EKLAMPSIA
EKLAMPSIA
Etiologi / Patogenesis
Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum
sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini
sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima
untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit
pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat
mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester
satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi
dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan
terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan
penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.
Terminologi
Dahulu, disebut pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah ≥ 140/90
mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria
diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah
harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg digunakan sebagai
pedoman.
Eklampsia adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik yang
bersifat umum. Koma yang fatal tanpa disertai kejang pada penderita pre eklampsia juga
disebut eklampsia. Namun kita harus membatasi definisi diagnosis tersebut pada wanita yang
mengalami kejang dan kematian pada kasus tanpa kejang yang berhubungan dengan pre
eklampsia berat. Mattar dan Sibai (2000) melaporkan komplikasi – komplikasi yang terjadi
pada kasus persalinan dengan eklampsia antara tahun 1978 – 1998 di sebuah rumah sakit di
Memphis, adalah solutio plasentae (10 %), defisit neurologis (7 %), pneumonia aspirasi
(7 %), edema pulmo (5 %), cardiac arrest (4 %), acute renal failure (4 %) dan kematian
maternal (1 %)
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan pre eklampsia. Eklampsia digolongkan menjadi
kasus antepartum, intrapartum atau postpartum tergantung saat kejadiannya sebelum
persalinan, pada saat persalinan atau sesudah persalinan. Tanpa memandang waktu dari onset
kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah
wajah. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang
menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang
akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,
otot – otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi
secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang – kadang begitu hebatnya
sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga.
Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot – otot rahang. Fase ini dapat
berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin
lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tidak bergerak.
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama beberapa detik
penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun kemudian penderita bernafas
panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan
baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang – kejang berikutnya yang bervariasi dari
kejang yang ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.
Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma
setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya
segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun pada kasus – kasus yang berat,
keadaan koma berlangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat
pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat
diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.
Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50
kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat, tergantung derajat
hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan
keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan
pada susunan saraf pusat.
Komplikasi
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang – kadang
sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan urin output
akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan
edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu setelah persalinan. Apabila
keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit
vaskuler kronis.
Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena pneumonia
aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas yang disebabkan penderita
muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena penderita mengalami dekompensasio kordis,
sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian cairan yang berlebihan.
Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi bersamaan atau beberapa
saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang masiv. Apabila perdarahan otak
tersebut tidak fatal maka penderita dapat mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih
sering didapatkan pada wanita usia lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis. Pada kasus
yang jarang perdarahan otak dapat disebabkan pecahnya aneurisma Berry atau arterio venous
malformation.
Pada kira – kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan kebutaan dengan variasi
tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada pre eklampsia. Penyebab kebutaan ini adalah
terlepasnya perlekatan retina atau terjadinya iskemia atau edema pada lobus oksipitalis.
Prognosis penderita untuk dapat melihat kembali adalah baik dan biasanya pengelihatan akan
pulih dalam waktu 1 minggu.
Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat bahkan
koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat edema serebri yang luas.
Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula terjadi akibat herniasi uncus trans
tentorial.
Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis, penderita berubah
menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari sampai sampai 2 minggu namun
prognosis penderita untuk kembali normal baik asalkan tidak terdapat kelainan psikosis
sebelumnya. Pemberian obat – obat antipsikosis dengan dosis yang tepat dan diturunkan
secara bertahap terbukti efektif dalam mengatasi masalah ini.
Diagnosis Diferensial
Secara umum seorang wanita hamil aterm yang mengalami kejang selalu didiagnosis sebagai
eklampsia. Hal ini karena diagnosis diferensial keadaan ini seperti, epilepsi, ensefalitis,
meningitis, tumor otak serta pecahnya aneurisma otak memberikan gambaran serupa dengan
eklampsia. Prinsip : setiap wanita hamil yang mengalami kejang harus didiagnosis sebagai
eklampsia sampai terbukti bukan
Prognosis
Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah satu keadaan paling
berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di Amerika Serikat kematian akibat
eklampsia mempunyai kecenderungan menurun dalam 40 tahun terakhir, dengan persentase
10 % - 15 %. Antara tahun 1991 – 1997 kira – kira 6% dari seluruh kematian ibu di Amerika
Serikat adalah akibat eklampsia, jumlahnya mencapai 207 kematian. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa eklampsia dan pre eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai
keadaan yang mengancam jiwa ibu hamil.
Manajemen
Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di Parkland Hospital dan
rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun 1984 Pritchard dkk melaporkan
hasil penelitiannya dengan rejimen terapi eklampsia pada 245 kasus eklampsia. Prinsip –
prinsip dasar pengelolaan eklampsia adalah sebagai berikut :
3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena, selanjutnya dapat
diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4 intramuskuler secara loading
dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara periodik.
4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk
menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap berbahaya. Batasan
yang digunakan para ahli berbeda – beda, ada yang mengatakan 100 mmHg, 105
mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110 mmHg.
6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena kecuali pada
kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan.
Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.
7. Terminasi kehamilan
A. Pengobatan Medisinal
1. MgSO4 :
Initial dose :
2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat diberikan
nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan
nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam
sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif. Tekanan darah
diastolik jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah maksimal 30%.
Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat dan
mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml,
berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .
4. Perawatan pada serangan kejang :
Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar guna menghindari
fraktur.
Pemberian oksigen.
5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai
“Glasgow – Pittsburg Coma Scale “.
Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric Tube :
Neus Sonde Voeding ).
- Edema paru
- Edema anasarka
Catatan:
Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%, diberikan
iv secara perlahan, apabila terdapat tanda – tanda intoksikasi MgSO4.
Refleks patella (+)
Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ). Pemberian
Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese
B. Pengobatan Obstetrik :
1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin.
2. Terminasi kehamilan
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme ibu,
yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :
1. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, et al. Hypertensive Disorders in Pregnancy.
In : William Obstetrics. 22th ed. Conecticut : Appleton and Lange, 2007 : 443 – 452.
2. Dekker GA, Sibai BM. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia : Current Concept.
AmJ Obstet Gynecol 1998 ; 179 : 1359 – 75.
3. Lockwood CJ dan Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders In Wayne R.
Cohen
4. Complications of Pregnancy. 5th ed. Philadelphia : Lippicott Williams dan Wilkins, 2000
: 207 -26.
5. Sibai BM. Hypertension in pregnancy. In : Obstetrics normal and problem pregnancies.
4th edition, Churchill Livingstone USA, 2002 : 573-96.
6. Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Pregnancy. AmJ. Obstet Gynecol, 2000 ; 183 : S1 – S22.
7. Angsar MD dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di Indonesia.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI