Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.0000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BINAUS
Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI
Penyunting
Yulius Y. Ranimpi
Penerbit
Satya Wacana University Press
BINAUS: Wajah Pedesaan Timor di Abad XXI
Penyunting
Yulius Y. Ranimpi
Penata Letak
Jerry F. Langkun
Disain Sampul
Vinchart D.B.J. Dundu
Foto-foto
Dhanang Puspita, Christina D. Tauho, Ferry F. Karwur, Yulius. Y. Ranimpi
Diterbitkan oleh
Satya Wacana University Press dan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana
v
1. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan bagi aparatur (PNS), masyarakat
dan putra putri daerah asal kabupaten TTS dalam berbagai bidang studi.
2. Kerjasama penelitian dalam berbagai aspek.
3. Kerjasama dalam menyediakan tenaga guru dan dosen pada semua strata
pendidikan (SD – PT).
4. Bersama Pemda merintis berdirinya Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan di SoE.
Sejak tahun 2012 sampai 2016 Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UKSW
Salatiga telah membantu Pemerintah Daerah Kabupaten TTS dalam upaya
peningkatan kesehatan ibu dan anak untuk suksesnya Revolusi KIA antara lain dalam
bentuk penelitian yang non intervensi dengan desain eksploratif dimana informasi
diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung bagi para
narasumber di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah antara lain: Pemerintah
Kecamatan/Desa, petugas Puskesmas, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh
agama dan tokoh adat dan jejaring lainnya. Ternyata terdapat kondisi adat istiadat,
budaya yang erat kaitannya dengan kesehatan ibu dan anak sejak kehamilan sampai
dengan melahirkan yang berdampak negatif atau beresiko tinggi bagi ibu dan anak.
Penelitian ini memberikan pemahaman secara menyeluruh kepada masyarakat
dimana ditemui sudah ada diskusi-diskusi yang cukup intensif dari masyarakat. Ini
menggambarkan ada semangat yang tinggi dari masyarakat untuk memperbaiki
derajat kesehatan di desanya. Sebagai contoh semua persalinan tidak lagi di rumah
penduduk dan ditolong oleh dukun bersalin tetapi masyarakat mulai menggunakan
fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga medis dan paramedis.
Pemerintah Daerah sangat menghargai semua hasil penelitian FIK UKSW
Salatiga yang dapat memberikan gambaran peran semua pemangku kepentingan tentang
sejauh mana masing-masing menjalankan perannya dalam upaya peningkatan kesehatan
masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak sehingga bagi Pemerintah Daerah dapat
dijadikan sebagai informasi tambahan untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan dan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat menuju lingkungan sehat,
vi
cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, derajat kesehatan penduduk yang baik,
perilaku sehat serta mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari
ancaman sakit dan meningkatkan partisipasi aktif dalam gerakan masyarakat sehat.
Melalui kesempatan ini ijinkanlah kami atas nama Pemerintah Daerah
1. Rektor UKSW Salatiga Bapak Prof. Dr. Pdt. John A. Titaley., Th,D atas
ijinnya penelitian dapat terlaksana dan terhimpun dalam karya ilmiah yang
sangat berdampak positif bagi kebijakan pembangunan di daerah.
2. Dekan FIK UKSW Salatiga Ir. Ferry F. Karwur MSc., PhD beserta seluruh peneliti
dan staf yang dengan ketekunan dan kesabarannya dapat menghasilkan sejumlah
penelitian tentang kesehatan masyarakat dari berbagai aspek antara lain ekonomi,
sosial dan budaya bersama masyarakat Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah
Kabupaten TTS menjadi referensi yang sangat bermanfaat dalam merumuskan
berbagai kebijakan pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan.
3. Secara khsus ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada
Pemerintah desa dan masyarakat Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah atas
berbagai dukungan sehingga terlaksananya penelitian ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa selama kebersamaan kita tidak luput dari
kesalahan dan kekeliruan. Untuk itu atas nama Pemerintah Daerah dan masyarakat
TTS menghaturkan permohonan maaf. Demikian pula dengan adanya keterbatasan
dan kelemahan yang kami hadapi dalam pembangunan kesehatan masyarakat maka
melalui rangkuman penelitian ini dapat membangkitkan inspirasi, semangat dalam
menunaikan tugas dan pelayanan kepada masyarakat.
Tuhan Yesus memberkati.
vii
Sambutan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Timor Tengah Selatan
Perbaikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah muara dari
semua kegiatan yang dilakukan baik pemerintah daerah maupun perwakilan rakyat.
Kehadiran kami bertujuan untuk mengawal seluruh proses perencanaan dan
pelaksanaan program kerja pemerintah agar benar-benar berfokus pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Untuk
melakukan hal ini, maka pemahaman akan kondisi nyata masyarakat TTS serta
seluruh dinamikanya mutlak diperlukan. Kedekatan dengan masyarakat merupakan
salah satu syarat utama agar apa yang menjadi kebutuhan mereka dapat diidentifikasi
untuk selanjutnya dipakai sebagai dasar rujukan pengembangan program kerja.
Faktor lain yang juga berperan dalam pembangunan kesehatan adalah faktor
masyarakat sebagai pembuat keputusan utama terkait kesehatan serta sebagai pengguna
aktif layanan kesehatan. Berbicara tentang masyarakat tentu tidak bisa lepas dari aspek
ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga aspek ini merupakan penentu utama keputusan serta
tindakan kesehatan yang diambil. Faktor ekonomi, misalnya, mempengaruhi apakah
viii
dalam menangani keadaan sakit yang dialami, seseorang akan mengakses fasilitas dan
layanan kesehatan yang tersedia. Selain itu, berbagai kebijakan lokal yang ada terkait
pengobatan sakit penyakit maupun praktek lokal terkait melahirkan, yang telah terjadi
secara turun-temurun juga sangat berkontribusi terhadap keputusan masyarakat untuk
mengakses layanan kesehatan modern. Kepercayaan masyarakat terkait penyebab
sakit penyakit maupun bagaimana cara mengatasinya secara sosial budaya dan religi
merupakan aspek yang perlu dicermati dengan baik dalam melakukan pendekatan
kepada masyarakat.
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) adalah salah satu PT yang memiliki
reputasi sangat baik di tengah masyarakat TTS. Selaku Ketua DPRD, saya menyampaikan
penghargaan atas apa yang telah dilakukan UKSW tidak hanya dengan menyediakan
pendidikan tinggi yang berkualitas bagi putra-putri daerah tetapi juga melalui kegiatan-
kegiatan lain yang berkontribusi baik dalam meningkatkan derajat kehidupan masyarakat
TTS. Buku berisi tulisan hasil penelitian dari mahasiswa dan dosen di UKSW tentu sangat
bermanfaat bagi banyak pihak, terutama pihak pemerintah. Buku ini dapat memberikan
gambaran objektif bagi kami dan menjadi landasan pengembangan program-program yang
tepat sasaran. Akhirnya saya, atas nama DPRD
ix
Kabupaten TTS dan masyarakat Kabupaten TTS, mengucapkan terimakasih bagi pihak
UKSW yang selama ini telah membantu kami dengan berbagai cara. Tuhan kiranya
x
Sambutan
Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) telah melewati perjalanan panjang
yang akhirnya membawa UKSW ke-usianya yang ke enam puluh (60) di tahun 2016
ini. Sepanjang sejarah, firman Tuhan serta visi dan misi adalah penuntun utama dalam
melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawab yang dianugerahkan Tuhan bagi
UKSW. Dengan berlandaskan pada visi-misi, selama 60 tahun, UKSW senantiasa
berusaha menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas serta bernafaskan
iman Kristiani sebagai bentuk kontribusi bagi gereja, bangsa dan negara Indonesia.
Sebagai institusi pendidikan tinggi, segitiga akademik atau Tri Dharma Per-
guruan Tinggi adalah pedoman UKSW dalam melangkah. Keseimbangan antara
pengajaran, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat senantiasa diupayakan
dalam kehidupan sivitas akademika UKSW. Kami sangat menyadari bahwa
keseimbangan antara 3 aspek inilah yang memampukan kami menyediakan
pendidikan yang berkualitas bagi generasi muda gereja dan bangsa.
UKSW telah berkomitmen untuk menjadi research university sejak paruh kedua
usianya, yaitu tahun 2006. Penelitian haruslah menjadi landasan bagi pengembangan
program pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya melalui penelitian yang
baik dan berkualitas, 2 aspek segitiga akademik lainnya dapat diselenggarakan dengan
tepat guna. Hasil-hasil penelitian baik oleh dosen maupun mahasiswa menjadi dasar bagi
proses pengajaran yang realistis dan berbasis bukti. Demikian juga, program pengabdian
kepada masyarakat akan menjadi lebih efektif dilakukan apabila identifikasi permasalahan
atau kebutuhan masyarakat telah dilakukan terlebih dahulu melalui kegiatan penelitian.
Oleh karena itu, melalui berbagai skema dan kebijakan, UKSW terus mendorong sivitas
akademikanya untuk melakukan penelitian yang kemudian
xi
tercermin dalam pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat.
Saya mengapresiasi usaha yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan, UKSW
yang telah dengan setia melakukan berbagai program penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat di berbagai tempat, salah satunya Desa Binaus, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, NTT. Kehadiran buku berjudul Binaus: Wajah Pedesaan Timor di Abad
XXI merupakan wujud nyata usaha FIK-UKSW dalam memberikan kontribusi nyata
bagi pengembangan masyarakat Desa Binaus melalui hasil-hasil penelitian di bidang
kesehatan.
xii
Kata Pengantar
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, saya menyambut baik usaha Panitia
Peringatan Ulang Tahun Kesepuluh Fakultas ini, untuk menerbitkan dalam bentuk
buku karya-karya penelitian, pengajaran, dan pengabdian masyarakat yang dilakukan
oleh para dosen dan mahasiswa di Desa Binaus Mollo Tengah, Timor Tengah Selatan.
Upaya-upaya yang dilakukan di Desa ini adalah bagian dari upaya UKSW
khususnya FIK menerjemahkan konsep segitiga akademik: penelitian, pendidikan-
pengajaran, dan pengabdian masyarakat, yang dilakukan secara melembaga.
Keterlibatan dan kerjasama yang erat telah diberikan oleh Pemerintah Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Bapak Bupati, Kepala Bapppeda TTS, Kepala Dinas Kesehatan,
Pihak Camat Mollo Tengah, Kepala Desa, Atoin Amaf dan para tua-tua adat yang lain di
Desa Binaus, Ketua dan para anggota Kader Posyadu di Binaus. Untuk itu, kami selaku
Dekan mengucapkan terima kasih. Disampaikan terima kasih juga kepada
Bapak Ared Billik, M.Si selaku Direktur STKIP Soe dan Bapak Simon Radja Pono
atas bantuan-bantuan yang diberikan selama staf FIK atau para peneliti mahasiswa
dari Jerman atau para peneliti/mahasiswa dari Jepang terutama Prof. Kanako
Shinkawa yang beberapa kali berkunjung ke Desa Binaus.
Disampaikan juga terima kasih atas bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak
yang telah menopang baik kepakaran, pembiayaan, dan dorongan semangat sehingga para
staf di Fakultas ini boleh mengerjakan tanggung jawab penelitian ini dengan sukacita.
Untuk itu kami mengucapakn terima kasih kepada United Board for Higher Christian in
Asia (UBCHEA) untuk topangan pendanaan program pengabdian masyarakat di Desa
Binaus, Terima kasih juiga kepada tim pakar dari Kementerian Kesehatan Republik
xiii
Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat (Surabaya), antara lain Profesor Dr.
Herman Sudiman, SKM, MKes; ProfesorA.A.Ngr. Anom Kumbara, MA, dan Profesor
Dr. Wasis Budiarto, MS.
Kami ucapkan terima kasih kepada Rektor UKSW yang selalu mendukung
Fakultas dan para staf akademiknya dalam melaksanakan penelitian, pengajaran dan
pengabdian masyarakat di dan melalu keterlibatan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW di
daerah Timor Tengah Selatan. Kepada tim persiapan buku ini, Bapak Yulius Yusak
Ranimpi selaku Penyunting dan Ibu Tessa Messakh diucapkan pula terima kasih.
Kepada semua peneliti/staf dan mahasiswa yang telah terlibat dalam program-program
di Desa Binaus, diucapkan terima kasih.
xiv
Kata Pengantar
Binaus adalah desa di wilayah Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang sudah lama saya dengar, terutama
via teman-teman peneliti di Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur (PSKTI) Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW). Perkenalan model dengar-dengaran itu lebih intens lagi
ketika desa ini dijadikan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW sebagai salah satu
laboratorium untuk kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Dan ditambah dengan
kisah yang menarik dari teman-teman yang pernah ke sana, terutama mengenai indah dan
eksotiknya salah satu dusun di sana, yaitu dusun III, membuat saya semakin penasaran
untuk juga memiliki pengalaman yang sama dengan mereka. Akhirnya waktu itupun tiba.
Di awal tahun 2015, saya menjejakkan kaki di Desa Binaus.
Desa ini berjarak lebih kurang 10 km dari So’e, Ibu Kota Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS). Didukung tersedianya moda transportasi, seperti ojek dan
angkutan kota membuat Desa Binaus mudah untuk dicapai. Desa Binaus, layaknya
desa lain di daratan Timor - NTT, memiliki fisiografi yang berbukit dan bergunung.
Indah, sepertinya tidak cukup untuk menggambarkan kualitas pemandangan alam di
sana. Belum lagi orang-orangnya. Ramah dan murah senyum. Semua itu cukup untuk
menjadi alasan supaya tinggal di sana dalam waktu yang lama.
Namun, di balik semua itu, sebagai Ibu Kota Kecamatan Mollo Tengah, Desa
Binaus menyimpan banyak keterbatasan dalam hal pembangunan. Sebagai bagian dari
Kecamatan yang baru otonom di tahun 2007 (sebelumnya menjadi bagian dari Kecamatan
Mollo Selatan), keterbatasan tersebut terlihat dari masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat, misalnya dalam aspek kesehatan. Persoalan tersebut semakin kompleks
mengingat paradigma pembangunan di negeri ini, umumnya adalah generalisasi. Satu
pendekatan untuk berbagai konteks, yang bergerak dari pusat ke daerah. Keberagaman dan
kekhasan lokal kurang mendapat tempat untuk menjadi konsideran. Dan di sinilah
xv
persoalannya ketika pendekatan umum tadi bertemu dan bersentuhan dengan nilai dan
keyakinan lokal. Tidak menutup kemungkinan konflik dapat lahir dari situ.
Dalam konteks seperti itulah, Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UKSW hadir
untuk menelaah secara obyektif, seturut dengan kaidah-kaidah keilmuan yang
diusungnya. Telaah obyektif ini, tentu saja diharapkan tidak berhenti pada tataran
kognitif saja, melainkan diteruskan pada tataran pragmatis.
Tahun ini, dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke 10, FIK -
UKSW menghadirkan buku ini sebagai bentuk penghargaan kepada masyarakat dan
Pemerintah Desa Binaus yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
kolaboratif serta partisipatif untuk mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapi
masyarakat dan Pemerintah Desa Binaus, khususnya dalam isu kesehatan. Dalam
buku ini disajikan berbagai tulisan ilmiah yang dihasilkan oleh civitas akademik FIK -
UKSW dan kerjasamanya dengan kolega dari institusi di luar UKSW. Buku ini adalah
bukti nyata kepedulian FIK - UKSW terhadap masyarakat dan Pemerintah Desa
Binaus. Dan saya pastikan, ini belum berakhir.
xvi
Ucapan Terima Kasih
xvii
Daftar Isi
Pendahuluan: ...................................................................................................................... 1
xviii
3. Survei Dampak Rumah Bulat dan Status Gizi Terhadap Kapasitas
Vital Paru Pada Ibu Post-Partum Yang Menggunakan Kompres
Panas di Kecamatan Mollo Tengah NTT ...............................................................55
Angkit Kinasih
5. Riwayat Gizi Kurang dan Perkembangan Kognitif dan Sosial Pada Balita ..... 77
Bagian II: Kesehatan Maternal dan Proses Modifikasi dalam Neno Bo’Ha
..................................................................................................................................................95
9. Proses Modifikasi Tradisi Makan Jagung Bose Pada Ibu Post-Partum .......137
Ferry F. Karwur, Venti Agustina, Kristiani D. Tauho, R.L.N.K Retno Triandhini
xix
11. Empowerment of Women in Timor Tengah Selatan .......................................169
Natalie Stehle, Ferry F. Karwur
xx
PENDAHULUAN
Binaus Dalam Kerangka Kerja
Kabupaten Timor Tengah Selatan
A. PENDAHULUAN
4
3. Tanaman perkebunan (Kelapa, kemiri, pinang, asam, dll.)
5
2. Derajat Kesehatan
6
3. Etos Kerja
orang tersebut terdiri dari mereka yang bekerja sebanyak 223.194 orang
7
35-59 jam seminggu (26,11%) dan yang bekerja 60 jam ke atas (2,84%).
Pembagian utara selatan cukup berarti dari segi iklim. Bagian utara
relatif cukup lembab (mungkin juga basah) dari pada wilayah selatan. Hal ini
terlihat dari jumlah vegetasi/kerapatan vegetasi antara utara dan selatan cukup
jauh berbeda. Bahkan rata-rata curah hujan pada kedua wilayah ini cukup
berbeda antara utara 1.569 mm/tahun dan Selatan 1.382 mm/tahun.
Perbedaan-perbedaan tadi juga membawa konsekwensi ketersediaan pangan
masyarakat. Perbedaan-perbedaan demikian membutuhkan pendekatan-
pendekatan bu-didaya pertanian, perkebunan, kehutanan yang berbeda-beda.
Disain-disain perencanaan pembangunan di masing-masing wilayah sudah
harus dimulai dari perbedaan-perbedaan diatas, sebagai contoh dari segi
subsistensi pangan pada wilayah-wilayah selatan sudah harus dicari introduksi
tanaman pangan tahan kering berupa gandum, jewawut dan lain-lain.
8
3. Kinerja Ekonomi
9
c. Melakukan kajian-kajian sosial-budaya sebagai bahan perencanaan
dan pengambilan keputusan.
3. Peningkatan sarana dan prasarana pemerintah, termasuk didalamnya
program perencanaan tata ruang daerah.
a. Pengembangan prasarana pendukung pada wilayah strategis.
10
pelayanan kehidupan beragama.
11
1. Desa Binaus
2. Desa Oelbubuk
3. Desa Kualeu
4. Desa Pika
5. Desa Oelekam
6. Desa Nekemunifeto
12
14. Jumlah bayi diberi Asi eksklusif 100%
15. Jumlah balita gizi buruk 24
16. Jumlah desa siaga 6
17. Jumlah dokter umum 1, bidan 5, perawat gigi 2,tenaga farmasi 1, tenaga gizi 1
D. DESA BINAUS
Desa Binaus adalah salah satu dari 6 desa definitif di Kecamatan Mollo
Tengah. Luas wilayah desa binaus adalah 16,61 km2. Jarak dari pusat
pemerintahan kecamatan ke desa binaus adalah 500 m, sementara jarak dari pusat
pemerintahan kabupaten adalah 10 km.
Gambar 3. Peta Desa Binaus
13
Jumlah penduduk Desa Binaus sebanyak 1072 jiwa, terdiri dari laki-laki
sebanyak 538 jiwa dan perempuan sebanyak 534 jiwa. Sebagian besar penduduk
desa binaus bekerja sebagai petani.
Tingkat pendidikan masyarakat desa adalah sebagai berikut: tidak pernah
sekolah: 70 orang; lulusan SD: 310 orang; lulusan SMP: 56 orang; lulusan SMA:
142 orang; Akademi: 10 orang; S1: 31 orang. Sarana dan prasarana yang ada di
Desa Binaus antara lain, kantor desa (1 buah), Puskesmas (1 buah), Pustu (1
buah), Poskesdes (1 buah), Posyandu (1 buah), dan PAUD, TK , SD, dan SMP,
masing-masing sebanyak satu buah. Terdapat sebuah gereja sebagai tempat ibadah
di Desa Binaus. Selain itu, terdapat prasarana air bersih yang terdiri dari HU 15,
PAH 3; PAMSIMAS 10; sumur gali 3, sumur pompa 1, dan tangki air 1. Tersedia
juga 8 buah MCK umum dan 260 jamban sebagai prasarana sanitasi.
14
BAGIAN 1
1
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana
2Staf di Kantor Kecamatan Mollo Tengah
Abstrak
Di Desa Binaus terdapat 3 Lopo, yang mewakili 3 keluarga besar tradisional di desa ini.
Sebaliknya, hampir setiap rumah tangga memiliki ume kbubu. Di Dusun II desa yang
sama, terdapat 63 ume kbubu. Penelitian ini mendeskripsikan ume kbubu di Dusun II,
khususnya pada 20 ume kbubu yang berada di jalan antara Op mauntaif – Nibulelo.
Penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat 3 bentuk rumah bulat di Dusun II Desa
Binaus, yaitu lancip (50%), oval (25%) dan parabola (25%). Ukuran tinggi ume kbubu
berkisar antara 2,8-4,8m, dengan presentase terbesar (45%) adalah kisaran 3,2-3,5m.
Lingkaran ume kbubu berkisar antara 9,0-23m, dengan presentase terbesar adalah 14,1-
17,0m (40%). Tinggi loteng dari tungku api, berada pada kisaran 1,7-2,6m dengan pre-
sentase terbesar adalah 1,7-1,8m (40%). Tinggi pintu masuk ume kbubu berkisar antara
0,5-1,4m dengan presentase terbesar adalah 0,9-1,0m (50%). Berdasarkan kapasitas pe-
nyimpanan jagung dalam satuan suku, ume kbubu di Dusun II dapat menampung jagung
antara 50-230 suku dengan presentase terbesar adalah 90-120 suku (85%).
Kata kunci: ume kbubu, konstruksi ume kbubu, ukuran ume kbubu, Desa Binaus
A. PENGANTAR
Ume kbubu atau juga dikenal dengan istilah rumah bulat adalah rumah
tradisional orang Atoni Meto, yang adalah pusat aktivitas utama keluarga. Secara
tradisional, di rumah itu kehidupan dimulai, aktivitas keseharian ibu berlangsung,
tata-aturan keluarga diatur, kehidupan ekonomi rumah tangga dikelola, pendidikan
anak-anak berlangsung, serta peranan fundamental dan otoritas ibu ditegaskan.
Dalam kehadiran bersama dengan ume kbubu, orang Timor memiliki rumah
tradisional yang disebut lopo. Jika rumah bulat diasosiasikan dengan peranan
perempuan dan sikap kerendahan hati, sebaliknya lopo dikaitkan dengan peranan laki-
laki dan lambang perlindungan serta pengayoman terhadap penghuninya. Lopo
merepresentasi kewibawan dan tanggung-jawab pria dalam konteks komunal. Peranan
dan tanggung-jawab sosial laki-laki mungkin dapat digambarkan sebaliknya dengan
ceritera lampau yang masih hidup di masyarakat bahwa di masa lampau, setiap lelaki
penakut akan dimasukkan ke dalam rumah bulat.
18
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif ume kbubu yang ada di Dusun II
Desa Binaus dengan tujuan untuk mendeskripsikan, bentuk luar ume kbubu, aspek
konstruksi, dan cara pembuatannya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September
s/d Oktober 2009. Penelusuran dilakukan pada setiap keluarga di Dusun II didapati
bahwa setiap keluarga selalu memiliki ume kbubu. Jumlah keseluruhan ume kbubu di
Dusun II Desa Binaus adalah 63 unit, dengan perincian, 15 unit di RT V, 26 unit
di RT VI dan 22 unit di RT VII. Penelitian ini berfokus pada 20 ume kbubu yang
terdapat di sepanjang jalan Op mauntaif sampai Nibulelo (lihat Gambar 1).
Bentuk umum dan konstruksi ume kbubu sangat unik dan bervariasi.
Atapnya menjurai sampai ke tanah berbentuk setengah oval dengan memiliki satu
pintu masuk yang sangat rendah sehingga untuk masuk ke dalamnya harus
menunduk. Dinding rumahnya melingkar dengan garis tengah umumnya 3–5
meter. Ume kbubu memiliki tinggi ±5–6 meter yang disesuaikan dengan perkiraan
hasil dan luas ladang usahatani.
19
Umumnya rumah bulat terbagi atas 3 (tiga) ruangan yakni ruangan
pertama sebagai tempat untuk melakukan aktivitas masak-memasak atau lainnya
dengan tinggi ± 1,5 meter, ruangan kedua adalah para-para untuk menyimpan
hasil pertanian (jagung) dengan tinggi ± 2 meter, dan ruang ketiga adalah ruang
kosong di bawah atap dengan tingggi ± 2,5 meter.
Ruangan pertama sebagai dapur ditandai dengan adanya tungku api sebagai
tempat untuk aktivitas masak-memasak ±1,5 meter dari pintu masuk dan juga dengan
tempat untuk menyimpan alat-alat makan dan memasak yang terletak di belakang
tungku api. Aktivitas memasak terutama dilakukan oleh ibu dan anak-anak yang
sudah bisa bekerja dilakukan 2–3 kali sehari. Aktivitas memasak dilanjutkan dengan
makan di ruangan pertama rumah bulat. Masyarakat dengan rumah bulat lebih sering
makan di dalam rumah bulat daripada rumah kotak, kecuali ada tamu.
Selain itu, di ruangan pertama ini dapat ditemukan juga tempat tidur yang
biasanya diletakkan di bagian kiri atau kanan dari tungku api. Tempat tidur yang
20
tingginya sekitar 0,5m digunakan sebagai tempat beristirahat, terutama pada malam
hari jika kondisi iklim lebih dingin. Terdapat tradisi bahwa orang lain selain ang-gota
keluarga tidak boleh duduk ataupun tidur di tempat tidur yang ada, karena itu
merupakan milik pribadi keluarga tersebut, sehingga jika dilanggar akan mendapat-
kan penyakit, tetapi tidak semua orang melakukan tradisi ini sekarang.
Aktivitas lain yang sering dilakukan di rumah bulat ialah beristirahat dan
tidur. Aktivitas ini lebih cenderung dilakukan oleh para lansia, namun beberapa
ibu juga tidur di rumah bulat, terutama pada masa 40 hari setelah persalinan.
Selama masa tersebut, ibu dan bayi beraktivitas di dalam rumah bulat, termasuk
memandikan bayi dan menyusui.
21
Pembuatan Rumah Bulat
22
Untuk tiang tengah yang letaknya di tengah-tengah loteng sebagai pembentuk
atap dibutuhkan 1 batang kayu dengan ukuran 5/10 (cm). Untuk penyangga
pembentukan atap yang disebut spar atau suaf dibutuhkan 20–24 batang dengan
ukuran 5/7 (cm), untuk penyangga atap yang disebut lata sebagai tempat untuk
mengikat alang-alang dibutuhkan 50–80 batang dengan ukuran ∅ 0,5–1 cm.
Tiang-tiang penahan dinding ume kbubu terbuat dari 20–24 batang kayu
dengan ukuran 5/10 (cm). Dinding rumah terbuat dari bahan yang bervariasi,
umumnya dari bambu yang dibelah atau dicincang. Namun demikian, ada pula
yang menggunakan papan atau kulit papan. Jenis kayu yang digunakan umumnya
dipakai yang kuat dan keras, yakni kayu kabesak dan kasuari. Lata atap
menggunakan bambu atau bahan yang bisa lentur sehingga memudahkan saat
diputar melingkar mengikuti bentuk rumah (Gambar 5). Atap rumah terbuat dari
alang-alang atau sejenis rumput-rumputan yang mudah ditata dengan ukuran dan
jumlah yang bervariasi sedangkan bahan pengikat tiang-tiang digunakan tali dari
kulit bambu muda atau dari pelepah daun gewang.
Pembuatan ume kbubu dimulai dari penentuan tempat untuk dibangunnya ume
kbubu, biasanya terletak di belakang rumah induk yang jarak dari ruah induk bervariasi 3–
6 meter. Tiang utama sebanyak 4 batang ditanam membentuk persegi empat dengan jarak
23
Gambar 6. Bahan Bambu (kiri) dan Bahan Alang-alang (kanan)
24
Bentuk Morfologi Ume Kbubu
Konstruksi rumah bulat (ume kbubu) berpengaruh pada tinggi dari tanah,
besar lingkaran, tinggi loteng dari tungku api, tinggi pintu masuk dan bentuk atap
serta isi rumah bulat dengan demikian ada perbedaan khas dari tiap bentuk
terhadap beberapa hal di atas.
25
Gambar 8. Rumah bulat Bentuk II (Lancip)
26
Ukuran Ume Kbubu
Tabel 1 menunjukkan bahwa ada variasi dari ukuran (tinggi dari dari tanah, besar
lingkaran, tinggi loteng), bentuk atap (oval, lancip dan parabola) dan volume/isi rumah
bulat (suku) pada ume kbubu di Dusun II Desa Binaus. Keragaman ukuran, bentuk atap
dan isi ume kbubu disebabkan tiap Kepala Keluarga membuat/mendisain ume kbubu
mengikuti luas lahan usahatani, jumlah keluarga dan rencana pemanfaatannya.
27
pertama 2 batang, balok penyangga kedua 4 batang, balok penyangga ketiga 6
batang dan bentuk atap yang umumnya lancip. Menurut mereka hal ini disebabkan
masing-masing keluarga memiliki tanggungan dan luas lahan yang berbeda-beda.
Desa Binaus, menunjukkan bahwa ukuran lingkaran rumah bulat dapat dikategorikan
sbb: (a) besar lingkaran rumah bulat 14,1-17,0 meter sebanyak 8 unit (40%), besar
28
lingkaran 17,1–20,0 meter sebanyak 6 unit (30%), besar lingkaran 9.0–11.0 sebanyak
3 unit (15%), 11,1–14,0 meter sebanyak 2 unit (10%) dan 20,1–23,0 meter sebanyak 1
unit (5%). Sebaran data ini memberikan gambaran bahwa rumah ume kbubu memiliki
ukuran yang hampir seragam di semua unit yang diamati dengan kisaran pada ∅ 4.5 -
∅ 11.0. Besarnya lingkaran ume kbubu ditentukan oleh volume atau isinya.
29
Tinggi loteng dari tungku
Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa tinggi pintu masuk dari tanah
0,9 – 10 meter sebanyak 10 unit (50 %), tinggi 1,1 – 1,2 meter sebanyak 4 unit
(20%), tinggi 0,5 – 0,6 meter dan tinggi 0,7 – 0,8 meter masing-masing sebanyak
3 unit (15%). Sebaran data ini menggambarkan bahwa rata-rata tinggi pintu masuk 0.5
– 1,2 meter sehingga setiap pemilik rumah harus menunduk ketika akan masuk ke
dalam, hal ini disebabkan konstruksi dari rumah bulat yang dirancang untuk
memfokuskan asap dari kegiatan memasak tidak keluar melalui pintu tetapi lang-sung
pada jagung dalam ume kbubu sehingga ventilasi udara hanya dari pintu masuk.
Ketika memasak, biasanya pintu ume kbubu juga ditutup rapat sehingga asap
30
Tabel 5. Kisaran dan frekuensi ume kbubu berdasarkan tinggi pintu masuk dari tanah
31
D. KESIMPULAN
Di Binaus, rumah tradisional orang Atoni Meto terdiri atas Lopo dan Ume
Kbubu. Lopo hanya ditemukan di 3 rumah Tua Adat (Usif dan Atoin Amaf) yang
mewakili 3 keluarga besar di Binaus, sedangkan Ume Kbubu terdapat di hampir setiap
keluarga. Khususnya di Dusun II, terdapat 63 Ume Kbubu, yang terletak di belakang
‘rumah kotak” mengikuti arah jalan. Rumah-rumah bulat tersebut memiliki struktur
umum yang mirip namun dengan bentuk yang bervariasi (lancip, oval, dan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim., 2001. NTT dalam angka tahun 2001. BPS Propinsi Nusa Tenggara Timur
Anonim., 2003. Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam Angka. Penerbit Biro Pusat
Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Anonim. 2004., Sistim Informasi Tata Guna Lahan Kecamatan Mollo Selatan Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Pemda Kabupaten Timor Tengah Selatan dan UKSW
Salatiga, Penerbit Pusat Studi Kawasan Timur Indonesia. Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga
Widyatmika, M. 1996. Budaya Masyarakat Lahan Kering. Penerbit Pusat Penelitian
UNDANA.
Dima, T. K, Antariksa, A. M. N. Konsep Ruang Ume Kbubu Desa Kaenbaun
Kabupaten Timor Tengah Utara. Jurnal RUAS, Volume 11 No 1, Juni 2013,
ISSN 1693-3702
Saraswati, T. The occurrence of “empathiced, modern” buildings inside traditional environ-
ment in Boti village, Timor island. Dimensi − Journal of Architecture and Built
Environment, Vol. 42, No. 1, July 2015, 9-14 DOI: 10.9744/dimensi.42.1.9-14
ISSN 0126-219X (print) / ISSN 2338-7858 (online)
Situmeang, V. S. N. 2013. Ume kbubu: household granary and food security in Timor
Ten-gah Selatan. A Thesis. Department of International Studies and the
Graduate School of the University of Oregon.
32
2
Abstrak
Kurang gizi masih menjadi persoalan kesehatan utama di Pulau Timor, terutama pada anak
dengan usia di bawah lima tahun. Kekurangan gizi tersebut mempengaruhi perkembangan
fisik, mental, dan sosial yang bersangkutan. Walaupun manisfestasi klinis keadaan kurang
gizi, misalnya kurangnya asupan kalori dan protein, adalah mirip (antara lain kehilangan
berat badan secara ekstrem, stunted, marasmus, kwashiorkor, dan/ atau maramus-
kwashiorkor), namun akar-akar masalah dan faktor-faktor penyebabnya dapat berbeda satu
dengan lain daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan status gizi
pada semua Balita pada Juli s/d Agustus 2014 di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah
Kabupaten Timor Tengah Selatan dan menganalisis faktor-faktor lokal yang diduga kuat
menentukan kejadian kurang gizi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode survey dan
observasi, serta pengukuran antropometri yang kemudian dianalisa dengan menggunakan
z-skor untuk menentukan status gizi pada semua (108) Balita di desa tersebut. Penelitian
ini menemukan status gizi Balita berdasarkan Berat Badan/Umur pada bulan Juli 2014
sebanyak 86 Balita (87%) masuk dalam kategori gizi baik. Meskipun demikian masih
ditemukan Balita dengan status gizi kurang sebanyak 13 Balita (13%), gizi buruk 1 Balita
(1%). Balita dengan status gizi baik, gizi lebih dan gizi kurang didominasi oleh laki-laki
dan status gizi buruk terjadi pada Balita perempuan. Jika penilaian status gizi didasarkan
pada Tinggi Badan/
Umur sebagian besar Balita masuk dalam kategori status panjang badan tidak normal yaitu
pendek sebanyak 32 Balita (36,8%), sangat pendek sebanyak 10 Balita (11,5%) dan
tinggi sebanyak 2 Balita (2,3%) dan Balita dengan status panjang badan tidak normal lebih
banyak pada laki-laki, yakni 27 Balita (55,1%). Adapun faktor-faktor penting yang diduga
mempengaruhi gizi Balita di desa ini adalah (a) pendapatan keluarga yang rendah dan
tidak pasti, (b) pola pemberian makan terkait dengan faktor adat-istiadat setempat, serta (c)
kurangnya stok pangan keluarga pada musim kemarau. Determinan-determinan utama dari
kondisi di atas adalah faktor (a) faktor kebijakan pembangunan,
(b) kondisi iklim kering dengan sumberdaya air hujan terbatas, yang berimplikasi pada
kualitas tanah –khususnya ketersediaan hara—, (c) faktor sosial ekonomi
(kemiskinan), dan (d) faktor sosio-kultural.
Kata kunci: Status Gizi, Balita, Binaus
A. PENDAHULUAN
34
Persoalan gizi di NTT sudah berlangsung lama. Pada tahun 1989 s/d
2007 ILO/WFP/UNICEF/Food Security Offices (World Food Program, 2010)
melaporkan bahwa prevalensi stunting, underweight, dan wasting di NTT berada di
atas prevalensi nasional, yakni berturut-turut sebesar 52%, 39,7%, dan 15,4%.
Keadaan ini jauh lebih tinggi dari keadaan rata-rata nasional, dengan persentasi
stunting, underweight, dan wasting berturut-turut sebesar 36,8%,18,4%, dan 13,6%
(Kemenskes, 2008). Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti
UKSW-Pemda TTS tahun 2003 (Bappeda TTS - UKSW, 2003) menemukan bah-
wa dari 23.939 Balita yang ditimbang, 34,0% dalam kategori gizi kurang, dan
7,52% berada dalam kategori gizi buruk. Penelitian Riskesdas 2010 dan 2013
melaporkan bahwa di tahun 2010 prevalensi wasting dan underweight di NTT
sebesar 9% dan 20,4%. Gizi kurang/buruk di tahun 2013 sebesar 33,1%.
Prevalensi ini berada di atas prevalensi nasional yakni 17,9% pada tahun 2010 dan
19,6% pada tahun 2013 (Kemenkes 2010; 2013).
Keadaan kurang gizi pada Balita jika dibiarkan dan tidak ditangani secara
serius dapat mempengaruhi perkembangan fisik (stunted), mempengaruhi kemampuan
intelektual, anak sulit beradaptasi dan menarik diri dari lingkungannya (Brown &
Pollitt,1996). Apabila keadaan tersebut berlangsung lama dapat berakibat pada
kematian (Muller & Krawinkel, 2005). Selain itu kurang gizi pada fase awal
kehidupan, dapat menyebabkan persoalan sindroma metabolik di kemudian hari
(Barker & Hales, 2001).
terlalu dini, serta asupan kolostrum dan ASI yang kurang (Rahayu, 2011).
35
Mempertimbangkan begitu banyak dan luasnya faktor kurang gizi pada
Balita dan menilai pentingnya konteks lokal dari keadaan kurang gizi, maka
adalah penting melakukan penilaian dan analisis determinan-determinan yang
signifikan bagi kejadian kurang gizi Balita di tingkat lokal/grass-root di NTT.
Konteks lokal ini diharapkan dapat membantu dalam menginterpretasi data trend
yang bersifat makro, baik itu di aras provinsi dan nasional.
Penelitian ini adalah penelitian deskripsi status gizi Balita di Desa Binaus
serta menganalisis mengapa persoalan gizi Balita masih bersifat persisten.
Penilaian status gizi Balita yang dilakukan di Binaus ini menilai semua Balita
yang terdaftar di Posyandu Desa Binaus. Dilakukan pula analisis konteks lokal
mengapa kurang gizi masih terjadi secara berulang.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan antara bulan Juli hingga Agustus 2014 di Desa
Binaus, Kec. Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan.Penelitian ini
menggunakan metode survey dengan teknik pengukuran antropometri pada Balita
yang melakukan penimbangan pada bulan Juli-Agustus2014. Untuk menggali faktor-
faktor yang mempengaruhi status gizi menggunakan kerangka pikir UNICEF’s Food
and Nutrition Model tahun 1996 (UNICEF, 2013) dengan membandingkan hasil
penelitian sekarang dan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan.
Populasi dalam penelitian adalah semua Balita yang tercatat di buku register
Posyandu sampai dengan bulan Juli 2014 yaitu sebanyak 108 Balita. Dari 108 Balita
yang tercatat, hanya 100 Balita yang datang pada saat Posyandu bulan Juli 2014 dan
dari 100 Balita ini hanya 87 Balita saja yang dapat diukur berat badan dan tinggi
badan, karena 13 Balita lainnya menolak dan menangis saat hendak diukur tinggi
badannya. Berdasarkan informasi dari kader dan ibu Balita lainnya, 8 Balita yang
tidak datang dikarenakan 2 Balita sedang dalam masa 40 hari sehingga tidak boleh
dibawa keluar rumah dan 6 Balita lainnya diajak orang tuanya pulang kampung
36
serta diajak ke ladang. Tigabelas Balita yang tidak dapat diukur TB pada bulan Juli
2014, satu diantaranya telah keluar dari Posyandu Binaus dikarenakan pindah
rumah bersama kedua orangtuanya ke Desa Oebubuk dan 12 Balita lainnya
didapatkan pengukuran TB di bulan Agustus 2014 sedangkan 8 Balita yang tidak
datang saat Posyandu bulan Juli 2014, 7 diantaranya didapatkan pengukuran BB
dan TB pada bulan Agustus 2014 dan 1 Balita telah keluar dari Posyandu Binaus
dikarenakan pindah rumah bersama kedua orangtuanya ke Desa Oebubuk.
C. HASIL PENELITIAN
37
semuanya dilakukan di 2 Posyandu tersebut. Posyandu I letaknya di pinggir jalan
utama ke Soe dan beraspal sehingga memudahkan Balita dan orang tuanya datang
dibandingkan Posyandu II yang letaknya di pertengahan antara dusun II dan III, jauh
dari jalan utama serta kondisi jalan yang naik turun dengan batu lepas. Ada satu Balita
bersama ibunya yang berasal dari dusun III harus menempuh perjalanan kaki
sepanjang ±2-3 km untuk sampai ke Posyandu II. Pada saat penelitian, Posyandu
I melayani 85 Balita dengan komposisi 44 laki-laki dan 41 perempuan. Mereka
tinggal di RT 1,2,3,4,5 dan 9. Posyandu II melayani 23 Balita, 17 laki-laki dan 6
perempuan Balita yang tinggal di RT 6,7 dan 8.
Umumnya Balita-Balita di Binaus datang ke Posyandu bersama dengan
ibunya, namun dalam periode penelitian, ada dua Balita yang berada di Posyandu
I dan II datang dengan ayahnya karena ibunya sedang bekerja di luar Soe.
Sebagian besar Balita yang ikut Posyandu tidak pernah absen dari penimbangan
setiap bulannya karena kader memberlakukan sistem denda berupa uang sebesar
Rp.5000.- per bulan pada orangtuanya yang tidak membawa anaknya menimbang
saat Posyandu. Selain itu, jika ada pembagian makanan tambahan (misal MP-ASI,
biskuit), Balita yang tidak datang Posyandu tidak memperoleh makanan tambahan
tersebut.
Sampai bulan Juli 2014 di Binaus ada 108 Balita yang tercatat di buku
register Posyandu dari umur 0 bulan hingga 60 bulan yang terbagi di dua
Posyandu yaitu 85 Balita di Posyandu I dan 23 Balita di Posyandu II. Berdasarkan
umur, mereka didominasi oleh Balita pada kelompok umur 25-60 bulan, yakni
sebanyak 69 Balita (Gambar 1). Mereka berasal dari tiga dusun yaitu dusun
Aneotob, dusun Tofle’u dan dusun Nishala. Sebagian besar Balita yang ada di
Desa Binaus tinggal di sekitar dusun Aneotob dan dusun Tofle’u sehingga mereka
melakukan penimbangan ke Posyandu I Sakteo, namun ada juga Balita yang
tinggal di dusun Tofle’u ikut penimbangan di Posyandu II Sanbala mengingat
jarak rumahnya lebih dekat ke Posyandu II Sanbala. Balita yang tinggal di dusun
Nishala melakukan penimbangan di Posyandu II Sanbala, walaupun jaraknya ± 4-
5 km, dengan jalan setapak yang berbukit dan bergunung.
38
Gambar 1. Karakteristik Balita di Desa Binaus Berdasarkan
(a) Jenis Kelamin dan (b) Umur
1a 1b
Dari total 108 Balita yang terdaftar di buku register Posyandu Binaus sampai
bulan Juli 2014, hanya 100 Balita yang melakukan penimbangan pada bulan
Juli 2014. Dari 8 Balita yang tidak datang tersebut, diantaranya 2 Balita sedang
dalam masa 40 hari sehingga tidak boleh dibawa keluar rumah dan 6 Balita
lainnya menurut keterangan dari kader dari ibu Balita lainnya diajak orang tuanya
pulang kampung serta diajak ke ladang. Penelusuran terhadap ke-8 Balita
didapatkan hasil bahwa 1 diantara 8 Balita tersebut telah keluar dari Posyandu
Binaus karena pindah bersama kedua orangtuanya ke Desa Oelbubuk dan 7 Balita
menimbang pada bulan Agustus 2014.
Status gizi dari 100 Balita berdasarkan data penimbangan bulan Juli 2014
didapatkan hasil bahwa 86 Balita memiliki status gizi baik, 13 Balita dengan status
kurang gizi yang terdistribusi hampir merata antara kategori Balita kurang dari
39
2 tahun dan mereka yang berumur lebih dari 3 tahun. Ditemukan pula 1 Balita dengan
status gizi buruk (Gambar 2a). Mereka yang bergizi kurang lebih dominan pada laki-
laki, namun status gizi buruk terjadi pada Balita perempuan (Gambar 2b).
Gambar 2. Status Gizi Balita Menurut Indeks BB/U Berdasarkan
(a) Kategori Umur dan (b) Jenis Kelamin.
2a
2b
Balita yang diukur tinggi badannya pada saat penimbangan Posyandu bulan Juli
40
2014 sebanyak 87 Balita dari 100 Balita yang menimbang. 13 Balita lainnya tidak
diukur tinggi badannya karena ada yang menangis sambil meronta-ronta dan ada
yang takut serta menolak saat dilakukan pengukuran tinggi badan.
3a
3b
status tinggi badan tidak normal yaitu, pendek sebanyak 32 Balita, sangat pendek
sebanyak 10 Balita dan tinggi sebanyak 2 Balita. Terlihat pula bahwa Balita
41
dengan kategori status gizi pendek didominasi oleh mereka pada kategori umur 25-
60 bulan, ketimbang mereka yang berumur 0-24 bulan.
Status gizi berdasar TB/U menurut jenis kelamin, didominasi oleh Balita laki-
laki. Untuk status panjang badan pendek, sangat pendek dan tinggi terjadi lebih
banyak pada Balita laki-laki dengan prosentase pendek 18 Balita, sangat pendek 7
Balita dan tinggi 2 Balita (Gambar 3b). Hal ini menggambarkan status gizi pada
Balita laki-laki lebih bervariasi.
Karena hanya 100 Balita yang ditimbang pada bulan Juli 2014, ada 8 Balita
yang tidak berkunjung ke Posyandu. Penelusuran kepada 8 Balita yang tidak datang
pada bulan Juli 2014 didapatkan bahwa penimbangan pada bulan Agustus 2014
dengan hasil sebagai berikut: 1 Balita sudah keluar dari Posyandu karena pindah desa
mengikuti orang tuanya ke Desa Oelbubuk, 6 Balita dalam status gizi baik dan 1
Balita masuk kategori gizi kurang. Selain data BB/U peneliti juga melakukan
penelusuran terhadap 13 Balita yang tidak bisa diukur TB pada bulan Juli 2014,
namun melakukan penimbangan pada bulan Agustus 2014. Diperoleh data bahwa
1 Balita sudah keluar dari Posyandu karena pindah Desa mengikuti orang tuanya ke
42
Gambar 4. Perbandingan Status Gizi Balita di Binaus berdasarkan BB/U (4a) dan
berdasarkan TB/U (4b) Berdasarkan Data Bulan Juli dan Agustus 2014
4a
4b
Desa Oelbubuk, 3 Balita pendek, 4 Balita sangat pendek, 1 Balita normal, 1 Balita
43
dan biskuit bagi anak-anak di Posyandu. Pada tahun 2013 juga pernah diadakan
program pengentasan gizi kurang pada anak usia di bawah lima tahun dimana
kader merancang menu makanan, mengolah dan menyajikannya selama satu bulan
berturut-turut. Oleh warga hal ini dipandang tepat. Namun di sisi lain program dari
LSM ini bersifat “charity” dan berlangsung sementara tanpa ada kelanjutan, serta
tidak adanya monitoring atas sejauh mana program ini berdampak pada status gizi
Balita dan anak. Hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi bergantung pada
bantuan dari luar.
44
D. PEMBAHASAN
gizi pada Balita laki-laki cenderung lebih bervariasi ketimbang pada Balita
perempuan. Studi yang lebih cermat perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi data ini.
Status gizi Balita berdasarkan TB/U menunjukkan bahwa lebih dari sete-
ngah dari jumlah Balita di Desa Binaus masuk dalam kategori status panjang
badan tidak normal yaitu, pendek/stunted sebanyak 32 Balita (36,8%), sangat
pendek/very stunted sebanyak 10 Balita (11,5%) dan tinggi 2 Balita (2,3%)
(Gambar 3) dan 11 Balita yang diukur pada bulan Agustus 2014 menunjukkan
lebih dari setengah me-miliki panjang badan tidak normal, 6 Balita memiliki
panjang badan pendek/stunted, 1 Balita sangat pendek/very stunted dan satu Balita
memiliki panjang badan yang tinggi/tall.
Dari hasil wawancara penyebab langsung kejadian kurang gizi pada Balita di
Desa Binaus diduga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu asupan nutrisi gizi yang
tidak adekuat. Hal ini didukung oleh wawancara dengan ibu Balita yang menyatakan
bahwa selama ini anaknya tidak bermasalah dengan makan, apa yang disediakan pasti
dimakan dan apa yang dimakan oleh anak sama dengan yang dimakan oleh orang
tuanya seperti nasi, jagung bose (jagung katemak yang kulit bijinya dibuang dan
dimasak dengan air) dan sayur-sayuran lainnya. Tidak ada menu dengan pengolahan
khusus yang diberikan kepada Balita sehingga menu makanan setiap hari
45
bisa dipastikan hampir sama dan terutama bersumber dari karbohidrat saja. Selain
konsumsi makanan yang berbasis karbohidrat, berdasarkan hasil observasi peneliti
dan wawancara dengan ibu-ibu yang memiliki anak Balita khususnya di atas 1 tahun
didapatkan hasil bahwa variasi konsumsi zat gizi dalam satu hari khususnya protein
sangat sempit karena Balita mengonsumsi protein hanya dari kacang-kacangan saja
yang dicampur dengan sayur atau dibuat sayur dan porsi konsumsinya belum tentu
tiap hari. Adapun jenis kacang yang biasa dikonsumsi Balita di Desa Binaus adalah
kacang arbila, kacang turis, kacang nasi yang dibuat sayur atau dicampur pada jagung
bose. Padahal asupan protein yang disarankan adalah 10% sampai 20% dari asupan
energi harian (Sharlin & Edelstain, 2011). Dengan melihat kondisi di atas, Balita di
Binaus memiliki asupan energi yang cukup yang berasal dari makanan berbasis
karbohidrat namun di sisi lain kemungkinan kekurangan asupan berbasis protein (dan
kemungkinan juga kekurangan asupan lipid). Hal ini jika berlangsung terus menerus
dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan tinggi badan dikarenakan anak
mengalami kekurangan asupan protein meskipun konsumsi energinya cukup
(Cahyono, Manongga, Picauly, 2016). Kecukupan protein pada anak juga dipengaruhi
oleh konsumsi pada tingkat rumah tangga. Menurut Palekahelu dkk (2008), proporsi
rumah tangga di Kecamatan Pollen (TTS) yang mengalami defisit protein berdasarkan
tingkat konsumsinya adalah sebanyak 66,66%. Hal ini juga didukung oleh hasil
Riskesdas tahun 2010 yang menyatakan bahwa provinsi yang penduduknya
mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal (kurang dari 80% dari angka
kecukupan bagi orang Indonesia) adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (56,0%)
(Kemenkes, 2010).
46
bubur atau dibuat kue, hal ini besar kemungkinan dapat membantu meningkatkan
asupan gizi Balita. Jenis makanan dan kandungan gizi mikro yang beragam dalam
penyediaan makanan pada anak terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan anak (Ramakrishnan et al. 2009)
Selain menu makan, pemberian makan yang tidak memadai pada 2 tahun
pertama bertanggung jawab pada terjadinya stunting seperti kurangnya proses
menyusui, menyapih, praktik pemberian makanan tambahan (Eastwood, 2003). Hal ini
sesuai dengan hasil wawancara pada ibu-ibu yang pernah memiliki Balita menyatakan
bahwa ada kebiasaan dari nenek moyang mereka saat bayi menangis menunjukkan
bahwa bayi tersebut lapar dan menurut mereka ASI itu hanya minuman saja sehingga
tidak cukup mengenyangkan oleh karena itu bayi harus diberi makanan padat seperti
jagung titi yang dibuat bubur, bubur kacang hijau padahal bayi belum waktunya diberi
makanan tambahan. Dengan pemberian makanan tambahan ini praktek menyusui
tidak lagi ASI eksklusif. Dengan kata lain bayi sudah diberikan makanan tambahan
sejak umur 3 bulan. Kejadian ini juga sama terjadi pada Balita di Merauke yang sudah
diberikan MP ASI sebelum 6 bulan (Wibowo, Santika, Harmiko, 2012) hanya saja
Balita di Binaus MP-ASI dalam bentuk makanan padat seperti jagung titi yang dibuat
bubur, bubur kacang hijau.
Keadaan gizi kurang dan gizi buruk terkait erat dengan penurunan daya
tahan tubuh dan oleh sebab itu gangguan penyakit infeksi. Hal ini ditopang oleh
data penyakit infeksi di Puskesmas Binaus yang menunjukkan bahwa penyakit
infeksi saluran pernafasan masih menduduki peringkat nomor satu pada anak-anak
seperti batuk, pilek; diikuti dengan penyakit dengan gejala demam atau panas,
serta gatal-gatal.
Keadaan kurang gizi disebabkan oleh banyak faktor yaitu faktor ekonomi
keluarga, ketahanan pangan keluarga, pengetahuan keluarga terhadap praktek
pengasuhan anak, sanitasi kesehatan dan pelayanan kesehatan dasar (UNICEF,
2013). Pokok permasalahan gizi terkait pengetahuan orang tua ialah persoalan
pengetahuan tumbuh kembang anak. Orang tua Balita umumnya tidak mengetahui
47
bahwa anaknya mengalami masalah stunting (tinggi badan Balita lebih pendek dari
yang seharusnya bisa dicapai pada umur tertentu), mereka menganggap bahwa anak
mereka dalam keadaan sehat. Salah satu orang tua menuturkan bahwa selama ini
anaknya dalam keadaan sehat dan tidak ada keluhan penyakit apapun, namun dulu
saat hamil banyak memantang makanan seperti ikan dan daun singkong, karena takut
mengalami kesulitan ketika melahirkan pada saat menyusui mentabukan makan cabai
karena takut anak akan mencret, tidak makan buah dan daun pepaya karena takut anak
mereka akan mengalami gatal-gatal saat habis melahirkan. Jika ibu yang sedang hamil
tidak terpenuhi asupan nutrisinya secara maksimal maka akan ada kemungkinan anak
yang dilahirkannya akan mengalami BBLR, dan anak yang memiliki berat badan lahir
rendah 20-40% akan menyebabkan terjadinya stunting (Lewit & Kerrebrock, 1997).
Demikian juga saat ibu dalam proses menyusui asupan nutrisinya kurang akan
membawa dampak kurangnya nurisi pada bayinya sehingga akan mengganggu proses
tumbuh kembangnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Ramli et al. (2009) di Maluku
bahwa prevalensi stunting anak usia 12–59 bulan adalah 38,4 % sedangkan untuk
anak usia 0–11 bulan prevalensi stunting adalah
29%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian stunting pada Balita ada kemungkinan
sudah dimulai pada saat janin dalam kandungan sampai dengan usia perkembangan.
48
hanya ada bahan pangan itu saja yang bisa diolah. Lagi pula, hasil pendapatan rendah
dipergunakan untuk keperluan lain seperti arisan, kolekte kegiatan agama dan sosial
sehingga untuk kebutuhan makan sehari-hari benar-benar hanya mengandalkan
cadangan pangan atau hasil panen. Hal ini yang menjadikan pendapatan keluarga
menjadi salah satu faktor resiko yang menyebabkan kejadian stunting di Binaus.
Temuan ini didukung hasil penelitian Riyadi dkk (2006), Astri dkk (2006), dan
Ulfani dkk (2011) yang menemukan bahwa ciri rumah tangga anak stunted adalah
pendapatan dan pengeluaran untuk pangan yang rendah dan status ekonomi yang
rendah berdampak pada ketidakmampuan untuk mendapatkan pangan yang cukup
dan berkualitas. Pendapatan keluarga yang rendah menjadi faktor penyumbang
angka kemiskinan dan kemiskinan sendiri menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan tidak tercukupinya asupan gizi pada anak. Keadaan ini terjadi di
NTT (Rugadi dalam Kompas 23 Desember 2006).
Hal lain yang harus menjadi perhatian serius adalah dampak dari stunting
dikemudian hari yang menyebabkan anak mengalami ketidakmaksimalnya fungsi
kongnitifnya (Brown & Pollitt, 1996). Seperti penelitian Picauly & Toy (2013) di
Kupang dan Sumba Timur, NTT yang menunjukkan bahwa anak dengan stunting
memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak yang non
stunting. Tidak hanya secara kognitif, stunting juga menyebabkan masalah
kematian pada masa-masa kanak-kanak dan mempengaruhi fisik dan fungsional
tubuh (Victoria et al, 2008).
Selain masalah kemiskinan yang disebabkan oleh pendapatan yang rendah,
Depkes (2008) menyampaikan bahwa masalah stunting juga dapat dipengaruhi oleh
budaya keluarga. Desa Binaus masih adanya tradisi budaya Neno Bo’ha menjadi
faktor yang mempengaruhi kondisi gizi Balita.Tradisi Neno Bo’ha adalah salah satu
tradisi mayarakat suku Timor yang dilakukan secara turun temurun pada ibu menyusui
selama 40 hari. Selama 40 hari ibu menyusui akan melakukan masa perawatan masa
nifas di rumah bulat (Ume kbubu) dengan melakukan kompres panas
(tatobi), panggang (se’i), dan mengonsumsi jagung bose (pen bose). Jagung bose yang
dikonsumsi ibu menyusui, pada hari pertama sampai hari ke-7 tidak menambahkan
49
makanan lain. Makanan lain dapat ditambahkan pada jagung bose setelah melewati
hari ke-7. Hasil penelitian Nuban & Karwur pada tahun 2013 (dalam buku ini yang
berjudul Konsumsi pangan dan status gizi ibu-bayi yang mengikuti tradisi neno
bo’ha) menyatakan bahwa sumber pangan yang dikonsumsi ibu menyusui/pasca
melahirkan sebelum 40 hari didominasi oleh sumber karbohidrat dengan defisit
protein pada dua ibu yang menjalankan tradisi Neno Bo’ha di Desa Binaus. Jika ibu
yang menyusui tidak terpenuhinya asupan gizinya akan berimbas pada asupan gizi
bayi/anaknya sehingga kecukupan gizi pada bayinya juga akan rendah.
Penyebab tidak langsung masalah gizi di Binaus yaitu kurangnya stok pangan
keluarga pada musim kemarau. Secara geografis iklim di NTT sebagian besar “semi-
arid”, dengan musim kemarau panjang (8–9 bulan) dan musim hujan pendek (3-4
bulan). Musim hujan yang pendek inilah yang berpengaruh pada pola tanam
masyarakat di TTS yang juga berdampak pada kualitas tanah itu sendiri. Masa
kemarau yang panjang mengakibatkan bencana kekeringan dan kegagalan penen di
propinsi NTT bahkan hampir terjadi tiap tahunnya (Maryoto dalam Kompas, 2004).
Bahkan bencana kekeringan menyebabkan ancaman kelaparan yang disebabkan
ketidaktersediaan bahan makanan pokok seperti jagung, padi gogo dan kacang-
kacangan yang puso akibat kekeringan. Pada musim hujan masyarakat akan mulai
menanam sehingga pada bulan-bulan tersebut masyarakat memiliki persediaan
makanan yang cukup, namun pada musim kemarau, masyarakat akan dihadapkan
dengan masa paceklik atau kekurangan pangan, karena masih menunggu saat panen
tiba. Kekurangan pangan inilah yang diduga menyebabkan adanya bencana kelaparan
dan habisnya persediaan pangan keluarga. Kurangnya stok pangan keluarga
berpengaruh pada konsumsi pangan keluarga termasuk juga Balita yang ada di
dalamnya ikut terkena imbasnya karena keluarga akan menghemat persediaan pangan
selama musin kemarau sampai tiba saatnya musim panen berikutnya. Jika kondisi ini
berlangsung lama dan terus menerus Balita akan mengalami kekurangan gizi dan pada
akhirnya akan menimbulkan stunting. Hasil penelitian Deolalikar (2005) menemukan
bahwa ada perbedaan yang cukup besar kejadian malnutrisi pada anak secara wilayah
geografis.
50
Proporsi balita kurang gizi berdasarkan TB/U yang masih tinggi di Desa
Binaus memberikan indikasi masalah gizi yang dihadapi bersifat kronis. Pada tataran
faktor-faktor fundamental di daerah ini, faktor iklim kering (musim hujan yang
pendek) yang menentukan hasil pertanian tahunan yang rendah, pendapatan keluarga
yang rendah (kesempatan aktivitas off-farm yang terbatas) dan pendidikan keluarga
yang rendah, diduga kuat bekerja secara simultan pada kemiskinan dan oleh sebab itu
mempengaruhi keadaan gizi jangka panjang. Kebijakan Pemerintah yang tepat dengan
memfokus pada peningkatan keadaan sosial ekonomi keluarga dan wilayah secara
konsisten, serta tidak terperangkap pada pengerjaan proyek atau program yang
bersifat sementara, sangatlah diperlukan.
E. KESIMPULAN
keluarga yang rendah dan kurang menentu, kurangnya pengetahuan orang tua
51
terkait tumbuh kembang anak, kurangnya stok pangan keluarga pada musim
kemarau, dan faktor budaya.
6. Kebijakan pemerintah seharusnya didorong pada program-program penguatan
United Board for Christian Higher Education in Asia (UBCHEA), Pemerintah Kabupaten
TTS, Bapak Ared Bilik, Bapak Nahor Tasekeb selaku Kepala Desa Binaus, Mama Lydia
Peninean selaku Ketua PKK, Kader Posyandu I Sakteo dan Posyandu II Sanbala Desa
Binaus dan semua warga Desa Binaus yang sangat berjasa dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anugraheni., Hana, S., Martha, I. K. (2012). Faktor Resiko Kejadian Stunting pada
Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Journal of Nutrition
Collage. Vol. 1(1):30
Astri, LD., Nasution, A., dan Dwiriani, CM. (2006). Hubungan konsumsi ASI dan
MP-ASI serta kejadian stunting anak usia 6-12 bulan di Kabupaten Bogor.
Me-dia Gizi dan Keluarga, 30(1),15-23
Bappeda TTS dan UKSW. (2003). Laporan Proyek Sistem Informasi Manajemen Pem-
bangunan Daerah Kabupaten TTS, Propinsi NTT. Pemda TTS dan UKSW,
Hal.156
Brown, J.L. and Pollitt, E. (1996). Malnutrition, poverty and intellectual development.
Sci. Am. 274(2),38-42
Cahyono, F., Manongga, S., Picauly, I. (2016). Faktor penentu stunting anak Balita pada
berbagai zona ekosistem di Kabupaten Kupang. Jurnal Gizi dan Pangan, 11(1), 9-18
Cal dan Irn. (2005). Krisis Pangan di NTT Meluas ke 10 Kabupaten. Kompas, 14
Maret 2005
Deolalikar, AB. (2005). Poverty and child malnutrition in Bangladesh. Journal of
Devel-oping Societies, 21 (1-2),55-90
Departemen Kesehatan RI. (2008). Laporan Riset Kesehatan Dasar Provinsi Nusa
Teng-gara Timur Tahun 2007.www.scribd.com/Laporan_ Hasil_ Riskesdas_
NTT_ 2007.pdf (15 Desember 2011).
52
Departemen Kesehatan RI. (2014). Komunikasi Data Gizi dan KIA Terintegrasi. (in-
ternet). www.gizikia.depkes.go.id/data -
Desti, S.P., dan Dadang, S. (2012). Keadaan rumah, kebiasaan makan, status gizi dan
status kesehatan Balita di Kecamatan Tamansari, Kab. Bogor. Jurnal Gizi dan
Pangan,7(3),163-168
Eastwood, M. (2003). Principle of Human Nutrition Second Edition, Blackwell Science
Ltd, a Blackwell Publishing Company, 643-654
Food and Agricultural Organization of United Nation (FAO). (2015). The State of
Inse-curity in the World. Rome.
Humphrey, JH. (2009). Child undernutrition, tropical enteropathy, toilets and hand-
washing. Lancet, 37,1032-1035
Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Depkes RI. Hal.1-429
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Depkes RI. Hal.1-429
Kusharisupeni. (2002). Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah stu-
di prospektif. Jurnal Kedokteran Trisakti 23,73-80.
Lewit, E.M., and Kerrebrock, N. (1997). Population based growth stunting. Future
Child, 7(2),149-156
Manongga, S.P., Raja Pono S.O., Palekahelu D., dan Karwur F. (2007). Status gizi dan
kesehatan masyarakat Pollen di Timor Tengah Selatan. Jurnal Kritis, 20(2),
135-156
Martianto, D., Hadi, R., Dwi, H., Mien, R. O., Edi, D. S., dan Saleh, A. (2008). Analisis
Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk memperkuat Ketahanan
Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak Di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kerjasama Fakultas Ekologi Manusia IPB
den-gan PLAN Indonesia
Maryoto, A (2004). Membaca Peta Rawan Pangan. Kompas 14 Januari 2004
Muller, O and Krawinkel, M. (2005). Review: malnutrition and health in developing
countries. CMAJ, 173 (3),279-286
Palekahelu D., Manongga S.P., dan Karwur F., (2008). Habisnya Persediaan Pangan
Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pollen, Kabupaten Timor Tengah
Selatan. Kritis, 19(3), 170-188
Picauly, I dan Yoy, S. (2013). Analisis determinan dan pengaruh stuntingterhadap pres-
53
tasi belajar anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur, NTT. Jurnal Gizi dan
Pangan, 8(1),55-62
Rahayu, LS. (2011). Associated of Height Of Parents With Changes Of Stunting Status
From 6-12 Months To 3-4 Years [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Ramakrishnan U., Nguyen P., Martorell, R. (200). Effect of micronutrients on growth
of children under 5 years of age: Meta-analyses of single and multiple nutrient
interventions. Am. J.Clin Nutr, 8(9), 191-203
Ramli, Kingsley, EA., Inder, KI., Bowe, SJ., Jacobs, J., and Dibley, MJ. (2009). Prevalens
and Risk Factors forStunting and Severe Stunting Among Under Five in North
Maluku Province of Indonesia.NBMC Pediatric (internet). (Retracted from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
Rimbawan dan Nurbayani, R. (2013). Nilai indeks glikemik produk olahan gembili
(dis-corea esculenta). Jurnal Gizi dan Pangan, 8(2),145-150
Riyadi, H., Khomsan, A., Sukandar, D., Faisal, A., dan Mudjajanto, ES. (2006). Studi
tentang status gizi pada rumah tangga miskin dan tidak miskin.Jurnal Indo-
nesia Food, 29(1),33-46
Rugadi. (2006). Kemiskinan Berbuah Gizi Buruk di Nusa Tenggara Timur. Kompas 23
Desember 2006
Sharlin, J and Edelstein, S. (2001). Essesial of Life Cycle Nutrition, Jones and Bartlett
Publisher, LLC.
Ulfani, DH., Martianto, D., Baliwati, YF. (2011). Faktor-faktor sosial ekonomi dan kes-
ehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight, stuntingdan
wasted di Indonesia: Pendekatan ekologi gizi. Jurnal Gizi dan Pangan, 6, 59-65.
UNICEF. (2013). Improving Child Nutrition. New York: USA
Victoria, C. G., Adair, L., Fall, C., Hallal, PC., Martorel, R., Richtere, L., Sachdev, HS.,
2008. Maternal and child undernutrition: Consequences for adult health and
human capital. The Lancet,371(9609),340-357
World Food Program. (2010) Nutrition Security and Food Security in Seven Districs in
NTT Province, Indonesia: Status, Causes and Recommendations for Response.
Final Report. Jakarta and Rome. Downloaded from http://documents.wfp.org/
stellent/groups/public/documents/ena/wfp236825.pdf
Wibowo, L., Santika, O., Harmiko, M. (2012). Survei dasar gizi dan kesehatan di
wilayah kerja World Vision Indonesia dan Wahana Visi Indonesia di
Kabupaten Merauke. Jurnal Gizi dan Pangan, 7(1),11-18
54
3
Angkit Kinasih
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dampak rumah bulat dan status gizi terhadap
kapasitas vital paru terhadap ibu post partum yang menggunakan kompres panas di
Kecamatan MolloTengah. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif
kuantitatif dengan metode survei. Informasi dikumpulkan melalui wawancara yang
ditujukan kepada 9 orang ibu post partum di Kecamatan Mollo Tengah. Kondisi rumah
bulat diketahui dengan observasi dan pengukuran terhadap status gizi dilakukan dengan
tes kapasitas vital paru. Hasil penelitiannya adalah responden yang memiliki kapasitas
vital paru pada kategori restriktif ringan 44,4% dan normal 55,6%. Kondisi rumah bulat
sebanyak 55,6% dalam kategori kurang baik, 44,4% pada kategori baik dan 0,0% dalam
kategori sangat baik. Sedangkan kondisi ibu post partum sebanyak 55,6% mengalami
resiko kurang energi kronis dan sebanyak 44,4% bukan merupakan resiko kurang energi
kronis. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tradisi tatobi pada ibu post partum di
Kecamatan Mollo Tengah yang dilakukan di rumah bulat membawa dampak negatif
terhadap kapasitas vital paru ibu. Hasil uji pengaruh menunjukkan ada pengaruh secara
simultan kondisi rumah bulat dan status gizi terhadap kapasitas vital paru pada ibu post
partum yang menggunakan kompres panas sebesar 89,7%. Rendahnya kapasitas vital paru
pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas di rumah bulat disebabkan
buruknya kualitas udara dalam rumah bulat dan pengaruh panas akibat pemakaian
kompres panas serta adanya pantangan makan pada ibu saat pasca melahirkan. Saran
yang diajukan hendaknya mengurangi waktu pelaksanaan tradisi tatobi dalam rumah
bulat, petugas kesehatan hendaknya menggunakan pendekatan budaya dan adat
istiadat setempat dalam peningkatan pelayanan kesehatan.
Kata Kunci: rumah bulat, status gizi, kapasitas vital paru, kompres panas
A. PENDAHULUAN
Kondisi yang terkait dengan kematian ibu di provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) cukup memprihatinkan. Tercatat Angka Kematian Ibu (AKI) di sana adalah
306/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Secara khusus di Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS), sebagai kabupaten penyumbang tertinggi angka kematian
ibu di provinsi NTT yaitu berjumlah jumlah 46 orang, dengan angka kematian ibu
hamil berjumlah 3 orang, kematian ibu bersalin berjumlah 11 orang, kematian ibu
nifas 9 orang, dan kematian ibu 23 orang (Dinkes NTT, 2014).
Masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak
terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dalam masyarakat tempat
tinggalnya. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan bu-daya
seperti konsep berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan
kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak positif
maupun negatif terhadap kesehatan reproduksi ibu dan kesehatan anak. Hal ini terlihat
bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola ma-kan pada ibu
hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu dan anjuran
terhadap beberapa makanan tertentu, misalnya makan makanan yang mengandung
sayur, daging, telur, cumi-cumi, udang dan kepiting (Karwur dkk., 2012).
Ibu post partum secara fisiologis membutuhkan zat gizi yang lebih banyak
dibandingkan dengan wanita dewasa biasa (Supariasa dkk, 2002). Asupan nutrisi yang
cukup untuk mengembalikan keadaan fisik seperti sebelum hamil juga dibu-tuhkan
pada ibu post partum. Nutrisi yang dikonsumsi ibu post partum tinggi kalori dan
protein. Nutrisi dibutuhkan oleh ibu post partum sebagai sumber tenaga, zat
pembangun dan zat pengatur tubuh supaya pertumbuhan dan perkembangan bayi
56
yang diberi ASI dapat tumbuh dengan sehat dan memperlancar ASI serta dapat
mempertahankan kesehatan.
Menurut WHO (2004), lebih dari dua juta penduduk miskin di dunia masih
tergantung pada penggunaan biomassa (kayu, arang, kotoran hewan, ampas kelapa)
dan penggunaan batu bara untuk kebutuhan energi rumah tangga. Penggunaan bahan-
bahan tersebut berdampak pada meningkatnya polusi udara dalam ruang yang
melebihi standar kualitas udara internasional yang berlaku. Keterpaparan ibu dan anak
dalam kondisi seperti yang disebutkan di atas dapat meningkatkan risiko penyakit
seperti pneumonia, ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan kanker paru-paru dan
diperkirakan dapat membuat meningkatnya proporsi penyakit berbahaya. Hal tersebut
juga dapat meningkatkan terjadinya beberapa risiko kesehatan termasuk tinggi badan
bayi lahir dan berat badan yang rendah.
57
Masyarakat di Kabupaten TTS-NTT percaya bahwa kompres panas
(tatobi) bertujuan untuk mengeluarkan sisa-sisa darah kotor dari rahim dan
mengembalikan kekuatan tubuh ibu agar tidak mengalami sakit serta menutup
kembali jalan lahir anak pada ibu. Masyarakat percaya bahwa dengan melakukan
se’i dan tatobi dapat mengembalikan kondisi ibu pada keadaan yang seimbang.
Proses pemberian kompres panas (tatobi) dilakukan di salah satu rumah
tradisional yang disebut dengan istilah rumah bulat (Themone, 2014), dalam
bahasa lokal disebut ume kbubu. Tatobi dilakukan selama 40 hari setelah ibu
melahirkan dengan menggunakan kain tenun Timor (sarung, selimut, selendang)
dan air panas lalu dikompreskan ke sekujur tubuh ibu.
Ume kbubu merupakan bangunan berbentuk bulat, dengan atap yang
berbahan alang-alang dan hampir menyentuh tanah. Lantai berbasis tanah, tidak
ada jendela atau ventilasi serta perapian ada didalamnya (Karwur dkk, 2012).
Dinding rumah bulat melingkar dengan garis tengah antara tiga sampai lima meter
dan terbuat dari kayu dan bambu. Pintunya berbentuk setengah lonjong dengan
ketinggian kurang satu meter (Gambar 1).
58
Mengingat resiko kesehatan yang mungkin timbul, maka penelitian ini
perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana bahaya yang dapat ditimbulkan
sebagai akibat dari adanya kebiasaan dan perilaku masyarakat yang melakukan
se’i dan tato-bi, termasuk untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan dan
pengobatan penyakit akibat tradisi tersebut yang telah dilakukan. Hal tersebut
penting untuk menentu-kan pola pembinaan, pelayanan serta pemberian sarana
pendukung. Di samping data tersebut, juga dijajaki kemungkinan sumber daya
dan jalur-jalur yang dapat dijadikan media intervensi bagi program kesehatan.
B. METODE PENELITIAN
59
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dampak Rumah Bulat terhadap Kapasitas Vital Paru Ibu Post Partum
yang Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan kondisi rumah
bulat yang digunakan dalam tradisi kompres panas (tatobi) adalah kurang baik
yaitu sebesar 55,6%. Sebesar 66,7% rumah responden tidak memiliki sirkulasi
udara yang baik, 88,9% rumah responden tidak memiliki penerangan yang baik
dan sebesar 77,8% rumah responden memiliki tata letak ruangan yang tidak teratur
dan tidak memiliki sekat permanen. Sirkuasi udara diperoleh melalui pintu kecil
yang juga adalah akses keluar dan masuk ke rumah. Selain itu, bahan dinding
rumah bulat yang terbuat dari bahan kayu dan bambu memungkinkan pertukaran
udara dapat terjadi di seluruh permukaan dinding. Meskipun demikian pertukaran
udara itu tidak optimal. Adanya aliran udara di rumah bulat dapat memberi
pengaruh baik terhadap kualitas udara di dalamnya. Sebaliknya, aliran udara dapat
memperburuk kualitas udara di dalam ruang rumah apabila udara di luar ruangan
lebih tercemar.
Dilihat dari tata letak atau pembagian ruang di dalam rumah bulat, tidak
beraturan karena semua kegiatan mulai dari memasak, tidur, dan proses tatobi jadi
satu, dengan hanya berbatasan dengan selembar kain. Partikel debu yang berasal
dari asap pembakaran kayu pada memasak dan kegiatan se’i, akan berbahaya
60
terhadap kesehatan karena apabila terhirup akan langsung masuk ke dalam paru-
paru dan mengendap di rongga kosong pada paru-paru (alveoli) (Yulaekah, 2007)
.Tingginya kadar partikel debu di rumah bulat kemungkinan berkontribusi
terhadap tingginya proporsi ibu maupun bayi yang mengalami gangguan saluran
pernafasan.
Ditemukan bahwa ada dampak negatif rumah bulat terhadap kapastitas
vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas (tatobi). Hasil
pengujian hipotesis menggunakan uji parsial diperoleh nilai t konstanta sebesar
9,145 dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 dan t hitung sebesar 5,887 dengan
nilai probabilitas sebesar 0,001. Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari level of
signifikan (0,05), yang berarti secara parsial ada pengaruh kondisi rumah bulat
terhadap kapastitas vital paru. Nilai R square sebesar 0,832 yang berarti bahwa
sumbangan efektif dari variabel kondisi rumah bulat (X1) terhadap kapastitas vital
paru (Y) sebesar 83,2%, sedangkan 16,8% disebabkan oleh faktor lain.
Dampak Status Gizi terhadap Kapasitas Vital Paru Ibu Post Partum yang
Menggunakan Kompres Panas di Kecamatan Mollo Tengah
61
Dengan demikian, pantangan makanan, baik dalam jenis, jumlah dan frekuensi
akan berdampak negatif pada pemenuhan zat gizi pada ibu nifas. Hasil penelitian
menunjukkan perawatan nifas yang dilakukan selama pelaksanaan budaya se’i
bertujuan menunjang proses pemulihan dan mengembalikan bentuk tubuh ibu
pada keadaan sebelum hamil. Pemenuhan zat gizi ibu pada pelaksanaan budaya
se’i tidak memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
Hasil pengujian secara parsial menunjukkan ada pengaruh status gizi terhadap
kapastitas vital paru. Dengan nilai R square sebesar 0,626 yang berarti bahwa
sumbangan efektif dari variabel status gizi (X2) terhadap kapastitas vital paru (Y)
sebesar 62,6%, sedangkan 37,4% disebabkan oleh faktor lain.
Kondisi Rumah Bulat dan Status Gizi terhadap Kapasitas Vital Paru Ibu Post
62
Faktor lingkungan sangat penting dalam pencapaian kondisi fisik
seseorang. Lingkungan tempat tinggal seperti temperatur, iklim, ketinggian tempat
tinggal, akan berdampak terhadap perubahan fisiologis seseorang, wilayah tempat
tinggal akan berpengaruh terhadap adaptasi fisiologis seseorang (Farida, 2015).
Salah satu adaptasi lingkungan yang bisa dijadikan perbandingan dengan adanya
berkurangnya tekanan parsial oksigen (PO2), yang diakibatkan oleh menurunnya
tekanan di dataran rendah dan dataran tinggi (Waani, 2014). Selain itu, Guyton
(2000) membedakan daerah pantai dan pegunungan ditinjau dari suhu udara dan kadar
oksigen (O2) juga berbeda. Semakin tinggi suatu daerah dari permukaan air laut maka
kadar oksigenya (O2) semakin sedikit, dengan adanya perbedaan tekanan parsial
oksigen (PO2) yang terdapat di dataran rendah dan dataran tinggi, akan berpengaruh
juga pada jumlah hemoglobin (Hb) dalam butir-butir sel darah merah.
Dataran tinggi atau di daerah pegunungan kadar oksigen (O2) dalam udara akan
menurun. Agar tubuh tetap mendapat jatah oksigen (O2), maka alat angkutnya yang
diperbanyak, yakni jumlah hemoglobin (Hb) dalam sel darah merah akan bertambah.
Pada daerah yang tinggi seperti di pegunungan, kadar oksigen (O2) dan tekanannya
lebih kecil dibandingkan dengan daerah pesisir atau dataran rendah.
Adaptasi fisiologis atau aklimatisasi diperlukan bagi orang yang tinggal di dataran
tinggi atau di pegunungan. Salah satu adaptasi fisiologis yang terjadi yakni
kapasitas paru lebih besar dan kadar hemoglobin (Hb) darah menjadi banyak
(Nala, 1992 dalam Sudiana, 2013).
Dalam konteks di Kecamatan Mollo Tengah, berdasarkan pengujian statistik
diketahui bahwa ada pengaruh secara simultan kondisi rumah bulat dan status gizi
terhadap kapastitas vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas.
Nilai adjusted R square sebesar 0,897 menunjukkan bahwa secara simultan kondisi
rumah bulat memberikan pengaruh sebesar 89,7% terhadap kapastitas vital paru dan
selebihnya 10,3% dipengaruhi oleh faktor yang lain di luar kedua faktor tersebut.
63
diharuskan taat terutama terhadap jenis makanan, aturan menyusui, aturan mandi
dengan air yang cukup panas dan tinggal di rumah bulat. Pantangan makanan
tertentu pada ibu pasca melahirkan menyebabkan ibu menjadi kekurangan gizi,
sehingga dimungkinkan daya tahan tubuhnya akan turun dan mudah terserang
penyakit. Didukung dengan kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat
menjadikan ibu dan bayi memiliki resiko kematian lebih tinggi. Perempuan yang
baru melahirkan harus dikompres dengan air yang cukup panas dengan harapan
agar air susunya lancar mengalir. Ia pun harus tahan panas dari bara api yang tetap
menyala di bawah tempat tidurnya atau tempat duduknya. Hal itu dilakukan
dengan maksud untuk mengembalikan otot-otot yang renggang selama masa
kehamilan dan melahirkan. Suaminya berkewajiban secara tradisional
mempersiapkan batang kayu besar yang dibakar untuk pendiangan istrinya yang
baru melahirkan. Meskipun demikian, menurut masyarakat setempat para ibu di
sini sudah biasa, tak sesak nafas, sehat, demikian pula bayinya.
D. KESIMPULAN
berikut:
1. Rumah bulat membawa konsekuensi negatif terhadap kesehatan, khususnya ka-pasitas
vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas (tatobi).
2. Status gizi pada ibu post partum mengalami resiko KEK sehingga mempunyai
dampak negatif terhadap kapasitas vital paru. Pantang makan pada masa nifas
dapat menurunkan asupan gizi sehingga berpengaruh terhadap kesehatan ibu
dan produksi air susu.
3. Kondisi rumah bulat dan status gizi mengalami gangguan kerja paru akibat
menjalani se’i dan kompres panas di rumah bulat didukung dengan konsumsi
makanan pada ibu post partum hanya mengkonsumsi jagung bose saja tanpa
ada tambahan lauk dan sayur.
64
DAFTAR PUSTAKA
Athena, A dan Soerachman, R. (2014). Kesehatan Ibu Dan Bayi Yang Melakukan
Tradisi Sei Dan Gambaran Kesehatan Lingkungan Rumah Bulat (Ume
“Kbubu) Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT). Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol.5 No. 1 April 2014:59-66.
Dinas Kesehatan NTT. (2014). Profil Kesehatan Tahun 2014. Hal: 21 & Tabel
6, Tersedia dalam:http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/
PROFIL_KES_PROVINSI_2014/19_NTT_2014.pdf
SDKI. (2007). Demograpic and Health Survey.
Farida. (2015). Perbedaan Volume Oksigen Maksimal (VO2Maks) pada Perem-
puan Usia 40-60 Tahun di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah. Dalam
http://eprints.ums.ac.id/36855/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi.
Ja-karta. EGC
Karwur, F.F., dkk. (2012). Kaji Tindak Partisipasif. Salatiga: Fakultas Ilmu
Kes-ehatan Universitas Kristen Satya Wacana
Mantja. (2007). Etnografi; Desain Penelitian Kualitatif Pendidikan dan
Manaje-men Pendidikan. Malang: Elang Mas
Themone, M. A. (2014). Gambaran Kejadian Infeksi Post Partum Pada Ibu
yang Menggunakan Kompres Panas (tatobi) di Desa Binaus Kecamatan
Mollo Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu
Kes-ehatan. Tidak Dipublikasikan. Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wa-cana.
Pillitteri, A. 1999. Maternal and Childbearing Nursing: care of theChildbearing
and cildbearing family. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
Rachmalina, S dan Wiryawan, Y. (2013). Persepsi Dan Sikap Masyarakat Desa
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tentang Melahirkan. Jurnal Kes-
ehatan Reproduksi Vol. 4 No 1, April 2013: 16-22.
Sudiana. (2013). Dampak Adaptasi Lingkungan terhadap Perubahan Fisiologis.
Procc FMIPA UNDIKSHA Vol. 3, No 1: 211-218 dalam http://ejournal.
undiksha.ac.id/index.php/semnasmipa/article/viewFile/2708/2288
Sukardi. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi
Aksara. Supariasa, dkk. (2002). Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta
Tauho, K.D., Karwur, F. F., Anwar, A. (2012). Analisa Penyebab Kematian Maternal
65
di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Tidak
Dipublikasikan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana
Waani, Engka, Supit. (2014). Kadar Hemoglobin pada Orang Dewasa yang Tinggal di
Dataran Tinggi dengan Ketinggian yang Berbeda. Jurnal e-Biomedik (eBM), Vol
2 No2
WHO. Comparative Quantification of Health Risks: Air Pollution from Household Use of
Solid Fuels. Global and Regional Burden of Disease Attributable to Selected
Major Risk Factors. WHO. Geneva 2014; 2:1435
Yulaekah. 2007. Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada
Pekerja Industri Batu Kapur (studi di desa Mrisi Kecamatan
Tanggung-harjo Kabupaten Grobogan). Thesis. UNDIP dalam
https://core.ac.uk/ download/pdf/11717890.pdf
66
4
Abstrak
Tradisi 40 hari atau yang dikenal dengan Neno Bo’ha pada suku Timor merupakan
salah satu tradisi yang dikenakan kepada ibu post-partum. Dalam tradisi ini, selama 40
hari ibu post-partum biasanya hanya mengkonsumsi jagung bose, karena diyakini
mempunyai nilai gizi yang baik dan dapat merangsang produksi ASI lebih banyak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi dan status gizi ibu post-partum
dan bayi dalam tradisi Neno Bo’Ha di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah,
Kabupaten Timor Tengah Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
deskriptif yang pengumpulan datanya menggunakan teknik recall makanan selama 24
jam dan pengukuran antropometri untuk mengetahui status gizi ibu dan bayi.
Penelitian dilakukan terhadap 4 orang ibu post-partum dan 5 orang bayi usia neonatal
(1–28 hari). Hasil penelitian menunjukan nilai asupan gizi (kalori, karbohidrat,
protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1 dan C) yang diperoleh ibu
setiap hari selama 40 hari adalah berbeda-beda. Hal ini tergantung pada jumlah dan
frekuensi makan serta jenis makanan yang dikonsumsi ibu. Status gizi ditemukan ibu
post-partum memiliki berat badan rendah tingkat ringan pada minggu ke-2 hingga ke-
5. Sedangkan pada bayi ditemukan bayi diberikan susu formula, bubur instan dan
bubur ulek pada saat berusia 14 hari. Selain konsumsi, status gizi bayi mengalami gizi
buruk pada hari ke-1 hingga ke-9 dan gizi kurang pada hari ke-11 hingga ke-19.
Kata kunci: status gizi ibu post-partum dan bayi, tradisi Neno Bo’ha
A. PENDAHULUAN
Salah satu praktek budaya yang masih menjadi tradisi di Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS) adalah tradisi yang berhubungan dengan proses melahirkan.
Tradisi ini dikenal dengan sebutan Neno Bo’ha. Dalam tradisi ini, selama 40 hari
ibu post- partum biasanya mengonsumsi jagung bose (makanan dari biji jagung
tanpa kulit ari yang direbus), karena diyakini mempunyai nilai gizi yang baik dan
merangsang produksi ASI menjadi lebih banyak. Dilakukannya tradisi ini karena
sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun sehingga sulit untuk ditiadakan.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi dan status gizi
ibu post-partum dan bayi dalam konteks pelaksanaan tradisi Neno Bo’Ha.
B. METODE PENELITIAN
68
2. Tinggi badan (TB) ibu diukur pada awal penelitian,
1. Jenis Makanan
69
Dilihat dari konteks budaya, keyakinan yang didasarkan pada nilai
budaya setempat mempunyai pengaruh terhadap jenis makanan yang dikonsumsi
oleh ibu post-partum. Oleh karena praktek budaya ini sudah menjadi tradisi atau
kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Menurut Foster (1973) pengaruh
unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal, dapat berlanjut dan
mempengaruhi proses sosialisasi terhadap perilaku kesehatan. Sesuatu yang
diyakini atau dipelajari sejak masih kecil akan terbawa hingga usia dewasa.
70
Asupan vitamin A pada salah satu orang ibu, ditemukan sangat tinggi
yakni 5590 mg pada hari ke-20. Hal ini disebabkan yang bersangkutan
mengkosumsi 54 gram sayur singkong. Sayur singkong mengandung nilai gizi
yang tinggi vitamin A dalam setiap 100 gramnya. Namun untuk hari-hari
lainnya, kecukupan asupannya di bawah nilai standar yang direkomendasikan.
Hal ini disebabkan ibu jarang mengkonsumsi makanan sumber vitamin A
seperti sayur-sayuran. Haileslassie, dkk. (2013), mengungkapkan intake
asupan gizi yang didapatkan melalui makanan yang dikonsumsi dan berada di
bawah nilai rekomendasi, memungkinkan ibu dapat mengalami gizi buruk.
Asupan nutrisi yang dikonsumsi ibu post-partum, pada penelitian ini
dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi. Menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (2011), untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sehat diperlukan asupan gizi yang cukup sesuai dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan. Sedangkan menurut Haileslassie, dkk (2013), untuk
menghindari adanya gizi buruk maka ibu perlu mengkonsumsi makanan yang
beraneka ragam dan meningkatkan konsumsi vitamin A dan C.
71
Berdasarkan hasil observasi, kekurangan berat badan ibu selama 40 hari
disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai asupan nutrisi yang
rendah, adanya praktek budaya yang diikuti selama masa perawatan nifas,
konsumsi ibu yang tidak beraneka ragam, dan rendahnya pendapatan ibu. Selama
40 hari ibu hanya mengkosumsi ikan sebanyak 2 kali. Minimnya konsumsi ini
disebabkan keterbatasan ekonomi. Temuan di atas menunjukkan kesamaan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Atmawakarta (2007) bahwa status gizi
ibu dipengaruhi oleh kurangnya asupan gizi dari makanan, kurangnya
pengetahuan ibu, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, perilaku dan budaya
dalam pengelolaan makanan yang dikonsumsi.
Konsumsi Bayi
72
lebih tahu tentang makanan pendamping ASI, lebih mengerti manfaat dan cara
Selain MP-ASI, pada hari pertama bayi dilahirkan sudah diberikan air putih
sebagai makanan pralakteal. Alasan diberikan air putih sebagai makanan pertama bayi
adalah adanya anggapan bahwa hal ini akan membuat bayi tidak merasa kaget ketika
mendapat ASI. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wadde dan
Yadav di Lokhan di Sawargaon (2011). Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
ditemukan 40,2% ibu yang memberikan makanan pralakteal terhadap bayinya.
Makanan pralakteal yang diberikan yakni susu sapi, kambing dan madu. Penelitian
tersebut didukung juga oleh Leggese, dkk (2014), yang menemukan praktek
pemberian makanan pralakteal pada bayi di Ethiophia, dilakukan karena kebiasaan
secara temurun dan adanya keyakinan-keyakinan tertentu.
73
D. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
74
Foster, G.M. (1973). Traditional societies and technologies change. New York:
Harper & and Row.
Haileslassie., Mulugetas., &Girmana.(2013).Feeding Practices, Nutrional Status and
Associated Factors of Lactacing Women in SamreWoreda, South Eastern Zone of
Tigray, Ethiopia. Nutrition Journal. 12:28.
Inayati, DA, et al. 2012. Infant Feeding Practices Among Mildly Wasted Children: A
Retrospective Study on Nias Island, Indonesia. Int Breastfeed J. 2012; 7: 3.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). MakananSehat Ibu Menyusui.
Jakarta: Direktorat Bina Gizi.
Legesse,M., Demena,M., Mesfin, F &Haile.D. (2014). Prelacteal feeding practices
and associated factors among mothers of children aged less than 24 months in
Raya Kobo district, North Eastern Ethiopia: a cross-sectional study.
International Breastfeeding Journal. 9:189.
Mananga., M-J., Kana, M.M.,Nolla, N. P.,Ekoe, T&Gouado,G.I. (2014). Feeding
Practices, Food and Nutrition Insecurity of infants and their Mothers in Bangang
Rural Community, Cameroon. Nutrition & Food Sciences.J Nutr Food Sci. 4:2.
Mengisthu,K., Alemu,K. & Destaw,B. (2013).Prevalence of Malnutrition and Associated
Factors Among Children Aged 6-59 Months at Hidabu Abote District, North
Shewa, Oromia Regional State. J Nutr Disorders. 1-15.
Muiz, Fatimah dan Hernanto. (1998). Pengetahuan ibu terhadap pesan-pesan mengenai
pertumbuhan anak dalam kartu menuju sehat. Semarang: Majalah Kedokteran
Diponegoro.
Wade, S.,K & Yadav, B., V. (2011). Prelacteal Feeding Practices in a Rural Community.
Indian Medical Gassete.337-341.
75
76
5
Abstrak
Usia awal 0–24 bulan mendasari kehidupan seseorang, sehingga apa yang terjadi pada usia
ini akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Pemenuhan gizi sebagai salah satu
kebutuhan dasar Balita terutama usia 0–24 bulan sebagai pendukung pertumbuhan maupun
perkembangan, jika tidak terpenuhi akan mempengaruhi perkembangannya. Oleh karena
itu, penelitian ini dilakukan terhadap Balita usia 3–5 tahun yang memiliki riwayat gizi
kurang atau buruk pada usia 0–24 bulan. Tujuannya untuk mengetahui status gizi dan
status kesehatan saat ini, perkembangan kognitif (kecerdasan memori jangka pendek,
memori jangka panjang, kecerdasan bahasa) dan perkembangan sosialnya (kecerdasan
interpersonal). Penelitian ini adalah studi kasus yang dilakukan di Desa Binaus, Nusa
Tenggara Timur pada tahun 2013 terhadap 10 Balita sebagai kelompok kasus dan dan 6
Balita sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok
kasus, berdasarkan indikator Tinggi Badan/Umur, 2 partisipan memiliki status gizi sangat
pendek dan 1 partisipan memiliki status kurus (Berat
Badan/Tinggi Badan), sedangkan pada kelompok kontrol semuanya memiliki status
gizi baik. Berdasarkan Berat Badan/Umur, semua partisipan memiliki status gizi baik.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
kecerdasan kognitif maupun interpersonal dengan status gizi pada kelompok kasus
maupun kontrol, karena rata-rata semua partisipan memiliki kecerdasan kognitif dan
interpersonal yang baik.
Kata kunci: Gizi kurang, kecerdasan kognitif, kecerdasan interpersonal
A. PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status gizi dan status kesehatan
saat ini, untuk mengetahui perkembangan kognitif (kecerdasan memori jangka
pendek, memori jangka panjang, kecerdasan bahasa) dan perkembangan sosial
(kecerdasan interpersonal) Balita yang memiliki sejarah gizi kurang.
78
B. METODE PENELITIAN
79
dan Jambu). Peneliti menyebutkan nama-nama buah yang ditampilkan dan anak
diminta mengucapkan nama-nama buah yang ditampilkan satu persatu. Untuk
mengetahui hasil memori jangka pendek peneliti menanyakan kembali (30 detik
kemudian) nama buah yang tadi disebutkan untuk mengetahui berapa gambar
yang masih diingat anak. Kemudian peneliti mencatat dan melakukan penilaian,
anak dikatakan memiliki kecerdasan memori yang kuat jika anak usia 3-4 tahun
mampu mengulang kembali 3-4 item dan anak usia 4-5 tahun mampu mengulang
kembali 5-7 item. Anak dikatakan memiliki kecerdasan memori yang lemah, jika
anak tidak mampu mengulang kembali semua nama-nama buah yang dtampilkan
dengan benar atau tidak mampu mengulang sesuai jumlah item berdasarkan usia.
kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tertulis.
80
Aspek kecerdasan bahasa yang diukur dalam penelitian ini adalah morfem.
Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. Alat dan
bahan yang digunakan yaitu catatan daftar pertanyaan. Pengukuran perkembangan
bahasa dalam penelitian ini dilakukan dengan metode, yaitu Mean Length of
Utterance (MLU). MLU ditentukan melalui pengukuran jumlah morfem dari
kalimat yang diucapkan. Nilai MLU berbanding lurus dengan kemampuan bahasa.
Rumus perhitungan MLU adalah:
Total jumlah morfem
MLU =
Total jumlah kalimat/ucapan
81
Kecerdasan interpersonal anak dengan teman sebaya
82
usia 17 bulan (BB: 7,2), A8 juga tamat dari posyandu usia 60 bulan (BB)
dengan masih menyandang status anak dengan gizi kurang. A9 mengalami
gizi kurang pada usia 3 bulan, A9 juga tamat dari posyandu (usia 60 bulan)
dengan masih menyandang status anak dengan gizi kurang. A10 mengalami
gizi kurang usia 22 bulan (BB: 8,5) sampai tamat dari posyandu usia 60 bulan
(BB: 12,7) dengan masih menyandang status anak dengan gizi kurang, usia 65
bulan (BB: 13,3) jadi status gizi A10 sekarang masih tergolong gizi kurang.
83
2. Status gizi sekarang
Untuk mengetahui status gizi anak berdasarkan KMS dan Z-Score. Tabel
1 menunjukkan bahwa status gizi sekarang pada kelompok kasus berdasarkan
warna grafik KMS ditemukan 1 anak dengan gizi buruk, gizi kurang terdapat
4 anak dan gizi baik terdapat 5 anak. Sementara itu, pada kelompok kontrol
semuanya memiliki status gizi baik. Berdasarkan Z-Score untuk indeks BB/U
yaitu anak yang memiliki riwayat gizi kurang dan gizi baik semuanya
mendapat indeks gizi baik, indeks TB/U untuk anak yang memiliki riwayat
gizi kurang yang memiliki postur tubuh normal 8 anak dan postur tubuh
sangat pendek 2 anak sedangkan kelompok kontrol semuanya memiliki postur
tubuh normal. Untuk indeks BB/TB untuk anak dengan riwayat gizi kurang
dan anak yang dijadikan kontrol semuanya normal.
Tabel 1. Status gizi berdasarkan KMS dan Nilai Z-Score
Warna Nilai Z – Score
Partisipan JK BB (kg) TB (cm) Umur
grafik KMS BB/U TB/U BB/TB
A1 P 11,8 84,9 38 bln Hijau (GB) -1,4 (GB) -2,9 (normal) -0,6 (Normal)
A2 P 8,5 72,4 41 bln Merah (GB) -3,5 (GB) -6,9 (sangat pendek) -0,4 (Normal)
A3 P 12,5 88,2 42 bln Hijau (GB) -1,3 (GB) -2,7 (normal) -0,8 (Normal)
A4 P 11,8 89,5 42 bln Kuning (GK) -1,7 (GB) -2,7 (normal) -0,7 (Normal)
A5 P 12,9 94,2 44 bln Hijau (GB) -1,3 (GB) -1,5 (normal) -0,8 (Kurus)
A6 L 12,3 89 53 bln Kuning (GK) -2,3 (GB) -3,9 (sangat pendek) -0,3 (Normal)
A7 P 13,6 95 57 bln Hijau (GB) -1,7 (GB) -2,8 (normal) -0,6 (Normal)
A8 L 13,1 97,1 60 bln Hijau (GB) -2,3 (GB) -2,7 (normal) -1,5 (Normal)
A9 P 13,1 96,5 60 bln Kuning (GK) -2,1 (GB) -2,7 (normal) -1 (Normal)
A10 P 14,6 98,8 62 bln Kuning(GK) -2,1 (GB) -2,7 (normal) -1 (Normal)
B1 L 14,2 95,5 43 bln Hijau (GB) 0,6 (GB) 1,2 (normal) 0 (normal)
B2 P 14,3 96,2 43 bln Hijau (GB) 0,5 (GB) 0,9 (normal) 0,3 (normal)
B3 P 12,3 88,1 46 bln Hijau (GB) 1,7 (GB) 3,2 (normal) 0,2 (normal)
B4 L 13,9 93,5 49 bln Hijau (GB) 1,3 (GB) 2,5 (normal) 0,2 (normal)
B5 L 15 95,8 59 bln Hijau (GB) 1,4 (GB) 3 (normal) 0,6 (normal)
B6 P 16,1 105,8 59 bln Hijau (GB) 0,8 (GB) 0,7 (normal) 0,3 (normal)
Keterangan:
• GB = Gizi Baik,
• GK = Gizi Kurang
84
3. Status kesehatan
Status Kesehatan
Sakit
NO Inisial Hari / tanggal
Sehat Jenis Sejak
penyakit kapan Penanganan
1 A1 Kamis, 10 Okt 2013 - - -
2 hari Ke
2 A2 Kamis, 10 Okt 2013 X Demam yang lalu Puskesmas
3 A3 Jumat, 11 Okt 2013 - - -
4 A4 Jumat, 11 Okt 2013
4 hari Ke
5 A5 Sabtu, 12 Okt 2013 X Demam yang lalu Puskesmas
6 A6 Kamis, 10 Okt 2013 - - -
7 A7 Jumat, 11 Okt 2013 - - -
8 A8 Kamis, 10 Okt 2013 - - -
9 A9 Jumat, 11 Okt 2013 - - -
10 A10 Sabtu, 12 Okt 2013
11 B1 Senin, 14 Okt 2013
12 B2 Senin, 14 Okt 2013
13 B3 Selasa, 15 Okt 2013
14 B4 Selasa, 15 Okt 2013
15 B5 Senin, 14 Okt 2013
16 B6 Senin, 15 Okt 2013
85
Kecerdasan memori jangka pendek
Tabel 3. Analisa Hasil Tes Memori Jangka Pendek dan Memori Jangka Panjang
Keterangan:
• KMK = Kemampuan Memori Kuat
• KML = Kemampuan Memori Lemah
86
Menurut Visu-Petra et. al., (2008), memori jangka pendek distimulus oleh
proses recall. Pada hasil tes responden tidak dapat mengingat jenis buah yang tidak
pernah mereka lihat atau jenis buah yang tidak ada di Desa Binaus seperti buah apel.
Tetapi pada jenis buah lainnya yang sudah mereka lihat sebelumnya, responden dapat
mengingat dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakan hal tersebut tidak
berhubungan dengan riwayat gizi pada responden tetapi berhubungan dengan
kebiasaan seperti yang dikemukakan oleh Watson dalam Alwisol (2005). Menurut
teori Behaviorisme, apa yang diperoleh seseorang pada saat ini adalah sesuatu yang
telah dilakukannya secara berulang-ulang (berdasarkan pengalaman).
Anak-anak yang mengalami kurang gizi memperoleh perhatian yang lebih
dari orang tua. Walaupun tingkat penghasilan keluarga masuk dalam kategori rendah
karena pekerjaan utama orang tua yaitu petani, penghasilan keluarga diperoleh dari
hasil kebun yang dijual ke pasar. Keluarga mengupayakan makanan yang bergizi
untuk memperbaiki status gizi anak. Kramer et al., (1995) dengan menggunakan data
The Third National Healt and Nutrition Examination Survey (NHANES III)
menemukan adanya hubungan independen antara tingkat penghasilan keluarga yang
rendah dengan skor kognitif anak yang rendah termasuk dalam skor tes memori
jangka pendek. Tingkat penghasilan keluarga dalam penelitian ini masuk dalam
kategori rendah karena pekerjaan utama orang tua yaitu petani, penghasilan keluarga
diperoleh dari hasil kebun yang dijual ke pasar.
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya pengaruh antara riwayat gizi anak
dengan kecerdasan memori jangka panjang yang dimiliki oleh anak. Pada penelitian
ini, hasil tes antara kelompok kasus dan kelompok kontrol menunjukkan hasil yang
sama, sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara keduanya.
Pada saat melakukan penelitian dengan cara mewawancarai para orang tua untuk
mengecek memori jangka panjang anak, jawab orang tua yaitu “dia sonde belajar kaka,
dia bermain sa terus” “Dia sonde belajar kaka setiap hari dia ambil buku ko coret-coret
sa” (Dia tidak pernah belajar. Dia selalu bermain setiap hari. Dia tidak
87
pernah belajar dia hanya mencoret-coret buku). Menurut Gathercole (2005), mengenal
kembali menunjukan hasil yang lebih baik daripada mengingat kembali, karena mengingat
kembali menuntut seseorang untuk bekerja dua kali yaitu membangkitkan kembali item-
item informasi yang mungkin sesuai, atau mengenalinya sebagai item yang sebelumnya
sudah disimpan. Sementara dalam mengenal kembali, informasi yang akan dipanggil akan
langsung dikenali melalui penelusuran isyarat terhadap pilihan item yang disajikan.
Menurut Tulving dan Thompson (1973), item informasi tersebut merupakan suatu isyarat
penelusuran (retrieval cues) yang memudahkan seseorang dalam mengenali kembali suatu
stimulus.
Beberapa anak baik dari kelompok anak dengan riwayat gizi baik maupun
dari kelompok anak dengan riwayat gizi kurang yang menunjukkan nilai
kemampuan memori lemah (KML) adalah mereka yang tidak melakukan recall
(memanggil kembali / mengenal kembali), jadi bukan disebabkan karena riwayat
gizi yang dimiliki anak. Jika dilihat dari prespektif lingkungan sosial anak usia
dini jika sejak awal sudah diajarkan untuk mengenal kembali apa yang sudah
dipelajari sebelumnya, hal ini akan sangat membantu anak meningkatkan
kecerdasan memori jangka panjangnya.
88
Gambar 3 a) Grafik hasil tes linguistic kelompok kasus, b) Grafik hasil
tes linguistic kelompok kontrol
Bahasa pada manusia adalah fenomena innate sekaligus culture (Hauser et. al.,
2002; Everett, 2012), input bahasa ini bisa didapatkan dari aspek budaya di mana anak itu
berkembang. Selain input melalui membaca (Krashen, 2011), interaksi sosial dalam
percakapan informal sehari-hari adalah bagian dari kultur yang merupakan salah satu
bentuk pajanan di mana seorang anak belajar bahasa (Stivers et. al., 2009), yang secara
tidak langsung akan berperan dalam perkembangan kognitif. Walaupun hidup dalam
lingkungan kemiskinan dengan riwayat gizi kurang, dalam keseharian mereka, anak
banyak terpajan kepada berbagai aktifitas budaya kolektif lewat cerita, permainan, maupun
nyanyian bersama. Ini bisa menjadi bukti bahwa bahasa dapat menjadi salah satu alat
intervensi budaya yang sensitif terhadap perkembangan kognitif.
89
Tabel 4. Penilaian kecerdasan interpersonal anak dengan keluarga
P2 : Anak mampu membantu pekerjaan dirumah tanpa A1, A3, A4, A5, B1, B2, B3, B4,
paksaan dari orang lain seperti menimba air, memberikan A6, A7, A8, A9, B5, B6
makan ternak, mencabut rumput, mencuci piring dll A10
A1, A2, A3, A4,
P3 : Anak dapat menunjukan rasa empati kepada orang A5, A6, A7, A8, B1, B2, B3, B4,
tua atau saudara dirumah B5, B6
A9, A10
2. P1 : Anak tidak berkomunikasi dengan baik (tutur katanya
halus, tidak mengeluarkan kata-kata kotor) waktu - -
berbicara dengan orang tua atau kakak di rumah
90
Tabel 5. Penilaian Kecerdasan Interpersonal anak denga teman sebaya
P3 : Anak mudah menjalin A1, A2, A3, A4, A5, B1, B3, B4, B5, B6
persahabatan dengan teman sebaya A6, A7, A8, A10
2. P1 : Anak tidak mudah berinteraksi A9 B2
dengan teman saat bermain
P2 : Anak tidak mampu bekerjasama A9 -
dengan teman saat bermain
P3 : Anak tidak mudah menjalin
persahabatan dengan teman sebaya A9 B2
D. KESIMPULAN
91
dan postur tubuh sangat pendek 2 anak, sedangkan kelompok kontrol semuanya
memiliki postur tubuh normal. Untuk indeks BB/TB untuk anak dengan riwayat gizi
kurang dan anak yang kontrol, semuanya normal. Analisa hasil tes memori jangka
pendek, memori jangka panjang dan kecerdasan linguistik menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan dengan status gizi, baik pada kelompok kasus maupun pada
kelompok kontrol. Demikian juga hasil penilaian kecerdasan interpersonal
anak dengan keluarga dan teman sebaya yang tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan status gizi anak pada kelompok kasus maupun kontrol. Studi
untuk mengetahui kemungkinan adanya aspek-aspek stimulasi sosial positif pada
anak-anak yang kurang beruntung dari segi status gizi, sebagai suatu “socio-
cognitive safety-net”, perlu dipelajari lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
92
Tulving, Endel, Donald M. Thomson. (1973). Encoding Specificity and Retrieval
Processes in Episodic Memory. PsychologicalReview. Vol. 80(5):352-373
Visu-Petra, L., Benga O., & Cheie, L. (2008). Short-term memory performance and
metamemory judgments in preschoolers using theSpence Preschool Anxiety
Scales. Cognition, Brain, Behavior. An Interdisciplinary Journal. Vol 14 :
159-182.
93
94
BAGIAN I1
Abstrak
Persepsi masyarakat lokal adalah kumpulan tanggapan atau tafsiran mengenai suatu
informasi yang mereka dapatkan dari lingkungan melalui panca indera yang berkaitan
dengan cara hidup dan masih dijaga dari generasi ke generasi. Ibu hamil di Nusa Tenggara
Timur harus tunduk pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal. Ibu yang memasuki
masa hamil tua diminta bekerja lebih keras untuk mempermudah proses melahirkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap ibu
prenatal dan postnatal di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
semi terstruktur yang hasilnya disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian
mendapatkan 4 tema yaitu: aktifitas fisik selama kehamilan, pola makan ibu pada saat
hamil dan setelah bersalin, kepercayaan selama hamil, dan sikap terhadap kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan ibu hamil. Dari hasil pembahasan dapat
disimpulkan bahwa masyarakat di Desa Binaus memiliki pemahaman yang beragam
terhadap ibu hamil dan ibu setelah bersalin.
Kata kunci: persepsi, masyarakat, ibu hamil, ibu bersalin.
A. PENDAHULUAN
toksit, persalinan di sarana kesehatan, perawatan bayi baru lahir, imunisasi dan KB
98
pasca persalinan. Melalui 7 aksi itu, diharapkan dapat menurunkan kasus
kematian ibu dan anak di Kabupaten TTS (Wulaningsih & Batubara, 2012)
Tingkat kematian ibu dan anak mencakup beberapa faktor yang
mempengaruhi, diantaranya faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis berkaitan
dengan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang belum memadai baik dari
segi jumlah dan kualitas, sumber daya manusia maupun sarana penunjang. Untuk
faktor non teknis berhubungan dengan aspek sosial atau tingkah laku masyarakat
(Saptono, 2013).
99
B. METODE PENELITIAN
Dalam bagian ini akan dipaparkan tema-tema yang diperoleh dari proses
4. Sikap terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan ibu hamil dan ibu
bersalin
100
Aktifitas fisik selama kehamilan
Akan tetapi, persepsi yang dibangun oleh masyarakat di Desa Binaus bahwa
aktifitas fisik atau olahraga selama kehamilan dapat dipenuhi melalui kegiatan sehari-
hari yang mereka lakukan, seperti pergi ke kebun dan mengambil air di sungai. Hal ini
dilakukan dengan anggapan bahwa aktifitas tersebut akan memudahkan ibu hamil di
saat proses persalinannya nanti. Hal ini sependapat dengan Andrew dan Boyle (2008)
tentang perilaku suku Indian bahwa ibu yang aktif secara fisik selama kehamilan dapat
membantu pernapasan bayi (Andrews & Boyle, 2008).
Fakta ini ingin menunjukan bahwa konsep aktifitas fisik dipahami oleh
masyarakat umum tidak harus sebagai olahraga atau exercise, namun bisa
dipahami sebagai aktifitas fisik yang dapat dilakukan dalam kegiatan sehari-hari.
Salah satu faktor yang akan menentukan kualitas bayi yang dilahirkan
sangat tergantung pada keadaaan gizi ibu sebelum dan selama hamil (Mitayani,
2010). Status gizi merupakan hal penting untuk diperhatikan selama masa
kehamilan karena berpengaruh terhadap status kesehatan ibu serta pertumbuhan
dan perkembagan janin yang dikandung. Bila gizi ibu normal pada masa sebelum
101
dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat dengan
Secara medis, gizi pada saat kehamilan adalah zat makanan yang dibutuh-
kan oleh ibu hamil setiap hari dan mengandung zat gizi seimbang dengan jumlah
sesuai kebutuhan yaitu energi, kalori, zat besi, protein, mineral, kalsium dan
vitamin (Kusmiati, 2008; Almatsier, 2009; Mitayani, 2010; Aritonang, 2010).
Keyakinan adalah sesuatu yang dianggap aktual atau benar atas dasar-dasar
pemikiran tertentu atau model jelas (Andrews dan Boyle, 2008:94). Kepercayaan yang
dimiliki masyarakat lokal dan masih diteruskan ke generasi selanjutnya menunjukan
bahwa kepercayaan tersebut masih dipandang relevan untuk dijalani.
Sebab, sebagaimana menurut Parsons (1968), tradisi merupakan hasil dari kebiasaan
102
manusia yang telah dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan berfungsi
sebagai penuntun dalam melakukan apa yang dapat diterima atau sesuai dengan
kehidupan masyarakat dimana individu itu berada.
Pada ibu hamil di Vietnam misalnya, Andrews dan Boyle (2008)
mengatakan tidak diperbolehkan berjalan di siang hari atau pada jam 5 sore karena
dapat membuat roh marah, sedangkan pada masyarakat kulit hitam di Amerika,
tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar atau foto saat hamil karena dapat
menyebabkan “stillbirth” atau lahir mati. Sedangkan pada masyarakat Filipina ada
kepercayaan bahwa ibu hamil yang mandi setiap hari dan menggunakan shampoo,
mengakibatkan bayi yang dilahirkan akan bersih
Dalam konteks Masyarakat Binaus, masih terdapat kepercayaan bahwa
ibu hamil ketika mereka pergi ke luar rumah harus selalu membawa benda tajam,
misalnya pisau, kunci atau paku. Hal ini bertujuan untuk melindungi bayi dan
dirinya mereka dari kuasa roh jahat/setan. Untuk ibu bersalin diwajibkan untuk
menjalankan tradisi tatobi (mengompres) dan dipanggang di atas bara api.
Kepercayaan-kepercayaan seperti ini merupakan tradisi turun temurun yang
diteruskan dari nenek moyang. Tradisi ini tetap ada karena disampaikan dan
dipahami oleh generasi selanjutnya sebagai sesuatu yang perlu dipercayai karena
diyakini sebagai suatu yang akan membuat mereka aman.
layanan kesehatan ketika hamil dan bersalin yang dalam kebijakan pemerintah para
103
yang memberikan pelayanan kepada para ibu hamil dan bersalin secara gratis. Hal
serupa juga dilaksanakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Program Revolusi
Kesehatan Ibu dan Anak (Revolusi KIA) yang telah ditetapkan melalui Peraturan
Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 42 tahun 2009 yang isinya mewajibkan ibu
hamil supaya melahirkan di Rumah Sakit atau Puskesmas, Jika peraturan ini dilanggar
maka yang bersangkutan akan dikenakan denda (Profil Kesehatan NTT,
2013)
Di Desa Binaus, sebagian partisipan memandang hal ini sebagai sesuatu yang
baik, karena dengan mengikuti peraturan yang ada mereka akan mendapatkan layanan
kesehatan yang baik dan menghindarkan mereka dari denda yang menurut mereka itu
cukup membebani. Sejak adanya Revolusi KIA ibu hamil yang akan melahirkan akan
segera dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit yang ada.
E. KESIMPULAN
104
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Andrews, M.M., Boyle, J.S. (2008). Transcultural Concepts in Nursing Care (5nded).
New York: Lippincott, Williams, & Wilkins.
Aritonang E. (2010). Kebutuhan Gizi Ibu Hamil. Bogor: IPB Press.
Badan Pusat Statistik. (2013). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. BPS:
Jakarta
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. (2013). Profil Kesehatan Nusa
Tenggara Timur 2012. Kupang: Dinkes NTT.
Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan. (2013). Profil Kesehatan Kabupaten
Timor Tengah Selatan 2012. Soe: Dinkes TTS.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Kusmiati,
dkk. (2008). Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan. Yogyakarta: Fitramaya.
Mahmud, M.K, Hermana, dkk. (2009). Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta:
Persatuan Ahli Gizi Indonesia.
Manuaba, I.B.G. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk
Penelitian Bidan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Mitayani. (2010). Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta : Tim
Muhimah, N., Safe’i, A. (2010). Panduan Lengkap Senam Sehat Khusus Ibu Hamil.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Power Books.
Parsons, T. (1968). Knowledge and Society – American Sociology. New York: Basic
Books.
Saptono, I. (2013). Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu. Jakarta: INFID.
Suharto, E. (2008). Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta
Wulaningsih, I., dan Batubara, S. O. (2012). Bendera dan Rumah Singgah Persalinan
Aman, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam http://igi.fisipol.ugm.ac.id/
index.php/id/persalinan-aman?sobi2Task=sobi2Details&sobi2Id=62
105
106
7
Abstrak
Kematian maternal di negara-negara berkembang masih mengkuatirkan, termasuk di
Indonesia. Salah satu Provinsi yang menyumbangkan Angka Kematian Ibu terbesar adalah
provinsi Nusa TenggaraTimur, yaitu sebesar 306/100.000 kelahiran hidup, jauh di atas
angka nasional yakni 248/100.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab kematian ibu
tersebut adalah infeksi postpartum. Di daerah miskin di pedesaan Nusa Tenggara Timur
faktor klinis, akses wilayah, akses fasilitas kesehatan, bersama-sama dengan keadaan
sosial-ekonomi, dan aspek sosial-kultural berinteraksi secara simultan dan menciptakan
keadaan-keadaan kritis bagi terciptanya situasi kegawatan melahirkan yang menimbulkan
kematian ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan kenyataan empirik dari
faktor-faktor klinis, akses, keadaan ekonomi keluarga, dan tradisi melahirkan dan
postpartum dari ibu yang mengalami infeksi postpartum. Penelitian dilaksanakan di Desa
Binaus, salah satu desa di dataran Timor, selama 4 bulan, dari bulan Agustus sampai
dengan November 2012 dengan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam tentang riwayat persalinan, postpartum, serta kejadian
infeksi postpartum yang dialami oleh 9 ibu dari 25 orang ibu yang melahirkan pada
periode penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua riset partisipan, baik yang
bersalin di rumah atau di fasilitas kesehatan dengan penolong bidan, dokter, keluarga atau
dukun bersalin melakukan perawatan postpartum tradisional yaitu tatobi dan se’i. Dari 25
orang ibu yang melahirkan, 9 ibu menunjukan gejala-gejala terinfeksi di daerah jalan lahir.
Tatobi dilakukan bukan hanya karena tradisi, tetapi karena beberapa ibu yang melahirkan
di rumah tidak bisa melakukan kunjungan nifas dengan alasan kebijakan kesehatan di
daerah ini yang mengharuskan ibu membayar
denda, serta adanya sanksi bahwa ibu tidak akan mendapat pelayanan kesehatan.
Faktor ekonomi menjadi aspek lain yang mempengaruhi ibu untuk melakukan
kunjungan nifas ke tenaga kesehatan.
A. PENDAHULUAN
108
Di pedesaan NTT, kematian maternal yang tinggi tidak dapat dijelaskan
hanya oleh faktor klinis, akses wilayah, dan fasilitas kesehatan saja. Faktor-faktor
tersebut bersama-sama dengan keadaan sosial-ekonomi, dan aspek sosial-kultural
berinteraksi secara simultan dan menciptakan keadaan-keadaan kritis bagi
terciptanya situasi kegawatan melahirkan yang menimbulkan kematian ibu.
Tulisan ini secara khusus melaporkan kenyataan empirik dari faktor-faktor klinis,
akses, keadaan ekonomi keluarga, dan tradisi melahirkan dan postpartum dari 9
ibu yang mengalami infeksi postpartum di Desa Binaus.
B. METODE PENELITIAN
Jumlah ibu postpartum diperoleh dari data Posyandu Desa Binaus, sebanyak
25 orang wanita post-partum. Kepada riset partisipan tersebut dilakukan wawancara
awal untuk mengetahui di antara mereka yang menunjukkan adanya kejadian infeksi
postpartum. Dari mereka diperoleh data 9 ibu yang diduga mengalami kejadian
infeksi, sehingga wawancara mendalam dilakukan terhadap ke-9 ibu tersebut. Data
sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi seperti rekam medis pasien, catatan asuhan
keperawatan/kebidanan dan foto, setelah memperoleh persetujuan.
109
C. HASIL PENELITIAN
110
operasi sectio cesarean di RSUD Soe. Empat orang ibu yang melahirkan di rumah
Perawatan postpartum yang dimaksud adalah tatobi, se’i dan kunjungan nifas.
Alat dan bahan yang digunakan ibu saat tatobi adalah kain tenun Timor
seperti kain selimut, sarung, selendang. Tatobi dilakukan selama 40 hari 40
malam yaitu pada pagi dan sore hari setelah ibu melahirkan di rumah tradisional
masyarakat Timor yang disebut sebagai ume kbubu. Tatobi dilakukan dengan
menggunakan air mendidih, yang kemudian dikompreskan ke tubuh ibu yang
sebelumnya sudah dilumuri minyak kelapa murni terlebih dahulu sebagai cara
untuk menghindari efek panas yang berlebihan dari air mendidih yang digunakan.
111
Praktik tatobi yang dilakukan oleh 9 ibu postpartum di Desa Binaus pada
umumnya sama yaitu kompres dimulai dari tubuh bagian perut, belakang dan
berakhir pada bagian jalan lahir. Praktik ini dilakukan secara terus-menerus yaitu
2 sampai 10 kali sehari didalam rumah bulat.
Praktik tatobi secara terus menerus akan mengenai jaringan yang dapat
merusak sel-sel epitel, menyebabkan kemerahan, rasa perih, bahkan kulit menjadi
melepuh hingga mengeluarkan nanah. Selain itu infeksi juga terjadi karena praktik
tersebut dilakukan didalam rumah bulat yang mana kondisinya penuh dengan
debu dari tungku api dengan berbagai macam kuman patogen sehingga partisipan
lebih mudah terinfeksi saat diberikan tatobi.
Tradisi se’i adalah tradisi menghangatkan tubuh ibu dan bayi di ume kbubu
selama 40 hari. Bahan bakar yang digunakan di rumah bulat ini adalah bahan bakar
kayu, sehingga walaupun bisa menghangatkan tubuh ibu dan bayi, bisa juga
menimbulkan asap pekat yang sangat mengganggu pernapasan ibu terlebih bayi.
Di sisi lain, asap pekat menurut mereka merupakan pengawet yang baik untuk
bahan makanan yang terdapat dalam lumbung rumah bulat tersebut. Hal ini yang
menjadi permasalahan sehingga oleh motivasi dari tenaga kesehatan dan
kesadaran masyarakat, tradisi se’i ini dimodifikasi oleh 6 orang ibu, dengan cara
tidak tinggal di dalam rumah bulat, tetapi di dalam rumah kotak dan sumber
penghangat didapatkan dari tumpukan arang yang diletakkan di kolong tempat
tidur dan diganti secara berkala. Ketiga orang ibu yang secara murni melakukan
tradisi se’i berdasarkan hasil wawancara mengatakan bahwa mereka hanya
mengikuti apa kata dukun bersalin dan keluarga.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa 3 orang ibu tidak melakukan kontrol
kesehatannya di fasilitas kesehatan. Mereka mengaku takut dengan adanya peraturan
pemerintah yang ditetapkan bahwa setiap ibu hamil yang melakukan persalinan di
rumah dibantu oleh dukun bersalin tidak akan mendapatkan pelayanan kesehatan di
Pustu. Oleh sebab itu, partisipan lebih memilih untuk menggunakan pengobatan
tradisional tatobi dari pada menggunakan fasilitas kesehatan yang ada,
112
sebagaimana kesaksian salah satu partisipan penelitian:
“Tidak bisa nona, nanti tidak dilayani karena su ada peraturan baru kalo
melahirkan dirumah ko ada apa-apa bidan tidak tolong. Itu waktu saya
melahirkan di dapur bukan di pustu atau rumah sakit jadi saya tidak
berani ketemu ibu bidan.”(Ibu DO)
Walaupun begitu, hal ini tidak berarti ibu-ibu yang melakukan kunjungan
nifas tidak mengalami infeksi. Tujuh orang ibu yang melakukan kunjungan nifas, baik
yang pergi ke bidan ataupun dikunjungi oleh bidan mengalami infeksi dengan tanda
dan gejala yang tidak berbeda jauh dengan ibu yang tidak melakukan kun-jungan
nifas. Menurut hasil wawancara, ibu-ibu pada umumnya mengalami infeksi karena
proses tatobi yang dilakukan, seperti yang dikatakan beberapa ibu berikut:
“Iya nona saya hanya tatobi selama 2 minggu sa, itu saya pung jahitan
talepas baru sakit minta ampun. Dokter deng bidan su larang ko jang
tatobi tapi nenek deng mama dong paksa harus tatobi supaya darah kotor
dong keluar dan pas anak su besar kita tidak sakit-sakit. Jadi saya ikut sa
nenek deng mama pung omong”(Ibu DL).
“Saya takut stengah mati nona ko tidak bisa tidur malam-malam nona. Itu
waktu dokter yang periksa saya di RSU. Dokter bilang itu karna saya
kompres pake air panas andia ko dia pung jahitan sonde kuat lai ko sampe
bengkak. Tapi untung bidan dong berobat baru kasih saya obat ko minum
andia ko sampe sekarang saya pung jahitan tidak sakit lai”(Ibu MT).
Tanda yang muncul pada umumnya adalah peningkatan suhu tubuh, terjadi
pembengkakan pada vagina, dan rubor (vagina berwarna kemerahan), hingga keluar
nanah berwarna kuning kehijauan, orange dan lochea (keputihan). Sedangkan gejala
113
yang muncul yaitu dolor (vagina terasa nyeri atau perih ketika disentuh), kalor
(vagina terasa panas ketika disentuh) dan terasa gatal pada vagina. Tanda fungsio
laesa yang merupakan perubahan atau penurunan fungsi vagina tidak bisa diukur,
karena vagina sebagai liang senggama belum difungsikan pada periode 40 hari.
114
selama menjalani masa postpartum. Oleh sebab itu, partisipan lebih memilih
untuk menggunakan pengobatan tradisional tatobi dari pada menggunakan
fasilitas kesehatan yang ada.
2. Kondisi Sosial-Ekonomi
3. Aspek Sosial-Budaya
yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi
115
seseorang dalam kebudayaan terbentuk akan berbeda dengan orang yang
4. Lingkungan Fisik
116
D. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
117
Kuper, A. (1999). Culture, The Anthropologists’ Account. England: Havard
University Press
Pierce, W. D. (2013). Behavior Analysis and Learning, Fifth Edition. New York:
Psychology Press.
Sedarmayanti. (2001). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung:
Mandar Maju
Tauho, K.D., Karwur, F. F., Anwar, A. (2012). Analisa Penyebab Kematian Maternal
di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana
118
8
Abstrak
Secara nasional, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi dengan masalah
kesehatan ibu-anak yang tinggi. Penyumbang terbesar masalah kesehatan ini berasal dari
Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki tradisi tersendiri dalam proses persalinan dan
masa postpartum (tradisi Neno Bo’ha). Selama 40 hari postpartum ibu dan bayi tinggal di
dalam rumah bulat (ume kbubu) dengan berbagai aturan yang dari segi kesehatan dapat
memberikan dampak buruk bagi ibu dan bayi, antara lain pemotongan tali pusat bayi
menggunakan alat seadanya (gunting atau pisau), mengompres tubuh ibu dengan air mendidih,
menghangatkan ibu dan bayi dengan bara, ibu harus makan jagung bose saja dan membuang
ASI pertama yang berwarna kekuningan. Penelitian ini bertujuan memodifikasi tradisi atoni
meto yang beresiko bagi kesehatan ibu dan anak. Metode penelitian yang digunakan adalah
kaji-tindak partisipatif terhadap 11 orang ibu hamil di Desa Binaus sebagai riset partisipan
selama bulan April hingga November 2012. Hal-hal yang dimodifikasi merupakan hasil
persepakatan bersama tim peneliti partisipatif (peneliti, pemerintah, tenaga kesehatan, tokoh
adat, tokoh masyarakat, kader
Posyandu, dukun bersalin dan keluarga partisipan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tradisi persalinan atoni meto sudah mengalami perubahan, sehingga selama 40 hari ibu
dan keluarga menjalani tradisi tersebut dengan modifikasi yang disepakati bersama, yaitu
medesinfeksi alat potong tali pusar, mengompres tubuh ibu dengan menggunakan air
hangat, mengonsumsi jagung bose yang kadar gizinya ditingkatkan, menggunakan mau
ana (selendang adat) sebagai kain pembalut, memberikan ASI pertama kepada bayi dan
setelah hari ke-5 postpartum ibu sudah boleh keluar dari rumah bulat.
Kata kunci: tradisi melahirkan, atoni meto, KIA
A. PENDAHULUAN
120
Dalam proses persalinan ini, ibu ditolong oleh dukun bersalin (amahonet)
yang pada pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat seadanya (gunting atau
pisau). Kemudian ibu akan dikompres dengan air mendidih di seluruh tubuh,
terutama di payudara dan jalan lahir. Tindakan ini bisa mendorong terjadi
vasodilatasi dan terkadang berakibat perlukaan kulit. Menurut hasil penelitian
Martianto dkk (2008), salah satu tetua adat menerangkan bahwa dalam tradisi ini
terdapat aktivitas menghangatkan ibu dengan bara yang diletakkan di bawah
tempat tidur. Hal ini didasarkan pada keyakinan akan mempercepat keringnya
darah nifas dan rahim cepat tertutup kembali. Menurut para tetua adat dalam
penelitian tersebut, para ibu di sini sudah biasa dengan praktik tersebut, tak sesak
nafas, sehat, demikian pula bayinya. Proses pengompresan yang dilakukan di
dalam rumah bulat dan kegiatan memandikan ibu menyebabkan lantai rumah bulat
becek, sehingga mengakibatkan kelembaban yang tinggi. Selain itu, tingginya
kadar asap dan gas bakaran dapat mengganggu pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang dibutuhkan tubuh.
Dalam hal pemberian ASI, terdapat keyakinan kultural bahwa Air Susu Ibu
(ASI) pertama yang berwana kekuningan sudah terkena angin dan basi sehingga
dalam prakteknya ASI tersebut diperas dan dibuang, padahal penelitian membukti-kan
bahwa kolostrum mengandung zat imunitas yang melindungi bayi dari berbagai
kemungkinan penyakit (Roesli, 2008; Purwanti, 2004). Dalam masyarakat Binaus,
pemberian ASI terjadi 2-4 hari setelah melahirkan karena ASI-nya belum keluar atau
warnanya belum putih. Dalam keadaan demikian, ASI harus diperas keluar sampai
berwarna putih, sehingga kolostrum pada periode yang kritikal tersebut dibuang. ASI
yang berwarna kuning dianggap kotor sehingga tidak boleh diminum oleh bayi yang
baru lahir. Dalam hal ini, bayi diberi teh atau madu atau air tajin atau disusui oleh
perempuan lain (kerabatnya) yang sedang menyusui (Tefa, 2011; Nenometa, 2011;
Martianto dkk, 2008). Praktek yang dipaparkan di atas juga ter-gambar dalam laporan
Dinas Kesehatan Prov. NTT, bahwa jumlah bayi yang diberi
ASI eksklusif di kabupaten ini pada tahun 2014 adalah52,5%, dan terendah kedua
121
Pada tradisi Atoni Meto, ibu postpartum juga tidak boleh makan makanan
yang mengandung sayur, daging, telur, cumi-cumi, udang dan kepiting. Makanan
ibu hanya jagung bose (jagung yang dikeluarkan kulit arinya dengan cara
ditumbuk, kemudian direbus dengan perbandingan air 3:1) dan atau bubur beras.
Menurut mereka, ibu yang mengonsumsi makanan yang bermacam-macam dapat
me-nyebabkan sakit perut pada bayi. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh pada
kesehatan ibu dan bayi, jika dilihat dari sudut pandang gizi dan kesehatan, karena
dapat memungkinkan imunitas ibu rendah dan mempengaruhi produksi ASI
(Bobak dan Jensen, 2005).
2. Mengidentifikasi perawatan ibu bersalin dalam tradisi Atoni Meto yang dapat
dimodifikasi
3. Melakukan intervensi individual dan kelompok.
B. METODE PENELITIAN
122
kaji-tindak partispatif (participatory action research). Dalam hal ini, tim peneliti
melibatkan pihak sasaran yang diteliti dan unsur subjektif peneliti ikut terlibat dalam
mendesain bersama-sama anggota masyarakat. Penggunaan metode ini memberi
ruang kepada masyarakat sasaran terlibat dalam memodifikasi kebudayaannya sendiri,
dan oleh sebab itu modifikasi yang mungkin berkonsekuensi pada risiko yang muncul
akibat modifikasi tersebut dapat diantisipasi dan dapat berterima.
1. Penelitian Deskriptif:
2. Dokumentasi Proses
Riset partisipan dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang terdaftar di
Posyandu Desa Binaus dan diperkirakan akan melahirkan pada bulan Mei sampai
November 2012, berjumlah 11 orang ibu. Data riset partisipan diperoleh dari
123
register ibu hamil Posyandu dan Kartu Menuju Sehat (KMS) setiap ibu. Selanjutnya
dilakukan kunjungan individual secara rutin kepada riset partisipan untuk membina
hubungan dan meminta kesediaan mereka menjadi riset partisipan. Pada tahap
intervensi, 2 dari 11 orang riset partisipan tersebut didampingi oleh tim peneliti
partisipatif selama 40 hari. Identitas ke-11 riset partisipan dapat dilihat pada tabel 1.
Persiapan sosial
124
mengirimkan mahasiswa asal daearahnya untuk berkuliah di UKSW). Penerimaan
warga desa Binaus terhadap peneliti lokal yang tinggal di lokasi penelitian selama
proses penelitian ini menunjukkan adanya keterbukaan terhadap pihak luar yang
memungkinkantimbulnya perubahan yang lebih baik terutama untuk kesehatan
Ibu dan anak.
Persiapan sosial juga dilakukan terhadap data dasar warga Desa Binaus.
Data demografi desa sebagai data dasar yang akan digunakan dalam penelitian ini
telah teridentifikasi oleh peneliti walaupun prosesnya memakan waktu yang lama
karena dilakukan bersamaan dengan sensus penduduk.
Tim peneliti partisipatif yang dipilih adalah individu yang memiliki jiwa
kepemimpinan dan mampu memberi pengaruh kepada masyarakat. Hal ini penting
karena pemimpin yang memiliki pengaruh di masyarakat akan diikuti oleh
pengagumnya. Tim peneliti partisipatif terdiri dari berbagai unsur di masyarakat,
yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. TTS, Kec. Mollo Tengah,
pemerintah Desa Binaus, Tenaga Kesehatan dari Puskesmas Mollo Selatan, kader
Posyandu, tokoh adat, tokoh masyarakat dan dukun bersalin di Desa Binaus.
125
b. Ditemukan juga tradisi lebih dari 40 hari bayi tinggal di rumah bulat,
karena menunggu kegiatan upacara berdoa. Dengan demikian, nampak
bahwa untuk hal-hal tertentu tradisi ini sudah mulai mengalami
perubahan. Kondisi ini dimungkinkan karena pertimbangan rasional yang
semakin meningkat, misalnya soal efek negatif asap.
126
Intervensi individual dan kelompok
1. Intervensi Individual
2. Intervensi Kelompok
Intervensi kelompok dilakukan oleh tim peneliti partisipatif dalam
beberapa pertemuan dengan menyepakati intervensi-intervensi yang akan
dilakukan, memilih ibu hamil yang akan didampingi selama 40 hari dan
melaksanakan intervensi yang disepakati. Pertemuan beserta pokok
pembicaraan dan hasilnya tersaji sebagai berikut:
a. Pertemuan I
127
7 Mei 2012. Pada pertemuan tersebut, Bapak MS, Bapak BS, Bapak HS dan
Mama NDL mewakili masyakat Desa Binaus menyatakan menerima dan
akan mendukung tim peneliti partisipatif untuk membantu meningkatkan
kesehatan ibu dan anak di desa itu.
b. Pertemuan II
c. Pertemuan III
128
5) Makanan ibu postpartum dapat dicampur dengan daging sapi tanpa
urat dan tulang yang dipanggang hingga benar-benar kering. Selain
daging sapi, kacang dan sayur dapat ditambahkan ke dalam jagung
bose sesuai dengan kemampuan keluarga.
6) Untuk menghindari becek di dalam rumah bulat, maka ibu mandi di
bagian rumah bulat yang berada dekat dinding yang bagian bawahnya
dibuat saluran air sehingga air bekas mandi ibu bisa langsung
mengalir keluar.
d. Pertemuan IV
e. Pertemuan V
intervensi yang sudah disepakati, baik secara pribadi (bagi peserta yang
129
tidak produktif lagi) sehingga harapannya mereka bisa menjadi contoh di
masyarakat. Peserta juga harus menjadi penyalur informasi bagi ibu-ibu
yang sedang hamil dan bersalin, kader memberikan dorongan dan
motivasi di Posyandu maupun dalam kegiatan apa saja. Untuk mengatasi
masalah keuangan, bisa dilakukan arisan antar ibu hamil dan bersalin saja,
atau menghidupkan kembali tabungan ibu bersalin (tabulin) yang sempat
macet. Hal ini akan ditindaklanjuti di Posyandu oleh para kader.
3) Hal lain yang dikaji dan diangkat sebagai isu penting adalah
pentingnya mendorong pihak keluarga agar membawa ibu yang akan
melahirkan ke fasilitas kesehatan di Soe. Kendala utama yang muncul
sebenarnya, terutama lebih pada kendala ekonomi. Walaupun
pertolongan persalinan ditanggung oleh pemerintah, namun akses yang
jauh serta alat transportasi yang jarang membuat keluarga harus
memiliki cukup uang tunai untuk dapat mencapai rumah sakit dan
tinggal di rumah sakit selama ibu dirawat.
Hal ini hanya dilakukan jika ibu melahirkan di rumah. Alat potong yang
digunakan adalah alat yang mudah ditemui di rumah, yaitu gunting atau
pisau, direbus dalam air mendidih sebelum digunakan. Pada tahap
implementasi, desinfeksi alat potong pusat bayi tidak dilakukan, karena Ibu
MT dan Ibu SS melahirkan di RSUD Soe sehingga tali pusat bayi mereka
dipotong oleh petugas kesehatan. Selain kedua ibu yang disepakati untuk
didampingi, hasil kesepakatan mengenai tindakan desinfeksi alat potong
pusar bayi dilakukan oleh salah seorang bapak di RT 9, bernama Bapak AS.
Tindakan tersebut dilakukan ketika akan memotong tali pusat bayinya. Bapak
AS menggunakan gunting yang direbus ke dalam air mendidih, kemudian
membungkus tali pusat bayi tersebut menggunakan kasa.
130
b. Menyarankan praktek mengompres menggunakan air mendidih yang di-
hangatkan terlebih dahulu
Intervensi ini dinegosiasikan dengan atasat (orang yang mengompres ibu)
dan atoni amaf (tokoh adat). Rasionalnya, suhu yang melampaui batas
toleransi panas dapat menyebabkan perlukaan pada tubuh. Kain yang
dicelupkan ke dalam air mendidih dan digunakan mengompres ibu maternal,
dapat menimbulkan kulit melepuh dan rasa tidak nyaman. Tujuan penelitian
menyarankan penggunaan air mendidih yang didinginkan terlebih dahulu
sebelum digunakan mengompres dapat dilaksanakan kepada keluarga. Tidak
terlihat ibu sakit-sakitan ataupun lesu seperti anggapan warga apabila tidak
melakukan pengompresan dengan air mendidih.
131
air panas dengan memegangnya di kedua ujung. Selendang adat tersebut
kemudian diperas dan langsung ditekan-tekan ke seluruh tubuh.
yaitu nasi dan bubur nasi yang dicampur dengan kacang, sayur dan daging,
132
kecuali cabai dan garam. Ibu MT sendiri makan makanan selain jagung
bose, hanya masih pantang makan makanan dengan rasa pedas dan garam.
f. Melakukan negosiasi agar ibu bisa keluar dari rumah sebelum 40 hari
Tradisi untuk berada di dalam rumah bulat selama 40 hari sudah tidak sering
dilakukan lagi, karena setelah 1 minggu dalam rumah bulat, ibu sudah bisa
133
menggunakan kayu bakar menghasilkan asap yang dapat mengganggu
saluran pernafasan. Selain itu ibu yang melahirkan dengan normal, perlu
mobilisasi untuk melancarkan peredaran darah dan proses mempercepat
pengembalian alat-alat reproduksi pada kondisi sebelum hamil. Apabila
ibu tinggal selama 40 hari bahkan lebih dalam rumah bulat, akses akan
udara segar, sinar matahari dan sosialisasi alam akan terganggu.
D. KESIMPULAN
Tradisi persalinan Atoni meto yang dikenal dengan tradisi neno bo’ha
sudah mengalami perubahan, baik dengan intervensi pihak luar, maupun
karena keterbukaan masyarakat Atoni meto sendiri untuk menerima pengaruh
luar. Selama 40 hari ibu dan keluarga menjalani tradisi neno bo’ha dengan
modifikasi yang disepakati bersama. Pendampingan dilakukan oleh kader
Posyandu dan tim peneliti lapangan. Dukungan sepenuhnya diberikan oleh
dukun bersalin, kader posyandu, para tetua adat, pemerintah desa dan tenaga
kesehatan, sehingga ibu yang menjadi riset partisipan dijadikan contoh di desa.
134
2. Penggunaan air mendidih yang didinginkan terlebih dahulu menjadi
lebih hangat sebelum digunakan untuk mengompres tubuh ibu,
3. Mengonsumsi jagung bose yang kadar gizinya ditingkatkan dengan
dicampur sayuran, kacang-kacangan dan lauk,
4. Penggunaan mau ana (selendang adat) sebagai kain kain pembalut
dengan mencuci kembali (reuseable),
5. Ibu yang menjalani masa nifas di rumah bulat sudah bisa keluar dari
rumah bulat pada hari ke-lima postpartum,
6. Kolostrum, air susu pertama kali yang berwarna kuning yang mengandung
zat gizi bagi bayi langsung diberikan kepada bayi segera setelah lahir, dan
7. Pembuatan rumah bulat dalam ukuran yang besar untuk mengurangi
kepekatan asap belum bisa dilakukan saat ini karena terkendala biaya.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbangkes Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Edisi 4.
Jakarta: EGC.
Dinas Kesehatan Provinsi NTT. (2015). Profil Kesehatan Tahun 2014. Kupang: Dinas
Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Martianto, Drajat, Hadi Riyadi, Dwi Hastuti, Mien Ratu Oedjoe, Edi Djoko Sulistijo,
Ahmad Saleh. (2008). Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program
untuk Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak di
Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kerjasama
Fakultas Ekologi Manusia IPB dengan PLAN Indonesia. Jakarta.
Nenometa, W. I. (2011). Hubungan antara Kunjungan Anggota Masyarakat dan Keluarga
dengan Kesehatan Bayi selama 40 hari di Rumah Bulat (Ume Kbubu). Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana.
135
Ompusunggu, S. S. (2013). Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2013 Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI.
Purwanti, S. H. (2004). Konsep Penerapan ASI Ekslusif. Jakarta: EGC.
Roesli, U. (2008). Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Ekslusif. Jakarta: Pustaka Bunda.
Tefa, S. O. (2011). Ekologi Manusia: Aktifitas Melahirkan Selama 40 hari Suku Timor di
Rumah Bulat (ume kbubu) di Desa Putun. Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana.
TTS, D. K. (2010). Profil Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2010.
Soe: Dinkes TTS.
136
9
¹
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana
²Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI
Abstrak
Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan persentase masalah gizi tertinggi di
Indonesia. Selain gizi kurang pada balita sebesar 33% (BB/U) dan 51,7% (TB/U), gizi
kurang juga terjadi pada wanita hamil dengan prevalensi kurang energi kronik (KEK)
sebesar 32,4%. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya masalah gizi di
Nusa Tenggara Timur adalah tradisi perawatan ibu melahirkan. Pada masyarakat Atoni
Meto yang tinggal di Pulau Timor, tradisi Neno Bo’ha mengharuskan ibu mengonsumsi
jagung bose sehingga zat gizi yang dikonsumsi ibu didominasi oleh sumber karbohidrat
dengan defisit protein, lemak, mineral dan vitamin yang signifikan. Tujuan penelitian ini
adalah melakukan modifikasi tradisi konsumsi jagung bose dengan melakukan
pemerkayaan bahan makanan dan olahan jagung bose yang dikonsumsi ibu-ibu pasca
melahirkan yang mempraktekkan tradisi Neno Bo’ha Kecamatan Mollo Tengah,
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menggunakan
metode participatory action research yang melibatkan 11 riset partisipan di 3 desa. Hasil
penelitian ditemukan bahwa selama 40 hari semua keluarga partisipan melakukan
modifikasi pangan dengan menambahkan bahan makanan lain pada jagung bose dan
mengonsumsi bahan makanan yang bervariasi dengan kisaran 2–9 jenis bahan makanan.
Bahan pangan selain jagung bose yang dikonsumsi ibu antara lain bubur beras, kacang
tanah, kacang hijau, kacang panjang, kacang merah, sayur kumbang, sayur bunga pepaya,
sayur jantung pisang dan daun singkong, telur ayam, daging ayam, daging sapi, ikan
kering dan ikan mentah. Banyaknya zat gizi primer yang dikonsumsi
umumnya berada di atas angka kebutuhan, namun masih ada sejumlah kejadian dalam
40 hari yang masih mengalami kekurangan.
Kata Kunci: jagung bose, ibu postpartum, tradisi Neno Bo’ha
A. PENDAHULUAN
dalam keluarga. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan ibu tentang gizi yang masih
138
rendah, yang berimbas pada praktek pengasuhan kesehatan dan pemberian makan
pada anak, perilaku kesehatan sehari-hari, sanitasi lingkungan rumah, pendidikan
ayah dan ibu tentang gizi, serta rendahnya pengetahuan ibu dalam pemanfaatan
layanan kesehatan. Kondisi di atas diperburuk dengan ketersediaan air bersih yang
minim.
Sejumlah persoalan budaya dan tradisi yang terkait gizi ikut menyumbangkan
pada persoalan gizi keluarga di NTT. Persoalan-persoalan tradisi dimaksudkan antara
lain tradisi Neno Bo’ha dan konsumsi jagung bose selama periode 40 hari, membeli
pinang dan siri ketimbang mengalokasikan sumberdaya ke konsumsi ibu dan bayi, dan
beberapa keyakinan akan efek negatif dari makanan pada ibu menyusui dan ibu hamil
(Martianto dkk, 2008). Persoalan-persoalan tersebut ditemukan di masyarakat Atoni
Meto yang tinggal di Pulau Timor (Manongga dkk, 2008; Karwur dkk, 2007;
Manongga dkk, 2008). Persoalan gizi tersebut diduga lebih buruk pada ibu dan anak
yang berada dalam periode neonatal karena tradisi melahirkan Neno Bo’ha, yang
dipraktekkan secara ketat (Nuban dan Karwur, 2013).
139
oleh pangan sumber karbohidrat seperti jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Sumber
pangan protein dan vitamin seperti kacang-kacangan dan buah-buahan konsumsi
masih relatif rendah.
Secara lebih spesifik, studi yang dilakukan oleh Nuban dan Karwur (2013)
menemukan bahwa konsumsi gizi ibu menyusui/pasca melahirkan selama 40 hari
dalam tradisi Neno Bo’ha didominasi oleh sumber karbohidrat dengan defisit protein,
lemak, mineral dan vitamin yang signifikan. Akan tetapi, penelitian terdahulu (Karwur
dkk, 2012) di Desa Binaus Kec. Mollo Tengah juga menemukan hal menarik bahwa
ada sebagian kecil warga yang melakukan tindakan mengkonsumsi bubur beras padi
selain jagung bose, serta menambahkan kacang-kacangan ke dalam jagung bose yang
diperuntukkan ibu pasca melahirkan. Hal ini memberikan petunjuk bahwa tradisi
mengkonsumsi jagung bose merupakan tradisi yang dapat dimodifikasi, dan tindakan
itu belum/tidak menemukan adanya sangsi sosial yang nyata ataupun konsekuensi
medik yang merugikan.
Oleh karena itu, penelitian participatory action research ini bertujuan untuk
melakukan modifikasi tradisi mengkonsumsi jagung bose dengan melakukan
pemerkayaan bahan makanan dan olahan jagung bose yang dikonsumsi ibu-ibu pasca
melahirkan yang mempraktekkan tradisi Neno Bo’ha, pada ibu-ibu yang melahirkan
dalam periode tertentu di 3 desa (Binaus, Oelbubuk, dan Oel‘ekam) di
Kecamatan Mollo Tengah, Kab. TTS, NTT.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian modifikasi budaya Neno Bo’ha untuk peningkatan gizi dan bayi ini
menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun tipe penelitiannya adalah kaji-
tindak partispatif yang melibatkan pihak sasaran yang diteliti, dan unsur subjektif
mereka untuk ikut terlibat dalam mendesain bersama-sama anggota masyarakat
rancangan intervensi modifikasi jagung bose dengan penambahan bahan makanan,
baik yang diberikan pihak luar (peneliti luar) maupun pihak keluarga.
140
Penelitian dilakukan di 3 desa, yaitu Desa Binaus, Oelbubuk dan Oel‘ekam
Kecamatan Mollo Tengah, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur sejak
bulan Juli hingga bulan November 2015. Jumlah riset partisipan sebanyak 11
orang ibu postpartum (5 orang di Desa Binaus, 2 orang di Desa Oelbubuk dan 4
orang di Desa Oelekam).
Aspek kritis keberhasilan kaji-tindak partisipatif adalah dukungan
pemangku kepentingan dimana persoalan yang akan dipecahkan bergantung
kepada kehendak para pihak untuk berubah. Dalam hal ini, prakondisi sosial dan
kelembagaan dilakukan dengan membawa pokok persoalan ke dalam pembahasan
dan persetujuan pihak pemangku kepentingan. Pelaksanaan prakondisi sosial dan
kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan dengan (a) menjalin hubungan
dengan pihak otoritas Kabupaten TTS (b) memperoleh persetujuan dan pelibatan
otoritas kecamatan dan desa (c) melakukan pembicaraan dan mendapatkan
persetujuan pihak pemerintah desa (d) pelibatan Puskesmas Binaus (e) perolehan
persetujuan sosial kultural atas rencana intervensi di tiap desa dengan melibatkan
tokoh adat, masyarakat, kader Posyandu, pemerintah dan tenaga kesehatan desa.
141
Bahan pangan yang dikonsumsi ibu bersalin selama menjalankan tradisi
Neno Bo’ha
penjelasan tersebut:
142
1. Semua keluarga memiliki pemahaman yang positif bahwa jagung bose
yang dikonsumsi oleh ibu bisa ditambahkan bahan makanan tertentu.
2. Ada 3 ibu dari 11 ibu tidak mengonsumsi bahan makanan tertentu yang
dicampurkan ke dalam jagung bose. Ibu FS dan Ibu SS tidak
mengonsumsi kacang turis, kacang merah dan kacang nasi karena
menurut kepercayaan mereka bahan makan tersebut dapat menyebabkan
bayi kembung. Selain 2 orang ibu tersebut, Ibu EL juga berpantang
mengkonsumsi daging merah dan sayur sawi. Kepercayaan mereka yang
sudah turun temurun untuk tidak mengkonsumsi bahan makanan tersebut
membuat peneliti memberikan pilihan kepada keluarga untuk
menggantinya dengan bahan makan lain seperti telur atau ikan.
3. Ke-11 keluarga partisipan penelitian ini menerima kegiatan peningkatan
gizi untuk ibu dan bayi melalui penambahan stimulan bahan makanan
yang diberikan kepada ibu.
Bahan makanan yang dipakai untuk ditambahkan pada jagung bose atau yang
dipakai untuk intervensi modifikasi ini berasal dari bahan pangan lokal yang ditanam
oleh masyarakat sendiri seperti kacang tanah, kacang hijau, kacang panjang,
143
kacang merah, sayur kumbang, sayur bunga pepaya, sayur jantung pisang dan
daun singkong. Peneliti memberikan stimulan bahan makanan seperti telur ayam,
daging ayam, daging sapi, ikan kering, ikan mentah atau kacang-kacangan yang
memang tidak bisa disediakan oleh keluarga.
144
Pemantauan pengolahan bahan makanan di rumah partisipan
145
Empat orang ibu lainnya baru pertama kali menjalani masa nifas, sehingga
tidak terpengaruh oleh tradisi Neno Bo’ha (makan jagung bose murni hingga 40
hari), sehingga dari hari pertama pasca persalinan ibu sudah mengonsumsi
berbagai jenis bahan pangan, seperti jagung bose, bubur beras, telur, susu, sayuran
dan daging atau ikan. Jagung bose yang dikonsumsi adalah jagung bose yang
sudah dicampur den-gan kacang hijau, kacang tanah dan sayur.
