Anda di halaman 1dari 24

Pembimbing :

dr. K.A.Halim Lutfi, Sp.OG


dr. Isnaina Perwira, Sp.OG

Disusun oleh :
Andri Kurniawan
110.2005.021

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD ARJAWINANGUN
CIREBON
2011
1

BAB I
PENDAHULUAN

Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan preeklamsia


yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Kejang bersifat grand mal dan mungkin timbul
sebelum, selama, atau setelah persalinan. Namun, kejang yang timbul lebih dari 48 jam
pascapartum, terutama pada nulipara, dapat dijumpai sampai 10 hari pascapartum.
Dengan pengetahuan bahwa biasanya eklampsia didahului oleh pre-eklampsia,
tampak pentingnya pengawasan antenatal yang teliti dan teratur, sebagai usaha untuk
mencegah timbulnya penyakit itu.
Preeklampsia yang dipersulit oleh kejang tonik-klonik generalisata disebut
eklampsia. Koma fatal tanpa kejang juga pernah disebut eklampsia; namun, sebaiknya
diagnosis dibatasi pada wanita dengan kejang dan menggolongkan kematian pada kasus
non kejang sebagai kasus yang disebabkan oleh pre eklampsia berat. Eklampsia disebut
antepartum, peripartum atau postpartum tergantung kapan kejangnya muncul.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti halilintar. Kata
tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba
tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Akan tetapi sekarang kita ketahui bahwa
eklampsia cenderung pada umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam nifas
dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul
serangan kejangan yang diikuti oleh koma.
Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan :
o eklampsia gravidarum
o eklampsia parturientum
o eklampsia puerperale ( kejang yang timbul > 48 jam postpartum terutama
pada nullipara dapat dijumpai sampai 10 hari postpartum )

2.2 FREKUENSI
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dan negara lain. Frekuensi
rendah pada umumnya merupakan petunjuk tentanga danya pengawasan antenatal
yang baik, penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup, dan penanganan preeklampsia yang sempurna.

Di negara-negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3% 0,7%, sedang di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaitu 0,05% - 0,1%
Faktor predisposisi :
1.

Primigravida atau nullipara, terutama pada umur reproduksi ekstrem, yaitu 16


tahun dan umur 35 tahun ke atas

2.

Multigravida dengan kondisi klinis:


-

Kehamilan ganda dan hidrops fetalis.

Penyakit vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan diabetes


mellitus.

3.

Penyakit-penyakit ginjal.
Hiperplasentosis

Molahidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi

besar, diabetes mellitus.


4.

Riwayat keluarga pernah pre-eklamsia atau eklamsia.

5.

Obesitas dan hidramnion.

6.

Gizi yang kurang dan anemi.

7.

Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, defisiensi kalsium,


defisiensi asam lemak tidak jenuh, kurang antioksidans.

2.3 GEJALA dan TANDA


Pada umumnya kejangan didahului oleh makin memburuknya pre-eklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala didaerah frontal, gangguan penglihatan, mual
keras, nyeri diepigastrium dan hiperrefleksia. Bila keadaaan ini tidak dikenal dan

tidak segera diobati, akan timbul kejangan : terutama pada persalinan bahaya ini
besar.
Eklampsia paling sering terjadi pada trimester terakhir dan menjadi semakin
sering mendekati aterm. Pada wanita dengan awitan kejang yang lebih dari 48 jam
postpartum, perlu dipertimbangkan diagnosis lain
Serangan kejang biasanya dimulai disekitar mulut dalam bentuk kedutan-kedutan
(twitching) wajah. Setelah beberapa detik seluruh tubuh menjadi kaku dalam suatu
kontraksi otot generalisata. Fase ini dapat menetap selama 15 sampai 20 detik.
Mendadak rahang mulai membuka dan menutup secara kuat, dan segera diikuti oleh
kelopak mata. Otot-otot wajah yang lain dan kemudian semua otot melakukan
kontraksi dan relaksasi bergantian secara cepat. Gerakan otot sedemikian kuatnya
sehingga wanita yang bersangkutan dapat terlempar dari tempat tidur dan apabila
tidak dilindungi lidahnya tergigit oleh gerakan rahang yang hebat. Fase ini, saat
terjadi kontraksi dan relaksasi otot-otot secara bergantian, dapat berlangsung sekitar
satu menit. Secara bertahap, gerakan otot menjadi lebih lemah dan jarang, dan
akhirnya wanita yang bersangkutan tidak bergerak. Sepanjang serangan, diafragma
terfiksasi dan pernapasan tertahan. Selama beberapa detik wanita yang bersangkutan
seolah-olah sekarat akibat henti napas, tetapi kemudian ia menarik napas dalam,
panjang, dan berbunyi lalu kembali bernapas. Ia kemudian mengalami koma. Ia tidak
akan mengingat serangan kejang tersebut atau pada umumnya kejadian sesaat
sebelem dan sesudahnya. Seiring dengan waktu ingatan ini akan pulih.
Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang berikutnya yang
jumlahnya dapat bervariasi dari satu atau dua pada kasus ringan sampai bahkan 100

atau lebih pada kasus berat yang tidak diobati. Pada kasus yang jarang, kejang terjadi
berurutan sedemikian cepatnya sehingga wanita yang bersangkutan tampak
mengalami kejang yang berkepanjangan dan hampir kontinu.
Durasi koma setelah kejang bervariasi. Apabila kejangnya jarang, wanita yang
bersangkutan biasanya pulih sebagian kesadarannya setelah setiap serangan. Sewaktu
sadar, dapat timbul keadaan setengah sadar dengan usaha perlawanan. Pada kasus
yang sangat berat , koma menetap dari satu kejang ke kejang lainnya dan pasien dapat
meninggal sebelum ia sadar. Meski jarang, satu kali kejang dapat diikuti oleh koma
yang berkepanjangan walaupun umumnya, kematian tidak terjadi setelah kejang
berulang-ulang.
Laju pernapasan setelah kejang eklampsia biasanya meningkat dan dapat
mencapai 50x permenit, mungkin sebagai respon terhadap hiperkarbia akibat
asidemia laktat serta akibat hipoksia dengan derajat bervariasi. Sianosis dapat
dijumpai pada kasus yang parah. Demam 39C atau lebih adalah tanda yang buruk
karena dapat merupakan akibat perdarahan susunan saraf pusat.
Proteinuri hampir selalu ada dan sering parah. Pengeluaran urin kemungkinan
besar berkurang secara bermakna dan kadang-kadang terjadi anuria. Hemoglobinuria
sering dijumpai, tetapi hemoglobinemia jarang. Edema, sering mecolok kadangkadang masif walaupun mungkin juga tidak ada.
Seperti pada preeklampsia berat, setelah melahirkan, peningkatan pengeluaran
urin biasanya merupakan tanda awal perbaikan. Proteinuri dan edem biasanya
menghilang dalam seminggu. Pada sebagian besar tekanan darah kembali ke normal
dalam beberapa hari sampai 2 minggu setelah melahirkan. Semakin lama hipertensi

menetap postpartum, semakin besar kemungkinan bahwa hipertensi tersebut


disebabkan oleh penyakit ginjal atau vaskular kronik.
Pada eklampsia antepartum, tanda-tanda persalinan segera dimulai setelah kejang
dan berkembang cepat, kadang-kadang sebelum petugas yang menolong menyadari
bahwa wanita yang tidak sadar atau stupor ini mengalami his. Apabila kejang terjadi
setelah persalinan, frekuensi dan intensitas his dapat meningkat, dan durasi persalinan
dapat memendek. Karena ibu mengalami hipoksemia dan asidemia laktat akibat
kejang, tidak jarang janin mengalami bradikardi setelah serangan kejang. Keadaan ini
biasanya pulih dalam 3 sampai 5 menit, apabila menetap lebih dari 10 menit, kausa
lain perlu dipertimbangkan misalnya solusio plasenta atau bayi akan segera lahir
Edem paru dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Paling tidak terdapat dua
mekanisme penyebab :
1.

Pneumonitis aspirasi dapat terjadi setelah inhalasi isi lambung apabila kejang
disertai oleh muntah

2.

