Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MELANDASI PRAKTIK


KEBIDANAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Dan Hukum Kesehatan
Dosen: Irma Hamdayani Pasaribu, M.Keb

Disusun oleh:
Kelompok 15
1. Liana Dewi Irianty 1810630100005
2. Rinda Shinta S 1810630100055

KELAS 3A
PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil 'Alami, Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam.
Atas segala karunia nikmatNya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Makalah yang berjudul "Peraturan Dan Perundang-undangan yang Melandasi
Praktik Kebidanan" disusun dalam rangka memenuhi satu di antara tugas mata pelajaran
Etika Dan Hukum Kesehatan.
Makalah ini berisi tentang peraturan dan perundang-undangan kebidanan. Dalam
penyusunannya melibatkan berbagai pihak, baik dari dalam sekolah maupun luar sekolah.
Oleh sebab itu, saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala kontribusinya dalam
membantu penyusunan makalah ini.
Meski telah disusun secara maksimal, penulis sebagai manusia biasa menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca sekalian.
Besar harapan saya makalah ini dapat menjadi sarana membantu masyarakat dalam
memahami sumber hukum tertinggi di Indonesia, yakni Pancasila dan arti pentingnya dalam
perjuangan kaum muda.
Demikian apa yang bisa saya sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat
dari karya ini.

Karawang, Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
A. Rahasia Jabatan dan Profesi............................................................................................5
B. UU Aborsi.......................................................................................................................9
C. UU Adopsi....................................................................................................................14
D. Ketenaga kerjaan Wanita..............................................................................................24
BAB III PENUTUP................................................................................................................26
A. Kesimpulan...................................................................................................................26
B. Saran..............................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum kesehatan adalah rangkaian peraturan perundang-undangan dalam bidang
kesehatan yang mengatur tentang pelayanan medik dan sarana medik. Perumusan
hukum kesehatan mengandung pokok-pokok pengertian sebagai berikut :
Kesehatan menurut WHO, adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, jiwa dan
sosial, bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Adapun istilah
kesehatan dalam undang-undang adalah keadaan sehat, baik secara fisik, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomis.
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memeliharadan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintahdan atau masyarakat. Tenaga kesehatan
adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Rahasia Jabatan dan Profesi Kesehatan?
2. Bagaimana UU Aborsi?
3. Bagaimana UU Adopsi?
4. Bagaimana UU Tenaga Kerja Perempuan
C. Tujuan Penulisan
Tujuan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami masalah Peraturan dan
Perundang-Undangan yang Melandasi Tugas, Fungsi dan Praktek bidan sehingga
mahasiswa dapat mengatasi masalah dengan tanggung jawab tenaga kesehatan.