Kandungan dan nilai zat gizi yang direkomendasikan untuk ke-11 ibu riset
partisipan yakni: kalori untuk (2580 kkal), karbohidrat (354 g), protein (78 g),
lemak (71 g), kalsium (1400 mg), fosfor (700 mg), zat besi (32 mg), vitamin A
(850 mcg), vitamin B1 (1,4) dan vitamin C (100). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa walaupun kandungan zat gizi yang dikonsumsi ke-11 ibu telah melebihi
dibutuhkan (terutama karbohidrat dan protein), tetapi masih terdapat kejadian
dalam 40 hari tersebut, konsumsinya belum mencukupi. Banyak kejadian
konsumsi lemak lebih rendah dari kebutuhan dan ada juga ibu tertentu yang
kekurangannya lebih sering dari ibu yang lain.
146
Kecukupan zat gizi berdasarkan nilai tertinggi dan terendah selama 40 hari
untuk ke-11 partisipan akan dipaparkan sebagai berikut:
1. Kalori
2. Karbohidrat
Konsumsi zat gizi karbohidrat pada ibu sebagian besar diperoleh dari
jagung bose, bubur nasi dan nasi putih. Dalam periode 40 hari tradisi
Neno Bo’ha, nilai karbohidrat tertinggi adalah 10 x lipat dari jumlah yang
direkomendasikan sebesar 3704 gr (Ibu NB, pada hari ke-3) dan jumlah
konsumsi karbohidrat paling rendah yaitu 96 gr (Ibu MO, pada hari ke-2).
3. Protein
Konsumsi dan nilai zat gizi protein pada ibu berasal dari bahan makanan
yakni kacang-kacangan yakni kacang tanah, kacang turis, kacang merah,
kacang arbila maupun kacang panjang serta daging, tahu dan tempe.
Kebutuhan protein yang dianjurkan pada ibu pasca melahirkan adalah 78
gr/hari, dilihat dari tabel tersebut nampak semua ibu mengalami
kekurangan protein pada hari-hari tertentu dan jumlah konsumsi protein
paling rendah pada ibu MO yaitu sebesar 7,8 gr dibandingkan dengan ibu-
ibu lainnya. Ada 7 ibu yang mengalami konsumsi kekurangan protein
pada minggu I dan sisanya pada minggu II dan minggu VI.
147
4. Lemak
Lemak konsumsi dan nilai zat gizi lemak pada ibu berasal dari bahan
makanan yakni daging dan susu yang jumlahnya masih terbatas. pada
hari-hari tertentu konsumsi lemak ke-11 ibu tidak lebih besar dari 18 gr/hr
atau hanya 1/5 dari total kebutuhan lemak yang dianjurkan.
D. KESIMPULAN
148
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan R.I. (2008). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Lapo-
ran Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI.
Fanggidae, Helen S., Ferry F. Karwur, Wilson M.A Therik. (2012). Pengasuhan, Gizi
dan Kesehatan Anak Umur 1-3 Tahun Penderita Gizi Buruk di Kecamatan
Amanuban Selatan, Kabupaten TTS. Skripsi (Unpublished).
Karwur, Ferry F., S.O Radja Pono, Dharma Palekahelu, B. Manongga. (2007). Food
Se-curity and Rural Development in South Central Timor Based on Case
Studies in Pollen and Kualin Subdistricts. Workshop to Identify Sustainable
Rural Liveli-hoods. Kupang: ACIAR Proceedings No. 126.
Karwur, Ferry F., Suharmiati, Sakti Oktaria Batubara, Kristiani D. Tauho. (2012). Kaji-tindak
Partisipatif Proses Modifikasi Tradisi Melahirkan Atoni Meto untuk Men-ingkatkan
Kesehatan Maternal dan Bayi di Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah,
Kab. TTS, NTT. Surabaya: Balitbangkes Kemenkes RI.
Manongga SP., Simon O Radjapono, Dharma Palekahelu, Ferry F. Karwur. (2008).
Habisnya Persediaan Pangan Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pol-
len, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kritis, 3:170-188.
Manongga, SP., Dharma P. Palekahelu, Simon R. Radjapono, Ferry F. Karwur. (2008).
Status Gizi dan Kesehatan Masyarakat Pollen di Timor Tengah Selatan. Kritis,
20(2):135-155.
Martianto, Drajat, Hadi Riyadi, Dwi Hastuti, Mien Ratu Oedjoe, Edi Djoko Sulistijo, Ahmad
Saleh. (2008). Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk
Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak di Ka-bupaten
Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Fakultas
Ekologi Manusia IPB dengan PLAN Indonesia. Jakarta.
Nuban, Christiana E. H., Ferry F. Karwur. (2013). Konsumsi dan Status Gizi Ibu Me-
nyusui yang Mengikuti Tradisi Neno Bo’ha pada Orang Timor. Salatiga: Skripsi,
Unpublished.
Sandjaja. (2009). Resiko Kurang Energi Kronis (KEK) pada Ibu Hamil di Indonesia.
Gizi Indonesia, 32(2):128-138.
149
150
BAGIAN I1I
Kristiani D. Tauho
Abstrak
Pos pelayanan terpadu yang dilaksanakan di tingkat desa atau kelurahan merupakan upaya
yang dilakukan untuk membantu masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan
dasar. Posyandu sangat penting dalam usaha peningkatan kesehatan melalui tindakan
preventif dan promotif yang dilaksanakan oleh kader dan anggota masyarakat secara
sukarela. Tulisan ini mendeskripsikan pelaksanaan Posyandu yang ada di Desa Binaus
yang merupakan pengalaman peneliti tinggal dan melakukan aktivitas bersama kader
Posyandu antara tahun 2012–2016. Pelaksanaan Posyandu di Desa Binaus dilakukan
secara rutin sekali sebulan oleh 12 orang kader dengan sistem 5 meja. Sebelum hari
buka Posyandu, kader melakukan persiapan (mengundang masyarakat, persiapan
materi penyuluhan, pembagian tugas 5 meja, mengkoordinir pemberian makanan
tambahan dan berkoordinasi dengan petugas kesehatan). Sedangkan di luar hari
Posyandu kader mengunjungi ibu hamil, nifas, melakukan rujukan dan membuat
laporan-laporan. Kegiatan-kegiatan tambahan yang di Posyandu Desa Binaus yaitu
Bina Keluarga Balita, Pos Gizi, kelas ibu hamil.
Kata kunci: Posyandu, kader, Binaus
A. PENDAHULUAN
154
pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang pesertanya lebih
Pemilihan pengurus dan kader Posyandu dilakukan melalui rapat desa dan
dilakukan secara musyawarah mufakat sesuai dengan tata cara dan kriteria yang
berlaku. Sebelum melaksanakan tugasnya, kepada pengurus dan kader terpilih
diberikan orientasi dan pelatihan yang dilaksanakan oleh Puskesmas sesuai
dengan pedoman orientasi dan pelatihan yang berlaku. Pelaksanaan kegiatan
Posyandu secara rutin berpedoman pada panduan yang berlaku. Secara berkala
kegiatan Posyandu dipantau oleh Puskesmas, yang hasilnya dipakai sebagai
masukan untuk perencanaan dan pengembangan Posyandu selanjutnya secara
lintas sektoral (Kemenkes RI, 2011).
155
Begitu pentingnya sebuah Posyandu bagi masyarakat menuntut pelayanan
yang diberikan oleh kader maupun tenaga kesehatan dalam pelaksanaan Posyandu
juga perlu ditingkatkan terus menerus. Tulisan ini adalah deskripsi pelaksanaan
Posyandu di Desa Binaus selama 4 tahun (2012-2016), salah satu desa di Kabupaten
Timor Tengah Selatan yang telah menjalankan Posyandu sejak tahun 1984.
156
Kebijakan-kebijakan mengenai biaya administrasi dan denda ini merupakan hasil
157
Berdasarkan surat keputusan Kepala Desa Binaus Nomor 6 Tahun 2010
tentang Pembentukan Kepengurusan Posyandu Desa Binaus Kecamatan Mollo
Tengah Tahun Anggaran 2010–2014, diketahui bahwa setiap Posyandu di Desa
Binaus memiliki struktur organisasi yang jelas, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Ketua Posyandu bertugas mengkoordinir setiap kegiatan Posyandu, termasuk
setiap anggota kader yang ada dan memastikan bahwa semua program Posyandu
yang dibuat sendiri atau merupakan turunan dari Puskesmas dapat dijalankan di
Desa, bendahara mengelola dan membuat laporan keuangan, sekretaris membuat
notulensi dan mengarsipkan semua jenis administrasi, sedangkan para anggota
bertugas menjalankan kegiatan Posyandu, baik sebelum, pada saat dan setelah hari
Posyandu.
158
Tugas Kader Posyandu Desa Binaus
Pada hari buka Posyandu, kader melaksanakan kegiatan dengan pola lima
(5) meja, antara lain: (a) pendaftaran pengunjung Posyandu (b) melaksanakan
penimbangan dan pengukuran tinggi badan balita dan ibu hamil serta melakukan
pengukuran LILA (Lingkar Lengan Atas) pada ibu hamil dan WUS (Wanita
159
Usia Subur), (d) membantu petugas kesehatan dari Puskesmas Binaus dan Badan
Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera (BPP-
KBKS) Kecamatan Mollo Tengah memberikan pelayanan kesehatan dan KB
sesuai kewenangannya dan bersama petugas kesehatan melengkapi pencatatan dan
membahas hasil kegiatan serta tindak lanjut setelah pelayanan Posyandu selesai,
(e) melaksanakan kegiatan penyuluhan dan konseling kesehatan dan gizi sesuai
dengan hasil penimbangan serta memberikan PMT.
Para kader membagi tugas sehingga semuanya bisa berperan dalam kegiatan
5 meja ini. Pembagian tugas tersebut nampak pada Tabel 3 dan Gambar 2.
Gambar 2. Aktifitas di meja pengisian KMS (kiri atas), kader mengukur LILA ibu
hamil (kanan atas), Kegiatan penimbangan bayi (kiri bawah), pembagian makanan
tambahan (kanan bawah)
160
Tabel 3. Jenis pelayanan di Posyandu dan penanggungjawabnya
Penanggungjawab
Meja Jenis pelayanan
Posyandu I Sakteo Posyandu II Sanbala
1 Pendaftaran Lidya P Dortia K
2 Penimbangan Nehemia N, Yosefina H Nonia S
3 Pengisian KMS Yosrafina T, Herudia B Yakomina K
4 Pelayanan kesehatan Selfina T Anaci H
5 Penyuluhan Yacoba S, Lidya P Sefnat L
161
Bagi masyarakat Desa Binaus, kader adalah pemimpin. Kader dipercaya
menjadi perwakilan di organisasi-organisasi pemerintahan maupun gereja.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara selama ini, terlihat bahwa masyarakat
selalu menyetujui setiap usulan yang diberikan oleh kader Posyandu, meskipun
dalam pelaksanaannya tidak semua melakukan seperti yang sudah disetujui. Salah
satu contohnya adalah kesepakatan agar keluarga ibu hamil segera memberitahu
kader jika ada tanda persalinan, sering tidak dilakukan atau terlambat dilakukan
sehingga ibu bisa melahirkan di rumah.
Kesepakatan untuk tidak boleh mengunjungi ibu bersalin jika tidak bersalin
di fasilitas kesehatan menyebabkan kader terkadang mendapatkan ancaman dari
masyarakat yang merasa tidak bersalah dan diberlakukan dengan tidak adil. Kader
juga selalu tidak sependapat dengan dukun bersalin mengenai persalinan, baik di
rumah maupun di fasilitas kesehatan yang memadai. Jika terjadi kematian bayi atau
keguguran, kader dan dukun bersalin saling menyalahkan. Dukun bersalinpun selalu
tidak mengikuti pertemuan bersama yang membahas mengenai kesehatan ibu anak
jika pesertanya ada kader, karena sering merasa tersinggung dengan sikap kader.
Dalam pelaksanaan Posyandu di Desa Binaus juga terdapat beberapa
kelemahan, yaitu tingkat pendidikan kader yang kebanyakan hanya tamat SD,
sehingga terkadang sangat sulit untuk memahami bagaimana melakukan proses
dokumentasi kegiatan. Beberapa kader juga usianya sudah lanjut, sehingga
berpengaruh terhadap ketepatan pencatatan di KMS maupun dalam laporan-
laporan. Tidak semua kader aktif melakukan penyuluhan (biasanya hanya ketua
kader Posyandu I) dan beberapa kader sering mengeluh bahwa semua yang
dilakukan tidak mendapat respon dari masyarakat dan mengatakan tidak mau
menjadi kader lagi. Melakukan penetapan kader baru yang berusia muda
merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan masalah tersebut, karena pada
umumnya ibu-ibu muda menamatkan pendidikan atas dan memiliki wawasan yang
lebih luas sehingga lebih banyak ide dalam memecahkan suatu masalah.
Peluang terbesar yang dimiliki oleh Posyandu Binaus adalah banyaknya
LSM maupun organisasi pemerintahan yang masuk. Hal ini adalah kesempatan
162
yang bisa digunakan oleh kader-kader Posyandu dalam meningkatkan kapasitas
mereka melalui pelatihan-pelatihan sehingga pelayanan yang ada bisa semakin baik.
C. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
163
Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2012). Buku Pegangan Kader
POSYANDU. Jakarta: Promkes Kemenkes RI
Suhartini. (2009). Petunjuk Teknis Kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
melalui PNPM Mandiri Perdesaan
Surat keputusan Kepala Desa Binaus Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pembentukan
Kepengurusan Posyandu Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah Tahun
Anggaran 2010 – 2014
LAMPIRAN
164
Mama Yosrafina Boimau adalah kakak ipar dari
Mama Lidya Peninaen (saudara perempuan
dari Kades Binaus). Mama Yosrafina lahir di
Sakteo, tanggal 17 Juli 1975 dan merupakan
kader sejak awal Posyandu didirikan pada akhir
tahun 1980-an. Mama Yosrafina menikah
dengan suaminya yang berasal dari suku
Amanuban dan mereka mempunyai 4 orang anak
perempuan. Anaknya yang sulung Mama
Yosrafina sudah menamatkan kuliahnya dan
sekarang menjabat sebagai salah satu kepala
urusan (kaur) di Kantor Desa Binaus Mama
Yosrafina Boimau selalu bisa ditemui dalam
kegiatan kaum ibu, maupun kegiatan Posyandu.
165
Mama Herudia Banunu adalah orang Amanuban
Selatan, dari Noebeba yang lahir pada tanggal
18 Mei 1974. Mama Herudia menikah dengan
Bapak Yorhans Tapatab dan memiliki 2 orang
anak perempuan dan seorang anak laki-laki.
Rumah mereka terletak di Dusun II, tetapi
mereka tinggal di rumah mertuanya sebagai
rumah tua keluarga yang terletak di RT 3, Dusun
I. Rumah tersebut sering digunakan sebagai
tempat memasak untuk kegiatan Pos Gizi.
Rumah Mama Herudia Banunu setiap hari selalu
dikunjungi oleh orang-orang, mungkin karena
letaknya yang strategis di tengah-tengah jalur ke
Dusun II maupun ke Dusun I.
166
Mama Yacomina Kase adalah istri dari Bapak
Bernadus Sanam, salah seorang tua adat di Desa
Binaus yang pernah memerintah Desa Binaus
selama 20 tahun. Mama Yacomina Sanam dengan
pendidikan terakhir SD lahir di Binaus tanggal 19
Desember 1953 dan telah menjadi kader selama 32
tahun, sejak suaminya menjabat sebagai kepala
Desa pada tahun 1984 hingga sekarang. Mama
Yacomina Sanam adalah ketua kader Posyandu II
Sanbala, di RT 7, Dusun II, walaupun rumahnya
jauh di RT 2, Dusun I. Mama Yacomina Sanam
sangat aktif dalam kegiatan kaum ibu di Gereja
Syalom Sakteo dan kegiatan pemerintahan di desa.
Setiap kali Posyandu, Mama Yacomina akan
berjalan kaki ke Posyandu yang berjarak sekitar 3
km dari rumahnya dan mengkoordinir semua
kegiatan Posyandu, dari penimbangan hingga
penyuluhan dan pemberian makanan tambahan.
167
Mama Dortia Oematan lahir di Sakteo, tanggal
2 Desember 1962, dengan pendidikan terakhir
SD. Mama Dortia menikah dengan Bapak Obed
Kune dan tinggal di RT 6. Mereka mempunyai
3 orang anak, 2 putri dan 1 putra. Di Posyandu,
Mama Dortia Kunelah biasanya berada pada meja
register atau penimbangan. Mama Dortia juga
sering membantu tenaga kesehatan melakukan
pencatatan hasil Posyandu. Mama Dortia pernah
menjabat juga sebagai majelis di Gereja Syalom
Sakteo sebagai penatua.
168
11
Preamble
With the above statement, the United Nations gained a worldwide attention in
year 2000 as they established the Millennium Development Goals. The international
targets aimed to improve the development of countries throughout the world by the
year 2015. Therefore, goals such as “Improve Maternal Health”, “Reduce Child
Mortality” as well as “Promote Gender-Equality and Empower Women” have been
setted (Hadikusumah, 2013, p. 54-55).
The UN reported in year 2014 about great developments, as well as about
difficulties which the countries still have to struggle with. Though Indonesia still did not
reach the targets of the MDG’s completely, the country is heading to improve the national
situation and consequently to contribute to global development (Hadikusumah, 2013, p.
55-56). However, the results of the achievements are general and according to the country
as a whole, not to its single regions and remote villages which still place values on
traditional customs. This statement is supported by the fact that “some areas remain far
behind, particularly in eastern Indonesia where child mortality rates in several provinces
are more than double the national average” (Hadikusumah, 2013, p. 56).
The following paper aims to uncover the situations of women from a village
in Timor Tengah Selatan - the eastern part of Indonesia. Because most of the women
in the Binaus Village are housewives who manage the household, take care of their
children and support their husbands in tasks such as farming, the main survey will
analyse women who shortly became mothers. Due to limited capacities of the present
paper, as well as to lacking language skills and English literature, a representative
number of women from Hamlet 1 will be interviewed. The conditions of Timorese
women will be analysed through further interviews within the village. Referring to the
results of the survey and having regard to the status as well as to the possibilities of
the women within the community, the aspects of empowerment will be discussed and
evaluated. Through visualizing the needs of the women from Binaus, the following
seminar paper aims to contribute to community development in Nusa Tenggara Timur.
In year 2012, the population of TTS was 453,386 out of which 229,436
residents were female (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 34). The highest
percentage in 2012 represents the number of population between the age 0-4 years
170
with 13.40 %. This amount increased by 1.03 % compared to the year 2011. With
12.25 %, the age-group between 5-9 years follows, accompanied by the number of
children aged from 10 to 14 years (11.13 %). In all age categories, male residents
in TTS are the majority, except the higher number of female community members
in the age groups between 20 and 49 years, as well as 60-64 years (BPS Timor
Tengah Selatan, 2013, p. 37).
The Badan Pusat Statistik (BPS) measures poverty by using the concept of
basic needs approach. BPS views poverty as an economic inability to fulfil food and
non-food basic needs. Those needs are measured by consumption and expenditure, for
which a poverty line has been calculated. Consequently, a person whose monthly
expenditure is below the poverty line, is considered to be poor (BPS Timor Tengah
Selatan, 2013, p. 303). In year 2006, 39.93 % of people in Timor Tengah Selatan has
been renowned as “poor”. The percentage reduced every year constantly until 26.96 %
in year 2011. In the following year, the number of people below the poverty line
increased again up to 27.53 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 307).
In year 2012, maize (67.086 ha) and cassava (17.583 ha) counted as food
crops that have been mostly harvested in TTS (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p.
147). In the same year, most of people used oil lamps (52.79 %) as a source of lighting
and firewood (91,19 %) as main energy for cooking (BPS Timor Tengah Selatan,
2013, p. 128, 127). 63.97 % of the households in TTS used in 2012 public
facilities for drinking water and 26.04 % were sharing it (BPS Timor Tengah
Selatan, 2013, p. 117). Most of the households own a cellular phone (53.62 %) for
technological communication and only 0.93 % possess a PC (BPS Timor Tengah
Selatan, 2013, p. 115).
171
relation between the number of male (3,676) and the one of female (3,652) residents
in Mollo Tengah are almost equal to each other (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p.
34). While in year 2012 the fertility rate in Timor Tengah Selatan was 6,679, infant
mortality reached the number 127 which increased by 61 since 2011. The fertility rate
in Mollo Tengah accounted for 136 in the same year, whereby the total infant
mortality came to 3 children (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 43).
As it can be also observed on the data from year 2012 of Timor Tengah
Selatan (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 67), the higher the educational grade,
the lower is the number of pupils in the Binaus Village. While there are 148 children
enrolled at Primary School, only 39 pupils continue with Junior High School and
29 carry it off to Senior High School. There are 2 boys and 2 girls in the village
aged 7 to 8 years who cannot join the Primary School due to lacking finances for
school equipment.
2011, Indonesia ranked 100th out of 187 countries in the Gender Inequality
172
Index of IUN, which measures gender inequality aspects in: reproductive
health, empowerment and the labour market. In terms of women’s
economic empowerment, the country ranked in year 2012 position 85 out
of 128. Those facts show that gender disparities in Indonesia are still high
(MCA-Indonesia Social and Gender Integration Plan 2013, p. 8).
Though gender gaps in educational aspects, such as school enrolments, are
on the way to disappear in Indonesia, disparities still exist in Timor Tengah
Selatan Regency. The average of female community members who never or not
yet attended school was in year 2012 with 17.85 % higher than the one of male
residents with 13.47 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 80). Remarkable is
the number of female community members in the age between 19 and 24 years
who never attended school. The percentage of 8.16 was almost double as high as
the one of male residents of the same target group, which was 4.90 % (BPS Timor
Tengah Selatan, 2013, p. 84-87). Further investigations in the same year revealed
that the illiteracy quote of women was with 20.72 % higher than the one of men
15.95 % (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 82). According to school
enrolments in year 2012, the numbers of girls not only in Primary (86.53 %) but
also in Senior High Schools (42.21 %) were lower than the ones of boys (91.16 %
and 51.51 %). In spite of that, the number of female students in TTS was with 2,33
% higher than the one of male university members who did not enrolled at
university in year 2012 (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 83).
while those numbers lessened since the year 2011, first marriages of the
15 and less aged girls have more than tripled from 1.07 % to 3.36 %. Also, girls in
the age of 17 to 18 years married remarkable more frequently in year 2012 (14.39
173
%) than in the previous year (9.80 %) (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 40).
Early marriages have a great impact not only on educational attainment of girls
but also on their future economic potentials (MCA-Indonesia Social and Gender
Integration Plan 2013, p. 10). 22.92 % of women from TTS who are 10 years and
above and who ever married, had 3 children in year 2012. That is 3.19 % more
than in year 2011. Furthermore, since the previous year the number of 6 children
per woman increased up to 5.50 % and the amount of 9 children per woman
mounted up to 0.53 % from 0.44 % in year 2011. Contrary, in the same year the
quote of women without children has decreased since 2011 by almost 1 % to 8.00
%. Also, the percentage of women having 10 or more children lessened within a
year to 0.63 in 2012 (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 41).
In year 2012, 97.156 women in TTS have been considered as economically
active, out of which 95.915 were employed. In terms of economic activities of male
community members, 122.835 men out of 123.673 counted as employees. Not
economically active were 51.441 female residents whereby 36.289 of them were
involved into housekeeping. On the opposite, those were 17.781 male residents who
did not count as economically active, out of which 1.578 were involved into activities
in the household (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 47). Out of the total number of
9.154 in year 2011, there were 3.031 female official employees in
Timor Tengah Selatan Regency. While in the same year the total amount of male civil
servants was 685, there were 153 women involved as workers into civil services (BPS
Timor Tengah Selatan, 2013, p. 19-21). From the population of the age 15 and above,
69.356 workers were unpaid, including 49.117 female labourers. Most women in TTS
work 15 to 34 hours per week, while the total working hours of men are usually 35
and more hours weekly (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 48, 49).
The average of people working in labour force in TTS increased in the year
2012 in rural areas up to 207,180. Compared to urban areas, which counted in the
same year 13,649 labourers, forced labour conditions in rural places are remarkable
higher (BPS Timor Tengah Selatan, 2013, p. 54). The data of 2012 shows that the
number of female residents in the age of 15 or above who never attended a formal
174
education and who were participating on labour force was with 18,343 larger than
the one of men which came to 12,570. It strikes that the higher the educational
grade, the lower is the number of female forced labourers: While in the primary
educational level 28,838 girls and women were working under forced conditions,
there was no female forced labourer on the university-level (BPS Timor Tengah
Selatan, 2013, p. 55). Except of forced labour in the sector of Diploma I, II and
III, in all educational sectors forced labour is far higher in rural than in urban
As from the interview with Bapak Desa, the women in Binaus are mainly
involved into work in the household, farming and selling. In accordance to the
information of Posyandu, the contemporary total number of children in the age of
5 years and below is 107. Furthermore, 7 pregnant women are currently registered
in the village.
There are 19 men and 10 women in Binaus who are officially employed.
Out of these, women in the age of 24 and 37 years who work in the village office
are 3 in number, whereby another 2 female employees are active in the village
committee (cf. ANNEX 1, p. 21-22). The female workers in Puskesmas come daily
from SoE since there is a lack of “skilled workers” within Binaus. Nevertheless,
out of 12 cadres who work for Posyandu, 10 are female village residents. Their
function in the health institution is to assist the midwife, whereby their tasks are
comprised of supporting pregnant women as well as mothers and their children
through data-collection, filling in the health-cards and providing practical health
services. Furthermore, the cadres inform other village residents on health and
nutrition of the mentioned target group. The
175
workers who are in the age between 40 and 68 years earn IDR 300,000.00
yearly, what is sufficient as a side job.
Though there are 5 women from Binaus employed as teachers, the female
headmaster of the Primary School as well as the woman leading Puskesmas are from
SoE. In respect of leading positions within the community, those are 45 out of which
Mama Desa is the only female leader. After her husband became the Head of the
Village 9 years ago, Lidya Tasekeb got into her present position. The Head-Woman of
the Village is furthermore the leader of the cadres as well as of the farmer group in
Binaus. She also supports the church committee in the position of a council and is
responsible for her “small shop”, as well as for her family in the role of a housewife.
After she graduated from Senior High School, she married in the age of
19 years. The interviewee states of never having been supported by any
organizations in educational or other skills, neither her children have ever been.
All the 3 children were born in the Hospital of SoE. The woman did not stay in a
traditional house after delivering because she does not view it as the right place
for a mother and her newborn. The leading woman manages the numerous tasks
outside as well as inside the house on her own. At home her position in decision-
making is equal to the one of her husband.
1. Methodology
176
The interviews consist of personal questions which are related to the
background of the previous course of education, the current living and
working situation, as well as of personal impression referred to the current
position as a female community member in the Timorese village. The
question concerning the stay in a traditional house after delivering is insofar
as essential, as the target group refers to mothers and the decision about
staying in a traditional confronts the women with cultural values. The
indicators of the interview serve as an introduction to the target group for to
illustrate who the women are and what they do. The ensued interviews vary
between 20 and 22 questions since they have proceeded individually. The data
collection happened to unannounced times.
In both cases, the interviews have been accompanied by other
community members who were present in the rooms for the duration of the
data collection and even intervening into the conversations. Since it would be
“impolite” to remain alone with the interviewed women, the dialogues have
been continued in the presence of other family members. The observations
during the interviews, on which the other attendees participated as well, have
been included into the survey and turned out to be essential for the results.
Due to language disparities between the interviewer and the survey-
participants, the dialogues have been translated by a third person from
Indonesian into English. The interviews have been put down on paper and
later on transcribed. For data protection, the names of the women will not
appear in the following survey results.
The age of the interviewed women is 17 and 24 years. While the older
one finished Junior High School, the younger interviewee graduated from
Senior High. Both women who shortly became mothers are currently
housewives, whereby the 17 years old woman plans to continue education in
studying English. She aims to become a teacher. The teenager is not married
177
yet to the father of the 2 months old baby. As the grandmother explains, the 21
years old boy is still learning in High School and therefore not able to support
the child financially. Neither the mother nor the baby have been backed by
any institutions or organizations in Binaus yet. Although, since the baby has
been born in Puskesmas Binaus, it has been checked up monthly at the health
institution Posyandu. Since her childhood, the teenager lives at her
grandmother’s place who retired from being a civil servant, wherefore she
would have enough money to support her grandchild, as she claims. The elder
lady who represents the leading position in making decisions at home, often
speaks for the interviewee during the conversation. Answers like “we don’t
support this tradition” make clear that she does not agree to the custom of
staying in a traditional house for 40 days after delivering. It can be said that
the mindset of the grandmother is distant from traditional thinking. The care
giver of the interviewee is strongly directed towards the future of her
grandchild and seems to place high values on education. Moreover, the term
“we” speaks for high authority and a strong influence of the grandmother on
the young woman. The lady supports and encourages her grandchild to
continue in education for a “better future”. According to the interviewee, she
has “no needs” to improve her current situation.
178
generation, the woman hesitates shortly and answers, it would depend on the
future situation of her children. In case, they would live in SoE, her daughters
would not have obligatory to stay in a traditional house after having delivered.
If the children would stay in Binaus, the interviewed woman would leave the
decision up to them. Her opinion disagrees to the one of her husband, who
proved to be strict in his traditional believes and their practice.
Neither the 24 years old woman, nor her children have ever been
supported by any institutions or organizations in Binaus. After hesitating for a
while, the interviewed utters the wish of an own small shop to support her family
financially. This answer responds to the question about feeling comfortable in the
current position of a housewife. Next, the woman admits to the need of financial
support for her own small business. Concerning the question of feeling more
independent when being the owner of a kiosk, after a short look to the man, no
answer follows. It can be observed during the interview that the answers of the
interrogated woman come delayed. Before she replies to some questions, she
keeps on thinking for a while. In her answers, she seems scared, shy, nervous and
speechless, as if she would not dare to respond to the questions autonomous. Her
manner becomes clear as the interviewee explains that in terms of making
decisions at home, she would “listen” to her husband.
C. WAYS TO EMPOWER
179
backs children. Additionally, the interviewed person from Posyandu designated the
World Food Programme as a supporting organization for women in Binaus. By
reference to the aims of those organizations, the position of women as housewives
can be established and their tasks such as farming, cooking and taking care of
children conjectured. In view of those results it becomes clear that the connection
between mother and child strongly correlates in Binaus.
As from the survey, it seems to be common in the village that marriages
follow after pregnancies. The 24-year woman married as she was already pregnant and
the teenage-mother plans to marry after the father of the baby finishes school. In terms
of marriages or pregnancies in the age below 18 years, the village office demands
payments in the amount of IDR 2,000,000.00 from the couple as a punishment. In year
2014 there were 2 such cases in Binaus. Although the penalties invest into the child’s
future, the future of the mother changes aggravating, since in most cases the pregnant
girls drop out of school because they feel” ashamed”. In terms of sexual education,
only pupils in Senior High School know the facts, what means that young people with
lower education remain on their own within a community for which the topic is a
taboo. In this context, education about contraceptive methods and early information
from an independent institution such as Posyandu should be provided, especially for
young girls. Instead of financial penalties, preventive methods could decrease
unexpected pregnancies and consequently avoid early marriages. On this way, girls
could continue longer in school.
