Disusun oleh :
Andri Kurniawan
110.2005.021
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti halilintar. Kata
tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba
tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Akan tetapi sekarang kita ketahui bahwa
eklampsia cenderung pada umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam nifas
dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul
serangan kejangan yang diikuti oleh koma.
Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan :
o eklampsia gravidarum
o eklampsia parturientum
o eklampsia puerperale ( kejang yang timbul > 48 jam postpartum terutama
pada nullipara dapat dijumpai sampai 10 hari postpartum )
2.2 FREKUENSI
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dan negara lain. Frekuensi
rendah pada umumnya merupakan petunjuk tentanga danya pengawasan antenatal
yang baik, penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup, dan penanganan preeklampsia yang sempurna.
Di negara-negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3% 0,7%, sedang di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaitu 0,05% - 0,1%
Faktor predisposisi :
1.
2.
3.
Penyakit-penyakit ginjal.
Hiperplasentosis
5.
6.
7.
tidak segera diobati, akan timbul kejangan : terutama pada persalinan bahaya ini
besar.
Eklampsia paling sering terjadi pada trimester terakhir dan menjadi semakin
sering mendekati aterm. Pada wanita dengan awitan kejang yang lebih dari 48 jam
postpartum, perlu dipertimbangkan diagnosis lain
Serangan kejang biasanya dimulai disekitar mulut dalam bentuk kedutan-kedutan
(twitching) wajah. Setelah beberapa detik seluruh tubuh menjadi kaku dalam suatu
kontraksi otot generalisata. Fase ini dapat menetap selama 15 sampai 20 detik.
Mendadak rahang mulai membuka dan menutup secara kuat, dan segera diikuti oleh
kelopak mata. Otot-otot wajah yang lain dan kemudian semua otot melakukan
kontraksi dan relaksasi bergantian secara cepat. Gerakan otot sedemikian kuatnya
sehingga wanita yang bersangkutan dapat terlempar dari tempat tidur dan apabila
tidak dilindungi lidahnya tergigit oleh gerakan rahang yang hebat. Fase ini, saat
terjadi kontraksi dan relaksasi otot-otot secara bergantian, dapat berlangsung sekitar
satu menit. Secara bertahap, gerakan otot menjadi lebih lemah dan jarang, dan
akhirnya wanita yang bersangkutan tidak bergerak. Sepanjang serangan, diafragma
terfiksasi dan pernapasan tertahan. Selama beberapa detik wanita yang bersangkutan
seolah-olah sekarat akibat henti napas, tetapi kemudian ia menarik napas dalam,
panjang, dan berbunyi lalu kembali bernapas. Ia kemudian mengalami koma. Ia tidak
akan mengingat serangan kejang tersebut atau pada umumnya kejadian sesaat
sebelem dan sesudahnya. Seiring dengan waktu ingatan ini akan pulih.
Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang berikutnya yang
jumlahnya dapat bervariasi dari satu atau dua pada kasus ringan sampai bahkan 100
atau lebih pada kasus berat yang tidak diobati. Pada kasus yang jarang, kejang terjadi
berurutan sedemikian cepatnya sehingga wanita yang bersangkutan tampak
mengalami kejang yang berkepanjangan dan hampir kontinu.
Durasi koma setelah kejang bervariasi. Apabila kejangnya jarang, wanita yang
bersangkutan biasanya pulih sebagian kesadarannya setelah setiap serangan. Sewaktu
sadar, dapat timbul keadaan setengah sadar dengan usaha perlawanan. Pada kasus
yang sangat berat , koma menetap dari satu kejang ke kejang lainnya dan pasien dapat
meninggal sebelum ia sadar. Meski jarang, satu kali kejang dapat diikuti oleh koma
yang berkepanjangan walaupun umumnya, kematian tidak terjadi setelah kejang
berulang-ulang.