 
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rahasia Jabatan dan Profesi
1. pengertian jabatan dan profesi
Rahasia kerja dan rahasia jabatan dokter merupakan dua hal yang hampir sama pada
intinya yaitu: memegang suatu rahasia . Rahasia pekerjaan adalah sesuatu yang dan
harus dirahasiakan berdasarkan lafal janji yang di ucapkan setelah
menyelesaikan pendidikan. contoh: dalam lafal sumpah dokter: “Demi Allah saya
bersumpah bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena
pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter”
Rahasia jabatan adalah rahasia dokter sebagai pejabatstructural, misal sebagai
Pegawai Negeri Sipil yang disingkat (PNS).Contoh : dalam lafal sumpah pegawai
negeri."Saya akan memegangrahasia sesuatu yang menurut sifat atau perintah harus
saya rahasiakan"
Rahasia jabatan dokter di maksud untuk melindungi rahasia dan untuk menjaga tetap
terpeliharanya kepercayaan pasien dan dokter.Bahwa tidak ada batasan yang jelas dan
pasti kapan seorang dokter harus menyimpan rahasia penyakit dan kapan ia
dapat memberikan keterangan pada pihak yang membutuhkan. 
Pedoman penentuan sikap dalam mengatasi problem seperti ini yang harus tetap di
sadari dan ditanamkan adalah pengertian bahwa rahasia jabatan dokter terutama
adalah kewajiban moral dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan bidang
profesinya dokter selain di ikat oleh lafal sumpahnya sebagai dokter, juga oleh
KODEKI. Selain sebagai manusia secara individualdan sebagai anggota masyarakat
dalam satu sistem sosial dokter juga di ikat oleh norma-norma dalam
perilaku masyarakat, diantaranya normaperilaku berdasarkan norma kebiasaan.
2. Aturan Hukum
a. Pasal 22 PP Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan, Ayat 1 yang berbunyi :
” Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksakan tugas propesinya
berkewajiban untuk menjaga kerahasian identitas dan data kesehatan pribadi
pasien”
b. Peraturan Pemerintah no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia
kedokteran
1) Pasal 1 PP no 10/1966
 ” Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu
yang   diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu
atau selama melakukan pekerajaannya dalam lapangan kedokteran”
2) Pasal 2 PP no 10/1966
“ Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang
tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang
sederajat atau lebih tinggi daripada PP ini menentukan lain”.
3) Pasal 3 PP no 10/1966
“ Yang wajib menyimpan rahasia  yang dimaksud dalam pasal 1 ialah :
Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.
 Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan
pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang
ditetapkan oleh mentri kesehatan”.
4) Pasal 4 PP no 10/1966
“Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahaasia
kedokteran yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322
atau pasal   112 KUHP, mentri kesehatan dapat melakukan tindakan
administratif    berdasarkan    pasal UU tentang tenaga kesehatan”.
5) Pasal 5 PP no 10/1966
 “Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan
oleh ereka yang disebut dalam pasal 3 huruf b, maka mentri kesehatan
dapat  mengambil tindakan-tindakan berdasarkan wewenang dan
kewajibannya”.
6) Pasal 6 PP no 10/1966
 Dalam pelaksanaan peraturan ini, mentri kesehatan dapat
mendengar Dewan Perlindungan Susila Kedokteran dan atau badan-
badan lain bilamana perlu”.
c. Pasal 322 KUHP
1) Barang siapa yang dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia
wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang
sekarang maupun yang dulu, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam
ratus ribu rupiah.
2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seseorang yang tertentu, maka ini
hanya dituntut atas pengaduan orang tersebut. Undang-undang ini
sudah selayaknya berlaku untuk tiap orang, yang atas pekerjaannya,
berwajib menyimpan rahasia, jadi bukan untuk seorang dokter
saja,baik ia seorang dokter pemerintah, maupun doktrer partikelir.
Undang-undang ini memperkuat luas norma-norma kesusilaan yang telah
ada, karena tidak hanya mengancam pelanggaran yang dilakukan pada
waktu sipelanggar kerja aktif, umpamanya seorang dokter yang masih
berpraktik, tetapi juga pelanggar yang sudah berhenti atau pindah dari
pekerjaannya semula, umpamanya seorang dokter pemerintah yang telah
pensiun atau seorang dokter partikelir yang tidak berpraktrk lagi.
Selama masih berpratek, maka boleh dianggap ada faktor kuat yang
menjamin seorang dokter tidak akan ” membuka rahasia” tentang pasien-
pasiennya, oleh katena hal ini akan merugikan dirinya sendiri.
Seorang dokter yang dikenal sebagai ” pembuka rahasia” mungkin sekali
prateknya makin lama makin merosot,suatu kejadian yang benar-benar
merupakan hukuman masyarakat.
Ayat 2 UU ini terutama penting berkenaan dengan rahasia jabatan
dokter  menurut ayat ini seorang dokter yang membuka rahasia tentang
pasiennya tidak dengan sendirinya akan dituntut di muka pengadilan,
melainkan hanya sesudah diadakan pengaduan oleh si pasien.
d. Pasal 1365 Kitab Undang –undang  Hukum Sipil
”Barang siapa yang berbuat salah hinggga seorang lain menderita kerugian ,
berwajib mengganti kerugian itu”.
“Seorang dokter berbuat salah kalau ia mungkin sekali tanpa disadari ”
membuka rahasia”tentang seorang pasien yang kebetulan terdengar oleh
mejikan orang yang sakit itu.Lalu si majikan melepas pegawainya, karena
takut penyakitnya akan menulari, pegawai-pegawai lain. Si dokter diajukan
oleh pasien itu. Selain hukum pidana menurut pasal 322 KUHP dokter itu
dapat dihukum sipil  dengan diwajibkan mengganti kerugian.
e. BAB II buHtir 8 Surat Edaran DIRJEN YANMED tentang pedoman Hak dan
Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit yang berbunyi : ” Pasien berhak
atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya”
f. Pasal 53 ayat ( 2 ) Undang – undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang kesehatan
yang berbunyi: ”Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajihan
untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Penjelasan :
Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat,
dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. Yang dimaksud
dengan hak pasien antara lain ialah :
1) Hak Informasi.
2) Hak untuk memberikan persetujuan.
3) Hak atas rahasia kedokteran,
4) Hak atas pendapat kedua ( second opinion ).
g. Ketentuan pasal 3 dari PP No 10 tahun 1966 tentang  wajib simpan rahasia
kedokteran bahwa pihak-pihak yang diwajibkan menyimpan rahasia yang
dimaksudkan dalam pasal 1 adalahTenaga kesehatan menurut pasal 2
peraturan pemerintah no 32 tahun 1996 tentang Tenaga kesehatan adalah
sebagai berikut:
1) Tenaga kesehatan terdiri dari :
2) Tenaga medis
3) Tenaga Keperawatan
4) Tenaga Kefarmasian
5) Tenaga Kesehatan Masyarakat
6) Tenaga Gizi
7) Tenaga Keterapian Fisik
8) Tenaga Keteknisan MediS
9) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
10) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
11) Tenaga gizi rneliputi nutrisionis dan dietisien.
12) Tenaga keteraapian fisik meliputi fisioterapis,okupasiterapis, dan terapi
wicara
13) Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi
gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien,
otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis
14) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten
apoteker
15) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan,
entomology kesehatan, mikrobiologi kesehatan, penyuluhan kesehatan,
administrator kesehatan dan sanitarian.
Pasal 53 ayat ( 2 ) Undang – undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang
kesehatan yang berbunyi: ”Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya
berkewajihan untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak
pasien. Penjelasan :Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien
seperti dokter dan perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus
menghormati hak pasien. Yang dimaksud dengan hak pasien antara lain