In accordance to NTA early education not only “lowers fertility rates” but
also “reduces maternal mortality, and improves the health of their children”. In terms
of lacking food, the spectre of malnutrition is increasing and can unfavourable affect
maternal health. Since organizations like CWS and WFP or institutions such as
Posyandu help to improve understanding about health and nutrition, there is a better
common understanding about health, especially that of pregnant women in Binaus
Village. For medical treatment, people in Timor Tengah Selatan use mostly (75.53 %)
Community Health Centres such as Puskesmas or Pustu (BPS Timor Tengah Selatan,
2013, p. 102). The main supporting institution for pregnant
180
women, mothers and their children is Pos Pelayanan Terpadu or short “Posyandu”.
The health institution exists since 1986 in Binaus and not only provides health
services but also informs the community on health and nutrition. Posyandu aims to
improve the knowledge of women about healthy life for them and their families and
contributes to combating the main health problem in Binaus which is malnutrition.
The registration in Posyandu is obligatory for each pregnant women, mother and
children until the age of 5 years. Even those women who stay in a traditional house
after delivering for 40 days are obligated to the monthly visits with their babies
(cf. ANNEX 3, DESCRIPTION 2, p. 28). This fact is a good example for the
development which currently happens in the Binaus Village. The regular check-up
in health takes place, though the tradition is still kept.
Since the residents of Hamlet 3 rely on the services of the Posyandu in
Hamlet 2, it is difficult not only for the mothers and their babies to reach the place
monthly but also for pregnant women to manage the journey. Due to the far
distanced and onerous way from the remote area, some of the families from
Hamlet 3 are not able to reach the health institution, particularly in times of
rainfall. In this coherence, the government should undertake efforts to develop a
better way of transportation, so that the residents of Hamlet 3 have a better access
to the other part of Binaus where they can get provisions and health services,
especially in emergencies or urgent cases such as delivering.
The cadres who support the midwife at Posyandu are principally female.
The workers are not only involved into administrative tasks such as collecting data
or filling in the health-cards but also face numerous challenges when it comes to
midnight-calls or irregular check-ups on children’s health. Such difficulties
require not only great efforts but purposefulness and a high responsibility. The
women bear witness to their administrative skills and abilities since almost 30
years but still work in a part-time job. Though “favourable and flexible working
conditions for women” can be supporting in their function as housewives, their
hard efforts should be recognized as such and paid suitable, so that the women are
motivated to continue and even to develop in the work.
181
From the interview with Bapak Desa, as well as from those with the women,
it follows that the position of a housewife is considered as the working place of a
woman in Binaus. Furthermore, as it results from the survey, the position of young
women in Binaus is subordinate in the household, be it to the position of the husband
or to the one of the grandmother. Handayani Pinta is convinced that empowerment
serves as “an effort to give opportunity and capability toward community groups to
have voice and choice” (Handayani, 2013, p. 123). The empowerment of women aims
mainly to improve the quality of their status within the community, among others
through promote the women’s independence and to question gender-based issues
(Handayani, 2013, p. 124). Because those women have less authority and influence in
terms of choosing their working conditions or making decisions on their own,
empowerment is necessary for to extend the women’s horizon and consequently to
enable them in participation on decision-making processes. But as long as the women
stay silent at home and do not appear in public, it is difficult for them to gain any
attention in terms of empowerment or protection. Another point is that there is a lack
of economical access for the residents of Binaus. As it becomes clear from the
interview with Bapak Desa, there is a lack of “skilled” women in Binaus for officially
registered jobs like the ones in Puskesmas or as head teacher in a school. To achieve
skilled workers, it is necessary to provide suitable education. Nevertheless, on the
school enrolments in Binaus, it can be observed that the higher the educational grade,
the less children are enrolled. Furthermore, and as already stated in the first chapter,
school children are involved into the work of their parents at home and count as
workers, seemingly already before reaching the age of Primary School. It is important
for the residents of Binaus to become aware, how important the education for their
children’s future is.
The 17-years old girl hesitates in answering the question whether she would
like to teach in future in the Binaus Village. Also, the second interviewee takes into
consideration that her children could move to SoE one day. Even the age of the cadres
which is 40 to 68 years, testifies the lack of young people in this sector. Migration into
cities seems common in Binaus. Because children and youths
182
constitute the future of each community, it is important to empower young people
to stay in Binaus. If the new generations would show adequate skills for jobs in
schools or in institutions such as Puskesmas, there would be no need to draw on
staff from places out of the village. Consequently, the need of young people to
emigrate from Binaus due to lacking employment-opportunities would lessen.
According to NTA “gender equality is central to economic and human
development”. The organization which empowers women is of the opinion that equal
opportunities for both female and male community members support the economic
growth and contribute to reduce poverty. Both, men as well as women should have an
access to economic opportunities, so that their families can prosper and the country’s
economy can keep on growing. Although, the amount of female and male residents in
Binaus is almost equal to each other, 44 men feature on leading positions in the
village, while there is only one female leader. The intention of Bapak Desa to elect a
woman as a future leader of the village is a huge step towards women empowerment.
Though no specific efforts have been undertaken yet, it is planned to intensify the
participation of women on discussions about governmental issues, as well as to
involve women into the organization of the village. The women in Binaus should be
involved into those tasks and taught early enough for to provide administrative and
other needful skills for the leading position.
During the interview, the leading woman of Binaus first claims to feel
comfortable as she undertakes responsibility and tries “the best” she can on her own,
without anybody’s help. In the next moment, however, she confesses of being
overwhelmed with the numerous tasks and wishes to “stop everything and focus on
being just a housewife”. Involving other women or job-sharing could be a solution for
the leading woman to maintain her tasks in work and at home. According to the
interviewee, even if they work and no matter in which position, women in the Binaus
Village do not earn money for themselves but for their families. Even though she is
the leading woman in the village and has the same position with her husband in
making decisions at home, Mama Desa shows confusion when it comes to the
question about feeling “independent”. It can be concluded that the woman
183
–despite her leading position— is for the family and not for her own. Although the
interviewee could not say that she feels independent in her current position, the
woman seems to long for independence as she declines any help in her tasks and
tries to manage them on her own.
What stands out is that the interviewed women tend to “listen” to the
leading decision-makers at their homes. Moreover, the women let those people
speak for them as established during the conversations. Even when it seemed
disturbing, the presence, moreover the intervention of other family members could
not have been avoided since it would be “impolite” to interrogate the interviewee
in privacy. While the first interviewed seemed unsure and nervous, searching
several times for answers in other people in the room, numerous answers of the
second young woman came from her grandmother. It seemed as if it would be of a
matter of course that the questions are answered by other family members. While
the grandmother of the secondly interviewed seems to play the role of a paragon
and to have a great influence on her grandchild towards advanced reasoning, the
husband of the other woman places values on traditional mindset. Nevertheless,
the 24 years old interviewee showed courage in being of another opinion than her
husband and even to voice it in his presence. On the other side, due to the power
of the man in the house in terms of making decisions, the developed attitude of the
woman which she gained from her own experience, will probably not be heard in
future. In this case, the women should have an equal position at home when it
comes to undertake essential decisions. As to own observations as well as to the
results of the carried-on interviews, particularly of the interview with Mama Desa,
it becomes clear that the women from Binaus need adequate education and
“courage to speak”. Furthermore, it is of great relevance that not only the women
themselves but also the leading relatives should be enlighten, since those
authorities seem to dispose of vast power within the society. The access to leading
positions for women can be achieved as soon as the traditional mindset opens up
to equality between female and male community members.
184
D. CONCLUSION
185
feeling independent. At this point it becomes clear that the participation on
making decisions at home is not enough for the women to achieve a higher
position within the community.
Since there is still a lack of official economical involvement of female
residents in places such as the Binaus Village, possibilities for women to work
outside their homes are necessary. The women should use their hidden potentials
and have the courage to show them. Only when the women themselves are
motivated and able to speak on their own, they will gain courage and have
possibilities to access to leading positions which are equal to the ones of men.
They should become leaders independently on the position of the husband, which
should be not based on biological or gender-aspects but on skills and abilities. And
that is where education and training become inevitable. Through education, the
skills of female community members would increase and employment of female
staff would contribute to economic growth of the regency. Education and
enlightenment serves moreover to become aware about the issues of a community.
To facilitate empowerment, it is important to talk and not to keep calm.
Furthermore, the data collection for the preceding research proved as difficult due
to lacking English literature concerning the topic, as well as difficulties in
communication for the interviews in the village. From that it follows that there is
no or little chance for international awareness, in other words, the above topic is
still invisible for abroad. To make it visible, people from Timor Tengah Selatan
should be encouraged to learn the English Language to enable international
dialogue and consequently international cooperation for development.
All in all, there are two relevant involved parties for empowering women.
Firstly, appropriate regulations and possibilities should be provided which strengthen
the women’s position within the community –what the Head of the Binaus Village is
already willing to do— and secondly, the awareness of the women themselves is
necessary. The access to education could help to make the women aware of their
rights and possibilities. Only when the women themselves are willing to achieve a
stronger position within the community, only then, empowerment can begin.
186
Therefore, the women in Timor Tengah Selatan should be encouraged to gain a
stronger voice within the community.
REFERENCES
BPS Timor Tengah Selatan: Timor Tengah Selatan dalam Angka. SoE, 2013.
Hadikusumah, Ratna Y/Lundine, John/Sudrajat, Tata: Strategic Review Indonesia.
Indonesia’s Progress on the 2015 Millennium Development Goals. 2013.
Handayani Pinta, Sarah Rum: Empowerment of Female Batik Worker on the
Development of Batik Industry in Sragen. Case Study at Wisata Kliwonan
Village Subdistrict Masaran. In: International Journal of Humanities and Social
Science. Vol. 3 2013, No. 11., p. 122-129.
MCA-Indonesia Social And Gender Integration Plan: Millennium Challenge Account
– Indonesia. 2013.
NTA: East Indonesia Aid. Gender Equality Policy. http://www.nta.org.au/gender_
equality_policy. 27.01.2015.
United Nations: The Millennium Development Goals Report 2014. New York, 2014.
United Nations: We can end poverty. Millennium Development Goals and Beyond
2015.
http://www.un.org/millenniumgoals/. 27.01.2015.
187
188
BINAUS DI BALIK LENSA 12
Dhanang Puspita
190
Ume
Kbubu
Rumah tradisional Timor
diberi nama ume kbubu
yang artinya rumah bulat.
Rumah tipe ini mirip
dengan yang ada di Papua
yang disebut dengan pilamo
atau honai laki-laki. Rumah
bulat dahulu digunakan
sebagai rumah tunggal yang
diperuntukan untuk tempat
tinggal anggota keluarga,
memasak, dan menyimpan
hasil panen di atas para-
para. Saat ini rumah bulat
ada yang masih dijadikan
sebagai rumah tunggal ada
juga yang hanya dijadikan
sebagai tempat untuk
memasak dan menyimpan
hasil panen. Untuk tempat
tinggal sudah dibangun
rumah sehat atau rumah
kotak.
191
Dapur Ume Kbubu
192
193
194
Teknologi Pengawetan
Bahan Pangan
Untuk menyimpan hasil panen berupa jagung, kacang-
kacangan, umbi-umbian, dan lain sebagainya masyarakat
Timor menggunakan para-para yang ada di dalam rumah
bulat/ume kbubu. Penyimpanan hasil pangan ini adalah model
pengawetan bahan pangan secara tradisional. Prinsip
pengawetannya adalah dengan pengasapan dari tungku
perapian yang tepat ada di bawah para-para. Perapian akan
menimbulkan panas yang berfungsi untuk mengeringkan
bahan pangan. Dengan kadar air yang berkurang akibat
pengeringan akan menurunkan aktivitas air (water activity),
sehingga mikroorganisme pembusuk tidak bisa hidup. Asap
yang timbul dari perapian berfungsi untuk mengusir oksigen
yang ada dalam makanan yang merupakan metode
pengawetan model kuno. Ketiadaan oksigen akan menekan
reaksi oksidasi dan keberadaan bakteri aerob, sehingga bahan
pangan akan terhindar dari kerusakan dan bisa disimpan
dalam jangka waktu yang berbulan-bulan. (Gambar atas)
197
Hulu Hasil
Hulu hasil, demikian orang Timor menyebut salah satu kebiasaan spiritual di sana. Makna dari
hulu hasil adalah sebuah pengucapan syukur atas hasil panen dengan mempersembahkan 10%
dari hasil panen yang terbaik kepada gereja. Gereja yang menerima hulu hasil kemudian akan
melelang persembahan ini untuk diuangkan. Hulu hasil dilakukan per keluarga dengan hasil
panen berupa kacang, jagung, umbi, buah, ayam dan lain sebagainya. Bentuk persembahan ini
di Jawa disebut dengan unduh-unduh. (Gambar kiri)
198
Pelelangan hulu hasil atau persembahan panen pertama akan dilelalang oleh pejabat gereja
(syamas/diaken). Siapa saja bisa ikut dalam pelelangan ini. Uang hasil pelelangan ini akan
masuk dalam kas gereja. Persembahan ucapan syukar acapkali tidakhanya saat musim panen,
bagi masyarakat Timor setiap ada berkat harus sebagian disisihkan untuk persembahan di
Gereja. Demikianlah cara masyarakat Timor memaknai hasil panen pertama mereka untuk
dijadikan persembahan. (Gambar kanan)
199
200
Musyawarah Hingga Tut Fatu
201
Ume Kbubu & Lopo
Pada mulanya rumah adat orang Timor adalah rumah bulat
seperti yang terlihat di samping kiri gambar. Rumah bulat
kurang representatif dalam perkembangan budaya maka
masyarakat mulai mengembangkan rumah kotak. Tata letak
rumah bulat lazimnya berada di belakang rumah kotak. Tata
letak bangunan ini menjadi bagian dari adat. Pada gambar
ini rumah bulat dari rumah kotak bukan yang ada di sebelah
kiri, tetapi tepat di belakang rumah kotak, terlihat dari
adanya pagar pembatas dan undakan. Rumah bulat yang ada
disebelah kiri pada gambar ini adalah rumah adat milik satu
keluarga yang belum memiliki rumah kotak. (Gambar atas,
halaman sebelah)
Rumah adat di Pulau Timor tidak hanya ume kbubu/ rumah
bulat dan rumah kotak, tetapi juga lopo. Lopo adalah
bangunan rumah yang hanya beratap tanpa ada dinding dan
sekatnya. Tidak sembarang orang bisa membangun lopo.
Lopo adalah randevous atau tempat berkumpulnya orang
untuk bermusyawarah atau diskusi. Lopo hanya dibangun di
depan rumah Usif dan Atuin Amaf (Raja atau tua-tua adat).
Sebelum lopo dibangun, maka tua-tua adat akan melakukan
ritual dan berdoa.
Ume Kbubu (rumah bulat) dan Lopo memiliki rangka
konstruksi yang tidak jauh berbeda. Ada 4 tiang pancang
utama, jika di Jawa disebut tiang saka (saka guru). Di bagian
atas saka guru akan ada kolong yang berbentuk melingkar
dengan jari-jarinya yang menumpang. Di atas kolong akan
ditumpangkan lagi tiang sebagai kerangka atap. Untuk
membangun lopo secara adat ada ritual khususnya.
Pada gambar di samping adalah pembangunan lopo tepat di
samping kiri gedung kantor desa Binaus. Lopo bisa
dikatakan lebih istimewa keberadaannya dibandingkan ume
kubu/rumah bulat. Pada gambar ini, lokasi lopo tepat di
samping kantor desa dan masyarakat sedang berkumpul
untuk melakukan ritual dan selanjutnya bergotong royong
mendirikan lopo.
202
203
204
Spiritualitas
Masyarakat Timor yang mayoritas beragama Kristen menjadikan gereja sebagai tempat
untuk saling bertemu pada saat usai ibadah gereja. Kesempatan inilah yang biasanya
dipakai oleh pemerintah atau tua-tua adat untuk memberikan pengumuman. Begitu juga
jika ada warga baru atau tamu, akan diperkenalkan saat usai ibadah. Dengan dikenalkan
di gereja, maka masyarakat akan diberitahu jika ada warga baru atau yang akan tinggal
di sana. Gereja menjadi cara yang efektif dalam menyampaikan pesan atau
pengumuman karena semua warga akan datang. (Gambar bawah)
Masyarakat Timor yang mayoritas memeluk agama kristen selalu menyempatkan waktu
untuk beribadah. Ibadah tidak hanya dilakukan di gereja tetapi juga di rumah penduduk.
Secara bergilir akan dilakukan kunjungan dari rumah ke rumah setiap satu minggu sekali
sesuai dengan jadwal giliran. Mereka yang mendapat tempat sebagai tuan rumah akan
menyediakan tempat dan beberapa makanan kecil seadanya dan tanpa memberatkan.
Ibadah ini sebagai wujud spiritual sekaligus mempererat jalinan ikatan sosial yang
sudah terbentuk. (Gambar atas kiri)
205
206
Jalan Menuju Dusun III
Untuk menuju Dusun III hanya ada 1 jalan yang bisa diakses. Jalan tersebut masih berupa
tatanan batu/makadam. Jalan makadam ini hanya sampai pada Dusun II dan orang menyebutnya
sebagai ujung aspal dan selanjutnya adalah jalan setapak melewati tepian sungai Noel Leke.
Buruknya akses menuju Dusun III karena jalan yang belum baik acapkali menjadi penghambat
mobilitas masyarakat yang hendak dan dari Dusun III. (Gambar atas, halaman sebelumnya)
Sungai Noel Leke menjadi pembatas antara Dusun II dan Dusun III. Sungai ini juga menjadi akses
menuju Dusun III. Warga yang hendak menuju Dusun III harus melewati tepian sungai Noel
Leke dan jika perlu harus menyeberanginya. Pada musim penghujan debit air akan meningkat
dan bisa menghentikan mobilitas antar desa, sebab belum ada jalan penghubung sekaligus
jembatan. Rintangan ekologis inilah yang menjadi salah satu penghambat menuju Dusun III
sehingga bisa dikatakan sebagai dusun terisolir pada waktu-waktu tertentu. (Gambar bawah,
halaman sebelumnya dan gambar atas).
207
Sirih Pinang
Budaya orang austronesia tidak lepas dari sirih dan pinang, begitu juga dengan orang Timor. Di
beberapa tempat di Indonesia, budaya sirih pinang adalah suatu hal biasa tetapi di Timor, sirih
pinang dijadikan simbol selamat datang, penghormatan, dan kekeluargaan. Sirih pinang dijadikan
sebagai alat transaksi sosial agar diterima, dihormati dan masuk menjadi bagian masyarakat adat.
Sirih pinang sepertinya tidak bisa lepas dari genggaman tangan dan tas rajut selempang bermotif
timor yang selalu dibawa kemana saja.
208
Simbol Budaya
Orang Timor
Raskin (beras miskin) dibagikan kepada mereka yang masuk katogori miskin. Standar kemiskinan
di masing-masing daerah berbeda-beda. Untuk daerah Timor, dikatakan miskin dilihat dari
indikator tempat tinggal/rumah, pendapatan, konsumsi makanan, dan pakaian. Raskin seharga Rp
1.600,00 per kilogram akan didistribusikan kepada warga yang masuk kategori miskin dengan
jatah 25 kg per kepala keluarga.
209
210
13
Abstrak
Salah satu fungsi utama ume kbubu bagi Orang Timor adalah tempat menyimpan dan
pengawetan hasil panen tanaman pokok, terutama jagung. Fungsi pengawetan jagung
merupakan suatu kesatuan dengan fungsinya sebagai tempat memasak, yang
memanfaatkan asap dan panas dari tungku api. Namun, dalam pengawetan tersebut
kerusakan jagung akibat serangan hama gudang (fufuk) masih sangat signifikan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kemungkinan peranan desain ume kbubu
dalam pengawetan jagung terutama terhadap fufuk. Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif desktriptif menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Sampel
yang diambil sebanyak 100 biji jagung secara acak dari bentuk ume kbubu oval, lancip
dan parabola. Hasil penelitian ditemukan bahwa kerusakan biji jagung yang terjadi
pada ume kbubu bentuk parabola, oval dan lancip adalah sebesar 3,17%, 9,5% dan
12,83%. Dapat disimpulkan bahwa ume kbubu sebagai tempat penyimpanan jagung
lokal (pen muti) memiliki resiko kerusakan akibat hama gudang yang relatif kecil.
Kata kunci: Ume kbubu, pen muti, pengawetan jagung, hama gudang, fufuk
A. PENDAHULUAN
Salah satu fungsi utama ume kbubu adalah untuk menyimpan hasil panen
pertanian, dan karena jagung merupakan tanaman makanan pokok di Timor maka
ume kbubu dijadikan tempat menyimpan hasil panenan jagung dari kebun mereka.
Mengingat iklim yang kering yang memungkinkan panenan jagung setahun sekali
maka penyimpanan hasil panen dan pengelolaan stok pangan di ume kbubu
merupa-kan sistem manajemen stok pangan keluarga (Palekahelu dkk, 2007).
Menyimpan jagung di ume kbubu bertujuan agar hasil panenannya awet
dan kualitas jagung tidak menurun saat dijual, dimakan maupun untuk benih.
Setelah jagung dipanen biasanya dilakukan pemilahan berdasarkan berat, ukuran
(besar/ kecil) sesuai dengan kebiasaan petani setempat. Penyimpanan jagung
umumnya dalam bentuk ikat dengan mengikatkan tongkol jagung yang satu
dengan tongkol jagung yang lainnya, dan diletakkan atau digantung di para-para.
Sebagai kesatuan dari pengawetan bahan hasil pertanian, ume kbubu
dijadikan pula sebagai tempat memasak, yang dari tungku api menghasilkan asap
dan panas, yang penting bagi pengawetan jagung sepanjang tahun. Biasanya,
jumlah tungku api akan ditambah saat proses pasca panen jagung dengan jumlah
bervariasi tergantung banyaknya jagung untuk membantu proses pengasapan
sehingga semua sudut ruangan terasapi. Sumber utama asap biasanya petani
menggunakan kayu kabesak, daun kabesak, daun kafui dan daun-daun hijauan
lainnya. Proses pengasapan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut, setelah itu
pengasapan hanya berlangsung saat memasak yakni 2–3 kali sehari.
tahun. Seekor betina dapat meletakkan telurnya 150 butir yang diletakkan pada
minggu ke empat sampai minggu ke lima. Telur tersebut diletakkan pada lubang
212
biji jagung secara terpisah, kemudian lubang tersebut ditutup dengan cairan yang
Setelah menetas larva mulai makan pada biji bagian dalam dan berkembang
di dalam biji tersebut. Semasa hidup larva memiliki empat instar (tiga kali pergantian
kulit). Masa pupa kira-kira 25 hari, bila telah menjadi dewasa mereka keluar dari
dalam biji dan meninggalkan lubang yang sangat khas. Total perkembangan telur
menjadi dewasa antara 35–100 hari tergantung kondisi lingkungan.
213
lokal (pen muti), dengan maksud untuk mengetahui keragaman bentuk ume kbubu
yang dipakai untuk penyimpanan jagung lokal (pen muti) di Dusun II Binaus dan
kerusakan jagung akibat hama gudang.
B. METODE PENELITIAN
sampel.
Sampel diambil langsung dari ume kbubu milik petani setelah melakukan
observasi dan identifikasi terhadap tempat penyimpanan. Jumlah sampel yang
diambil sebanyak 3 tongkol tiap bentuk ume kbubu dan diulangi pada ume kbubu
yang bentuknya sama, masing-masing 6 sampel ume kbubu. Sampel yang telah
diseleksi ditimbang dan dimasukkan ke dalam plastik transparan, selanjutnya
diberi tanda label.
214
Penghitungan persentasi kerusakan biji jagung dari setiap sampel dari tiap
bentuk ume kbubu berdasarkan pengamatan dan perhitungan 100 biji jagung dari 3
tongkol per sampel rumah bulat secara acak. Dari 100 biji itu diamati banyaknya
biji jagung yang terserang dan yang tidak terserang fufuk.
Sebagai makanan pokok, jagung memiliki makna yang sangat penting dalam
tiap penyajian makanan di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kecamatan Mollo
Tengah pada khususnya. Varietas jagung lokal pen muti dan pen kikis adalah
varietas yang dipilih oleh masyarakat berhubungan dengan kondisi lahan dan jenis
tanah serta karena budaya petani setempat, selain karena lebih mudah dalam
budidaya, lebih tahan disimpan lama dan lebih enak dari nilai rasa sehingga
penggunaan varietas unggul belum menjadi kebutuhan utama.
Kondisi lahan kering yang mendominasi Kab. TTS menjadi sebab tumbuh
dan berkembangnya jagung di seluruh kecamatan, termasuk di Mollo Tengah.
Pada tahun 2015, luas panen jagung di Kecamatan Mollo Tengah adalah 1.402 ha,
dengan rata-rata produksi jagung 28 kw/ha (BPS Kab. TTS, 2015). Hasil
wawancara dengan tokoh adat, tokoh masyarakat mengenai luas lahan garapan
tiap kepala keluarga tani seluas 0,5–1 Ha, dengan hasil panen sekitar 100–150
suku dalam keadaan hujan yang memadai, dan sekitar 80–100 suku jika curah
hujan kurang memadai. Waktu panen yang beragam dilakukan pada bulan April–
Juni setiap tahun.
Penelusuran melalui observasi dan wawancara yang dilakukan di lokasi
penelitian menunjukkan bahwa tempat penyimpanan jagung yang telah dilakukan
secara turun-temurun dalam masyarakat Mollo umumnya pada ume kbubu yang
letaknya di belakang rumah induk dengan konstruksi bulat. Ume kbubu diibaratkan
sebagai istri, sehingga dalam budaya setempat yang boleh mengambil jagung untuk
215
dimakan, dijual atau dibarter adalah istri. Jika dilakukan oleh orang lain, menurut
216
Jagung tersebut kemudian dimasukkan ke dalam loteng dengan
memprioritaskan jagung bibit di bagian pusat loteng. Hal tersebut dimaksudkan
agar jagung yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari dengan mudah diambil,
karena berada di bagian pinggir. Selebihnya bersama dengan jagung yang tidak
berkelobot dan kacang-kacangan digantung di langit-langit loteng.
217
Menurut tokoh masyarakat di Dusun II Desa Binaus, masyarakat
Mollo lebih suka menyimpan makanan seperti jagung dalam ume kbubu dengan
pertimbangan lebih aman dan tahan terhadap serangan hama gudang atau fufuk.
Tempat penyimpanan jagung selain ume kbubu adalah dapur yang oleh
masyarakat setempat disebut dapur sehat dengan konstruksi persegi empat, pintu
masuk yang lebih tinggi sehingga terasa adanya ventilasi udara yang lebih terbuka
dibanding dengan ume kbubu. Beratnya jagung setelah berada di loteng di ume
kbubu selama 6-9 bulan berkisar antara 3-3,5 kg jagung pipilan untuk setiap 1
suku (yang setara dengan 3 tali, 6 ikat, atau 36 tongkol).
Fufuk tidak hanya menyerang jagung yang disimpan di luar loteng ume
kbubu, tetapi juga menyerang jagung yang tersimpan di loteng ume kbubu.
Kerusakan bulir jagung akibat fufuk bisa terjadi karena jagung yang dimasukkan
ke dalam loteng ume kbubu belum waktunya untuk dipanen. Jagung yang belum
waktunya dipanen masih mengandung kandungan air yang cukup tinggi dan
bahkan dapat saja cukup lunak untuk diserang fufuk. Berawal dari terserangnya
sebiji jagung, maka hama akan menyerang biji jagung lain yang sehat juga. Selain
itu, fufuk juga bisa disebabkan oleh kurangnya asap dan panas di dalam ume
kbubu. Semakin banyak asap dan panas di dalam ume kbubu, jagung di loteng
akan semakin kering, sehingga tidak akan terkena fufuk. Jika asap dan panas tidak
konsisten, maka ada kemungkinan jagung akan mengalami fufuk juga. Itulah
sebabnya masyarakat selalu menyalakan api di ume kbubu sepanjang waktu.
Hasil analisis kerusakan biji jagung akibat fufuk di setiap bentuk ume kbubu
ditampilkan pada Tabel 1, 2 dan 3. Data penelitian menunjukkan terdapatnya biji yang
sudah terinfeksi/rusak di semua bentuk ume kbubu. Namun, tidak semua sampel
ditemukan hama. Ume kbubu bentuk oval sama sekali tidak ditemukan hama
218
pada semua sampel yang diambil. Sementara itu, ume kbubu parabola dan lancip
219
Tabel 3. Presentase Kerusakan Biji Jagung di Ume Kbubu Bentuk Parabola
220
Penelitian lebih jauh dan mendalam diperlukan untuk mengenai tingkat
kerusakan jagung akibat hama fufuk dengan sampel yang lebih banyak,
pada rentang waktu yang panjang sejak masa penyimpanan. Diperlukan
juga analisis pengaruh waktu panen dan tingkat kerusakan hama fufuk.
Secara praktis, Berdasarkan penelitian ini disarankan agar dilakukan
pengeringan secara maksimal sebelum jagung dimasukkan dalam loteng
ume kbubu sehingga dapat mengeliminir tingkat kerusakan akibat
kelembaban yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan. (2015). Statistik Pertanian Kabupaten Timor
Tengah Selatan 2015. Soe: Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah
Selatan
Palekahelu, D., Manongga, S.P., Karwur, F.F. (2007). Habisnya Persediaan Pangan
Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pollen, Kab. Timor Tengah Selatan.
Jurnal Kritis 19:170-188.
de Rosari, B., Meke, D.B. dan Murdolelono, B. (2003). Upaya Menekan Kerusakan
Jagung yang disimpan pada Rumah Bulat Timor dengan Teknologi Infus Asap
(TIA). Penerbit BPTP Nusa Tenggara Timur - Naibonat - Kupang.
221
222
14
Abstract
In Indonesia, mental health issues have received limited attention at the levels of policy
and practice due to limited resources. Moreover, concepts of mental health are
contextualised within broader cultural, spiritual, socio-economic and regional factors that
may alter perceptions of mental health and poverty and any relationship between them.
This study was motivated by the lack of health and mental health services in the region
and the limited understanding of local conceptions of mental health and poverty in
developing nations. To examine these issues, Indigenous Psychology was applied as a
perspective and lifeworld phenomenology as the associated research method. This paper
describes the methodological and ethical considerations which apply to this research.
Keywords: mental health, poverty, phenomenology, psychology indigenous,
lifeworld, ethical considerations
1 This is an up-dated article from the original article by Ranimpi, Yulius Yusak, Hyde, M B,
Oprescu, F I (2014), Mental Health, Poverty and Indigenous Psychology Research in East
Nusa Tenggara-Indonesia: Methodological and Ethical Considerations. Proceedings of the
3rd Hong Kong International Conference on Education, Psychology and Society, Hong
Kong, China, 29-31 December 2014, pp.330-341.
