepasan FC)
b. Indikasi relatif
1.Keinginan pasien
2.Faktor pekerjaan
3.Ada kelainan di luar bidang urologi sehubungan dengan BPH (hemoroid atau
hernia)
Kepustakaan :
1. Tanagho EA, McAnnich JW.2008. Smith’s General Urology. San
Fransisco:McGraw Hill. 17th ed.348-54
2. Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Parin AW, Peters CA. 2008. Campbell’s
Urology. Philadelphia: Saunders. (th ed.
3. Rodjani A. 2011. Slide Kuliah Modul Ginjl dan Cairan Tubuh 2010-2011:
Diagnosisi Pembesaran Prostat Jinak. FKUI: Jakarta.

HIDROKEL TESTIS

54
Definisi :
Penimbunan cairan dalam selaput yang membungkus testis lapisan parietalis
dan viseralis tunika vaginalis, yang menyebabkan pembengkakan lunak pada salah
satu testis, karena gangguan dalam pembentukan alat genitalia eksterna.
Anamnesis :
- Benjolan dikantong skrotum
- Tidak nyeri
Pemeriksaan Fisik :
- Lakukan pemeriksaan dalam posisi berdiri dan berbaring. Jika pada posisi
berdiri tonjolan tampak jelas, baringkan pasien pada posisi supine. Bila
teradapat resolusi pada tonjolan perlu diperitmbangkan hidrokel komunikan
atau hernia.
- Lakukan valsava manuver bila tonjolan tidak terlihat untuk meningkatkan
tekanan intra abdominal.
Kriteria diagnosis:
- Kriteria berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas
Diagnosis : Hidrokel testis
Diagnosis Banding :
- Hernia scrotalis
- Varikokel
- Torsio testis
- Hematokel
- Tumor testis
Pemeriksaan Penunjang :
Transiluminasi : dilakukan diruang gelap, sumber cahaya diletakkan pada
posisi pembesaran testis.
USG
Terapi :
Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 12-24 bulan
dengan harapan prosesus vaginalis dapat menutup, dan hidrokel akan sembuh dengan

55
sendirinya. Jika hidrokel masih ada atau bertambah besar, disebut juga dengan
hidrokel persisten, maka perlu dipikirkan untuk dilakukan koreksi.
Prinsip utama penatalaksanaan hidrokel adalah dengan mengatasi penyebab
yang mendasarinya. Terdapat beberapa indikasi dilakukannya intervensi: ukuran
hidrokel yang semakin membesar dan dapat menekan pembuluh darah, adanya tanda-
tanda infeksi, adanya keluhan tidak nyaman/nyeri dan juga indikasi kosmetik.
Berbagai macam tindakan intervensi digunakan untuk mengobati penyakit hidrokel,
baik invasif maupun minimal invasif.
Salah satu metode minimal invasif pada terapi hidrokel yaitu metode aspirasi-
skleroterapi. Pada metode ini, dilakukan aspirasi cairan hidrokel dan disuntikkan zat
sklerotik (tetrasiklin, natrium tetra desil sulfat atau urea) agar mukosa menjadi kering
dan terjadi perlengketan. Metode ini mudah dan aman dilakukan, namun efektivitas
dan kepuasan pasien terhadap terapi lebih rendah dibandingkan tindakan
pembedahan.
Hidrokelektomi merupakan tindakan baku emas pada hidrokel.
Hidrokelektomi dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti yang akan
dijelaskan pada artikel ini.
Hidrokelektomi Pada Dewasa
Pendekatan pembedahan melalui skrotum
Pada tindakan pembedahan dengan pendekatan skrotum, insisi dapat
dilakukan di samping mediana raphe secara vertikal (pararaphe) atau insisi
transversal. Teknik hidrokeletomi memiliki berbagai macam variasi dan nama, secara
garis besar hidrokeletomi dibagi menjadi dua teknik yaitu dengan teknik eksisi dan
teknik dengan plikasi. Teknik-teknik hidrokelektomi tersebut yang populer dilakukan
adalah teknik Jaboulay (eksisi) dan teknik plikasi Lord.
Langkah-langkah pendekatan pembedahan melalui skrotum:
1. Insisi dilakukan di paramediana raphe, sepanjang 6-10 cm pada permukaan
anterior skrotum diatas bagian dari hidrokel.

