Anda di halaman 1dari 275

BINAUS

Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2:

1. Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana

Pasal 72:

1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.0000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BINAUS
Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI

Penyunting
Yulius Y. Ranimpi

Penerbit
Satya Wacana University Press
BINAUS: Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI

Cetakan pertama, November 2016

Penyunting
Yulius Y. Ranimpi

Penata Letak
Jerry F. Langkun

Disain Sampul
Vinchart D.B.J. Dundu

Foto-foto
Dhanang Puspita, Christina D. Tauho, Ferry F. Karwur, Yulius. Y. Ranimpi

Diterbitkan oleh
Satya Wacana University Press dan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


BINAUS: Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI / penyunting, Yulius Y. Ranimpi
Salatiga: Fakultas Ilmu Kesehatani UKSW
xx+253 hal; 17.5x24 cm
ISBN: 978-602-1047-58-3
Sambutan
Bupati Timor Tengah Selatan
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
berkat dan tuntunan-Nya, buku “Rangkuman Hasil Penelitian tentang Kondisi
Pendidikan, Kesehatan (khususnya kesehatan ibu dan anak) yang menggambarkan
kondisi masyarakat Desa Binaus sebagai wajah pedesaan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan Masa Kini” dapat diselesaikan dan dipublikasikan oleh Tim Peneliti
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.
Pembangunan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)
merupakan suatu kesatuan pembangunan manusia di berbagai sektor yang saling
bersinergi antara lain faktor pendidikan dan kesehatan di Desa Binaus memberikan
gambaran kondisi aset manusia yang dimiliki Pemerintah Daerah secara umum. Modal
aset inilah yang menjadi andalan tingkat kecerdasan dan kemampuan tenaga kerja
untuk bersaing dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal inilah yang
menimbulkan beban tersendiri yang harus dipikul dan diperjuangkan oleh Pemerintah
dalam membangun masyarakat.

Disinilah peran Pemerintah melalui berbagai tingkat proses perencanaan


untuk membangun manusia TTS menjadi penting dan mendesak serta memerlukan
langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistemik, terpadu dan menyeluruh
dalam memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat. Untuk itu diperlukan berbagai
kerjasama antar Pemerintah, Perguruan Tinggi, Swasta, LSM, masyarakat dan
pemangku kepentingan lainnya melalui langkah-langkah strategis dan komprehensif.
Untuk menyikapi dan mengkritisi kondisi di atas pemerintah daerah
mengapresiasi kehadiran UKSW Salatiga melalui berbagai program kerjasama yang
dirintis sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang antara lain:

v
1. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan bagi aparatur (PNS), masyarakat
dan putra putri daerah asal kabupaten TTS dalam berbagai bidang studi.
2. Kerjasama penelitian dalam berbagai aspek.
3. Kerjasama dalam menyediakan tenaga guru dan dosen pada semua strata
pendidikan (SD – PT).
4. Bersama Pemda merintis berdirinya Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan di SoE.
Sejak tahun 2012 sampai 2016 Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UKSW
Salatiga telah membantu Pemerintah Daerah Kabupaten TTS dalam upaya
peningkatan kesehatan ibu dan anak untuk suksesnya Revolusi KIA antara lain dalam
bentuk penelitian yang non intervensi dengan desain eksploratif dimana informasi
diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung bagi para
narasumber di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah antara lain: Pemerintah
Kecamatan/Desa, petugas Puskesmas, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh
agama dan tokoh adat dan jejaring lainnya. Ternyata terdapat kondisi adat istiadat,
budaya yang erat kaitannya dengan kesehatan ibu dan anak sejak kehamilan sampai
dengan melahirkan yang berdampak negatif atau beresiko tinggi bagi ibu dan anak.
Penelitian ini memberikan pemahaman secara menyeluruh kepada masyarakat
dimana ditemui sudah ada diskusi-diskusi yang cukup intensif dari masyarakat. Ini
menggambarkan ada semangat yang tinggi dari masyarakat untuk memperbaiki
derajat kesehatan di desanya. Sebagai contoh semua persalinan tidak lagi di rumah
penduduk dan ditolong oleh dukun bersalin tetapi masyarakat mulai menggunakan
fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga medis dan paramedis.
Pemerintah Daerah sangat menghargai semua hasil penelitian FIK UKSW
Salatiga yang dapat memberikan gambaran peran semua pemangku kepentingan tentang
sejauh mana masing-masing menjalankan perannya dalam upaya peningkatan kesehatan
masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak sehingga bagi Pemerintah Daerah dapat
dijadikan sebagai informasi tambahan untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan dan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat menuju lingkungan sehat,

vi
cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, derajat kesehatan penduduk yang baik,
perilaku sehat serta mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari
ancaman sakit dan meningkatkan partisipasi aktif dalam gerakan masyarakat sehat.
Melalui kesempatan ini ijinkanlah kami atas nama Pemerintah Daerah

menghaturkan ucapan terima kasih kepada:

1. Rektor UKSW Salatiga Bapak Prof. Dr. Pdt. John A. Titaley., Th,D atas
ijinnya penelitian dapat terlaksana dan terhimpun dalam karya ilmiah yang
sangat berdampak positif bagi kebijakan pembangunan di daerah.
2. Dekan FIK UKSW Salatiga Ir. Ferry F. Karwur MSc., PhD beserta seluruh peneliti
dan staf yang dengan ketekunan dan kesabarannya dapat menghasilkan sejumlah
penelitian tentang kesehatan masyarakat dari berbagai aspek antara lain ekonomi,
sosial dan budaya bersama masyarakat Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah
Kabupaten TTS menjadi referensi yang sangat bermanfaat dalam merumuskan
berbagai kebijakan pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan.
3. Secara khsus ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada
Pemerintah desa dan masyarakat Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah atas
berbagai dukungan sehingga terlaksananya penelitian ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa selama kebersamaan kita tidak luput dari
kesalahan dan kekeliruan. Untuk itu atas nama Pemerintah Daerah dan masyarakat
TTS menghaturkan permohonan maaf. Demikian pula dengan adanya keterbatasan
dan kelemahan yang kami hadapi dalam pembangunan kesehatan masyarakat maka
melalui rangkuman penelitian ini dapat membangkitkan inspirasi, semangat dalam
menunaikan tugas dan pelayanan kepada masyarakat.
Tuhan Yesus memberkati.

SoE, 5 November 2016

Ir. Paulus V. R. Mella MSi


Bupati Timor Tengah Selatan

vii
Sambutan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Timor Tengah Selatan
Perbaikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah muara dari
semua kegiatan yang dilakukan baik pemerintah daerah maupun perwakilan rakyat.
Kehadiran kami bertujuan untuk mengawal seluruh proses perencanaan dan
pelaksanaan program kerja pemerintah agar benar-benar berfokus pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Untuk
melakukan hal ini, maka pemahaman akan kondisi nyata masyarakat TTS serta
seluruh dinamikanya mutlak diperlukan. Kedekatan dengan masyarakat merupakan
salah satu syarat utama agar apa yang menjadi kebutuhan mereka dapat diidentifikasi
untuk selanjutnya dipakai sebagai dasar rujukan pengembangan program kerja.

Pembangunan masyarakat khususnya bidang kesehatan merupakan pekerjaan


besar yang senantiasa menjadi perhatian di TTS. Banyak faktor yang perlu dipelajari
secara komprehensif agar roda pembangunan area ini dapat berputar lebih cepat untuk
mengejar ketertinggalan. Faktor ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai dan
merata serta kehadiran tenaga kesehatan profesional merupakan salah satu tantangan
yang dihadapi. Secara perlahan, penambahan jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan
terus dilakukan dan meskipun belum mencukupi serta terdistribusi baik, namun saat
ini pusat layanan kesehatan masyarakat telah menjangkau seluruh daerah TTS.

Faktor lain yang juga berperan dalam pembangunan kesehatan adalah faktor
masyarakat sebagai pembuat keputusan utama terkait kesehatan serta sebagai pengguna
aktif layanan kesehatan. Berbicara tentang masyarakat tentu tidak bisa lepas dari aspek
ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga aspek ini merupakan penentu utama keputusan serta
tindakan kesehatan yang diambil. Faktor ekonomi, misalnya, mempengaruhi apakah

viii
dalam menangani keadaan sakit yang dialami, seseorang akan mengakses fasilitas dan
layanan kesehatan yang tersedia. Selain itu, berbagai kebijakan lokal yang ada terkait
pengobatan sakit penyakit maupun praktek lokal terkait melahirkan, yang telah terjadi
secara turun-temurun juga sangat berkontribusi terhadap keputusan masyarakat untuk
mengakses layanan kesehatan modern. Kepercayaan masyarakat terkait penyebab
sakit penyakit maupun bagaimana cara mengatasinya secara sosial budaya dan religi
merupakan aspek yang perlu dicermati dengan baik dalam melakukan pendekatan
kepada masyarakat.

Perumusan program kerja, kebijakan serta aturan bagi masyarakat perlu


dilakukan dengan memperhatikan semua aspek yang berpengaruh agar hasilnya dapat
bersifat tepat guna. Berbagai media dan forum terus digunakan oleh DPRD untuk
mengetahui dengan jelas apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Forum pertemuan
dengan rakyat, diskusi, jajak pendapat, reses dan kunjungan kerja (kunker) merupakan
forum yang kami pakai untuk memperoleh masukan langsung dari masyarakat. Selain
itu, sering juga kami mendapatkan saran dari lembaga-lembaga yang secara langsung
terjun dan bekerja di masyarakat TTS melalui berbagai program kerjanya seperti
perguruan tinggi (PT) maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Masukan dari pihak PT maupun LSM sangat kami hargai karena pihak-pihak seperti
ini memberikan pandangan yang objektif dan menyeluruh akan kondisi masyarakat
kami.

Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) adalah salah satu PT yang memiliki
reputasi sangat baik di tengah masyarakat TTS. Selaku Ketua DPRD, saya menyampaikan
penghargaan atas apa yang telah dilakukan UKSW tidak hanya dengan menyediakan
pendidikan tinggi yang berkualitas bagi putra-putri daerah tetapi juga melalui kegiatan-
kegiatan lain yang berkontribusi baik dalam meningkatkan derajat kehidupan masyarakat
TTS. Buku berisi tulisan hasil penelitian dari mahasiswa dan dosen di UKSW tentu sangat
bermanfaat bagi banyak pihak, terutama pihak pemerintah. Buku ini dapat memberikan
gambaran objektif bagi kami dan menjadi landasan pengembangan program-program yang
tepat sasaran. Akhirnya saya, atas nama DPRD

ix
Kabupaten TTS dan masyarakat Kabupaten TTS, mengucapkan terimakasih bagi pihak
UKSW yang selama ini telah membantu kami dengan berbagai cara. Tuhan kiranya

memberkati pelayanan kita semua.

So’e, 5 November 2016

Jean E.M. Neonufa, SE.


Ketua DPRD TTS

x
Sambutan
Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) telah melewati perjalanan panjang
yang akhirnya membawa UKSW ke-usianya yang ke enam puluh (60) di tahun 2016
ini. Sepanjang sejarah, firman Tuhan serta visi dan misi adalah penuntun utama dalam
melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawab yang dianugerahkan Tuhan bagi
UKSW. Dengan berlandaskan pada visi-misi, selama 60 tahun, UKSW senantiasa
berusaha menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas serta bernafaskan
iman Kristiani sebagai bentuk kontribusi bagi gereja, bangsa dan negara Indonesia.
Sebagai institusi pendidikan tinggi, segitiga akademik atau Tri Dharma Per-
guruan Tinggi adalah pedoman UKSW dalam melangkah. Keseimbangan antara
pengajaran, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat senantiasa diupayakan
dalam kehidupan sivitas akademika UKSW. Kami sangat menyadari bahwa
keseimbangan antara 3 aspek inilah yang memampukan kami menyediakan
pendidikan yang berkualitas bagi generasi muda gereja dan bangsa.
UKSW telah berkomitmen untuk menjadi research university sejak paruh kedua
usianya, yaitu tahun 2006. Penelitian haruslah menjadi landasan bagi pengembangan
program pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya melalui penelitian yang
baik dan berkualitas, 2 aspek segitiga akademik lainnya dapat diselenggarakan dengan
tepat guna. Hasil-hasil penelitian baik oleh dosen maupun mahasiswa menjadi dasar bagi
proses pengajaran yang realistis dan berbasis bukti. Demikian juga, program pengabdian
kepada masyarakat akan menjadi lebih efektif dilakukan apabila identifikasi permasalahan
atau kebutuhan masyarakat telah dilakukan terlebih dahulu melalui kegiatan penelitian.
Oleh karena itu, melalui berbagai skema dan kebijakan, UKSW terus mendorong sivitas
akademikanya untuk melakukan penelitian yang kemudian

xi
tercermin dalam pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat.

Saya mengapresiasi usaha yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan, UKSW
yang telah dengan setia melakukan berbagai program penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat di berbagai tempat, salah satunya Desa Binaus, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, NTT. Kehadiran buku berjudul Binaus: Wajah Pedesaan Timor di Abad
XXI merupakan wujud nyata usaha FIK-UKSW dalam memberikan kontribusi nyata
bagi pengembangan masyarakat Desa Binaus melalui hasil-hasil penelitian di bidang
kesehatan.

Desa Binaus telah menerima kehadiran dosen dan mahasiswa FIK-UKSW


dengan tangan terbuka dan untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh
perangkat dan masyarakat Desa. Terimakasih juga saya sampaikan bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan atas kerjasama yang telah terbina selama ini
dengan UKSW. Saya berharap semua yang telah dilakukan dapat membawa kemajuan
dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Akhirnya, saya mengucapkan selamat
ulang tahun ke-10 bagi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana.
Kiranya Tuhan memberkati semua karya yang dilakukan.
Salatiga, 21 Oktober 2016

Pdt. Prof. John A. Titaley, Th.D


Rektor UKSW

xii
Kata Pengantar
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, saya menyambut baik usaha Panitia
Peringatan Ulang Tahun Kesepuluh Fakultas ini, untuk menerbitkan dalam bentuk
buku karya-karya penelitian, pengajaran, dan pengabdian masyarakat yang dilakukan
oleh para dosen dan mahasiswa di Desa Binaus Mollo Tengah, Timor Tengah Selatan.
Upaya-upaya yang dilakukan di Desa ini adalah bagian dari upaya UKSW
khususnya FIK menerjemahkan konsep segitiga akademik: penelitian, pendidikan-
pengajaran, dan pengabdian masyarakat, yang dilakukan secara melembaga.
Keterlibatan dan kerjasama yang erat telah diberikan oleh Pemerintah Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Bapak Bupati, Kepala Bapppeda TTS, Kepala Dinas Kesehatan,
Pihak Camat Mollo Tengah, Kepala Desa, Atoin Amaf dan para tua-tua adat yang lain di
Desa Binaus, Ketua dan para anggota Kader Posyadu di Binaus. Untuk itu, kami selaku
Dekan mengucapkan terima kasih. Disampaikan terima kasih juga kepada
Bapak Ared Billik, M.Si selaku Direktur STKIP Soe dan Bapak Simon Radja Pono
atas bantuan-bantuan yang diberikan selama staf FIK atau para peneliti mahasiswa
dari Jerman atau para peneliti/mahasiswa dari Jepang terutama Prof. Kanako
Shinkawa yang beberapa kali berkunjung ke Desa Binaus.
Disampaikan juga terima kasih atas bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak
yang telah menopang baik kepakaran, pembiayaan, dan dorongan semangat sehingga para
staf di Fakultas ini boleh mengerjakan tanggung jawab penelitian ini dengan sukacita.
Untuk itu kami mengucapakn terima kasih kepada United Board for Higher Christian in
Asia (UBCHEA) untuk topangan pendanaan program pengabdian masyarakat di Desa
Binaus, Terima kasih juiga kepada tim pakar dari Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, Badan Penelitian Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan

xiii
Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat (Surabaya), antara lain Profesor Dr.
Herman Sudiman, SKM, MKes; ProfesorA.A.Ngr. Anom Kumbara, MA, dan Profesor
Dr. Wasis Budiarto, MS.
Kami ucapkan terima kasih kepada Rektor UKSW yang selalu mendukung
Fakultas dan para staf akademiknya dalam melaksanakan penelitian, pengajaran dan
pengabdian masyarakat di dan melalu keterlibatan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW di
daerah Timor Tengah Selatan. Kepada tim persiapan buku ini, Bapak Yulius Yusak
Ranimpi selaku Penyunting dan Ibu Tessa Messakh diucapkan pula terima kasih.
Kepada semua peneliti/staf dan mahasiswa yang telah terlibat dalam program-program
di Desa Binaus, diucapkan terima kasih.

Salatiga, Oktober 2016

Ir. Ferry F. Karwur, M.Sc., PhD


Dekan FIK UKSW

xiv
Kata Pengantar
Binaus adalah desa di wilayah Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang sudah lama saya dengar, terutama
via teman-teman peneliti di Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur (PSKTI) Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW). Perkenalan model dengar-dengaran itu lebih intens lagi
ketika desa ini dijadikan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW sebagai salah satu
laboratorium untuk kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Dan ditambah dengan
kisah yang menarik dari teman-teman yang pernah ke sana, terutama mengenai indah dan
eksotiknya salah satu dusun di sana, yaitu dusun III, membuat saya semakin penasaran
untuk juga memiliki pengalaman yang sama dengan mereka. Akhirnya waktu itupun tiba.
Di awal tahun 2015, saya menjejakkan kaki di Desa Binaus.

Desa ini berjarak lebih kurang 10 km dari So’e, Ibu Kota Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS). Didukung tersedianya moda transportasi, seperti ojek dan
angkutan kota membuat Desa Binaus mudah untuk dicapai. Desa Binaus, layaknya
desa lain di daratan Timor - NTT, memiliki fisiografi yang berbukit dan bergunung.
Indah, sepertinya tidak cukup untuk menggambarkan kualitas pemandangan alam di
sana. Belum lagi orang-orangnya. Ramah dan murah senyum. Semua itu cukup untuk
menjadi alasan supaya tinggal di sana dalam waktu yang lama.
Namun, di balik semua itu, sebagai Ibu Kota Kecamatan Mollo Tengah, Desa
Binaus menyimpan banyak keterbatasan dalam hal pembangunan. Sebagai bagian dari
Kecamatan yang baru otonom di tahun 2007 (sebelumnya menjadi bagian dari Kecamatan
Mollo Selatan), keterbatasan tersebut terlihat dari masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat, misalnya dalam aspek kesehatan. Persoalan tersebut semakin kompleks
mengingat paradigma pembangunan di negeri ini, umumnya adalah generalisasi. Satu
pendekatan untuk berbagai konteks, yang bergerak dari pusat ke daerah. Keberagaman dan
kekhasan lokal kurang mendapat tempat untuk menjadi konsideran. Dan di sinilah

xv
persoalannya ketika pendekatan umum tadi bertemu dan bersentuhan dengan nilai dan

keyakinan lokal. Tidak menutup kemungkinan konflik dapat lahir dari situ.

Dalam konteks seperti itulah, Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UKSW hadir
untuk menelaah secara obyektif, seturut dengan kaidah-kaidah keilmuan yang
diusungnya. Telaah obyektif ini, tentu saja diharapkan tidak berhenti pada tataran
kognitif saja, melainkan diteruskan pada tataran pragmatis.
Tahun ini, dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke 10, FIK -
UKSW menghadirkan buku ini sebagai bentuk penghargaan kepada masyarakat dan
Pemerintah Desa Binaus yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
kolaboratif serta partisipatif untuk mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapi
masyarakat dan Pemerintah Desa Binaus, khususnya dalam isu kesehatan. Dalam
buku ini disajikan berbagai tulisan ilmiah yang dihasilkan oleh civitas akademik FIK -
UKSW dan kerjasamanya dengan kolega dari institusi di luar UKSW. Buku ini adalah
bukti nyata kepedulian FIK - UKSW terhadap masyarakat dan Pemerintah Desa
Binaus. Dan saya pastikan, ini belum berakhir.

Selamat membaca. Tuhan memberkati.

Yulius Yusak Ranimpi


Penyunting

xvi
Ucapan Terima Kasih

Terima kasih dan apresisasi yang tinggi dihaturkan kepada Pemerintah


Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pemerintah Kecamatan Mollo Tengah dan
terkhusus bagi Pemerintah dan masyarakat Desa Binaus yang selalu terbuka
menerima kehadiran civitas akademika Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW
dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakatnya. Untuk
kemenjadian buku ini, ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh
panitia ulang tahun yang ke 10 Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW dan
khususnya buat Saudara Jerry F. Langkun yang telah mendandani buku ini
sehingga tampil sebagaimana mestinya dihadapan pembaca.

xvii
Daftar Isi

Sambutan Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan ................................................. v

Sambutan Ketua DPRD Kabupaten Timor Tengah Selatan .................................. viii

Sambutan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana ................................................xi

Kata Pengantar Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan...................................................... xiii

Kata Pengantar ........................................................................................................................ xv

Ucapan Terima Kasih.......................................................................................................... xvii

Daftar Isi .............................................................................................................................. xviii

Pendahuluan: ...................................................................................................................... 1

Binaus Dalam Kerangka Kerja Kabupaten Timor Tengah Selatan


Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten
Timor Tengah Selatan .................................................................................................... 3

Bagian I: Ume Kbubu, Neno Bo’Ha, Status Gizi Ibu-Anak, Perkembangan


Kognitif dan Sosial Balita ..............................................................................................15

1. Ume Kbubu di Sepanjang Dusun II ........................................................................... 17


Ferry F. Karwur, Yamri F. Saekoko dan Kristiani D. Tauho

2. Kondisi Gizi Balita di Binaus dan Determinan-Determinannya....................... 33


Venti Agustina, Kristiani D. Tauho, R.L.N.K Retno Triandhini,
Sanfia T. Messakh, Ferry F. Karwur

xviii
3. Survei Dampak Rumah Bulat dan Status Gizi Terhadap Kapasitas
Vital Paru Pada Ibu Post-Partum Yang Menggunakan Kompres
Panas di Kecamatan Mollo Tengah NTT ...............................................................55
Angkit Kinasih

4. Konsumsi Pangan dan Status Gizi Ibu-Bayi Yang Mengikuti


Tradisi Neno Bo’Ha ......................................................................................................67
Christina E.H. Nuban, Ferry F. Karwur

5. Riwayat Gizi Kurang dan Perkembangan Kognitif dan Sosial Pada Balita ..... 77

Sepriyanti D. Kabnani, Dian Toar Y.G. Sumakul, Kristiani D.


Tauho, R.L.N.K Retno Triandhini, Ferry F. Karwur

Bagian II: Kesehatan Maternal dan Proses Modifikasi dalam Neno Bo’Ha
..................................................................................................................................................95

6. Persepsi Masyarakat Terhadap Ibu Prenatal dan Postnatal di Desa Binaus.97


Yulianty Katsia D. Bata, Kristiani D. Tauho, Arwyn W. Nusawakan

7. Tatobi dan Infeksi Post-Partum di Desa Binaus ................................................. 107


Maria A. Themone, Ferry F. Karwur, Kristiani D. Tauho

8. Kaji Tindak Partisipatif: Proses Modifikasi Tradisi Melahirkan


Atoni Meto Untuk Meningkatkan Kesehatan Maternal dan Bayi .................. 119
Ferry F. Karwur, Suharmiati, Sakti O. Batubara, Kristiani D. Tauho

9. Proses Modifikasi Tradisi Makan Jagung Bose Pada Ibu Post-Partum .......137
Ferry F. Karwur, Venti Agustina, Kristiani D. Tauho, R.L.N.K Retno Triandhini

Bagian III: Binaus dan Tantangannya ................................................................. 151

10. Pos Pelayanan Terpadu Desa Binaus.................................................................... 153


Kristiani D. Tauho

xix
11. Empowerment of Women in Timor Tengah Selatan .......................................169
Natalie Stehle, Ferry F. Karwur

12. Binaus Dalam Lensa .................................................................................................. 189


Dhanang Puspita

13. Penyimpanan Jagung di Ume Kbubu ................................................................... 211


Yamri F. Saekoko, Kristiani D. Tauho, Ferry F. Karwur

14. A Methodological and Ethics Consideration on Mental Health,


Poverty and Indigenous Psychology Research ................................................ 223
Yulius Yusak Ranimpi

15. Menelusuri Benteng Binaus .................................................................................... 239


Dhanang Puspita, Kristiani D. Tauho, Yanto Aryanto Koko Kase

Indeks ................................................................................................................................... 251

xx
PENDAHULUAN
Binaus Dalam Kerangka Kerja
Kabupaten Timor Tengah Selatan

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah


Kabupaten Timor Tengah Selatan
Provinsi Nusa Tenggara Timur

A. PENDAHULUAN

Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah satu dari 20 Kabupaten/Kota


yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, letak Kabupaten
Timor Tengah Selatan sangat strategis karena berada di antara 4 Kabupaten Kota
yang ada di Wilayah Timor Barat (Kota Kupang, Kabupaten Kupang di sebelah
barat dan Kabupaten TTU dan Belu di sebelah Timur). Timor Tengah Selatan juga
merupakan salah satu Kabupaten terdekat dengan Kupang, Ibukota Propinsi Nusa
Tenggara Timur bila menggunakan alat transportasi darat. Jarak dari Kupang
Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur ke SoE Ibukota Kabupaten Timor Tengah
Selatan adalah 110 km, dan dapat dijangkau dengan semua jenis kendaraan roda 4
dan roda 2.
Secara administratif, Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari 32
Kecamatan, 12 Kelurahan dan 266 desa. Luas wilayah Kabupaten TTS adalah
3.955 km2. Adapun jumlah penduduk Kabupaten TTS pada Tahun 2014 adalah
sebanyak 456.152 jiwa, terdiri dari Laki-laki: 225.095 dan Perempuan: 231.057;
Jumlah rumah tangga adalah sebanyak 113.498 RT.
Secara fisik, Kabupaten TTS merupakan daerah pegunungan dengan
proporsi kemiringan lahan antara 0% s/d di atas 40%. Wilayah tertinggi yaitu
Puncak Gunung Mutis dengan ketinggian 2.472 m dpl. Suhu rata-rata di
Kabupaten TTS adalah 24° C dan keadaan demikian membuat banyak orang
mengidentikan SoE dengan Kota Dingin.

Gambar 1. Peta Administratif Kabupaten TTS

Dalam aspek ekonomi, produksi pertanian dari sub sektor tanaman


pangan memberikan kontribusi utama bagi ketahanan pangan pada umumnya dan
kesejahteraan petani pada khususnya, potensi-potensi lain yang ada dan di kelola
masyarakat di Kabupaten TTS untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan sebagai
sumber pendapatan adalah:
1. Tanaman pangan (Padi, jagung, kacang-kacang, ubi–ubian)
2. Tanaman sayuran (Bawang merah, bawang putih, kentang, wortel, kacang

merah, kacang panjang, tomat, labu, dll.)

4
3. Tanaman perkebunan (Kelapa, kemiri, pinang, asam, dll.)

4. Ternak (Sapi, babi, ayam, kambing, dll.)


5. Bahan tambang (Marmer, gamping, mangan, pasir sungai, batu merah, sirtu, dll.)

B. ISU STRATEGIS PEMBANGUNAN DI KABUPATEN TTS

1. Permasalahan Pembangan Daerah

Untuk dapat menyelenggarakan tugas-tugas dan fungsi pemerintah


daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan
serta pemberdayaan masyarakat sebagaimana dinyatakan di atas, pemerintah
daerah menghadapi berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang
dianggap penting adalah:

a. Kualitas sumber daya manusia

Rendahnya kualitas sumber daya manusia ditandai dengan indikator


sebagai berikut:
1. Mutu Pendidikan

Bagian terbesar penduduk (82,62%) berada di bawah rata-rata


pendidikan (rata-rata pendidikan 8 tahun). Artinya bagian terbesar
penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan masih berpendidikan
rendah, dan 17,38% berada di atas tingkat pendidikan rata-rata.

Berdasarkan data di atas, maka titik berat pembangunan pendidikan di


Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah peningkatan mutu
pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, serta memberikan
kesempatan belajar pada pendidikan menengah dalam rangka
pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. Pelatihan luar sekolah sebagai
wadah untuk memberikan latihan terhadap tenaga kerja yang putus
sekolah sebagai persiapan memasuki pasar kerja.

5
2. Derajat Kesehatan

Derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan


tergambar sebagai berikut:
1. Angka harapan hidup 65,45 tahun.

2. Prevalensi ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) dan menderita


Anemi Gizi Besi (AGB) tinggi yaitu masing-masing 32,60% dan
22,94% dari total ibu hamil.
3. Bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) mencapai
5,02%.
4. Prevalensi anak balita gizi buruk maupun kurang sangat tinggi yang
mencapai 40,22% (gizi buruk 6,82% dan gizi kurang 33,40%).
5. Angka kematian ibu maternal maupun bayi relatif sangat tinggi,
dimana rata-rata kematian maternal mencapai 435/100.000
persalinan.
6. Angka bayi lahir mati mencapai 26/1000 kelahiran hidup.

7. Angka kematian neonatal 15/1000 kelahiran hidup dan IMR

sebesar 14/1000 kelahiran hidup.

Data menunjukkan tingginya angka kematian bayi dan angka


kematian ibu melahirkan oleh karena sebagian besar ibu-ibu hamil
pada saat melahirkan ditolong oleh dukun bersalin terlatih (14,7%),
ditolong oleh tenaga kesehatan 44,3% dan sisanya 41% ditolong oleh
dukun tidak terlatih dan sanak saudara/keluarga.
Keadaan ini membawa konsekwensi rendahnya derajat kesehatan
masyarakat dan pada gilirannya berpengaruh pada kualitas sumber daya
manusia. Derajat kesehatan masyarakat rendah menyebabkan tingkat
produktivitas rendah, tidak bisa bekerja keras dan pada akhirnya
berpengaruh pada ketahanan ekonomi keluarga atau rumah tangga.

6
3. Etos Kerja

Sesuai Hasil Sensus Ekonomi Nasional tahun 2002 penduduk berusia


15 tahun ke atas di Kabupaten Timor Tengah Selatan berjumlah
293.453 orang. Dari jumlah tersebut 77,37% atau 227.040 orang
diantaranya termasuk angkatan kerja dan sisanya sebesar 22,63% atau
66.413 orang bukan angkatan kerja.
Penduduk yang tidak termasuk angkatan kerja adalah mereka yang
kegiatan utamanya adalah bersekolah (21.736 orang atau 7,41%),
mengurus rumah tangga (40.303 orang atau 13,73%) dan lainnya
(4.374 orang atau 1,49%) terhadap penduduk umur 15 tahun keatas.

Angkatan kerja di Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 293.453

orang tersebut terdiri dari mereka yang bekerja sebanyak 223.194 orang

dan mereka yang sedang mencari pekerjaan sebanyak 3.846 orang.

Lapangan kerja utama penduduk yang bekerja di Kabupaten Timor


Tengah Selatan sebagian besarnya adalah sektor primer/pertanian
(73,27%). Sektor lain yang cukup menyerap tenaga kerja di Timor
Tengah Selatan adalah sektor sekunder yaitu pertambangan,
penggalian, industri, listrik, gas dan air serta konstruksi (8,91%) dan
sektor tersier yaitu perdagangan, dan angkutan jasa (9,72%). Sektor-
sektor lainnya tidak lebih dari 8,1%.
Salah satu ukuran untuk menilai aktivitas ekonomi dari seorang pekerja
adalah jumlah jam kerja. Dengan memperhatikan jumlah jam kerja maka
dapat diketahui berapa besar produktivitas tenaga kerja yang akan
dikaitkan dengan jumlah upah yang akan diterimanya. Semakin banyak
jam kerja seseorang biasanya semakin tinggi produktivitas yang akan
dicapai dan upah yang diterimapun akan semakin besar.

Dari hasil susenas memperlihatkan mereka yang bekerja 34 jam ke

bawah dalam seminggu tercatat sebesar 71,05%, yang bekerja selama

7
35-59 jam seminggu (26,11%) dan yang bekerja 60 jam ke atas (2,84%).

Hasil susenas tersebut memberikan gambaran bahwa etos kerja


masyarakat Timor Tengah Selatan rendah yang pada gilirannya
berpengaruh terhadap produktivitas rendah, produksi rendah dan
pendapatan yang diperoleh juga akan rendah. Rendahnya etos kerja
itu ditandai dari jumlah penduduk yang bekerja di atas 35 jam per
minggu 28,95%, beban tanggungan 66,64%, produktivitas rendah,
serta produksi yang rendah pula.

2. Pengelolaan Sumber Daya Alam

Secara geografis bagian terbesar wilayah (57,18%) terletak pada


bagian selatan Kabupaten ini dengan jumlah penduduk 64,78%, dan bagian
utara dengan luas wilayah 34,1% dan dengan jumlah penduduk 33,8%
sedangkan bagian tengah seluas 8,93% dengan jumlah penduduk 8,92%.

Pembagian utara selatan cukup berarti dari segi iklim. Bagian utara
relatif cukup lembab (mungkin juga basah) dari pada wilayah selatan. Hal ini
terlihat dari jumlah vegetasi/kerapatan vegetasi antara utara dan selatan cukup
jauh berbeda. Bahkan rata-rata curah hujan pada kedua wilayah ini cukup
berbeda antara utara 1.569 mm/tahun dan Selatan 1.382 mm/tahun.
Perbedaan-perbedaan tadi juga membawa konsekwensi ketersediaan pangan
masyarakat. Perbedaan-perbedaan demikian membutuhkan pendekatan-
pendekatan bu-didaya pertanian, perkebunan, kehutanan yang berbeda-beda.
Disain-disain perencanaan pembangunan di masing-masing wilayah sudah
harus dimulai dari perbedaan-perbedaan diatas, sebagai contoh dari segi
subsistensi pangan pada wilayah-wilayah selatan sudah harus dicari introduksi
tanaman pangan tahan kering berupa gandum, jewawut dan lain-lain.

Potensi desa-desa pesisir pantai selatan antara lain perikanan tangkap,


perikanan budi daya perkebunan serta ternak. Sementara dari tengah ke utara
lebih cocok dikembangkan tanaman sayuran, buah-buahan dan bunga.

8
3. Kinerja Ekonomi

Rendahnya kinerja ekonomi ditandai dengan belum meratanya


kepemilikan faktor-faktor produksi, yang menyebabkan produksi dan
produksivitas rendah, daya beli rendah, pendapatan perkapita rendah.
Walaupun dalam tahun 2002 pendapatan perkapita sebesar Rp.1.557.097,-
Masalah-masalah pembangunan sebagaimana sudah disebutkan masih
terus berlanjut oleh karena kebijakan pembangunan kurang memihak kepada
penduduk miskin, walaupun fasilitas pembangunan prasarana dan sarana selalu
diadakan akan tetapi ternyata belum menyentuh inti permasalahan pokok.

Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan pokok yang ada,


RPJMD Kabupaten Timor Tengah Selatan tahun 2014-2019 merumuskan
panca program prioritas pembangunan sbb:
1. Mempercepat Pemulihan ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi
masyarakat, yang meliputi:
a. Penanggulangan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pokok
masyarakat.
b. Pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai tulang
punggung sistem ekonomi kerakyatan.
c. Pengembangan produk unggulan daerah yang berbasis pertanian.

d. Penyediaan sarana dan prasarana penunjang pembangunan ekonomi,

transportasi, dan irigasi.

2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia

a. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesempatan memperoleh


pendidikan serta peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
b. Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi

guna mengembangkan potensi daerah.

9
c. Melakukan kajian-kajian sosial-budaya sebagai bahan perencanaan
dan pengambilan keputusan.
3. Peningkatan sarana dan prasarana pemerintah, termasuk didalamnya
program perencanaan tata ruang daerah.
a. Pengembangan prasarana pendukung pada wilayah strategis.

b. Pengembangan jaringan perdagangan dan transportasi pada kawasan


strategis dengan daerah sekitarnya yang mendukung akhir produksi
dan distribusi antar desa dengan kota.
c. Melakukan penelitian dan pendataan potensi daerah.

d. Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.

e. Mengadakan evaluasi dan penyempurnaan Rencana Tata Ruang yang


ada.
f. Peningkatan sarana dan prasarana perkotaan dan pedesaan seperti
jalan, air bersih, pasar, listrik dan telepon.
4. Mewujudkan supremesi hukum dan pemerintahan yang baik (good
governance) yang meliputi:
a. Penerapan dan penegakan hukum dalam rangka otonomi daerah.

b. Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

c. Peningkatan kemampuan pemerintah kabupaten (capacity building).

d. Peningkatan peran serta masyarakat dalam kehidupan politik, Pemer-


intahan dan Pembangunan daerah.
5. Peningkatan kualitas kehidupan beragama, meliputi:

a. Peningkatan kualitas pendidikan agama, kerukunan hidup antar umat


beragama.
b. Meningkatkan pelayanan dalam kesadaran bagi umat beragama, serta

mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan

10
pelayanan kehidupan beragama.

c. Menyediakan sarana dan prasarana untuk kegiatan penerangan agama.

C. KECAMATAN MOLLO TENGAH

Mollo Tengah merupakan salah satu kecamatan dari 32 Kecamatan di


Kabupaten Timor Tengah Selatan. Secara administratif, luas wilayah Kecamatan
Mollo Tengah adalah 99,69 km2, kecamatan Mollo tengah memiliki 6 desa. Sampai
Tahun 2015 jumlah penduduk Kecamatan Mollo Tengah adalah sebanyak 7.375 jiwa
yaitu laki-laki sebanyak 3.695 jiwa dan perempuan sebanyak 3.680 jiwa.

Gambar 2. Peta Kecamatan Mollo Tengah

Secara geografis Kecamatan Molo Tengah berada pada ketinggian 944 m


dpl. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di Kecamatan Mollo Tengah
adalah sebagai petani. Kecamatan Mollo Tengah relatif cukup dekat dengan SoE,
Ibu kota Kabupaten TTS. Secara administratif, Kecamatan Mollo Tengah memiliki
6 desa, yaitu:

11
1. Desa Binaus

2. Desa Oelbubuk

3. Desa Kualeu

4. Desa Pika

5. Desa Oelekam

6. Desa Nekemunifeto

Secara geogerafis, Kecamatan Molllo Tengah memiliki wilayah berbukit


dan pada beberapa bagian wilayah memiliki kemiringan yang cukup tinggi
sehingga relatif sulit dijangkau terutama pada musim hujan.

1. Merupakan salah satu kawasan lindung yaitu kawasan yang memberikan


perlindungan terhadap kawasan di bawahnya dan merupakan kawasan
resapan air mutis
2. Merupakan kawasan rawan bencana geologi, rawan bencana gempa bumi
3. Termasuk dalam kawasan hutan produksi
4. Termasuk dalam kawasan peruntukan pariwisata memiliki air terjun
Oehala sebagai salah satu obyek wisata alam di Kabupaten TTS
5. Kawasan strategis kabupaten untuk pertumbuhan ekonomi Molo tengah
ditetapkan sebagai kawasan agropolitan dan kawasan Agro ekowisata
6. Memiliki jumlah kematian ibu dan bayi yang relatif rendah
7. Jumlah kelahiran 96
8. Jumlah kematian neonatal 2
9. Jumlah kematian Ibu 0
10. Jumlah Pneumoni Balita 525 kasus
11. Jumlah diare 158
12. K1 60%; K4 74%; tolong nakes 74; jumlah ibu hamil: 185
13. Jumlah PUS 1.340 ; peserta KB aktif 59,4%

12
14. Jumlah bayi diberi Asi eksklusif 100%
15. Jumlah balita gizi buruk 24
16. Jumlah desa siaga 6
17. Jumlah dokter umum 1, bidan 5, perawat gigi 2,tenaga farmasi 1, tenaga gizi 1

D. DESA BINAUS

Desa Binaus adalah salah satu dari 6 desa definitif di Kecamatan Mollo
Tengah. Luas wilayah desa binaus adalah 16,61 km2. Jarak dari pusat
pemerintahan kecamatan ke desa binaus adalah 500 m, sementara jarak dari pusat
pemerintahan kabupaten adalah 10 km.
Gambar 3. Peta Desa Binaus

13
Jumlah penduduk Desa Binaus sebanyak 1072 jiwa, terdiri dari laki-laki
sebanyak 538 jiwa dan perempuan sebanyak 534 jiwa. Sebagian besar penduduk
desa binaus bekerja sebagai petani.
Tingkat pendidikan masyarakat desa adalah sebagai berikut: tidak pernah
sekolah: 70 orang; lulusan SD: 310 orang; lulusan SMP: 56 orang; lulusan SMA:
142 orang; Akademi: 10 orang; S1: 31 orang. Sarana dan prasarana yang ada di
Desa Binaus antara lain, kantor desa (1 buah), Puskesmas (1 buah), Pustu (1
buah), Poskesdes (1 buah), Posyandu (1 buah), dan PAUD, TK , SD, dan SMP,
masing-masing sebanyak satu buah. Terdapat sebuah gereja sebagai tempat ibadah
di Desa Binaus. Selain itu, terdapat prasarana air bersih yang terdiri dari HU 15,
PAH 3; PAMSIMAS 10; sumur gali 3, sumur pompa 1, dan tangki air 1. Tersedia
juga 8 buah MCK umum dan 260 jamban sebagai prasarana sanitasi.

14
BAGIAN 1

Ume Kbubu, Neno Bo’Ha, Status Gizi Ibu-Anak,


Perkembangan Kognitif dan Sosial Balita
1

Ume Kbubu Di Dusun II Desa Binaus

Ferry F. Karwur1, Yamri F. Saekoko2 dan Kristiani D. Tauho1

1
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana
2Staf di Kantor Kecamatan Mollo Tengah

Contact address: ferry.karwur@staff.uksw.edu

Abstrak

Di Desa Binaus terdapat 3 Lopo, yang mewakili 3 keluarga besar tradisional di desa ini.
Sebaliknya, hampir setiap rumah tangga memiliki ume kbubu. Di Dusun II desa yang
sama, terdapat 63 ume kbubu. Penelitian ini mendeskripsikan ume kbubu di Dusun II,
khususnya pada 20 ume kbubu yang berada di jalan antara Op mauntaif – Nibulelo.
Penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat 3 bentuk rumah bulat di Dusun II Desa
Binaus, yaitu lancip (50%), oval (25%) dan parabola (25%). Ukuran tinggi ume kbubu
berkisar antara 2,8-4,8m, dengan presentase terbesar (45%) adalah kisaran 3,2-3,5m.
Lingkaran ume kbubu berkisar antara 9,0-23m, dengan presentase terbesar adalah 14,1-
17,0m (40%). Tinggi loteng dari tungku api, berada pada kisaran 1,7-2,6m dengan pre-
sentase terbesar adalah 1,7-1,8m (40%). Tinggi pintu masuk ume kbubu berkisar antara
0,5-1,4m dengan presentase terbesar adalah 0,9-1,0m (50%). Berdasarkan kapasitas pe-
nyimpanan jagung dalam satuan suku, ume kbubu di Dusun II dapat menampung jagung
antara 50-230 suku dengan presentase terbesar adalah 90-120 suku (85%).
Kata kunci: ume kbubu, konstruksi ume kbubu, ukuran ume kbubu, Desa Binaus

A. PENGANTAR

Ume kbubu atau juga dikenal dengan istilah rumah bulat adalah rumah
tradisional orang Atoni Meto, yang adalah pusat aktivitas utama keluarga. Secara
tradisional, di rumah itu kehidupan dimulai, aktivitas keseharian ibu berlangsung,
tata-aturan keluarga diatur, kehidupan ekonomi rumah tangga dikelola, pendidikan
anak-anak berlangsung, serta peranan fundamental dan otoritas ibu ditegaskan.
Dalam kehadiran bersama dengan ume kbubu, orang Timor memiliki rumah
tradisional yang disebut lopo. Jika rumah bulat diasosiasikan dengan peranan
perempuan dan sikap kerendahan hati, sebaliknya lopo dikaitkan dengan peranan laki-
laki dan lambang perlindungan serta pengayoman terhadap penghuninya. Lopo
merepresentasi kewibawan dan tanggung-jawab pria dalam konteks komunal. Peranan
dan tanggung-jawab sosial laki-laki mungkin dapat digambarkan sebaliknya dengan
ceritera lampau yang masih hidup di masyarakat bahwa di masa lampau, setiap lelaki
penakut akan dimasukkan ke dalam rumah bulat.

Jika lopo letaknya di depan halaman rumah dan biasanya dipergunakan


untuk menyimpan barang-barang yang berkaitan dengan adat istiadat setempat
seperti gong dan alat tarian serta pengamanan barang-barang harta kekayaan (bale
mnasi) milik bersama keluarga atau suku yang kadang kala disebut dengan bael
nesaf (bernilai mahal), ume kbubu berada di belakang halaman, yang selain
aktivitas memasak sehari-hari juga untuk menyimpan hasil-hasil pertanian.
Di Desa Binaus terdapat 3 lopo. Ketiganya merupakan representasi
keluarga besar di Binaus dan didirikan di tempat tua adat (Atoin Amaf) menurut
alur keluarga pria. Ketiga Lopo tersebut berada di depan rumah (1) Bapak
Bernadus Sanam yang adalah Usif, berasal dari rumpun keluarga Sanam, (2)
Bapak Ayub Sanam, yang adalah Atoin Amaf dari rumpun keluarga Laisnima; dan
(3) Bapak Dominggus Kase yang adalah Atoin Amaf dari rumpun keluarga Kase.
Memperhatikan peranan kultural dan fungsional ume kbubu, maka dapat
dipahami peranan penting ume kbubu bagi masyarakat Timor. Namun demikian,
modernitas dan globalisasi tengah mengikis kebudayaan yang telah menjaga dan
memelihara mereka itu. Tulisan ini melaporkan penelitian mengenai keberadaan,
pembuatan, dan ragam bentuk ume kbubu yang ada di Dusun II, Desa Binaus.

18
B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif ume kbubu yang ada di Dusun II
Desa Binaus dengan tujuan untuk mendeskripsikan, bentuk luar ume kbubu, aspek
konstruksi, dan cara pembuatannya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September
s/d Oktober 2009. Penelusuran dilakukan pada setiap keluarga di Dusun II didapati
bahwa setiap keluarga selalu memiliki ume kbubu. Jumlah keseluruhan ume kbubu di
Dusun II Desa Binaus adalah 63 unit, dengan perincian, 15 unit di RT V, 26 unit
di RT VI dan 22 unit di RT VII. Penelitian ini berfokus pada 20 ume kbubu yang
terdapat di sepanjang jalan Op mauntaif sampai Nibulelo (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Peta Lokasi Ume Kbubu yang disurvei di Dusun II

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Umum Ume Kbubu di Binaus

Bentuk umum dan konstruksi ume kbubu sangat unik dan bervariasi.
Atapnya menjurai sampai ke tanah berbentuk setengah oval dengan memiliki satu
pintu masuk yang sangat rendah sehingga untuk masuk ke dalamnya harus
menunduk. Dinding rumahnya melingkar dengan garis tengah umumnya 3–5
meter. Ume kbubu memiliki tinggi ±5–6 meter yang disesuaikan dengan perkiraan
hasil dan luas ladang usahatani.

19
Umumnya rumah bulat terbagi atas 3 (tiga) ruangan yakni ruangan
pertama sebagai tempat untuk melakukan aktivitas masak-memasak atau lainnya
dengan tinggi ± 1,5 meter, ruangan kedua adalah para-para untuk menyimpan
hasil pertanian (jagung) dengan tinggi ± 2 meter, dan ruang ketiga adalah ruang
kosong di bawah atap dengan tingggi ± 2,5 meter.

Gambar 2. Ume Kbubu

Ruangan pertama sebagai dapur ditandai dengan adanya tungku api sebagai
tempat untuk aktivitas masak-memasak ±1,5 meter dari pintu masuk dan juga dengan
tempat untuk menyimpan alat-alat makan dan memasak yang terletak di belakang
tungku api. Aktivitas memasak terutama dilakukan oleh ibu dan anak-anak yang
sudah bisa bekerja dilakukan 2–3 kali sehari. Aktivitas memasak dilanjutkan dengan
makan di ruangan pertama rumah bulat. Masyarakat dengan rumah bulat lebih sering
makan di dalam rumah bulat daripada rumah kotak, kecuali ada tamu.

Selain itu, di ruangan pertama ini dapat ditemukan juga tempat tidur yang

biasanya diletakkan di bagian kiri atau kanan dari tungku api. Tempat tidur yang

20
tingginya sekitar 0,5m digunakan sebagai tempat beristirahat, terutama pada malam
hari jika kondisi iklim lebih dingin. Terdapat tradisi bahwa orang lain selain ang-gota
keluarga tidak boleh duduk ataupun tidur di tempat tidur yang ada, karena itu
merupakan milik pribadi keluarga tersebut, sehingga jika dilanggar akan mendapat-
kan penyakit, tetapi tidak semua orang melakukan tradisi ini sekarang.

Aktivitas lain yang sering dilakukan di rumah bulat ialah beristirahat dan
tidur. Aktivitas ini lebih cenderung dilakukan oleh para lansia, namun beberapa
ibu juga tidur di rumah bulat, terutama pada masa 40 hari setelah persalinan.
Selama masa tersebut, ibu dan bayi beraktivitas di dalam rumah bulat, termasuk
memandikan bayi dan menyusui.

Gambar 3. Sketsa Pembagian Fungsional serta Ukuran Representatif Ume Kbubu

Ruangan kedua rumah bulat merupakan tempat penyimpanan jagung,


hanya bisa diakses oleh ibu rumah tangga yang sah. Merupakan tradisi setempat
bahwa ibu rumah tangga yang belum menikah secara adat (kaus nono) tidak boleh
mengambil jagung di atas loteng karena akibatnya orang tersebut akan sakit.
Suami hanya bisa naik ke loteng jika sudah mendapatkan ijin dari ibu, pada
keadaaan tertentu seperti sakit atau sedang dalam masa nifas.

21
Pembuatan Rumah Bulat

Ume kbubu di Dusun II memiliki bentuk dan konstruksi yang berbeda


yang didasarkan dari bahan, ukuran dan kemampuan untuk menampung jagung
maupun aktivitas lain seperti masak-memasak. Bahan-bahan yang dipakai untuk
pembuatan ume kbubu umumnya adalah bahan-bahan lokal yang langsung diambil
dari lokasi dalam Desa Binaus atau yang ada di Kecamatan Mollo Tengah dengan
ukuran dan jumlah yang bervariasi sesuai dengan ukuran dan bentuk dari rumah
bulat. Bahan yang dipakai untuk pembuatan rumah bulat umumnya adalah kayu
berbentuk bulat dan sebagian kecil menggunakan kayu berbentuk persegi.

Tiang utama sebagai penyangga rumah dibutuhkan 4 batang kayu dengan


ukuran tebal berbanding lebar kira-kira 20/20 atau 6/12, tergantung besar kecilnya
rumah. Bahan penyangga pertama pada loteng tiang utama dibutuhkan 2 batang
dengan ukuran 6/12 (cm) atau 5/10 (cm); bahan penyangga kedua pada loteng
dibutuhkan 4 batang dengan ukuran 5/10 (cm); dan bahan penyangga ketiga pada
loteng sebelum alas loteng dibutuhkan 6 batang dengan ukuran 5/7 (cm). Alas
loteng biasanya dipakai bambu yang dibelah/dicincang atau papan (gambar 3).

Gambar 4. Balok penyangga loteng dan atap ume kbubu

22
Untuk tiang tengah yang letaknya di tengah-tengah loteng sebagai pembentuk
atap dibutuhkan 1 batang kayu dengan ukuran 5/10 (cm). Untuk penyangga
pembentukan atap yang disebut spar atau suaf dibutuhkan 20–24 batang dengan
ukuran 5/7 (cm), untuk penyangga atap yang disebut lata sebagai tempat untuk
mengikat alang-alang dibutuhkan 50–80 batang dengan ukuran ∅ 0,5–1 cm.

Gambar 5. Konstruksi rumah bulat sebelum diberi atap

Tiang-tiang penahan dinding ume kbubu terbuat dari 20–24 batang kayu
dengan ukuran 5/10 (cm). Dinding rumah terbuat dari bahan yang bervariasi,
umumnya dari bambu yang dibelah atau dicincang. Namun demikian, ada pula
yang menggunakan papan atau kulit papan. Jenis kayu yang digunakan umumnya
dipakai yang kuat dan keras, yakni kayu kabesak dan kasuari. Lata atap
menggunakan bambu atau bahan yang bisa lentur sehingga memudahkan saat
diputar melingkar mengikuti bentuk rumah (Gambar 5). Atap rumah terbuat dari
alang-alang atau sejenis rumput-rumputan yang mudah ditata dengan ukuran dan
jumlah yang bervariasi sedangkan bahan pengikat tiang-tiang digunakan tali dari
kulit bambu muda atau dari pelepah daun gewang.
Pembuatan ume kbubu dimulai dari penentuan tempat untuk dibangunnya ume

kbubu, biasanya terletak di belakang rumah induk yang jarak dari ruah induk bervariasi 3–

6 meter. Tiang utama sebanyak 4 batang ditanam membentuk persegi empat dengan jarak

yang bervariasi, tergantung ukuran ume kbubu yang akan dibangun.

23
Gambar 6. Bahan Bambu (kiri) dan Bahan Alang-alang (kanan)

Dua balok penyangga pertama dipasang pada tiang utama. Balok


penyangga kedua sebanyak 4 batang disusun pada balok penyangga pertama
secara berlawanan dengan jarak yang bervariasi sesuai bentuk rumah. Balok
penyangga ketiga sekaligus tempat dasar loteng sebanyak 6 batang yang disusun
sejajar dengan penyangga pertama dengan jarak yang bervariasi sesuai dengan
ukuran rumah. Setelah itu di pasang tiang tengah sebagai penyangga atap dengan
tinggi sesuai dengan bentuk atap yang akan dibuat, selanjutnya spar atau suaf
sebanyak 20–24 batang dipasang dari puncak atap menjurai ke bawah dengan
panjang bervariasi sesuai keinginan, umumnya ada yang sampai ke tanah ada juga
yang tinggi 0,5–0,8 meter dari tanah. Selanjutnya loteng tempat penyimpanan
bahan hasil pertanian dipasang dan dibuatkan pintu masuk ke ruang loteng.

Dinding rumah bulat dipasang melingkar dan rapat pada tiang-tiang


dengan ukuran 0,5–1 meter sehingga tidak ada ruang ventilasi kecuali pintu
masuk. Kemudian lata tempat mengikat alang-alang dipasang secara melingkar
dengan jarak 0,4–0,6 meter atau disesuaikan dengan panjang alang-alang yang
akan dipakai. Pemasangan alang-alang dimulai dari bawah keatas dengan cara
mengikatkan alang-alang itu pada lata bambu/kayu. Pekerjaan terakhir pembuatan
ume kbubu adalah pembuatan pintu masuk yang tingginya sekitar 0,5-0,8 meter
atau sesuai dengan keinginan, serta merapikan alang-alang pada pintu masuk.

24
Bentuk Morfologi Ume Kbubu

Hasil pengamatan dan identifikasi terhadap 20 unit ume kbubu di Dusun II


Desa Binaus, didapati bahwa bentuk ume kbubu dapat diklasifikasi kedalam 3 bentuk
yaitu bentuk lancip sebanyak 10 unit (50 %), bentuk oval sebanyak 5 unit (25
%) dan bentuk parabola sebanyak 5 unit (25 %).

Tabel 7. Frekuensi Rumah Bulat Berdasarkan Bentuk

No Bentuk Frekuensi Persentase


1 Bentuk I (Oval) 5 25
2 Bentuk II (Lancip) 10 50
3 Bentuk III (Parabola) 5 25
Jumlah 20 100

Konstruksi rumah bulat (ume kbubu) berpengaruh pada tinggi dari tanah,
besar lingkaran, tinggi loteng dari tungku api, tinggi pintu masuk dan bentuk atap
serta isi rumah bulat dengan demikian ada perbedaan khas dari tiap bentuk
terhadap beberapa hal di atas.

Gambar 7. Rumah bulat Bentuk I (Oval)

25
Gambar 8. Rumah bulat Bentuk II (Lancip)

Gambar 9. Rumah bulat Bentuk III (Parabola)

Hasil wawancara dengan warga diperoleh informasi bahwa bentuk rumah


bulat sangat bergantung dari selera masing-masing akan tetapi mereka lebih
menyukai bentuk lancip karena dapat menampung jagung lebih banyak dan lebih
luas. Bentuk oval daya tampungnya kurang dan lebih sempit, sedangkan bentuk
parabola cukup luas tetapi terlalu pendek jadi tidak bebas untuk bergerak.

26
Ukuran Ume Kbubu

Tabel 1 menunjukkan bahwa ada variasi dari ukuran (tinggi dari dari tanah, besar
lingkaran, tinggi loteng), bentuk atap (oval, lancip dan parabola) dan volume/isi rumah
bulat (suku) pada ume kbubu di Dusun II Desa Binaus. Keragaman ukuran, bentuk atap
dan isi ume kbubu disebabkan tiap Kepala Keluarga membuat/mendisain ume kbubu
mengikuti luas lahan usahatani, jumlah keluarga dan rencana pemanfaatannya.

Tabel 1. Hasil Identifikasi ukuran ume kbubu di Dusun II Desa Binaus


Kecamatan Mollo Tengah
Besar Tinggi Tinggi Isi ume
Pemilik ume Tinggi ume Bentuk
kbubu kbubu (m) Lingkaran loteng dari pintu kbubu ume kbubu
(m) tungku api masuk (m) (suku)
Joni Kase 3.12 14.0 1.7 0.9 100 Lancip
Obet Songe 4.00 13.0 2.5 0.8 200 Lancip
Herman Lolomsait 3.30 16.3 1.9 1.2 100 Lancip
Yafet Kase 3.00 15.0 1.8 1.0 100 Lancip
Adam Tanesib 4.80 10.0 2.5 1.2 100 Oval
Zakeos Lolomsait 4.00 19.5 2.5 0.6 90 Parabola
L. A. Sanam 3.30 14.5 1.8 1.2 120 Oval
Yohana Tuan 3.30 16.0 1.8 1.0 100 Lancip
Thimotius Neken 4.00 18.2 2.5 1 150 Lancip
Roby Lolomsait 3.30 16.3 1.9 1.2 100 Oval
Cornelis Hauteas 3.30 17.2 1.8 1.0 100 Oval
Alexander T 3.40 15.3 1.9 0.5 100 Lancip
Paulus Tlaan 4.00 21.0 2.5 1.0 100 Parabola
Marthen Sanam 4.00 18.0 2.5 1.0 100 Oval
Bernadus Tuke 2.80 9.0 1.8 0.7 50 Lancip
Ayub Sanam 3.40 17.0 1.8 1.0 120 Parabola
Eben Sanam 4.00 10.6 1.9 1.0 100 Lancip
Yosina Sanam 4.00 19.0 2.5 1.0 100 Parabola
Yeskial Kase 3.40 16.0 1.8 0.6 100 Lancip
Yopiter Sanam 3.30 17.2 1.9 0.8 100 Parabola

Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan petani menyatakan bahwa


saat membuat rumah bulat tidak ada ukuran baku yang dapat dipakai oleh tiap Kepala
Keluarga untuk keseragaman, kecuali dari sisi tiang utama 2 batang, balok penyangga

27
pertama 2 batang, balok penyangga kedua 4 batang, balok penyangga ketiga 6
batang dan bentuk atap yang umumnya lancip. Menurut mereka hal ini disebabkan
masing-masing keluarga memiliki tanggungan dan luas lahan yang berbeda-beda.

Ukuran Tinggi Ume Kbubu

Hasil pengamatan dan identifikasi terhadap 20 unit ume kbubu di Dusun


II Desa Binaus menunjukkan bahwa tinggi ume kbubu dari tanah lebih dominan
3,2-3,5 meter sebanyak 9 unit (45%), tinggi 3,6-4,0 meter sebanyak 7 unit (35%),
tinggi 2,8-3,1 meter sebanyak 3 unit (15%) dan tinggi 4,5-4,8 meter sebanyak 1
unit (5%). Ukuran tinggi rumah bulat yang umumnya berkisar antara 3,2-3,5 m.
Hal ini mungkin terkait dengan keberadaan pemukiman masyarakat di Dusun II
yang terletak di area miring dan selalu rentan terhadap angin kencang. Menurut
warga, tinggi rumah bulat biasanya disesuaikan dengan tempat berdiri misalnya
tanah datar, kemiringan dan di atas gunung, disamping faktor antropometrik ibu,
antara lain tinggi badan dari seorang ibu.

Tabel 2. Kategori ume kbubu berdasarkan tinggi

No Ukuran Tinggi dari Frekuansi Presentase


tanah (m)
1 2.8 – 3.1 3 15
2 3.2 – 3.5 9 45
3 3.6 – 4.0 7 35
4 4.1 – 4.4 0 0
5 4.5 – 4.8 1 5
Jumlah 20 100

Ukuran lingkar ume kbubu

Hasil pengamatan dan identifikasi terhadap 20 unit ume kbubu di Dusun II

Desa Binaus, menunjukkan bahwa ukuran lingkaran rumah bulat dapat dikategorikan

sbb: (a) besar lingkaran rumah bulat 14,1-17,0 meter sebanyak 8 unit (40%), besar

28
lingkaran 17,1–20,0 meter sebanyak 6 unit (30%), besar lingkaran 9.0–11.0 sebanyak

3 unit (15%), 11,1–14,0 meter sebanyak 2 unit (10%) dan 20,1–23,0 meter sebanyak 1
unit (5%). Sebaran data ini memberikan gambaran bahwa rumah ume kbubu memiliki
ukuran yang hampir seragam di semua unit yang diamati dengan kisaran pada ∅ 4.5 -
∅ 11.0. Besarnya lingkaran ume kbubu ditentukan oleh volume atau isinya.

Tabel 3. Kisaran dan Frekuensi ume kbubu berdasarkan besar lingkaran

No Besar Lingkaran (m) Range Frekuansi Presentase


1 9.0 – 11.0 2 3 15
2 11.1 – 14.0 2 2 10
3 14.1 - 17.0 2 8 40
4 17.1 – 20.0 2 6 30
5 20.1 – 23 2 1 5
Jumlah 20 100

Gambar 10. Pengukuran lingkaran rumah bulat

29
Tinggi loteng dari tungku

Hasil pengamatan dan identifikasi sebagaimana terlihat pada Tabel 4,


menunjukkan bahwa tinggi loteng dari tungku api 1,7–1,8 meter sebanyak 8 unit
(40%), tinggi 2,3–2,4 meter sebanyak 7 unit (35%), tinggi 1,9–2,0 meter sebanyak
5 unit (25%). Sebaran data ini mengindikasikan bahwa tinggi loteng ume kbubu
mengikuti tinggi orang dewasa, sehingga saat masuk ke dalam dan menaikkan
jagung ke atas loteng serta menurunkan jagung masih ada ruang gerak, hal ini
sejalan dengan pendapat dari masyarakat saat diwawancarai yang menyatakan
bahwa tinggi loteng disesuaikan dengan tinggi orang dewasa.
Tabel 4. Kisaran dan Frekuensi Rumah Bulat Berdasarkan
Tinggi Loteng dari Tungku Api

No Tinggi Loteng dari tungku api (m) Frekuansi Presentase


1 1.7 – 1.8 8 40
2 1.9 – 2.0 5 25
3 2.1 – 2.2 0 0
4 2.3 – 2.4 7 35
5 2.5 – 2.6 0 0
Jumlah 20 100

Ukuran pintu masuk ume kbubu

Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa tinggi pintu masuk dari tanah
0,9 – 10 meter sebanyak 10 unit (50 %), tinggi 1,1 – 1,2 meter sebanyak 4 unit
(20%), tinggi 0,5 – 0,6 meter dan tinggi 0,7 – 0,8 meter masing-masing sebanyak
3 unit (15%). Sebaran data ini menggambarkan bahwa rata-rata tinggi pintu masuk 0.5
– 1,2 meter sehingga setiap pemilik rumah harus menunduk ketika akan masuk ke
dalam, hal ini disebabkan konstruksi dari rumah bulat yang dirancang untuk
memfokuskan asap dari kegiatan memasak tidak keluar melalui pintu tetapi lang-sung
pada jagung dalam ume kbubu sehingga ventilasi udara hanya dari pintu masuk.
Ketika memasak, biasanya pintu ume kbubu juga ditutup rapat sehingga asap

hanya bergerak di dalam ruangan.

30
Tabel 5. Kisaran dan frekuensi ume kbubu berdasarkan tinggi pintu masuk dari tanah

No Tinggi Pintu masuk dari Range Frekuansi Presentase


tanah (m)
1 0.5 – 0.6 0.1 3 15
2 0.7 – 0.8 0.1 3 15
3 0.9 – 1.0 0.1 10 50
4 1.1 – 1.2 0.1 4 20
5 1.3 – 1.4 0.1 0 0
Jumlah 20 100

Ukuran ume kbubu berdasarkan kapasitas penyimpanan jagung

Wawancara dan pengamatan terhadap kapasitas penyimpanan jagung 20


unit ume kbubu di Dusun II Desa Binaus didapati bahwa isi rumah bulat (ume
kbubu) 90–120 suku sebanyak 17 unit (85%), 50–80 suku, 130– 60 suku, 170–200
suku masing-masing sebanyak 1 unit (5%). Suku adalah satuan banyaknya jagung
yang dipanen, satu suku setara dengan 38 bulir jagung.

Tabel 6. Kisaran dan Frekuensi Rumah Bulat Berdasarkan Kapasitas


Menyimpan Jagung (Dalam Satuan Suku)

No Isi Rumah Bulat (suku) Range Frekuansi Presentase


1 50 – 80 30 1 5
2 90 – 120 30 17 85
3 130 – 160 30 1 5
4 170 – 200 30 1 5
5 210 – 230 30 0 0
Jumlah 20 100

Hasil tersebut menggambarkan bahwa isi dari rumah bulat bervariasi,


tergantung pada hasil panen yang didapat dan luas lahan usaha tani. Beberapa
tokoh masyarakat menyatakan bahwa rata-rata hasil panen saat hujan kurang baik
50–80 suku, akan tetapi saat hujan baik perolehan petani 100–150 suku.

31
D. KESIMPULAN

Di Binaus, rumah tradisional orang Atoni Meto terdiri atas Lopo dan Ume
Kbubu. Lopo hanya ditemukan di 3 rumah Tua Adat (Usif dan Atoin Amaf) yang
mewakili 3 keluarga besar di Binaus, sedangkan Ume Kbubu terdapat di hampir setiap
keluarga. Khususnya di Dusun II, terdapat 63 Ume Kbubu, yang terletak di belakang
‘rumah kotak” mengikuti arah jalan. Rumah-rumah bulat tersebut memiliki struktur
umum yang mirip namun dengan bentuk yang bervariasi (lancip, oval, dan

“parabola”). Ukurannya pun beragam, dan umumnya dalam pembuatannya

disesuaikan dengan kepentingan lumbung pangan (banyaknya jagung yang disimpan).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim., 2001. NTT dalam angka tahun 2001. BPS Propinsi Nusa Tenggara Timur
Anonim., 2003. Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka. Penerbit Biro Pusat
Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Anonim. 2004., Sistim Informasi Tata Guna Lahan Kecamatan Mollo Selatan Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Pemda Kabupaten Timor Tengah Selatan dan UKSW
Salatiga, Penerbit Pusat Studi Kawasan Timur Indonesia. Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga
Widyatmika, M. 1996. Budaya Masyarakat Lahan Kering. Penerbit Pusat Penelitian
UNDANA.
Dima, T. K, Antariksa, A. M. N. Konsep Ruang Ume Kbubu Desa Kaenbaun
Kabupaten Timor Tengah Utara. Jurnal RUAS, Volume 11 No 1, Juni 2013,
ISSN 1693-3702
Saraswati, T. The occurrence of “empathiced, modern” buildings inside traditional environ-
ment in Boti village, Timor island. Dimensi − Journal of Architecture and Built
Environment, Vol. 42, No. 1, July 2015, 9-14 DOI: 10.9744/dimensi.42.1.9-14
ISSN 0126-219X (print) / ISSN 2338-7858 (online)
Situmeang, V. S. N. 2013. Ume kbubu: household granary and food security in Timor
Ten-gah Selatan. A Thesis. Department of International Studies and the
Graduate School of the University of Oregon.

32
2

Kondisi Gizi Balita di Binaus dan


Determinan-Determinannya

Venti Agustina, Kristina D. Tauho, R.L.N. K Retno Triandhini,


Sanfia T. Messakh, Ferry F. Karwur

Fakultas Ilmu Kesehatan


Universitas Kristen Satya Wacana
Contact address:ferry.karwur@staff.uksw.edu

Abstrak

Kurang gizi masih menjadi persoalan kesehatan utama di Pulau Timor, terutama pada anak
dengan usia di bawah lima tahun. Kekurangan gizi tersebut mempengaruhi perkembangan
fisik, mental, dan sosial yang bersangkutan. Walaupun manisfestasi klinis keadaan kurang
gizi, misalnya kurangnya asupan kalori dan protein, adalah mirip (antara lain kehilangan
berat badan secara ekstrem, stunted, marasmus, kwashiorkor, dan/ atau maramus-
kwashiorkor), namun akar-akar masalah dan faktor-faktor penyebabnya dapat berbeda satu
dengan lain daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan status gizi
pada semua Balita pada Juli s/d Agustus 2014 di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah
Kabupaten Timor Tengah Selatan dan menganalisis faktor-faktor lokal yang diduga kuat
menentukan kejadian kurang gizi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode survey dan
observasi, serta pengukuran antropometri yang kemudian dianalisa dengan menggunakan
z-skor untuk menentukan status gizi pada semua (108) Balita di desa tersebut. Penelitian
ini menemukan status gizi Balita berdasarkan Berat Badan/Umur pada bulan Juli 2014
sebanyak 86 Balita (87%) masuk dalam kategori gizi baik. Meskipun demikian masih
ditemukan Balita dengan status gizi kurang sebanyak 13 Balita (13%), gizi buruk 1 Balita
(1%). Balita dengan status gizi baik, gizi lebih dan gizi kurang didominasi oleh laki-laki
dan status gizi buruk terjadi pada Balita perempuan. Jika penilaian status gizi didasarkan
pada Tinggi Badan/
Umur sebagian besar Balita masuk dalam kategori status panjang badan tidak normal yaitu

pendek sebanyak 32 Balita (36,8%), sangat pendek sebanyak 10 Balita (11,5%) dan
tinggi sebanyak 2 Balita (2,3%) dan Balita dengan status panjang badan tidak normal lebih
banyak pada laki-laki, yakni 27 Balita (55,1%). Adapun faktor-faktor penting yang diduga
mempengaruhi gizi Balita di desa ini adalah (a) pendapatan keluarga yang rendah dan
tidak pasti, (b) pola pemberian makan terkait dengan faktor adat-istiadat setempat, serta (c)
kurangnya stok pangan keluarga pada musim kemarau. Determinan-determinan utama dari
kondisi di atas adalah faktor (a) faktor kebijakan pembangunan,
(b) kondisi iklim kering dengan sumberdaya air hujan terbatas, yang berimplikasi pada
kualitas tanah –khususnya ketersediaan hara—, (c) faktor sosial ekonomi
(kemiskinan), dan (d) faktor sosio-kultural.
Kata kunci: Status Gizi, Balita, Binaus

A. PENDAHULUAN

Kurang gizi masih menjadi persoalan kesehatan utama di negara


berkembang terutama di Asia dan Afrika. Pada tahun 2014 s/d 2016, Food and
Agricultural Organization of United Nation - FAO (2015) memperkirakan terdapat
780 juta orang mengalami kasus kurang gizi. Angka ini menurun dibandingkan
dengan data tahun 2012 s/d 2014 yaitu 805 juta jiwa. Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang dengan populasi penduduk terbanyak ke empat setelah Cina, India
dan Amerika Serikat ikut menyumbang persoalan kurang gizi yang signifikan secara
global. Global Nutrition Report (GNR) melaporkan Indonesia termasuk 17
dari 117 negara yang memiliki masalah stunting (37,2%), wasting (12,1%) dan
overweight (11,9%).

Di Indonesia, terdapat variasi prevalensi kurang gizi yang tinggi antar


daerah/propinsi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI
tahun 2007, 2010 dan 2013 melaporkan bahwa terdapat enam propinsi di Indonesia
yang selalu memiliki prevalensi kurang gizi tertinggi. Keenam propinsi dimaksud
adalah: Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua Barat, Maluku, Aceh, Gorontalo,
dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahkan NTT menempati urutan pertama dari 18
provinsi yang memiliki prevalensi berat badan kurang/underweight dibanding
dengan rata-rata nasional (Kemenkes, 2013).

34
Persoalan gizi di NTT sudah berlangsung lama. Pada tahun 1989 s/d
2007 ILO/WFP/UNICEF/Food Security Offices (World Food Program, 2010)
melaporkan bahwa prevalensi stunting, underweight, dan wasting di NTT berada di
atas prevalensi nasional, yakni berturut-turut sebesar 52%, 39,7%, dan 15,4%.
Keadaan ini jauh lebih tinggi dari keadaan rata-rata nasional, dengan persentasi
stunting, underweight, dan wasting berturut-turut sebesar 36,8%,18,4%, dan 13,6%
(Kemenskes, 2008). Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti
UKSW-Pemda TTS tahun 2003 (Bappeda TTS - UKSW, 2003) menemukan bah-
wa dari 23.939 Balita yang ditimbang, 34,0% dalam kategori gizi kurang, dan
7,52% berada dalam kategori gizi buruk. Penelitian Riskesdas 2010 dan 2013
melaporkan bahwa di tahun 2010 prevalensi wasting dan underweight di NTT
sebesar 9% dan 20,4%. Gizi kurang/buruk di tahun 2013 sebesar 33,1%.
Prevalensi ini berada di atas prevalensi nasional yakni 17,9% pada tahun 2010 dan
19,6% pada tahun 2013 (Kemenkes 2010; 2013).

Keadaan kurang gizi pada Balita jika dibiarkan dan tidak ditangani secara
serius dapat mempengaruhi perkembangan fisik (stunted), mempengaruhi kemampuan
intelektual, anak sulit beradaptasi dan menarik diri dari lingkungannya (Brown &
Pollitt,1996). Apabila keadaan tersebut berlangsung lama dapat berakibat pada
kematian (Muller & Krawinkel, 2005). Selain itu kurang gizi pada fase awal
kehidupan, dapat menyebabkan persoalan sindroma metabolik di kemudian hari
(Barker & Hales, 2001).

Faktor-faktor penyebab gizi buruk pada Balita, dapat berupa kondisi


kemiskinan, pendidikan, budaya, serta faktor alam (Anugraheni & Martha 2012;
Brown & Pollitt, 1996; Deolalikar, 2005; Manongga dkk, 2008; Martianto dkk,
2008; Palekahelu dkk, 2008), asupan kalori dan protein yang kurang dari ibu
menyusui, bayi dengan berat badan lahir rendah (Kusharisupeni, 2002), kebiasaan
makan Balita, status kesehatan Balita, keadaan rumah, hygiene dan sanitasi rendah
(Humprey, 2009; Desti & Dadang, 2012), pemberian makanan pendamping ASI

terlalu dini, serta asupan kolostrum dan ASI yang kurang (Rahayu, 2011).

35
Mempertimbangkan begitu banyak dan luasnya faktor kurang gizi pada
Balita dan menilai pentingnya konteks lokal dari keadaan kurang gizi, maka
adalah penting melakukan penilaian dan analisis determinan-determinan yang
signifikan bagi kejadian kurang gizi Balita di tingkat lokal/grass-root di NTT.
Konteks lokal ini diharapkan dapat membantu dalam menginterpretasi data trend
yang bersifat makro, baik itu di aras provinsi dan nasional.
Penelitian ini adalah penelitian deskripsi status gizi Balita di Desa Binaus
serta menganalisis mengapa persoalan gizi Balita masih bersifat persisten.
Penilaian status gizi Balita yang dilakukan di Binaus ini menilai semua Balita
yang terdaftar di Posyandu Desa Binaus. Dilakukan pula analisis konteks lokal
mengapa kurang gizi masih terjadi secara berulang.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan antara bulan Juli hingga Agustus 2014 di Desa
Binaus, Kec. Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan.Penelitian ini
menggunakan metode survey dengan teknik pengukuran antropometri pada Balita
yang melakukan penimbangan pada bulan Juli-Agustus2014. Untuk menggali faktor-
faktor yang mempengaruhi status gizi menggunakan kerangka pikir UNICEF’s Food
and Nutrition Model tahun 1996 (UNICEF, 2013) dengan membandingkan hasil
penelitian sekarang dan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan.

Populasi dalam penelitian adalah semua Balita yang tercatat di buku register
Posyandu sampai dengan bulan Juli 2014 yaitu sebanyak 108 Balita. Dari 108 Balita
yang tercatat, hanya 100 Balita yang datang pada saat Posyandu bulan Juli 2014 dan
dari 100 Balita ini hanya 87 Balita saja yang dapat diukur berat badan dan tinggi
badan, karena 13 Balita lainnya menolak dan menangis saat hendak diukur tinggi
badannya. Berdasarkan informasi dari kader dan ibu Balita lainnya, 8 Balita yang
tidak datang dikarenakan 2 Balita sedang dalam masa 40 hari sehingga tidak boleh
dibawa keluar rumah dan 6 Balita lainnya diajak orang tuanya pulang kampung

36
serta diajak ke ladang. Tigabelas Balita yang tidak dapat diukur TB pada bulan Juli
2014, satu diantaranya telah keluar dari Posyandu Binaus dikarenakan pindah
rumah bersama kedua orangtuanya ke Desa Oebubuk dan 12 Balita lainnya
didapatkan pengukuran TB di bulan Agustus 2014 sedangkan 8 Balita yang tidak
datang saat Posyandu bulan Juli 2014, 7 diantaranya didapatkan pengukuran BB
dan TB pada bulan Agustus 2014 dan 1 Balita telah keluar dari Posyandu Binaus
dikarenakan pindah rumah bersama kedua orangtuanya ke Desa Oebubuk.

Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran antropometri,


wawancara dan observasi secara langsung. Status gizi anak Balita didasarkan pada
pengukuran antropometri yakni tinggi, berat dan umur. Data mengenai faktor-
faktor penting penyebab kurang gizi dikumpulkan melalui participatory
observation dan wawancara formal maupun informal pada orang tua Balita dan
kader saat penimbangan Posyandu, kunjungan rumah pada orang tua Balita.

Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Kategori status gizi


(normal/kurang) ditentukan berdasarkan z-skor BB/U, TB/U. Anak dengan z-skor
lebih rendah dari minus tiga standar deviasi (<-3SD) dikategorikan sebagai gizi
buruk, lebih dari minus tiga standar deviasi sampai dengan minus 2 standar
deviasi (>-3SD sampai -2SD) dikategorikan sebagai gizi kurang dan jika nilai z-
skor lebih dari minus dua standar deviasi sampai dengan plus dua standar deviasi
(>-2SD sampai +2SD) dikategorikan normal, sedangkan lebih dari plus dua
standar deviasi (>+2SD) dikategorikan gizi lebih.

C. HASIL PENELITIAN

Layanan Posyandu untuk Balita di Binaus

Di Desa Binaus terdapat 2 Posyandu. Posyandu I letaknya di Dusun I tepat di


belakang kantor Desa Binaus dan Posyandu II berada di dusun II. Aktivitas
penimbangan dan pengukuran tinggi badan Balita dari tiga dusun yang ada di
Binaus [yakni Dusun I (Aneotob), dusun II (Tofle’u) dan dusun III (Nishala)]

37
semuanya dilakukan di 2 Posyandu tersebut. Posyandu I letaknya di pinggir jalan
utama ke Soe dan beraspal sehingga memudahkan Balita dan orang tuanya datang
dibandingkan Posyandu II yang letaknya di pertengahan antara dusun II dan III, jauh
dari jalan utama serta kondisi jalan yang naik turun dengan batu lepas. Ada satu Balita
bersama ibunya yang berasal dari dusun III harus menempuh perjalanan kaki
sepanjang ±2-3 km untuk sampai ke Posyandu II. Pada saat penelitian, Posyandu
I melayani 85 Balita dengan komposisi 44 laki-laki dan 41 perempuan. Mereka
tinggal di RT 1,2,3,4,5 dan 9. Posyandu II melayani 23 Balita, 17 laki-laki dan 6
perempuan Balita yang tinggal di RT 6,7 dan 8.
Umumnya Balita-Balita di Binaus datang ke Posyandu bersama dengan
ibunya, namun dalam periode penelitian, ada dua Balita yang berada di Posyandu
I dan II datang dengan ayahnya karena ibunya sedang bekerja di luar Soe.
Sebagian besar Balita yang ikut Posyandu tidak pernah absen dari penimbangan
setiap bulannya karena kader memberlakukan sistem denda berupa uang sebesar
Rp.5000.- per bulan pada orangtuanya yang tidak membawa anaknya menimbang
saat Posyandu. Selain itu, jika ada pembagian makanan tambahan (misal MP-ASI,
biskuit), Balita yang tidak datang Posyandu tidak memperoleh makanan tambahan
tersebut.

Sampai bulan Juli 2014 di Binaus ada 108 Balita yang tercatat di buku
register Posyandu dari umur 0 bulan hingga 60 bulan yang terbagi di dua
Posyandu yaitu 85 Balita di Posyandu I dan 23 Balita di Posyandu II. Berdasarkan
umur, mereka didominasi oleh Balita pada kelompok umur 25-60 bulan, yakni
sebanyak 69 Balita (Gambar 1). Mereka berasal dari tiga dusun yaitu dusun
Aneotob, dusun Tofle’u dan dusun Nishala. Sebagian besar Balita yang ada di
Desa Binaus tinggal di sekitar dusun Aneotob dan dusun Tofle’u sehingga mereka
melakukan penimbangan ke Posyandu I Sakteo, namun ada juga Balita yang
tinggal di dusun Tofle’u ikut penimbangan di Posyandu II Sanbala mengingat
jarak rumahnya lebih dekat ke Posyandu II Sanbala. Balita yang tinggal di dusun
Nishala melakukan penimbangan di Posyandu II Sanbala, walaupun jaraknya ± 4-
5 km, dengan jalan setapak yang berbukit dan bergunung.

38
Gambar 1. Karakteristik Balita di Desa Binaus Berdasarkan
(a) Jenis Kelamin dan (b) Umur

1a 1b

Jumlah Balita yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan


dengan Balita perempuan (Gambar 1a) dan berdasarkan umur didominasi oleh
Balita kelompok umur 25-60 bulan (Gambar 1b).

Status Gizi Balita Berdasarkan BB/U

Dari total 108 Balita yang terdaftar di buku register Posyandu Binaus sampai
bulan Juli 2014, hanya 100 Balita yang melakukan penimbangan pada bulan
Juli 2014. Dari 8 Balita yang tidak datang tersebut, diantaranya 2 Balita sedang
dalam masa 40 hari sehingga tidak boleh dibawa keluar rumah dan 6 Balita
lainnya menurut keterangan dari kader dari ibu Balita lainnya diajak orang tuanya
pulang kampung serta diajak ke ladang. Penelusuran terhadap ke-8 Balita
didapatkan hasil bahwa 1 diantara 8 Balita tersebut telah keluar dari Posyandu
Binaus karena pindah bersama kedua orangtuanya ke Desa Oelbubuk dan 7 Balita
menimbang pada bulan Agustus 2014.
Status gizi dari 100 Balita berdasarkan data penimbangan bulan Juli 2014

didapatkan hasil bahwa 86 Balita memiliki status gizi baik, 13 Balita dengan status

kurang gizi yang terdistribusi hampir merata antara kategori Balita kurang dari

39
2 tahun dan mereka yang berumur lebih dari 3 tahun. Ditemukan pula 1 Balita dengan
status gizi buruk (Gambar 2a). Mereka yang bergizi kurang lebih dominan pada laki-
laki, namun status gizi buruk terjadi pada Balita perempuan (Gambar 2b).
Gambar 2. Status Gizi Balita Menurut Indeks BB/U Berdasarkan
(a) Kategori Umur dan (b) Jenis Kelamin.

2a

2b

Status gizi berdasarkan TB/U

Pengukuran status gizi juga dilakukan berdasar indikator TB/U. Jumlah

Balita yang diukur tinggi badannya pada saat penimbangan Posyandu bulan Juli

40
2014 sebanyak 87 Balita dari 100 Balita yang menimbang. 13 Balita lainnya tidak
diukur tinggi badannya karena ada yang menangis sambil meronta-ronta dan ada
yang takut serta menolak saat dilakukan pengukuran tinggi badan.

Gambar 3. Status Gizi Balita Menurut Indeks TB/U Berdasarkan


(a) Kategori Umur dan (b) Jenis Kelamin

3a

3b

Gambar 3a menunjukkan bahwa sebagian besar Balita masuk dalam kategori

status tinggi badan tidak normal yaitu, pendek sebanyak 32 Balita, sangat pendek

sebanyak 10 Balita dan tinggi sebanyak 2 Balita. Terlihat pula bahwa Balita

41
dengan kategori status gizi pendek didominasi oleh mereka pada kategori umur 25-
60 bulan, ketimbang mereka yang berumur 0-24 bulan.

Status gizi berdasar TB/U menurut jenis kelamin, didominasi oleh Balita laki-
laki. Untuk status panjang badan pendek, sangat pendek dan tinggi terjadi lebih
banyak pada Balita laki-laki dengan prosentase pendek 18 Balita, sangat pendek 7
Balita dan tinggi 2 Balita (Gambar 3b). Hal ini menggambarkan status gizi pada
Balita laki-laki lebih bervariasi.

Untuk mengetahui dinamika perubahan status dalam 2 periode waktu, yakni


antara Juli dan Agustus 2014, dilakukan pengukuran status gizi berdasar BB/U dan
TB/U pada Balita yang telah menimbang di bulan Juli 2014 dan menimbang kembali
di bulan Agustus 2014 yakni sebanyak 87 Balita (Gambar 4). Gambar 4a
menunjukkan perbandingan hasil penilaian gizi Balita berdasarkan BB/U pada bulan
Juli dan Agustus 2014. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Juli terdapat 76
Balita berada dalam kategori gizi baik, namun pada bulan Agustus 2014 jumlahnya
menurun menjadi 74 Balita. Dengan demikian terdapat pertambahan 2
Balita gizi kurang di bulan Agustus 2014. Pada bulan Agustus 2014, 76 Balita
dapat diukur tingginya. Mereka yang pendek sebanyak 32 Balita dan yang sangat
pendek 7 Balita. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya yakni
31 orang yang pendek dan 8 orang yang sangat pendek (Gambar 4b).

Status Gizi Balita Yang Tidak Melakukan Penimbangan

Karena hanya 100 Balita yang ditimbang pada bulan Juli 2014, ada 8 Balita
yang tidak berkunjung ke Posyandu. Penelusuran kepada 8 Balita yang tidak datang
pada bulan Juli 2014 didapatkan bahwa penimbangan pada bulan Agustus 2014
dengan hasil sebagai berikut: 1 Balita sudah keluar dari Posyandu karena pindah desa
mengikuti orang tuanya ke Desa Oelbubuk, 6 Balita dalam status gizi baik dan 1
Balita masuk kategori gizi kurang. Selain data BB/U peneliti juga melakukan
penelusuran terhadap 13 Balita yang tidak bisa diukur TB pada bulan Juli 2014,
namun melakukan penimbangan pada bulan Agustus 2014. Diperoleh data bahwa
1 Balita sudah keluar dari Posyandu karena pindah Desa mengikuti orang tuanya ke

42
Gambar 4. Perbandingan Status Gizi Balita di Binaus berdasarkan BB/U (4a) dan
berdasarkan TB/U (4b) Berdasarkan Data Bulan Juli dan Agustus 2014

4a

4b

Desa Oelbubuk, 3 Balita pendek, 4 Balita sangat pendek, 1 Balita normal, 1 Balita

tinggi dan 3 Balita tidak diukur tinggi badannya.

Peranan Lembaga Non Pemerintah Dalam Perbaikan Gizi di Binaus

Masih ditemukannya kasus kurang gizi di Desa Binaus, mengundang


keprihatinan Pemerintah dan beberapa LSM seperti World Food Program (WFP)
dalam program pemberian makanan tambahan di sekolah bagi anak usia sekolah

43
dan biskuit bagi anak-anak di Posyandu. Pada tahun 2013 juga pernah diadakan
program pengentasan gizi kurang pada anak usia di bawah lima tahun dimana
kader merancang menu makanan, mengolah dan menyajikannya selama satu bulan
berturut-turut. Oleh warga hal ini dipandang tepat. Namun di sisi lain program dari
LSM ini bersifat “charity” dan berlangsung sementara tanpa ada kelanjutan, serta
tidak adanya monitoring atas sejauh mana program ini berdampak pada status gizi
Balita dan anak. Hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi bergantung pada
bantuan dari luar.

Pengamatan Terhadap Faktor-Faktor Penyebab

Pengamatan terhadap faktor-faktor penyebab masalah gizi di Desa Binaus


diperoleh dari kader dan orang tua Balita yang hadir pada saat penimbangan
Posyandu serta saat kunjungan ke rumah kader atau orang tua Balita. Dari hasil
wawancara dan observasi kepada ibu-ibu Balita, masalah gizi kurang dan buruk
yang ada di Binaus disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi pada Balita yang
disebabkan oleh pola pemberian makanan pada Balita yang sama jenisnya dengan
orang dewasa dan lebih banyak mengandung karbohidrat (jagung bose), adanya
kejadian penyakit infeksi, dan tradisi mengkonsumsi jagung bose (pen bose) pada
ibu menyusui sehingga mempengaruhi asupan nutrisi bayi yang disusui.
Dari hasil wawancara dan observasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
masalah stunting pada Balita di Desa Binaus terutama disebabkan oleh pendapatan
keluarga yang rendah terkait dengan jenis pekerjaan dari orang tua Balita yang relatif
kurang pasti (seperti tukang ojek, tukang kayu, tukang batu, tukang tambal ban dan
bercocok tanam di kebun), pola pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum
enam bulan (seperti pemberian jagung titi yang dibuat bubur, bubur kacang hijau)
sehingga ASI yang diberikan tidak lagi eksklusif, kurangnya stok pangan keluarga
pada musim kemarau sehingga keluarga harus menghemat sumber pangan dan
mengkonsumsi makanan apa yang ada hal ini juga akan berimbas pada konsumsi
Balita yang ada di keluarga tersebut.

44
D. PEMBAHASAN

Berdasarkan Gambar 2, bahwa dari 100 Balita yang ditimbang sebagian


besar Balita berada pada status gizi baik sebanyak 87 Balita meskipun demikian
masih ditemukan Balita dengan status gizi kurang sebanyak 13 Balita, gizi buruk
1 Balita. Kondisi gizi buruk juga pernah dilaporkan oleh Palekahelu dkk (2008) di
daerah yang tidak jauh dari Binaus, yakni di Kec. Pollen. Pada tingkat yang lebih
makro, data tingkat Desa ini ditopang oleh data keseluruhan keadaan di TTS
bahwa terdapat 1.605 kasus gizi kurang dan 50 kasus gizi buruk (Depatemen
Kesehatan RI, 2014).
Dilihat dari jenis kelamin, penelitian ini menunjukkan bahwa variasi status

gizi pada Balita laki-laki cenderung lebih bervariasi ketimbang pada Balita

perempuan. Studi yang lebih cermat perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi data ini.

Status gizi Balita berdasarkan TB/U menunjukkan bahwa lebih dari sete-
ngah dari jumlah Balita di Desa Binaus masuk dalam kategori status panjang
badan tidak normal yaitu, pendek/stunted sebanyak 32 Balita (36,8%), sangat
pendek/very stunted sebanyak 10 Balita (11,5%) dan tinggi 2 Balita (2,3%)
(Gambar 3) dan 11 Balita yang diukur pada bulan Agustus 2014 menunjukkan
lebih dari setengah me-miliki panjang badan tidak normal, 6 Balita memiliki
panjang badan pendek/stunted, 1 Balita sangat pendek/very stunted dan satu Balita
memiliki panjang badan yang tinggi/tall.
Dari hasil wawancara penyebab langsung kejadian kurang gizi pada Balita di
Desa Binaus diduga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu asupan nutrisi gizi yang
tidak adekuat. Hal ini didukung oleh wawancara dengan ibu Balita yang menyatakan
bahwa selama ini anaknya tidak bermasalah dengan makan, apa yang disediakan pasti
dimakan dan apa yang dimakan oleh anak sama dengan yang dimakan oleh orang
tuanya seperti nasi, jagung bose (jagung katemak yang kulit bijinya dibuang dan
dimasak dengan air) dan sayur-sayuran lainnya. Tidak ada menu dengan pengolahan
khusus yang diberikan kepada Balita sehingga menu makanan setiap hari

45
bisa dipastikan hampir sama dan terutama bersumber dari karbohidrat saja. Selain
konsumsi makanan yang berbasis karbohidrat, berdasarkan hasil observasi peneliti
dan wawancara dengan ibu-ibu yang memiliki anak Balita khususnya di atas 1 tahun
didapatkan hasil bahwa variasi konsumsi zat gizi dalam satu hari khususnya protein
sangat sempit karena Balita mengonsumsi protein hanya dari kacang-kacangan saja
yang dicampur dengan sayur atau dibuat sayur dan porsi konsumsinya belum tentu
tiap hari. Adapun jenis kacang yang biasa dikonsumsi Balita di Desa Binaus adalah
kacang arbila, kacang turis, kacang nasi yang dibuat sayur atau dicampur pada jagung
bose. Padahal asupan protein yang disarankan adalah 10% sampai 20% dari asupan
energi harian (Sharlin & Edelstain, 2011). Dengan melihat kondisi di atas, Balita di
Binaus memiliki asupan energi yang cukup yang berasal dari makanan berbasis
karbohidrat namun di sisi lain kemungkinan kekurangan asupan berbasis protein (dan
kemungkinan juga kekurangan asupan lipid). Hal ini jika berlangsung terus menerus
dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan tinggi badan dikarenakan anak
mengalami kekurangan asupan protein meskipun konsumsi energinya cukup
(Cahyono, Manongga, Picauly, 2016). Kecukupan protein pada anak juga dipengaruhi
oleh konsumsi pada tingkat rumah tangga. Menurut Palekahelu dkk (2008), proporsi
rumah tangga di Kecamatan Pollen (TTS) yang mengalami defisit protein berdasarkan
tingkat konsumsinya adalah sebanyak 66,66%. Hal ini juga didukung oleh hasil
Riskesdas tahun 2010 yang menyatakan bahwa provinsi yang penduduknya
mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal (kurang dari 80% dari angka
kecukupan bagi orang Indonesia) adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (56,0%)
(Kemenkes, 2010).

Sebenarnya keterbatasan variasi bahan pangan yang dikonsumsi seperti yang


terjadi di Binaus yang bersumber karbohidrat saja dapat dimodifikasi pengolahannya
sehingga mampu meningkatkan zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh (Rimbawan &
Nurbayani, 2013). Jika saja ibu-ibu Balita diberikan pendidikan kesehatan atau
pelatihan bagaimana mengolah bahan makanan untuk meningkatkan nilai gizi seperti
jagung yang bisa diolah menjadi kue dengan dikukus, ubi-ubian tidak hanya diolah
dengan cara digoreng saja namun bisa dikukus, ditambah santan menjadi

46
bubur atau dibuat kue, hal ini besar kemungkinan dapat membantu meningkatkan
asupan gizi Balita. Jenis makanan dan kandungan gizi mikro yang beragam dalam
penyediaan makanan pada anak terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan anak (Ramakrishnan et al. 2009)
Selain menu makan, pemberian makan yang tidak memadai pada 2 tahun
pertama bertanggung jawab pada terjadinya stunting seperti kurangnya proses
menyusui, menyapih, praktik pemberian makanan tambahan (Eastwood, 2003). Hal ini
sesuai dengan hasil wawancara pada ibu-ibu yang pernah memiliki Balita menyatakan
bahwa ada kebiasaan dari nenek moyang mereka saat bayi menangis menunjukkan
bahwa bayi tersebut lapar dan menurut mereka ASI itu hanya minuman saja sehingga
tidak cukup mengenyangkan oleh karena itu bayi harus diberi makanan padat seperti
jagung titi yang dibuat bubur, bubur kacang hijau padahal bayi belum waktunya diberi
makanan tambahan. Dengan pemberian makanan tambahan ini praktek menyusui
tidak lagi ASI eksklusif. Dengan kata lain bayi sudah diberikan makanan tambahan
sejak umur 3 bulan. Kejadian ini juga sama terjadi pada Balita di Merauke yang sudah
diberikan MP ASI sebelum 6 bulan (Wibowo, Santika, Harmiko, 2012) hanya saja
Balita di Binaus MP-ASI dalam bentuk makanan padat seperti jagung titi yang dibuat
bubur, bubur kacang hijau.

Keadaan gizi kurang dan gizi buruk terkait erat dengan penurunan daya
tahan tubuh dan oleh sebab itu gangguan penyakit infeksi. Hal ini ditopang oleh
data penyakit infeksi di Puskesmas Binaus yang menunjukkan bahwa penyakit
infeksi saluran pernafasan masih menduduki peringkat nomor satu pada anak-anak
seperti batuk, pilek; diikuti dengan penyakit dengan gejala demam atau panas,
serta gatal-gatal.
Keadaan kurang gizi disebabkan oleh banyak faktor yaitu faktor ekonomi
keluarga, ketahanan pangan keluarga, pengetahuan keluarga terhadap praktek
pengasuhan anak, sanitasi kesehatan dan pelayanan kesehatan dasar (UNICEF,
2013). Pokok permasalahan gizi terkait pengetahuan orang tua ialah persoalan
pengetahuan tumbuh kembang anak. Orang tua Balita umumnya tidak mengetahui

47
bahwa anaknya mengalami masalah stunting (tinggi badan Balita lebih pendek dari
yang seharusnya bisa dicapai pada umur tertentu), mereka menganggap bahwa anak
mereka dalam keadaan sehat. Salah satu orang tua menuturkan bahwa selama ini
anaknya dalam keadaan sehat dan tidak ada keluhan penyakit apapun, namun dulu
saat hamil banyak memantang makanan seperti ikan dan daun singkong, karena takut
mengalami kesulitan ketika melahirkan pada saat menyusui mentabukan makan cabai
karena takut anak akan mencret, tidak makan buah dan daun pepaya karena takut anak
mereka akan mengalami gatal-gatal saat habis melahirkan. Jika ibu yang sedang hamil
tidak terpenuhi asupan nutrisinya secara maksimal maka akan ada kemungkinan anak
yang dilahirkannya akan mengalami BBLR, dan anak yang memiliki berat badan lahir
rendah 20-40% akan menyebabkan terjadinya stunting (Lewit & Kerrebrock, 1997).
Demikian juga saat ibu dalam proses menyusui asupan nutrisinya kurang akan
membawa dampak kurangnya nurisi pada bayinya sehingga akan mengganggu proses
tumbuh kembangnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Ramli et al. (2009) di Maluku
bahwa prevalensi stunting anak usia 12–59 bulan adalah 38,4 % sedangkan untuk
anak usia 0–11 bulan prevalensi stunting adalah
29%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian stunting pada Balita ada kemungkinan

sudah dimulai pada saat janin dalam kandungan sampai dengan usia perkembangan.

Faktor pendapatan keluarga menjadi faktor resiko yang mempengaruhi


stunting Balita di Desa Binaus. Hasil pengamatan peneliti bahwa sebagian besar orang
tua dari Balita yang mengalami stunting di Binaus ini bekerja sebagai tukang ojek,
tukang kayu atau tukang batu, tukang tambal ban bahkan ada keluarga yang hanya
mengandalkan hasil kebunnya saja untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal kondisi
lingkungan yang kering hanya memungkinkan aktivitas pertanian pangan
berlangsungantara November dan April. Dilihat dari jenis pekerjaan di atas dapat
diperkirakan bahwa pendapatan keluarga masih rendah karena pendapatan keluarga
bersifat tidak menentu. Dengan pendapatan keluarga yang rendah dan tidak menentu
akan mempengaruhi apa yang dimakan karena terbatasnya daya beli keluarga terhadap
bahan makanan yang dikonsumsi sehingga tak jarang keluarga hanya makan nasi atau
jagung bose tanpa ada menu lain atau lauk-pauk lain karena

48
hanya ada bahan pangan itu saja yang bisa diolah. Lagi pula, hasil pendapatan rendah
dipergunakan untuk keperluan lain seperti arisan, kolekte kegiatan agama dan sosial
sehingga untuk kebutuhan makan sehari-hari benar-benar hanya mengandalkan
cadangan pangan atau hasil panen. Hal ini yang menjadikan pendapatan keluarga
menjadi salah satu faktor resiko yang menyebabkan kejadian stunting di Binaus.
Temuan ini didukung hasil penelitian Riyadi dkk (2006), Astri dkk (2006), dan
Ulfani dkk (2011) yang menemukan bahwa ciri rumah tangga anak stunted adalah
pendapatan dan pengeluaran untuk pangan yang rendah dan status ekonomi yang
rendah berdampak pada ketidakmampuan untuk mendapatkan pangan yang cukup
dan berkualitas. Pendapatan keluarga yang rendah menjadi faktor penyumbang
angka kemiskinan dan kemiskinan sendiri menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan tidak tercukupinya asupan gizi pada anak. Keadaan ini terjadi di
NTT (Rugadi dalam Kompas 23 Desember 2006).

Hal lain yang harus menjadi perhatian serius adalah dampak dari stunting
dikemudian hari yang menyebabkan anak mengalami ketidakmaksimalnya fungsi
kongnitifnya (Brown & Pollitt, 1996). Seperti penelitian Picauly & Toy (2013) di
Kupang dan Sumba Timur, NTT yang menunjukkan bahwa anak dengan stunting
memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak yang non
stunting. Tidak hanya secara kognitif, stunting juga menyebabkan masalah
kematian pada masa-masa kanak-kanak dan mempengaruhi fisik dan fungsional
tubuh (Victoria et al, 2008).
Selain masalah kemiskinan yang disebabkan oleh pendapatan yang rendah,
Depkes (2008) menyampaikan bahwa masalah stunting juga dapat dipengaruhi oleh
budaya keluarga. Desa Binaus masih adanya tradisi budaya Neno Bo’ha menjadi
faktor yang mempengaruhi kondisi gizi Balita.Tradisi Neno Bo’ha adalah salah satu
tradisi mayarakat suku Timor yang dilakukan secara turun temurun pada ibu menyusui
selama 40 hari. Selama 40 hari ibu menyusui akan melakukan masa perawatan masa
nifas di rumah bulat (Ume kbubu) dengan melakukan kompres panas
(tatobi), panggang (se’i), dan mengonsumsi jagung bose (pen bose). Jagung bose yang

dikonsumsi ibu menyusui, pada hari pertama sampai hari ke-7 tidak menambahkan

49
makanan lain. Makanan lain dapat ditambahkan pada jagung bose setelah melewati
hari ke-7. Hasil penelitian Nuban & Karwur pada tahun 2013 (dalam buku ini yang
berjudul Konsumsi pangan dan status gizi ibu-bayi yang mengikuti tradisi neno
bo’ha) menyatakan bahwa sumber pangan yang dikonsumsi ibu menyusui/pasca
melahirkan sebelum 40 hari didominasi oleh sumber karbohidrat dengan defisit
protein pada dua ibu yang menjalankan tradisi Neno Bo’ha di Desa Binaus. Jika ibu
yang menyusui tidak terpenuhinya asupan gizinya akan berimbas pada asupan gizi
bayi/anaknya sehingga kecukupan gizi pada bayinya juga akan rendah.

Penyebab tidak langsung masalah gizi di Binaus yaitu kurangnya stok pangan
keluarga pada musim kemarau. Secara geografis iklim di NTT sebagian besar “semi-
arid”, dengan musim kemarau panjang (8–9 bulan) dan musim hujan pendek (3-4
bulan). Musim hujan yang pendek inilah yang berpengaruh pada pola tanam
masyarakat di TTS yang juga berdampak pada kualitas tanah itu sendiri. Masa
kemarau yang panjang mengakibatkan bencana kekeringan dan kegagalan penen di
propinsi NTT bahkan hampir terjadi tiap tahunnya (Maryoto dalam Kompas, 2004).
Bahkan bencana kekeringan menyebabkan ancaman kelaparan yang disebabkan
ketidaktersediaan bahan makanan pokok seperti jagung, padi gogo dan kacang-
kacangan yang puso akibat kekeringan. Pada musim hujan masyarakat akan mulai
menanam sehingga pada bulan-bulan tersebut masyarakat memiliki persediaan
makanan yang cukup, namun pada musim kemarau, masyarakat akan dihadapkan
dengan masa paceklik atau kekurangan pangan, karena masih menunggu saat panen
tiba. Kekurangan pangan inilah yang diduga menyebabkan adanya bencana kelaparan
dan habisnya persediaan pangan keluarga. Kurangnya stok pangan keluarga
berpengaruh pada konsumsi pangan keluarga termasuk juga Balita yang ada di
dalamnya ikut terkena imbasnya karena keluarga akan menghemat persediaan pangan
selama musin kemarau sampai tiba saatnya musim panen berikutnya. Jika kondisi ini
berlangsung lama dan terus menerus Balita akan mengalami kekurangan gizi dan pada
akhirnya akan menimbulkan stunting. Hasil penelitian Deolalikar (2005) menemukan
bahwa ada perbedaan yang cukup besar kejadian malnutrisi pada anak secara wilayah
geografis.

50
Proporsi balita kurang gizi berdasarkan TB/U yang masih tinggi di Desa
Binaus memberikan indikasi masalah gizi yang dihadapi bersifat kronis. Pada tataran
faktor-faktor fundamental di daerah ini, faktor iklim kering (musim hujan yang
pendek) yang menentukan hasil pertanian tahunan yang rendah, pendapatan keluarga
yang rendah (kesempatan aktivitas off-farm yang terbatas) dan pendidikan keluarga
yang rendah, diduga kuat bekerja secara simultan pada kemiskinan dan oleh sebab itu
mempengaruhi keadaan gizi jangka panjang. Kebijakan Pemerintah yang tepat dengan
memfokus pada peningkatan keadaan sosial ekonomi keluarga dan wilayah secara
konsisten, serta tidak terperangkap pada pengerjaan proyek atau program yang
bersifat sementara, sangatlah diperlukan.

E. KESIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan bahwa:


1. Berdasarkan indikator status gizi berat badan, rata-rata Balita di Posyandu I
dan II, Desa Binaus pada bulan Juli dan Agustus 2014 umumnya mempunyai
status gizi baik. Meskipun demikian masih ditemukan Balita dengan status
gizi kurang sebanyak 13 Balita (13%), gizi buruk 1 Balita (1%)
2. Berdasarkan indikator status gizi tinggi badan, jumlah Balita dengan ukuran
tubuh pendek masih berada dalam jumlah yang signifikan, dengan persentasi
Balita pendek sebesar 36,8% dan sangat pendek sebesar 11,5%.
3. Variasi status gizi Balita laki-laki lebih luas ketimbang variasi status gizi
Balita perempuan.
4. Penyebab masalah kurang gizi dan gizi buruk Balita di Desa Binaus disebabkan
secara langsung pada kurangnya asupan nutrisi pada Balita yang disebabkan oleh
pemberian makanan yang lebih banyak mengandung karbohidrat (mis:jagung bose),
penyakit infeksi yang berlangsung lama, tradisi mengkonsumsi jagung bose
(pen bose) pada ibu menyusui.
5. Aspek penyebab masalah stunting pada Balita di Desa Binaus yaitu pendapatan

keluarga yang rendah dan kurang menentu, kurangnya pengetahuan orang tua

51
terkait tumbuh kembang anak, kurangnya stok pangan keluarga pada musim
kemarau, dan faktor budaya.
6. Kebijakan pemerintah seharusnya didorong pada program-program penguatan

fundamental ekonomi dan pendidikan keluarga, yang dilaksanakan secara konsisten.

Ucapan Terima Kasih

United Board for Christian Higher Education in Asia (UBCHEA), Pemerintah Kabupaten
TTS, Bapak Ared Bilik, Bapak Nahor Tasekeb selaku Kepala Desa Binaus, Mama Lydia

Peninean selaku Ketua PKK, Kader Posyandu I Sakteo dan Posyandu II Sanbala Desa

Binaus dan semua warga Desa Binaus yang sangat berjasa dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anugraheni., Hana, S., Martha, I. K. (2012). Faktor Resiko Kejadian Stunting pada
Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Journal of Nutrition
Collage. Vol. 1(1):30
Astri, LD., Nasution, A., dan Dwiriani, CM. (2006). Hubungan konsumsi ASI dan
MP-ASI serta kejadian stunting anak usia 6-12 bulan di Kabupaten Bogor.
Me-dia Gizi dan Keluarga, 30(1),15-23
Bappeda TTS dan UKSW. (2003). Laporan Proyek Sistem Informasi Manajemen Pem-
bangunan Daerah Kabupaten TTS, Propinsi NTT. Pemda TTS dan UKSW,
Hal.156
Brown, J.L. and Pollitt, E. (1996). Malnutrition, poverty and intellectual development.
Sci. Am. 274(2),38-42
Cahyono, F., Manongga, S., Picauly, I. (2016). Faktor penentu stunting anak Balita pada
berbagai zona ekosistem di Kabupaten Kupang. Jurnal Gizi dan Pangan, 11(1), 9-18
Cal dan Irn. (2005). Krisis Pangan di NTT Meluas ke 10 Kabupaten. Kompas, 14
Maret 2005
Deolalikar, AB. (2005). Poverty and child malnutrition in Bangladesh. Journal of
Devel-oping Societies, 21 (1-2),55-90
Departemen Kesehatan RI. (2008). Laporan Riset Kesehatan Dasar Provinsi Nusa
Teng-gara Timur Tahun 2007.www.scribd.com/Laporan_ Hasil_ Riskesdas_
NTT_ 2007.pdf (15 Desember 2011).

52
Departemen Kesehatan RI. (2014). Komunikasi Data Gizi dan KIA Terintegrasi. (in-
ternet). www.gizikia.depkes.go.id/data -
Desti, S.P., dan Dadang, S. (2012). Keadaan rumah, kebiasaan makan, status gizi dan
status kesehatan Balita di Kecamatan Tamansari, Kab. Bogor. Jurnal Gizi dan
Pangan,7(3),163-168
Eastwood, M. (2003). Principle of Human Nutrition Second Edition, Blackwell Science
Ltd, a Blackwell Publishing Company, 643-654
Food and Agricultural Organization of United Nation (FAO). (2015). The State of
Inse-curity in the World. Rome.
Humphrey, JH. (2009). Child undernutrition, tropical enteropathy, toilets and hand-
washing. Lancet, 37,1032-1035
Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Depkes RI. Hal.1-429
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Depkes RI. Hal.1-429
Kusharisupeni. (2002). Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah stu-
di prospektif. Jurnal Kedokteran Trisakti 23,73-80.
Lewit, E.M., and Kerrebrock, N. (1997). Population based growth stunting. Future
Child, 7(2),149-156
Manongga, S.P., Raja Pono S.O., Palekahelu D., dan Karwur F. (2007). Status gizi dan
kesehatan masyarakat Pollen di Timor Tengah Selatan. Jurnal Kritis, 20(2),
135-156
Martianto, D., Hadi, R., Dwi, H., Mien, R. O., Edi, D. S., dan Saleh, A. (2008). Analisis
Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk memperkuat Ketahanan
Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak Di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kerjasama Fakultas Ekologi Manusia IPB
den-gan PLAN Indonesia
Maryoto, A (2004). Membaca Peta Rawan Pangan. Kompas 14 Januari 2004
Muller, O and Krawinkel, M. (2005). Review: malnutrition and health in developing
countries. CMAJ, 173 (3),279-286
Palekahelu D., Manongga S.P., dan Karwur F., (2008). Habisnya Persediaan Pangan
Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pollen, Kabupaten Timor Tengah
Selatan. Kritis, 19(3), 170-188
Picauly, I dan Yoy, S. (2013). Analisis determinan dan pengaruh stuntingterhadap pres-

53
tasi belajar anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur, NTT. Jurnal Gizi dan
Pangan, 8(1),55-62
Rahayu, LS. (2011). Associated of Height Of Parents With Changes Of Stunting Status
From 6-12 Months To 3-4 Years [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Ramakrishnan U., Nguyen P., Martorell, R. (200). Effect of micronutrients on growth
of children under 5 years of age: Meta-analyses of single and multiple nutrient
interventions. Am. J.Clin Nutr, 8(9), 191-203
Ramli, Kingsley, EA., Inder, KI., Bowe, SJ., Jacobs, J., and Dibley, MJ. (2009). Prevalens
and Risk Factors forStunting and Severe Stunting Among Under Five in North
Maluku Province of Indonesia.NBMC Pediatric (internet). (Retracted from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
Rimbawan dan Nurbayani, R. (2013). Nilai indeks glikemik produk olahan gembili
(dis-corea esculenta). Jurnal Gizi dan Pangan, 8(2),145-150
Riyadi, H., Khomsan, A., Sukandar, D., Faisal, A., dan Mudjajanto, ES. (2006). Studi
tentang status gizi pada rumah tangga miskin dan tidak miskin.Jurnal Indo-
nesia Food, 29(1),33-46
Rugadi. (2006). Kemiskinan Berbuah Gizi Buruk di Nusa Tenggara Timur. Kompas 23
Desember 2006
Sharlin, J and Edelstein, S. (2001). Essesial of Life Cycle Nutrition, Jones and Bartlett
Publisher, LLC.
Ulfani, DH., Martianto, D., Baliwati, YF. (2011). Faktor-faktor sosial ekonomi dan kes-
ehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight, stuntingdan
wasted di Indonesia: Pendekatan ekologi gizi. Jurnal Gizi dan Pangan, 6, 59-65.
UNICEF. (2013). Improving Child Nutrition. New York: USA
Victoria, C. G., Adair, L., Fall, C., Hallal, PC., Martorel, R., Richtere, L., Sachdev, HS.,
2008. Maternal and child undernutrition: Consequences for adult health and
human capital. The Lancet,371(9609),340-357
World Food Program. (2010) Nutrition Security and Food Security in Seven Districs in
NTT Province, Indonesia: Status, Causes and Recommendations for Response.
Final Report. Jakarta and Rome. Downloaded from http://documents.wfp.org/
stellent/groups/public/documents/ena/wfp236825.pdf
Wibowo, L., Santika, O., Harmiko, M. (2012). Survei dasar gizi dan kesehatan di
wilayah kerja World Vision Indonesia dan Wahana Visi Indonesia di
Kabupaten Merauke. Jurnal Gizi dan Pangan, 7(1),11-18

54
3

Survei Dampak Rumah Bulat dan Status Gizi Terhadap


Kapasitas Vital Paru Pada Ibu Postpartum Yang Menggunakan
Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah NTT

Angkit Kinasih

Fakultas Ilmu Kesehatan


Universitas Kristen Satya Wacana
Contact address: angkit.kinasih@staff.uksw.edu

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dampak rumah bulat dan status gizi terhadap
kapasitas vital paru terhadap ibu post partum yang menggunakan kompres panas di
Kecamatan MolloTengah. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif
kuantitatif dengan metode survei. Informasi dikumpulkan melalui wawancara yang
ditujukan kepada 9 orang ibu post partum di Kecamatan Mollo Tengah. Kondisi rumah
bulat diketahui dengan observasi dan pengukuran terhadap status gizi dilakukan dengan
tes kapasitas vital paru. Hasil penelitiannya adalah responden yang memiliki kapasitas
vital paru pada kategori restriktif ringan 44,4% dan normal 55,6%. Kondisi rumah bulat
sebanyak 55,6% dalam kategori kurang baik, 44,4% pada kategori baik dan 0,0% dalam
kategori sangat baik. Sedangkan kondisi ibu post partum sebanyak 55,6% mengalami
resiko kurang energi kronis dan sebanyak 44,4% bukan merupakan resiko kurang energi
kronis. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tradisi tatobi pada ibu post partum di
Kecamatan Mollo Tengah yang dilakukan di rumah bulat membawa dampak negatif
terhadap kapasitas vital paru ibu. Hasil uji pengaruh menunjukkan ada pengaruh secara
simultan kondisi rumah bulat dan status gizi terhadap kapasitas vital paru pada ibu post
partum yang menggunakan kompres panas sebesar 89,7%. Rendahnya kapasitas vital paru
pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas di rumah bulat disebabkan
buruknya kualitas udara dalam rumah bulat dan pengaruh panas akibat pemakaian
kompres panas serta adanya pantangan makan pada ibu saat pasca melahirkan. Saran
yang diajukan hendaknya mengurangi waktu pelaksanaan tradisi tatobi dalam rumah
bulat, petugas kesehatan hendaknya menggunakan pendekatan budaya dan adat
istiadat setempat dalam peningkatan pelayanan kesehatan.
Kata Kunci: rumah bulat, status gizi, kapasitas vital paru, kompres panas

A. PENDAHULUAN

Kondisi yang terkait dengan kematian ibu di provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) cukup memprihatinkan. Tercatat Angka Kematian Ibu (AKI) di sana adalah
306/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Secara khusus di Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS), sebagai kabupaten penyumbang tertinggi angka kematian
ibu di provinsi NTT yaitu berjumlah jumlah 46 orang, dengan angka kematian ibu
hamil berjumlah 3 orang, kematian ibu bersalin berjumlah 11 orang, kematian ibu
nifas 9 orang, dan kematian ibu 23 orang (Dinkes NTT, 2014).
Masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak
terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dalam masyarakat tempat
tinggalnya. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan bu-daya
seperti konsep berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan
kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak positif
maupun negatif terhadap kesehatan reproduksi ibu dan kesehatan anak. Hal ini terlihat
bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola ma-kan pada ibu
hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu dan anjuran
terhadap beberapa makanan tertentu, misalnya makan makanan yang mengandung
sayur, daging, telur, cumi-cumi, udang dan kepiting (Karwur dkk., 2012).

Ibu post partum secara fisiologis membutuhkan zat gizi yang lebih banyak
dibandingkan dengan wanita dewasa biasa (Supariasa dkk, 2002). Asupan nutrisi yang
cukup untuk mengembalikan keadaan fisik seperti sebelum hamil juga dibu-tuhkan
pada ibu post partum. Nutrisi yang dikonsumsi ibu post partum tinggi kalori dan
protein. Nutrisi dibutuhkan oleh ibu post partum sebagai sumber tenaga, zat
pembangun dan zat pengatur tubuh supaya pertumbuhan dan perkembangan bayi

56
yang diberi ASI dapat tumbuh dengan sehat dan memperlancar ASI serta dapat

mempertahankan kesehatan.

Mollo Tengah merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Timor


Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih menjalankan
kebiasaan tradisi pengasapan. Tradisi ini oleh masyarakat setempat biasa disebut
“se’i” (Rachmalina dkk, 2013). Pada tradisi di daerah ini adalah ketika seorang ibu
setelah melahirkan, ibu dan bayinya harus duduk dan tidur di atas tempat tidur dan di
bawah kolong tempat tidur itu terdapat bara api yang harus tetap menyala. Lalu ibu
post partum memanaskan bagian luar jalan lahir dengan asap dan mengkompres badan
(tatobi) di dalam rumah adat selama 40 hari. Penyediaan kayu bakar dilakukan oleh
suami ibu post partum yang nantinya dipergunakan sebagai bara agar api tetap selalu
menyala dan mengeluarkan asap (Tauho, 2012). Maksud dari tradisi ini, agar badan
dari ibu dan bayi cepat kuat. Selama melakukan se’i, ibu maupun bayi selalu
menghirup udara tercemar mengingat bara api yang digunakan biasanya adalah bahan
bakar biomasa (kayu bakar) (Athena dkk, 2014). Pembakaran kayu bakar biasanya
mengeluarkan bahan pencemar berupa partikel debu (supended particulate matter)
dan gas berupa karbondioksida (CO2), formaldehid (HCHO), oksida nitrogen (NOx),
oksida belerang (SOx). Terhirupnya bahan-bahan tersebut dapat menimbulkan
gangguan kesehatan berupa iritasi saluran pernafasan sampai gangguan paru-paru
(Rachmalina, dkk, 2013).

Menurut WHO (2004), lebih dari dua juta penduduk miskin di dunia masih
tergantung pada penggunaan biomassa (kayu, arang, kotoran hewan, ampas kelapa)
dan penggunaan batu bara untuk kebutuhan energi rumah tangga. Penggunaan bahan-
bahan tersebut berdampak pada meningkatnya polusi udara dalam ruang yang
melebihi standar kualitas udara internasional yang berlaku. Keterpaparan ibu dan anak
dalam kondisi seperti yang disebutkan di atas dapat meningkatkan risiko penyakit
seperti pneumonia, ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan kanker paru-paru dan
diperkirakan dapat membuat meningkatnya proporsi penyakit berbahaya. Hal tersebut
juga dapat meningkatkan terjadinya beberapa risiko kesehatan termasuk tinggi badan
bayi lahir dan berat badan yang rendah.

57
Masyarakat di Kabupaten TTS-NTT percaya bahwa kompres panas
(tatobi) bertujuan untuk mengeluarkan sisa-sisa darah kotor dari rahim dan
mengembalikan kekuatan tubuh ibu agar tidak mengalami sakit serta menutup
kembali jalan lahir anak pada ibu. Masyarakat percaya bahwa dengan melakukan
se’i dan tatobi dapat mengembalikan kondisi ibu pada keadaan yang seimbang.
Proses pemberian kompres panas (tatobi) dilakukan di salah satu rumah
tradisional yang disebut dengan istilah rumah bulat (Themone, 2014), dalam
bahasa lokal disebut ume kbubu. Tatobi dilakukan selama 40 hari setelah ibu
melahirkan dengan menggunakan kain tenun Timor (sarung, selimut, selendang)
dan air panas lalu dikompreskan ke sekujur tubuh ibu.
Ume kbubu merupakan bangunan berbentuk bulat, dengan atap yang
berbahan alang-alang dan hampir menyentuh tanah. Lantai berbasis tanah, tidak
ada jendela atau ventilasi serta perapian ada didalamnya (Karwur dkk, 2012).
Dinding rumah bulat melingkar dengan garis tengah antara tiga sampai lima meter
dan terbuat dari kayu dan bambu. Pintunya berbentuk setengah lonjong dengan
ketinggian kurang satu meter (Gambar 1).

Gambar 1 Ume Kbubu (rumah bulat)

58
Mengingat resiko kesehatan yang mungkin timbul, maka penelitian ini
perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana bahaya yang dapat ditimbulkan
sebagai akibat dari adanya kebiasaan dan perilaku masyarakat yang melakukan
se’i dan tato-bi, termasuk untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan dan
pengobatan penyakit akibat tradisi tersebut yang telah dilakukan. Hal tersebut
penting untuk menentu-kan pola pembinaan, pelayanan serta pemberian sarana
pendukung. Di samping data tersebut, juga dijajaki kemungkinan sumber daya
dan jalur-jalur yang dapat dijadikan media intervensi bagi program kesehatan.

B. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian


deskriptif pada umumnya menarik para peneliti, karena bentuknya yang sederhana
dan mudah dipahami dengan tanpa memerlukan teknik statistika yang kompleks
(Sukardi, 2007). Desain penelitian yang digunakan adalah etnografi. Menurut
Mantja (2007) penelitian atau kajian etnografi bersifat holistik, artinya bahwa
penelitian ini tidak hanya mengarahkan perhatian pada salah satu atau beberapa
variabel tertentu yang menjadi perhatian peneliti dalam suatu pengkajian.
Pemilihan sampel penelitian ini secara purposif atau pengambilan subjek
sampel yang didasarkan pada tujuan tertentu. Prosedur pengambilan sampel
seperti itu mempunyai ciri sebagai berikut : (1) Sampel tidak dapat ditentukan atau
ditarik terlebih dahulu; (2) Pemilihan sampel secara berurutan dengan
menggunakan teknik snowball sampling (3) Penyesuaian berkelanjutan dari
sampel pada mulanya setiap sampel dapat sama kegunaannya, pada saat informasi
semakin banyak diperoleh dan semakin mengembangkan hipotesis kerja, sampel
dipilih atas dasar fokus penelitian; (4) Pemilihan berakhir jika sudah terjadi
pengulangan, jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring maka penarikan
sampel dihentikan. Berdasarkan pedoman tersebut, subjek penelitian ini terdiri
dari mereka yang memiliki beragam karakteristik, unsur dan nilai-nilai yang
berkaitan dengan aspek-aspek pokok penelitian ini. Subjek yang dimaksud terdiri
atas kepala keluarga, ibu post partum, kader posyandu, dan kepala desa.

59
C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak Rumah Bulat terhadap Kapasitas Vital Paru Ibu Post Partum
yang Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan kondisi rumah
bulat yang digunakan dalam tradisi kompres panas (tatobi) adalah kurang baik
yaitu sebesar 55,6%. Sebesar 66,7% rumah responden tidak memiliki sirkulasi
udara yang baik, 88,9% rumah responden tidak memiliki penerangan yang baik
dan sebesar 77,8% rumah responden memiliki tata letak ruangan yang tidak teratur
dan tidak memiliki sekat permanen. Sirkuasi udara diperoleh melalui pintu kecil
yang juga adalah akses keluar dan masuk ke rumah. Selain itu, bahan dinding
rumah bulat yang terbuat dari bahan kayu dan bambu memungkinkan pertukaran
udara dapat terjadi di seluruh permukaan dinding. Meskipun demikian pertukaran
udara itu tidak optimal. Adanya aliran udara di rumah bulat dapat memberi
pengaruh baik terhadap kualitas udara di dalamnya. Sebaliknya, aliran udara dapat
memperburuk kualitas udara di dalam ruang rumah apabila udara di luar ruangan
lebih tercemar.

Kualitas pencahayaan alami yang diobservasi di rumah bulat cenderung


rendah, bahkan satu rumah bulat terlihat sangat gelap. Ini berarti sinar matahari
sama sekali tidak masuk ke dalam ruangan tersebut. Rendahnya pencahayaan
alami selain dapat menyebabkan ketidaknyamanan karena gelap, juga berisiko
terhadap kesehatan karena mikroorganisme yang telah berada di ruangan akan
tetap mencemari ruangan. Hal ini kemungkinan menjadi faktor penyebab tidak
nyamannya ruangan dan tingginya proporsi ibu maupun bayi yang mengalami
gangguan saluran pernafasan.

Dilihat dari tata letak atau pembagian ruang di dalam rumah bulat, tidak
beraturan karena semua kegiatan mulai dari memasak, tidur, dan proses tatobi jadi
satu, dengan hanya berbatasan dengan selembar kain. Partikel debu yang berasal
dari asap pembakaran kayu pada memasak dan kegiatan se’i, akan berbahaya

60
terhadap kesehatan karena apabila terhirup akan langsung masuk ke dalam paru-
paru dan mengendap di rongga kosong pada paru-paru (alveoli) (Yulaekah, 2007)
.Tingginya kadar partikel debu di rumah bulat kemungkinan berkontribusi
terhadap tingginya proporsi ibu maupun bayi yang mengalami gangguan saluran
pernafasan.
Ditemukan bahwa ada dampak negatif rumah bulat terhadap kapastitas
vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas (tatobi). Hasil
pengujian hipotesis menggunakan uji parsial diperoleh nilai t konstanta sebesar
9,145 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 dan t hitung sebesar 5,887 dengan
nilai probabilitas sebesar 0,001. Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari level of
signifikan (0,05), yang berarti secara parsial ada pengaruh kondisi rumah bulat
terhadap kapastitas vital paru. Nilai R square sebesar 0,832 yang berarti bahwa
sumbangan efektif dari variabel kondisi rumah bulat (X1) terhadap kapastitas vital
paru (Y) sebesar 83,2%, sedangkan 16,8% disebabkan oleh faktor lain.

Dampak Status Gizi terhadap Kapasitas Vital Paru Ibu Post Partum yang
Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 9 responden, 4 diantaranya


memiliki bukan resiko Kurang Energi Kronis (KEK). Hal ini dimungkinkan
terjadi karena pada masyarakat Mollo Tengah, ibu setelah melahirkan harus
menjalani tradisi se’i dan tatobi dalam rumah bulat. Pada tradisi ini terdapat
beberapa larangan-larangan yang berkaitan dengan konsumsi makanan atau tradisi
tidak boleh makan makanan tertentu dengan alasan-alasan tertentu.
Perempuan yang baru saja melahirkan diharuskan taat terutama terhadap
jenis makanan, aturan menyusui, aturan mandi dengan air yang cukup panas dan
tinggal di rumah bulat. Ibu menyusui merupakan salah satu kelompok rawan gizi,
karena saat menyusui ibu sedang mengalami pemulihan, menstruasi dan menyusui
bayi. Pada ibu menyusui banyak kehilangan zat-zat gizi mikro maupun makro
seperti zat besi dan kalsium yang dikeluarkan melalui Air Susu Ibu (ASI).

61
Dengan demikian, pantangan makanan, baik dalam jenis, jumlah dan frekuensi
akan berdampak negatif pada pemenuhan zat gizi pada ibu nifas. Hasil penelitian
menunjukkan perawatan nifas yang dilakukan selama pelaksanaan budaya se’i
bertujuan menunjang proses pemulihan dan mengembalikan bentuk tubuh ibu
pada keadaan sebelum hamil. Pemenuhan zat gizi ibu pada pelaksanaan budaya
se’i tidak memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
Hasil pengujian secara parsial menunjukkan ada pengaruh status gizi terhadap
kapastitas vital paru. Dengan nilai R square sebesar 0,626 yang berarti bahwa
sumbangan efektif dari variabel status gizi (X2) terhadap kapastitas vital paru (Y)
sebesar 62,6%, sedangkan 37,4% disebabkan oleh faktor lain.

Kondisi Rumah Bulat dan Status Gizi terhadap Kapasitas Vital Paru Ibu Post

Partum yang Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah

Kapastitas vital paru dapat diartikan sebagai kemampuan melanjutkan


atau bertahan melakukan aktivitas fisik tertentu berkaitan dengan kelompok otot
yang besar pada periode waktu tertentu yang menggambarkan kemampuan dari
sistem sirkulasi dan respirasi untuk menyesuaikan atau memulihkan diri dari efek
kerja atau latihan seluruh tubuh. Pada wanita pasca melahirkan terjadi perubahan
fisiologis yang meliputi perubahan sistem reproduksi dan perubahan sistemik,
serta perubahan psikologis. Perubahan sistemis meliputi perubahan sistem
kardiovaskuler, urinaria, gastrointestinal dan laktasi (Pillitteri, 1999).
Dalam penelitian ini ditemukan 4 dari 9 orang ibu post partum mengalami
restriktive ringan. Ini berarti responden telah mengalami gangguan kerja paru yang
dimungkinkan akibat menjalani tradisi se’i dan tatobi di rumah bulat. Tradisi se’i dan
tatobi menyebabkan polusi udara dan mengganggu konsumsi oksigen ibu post partum.
Hal ini diperparah dengan kondisi bahwa perempuan yang baru melahirkan harus
dikompres dengan air yang cukup panas dengan harapan agar air susunya lancar
mengalir. Selain itu, ibu harus tahan panas api yang tetap hidup di bawah tempat
tidurnya (balai-balai) atau tempat duduknya (bangku) selama masa tertentu.

62
Faktor lingkungan sangat penting dalam pencapaian kondisi fisik
seseorang. Lingkungan tempat tinggal seperti temperatur, iklim, ketinggian tempat
tinggal, akan berdampak terhadap perubahan fisiologis seseorang, wilayah tempat
tinggal akan berpengaruh terhadap adaptasi fisiologis seseorang (Farida, 2015).
Salah satu adaptasi lingkungan yang bisa dijadikan perbandingan dengan adanya
berkurangnya tekanan parsial oksigen (PO2), yang diakibatkan oleh menurunnya
tekanan di dataran rendah dan dataran tinggi (Waani, 2014). Selain itu, Guyton
(2000) membedakan daerah pantai dan pegunungan ditinjau dari suhu udara dan kadar
oksigen (O2) juga berbeda. Semakin tinggi suatu daerah dari permukaan air laut maka
kadar oksigenya (O2) semakin sedikit, dengan adanya perbedaan tekanan parsial
oksigen (PO2) yang terdapat di dataran rendah dan dataran tinggi, akan berpengaruh
juga pada jumlah hemoglobin (Hb) dalam butir-butir sel darah merah.
Dataran tinggi atau di daerah pegunungan kadar oksigen (O2) dalam udara akan
menurun. Agar tubuh tetap mendapat jatah oksigen (O2), maka alat angkutnya yang
diperbanyak, yakni jumlah hemoglobin (Hb) dalam sel darah merah akan bertambah.
Pada daerah yang tinggi seperti di pegunungan, kadar oksigen (O2) dan tekanannya
lebih kecil dibandingkan dengan daerah pesisir atau dataran rendah.
Adaptasi fisiologis atau aklimatisasi diperlukan bagi orang yang tinggal di dataran
tinggi atau di pegunungan. Salah satu adaptasi fisiologis yang terjadi yakni
kapasitas paru lebih besar dan kadar hemoglobin (Hb) darah menjadi banyak
(Nala, 1992 dalam Sudiana, 2013).
Dalam konteks di Kecamatan Mollo Tengah, berdasarkan pengujian statistik
diketahui bahwa ada pengaruh secara simultan kondisi rumah bulat dan status gizi
terhadap kapastitas vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas.
Nilai adjusted R square sebesar 0,897 menunjukkan bahwa secara simultan kondisi

rumah bulat memberikan pengaruh sebesar 89,7% terhadap kapastitas vital paru dan

selebihnya 10,3% dipengaruhi oleh faktor yang lain di luar kedua faktor tersebut.

Hingga saat ini di Kecamatan Mollo Tengah NTT, khususnya di daerah


yang sulit dijangkau, masih berlaku tradisi bagi ibu yang baru melahirkan dan
bayinya harus tinggal di rumah bulat sampai masa nifasnya berakhir. Mereka

63
diharuskan taat terutama terhadap jenis makanan, aturan menyusui, aturan mandi
dengan air yang cukup panas dan tinggal di rumah bulat. Pantangan makanan
tertentu pada ibu pasca melahirkan menyebabkan ibu menjadi kekurangan gizi,
sehingga dimungkinkan daya tahan tubuhnya akan turun dan mudah terserang
penyakit. Didukung dengan kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat
menjadikan ibu dan bayi memiliki resiko kematian lebih tinggi. Perempuan yang
baru melahirkan harus dikompres dengan air yang cukup panas dengan harapan
agar air susunya lancar mengalir. Ia pun harus tahan panas dari bara api yang tetap
menyala di bawah tempat tidurnya atau tempat duduknya. Hal itu dilakukan
dengan maksud untuk mengembalikan otot-otot yang renggang selama masa
kehamilan dan melahirkan. Suaminya berkewajiban secara tradisional
mempersiapkan batang kayu besar yang dibakar untuk pendiangan istrinya yang
baru melahirkan. Meskipun demikian, menurut masyarakat setempat para ibu di
sini sudah biasa, tak sesak nafas, sehat, demikian pula bayinya.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:
1. Rumah bulat membawa konsekuensi negatif terhadap kesehatan, khususnya ka-pasitas

vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas (tatobi).

2. Status gizi pada ibu post partum mengalami resiko KEK sehingga mempunyai
dampak negatif terhadap kapasitas vital paru. Pantang makan pada masa nifas
dapat menurunkan asupan gizi sehingga berpengaruh terhadap kesehatan ibu
dan produksi air susu.
3. Kondisi rumah bulat dan status gizi mengalami gangguan kerja paru akibat
menjalani se’i dan kompres panas di rumah bulat didukung dengan konsumsi
makanan pada ibu post partum hanya mengkonsumsi jagung bose saja tanpa
ada tambahan lauk dan sayur.

64
DAFTAR PUSTAKA

Athena, A dan Soerachman, R. (2014). Kesehatan Ibu Dan Bayi Yang Melakukan
Tradisi Sei Dan Gambaran Kesehatan Lingkungan Rumah Bulat (Ume
“Kbubu) Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT). Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol.5 No. 1 April 2014:59-66.
Dinas Kesehatan NTT. (2014). Profil Kesehatan Tahun 2014. Hal: 21 & Tabel
6, Tersedia dalam:http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/
PROFIL_KES_PROVINSI_2014/19_NTT_2014.pdf
SDKI. (2007). Demograpic and Health Survey.
Farida. (2015). Perbedaan Volume Oksigen Maksimal (VO2Maks) pada Perem-
puan Usia 40-60 Tahun di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah. Dalam
http://eprints.ums.ac.id/36855/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi.
Ja-karta. EGC
Karwur, F.F., dkk. (2012). Kaji Tindak Partisipasif. Salatiga: Fakultas Ilmu
Kes-ehatan Universitas Kristen Satya Wacana
Mantja. (2007). Etnografi; Desain Penelitian Kualitatif Pendidikan dan
Manaje-men Pendidikan. Malang: Elang Mas
Themone, M. A. (2014). Gambaran Kejadian Infeksi Post Partum Pada Ibu
yang Menggunakan Kompres Panas (tatobi) di Desa Binaus Kecamatan
Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu
Kes-ehatan. Tidak Dipublikasikan. Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wa-cana.
Pillitteri, A. 1999. Maternal and Childbearing Nursing: care of theChildbearing
and cildbearing family. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
Rachmalina, S dan Wiryawan, Y. (2013). Persepsi Dan Sikap Masyarakat Desa
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tentang Melahirkan. Jurnal Kes-
ehatan Reproduksi Vol. 4 No 1, April 2013: 16-22.
Sudiana. (2013). Dampak Adaptasi Lingkungan terhadap Perubahan Fisiologis.
Procc FMIPA UNDIKSHA Vol. 3, No 1: 211-218 dalam http://ejournal.
undiksha.ac.id/index.php/semnasmipa/article/viewFile/2708/2288
Sukardi. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi
Aksara. Supariasa, dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta
Tauho, K.D., Karwur, F. F., Anwar, A. (2012). Analisa Penyebab Kematian Maternal

65
di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Tidak
Dipublikasikan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana
Waani, Engka, Supit. (2014). Kadar Hemoglobin pada Orang Dewasa yang Tinggal di
Dataran Tinggi dengan Ketinggian yang Berbeda. Jurnal e-Biomedik (eBM), Vol
2 No2
WHO. Comparative Quantification of Health Risks: Air Pollution from Household Use of
Solid Fuels. Global and Regional Burden of Disease Attributable to Selected
Major Risk Factors. WHO. Geneva 2014; 2:1435
Yulaekah. 2007. Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada
Pekerja Industri Batu Kapur (studi di desa Mrisi Kecamatan
Tanggung-harjo Kabupaten Grobogan). Thesis. UNDIP dalam
https://core.ac.uk/ download/pdf/11717890.pdf

66
4

Konsumsi Pangan dan Status Gizi Ibu-Bayi Yang


Mengikuti Tradisi Neno Bo’ha

Christiana E.H.Nuban, Ferry F. Karwur

Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana


Contact address: ferry.karwur@staff.uksw.edu

Abstrak

Tradisi 40 hari atau yang dikenal dengan Neno Bo’ha pada suku Timor merupakan
salah satu tradisi yang dikenakan kepada ibu post-partum. Dalam tradisi ini, selama 40
hari ibu post-partum biasanya hanya mengkonsumsi jagung bose, karena diyakini
mempunyai nilai gizi yang baik dan dapat merangsang produksi ASI lebih banyak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi dan status gizi ibu post-partum
dan bayi dalam tradisi Neno Bo’Ha di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah,
Kabupaten Timor Tengah Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
deskriptif yang pengumpulan datanya menggunakan teknik recall makanan selama 24
jam dan pengukuran antropometri untuk mengetahui status gizi ibu dan bayi.
Penelitian dilakukan terhadap 4 orang ibu post-partum dan 5 orang bayi usia neonatal
(1–28 hari). Hasil penelitian menunjukan nilai asupan gizi (kalori, karbohidrat,
protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1 dan C) yang diperoleh ibu
setiap hari selama 40 hari adalah berbeda-beda. Hal ini tergantung pada jumlah dan
frekuensi makan serta jenis makanan yang dikonsumsi ibu. Status gizi ditemukan ibu
post-partum memiliki berat badan rendah tingkat ringan pada minggu ke-2 hingga ke-
5. Sedangkan pada bayi ditemukan bayi diberikan susu formula, bubur instan dan
bubur ulek pada saat berusia 14 hari. Selain konsumsi, status gizi bayi mengalami gizi
buruk pada hari ke-1 hingga ke-9 dan gizi kurang pada hari ke-11 hingga ke-19.
Kata kunci: status gizi ibu post-partum dan bayi, tradisi Neno Bo’ha
A. PENDAHULUAN

Salah satu praktek budaya yang masih menjadi tradisi di Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS) adalah tradisi yang berhubungan dengan proses melahirkan.
Tradisi ini dikenal dengan sebutan Neno Bo’ha. Dalam tradisi ini, selama 40 hari
ibu post- partum biasanya mengonsumsi jagung bose (makanan dari biji jagung
tanpa kulit ari yang direbus), karena diyakini mempunyai nilai gizi yang baik dan
merangsang produksi ASI menjadi lebih banyak. Dilakukannya tradisi ini karena
sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun sehingga sulit untuk ditiadakan.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi dan status gizi
ibu post-partum dan bayi dalam konteks pelaksanaan tradisi Neno Bo’Ha.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah,


Kabupaten TTS. Partisipan penelitian terdiri dari 4 orang ibu post-partum dan 5 orang
bayi usia neonatal (1-28 hari). Penelitian menggunakan penelitian kuantitatif
deskriptif dan teknik pengumpulan datanya menggunakan recall makanan selama 24
jam. Kunjungan rumah dilakukan setiap hari ke rumah partisipan selama 40 hari. Pada
kunjungan tersebut dilakukan recall makanan yang terdiri dari jenis, jumlah dan
waktu makan 24 jam sebelumnya. Dilakukan pula observasi setiap 2 hari sekali
mengenai cara pengolahan dan penyajian makanan, sedangkan pada bayi dilakukan
observasi untuk mengetahui frekuensi dan durasi bayi mendapatkan air susu ibu
(ASI). Hasil recall makanan tersebut kemudian dijadikan data dasar untuk menghitung
nilai gizi pada bahan makanan yang dikonsumsi ibu dan bayi.

Selanjutnya untuk mengetahui status gizi ibu dan bayi, dilakukan


pengukuran dan analisis antropometri. Data-data pengukuran antropometri
tersebut sebagai berikut:
1. Berat badan (BB) dan lingkar lengan atas (LILA) ibu diukur 7 hari sekali,

68
2. Tinggi badan (TB) ibu diukur pada awal penelitian,

3. BB bayi diukur 2 hari sekali,

4. TB dan lingkar kepala (LK) bayi diukur 7 hari sekali.

Data pendukung lain diperoleh melalui teknik wawancara dan observasi.


Wawancara dilakukan secara mendalam sesuai pertanyaan yang telah disiapkan
sedangkan observasi dilakukan setiap hari selama 40 hari pada ibu post-partum
dan bayi. Hasil wawancara diterjemahkan dan dibuat dalam bentuk verbatim,
kemudian dianalisa data disajikan secara deskriptif.

E. HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Pangan Ibu Post-partum

1. Jenis Makanan

Makanan yang selalu dikonsumsi selama 40 hari oleh ibu post-partum


di Desa Binaus adalah jagung bose. Jagung bose adalah jagung pipil yang
sudah dikeluarkan kulit arinya. Jagung bose dikonsumsi dengan cara direbus
terlebih dahulu tanpa menambahkan atau mencampurkan bahan makanan lain
selain kacang hijau dan kacang tanah. Ibu berpendapat bahwa ketiga makanan
ini dapat meningkatkan produksi ASI.
Makanan yang tabu dikonsumsi oleh ibu, yaitu kacang polong karena
takut bayi mengalami diare. Selain kacang polong, garam dan lombok juga
tidak dikonsumsi oleh ibu. Garam dan lombok tidak dikonsumsi dengan
alasan akan menyebabkan perlukaan di perinium. Penelitian ini hampir mirip
dengan hasil penelitian di Sudan, selama masa nifas ibu tidak mengkonsumsi
bawang, lombok, dan kacang-kacangan karena adanya kepercayaan menganai
mitos-mitos tertentu secara turun temurun (Elneim, 2014).

69
Dilihat dari konteks budaya, keyakinan yang didasarkan pada nilai
budaya setempat mempunyai pengaruh terhadap jenis makanan yang dikonsumsi
oleh ibu post-partum. Oleh karena praktek budaya ini sudah menjadi tradisi atau
kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Menurut Foster (1973) pengaruh
unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal, dapat berlanjut dan
mempengaruhi proses sosialisasi terhadap perilaku kesehatan. Sesuatu yang
diyakini atau dipelajari sejak masih kecil akan terbawa hingga usia dewasa.

2. Nilai Asupan Gizi Ibu Post-Partum

Nilai asupan gizi yang dikonsumsi oleh ibu post-partum selama 40


hari yang diperoleh dari hasil recall makanan dihitung berdasarkan jumlah
kalori, karbohidrat, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1
dan C. Berdasarkan analisis mengenai nilai kecukupan gizi, diperoleh nilai
kecukupan gizi kalori, protein, lemak, kalsium, zat besi, vitamin A dan C pada
ibu tidak mencapai nilai standar yang ditentukan. Hal ini mempengaruhi status
gizi ibu sehingga mengalami kekurangan berat badan tingkat ringan selama 8–
40 hari. Hasil tersebut juga sejalan dengan penelitian di Vientine. Penelitian
yang dilakukan oleh Barennes dkk (2007), menemukan 25 orang ibu yang
mengalami kekurangan berat badan karena kurangnya nilai asupan kalori,
lipid, vitamin A, B1 dan C.
Penelitian ini menunjukan nilai kecukupan asupan zat karbohidrat
mencapai nilai standar yang ditentukan. Namun pada status gizi ibu ditemukan,
berat badan yang rendah. Hal ini diakibatkan karena makanan yang dikonsumsi
ibu walaupun mempunyai nilai gizi karbohidrat yang tinggi, tetapi kandungan zat
gizi protein dan lemak rendah, bahkan tidak mencukupi nilai standar yang
direkomendasikan untuk ibu post-partum. Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian yang di lakukan di Sudan yang menunjukkan 50% ibu
mengalami obesitas karena mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori (Elneim,
2014).

70
Asupan vitamin A pada salah satu orang ibu, ditemukan sangat tinggi
yakni 5590 mg pada hari ke-20. Hal ini disebabkan yang bersangkutan
mengkosumsi 54 gram sayur singkong. Sayur singkong mengandung nilai gizi
yang tinggi vitamin A dalam setiap 100 gramnya. Namun untuk hari-hari
lainnya, kecukupan asupannya di bawah nilai standar yang direkomendasikan.
Hal ini disebabkan ibu jarang mengkonsumsi makanan sumber vitamin A
seperti sayur-sayuran. Haileslassie, dkk. (2013), mengungkapkan intake
asupan gizi yang didapatkan melalui makanan yang dikonsumsi dan berada di
bawah nilai rekomendasi, memungkinkan ibu dapat mengalami gizi buruk.
Asupan nutrisi yang dikonsumsi ibu post-partum, pada penelitian ini
dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi. Menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (2011), untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sehat diperlukan asupan gizi yang cukup sesuai dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan. Sedangkan menurut Haileslassie, dkk (2013), untuk
menghindari adanya gizi buruk maka ibu perlu mengkonsumsi makanan yang
beraneka ragam dan meningkatkan konsumsi vitamin A dan C.

3. Status Gizi Ibu Post-Partum

Berdasarkan hasil perhitungan indeks masa tubuh ibu (IMT) serta


berdasarkan tinggi dan berat badan, ditemukan status IMT ibu < 18,5 sehingga
dapat dikatakan mengalami kekurangan berat badan tingkat ringan. Selain IMT,
berdasarkan hasil pengukuran LILA, sehingga ibu termasuk pada kategori 89%
berat badan kurang. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
di Laos. Penelitian yang dilakukan oleh Barennes, dkk (2007), mengatakan ibu
post-partum yang mengalami penurunun berat dan memiliki nilai IMT < 18.5,
dikarenakan tidak adanya akses ke tempat perawatan kesehatan dan tidak ada
kerja sama antara tenaga kesehatan dengan ibu setelah post-partum yang
berhubungan dengan gizi buruk. Penelitian lain yang dilakukan di Kamerun
ditemukan 3,28% ibu yang mengalami masalah gizi berat badan rendah
dikarenakan pengetahuan yang buruk pada praktik makan, pendidikan rendah dan
status sosial ekonomi ibu (Mananga, dkk. 2014).

71
Berdasarkan hasil observasi, kekurangan berat badan ibu selama 40 hari
disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai asupan nutrisi yang
rendah, adanya praktek budaya yang diikuti selama masa perawatan nifas,
konsumsi ibu yang tidak beraneka ragam, dan rendahnya pendapatan ibu. Selama
40 hari ibu hanya mengkosumsi ikan sebanyak 2 kali. Minimnya konsumsi ini
disebabkan keterbatasan ekonomi. Temuan di atas menunjukkan kesamaan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Atmawakarta (2007) bahwa status gizi
ibu dipengaruhi oleh kurangnya asupan gizi dari makanan, kurangnya
pengetahuan ibu, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, perilaku dan budaya
dalam pengelolaan makanan yang dikonsumsi.

Konsumsi Bayi

Penelitian ini menunjukan bahwa bayi sudah diberikan makanan


pendamping ASI (MP-ASI) pada usia 14 hari. Jenis makanan yang diberikan
adalah bubur beras yang diulek. Dalam konteks waktu pemberian MP-ASI,
temuan ini hampir mirip dengan penelitian yang di lakukan di Nias. Penelitian
yang dilakukan oleh Inayati, dkk (2012) menemukan 144 ibu telah memberikan
MP-ASI pada bayi mereka, sebelum usia 6 bulan.

Bayi yang sudah mendapatkan MP-ASI disebabkan karena keterbatasan


pengetahuan ibu. Pada saat bayi menangis, ibu berpikir bahwa tangisan tersebut
disebabkan oleh rasa lapar. Oleh karena itu, dengan memberikan MP-ASI, ibu
mencoba memberikan rasa nyaman kepada bayinya. Faktor lain adalah karena
memiliki saudara kembar. Berdasarkan hasil wawancara, ibu mengatakan merasa
kewalahan jika keduanya menangis pada waktu yang sama. Menurut Muiz dan
Hernanto (1998), ibu yang berpendidikan kurang yang memberikan makanan
tambahan kepada bayinya saat berusia 1–2 minggu setelah lahir. Sedangkan
kelompok ibu yang berpendidikan cukup, memberikan makanan tambahan setelah
bayinya berusia 1 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan
ibu, maka ibu lebih mudah menyerap informasi tentang MP-ASI. Ibu akan

72
lebih tahu tentang makanan pendamping ASI, lebih mengerti manfaat dan cara

pemanfaatannya sehingga MP-ASI diberikan tepat pada waktunya.

Selain MP-ASI, pada hari pertama bayi dilahirkan sudah diberikan air putih
sebagai makanan pralakteal. Alasan diberikan air putih sebagai makanan pertama bayi
adalah adanya anggapan bahwa hal ini akan membuat bayi tidak merasa kaget ketika
mendapat ASI. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wadde dan
Yadav di Lokhan di Sawargaon (2011). Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
ditemukan 40,2% ibu yang memberikan makanan pralakteal terhadap bayinya.
Makanan pralakteal yang diberikan yakni susu sapi, kambing dan madu. Penelitian
tersebut didukung juga oleh Leggese, dkk (2014), yang menemukan praktek
pemberian makanan pralakteal pada bayi di Ethiophia, dilakukan karena kebiasaan
secara temurun dan adanya keyakinan-keyakinan tertentu.

Status Gizi Bayi

Berdasarkan hasil antropometri BB/U ditemukan bayi mengalami gizi buruk


pada hari ke-1-9, dan gizi kurang pada hari ke-11-19. Hal ini disebabkan bayi
mempunyai riwayat BBLR. Berdasarkan TB/U terdapat 2 orang bayi yang status
gizinya sangat pendek dan pendek selama 40 hari. Hal ini disebabkan karena ibu
mengkonsumsi makanan yang nilai asupan gizinya tidak mencapai nilai yang
dianjurkan. Hasil penelitian di Ethiopia menemukan faktor yang berbeda dengan
penelitian ini. Pada anak usia 6-59 bulan, terdapat 47,6% mengalami stunted, 30.9%
underweight dan 16,7% wasted. Hal ini disebabkan faktor ekonomi dan pemberian
makanan pralakteal pada saat lahir (Mengisthu, 2013).

Berdasarkan BB/TB terdapat 1 orang bayi yang overweight (gemuk) pada


hari ke-3-39, hal ini disebabkan selama 40 hari bayi tersebut selalu mengkosumsi
ASI dengan rata-rata frekuensi 9 kali sehari dan durasi 5 menit. Berdasarkan
temuan di atas peneliti berpendapat bahwa pemberian ASI mempengaruhi berat
badan anak. Faktor kurang makanan tambahan yang kaya karbohidrat mungkin
ikut mempengaruhi.

73
D. KESIMPULAN

Jenis makanan yang dikonsumsi ibu post-partum selama 40 hari, dipengaruhi


oleh praktek budaya, pengetahuan ibu, dan pendapatan keluarga. Sedangkan
kecukupan kalori, karbohidrat, protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A,
B1 dan C pada ibu yang kurang dari nilai standar disebabkan jenis makanan yang
dikonsumsi ibu mempunyai nilai kecukupan gizi yang kurang. Ditemukan juga
status gizi ibu berdasarkan IMT adalah <18,5 sehingga memiliki berat badan yang
kurang, makanan yang dikonsumsi ibu tidak mengandung nilai tinggi dan tidak
beraneka ragam. Di samping itu kecukupan gizi ibu kurang dari nilai standar yang
direkomendasikan.
Bayi yang telah diberikan MP-ASI sebelum usia 6 bulan disebabkan
kurangnya pengetahuan ibu dan adanya praktek budaya yang diyakini dan dilakukan
secara turun temurun. Status gizi bayi yang mengalami gizi kurang diduga karena
makan yang dikonsumsi ibu tidak mengandung kandungan gizi yang cukup,
sedangkan jika dilihat dari status TB/U bayi termasuk sangat pendek karena

diduga faktor keturunan dari ibu.

DAFTAR PUSTAKA

Atmawkarta, A. (2007).Sasaran Pembangunan Nasional dan Proyeksi Prevalensi Gizi


Kurang pada Balita sampai dengan tahun 2025. Pertemuan Pembahasan
Dampak Pembangunan Kesehatan sampai dengan 2025 Jakarta, 8 Mei 2007.
Barennes,H., Simmala, C.,Odermatt, P., Thaybouavone, T., Vallee, J., Martinez-Ussel,B.,
Newton, P & Strobel, M. (2007). Postpartum traditions and nutrition practices
among urban Lao women and their infants in Vientiane, Lao PDR.Department of
Epidemiology, Institut Francophone pour la Me´decineTropicale, Vientiane,
Laos. European Journal of Clinical Nutrition.1–9.
Elneim, E.A.A. (2014). Dietary habits during the postpartum period among a sample of
lactating women in Sudan. Department: Nutrition and Food Science University of
Hail, Saudi Arabia. Journal of Nursing and Health Science (IOSR-JNHS).3.1.
ISSN: 2320–1959.p- ISSN: 2320–1940. 01-06.

74
Foster, G.M. (1973). Traditional societies and technologies change. New York:
Harper & and Row.
Haileslassie., Mulugetas., &Girmana.(2013).Feeding Practices, Nutrional Status and
Associated Factors of Lactacing Women in SamreWoreda, South Eastern Zone of
Tigray, Ethiopia. Nutrition Journal. 12:28.
Inayati, DA, et al. 2012. Infant Feeding Practices Among Mildly Wasted Children: A
Retrospective Study on Nias Island, Indonesia. Int Breastfeed J. 2012; 7: 3.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). MakananSehat Ibu Menyusui.
Jakarta: Direktorat Bina Gizi.
Legesse,M., Demena,M., Mesfin, F &Haile.D. (2014). Prelacteal feeding practices
and associated factors among mothers of children aged less than 24 months in
Raya Kobo district, North Eastern Ethiopia: a cross-sectional study.
International Breastfeeding Journal. 9:189.
Mananga., M-J., Kana, M.M.,Nolla, N. P.,Ekoe, T&Gouado,G.I. (2014). Feeding
Practices, Food and Nutrition Insecurity of infants and their Mothers in Bangang
Rural Community, Cameroon. Nutrition & Food Sciences.J Nutr Food Sci. 4:2.
Mengisthu,K., Alemu,K. & Destaw,B. (2013).Prevalence of Malnutrition and Associated
Factors Among Children Aged 6-59 Months at Hidabu Abote District, North
Shewa, Oromia Regional State. J Nutr Disorders. 1-15.
Muiz, Fatimah dan Hernanto. (1998). Pengetahuan ibu terhadap pesan-pesan mengenai
pertumbuhan anak dalam kartu menuju sehat. Semarang: Majalah Kedokteran
Diponegoro.
Wade, S.,K & Yadav, B., V. (2011). Prelacteal Feeding Practices in a Rural Community.
Indian Medical Gassete.337-341.

75
76
5

Riwayat Gizi Kurang dan Perkembangan


Kognitif dan Sosial Pada Balita
(Studi Kasus di Desa Binaus Kecamatan Mollo
Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan)

Sepriyanti D. Kabnani¹, Dian Toar Y.G Sumakul², Kristiani D. Tauho¹,


R.L.N.K Retno Triandini¹, Ferry F. Karwur¹

¹Fakultas Ilmu Kesehatan, ²Fakultas Bahasa dan


Seni Universitas Kristen Satya Wacana
Email: ferry.karwur@staff.uksw.edu

Abstrak

Usia awal 0–24 bulan mendasari kehidupan seseorang, sehingga apa yang terjadi pada usia
ini akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Pemenuhan gizi sebagai salah satu
kebutuhan dasar Balita terutama usia 0–24 bulan sebagai pendukung pertumbuhan maupun
perkembangan, jika tidak terpenuhi akan mempengaruhi perkembangannya. Oleh karena
itu, penelitian ini dilakukan terhadap Balita usia 3–5 tahun yang memiliki riwayat gizi
kurang atau buruk pada usia 0–24 bulan. Tujuannya untuk mengetahui status gizi dan
status kesehatan saat ini, perkembangan kognitif (kecerdasan memori jangka pendek,
memori jangka panjang, kecerdasan bahasa) dan perkembangan sosialnya (kecerdasan
interpersonal). Penelitian ini adalah studi kasus yang dilakukan di Desa Binaus, Nusa
Tenggara Timur pada tahun 2013 terhadap 10 Balita sebagai kelompok kasus dan dan 6
Balita sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok
kasus, berdasarkan indikator Tinggi Badan/Umur, 2 partisipan memiliki status gizi sangat
pendek dan 1 partisipan memiliki status kurus (Berat
Badan/Tinggi Badan), sedangkan pada kelompok kontrol semuanya memiliki status
gizi baik. Berdasarkan Berat Badan/Umur, semua partisipan memiliki status gizi baik.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
kecerdasan kognitif maupun interpersonal dengan status gizi pada kelompok kasus
maupun kontrol, karena rata-rata semua partisipan memiliki kecerdasan kognitif dan
interpersonal yang baik.
Kata kunci: Gizi kurang, kecerdasan kognitif, kecerdasan interpersonal

A. PENDAHULUAN

Secara global, populasi anak dibawah 5 tahun yang mengalami gizi


kurang sebagaimana ditunjukkan oleh data berat badan rendah, pertumbuhan yang
terhambat (stunted) dan wasting, masih sangat tinggi. Di Indonesia, prevalensi gizi
kurang pada Balita (BB/U<-2SD) sebesar 18,4% (2007) dan 17,9% (2010) serta
19,6 % (tahun 2013) (Riskesdas, 2013). Provonsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
bahkan memiliki prevalensi gizi kurang yang jauh lebih tinggi (bahkan tertinggi),
yakni >50% (Departemen Kesehatan, 2013).

Malnutrisi merupakan kejadian umum pada kelompok masyarakat miskin


dan pada mereka yang memilik akses yang kurang terhadap pendidikan kesehatan,
air bersih, dan sanitasi. Malnutrisi meningkatkan risiko penyakit, risiko kematian
awal, dan mempengaruhi semua kelompok umur.

Masa pertumbuhan dan perkembangan pada usia awal (0–24 bulan)


adalah masa-masa penting yang mendasari kehidupan seseorang. Apa yang terjadi
pada usia awal akan mempengaruhi apa yang terjadi di usia-usia selanjutnya.
Implikasinya gizi kurang di usia awal bukan saja akan mempengaruhi
kesehatannya saat itu tetapi juga perkembangan ke depan. Anak dengan gizi
kurang, memiliki perkembangan motorik, mental (kognitif, bahasa, perilaku), dan
perkembangan sosial yang dinilai lebih jelek (Argawal et. al., 1992).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status gizi dan status kesehatan
saat ini, untuk mengetahui perkembangan kognitif (kecerdasan memori jangka
pendek, memori jangka panjang, kecerdasan bahasa) dan perkembangan sosial
(kecerdasan interpersonal) Balita yang memiliki sejarah gizi kurang.

78
B. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten


Timor Tengah Selatan pada Tahun 2013, dengan partisipan 10 anak dengan riwayat
gizi kurang atau buruk pada pada usia 0-24 bulan (kelompok kasus) dan
6 anak tanpa riwayat gizi kurang atau buruk (kelompok kontrol), dan pada waktu
penelitian berusia antara 3-5 tahun. Riwayat gizi kurang dan anak gizi baik pada
masa lalu diketahui melalui buku register penimbangan Balita dari Puskesmas dan
KMS (Kartu Menuju Sehat). Dilakukan 4 jenis pengukuran data dalam penelitian
ini, yaitu a) penentuan status gizi sekarang dan riwayat status gizi sebelumnya, b)
pengukuran kecerdasan memori, c) pengukuran kecerdasan bahasa dan d)
pengukuran kecerdasan interpersonal. Persetujuan didapatkan melalui inform
consent yang ditandatangani oleh orangtua partisipan.

Penentuan Status Gizi Sekarang dan Status Kesehatan

Status gizi sekarang dari setiap responden diukur melalui pengukuran


antropometri meliputi Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB) menggunakan z-
score untuk mengetahui status gizi berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB. Teknik
pengukuran yang dilakukan menggunakan alat bantu berupa timbangan dan
meteran. Indeks Massa Tubuh (IMT) menggunakan kategori dan ambang batas
status gizi anak berdasarkan indeks WHO tahun 2005. Status kesehatan anak saat
peneliti mulai melakukan penelitian meliputi kondisi sehat-sakit yang ditanyakan
peneliti kepada orang tua dan peneliti juga melakukan observasi, penyakit yang
sedang diderita dan pengobatan yang sedang dijalani.

Pengukuran kecerdasan memori jangka pendek

Kecerdasan memori jangka pendek (short-term memory atau working


memory) yakni dapat menyimpan informasi selama 15 hingga 30 detik atau lebih,
dengan asumsi tidak ada latihan atau pengulangan. Untuk mengukurnya, peneliti
menunjukkan gambar buah-buahan (Mangga, Pepaya, Pisang, Apel, Nangka, Jeruk,

79
dan Jambu). Peneliti menyebutkan nama-nama buah yang ditampilkan dan anak
diminta mengucapkan nama-nama buah yang ditampilkan satu persatu. Untuk
mengetahui hasil memori jangka pendek peneliti menanyakan kembali (30 detik
kemudian) nama buah yang tadi disebutkan untuk mengetahui berapa gambar
yang masih diingat anak. Kemudian peneliti mencatat dan melakukan penilaian,
anak dikatakan memiliki kecerdasan memori yang kuat jika anak usia 3-4 tahun
mampu mengulang kembali 3-4 item dan anak usia 4-5 tahun mampu mengulang
kembali 5-7 item. Anak dikatakan memiliki kecerdasan memori yang lemah, jika
anak tidak mampu mengulang kembali semua nama-nama buah yang dtampilkan
dengan benar atau tidak mampu mengulang sesuai jumlah item berdasarkan usia.

Pengukuran kecerdasan memori jangka panjang

Kecerdasan memori jangka panjang (long term memory) adalah suatu


proses memori atau ingatan yang bersifat permanen, artinya informasi yang
disimpan sanggup bertahan dalam waktu yang sangat panjang. Dalam penelitian
ini peneliti melakukan penilaian setelah 3 minggu. Alat dan bahan yang digunakan
yaitu buku, pensil dan contoh gambar. Peneliti menunjukan gambar segitiga,
persegi pendek, lingkaran dan persegi panjang kepada anak, kemudian peneliti
mengajak anak menggambar (segitiga, persegi pendek, lingkaran dan persegi
panjang). Peneliti dan anak menyebutkan kembali gambar-gambar tersebut dan
peneliti meminta anak menyebutkan kembali gambar dengan tepat dan benar.
Untuk mengetahui kemampuan memori jangka panjang anak peneliti melakukan
evaluasi dengan meminta anak menyebutkan kembali gambar-gambar yang telah
diajarkan 3 minggu sebelumnya. Anak dikatakan memilik kecerdasan memori
jangka panjang jika anak mampu mengulang kembali gambar yang sudah pernah
diajarkan dengan benar.

3. Pengukuran kecerdasan bahasa

Kecerdasan bahasa (linguistik) yaitu kecerdasan dalam mengolah kata, atau

kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tertulis.

80
Aspek kecerdasan bahasa yang diukur dalam penelitian ini adalah morfem.
Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. Alat dan
bahan yang digunakan yaitu catatan daftar pertanyaan. Pengukuran perkembangan
bahasa dalam penelitian ini dilakukan dengan metode, yaitu Mean Length of
Utterance (MLU). MLU ditentukan melalui pengukuran jumlah morfem dari
kalimat yang diucapkan. Nilai MLU berbanding lurus dengan kemampuan bahasa.
Rumus perhitungan MLU adalah:
Total jumlah morfem
MLU =
Total jumlah kalimat/ucapan

Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada anak, pertanyaannya


adalah (1) Nama lengkap anak? (2) Nama panggilan anak? (3) Apa cita-cita anak
jika sudah besar? (4) Apa yang dilakukan anak setiap kali bangun tidur? (5) Siapa
yang memandikan anak? Sendiri/ dibantu? (6) Pekerjaan yang dilakukan anak saat
berada dirumah? (7) Dengan siapa anak bermain? (8) Permainan apa yang
biasanya dimainkan bersama teman-temannya? (9) Berapa kali anak makan dalam
satu hari? (10) Apa makanan kesukaan anak? (11) Apa minuman kesukaan anak?.
Peneliti mencatat pertanyaan dan jawaban anak karena pertanyaan dan jawaban

Kecerdasan interpersonal dengan keluarga

Kecerdasan interpersonal anak dengan keluarga menggunakan alat ukur


membuat instrumen berupa daftar pertanyaan dengan mengadaptasi indikator
penilaian kemampuan interpersonal anak mengacu pada teori Gardner (1993) yang
diajukan kepada orang tua, antara lain: (1) Apakah anak mampu berkomunikasi
dengan baik (memahami maksud yang dikomunikasikan) waktu berbicara dengan
orang tua atau kakak di rumah? (2) Apakah anak mampu membantu pekerjaan
dirumah tanpa paksaan dari orang lain seperti menimba air, memberikan makan
kepada ternak, mencabut rumput, mencuci piring dll, (3) Apakah anak menunjukan
rasa empati kepada orangtua atau saudara di rumah? dan serta dilakukan observasi
untuk mengetahui apakah data yang disampaikan orang tua valid atau tidak.

81
Kecerdasan interpersonal anak dengan teman sebaya

Untuk menilai kecerdasan interpersonal anak dengan teman sebaya peneliti


mengadaptasikan indikator penilaian kecerdasan interpersonal menggunakan
Gardner (1993) yaitu, dikatakan anak anak memiliki kecerdasan interpersonal,
apabila (1) Anak mudah berinteraksi dengan teman saat bermain, (2) Anak mampu
bekerjasama dengan teman saat bermain, dan (3) Anak mudah menjalin
persahabatan dengan teman sebaya. Peneliti mengajak anak bermain dengan
teman-temannya yaitu bermain memasukan pensil kedalam botol dan bermain
menggunakan balon kedua permainan ini mengharuskan anak berpasangan dengan
teman yang lain. Peneliti melakukan penilaian dengan mengobservasi anak saat
bermain dan mencatat perbincangan mereka.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Status Gizi Partisipan

1. Riwayat gizi masa lalu

Sejarah gizi masa lalu berdasarkan data penimbangan Posyandu yang


terdokumentasi di buku register posyandu dan Kartu Menuju Sehat (KMS)
setiap partisipan bisa dilihat pada Grafik 1 dan 2.
Gambar 1 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus,15 orang anak yang
memiliki riwayat gizi kurang. A1 mengalami gizi kurang usia 6 bulan (BB:
5,7) sampai usia 22 bulan (BB: 8,5). A2 mengalami gizi kurang usia 6 bulan (BB: 5,7)
sampai 14 bulan (BB : 6,5) dan usia 15 bulan (BB: 6,4) status gizi A2 menjadi gizi
buruk sampai sekarang usia 41 bulan (BB: 8,5) A2 masih mengalami gizi buruk. A3
mengalami gizi kurang usia 21 bulan (BB: 8,1) sampai usia 27 bulan
(BB: 9,2). A4 mengalami gizi kurang usia 10 bulan (BB: 6,6) sampai sekarang
berusia 42 bulan (BB: 11,8). A5 mengalami gizi kurang usia 12 bulan (BB: 6,9)
sampai 45 bulan (BB: 12,1). A6 mengalami gizi kurang usia 23 bulan (BB: 8,7)
sampai sekarang usia 53 bulan (BB:12,3). A7 mengalami gizi kurang usia 1,1
bulan (BB: 7) sampai usia 36 bulan (BB: 9,9). A8 mengalami gizi kurang pada

82
usia 17 bulan (BB: 7,2), A8 juga tamat dari posyandu usia 60 bulan (BB)
dengan masih menyandang status anak dengan gizi kurang. A9 mengalami
gizi kurang pada usia 3 bulan, A9 juga tamat dari posyandu (usia 60 bulan)
dengan masih menyandang status anak dengan gizi kurang. A10 mengalami
gizi kurang usia 22 bulan (BB: 8,5) sampai tamat dari posyandu usia 60 bulan
(BB: 12,7) dengan masih menyandang status anak dengan gizi kurang, usia 65
bulan (BB: 13,3) jadi status gizi A10 sekarang masih tergolong gizi kurang.

Gambar 1. Status Gizi Masa Lalu Kelompok Kasus

Gambar 2. Grafik Status Gizi Masa Lalu Partisipan Kelompok Kontrol

Gambar 2 menunjukan anak dengan gizinya baik atau tidak memiliki


riwayat gizi kurang (kelompok kontrol) dalam sejarah gizinya selalu baik atau
mengalami peningkatan berat badan setiap bulannya.

83
2. Status gizi sekarang

Untuk mengetahui status gizi anak berdasarkan KMS dan Z-Score. Tabel
1 menunjukkan bahwa status gizi sekarang pada kelompok kasus berdasarkan
warna grafik KMS ditemukan 1 anak dengan gizi buruk, gizi kurang terdapat
4 anak dan gizi baik terdapat 5 anak. Sementara itu, pada kelompok kontrol
semuanya memiliki status gizi baik. Berdasarkan Z-Score untuk indeks BB/U
yaitu anak yang memiliki riwayat gizi kurang dan gizi baik semuanya
mendapat indeks gizi baik, indeks TB/U untuk anak yang memiliki riwayat
gizi kurang yang memiliki postur tubuh normal 8 anak dan postur tubuh
sangat pendek 2 anak sedangkan kelompok kontrol semuanya memiliki postur
tubuh normal. Untuk indeks BB/TB untuk anak dengan riwayat gizi kurang
dan anak yang dijadikan kontrol semuanya normal.
Tabel 1. Status gizi berdasarkan KMS dan Nilai Z-Score
Warna Nilai Z – Score
Partisipan JK BB (kg) TB (cm) Umur
grafik KMS BB/U TB/U BB/TB
A1 P 11,8 84,9 38 bln Hijau (GB) -1,4 (GB) -2,9 (normal) -0,6 (Normal)
A2 P 8,5 72,4 41 bln Merah (GB) -3,5 (GB) -6,9 (sangat pendek) -0,4 (Normal)
A3 P 12,5 88,2 42 bln Hijau (GB) -1,3 (GB) -2,7 (normal) -0,8 (Normal)
A4 P 11,8 89,5 42 bln Kuning (GK) -1,7 (GB) -2,7 (normal) -0,7 (Normal)
A5 P 12,9 94,2 44 bln Hijau (GB) -1,3 (GB) -1,5 (normal) -0,8 (Kurus)
A6 L 12,3 89 53 bln Kuning (GK) -2,3 (GB) -3,9 (sangat pendek) -0,3 (Normal)
A7 P 13,6 95 57 bln Hijau (GB) -1,7 (GB) -2,8 (normal) -0,6 (Normal)
A8 L 13,1 97,1 60 bln Hijau (GB) -2,3 (GB) -2,7 (normal) -1,5 (Normal)
A9 P 13,1 96,5 60 bln Kuning (GK) -2,1 (GB) -2,7 (normal) -1 (Normal)
A10 P 14,6 98,8 62 bln Kuning(GK) -2,1 (GB) -2,7 (normal) -1 (Normal)
B1 L 14,2 95,5 43 bln Hijau (GB) 0,6 (GB) 1,2 (normal) 0 (normal)
B2 P 14,3 96,2 43 bln Hijau (GB) 0,5 (GB) 0,9 (normal) 0,3 (normal)
B3 P 12,3 88,1 46 bln Hijau (GB) 1,7 (GB) 3,2 (normal) 0,2 (normal)
B4 L 13,9 93,5 49 bln Hijau (GB) 1,3 (GB) 2,5 (normal) 0,2 (normal)
B5 L 15 95,8 59 bln Hijau (GB) 1,4 (GB) 3 (normal) 0,6 (normal)
B6 P 16,1 105,8 59 bln Hijau (GB) 0,8 (GB) 0,7 (normal) 0,3 (normal)

Keterangan:
• GB = Gizi Baik,
• GK = Gizi Kurang

84
3. Status kesehatan

Tabel 2 menunjukan bahwa status kesehatan anak dengan riwayat gizi


kurang usia 3-5 tahun yaitu 8 anak sehat dan 2 anak sakit yaitu A2 dan
A5. Peneliti berkunjung kerumah A2 pada hari kamis 8 Oktober dan A2 sakit
demam sejak 2 hari yang lalu dan orang tua sudah melakukan penanganan
dengan membawa A2 ke Puskesmas. Sedangkan A5 peneliti berkunjung
kerumahnya pada hari Sabtu 12 Oktober dan A5 juga mengalami sakit demam
sejak 4 (empat) hari yang lalu dan orang tua sudah melakukan penanganan
dengan membawa A5 ke Puskesmas.

Tabel 2. Status Kesehatan Sekarang

Status Kesehatan
Sakit
NO Inisial Hari / tanggal
Sehat Jenis Sejak
penyakit kapan Penanganan
1 A1 Kamis, 10 Okt 2013  - - -
2 hari Ke
2 A2 Kamis, 10 Okt 2013 X Demam yang lalu Puskesmas
3 A3 Jumat, 11 Okt 2013  - - -
4 A4 Jumat, 11 Okt 2013 
4 hari Ke
5 A5 Sabtu, 12 Okt 2013 X Demam yang lalu Puskesmas
6 A6 Kamis, 10 Okt 2013  - - -
7 A7 Jumat, 11 Okt 2013  - - -
8 A8 Kamis, 10 Okt 2013  - - -
9 A9 Jumat, 11 Okt 2013  - - -
10 A10 Sabtu, 12 Okt 2013 
11 B1 Senin, 14 Okt 2013 
12 B2 Senin, 14 Okt 2013 
13 B3 Selasa, 15 Okt 2013 
14 B4 Selasa, 15 Okt 2013 
15 B5 Senin, 14 Okt 2013 
16 B6 Senin, 15 Okt 2013 

85
Kecerdasan memori jangka pendek

Penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara


riwayat gizi anak dengan kecerdasan memori jangka pendek yang dimiliki oleh
anak tersebut. Pada penelitian ini, hasil antara kelompok kasus dan kelompok
kontrol menunjukkan hasil yang sama, sehingga tidak menunjukkan adanya
pengaruh antara status gizi anak dengan kecerdasan memori jangka pendek anak.
Keseluruhan hasil tes memori menunjukan semua anak yang menjadi responden
dalam penelitian ini memiliki kecerdasan memori jangka pendek yang baik.

Tabel 3. Analisa Hasil Tes Memori Jangka Pendek dan Memori Jangka Panjang

Tes Memori Jangka Pendek Tes Memori Jangka Panjang


Inisial Umur Hasil Ket Inisial Umur Hasil Ket
(bln) (bln)
A1 38 bln Mengingat 4 gambar KMK A1 38 bln Mengingat 2 gambar KML
A2 41 bln Mengingat 1 gambar KML A2 41 bln Mengingat 1 gambar KML
A3 42 bln Mengingat 5 gambar KMK A3 42 bln Mengingat 4 gambar KMK
A4 42 bln Mengingat 5 gambar KMK A4 42 bln Mengingat 4 gambar KMK
A5 44 bln Mengingat 4 gambar KMK A5 44 bln Mengingat 2 gambar KML
A6 53 bln Mengingat 6 gambar KMK A6 53 bln Mengingat 4 gambar KMK
A7 57 bln Mengingat 6 gambar KMK A7 57 bln Mengingat 4 gambar KMK
A8 60 bln Mengingat 6 gambar KMK A8 60 bln Mengingat 4 gambar KMK
A9 60 bln Mengingat 5 gambar KMK A9 60 bln Mengingat 2 gambar KML
A10 62 bln Mengingat 7 gambar KMK A10 62 bln Mengingat 4 gambar KMK
B1 43 bln Mengingat 5 gambar KMK B1 43 bln Mengingat 2 gambar KML
B2 43 bln Mengingat 6 gambar KMK B2 43 bln Mengingat 4 gambar KMK
B3 46 bln Mengingat 4 gambar KMK B3 46 bln Mengingat 2 gambar KML
B4 49 bln Mengingat 5 gambar KMK B4 49 bln Mengingat 4 gambar KMK
B5 59 bln Mengingat 4 gambar KML B5 59 bln Mengingat 2 gambar KML
B6 59 bln Mengingat 5 gambar KMK B6 59 bln Mengingat 4 gambar KMK

Keterangan:
• KMK = Kemampuan Memori Kuat
• KML = Kemampuan Memori Lemah

86
Menurut Visu-Petra et. al., (2008), memori jangka pendek distimulus oleh
proses recall. Pada hasil tes responden tidak dapat mengingat jenis buah yang tidak
pernah mereka lihat atau jenis buah yang tidak ada di Desa Binaus seperti buah apel.
Tetapi pada jenis buah lainnya yang sudah mereka lihat sebelumnya, responden dapat
mengingat dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakan hal tersebut tidak
berhubungan dengan riwayat gizi pada responden tetapi berhubungan dengan
kebiasaan seperti yang dikemukakan oleh Watson dalam Alwisol (2005). Menurut
teori Behaviorisme, apa yang diperoleh seseorang pada saat ini adalah sesuatu yang
telah dilakukannya secara berulang-ulang (berdasarkan pengalaman).
Anak-anak yang mengalami kurang gizi memperoleh perhatian yang lebih
dari orang tua. Walaupun tingkat penghasilan keluarga masuk dalam kategori rendah
karena pekerjaan utama orang tua yaitu petani, penghasilan keluarga diperoleh dari
hasil kebun yang dijual ke pasar. Keluarga mengupayakan makanan yang bergizi
untuk memperbaiki status gizi anak. Kramer et al., (1995) dengan menggunakan data
The Third National Healt and Nutrition Examination Survey (NHANES III)
menemukan adanya hubungan independen antara tingkat penghasilan keluarga yang
rendah dengan skor kognitif anak yang rendah termasuk dalam skor tes memori
jangka pendek. Tingkat penghasilan keluarga dalam penelitian ini masuk dalam
kategori rendah karena pekerjaan utama orang tua yaitu petani, penghasilan keluarga
diperoleh dari hasil kebun yang dijual ke pasar.

Kecerdasan memori jangka panjang

Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya pengaruh antara riwayat gizi anak
dengan kecerdasan memori jangka panjang yang dimiliki oleh anak. Pada penelitian
ini, hasil tes antara kelompok kasus dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang
sama, sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara keduanya.
Pada saat melakukan penelitian dengan cara mewawancarai para orang tua untuk

mengecek memori jangka panjang anak, jawab orang tua yaitu “dia sonde belajar kaka,

dia bermain sa terus” “Dia sonde belajar kaka setiap hari dia ambil buku ko coret-coret

sa” (Dia tidak pernah belajar. Dia selalu bermain setiap hari. Dia tidak

87
pernah belajar dia hanya mencoret-coret buku). Menurut Gathercole (2005), mengenal
kembali menunjukan hasil yang lebih baik daripada mengingat kembali, karena mengingat
kembali menuntut seseorang untuk bekerja dua kali yaitu membangkitkan kembali item-
item informasi yang mungkin sesuai, atau mengenalinya sebagai item yang sebelumnya
sudah disimpan. Sementara dalam mengenal kembali, informasi yang akan dipanggil akan
langsung dikenali melalui penelusuran isyarat terhadap pilihan item yang disajikan.
Menurut Tulving dan Thompson (1973), item informasi tersebut merupakan suatu isyarat
penelusuran (retrieval cues) yang memudahkan seseorang dalam mengenali kembali suatu
stimulus.

Beberapa anak baik dari kelompok anak dengan riwayat gizi baik maupun
dari kelompok anak dengan riwayat gizi kurang yang menunjukkan nilai
kemampuan memori lemah (KML) adalah mereka yang tidak melakukan recall
(memanggil kembali / mengenal kembali), jadi bukan disebabkan karena riwayat
gizi yang dimiliki anak. Jika dilihat dari prespektif lingkungan sosial anak usia
dini jika sejak awal sudah diajarkan untuk mengenal kembali apa yang sudah
dipelajari sebelumnya, hal ini akan sangat membantu anak meningkatkan
kecerdasan memori jangka panjangnya.

Kecerdasan linguistik (bahasa)

Hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan


antara riwayat gizi kurang dengan kecerdasan linguistik (bahasa). Dari 14 orang
anak yang menjadi responden dalam penelitian ini, hanya 3 orang anak dengan
riwayat gizi kurang yang memiliki tingkat kecerdasan linguistik yang rendah,
namun ada 11 orang anak lainnya yang menunjukkan tingkat kecerdasan linguistik
(bahasa) yang baik. Hal serupa juga ditunjukkan oleh anak dari kelompok kontrol.
Dari 12 orang anak yang memiliki status gizi yang baik, terdapat 2 orang anak
yang menunjukkan tingkat kecerdasan linguistik (bahasa) yang rendah, sedangkan
10 orang anak lainnya memiliki tingkat kecerdasan linguistik (bahasa) yang baik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat
gizi kurang dengan tingkat kecerdasan linguistik anak.

88
Gambar 3 a) Grafik hasil tes linguistic kelompok kasus, b) Grafik hasil
tes linguistic kelompok kontrol

Bahasa pada manusia adalah fenomena innate sekaligus culture (Hauser et. al.,
2002; Everett, 2012), input bahasa ini bisa didapatkan dari aspek budaya di mana anak itu
berkembang. Selain input melalui membaca (Krashen, 2011), interaksi sosial dalam
percakapan informal sehari-hari adalah bagian dari kultur yang merupakan salah satu
bentuk pajanan di mana seorang anak belajar bahasa (Stivers et. al., 2009), yang secara
tidak langsung akan berperan dalam perkembangan kognitif. Walaupun hidup dalam
lingkungan kemiskinan dengan riwayat gizi kurang, dalam keseharian mereka, anak
banyak terpajan kepada berbagai aktifitas budaya kolektif lewat cerita, permainan, maupun
nyanyian bersama. Ini bisa menjadi bukti bahwa bahasa dapat menjadi salah satu alat
intervensi budaya yang sensitif terhadap perkembangan kognitif.

Kecerdasan interpersonal anak dengan keluarga

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara riwayat gizi


anak dengan kecerdasan interpersonal anak dengan keluarga. Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya hasil yang sama antara anak dengan riwayat gizi
kurang dan anak dengan riwayat gizi baik. Sebagian besar hasil menunjukkan
anak-anak yang menjadi partisipan dalam penelitian ini memiliki tingkat
kecerdasan interpersonal dengan keluarga yang baik.

89
Tabel 4. Penilaian kecerdasan interpersonal anak dengan keluarga

Inisial Kelompok Inisial Kelompok


No Keterangan Kasus Kontrol
1. P1 : Anak mampu berkomunikasi dengan baik (mampu A1, A2, A3, A4,
memahami maksud dari yang dikomunikasikan) waktu A5, A6, A7, A8, B1, B2, B3, B4,
berbicara dengan orang tua atau kakak di rumah A9, A10 B5, B6

P2 : Anak mampu membantu pekerjaan dirumah tanpa A1, A3, A4, A5, B1, B2, B3, B4,
paksaan dari orang lain seperti menimba air, memberikan A6, A7, A8, A9, B5, B6
makan ternak, mencabut rumput, mencuci piring dll A10
A1, A2, A3, A4,
P3 : Anak dapat menunjukan rasa empati kepada orang A5, A6, A7, A8, B1, B2, B3, B4,
tua atau saudara dirumah B5, B6
A9, A10
2. P1 : Anak tidak berkomunikasi dengan baik (tutur katanya
halus, tidak mengeluarkan kata-kata kotor) waktu - -
berbicara dengan orang tua atau kakak di rumah

P2 : Anak tidak membantu pekerjaan dirumah tanpa


paksaan dari orang lain seperti menimba air, memberikan A2 -
makan ternak, cencabut rumput, mencuci piring dll
P3 : Anak tidak dapat menunjukan rasa empati kepada - -
orang tua atau saudara dirumah

Berdasarkan penelitian ini, pola asuh yang dilakukan orangtua di NTT


yang cenderung membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang lebih mandiri,
seperti membiasakan anak-anak melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil (contoh:
membeli keperluan dapur, mengambil barang yang ringan) menyebabkan anak
lebih senang membantu pekerjaan orang tua tanpa paksaan dan memfasilitasi
proses komunikasi informal.

Kecerdasan interpersonal anak dengan teman sebaya

Hasil penelitian kecerdasan sosial anak dengan teman sebaya di Desa


Binaus menunjukan bahwa baik anak yang memiliki riwayat gizi kurang maupun
gizi baik memiliki kecerdasan sosial yang baik. Kelompok kasus maupun
kontrolsesuai hasil observasi pada saat bermain, didapati bahwa mereka semua
mampu bekerjasama dengan teman, mampu berkomunikasi dengan baik dan
mudah menjalin persahabatan.

90
Tabel 5. Penilaian Kecerdasan Interpersonal anak denga teman sebaya

Inisial kelompok Inisial kelompok


No Keterangan
kasus kontrol
1.
P1 : Anak mudah berinteraksi A1, A2, A3, A4, A5, B1, B3, B4, B5, B6
dengan teman saat bermain A6, A7, A8, A10
P2 : Anak mampu bekerjasama A1, A2, A3, A4, A5, B1, B2, B3, B4, B5,
dengan teman saat bermain A6, A7, A8, A10 B6

P3 : Anak mudah menjalin A1, A2, A3, A4, A5, B1, B3, B4, B5, B6
persahabatan dengan teman sebaya A6, A7, A8, A10
2. P1 : Anak tidak mudah berinteraksi A9 B2
dengan teman saat bermain
P2 : Anak tidak mampu bekerjasama A9 -
dengan teman saat bermain
P3 : Anak tidak mudah menjalin
persahabatan dengan teman sebaya A9 B2

Adanya perbedaan hasil penelitian dengan penelitian yang terjadi di


tempat lain (Brown & Pollitt, 1996) bisa disebabkan oleh pola asuh orangtua di
NTT yang cenderung membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang lebih
mandiri. Anak-anak sering dibiarkan bermain sendiri pada saat orang tua sedang
bekerja. Hal ini mengakibatkan anak-anak sudah terbiasa beradaptasi dengan
teman-teman sebayanya, sehingga mereka mampu bekerja sama dan membangun
komunikasi dengan baik.

D. KESIMPULAN

Status gizi sekarang pada kelompok kasus berdasarkan grafik KMS


ditemukan 1 anak dengan gizi buruk, 4 anak dengan gizi kurang dan 5 anak dengan
gizi baik. Sementara itu, pada kelompok kontrol semuanya memiliki status gizi baik.
Berdasarkan Z-Score untuk indeks BB/U yaitu anak yang memiliki riwayat gizi
kurang dan gizi baik semuanya mendapat indeks gizi baik, indeks TB/U untuk anak
yang memiliki riwayat gizi kurang yang memiliki postur tubuh normal 8 anak

91
dan postur tubuh sangat pendek 2 anak, sedangkan kelompok kontrol semuanya
memiliki postur tubuh normal. Untuk indeks BB/TB untuk anak dengan riwayat gizi
kurang dan anak yang kontrol, semuanya normal. Analisa hasil tes memori jangka
pendek, memori jangka panjang dan kecerdasan linguistik menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan dengan status gizi, baik pada kelompok kasus maupun pada
kelompok kontrol. Demikian juga hasil penilaian kecerdasan interpersonal
anak dengan keluarga dan teman sebaya yang tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan status gizi anak pada kelompok kasus maupun kontrol. Studi
untuk mengetahui kemungkinan adanya aspek-aspek stimulasi sosial positif pada
anak-anak yang kurang beruntung dari segi status gizi, sebagai suatu “socio-
cognitive safety-net”, perlu dipelajari lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2005) Psikologi Kepribadian. Malang : Penerbit Universitas Muhammadyah


Malang.
Argarwal, D.K., Awasthy, A., Singh, P., Kumar, J., Agarwal, K.N. 1992. Growth,
Behavior, Development And Intelligence In Rural Children Between 1-3 Years
Of Life. Indian Pediatrics, volume 29 : 467-480
Brown J.L. & Pollitt E, 1996. Malnutrition, Poverty and Intellectual
Development. Scientific American February 1996 : 26-31
Gardner, Howard. (1993). Multiple Intelligencies. Jakarta, PT Gramedia Pustaka.
Gathercole, S. (2003) The development of memory. Journal of Child Psychology and
Psychiatry. vol. 39 (1) : 3-27
Hauser M.D., Chomsky N., & Fitch W.T., 2002. The Faculty of Language: What Is It,
Who Has It, and How Did It Evolve? Science. Vol 298: 1569-1579.
Kramer RA, Allen LR, Gergen PJ. 1995. Health and social characteristic and children’s
cognitive functioning: results from a national cohort. Am J Public Health.
Krashen, S. D. (2011). Principles and Practice in Second Language A c q u i s i t i o n .
Pergamon Press Inc.
Stivers, T., Enfield, N. J., Brown, P., Englert, C., Hayasho, M., Helnemann, T., et al.
(2009). Universals and cultural variation in turn-taking in conversation. PNAS,
106 (26) : 10587-10592.

92
Tulving, Endel, Donald M. Thomson. (1973). Encoding Specificity and Retrieval
Processes in Episodic Memory. PsychologicalReview. Vol. 80(5):352-373
Visu-Petra, L., Benga O., & Cheie, L. (2008). Short-term memory performance and
metamemory judgments in preschoolers using theSpence Preschool Anxiety
Scales. Cognition, Brain, Behavior. An Interdisciplinary Journal. Vol 14 :
159-182.

93
94
BAGIAN I1

Kesehatan Maternal dan Proses


Modifikasi dalam Neno Bo’Ha
6

Persepsi Masyarakat Terhadap Ibu Prenatal dan Postnatal di


Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

Yulianty Katsia Diantry Bata, Kristiani D. Tauho, Arwyn W. Nusawakan

Program Studi Ilmu Keperawatan


Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Kristen Satya Wacana
Contact address: arwyn.nusawakan@staff.uksw.edu

Abstrak

Persepsi masyarakat lokal adalah kumpulan tanggapan atau tafsiran mengenai suatu
informasi yang mereka dapatkan dari lingkungan melalui panca indera yang berkaitan
dengan cara hidup dan masih dijaga dari generasi ke generasi. Ibu hamil di Nusa Tenggara
Timur harus tunduk pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal. Ibu yang memasuki
masa hamil tua diminta bekerja lebih keras untuk mempermudah proses melahirkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap ibu
prenatal dan postnatal di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
semi terstruktur yang hasilnya disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian
mendapatkan 4 tema yaitu: aktifitas fisik selama kehamilan, pola makan ibu pada saat
hamil dan setelah bersalin, kepercayaan selama hamil, dan sikap terhadap kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan ibu hamil. Dari hasil pembahasan dapat
disimpulkan bahwa masyarakat di Desa Binaus memiliki pemahaman yang beragam
terhadap ibu hamil dan ibu setelah bersalin.
Kata kunci: persepsi, masyarakat, ibu hamil, ibu bersalin.
A. PENDAHULUAN

Dalam rangka mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium


(Millenium Development Goals/MDGs) untuk mengurangi tiga per empat jumlah
perempuan yang meninggal selama hamil dan melahirkan pada tahun 2015,
penurunan angka kematian ibu di Indonesia per 100.000 kelahiran bayi hidup
masih dianggap terlalu lamban. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan
Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012, terdapat kenaikan Angka Kematian Ibu
(AKI) yang cukup drastis dari 228 per 100.000 kelahiran menjadi 359 per 100.000
kelahiran. Dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, disebutkan penyebab
kematian ibu antara lain perdarahan, infeksi dan tekanan darah tinggi (eklampsi).

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tingkat kematian ibu masih


merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan. Berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia dalam skala Nasional, Provinsi NTT merupakan salah satu Provinsi di
Indonesia yang angka kematian ibu masih tinggi, yakni 300 per 100.000 jumlah
kelahiran, dari total 230 per 100.000 jumlah kelahiran di Indonesia (Profil
Kesehatan NTT, 2013).

Berbagai terobosan berupa kebijakan telah dilakukan Pemerintah setempat


untuk mengatasi kematian ibu seperti: Revolusi KIA, kesehatan ibu, bayi baru lahir
dan anak di bawah lima tahun (Kibla), rumah tunggu persalinan dan berbagai program
antisipasi lainnya. Namun, kasus kematian ibu dan anak, khususnya di
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) masih tergolong tinggi. Hingga Novem-
ber 2014, kasus kematian ibu dan anak yang terekam di Dinas Kesehatan (Dinkes)
Kabupaten TTS berjumlah 20 orang, sementara pada tahun 2013 kasus kematian
ibu dan anak berjumlah 24 orang (Profil Kesehatan Kabupaten TTS, 2013).

Untuk mengantisipasi kasus tersebut, Pemkab TTS pada pertengahan


November tahun 2014 mendeklarasi 7 aksi KIA yakni ibu hamil wajib melakukan

pemeriksaan di sarana kesehatan, pemberian tablet tambah darah, imunisasi tetanus

toksit, persalinan di sarana kesehatan, perawatan bayi baru lahir, imunisasi dan KB

98
pasca persalinan. Melalui 7 aksi itu, diharapkan dapat menurunkan kasus
kematian ibu dan anak di Kabupaten TTS (Wulaningsih & Batubara, 2012)
Tingkat kematian ibu dan anak mencakup beberapa faktor yang
mempengaruhi, diantaranya faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis berkaitan
dengan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang belum memadai baik dari
segi jumlah dan kualitas, sumber daya manusia maupun sarana penunjang. Untuk
faktor non teknis berhubungan dengan aspek sosial atau tingkah laku masyarakat
(Saptono, 2013).

Kemiskinan, akses terhadap pembangunan yang belum merata, serta faktor


budaya yang menyangkut pemanfaatan sarana kesetahan yang tersedia serta adanya
mitos dan tabu pun mempengaruhi masalah ini. Ibu hamil di NTT harus mengikuti
kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal. Sebagai contoh, di Kabupaten Kupang, ibu
yang memasuki masa hamil tua diminta bekerja lebih keras untuk mempermudah
proses kelahiran. Ibu yang sedang hamil dilarang mengkonsumsi ikan, dengan alasan
air susu ibu akan berbau amis. Di Kabupaten TTS ibu yang baru melahirkan hanya
diberi makan jagung bose tanpa garam. Jagung bose adalah salah satu makanan khas
Nusa Tenggara Timur khususnya daratan Timor, yang di dalamnya banyak
mengadung karbohidrat dan dapat dijadikan sebagai pengganti nasi. Jagung bose
mengandung protein 9,6 gram dari 100 gram bahan baku. Kandungan energi
(kalori) jagung lebih besar dari beras. Kandungan kalori pada setiap 100 gram beras
360 kalori, sedangkan jagung 368 kalori (Mahmud dkk, 2009). Ada juga larangan
yaitu untuk tidak memberikan air susu pertama kepada bayi, karena dianggap kotor.
ASI yang keluar pertama kali dan berwarna agak kuning itu dinilai kotor oleh
masyarakat. Mitos-mitos dan kepercayaan lokal ini mengalahkan informasi-informasi
kesehatan yang datang dari luar (Saptono, 2013).
Fenomena-fenomena di atas mengisyaratkan bahwa terdapat perbedaan cara
pandang terhadap ibu prenatal (masa sebelum melahirkan/hamil) dan postnatal
(masa setelah melahirkan) yang telah terbangun pada masyarakat setempat. Hal
ini membuat studi mengenai memahami persepsi masyarakat lokal tersebut
menjadi sangat menarik untuk dilakukan.

99
B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian ini


dilaksanakan di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, selama 1 minggu, dari tanggal 17 Juli
sam-pai dengan 25 Juli 2015. Partisipan dalam penelitian ini adalah anggota
masyarakat di Desa Binaus yang pernah melayani ibu hamil, ibu bersalin, dan
pernah atau sedang hamil. Secara spesifik partisipan penelitian ini adalah kader
posyandu, nenek urut (dukun beranak), ibu hamil, ibu pasca bersalin, dan ibu yang
telah berpengalaman dalam proses prenatal hingga postnatal lebih dari satu kali.
Partisipan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan purposive
sampling dengan pertimbangan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian.
Untuk memperoleh data digunakan teknik pengumpulan data wawancara dan
observasi partisipasif. Langkah dalam menganalisa data yaitu hasil wawancara
dibuat dalam bentuk verbatim, lalu disusun tema dan ditampilkan secara
deskriptif. Peneliti juga melakukan observasi terhadap informasi yang telah
dikatakan oleh partisipan dengan terlibat dalam aktifitas harian partisipan,
khususnya mengamati makanan yang dikonsumsi oleh ibu bersalin.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bagian ini akan dipaparkan tema-tema yang diperoleh dari proses

reduksi data. Adapun tema-tema tersebut meliputi:

1. Aktifitas fisik selama kehamilan

2. Pola makan ibu pada saat hamil dan setelah bersalin

3. Kepercayaan selama hamil

4. Sikap terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan ibu hamil dan ibu

bersalin

100
Aktifitas fisik selama kehamilan

Aktifitas fisik ibu selama kehamilan berpengaruh terhadap kesehatan dirinya


dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Aktifitas fisik selama kehamilan dapat
meningkatkan kebugaran kardiorespirasi, menurunkan berat badan kehamilan dan
menurunkan risiko preklampsia (Manuaba,1998). Aktifitas fisik pada ibu hamil akan
meningkatkan proses metabolisme tubuh. Peningkatan metabolisme ini akan
meningkatkan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan selama proses metabolisme itu
sendiri (Muhimah dan Safe’, 2010). Jenis aktifitas yang dapat ibu hamil lakukan
seperti: senam hamil, jalan santai, dan berenang. Hal ini juga yang dianjurkan untuk
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Desa Binaus kepada ibu hamil yang ada agar dapat
melakukan senam atau olahraga untuk meminimalisir gangguan kehamilan yang
muncul misalnya kelelahan, mudah sakit punggung dan pusing.

Akan tetapi, persepsi yang dibangun oleh masyarakat di Desa Binaus bahwa
aktifitas fisik atau olahraga selama kehamilan dapat dipenuhi melalui kegiatan sehari-
hari yang mereka lakukan, seperti pergi ke kebun dan mengambil air di sungai. Hal ini
dilakukan dengan anggapan bahwa aktifitas tersebut akan memudahkan ibu hamil di
saat proses persalinannya nanti. Hal ini sependapat dengan Andrew dan Boyle (2008)
tentang perilaku suku Indian bahwa ibu yang aktif secara fisik selama kehamilan dapat
membantu pernapasan bayi (Andrews & Boyle, 2008).

Fakta ini ingin menunjukan bahwa konsep aktifitas fisik dipahami oleh
masyarakat umum tidak harus sebagai olahraga atau exercise, namun bisa
dipahami sebagai aktifitas fisik yang dapat dilakukan dalam kegiatan sehari-hari.

Pola makan ibu pada saat hamil dan setelah bersalin

Salah satu faktor yang akan menentukan kualitas bayi yang dilahirkan
sangat tergantung pada keadaaan gizi ibu sebelum dan selama hamil (Mitayani,
2010). Status gizi merupakan hal penting untuk diperhatikan selama masa
kehamilan karena berpengaruh terhadap status kesehatan ibu serta pertumbuhan
dan perkembagan janin yang dikandung. Bila gizi ibu normal pada masa sebelum

101
dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat dengan

berat badan yang normal.

Secara medis, gizi pada saat kehamilan adalah zat makanan yang dibutuh-
kan oleh ibu hamil setiap hari dan mengandung zat gizi seimbang dengan jumlah
sesuai kebutuhan yaitu energi, kalori, zat besi, protein, mineral, kalsium dan
vitamin (Kusmiati, 2008; Almatsier, 2009; Mitayani, 2010; Aritonang, 2010).

Persoalan makan bukanlah hanya tentang asupan biologis saja. Makan


dan makanan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek termasuk psikis,
spiritual, dan sosial budaya (Koentjaraningrat, 2009). Pada konteks di Desa
Binaus, masyarakat meyakini bahwa tidak semua makanan yang kaya nutrisi
dapat dikonsumsi oleh ibu hamil maupun ibu setelah bersalin. Mereka yang sudah
bersalin hanya diperbolehkan untuk makan makanan khas Masyarakat Timor yaitu
jagung bose yang tidak boleh dicampur dengan bahan makanan lain.
Namun, dengan adanya perkembangan ilmu dan kebijakan pemerintah saat
ini khususnya di bidang kesehatan mengenai gizi ibu hamil dan ibu setelah bersalin,
maka ada beberapa hal yang membuat pergeseran pola makan. Salah satu contoh
adalah adanya kebijakan yaitu Revolusi KIA. Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu
prenatal dan postnatal tidak hanya makan jagung bose, tetapi sudah
mengkombinasikan makanan mereka dengan minum susu, makan kacang hijau, dan
makan daging. Secara umum, penelitian ini mau menegaskan bahwa kepercayaan
terhadap pantangan makanan pada ibu hamil maupun ibu setelah bersalin di sebuah
budaya akan mempengaruhi apa yang di makan oleh ibu tersebut.

Kepercayaan selama hamil

Keyakinan adalah sesuatu yang dianggap aktual atau benar atas dasar-dasar
pemikiran tertentu atau model jelas (Andrews dan Boyle, 2008:94). Kepercayaan yang
dimiliki masyarakat lokal dan masih diteruskan ke generasi selanjutnya menunjukan
bahwa kepercayaan tersebut masih dipandang relevan untuk dijalani.
Sebab, sebagaimana menurut Parsons (1968), tradisi merupakan hasil dari kebiasaan

102
manusia yang telah dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan berfungsi
sebagai penuntun dalam melakukan apa yang dapat diterima atau sesuai dengan
kehidupan masyarakat dimana individu itu berada.
Pada ibu hamil di Vietnam misalnya, Andrews dan Boyle (2008)
mengatakan tidak diperbolehkan berjalan di siang hari atau pada jam 5 sore karena
dapat membuat roh marah, sedangkan pada masyarakat kulit hitam di Amerika,
tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar atau foto saat hamil karena dapat
menyebabkan “stillbirth” atau lahir mati. Sedangkan pada masyarakat Filipina ada
kepercayaan bahwa ibu hamil yang mandi setiap hari dan menggunakan shampoo,
mengakibatkan bayi yang dilahirkan akan bersih
Dalam konteks Masyarakat Binaus, masih terdapat kepercayaan bahwa
ibu hamil ketika mereka pergi ke luar rumah harus selalu membawa benda tajam,
misalnya pisau, kunci atau paku. Hal ini bertujuan untuk melindungi bayi dan
dirinya mereka dari kuasa roh jahat/setan. Untuk ibu bersalin diwajibkan untuk
menjalankan tradisi tatobi (mengompres) dan dipanggang di atas bara api.
Kepercayaan-kepercayaan seperti ini merupakan tradisi turun temurun yang
diteruskan dari nenek moyang. Tradisi ini tetap ada karena disampaikan dan
dipahami oleh generasi selanjutnya sebagai sesuatu yang perlu dipercayai karena
diyakini sebagai suatu yang akan membuat mereka aman.

Sikap terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan ibu


hamil dan ibu bersalin
Bagian ini berkaitan dengan pemilihan atau keputusan ibu menggunakan

layanan kesehatan ketika hamil dan bersalin yang dalam kebijakan pemerintah para

ibu di dorong untuk mengikuti layanan kesehatan yang disediakan pemerintah.

Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintah, bukan saja dalam


arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance
yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik (Suharto, 2008). Pada tahun
2011 Pemerintah Pusat meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan ( JamPersal),

103
yang memberikan pelayanan kepada para ibu hamil dan bersalin secara gratis. Hal
serupa juga dilaksanakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Program Revolusi
Kesehatan Ibu dan Anak (Revolusi KIA) yang telah ditetapkan melalui Peraturan
Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 42 tahun 2009 yang isinya mewajibkan ibu
hamil supaya melahirkan di Rumah Sakit atau Puskesmas, Jika peraturan ini dilanggar
maka yang bersangkutan akan dikenakan denda (Profil Kesehatan NTT,
2013)

Di Desa Binaus, sebagian partisipan memandang hal ini sebagai sesuatu yang
baik, karena dengan mengikuti peraturan yang ada mereka akan mendapatkan layanan
kesehatan yang baik dan menghindarkan mereka dari denda yang menurut mereka itu
cukup membebani. Sejak adanya Revolusi KIA ibu hamil yang akan melahirkan akan
segera dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit yang ada.

E. KESIMPULAN

Masyarakat Desa Binaus memiliki pemahaman yang beragam terhadap ibu


hamil dan ibu setelah bersalin, seperti aktifitas fisik selama hamil diterjemahkan
dengan melakukan kegiatan atau rutinitas sehari-hari yang dimaknai atau dipahami
sebagai olahraga; pola makan yang berubah dari hanya makan jagung bose saja
hingga ke makan makanan apa saja; kepercayaan untuk melindungi diri dan bayi agar
sehat dan selamat; dan sikap terhadap kebijakan pemerintah terkait penyediaan
layanan kesehatan pada ibu hamil yang dipandang baik oleh masyarakat.

Pemahaman ini menunjukkan bahwa dalam persepsi masyarakat Binaus


telah terjadi perjumpaan antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai yang
modern. Hal ini berarti bahwa budaya dan masyarakat setempat bersifat dinamis
dan terbuka terhadap perubahan, selama hal tersebut membawa kebaikan.

104
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Andrews, M.M., Boyle, J.S. (2008). Transcultural Concepts in Nursing Care (5nded).
New York: Lippincott, Williams, & Wilkins.
Aritonang E. (2010). Kebutuhan Gizi Ibu Hamil. Bogor: IPB Press.
Badan Pusat Statistik. (2013). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. BPS:
Jakarta
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. (2013). Profil Kesehatan Nusa
Tenggara Timur 2012. Kupang: Dinkes NTT.
Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan. (2013). Profil Kesehatan Kabupaten
Timor Tengah Selatan 2012. Soe: Dinkes TTS.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Kusmiati,
dkk. (2008). Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan. Yogyakarta: Fitramaya.
Mahmud, M.K, Hermana, dkk. (2009). Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta:
Persatuan Ahli Gizi Indonesia.
Manuaba, I.B.G. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk
Penelitian Bidan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Mitayani. (2010). Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta : Tim
Muhimah, N., Safe’i, A. (2010). Panduan Lengkap Senam Sehat Khusus Ibu Hamil.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Power Books.
Parsons, T. (1968). Knowledge and Society – American Sociology. New York: Basic
Books.
Saptono, I. (2013). Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu. Jakarta: INFID.
Suharto, E. (2008). Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta
Wulaningsih, I., dan Batubara, S. O. (2012). Bendera dan Rumah Singgah Persalinan
Aman, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam http://igi.fisipol.ugm.ac.id/
index.php/id/persalinan-aman?sobi2Task=sobi2Details&sobi2Id=62

105
106
7

Tatobi dan Infeksi Postpartum di Desa Binaus

Maria A. Themone, Ferry F. Karwur, Kristiani D. Tauho

Fakultas Ilmu Kesehatan


Universitas Kristen Satya Wacana
Alamat kontak: ferry.karwur@staff.uksw.edu

Abstrak
Kematian maternal di negara-negara berkembang masih mengkuatirkan, termasuk di
Indonesia. Salah satu Provinsi yang menyumbangkan Angka Kematian Ibu terbesar adalah
provinsi Nusa TenggaraTimur, yaitu sebesar 306/100.000 kelahiran hidup, jauh di atas
angka nasional yakni 248/100.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab kematian ibu
tersebut adalah infeksi postpartum. Di daerah miskin di pedesaan Nusa Tenggara Timur
faktor klinis, akses wilayah, akses fasilitas kesehatan, bersama-sama dengan keadaan
sosial-ekonomi, dan aspek sosial-kultural berinteraksi secara simultan dan menciptakan
keadaan-keadaan kritis bagi terciptanya situasi kegawatan melahirkan yang menimbulkan
kematian ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan kenyataan empirik dari
faktor-faktor klinis, akses, keadaan ekonomi keluarga, dan tradisi melahirkan dan
postpartum dari ibu yang mengalami infeksi postpartum. Penelitian dilaksanakan di Desa
Binaus, salah satu desa di dataran Timor, selama 4 bulan, dari bulan Agustus sampai
dengan November 2012 dengan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam tentang riwayat persalinan, postpartum, serta kejadian
infeksi postpartum yang dialami oleh 9 ibu dari 25 orang ibu yang melahirkan pada
periode penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua riset partisipan, baik yang
bersalin di rumah atau di fasilitas kesehatan dengan penolong bidan, dokter, keluarga atau
dukun bersalin melakukan perawatan postpartum tradisional yaitu tatobi dan se’i. Dari 25
orang ibu yang melahirkan, 9 ibu menunjukan gejala-gejala terinfeksi di daerah jalan lahir.
Tatobi dilakukan bukan hanya karena tradisi, tetapi karena beberapa ibu yang melahirkan
di rumah tidak bisa melakukan kunjungan nifas dengan alasan kebijakan kesehatan di
daerah ini yang mengharuskan ibu membayar
denda, serta adanya sanksi bahwa ibu tidak akan mendapat pelayanan kesehatan.
Faktor ekonomi menjadi aspek lain yang mempengaruhi ibu untuk melakukan
kunjungan nifas ke tenaga kesehatan.

Kata kunci: Ibu bersalin, infeksi postpartum, tradisi Timor, tatobi

A. PENDAHULUAN

Kematian maternal di banyak negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia,


masih mengkuatirkan. Di antara Negara ASEAN, Indonesia masih merupakan negara
yang tinggi tingkat kematian maternal. Sebelas tahun lalu (2005) Angka Kematian Ibu
(AKI) di Indonesia sebanyak 307/100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2007) dan
menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan tingkat kematian maternal tertinggi se-
ASEAN (AntaraNews.com, 2006). Di negara ASEAN lain, AKI jauh lebih rendah:
Malaysia sebesar 36/100.000 kelahiran hidup, Singapura sebesar 6/100.000 kelahiran
hidup, dan Vietnam 160/100.000 kelahiran hidup (Depkes, 1998). Salah satu Provinsi
di Indonesia yang menyumbangkan AKI terbesar adalah Provinsi Nusa Tengara Timur
(NTT), dengan 306/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008/2009. Angka ini jauh di
atas angka nasional yakni
248/100.000 kelahiran hidup.

Secara klinis telah diketahui faktor-faktor utama kematian maternal, yakni:


perdarahan, gangguan hipertensi, infeksi, aborsi yang tidak aman, persalinan lama dan
penyebab langsung maupun tidak langsung lainnya, termasuk anemia dan HIV/AIDS
(Khan et al., 2006). Namun demikian, faktor-faktor non-klinis merupakan determinan
penting apakah kematian maternal masih dapat dihindari.
Kematian maternal paling banyak terjadi pada daerah yang memiliki kesulitan akses
daerah, seperti di pedesaan, di mana wanita tidak dapat mengakses bidan terlatih atau
memperoleh pelayanan fasilitas yang memadai, pada saat terjadi komplikasi
melahirkan (Fortney et al., 1988; Tauho dkk, 2012, belum dipublikasikan).

108
Di pedesaan NTT, kematian maternal yang tinggi tidak dapat dijelaskan
hanya oleh faktor klinis, akses wilayah, dan fasilitas kesehatan saja. Faktor-faktor
tersebut bersama-sama dengan keadaan sosial-ekonomi, dan aspek sosial-kultural
berinteraksi secara simultan dan menciptakan keadaan-keadaan kritis bagi
terciptanya situasi kegawatan melahirkan yang menimbulkan kematian ibu.
Tulisan ini secara khusus melaporkan kenyataan empirik dari faktor-faktor klinis,
akses, keadaan ekonomi keluarga, dan tradisi melahirkan dan postpartum dari 9
ibu yang mengalami infeksi postpartum di Desa Binaus.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Desa Binaus selama 4 bulan, dari bulan


Agustus sampai November 2012. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
mempelajari secara retrospektif aspek sejarah kehamilan, kejadian kelahiran,
praktek post-partum, serta kejadian infeksi post-partum. Subjek penelitian dipilih
berdasarkan status penyakit/outcome, kemudian dilakukan pengamatan apakah
subjek mempunyai riwayat yang dipengaruhi oleh faktor medis dan atau faktor
lain. Penelitian dilakukan melalui kajian secara kualitatif dengan metode
wawancara mendalam (indepth interview) terhadap ibu-ibu postpartum untuk
melengkapi informasi mengenai kronologi terjadinya infeksi pada ibu postpartum.

Jumlah ibu postpartum diperoleh dari data Posyandu Desa Binaus, sebanyak
25 orang wanita post-partum. Kepada riset partisipan tersebut dilakukan wawancara
awal untuk mengetahui di antara mereka yang menunjukkan adanya kejadian infeksi
postpartum. Dari mereka diperoleh data 9 ibu yang diduga mengalami kejadian
infeksi, sehingga wawancara mendalam dilakukan terhadap ke-9 ibu tersebut. Data
sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi seperti rekam medis pasien, catatan asuhan
keperawatan/kebidanan dan foto, setelah memperoleh persetujuan.

109
C. HASIL PENELITIAN

Gambaran Partisipan Dalam Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 ibu yang mengalami infeksi post-


partum berada dalam rentang usia 22-49 tahun. Lima diantaranya hanya menamat-
kan pendidikan dasar, dan hanya 1 orang yang menamatkan pendidikan
menengah, sedangkan selebihnya menamatkan pendidikan atas. Seluruh partisipan
penelitian yang mengalami infeksi bekerja sebagai ibu rumah tangga, dengan
riwayat obstetrik terbanyak gravida dua, sebanyak 5 orang, gravida satu sebanyak
2 orang dan gravida tiga dan empat masing-masing 1 orang.
Tabel 1. Identitas ibu dengan infeksi postpartum

No Inisial Usia Pendidikan Pekerjaan Riwayat Obstetri


(thn) terakhir
G P A
1 Ny.SOB 22 SMP IRT 2 2 0
2 Ny. RT 31 SD IRT 2 2 0
3 Ny. DO 24 SD IRT 2 2 0
4 Ny. MT 32 SMA IRT 2 2 0
5 Ny. DL 22 SD IRT 1 1 0
6 Ny. IB 33 SD IRT 3 3 0
7 Ny. MTs 27 SD IRT 2 2 0
8 Ny. ES 49 SMA IRT 4 4 0
9 Ny. EO 27 SMA IRT 1 1 0

Riwayat Persalinan dan Postpartum

Tabel 2 menunjukkan riwayat persalinan dan postpartum ibu yang


mengalami infeksi postpartum di Desa Binaus. Terdapat 7 orang ibu yang bersalin
secara spontan, baik di rumah, di RSUD Soe maupun di Puskesmas Pembantu
(Pustu) Desa Binaus. Sementara itu, 2 orang ibu lainnya melahirkan dengan cara

110
operasi sectio cesarean di RSUD Soe. Empat orang ibu yang melahirkan di rumah

tidak ditolong oleh tenaga kesehatan mempengaruhi perawatan postpartum mereka.

Perawatan postpartum yang dimaksud adalah tatobi, se’i dan kunjungan nifas.

Tabel 2. Riwayat persalinan dan postpartum ibu dengan infeksi postpartum

Riwayat persalinan Riwayat Postpartum


No Nama Luka jalan
Jenis Tempat Penolong Tatobi Se'i Kunjungan nifas
lahir
1 Ny.SOB Spontan Rumah Bidan Episiotomi 2x/hari Dimodifikasi Kunjungan bidan setiap minggu
2 Ny. RT Spontan Rumah Ibu mertua Tidak ada 4x/hari Dimodifikasi Tidak dilakukan
3 Ny. DO Spontan Rumah Dukun bersalin Tidak ada 10x/hari Murni Tidak dilakukan
4 Ny. MT Spontan RSUD Bidan Episiotomi 2x/hari Dimodifikasi 2x di RSUD
2x di Pustu kemudian dirawat selama
5 Ny. DL SC RSUD Dokter dan bidan SC 1x/hari Dimodifikasi 1 minggu di RSUD karena benang
jahitan terlepas
6 Ny. IB Spontan Pustu Bidan Episiotomi 2x/hari Dimodifikasi 2x di Pustu
7 Ny. MT SC RSUD Dokter dan bidan SC 3x/hari Dimodifikasi 1x di RSUD
8 Ny. ES Spontan Rumah Dukun bersalin Tidak ada 3x/hari Murni Kunjungan mantri 2x
9 Ny. EO Spontan Rumah Dukun bersalin Tidak ada 4x/hari Murni Tidak dilakukan

Tatobi merupakan tradisi dari Suku Timor bagi ibu postpartum.


Masyarakat lebih cenderung memilih menggunakan tatobi sebagai pengobatan ibu
postpartum secara turun temurun. Kegunaan tatobi pada ibu postpartum antara
lain untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit pada daerah vagina,
mengeluarkan sisa darah kotor dari dalam tubuh, dan menjaga agar tubuh tetap
kuat. Penelitian ini menunjukkan bahwa semua ibu postpartum, entah itu di
Rumah Sakit atau bukan, melaksanakan praktek tatobi, walaupun dengan
frekuensi yang sedikit beragam dalam sehari.

Alat dan bahan yang digunakan ibu saat tatobi adalah kain tenun Timor
seperti kain selimut, sarung, selendang. Tatobi dilakukan selama 40 hari 40
malam yaitu pada pagi dan sore hari setelah ibu melahirkan di rumah tradisional
masyarakat Timor yang disebut sebagai ume kbubu. Tatobi dilakukan dengan
menggunakan air mendidih, yang kemudian dikompreskan ke tubuh ibu yang
sebelumnya sudah dilumuri minyak kelapa murni terlebih dahulu sebagai cara
untuk menghindari efek panas yang berlebihan dari air mendidih yang digunakan.

111
Praktik tatobi yang dilakukan oleh 9 ibu postpartum di Desa Binaus pada
umumnya sama yaitu kompres dimulai dari tubuh bagian perut, belakang dan
berakhir pada bagian jalan lahir. Praktik ini dilakukan secara terus-menerus yaitu
2 sampai 10 kali sehari didalam rumah bulat.
Praktik tatobi secara terus menerus akan mengenai jaringan yang dapat
merusak sel-sel epitel, menyebabkan kemerahan, rasa perih, bahkan kulit menjadi
melepuh hingga mengeluarkan nanah. Selain itu infeksi juga terjadi karena praktik
tersebut dilakukan didalam rumah bulat yang mana kondisinya penuh dengan
debu dari tungku api dengan berbagai macam kuman patogen sehingga partisipan
lebih mudah terinfeksi saat diberikan tatobi.
Tradisi se’i adalah tradisi menghangatkan tubuh ibu dan bayi di ume kbubu
selama 40 hari. Bahan bakar yang digunakan di rumah bulat ini adalah bahan bakar
kayu, sehingga walaupun bisa menghangatkan tubuh ibu dan bayi, bisa juga
menimbulkan asap pekat yang sangat mengganggu pernapasan ibu terlebih bayi.
Di sisi lain, asap pekat menurut mereka merupakan pengawet yang baik untuk
bahan makanan yang terdapat dalam lumbung rumah bulat tersebut. Hal ini yang
menjadi permasalahan sehingga oleh motivasi dari tenaga kesehatan dan
kesadaran masyarakat, tradisi se’i ini dimodifikasi oleh 6 orang ibu, dengan cara
tidak tinggal di dalam rumah bulat, tetapi di dalam rumah kotak dan sumber
penghangat didapatkan dari tumpukan arang yang diletakkan di kolong tempat
tidur dan diganti secara berkala. Ketiga orang ibu yang secara murni melakukan
tradisi se’i berdasarkan hasil wawancara mengatakan bahwa mereka hanya
mengikuti apa kata dukun bersalin dan keluarga.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa 3 orang ibu tidak melakukan kontrol
kesehatannya di fasilitas kesehatan. Mereka mengaku takut dengan adanya peraturan
pemerintah yang ditetapkan bahwa setiap ibu hamil yang melakukan persalinan di
rumah dibantu oleh dukun bersalin tidak akan mendapatkan pelayanan kesehatan di
Pustu. Oleh sebab itu, partisipan lebih memilih untuk menggunakan pengobatan
tradisional tatobi dari pada menggunakan fasilitas kesehatan yang ada,

112
sebagaimana kesaksian salah satu partisipan penelitian:

“Tidak bisa nona, nanti tidak dilayani karena su ada peraturan baru kalo
melahirkan dirumah ko ada apa-apa bidan tidak tolong. Itu waktu saya
melahirkan di dapur bukan di pustu atau rumah sakit jadi saya tidak
berani ketemu ibu bidan.”(Ibu DO)

Walaupun begitu, hal ini tidak berarti ibu-ibu yang melakukan kunjungan
nifas tidak mengalami infeksi. Tujuh orang ibu yang melakukan kunjungan nifas, baik
yang pergi ke bidan ataupun dikunjungi oleh bidan mengalami infeksi dengan tanda
dan gejala yang tidak berbeda jauh dengan ibu yang tidak melakukan kun-jungan
nifas. Menurut hasil wawancara, ibu-ibu pada umumnya mengalami infeksi karena
proses tatobi yang dilakukan, seperti yang dikatakan beberapa ibu berikut:

“Iya nona saya hanya tatobi selama 2 minggu sa, itu saya pung jahitan
talepas baru sakit minta ampun. Dokter deng bidan su larang ko jang
tatobi tapi nenek deng mama dong paksa harus tatobi supaya darah kotor
dong keluar dan pas anak su besar kita tidak sakit-sakit. Jadi saya ikut sa
nenek deng mama pung omong”(Ibu DL).

“Saya takut stengah mati nona ko tidak bisa tidur malam-malam nona. Itu
waktu dokter yang periksa saya di RSU. Dokter bilang itu karna saya
kompres pake air panas andia ko dia pung jahitan sonde kuat lai ko sampe
bengkak. Tapi untung bidan dong berobat baru kasih saya obat ko minum
andia ko sampe sekarang saya pung jahitan tidak sakit lai”(Ibu MT).

Kejadian infeksi postpartum

Hasil penelitian pada tabel di bawah menunjukkan bahwa kejadian infeksi


pada jalan lahir mulai menunjukkan tanda dan gejala pada hari ke-5 hingga hari
ke-21 postpartum.

Tanda yang muncul pada umumnya adalah peningkatan suhu tubuh, terjadi
pembengkakan pada vagina, dan rubor (vagina berwarna kemerahan), hingga keluar

nanah berwarna kuning kehijauan, orange dan lochea (keputihan). Sedangkan gejala

113
yang muncul yaitu dolor (vagina terasa nyeri atau perih ketika disentuh), kalor
(vagina terasa panas ketika disentuh) dan terasa gatal pada vagina. Tanda fungsio
laesa yang merupakan perubahan atau penurunan fungsi vagina tidak bisa diukur,
karena vagina sebagai liang senggama belum difungsikan pada periode 40 hari.

Tabel 3. Kejadian infeksi pada ibu postpartum di Desa Binaus

Waktu Gejala dan tanda infeksi yang muncul


No Nama Fungsio
diketahui Dolor Tumor Kalor Rubor Lain-lain
laesa
Keluar nanah berwarna kuning
1 Ny.SOB 21 hari Terasa perih Ya Tidak Tidak Tidak
kehijauan bercampur darah
2 Ny. RT 5 hari Terasa nyeri Ya Ya Ya Tidak Tidak ada
Pusing, demam, terasa gatal
3 Ny. DO 21 hari Tidak ada Ya Ya Ya Tidak
pada jalan lahir, keluar lochea
4 Ny. MT 7 hari Terasa perih Ya Ya Ya Tidak Tidak ada
Keluar nanah berwarna kuning
5 Ny. DL 14 hari Terasa nyeri Ya Tidak Tidak Tidak
dan ibu mengalami demam
6 Ny. IB 21 hari Terasa nyeri Ya Ya Ya Tidak Tidak ada
Terasa gatal dan ibu mengalami
7 Ny. MT 7 hari Terasa perih Ya Ya Tidak Tidak
demam
Keluar nanah berwarna orange
8 Ny. ES 5 hari Tidak ada Ya Ya Ya Tidak
bercampur putih
9 Ny. EO 12 hari Terasa perih Ya Ya Ya Tidak Tidak ada

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi postpartum

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan adanya beberapa faktor yang

mempengaruhi kejadian infeksi postpartum antara lain pelaksanaan kebijakan

kesehatan, kondisi sosial-ekonomi, aspek sosial-budaya dan faktor lingkungan fisik.

1. Pelaksanaan kebijakan kesehatan

Hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat beberapa partisipan yang


tidak melakukan kontrol kesehatannya di fasilitas kesehatan karena adanya
peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan bahwa bagi partisipan yang memilih
untuk melakukan proses persalinan dengan bantuan dukun maka tidak diijinkan
untuk melakukan kontrol kesehatannya di Pustu bersama Bidan

114
selama menjalani masa postpartum. Oleh sebab itu, partisipan lebih memilih
untuk menggunakan pengobatan tradisional tatobi dari pada menggunakan
fasilitas kesehatan yang ada.

2. Kondisi Sosial-Ekonomi

Keadaan sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan


pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan,
pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan
dengan penghasilan (Koentjaraningrat, 1981:35).Tingkat ekonomi adalah
salah satu faktor yang berperan dalam kesehatan dimana dengan alasan tidak
mempunyai biaya (penghasilan rendah) masyarakat yang lebih memilih
pengobatan tradisional dengan biaya relatif murah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 ibu yang mengalami tanda-


tanda infeksi cenderung menggunakan pengobatan tradisional yang sudah
menjadi tradisi secara turun temurun dari pada ke tenaga kesehatan yang
disebabkan oleh rendahnya tingkat ekonomi. Tingkat ekonomi mempengaruhi
ibu dalam mengakses layanan kesehatan termasuk untuk membayar obat yang
diresepkan dokter untuk dibeli di Apotik Soe. Oleh sebab itu partisipan
memutuskan untuk menggunakan pengobatan tradisional tatobi dari pada
mengakses layanan kesehatan yang ada.

3. Aspek Sosial-Budaya

Menurut seorang ahli antropologi, Tylor (1871) budaya atau peradaban


adalah kesatuan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, kebiasaan, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat (dalam Kuper, 1999). Menurut
Koetjaraningrat (1981), kebudayaan adalah seluruh gagasan dan karya manusia

yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi

karyanya. Hal itu akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Perilaku

115
seseorang dalam kebudayaan terbentuk akan berbeda dengan orang yang

hidup pada kebudayaan lainnya (Depkes RI, 1990).

Seorang ahli psikologi yang terkenal Burrhus Frederic Skinner sangat


menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk
pribadi seseorang (Pierce, 2013). Hayati (2011) dalam penelitiannya
menemukan diantara kebudayaan maupun adat-istiadat dalam masyarakat ada
yang menguntungkan, ada pula yang merugikan, seperti perawatan
postpartum yang dilakukan oleh Suku Minang. Tradisi Atoni Meto yang
mengharuskan ibu untuk tatobi dan se’i merupakan tindakan/praktik yang
sulit dihilangkan karena merupakan tradisi yang sudah berjalan lama secara
turun temurun. Tindakan ini dilakukan ibu karena saran orangtua hingga
mereka menemukan tanda-tanda infeksi dan menghentikannya.

4. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik merupakan segenap faktor fisik yang bersama-sama


merupakan suatu suasana fisik yang meliputi suatu tempat kerja (Gie,
2000). Lingkungan fisik merupakan salah satu faktor penyebab yang dapat
mempengaruhi kondisi fisik seseorang seperti temperatur, kelembaban,
sirkulasi udara, pencahayaan dan lain-lain (Sedarmayanti, 2001:21).
Penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi perawatan diri selama
menjalani masa postpartum, ibu-ibu berada dalam lingkungan yang berdampak
negatif terhadap kesehatan yaitu didalam rumah bulat, yang penuh dengan debu
dari tungku api yang dicurigai terdapat berbagai macam mikroorganisme patogen
sehingga partisipan lebih mudah terinfeksi saat mengikuti praktek tatobi.

Persepsi yang baik terhadap kesehatan dan kebersihan dapat


menciptakan penampilan yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan, sehingga
mampu memberikan rasa nyaman. Selain itu juga dapat mempertahankan
kelelahan, mencegah infeksi, gangguan sirkulasi darah dan mempertahankan
integritas pada jaringan (Hidayat, 2006).

116
D. KESIMPULAN

Dari 25 orang ibu yang melahirkan selama periode penelitian, 9 ibu


menunjukkan gejala-gejala terinfeksi di daerah jalan lahir. Mereka semua
melaksanakan tradisi postpartum selama 40 hari, yakni praktek tatobi dan panggang
tubuh (se’i). Apakah ada hubungan antara tradisi tatobi dengan kejadian infeksi
perlu dilakukan penelitian lanjut. Penelitian ini memberi perhatian pada
pentingnya faktor kebersihan lingkungan rumah untuk menguragi kejadian infeksi
jalan lahir ibu-ibu pasca melahirkan.

DAFTAR PUSTAKA

AntaraNews.com. (2006). Angka Kematian Ibu di Indonesia Tertinggi di ASEAN.


Indonesia.
Chamberlain, G dan Dewhurst, SJ. (1994). Obstetri dan Ginekologi Praktis. Jakarta:
Widya Medika.
Depkes. (1998). Perbandingan AKI dengan Negara Lain, diakses 15 Juli 2007
Depkes RI. (2007). Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI
Fortney, JA., Susanti, I., Gadall, S., Saleh, S., Feldblum, PJ., Potts, M. (1998).
Maternal mortality in Indonesia and Egypt. International. Journal of
Gynecology & Obstetrics, 26(1):21–32.
Gie, The Liang. (2000). Administrasi Perkantoran. Yogyakarta: Modern Liberty
Hayati, R. (2011). Perspektif Budaya Minang terhadap Perawatan Ibu Postpartum.
Karya Tulis Ilmiah. Universitas Sumatera Utara. Diunduh dari
http://repository. usu.ac.id/bitstream/123456789/27208/9/Cover.pdf
Hidayat, A. A. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Koentjaraningrat. (1981). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Khan, KS., Wojdyla, D., Say, L., Gulmezoglu, AM., Van Look, PF. (2006). WHO analysis
of causes of maternal death: a systematic review. The Lancet. 367(9516):1066–74.

117
Kuper, A. (1999). Culture, The Anthropologists’ Account. England: Havard
University Press
Pierce, W. D. (2013). Behavior Analysis and Learning, Fifth Edition. New York:
Psychology Press.
Sedarmayanti. (2001). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung:
Mandar Maju
Tauho, K.D., Karwur, F. F., Anwar, A. (2012). Analisa Penyebab Kematian Maternal
di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana

118
8

Kaji Tindak Partisipatif:


Proses Modifikasi Tradisi Melahirkan Atoni Meto Untuk
Meningkatkan Kesehatan Maternal dan Bayi di Desa Binaus,
Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan,
Nusa Tenggara Timur

Ferry F. Karwur¹, Suharmiati², Sakti O. Batubara³, Kristiani D. Tauho¹

¹Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga


²Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Balitbangkes
Kemenkes RI ³STIKES Citra Husada Mandiri Kupang

Abstrak
Secara nasional, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi dengan masalah
kesehatan ibu-anak yang tinggi. Penyumbang terbesar masalah kesehatan ini berasal dari
Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki tradisi tersendiri dalam proses persalinan dan
masa postpartum (tradisi Neno Bo’ha). Selama 40 hari postpartum ibu dan bayi tinggal di
dalam rumah bulat (ume kbubu) dengan berbagai aturan yang dari segi kesehatan dapat
memberikan dampak buruk bagi ibu dan bayi, antara lain pemotongan tali pusat bayi
menggunakan alat seadanya (gunting atau pisau), mengompres tubuh ibu dengan air mendidih,
menghangatkan ibu dan bayi dengan bara, ibu harus makan jagung bose saja dan membuang
ASI pertama yang berwarna kekuningan. Penelitian ini bertujuan memodifikasi tradisi atoni
meto yang beresiko bagi kesehatan ibu dan anak. Metode penelitian yang digunakan adalah
kaji-tindak partisipatif terhadap 11 orang ibu hamil di Desa Binaus sebagai riset partisipan
selama bulan April hingga November 2012. Hal-hal yang dimodifikasi merupakan hasil
persepakatan bersama tim peneliti partisipatif (peneliti, pemerintah, tenaga kesehatan, tokoh
adat, tokoh masyarakat, kader
Posyandu, dukun bersalin dan keluarga partisipan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tradisi persalinan atoni meto sudah mengalami perubahan, sehingga selama 40 hari ibu
dan keluarga menjalani tradisi tersebut dengan modifikasi yang disepakati bersama, yaitu
medesinfeksi alat potong tali pusar, mengompres tubuh ibu dengan menggunakan air
hangat, mengonsumsi jagung bose yang kadar gizinya ditingkatkan, menggunakan mau
ana (selendang adat) sebagai kain pembalut, memberikan ASI pertama kepada bayi dan
setelah hari ke-5 postpartum ibu sudah boleh keluar dari rumah bulat.
Kata kunci: tradisi melahirkan, atoni meto, KIA

A. PENDAHULUAN

Derajat kesehatan masyarakat Indonesia masih rendah, jika dilihat dari


Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan status gizi.
Dibandingkan dengan angka nasional, AKI dan AKB di Propinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) masih terbilang tinggi, dan menempatkan NTT sebagai propinsi
penyumbang AKI dan AKB di Indonesia. Pada tahun 2014, AKI di NTT sebesar
169/100.000 kelahiran hidup (KH), lebih tinggi dari AKI nasional yaitu sebesar
126/100.000 KH. Penyumbang AKI tertinggi di provinsi ini adalah Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS), dengan AKI sebesar 290/100.000 KH. Selain AKI dan AKB,
masalah kesehatan lain di NTT yang juga penyumbang tertingginya di Kab. TTS yaitu
status gizi kurang dan gizi buruk. Pada tahun 2013, persentasi balita gizi buruk
berdasarkan berat badan per umur (BB/U) dan tinggi badan per umur (TB/U) di TTS
adalah yang tertinggi di NTT, yaitu sebesar 46,5% dan 70,5%. Sementara itu, rata-rata
provinsi adalah 33% dan 51,7% (Ompusunggu, 2013) yang merupakan prevalensi
tertinggi secara nasional (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013).

Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah salah satu dari 5 kabupaten di


NTT yang terletak di daratan Timor. Penduduk asli Pulau ini disebut Atoni Meto atau
atoni pah meto yang berarti orang dari daerah kering. Masyarakat ini memiliki tradisi
melahirkan dan perawatan post-partum hingga 40 hari di rumah bulat, yakni rumah
tradisional Atoni Meto yang merupakan pusat kegiatan keluarga inti orang Timor. Ibu
dan bayi akan menjalani perawatan intra dan postpartum di dalam rumah bulat
iniselama 40 hari (neno bo’ha) dengan berbagai aturan yang dari segi kesehatan dapat
memberikan dampak buruk bagi ibu dan bayi.

120
Dalam proses persalinan ini, ibu ditolong oleh dukun bersalin (amahonet)
yang pada pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat seadanya (gunting atau
pisau). Kemudian ibu akan dikompres dengan air mendidih di seluruh tubuh,
terutama di payudara dan jalan lahir. Tindakan ini bisa mendorong terjadi
vasodilatasi dan terkadang berakibat perlukaan kulit. Menurut hasil penelitian
Martianto dkk (2008), salah satu tetua adat menerangkan bahwa dalam tradisi ini
terdapat aktivitas menghangatkan ibu dengan bara yang diletakkan di bawah
tempat tidur. Hal ini didasarkan pada keyakinan akan mempercepat keringnya
darah nifas dan rahim cepat tertutup kembali. Menurut para tetua adat dalam
penelitian tersebut, para ibu di sini sudah biasa dengan praktik tersebut, tak sesak
nafas, sehat, demikian pula bayinya. Proses pengompresan yang dilakukan di
dalam rumah bulat dan kegiatan memandikan ibu menyebabkan lantai rumah bulat
becek, sehingga mengakibatkan kelembaban yang tinggi. Selain itu, tingginya
kadar asap dan gas bakaran dapat mengganggu pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang dibutuhkan tubuh.
Dalam hal pemberian ASI, terdapat keyakinan kultural bahwa Air Susu Ibu
(ASI) pertama yang berwana kekuningan sudah terkena angin dan basi sehingga
dalam prakteknya ASI tersebut diperas dan dibuang, padahal penelitian membukti-kan
bahwa kolostrum mengandung zat imunitas yang melindungi bayi dari berbagai
kemungkinan penyakit (Roesli, 2008; Purwanti, 2004). Dalam masyarakat Binaus,
pemberian ASI terjadi 2-4 hari setelah melahirkan karena ASI-nya belum keluar atau
warnanya belum putih. Dalam keadaan demikian, ASI harus diperas keluar sampai
berwarna putih, sehingga kolostrum pada periode yang kritikal tersebut dibuang. ASI
yang berwarna kuning dianggap kotor sehingga tidak boleh diminum oleh bayi yang
baru lahir. Dalam hal ini, bayi diberi teh atau madu atau air tajin atau disusui oleh
perempuan lain (kerabatnya) yang sedang menyusui (Tefa, 2011; Nenometa, 2011;
Martianto dkk, 2008). Praktek yang dipaparkan di atas juga ter-gambar dalam laporan
Dinas Kesehatan Prov. NTT, bahwa jumlah bayi yang diberi
ASI eksklusif di kabupaten ini pada tahun 2014 adalah52,5%, dan terendah kedua

di NTT yang mencapai 70,1% (Dinas Kesehatan Provinsi NTT, 2015).

121
Pada tradisi Atoni Meto, ibu postpartum juga tidak boleh makan makanan
yang mengandung sayur, daging, telur, cumi-cumi, udang dan kepiting. Makanan
ibu hanya jagung bose (jagung yang dikeluarkan kulit arinya dengan cara
ditumbuk, kemudian direbus dengan perbandingan air 3:1) dan atau bubur beras.
Menurut mereka, ibu yang mengonsumsi makanan yang bermacam-macam dapat
me-nyebabkan sakit perut pada bayi. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh pada
kesehatan ibu dan bayi, jika dilihat dari sudut pandang gizi dan kesehatan, karena
dapat memungkinkan imunitas ibu rendah dan mempengaruhi produksi ASI
(Bobak dan Jensen, 2005).

Melihat tradisi Atoni Meto di atas, selain kekuatannya yang merupakan


identitas kultur serta sistem adaptasi yang diperankan oleh rumah bulat, tradisi
melahirkan di rumah bulat dapat menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan
yang perlu diperbaiki dalam perspektif indikator kesehatan modern. Untuk
mengatasi sejumlah permasalahan tersebut, perlu dilakukan riset-aksi partisipatif
yang melibatkan para pemangku adat, tokoh pemerintahan dankeluarga dengan
tujuan untuk memodifikasi rasionalitas tindakan, proses, dan perangkat konkret
dalam tradisi melahirkan Atoni Meto di rumah bulat selama 40 hari untuk
meningkatkan kesehatan maternal dan bayi.

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi tradisi melahirkan Atoni Meto di Desa Binaus,

2. Mengidentifikasi perawatan ibu bersalin dalam tradisi Atoni Meto yang dapat
dimodifikasi
3. Melakukan intervensi individual dan kelompok.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan bulan April hingga November 2012 di Desa Binaus,


Kecamatan Mollo Tengah, Kab. TTS, NTT dengan metode penelitian kualitatif

122
kaji-tindak partispatif (participatory action research). Dalam hal ini, tim peneliti
melibatkan pihak sasaran yang diteliti dan unsur subjektif peneliti ikut terlibat dalam
mendesain bersama-sama anggota masyarakat. Penggunaan metode ini memberi
ruang kepada masyarakat sasaran terlibat dalam memodifikasi kebudayaannya sendiri,
dan oleh sebab itu modifikasi yang mungkin berkonsekuensi pada risiko yang muncul
akibat modifikasi tersebut dapat diantisipasi dan dapat berterima.

Kerangka konsep kaji-tindak partisipatif melibatkan komponen rencana,


aksi, dan refleksi. Desain penelitian didasari adanya isu-isu kesehatan maternal
yang bisa diintervensi, melalui persiapan sosial yang mantang kemudian dilakukan
rencana, aksi, dan refleksi bersama masyarakat yang tujuan akhirnya meningkatan
kesehatan ibu dan anak di komunitas tersebut. Selama pelaksanaan dilakukan
dokumentasi proses secara cermat.

Penelitian partisipatif ini melibatkan 2 bentuk pengumpulan data:

1. Penelitian Deskriptif:

a. Pengumpulan data awal untuk memperoleh base-line data sebagai titik


berangkat untuk mengukur perubahan sebelum intervensi. Data-data
yang dimaksudkan adalah data kesehatan ibu dan bayi, data
kehamilan, data jumlah rumah dan ibu meninggal.

b. Pengukuran data akhir program setelah intervensi.

2. Dokumentasi Proses

Dokumentasi proses dilakukan untuk setiap bentuk program, pertemuan,


dan kontak dengan kelompok masyarakat, lembaga formal, maupun
informal, dan keluarga.

Riset partisipan dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang terdaftar di

Posyandu Desa Binaus dan diperkirakan akan melahirkan pada bulan Mei sampai

November 2012, berjumlah 11 orang ibu. Data riset partisipan diperoleh dari

123
register ibu hamil Posyandu dan Kartu Menuju Sehat (KMS) setiap ibu. Selanjutnya
dilakukan kunjungan individual secara rutin kepada riset partisipan untuk membina
hubungan dan meminta kesediaan mereka menjadi riset partisipan. Pada tahap
intervensi, 2 dari 11 orang riset partisipan tersebut didampingi oleh tim peneliti
partisipatif selama 40 hari. Identitas ke-11 riset partisipan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Identitas Riset Partisipan

No. Inisial Pendidikan Paritas Alamat


1 Ibu LN SMA G2P1A0 RT 9
2 Ibu YT SD G2P1AH0 RT 9
3 Ibu EO SMU G1P0A0 RT 4
4 Ibu FO PT G1P0A0 RT 2
5 Ibu IH SMA G1P0A0 RT 4
6 Ibu IS SD G2P1AH1 RT 4
7 Ibu YO SMA G1P0A0 RT 4
8 Ibu RT SMA G2P1A0 RT 9
9 Ibu RK SD G3P2A0 RT 6
10 Ibu SS SMP G4P1A2 RT 6
11 Ibu MT SMA G2P1AH1 RT 7

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian dibahas berdasarkan proses penelitian ini, sebagai berikut:

Persiapan sosial

Persiapan sosial berhasil dilakukan dengan membangun relasi dengan


pemimpin formal (pemerintah Kab. TTS, Kec. Mollo Tengah, Ds. Binaus, Bappeda,
Dinkes) dan informal (ketua kader posyandu, tokoh adat, tokoh masyarakat, dukun
bersalin). Hal ini tak lepas dari adanya kerjasama sebelumnya yang telah terjalin
antara Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dengan pemerintah Kab. TTS
(sejak tahun 2000, pemerintah Kab. TTS telah melakukan kerjasama terutama dalam

124
mengirimkan mahasiswa asal daearahnya untuk berkuliah di UKSW). Penerimaan
warga desa Binaus terhadap peneliti lokal yang tinggal di lokasi penelitian selama
proses penelitian ini menunjukkan adanya keterbukaan terhadap pihak luar yang
memungkinkantimbulnya perubahan yang lebih baik terutama untuk kesehatan
Ibu dan anak.
Persiapan sosial juga dilakukan terhadap data dasar warga Desa Binaus.
Data demografi desa sebagai data dasar yang akan digunakan dalam penelitian ini
telah teridentifikasi oleh peneliti walaupun prosesnya memakan waktu yang lama
karena dilakukan bersamaan dengan sensus penduduk.

Tim peneliti partisipatif

Tim peneliti partisipatif yang dipilih adalah individu yang memiliki jiwa
kepemimpinan dan mampu memberi pengaruh kepada masyarakat. Hal ini penting
karena pemimpin yang memiliki pengaruh di masyarakat akan diikuti oleh
pengagumnya. Tim peneliti partisipatif terdiri dari berbagai unsur di masyarakat,
yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. TTS, Kec. Mollo Tengah,
pemerintah Desa Binaus, Tenaga Kesehatan dari Puskesmas Mollo Selatan, kader
Posyandu, tokoh adat, tokoh masyarakat dan dukun bersalin di Desa Binaus.

Identifikasi tradisi melahirkan Atoni Meto di Desa Binaus

Tradisi melahirkan Atoni Meto di Desa Binaus merupakan hasil studi


deskriptif terhadap 11 orang ibu yang melahirkan pada bulan April hingga
November 2012. Sejumlah temuan dan koreksi terhadap data dan asumsi-asumsi
budaya mengalami perbaikan, antara lain:
a. Keteguhan menggunakan 40 hari untuk tinggal di dalam rumah bulat tidak
selamanya diikuti. Dari 11 orang ibu yang melahirkan sejak April sampai
Oktober 2012, 7 orang memiliki rumah bulat, ada 3 ibu yang melakukan

tradisi di dalam rumah bulat, selama 40 hari, sedangkan sisanya melakukan

tradisi di dalam rumah besar selama 40 hari, dengan modifikasi.

125
b. Ditemukan juga tradisi lebih dari 40 hari bayi tinggal di rumah bulat,
karena menunggu kegiatan upacara berdoa. Dengan demikian, nampak
bahwa untuk hal-hal tertentu tradisi ini sudah mulai mengalami
perubahan. Kondisi ini dimungkinkan karena pertimbangan rasional yang
semakin meningkat, misalnya soal efek negatif asap.

Sehubungan dengan kebijakan Revolusi KIA berupa peraturan yang


dikeluarkan Gubernur Provinsi NTT tahun 2009 bahwa semua ibu maternal harus
bersalin di tempat pelayanan kesehatan, sehingga tradisi pemotongan tali pusat
oleh dukun bersalin menggunakan gunting/silet yang belum disterilkan tidak
banyak ditemukan lagi (hanya 2 dari 11 orang ibu, karena mereka melahirkan di
rumah). Semua ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan dibantu oleh tenaga
kesehatan, sehingga kolostrumnya juga langsung diberikan pada bayi.
Modifikasi lain yang dilakukan oleh ibu yang menghabiskan masa nifas di
rumah besar adalah menghangatkan tubuh ibu dan bayi dengan hanya meletakkan
bara di kolong tempat tidur, sehingga tidak menimbulkan asap. Tradisi
mengompres perineum menggunakan kain adat Timor yang diletakkan di bawah
perineum ibu masih tetap dijalankan. Hal ini karena ibu-ibu meyakini bahwa
dengan mengompres daerah perineum akan mempercepat proses pemulihan alat-
alat reproduksi kembali ke bentuk sebelum hamil. Mengompres ibu dengan
menggunakan kain adat yang dicelupkan langsung pada air mendidih kemudian
diperas masih ditemukan pada warga.

Tradisi mengkonsumsi jagung bose murni selama masa postpartum masih


tampak pada beberapa keluarga. Modifikasi konsumsi jagung bose yang dicampur
dengan lauk lain sejak hari pertama pasca persalinan ditemukan pada 5 orang ibu.
Hasil perbincangan dengan ibu-ibu bersalin yang mengkonsumsi jagung bose
dicampur dengan lauk lain mengatakan bahwa alasan mereka mencampur jagung
bose tersebut adalah agar gizi mereka seimbang sehingga produksi ASI juga baik.
Dari 11 ibu maternal selama penelitian, 3 orang ibu menggunakan kain pembalut

modern dengan alasan lebih praktis.

126
Intervensi individual dan kelompok

1. Intervensi Individual

Intervensi individual dilakukan terhadap ibu maternal dengan tujuan


mengikuti perkembangan kehamilan dan persalinan semua ibu tersebut. Bagi
ibu yang menghabiskan masa nifas di rumah bulat, dalam kunjungan tersebut
peneliti lokal berdiskusi dengan keluarga tentang bagaimana cara mengurangi
asap jika berada di rumah bulat. Didapatkan kesepakatan bersama bahwa api
di dalam rumah bulat hanya akan menyala pada malam hari. Oleh karena itu,
kayu yang dipakai adalah kayu kering yang tidak banyak menimbulkan asap
seperti kayu pohon kasuari dan kesambi. Arang dari kayu-kayu ini dapat
bertahan hingga berjam-jam, sehingga kondisi di dalam rumah bulat tetap
hangat, tetapi asap dapat diminimalisasi.
Selain itu, peneliti lokal, ibu maternal dan keluarga juga
mendiskusikan mengenai perawatan nifas (perawatan tali pusat, perawatan
payudara), konsumsi obat-obatan yang diberikan petugas kesehatan dan
makanan yang harus dikonsumsi ibu dan bayi (jumlah, frekuensi dan jenis
makanan). Bagi ibu hamil yang pertama kali hamil atau ibu maternal yang
pertama kali melahirkan, diskusi lebih banyak ditekankan pada persiapan
persalinan dan bagaimana melakukan perawatan nifas.

2. Intervensi Kelompok
Intervensi kelompok dilakukan oleh tim peneliti partisipatif dalam
beberapa pertemuan dengan menyepakati intervensi-intervensi yang akan
dilakukan, memilih ibu hamil yang akan didampingi selama 40 hari dan
melaksanakan intervensi yang disepakati. Pertemuan beserta pokok
pembicaraan dan hasilnya tersaji sebagai berikut:

a. Pertemuan I

Merupakan pertemuan sosialisasi penelitian yang dilaksanakan pada tanggal

127
7 Mei 2012. Pada pertemuan tersebut, Bapak MS, Bapak BS, Bapak HS dan
Mama NDL mewakili masyakat Desa Binaus menyatakan menerima dan
akan mendukung tim peneliti partisipatif untuk membantu meningkatkan
kesehatan ibu dan anak di desa itu.

b. Pertemuan II

Dilaksanakan pada tanggal 28 Juli 2012, dengan agenda pembentukan tim


peneliti partisipatif. Hasil pertemuan tersebut terbentuk tim peneliti
partisipatif dan ditetapkannya 2 orang ibu hamil sebagai model untuk
didampingi selama 40 hari pasca persalinan, yaitu Ibu MT dan Ibu SS.

c. Pertemuan III

Terlaksana pada tanggal 7 September 2012 karena sepanjang bulan


Agustus, semua masyarakat sibuk untuk merayakan hari ulang tahun
kemerdekaan RI. Pada pertemuan ini tim peneliti partisipatif menyepakati
6 poin intervensi yang diusulkan peneliti, yaitu:
1) Pisau/silet yang digunakan untuk memotong tali pusat, terlebih dahulu
dipanaskan di dalam air mendidih selama kurang lebih 5 menit. Hal
ini dilakukan jika dengan terpaksa ibu tidak dapat melahirkan di
fasilitas kesehatan.
2) Untuk mengompres ibu, air mendidih dituang ke dalam bokor atau
ember. Kedua ujung selendang dipegang oleh tangan kiri dan kanan,
dan bagian tengahnya dicelupkan ke dalam air mendidih kemudian
diperas. Selanjutnya kain tadi dibentangkan melilit pada bagian tubuh
ibu sambil mengompres.
3) Ibu tidak harus berada di dalam rumah bulat sepanjang waktu selama
40 hari, tetapi sudah dapat keluar-masuk dari rumah pada hari ke-4.
4) Selendang adat (mau ana) sebagai kain pembalut bisa digunakan
kembali setelah dicuci dengan sabun dan dibentangkan di bawah
tempat duduk ibu agar uap air panas tersebut bisa menghangatkan ibu.

128
5) Makanan ibu postpartum dapat dicampur dengan daging sapi tanpa
urat dan tulang yang dipanggang hingga benar-benar kering. Selain
daging sapi, kacang dan sayur dapat ditambahkan ke dalam jagung
bose sesuai dengan kemampuan keluarga.
6) Untuk menghindari becek di dalam rumah bulat, maka ibu mandi di
bagian rumah bulat yang berada dekat dinding yang bagian bawahnya
dibuat saluran air sehingga air bekas mandi ibu bisa langsung
mengalir keluar.

d. Pertemuan IV

Dilakukan pada tanggal 18 September 2012. Pertemuan lebih banyak


membahas mengenai intervensi yang sedang dan akan dilakukan terhadap
ibu yang menurut beberapa kader merupakan hal yang sulit dilakukan
karena menyangkut persoalan biaya. Ada usulan agar pertemuan
melibatkan masyarakat luas, terutama ibu hamil dan suami serta PUS
(pasangan usia subur).

e. Pertemuan V

Adalah pertemuan evaluasi bersama para anggota tim peneliti


partisipatif, dengan kesepakatan:
1) Intervensi yang sudah dilakukan antara lain kompres dengan uap air,
panggang dengan bara baik di rumah persegi maupun dalam rumah bulat
dengan membuat api hanya pada malam hari, menggunakan selendang
adat yang direbus pada air mendidih sebagai alas di tempat tidur maupun
menggunakan kain pembalut modern, makan makanan lain selain jagung
bose yang dicampur sayuran dan daging memberikan efek yang baik bagi
ibu bersalin dan bisa dilakukan terhadap ibu bersalin yang lain.
2) Peserta pertemuan bersepakat bahwa mereka akan melakukan intervensi-

intervensi yang sudah disepakati, baik secara pribadi (bagi peserta yang

berusia produktif, maupun dalam keluarga besar (peserta yang sudah

129
tidak produktif lagi) sehingga harapannya mereka bisa menjadi contoh di
masyarakat. Peserta juga harus menjadi penyalur informasi bagi ibu-ibu
yang sedang hamil dan bersalin, kader memberikan dorongan dan
motivasi di Posyandu maupun dalam kegiatan apa saja. Untuk mengatasi
masalah keuangan, bisa dilakukan arisan antar ibu hamil dan bersalin saja,
atau menghidupkan kembali tabungan ibu bersalin (tabulin) yang sempat
macet. Hal ini akan ditindaklanjuti di Posyandu oleh para kader.
3) Hal lain yang dikaji dan diangkat sebagai isu penting adalah
pentingnya mendorong pihak keluarga agar membawa ibu yang akan
melahirkan ke fasilitas kesehatan di Soe. Kendala utama yang muncul
sebenarnya, terutama lebih pada kendala ekonomi. Walaupun
pertolongan persalinan ditanggung oleh pemerintah, namun akses yang
jauh serta alat transportasi yang jarang membuat keluarga harus
memiliki cukup uang tunai untuk dapat mencapai rumah sakit dan
tinggal di rumah sakit selama ibu dirawat.

3. Hasil Intervensi Kelompok

a. Melakukan tindakan desinfeksi terhadap alat potong tali pusat

Hal ini hanya dilakukan jika ibu melahirkan di rumah. Alat potong yang
digunakan adalah alat yang mudah ditemui di rumah, yaitu gunting atau
pisau, direbus dalam air mendidih sebelum digunakan. Pada tahap
implementasi, desinfeksi alat potong pusat bayi tidak dilakukan, karena Ibu
MT dan Ibu SS melahirkan di RSUD Soe sehingga tali pusat bayi mereka
dipotong oleh petugas kesehatan. Selain kedua ibu yang disepakati untuk
didampingi, hasil kesepakatan mengenai tindakan desinfeksi alat potong
pusar bayi dilakukan oleh salah seorang bapak di RT 9, bernama Bapak AS.
Tindakan tersebut dilakukan ketika akan memotong tali pusat bayinya. Bapak
AS menggunakan gunting yang direbus ke dalam air mendidih, kemudian
membungkus tali pusat bayi tersebut menggunakan kasa.

130
b. Menyarankan praktek mengompres menggunakan air mendidih yang di-
hangatkan terlebih dahulu
Intervensi ini dinegosiasikan dengan atasat (orang yang mengompres ibu)
dan atoni amaf (tokoh adat). Rasionalnya, suhu yang melampaui batas
toleransi panas dapat menyebabkan perlukaan pada tubuh. Kain yang
dicelupkan ke dalam air mendidih dan digunakan mengompres ibu maternal,
dapat menimbulkan kulit melepuh dan rasa tidak nyaman. Tujuan penelitian
menyarankan penggunaan air mendidih yang didinginkan terlebih dahulu
sebelum digunakan mengompres dapat dilaksanakan kepada keluarga. Tidak
terlihat ibu sakit-sakitan ataupun lesu seperti anggapan warga apabila tidak
melakukan pengompresan dengan air mendidih.

Gambar 2. Ibu SS memberikan contoh cara mengompres tubuh

Proses pengompresan yang dimulai dengan menuangkan air mendidih ke


dalam bokor atau ember, kemudian dibiarkan sekitar 5 menit sebelum
digunakan untuk mengompres. Ibu kemudian mengoleskan sedikit minyak
kelapa ke telapak tangannya lalu mencelupkan selendang adat ke dalam

131
air panas dengan memegangnya di kedua ujung. Selendang adat tersebut
kemudian diperas dan langsung ditekan-tekan ke seluruh tubuh.

c. Meningkatkan pemahaman mengenai kolostrum

Pemahaman mengenai kolostrum diberikan kepada orang yang


mendampingi ibu selama masa postpartum melalui kunjungan individual
oleh peneliti lokal. Suami Ibu MT yang didampingi selama 40 hari pada
pertemuan evaluasi tanggal 16 November mengatakan bahwa anaknya
diberi kolostrum, tetapi tidak menimbulkan efek negatif. Bapak BS (tua
adat) juga mengatakan bahwa selama anaknya melahirkan, pada bulan
April 2012, kolostrumnya langsung diberikan, sehingga tim peneliti
partisipatif sepakat agar semua ibu bersalin memberikan kolostrum
kepada bayi, segera sesudah lahir.

d. Memberikan pemahaman tentang mengonsumsi jagung bose yang kadar


gizinya ditingkatkan
Pemahaman tentang mengonsumsi jagung bose yang kadar gizinya
ditingkatkan diberikan kepada ibu hamil dan keluarga bahwa makanan
dan minuman yang dikonsumsi Ibu akan mempengaruhi produksi ASI
yang berarti kecukupan gizi bagi bayi. Mengonsumsi jagung bose saja
kadar gizinya tidak mencukupi, sehingga disarankan untuk
mencampurkannya dengan sayuran, kacang-kacangan atau lauk. Jagung
bose yang dicampur tersebut memberikan efek positif pada status gizi ibu
dan bayi, bukan penyebab feses berwarna kehitaman dan sakit perut pada
bayi seperti yang diyakini masyarakat.
Anggota tim peneliti partisipatif yang juga para tokoh sentral di Desa Binaus
telah sepakat akan menguji coba pencampuran jagung bose pada semua ibu
maternal yang bersedia melakukannya. Hal ini karena terbukti, Ibu SS yang
mencampur jagung bose dengan lauk yang lain, tidak mengalami kekurangan
ASI pada bayinya. Ibu SS mengonsumsi makanan lain selain jagung bose,

yaitu nasi dan bubur nasi yang dicampur dengan kacang, sayur dan daging,

132
kecuali cabai dan garam. Ibu MT sendiri makan makanan selain jagung

bose, hanya masih pantang makan makanan dengan rasa pedas dan garam.

Atasat mempunyai peran penting dalam merawat dan mengatur makanan


serta kebutuhan sehari-hari ibu maternal. Atasat juga memberi pengaruh
kuat terhadap setiap perilaku ibu. Untuk itu, meningkatkan pemahaman
atasat mengenai kegunaan kolostrum akan mempengaruhi ibu yang akan
menyusui bayinya merupakan hal yang sangat penting. Pada penelitian ini
beberapa atasat dan keluarga ibu terkadang masih ada selisih paham soal
kolostrum. Usaha yang terus-menerus dengan berbagai bukti perlu
ditekankan berulang-ulang kepada atasat dan ibu serta keluarganya agar
tidak membuang kolostrumnya.

e. Mendorong praktek penggunaan mau ana (selendang adat) sebagai kain


pembalut (reusable)
Ide menggunakan mau ana (selendang adat) sebagai kain pembalut selain
karena telah menjadi tradisi, juga alasan ekonomis. Diketahui bahwa warga
Ds. Binaus termasuk desa dengan warga miskin yang cukup besar,
sehingga penggunaan kain pembalut modern tentu akan membebani
beban hidup keluarga. Mau ana yang digunakan sebagai kain pembalut
adalah mau ana yang bersih. Sebelum digunakan kembali mau ana
tersebut dicuci terlebih dahulu menggunakan sabun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Ibu SS menggunakan kain pembalut modern selama
40 hari postpartum, sedangkan Ibu MT menggunakan selendang yang
dicuci terlebih dahulu, dicelupkan ke dalam air mendidih kemudian
diperas dan dibentangkan di atas tempat tidur.

f. Melakukan negosiasi agar ibu bisa keluar dari rumah sebelum 40 hari

Tradisi untuk berada di dalam rumah bulat selama 40 hari sudah tidak sering

dilakukan lagi, karena setelah 1 minggu dalam rumah bulat, ibu sudah bisa

keluar. Rumah bulat yang didalamnya digunakan untuk memasak dengan

133
menggunakan kayu bakar menghasilkan asap yang dapat mengganggu
saluran pernafasan. Selain itu ibu yang melahirkan dengan normal, perlu
mobilisasi untuk melancarkan peredaran darah dan proses mempercepat
pengembalian alat-alat reproduksi pada kondisi sebelum hamil. Apabila
ibu tinggal selama 40 hari bahkan lebih dalam rumah bulat, akses akan
udara segar, sinar matahari dan sosialisasi alam akan terganggu.

g. Melakukan negosiasi pembuatan rumah bulat dalam ukuran yang besar


untuk mengurangi kepekatan asap
Pembuatan rumah bulat ukuran besar sekarang belum bisa dilakukan,
karena pertimbangan biaya. Walaupun demikian, tim peneliti partisipatif
sepakat bahwa hal ini akan dipertimbangkan ketika mereka membangun
rumah bulat lagi.

D. KESIMPULAN

Tradisi persalinan Atoni meto yang dikenal dengan tradisi neno bo’ha
sudah mengalami perubahan, baik dengan intervensi pihak luar, maupun
karena keterbukaan masyarakat Atoni meto sendiri untuk menerima pengaruh
luar. Selama 40 hari ibu dan keluarga menjalani tradisi neno bo’ha dengan
modifikasi yang disepakati bersama. Pendampingan dilakukan oleh kader
Posyandu dan tim peneliti lapangan. Dukungan sepenuhnya diberikan oleh
dukun bersalin, kader posyandu, para tetua adat, pemerintah desa dan tenaga
kesehatan, sehingga ibu yang menjadi riset partisipan dijadikan contoh di desa.

Tindakan terkait kesehatan ibu maternal yang dilakukan atas


kesepakatan bersama antara lain:
1. Desinfeksi terhadap alat potong tali pusar dengan merebus gunting
sebelum digunakan,

134
2. Penggunaan air mendidih yang didinginkan terlebih dahulu menjadi
lebih hangat sebelum digunakan untuk mengompres tubuh ibu,
3. Mengonsumsi jagung bose yang kadar gizinya ditingkatkan dengan
dicampur sayuran, kacang-kacangan dan lauk,
4. Penggunaan mau ana (selendang adat) sebagai kain kain pembalut
dengan mencuci kembali (reuseable),
5. Ibu yang menjalani masa nifas di rumah bulat sudah bisa keluar dari
rumah bulat pada hari ke-lima postpartum,
6. Kolostrum, air susu pertama kali yang berwarna kuning yang mengandung
zat gizi bagi bayi langsung diberikan kepada bayi segera setelah lahir, dan
7. Pembuatan rumah bulat dalam ukuran yang besar untuk mengurangi
kepekatan asap belum bisa dilakukan saat ini karena terkendala biaya.

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangkes Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Edisi 4.
Jakarta: EGC.
Dinas Kesehatan Provinsi NTT. (2015). Profil Kesehatan Tahun 2014. Kupang: Dinas
Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Martianto, Drajat, Hadi Riyadi, Dwi Hastuti, Mien Ratu Oedjoe, Edi Djoko Sulistijo,
Ahmad Saleh. (2008). Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program
untuk Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak di
Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kerjasama
Fakultas Ekologi Manusia IPB dengan PLAN Indonesia. Jakarta.
Nenometa, W. I. (2011). Hubungan antara Kunjungan Anggota Masyarakat dan Keluarga
dengan Kesehatan Bayi selama 40 hari di Rumah Bulat (Ume Kbubu). Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana.

135
Ompusunggu, S. S. (2013). Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2013 Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI.
Purwanti, S. H. (2004). Konsep Penerapan ASI Ekslusif. Jakarta: EGC.
Roesli, U. (2008). Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Ekslusif. Jakarta: Pustaka Bunda.
Tefa, S. O. (2011). Ekologi Manusia: Aktifitas Melahirkan Selama 40 hari Suku Timor di
Rumah Bulat (ume kbubu) di Desa Putun. Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana.
TTS, D. K. (2010). Profil Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2010.
Soe: Dinkes TTS.

136
9

Proses Modifikasi Tradisi Makan Jagung Bose Pada Ibu


Postpartum di Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur

Ferry F. Karwur¹, Venti Agustina¹, Kristiani D. Tauho¹,


R.L.N.K. Retno Triandhini¹, Herman Sudirman²

¹
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana
²Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI

Abstrak
Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan persentase masalah gizi tertinggi di
Indonesia. Selain gizi kurang pada balita sebesar 33% (BB/U) dan 51,7% (TB/U), gizi
kurang juga terjadi pada wanita hamil dengan prevalensi kurang energi kronik (KEK)
sebesar 32,4%. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya masalah gizi di
Nusa Tenggara Timur adalah tradisi perawatan ibu melahirkan. Pada masyarakat Atoni
Meto yang tinggal di Pulau Timor, tradisi Neno Bo’ha mengharuskan ibu mengonsumsi
jagung bose sehingga zat gizi yang dikonsumsi ibu didominasi oleh sumber karbohidrat
dengan defisit protein, lemak, mineral dan vitamin yang signifikan. Tujuan penelitian ini
adalah melakukan modifikasi tradisi konsumsi jagung bose dengan melakukan
pemerkayaan bahan makanan dan olahan jagung bose yang dikonsumsi ibu-ibu pasca
melahirkan yang mempraktekkan tradisi Neno Bo’ha Kecamatan Mollo Tengah,
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menggunakan
metode participatory action research yang melibatkan 11 riset partisipan di 3 desa. Hasil
penelitian ditemukan bahwa selama 40 hari semua keluarga partisipan melakukan
modifikasi pangan dengan menambahkan bahan makanan lain pada jagung bose dan
mengonsumsi bahan makanan yang bervariasi dengan kisaran 2–9 jenis bahan makanan.
Bahan pangan selain jagung bose yang dikonsumsi ibu antara lain bubur beras, kacang
tanah, kacang hijau, kacang panjang, kacang merah, sayur kumbang, sayur bunga pepaya,
sayur jantung pisang dan daun singkong, telur ayam, daging ayam, daging sapi, ikan
kering dan ikan mentah. Banyaknya zat gizi primer yang dikonsumsi
umumnya berada di atas angka kebutuhan, namun masih ada sejumlah kejadian dalam
40 hari yang masih mengalami kekurangan.
Kata Kunci: jagung bose, ibu postpartum, tradisi Neno Bo’ha

A. PENDAHULUAN

Gizi kurang di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu


persoalan penting di Indonesia. Hasil penelitian riset kesehatan dasar (2013)
menempatkan NTT sebagai propinsi dengan status gizi underweight dan stunting
tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 33% (BB/U), 51,7% (TB/U). Sementara itu,
status gizi secara nasional hanya sebesar 19,6% (BB/U) dan 37,2% (TB/U).
Demikian juga dengan prevalensi kurang energi kronik (KEK) pada ibu hamil di
Provinsi NTT sebesar 32,4% yang merupakan prevalensi tertinggi di Indonesia
(Sandjaja, 2009).
Persoalan gizi masyarakat di NTT terutama dipengaruhi oleh faktor kuantitas
dan kualitas konsumsi pangan keluarga serta juga faktor budaya (Karwur, dkk., 2007),
faktor sosial (termasuk pendidikan) dan ekonomi (Depkes RI, 2008).
Rendahnya kuantitas dan kualitas konsumsi pangan keluarga ditentukan oleh
tingginya kemiskinan, serta rendahnya sumberdaya pertanian. Rendahnya daya
dukung pertanian disebabkan oleh kondisi geologis tanah yang tersusun atas
karang, kondisi iklim kering pola curah hujan dengan bulan basah dan bulan
lembab yang pendek, yang berujung pada produktivitas pertanian yang rendah. Di
daerah persawahan TTS yang semestinya memiliki daya dukung pertanian pun
separuh rumah tanggah mengalami kekurangan pangan dalam musim tertentu.
Faktor sosial (termasuk pendidikan) dan faktor ekonomi memberi sumbangan
pada persoalan gizi di NTT. Penelitian Fangidae, dkk (2012) menunjukkan bahwa
kurang gizi pada anak-anak di daerah Amanuban Selatan Kab.
TTS, antara lain disebabkan karena buruknya pola asuh anak, termasuk pola makan di

dalam keluarga. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan ibu tentang gizi yang masih

138
rendah, yang berimbas pada praktek pengasuhan kesehatan dan pemberian makan
pada anak, perilaku kesehatan sehari-hari, sanitasi lingkungan rumah, pendidikan
ayah dan ibu tentang gizi, serta rendahnya pengetahuan ibu dalam pemanfaatan
layanan kesehatan. Kondisi di atas diperburuk dengan ketersediaan air bersih yang
minim.
Sejumlah persoalan budaya dan tradisi yang terkait gizi ikut menyumbangkan
pada persoalan gizi keluarga di NTT. Persoalan-persoalan tradisi dimaksudkan antara
lain tradisi Neno Bo’ha dan konsumsi jagung bose selama periode 40 hari, membeli
pinang dan siri ketimbang mengalokasikan sumberdaya ke konsumsi ibu dan bayi, dan
beberapa keyakinan akan efek negatif dari makanan pada ibu menyusui dan ibu hamil
(Martianto dkk, 2008). Persoalan-persoalan tersebut ditemukan di masyarakat Atoni
Meto yang tinggal di Pulau Timor (Manongga dkk, 2008; Karwur dkk, 2007;
Manongga dkk, 2008). Persoalan gizi tersebut diduga lebih buruk pada ibu dan anak
yang berada dalam periode neonatal karena tradisi melahirkan Neno Bo’ha, yang
dipraktekkan secara ketat (Nuban dan Karwur, 2013).