Introduction
In his 2001 address to the World Health Assembly, UN Secretary General Kofi Annan
said: “the biggest enemy of health in the developing world is poverty”. Globally, there is a
stark relationship between poverty and poor health in the least developed countries.
In their latest publication on the global burden of disease, Whiteford and others (2010)
cited that 400 million people suffer from bipolar disorder and 24 million from
schizophrenia, 140 million are affected by alcohol and drug use disorders and 80
million children have behavioural disorders (conduct disorder or attention deficit
hyperactivity disorder). These mental health and substance use disorders, in 2010,
accounted for 7.4% of the global burden of disease, which is defined as premature
death combined with years lived with disability.
major theories and their proponents all originated from the Americas and
224
Europe. These approaches presuppose social phenomena as being relatively exact
and universal. However, this approach is problematic in its application with many
indigenous or native communities in developing countries, as it may not be
relevant or applicable in health policy or understandable within the indigenous
communities themselves. As Cohen (1999) suggests, indigenous perceptions of
human behaviour not only differ from Western classifications of mental health,
but some conditions that warrant special attention in Western contexts may have
positive connotations in an indigenous society. From another perspective, the
human rights of indigenous people should be recognized because of their inherent
dignity and because they make a significant contribution to the development and
plurality of society in general (Cohen, 1999).
Therefore, from the more recent perspective of indigenous psychology, it
would appear relevant to examine the interrelationships among sociocultural
environments, poverty and mental health. In this approach, mental health can be
considered as being deeply enmeshed within economic, social, cultural, spiritual and
ethnographic contexts such as poverty, hunger and malnutrition, social change,
violence and dislocation. Kim and Berry (1993) suggest that indigenous psychology
questions the universality of existing psychological theories and attempts to discover
psychological universals within social, cultural and ecological contexts. Indigenous
psychology advocates examining knowledge, skills, and beliefs people have about
themselves and how they function in their familial, social, cultural and ecological
contexts. As psychological and social phenomena, mental health and poverty will be
the starting point in this study for building theories, concepts and methods to address
the research questions. For example, there are several studies (Buckner, Beardslee &
Bassuk, 2004; Fitzpatrick, Piko, Wright & LaGory, 2005) that have examined the
relationship between mental health and poverty or other social phenomena.
225
A. RESEARCH LOCATION AND SETTING
This research project is located in Binaus village, West Timor, East Nusa Tenggara,
Indonesia. This village is representing minimal natural and social conditions in East
Nusa Tenggara province. Based on available data from the NTT Statistical Office
(BPS NTT, 2013), the rate of poverty in this region is 20.4% (12.2% in urban areas,
22.4% in rural areas) out of a total population of 4,776,485. This figure is higher than
the national average, which is 11.7% (8.6% in urban areas, 14.7% in rural ar-eas). The
measurement of poverty BPS adopted is based on the ability of people to fulfil their
basic needs using and the average of people’s expenditure per month. This approach
was introduced by the International Labour Organization in 1976 (ILO,
1976). In accordance with this situation, other relevant indicators related to
poverty include:
School participation
Table 1.1 shows there was an increase of school participation for every age
group from 2010 to 2012. However, this was limited, especially in the age groups of
226
16-18 years and 19-24 years. This outcome is influenced by poverty, in that many
school-age children need to seek work (in their own region or outside the region).
In 2012, from 2.1 million workers, there were still 17.1 per cent of people aged
15-24 years who were eligible to be in school. There are no more recent data
available through Indonesian or associated sources.
Illiteracy rate
Years Years
Ages
2003 2011 2003 2011
227
In summary, more than 70% of the workforce in NTT has lower than the
national level of education (BPS NTT, 2012). In addition, public health data in NTT
indicate a range of poor living conditions such as a lack of nutrition for babies (9.0%,
compared to a national average of 4.9%) and a lack of nutrition among adults (19.7%
compared to a national average of 12.6%) (Ministry of Health, 2010).
While some previous study support the notion that there is a negative
correlation between levels of poverty and mental health (Hanandita & Tampubolon,
2014), more recent statistical analyses of the coincidence between poverty and mental
health have not shown a consistently inverse relationship in developing countries
(Tampubolon & Hanandita, 2014). Where a correlation has been observed is not clear
whether the relationship is having causal features. Further, such statistical studies use
conventional measures and concepts of mental health, as established in developed
nations, and are not open to examining the potential for different conceptions of
mental health among poor and remote communities.
In addition to the need to fully understand the nature of the relationship, if any,
between poverty and mental health, there is also a need to better position future
research designs within the cultural and social lives of participants in poor and remote
communities. For example, in whose conceptual paradigm is the research positioned
– the communities or that of the researchers? Most previous studies ((Lund et al,
228
analysis of existing statistical data framed within conventional Western models of
C. METHODS
229
In this research, an approach of descriptive phenomenology based on the
Sheffield School (Ashworth, 2003) will be employed. This method builds on the
Duquesne School, especially on Giorgi’s work (Langdridge, 2007). The focus is on a
description of the participant’s lifeworld, as is the case with all descriptive
phenomenology, but the analytical process also entails examination of seven structures
or ‘fractions’ considered to be essential features of the lifeworld: selfhood, sociality,
embodiment, temporality, spatiality, project and discourse (Ashworth, 2003;
Langdridge, 2007). These fractions come from the work of phenomenological and
existential philosophers, including Husserl, Heidegger, Merleau-Ponty and Sartre. In
fact, Merleau-Ponty’s major work, the Phenomenology of Perception act as the
primary inspiration for the seven fractions, and Ashworth (2003) has described each
fraction through quotations from his work (as cited in Langdridge, 2007). According
to Ashworth (2003), the seven fractions should be taken as heuristic guidelines and
not applied rigidly. The researcher cannot treat these fractions separately, they should
be seen as a larger set of perspectives that is situated in the embodiment of the human
experiences witnessed (Ashworth, 2003).
D. DATA COLLECTION
230
nature of the analytical process (Langdridge, 2007).
To collect the data, this research applied observation. In order understand the
life context of the people interviewed, observation was essential. Observation tends
231
to take place in natural settings (e.g., work places, homes, church, social gatherings
and markets), where the observer can be known as a ‘researcher’ (Willig, 2008). In
order to seek information in depth, researcher used semi-structured interview. The
construction of the interview covered topics informed by the principles of indigenous
psychology, such as the local people’s beliefs (and experiences) of conceptions and
experiences of health, mental health, and poverty. Semi-structured interviews based on
principles of indigenous psychology and phenomenology provide a significant
opportunity for the participants to explore their understanding of poverty and mental
health, based on their own daily experiences and their own perception of those
experiences. Another important source of data and discourse that needs to be utilized
in phenomenological research is official documents and reports (Langdridge, 2007),
especially from legislation, tracing its transitions through policy and procedures,
departmental reports and guideline documents from the national, provincial and local
governments. These documents provide information about both the profile and
reported status of Binaus village and its community. While the foundations of these
official documents may be significantly different from the experiences and the
perceptions of local people, the documents and their implementations have political,
legal, economic and social force and influence that needs to be incorporated into
understandings about the research.
E. DATA ANALYSIS
The first stage requires the analyst to read (and re-read several times) the individual
descriptions of participants’ experience that is the focus of the analysis, to grasp an
overall sense of the interviews. In the second stage the texts are broken down into
smaller units of meaning, systematically, in order to discern discrete meaning-units.
The third stage involves assessing the meaning units for their psychological
significance. This stage may or may not involve translation into psychological units of
meaning, depending on the study and wishes of the analyst (Langdridge, 2007).
232
Ashworth’s framework, the third stage involves the use of the seven fractions of
lifeworld. This approach as described by Ashworth is based on Merleau-Ponty’s
Phenomenology of perception (Ashworth, 2003; Langdridge, 2007). Selfhood refers to
that aspect of experience that might impact on a person’s sense of agency, presence
and voice. Here, selfhood is not something individual, but rather something
inextricably social or that which emerges among people in interaction. Sociality
concerns with the way in which a situation affects a person’s relations with others, as
all situations are intrinsically intersubjective. Embodiment relates to how the body
features in experience, including consideration of gender, sexuality, disabilities, etc.
Temporality refers to the way in which we are always living in time and how a
person’s sense of time might serve to underpin the experience being described.
Spatiality concerns with a person’s understanding of space and place. Project is that
aspect of a situation that relates to a person’s ability to carry out activities that they
have committed to and that they believe are central in their life. Finally, discourse
concerns with the set of terms (discourses) drawn on from the wider culture in order to
describe an experience. The focus is, therefore, on description of the participant’s
lifeworld, as is the case with all descriptive phenomenology, but the analytical process
also entails examination of the seven structures or ‘fractions’ considered to be
essential features of the participants’ lifeworlds.
In this study, to enhance the quality of the research and findings and to reduce the
prospect of subjectivity by the researcher, several validation strategies suggested
by Creswell (2007) were employed:
233
b. Peer review or debriefing to provide an external check of the research
processes, much in the same spirit as interrater reliability in quantitative
research. Lincoln and Guba (1985, as cited by Creswell, 2007), define
the role of the peer debriefer as a ‘devil’s advocate’, an individual who
keeps the researcher honest, asks hard questions about methods,
meanings, and interpretations, and provides the researcher with the
opportunity for catharsis and feedback by sympathetically listening to
the researcher’s feelings and interpretations. In this study, the
researcher was able to engage with two trusted research colleagues, at
his home university in Indonesia, who were familiar with the Binaus
region and its people. These colleagues could critique his
interpretations and findings throughout the study. Further, the
researcher gave a number of university and professional presentations
and submitted publications and conference papers, receiving detailed
feedback on the processes planned and implemented through the study.
c. The researcher always provided participants with written copies of his
transcripts and an oral summary of his interpretations and asked the
participants to assure him regarding the accuracy and validity of the
descriptions of interpretations and the situations involved. Stake (1995)
said that participants should “play a major role directing as well as
acting in case study” research (as cited by Creswell, 2007, p. 208-209).
This technique is considered by Lincoln and Guba (1985) to be ‘the
most critical technique for establishing credibility’ (as cited by
Creswell, 2007, p. 208).
G. ETHICAL CONSIDERATIONS
234
considered. The first step was to obtain permission from the local government or
local community leader for that area of research. One advantage for the research
was that Satya Wacana Christian University Salatiga, already has a partnership
agreement (MoU) with the local government, for this field of research, so that
could be the legal entry point for asking cultural permission to undertake this line
of enquiry. However, to directly receive cultural approval is more complex than
obtaining legal permission. Thus, it is vital for the researcher to stay in the
community for a reasonable period of time, i.e., five months in the current study.
Following cultural approval, the situation was more conducive to the data
collection process, including finding research participants.
To protect participants’ identity and to gain their personal approval and full
participation, it was essential to provide a clear and understandable informed consent
whereby participants need first to comprehend and second to agree voluntarily to the
nature of their research and their role within it (Israel & Hay, 2006). In most
circumstances, Faden and Beauchamp (1986) suggested that researchers need to
provide potential participants with information about the purpose, methods, demands,
risks, inconveniences, discomforts and possible outcomes of the research, including
whether and how results might be disseminated and researchers must invite
participants to engage actively in the exchange of information (as cited by
Israel & Hay, 2006).
235
through a voice recorder. As a legal document, the informed consent was
H. CONCLUSION
236
REFERENCES
237
Ministry of Health. (2010). Report on result of national basic health research. Jakarta:
Indonesia Ministry of Health.
Tampubolon, G., & Hanandita, W. (2014). Poverty and mental health in Indonesia.
Social Science and Medicine, 106, 20-27.
Whiteford, H.A., et al. (2010). Global burden of disease attributable to mental and sub-
stance use disorders: findings from the Global Burden of Disease Study 2010.
The Lancet, 2013, 382(9904):1575-1586.
Willig, C. (2008). Introducing qualitative research in psychology: Adventures in
Theory and Methods. Berkshire: McGraw Hill-Open University Press.
238
15
Abstrak
Benteng Binaus adalah tempat dan bangunan bersejarah yang terletak di Dusun III, Desa
Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara
Timur. Benteng Binaus menyimpan cerita tentang peperangan 3 suku di Pulau Timor
yakni; Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Tidak ada literasi atau bukti tertulis tentang
Benteng Binaus. Sejarah Benteng Binaus hanya diceritakan oleh penduduk sekitar
yang menjadi penutur berdasar cerita turun-temurun dari leluhurnya. Sangat penting
untuk menuliskan tentang sejarah Benteng Binaus, karena menjadi cikal bakal nama
Desa Binaus.
Kata kunci:Amanuban, Amanatun, Benteng Binaus, Binaus, Mollo, Mollo Tengah.
A. PENDAHULUAN
Tempat atau bangunan bersejarah selalu dimiliki oleh setiap daerah di seluruh
penjuru dunia sebagai salah satu warisan budaya. Tempat atau bangunan bersejarah
merupakan cermin akar budaya sejarah masa lampau dan warisan dari perjalanan yang
panjang hasil jerih payah penduduknya. Kebudayaan merupakan istilah kunci
untuk menyebut seluruh karya cipta yang dihasilkan oleh manusia sejak manusia ada
240
Wilayah Mollo secara adminstratif merupakan wilayah yang ada di
Kabupaten TTS dan terbagi atas 3 kecamatan, yakni; Mollo Selatan, Mollo Utara,
dan Mollo Tengah. Mollo sebagai nama suatu wilayah berasal dari kata molo yang
merupakan salah satu etnis dari suku Dawan. Suku Dawan sendiri di Pulau Timor
ada 3 etnis yakni Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Sebagian besar etnis Mollo
tinggal di daerah dataran tinggi yakni di sekitar Gunung Mutis.
241
Gambar 1. Peta Kecamatan Mollo Tengah-Kab. Timor Tengah Selatan
Binaus menjadi salah satu desa di Kecamatan Mollo Tengah yang memiliki
arti penting karena memiliki tempat yang dianggap bersejarah yakni Benteng Binaus
yang menjadi cikal bakal desa tersebut. Dari cerita beredar di masyarakat
Desa Binaus, menganggap Benteng Binaus menjadi salah satu tempat pertahanan dan
perlindungan warga dari serangan musuh. Tidak ada literatur yang menjelaskan secara
pasti dan benar tentang sejarah Benteng Binaus. Penuturan warga yang mendapat
cerita turun-temurun menjadi satu-satunya informasi yang bisa diperoleh.
Hal senada juga di ungkapkan Banamtuan (2016), Kabupaten Timor Tengah Selatan
sebagai bagian dari wilayah Indonesia dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat
yang memiliki adat istiadat berbeda. Jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan
khususnya adat istiadat, cukup banyak budayanya, tetapi tidak dikembangkan dan
tidak dipertahankan oleh generasi masa kini. Berkaitan dengan sejarah Benteng
Binaus perlu digali informasi untuk menuliskan sejarah lokal, setidaknya ada makna
di balik tempat dan bangunan bersejarah di Binaus yang bernilai sejarah. Tujuan
242
dari riset ini adalah untuk mendapatkan informasi seputar Benteng Binaus, di
Desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan – Nusa
TenggaraTimur.
B. METODE PENELITIAN
Untuk mencapai Benteng Binaus, perjalanan dimulai dari kota Soe menuju Desa
Binaus. Jarak yang ditempuh dari Soe menuju Binaus sekitar 10 km dengan melalui
jalan jurusan Soe – Kapan. Dari Desa Binaus (950 mdpl) perjalanan dilanjutkan
menuju Dusun II (668 mdpl) dengan jarak 3,99 km. Untuk menuju Dusun II
(Ujung Aspal) bisa dilakukan dengan kendaraan bermotor roda dua atau empat.
Perjalanan selanjutnya yakni dari Dusun II menuju Dusun III (754 mdpl) yang
berjarak 4.03 km. Perjalanan dari Dusun II menuju Dusun III akan melewati jalan
setapak, dan 2 kali menyeberang sungai yang berada di ketinggian 336 mdpl. Dari
Dusun III perjalanan dilanjutkan dengan mendaki bukit di sisi barat laut dusun
dengan melewati jalan setapak untuk menuju Benteng Binaus. Jarak tempuh
menuju Benteng Binaus adalah 2,13 km di ketinggian 677 mdpl. Untuk menuju
tempat perlindungan (669 mdpl) berjarak sekitar 600 m dari Benteng Binaus.
Semua akses dilakukan hanya dengan berjalan kaki di jalan setapak, seperti
terlihat pada gambar 2.
243
Gambar 2. Peta perjalanan dari Binaus menuju Benteng Binaus.
Daerah Mollo adalah daerah yang strategis dan subur sehingga sangat
baik untuk lahan pertanian. Setidaknya ada 2 sungai yang mengalir dan beberapa
anak sungai, sehingga menjadikannya sebagai daerah yang subur. Berdasarkan
hasil wawancara dengan penduduk setempat yang salah satunya adalah Soleman
Kase (Wawancara, 2013), membenarkan jika di daerah Mollo pertanian sangat
baik karena lahannya yang subur. Kemungkinan, lahan subur inilah yang menjadi
pertimbangan untuk diperebutkan oleh etnis Amanuban dan Amanatun.
Benteng Binaus berada di Dusun III (Nishala) yang secara topografi adalah
daerah berbukit. Untuk menuju Dusun III hanya bisa dilakukan dengan jalan kaki
karena, jalan aspal hanya bisa sampai di sebagian wilayah Dusun II (Tofle’u). Total
jarak tempuh dari Dusun I (Aneotop) hingga Dusun III adalah 8,02 km dengan waktu
tempuh sekitar 2–3 jam perjalanan normal. Dusun III menjadi dusun yang cukup
subur karena terletak di pinggir sungai besar, walau pada musim kemarau sungai
mengering (Gambar 3). Dusun III menjadi dusun yang terjauh di Desa
Binaus, dan pada tahun 2013 ada 18 KK. Yanto Kase adalah kepala Dusun III pada
saat itu, yang menyertai perjalanan ini dan banyak menceritakan tentang Dusun III.
244
Gambar 3. Jalan menuju Dusun III berupa sungai yang mengering saat musim
kemarau.
Menurut Yanto Kase, nama Binaus merujuk pada suatu tempat yang dulu di-
jadikan benteng pertahanan dan perlindungan yang diberi nama Benteng Binaus. Nama
Binaus inilah yang kemudian disematkan menjadi nama desa yang ada di Kecamatan
Mollo Tengah. Cikal bakal orang Binaus dari suku Mollo berasal dari Dusun III.
Pada suatu saat perang pun pecah. Soleman Kase bersama Otris Tafui begitu
bersemangat menceritakan tentang perang Binaus. Mereka berdua sambil duduk di
tatanan batu gamping yang disusun sebagai benteng pertahanan menceritakan tentang
kisah heroisme orang-orang Mollo dalam mempertahankan daerahnya. Untuk
mempertahankan dirinya, orang-orang Mollo diungsikan ke suatu daerah yang sulit
dijangkau oleh musuh yang disebut dengan benteng perlindungan.
Daerah ini menjadi perlindungan bagi kaum perempuan dan anak-anak. Tidak jauh
dari lokasi perlindungan, yakni di bukit yang sedikit lebih tinggi dibangun benteng
dari susunan batu-batu gamping. Bangunan ini kemudian diberi nama Benteng
Binaus (Gambar 4).
245
Gambar 4. Benteng Binaus yang masih menyisakan tumpukan batu-batu
yang disusun membentuk dinding.
246
Gambar 6. Benteng perlindungan, di tempat inilah para kaum lansia, wanita,
dan anak-anak tinggal.
247
Gambar 8. Soleman Kase (tengah) dan Otris Tafui (berdiri)
menjadi narasumber untuk menjelaskan sejarah Benteng Binaus
dan mereka berpose tepat di puncak Benteng Binaus.
Tidak ada yang tahu persis kapan perang yang yang terjadi di Benteng Binaus
ini. Soleman Kase (Gambar 8) hanya mampu mengingat musuhnya saja yakni orang
Amanuban dan Amanatun, itu pun mendapat warisan cerita dari orang tuanya. Yang
masih terlihat jelas adalah tumpukan-tumpukan batu di Benteng Binaus. Batu-batu ini
disusun menjadi dinding dengan beberapa lobang untuk mengintip. Para kaum lelaki
akan berjaga secara bergantian untuk mengawasi musuh yang datang.
Tidak ada literasi atau bukti tertulis tentang sejarah Benteng Binaus. Para
penutur yang saat ini menceritakan hanya mendapat cerita turun-temurun dari le-
luhurnya. Yanto Kase sebagai kepala Dusun III saat itu juga kurang tahu persis
tentang ceritanya tetapi dia menunjukan orang-orang yang bisa menjadi penuturnya.
Dalam akhir perjalanan dari Benteng Binaus, Yanto Kase menunjukan sebuah makam
tua yang terletak di tepi sungai. Dia mengatakan jika makam ini adalah kuburan yang
berisikan jasad leluhur mereka yang tewas dalam peperangan, begitu juga dengan
musuhnya. Tidak diketahui secara pasti secara spesifik siapa saja yang dimakamkan,
tetapi sampai saat itu makam masih diurus dengan baik oleh warga. Sebagai penanda
yakni jika makam itu ada nisan artinya yang dikuburkan adalah orang Mollo, jika
hanya tumpukan dari batu saja itu adalah makam musuh (Gambar 9).
248
Gambar 9. Yanto Kase sedang menunjukan makam musuh yang ditandai dengan tum-
pukan batu, sedangkan makam orang Mollo khusus dibuat nisan yang utuh.
D. KESIMPULAN
Benteng Binaus terletak di Dusun III (Nishala) yang merupakan tempat dan bangunan
bersejarah tentang peperangan antara etnis Mollo dengan Amanuban dan
Amanatun. Tidak ada literasi atau bukti tertulis berkaitan dengan sejarah Benteng
Binaus. Informasi tentang Benteng Binaus hanya berasal dari penduduk sekitar
yang menjadi penutur berdasarkan cerita turun-temurun dari leluhur mereka.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan banyak terimkasih kepada Yanto Kase selaku kepala Dusun III
yang menemani perjalanan menuju Benteng Binaus dan memberikan catatan tentang
Benteng Binaus. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Soleman Kase dan
Otris Tafui yang sudah menjadi narasumber.
249
DAFTAR PUSTAKA
Ainaf, AP. (2016). Sejarah Dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS).
Banamtuan, M.F. (2016). Upaya Pelestarian Natoni (Tuturanadat) Dalam Budaya Ti-
mor Dawan (Atoni Meto). Paradigma Jurnal Kajian Budaya. Vol.6, No.1
(2106): 74 - 90
Badan Pusat Statistik TTS. (2014). Timor Tengah Selatan dalam Angka 2014. Soe:
BPS Timor Tengah Selatan.
Marihandono, D. (2007). Perubahan peran dan fungsi benteng dalam tata ruang kota.
Seminar Kebudayaan Maritim. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Koentjaraningrat. (2002). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta
250
Indeks
A D
Amanatun 216, 239, 240, 241, 244, 248, 249 Desa Binaus 12, 13, 14, 17, 18, 19, 22, 25, 27,
Amanuban 138, 149, 159, 165, 166, 216, 239, 28, 31, 33, 36, 37, 38, 39, 43, 44, 45, 46,
240, 241, 244, 248, 249 48, 49, 50, 51, 52, 77, 79, 87, 90, 97, 100,
101, 102, 104, 107, 109, 110, 112, 114,
Aneotob 37, 38
119, 122, 123, 124, 125, 128, 132, 140,
Angka Kematian Bayi 6, 120 141, 143, 153, 156, 158, 159, 161, 162,
Angka Kematian Ibu 6, 56, 98, 105, 107, 108, 163, 170, 172, 175, 176, 178, 179, 180,
117, 120, 154 182, 183, 185, 186, 213, 214, 216, 218,
Antropometri 28, 33, 36, 37, 67, 68, 73, 79, 223, 239, 240, 241, 242, 243, 244
145 Desa Kualeu 12, 143
ASI 13, 35, 38, 44, 47, 57, 61, 67, 68, 69, Desa Nekemunifeto 12, 143
72, 73, 99, 119, 120, 121, 122, 126, Desa Oelbubuk 12, 37, 39, 42, 43, 140, 141,
132, 141, 145 143
Atasat 131, 133 Desa Oelekam 12, 140, 141, 142, 143
Atoin Amaf 18, 32 Desa Pika 12, 143
Atoni Amaf 131
Atoni Meto 17, 32, 116, 119, 120, 122, 125, F
134, 137, 139, 149, 250 Fakultas Ilmu Kesehatan 17, 33, 55, 77, 97,
107, 119, 137, 239
B
Fufuk 211, 215, 218, 221
Balita 6, 12, 13, 15, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, G
51, 52, 53, 74, 77, 78, 79, 120, 137,
Gizi 33, 35, 43, 44, 47, 49, 50, 64, 70, 74,
153, 154, 155, 158, 159, 161, 163, 166
77, 86, 87, 101, 102, 126, 132, 137,
BB 68, 79
138, 139, 140, 143, 146, 147, 148,
BBLR 73 153, 160, 163
BB/TB 79, 84, 92 Gizi buruk 6, 13, 33, 35, 37, 40, 45, 47, 71, 73,
BB/U 40, 42, 73, 79, 84, 91, 120, 137, 138 84, 91, 155
Benteng Binaus 239, 240, 242, 243, 244, 245, Gizi kurang 33, 34, 35, 36, 39, 43, 45, 47, 77,
246, 248, 249 78, 79, 82, 88, 89, 91, 138
C I
Cadre/Cadres 175, 176, 181, 182 Ibu hamil 6, 12, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104,
112, 124, 130, 132, 139, 141, 142, 153,
155, 156, 159, 160, 161, 163
Indeks Masa Tubuh 71, 74, 79
251
indigenous psychology 223, 225, 229, mental health 223, 225, 228, 229, 232, 234,
236
232 ISPA 57
Mental health 224
J Millennium Development Goals 98, 169
Jagung bose 44, 45, 49, 50, 51, 64, 67, 69, 102, Molllo Tengah 11, 12, 13, 17, 22, 33, 36, 57,
104, 119, 120, 122, 126, 129, 132, 60, 61, 63, 67, 68, 77, 79, 97, 100, 119,
135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 122, 124, 125, 137, 140, 141, 143, 158,
143, 144, 145, 146, 147, 148 160, 172, 215, 239, 240, 241, 242, 243
Jagung titi 47 Mollo Selatan 125, 241
Mollo Utara 241
K
N
Kapasitas Vital Paru 55, 56, 60, 61, 63,
64 Kartu Menuju Sehat 79, 82, 124, 161 Neno Bo’ha 15, 49, 50, 67, 68, 95, 119,
Kecerdasan bahasa 80 134, 137, 138, 139, 140, 142, 145,
146, 147, 148
Kecerdasan interpersonal 78, 81, 82, 89,
Neonatal 67
90 kecerdasan kognitif, 78
Nibulelo 19
Kecerdasan linguistik 88
Nifas 49, 63, 69, 107, 111, 113, 126, 127, 135,
Kecerdasan memori jangka panjang 80, 161, 163
87 Kecerdasan memori jangka pendek 79, Nishala 37, 38, 249
86 Kerajaan Oenam 240 NTT 223, 226, 228
KMS 84, 91, 160 Nusa Tenggara Barat 34
Kolostrum 132, 133 Nusa Tenggara Timu 227
Kumbang bubuk 212 Nusa Tenggara Timur 34, 35, 36, 46, 49, 50,
Kupang 170 56, 57, 58, 63, 77, 90, 91, 97, 98, 99, 104,
107, 108, 119, 120, 121, 122, 126, 137,
L 138, 141, 170, 239, 240, 241, 243
LILA 68, 71, 159
O
LK 69
Long term memory 80 Op mauntaif 19
Lopo 17, 18, 32 P
M Participatory action research 123, 137,
Malnutrisi 78 maramus- 140 Pen kikis 215
kwashiorkor 33 Pen muti 211, 214, 215, 217, 220
marasmus 33 Perineum 126
Maternal 6, 95, 108, 119, 126, 127 Perkembangan Kognitif 15
Mau ana 120, 128, 133, 135 PLAN 179
Mean Length of Utterance 81 Pollen 45, 46
252
Postnatal 97, 99, 100, 102 SoE 3, 11, 38, 110, 111, 130, 175, 176, 179,
Postpartum 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 182, 241, 243
67, 69, 70, 71, 74, 107, 108, 109, 110, Status gizi 15, 33, 36, 37, 39, 40, 42, 43, 45, 50,
111, 112, 113, 114, 115, 120, 122, 51, 55, 56, 61, 63, 67, 68, 71, 72, 73, 74,
126, 129, 132, 133, 135, 137, 138, 141 77, 82, 83, 84, 88, 91, 92, 101, 132, 138
Posyandu 36, 37, 38, 39, 40, 42, 44, 51, 82, stunted 33, 35, 45, 49, 73, 78
109, 119, 123, 125, 130, 134, 141, stunting 34, 35, 44, 47, 48, 49, 50, 51
144, 153, 154, 155, 156, 157, 158,
Suku 31, 216
159, 161, 162, 163, 175, 178, 180, 181
poverty 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, T
232, 234, 236
Pralakteal 73 Tatobi 49, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 103, 107,
108, 111, 112, 113, 115, 116, 117
prenatal 99, 100,
TB 69, 79
102 Prenatal 97
TB/U 40, 42, 45, 51, 73, 74, 79, 84, 91,
Pulau Timor 33, 49, 58, 67, 99, 107, 108, 111,
137, 138
120, 126, 137, 139, 141, 211
Timor 223
Puskesmas 79, 85, 104, 110, 125, 141, 144,
155, 160, 161, 175, 178, 180 Timor Tengah Selatan 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 33,
35, 36, 45, 46, 50, 52, 56, 57, 58, 67,
R 68, 77, 79, 97, 98, 99, 100, 119, 120,
122, 124, 125, 137, 138, 141, 148, 156,
Revolusi KIA 98, 102, 104, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 179, 185,
126 Riskesdas 34, 35 187, 215, 239, 240, 241, 242, 243
Rumah bulat 17, 18, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 28, Tofle’u 37, 38, 244
29, 30, 31, 49, 55, 56, 60, 61, 62, 63,
64, 112, 120, 121, 122, 126, 127, U
128, 129, 133, 134, 135, 139, 220 UBCHEA 52
Rumah kotak 20, 32, 112 Ume Kbubu 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 49, 58, 111,
S 112, 119, 139, 211, 212, 213, 214, 215,
Sakteo 157, 163 216, 217, 218, 219, 220, 221
Sanbala 157, 163 Underweight 34, 35, 73
Sanggar Suara Perempuan
W
179 schizophrenia 224
Sectio cesarean 111 wasted 73 wasting
Se’i 49, 57, 58, 59, 60, 62, 64, 107, 111, 112, 34, 35, 78
117 working memory 79
Semi-arid 50
Z
Short-term memory 79
Sindroma metabolik 35 Z-Score 84, 91
Sitophillus zeamays 212 Zuid Midden Timor 241
253