56
2. Insisi lapis demi lapis dari kulit, lapisan otot dartos, fasia cremaster hingga
tampak lapisan parietal dari tunica vaginalis dimana lapisan ini adalah dinding luar
dari kantong hernia.
3. Insisi dinding luar hidrokel, cairan hidrokel dievakuasi dengan menggunakan
suction
4. Kantong hidrokel dipisahkan dari skrotum, setelah lalu dibuka secara utuh
sehingga tampak jelas bagian funikulus spermatikus dan testis..
5. Pada teknik Jaboulay, dinding kantong hidrokel dipotong dengan gunting dengan
hanya menyisakan batas dinding sekitar 2 cm dari testis, epididimis dan funikulus
spermatikus tepi dinding hidrokel yang tersisa lalu dijahitkan dibelakang testis dan
funikulus spermatikus dengan jahitan interrupted atau dapat menggunakan jahitan
continues (untuk meminimalisir rembesan darah dari tepi luka), sehingga bagian
kantong hidrokel tereversi.
6. Pada teknik plikasi Lord, dilakukan jahitan plikasi (terbentuknya lipatan-lipatan
seperti plika) di sekitar dinding hidrokel dengan jahitan interupted
- Dilakukan kontrol perdarahan untuk mencegah terjadinya hematoma,
7. Testis dan funikulus spermatikus ditempatkan kembali pada skrotum secara hati-
hati untuk menghindari pluntiran, bila perlu dilekatkan ke bagian dasar dinding
skrotum dengan satu hingga dua jahitan absorbable.
8. Fasia dartos ditutup dengan jahitan interupted absorbable. Lalu dipasang drainase
Penrose pada celah insisi yang telah dibuat (jika diperlukan), untuk mengurangi
resiko terjadinya hematom
9. Kulit ditutup dengan jahitan subkutan.
Beberapa teknik hidrokeletomi lainnya adalah sebagai berikut:
1. Teknik Von Bergmann : tepi luka dinding hidrokele yang telah dieksisi dijahit
bersamaan namun tidak dilakukan penjahitan kebelakang testis (eversi) seperti teknik
Jaboulay
2. Teknik Winkelmann : teknik ini sama dengan teknik Jaboulay, istilah ini biasa
dipakai di Jerman

57
3. Teknik Andrew : dikenal dengan bloody technique dikarenakan dilakukan dengan
cara tunika vaginalis digunting, lalu dieversi mengeliling testis, namun tepi luka tidak
dijahit. Kemudia dimasukan kembali ke skrotum dan ditutup lapis demi lapis.
Langkah-langkah Teknik Inguinal Dewasa:
1. Insisi pada kuadran bawah abdomen sepanjang 4-6 cm, ke arah lateral dari titik
tepat di atas tuberkulum pubikum.
2. Insisi menembus kutis, subkutis, fascia camper, fascia scarpa. Aponeurosis
musculus obliqus externus terlihat.
3. Aponeurosis musculus obliqus externus telah diincisi, tampak kantung hidrokel
dan spermatical cord. Spermatical cord dipreservasi lalu keluarkan isi kantong
hidrokel (cairan) dengan pungsi menggunakan spuit atau diberikan insisi pada
dinding kantong hidrokel lalu dimasukan suction.
4. Kantong hidrokel yang telah dinsisi kemudian dapat dilanjutkan dengan penjahitan
yang digunakan pada teknik Jaboulay atau teknik Lord.
5. Testis dan spermatic cord dikembalikan ke tempat awal.
6. Aponeurosis musculus oblique externus dijahit, lapis demi lapis ditutup.
7. Kulit dijahit dengan jahitan subcuticular.
Hidrokelektomi pada Anak
Pada beberapa penelitian , temuan intraoperasi pada anak usia di bawah 10
tahun terbanyak adalah hidrokel komunikans dimana merupakan indikasi dilakukan
teknik ligasi tinggi. Hidrokel komunikans kerap disertai dengan hernia inguinalis
sehingga diperlukan tindakan herniorafi . Sebaliknya, pada anak usia di atas 10-12
tahun, 80-86% temuan intraoperasi adalah hidrokel nonkomunikans sehingga
pendekatan melalui skrotum sudah dapat dilakukan. Tidak dianjurkan penanganan
hidrokel pada anak dengan menggunakan aspirasi-skleroterapi.
Langkah-langkah Teknik Inguinal (Ligasi Tinggi pada Anak):
1. Insisi pada kuadran bawah abdomen sepanjang 2-4cm, ke arah lateral dari titik
tepat di atas tuberkulum pubikum.
2. Fascia superfisialis telah diinsisi. Aponeurosis musculus obliqus externus terlihat.