Persoalan penting lain adalah makanan yang dikonsumsi selama 40 hari di


rumah bulat/Ume Kbubu. Dalam perkembangan kontemporernya, ada sejumlah
ibu menyusui yang mengkonsumsi jagung bose pada hari pertama sampai hari ke-
7 tidak menambahkan makanan lain, dengan alasan takut diare, atau bahkan
meninggal karena perut masih terluka, atau supaya darah kotor keluar dengan
lancar. Jagung bose adalah pipilan jagung yang telah dikeluarkan kulit arinya, dan
dimasak tanpa garam, sehingga berbentuk bak bubur jagung, walaupun buliran
jagungnya masih kelihatan. Sisa waktu sampai 40 hari ibu sudah bisa
mengonsumsi jagung bose yang telah dicampur dengan bahan makanan lain.

Pemahaman masyarakat tersebut merugikan karena dapat mengakibatkan


gizi kurang pada ibu pasca melahirkan seperti ibu yang hanya boleh makan jagung
bose, tidak boleh makan buah pepaya (buah di sayur). Apa yang menjadi praktek
pangan dalam tradisi Neno Bo’ha sejalan dengan konteks pangan di Masyarakat
Timor. Sumber pangan yang dikonsumsi oleh penduduk Atoni Meto didominasi

139
oleh pangan sumber karbohidrat seperti jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Sumber
pangan protein dan vitamin seperti kacang-kacangan dan buah-buahan konsumsi
masih relatif rendah.
Secara lebih spesifik, studi yang dilakukan oleh Nuban dan Karwur (2013)
menemukan bahwa konsumsi gizi ibu menyusui/pasca melahirkan selama 40 hari
dalam tradisi Neno Bo’ha didominasi oleh sumber karbohidrat dengan defisit protein,
lemak, mineral dan vitamin yang signifikan. Akan tetapi, penelitian terdahulu (Karwur
dkk, 2012) di Desa Binaus Kec. Mollo Tengah juga menemukan hal menarik bahwa
ada sebagian kecil warga yang melakukan tindakan mengkonsumsi bubur beras padi
selain jagung bose, serta menambahkan kacang-kacangan ke dalam jagung bose yang
diperuntukkan ibu pasca melahirkan. Hal ini memberikan petunjuk bahwa tradisi
mengkonsumsi jagung bose merupakan tradisi yang dapat dimodifikasi, dan tindakan
itu belum/tidak menemukan adanya sangsi sosial yang nyata ataupun konsekuensi
medik yang merugikan.

Oleh karena itu, penelitian participatory action research ini bertujuan untuk
melakukan modifikasi tradisi mengkonsumsi jagung bose dengan melakukan
pemerkayaan bahan makanan dan olahan jagung bose yang dikonsumsi ibu-ibu pasca
melahirkan yang mempraktekkan tradisi Neno Bo’ha, pada ibu-ibu yang melahirkan
dalam periode tertentu di 3 desa (Binaus, Oelbubuk, dan Oel‘ekam) di
Kecamatan Mollo Tengah, Kab. TTS, NTT.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian modifikasi budaya Neno Bo’ha untuk peningkatan gizi dan bayi ini
menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun tipe penelitiannya adalah kaji-
tindak partispatif yang melibatkan pihak sasaran yang diteliti, dan unsur subjektif
mereka untuk ikut terlibat dalam mendesain bersama-sama anggota masyarakat
rancangan intervensi modifikasi jagung bose dengan penambahan bahan makanan,
baik yang diberikan pihak luar (peneliti luar) maupun pihak keluarga.

140
Penelitian dilakukan di 3 desa, yaitu Desa Binaus, Oelbubuk dan Oel‘ekam
Kecamatan Mollo Tengah, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur sejak
bulan Juli hingga bulan November 2015. Jumlah riset partisipan sebanyak 11
orang ibu postpartum (5 orang di Desa Binaus, 2 orang di Desa Oelbubuk dan 4
orang di Desa Oelekam).
Aspek kritis keberhasilan kaji-tindak partisipatif adalah dukungan
pemangku kepentingan dimana persoalan yang akan dipecahkan bergantung
kepada kehendak para pihak untuk berubah. Dalam hal ini, prakondisi sosial dan
kelembagaan dilakukan dengan membawa pokok persoalan ke dalam pembahasan
dan persetujuan pihak pemangku kepentingan. Pelaksanaan prakondisi sosial dan
kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan dengan (a) menjalin hubungan
dengan pihak otoritas Kabupaten TTS (b) memperoleh persetujuan dan pelibatan
otoritas kecamatan dan desa (c) melakukan pembicaraan dan mendapatkan
persetujuan pihak pemerintah desa (d) pelibatan Puskesmas Binaus (e) perolehan
persetujuan sosial kultural atas rencana intervensi di tiap desa dengan melibatkan
tokoh adat, masyarakat, kader Posyandu, pemerintah dan tenaga kesehatan desa.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jagung bose merupakan makanan pokok bagi masyarakat Timor dan


sudah menjadi bagian tradisi lokal untuk dikonsumsi setiap hari di samping beras.
Pun pada ibu hamil diharuskan mengkonsumsi jagung bose selama 40 hari tanpa
dicampur bahan makanan lain dengan alasan dapat memberi tenaga yang lebih
sehingga mempercepat proses pemulihan ibu, mempercepat proses penyembuhan
luka pasca persalinan dan meningkatkan produksi Air Susu Ibu (ASI). Namun
seiring perkembangan jaman, terjadi perubahan pemikiran sehingga ibu
postpartum yang hanya mengkonsumsi jagung bose saja sudah jarang dan jika
masih adapun hanya 1 atau 2 ibu. Hal ini dikarenakan masih adanya pengaruh
nenek atau kakek sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam keluarga tersebut.

141
Bahan pangan yang dikonsumsi ibu bersalin selama menjalankan tradisi
Neno Bo’ha

Sebelum melakukan intervensi, dilakukan identifikasi tradisi Neno Bo’ha


dalam hal konsumsi jagung bose yang hingga sekarang masih diterapkan dalam ke-
luarga 11 ibu hamil yang menjadi riset partisipan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada persalinan terakhir, ibu masih melakukan tradisi mengonsumsi jagung
bose murni hingga hari ke-40. Walaupun begitu, ada seorang ibu di Desa Oelekam
yang mengatakan bahwa dia mengonsumsi bahan makanan apa saja yang ada di
dapur, jadi tidak harus mengonsumsi jagung bose saja.
Sejak anak pertama sampai ketiga setiap setelah persalinan diharuskan
makan jagung bose saja tanpa dicampur dengan bahan makanan lainnya
selama 40 hari (Ibu SS, Binaus)
Kalau saya apa yang ada di dapur itu yang saya masak, kalau ada jagung
bose tanpa ada bahan lain ya saya makan kalau ada bahan lain ya. Saya
masak jadi satu (Ibu NT, Oelekam)
Persetujuan yang diberikan ke-11 ibu atas kesediaannya untuk
memodifikasi jagung bose menjadi poin penting bahwa konsumsi jagung bose
sebagai tradisi dalam Neno Bo’ha mempunyai peluang untuk diubah dan
dimodifikasi dan tentunya ibu-ibu partisipan menyadari untung ruginya konsumsi
jagung bose saja atau dicampur dengan bahan makanan lain. Dengan
membandingkan pengalaman tradisi konsumsi jagung bose oleh Ibu SS, Ibu EL,
Ibu NB, Ibu MO pada kelahiran anak sebelumnya dengan kelahiran anak sekarang
menunjukkan perubahan yang berbeda bahwa mereka sudah tidak mengkonsumsi
jagung bose saja selama 40 hari dan sudah mencoba mengkonsumsi jagung bose
dengan tambahan bahan makanan lain meski dalam jumlah dan jenis yang masih
terbatas, yaitu bubur beras, kacang tanah, telur. Penjelasan terkait zat gizi yang
terkandung dalam jagung bose disisipkan saat peneliti dan kader mengunjugi ibu
partisipan meminta persetujuan partisipatif dalam penelitian kaji tindak ini.
Terdapat tiga bentuk tanggapan/reaksi pihak keluarga terhadap pemberian

penjelasan tersebut:

142
1. Semua keluarga memiliki pemahaman yang positif bahwa jagung bose
yang dikonsumsi oleh ibu bisa ditambahkan bahan makanan tertentu.
2. Ada 3 ibu dari 11 ibu tidak mengonsumsi bahan makanan tertentu yang
dicampurkan ke dalam jagung bose. Ibu FS dan Ibu SS tidak
mengonsumsi kacang turis, kacang merah dan kacang nasi karena
menurut kepercayaan mereka bahan makan tersebut dapat menyebabkan
bayi kembung. Selain 2 orang ibu tersebut, Ibu EL juga berpantang
mengkonsumsi daging merah dan sayur sawi. Kepercayaan mereka yang
sudah turun temurun untuk tidak mengkonsumsi bahan makanan tersebut
membuat peneliti memberikan pilihan kepada keluarga untuk
menggantinya dengan bahan makan lain seperti telur atau ikan.
3. Ke-11 keluarga partisipan penelitian ini menerima kegiatan peningkatan
gizi untuk ibu dan bayi melalui penambahan stimulan bahan makanan
yang diberikan kepada ibu.

Persepakatan mengenai bahan makanan yang dapat disediakan oleh


partisipan dan yang ditambahkan oleh peneliti
Peneliti mendiskusikan dengan keluarga mengenai bahan makanan apa yang
tersedia di rumah dalam jumlah banyak atau cukup selama 40 hari dan yang dapat
diambil dari kebun supaya peneliti tinggal menambahkan bahan makanan yang
keluarga tidak bisa sediakan. Dalam rangka peningkatan status gizi baik pada ibu
hamil maupun pasca melahirkan, peneliti bekerja sama dengan Puskesmas Binaus
dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan pengolahan/memasak bahan
makanan. Kegiatan penyuluhan dan pengolahan/masak bersama bahan makanan yang
dicampurkan ke jagung bose dilaksanakan pada tanggal 5-6 Agustus 2015 di Kantor
Desa Binaus dengan mengundang kader posyandu 6 desa di Kecamatan Mollo Tengah
yaitu Desa Binaus, Desa Oelbubuk, Desa Oel‘ekam, Desa Pika, Desa Nekemunifeto,
Desa Kualeu.

Bahan makanan yang dipakai untuk ditambahkan pada jagung bose atau yang

dipakai untuk intervensi modifikasi ini berasal dari bahan pangan lokal yang ditanam

oleh masyarakat sendiri seperti kacang tanah, kacang hijau, kacang panjang,

143
kacang merah, sayur kumbang, sayur bunga pepaya, sayur jantung pisang dan
daun singkong. Peneliti memberikan stimulan bahan makanan seperti telur ayam,
daging ayam, daging sapi, ikan kering, ikan mentah atau kacang-kacangan yang
memang tidak bisa disediakan oleh keluarga.

Pemberian bahan makanan tambahan selama 40 hari

Pemberian bahan makanan tambahan yang diberikan peneliti berupa


kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang turis, kacang nasi, daging
ayam, daging sapi, ikan kembung, ikan teri, telur, tahu dan tempe. Hampir semua
jenis bahan makanan yang diberikan kepada semua ibu sama, hanya ada 5 ibu
yang berbeda dari 11 ibu yang lain, yaitu Ibu NB yang mengkonsumsi kacang
merah, Ibu NT dan Ibu DM mengkonsumsi kacang turis, Ibu GB mengkonsumsi
kacang arbila dan Ibu MO mengkonsumsi kacang nasi. Pemberian kacang-
kacangan disesuaikan dengan apa yang ibu konsumsi selama ini. Peneliti
membagi kebutuhan bahan makanan yang diberikan selama 40 hari dalam 6
minggu dan didistribusikan setiap 2 hari sekali kepada masing-masing ibu.
Kebutuhan bahan makanan untuk 2 hari pertama diberikan saat pertama
ibu sudah pulang dari Puskesmas atau Rumah Sakit selanjutnya peneliti atau kader
atau keluarga dari ibu mengambil bahan makanan ke rumah peneliti lapangan atau
ke kader yang mendampingi di tiap-tiap desa. Dalam proses distribusi bahan
makanan ini, peneliti melibatkan kader Posyandu sehingga peneliti sudah
menimbang setiap bahan makanan yang diberikan dan tinggal menyerahkan ke
kader untuk diberikan ke masing-masing ibu.
Pengolahan terhadap bahan makanan disesuaikan dengan kebiasaan
masing-masing ibu, seperti Ibu SS mengolah jagung bose dengan menambahkan
kacang tanah, kacang hijau kemudian ditambahkan air dan dimasak sampai jagung
dan kacang matang atau empuk sedangkan Ibu SP mengolah jagung bose dengan
cara jagung bose dimasak dengan air terlebih dahulu, jika jagung sudah setengah
matang baru dimasukkan kacang tanah dan kacang hijau kemudian dimasak lagi
sampai jagung dan kacang matang.

144
Pemantauan pengolahan bahan makanan di rumah partisipan

Pemantauan terkait pengolahan bahan makanan dilakukan oleh kader dan


peneliti saat melakukan kunjungan ke rumah partisipan. Kader yang sudah dibagi
di tiap-tiap desa saat melakukan pengukuran antropometri pada ibu dan bayi juga
membantu untuk mendistribusikan bahan makanan dari peneliti kepada masing-
masing partisipan dan juga mengecek bahan makanan apa yang sudah diolah pada
hari tersebut. Pada awal pemberian bahan makanan, peneliti dan kader juga
mengajarkancara perhitungan ukuran bahan makanan yang harus dimasak dengan
menggunakan ukuran rumah tangga kepada ibu dan keluarga, yaitu jagung bose 1
gelas belimbing ditambahkan 5 sendok makan kacang tanah atau kacang hijau saat
memasak jagung bose. Untuk memantau apakah bahan makanan yang diberikan
diolah sesuai dengan porsinya, waktu kunjungan peneliti dan kader disesuaikan
dengan jadwal memasak ibu. Jika kunjungan dilakukan tidak bertepatan dengan
jadwal memasak ibu, peneliti meminta ibu untuk menunjukkan hasil olahan bahan
makanan yang sudah dimasak.

Konsumsi bahan pangan selama 40 hari

Konsumsi bahan pangan ke-11 riset partisipan, baik jumlah, frekuensi


maupun jenis diperoleh melalui food recall yang dicatat oleh ibu atau kader dalam
buku food recall. Semua ibu partisipan melakukan penambahan bahan makanan
pada jagung bose, baik itu yang diadakan oleh pihak luar - peneliti - maupun yang
diadakan oleh pihak keluarga sendiri. Diketahui bahwa dari 11 ibu tersebut 7
orang di antaranya sudah pernah menjalani tradisi Neno bo’ha sebelumnya.
Makanan yang dikonsumsi oleh ke-7 ibu tersebut adalah jagung bose, bubur nasi,
nasi, sayur sawi dan ikan. Hasil pembicaraan dengan mereka menunjukkan bahwa
bahan makanan tambahan lain khususnya kacang-kacangan (kacang hijau dan
kacang tanah) dapat ditambahkan dalam pembuatan jagung bose, karena diyakini
kacang yang ditambahkan dapat memperlancar ASI, kecuali kacang tanah, kacang
hijau dan kacang polong.

145
Empat orang ibu lainnya baru pertama kali menjalani masa nifas, sehingga
tidak terpengaruh oleh tradisi Neno Bo’ha (makan jagung bose murni hingga 40
hari), sehingga dari hari pertama pasca persalinan ibu sudah mengonsumsi
berbagai jenis bahan pangan, seperti jagung bose, bubur beras, telur, susu, sayuran
dan daging atau ikan. Jagung bose yang dikonsumsi adalah jagung bose yang
sudah dicampur den-gan kacang hijau, kacang tanah dan sayur.

Jumlah keragaman bahan makanan setiap partisipan selama


menjalankan tradisi Neno Bo’ha
Penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman bahan pangan per hari
berkisar antara 2 s/d 9 jenis bahan pangan, dengan kisaran utama 4 s/d 7 jenis.
Variasi rumah tangga dalam hal keanekaragaman pangan menunjukkan bahwa pada
minggu pertama pasca melahirkan ada ibu-ibu yang menunjukkan variasi pangan yang
lebih terbatas (Ibu FS dan NB) dengan 3 s/d 5 jenis bahan makanan pada minggu
pertama. Sebaliknya, Ibu NT, DM, EL, SP dan MT mengkonsumsi bahan makanan
yang tinggi pada minggu pertama. Adapun ragam jenis bahan makanan yang
ditambahkan oleh keluarga sendiri lebih banyak/lebih beragam dari yang diberikan
pihak luar. Penambahan jenis bahan makanan ini berimplikasi pada inovasi
pembuatan bahan pangan, yang sebelumnya memiliki variasi terbatas.

Kecukupan zat gizi

Kandungan dan nilai zat gizi yang direkomendasikan untuk ke-11 ibu riset
partisipan yakni: kalori untuk (2580 kkal), karbohidrat (354 g), protein (78 g),
lemak (71 g), kalsium (1400 mg), fosfor (700 mg), zat besi (32 mg), vitamin A
(850 mcg), vitamin B1 (1,4) dan vitamin C (100). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa walaupun kandungan zat gizi yang dikonsumsi ke-11 ibu telah melebihi
dibutuhkan (terutama karbohidrat dan protein), tetapi masih terdapat kejadian
dalam 40 hari tersebut, konsumsinya belum mencukupi. Banyak kejadian
konsumsi lemak lebih rendah dari kebutuhan dan ada juga ibu tertentu yang
kekurangannya lebih sering dari ibu yang lain.

146
Kecukupan zat gizi berdasarkan nilai tertinggi dan terendah selama 40 hari
untuk ke-11 partisipan akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Kalori

Berdasarkan analisis kecukupan zat gizi pada ke 11 ibu, ditemukan bahwa


nilai kecukupan kalori ke-11 ibu partisipan bervariasi setiap hari. Nilai zat
gizi kalori pada Ibu EL menunjukkan jumlah kalori yang paling rendah
dibandingkan dengan ibu lainnya dan dibawah jumlah kalori yang
direkomendasikan yaitu 619 kkal (pada hari ke-3), diikuti oleh Ibu MO
sebesar 866,1 kkal (pada hari ke-26). Sementara itu, nilai kalori tertinggi, 3x
lebih besar dari yang direkomendasikan sebesar 7797 kkal didapatkan Ibu
ML pada hari ke-19.

2. Karbohidrat

Konsumsi zat gizi karbohidrat pada ibu sebagian besar diperoleh dari
jagung bose, bubur nasi dan nasi putih. Dalam periode 40 hari tradisi
Neno Bo’ha, nilai karbohidrat tertinggi adalah 10 x lipat dari jumlah yang
direkomendasikan sebesar 3704 gr (Ibu NB, pada hari ke-3) dan jumlah
konsumsi karbohidrat paling rendah yaitu 96 gr (Ibu MO, pada hari ke-2).

3. Protein

Konsumsi dan nilai zat gizi protein pada ibu berasal dari bahan makanan
yakni kacang-kacangan yakni kacang tanah, kacang turis, kacang merah,
kacang arbila maupun kacang panjang serta daging, tahu dan tempe.
Kebutuhan protein yang dianjurkan pada ibu pasca melahirkan adalah 78
gr/hari, dilihat dari tabel tersebut nampak semua ibu mengalami
kekurangan protein pada hari-hari tertentu dan jumlah konsumsi protein
paling rendah pada ibu MO yaitu sebesar 7,8 gr dibandingkan dengan ibu-
ibu lainnya. Ada 7 ibu yang mengalami konsumsi kekurangan protein
pada minggu I dan sisanya pada minggu II dan minggu VI.

147
4. Lemak

Lemak konsumsi dan nilai zat gizi lemak pada ibu berasal dari bahan
makanan yakni daging dan susu yang jumlahnya masih terbatas. pada
hari-hari tertentu konsumsi lemak ke-11 ibu tidak lebih besar dari 18 gr/hr
atau hanya 1/5 dari total kebutuhan lemak yang dianjurkan.

D. KESIMPULAN

1. Semua keluarga partisipan melakukan modifikasi pangan dengan melakukan


penambahan bahan pangan, baik yang diusahakan sendiri atau yang diadakan
pihak peneliti. Dengan demikian, tradisi mengkonsumsi jagung bose adalah
tradisi yang termodifikasi melalui intervensi, yang berimplikasi pada peningkatan
keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi. Peningkatan pemahaman lebih
luas yang tidak terbatas pada ibu dan keluarga memegang peranan penting.
2. Banyaknya zat gizi primer yang dikonsumsi umumnya berada di atas angka
kebutuhan, namun masih ada sejumlah kejadian dalam 40 hari yang masih
mengalami kekurangan. Ada Ibu tertentu yang kekurangannya lebih sering
dan ada ibu yang lain.
3. Keinginan masyarakat untuk memperbaiki kualitas zat gizi dalam tradisi Neno
Bo’ha sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian ini terbatas pada tiga desa.
Diusulkan suatu program perbaikan gizi ibu dan bayi dalam pelaksanaan
tradisi Neno Bo’ha secara berkelanjutan dan lebih mencakup seluruh daerah di
Kabupaten Timor Tengah Selatan.

148
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan R.I. (2008). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Lapo-
ran Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI.
Fanggidae, Helen S., Ferry F. Karwur, Wilson M.A Therik. (2012). Pengasuhan, Gizi
dan Kesehatan Anak Umur 1-3 Tahun Penderita Gizi Buruk di Kecamatan
Amanuban Selatan, Kabupaten TTS. Skripsi (Unpublished).
Karwur, Ferry F., S.O Radja Pono, Dharma Palekahelu, B. Manongga. (2007). Food
Se-curity and Rural Development in South Central Timor Based on Case
Studies in Pollen and Kualin Subdistricts. Workshop to Identify Sustainable
Rural Liveli-hoods. Kupang: ACIAR Proceedings No. 126.
Karwur, Ferry F., Suharmiati, Sakti Oktaria Batubara, Kristiani D. Tauho. (2012). Kaji-tindak
Partisipatif Proses Modifikasi Tradisi Melahirkan Atoni Meto untuk Men-ingkatkan
Kesehatan Maternal dan Bayi di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah,
Kab. TTS, NTT. Surabaya: Balitbangkes Kemenkes RI.
Manongga SP., Simon O Radjapono, Dharma Palekahelu, Ferry F. Karwur. (2008).
Habisnya Persediaan Pangan Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pol-
len, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kritis, 3:170-188.
Manongga, SP., Dharma P. Palekahelu, Simon R. Radjapono, Ferry F. Karwur. (2008).
Status Gizi dan Kesehatan Masyarakat Pollen di Timor Tengah Selatan. Kritis,
20(2):135-155.
Martianto, Drajat, Hadi Riyadi, Dwi Hastuti, Mien Ratu Oedjoe, Edi Djoko Sulistijo, Ahmad
Saleh. (2008). Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk
Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak di Ka-bupaten
Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Fakultas
Ekologi Manusia IPB dengan PLAN Indonesia. Jakarta.
Nuban, Christiana E. H., Ferry F. Karwur. (2013). Konsumsi dan Status Gizi Ibu Me-
nyusui yang Mengikuti Tradisi Neno Bo’ha pada Orang Timor. Salatiga: Skripsi,
Unpublished.
Sandjaja. (2009). Resiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada Ibu Hamil di Indonesia.
Gizi Indonesia, 32(2):128-138.

149
150
BAGIAN I1I

Binaus dan Tantangannya


10

Pos Pelayanan Terpadu Desa Binaus

Kristiani D. Tauho

Department of Nursing, Faculty of Health Sciences, Satya Wacana Christian University


Contact address: kristina.tauho@staff.uksw.edu

Abstrak
Pos pelayanan terpadu yang dilaksanakan di tingkat desa atau kelurahan merupakan upaya
yang dilakukan untuk membantu masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan
dasar. Posyandu sangat penting dalam usaha peningkatan kesehatan melalui tindakan
preventif dan promotif yang dilaksanakan oleh kader dan anggota masyarakat secara
sukarela. Tulisan ini mendeskripsikan pelaksanaan Posyandu yang ada di Desa Binaus
yang merupakan pengalaman peneliti tinggal dan melakukan aktivitas bersama kader
Posyandu antara tahun 2012–2016. Pelaksanaan Posyandu di Desa Binaus dilakukan
secara rutin sekali sebulan oleh 12 orang kader dengan sistem 5 meja. Sebelum hari
buka Posyandu, kader melakukan persiapan (mengundang masyarakat, persiapan
materi penyuluhan, pembagian tugas 5 meja, mengkoordinir pemberian makanan
tambahan dan berkoordinasi dengan petugas kesehatan). Sedangkan di luar hari
Posyandu kader mengunjungi ibu hamil, nifas, melakukan rujukan dan membuat
laporan-laporan. Kegiatan-kegiatan tambahan yang di Posyandu Desa Binaus yaitu
Bina Keluarga Balita, Pos Gizi, kelas ibu hamil.
Kata kunci: Posyandu, kader, Binaus

A. PENDAHULUAN

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), Posyandu


merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat
(UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama

masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Tujuannya adalah


untuk memberdayakan dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam
memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka
kematian ibu dan bayi. Kementerian Kesehatan (2011) juga membagi Posyandu
menjadi 4 tingkatan berdasarkan perkembangannya, yaitu Posyandu pratama,
madya, purnama dan mandiri.
Posyandu pratama adalah Posyandu yang belum mantap, yang ditandai oleh
kegiatan bulanan Posyandu belum terlaksana secara rutin serta jumlah kader sangat
terbatas yakni kurang dari 5 (lima) orang. Penyebab tidak terlaksananya kegiatan rutin
bulanan Posyandu, di samping karena jumlah kader yang terbatas, dapat pula karena
belum siapnya masyarakat. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat
adalah memotivasi masyarakat dan menambah jumlah kader.

Posyandu madya adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan


lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau
lebih, tetapi cakupan kelima kegiatan utamanya masih rendah, yaitu kurang dari
50%. Lima kegiatan utama dimaksud adalah kesehatan ibu - anak (ibu hamil, nifas,
menyusui, bayi, balita), KB (Keluarga Berencana), imunisasi, gizi dan penanggulangan
serta pencegahan diare. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat adalah
meningkatkan cakupan dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat sebagai motivator
serta lebih menggiatkan kader dalam mengelola kegiatan Posyandu.

Posyandu purnama adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan


kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima
orang atau lebih, cakupan lima kegiatan utamanya lebih dari 50%, mampu
menyelenggarakan program tambahan, serta telah memperoleh sumber
pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya masih
terbatas yakni kurang dari 50% kepala keluarga (KK) di wilayah kerja Posyandu.
Sementara itu, Posyandu mandiri adalah Posyandu yang sudah dapat
melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader
sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya lebih dari 50%,
mampu menyelenggarakan program tambahan, serta telah memperoleh sumber

154
pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya lebih

dari 50% KK yang bertempat tinggal di wilayah kerja Posyandu.

Manfaat Posyandu bagi masyarakat yaitu: a) memperoleh kemudahan


untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan anak
balita, b) dapat memantau pertumbuhan balita sehingga tidak menderita gizi
kurang atau gizi buruk, c) bayi dan anak balita mendapatkan kapsul Vitamin A, d)
bayi memperoleh imunisasi lengkap, e) ibu hamil terpantau berat badannya dan
memperoleh tablet tambah darah (Fe) serta imunisasi Tetanus Toksoid (TT), f) ibu
nifas memperoleh kapsul Vitamin A dan tablet tambah darah (Fe), g) apabila
terdapat kelainan pada bayi, anak balita, ibu hamil, ibu nifas dan ibu menyusui
dapat segera diketahui dan dirujuk ke Puskesmas dan h) dapat berbagi
pengetahuan dan pengalaman tentang kesehatan ibu, bayi dan anak balita (Pusat
Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Kader Posyandu yang selanjutnya disebut kader adalah anggota masyarakat


yang bersedia, mampu dan memiliki waktu untuk menyelenggarakan kegiatan
Posyandu secara sukarela. Kader mempunyai peran yang besar dalam upaya
meningkatkan kemampuan masyarakat menolong dirinya untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Selain itu peran kader ikut membina masyarakat dalam
bidang kesehatan dengan melalui kegiatan yang dilakukan baik di Posyandu
(Suhartini, 2009).

Pemilihan pengurus dan kader Posyandu dilakukan melalui rapat desa dan
dilakukan secara musyawarah mufakat sesuai dengan tata cara dan kriteria yang
berlaku. Sebelum melaksanakan tugasnya, kepada pengurus dan kader terpilih
diberikan orientasi dan pelatihan yang dilaksanakan oleh Puskesmas sesuai
dengan pedoman orientasi dan pelatihan yang berlaku. Pelaksanaan kegiatan
Posyandu secara rutin berpedoman pada panduan yang berlaku. Secara berkala
kegiatan Posyandu dipantau oleh Puskesmas, yang hasilnya dipakai sebagai
masukan untuk perencanaan dan pengembangan Posyandu selanjutnya secara
lintas sektoral (Kemenkes RI, 2011).

155
Begitu pentingnya sebuah Posyandu bagi masyarakat menuntut pelayanan
yang diberikan oleh kader maupun tenaga kesehatan dalam pelaksanaan Posyandu
juga perlu ditingkatkan terus menerus. Tulisan ini adalah deskripsi pelaksanaan
Posyandu di Desa Binaus selama 4 tahun (2012-2016), salah satu desa di Kabupaten
Timor Tengah Selatan yang telah menjalankan Posyandu sejak tahun 1984.

B. GAMBARAN UMUM POSYANDU DESA BINAUS

Terdapat 2 buah Posyandu mandiri di Desa Binaus yaitu Posyandu I Sakteo


dan Posyandu II Sanbala. Posyandu I terletak di RT 2, Dusun I dan melayani
masyarakat RT 1, 2, 3, 4, 5 dan 9, sedangkan Posyandu II terletak di RT 7 Dusun II
(kurang lebih 3 km dari Posyandu I) dan melayani masyarakat RT 6, 7 dan 8.
Posyandu I maupun II telah memiliki gedung permanen yang pembuatannya
merupakan bantuan dari pemerintah. Masyarakat secara sukarela melepaskan tanahnya
untuk dijadikan tempat dibangunnya Posyandu. Setiap gedung Posyandu memiliki 1
ruang tertutup berukuran ± 3x3 m, dengan emperan seluas ± 5x3 m.
Emperan tersebut yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan Posyandu,
sedangkan ruang tertutup yang digunakan jika ada pelayanan KB atau
pemeriksaan ibu hamil. Dalam ruangan tersebut segala macam fasilitas Posyandu
seperti meja, lemari, kursi, spanduk dan buku-buku disimpan. Terdapat juga
sebuah tempat tidur bagi ibu hamil yang akan diperiksa.
Posyandu di Desa Binaus diadakan sekali sebulan, yaitu setiap tanggal 18
untuk Posyandu I Sakteo dan setiap tanggal 20 untuk Posyandu II Sanbala. Terdapat
kesepakatan administratif yang ditetapkan di Posyandu, yaitu biaya administrasi
sebesar 2 ribu rupiah setiap peserta Posyandu per bulan. Peserta Posyandu yang baru
mendaftar, baik bayi maupun ibu hamil juga diwajibkan untuk membayar uang
administrasi sebesar 5 ribu rupiah per orang. Semua biaya administrasi dari peserta
Posyandu digunakan untuk kelancaran kegiatan Posyandu, seperti dana untuk
makanan tambahan. Bagi ibu yang tidak membawa bayi dan balita-nya untuk di
timbang di Posyandu, akan dikenai sanksi berupa denda sebesar 5 ribu rupiah.

156
Kebijakan-kebijakan mengenai biaya administrasi dan denda ini merupakan hasil

kesepakatan antara kader dan disetujui masyarakat

Gambar 1. Gedung Posyandu I Sakteo (atas), Posyandu II Sanbala (bawah)

157
Berdasarkan surat keputusan Kepala Desa Binaus Nomor 6 Tahun 2010
tentang Pembentukan Kepengurusan Posyandu Desa Binaus Kecamatan Mollo
Tengah Tahun Anggaran 2010–2014, diketahui bahwa setiap Posyandu di Desa
Binaus memiliki struktur organisasi yang jelas, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Ketua Posyandu bertugas mengkoordinir setiap kegiatan Posyandu, termasuk
setiap anggota kader yang ada dan memastikan bahwa semua program Posyandu
yang dibuat sendiri atau merupakan turunan dari Puskesmas dapat dijalankan di
Desa, bendahara mengelola dan membuat laporan keuangan, sekretaris membuat
notulensi dan mengarsipkan semua jenis administrasi, sedangkan para anggota
bertugas menjalankan kegiatan Posyandu, baik sebelum, pada saat dan setelah hari
Posyandu.

Tabel 1. Struktur Organisasi Posyandu Desa Binaus

Jabatan Posyandu I Sakteo Posyandu II Sanbala


Ketua Lidya Peninaen Yacomina Kase
Bendahara Herudia Banunu Dortia Kune
Sekretaris Yosrafina Tasekeb Nonia Sanam
Anggota Yacoba Sanam Anaci Sanam
Nehemia Neken Sefnat Lo’o
Selfina Tanesib
Yosefina Hauoni

Kader Posyandu Desa Binaus


Secara keseluruhan, jumlah kader di Desa Binaus adalah 12 orang (Tabel
2). Awalnya masing-masing Posyandu di Desa Binaus mempunyai 5 orang kader,
diantaranya 4 orang kader perempuan dan 1 orang kader laki-laki, namun sejak tahun
2014, Posyandu I Sakteo menambahkan 2 orang kader lagi untuk menyiasati luasnya
wilayah binaan Posyandu sebanyak 6 RT, serta banyaknya peserta Posyandu
(78 balita). Sementara itu, Posyandu II yang mencakup 3 RT memiliki hanya
memiliki sasaran sebanyak 24 orang balita, sehingga jumlah kader tetap 5 orang.
Identitas para kader Posyandu dapat dilihat pada tabel 2.

158
Tugas Kader Posyandu Desa Binaus

Tugas-tugas para kader Posyandu dilakukan sebelum hari buka Posyandu,


pada hari buka Posyandu dan di luar hari buka Posyandu. Sebelum hari buka Posy-
andu, kader menyebarluaskan hari buka Posyandu melalui pertemuan warga setem-pat
(biasanya melalui warta jemaat di gereja), mempersiapkan tempat pelaksanaan
Posyandu, mempersiapkan sarana Posyandu, termasuk membersihkan Posyandu
bersama masyarakat, melakukan pembagian tugas antar kader, berkoordinasi den-
gan petugas kesehatan dan petugas lainnya dan mempersiapkan bahan makanan
tambahan dan penyuluhan. Di Desa Binaus, persiapan tempat Posyandu dilakukan
bersama-sama orangtua bayi-balita dengan membagi jadwal secara bergilir per
RT, demikian juga dengan persiapan bahan makanan tambahan.
Tabel 2. Identitas Kader Posyandu Desa Binaus
Nama Lengkap Umur Pendidikan Suku Pekerjaan
terakhir
Lidya Peninaen 48 SMA Flores IRT
Yosrafina Tasekeb 41 SMEA Mollo IRT
Herudia Banunu 42 SMA Amanuban IRT
Yacoba Sanam 70 SD Mollo IRT
Nehemia Neken 52 SMEA Mollo Petani
Selfina Tanesib 47 SMA Mollo IRT
Yosefina Hauoni 41 SD Mollo IRT
Yacomina Kase 63 SD Mollo IRT
Dortia Kune 54 SD Mollo IRT
Nonia Sanam 37 SD Mollo IRT
Anaci Sanam 49 SD Mollo IRT
Sefnat Lo’o 48 SD Mollo Petani

Pada hari buka Posyandu, kader melaksanakan kegiatan dengan pola lima
(5) meja, antara lain: (a) pendaftaran pengunjung Posyandu (b) melaksanakan
penimbangan dan pengukuran tinggi badan balita dan ibu hamil serta melakukan
pengukuran LILA (Lingkar Lengan Atas) pada ibu hamil dan WUS (Wanita

159
Usia Subur), (d) membantu petugas kesehatan dari Puskesmas Binaus dan Badan
Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera (BPP-
KBKS) Kecamatan Mollo Tengah memberikan pelayanan kesehatan dan KB
sesuai kewenangannya dan bersama petugas kesehatan melengkapi pencatatan dan
membahas hasil kegiatan serta tindak lanjut setelah pelayanan Posyandu selesai,
(e) melaksanakan kegiatan penyuluhan dan konseling kesehatan dan gizi sesuai
dengan hasil penimbangan serta memberikan PMT.
Para kader membagi tugas sehingga semuanya bisa berperan dalam kegiatan

5 meja ini. Pembagian tugas tersebut nampak pada Tabel 3 dan Gambar 2.

Gambar 2. Aktifitas di meja pengisian KMS (kiri atas), kader mengukur LILA ibu
hamil (kanan atas), Kegiatan penimbangan bayi (kiri bawah), pembagian makanan
tambahan (kanan bawah)

160
Tabel 3. Jenis pelayanan di Posyandu dan penanggungjawabnya

Penanggungjawab
Meja Jenis pelayanan
Posyandu I Sakteo Posyandu II Sanbala
1 Pendaftaran Lidya P Dortia K
2 Penimbangan Nehemia N, Yosefina H Nonia S
3 Pengisian KMS Yosrafina T, Herudia B Yakomina K
4 Pelayanan kesehatan Selfina T Anaci H
5 Penyuluhan Yacoba S, Lidya P Sefnat L

Di luar hari buka Posyandu kader mengadakan pemutakhiran data sasaran


Posyandu: ibu hamil, ibu nifas dan ibu menyusui serta bayi dan anak balita, mem-buat
laporan SKDN tentang jumlah semua balita yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Posyandu, jumlah balita yang mempunyai Kartu Menuju Sehat (KMS) atau Buku
KIA, jumlah balita yang datang pada hari buka Posyandu dan jumlah balita yang
timbangan berat badannya naik, melakukan tindak lanjut terhadapsasaran yang tidak
datang dan yang memerlukan penyuluhan lanjutandan menghadiri pertemuan rutin
kelompok masyarakat atau organisasi keagamaan. Kader di Desa Binaus juga secara
berkala melakukan rapat dengan tenaga kesehatan, yaitu Kepala Puskesmas Pembantu
(Pustu) maupun Bidan Desa. Kader juga bertugas memantau perkembangan ibu hamil,
mengantar ibu hamil ke fasilitas kesehatan yang memadai dan mengunjungi ibu
bersalin. Kegiatan tambahan yang dilakukan di Posyandu I Sakteo maupun Posyandu
II Sanbala adalah Bina Keluarga Balita (BKB), kelas ibu hamil dan tabungan ibu
bersalin (Tabulin).
Pos gizi adalah salah satu kegiatan yang dilakukan sebagai tindak lanjut
dari Posyandu. Setiap balita yang memiliki berat badan di garis kuning ke bawah
dalam grafik KMS, diundang untuk mengikuti kegiatan demo masak dari bahan
pangan lokal secara bersama di rumah salah satu kader selama 10 hari berturut-
turut. Adanya kegiatan ini membuat ibu-ibu saling membagi pengalaman maupun
resep makanan sehingga ibu lebih kreatif dalam memberikan makanan bagi anak.

161
Bagi masyarakat Desa Binaus, kader adalah pemimpin. Kader dipercaya
menjadi perwakilan di organisasi-organisasi pemerintahan maupun gereja.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara selama ini, terlihat bahwa masyarakat
selalu menyetujui setiap usulan yang diberikan oleh kader Posyandu, meskipun
dalam pelaksanaannya tidak semua melakukan seperti yang sudah disetujui. Salah
satu contohnya adalah kesepakatan agar keluarga ibu hamil segera memberitahu
kader jika ada tanda persalinan, sering tidak dilakukan atau terlambat dilakukan
sehingga ibu bisa melahirkan di rumah.
Kesepakatan untuk tidak boleh mengunjungi ibu bersalin jika tidak bersalin
di fasilitas kesehatan menyebabkan kader terkadang mendapatkan ancaman dari
masyarakat yang merasa tidak bersalah dan diberlakukan dengan tidak adil. Kader
juga selalu tidak sependapat dengan dukun bersalin mengenai persalinan, baik di
rumah maupun di fasilitas kesehatan yang memadai. Jika terjadi kematian bayi atau
keguguran, kader dan dukun bersalin saling menyalahkan. Dukun bersalinpun selalu
tidak mengikuti pertemuan bersama yang membahas mengenai kesehatan ibu anak
jika pesertanya ada kader, karena sering merasa tersinggung dengan sikap kader.
Dalam pelaksanaan Posyandu di Desa Binaus juga terdapat beberapa
kelemahan, yaitu tingkat pendidikan kader yang kebanyakan hanya tamat SD,
sehingga terkadang sangat sulit untuk memahami bagaimana melakukan proses
dokumentasi kegiatan. Beberapa kader juga usianya sudah lanjut, sehingga
berpengaruh terhadap ketepatan pencatatan di KMS maupun dalam laporan-
laporan. Tidak semua kader aktif melakukan penyuluhan (biasanya hanya ketua
kader Posyandu I) dan beberapa kader sering mengeluh bahwa semua yang
dilakukan tidak mendapat respon dari masyarakat dan mengatakan tidak mau
menjadi kader lagi. Melakukan penetapan kader baru yang berusia muda
merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan masalah tersebut, karena pada
umumnya ibu-ibu muda menamatkan pendidikan atas dan memiliki wawasan yang
lebih luas sehingga lebih banyak ide dalam memecahkan suatu masalah.
Peluang terbesar yang dimiliki oleh Posyandu Binaus adalah banyaknya

LSM maupun organisasi pemerintahan yang masuk. Hal ini adalah kesempatan

162
yang bisa digunakan oleh kader-kader Posyandu dalam meningkatkan kapasitas

mereka melalui pelatihan-pelatihan sehingga pelayanan yang ada bisa semakin baik.

C. KESIMPULAN

Terdapat 2 Posyandu mandiri di Desa Binaus yaitu di Dusun I (Posyandu I


Sakteo) dan Dusun II (Posyandu II Sanbala). Pelaksanaan Posyandu di Desa Binaus
dilakukan secara rutin sekali sebulan oleh 12 orang kader dengan sistem 5 meja pada
setiap tanggal 18 dan 20 pada bulan berjalan. Struktur organisasi Posyandu ditetapkan
dalam SK Kepala Desa Binaus dan pelaksanaannya didampingi oleh petugas
Puskesmas Binaus dan BPP-KBKS Mollo Tengah. Sebelum hari buka Posyandu,
kader melakukan persiapan (mengundang masyarakat, persiapan materi penyuluhan,
pembagian tugas 5 meja, mengkoordinir pemberian makanan tambahan dan
berkoordinasi dengan petugas kesehatan). Sedangkan di luar hari Posyandu kader
mengunjungi ibu hamil, nifas, melakukan rujukan dan membuat laporan-laporan.
Kegiatan-kegiatan tambahan yang di Posyandu Desa Binaus yaitu Bina Keluarga
Balita, Pos Gizi, kelas ibu hamil.

Pelaksanaan Posyandu mengalami tantangan tidak hanya dari dalam diri


para kader yang kebanyakan sudah masuk dalam kategori lanjut usia sehingga
berpengaruh terhadap kemampuan melakukan dokumentasi Posyandu, tetapi juga
karena masyarakat tidak selalu menerima dan melakukan setiap keputusan yang
disepakati dan masih terdapat perbedaan pendapat maupun sikap dengan dukun
bersalin. Walaupun demikian, masuknya LSM-LSM ke Desa Binaus dan
perhatian dari Pemerintah setempat merupakan peluang besar yang bisa
dimanfaatkan oleh para kader dalam meningkatkan kapasitas mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI

163
Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2012). Buku Pegangan Kader
POSYANDU. Jakarta: Promkes Kemenkes RI
Suhartini. (2009). Petunjuk Teknis Kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
melalui PNPM Mandiri Perdesaan
Surat keputusan Kepala Desa Binaus Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pembentukan
Kepengurusan Posyandu Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Tahun
Anggaran 2010 – 2014

LAMPIRAN

Profil Kader Posyandu Binaus

Mama Lidya Peninaen, istri bapak Kepala Desa


Binaus lahir di Geliting (Flores) tanggal 19 Mei
1968. Mama Lidya Peninaen, adalah seorang
ibu berketurunan Cina dan sudah menjadi kader
selama 10 tahun, semenjak suaminya menjabat
sebagai Kepala Desa Binaus. Mama Lidya
memiliki 2 orang putra dan seorang putri yang saat
ini sudah menyelesaikan pendidikannya di Institut
Pertanian Bogor. Sebagai Ketua Kader dan juga
Ketua Tim Penggerak PKK Desa Binaus, Mama
Lidya Peninaen selalu memberikan penyuluhan dan
motivasi kepada para peserta Posyandu dan
keluarga mereka tentang bagaimana meningkatkan
kesehatan tidak terbatas di Posyandu saja, tetapi
juga gereja, kelompok kaum ibu, kelompok
PKK dan dalam pertemuan apa saja seperti acara
syukuran. Hal yang paling sering Mama Lidya
Peninaen tekankan adalah agar persalinan
dilakukan di fasilitas kesehatan yang memadai,
yaitu di Puskesmas atau RSUD Soe. Dia selalu
membantu keluarga yang datang melapor jika ibu
hamil akan melahirkan, dengan menyiapkan
fasilitas untuk mengantar ibu ke rumah sakit.

164
Mama Yosrafina Boimau adalah kakak ipar dari
Mama Lidya Peninaen (saudara perempuan
dari Kades Binaus). Mama Yosrafina lahir di
Sakteo, tanggal 17 Juli 1975 dan merupakan
kader sejak awal Posyandu didirikan pada akhir
tahun 1980-an. Mama Yosrafina menikah
dengan suaminya yang berasal dari suku
Amanuban dan mereka mempunyai 4 orang anak
perempuan. Anaknya yang sulung Mama
Yosrafina sudah menamatkan kuliahnya dan
sekarang menjabat sebagai salah satu kepala
urusan (kaur) di Kantor Desa Binaus Mama
Yosrafina Boimau selalu bisa ditemui dalam
kegiatan kaum ibu, maupun kegiatan Posyandu.

Mama Ndunloe adalah orang asli Binaus yang


menikah dengan suaminya yang berasal dari
suku Rote dan memiliki 8 anak yang hidup.
Dua diantaranya meninggal. Anak yang ke-4
meninggal ketika berusia 23 tahun, sedangkan
anaknya yang bungsu meninggal ketika
umurnya masih beberapa bulan. Mama
Ndunloe yang lahir di Upheum pada tanggal
04 Januari 1946 juga merupakan kader yang
masa pelayanannya paling lama di Desa
Binaus (sejak awal berdirinya Posyandu di
Binaus). Setiap hari Mama Ndunloe bergantian
dengan menantunya menjual makanan ringan
buatan sendiri di depan SD N Sakteo.
Suaminya adalah seseorang yang memiliki
keterampilan membangun rumah, dulu
merupakan pendeta di Gereja Syalom Sakteo.

165
Mama Herudia Banunu adalah orang Amanuban
Selatan, dari Noebeba yang lahir pada tanggal
18 Mei 1974. Mama Herudia menikah dengan
Bapak Yorhans Tapatab dan memiliki 2 orang
anak perempuan dan seorang anak laki-laki.
Rumah mereka terletak di Dusun II, tetapi
mereka tinggal di rumah mertuanya sebagai
rumah tua keluarga yang terletak di RT 3, Dusun
I. Rumah tersebut sering digunakan sebagai
tempat memasak untuk kegiatan Pos Gizi.
Rumah Mama Herudia Banunu setiap hari selalu
dikunjungi oleh orang-orang, mungkin karena
letaknya yang strategis di tengah-tengah jalur ke
Dusun II maupun ke Dusun I.

Bapak Nehemia Neken lahir di Sakteo tanggal 7


November 1964, merupakan kader yang
menggantikan posisi istrinya yang sudah
bertahun-tahun mengabdi sebagai kader
Posyandu. Bapak Nehemia memiliki 3 orang
putra dan 2 orang putri. Anak sulungnya sekarang
sedang duduk di bangku SMA, sedangkan
anak bungsunya baru duduk di Kelas 2 SD.
Selain menjadi kader Posyandu balita, Bapak
Nehemia juga merupakan koordinator untuk
Posyandu lansia yang baru berjalan tahun 2015.
Keterampilan lain yang dimiliki adalah
keterampilan dalam membuat bangunan dan
memperbaiki barang-barang yang rusak seperti
payung dan berbagai macam barang elektronik.
Tipitap (alat cuci tangan) yang ada di Posyandu
I Sakteo adalah buah tangan Bapak Nehemia
Neken, dari yang terbuat dari jerigen dan tali.
Di Posyandu, Bapak Nehemia Neken
biasanya bertugas di meja penimbangan.

166
Mama Yacomina Kase adalah istri dari Bapak
Bernadus Sanam, salah seorang tua adat di Desa
Binaus yang pernah memerintah Desa Binaus
selama 20 tahun. Mama Yacomina Sanam dengan
pendidikan terakhir SD lahir di Binaus tanggal 19
Desember 1953 dan telah menjadi kader selama 32
tahun, sejak suaminya menjabat sebagai kepala
Desa pada tahun 1984 hingga sekarang. Mama
Yacomina Sanam adalah ketua kader Posyandu II
Sanbala, di RT 7, Dusun II, walaupun rumahnya
jauh di RT 2, Dusun I. Mama Yacomina Sanam
sangat aktif dalam kegiatan kaum ibu di Gereja
Syalom Sakteo dan kegiatan pemerintahan di desa.
Setiap kali Posyandu, Mama Yacomina akan
berjalan kaki ke Posyandu yang berjarak sekitar 3
km dari rumahnya dan mengkoordinir semua
kegiatan Posyandu, dari penimbangan hingga
penyuluhan dan pemberian makanan tambahan.

Mama Nonia Sanam lahir di Biloto, tanggal 7


Desember 1979. Mama Nonia Sanam mempunyai
4 orang putra dan tinggal di depan Posyandu II
Sanbala. Suaminya bernama Bapak
Welem Na’u. Rumahnya selalu dijadikan tempat
untuk menyiapkan makanan tambahan setiap kali
Posyandu. Biasanya setelah melakukan
penimbangan dan pelayanan kesehatan, peserta
Posyandu akan datang dan makan di rumahnya.
Kegiatan demo masak di Posyandu II juga selalu
dilakukan di rumah Mama Nonia Sanam. Bahkan
ketika terjadi konflik kepemilikan tanah Posyandu
dan gedung Posyandu II disegel selama lebih dari
2 tahun, mama Nonia dan suami menyediakan

rumahnya sebagai tempat pelaksanaan Posyandu.

167
Mama Dortia Oematan lahir di Sakteo, tanggal
2 Desember 1962, dengan pendidikan terakhir
SD. Mama Dortia menikah dengan Bapak Obed
Kune dan tinggal di RT 6. Mereka mempunyai
3 orang anak, 2 putri dan 1 putra. Di Posyandu,
Mama Dortia Kunelah biasanya berada pada meja
register atau penimbangan. Mama Dortia juga
sering membantu tenaga kesehatan melakukan
pencatatan hasil Posyandu. Mama Dortia pernah
menjabat juga sebagai majelis di Gereja Syalom
Sakteo sebagai penatua.

Mama Anaci Sanam adalah satu-satunya kader dari


10 orang kader Posyandu yang sangat pendiam.
Mama Anaci Sanam lahir di Kuantunan, pada
tanggal 4 April 1967. Mama Anaci Sanam
mempunyai 2 orang anak, seorang putri yang
sekarang sudah bekerja di Surabaya dan seorang
anak laki-laki yang masih berumur 10 tahun.
Ketika anaknya berumur 6 tahun, setiap hari Mama
Anaci Sanam mengantar anaknya ke sekolah yang
berjarak sekitar 3 km dari rumah dan menunggunya
hingga pulang ke rumah. Rumah Mama Anaci
Sanam terletak di RT 7, sekitar 100 m ke
dalam dari jalan menuju Dusun III.
Bapak Sefnat Lo’o lahir di Sakteo, tanggal 1 Sep-
tember 1968, dengan tingkat pendidikan terakhir
SD. Bapak Sefnat memiliki 5 orang anak, seorang
putri dan 4 orang putra. Bapak Sefnat Lo’o sama
seperti Bapak Nehemia Neken merupakan kader
laki-laki satunya di Posyandu II Sanbala. Selain
membantu dalam penimbangan, dalam setiap kali
Posyandu, Bapak Sefnat Lo’o yang selalu memberi-
kan penyuluhan kepada masyarakat. Bapak Sefnat
Lo’o hanya bisa ditemui di Posyandu atau pada
pertemuan –pertemuan di desa, karena merupakan
petani yang setiap hari bekerja di kebun.

168
11

Empowerment of Women in Timor Tengah Selatan

Natalia Stehle¹, Ferry F. Karwur²

¹ Evangelische Hochschule Ludwigsburg,


²Health Sciences Faculty, Satya Wacana Christian University

Preamble

“We can end poverty by 2015” (United Nation 27.01.2015).

With the above statement, the United Nations gained a worldwide attention in
year 2000 as they established the Millennium Development Goals. The international
targets aimed to improve the development of countries throughout the world by the
year 2015. Therefore, goals such as “Improve Maternal Health”, “Reduce Child
Mortality” as well as “Promote Gender-Equality and Empower Women” have been
setted (Hadikusumah, 2013, p. 54-55).
The UN reported in year 2014 about great developments, as well as about
difficulties which the countries still have to struggle with. Though Indonesia still did not
reach the targets of the MDG’s completely, the country is heading to improve the national
situation and consequently to contribute to global development (Hadikusumah, 2013, p.
55-56). However, the results of the achievements are general and according to the country
as a whole, not to its single regions and remote villages which still place values on
traditional customs. This statement is supported by the fact that “some areas remain far
behind, particularly in eastern Indonesia where child mortality rates in several provinces
are more than double the national average” (Hadikusumah, 2013, p. 56).
The following paper aims to uncover the situations of women from a village
in Timor Tengah Selatan - the eastern part of Indonesia. Because most of the women
in the Binaus Village are housewives who manage the household, take care of their
children and support their husbands in tasks such as farming, the main survey will
analyse women who shortly became mothers. Due to limited capacities of the present
paper, as well as to lacking language skills and English literature, a representative
number of women from Hamlet 1 will be interviewed. The conditions of Timorese
women will be analysed through further interviews within the village. Referring to the
results of the survey and having regard to the status as well as to the possibilities of
the women within the community, the aspects of empowerment will be discussed and
evaluated. Through visualizing the needs of the women from Binaus, the following
seminar paper aims to contribute to community development in Nusa Tenggara Timur.