Laju pernapasan setelah kejang eklampsia biasanya meningkat dan dapat
mencapai 50x permenit, mungkin sebagai respon terhadap hiperkarbia akibat
asidemia laktat serta akibat hipoksia dengan derajat bervariasi. Sianosis dapat
dijumpai pada kasus yang parah. Demam 39C atau lebih adalah tanda yang buruk
karena dapat merupakan akibat perdarahan susunan saraf pusat.
Proteinuri hampir selalu ada dan sering parah. Pengeluaran urin kemungkinan
besar berkurang secara bermakna dan kadang-kadang terjadi anuria. Hemoglobinuria
sering dijumpai, tetapi hemoglobinemia jarang. Edema, sering mecolok kadangkadang masif walaupun mungkin juga tidak ada.
Seperti pada preeklampsia berat, setelah melahirkan, peningkatan pengeluaran
urin biasanya merupakan tanda awal perbaikan. Proteinuri dan edem biasanya
menghilang dalam seminggu. Pada sebagian besar tekanan darah kembali ke normal
dalam beberapa hari sampai 2 minggu setelah melahirkan. Semakin lama hipertensi
Pneumonitis aspirasi dapat terjadi setelah inhalasi isi lambung apabila kejang
disertai oleh muntah
2.
Gagal jantung, yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan
pemberian cairan intravena yang berlebihan
Pada sekitar 10 pesen wanita, sedikit banyak terjadi kebutaan setelah serangan
kejang. Kebutaan juga dapat timbul spontan pada preeklampsia. Paling tidak terdapat
dua kausa :
1.
2.
baik akibat patologi otak atau retina, prognosis untuk pulihnya penglihatan baik dan
biasanya tuntas dalam seminggu ( Cunningham dkk., 1995). Sekitar 5 persen wanita
akan mengalami gangguan kesadaran yang cukup bermakna, termasuk koma menetap
setelah kejang. Hal ini disebabkan oleh edem otak yang luas, sedangkan herniasi
unkus transtentorium dapat menyebabkan kematian ( Cunningham dan Twickler,
2000).
Walaupun jarang, eklampsia diikuti oleh psikosis, dan wanita yang bersangkutan
dapat mengamuk. Keadaan ini biasanya berlangsung selama beberapa hari sampai 2
minggu, tetapi prognosis untuk pulih baik asalkan sebelumnya tidak memiliki
penyakit mental. Di Parkland Hospital, klorpromazin dalam dosis yang yang dititrasi
dengan cermat terbukti efektif pada beberapa kasus psikosis pascaeklamsia.
2.4 DIAGNOSIS
-
kehamilan lebih dari 20 minggu, atau saat persalinan atau masa nifas
2.
3.
2.5 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama pengobatan eklampsia ialah menghentikan berulangnya serangan
kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan
ibu mengizinkan.
Pengawasan dan perawatan yang intensif sangat penting bagi penanganan pada
penderita eklamsia, sehingga ia harus dirawat dirumah sakit. Pada pengangkutan
dirumah sakit dibutuhkan obat penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya
kejang. Penderita dalam hal ini dapat diberi diazepam 20mg IM. Selain itu penderita
harus disertai seorang tenaga yang terampil dalam resusitasi dan yang dapat
mencegah terjadinya trauma apabila terjadi serangan kejangan.
Tujuan
pertama
pengobatan
eklampsia
adalah
menghentikan
kejangan
vasopspasmus, dan meningkatkan diuresis. Dalam pada itu, pertolongan yang perlu
diberikan jika timbul kejangan ialah mempertahankan jalan pernapasan bebas,
menghindarkan tergigitnya lidah, pemberian oksigen dan menjaga agar penderita
tidak mengalami trauma. Untuk menjaga jangan sampai terjadi kejangan lagi yang
2.
10
3.
Lytic cocktail yang terdiri atas petidin 100 mg, klorpromazin 100 mg, dan
prometazin 50 mg dilarutkan dalam glukos 5% 500 ml dan diberikan secara infus
12
intravena. Jumlah tetesan disesuaikan dengan keadaan dan tensi penderita. Maka
dari itu, tensi dan nadi diukur tiap 5 menit dalam waktu setengah jam pertama dan
bila keadaan sudah stabil, pengukuran dapat dijarangkan menurut keadaan
penderita.
13
pada umumnya dalam 24 jam diberikan 2000 ml. Balans cairan dinilai dan
disesuaikan tiap 6 jam.
Kalori yang adekuat diberikan untuk menghindarkan katabolismus jaringan dan
asidosis. Pada penderita koma atau kurang sadar pemberian kalori dilakukan dengan
infus dekstran, glukos 10%, atau larutan asam amino seperti aminofusin. Cairan yang
terakhir ini, selain mengandung kalori cukup, juga berisi amino yang diperlukan
TERAPI CAIRAN
Larutan Ringer laktat diberikan secara rutin dengan kecepatan 60 ml sampai tidak
lebih dari 125 ml per jam kecuali apabila terjadi pengeluaran cairan tidak lazim melalui
muntah, diare, atau diaforesis atau, yang lebih mungkin, pengeluaran darah berlebihan
saat melahirkan. Oligouria, yang sering terjadi pada kasus preeklamsia berat dan
eklamsia, disertai pengetahuan bahwa volume darah ibu kemungkinan besar mengalami
konstriksi dibandingkan dengan kehamilan normal, menimbulkan dorongan kuat bagi kita
untuk memberikan lebih banyak cairan intravena. Alasan untuk melakukan terapi cairan
yang konservatif dan terkendali adalah bahwa wanita dengan eklamsia sudah memiliki
cairan ekstrasel yang berlebihan namun terdistribusi secara tidak merata antara
kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Infus cairan dalam jumlah besar dapat
dan memang akan meningkatkan maldistribusi cairan ekstravaskular yang akan
meningkatkan risiko edema paru dan otak (Sibai et al., 1987b).
EDEMA PARU
14
akibat kejang atau mungkin dari anestesia, atau sedasi berlebihan, harus disingkirkan;
namun, sebagian besar wanita ini menderita gagal jantung. Beberapa perubahan yang
normal
terjadi
pada
kehamilan,
yang
diperparah
oleh
preeklamsia-eklamsia,
menyebabkan pasien rentan terhadap edema paru. Yang utama, pada kehamilan normal
tekanan onkotik plasma berkurang cukup besar karena menurunnya albumin serum, dan
tekanan onkotik bahkan menurun lebih besar lagi pada preeklamsia (Zinaman et al.,
1985). Lebih lanjut, ian dan rekan (1986) melaporkan adanya peningkatan tekanan
onkotik cairan ekstravaskular pada wanita dengan preeklamsia, dan hal ini
mempermudah ekstravasasi cairan kapiler. Brown dan rekan (1989) membuktikan
terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler pada wanita dengan preeklamsia. Bhatia dan
rekan (1987) menemukan suatu korelasi antara tekanan osmotik koloid plasma dan
konsentrasi fibronektin; hal ini bagi mereka mengisyaratkan bahwa pengurangan protein
vaskular disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular akibat cedera pembuluh.
Seringnya hemokonsentrasi terjadi, serta adanya penurunan tekanan vena sentral
dan wedge pressure kapiler paru, mendorong sebagian peneliti memberi infus berbagai
cairan, polimer pati, atau konsentrat albumin, atau ketiganya, sebagai upaya untuk
meningkatkan volume darah sehingga diharapkan vasospasme berkurang dan tidak terjadi
kerusakan organ. Sejauh ini, manfaat pendekatan ini belum terbukti secara nyata; namun
penyulit serius, terutama edema paru, pernah dilaporkan. Lpez-Llera (1982) melaporkan
bahwa ekspansi volume yang berlebihan berkaitan dengan peningkatan insidensi edema
paru pada lebih dari 700 wanita dengan eklamsia. Benedetti dan rekan (1985) melaporkan
edema paru pada 7 dari 10 wanita dengan preeklamsia berat yang mendapat terapi koloid.