ialah :
1) Hak Informasi.
2) Hak untuk memberikan persetujuan.
3) Hak atas rahasia kedokteran,
4) Hak atas pendapat kedua ( second opinion ).
Pasal 53 ayat ( 2 ) Undang – undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang
kesehatan menyebutkan :Yang diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran
adalah :
1) Tenaga Kesehatan.
 Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan
pemeriksaan, pengobatan dan / atau perawatan dan orang lain yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pada penjelasan pasal 2 disebutkan bahwa :
Berdasarkan pasal ini orang  ( selain daripada tenaga kesehatan ), yang
dalam pekerjaannya berurusan dengan orang sakit atau mengetahui
keadaan si sakit, baik yang tidak maupun yang belum mengucapkan
sumpah jabatan, berkewajiban menjunjung tinggi rahasia mengenai
keadaan si sakit.
Dengan demikian para mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, ahli
farmasi, ahli laboratorium, ahli sinar, bidan, para pegawai murid
paramedis dan sebagainya termasuk dalam golongan yang diwajibkan
menyimpan rahasia. Menteri Kesehatan dapat menetapkan, baik secara
umum maupun secara insidentil, orang – orang yang wajib menyimpan
rahasia kedokteran, misalnya pegawai tata usaha pada rumah – rumah
sakit dan laboratorium – laboratorium.
3. Contoh Kasus dari Rahasia Jabatan dan Profesi
RAHASIA PEKERJAAN DAN RAHASIA JABATAN.
Istilah yang terkenal dikalangan para tenaga kesehatan dan mahasiswa adalah ”rahasia
jabatan “. Padahal didalam perundang–undangan dibedakan antara rahasia pekerjaan
dan rahasia jabatan.
RAHASIA PEKERJAAN.
Rahasia pekerjaan adalah segala sesuatu yang diketahui dan harus dirahasiakan
berhubung dengan pekerjaan atau keahliannya. Kewajiban untuk menyimpan rahasia
pekerjaan ini berlaku sejak bersangkutan mengucapkan sumpah atau janji pada akhir
pendidikan.
 CONTOH :
a. Seorang dokter, pada akhir pendidikannya, mengucapkan sumpah untuk
menyimpan rahasia dengan lafal sebagai berikut :
 “ Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu
yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai
dokter.”
b. Seorang perawat, pada akhir pendidikannya, mengucapkan sumpah untuk
menyimpan rahasia, dengan lafal sebagai berikut :
 “ Saya bersumpah / berjanji bahwa saya sebagai perawat kesehatan tidak akan
menceritakan kepada siapapun segala rahasia yang berhubungan dengan tugas
saya, kecuali jika diminta pengadilan untuk keperluan kesaksian.”
Dengan mengucapkan sumpah atau janji seperti tersebut diatas, maka seorang dokter
atau seorang perawat diwajibkan untuk menyimpan rahasia sehubungan dengan
pekerjaannya. Kewajiban ini disebut sebagai “kewajiban menyimpan rahasia
pekerjaan “. Maksud daripada ketentuan ini adalah keharusan bagi yang bersangkutan
untuk tetap memegang teguh kewajiban itu, walaupun ia tidak menjadi / berstatus
pegawai negeri atau anggota ABRI.
Contoh Kasus :
Seorang pejabat kedokteran berulangkali mengobrolkan di depan orang banyak
tentang keadaan dan tingkah laku pasien yang diobatinya. Dengan demikian ia telah
merendahkan martabat jabatan kedokteran dan mengurangi kepercayaan orang kepada
pejabat – pejabat kedokteran.
Sanksi Perdata 
Apabila pembocoran rahasia tentang penyakit pasien termasuk data-data medisnya,
mengakibatkan kerugian terhadap pasien, keluarganya maupun orang lain yang
berkaitan dengan hal tersebut, maka orang yang membocorkan rahasia itu dapat
digugat secara perdata untuk mengganti kerugian. Hal ini diatur dalam Undang-
Undang Tentang Kesehatan maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil atau
Perdata (KUHS).
 Pasal 55 Undang-Undang Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa :
(1)  Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelaian yang dilakukan
tenaga kesehatan.
(2)    Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
RAHASIA JABATAN.
Rahasia jabatan ialah segala sesuatu yang diketahui dan harus dirahasiakan
sehubungan dengan jabatannya sebagai pegawai negeri sipil atau anggota ABRI,
karena sebelum diangkat sebagai pegawai tetap, yang bersangkutan harus
mengucapkan“sumpah jabatan”. 
CONTOH :
Lafal sumpah pegawai negeri :
“Saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau  menurut perintah,
harus saya rahasiakan.”
 Contoh Kasus :
Seorang PNS yang bertugas melakukan pengadaan barang dan jasa membocorkan harga
penawaran barang dan jasa kepada pihak ketiga demi kepentinga pribadinya.
B. UU Aborsi
1. pengertian Aborsi
Definisi aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah
pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya sebelum masa
kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu) atau pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (berat kurang dari 500 gram atau kurang
dari 20 minggu).
Aborsi sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang tentang Kesehatan Tahun 2009
dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi. Bahkan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan
Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Permenkes
tersebut memperjelas tata laksana aborsi di Indonesia.
2. pengaturan tindak pidana Aborsi
a. Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)
Masalah aborsi (pengguguran kandungan) yang dikualifikasikansebagai tindak
pidana yang dapat kita lihat dalam KUHP walaupun dalam Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan memuat sanksi terhadap perbuatan
aborsi tersebut. KUHP mengatur berbagai kejahatan maupun pelanggaran.
Kejahatanyang diatur di dalam KUHP adalah masalah Abortus Criminalis.
ketentuan mengenai Abortus Criminalis dapat dilihat dalam Pasal 299, Pasal
346 sampai dengan Pasal 349. Ketentuan mengenai aborsi dapat dilihat BAB
XIX Buku ke II KUHP tentang kejahatan terhadap jiwa (khususnya Pasal
346–349). 
Aborsi menurut konstruksi yuridis Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia adalah tindakan mengugurkan atau mematikan kandungan yang
dilakukan dengan sengaja oleh seorang wanita atau orang yang disuruh
melakukan untuk itu. Wanita hamil dalam hal ini adalah wanita yang hamil
atas kehendaknya ingin mengugurkan kandungannya, sedangkan tindakan
yang menurut KUHP dapat disuruh untuk lakukan itu adalah tabib, bidan atau
juru obat. Pengguguran kandungan atau pembunuhan janin yang ada di dalam
kandungan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya: dengan
obat yang diminum atau dengan alat yang dimasukkan kedalam rahim wanita
melalui lubang kemaluan wanita
b. Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Menurut Undang-Undang Kesehatan
Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 ditulis secara jelas bahwa
aborsi merupakan perbuatan yang dilarang kecuali dalam indikasi medis.
Penjelasan Pasal 75 ayat (2) huruf a dan b disebutkan “tindakan medis dalam
bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena
bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan
norma kesopanan.” Namun, hal ini dapat dikecualikan apabila ada indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa si ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
beratdan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan atau  kehamilan akibat
perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagikorban perkosaan.
Pasal 76 butir b bahwa yang berwenag melakukan aborsi adalah tenaga
kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenagan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri. Undang-Undang Kesehatan tidak
semua dokter boleh melakukan aborsi. Syarat lainnya disebutkan dalam butir,
yakni penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri. Bagaimana jika aborsi dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan pada Pasal 75 dan 76 undang-undang kesehatan tersebut?
Ketentuan itu talah diatur dalam Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan yakni:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 75 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000.000.- (satu miliar).
c. Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan
Sebagai pelaksana dari UU Kesehatan, kini pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi (“PP 61/2014”). Ketentuan legalitas aborsi terhadap kehamilan
akibat perkosaan ini diperkuat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP
61/2014 yang antara lain mengatakan bahwa tindakan aborsi hanya dapat
dilakukan berdasarkan kehamilan akibat perkosaan dan hanya dapat dilakukan
apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung
sejak hari pertama haid terakhir.
 Kehamilan akibat perkosaan itupun juga harus dibuktikan dengan [Pasal 34
ayat (2) PP 61/2014]:
1) usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan
oleh surat keterangan dokter; dan
2) keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya
dugaan perkosaan.
Adapun yang dimaksud dengan “ahli lain” berdasarkan penjelasan Pasal 34
ayat (2) huruf b PP 61/2014 antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter
spesialis forensik, dan pekerja sosial.
 Aborsi kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu,
dan bertanggung jawab. Hal ini disebut dalam Pasal 35 ayat (1) PP 61/2014.
Ini berarti, pada pengaturannya, wanita hamil yang ingin melakukan aborsi
berhak untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan
bertanggung jawab.
Di samping itu, hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan
aborsi tercermin dalam pengaturan Pasal 37 PP 61/2014 yang pada intinya
mengatakan bahwa tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan
hanya dapat dilakukan melalui konseling, yakni pra konseling dan pasca
konseling. Adapun tujuan pra konseling adalah (Pasal 37 ayat (3) PP 61/2014):
1) menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
2) menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin
melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat
dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang;
3) menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan
kemungkinan efek samping atau komplikasinya;
4) membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil
keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan
keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi
mengenai aborsi; dan
5)  menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
Sedangkan konseling pasca tindakan dilakukan dengan tujuan (Pasal 37 ayat
(4) PP 61/2014):
1) mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan
aborsi;
2) membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah
menjalani aborsi;
3) menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan
konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan
4) menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah
terjadinya kehamilan.
Dari tujuan-tujuan di atas sekiranya dapat kita peroleh hak-hak wanita korban
perkosaan yang ingin melakukan aborsi, antara lain yaitu hak untuk
mendapatkan kejelasan apakah tindakan aborsi dapat atau tidak dapat
dilakukan, hak untuk mendapatkan kejelasan tahapan tindakan aborsi dan
kemungkinan efek samping atau komplikasinya, hak untuk memutuskan
apakah aborsi dilakukan atau dibatalkan, hak untuk dievaluasi kondisinya
setelah melakukan aborsi, dan sebagainya.
Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk
melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi atau tidak
memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi, korban perkosaan dapat
diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, demikian
dikatakan dalam Pasal 38 ayat (1) PP 61/2014.
Di luar hal-hal yang berkaitan dengan aborsi, hak lain yang juga didapat oleh
wanita korban perkosaan yaitu mendapatkan pelayanan kontrasepsi darurat
untuk mencegah kehamilan. Hal ini disebut dalam Pasal 24 ayat (1) PP
61/2014.
 Untuk memperjelas tata laksana aborsi, Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan
Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat
Perkosaan telah dibentuk. Dalam Permenkes itu disebutkan, pelayanan aborsi
yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab harus dilakukan oleh dokter
sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
Dokter tersebut telah mendapat pelatihan dan bersertifikat. Aborsi juga bisa
dilakukan di puskesmas, klinik pratama, klinik utama, atau yang setara, dan
rumah sakit.
3. Ancaman pidana
a. Ancaman pidana bagi pelaku aborsi
1) Pasal 346 KUHP
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
2) Pasal 194 UU Kesehatan
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
b. Ancaman pidana bagi yang membantu aborsi
1) Pasal 194 UU Kesehatan
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
2) Pasal 299 KUHP
Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak empat puluh lima ribu rupiah.
Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau
jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah
sepertiga.
Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
3) Pasal 347 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
4) Pasal 348 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
5) Pasal 349 KUHP
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan
348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana kejahatan dilakukan.
c. Ancaman  pidana bagi penjual obat aborsi
Mengenai menjual obat aborsi, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang secara
eksplisit mengatur hal tersebut dalam UU Kesehatan. Akan tetapi jika obat
tersebut dijual secara ilegal, penjualnya dapat dikenai pidana.Selain itu jika
seorang tabib, bidan atau ahli obat membantu kejahatan aborsi, maka dapat
dipidana.
Jika seorang tabib, bidan atau ahli obat membantu kejahatan aborsi, berbuat
atau membantu salah satu kejahatan, maka bagi mereka hukumannya ditambah
dengan sepertiga dan dapat dipecat dari jabatannya, sebagaimana diatur dalam
Pasal 349 KUHP:
“Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu dalam aborsi,
atau bersalah atau membantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka hukuman yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiganya dan dapat ia dipecat dari jabatannya yang
digunakan untuk melakukan kejahatan itu.”
R. Soesilo menjelaskan jika dokter, tabib, dukun beranak atau tukang obat itu
mengugurkan atau membunuh kandungan untuk menolong jiwa perempuan,
atau menjaga kesehatannya maka tidak dihukum
meminum obat termasuk salah satu cara aborsi dan tukang obat atau ahli obat
tidak boleh membantu dalam melakukan aborsi.
4. Ketentuan Mengenai Aborsi Dalam UU Kesehatan
Mengenai aborsi juga diatur dalam Pasal 75 UU Kesehatan, bahwa setiap orang
dilarang melakukan aborsi.Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi
diberikan hanya dalam 2 kondisi berikut:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp1 miliar. [2]Mengenai menjual obat aborsi, pada dasarnya tidak ada
ketentuan yang secara eksplisit mengatur hal tersebut dalam UU Kesehatan. Akan
tetapi jika obat tersebut dijual secara ilegal, penjualnya dapat dikenai pidana
berdasarkan Pasal 196 jo. Pasal 98 ayat (2) dan (3) UU Kesehatan serta Pasal 197
jo. Pasal 106 ayat (1) UU Kesehatan, sebagai berikut:
a. Pasal 196 UU Kesehatan:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)’’.
b. Pasal 98 UU Kesehatan:
(1)  ….
(2)  Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat
dan bahan yang berkhasiat obat.
(3)  Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4)  ….
c. pasal 197 UU Kesehatan:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah)”.
d. Pasal 106 ayat (1) UU Kesehatan:
“Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar.
Dalam praktiknya, sebagaimana terdapat dalam artikel Polisi Ungkap Sindikat
Penjual Obat Aborsi yang kami akses dari okezone.com, Kapolres Sleman
AKBP Faried Zulkarnaen menangkap anggota sindikat pengedar ilegal obat
aborsi atau penggugur kandungan. Menurut AKBP Faried Para pelaku aborsi
dan penjual obat dijerat dengan Pasal 196 UU Kesehatan.
C. UU Adopsi
PERATURAN PEMERINTAH INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2007
TENTANG
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak


sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak;
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4235);
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:     
1. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
2. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab
atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkat.
3. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat.
4. Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan
membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan.
5. Lembaga pengasuhan anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang
berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat
izin dari Menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak.
6. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau
organisasi kemasyarakatan.
7. Pekerja sosial adalah pegawai negeri sipil atau orang yang ditunjuk oleh lembaga
pengasuhan yang memiliki kompetensi pekerjaan sosial dalam pengangkatan anak.
8. Instansi sosial adalah instansi yang tugasnya mencakup bidang sosial baik di pusat
maupun di daerah.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 2
Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
 (1). Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak
angkat.
 (2). Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama
mayoritas penduduk setempat.
Pasal 4
Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua kandungnya.
Pasal 5
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 6
 (1). Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya
dan orang tua kandungnya.   
 (2). Pemberitahuan asal-usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
BAB II
JENIS PENGANGKATAN ANAK
Pasal 7
 Pengangkatan anak terdiri atas:  
 a. pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan
 b. pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.
Bagian Pertama
Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia 
Pasal 8
Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a, meliputi:
 a. pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan
 b. pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundangundangan.
Pasal 9
 (1) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf a, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang
nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat.
 (2) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan
penetapan pengadilan.
Pasal 10
 (1) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf b mencakup pengangkatan anak secara langsung dan
pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak.
 (2) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Bagian Kedua
Pengangkatan Anak Antara Warga Negara IndonesiaDengan Warga Negara Asing
Pasal 11
 (1) Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, meliputi:  
 a. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing; dan
 b. pengangkatan anak Warga Negara  Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia.
 (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui putusan
pengadilan.
BAB III
SYARAT-SYARAT PENGANGKATAN ANAK
Pasal 12
 (1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:  
 a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
 b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
 c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
 d. memerlukan perlindungan khusus.
 (2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
 a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
 b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,
sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Pasal 13
 Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
 a. sehat jasmani dan rohani;     
 b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima)
tahun;
 c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
 d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
 e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
 f. tidak merupakan pasangan sejenis;
 g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
 h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
    i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali
anak;
 j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
 k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
 l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan
 m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
Pasal 14
 Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat:
 a. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau
perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;  
 b. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan
 c. melalui lembaga pengasuhan anak.

Pasal 15
 Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, harus memenuhi syarat:
 a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia; dan
 b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.
Pasal 16
 (1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh Warga Negara
Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri.
 (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada
kepala instansi sosial di provinsi.
Pasal 17
 Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, calon orang tua angkat
Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat:
 a. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah paling singkat 2 (dua) tahun berturut-
turut;
 b. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan 
 c. membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada Departemen
Luar Negeri Republik Indonesiamelalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pengangkatan anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur dengan
Peraturan Menteri.      
BAB IV
TATA CARA PENGANGKATAN ANAK
Bagian Pertama
Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia
Pasal 19
Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di
dalam masyarakat yang bersangkutan.   
Pasal 20
 (1) Permohonan pengangkatan anak yang  telah memenuhi persyaratan diajukan ke
pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan.
 (2) Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi terkait.
Pasal 21
 (1) Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu
paling singkat 2 (dua) tahun.
 (2) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan
sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua angkat.
Bagian Kedua
Pengangkatan Anak Antara Warga Negara IndonesiaDengan Warga Negara Asing
Pasal 22
 (1) Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing
yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
pengadilan.
 (2) Pengadilan       menyampaikan       salinan      putusan pengangkatan anak ke instansi
terkait.
Pasal 23
Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara
Indonesia berlaku mutatis mutandis ketentuan Pasal 22.
Pasal 24
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di wilayah Indonesia maupun di
luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Asing yang berada di luar negeri harus
dilaksanakan di Indonesia dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 25
 (1) Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim Pertimbangan
Perizinan Pengangkatan Anak. 
 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
BIMBINGAN DALAM PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
Pasal 26
Bimbingan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan
masyarakat melalui kegiatan:
 a. penyuluhan;
 b. konsultasi;
 c. konseling;
 d. pendampingan; dan
 e. pelatihan.
Pasal 27
 (1) Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dimaksudkan agar
masyarakat mendapatkan informasi dan memahami tentang persyaratan, prosedur dan tata
cara pelaksanaan pengangkatan anak. 
 (2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: 
 a. meningkatkan pemahaman tentang pengangkatan anak;
 b. menyadari akibat dari pengangkatan anak; dan
 c. terlaksananya pengangkatan anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
 (1) Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dimaksudkan untuk
membimbing dan mempersiapkan orang tua kandung dan calon orang tua angkat atau pihak
lainnya agar mempunyai kesiapan dalam pelaksanaan pengangkatan anak.
 (2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
 a. memberikan informasi tentang pengangkatan anak; dan
 b. memberikan motivasi untuk mengangkat anak. 
Pasal 29
 (1) Konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dimaksudkan untuk
membantu mengatasi masalah dalam pengangkatan anak.
 (2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
 a. membantu memahami  permasalahan pengangkatan anak; dan 
 b. memberikan alternatif pemecahan masalah pengangkatan anak.
Pasal 30
 (1) Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d dimaksudkan untuk
membantu kelancaran pelaksanaan pengangkatan anak.   
 (2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
 a. meneliti dan menganalisis permohonan pengangkatan anak; dan
 b. memantau perkembangan anak dalam pengasuhan orang tua angkat.   
Pasal 31
 (1) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e dimaksudkan agar
petugas memiliki kemampuan dalam proses pelaksanaan pengangkatan anak. 
 (2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
 a. meningkatkan pengetahuan mengenai pengangkatan anak; dan
 b. meningkatkan keterampilan dalam pengangkatan anak.

BAB VI
PENGAWASAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
Pasal 32
 Pengawasan dilaksanakan agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran
dalam pengangkatan anak.
Pasal 33
 Pengawasan dilaksanakan untuk:
 a. mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
 b. mengurangi  kasus-kasus penyimpangan atau pelanggaran pengangkatan anak; dan
 c. memantau pelaksanaan pengangkatan anak. 
Pasal 34
 Pengawasan dilaksanakan terhadap:
 a. orang perseorangan;
 b. lembaga pengasuhan;
 c. rumah sakit bersalin;
 d. praktek-praktek kebidanan; dan
 e. panti sosial pengasuhan anak.
Pasal 35
 Pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan
masyarakat.
Pasal 36
Pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan oleh
Departemen Sosial.
Pasal 37
Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan antara lain
oleh:
 a. orang perseorangan; 
 b. keluarga;
 c. kelompok;
 d. lembaga pengasuhan anak; dan
 e. lembaga perlindungan anak. 
Pasal 38
 (1) Dalam hal terjadi atau diduga terjadi penyimpangan atau pelanggaran terhadap
pelaksanaan pengangkatan anak, masyarakat dapat melakukan pengaduan kepada aparat
penegak hukum dan /atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia, instansi sosial setempat atau
Menteri.  
 (2) Pengaduan diajukan secara tertulis disertai dengan identitas diri pengadu dan data
awal tentang adanya dugaan penyimpangan atau pelanggaran.