A. BACKGROUND INFORMATION ON TIMOR TENGAH


SELATAN AND THE BINAUS VILLAGE

In terms of geographic position, Timor Tengah Selatan (TTS) is a regency


in Nusa Tenggara Timur (NTT). NTT is a province which covers the area of
Indonesia’s eastern Islands, bordering to the State of East Timor. The boundary of
Timor Tengah Selatan to the North is Timor Tengah Utara which spreads out up to
the eastern side of the regency and meets there the Belu Regency. To the West,
Timor Tengah Selatan is bordering to Kupang Regency which is the capital of
NTT, while the southern part is situated at the Timor Sea (BPS TIMOR TENGAH
SELATAN 2013, p. 3). Since 2007, the Timor Tengah Selatan Regency consist
administratively of 32 district which are divided into 228 villages and 12 urban
areas (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 13). Its capital is SoE, a town that
consists of 40,313 residents (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 33).

In year 2012, the population of TTS was 453,386 out of which 229,436
residents were female (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 34). The highest
percentage in 2012 represents the number of population between the age 0-4 years

170
with 13.40 %. This amount increased by 1.03 % compared to the year 2011. With
12.25 %, the age-group between 5-9 years follows, accompanied by the number of
children aged from 10 to 14 years (11.13 %). In all age categories, male residents
in TTS are the majority, except the higher number of female community members
in the age groups between 20 and 49 years, as well as 60-64 years (BPS Timor
Tengah Selatan, 2013, p. 37).
The Badan Pusat Statistik (BPS) measures poverty by using the concept of
basic needs approach. BPS views poverty as an economic inability to fulfil food and
non-food basic needs. Those needs are measured by consumption and expenditure, for
which a poverty line has been calculated. Consequently, a person whose monthly
expenditure is below the poverty line, is considered to be poor (BPS Timor Tengah
Selatan, 2013, p. 303). In year 2006, 39.93 % of people in Timor Tengah Selatan has
been renowned as “poor”. The percentage reduced every year constantly until 26.96 %
in year 2011. In the following year, the number of people below the poverty line
increased again up to 27.53 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 307).

In year 2012, maize (67.086 ha) and cassava (17.583 ha) counted as food
crops that have been mostly harvested in TTS (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p.
147). In the same year, most of people used oil lamps (52.79 %) as a source of lighting
and firewood (91,19 %) as main energy for cooking (BPS Timor Tengah Selatan,
2013, p. 128, 127). 63.97 % of the households in TTS used in 2012 public
facilities for drinking water and 26.04 % were sharing it (BPS Timor Tengah
Selatan, 2013, p. 117). Most of the households own a cellular phone (53.62 %) for
technological communication and only 0.93 % possess a PC (BPS Timor Tengah
Selatan, 2013, p. 115).

One of the districts of TTS is Mollo Tengah. The district consists of 6


villages, having Sakteo as its capital (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 7, 17).
The total number of residents in Mollo Tengah consisted of 7,328 in year 2012,
out of which 1,749 households have been counted. That means averaging 4 people
in a household (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 33). Conspicuous is that the

171
relation between the number of male (3,676) and the one of female (3,652) residents
in Mollo Tengah are almost equal to each other (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p.
34). While in year 2012 the fertility rate in Timor Tengah Selatan was 6,679, infant
mortality reached the number 127 which increased by 61 since 2011. The fertility rate
in Mollo Tengah accounted for 136 in the same year, whereby the total infant
mortality came to 3 children (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 43).

Located in Mollo Tengah, Binaus is a village which consists currently of 534


females and 538 male residents. According to the interview with the Head of the
Village, there are 508 male and 498 female workers in Binaus who are mostly
involved into work in the household, farming and selling. Despite the usual age of
first working experience which is 19 years, school children are already involved into
work, helping their parents at home. This fact is visible on the total number of the
villagers which is 1,072 compared to the number of workers, namely 1,016. From that
comparison, it follows that there are 56 residents who do not work. At the same time
the number of children in the age of 5 years and below is already 107.

As it can be also observed on the data from year 2012 of Timor Tengah
Selatan (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 67), the higher the educational grade,
the lower is the number of pupils in the Binaus Village. While there are 148 children
enrolled at Primary School, only 39 pupils continue with Junior High School and
29 carry it off to Senior High School. There are 2 boys and 2 girls in the village
aged 7 to 8 years who cannot join the Primary School due to lacking finances for
school equipment.

B. THE WOMEN OF A TIMORESE COMMUNITY

Though Indonesia ratified the “Convention to Eliminate All Forms of


Discrimination Against Women” in 1984, there are still gaps in the country’s
legacy as well as in the policy concerning gender and social aspects. In year

2011, Indonesia ranked 100th out of 187 countries in the Gender Inequality

172
Index of IUN, which measures gender inequality aspects in: reproductive
health, empowerment and the labour market. In terms of women’s
economic empowerment, the country ranked in year 2012 position 85 out
of 128. Those facts show that gender disparities in Indonesia are still high
(MCA-Indonesia Social and Gender Integration Plan 2013, p. 8).
Though gender gaps in educational aspects, such as school enrolments, are
on the way to disappear in Indonesia, disparities still exist in Timor Tengah
Selatan Regency. The average of female community members who never or not
yet attended school was in year 2012 with 17.85 % higher than the one of male
residents with 13.47 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 80). Remarkable is
the number of female community members in the age between 19 and 24 years
who never attended school. The percentage of 8.16 was almost double as high as
the one of male residents of the same target group, which was 4.90 % (BPS Timor
Tengah Selatan, 2013, p. 84-87). Further investigations in the same year revealed
that the illiteracy quote of women was with 20.72 % higher than the one of men
15.95 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 82). According to school
enrolments in year 2012, the numbers of girls not only in Primary (86.53 %) but
also in Senior High Schools (42.21 %) were lower than the ones of boys (91.16 %
and 51.51 %). In spite of that, the number of female students in TTS was with 2,33
% higher than the one of male university members who did not enrolled at
university in year 2012 (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 83).

As to the BPS-data of 2012, among the population aged from 10 years,


54.76 % female TTS-residents were married, 2.29 % divorced and 8.59 %
widowed. The remaining 34.35 % were considered as single (BPS Timor Tengah
Selatan, 2013, p. 35). In the same year, women aged between 19 and 24 years
married to 53.78 % for the first time and to 25.63 % from the age of 25.

while those numbers lessened since the year 2011, first marriages of the
15 and less aged girls have more than tripled from 1.07 % to 3.36 %. Also, girls in
the age of 17 to 18 years married remarkable more frequently in year 2012 (14.39

173
%) than in the previous year (9.80 %) (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 40).
Early marriages have a great impact not only on educational attainment of girls
but also on their future economic potentials (MCA-Indonesia Social and Gender
Integration Plan 2013, p. 10). 22.92 % of women from TTS who are 10 years and
above and who ever married, had 3 children in year 2012. That is 3.19 % more
than in year 2011. Furthermore, since the previous year the number of 6 children
per woman increased up to 5.50 % and the amount of 9 children per woman
mounted up to 0.53 % from 0.44 % in year 2011. Contrary, in the same year the
quote of women without children has decreased since 2011 by almost 1 % to 8.00
%. Also, the percentage of women having 10 or more children lessened within a
year to 0.63 in 2012 (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 41).
In year 2012, 97.156 women in TTS have been considered as economically
active, out of which 95.915 were employed. In terms of economic activities of male
community members, 122.835 men out of 123.673 counted as employees. Not
economically active were 51.441 female residents whereby 36.289 of them were
involved into housekeeping. On the opposite, those were 17.781 male residents who
did not count as economically active, out of which 1.578 were involved into activities
in the household (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 47). Out of the total number of
9.154 in year 2011, there were 3.031 female official employees in
Timor Tengah Selatan Regency. While in the same year the total amount of male civil
servants was 685, there were 153 women involved as workers into civil services (BPS
Timor Tengah Selatan, 2013, p. 19-21). From the population of the age 15 and above,
69.356 workers were unpaid, including 49.117 female labourers. Most women in TTS
work 15 to 34 hours per week, while the total working hours of men are usually 35
and more hours weekly (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 48, 49).

The average of people working in labour force in TTS increased in the year
2012 in rural areas up to 207,180. Compared to urban areas, which counted in the
same year 13,649 labourers, forced labour conditions in rural places are remarkable
higher (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 54). The data of 2012 shows that the
number of female residents in the age of 15 or above who never attended a formal

174
education and who were participating on labour force was with 18,343 larger than
the one of men which came to 12,570. It strikes that the higher the educational
grade, the lower is the number of female forced labourers: While in the primary
educational level 28,838 girls and women were working under forced conditions,
there was no female forced labourer on the university-level (BPS Timor Tengah
Selatan, 2013, p. 55). Except of forced labour in the sector of Diploma I, II and
III, in all educational sectors forced labour is far higher in rural than in urban

areas (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 56).

In terms of participation on making political decisions and represent


leading positions, the rate of women is limited in the Timor Tengah Selatan
Regency. The total number of the representatives of political parties amounts to
40, out of which 5 are female (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 18).

The Role of Women in Binaus

As from the interview with Bapak Desa, the women in Binaus are mainly
involved into work in the household, farming and selling. In accordance to the
information of Posyandu, the contemporary total number of children in the age of
5 years and below is 107. Furthermore, 7 pregnant women are currently registered
in the village.
There are 19 men and 10 women in Binaus who are officially employed.
Out of these, women in the age of 24 and 37 years who work in the village office
are 3 in number, whereby another 2 female employees are active in the village
committee (cf. ANNEX 1, p. 21-22). The female workers in Puskesmas come daily
from SoE since there is a lack of “skilled workers” within Binaus. Nevertheless,
out of 12 cadres who work for Posyandu, 10 are female village residents. Their
function in the health institution is to assist the midwife, whereby their tasks are
comprised of supporting pregnant women as well as mothers and their children
through data-collection, filling in the health-cards and providing practical health
services. Furthermore, the cadres inform other village residents on health and
nutrition of the mentioned target group. The

175
workers who are in the age between 40 and 68 years earn IDR 300,000.00
yearly, what is sufficient as a side job.
Though there are 5 women from Binaus employed as teachers, the female
headmaster of the Primary School as well as the woman leading Puskesmas are from
SoE. In respect of leading positions within the community, those are 45 out of which
Mama Desa is the only female leader. After her husband became the Head of the
Village 9 years ago, Lidya Tasekeb got into her present position. The Head-Woman of
the Village is furthermore the leader of the cadres as well as of the farmer group in
Binaus. She also supports the church committee in the position of a council and is
responsible for her “small shop”, as well as for her family in the role of a housewife.
After she graduated from Senior High School, she married in the age of
19 years. The interviewee states of never having been supported by any
organizations in educational or other skills, neither her children have ever been.
All the 3 children were born in the Hospital of SoE. The woman did not stay in a
traditional house after delivering because she does not view it as the right place
for a mother and her newborn. The leading woman manages the numerous tasks
outside as well as inside the house on her own. At home her position in decision-
making is equal to the one of her husband.

1. Methodology

The method of the data collection is qualitative, based on narrative


interviews with a representative number of women from Binaus who
recently became mothers. The target group results from the widespread
and common mindset within the community about the role of women,
which is the one of a housewife and mother. The data for the following
survey has been collected on 2nd February 2015 in Hamlet 1 of the Binaus
Village. One of the women stays in a traditional house after delivering,
another one lives with her baby in the house of her grandmother. The
interviewed women are two in number due to the limited time-frame for
data collection.

176
The interviews consist of personal questions which are related to the
background of the previous course of education, the current living and
working situation, as well as of personal impression referred to the current
position as a female community member in the Timorese village. The
question concerning the stay in a traditional house after delivering is insofar
as essential, as the target group refers to mothers and the decision about
staying in a traditional confronts the women with cultural values. The
indicators of the interview serve as an introduction to the target group for to
illustrate who the women are and what they do. The ensued interviews vary
between 20 and 22 questions since they have proceeded individually. The data
collection happened to unannounced times.
In both cases, the interviews have been accompanied by other
community members who were present in the rooms for the duration of the
data collection and even intervening into the conversations. Since it would be
“impolite” to remain alone with the interviewed women, the dialogues have
been continued in the presence of other family members. The observations
during the interviews, on which the other attendees participated as well, have
been included into the survey and turned out to be essential for the results.
Due to language disparities between the interviewer and the survey-
participants, the dialogues have been translated by a third person from
Indonesian into English. The interviews have been put down on paper and
later on transcribed. For data protection, the names of the women will not
appear in the following survey results.

2. Results of the Survey

The age of the interviewed women is 17 and 24 years. While the older
one finished Junior High School, the younger interviewee graduated from
Senior High. Both women who shortly became mothers are currently
housewives, whereby the 17 years old woman plans to continue education in
studying English. She aims to become a teacher. The teenager is not married

177
yet to the father of the 2 months old baby. As the grandmother explains, the 21
years old boy is still learning in High School and therefore not able to support
the child financially. Neither the mother nor the baby have been backed by
any institutions or organizations in Binaus yet. Although, since the baby has
been born in Puskesmas Binaus, it has been checked up monthly at the health
institution Posyandu. Since her childhood, the teenager lives at her
grandmother’s place who retired from being a civil servant, wherefore she
would have enough money to support her grandchild, as she claims. The elder
lady who represents the leading position in making decisions at home, often
speaks for the interviewee during the conversation. Answers like “we don’t
support this tradition” make clear that she does not agree to the custom of
staying in a traditional house for 40 days after delivering. It can be said that
the mindset of the grandmother is distant from traditional thinking. The care
giver of the interviewee is strongly directed towards the future of her
grandchild and seems to place high values on education. Moreover, the term
“we” speaks for high authority and a strong influence of the grandmother on
the young woman. The lady supports and encourages her grandchild to
continue in education for a “better future”. According to the interviewee, she
has “no needs” to improve her current situation.

Contrary to the 17 years old woman, the second interviewee is already


married since one and a half years. The husband graduated from Senior High
School, as he adds, and works currently as a farmer. At the time of the data
ascertainment, the woman is mother of 2 children out of which one is 14 months
and the second born one day old. The woman delivered in the hospital of SoE and
in Puskesmas Binaus. Currently, she stays for the second time in a traditional
house for 40 days. Though she wishes to get out of the hut, where firewood is
burning next to the bed during the interview, she is not allowed to move into the
“big house”. In terms of intervention in that case, the woman claims of not being
able to vent her wish due to the traditional mindset. Nevertheless, she left the
house monthly for checking up her first baby at Posyandu. Furthermore, as it
comes to the question about continuation of the tradition for the next

178
generation, the woman hesitates shortly and answers, it would depend on the
future situation of her children. In case, they would live in SoE, her daughters
would not have obligatory to stay in a traditional house after having delivered.
If the children would stay in Binaus, the interviewed woman would leave the
decision up to them. Her opinion disagrees to the one of her husband, who
proved to be strict in his traditional believes and their practice.
Neither the 24 years old woman, nor her children have ever been
supported by any institutions or organizations in Binaus. After hesitating for a
while, the interviewed utters the wish of an own small shop to support her family
financially. This answer responds to the question about feeling comfortable in the
current position of a housewife. Next, the woman admits to the need of financial
support for her own small business. Concerning the question of feeling more
independent when being the owner of a kiosk, after a short look to the man, no
answer follows. It can be observed during the interview that the answers of the
interrogated woman come delayed. Before she replies to some questions, she
keeps on thinking for a while. In her answers, she seems scared, shy, nervous and
speechless, as if she would not dare to respond to the questions autonomous. Her
manner becomes clear as the interviewee explains that in terms of making
decisions at home, she would “listen” to her husband.

C. WAYS TO EMPOWER

Several organizations are supporting the women in Binaus. One of these is


Sanggar Suara Perempuan (SSP) which empowers women in TTS when it comes to
issues in the process of divorce or the like. Bapak Desa mentioned among others the
CWS which teaches women how to provide healthy food out of local resources.
Through education, the organization aims to improve the health of pregnant women,
mothers and their children. Furthermore, the organization HKI informs about planting
in the own house yard, whereby PNPM helps 15 farmers in Binaus financially. The
Head of the Village also mentioned the PLAN-organization which

179
backs children. Additionally, the interviewed person from Posyandu designated the
World Food Programme as a supporting organization for women in Binaus. By
reference to the aims of those organizations, the position of women as housewives
can be established and their tasks such as farming, cooking and taking care of
children conjectured. In view of those results it becomes clear that the connection
between mother and child strongly correlates in Binaus.
As from the survey, it seems to be common in the village that marriages
follow after pregnancies. The 24-year woman married as she was already pregnant and
the teenage-mother plans to marry after the father of the baby finishes school. In terms
of marriages or pregnancies in the age below 18 years, the village office demands
payments in the amount of IDR 2,000,000.00 from the couple as a punishment. In year
2014 there were 2 such cases in Binaus. Although the penalties invest into the child’s
future, the future of the mother changes aggravating, since in most cases the pregnant
girls drop out of school because they feel” ashamed”. In terms of sexual education,
only pupils in Senior High School know the facts, what means that young people with
lower education remain on their own within a community for which the topic is a
taboo. In this context, education about contraceptive methods and early information
from an independent institution such as Posyandu should be provided, especially for
young girls. Instead of financial penalties, preventive methods could decrease
unexpected pregnancies and consequently avoid early marriages. On this way, girls
could continue longer in school.

In accordance to NTA early education not only “lowers fertility rates” but
also “reduces maternal mortality, and improves the health of their children”. In terms
of lacking food, the spectre of malnutrition is increasing and can unfavourable affect
maternal health. Since organizations like CWS and WFP or institutions such as
Posyandu help to improve understanding about health and nutrition, there is a better
common understanding about health, especially that of pregnant women in Binaus
Village. For medical treatment, people in Timor Tengah Selatan use mostly (75.53 %)
Community Health Centres such as Puskesmas or Pustu (BPS Timor Tengah Selatan,
2013, p. 102). The main supporting institution for pregnant

180
women, mothers and their children is Pos Pelayanan Terpadu or short “Posyandu”.
The health institution exists since 1986 in Binaus and not only provides health
services but also informs the community on health and nutrition. Posyandu aims to
improve the knowledge of women about healthy life for them and their families and
contributes to combating the main health problem in Binaus which is malnutrition.
The registration in Posyandu is obligatory for each pregnant women, mother and
children until the age of 5 years. Even those women who stay in a traditional house
after delivering for 40 days are obligated to the monthly visits with their babies
(cf. ANNEX 3, DESCRIPTION 2, p. 28). This fact is a good example for the
development which currently happens in the Binaus Village. The regular check-up
in health takes place, though the tradition is still kept.
Since the residents of Hamlet 3 rely on the services of the Posyandu in
Hamlet 2, it is difficult not only for the mothers and their babies to reach the place
monthly but also for pregnant women to manage the journey. Due to the far
distanced and onerous way from the remote area, some of the families from
Hamlet 3 are not able to reach the health institution, particularly in times of
rainfall. In this coherence, the government should undertake efforts to develop a
better way of transportation, so that the residents of Hamlet 3 have a better access
to the other part of Binaus where they can get provisions and health services,
especially in emergencies or urgent cases such as delivering.

The cadres who support the midwife at Posyandu are principally female.
The workers are not only involved into administrative tasks such as collecting data
or filling in the health-cards but also face numerous challenges when it comes to
midnight-calls or irregular check-ups on children’s health. Such difficulties
require not only great efforts but purposefulness and a high responsibility. The
women bear witness to their administrative skills and abilities since almost 30
years but still work in a part-time job. Though “favourable and flexible working
conditions for women” can be supporting in their function as housewives, their
hard efforts should be recognized as such and paid suitable, so that the women are
motivated to continue and even to develop in the work.

181
From the interview with Bapak Desa, as well as from those with the women,
it follows that the position of a housewife is considered as the working place of a
woman in Binaus. Furthermore, as it results from the survey, the position of young
women in Binaus is subordinate in the household, be it to the position of the husband
or to the one of the grandmother. Handayani Pinta is convinced that empowerment
serves as “an effort to give opportunity and capability toward community groups to
have voice and choice” (Handayani, 2013, p. 123). The empowerment of women aims
mainly to improve the quality of their status within the community, among others
through promote the women’s independence and to question gender-based issues
(Handayani, 2013, p. 124). Because those women have less authority and influence in
terms of choosing their working conditions or making decisions on their own,
empowerment is necessary for to extend the women’s horizon and consequently to
enable them in participation on decision-making processes. But as long as the women
stay silent at home and do not appear in public, it is difficult for them to gain any
attention in terms of empowerment or protection. Another point is that there is a lack
of economical access for the residents of Binaus. As it becomes clear from the
interview with Bapak Desa, there is a lack of “skilled” women in Binaus for officially
registered jobs like the ones in Puskesmas or as head teacher in a school. To achieve
skilled workers, it is necessary to provide suitable education. Nevertheless, on the
school enrolments in Binaus, it can be observed that the higher the educational grade,
the less children are enrolled. Furthermore, and as already stated in the first chapter,
school children are involved into the work of their parents at home and count as
workers, seemingly already before reaching the age of Primary School. It is important
for the residents of Binaus to become aware, how important the education for their
children’s future is.

The 17-years old girl hesitates in answering the question whether she would
like to teach in future in the Binaus Village. Also, the second interviewee takes into
consideration that her children could move to SoE one day. Even the age of the cadres
which is 40 to 68 years, testifies the lack of young people in this sector. Migration into
cities seems common in Binaus. Because children and youths

182
constitute the future of each community, it is important to empower young people
to stay in Binaus. If the new generations would show adequate skills for jobs in
schools or in institutions such as Puskesmas, there would be no need to draw on
staff from places out of the village. Consequently, the need of young people to
emigrate from Binaus due to lacking employment-opportunities would lessen.
According to NTA “gender equality is central to economic and human
development”. The organization which empowers women is of the opinion that equal
opportunities for both female and male community members support the economic
growth and contribute to reduce poverty. Both, men as well as women should have an
access to economic opportunities, so that their families can prosper and the country’s
economy can keep on growing. Although, the amount of female and male residents in
Binaus is almost equal to each other, 44 men feature on leading positions in the
village, while there is only one female leader. The intention of Bapak Desa to elect a
woman as a future leader of the village is a huge step towards women empowerment.
Though no specific efforts have been undertaken yet, it is planned to intensify the
participation of women on discussions about governmental issues, as well as to
involve women into the organization of the village. The women in Binaus should be
involved into those tasks and taught early enough for to provide administrative and
other needful skills for the leading position.

During the interview, the leading woman of Binaus first claims to feel
comfortable as she undertakes responsibility and tries “the best” she can on her own,
without anybody’s help. In the next moment, however, she confesses of being
overwhelmed with the numerous tasks and wishes to “stop everything and focus on
being just a housewife”. Involving other women or job-sharing could be a solution for
the leading woman to maintain her tasks in work and at home. According to the
interviewee, even if they work and no matter in which position, women in the Binaus
Village do not earn money for themselves but for their families. Even though she is
the leading woman in the village and has the same position with her husband in
making decisions at home, Mama Desa shows confusion when it comes to the
question about feeling “independent”. It can be concluded that the woman

183
–despite her leading position— is for the family and not for her own. Although the
interviewee could not say that she feels independent in her current position, the
woman seems to long for independence as she declines any help in her tasks and
tries to manage them on her own.
What stands out is that the interviewed women tend to “listen” to the
leading decision-makers at their homes. Moreover, the women let those people
speak for them as established during the conversations. Even when it seemed
disturbing, the presence, moreover the intervention of other family members could
not have been avoided since it would be “impolite” to interrogate the interviewee
in privacy. While the first interviewed seemed unsure and nervous, searching
several times for answers in other people in the room, numerous answers of the
second young woman came from her grandmother. It seemed as if it would be of a
matter of course that the questions are answered by other family members. While
the grandmother of the secondly interviewed seems to play the role of a paragon
and to have a great influence on her grandchild towards advanced reasoning, the
husband of the other woman places values on traditional mindset. Nevertheless,
the 24 years old interviewee showed courage in being of another opinion than her
husband and even to voice it in his presence. On the other side, due to the power
of the man in the house in terms of making decisions, the developed attitude of the
woman which she gained from her own experience, will probably not be heard in
future. In this case, the women should have an equal position at home when it
comes to undertake essential decisions. As to own observations as well as to the
results of the carried-on interviews, particularly of the interview with Mama Desa,
it becomes clear that the women from Binaus need adequate education and
“courage to speak”. Furthermore, it is of great relevance that not only the women
themselves but also the leading relatives should be enlighten, since those
authorities seem to dispose of vast power within the society. The access to leading
positions for women can be achieved as soon as the traditional mindset opens up
to equality between female and male community members.

184
D. CONCLUSION

Since steps towards understanding on health and nutrition have been


undertaken by numerous organizations in Timor Tengah Selatan, the regency
is well on the way to combat poverty. And still, the role of Timorese women in
the society and in economics is based on cultural attitudes. Particularly in
places such as the Binaus Village, male as well as elder community members
lead and make decisions within the society and even lead the households,
although the primary role of female residents in the village is the one of a
housewife. The women’s tasks are mostly to maintain the household and to
take care of children, eventually to support the husband in farming or
undertaking a side-job as a financial support for the family. Appropriate to the
mindset of the society, the women keep away any kind of individualism and
concentrate on the needs of their families. It seems as if their participation on
labour is accepted by the community and compatible with the cultural values
only then, when it does not interfere with the primary role of a woman as wife
and mother. Because the women are for their families and not for themselves,
it is probably why it is difficult for the women to speak for themselves. The
women may prefer to stay in the well-known and since generations practised
role as a housewife. Consequently, it is difficult to imagine a woman as a
leader within a community that keeps on placing values on traditional mindset
of the role of a woman.
Therefore, it is important to make aware the authoritative members of the
society about the importance of women empowerment, since they represent the
leading positions and have the power to decide for other community members.
Although the interviewed women seemed open for being heard, as they were talking
about their life-situations in front of a foreign interviewer, the women themselves
seem not to be aware of their capabilities and other possibilities beyond their role as
housewives. Even the leading woman of the village, despite her equal position at
home to the one of her husband, shows confusion when it comes to the sense of

185
feeling independent. At this point it becomes clear that the participation on
making decisions at home is not enough for the women to achieve a higher
position within the community.
Since there is still a lack of official economical involvement of female
residents in places such as the Binaus Village, possibilities for women to work
outside their homes are necessary. The women should use their hidden potentials
and have the courage to show them. Only when the women themselves are
motivated and able to speak on their own, they will gain courage and have
possibilities to access to leading positions which are equal to the ones of men.
They should become leaders independently on the position of the husband, which
should be not based on biological or gender-aspects but on skills and abilities. And
that is where education and training become inevitable. Through education, the
skills of female community members would increase and employment of female
staff would contribute to economic growth of the regency. Education and
enlightenment serves moreover to become aware about the issues of a community.
To facilitate empowerment, it is important to talk and not to keep calm.
Furthermore, the data collection for the preceding research proved as difficult due
to lacking English literature concerning the topic, as well as difficulties in
communication for the interviews in the village. From that it follows that there is
no or little chance for international awareness, in other words, the above topic is
still invisible for abroad. To make it visible, people from Timor Tengah Selatan
should be encouraged to learn the English Language to enable international
dialogue and consequently international cooperation for development.
All in all, there are two relevant involved parties for empowering women.
Firstly, appropriate regulations and possibilities should be provided which strengthen
the women’s position within the community –what the Head of the Binaus Village is
already willing to do— and secondly, the awareness of the women themselves is
necessary. The access to education could help to make the women aware of their
rights and possibilities. Only when the women themselves are willing to achieve a
stronger position within the community, only then, empowerment can begin.

186
Therefore, the women in Timor Tengah Selatan should be encouraged to gain a
stronger voice within the community.

REFERENCES

BPS Timor Tengah Selatan: Timor Tengah Selatan dalam Angka. SoE, 2013.
Hadikusumah, Ratna Y/Lundine, John/Sudrajat, Tata: Strategic Review Indonesia.
Indonesia’s Progress on the 2015 Millennium Development Goals. 2013.
Handayani Pinta, Sarah Rum: Empowerment of Female Batik Worker on the
Development of Batik Industry in Sragen. Case Study at Wisata Kliwonan
Village Subdistrict Masaran. In: International Journal of Humanities and Social
Science. Vol. 3 2013, No. 11., p. 122-129.
MCA-Indonesia Social And Gender Integration Plan: Millennium Challenge Account
– Indonesia. 2013.
NTA: East Indonesia Aid. Gender Equality Policy. http://www.nta.org.au/gender_
equality_policy. 27.01.2015.
United Nations: The Millennium Development Goals Report 2014. New York, 2014.
United Nations: We can end poverty. Millennium Development Goals and Beyond
2015.
http://www.un.org/millenniumgoals/. 27.01.2015.

187
188
BINAUS DI BALIK LENSA 12

Sapi Bali menjadi salah satu hewan


ternak yang dipelihara masyarakat
yang tinggal di Pulau Timor. Sapi
jenis ini sudah teradapatasi dengan
kondisi lingkungan Timor yang
kering dan panas. Sapi-sapi di Pulau
Timor biasanya tidak dikandangkan
tetapi dilepas liarkan untuk mencari
makan sendiri dan cukup ditandai
untuk identitas kepemilikan. Seorang
gadis kecil dalam foto
ini sedang menunjukan sapi
peliharaannya dengan latar
belakang rumah kotak.

Dhanang Puspita
190
Ume
Kbubu
Rumah tradisional Timor
diberi nama ume kbubu
yang artinya rumah bulat.
Rumah tipe ini mirip
dengan yang ada di Papua
yang disebut dengan pilamo
atau honai laki-laki. Rumah
bulat dahulu digunakan
sebagai rumah tunggal yang
diperuntukan untuk tempat
tinggal anggota keluarga,
memasak, dan menyimpan
hasil panen di atas para-
para. Saat ini rumah bulat
ada yang masih dijadikan
sebagai rumah tunggal ada
juga yang hanya dijadikan
sebagai tempat untuk
memasak dan menyimpan
hasil panen. Untuk tempat
tinggal sudah dibangun
rumah sehat atau rumah
kotak.

191
Dapur Ume Kbubu

Rumah bulat/ume kbubu yang berfungsi sebagai tempat tinggal sudah


ditinggalkan karena penghuninya pindah di rumah kotak, tetapi tidak untuk
aktivitas memasak dan berkumpul. Rumah bulat masih memiliki fungsi
utama sebagai dapur. Menjelang malam, suhu di luar akan turun, maka
dapur juga akan bertambah fungsinya sebagai tempat untuk menghangatkan
diri dari suhu dingin sembari menunggu makanan di masak.

192
193
194
Teknologi Pengawetan
Bahan Pangan
Untuk menyimpan hasil panen berupa jagung, kacang-
kacangan, umbi-umbian, dan lain sebagainya masyarakat
Timor menggunakan para-para yang ada di dalam rumah
bulat/ume kbubu. Penyimpanan hasil pangan ini adalah model
pengawetan bahan pangan secara tradisional. Prinsip
pengawetannya adalah dengan pengasapan dari tungku
perapian yang tepat ada di bawah para-para. Perapian akan
menimbulkan panas yang berfungsi untuk mengeringkan
bahan pangan. Dengan kadar air yang berkurang akibat
pengeringan akan menurunkan aktivitas air (water activity),
sehingga mikroorganisme pembusuk tidak bisa hidup. Asap
yang timbul dari perapian berfungsi untuk mengusir oksigen
yang ada dalam makanan yang merupakan metode
pengawetan model kuno. Ketiadaan oksigen akan menekan
reaksi oksidasi dan keberadaan bakteri aerob, sehingga bahan
pangan akan terhindar dari kerusakan dan bisa disimpan
dalam jangka waktu yang berbulan-bulan. (Gambar atas)

Jagung (Zea mays) bisa dikatakan sebagai makanan pokok


orang Timor. Di Pulau Timor sendiri ada bermacam varietas
jagung, dan yang familiar adalah jagung lokal yang diberi nama
jagung putih, kuning, dan jagung bunga. Oleh masyarakat
Timor biasanya mengolah jagung dengan cara di titi
(pipihkan), katemak (direbus) dan bose (dihilangkan kulit
arinya), dan uk (dijadikan tepung). Pada gambar ini adalah
jagung bunga. Dinamakan demikian karena jagung ini memiliki
biji yang kecil dan cara mengolah-nya dengan cara disangrai
untuk dijadikan berondong atau pop corn. Agar bertahan lama,
jagung bunga disimpan dalam para-para dengan cara diasap
dari tungku. (Gambar bawah)
195
196
Benteng Binaus
Lokasi ini bisa dikatakan sebagai lokasi tertinggi di desa Binaus karena berada di
ketinggian 677 m dpl. Lokasi yang strategis sebagai menara pandang untuk melihat
sekitarnya. Pada jaman dahulu lokasi ini dijadikan benteng oleh penduduk Binaus
yang merupakan suku Molo untuk menghindari serangan dari suku Amanuban dan
Amanatun. Sisa-sisa Benteng Binaus atau ada yang menyebut dengan Benteng
Oematan masih terlihat dari tumpukan-tumpukan batu yang kini sudah penuh dengan
semak belukar dan pepohonan. Lokasi ini menjadi saksi bisu tentang perang suku pada
masa lalu. (Gambar kiri)
Pulau Timor memiliki lansekap yang unik dan salah satu buktinya adalah ditemukannya
fosil-fosil hewan laut. Fosil-fosil ini menjadi bukti jika Pulau Timor pada waktu lampau
adalah dasar lautan yang karena aktivitas tektonik kemudian terangkat ke permukaan dan
menjadi daratan. Permukaan tanah yang berasal dari dasar lautan, kemudian terjadi suksesi
dan membentuk lansekap baru tidak sepenuhnya stabil. Longsor acapkali terjadi terutama
akibat aliran permukaan yang menghantam lapisan atas/top soil. Lokasi ini adalah
longsoran di perbukitan di desa Binaus yang tepatnya di dusun 3 yang berbatasan dengan
kecamatan Mollo Utara. Longsor tanah karena permukaan yang tidak stabil menjadikan
salah satu ancaman ekologis, sehingga acapkali penduduk enggan bercocok tanam di
daerah tersebut. (Gambar bawah)

197
Hulu Hasil

Pengucapan Syukur Orang Timor

Hulu hasil, demikian orang Timor menyebut salah satu kebiasaan spiritual di sana. Makna dari
hulu hasil adalah sebuah pengucapan syukur atas hasil panen dengan mempersembahkan 10%
dari hasil panen yang terbaik kepada gereja. Gereja yang menerima hulu hasil kemudian akan
melelang persembahan ini untuk diuangkan. Hulu hasil dilakukan per keluarga dengan hasil
panen berupa kacang, jagung, umbi, buah, ayam dan lain sebagainya. Bentuk persembahan ini
di Jawa disebut dengan unduh-unduh. (Gambar kiri)

198
Pelelangan hulu hasil atau persembahan panen pertama akan dilelalang oleh pejabat gereja
(syamas/diaken). Siapa saja bisa ikut dalam pelelangan ini. Uang hasil pelelangan ini akan
masuk dalam kas gereja. Persembahan ucapan syukar acapkali tidakhanya saat musim panen,
bagi masyarakat Timor setiap ada berkat harus sebagian disisihkan untuk persembahan di
Gereja. Demikianlah cara masyarakat Timor memaknai hasil panen pertama mereka untuk
dijadikan persembahan. (Gambar kanan)

199
200
Musyawarah Hingga Tut Fatu

Pada waktu-waktu tertentu aparat pemerintah lewat kepala desa akan


mengundang warga desa untuk melakukan pertemuan dengan beragam
agenda. Perwakilan warga seperti; ketua RT dan RW, Kaur, Kader
Posyandu, Tua-tua atau tokoh adat, Perwakilan dari ibu-ibu PKK, dan
Organisasi Kepemudaan (karang taruna) akan diundang. Musyawarah di
kantor desa ini biasanya dilakukan untuk sosialisasi program pemerintah,
pengumuman, dan penampungan aspirasi dari warga. (Gambar atas)
Titi Batu atau dalam bahasa Dawan adalah tut fatu adalah sebuah ritual
rekonsiliasi dari dua pihak yang sedang bertikai. Secara etimologis titi/tut
artinya menumbuk/memecah dan batu/fatu artinya batu. Jika ada sebuah
permasalahan, maka tua-tua adat dan kepala desa akan mengundang kedua
belah yang bertikai kemudian akan mendamaikan mereka guna menyelesaikan
masalahnya. Rekonsiliasi dilakukan dengan perjanjian antara kedua belah
pihak bahwa kejadian tersebut tidak akan diulangi lagi. Memecah batu/ tut fatu
sebagi simbol yang artinya masalah yang keras seperti batu sudah dipecahkan
dan tidak bisa dikembalikan lagi. Demikian tut fatu menjadi media rekonsiliasi
dari pertikaian masyarakat yang diselesaikan secara adat dan disaksikan oleh
aparat pemerintah. (Gambar bawah)

201
Ume Kbubu & Lopo
Pada mulanya rumah adat orang Timor adalah rumah bulat
seperti yang terlihat di samping kiri gambar. Rumah bulat
kurang representatif dalam perkembangan budaya maka
masyarakat mulai mengembangkan rumah kotak. Tata letak
rumah bulat lazimnya berada di belakang rumah kotak. Tata
letak bangunan ini menjadi bagian dari adat. Pada gambar
ini rumah bulat dari rumah kotak bukan yang ada di sebelah
kiri, tetapi tepat di belakang rumah kotak, terlihat dari
adanya pagar pembatas dan undakan. Rumah bulat yang ada
disebelah kiri pada gambar ini adalah rumah adat milik satu
keluarga yang belum memiliki rumah kotak. (Gambar atas,
halaman sebelah)
Rumah adat di Pulau Timor tidak hanya ume kbubu/ rumah
bulat dan rumah kotak, tetapi juga lopo. Lopo adalah
bangunan rumah yang hanya beratap tanpa ada dinding dan
sekatnya. Tidak sembarang orang bisa membangun lopo.
Lopo adalah randevous atau tempat berkumpulnya orang
untuk bermusyawarah atau diskusi. Lopo hanya dibangun di
depan rumah Usif dan Atuin Amaf (Raja atau tua-tua adat).
Sebelum lopo dibangun, maka tua-tua adat akan melakukan
ritual dan berdoa.
Ume Kbubu (rumah bulat) dan Lopo memiliki rangka
konstruksi yang tidak jauh berbeda. Ada 4 tiang pancang
utama, jika di Jawa disebut tiang saka (saka guru). Di bagian
atas saka guru akan ada kolong yang berbentuk melingkar
dengan jari-jarinya yang menumpang. Di atas kolong akan
ditumpangkan lagi tiang sebagai kerangka atap. Untuk
membangun lopo secara adat ada ritual khususnya.
Pada gambar di samping adalah pembangunan lopo tepat di
samping kiri gedung kantor desa Binaus. Lopo bisa
dikatakan lebih istimewa keberadaannya dibandingkan ume
kubu/rumah bulat. Pada gambar ini, lokasi lopo tepat di
samping kantor desa dan masyarakat sedang berkumpul
untuk melakukan ritual dan selanjutnya bergotong royong
mendirikan lopo.

202
203
204
Spiritualitas
Masyarakat Timor yang mayoritas beragama Kristen menjadikan gereja sebagai tempat
untuk saling bertemu pada saat usai ibadah gereja. Kesempatan inilah yang biasanya
dipakai oleh pemerintah atau tua-tua adat untuk memberikan pengumuman. Begitu juga
jika ada warga baru atau tamu, akan diperkenalkan saat usai ibadah. Dengan dikenalkan
di gereja, maka masyarakat akan diberitahu jika ada warga baru atau yang akan tinggal
di sana. Gereja menjadi cara yang efektif dalam menyampaikan pesan atau
pengumuman karena semua warga akan datang. (Gambar bawah)
Masyarakat Timor yang mayoritas memeluk agama kristen selalu menyempatkan waktu
untuk beribadah. Ibadah tidak hanya dilakukan di gereja tetapi juga di rumah penduduk.
Secara bergilir akan dilakukan kunjungan dari rumah ke rumah setiap satu minggu sekali
sesuai dengan jadwal giliran. Mereka yang mendapat tempat sebagai tuan rumah akan
menyediakan tempat dan beberapa makanan kecil seadanya dan tanpa memberatkan.
Ibadah ini sebagai wujud spiritual sekaligus mempererat jalinan ikatan sosial yang
sudah terbentuk. (Gambar atas kiri)

205
206
Jalan Menuju Dusun III
Untuk menuju Dusun III hanya ada 1 jalan yang bisa diakses. Jalan tersebut masih berupa
tatanan batu/makadam. Jalan makadam ini hanya sampai pada Dusun II dan orang menyebutnya
sebagai ujung aspal dan selanjutnya adalah jalan setapak melewati tepian sungai Noel Leke.
Buruknya akses menuju Dusun III karena jalan yang belum baik acapkali menjadi penghambat
mobilitas masyarakat yang hendak dan dari Dusun III. (Gambar atas, halaman sebelumnya)

Sungai Noel Leke menjadi pembatas antara Dusun II dan Dusun III. Sungai ini juga menjadi akses
menuju Dusun III. Warga yang hendak menuju Dusun III harus melewati tepian sungai Noel
Leke dan jika perlu harus menyeberanginya. Pada musim penghujan debit air akan meningkat
dan bisa menghentikan mobilitas antar desa, sebab belum ada jalan penghubung sekaligus
jembatan. Rintangan ekologis inilah yang menjadi salah satu penghambat menuju Dusun III
sehingga bisa dikatakan sebagai dusun terisolir pada waktu-waktu tertentu. (Gambar bawah,
halaman sebelumnya dan gambar atas).

207
Sirih Pinang

Budaya orang austronesia tidak lepas dari sirih dan pinang, begitu juga dengan orang Timor. Di
beberapa tempat di Indonesia, budaya sirih pinang adalah suatu hal biasa tetapi di Timor, sirih
pinang dijadikan simbol selamat datang, penghormatan, dan kekeluargaan. Sirih pinang dijadikan
sebagai alat transaksi sosial agar diterima, dihormati dan masuk menjadi bagian masyarakat adat.
Sirih pinang sepertinya tidak bisa lepas dari genggaman tangan dan tas rajut selempang bermotif
timor yang selalu dibawa kemana saja.
208
Simbol Budaya
Orang Timor
Raskin (beras miskin) dibagikan kepada mereka yang masuk katogori miskin. Standar kemiskinan
di masing-masing daerah berbeda-beda. Untuk daerah Timor, dikatakan miskin dilihat dari
indikator tempat tinggal/rumah, pendapatan, konsumsi makanan, dan pakaian. Raskin seharga Rp
1.600,00 per kilogram akan didistribusikan kepada warga yang masuk kategori miskin dengan
jatah 25 kg per kepala keluarga.

209
210
13

Penyimpanan Jagung di Ume Kbubu


Adakah Hubungan Antara Bentuk Ume Kbubu dan
Kerusakan Jagung Akibat Fufuk?

Yamri F. Saekoko1, Kristiani D. Tauho2 dan Ferry F. Karwur2


1Stafdi Kantor Kecamatan Mollo Tengah
2Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya
Wacana Email: ferry.karwur@staff.uksw.edu

Abstrak

Salah satu fungsi utama ume kbubu bagi Orang Timor adalah tempat menyimpan dan
pengawetan hasil panen tanaman pokok, terutama jagung. Fungsi pengawetan jagung
merupakan suatu kesatuan dengan fungsinya sebagai tempat memasak, yang
memanfaatkan asap dan panas dari tungku api. Namun, dalam pengawetan tersebut
kerusakan jagung akibat serangan hama gudang (fufuk) masih sangat signifikan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kemungkinan peranan desain ume kbubu
dalam pengawetan jagung terutama terhadap fufuk. Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif desktriptif menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Sampel
yang diambil sebanyak 100 biji jagung secara acak dari bentuk ume kbubu oval, lancip
dan parabola. Hasil penelitian ditemukan bahwa kerusakan biji jagung yang terjadi
pada ume kbubu bentuk parabola, oval dan lancip adalah sebesar 3,17%, 9,5% dan
12,83%. Dapat disimpulkan bahwa ume kbubu sebagai tempat penyimpanan jagung
lokal (pen muti) memiliki resiko kerusakan akibat hama gudang yang relatif kecil.
Kata kunci: Ume kbubu, pen muti, pengawetan jagung, hama gudang, fufuk

A. PENDAHULUAN

Salah satu fungsi utama ume kbubu adalah untuk menyimpan hasil panen
pertanian, dan karena jagung merupakan tanaman makanan pokok di Timor maka
ume kbubu dijadikan tempat menyimpan hasil panenan jagung dari kebun mereka.
Mengingat iklim yang kering yang memungkinkan panenan jagung setahun sekali
maka penyimpanan hasil panen dan pengelolaan stok pangan di ume kbubu
merupa-kan sistem manajemen stok pangan keluarga (Palekahelu dkk, 2007).
Menyimpan jagung di ume kbubu bertujuan agar hasil panenannya awet
dan kualitas jagung tidak menurun saat dijual, dimakan maupun untuk benih.
Setelah jagung dipanen biasanya dilakukan pemilahan berdasarkan berat, ukuran
(besar/ kecil) sesuai dengan kebiasaan petani setempat. Penyimpanan jagung
umumnya dalam bentuk ikat dengan mengikatkan tongkol jagung yang satu
dengan tongkol jagung yang lainnya, dan diletakkan atau digantung di para-para.
Sebagai kesatuan dari pengawetan bahan hasil pertanian, ume kbubu
dijadikan pula sebagai tempat memasak, yang dari tungku api menghasilkan asap
dan panas, yang penting bagi pengawetan jagung sepanjang tahun. Biasanya,
jumlah tungku api akan ditambah saat proses pasca panen jagung dengan jumlah
bervariasi tergantung banyaknya jagung untuk membantu proses pengasapan
sehingga semua sudut ruangan terasapi. Sumber utama asap biasanya petani
menggunakan kayu kabesak, daun kabesak, daun kafui dan daun-daun hijauan
lainnya. Proses pengasapan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut, setelah itu
pengasapan hanya berlangsung saat memasak yakni 2–3 kali sehari.

Namun demikian, persoalan-persoalan seperti kerusakan jagung yang


disimpan akibat serangan hama gudang sangat signifikan. Kerusakan ini secara
lokal disebut fufuk. Kumbang bubuk (Sitophillus zeamays) merupakan hama
gudang yang paling dominan dan berkontribusi mempengaruhi kerusakan biji
selama masa penyimpanan jagung. Inang utama dari spesies ini adalah jagung,
padi, gandum, kacang-kacangan serta beberapa produk olahan lainnya (Hussain et
al., 1985 dalam Bernard de Rosari et al., 2003).
Serangga dewasa dapat hidup sangat lama antara beberapa bulan sampai satu

tahun. Seekor betina dapat meletakkan telurnya 150 butir yang diletakkan pada

minggu ke empat sampai minggu ke lima. Telur tersebut diletakkan pada lubang

212
biji jagung secara terpisah, kemudian lubang tersebut ditutup dengan cairan yang

berasal dari induknya dengan masa inkubasi kira-kira enam hari.

Setelah menetas larva mulai makan pada biji bagian dalam dan berkembang
di dalam biji tersebut. Semasa hidup larva memiliki empat instar (tiga kali pergantian
kulit). Masa pupa kira-kira 25 hari, bila telah menjadi dewasa mereka keluar dari
dalam biji dan meninggalkan lubang yang sangat khas. Total perkembangan telur
menjadi dewasa antara 35–100 hari tergantung kondisi lingkungan.

Pada jagung umumnya kehilangan hasil akibat serangan hama Sitophillus


zeamays 4–5 %, namun pada jagung yang terserang berat dapat menyebabkan
susut bobot 30-40%. Pengendalian dengan cara memanen tepat waktu, kebersihan
gudang, penyimpanan, menyingkirkan hasil panen yang telah terinfeksi hama,
pengasapan dan penjemuran berkala.

Gambar 1. Jagung yang digantung pada ume kbubu

Untuk melihat kemungkinan peranan desain ume kbubu dalam pengawetan

jagung yang disimpan di dalamnya, maka penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan ume kbubu di Desa Binaus sebagai tempat penyimpanan jagung

213
lokal (pen muti), dengan maksud untuk mengetahui keragaman bentuk ume kbubu
yang dipakai untuk penyimpanan jagung lokal (pen muti) di Dusun II Binaus dan
kerusakan jagung akibat hama gudang.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif desktriptif yang dilakukan


di Dusun II Desa Binaus pada bulan September sampai Oktober 2009 pada 20
ume kbubu di sepanjang jalan Op mauntaif – Nibulelo. Pengumpulan data
menggunakan observasi terhadap ume kbubu dan wawancara terstruktur serta
wawancara tidak terstruktur tentang fungsi ume kbubu sebagai tempat
penyimpanan jagung dan masalah-masalah yang ditemui.

Data pengamatan terhadap kerusakan akibat hama gudang diperoleh


dengan mengumpulkan sampel kemudian dicatat sesuai dengan parameter yang
dipakai. Pengambilan sampel menggunakan metode percobaan Rancangan Acak
Kelompok (RAK), dengan rancangan penelitian sebagai berikut:
1. Jagung A : Jagung lokal (pen muti) yang disimpan dalam ume kbubu bentuk
Oval, diambil secara acak 3 tongkol (10 %) dari tiap suku sebagai sampel
2. Jagung B : Jagung lokal (pen muti) yang disimpan dalam ume kbubu bentuk
Lancip, diambil secara acak 3 tongkol (10 %) dari tiap suku sebagai sampel
3. Jagung C : Jagung lokal (pen muti) yang disimpan dalam ume kbubu bentuk
Parabola, diambil secara acak 3 tongkol (10 %) dari tiap suku sebagai

sampel.

Sampel diambil langsung dari ume kbubu milik petani setelah melakukan
observasi dan identifikasi terhadap tempat penyimpanan. Jumlah sampel yang
diambil sebanyak 3 tongkol tiap bentuk ume kbubu dan diulangi pada ume kbubu
yang bentuknya sama, masing-masing 6 sampel ume kbubu. Sampel yang telah
diseleksi ditimbang dan dimasukkan ke dalam plastik transparan, selanjutnya
diberi tanda label.

214
Penghitungan persentasi kerusakan biji jagung dari setiap sampel dari tiap
bentuk ume kbubu berdasarkan pengamatan dan perhitungan 100 biji jagung dari 3
tongkol per sampel rumah bulat secara acak. Dari 100 biji itu diamati banyaknya
biji jagung yang terserang dan yang tidak terserang fufuk.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Jagung di Mollo Tengah

Sebagai makanan pokok, jagung memiliki makna yang sangat penting dalam
tiap penyajian makanan di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kecamatan Mollo
Tengah pada khususnya. Varietas jagung lokal pen muti dan pen kikis adalah
varietas yang dipilih oleh masyarakat berhubungan dengan kondisi lahan dan jenis
tanah serta karena budaya petani setempat, selain karena lebih mudah dalam
budidaya, lebih tahan disimpan lama dan lebih enak dari nilai rasa sehingga
penggunaan varietas unggul belum menjadi kebutuhan utama.
Kondisi lahan kering yang mendominasi Kab. TTS menjadi sebab tumbuh
dan berkembangnya jagung di seluruh kecamatan, termasuk di Mollo Tengah.
Pada tahun 2015, luas panen jagung di Kecamatan Mollo Tengah adalah 1.402 ha,
dengan rata-rata produksi jagung 28 kw/ha (BPS Kab. TTS, 2015). Hasil
wawancara dengan tokoh adat, tokoh masyarakat mengenai luas lahan garapan
tiap kepala keluarga tani seluas 0,5–1 Ha, dengan hasil panen sekitar 100–150
suku dalam keadaan hujan yang memadai, dan sekitar 80–100 suku jika curah
hujan kurang memadai. Waktu panen yang beragam dilakukan pada bulan April–
Juni setiap tahun.
Penelusuran melalui observasi dan wawancara yang dilakukan di lokasi
penelitian menunjukkan bahwa tempat penyimpanan jagung yang telah dilakukan
secara turun-temurun dalam masyarakat Mollo umumnya pada ume kbubu yang
letaknya di belakang rumah induk dengan konstruksi bulat. Ume kbubu diibaratkan
sebagai istri, sehingga dalam budaya setempat yang boleh mengambil jagung untuk

215
dimakan, dijual atau dibarter adalah istri. Jika dilakukan oleh orang lain, menurut

kepercayaan mereka kelak akan dapat masalah/musibah dalam keluarga.

Gambar 2. Jagung dengan dan tanpa kelobot digantung


di langit-langit loteng Ume Kbubu

Pasca Panen dan Metode Penyimpanan

Setelah jagung dipanen, biasanya jagung diikat dan dihitung sebelum


dimasukkan ke ume kbubu. Cara menghitung jagung untuk wilayah Amanatun dan
Amanuban adalah dengan mengikat 8 tongkol jagung menjadi 1 tali (aisat mese).
Kumpulan 10 tali membentuk setengah kuda (bikaes aobiafes), kemudian jumlah
20 tali biasanya disebut satu kuda (bikase mese). Sedangkan untuk wilayah Mollo
termasuk Desa Binaus, jagung dihitung dengan cara mengikat 6 tongkol jagung
membentuk 1 ikat (aistes). Kumpulan 2 ikat membentuk 1 tali (aina tes) yang
setara 12 tongkol, jumlah 3 tali membentuk 1 Suku yang terdiri dari 36 tongkol.

216
Jagung tersebut kemudian dimasukkan ke dalam loteng dengan
memprioritaskan jagung bibit di bagian pusat loteng. Hal tersebut dimaksudkan
agar jagung yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari dengan mudah diambil,
karena berada di bagian pinggir. Selebihnya bersama dengan jagung yang tidak
berkelobot dan kacang-kacangan digantung di langit-langit loteng.

Gambar 3. Jagung Lokal (pen muti) dari ume kbubu

Gambar 4. Jagung Lokal (pen muti) saat ditimbang

217
Menurut tokoh masyarakat di Dusun II Desa Binaus, masyarakat
Mollo lebih suka menyimpan makanan seperti jagung dalam ume kbubu dengan
pertimbangan lebih aman dan tahan terhadap serangan hama gudang atau fufuk.
Tempat penyimpanan jagung selain ume kbubu adalah dapur yang oleh
masyarakat setempat disebut dapur sehat dengan konstruksi persegi empat, pintu
masuk yang lebih tinggi sehingga terasa adanya ventilasi udara yang lebih terbuka
dibanding dengan ume kbubu. Beratnya jagung setelah berada di loteng di ume
kbubu selama 6-9 bulan berkisar antara 3-3,5 kg jagung pipilan untuk setiap 1
suku (yang setara dengan 3 tali, 6 ikat, atau 36 tongkol).