Sibai dan rekan (1987b) menyebutkan infus kristaloid dan koloid yang berlebihan sebagai
15
penyebab sebagian besar dari 37 kasus edema paru yang terkait dengan preeklamsia
berat-eklamsia pada penelitian mereka. Akhirnya, Lehmann dan rekan (1987) melaporkan
bahwa edema paru menyebabkan hampir sepertiga dari kematian ibu hamil akibat
gangguan hipertensi di Charity Hospital di New Orleans.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka sampai diperoleh pemahaman tentang
bagaimana meningkatkan cairan di dalam kompartemen intravaskular dan pada saat yang
sama, mengurangi cairan di luar kompartemen intravaskular, kami tetap yakin bahwa
tanpa adanya kehilangan cairan yang banyak, pemberian cairan yang aman adalah dalam
jumlah terbatas. Sampai saat ini, belum ada efek simpang yang serius dari kebijakan ini.
Yang utama, dialisis atas indikasi gagal ginjal belum pernah dilakukan untuk satu pun
kasus dari lebih 400 kasus eklamsia yang ditangani dengan cara ini
Tindakan obstetric
Setelah kejangan dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki, maka
direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara
yang aman. Apakah pengakhiran kehamilan dilakukan dengan seksio secarea atau
dengan induksi persalinan pervaginam, hal tersebut tergantung dari berbagai faktor,
seperti keadaan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli anestesi dan
sebagainya.
Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanakan
cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia gravidarum perlu diadakakan induksi
16
dengan amniotomi dan infus pitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang
selama 12 jam dan keadaan serviks mengijinkan. Tetapi, apabila serviks masih lancip
dan tertutup terutama pada primigravida, kepala jani masih tinggi atau ada
persangkaan disproporsi sefalopelvic, sebaiknya dilakukan seksio secarea.
Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan amniotomi untuk mempercepat
partus dan bila syarat-syarat dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum atau cunam.
Pilihan anestesia untuk mengakhiri persalinan pada eklampsia tergantung dari
keadaan umum penderita dan macam obat sedativa yang telah dipakai. Keputusan
tentang hal ini sebaiknya dilakukan oleh ahli anestesi. Anestesi lokal dapat dipakai
bila sedasi sudah berat. Anestesi spinal dapat menyebabkan hipotensi yang berbahaya
pada eklampsia, jadi sebaiknya jangn dipergunakan.
Pengalaman menunjukkan bahwa penderita eklampsia tidak seberapa tahan
terhadap perdarahan postpartum atau trauma obstetrik, keduanya dapat menyebabkan
syok. Maka dari itu, semua tindakan obstetrik harus dilakukan seringan mungkin, dan
selalu disediakan darah. Ergometrin atau methergin boleh diberikan pada perdarahan
postpartum yang disebabkan oleh atoni uteri tetapi jag diberikan secara rutin tanpa
indikasi.
Setelah kelahiran, perwatan dan pengobatan intensif diteruskan untuk 48 jam. Bila
tekanan darah turun, maka pemberian obat penenang dapat dikurangi setelah 24 jam
postpartum untuk kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis bertambah 2448 jam setelah kelahiran dan edema serta proteinuria berkurang.
2.6 KOMPLIKASI
17
Komplikasi yang terberat ialah kematian Ibu dan janin. Usaha utama adalah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita eklampsia. Komplikasi yang biasanya
terjadi pada eklampsia adalah :
1. Solusio plasenta.
2. Hipofibrinogenema.
3. Hemolisis
4. Perdarahan otak, komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia
5. Kelainan mata
6. Edema paru-paru, disebabkan karena payah jantung
7. Nekrosis hati, nekrosis periportal hati merupakan akibat vasospasmus arteriol
umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata juga ditemukan
pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan
faal hati, terutama penentuan enzym-enzymnya
8. Kelainan ginjal. Kelainan ini dapat berupa endoteliosis glomerulus yaitu
pembengkakan sitoplasma sel endothelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur
lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal
9. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejangkejang pneumonia aspirasi, dan DIC (Dissminated Intravascular Coogulation).
10. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.