BAB VII
PELAPORAN
Pasal 39
Pekerja sosial menyampaikan laporan sosial mengenai kelayakan orang tua angkat dan
perkembangan anak dalam pengasuhan keluarga orang tua angkat kepada Menteri atau kepala
instansi sosial setempat.
Pasal 40
Dalam hal pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing, orang tua
angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat paling singkat sekali dalam 1
(satu) tahun, sampai dengan anak berusia 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 41
Semua administrasi yang berkaitan dengan pengangkatan anak berada di departemen yang
bertanggung jawab di bidang sosial.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bimbingan, pengawasan, dan pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 32, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.  
 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.      
Ditetapkan di Jakarta
          pada tanggal 3 Oktober 2007
          PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
           
 
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
 
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
 
 
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN    NEGARA    REPUBLIK    INDONESIA    TAHUN    2007    NOMOR   123


D. Ketenaga kerjaan Wanita
1. Waktu Kerja Pekerja Wanita
Dalam pasal 76 UU Ketenagakerjaan dijelaskan jika:
a. Pekerja wanita yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
b. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan yang sedang hamil
bila menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
untuk kandungannya maupun dirinya, apabila bekerja antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00.
c. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00 wajib:
d. Memberikan makanan dan minuman bergizi
e. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
2. Wajib Menyediakan Angkutan Antar Jemput
Selanjutnya dalam pasal 76 ayat (4) dijelaskan bila pengusaha wajib menyediakan
angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang
bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Pasal 2 ayat (2) Kepmenakertrans 224/2003 juga menegaskan hal yang sama bila
pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja wanita atau
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
05.00.
Selanjutnya dalam Pasal 7 Kepmenakertrans 224/2003 dijelaskan:
a. Pengusaha harus menetapkan tempat penjemputan dan pengantaran
pada lokasi yang mudah dijangkau dan aman bagi pekerja perempuan.
b. Kendaraan antar jemput harus dalam kondisi yang layak dan harus terdaftar
di perusahaan.
3. Pekerja Wanita Bisa Cuti Saat Sedang Haid
Nyeri perut atau kram perut jadi salah satu hal wajar yang sering dialami oleh
perempuan dalam masa haid.Untuk itu, dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 81
dijelaskan jika pekerja wanita yang dalam masa haid merasakan sakit, maka ia tidak
wajib bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid, dengan catatan telah
memberitahukan HR perusahaan.
4. Cuti Hamil dan Melahirkan
Ketentuan tentang cuti hamil dan melahirkan tertuang pada Pasal 82 UU
Ketenagakerjaan dijelaskan jika pekerja perempuan berhak mendapatkan:
a. Cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan, dan
b. Cuti 1,5 bulan sesudah melahirkan
Pekerja wanita yang mengalami keguguran juga berhak memperoleh cuti selama 1,5
bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan dan bidan. Pekerja
wanita yang mengambil cuti hamil, melahirkan maupun keguguran wajib
mendapatakan upah penuh selama cuti.
5. Pekerja yang Menyusui Anaknya
Tidak hanya soal haid, cuti hamil dan melahirkan saja.Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur tentang Ibu
menyusui, di mana dalam Pasal 83 disebutkan jika pekerja wanita yang anaknya
masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal
itu harus dilakukan selama waktu kerja.
6. Ada Hak Menyusui
Dalam UU Ketenagakerjaan (UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
tertuang bila pekerja wanita yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama jam kerja.
Soal waktu, sedikitnya ibu menyusui diberikan waktu satu atau lebih jeda saat jam
kerja berlangsung. Hal ini tertuang dalam Pasal 10 Konvensi ILO No.183 tahun 2000.
7. Dilarang PHK Pekerja dengan Alasan Sedang Hamil, Melahirkan, Menyusui, &
Mengalami Keguguran
Bila berpatokan pada Pasal 153 UU Ketenagakerjaan tertuang bila perusahaan
dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peraturan perundang-undangan yang melandasi praktik kebidanan Rahasia Jabatan
dan Profesi tertuang pada
1. PP no 10/1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran
2. Pasal 322 KUHP tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan 
3. Pasal 1365 Kitab Undang –undang  Hukum Sipil
4. Undang – undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang kesehatan
5. PP Nomor 32 Tahun 1966 tentang kesehatan
Definisi aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah
pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya sebelum masa
kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu) atau pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (berat kurang dari 500 gram atau kurang
dari 20 minggu).untuk pengaturan tindak pidana tentang aborsi terdapat pada
pengaturan tentang aborsi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP),pengaturan Tindak Pidana Aborsi Menurut Undang-Undang Kesehatan, dan
Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan
pada UU mengenai Adopsi tertuang pada PERATURAN PEMERINTAH
INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN
PENGANGKATAN ANAK) dan peraturan mengenai ketenaga kerja perempuan yaitu
tentang :
1. Waktu pekerja perempuan tertuang pada Dalam pasal 76 UU Ketenagakerjaan
Wajib memberikan angkutan antar jemput yang tertuang dalam pasal 76 ayat
(4)
2. Pekerja Wanita Bisa Cuti Saat Sedang Haid yang tertuang pada UU
Ketenagakerjaan Pasal 81
3. Cuti hamil dan melahirkan yang tertuang pada Pasal 82 UU Ketenagakerjaan
4. Pekerja yang menyusui anaknya yang tertuang pada Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
5. Hak menyusui tertuang pada UU Ketenagakerjaan (UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan
6. Dilarang PHK Pekerja dengan Alasan Sedang Hamil, Melahirkan, Menyusui,
& Mengalami Keguguran tertuang pada Pasal 153 UU Ketenagakerjaan
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah kami masih ada banyak kesalahan
dan kekurangan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran membangun demi perbaikan makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.Dahlan, S.

2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.Guwandi, J.

1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

https://hukumkes.wordpress.com/2010/12/16/aborsi-menurut-hukum-di-indonesia/
https://carapedia.com/definisi_jenis_aborsi_keguguran_kehamilan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/51596/Chapter%20II.pdf;sequence=3
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt588ab88330a47/jerat-pidana-bagi-penjual-obat-
aborsi
lifestyle.kompas.com/read/2016/02/26/161500423/Begini.Aturan.Aborsi.di.Indonesia
http://scdc.binus.ac.id/himslaw/2017/03/pengguguran-kandungan-menurut-hukum-di-
indonesia/
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl1733/pasal-untuk-menjerat-ibu-yang-membunuh-
bayinya-karena-malu-
https://www.google.com/amp/m.tribunnews.com/amp/metropolitan/2016/02/24/lakukan-
aborsi-diancam-hukuman-penjara-10-tahun-dan-denda-rp-1-miliar
PERATURAN PEMERINTAH INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007TENTANG
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

Anda mungkin juga menyukai