58
3. Aponeurosis musculus obliqus externus telah diinsisi, tampak kantung hidrokel
dan cord. Lalu keluarkan isi kantong hidrokel (cairan).
4. Aponeurosis oblique externus dijepit, memperlihatkan musculus cremaster dan
fascia spermaticus interna melapisi kantung dan cord.
5. Kantung yang melalui canalis inguinalis dan annulus inguinalis externa dipisahkan
dari cord di bawahnya. Ujung distal telah dibuka sebagian. Ujung proximal akan
dilakukan high ligation pada leher kantung.
6. Ujung proksimal kantung diangkat. Retroperitoneal fat pad yang selalu ada dan
merupakan indikasi titik untuk high ligation. Jahitan dilakukan pada leher kantung.
Setelah dijahit, jahitan kedua dilakukan pada distal dari jahitan pertama untuk
memastikan ligasi yang permanen.
7. Aponeurosis musculus oblique externus dijahit, lapis demi lapis ditutup.
8. Kulit dijahit dengan jahitan subkutis.
Edukasi :
- Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang dapat terjadi
- Meninformasikan prinsip perawatan setelah operasi, Pada prinsipnya,
hidrokelektomi dapat dilakukan tanpa rawat inap, pasien dapat kembali
bekerja setelah tingkat kenyamanan memungkinkan (biasanya 1-3 hari post-
operasi). Sekitar 2 minggu setelah operasi, posisi mengangkang (naik sepeda)
harus dihindari untuk mencegah perpindahan testis yang mobile keluar dari
skrotum, dimana dapat terjebak oleh jaringan ikat dan mengakibatkan
cryptorchidism sekunder. Pada dewasa, aktivitas olahraga harus dibatasi
selama 4-6 minggu.
Prognosis :
- Ad vitam : dubia at bonam
- Ad sanationam : dubia at bonam
- Ad functionam : dubia at bonam
Indikator medis
- Pasien dipulangkan berdasar klinis, biasanya 1-3 hari post operasi
Kepustakaan

59
1. Tanagho EA, McAnnich JW.2008. Smith’s General Urology. San
Fransisco:McGraw Hill. 17th ed.348-54
2. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC,
Jakarta 1997.

TORSIO TESTIS

Definisi

Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat


terjadinya oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan
epididymis serta bisa mengakibatkan infark. Torsi testis ini merupakan kasus gawat

60
darurat di bidang urologi dan membutuhkan diagnosis dan intervensi yang cepat
untuk menjaga klengsungan hidup dari testis serta memerlukan tindakan bedah yang
segera. Jika kondisi ini tidak ditangani dalam waktu singkat (dalam 4 hingga 6 jam
setelah onset nyeri) dapat menyebabkan infark dari testis, yang selanjutnya akan
diikuti oleh atrofi testis.

Torsio testis bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia
dewasa muda (usia 10-30 tahun) dan lebih jarang terjadi pada neonatus. Puncak
insiden terjadi pada usia 13-15 tahun. Peningkatan insiden selama usia dewasa muda
mungkin disebabkan karena testis yang membesar sekitar 5-6 kali selama pubertas.
Testis kiri lebih sering mengalami torsi dibandingkan dengan testis kanan, hal ini
mungkin disebabkan oleh karena secara normal spermatic cord kiri lebih panjang.
Pada kasus torsio testis yang terjadi pada periode neonatus, 70% terjadi pada fase
prenatal dan 30% terjadi postnatal.

Anamnesis

• Pasien biasanya mengeluh nyeri yang sangat hebat dengan onset tiba-tiba dan
pembengkakan testis. Nyerinya bisa menyebar ke lipat paha dan perut bagian bawah,
sehingga sering dikelirukan dengan appendicitis kecuali jika dilakukan pemeriksaan
fisik pada genetalia secara teliti.

• Akut skrotum : nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan diikuti
pembengkakan pada testis.