Gagal jantung, yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan
pemberian cairan intravena yang berlebihan

Pada sebagian wanita dengan eklampsia, kematian mendadak tejadi bersamaan


dengan kejang atau segera sesudahnya akibat perdarahan otak masif. Perdarahan
subletal dapat menyebabkan hemiplegi. Perdarahan otak lebih besar kemungkinannya
pada wanita yang lebih tua dengan hipertensi kronik. Walaupun jarang, perdarahan
tersebut mungkin disebabkan oleh ruptur aneurisme berry (berry aneurysm) atau
malformasi arteriovena (Witlin dkk., 1997a)

Pada sekitar 10 pesen wanita, sedikit banyak terjadi kebutaan setelah serangan
kejang. Kebutaan juga dapat timbul spontan pada preeklampsia. Paling tidak terdapat
dua kausa :
1.

Ablasio retina dengan derajat bervariasi

2.

iskemia, infark, atau edem lobus oksipitalis

baik akibat patologi otak atau retina, prognosis untuk pulihnya penglihatan baik dan
biasanya tuntas dalam seminggu ( Cunningham dkk., 1995). Sekitar 5 persen wanita
akan mengalami gangguan kesadaran yang cukup bermakna, termasuk koma menetap
setelah kejang. Hal ini disebabkan oleh edem otak yang luas, sedangkan herniasi
unkus transtentorium dapat menyebabkan kematian ( Cunningham dan Twickler,
2000).
Walaupun jarang, eklampsia diikuti oleh psikosis, dan wanita yang bersangkutan
dapat mengamuk. Keadaan ini biasanya berlangsung selama beberapa hari sampai 2
minggu, tetapi prognosis untuk pulih baik asalkan sebelumnya tidak memiliki
penyakit mental. Di Parkland Hospital, klorpromazin dalam dosis yang yang dititrasi
dengan cermat terbukti efektif pada beberapa kasus psikosis pascaeklamsia.

2.4 DIAGNOSIS
-

kehamilan lebih dari 20 minggu, atau saat persalinan atau masa nifas

tanda-tanda preeklampsia (hipertensi, edem, proteinuri)

kejang-kejang atau koma

kadang-kadang disertai dengan gangguan fungsi organ-organ

eklampsia harus dibedakan dari:


1.

epilepsy; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau


pada hamil-muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada;

2.

kejangan karena obat anestesi; apabila obat anestesia local tersuntikan ke


dalam vena dapat timbul kejangan

3.

koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis,


ensefalitis, dan lain-lain.

2.5 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama pengobatan eklampsia ialah menghentikan berulangnya serangan
kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan
ibu mengizinkan.
Pengawasan dan perawatan yang intensif sangat penting bagi penanganan pada
penderita eklamsia, sehingga ia harus dirawat dirumah sakit. Pada pengangkutan
dirumah sakit dibutuhkan obat penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya
kejang. Penderita dalam hal ini dapat diberi diazepam 20mg IM. Selain itu penderita
harus disertai seorang tenaga yang terampil dalam resusitasi dan yang dapat
mencegah terjadinya trauma apabila terjadi serangan kejangan.
Tujuan

pertama

pengobatan

eklampsia

adalah

menghentikan

kejangan

vasopspasmus, dan meningkatkan diuresis. Dalam pada itu, pertolongan yang perlu
diberikan jika timbul kejangan ialah mempertahankan jalan pernapasan bebas,
menghindarkan tergigitnya lidah, pemberian oksigen dan menjaga agar penderita
tidak mengalami trauma. Untuk menjaga jangan sampai terjadi kejangan lagi yang

selanjutnya mempengaruhi gejala-gejala lain, dapat diberikan beberapa obat


misalnya:
1.

Sodium penthotal sangat berguna untuk menghentikan kejangan dengan


segera bila diberikan secara intravena. Akan tetapi obat ini mengandung bahaya
yng tidak kecil. Mengingat hal ini, obat ini hanya dapat diberikan dirumah sakit
dengan pengwasan yang sempurna dan tersedianya kemungkinan untuk intubasi
dan resusitasi. Dosis inisial dapat diberikan sebanyak 0,2-0,3 g dan disuntikkan
perlahan-lahan.

2.

Sulfas magnesicus yang mengurangi kepekaan saraf pusat pada hubungan


neuromuskuler tanpa mempengaruhi bagian lain dari susunan saraf. Obat ini
menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, meningkatkan diuresis
dan menambah aliran darah ke uterus. Dosis inisial yang diberikan ialah 8 g
dalam larutan 40% secara intramuskulus, selanjutnya tiap 6 jam 4 gr dengan
syarat bahwa refleks patella masih positif, pernapasan 16 atau lebih permenit,
diuresis harus melebihi 600 ml perhari. Selain intramuskulur sulfas magnesicus
dapat diberikan secara intravena , dosis inisial yang diberikan 4 gr 40% MgSO 4
dalam larutan 10 ml intravena secara perlahan-lahan, diikuti 8 g IM dan selalu
disediakan kalsium glukonas 1 g dalam 10 ml sebagai antidotum

Efektivitas klinis terapi magnesium sulfat


Wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat mengalami 50 % kejang
berulang dibandingkan dengan mereka yang mendapat diazepam. Pada
perbandingan lain wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat lebih kecil

10

kemungkinan memerlukan ventilasi buatan, terjangkit pneumonia dan dirawat di


ruang perawatan intensif daripada mereka yang mendapat fenitoin
.
FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI MAGNESIUM SULFAT

Magnesium sulfat USP adalah MgSO4.7H2O dan bukan MgSO4.


Magnesium yang diberikan secara parenteral dikeluarkan hampir seluruhnya
melalui ekskresi ginjal, dan intoksikasi magnesium dapat dihindari dengan
memastikan bahwa pengeluaran urin memadai, refleks patela atau biseps ada, dan
tidak ada depresi pernapasan. Kejang eklamsia hampir selalu dapat dicegah
apabila kadar magnesium plasma dipertahankan pada 4 sampai 7 mEq/l (4,8
sampai 8,4 mg/dl atau 2,0 sampai 3,5 mmol/l). Infus intravena awal sebanyak 4
sampai 6 g digunakan untuk mencapai kadar terapetik dengan segera yang
kemudian dipertahankan dengan injeksi 10 g intramuskular secara hampir
bersamaan, diikuti oleh 5 g intramuskular setiap 4 jam, atau oleh infus kontinu 2
sampai 3 g per jam. Dengan jadwal dosis ini, kadar plasma yang efektif secara
terapetik (4 sampai 7 mEq/l) akan tercapai dibandingkan dengan kadarnya dalam
plasma sebelum terapi yang kurang dari 2,0 mEq/l.
Sibai dan rekan (1984) melakukan suatu studi prospektif di mana mereka
membandingkan magnesium sulfat intravena kontinu dengan magnesium sulfat
intramuskular. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata kadar magnesium
yang diamati setelah suntikan intramuskular dan kadar yang dijumpai setelah
infus intravena dosis pemeliharaan sebesar 2 g per jam. Menurut pengalaman
kami, banyak wanita akan memerlukan infus 3 g per jam untuk mempertahankan
kadar efektif magnesium dalam plasma.
11

Refleks patela menghilang apabila kadar magnesium plasma mencapai 10


mEq/l (sekitar 12 mg/dl), mungkin akibat efek kurariforme. Tanda ini berfungsi
sebagai peringatan adanya ancaman toksisitas magnesium, karena peningkatan
lebih lanjut akan menyebabkan depresi pernapasan.
Apabila kadar plasma meningkat di atas 10 mEq/l, akan timbul depresi
pernapasan, dan pada 12 mEq/l atau lebih, terjadi paralisis dan henti napas.
Somjen dan rekan (1966), dengan infus intravena, menginduksi diri mereka
sendiri hingga terjadi hipermagnesemia yang mencolok dengan kadar plasma
mencapai 15 mEq/l. Dapat diperkirakan, pada kadar plasma setinggi itu, terjadi
depresi pernapasan yang mengharuskan diberikannya ventilasi mekanis, tetapi
penurunan sensorium tidak terlalu dramatik sepanjang hipoksia dapat dicegah.
Terapi dengan kalsium glukonas, 1 g intravena, bersama dengan penghentian
terapi magnesium sulfat biasanya memulihkan depresi pernapasan yang ringan
sampai sedang. Sayangnya, efek kalsium intravena mungkin berlangsung singkat.
Untuk depresi pernapasan yang berat dan henti napas, perlu segera dilakukan
intubasi trakea dan ventilasi mekanis untuk menyelamatkan nyawa. Efek toksik
langsung magnesium kadar tinggi pada miokardium jarang dijumpai. Disfungsi
jantung yang terkait dengan magnesium tampaknya disebabkan oleh henti napas
dan hipoksia. Dengan ventilasi yang memadai, kerja jantung tetap memuaskan
bahkan saat kadar magnesium plasma sangat tinggi (McCubbin et al., 1981)

3.

Lytic cocktail yang terdiri atas petidin 100 mg, klorpromazin 100 mg, dan
prometazin 50 mg dilarutkan dalam glukos 5% 500 ml dan diberikan secara infus

12

intravena. Jumlah tetesan disesuaikan dengan keadaan dan tensi penderita. Maka
dari itu, tensi dan nadi diukur tiap 5 menit dalam waktu setengah jam pertama dan
bila keadaan sudah stabil, pengukuran dapat dijarangkan menurut keadaan
penderita.

Disini dikatakan bahwa pemberian obat-obat tersebut disertai dengan pengawasan


yang teliti dan terus menerus. Jumalh dan waktu pemberian obat disesuaikan dengan
keadaan penderita pada tiap-tiap jam demi keselamatannya dan sedapat-dapatnya juga
demi keselamatan janin dalam kandungan.
Sebelum diberikan obat penenang yang cukup, maka penderita eklamsia harus
dihindarkan dari semua rangsang yang dapat menimbulkan kejangan, seperti
keributan, injeksi, atau pemeriksaan dalam.
Penderita dirawat dalam kamar isolasi yang tenang, tekanan darah, nadi dan
pernafasan dicatat tiap 30 menit pada suatu kertas grafik, suhu dicatat tiap jam secara
rektal. Bila penderita belum melahirkan, dilakukan pemeriksaan obsetrik untuk
mengetahui saat permulaan atau kemajuan pesalinan. Untuk melancarkan pengeluara
sekret dari jalan pernapasan pada penderita dalam koma penderita dibaringkan dalam
letak Trndelenbergh dan selanjutnya dibalikkan kesisi kiri dan kanan tiap jam untuk
menghindarkan dekubitus. Alat penyedot disediakan untuk membersihkan jalan
pernafasan dan oksigen diberikan pada sianosis. Dauer catheter dipasang untuk
mengetahui diuresis dan untuk menentukan protein dalam air kencing secara
kuantitatif. Balans cairan harus diperhatikan dengan cermat. Pemberian cairan
disesuaikan dengan jumlah diuresis dan air yang hilang melalui kulit dan paru-paru,

13

pada umumnya dalam 24 jam diberikan 2000 ml. Balans cairan dinilai dan
disesuaikan tiap 6 jam.
Kalori yang adekuat diberikan untuk menghindarkan katabolismus jaringan dan
asidosis. Pada penderita koma atau kurang sadar pemberian kalori dilakukan dengan
infus dekstran, glukos 10%, atau larutan asam amino seperti aminofusin. Cairan yang
terakhir ini, selain mengandung kalori cukup, juga berisi amino yang diperlukan

TERAPI CAIRAN

Larutan Ringer laktat diberikan secara rutin dengan kecepatan 60 ml sampai tidak
lebih dari 125 ml per jam kecuali apabila terjadi pengeluaran cairan tidak lazim melalui
muntah, diare, atau diaforesis atau, yang lebih mungkin, pengeluaran darah berlebihan
saat melahirkan. Oligouria, yang sering terjadi pada kasus preeklamsia berat dan
eklamsia, disertai pengetahuan bahwa volume darah ibu kemungkinan besar mengalami
konstriksi dibandingkan dengan kehamilan normal, menimbulkan dorongan kuat bagi kita
untuk memberikan lebih banyak cairan intravena. Alasan untuk melakukan terapi cairan
yang konservatif dan terkendali adalah bahwa wanita dengan eklamsia sudah memiliki
cairan ekstrasel yang berlebihan namun terdistribusi secara tidak merata antara
kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Infus cairan dalam jumlah besar dapat
dan memang akan meningkatkan maldistribusi cairan ekstravaskular yang akan
meningkatkan risiko edema paru dan otak (Sibai et al., 1987b).