11. Sindroma HELLP. Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes(peningkatan enzym
hati), dan low platelet(penurunan trombosit)
18
HELLP Syndrome
Sindroma hemolisis, elevated liver enzymes and low platelet adalah suatu
komplikasi
pada
preeklampsia
eklampsia
berat.
Kehamilan
yang
Insiden terjadinya
Sakit kepala
Thrombositopenia
Kelas 1: 50.000 / l
Kelas 2: > 50.000 100.000 / l
Kelas 3: > 100.000 150.000 / l
19
LDH 600 IU / L
SGOT dan / atau SGPT 40 IU / L
Ciri ciri tersebut harus semua terdapat
2.
Complete
-
LDH 600 IU / L
SGOT 70 IU / L
Parsial
-
meningkatkan
jumlah
trombosit
dan
mempertahankannya
secara
20
2.7 PROGNOSIS
Tingginya kematian Ibu dan anak di Negara-negara yang kurang maju disebabkan
oleh kurang sempurnannya pengawasan antenatal dan natal; penderita-penderita
eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Kematian Ibu biasanya
disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan edema paru-paru,
payah-ginjal, dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan waktu kejangan..
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterine dan prematuritas.
Berlawanan dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia tidak
menyebabkan hipertensi menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan bahwa
para penderita yang mengalami eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi
hipertensi 15 tahun kemudian atau lebih tidak lebih tinggi daripada mereka yang
hamil tanpa eklampsia
21
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
3.1
KESIMPULAN
Eklampsia merupakan serangan konvulsi yang mendadak atau suatu kondisi
yang dimunculkan penyakit hipertensi yang terjadi oleh kehamilan, menyebabkan
kejang dan koma, sebab eklampsia belum diketahui pasti, namun salah satu teori
mengemukakan bahwa eklampsia disebabkan ischaemia rahim dan plasenta.
Di Indonesia eklampsia, disamping pendarahan dan infeksi masih merupakan
sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu,
diagnosis dini pre eklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta
pemanasannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
anak.
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang
meminta korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui
kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi,
yakni 42,2%-48,9%. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di Negara maju lebih kecil.
Tingginya kematian ibu dan anak di Negara-negara yang kurang maju disebabkan
oleh kurang sempurnanya pengawasan antendal dan natal, penderita-penderita
eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Kematian ibu biasanya
22
SARAN
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:
1) Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua
wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;
2) Mencari pada setiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya
segera apabila ditemukan. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada
kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia
tidak juga dapat dihilangkan.
3) Terapi magnesium sulfat lebih baik daripada fenitoin dalam mencegah kejang
eklampsia. Masih terus terjadi silang pendapat mengenai apakah magnesium
sulfat profilakis perlu diberikan secara rutin kepada semua wanita bersalin yang
mengalami hipertensi. Perdebatan saat ini berpusat pada wanita preeklamptik
mana yang perlu diberi profilaksis. Manfaat magnesium sulfat profilaktik bagi
wanita dengan preeklampsia ringan masih diperdebatkan karena resiko eklampsia
yang diperkirakan adalah 1 dalam 100 atau kurang. Witlin dan Sibai baru-baru ini
mengulas bukti efektivitas magnesium sulfat untuk mengobati dan mencegah
kejang akibat gangguan hipertensi pada kehamilan. Mereka menyimpulkan bahwa
walaupun magnesium sulfat jelas bermamfaat bagi wanita preeklampsia berat dan
eklampsia, perlu tidaknya pemberian profilaktik bagi wanita dengan penyakit
ringan masih belum jelas.
23
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams
Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw-Hill, 2007
Goodnight SH, Hathaway WE. Disorders of Hemostasis and Thrombosis: A Clinical
Guide. 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2001: 234
Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC,
2007: 417-419
Scott JR, Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF. Danforths Obstetrics and Gynecology. 9th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007: 22
Wibowo B, Rachimhadhi T. Pre-eklampsia dan Eklampsia. Dalam: Wiknjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadhi T, ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002: 295-298
24