• pyrexia sangat jarang ditemukan kecuali kalau kemunculannya lambat dan testic
mengalami nekrosis.

• Nyeri disertai dengan mual dan muntah

• Pada bayi gejalanya tidak khas yaitu gelisah, rewel, atau tidak mau menyusui.

Pemeriksaan Fisik

• Testis membengkak

• Pada torsio testis yang baru terjadi, dapat diraba adanya lilitan atau penebalan
funikulus spermatikus.

• Skrotum biasanya membengkak dan berwarna merah atau biru.

61
• Testis yang sakit bisa juga terlihat lebih tinggi dan melintang pada skrotum
dibandingkan dengan testis pada sisi yang normal. Pembengkakan itu juga sangat
sakit bila disentuh.

• Tingkat usia sering dipakai sebagai kriteria untuk membedakan torsi dengan
epididimitis, karena torsi biasanya terjadi pada massa pubertas sedangkan
epididimitis sering terjadi pada usia sexual aktif yaitu biasanya lebih dari 20 tahun.

• Pada pemeriksaan fisik Sangat susah untuk membedakan testis dari epididimis
karna telah terjadi pembengkakan. Karena alasan ini, keadaan ini sering mengalami
salah diagnosis dengan epididimitis

Kriteria Diagnosis :

- Kriteria sesuai anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas

Diagnosis : Torsio testis

Diagnosis Banding :

- Hernia scrotalis
- Varikokel
- Torsio testis
- Hematokel
- Tumor testis

Pemeriksaan penunjang

• Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit

• Pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi

• Stetoskop Doppler, ultrasonografi Doppler, dan sintigrafi testis. Semuanya bertujuan


menilai adanya aliran darah ke testis. Pada torsio testis tidak didapatkan adanya aliran
darah ke testis.

Pada kasus torsi testis, pemeriksaan Doppler ultrasound tidak ditemukan adanya
aliran darah, dan pada pemeriksaan scan radionuclide terjadi radionuclide tracer
uptake yang rendah. Sedangkan pada kasus epididymo-orchitis, Doppler ultrasound
akan memperlihatkan peningkatan aliran darah, dan radionuclide akan
memperlihatkan peningkatan aktivitas radionuclide.

62
Jika ditemukan riwayat serangan nyeri skrotum dengan onset yang tiba-tiba dan
intermiten pada anak laki-laki, diagnosis torsi intermiten dapat dipertimbangkan.

Terapi :

Sekali diagnosis torsio testis ditegakkan, maka diperlukan tindakan pemulihan


aliran darah ke testis secepatnya. Biasanya keadaan ini memerlukan eksplorasi
pembedahan. Pada waktu yang sama ada kemungkinan untuk melakukan reposisi
testis secara manual sehingga dapat dilakukan operasi elektif selanjutnya. Namun,
biasanya tindakan ini sulit dilakukan oleh karena sering menimbulkan nyeri akut
selama manipulasi. Pada umumnya terapi dari torsio testis tergantung pada interval
dari onset timbulnya nyeri hingga pasien datang. Jika pasien datang dalam 4 jam
timbulnya onset nyeri, maka dapat diupayakan tindakan detorsi manual dengan
anestesi lokal. Prosedur ini merupakan terapi non invasif yang dilakukan dengan
sedasi intravena menggunakan anestesi lokal (5 ml Lidocain atau Xylocaine 2%).
Tindakan non operatif ini tidak menggantikan explorasi pembedahan. Jika detorsi
manual berhasil, maka selanjutnya tetap dilakukan orchidopexy elektif dalam waktu
48 jam.

Analgesik yang adekuat, contohnya pethidine Intra muscular merupakan hal


yang sangat essensial.

Perubahan iskemia yang irreversible terjadi setelah 6 jam dari torsi. Jika testis
menghitam dan gagal melakukan perbaikan setelah beberapa menit, tindakan bedah
perlu dilakukan. Tindakan bedah yang dilakukan segera dalam 4-6 jam setelah
terjadinya nyeri, rata-rata testis yang bisa diselamatkan adalah sekitar 90 %. Oleh
karena itu, jika data-data untuk menegakan diagnosis berlimpah(dapat dipercaya),
Pembedahan tidak boleh ditunda.

Orchiopexy merupakan cara pmbedahan yang bisa digunakan untuk


memperbaiki testis pada dinding skrotum dengan tiga poin berbeda. Predisposisi
anatomi pada torsi yang mempengaruhi kedua testis; sehingga, Testis kontralateral
juga mengalami perbaikan yang sama.

Jika testis menghitam dan gagal melakukan perbaikan setelah beberapa menit,
orchidectomy perlu dilakukan. Terdapat bukti yang menyatakan bahwa bisa terjadi
kematian testis akibat reaksi imun pada tetis normal yang kontralateral, kemudian
selanjutnya bisa berpengaruh pada fungsi hormonal dan spermatogenic pada testis
yang berlawanan.

63
Pada kasus dengan torsi intermiten, pasien dapat dipertimbangkan untuk
diberian profilaksis bilateral orchidopexies.

Edukasi :

- Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang dapat terjadi

Prognosis

- Ad vitam : dubia at bonam


- Ad sanationam : dubia at bonam
- Ad functionam : dubia at bonam

Jika torsio dapat didiagnosa secara dini dan dilakukan koreksi segera dalam 5-6
jam, maka akan memberikan prognosis yang baik dengan angka pertolongan terhadap
testis hampir 100%. Setelah 6 jam terjadi torsio dan gangguan aliran darah, maka
kemungkinan untuk dilakukan tindakan pembedahan juga meningkat.Namun,
meskipun terjadi kurang dari 6 jam, torsio sudah dapat menimbulkan kehilangan
fungsi dari testis. Setelah 18-24 jam biasanya sudah terjadi nekrosis dan indikasi
untuk dilakukan orchi dectomy. Orchidopexy tidak memberikan jaminan untuk tidak
timbul torsio di kemudian hari, meskipun tindakan ini dapat menurunkan
kemungkinan timbulnya hal tersebut. Keterlambatan intervensi pembedahan akan
memperburuk prognosis serta meningkatkan angka kejadian atrofitestis

Indikator Medis :

Kepustakaan :

1. Tanagho, Emil A. dan Jack W. McAninch. 2008. Smith’s General Urology


17th ed. Mc Graw Hill
2. Wein.dkk. 2007. Campbell-Walsh Urology, 9th ed. Saunders. An Imprint of
Elsevier
3. Townsend. 2007. Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Saunders, An
Imprint of Elsevier
4. Bunicardi, F.Charles. dkk.2007. Schwartz's Principles of Surgery 8th edition.
McGraw-Hill Companies
5. Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi Edisi kedua. Jakarta : Sagung Seto :
2009
6. Sjamsuhidajat, R., De jong, wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC :
2005.

64
Penyakit Hirschprung

Definisi:
Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di
pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s).1,
Anamnesis :
Diagnosis penyakit ini dapat dibut berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium
untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya

65
ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah:
distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit
ini terjdi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan
pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode
konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif kita harus
mencurigai adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan
sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah
faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan
sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema
dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit
ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic
pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal. 4
Pemeriksaan Fisik :
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis. Tidak
keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang
signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang baru lahir dapat
timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis. 1
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan
makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. Penyakit
hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya periode obstipasi,
distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis. 1
Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi
intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya yaitu
gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen dan
muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien dan sangat
individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi intestinal
komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada minggu atau bulan
pertama kehidupan. 2

66
Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola
makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.
Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat konstipasi,
kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan sering dengan
enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun
beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur
sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong.2
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang
berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada gejala enterocolitis dimana
merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Bagaimanapun hubungan antara
penyakit hirschsprung dan enterocolitis masih belum dimengerti. Dimana beberapa
ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah enterocolitis ringan. 2
Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit hirschsprung.
Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakteri juga
translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan pertahanan mukosa, perubahan
sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium
difficile atau Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih
bergejala walaupun telah dilakukan colostomy. Enterocolitis yang berat dapat berupa
toxic megacolon yang mengancam jiwa. Yang ditandai dengan demam, muntah berisi
empedu, diare yang menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi
dan nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan
perforasi. Hal ini harus dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis
necrotican. Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit hirschsprung.
Ada hubungan erat antara panjang colon yang aganglion dengan perforasi. 2
Kriteria Diagnosis :
- Kriteria berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, di pertegas
dengan pemeriksaan penunjang radiologi
Diagnosis : Penyakit Hirschprung
Diagnosis Banding:

67
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan
obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:
Obstruksi mekanik
Meconium ileus
Simple
Complicated (with meconium cyst or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon syndrome
Malrotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusception
NEC
Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia
Pemeriksaan penunjang :
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:
1. Barium enema. Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal rectum
memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan colon sigmoid
yang proksimal. Identifikasi zona transisi dapat membantu diagnosis penyakit
hirschprung. 1 Segmen aganglion biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal

68
usus yang mempunyai ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran
radiologis terlihat zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus memerlukan waktu,
mungkin dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi yang baru lahir. Radiologis
konvensional menunjukkan berbagai macam stadium distensi usus kecil dan besar.
Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan barium enema, yang paling penting adalah zona transisi. Posisi
pemeriksaan dari lateral sangat penting untuk melihat dilatasi dari rektum secara lebih
optimal. Retensi dari barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon ada tanda
yang penting tapi tidak spesifik. Enterokolitis pada Hirschsprung dapat didiagnosis
dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon
yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding
intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema. Nilai prediksi
biopsi 100% penting pada penyakit Hirschsprung jika sel ganglion ada. Tidak adanya
sel ganglion, perlu dipikirkan ada teknik yang tidak benar dan dilakukan biopsi yang
lebih tebal. Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long
segmen , sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan
kolon mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang paling
mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus dengan gejala ileus
obstruksi yang tidak dapat dijelaska. Biopsi rectal sebaiknya dilakukan. Penyakit
hirschsprung harus dipikirkan pada semua neonates dengan berbagai bentuk perforasi
spontan dari usus besar/kecil atau semua anak kecil dengan appendicitis selama 1
tahun. 6
2. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung,
gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter ani interna ketika rectum
dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan
pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih
sering dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada neonatus. 1
3. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung. 1,4 Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas

69
minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk
pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil
sample yang normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode
ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada
mukosa rectal lebih tebal. 1
Terapi :
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan
Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon dari
terapi awal.. Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout serial, dan
meninggalkan kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik spektrum luas
diberikan, dan mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan
keadaan yang buruk, perlu dilakukan colostomy
Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan
pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini termasuk
kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-through definitif setelah berat
badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat digunakan, untuk setiap
prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi dari usus di mana
zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang aganglionik
dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau bantalan
mukosa rektum.
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan
secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip terapi
yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur
pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal
menggunakan laparoskop. Cara ini terutama banyak pada periode neonatus yang
dapat menyediakan visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi usus
yang signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode dekompresi
menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through. Pada anak-

70
anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi dilakukan
dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan prosedur pull-
through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada prosedur pull-through.
Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung
yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik diseksi
pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis ke anus
melalui pendekatan perineal. Pada prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi
terhadap ruang retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis secara posterior tepat
di atas anus. Dinding anterior dari kolon ganglionik dan dinding posterior dari rektum
aganglionik dianastomosis menggunakan stappler. Walaupun kedua prosedur ini
sangat efektif, namun keterbatasannya adalah adanya kemungkinan kerusakan syaraf
parasimpatis yang menempel pada rektum. Untuk mengatasi masalah ini, prosedur
Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari
mukosa muskularis dan kolon yang ganglionik dibawa melewati mukosa dan
dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam
banyak kasus, sangat penting untuk menentukan dimana terdapat usus yang
ganglionik. Banyak ahli bedah mempercayai bahwa anastomosis dilakukan
setidaknya 5 cm dari daerah yang sel ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya
pull-through pada zona transisi yang berhubungan dengan tingginya angka
komplikasi karena tidak adekuatnya pengosongan segmen usus yang aganglionik.
Sekitar 1/3 pasien yang di pull-through pada zona transisi akan membutuhkan
reoperasi.
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit
hirschsprung:
· Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen kemudian
dalakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy seromuskuler.
· Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani interna
dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum

71
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang
ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner. stapler GIA
kemudian dimasukkan melalui anus.
3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal aganglioner.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik,
walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala
tersering pada pascaoperasi. 1
Edukasi :
- Menjelaskan perjalana penyakit, rencana tindakan, komplikasi yang dapat
terjadi.
Prognosis :
- Ad vitam : dubia at bonam
- Ad sanationam : dubia at bonam
- Ad functionam : dubia at bonam
Indikator Medis :
- Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan
pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel.
Kepustakaan :
1. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in townsend sabiston textbook of
surgery. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114
2. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft
Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. Page 453-468
3. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:
Schwartz’s principles of surgery. 8th edition. Mcgraw-Hill. New York. Page 1496-
1498
4. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease
In: Operative pediatric Surgery. Mcgraw-Hill. New York. Page 617-640

72
Ileus Obstruktif

Definisi :
Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda
adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan atau tindakan.
Ileus ada 2 macam yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik. Ileus obstruktif atau
disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa
disalurkan ke distal atau anus karena adanya sumbatan/hambatan mekanik yang
disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan
atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose
segmen usus tersebut.

73
Anamnesis :
Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai kembung.
Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak, yang
jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi berlangsung lama. Nyeri bisa berat
dan menetap. Nyeri abdomen sering dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut
bagian atas. Semakin distal sumbatan, maka muntah yang dihasilkan semakin
fekulen.
Pemeriksaan Fisik :
Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan dehidrasi
akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal sampai demam.
Distensi abdomendapat dapat minimal atau tidak ada pada obstruksi proksimal dan
semakin jelas pada sumbatan di daerah distal. Bising usus yang meningkat dan
“metallic sound” dapat didengar sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di
daerah distal.
Kriteria Diagnosis :
- Berdasarkan kriteria anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas didukung dengan
pemeriksaan penunjang radiologis.
Diagnosis : Ileus Obstruktif
Diagnosis Banding :
- Ileus paralitik
- GEA
- Appendisitis akut
- Pankreatitis akut
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai ciri-ciri khusus. Pada urinalisa,
berat jenis bisa meningkat dan ketonuria yang menunjukkan adanya dehidrasi dan
asidosis metabolik. Leukosit normal atau sedikit meningkat , jika sudah tinggi
kemungkinan sudah ter jadi peritonitis. Kimia darah sering adanya gangguan
elektrolit. Foto polos abdomen sangat bernilai dalam menegakkan diagnosa ileus
obstruksi.

74
Untuk menegakkan diagnosa secara radiologis pada ileus obstruktif dilakukan
foto abdomen 3 posisi. Yang dapat ditemukan pada pemeriksaan foto abdomen ini
antara lain :
1. Ileus obstruksi letak tinggi :
- Dilatasi di proximal sumbatan (sumbatan paling distal di ileocecal junction)
dankolaps usus di bagian distal sumbatan.
- Coil spring appearance
- Herring bone appearance
- Air fluid level yang pendek-pendek dan banyak (step ladder sign)
2. Ileus obstruksi letak rendah :
- Gambaran sama seperti ileus obstruksi letak tinggi
- Gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi abdomen
- Air fluid level yang panjang-panjang di kolon. Sedangkan pada ileus paralitik
gambaran radiologi ditemukan dilatasi usus yang menyeluruh dari gaster sampai
rectum.
Terapi :
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami
obstruksiuntuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.
Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu
penyumbatan sembuh dengansendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan
oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit.
1. Persiapan
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi
dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan,
kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan
keadaan umum. Setelah keadaanoptimum tercapai barulah dilakukan
laparatomi. Pada obstruksi parsial atau karsinomatosis abdomen dengan
pemantauan dan konservatif.
2. Operasi

75
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital
berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :-Strangulasi
-Obstruksi lengkap-Hernia inkarserata-Tidak ada perbaikan dengan
pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT, infus,oksigen dan kateter).
3. Pasca Bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan
elektrolit.Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan
kalori yang cukup.Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam
keadaan paralitik.
Edukasi :
- Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikas yang dapat terjadi
- Pasien dipuasakan
Prognosis :
- Ad vitam : dubia at bonam
- Ad sanationam : dubia at bonam
- Ad functionam : dubia at bonam
Indikator Medis :
- Pasien diizinkan pulang menilai pada klinis pasien dengan lama perawatan
minimal 3hari.
Kepustakaan :
1. Sjamsuhidajat, R, de Jong, W. Buku ajar ilmu bedah, edisi revisi. EGC,
Jakarta 1997.

76

Anda mungkin juga menyukai