EDEMA PARU

Wanita dengan preeklamsia berat-eklamsia yang mengalami edema paru biasanya


mengalaminya setelah melahirkan (Cunningham et al., 1986). Aspirasi isi lambung,

14

akibat kejang atau mungkin dari anestesia, atau sedasi berlebihan, harus disingkirkan;
namun, sebagian besar wanita ini menderita gagal jantung. Beberapa perubahan yang
normal

terjadi

pada

kehamilan,

yang

diperparah

oleh

preeklamsia-eklamsia,

menyebabkan pasien rentan terhadap edema paru. Yang utama, pada kehamilan normal
tekanan onkotik plasma berkurang cukup besar karena menurunnya albumin serum, dan
tekanan onkotik bahkan menurun lebih besar lagi pada preeklamsia (Zinaman et al.,
1985). Lebih lanjut, ian dan rekan (1986) melaporkan adanya peningkatan tekanan
onkotik cairan ekstravaskular pada wanita dengan preeklamsia, dan hal ini
mempermudah ekstravasasi cairan kapiler. Brown dan rekan (1989) membuktikan
terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler pada wanita dengan preeklamsia. Bhatia dan
rekan (1987) menemukan suatu korelasi antara tekanan osmotik koloid plasma dan
konsentrasi fibronektin; hal ini bagi mereka mengisyaratkan bahwa pengurangan protein
vaskular disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular akibat cedera pembuluh.
Seringnya hemokonsentrasi terjadi, serta adanya penurunan tekanan vena sentral
dan wedge pressure kapiler paru, mendorong sebagian peneliti memberi infus berbagai
cairan, polimer pati, atau konsentrat albumin, atau ketiganya, sebagai upaya untuk
meningkatkan volume darah sehingga diharapkan vasospasme berkurang dan tidak terjadi
kerusakan organ. Sejauh ini, manfaat pendekatan ini belum terbukti secara nyata; namun
penyulit serius, terutama edema paru, pernah dilaporkan. Lpez-Llera (1982) melaporkan
bahwa ekspansi volume yang berlebihan berkaitan dengan peningkatan insidensi edema
paru pada lebih dari 700 wanita dengan eklamsia. Benedetti dan rekan (1985) melaporkan
edema paru pada 7 dari 10 wanita dengan preeklamsia berat yang mendapat terapi koloid.
Sibai dan rekan (1987b) menyebutkan infus kristaloid dan koloid yang berlebihan sebagai

15

penyebab sebagian besar dari 37 kasus edema paru yang terkait dengan preeklamsia
berat-eklamsia pada penelitian mereka. Akhirnya, Lehmann dan rekan (1987) melaporkan
bahwa edema paru menyebabkan hampir sepertiga dari kematian ibu hamil akibat
gangguan hipertensi di Charity Hospital di New Orleans.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka sampai diperoleh pemahaman tentang
bagaimana meningkatkan cairan di dalam kompartemen intravaskular dan pada saat yang
sama, mengurangi cairan di luar kompartemen intravaskular, kami tetap yakin bahwa
tanpa adanya kehilangan cairan yang banyak, pemberian cairan yang aman adalah dalam
jumlah terbatas. Sampai saat ini, belum ada efek simpang yang serius dari kebijakan ini.
Yang utama, dialisis atas indikasi gagal ginjal belum pernah dilakukan untuk satu pun
kasus dari lebih 400 kasus eklamsia yang ditangani dengan cara ini

Tindakan obstetric
Setelah kejangan dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki, maka
direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara
yang aman. Apakah pengakhiran kehamilan dilakukan dengan seksio secarea atau
dengan induksi persalinan pervaginam, hal tersebut tergantung dari berbagai faktor,
seperti keadaan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli anestesi dan
sebagainya.
Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanakan
cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia gravidarum perlu diadakakan induksi