Kerusakan Jagung Akibat Fufuk

Fufuk tidak hanya menyerang jagung yang disimpan di luar loteng ume
kbubu, tetapi juga menyerang jagung yang tersimpan di loteng ume kbubu.
Kerusakan bulir jagung akibat fufuk bisa terjadi karena jagung yang dimasukkan
ke dalam loteng ume kbubu belum waktunya untuk dipanen. Jagung yang belum
waktunya dipanen masih mengandung kandungan air yang cukup tinggi dan
bahkan dapat saja cukup lunak untuk diserang fufuk. Berawal dari terserangnya
sebiji jagung, maka hama akan menyerang biji jagung lain yang sehat juga. Selain
itu, fufuk juga bisa disebabkan oleh kurangnya asap dan panas di dalam ume
kbubu. Semakin banyak asap dan panas di dalam ume kbubu, jagung di loteng
akan semakin kering, sehingga tidak akan terkena fufuk. Jika asap dan panas tidak
konsisten, maka ada kemungkinan jagung akan mengalami fufuk juga. Itulah
sebabnya masyarakat selalu menyalakan api di ume kbubu sepanjang waktu.

Bentuk Ume Kbubu dan Kerusakan Biji Jagung Akibat Fufuk

Hasil analisis kerusakan biji jagung akibat fufuk di setiap bentuk ume kbubu
ditampilkan pada Tabel 1, 2 dan 3. Data penelitian menunjukkan terdapatnya biji yang
sudah terinfeksi/rusak di semua bentuk ume kbubu. Namun, tidak semua sampel
ditemukan hama. Ume kbubu bentuk oval sama sekali tidak ditemukan hama

218
pada semua sampel yang diambil. Sementara itu, ume kbubu parabola dan lancip

ditemukan hama dengan jumlah 3 dan 1 ekor.

Tabel 1. Presentase Kerusakan Biji Jagung di Ume Kbubu Bentuk Oval

Rumah Sampel 100 biji jagung %


Bentuk Jumlah Jumlah Jumlah Kerusakan
Oval Hama Biji Sehat Biji terinfeksi Biji
Sampel 1 - 83 17 17
Sampel 2 - 94 6 6
Sampel 3 - 97 3 3
Sampel 4 - 94 6 6
Sampel 5 - 75 25 25
Sampel 6
Jumlah 0 443 57 57
Rata-rata 0.00 73.83 9.50 9.5

Tabel 2. Presentase Kerusakan Biji Jagung di Ume Kbubu Bentuk Lancip

Rumah Sampel 100 biji jagung %


Bentuk Jumlah Jumlah Jumlah Kerusakan
Lancip Hama Biji Sehat Biji terinfeksi Biji
Sampel 1 - 95 5 5
Sampel 2 2 63 37 37
Sampel 3 - 96 4 4
Sampel 4 1 85 15 15
Sampel 5 - 81 9 9
Sampel 6 - 93 7 7
Jumlah 3 513 77 77
Rata-rata 0.50 85.50 12.83 12.83

219
Tabel 3. Presentase Kerusakan Biji Jagung di Ume Kbubu Bentuk Parabola

Rumah Sampel 100 biji jagung %


Bentuk Jumlah Jumlah Jumlah Kerusakan
Parabola Hama Biji Sehat Biji terinfeksi Biji
Sampel 1 - 97 3 3
Sampel 2 1 82 8 8
Sampel 3 - 97 3 3
Sampel 4 - 98 2 2
Sampel 5 - 97 3 3
Sampel 6
Jumlah 1 471 19 19
Rata-rata 0.17 78.50 3.17 3.17

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kerusakan biji jagung terbanyak


terjadi pada ume kbubu bentuk lancip (12,83%), kerusakan sebesar 9,5% terjadi pada
ume kbubu bentuk oval dan 3,17% pada ume kbubu bentuk parabola. Hasil penelitian
tersebut menggambarkan bahwa penyimpanan jagung lokal (pen muti) pada ume
kbubu memiliki resiko kerusakan akibat hama gudang yang relatif kecil. Kerusakan
biji jagung atau fufuk yang terjadi dapat disebabkan oleh kerusakan fisik yang terjadi
pada saat panen, karena jagung terkena tetesan air hujan. Ketika menyusun atau
menata jagung pada loteng secara tidak teratur jagung yang basah akan rusak karena
kelembaban yang tinggi sehingga menyebabkan fufuk.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan data hasil penelitian, hasil analisis dan hasil pembahasan,


maka dapat disimpulkan bahwa rumah bulat (ume kbubu) bentuk parabola
sebagai tempat penyimpanan jagung lokal (pen muti) memiliki resiko
kerusakan akibat hama gudang relatif kecil, yakni 3,17%, bentuk oval 9,5%
dan bentuk lancip 12,83% dari sampel 100 biji jagung (yang diambil secara
acak dari 3 tongkol jagung) dengan masa simpan 6–9 bulan setelah panen.

220
Penelitian lebih jauh dan mendalam diperlukan untuk mengenai tingkat
kerusakan jagung akibat hama fufuk dengan sampel yang lebih banyak,
pada rentang waktu yang panjang sejak masa penyimpanan. Diperlukan
juga analisis pengaruh waktu panen dan tingkat kerusakan hama fufuk.
Secara praktis, Berdasarkan penelitian ini disarankan agar dilakukan
pengeringan secara maksimal sebelum jagung dimasukkan dalam loteng
ume kbubu sehingga dapat mengeliminir tingkat kerusakan akibat
kelembaban yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan. (2015). Statistik Pertanian Kabupaten Timor
Tengah Selatan 2015. Soe: Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah
Selatan
Palekahelu, D., Manongga, S.P., Karwur, F.F. (2007). Habisnya Persediaan Pangan
Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pollen, Kab. Timor Tengah Selatan.
Jurnal Kritis 19:170-188.
de Rosari, B., Meke, D.B. dan Murdolelono, B. (2003). Upaya Menekan Kerusakan
Jagung yang disimpan pada Rumah Bulat Timor dengan Teknologi Infus Asap
(TIA). Penerbit BPTP Nusa Tenggara Timur - Naibonat - Kupang.

221
222
14

A methodological and ethics consideration on mental health,


poverty and indigenous psychology research in Binaus
Village, West Timor, East Nusa Tenggara - Indonesia1

Yulius Yusak Ranimpi

Faculty of Health and Sciences


Satya Wacana Christian University
Contact address: yulius.ranimpi@staff.uksw.edu

Abstract
In Indonesia, mental health issues have received limited attention at the levels of policy
and practice due to limited resources. Moreover, concepts of mental health are
contextualised within broader cultural, spiritual, socio-economic and regional factors that
may alter perceptions of mental health and poverty and any relationship between them.
This study was motivated by the lack of health and mental health services in the region
and the limited understanding of local conceptions of mental health and poverty in
developing nations. To examine these issues, Indigenous Psychology was applied as a
perspective and lifeworld phenomenology as the associated research method. This paper
describes the methodological and ethical considerations which apply to this research.
Keywords: mental health, poverty, phenomenology, psychology indigenous,
lifeworld, ethical considerations

1 This is an up-dated article from the original article by Ranimpi, Yulius Yusak, Hyde, M B,
Oprescu, F I (2014), Mental Health, Poverty and Indigenous Psychology Research in East
Nusa Tenggara-Indonesia: Methodological and Ethical Considerations. Proceedings of the
3rd Hong Kong International Conference on Education, Psychology and Society, Hong
Kong, China, 29-31 December 2014, pp.330-341.
Introduction

In his 2001 address to the World Health Assembly, UN Secretary General Kofi Annan
said: “the biggest enemy of health in the developing world is poverty”. Globally, there is a
stark relationship between poverty and poor health in the least developed countries.
In their latest publication on the global burden of disease, Whiteford and others (2010)
cited that 400 million people suffer from bipolar disorder and 24 million from
schizophrenia, 140 million are affected by alcohol and drug use disorders and 80
million children have behavioural disorders (conduct disorder or attention deficit
hyperactivity disorder). These mental health and substance use disorders, in 2010,
accounted for 7.4% of the global burden of disease, which is defined as premature
death combined with years lived with disability.

Mental health in Indonesia has long been neglected. The effects of


environment (social, political, climatic, ecological and economic) on the
psychosocial well-being of a population are complex and multiple. In many parts
of Indonesia, and over many decades, populations have endured deprivation and
hardship, whether because of social conflict, poverty or natural disasters. A large
number of people in Indonesia suffer from mental health conditions, ranging from
mild psychological distress to acute mental disorders. As noted by Good,
DelVecchio-Good & Grayman (2013), effort to develop sustainable services for
persons with mental health problems have come face to face with the limitations
of the country’s mental health system. Indonesia has among the smallest number
of psychiatrists and mental health specialists, as well as psychiatric beds, per
population of any country in Southeast Asia, ranking only ahead of Papua New
Guinea, Cambodia and Laos. Physicians and other health professionals who work
in general medical services often lack training in how to diagnose and treat mental
health problems, and the country lacks community mental health services.
Psychology was developed in the Western world within largely positivist and

individualist frameworks. Throughout the history of the evolution of psychology, the

major theories and their proponents all originated from the Americas and

224
Europe. These approaches presuppose social phenomena as being relatively exact
and universal. However, this approach is problematic in its application with many
indigenous or native communities in developing countries, as it may not be
relevant or applicable in health policy or understandable within the indigenous
communities themselves. As Cohen (1999) suggests, indigenous perceptions of
human behaviour not only differ from Western classifications of mental health,
but some conditions that warrant special attention in Western contexts may have
positive connotations in an indigenous society. From another perspective, the
human rights of indigenous people should be recognized because of their inherent
dignity and because they make a significant contribution to the development and
plurality of society in general (Cohen, 1999).
Therefore, from the more recent perspective of indigenous psychology, it
would appear relevant to examine the interrelationships among sociocultural
environments, poverty and mental health. In this approach, mental health can be
considered as being deeply enmeshed within economic, social, cultural, spiritual and
ethnographic contexts such as poverty, hunger and malnutrition, social change,
violence and dislocation. Kim and Berry (1993) suggest that indigenous psychology
questions the universality of existing psychological theories and attempts to discover
psychological universals within social, cultural and ecological contexts. Indigenous
psychology advocates examining knowledge, skills, and beliefs people have about
themselves and how they function in their familial, social, cultural and ecological
contexts. As psychological and social phenomena, mental health and poverty will be
the starting point in this study for building theories, concepts and methods to address
the research questions. For example, there are several studies (Buckner, Beardslee &
Bassuk, 2004; Fitzpatrick, Piko, Wright & LaGory, 2005) that have examined the
relationship between mental health and poverty or other social phenomena.

The perspective of indigenous psychology has the capacity to reflect the


diversities and differences found among communities in developing countries, to
better identify their conceptions of poverty and mental health and any
relationships between them in an indigenous context and setting.

225
A. RESEARCH LOCATION AND SETTING

This research project is located in Binaus village, West Timor, East Nusa Tenggara,
Indonesia. This village is representing minimal natural and social conditions in East
Nusa Tenggara province. Based on available data from the NTT Statistical Office
(BPS NTT, 2013), the rate of poverty in this region is 20.4% (12.2% in urban areas,
22.4% in rural areas) out of a total population of 4,776,485. This figure is higher than
the national average, which is 11.7% (8.6% in urban areas, 14.7% in rural ar-eas). The
measurement of poverty BPS adopted is based on the ability of people to fulfil their
basic needs using and the average of people’s expenditure per month. This approach
was introduced by the International Labour Organization in 1976 (ILO,
1976). In accordance with this situation, other relevant indicators related to

poverty include:

School participation

Table 1.1. School participation (in %) in East Nusa Tenggara


Province and Indonesia, 2010-2012

East Nusa Tenggara Indonesia


Years Years
Ages
2010 2011 2012 2010 2011 2012
7-12 y/o 96.5 96 96.1 98 97.6 98
13-15 y/o 81.2 86 88.7 86.2 87.8 89.6
16-18 y/o 49.2 60.2 62.2 56 58 61.
19-24 y/o 14.4 15,4 18.4 13.8 14.3 16
Note. Retrieved from “Ringkasan data ketenagakerjaan Provinsi Nusa Tenggara
Timur tahun 2012,” BPS NTT, 2012.

Table 1.1 shows there was an increase of school participation for every age
group from 2010 to 2012. However, this was limited, especially in the age groups of

226
16-18 years and 19-24 years. This outcome is influenced by poverty, in that many
school-age children need to seek work (in their own region or outside the region).
In 2012, from 2.1 million workers, there were still 17.1 per cent of people aged
15-24 years who were eligible to be in school. There are no more recent data
available through Indonesian or associated sources.

Illiteracy rate

Table 1.2. Illiteracy rate (in %) in East Nusa Tenggara


Province and Indonesia, 2010-2012

East Nusa Tenggara Indonesia

Years Years
Ages
2003 2011 2003 2011

15 y/o 15.1 12.4 10.2 7.2

15-44 y/o 7 6 4 2.3

45 y/o and over 35 26 25.4 18


Note. Retrieved from “Ringkasan data ketenagakerjaan Provinsi Nusa
Tenggara Timur tahun 2012,” BPS NTT, 2012.

As an implication of the lower rate of school participation, especially for


those 15 years and older, the rate of illiteracy in this group is still high with
12.4% in 2011. This is significantly higher than the national average (7.2%).

The other relevant factor is readiness to work. In 2012, the

percentages of workers in NTT by level of education were:

1. 66.3% not educated or having only completed elementary school

2. 11.9% having completed junior high school

3. 14.8% having completed senior high school, and only

4. 7.1 having completed education from a university.

227
In summary, more than 70% of the workforce in NTT has lower than the
national level of education (BPS NTT, 2012). In addition, public health data in NTT
indicate a range of poor living conditions such as a lack of nutrition for babies (9.0%,
compared to a national average of 4.9%) and a lack of nutrition among adults (19.7%
compared to a national average of 12.6%) (Ministry of Health, 2010).

Negative associations between level of poverty and incidence of mental


health conditions in developing countries has been previously documented. Such
research generally shows that low levels of income, education, assets and lower
social class are correlated with higher probability of mental health problems
(Lund et al., 2010). However, evidence about the nature and direction of any
causal effect between the two measures remains limited in developing countries.

While some previous study support the notion that there is a negative
correlation between levels of poverty and mental health (Hanandita & Tampubolon,
2014), more recent statistical analyses of the coincidence between poverty and mental
health have not shown a consistently inverse relationship in developing countries
(Tampubolon & Hanandita, 2014). Where a correlation has been observed is not clear
whether the relationship is having causal features. Further, such statistical studies use
conventional measures and concepts of mental health, as established in developed
nations, and are not open to examining the potential for different conceptions of
mental health among poor and remote communities.

B. RATIONALE, QUESTIONS AND OBJECTIVE OF RESEARCH

In addition to the need to fully understand the nature of the relationship, if any,
between poverty and mental health, there is also a need to better position future
research designs within the cultural and social lives of participants in poor and remote
communities. For example, in whose conceptual paradigm is the research positioned
– the communities or that of the researchers? Most previous studies ((Lund et al,

2010; Hanandita & Tampubolon, 2014) have used quantitative approaches to

228
analysis of existing statistical data framed within conventional Western models of

pathology, sociology and psychology.

The study positions its research design within the paradigm of an


indigenous psychology and to use a qualitative approach to eliciting the
perspectives of the participants themselves on their conceptions of poverty and
mental health and the nature of any relationship between these dimensions. Within
such a research design ethical considerations are of critical importance.

C. METHODS

This research is qualitative in orientation. Through qualitative research, it is possible


to describe the understanding of participants on certain phenomena based on their
lived experiences and their perceptions of those experiences. In order to achieve its
specific research aims, this study combined the perspective of indigenous psychology
with phenomenology as a research method. Both of these approaches have a number
of key features in common. They both eschew a positivist research orientation and
participants are positioned, not as an object of study, but as engaged subjects in study.
In term of its application in research, phenomenology is a study of phenomena, their
nature and meanings. The focus is on the way things appear to us through experience
or in our consciousness where the phenomenological researcher aims to provide a rich
textured description of lived experience (Finlay, 2008). The main responsibility of
researchers is to return to things themselves. The things here refer to the world of
experience as lived. As cited by Finlay (2008), Merleau-Ponty outlined, “to return to
the things themselves is to return to that world which precedes knowledge, of which
knowledge always speaks”. Phenomenological research is concerned primarily with
first person accounts of life experience and seeks to describe these accounts and arrive
at an understanding of the meanings and essences (or fundamental structure) of
experience. In other words, within phenomenological methodology, therefore, the
present research attempted to allow the participants to describe their lived experiences
in term of their own words.

229
In this research, an approach of descriptive phenomenology based on the
Sheffield School (Ashworth, 2003) will be employed. This method builds on the
Duquesne School, especially on Giorgi’s work (Langdridge, 2007). The focus is on a
description of the participant’s lifeworld, as is the case with all descriptive
phenomenology, but the analytical process also entails examination of seven structures
or ‘fractions’ considered to be essential features of the lifeworld: selfhood, sociality,
embodiment, temporality, spatiality, project and discourse (Ashworth, 2003;
Langdridge, 2007). These fractions come from the work of phenomenological and
existential philosophers, including Husserl, Heidegger, Merleau-Ponty and Sartre. In
fact, Merleau-Ponty’s major work, the Phenomenology of Perception act as the
primary inspiration for the seven fractions, and Ashworth (2003) has described each
fraction through quotations from his work (as cited in Langdridge, 2007). According
to Ashworth (2003), the seven fractions should be taken as heuristic guidelines and
not applied rigidly. The researcher cannot treat these fractions separately, they should
be seen as a larger set of perspectives that is situated in the embodiment of the human
experiences witnessed (Ashworth, 2003).

D. DATA COLLECTION

Sampling and research participants. The method of sampling in this research


will be a combination of maximum variation sampling and snowball sampling.
Participants who have a common experience but who vary on as wide a variety of
demographic characteristics as possible (Langdridge, 2007), such as age, gender,
level of formal education and economic status, will be sought.
To facilitate good communication, research participants need to speak the
Indonesian language, or translator maybe considered if they cannot. The principle
underpinning this approach to sampling is that with such variation, it should become
possible (in the analytical stage) to ascertain those aspects of the experience that are
invariant across perception (the essence(s) of the phenomenon) and those that vary
across perception. Sample sizes are usually very small due to the time-consuming

230
nature of the analytical process (Langdridge, 2007).

Recruitment of participants was conducted by the researcher in the


community up until the fifth month of his stay. The researcher used daily social or
cultural activities as an opportunity to introduce himself and engage with the
community in these contexts. The main goal of the engagement activity was to get
a good welcome and connection within the community. After the period of
cultural permission was perceived to be sufficient, the researcher started seeking
people who might be willing to be involved in the study as research participants.
After determining the prospective participants, the researcher visited their houses
to describe the purposes of the research as stated in Research Project Information
Sheet (RPIS). The researcher made sure that prospective participants understood
the RPIS. After that, the researcher formally sought their consent to be a research
participant. They were also advised that they could ask further questions,
throughout the process of the study, to clarify any aspects that they not understand
or agree with, and they could withdraw at any time. If they agreed, the researcher
provided the informed consent form to be signed. Once signed, the researcher and
participant discussed the project further and determined the most suitable time for
interviews. Based on these agreed appointments, the researcher visited individual
or family groups to meet and interview the potential participants. All processes of
interaction and communication in this research were conducted in Indonesian
language and in face-to-face contexts.
Data collection methods. Of the many methods of gathering qualitative data, some
are more suited to phenomenology than others. The most common methods used are
narratives in interviews, diaries and protocols, participant observations, and reflective
diaries or the researcher’s own field notes. The important thing to be noted in the
process of data gathering by a phenomenologist researcher is the establishment of the
concreteness of the phenomena (Wertz, 2005 as cited by Finlay, 2008).

To collect the data, this research applied observation. In order understand the

life context of the people interviewed, observation was essential. Observation tends

231
to take place in natural settings (e.g., work places, homes, church, social gatherings
and markets), where the observer can be known as a ‘researcher’ (Willig, 2008). In
order to seek information in depth, researcher used semi-structured interview. The
construction of the interview covered topics informed by the principles of indigenous
psychology, such as the local people’s beliefs (and experiences) of conceptions and
experiences of health, mental health, and poverty. Semi-structured interviews based on
principles of indigenous psychology and phenomenology provide a significant
opportunity for the participants to explore their understanding of poverty and mental
health, based on their own daily experiences and their own perception of those
experiences. Another important source of data and discourse that needs to be utilized
in phenomenological research is official documents and reports (Langdridge, 2007),
especially from legislation, tracing its transitions through policy and procedures,
departmental reports and guideline documents from the national, provincial and local
governments. These documents provide information about both the profile and
reported status of Binaus village and its community. While the foundations of these
official documents may be significantly different from the experiences and the
perceptions of local people, the documents and their implementations have political,
legal, economic and social force and influence that needs to be incorporated into
understandings about the research.

E. DATA ANALYSIS

The first stage requires the analyst to read (and re-read several times) the individual
descriptions of participants’ experience that is the focus of the analysis, to grasp an
overall sense of the interviews. In the second stage the texts are broken down into
smaller units of meaning, systematically, in order to discern discrete meaning-units.
The third stage involves assessing the meaning units for their psychological
significance. This stage may or may not involve translation into psychological units of
meaning, depending on the study and wishes of the analyst (Langdridge, 2007).

Further, using this selected phenomenological process, described by

232
Ashworth’s framework, the third stage involves the use of the seven fractions of
lifeworld. This approach as described by Ashworth is based on Merleau-Ponty’s
Phenomenology of perception (Ashworth, 2003; Langdridge, 2007). Selfhood refers to
that aspect of experience that might impact on a person’s sense of agency, presence
and voice. Here, selfhood is not something individual, but rather something
inextricably social or that which emerges among people in interaction. Sociality
concerns with the way in which a situation affects a person’s relations with others, as
all situations are intrinsically intersubjective. Embodiment relates to how the body
features in experience, including consideration of gender, sexuality, disabilities, etc.
Temporality refers to the way in which we are always living in time and how a
person’s sense of time might serve to underpin the experience being described.
Spatiality concerns with a person’s understanding of space and place. Project is that
aspect of a situation that relates to a person’s ability to carry out activities that they
have committed to and that they believe are central in their life. Finally, discourse
concerns with the set of terms (discourses) drawn on from the wider culture in order to
describe an experience. The focus is, therefore, on description of the participant’s
lifeworld, as is the case with all descriptive phenomenology, but the analytical process
also entails examination of the seven structures or ‘fractions’ considered to be
essential features of the participants’ lifeworlds.

F. STRATEGIES TO VALIDATE FINDINGS

In this study, to enhance the quality of the research and findings and to reduce the
prospect of subjectivity by the researcher, several validation strategies suggested
by Creswell (2007) were employed:

a. Prolonged engagement with participants and persistent observation in


the field, including building trust with participants, learning the local
cultural traditions and practices, and checking for misinformation that
stems from any distortions of participants’ information introduced by
the researcher.

233
b. Peer review or debriefing to provide an external check of the research
processes, much in the same spirit as interrater reliability in quantitative
research. Lincoln and Guba (1985, as cited by Creswell, 2007), define
the role of the peer debriefer as a ‘devil’s advocate’, an individual who
keeps the researcher honest, asks hard questions about methods,
meanings, and interpretations, and provides the researcher with the
opportunity for catharsis and feedback by sympathetically listening to
the researcher’s feelings and interpretations. In this study, the
researcher was able to engage with two trusted research colleagues, at
his home university in Indonesia, who were familiar with the Binaus
region and its people. These colleagues could critique his
interpretations and findings throughout the study. Further, the
researcher gave a number of university and professional presentations
and submitted publications and conference papers, receiving detailed
feedback on the processes planned and implemented through the study.
c. The researcher always provided participants with written copies of his
transcripts and an oral summary of his interpretations and asked the
participants to assure him regarding the accuracy and validity of the
descriptions of interpretations and the situations involved. Stake (1995)
said that participants should “play a major role directing as well as
acting in case study” research (as cited by Creswell, 2007, p. 208-209).
This technique is considered by Lincoln and Guba (1985) to be ‘the
most critical technique for establishing credibility’ (as cited by
Creswell, 2007, p. 208).

G. ETHICAL CONSIDERATIONS

In a qualitative approach, particularly in phenomenological research that tries to


seek perspectives on mental health and poverty issues in a remote area from
participants with a different culture to the researcher, some ethical points must be

234
considered. The first step was to obtain permission from the local government or
local community leader for that area of research. One advantage for the research
was that Satya Wacana Christian University Salatiga, already has a partnership
agreement (MoU) with the local government, for this field of research, so that
could be the legal entry point for asking cultural permission to undertake this line
of enquiry. However, to directly receive cultural approval is more complex than
obtaining legal permission. Thus, it is vital for the researcher to stay in the
community for a reasonable period of time, i.e., five months in the current study.
Following cultural approval, the situation was more conducive to the data
collection process, including finding research participants.
To protect participants’ identity and to gain their personal approval and full
participation, it was essential to provide a clear and understandable informed consent
whereby participants need first to comprehend and second to agree voluntarily to the
nature of their research and their role within it (Israel & Hay, 2006). In most
circumstances, Faden and Beauchamp (1986) suggested that researchers need to
provide potential participants with information about the purpose, methods, demands,
risks, inconveniences, discomforts and possible outcomes of the research, including
whether and how results might be disseminated and researchers must invite
participants to engage actively in the exchange of information (as cited by
Israel & Hay, 2006).

In general, participants’ agreement to take part was recorded, either by


asking them to sign a form, return a survey, or give consent on audio- or videotape
(Israel & Hay, 2006). In this research an explanation about this research and the
kind of participation sought was given, and probable risks and how to deal with
them were described. In this case participants were asked to sign the informed
consent form and return it after they fully understand these aspects of this research
project. They were reminded about the chance to withdraw from the research with
no explanation. If the participants were illiterate or cannot speak the Indonesian
language, a significant person in their family or community was asked to translate
and explain the content of the informed consent procedures to seek agreement

235
through a voice recorder. As a legal document, the informed consent was

available in the Indonesian language.

In the context of a remote part of Indonesia these concerns may seem


ephemeral, but trust was the basic issue to be developed by this protocol, which
was also cultivated by personal encounters with participants with the regular visits
to the community and appearances at regular community events.
Another important consideration in this research was beneficence. At a micro
level, this research was also an attempt to provide practical descriptions and
recommendations for the Indonesian health authorities and to better inform health
policy and practice, especially in mental health issues and their possible relationship
with poverty. Therefore, this research was designed with serious attention to minimize
negative impact and maximize beneficial impact. The principal researcher was aware
of the possibility of negative impacts experienced by the participants. To anticipate
that and to optimize the beneficial aspects of this research, participants had right to
read, re-read, revise and add to the information given to the researcher. After the
research, participants and the community were to be offered empowerment training
resources to establish their coping and social support strategies around mental health
and poverty issues, and arrangements were made to establish an institutional network
in case of emerging mental health problems requiring treatment from health workers
when the researcher is not on-site.

H. CONCLUSION

In conclusion, this paper proposes a methodological and ethical framework in which


the researcher can explore the conceptions of poverty and mental health within a poor
and remote community and be able to reveal new insights that may influence existing
theoretical and practical ways of understanding and responding to these challenges in
such communities in Indonesia. Such theoretical and practical implications can benefit
future research in similar settings and paradigms.

236
REFERENCES

Ashworth, P. (2003). An approach to phenomenological psychology: The contingencies of


the lifeworld. Journal of Phenomenological Psychology 34(2), 145-156.
Buckner, J. C., Beardslee, W. R., & Bassuk, E. L. (2004). Exposure to violence and
low income children’s mental health: Direct, moderated, and mediated
relations. American Journal of Orthopsychiatry, 74, 413–423.
BPS NTT. (2012). Ringkasan data ketenagakerjaan Provinsi Nusa Tenggara Timur ta-
hun 2012. Kupang: BPS NTT.
BPS NTT. (2013). Nusa Tenggara Timur dalam angka. Kupang: BPS NTT.
Cohen, A. (1999). The Mental Health of Indigenous People: An International Over-
view. Department of Mental Health-World Health Organization: Geneva.
Creswell, J.W. (2007). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five
approaches. 2nd edition. London - New Delhi: Sage Publications.
Fitzpatrick, K., Piko, B., Wright, D., & LaGory, M. (2005). Depressive symptomatol-ogy,
exposure to violence, and the role of social capital among African American
adolescents. American Journal of Orthopsychiatry, vol. 75(2), 262–274.
Finlay, L. (2008). Introducing phenomenological research. Accessed 19 April 2012.
http://www.linda.finlay.com/introducingphenomenologicalresearch.doc
Good, B., DelVecchio Good, M.J., &Grayman, J.H. (2013). A new model for mental
health care? Inside Indonesia, Edition 111, Jan-Mar. In
http://www.insideindo-nesia.org/anew-model-for-mental-health-care-2
Hanandita, W., & Tampubolon, G. (2014). Does poverty reduce mental health? An in-
strumental variable analysis. Social Science and Medicine, 113, 59-67.
Israel, M., Hay, I. (2006). Research ethics for social scientists: Between ethical conduct
and regulator y compliance. London-California-New Delhi: Sage Publications.
International Labour Organization. (1976). Employment, growth and basic needs: A
oneworld problem. ILO: Geneva.
Kim, U., & Berry, J. W. (1993). Indigenous Psychologies: Experience and Research in
Cultural Context.: Newbury Park, CA: SAGE Publications Ltd.
Langdridge, D. 2007, Phenomenological psychology: theory, research and method.
Harlow: Pearson Education.
Lund, C., et al. (2010). Poverty and common mental disorders in low and middle in-come
countries: a systematic review. Social Science and Medicine, 71, 517-528.

237
Ministry of Health. (2010). Report on result of national basic health research. Jakarta:
Indonesia Ministry of Health.
Tampubolon, G., & Hanandita, W. (2014). Poverty and mental health in Indonesia.
Social Science and Medicine, 106, 20-27.
Whiteford, H.A., et al. (2010). Global burden of disease attributable to mental and sub-
stance use disorders: findings from the Global Burden of Disease Study 2010.
The Lancet, 2013, 382(9904):1575-1586.
Willig, C. (2008). Introducing qualitative research in psychology: Adventures in
Theory and Methods. Berkshire: McGraw Hill-Open University Press.

238
15

Menelusuri Benteng Binaus

Dhanang Puspita¹, Kristiani Desimina Tauho¹, Yanto Aryanto Koko Kase²

¹ Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana


² Kepala Dusun II, Ds Binaus, Kec. Molo Tengah, Kab.TTS-
NTT Contact address: dhavedhanang@gmail.com

Abstrak
Benteng Binaus adalah tempat dan bangunan bersejarah yang terletak di Dusun III, Desa
Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara
Timur. Benteng Binaus menyimpan cerita tentang peperangan 3 suku di Pulau Timor
yakni; Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Tidak ada literasi atau bukti tertulis tentang
Benteng Binaus. Sejarah Benteng Binaus hanya diceritakan oleh penduduk sekitar
yang menjadi penutur berdasar cerita turun-temurun dari leluhurnya. Sangat penting
untuk menuliskan tentang sejarah Benteng Binaus, karena menjadi cikal bakal nama
Desa Binaus.
Kata kunci:Amanuban, Amanatun, Benteng Binaus, Binaus, Mollo, Mollo Tengah.

A. PENDAHULUAN

Tempat atau bangunan bersejarah selalu dimiliki oleh setiap daerah di seluruh
penjuru dunia sebagai salah satu warisan budaya. Tempat atau bangunan bersejarah
merupakan cermin akar budaya sejarah masa lampau dan warisan dari perjalanan yang
panjang hasil jerih payah penduduknya. Kebudayaan merupakan istilah kunci
untuk menyebut seluruh karya cipta yang dihasilkan oleh manusia sejak manusia ada

di dunia (Koentjaraningrat. 2002). Bangunan-bangunan kuno bersejarah merupakan


asset nasional sebagai warisan budaya bangsa karena termasuk karya peninggalan
bersejarah yang memiliki nilai historis tinggi, nilai seni dan arsitektural yang kaya,
juga nilai sosial dan budaya yang membentuk karakter bangsa. Salah satu tempat
dan bangunan bersejarah di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah Benteng Binaus
yang menjadi cikal bakal Desa Binaus yang terletak di Kecamatan Molo Tengah,
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Menurut Marihandono (2007) istilah
‘benteng’ mengingatkan pada suatu konteks pertahanan dan peperangan,
khususnya yang terjadi pada masa lalu. Sesuai tujuan pembangunannya, benteng
memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang tinggal di
dalamnya. Begitu juga dengan peruntukan Benteng Binaus sebagai tempat
pertahanan, perlindungan, dan tempat tinggal warga Binaus pada awal mulanya.

Sejarah Kerajaan Timor

Secara historis pulau Timor terdapat 3 kerajaan besar yakni; Oenam/


Swapraja Fatuleu, Banam/Swapraja Amanuban, dan Onam/Swapraja Amanatun
(Krisdyatmiko dalam Ainaf, 2016). Kerajaan Oenam meliputi swapraja Fatuleu,
Mollo, Meomafo, Insana sampai Biboki (Krisdyatmiko dalam Ainaf, 2016).
Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki pemerintahannya sendiri dengan pola
pemerintahan adat yang feodal.
Masuknya kolonial Belanda pada abad ke XVI merubah tatanan sosial,
politik, dan budaya. Pola pemerintahan lokal diubah oleh Belanda yang semula adalah
kerajaan tradisional yang merdeka menjadi swapraja yang tunduk pada kekuasaan
kolonial. Dalam ranah budaya terjadi perubahan pola aliran kepercayaan tradisional
yang semula anismime dan dinamisme menjadi kepercayaan kristen.
Untuk tatanan pemerintahan yang telah menjadi swapraja, Pemerintah
kolonial Belanda membagi 3 kabupaten yakni Kupang, Timor Tengah Selatan, dan
Timor Tengah Utara (TTU). Kabupaten Kupang memiliki wilayah administrasi
Amarasi, Fatuleu, dan Amfoan. Kabupaten TTS memiliki wilayah Molo,
Amanuban, dan Amanatun. Kabupaten TTU memiliki Wilayah Miomafo, Insana,
dan Biboki (Ainaf, 2016).

240
Wilayah Mollo secara adminstratif merupakan wilayah yang ada di
Kabupaten TTS dan terbagi atas 3 kecamatan, yakni; Mollo Selatan, Mollo Utara,
dan Mollo Tengah. Mollo sebagai nama suatu wilayah berasal dari kata molo yang
merupakan salah satu etnis dari suku Dawan. Suku Dawan sendiri di Pulau Timor
ada 3 etnis yakni Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Sebagian besar etnis Mollo
tinggal di daerah dataran tinggi yakni di sekitar Gunung Mutis.

Desa Binaus yang berada di Kecamatan Molo Tengah penduduknya


berasal dari etnis Mollo. Daerah Mollo adalah area yang strategis karena berada di
dataran tinggi yang diapit oleh 3 gunung yakni; Mutis, Kekneno, dan Mollo.
Daerah ini sangat subur dan kaya akan sumber daya alam. Menurut Soleman Kase
(Wawancara, 2013), Binaus menjadi perebutan oleh etnis Amanuban dan
Amanatun berkaitan dengan kekayaan sumber daya alamnya.

Pulau Timor Saat Ini

Secara historis, nama Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) adalah


terjemahan dari penamaan dari bahasa Belanda yakni Zuid Midden Timor (ZMT).
Secara administratif wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu
dari 5 kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten yang
beribukota di So’e secara geografis mempunyai luas 3.955,36 km2 dengan 32
kecamatan, 266 desa dan 12 kelurahan (BPS TTS, 2014). Kabupaten ini berbatasan
dengan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Abemanu Timor Leste (sisi utara),
Samudera Hindia (sisi selatan), Kabupaten Belu (sisi timur) dan Kabupaten Kupang
(sisi barat).

Kecamatan Mollo Tengah (Gambar 1) adalah salah satu kecamatan di


Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kecamatan ini berjarak sekitar 8 km dari
So’e yang merupakan ibu Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kecamatan
Mollo Tengah merupakan satu dari 32 kecamatan yang ada di Kabupaten Timor
Tengah Selatan. Kecamatan Mollo Tengah memiliki 6 desa yakni; Pika, Kualeu,
Nekemunifeto, Oel’ekam, Oelbubuk, dan Binaus.

241
Gambar 1. Peta Kecamatan Mollo Tengah-Kab. Timor Tengah Selatan

Binaus menjadi salah satu desa di Kecamatan Mollo Tengah yang memiliki
arti penting karena memiliki tempat yang dianggap bersejarah yakni Benteng Binaus
yang menjadi cikal bakal desa tersebut. Dari cerita beredar di masyarakat
Desa Binaus, menganggap Benteng Binaus menjadi salah satu tempat pertahanan dan
perlindungan warga dari serangan musuh. Tidak ada literatur yang menjelaskan secara
pasti dan benar tentang sejarah Benteng Binaus. Penuturan warga yang mendapat
cerita turun-temurun menjadi satu-satunya informasi yang bisa diperoleh.
Hal senada juga di ungkapkan Banamtuan (2016), Kabupaten Timor Tengah Selatan
sebagai bagian dari wilayah Indonesia dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat
yang memiliki adat istiadat berbeda. Jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan
khususnya adat istiadat, cukup banyak budayanya, tetapi tidak dikembangkan dan
tidak dipertahankan oleh generasi masa kini. Berkaitan dengan sejarah Benteng
Binaus perlu digali informasi untuk menuliskan sejarah lokal, setidaknya ada makna

di balik tempat dan bangunan bersejarah di Binaus yang bernilai sejarah. Tujuan

242
dari riset ini adalah untuk mendapatkan informasi seputar Benteng Binaus, di
Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan – Nusa

TenggaraTimur.

B. METODE PENELITIAN

Untuk mendapatkan informasi tentang Benteng Binaus dilakukan dengan


wawancara dengan pemangku adat dan perangkat desa yang dijelaskan secara
deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan gambaran fisik Benteng Binaus
dilakukan dengan survei lokasi, penandaan lokasi dengan Global Positioning
System (GPS), dan pemotretan. Analisa data GPS menggunakan GPS Visualizer
untuk mendapatkan gambaran; ketinggian, jarak dan luas. Kegiatan ini
dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 2013.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mencapai Benteng Binaus, perjalanan dimulai dari kota Soe menuju Desa
Binaus. Jarak yang ditempuh dari Soe menuju Binaus sekitar 10 km dengan melalui
jalan jurusan Soe – Kapan. Dari Desa Binaus (950 mdpl) perjalanan dilanjutkan
menuju Dusun II (668 mdpl) dengan jarak 3,99 km. Untuk menuju Dusun II
(Ujung Aspal) bisa dilakukan dengan kendaraan bermotor roda dua atau empat.
Perjalanan selanjutnya yakni dari Dusun II menuju Dusun III (754 mdpl) yang
berjarak 4.03 km. Perjalanan dari Dusun II menuju Dusun III akan melewati jalan
setapak, dan 2 kali menyeberang sungai yang berada di ketinggian 336 mdpl. Dari
Dusun III perjalanan dilanjutkan dengan mendaki bukit di sisi barat laut dusun
dengan melewati jalan setapak untuk menuju Benteng Binaus. Jarak tempuh
menuju Benteng Binaus adalah 2,13 km di ketinggian 677 mdpl. Untuk menuju
tempat perlindungan (669 mdpl) berjarak sekitar 600 m dari Benteng Binaus.
Semua akses dilakukan hanya dengan berjalan kaki di jalan setapak, seperti
terlihat pada gambar 2.

243
Gambar 2. Peta perjalanan dari Binaus menuju Benteng Binaus.

Daerah Mollo adalah daerah yang strategis dan subur sehingga sangat
baik untuk lahan pertanian. Setidaknya ada 2 sungai yang mengalir dan beberapa
anak sungai, sehingga menjadikannya sebagai daerah yang subur. Berdasarkan
hasil wawancara dengan penduduk setempat yang salah satunya adalah Soleman
Kase (Wawancara, 2013), membenarkan jika di daerah Mollo pertanian sangat
baik karena lahannya yang subur. Kemungkinan, lahan subur inilah yang menjadi
pertimbangan untuk diperebutkan oleh etnis Amanuban dan Amanatun.
Benteng Binaus berada di Dusun III (Nishala) yang secara topografi adalah
daerah berbukit. Untuk menuju Dusun III hanya bisa dilakukan dengan jalan kaki
karena, jalan aspal hanya bisa sampai di sebagian wilayah Dusun II (Tofle’u). Total
jarak tempuh dari Dusun I (Aneotop) hingga Dusun III adalah 8,02 km dengan waktu
tempuh sekitar 2–3 jam perjalanan normal. Dusun III menjadi dusun yang cukup
subur karena terletak di pinggir sungai besar, walau pada musim kemarau sungai
mengering (Gambar 3). Dusun III menjadi dusun yang terjauh di Desa
Binaus, dan pada tahun 2013 ada 18 KK. Yanto Kase adalah kepala Dusun III pada

saat itu, yang menyertai perjalanan ini dan banyak menceritakan tentang Dusun III.

244
Gambar 3. Jalan menuju Dusun III berupa sungai yang mengering saat musim
kemarau.
Menurut Yanto Kase, nama Binaus merujuk pada suatu tempat yang dulu di-
jadikan benteng pertahanan dan perlindungan yang diberi nama Benteng Binaus. Nama
Binaus inilah yang kemudian disematkan menjadi nama desa yang ada di Kecamatan
Mollo Tengah. Cikal bakal orang Binaus dari suku Mollo berasal dari Dusun III.

Pada suatu saat perang pun pecah. Soleman Kase bersama Otris Tafui begitu
bersemangat menceritakan tentang perang Binaus. Mereka berdua sambil duduk di
tatanan batu gamping yang disusun sebagai benteng pertahanan menceritakan tentang
kisah heroisme orang-orang Mollo dalam mempertahankan daerahnya. Untuk
mempertahankan dirinya, orang-orang Mollo diungsikan ke suatu daerah yang sulit
dijangkau oleh musuh yang disebut dengan benteng perlindungan.
Daerah ini menjadi perlindungan bagi kaum perempuan dan anak-anak. Tidak jauh
dari lokasi perlindungan, yakni di bukit yang sedikit lebih tinggi dibangun benteng
dari susunan batu-batu gamping. Bangunan ini kemudian diberi nama Benteng
Binaus (Gambar 4).

245
Gambar 4. Benteng Binaus yang masih menyisakan tumpukan batu-batu
yang disusun membentuk dinding.

Gambar 5. Grafis penampang melintang (topografi) Benteng Binaus

Pemilihan lokasi yang cukup strategis untuk membuat benteng pertahahan


dan perlindungan. Benteng pertahanan berlokasi di bibir jurang yang curam
dengan ketinggian 677 mdpl (gambar 5). Dari tempat ini bisa memandang ke arah
Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, dan Barat. Musuh yang datang
dari arah-arah tersebut dengan mudah bisa diawasi. Daerah Utara adalah
perbukitan yang menjadi daerah kekuasaan etnis Mollo.

246
Gambar 6. Benteng perlindungan, di tempat inilah para kaum lansia, wanita,
dan anak-anak tinggal.

Gambar 7. Benteng Perlindungan yang berbentuk tebing batu vertikal.

Benteng perlindungan digunakan untuk tinggal anak-anak, kaum


perempuan, dan lansia (Gambar 6). Daerah ini berupa bukit batu cadas yang
curam dan sangat susah dijangkau. Untuk naik ke benteng perlindungan dapat
dengan cara memanjat dinding tebing dengan tinggi sekitar 20 m atau mengambil
jalan memutar (Gambar 7). Benteng perlindungan ini terletak tidak jauh dari
sungai sehingga dapat dengan mudah untuk mendapatkan air.

247
Gambar 8. Soleman Kase (tengah) dan Otris Tafui (berdiri)
menjadi narasumber untuk menjelaskan sejarah Benteng Binaus
dan mereka berpose tepat di puncak Benteng Binaus.
Tidak ada yang tahu persis kapan perang yang yang terjadi di Benteng Binaus
ini. Soleman Kase (Gambar 8) hanya mampu mengingat musuhnya saja yakni orang
Amanuban dan Amanatun, itu pun mendapat warisan cerita dari orang tuanya. Yang
masih terlihat jelas adalah tumpukan-tumpukan batu di Benteng Binaus. Batu-batu ini
disusun menjadi dinding dengan beberapa lobang untuk mengintip. Para kaum lelaki
akan berjaga secara bergantian untuk mengawasi musuh yang datang.
Tidak ada literasi atau bukti tertulis tentang sejarah Benteng Binaus. Para
penutur yang saat ini menceritakan hanya mendapat cerita turun-temurun dari le-
luhurnya. Yanto Kase sebagai kepala Dusun III saat itu juga kurang tahu persis
tentang ceritanya tetapi dia menunjukan orang-orang yang bisa menjadi penuturnya.
Dalam akhir perjalanan dari Benteng Binaus, Yanto Kase menunjukan sebuah makam
tua yang terletak di tepi sungai. Dia mengatakan jika makam ini adalah kuburan yang
berisikan jasad leluhur mereka yang tewas dalam peperangan, begitu juga dengan
musuhnya. Tidak diketahui secara pasti secara spesifik siapa saja yang dimakamkan,
tetapi sampai saat itu makam masih diurus dengan baik oleh warga. Sebagai penanda
yakni jika makam itu ada nisan artinya yang dikuburkan adalah orang Mollo, jika
hanya tumpukan dari batu saja itu adalah makam musuh (Gambar 9).

248
Gambar 9. Yanto Kase sedang menunjukan makam musuh yang ditandai dengan tum-
pukan batu, sedangkan makam orang Mollo khusus dibuat nisan yang utuh.

D. KESIMPULAN

Benteng Binaus terletak di Dusun III (Nishala) yang merupakan tempat dan bangunan
bersejarah tentang peperangan antara etnis Mollo dengan Amanuban dan
Amanatun. Tidak ada literasi atau bukti tertulis berkaitan dengan sejarah Benteng
Binaus. Informasi tentang Benteng Binaus hanya berasal dari penduduk sekitar
yang menjadi penutur berdasarkan cerita turun-temurun dari leluhur mereka.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan banyak terimkasih kepada Yanto Kase selaku kepala Dusun III
yang menemani perjalanan menuju Benteng Binaus dan memberikan catatan tentang
Benteng Binaus. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Soleman Kase dan
Otris Tafui yang sudah menjadi narasumber.

249
DAFTAR PUSTAKA

Ainaf, AP. (2016). Sejarah Dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS).
Banamtuan, M.F. (2016). Upaya Pelestarian Natoni (Tuturanadat) Dalam Budaya Ti-
mor Dawan (Atoni Meto). Paradigma Jurnal Kajian Budaya. Vol.6, No.1
(2106): 74 - 90
Badan Pusat Statistik TTS. (2014). Timor Tengah Selatan dalam Angka 2014. Soe:
BPS Timor Tengah Selatan.
Marihandono, D. (2007). Perubahan peran dan fungsi benteng dalam tata ruang kota.
Seminar Kebudayaan Maritim. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Koentjaraningrat. (2002). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta

250
Indeks
A D
Amanatun 216, 239, 240, 241, 244, 248, 249 Desa Binaus 12, 13, 14, 17, 18, 19, 22, 25, 27,
Amanuban 138, 149, 159, 165, 166, 216, 239, 28, 31, 33, 36, 37, 38, 39, 43, 44, 45, 46,
240, 241, 244, 248, 249 48, 49, 50, 51, 52, 77, 79, 87, 90, 97, 100,
101, 102, 104, 107, 109, 110, 112, 114,
Aneotob 37, 38
119, 122, 123, 124, 125, 128, 132, 140,
Angka Kematian Bayi 6, 120 141, 143, 153, 156, 158, 159, 161, 162,
Angka Kematian Ibu 6, 56, 98, 105, 107, 108, 163, 170, 172, 175, 176, 178, 179, 180,
117, 120, 154 182, 183, 185, 186, 213, 214, 216, 218,
Antropometri 28, 33, 36, 37, 67, 68, 73, 79, 223, 239, 240, 241, 242, 243, 244
145 Desa Kualeu 12, 143
ASI 13, 35, 38, 44, 47, 57, 61, 67, 68, 69, Desa Nekemunifeto 12, 143
72, 73, 99, 119, 120, 121, 122, 126, Desa Oelbubuk 12, 37, 39, 42, 43, 140, 141,
132, 141, 145 143
Atasat 131, 133 Desa Oelekam 12, 140, 141, 142, 143
Atoin Amaf 18, 32 Desa Pika 12, 143
Atoni Amaf 131
Atoni Meto 17, 32, 116, 119, 120, 122, 125, F
134, 137, 139, 149, 250 Fakultas Ilmu Kesehatan 17, 33, 55, 77, 97,
107, 119, 137, 239
B
Fufuk 211, 215, 218, 221
Balita 6, 12, 13, 15, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, G
51, 52, 53, 74, 77, 78, 79, 120, 137,
Gizi 33, 35, 43, 44, 47, 49, 50, 64, 70, 74,
153, 154, 155, 158, 159, 161, 163, 166
77, 86, 87, 101, 102, 126, 132, 137,
BB 68, 79
138, 139, 140, 143, 146, 147, 148,
BBLR 73 153, 160, 163
BB/TB 79, 84, 92 Gizi buruk 6, 13, 33, 35, 37, 40, 45, 47, 71, 73,
BB/U 40, 42, 73, 79, 84, 91, 120, 137, 138 84, 91, 155
Benteng Binaus 239, 240, 242, 243, 244, 245, Gizi kurang 33, 34, 35, 36, 39, 43, 45, 47, 77,
246, 248, 249 78, 79, 82, 88, 89, 91, 138

C I
Cadre/Cadres 175, 176, 181, 182 Ibu hamil 6, 12, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104,
112, 124, 130, 132, 139, 141, 142, 153,
155, 156, 159, 160, 161, 163
Indeks Masa Tubuh 71, 74, 79

251
indigenous psychology 223, 225, 229, mental health 223, 225, 228, 229, 232, 234,
236
232 ISPA 57
Mental health 224
J Millennium Development Goals 98, 169
Jagung bose 44, 45, 49, 50, 51, 64, 67, 69, 102, Molllo Tengah 11, 12, 13, 17, 22, 33, 36, 57,
104, 119, 120, 122, 126, 129, 132, 60, 61, 63, 67, 68, 77, 79, 97, 100, 119,
135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 122, 124, 125, 137, 140, 141, 143, 158,
143, 144, 145, 146, 147, 148 160, 172, 215, 239, 240, 241, 242, 243
Jagung titi 47 Mollo Selatan 125, 241
Mollo Utara 241
K
N
Kapasitas Vital Paru 55, 56, 60, 61, 63,
64 Kartu Menuju Sehat 79, 82, 124, 161 Neno Bo’ha 15, 49, 50, 67, 68, 95, 119,
Kecerdasan bahasa 80 134, 137, 138, 139, 140, 142, 145,
146, 147, 148
Kecerdasan interpersonal 78, 81, 82, 89,
Neonatal 67
90 kecerdasan kognitif, 78
Nibulelo 19
Kecerdasan linguistik 88
Nifas 49, 63, 69, 107, 111, 113, 126, 127, 135,
Kecerdasan memori jangka panjang 80, 161, 163
87 Kecerdasan memori jangka pendek 79, Nishala 37, 38, 249
86 Kerajaan Oenam 240 NTT 223, 226, 228
KMS 84, 91, 160 Nusa Tenggara Barat 34
Kolostrum 132, 133 Nusa Tenggara Timu 227
Kumbang bubuk 212 Nusa Tenggara Timur 34, 35, 36, 46, 49, 50,
Kupang 170 56, 57, 58, 63, 77, 90, 91, 97, 98, 99, 104,
107, 108, 119, 120, 121, 122, 126, 137,
L 138, 141, 170, 239, 240, 241, 243
LILA 68, 71, 159
O
LK 69
Long term memory 80 Op mauntaif 19
Lopo 17, 18, 32 P
M Participatory action research 123, 137,
Malnutrisi 78 maramus- 140 Pen kikis 215
kwashiorkor 33 Pen muti 211, 214, 215, 217, 220
marasmus 33 Perineum 126
Maternal 6, 95, 108, 119, 126, 127 Perkembangan Kognitif 15
Mau ana 120, 128, 133, 135 PLAN 179
Mean Length of Utterance 81 Pollen 45, 46

252
Postnatal 97, 99, 100, 102 SoE 3, 11, 38, 110, 111, 130, 175, 176, 179,
Postpartum 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 182, 241, 243
67, 69, 70, 71, 74, 107, 108, 109, 110, Status gizi 15, 33, 36, 37, 39, 40, 42, 43, 45, 50,
111, 112, 113, 114, 115, 120, 122, 51, 55, 56, 61, 63, 67, 68, 71, 72, 73, 74,
126, 129, 132, 133, 135, 137, 138, 141 77, 82, 83, 84, 88, 91, 92, 101, 132, 138
Posyandu 36, 37, 38, 39, 40, 42, 44, 51, 82, stunted 33, 35, 45, 49, 73, 78
109, 119, 123, 125, 130, 134, 141, stunting 34, 35, 44, 47, 48, 49, 50, 51
144, 153, 154, 155, 156, 157, 158,
Suku 31, 216
159, 161, 162, 163, 175, 178, 180, 181
poverty 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, T
232, 234, 236
Pralakteal 73 Tatobi 49, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 103, 107,
108, 111, 112, 113, 115, 116, 117
prenatal 99, 100,
TB 69, 79
102 Prenatal 97
TB/U 40, 42, 45, 51, 73, 74, 79, 84, 91,
Pulau Timor 33, 49, 58, 67, 99, 107, 108, 111,
137, 138
120, 126, 137, 139, 141, 211
Timor 223
Puskesmas 79, 85, 104, 110, 125, 141, 144,
155, 160, 161, 175, 178, 180 Timor Tengah Selatan 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 33,
35, 36, 45, 46, 50, 52, 56, 57, 58, 67,
R 68, 77, 79, 97, 98, 99, 100, 119, 120,
122, 124, 125, 137, 138, 141, 148, 156,
Revolusi KIA 98, 102, 104, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 179, 185,
126 Riskesdas 34, 35 187, 215, 239, 240, 241, 242, 243
Rumah bulat 17, 18, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 28, Tofle’u 37, 38, 244
29, 30, 31, 49, 55, 56, 60, 61, 62, 63,
64, 112, 120, 121, 122, 126, 127, U
128, 129, 133, 134, 135, 139, 220 UBCHEA 52
Rumah kotak 20, 32, 112 Ume Kbubu 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 49, 58, 111,
S 112, 119, 139, 211, 212, 213, 214, 215,
Sakteo 157, 163 216, 217, 218, 219, 220, 221
Sanbala 157, 163 Underweight 34, 35, 73
Sanggar Suara Perempuan
W
179 schizophrenia 224
Sectio cesarean 111 wasted 73 wasting

Se’i 49, 57, 58, 59, 60, 62, 64, 107, 111, 112, 34, 35, 78
117 working memory 79
Semi-arid 50
Z
Short-term memory 79
Sindroma metabolik 35 Z-Score 84, 91
Sitophillus zeamays 212 Zuid Midden Timor 241

253

Anda mungkin juga menyukai