16

dengan amniotomi dan infus pitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang
selama 12 jam dan keadaan serviks mengijinkan. Tetapi, apabila serviks masih lancip
dan tertutup terutama pada primigravida, kepala jani masih tinggi atau ada
persangkaan disproporsi sefalopelvic, sebaiknya dilakukan seksio secarea.
Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan amniotomi untuk mempercepat
partus dan bila syarat-syarat dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum atau cunam.
Pilihan anestesia untuk mengakhiri persalinan pada eklampsia tergantung dari
keadaan umum penderita dan macam obat sedativa yang telah dipakai. Keputusan
tentang hal ini sebaiknya dilakukan oleh ahli anestesi. Anestesi lokal dapat dipakai
bila sedasi sudah berat. Anestesi spinal dapat menyebabkan hipotensi yang berbahaya
pada eklampsia, jadi sebaiknya jangn dipergunakan.
Pengalaman menunjukkan bahwa penderita eklampsia tidak seberapa tahan
terhadap perdarahan postpartum atau trauma obstetrik, keduanya dapat menyebabkan
syok. Maka dari itu, semua tindakan obstetrik harus dilakukan seringan mungkin, dan
selalu disediakan darah. Ergometrin atau methergin boleh diberikan pada perdarahan
postpartum yang disebabkan oleh atoni uteri tetapi jag diberikan secara rutin tanpa
indikasi.
Setelah kelahiran, perwatan dan pengobatan intensif diteruskan untuk 48 jam. Bila
tekanan darah turun, maka pemberian obat penenang dapat dikurangi setelah 24 jam
postpartum untuk kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis bertambah 2448 jam setelah kelahiran dan edema serta proteinuria berkurang.

2.6 KOMPLIKASI

17

Komplikasi yang terberat ialah kematian Ibu dan janin. Usaha utama adalah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita eklampsia. Komplikasi yang biasanya
terjadi pada eklampsia adalah :
1. Solusio plasenta.
2. Hipofibrinogenema.
3. Hemolisis
4. Perdarahan otak, komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia
5. Kelainan mata
6. Edema paru-paru, disebabkan karena payah jantung
7. Nekrosis hati, nekrosis periportal hati merupakan akibat vasospasmus arteriol
umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata juga ditemukan
pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan
faal hati, terutama penentuan enzym-enzymnya
8. Kelainan ginjal. Kelainan ini dapat berupa endoteliosis glomerulus yaitu
pembengkakan sitoplasma sel endothelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur
lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal
9. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejangkejang pneumonia aspirasi, dan DIC (Dissminated Intravascular Coogulation).
10. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.
11. Sindroma HELLP. Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes(peningkatan enzym
hati), dan low platelet(penurunan trombosit)

18

HELLP Syndrome
Sindroma hemolisis, elevated liver enzymes and low platelet adalah suatu
komplikasi

pada

preeklampsia

eklampsia

berat.

Kehamilan

yang

dikomplikasikan dengan sindroma HELLP juga sering dikaitkan dengan keadaan


keadaan yang mengancam terjadinya kematian ibu, termasuk DIC, oedema
pulmonaris, ARF, dan berbagai komplikasi hemoragik.

Insiden terjadinya

sindroma ini sebanyak 9,7 % dari kehamilan yang mengalami komplikasi


preeklampsia eklampsia. Sindroma ini dapat muncul pada masa antepartum (70
%) dan juga post partum (30 %). Ciri ciri dari HELLP syndrome adalah:

Nyeri ulu hati

Mual dan muntah

Sakit kepala

Tekanan darah diastolik 110 mmHg

Menampakkan adanya oedema

HELLP syndrome dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian:


1.

Mississippi, dibagi menjadi 3 kelas:

Thrombositopenia
Kelas 1: 50.000 / l
Kelas 2: > 50.000 100.000 / l
Kelas 3: > 100.000 150.000 / l

Disfungsi hemolisis - hepatis

19

LDH 600 IU / L
SGOT dan / atau SGPT 40 IU / L
Ciri ciri tersebut harus semua terdapat
2.

Tennessee, dibagi menjadi 2 kelas:

Complete
-

Trombosit < 100.000 / l

LDH 600 IU / L

SGOT 70 IU / L

Parsial
-

Hanya satu dari ciri ciri di atas yang muncul

Penanganan sindroma HELLP pada dasarnya sama dengan pengobatan


pada preeklampsia eklampsia berat, ditambah dengan pemberian kortikosteroid
dosis tinggi yang secara teoritis dapat berguna untuk : (13)
1. Dapat meningkatkan angka keberhasilan induksi persalinan dengan memberikan
temporarisasi singkat dari status klinis maternal.
2. Dapat

meningkatkan

jumlah

trombosit

dan

mempertahankannya

secara

konvensional agar dapat dilakukan anestesi regional untuk persalinan vaginal


maupun abdominal.

20

Dosis yang digunakan untuk antepartum adalah dexametasone 2 x 10 mg


sampai persalinan. Sedangkan untuk post partum adalah 2 x 10 mg sebanyak 2
kali, dilanjutkan dengan 2 x 5 mg sebanyak 2 kali, setelah itu dihentikan.

2.7 PROGNOSIS
Tingginya kematian Ibu dan anak di Negara-negara yang kurang maju disebabkan
oleh kurang sempurnannya pengawasan antenatal dan natal; penderita-penderita
eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Kematian Ibu biasanya
disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan edema paru-paru,
payah-ginjal, dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan waktu kejangan..
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterine dan prematuritas.
Berlawanan dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia tidak
menyebabkan hipertensi menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan bahwa
para penderita yang mengalami eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi
hipertensi 15 tahun kemudian atau lebih tidak lebih tinggi daripada mereka yang
hamil tanpa eklampsia

21

BAB III
KESIMPULAN dan SARAN

3.1

KESIMPULAN
Eklampsia merupakan serangan konvulsi yang mendadak atau suatu kondisi
yang dimunculkan penyakit hipertensi yang terjadi oleh kehamilan, menyebabkan
kejang dan koma, sebab eklampsia belum diketahui pasti, namun salah satu teori
mengemukakan bahwa eklampsia disebabkan ischaemia rahim dan plasenta.
Di Indonesia eklampsia, disamping pendarahan dan infeksi masih merupakan
sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu,
diagnosis dini pre eklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta
pemanasannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
anak.
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang
meminta korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui
kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi,
yakni 42,2%-48,9%. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di Negara maju lebih kecil.
Tingginya kematian ibu dan anak di Negara-negara yang kurang maju disebabkan
oleh kurang sempurnanya pengawasan antendal dan natal, penderita-penderita
eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Kematian ibu biasanya

22

disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensio kordis dengan edema paru-paru,


payah ginjal, dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernafasan waktu kejang.
3.2

SARAN
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:
1) Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua
wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;
2) Mencari pada setiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya
segera apabila ditemukan. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada
kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia
tidak juga dapat dihilangkan.
3) Terapi magnesium sulfat lebih baik daripada fenitoin dalam mencegah kejang
eklampsia. Masih terus terjadi silang pendapat mengenai apakah magnesium
sulfat profilakis perlu diberikan secara rutin kepada semua wanita bersalin yang
mengalami hipertensi. Perdebatan saat ini berpusat pada wanita preeklamptik
mana yang perlu diberi profilaksis. Manfaat magnesium sulfat profilaktik bagi
wanita dengan preeklampsia ringan masih diperdebatkan karena resiko eklampsia
yang diperkirakan adalah 1 dalam 100 atau kurang. Witlin dan Sibai baru-baru ini
mengulas bukti efektivitas magnesium sulfat untuk mengobati dan mencegah
kejang akibat gangguan hipertensi pada kehamilan. Mereka menyimpulkan bahwa
walaupun magnesium sulfat jelas bermamfaat bagi wanita preeklampsia berat dan
eklampsia, perlu tidaknya pemberian profilaktik bagi wanita dengan penyakit
ringan masih belum jelas.

23

DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams
Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw-Hill, 2007
Goodnight SH, Hathaway WE. Disorders of Hemostasis and Thrombosis: A Clinical
Guide. 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2001: 234
Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC,
2007: 417-419
Scott JR, Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF. Danforths Obstetrics and Gynecology. 9th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007: 22
Wibowo B, Rachimhadhi T. Pre-eklampsia dan Eklampsia. Dalam: Wiknjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadhi T, ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002: 295-298

24

Anda mungkin juga menyukai