Anda di halaman 1dari 27

1.

K3 dalam keperawatan

Mengingat sangat pentingnya pelaksanaan K3 dalam memelihara kelancaran proses


pelayanan, maka pengelola dan Sumber Daya Manusia (SDM) rumah sakit dituntut untuk
melaksanakan upaya K3. K3 adalah suatu upaya yang terintegrasi untuk menciptakan
lingkungan kerja atau tempat kerja yang sehat, aman, nyaman dan produktif baik bagi seluruh
pekerja, pasien, pengunjung/pengantar pasien maupun bagi masyarakat serta lingkungan
sekitar rumah sakit. Agar K3 dapat dipahami secara utuh, ada 3 komponen yang saling
berinteraksi yang sekaligus menjadi prinsip dasar K3 yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan
lingkungan kerja.
Tujuan : Adapun tujuan dan pentingnya K3 menurut Rivai (2005) adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Lingkungan Kerja yang Aman dan Sehat Jika perusahaan dapat menurunkan tingkat
dan beratnya kecelakaan kerja, penyakit, dan hal-hal yang berkaitan dengan stres, serta
mampu meningkatkan kualitas kehidupan kerja para pekerjanya, maka perusahaan akan
semakin efektif. Manfaat lingkungan kerja yang aman dan sehat adalah agar setiap karyawan
mendapatkan jaminan K3 baik secara fisik, sosial, dan psikologis yang dapat memberikan rasa
aman dan terlindungi dalam bekerja serta terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh lingkungan atau kondisi kerja, serta meningkatkan kegairahan, keserasian dan partisipasi
kerja.

2. Kerugian Lingkungan Kerja yang Tidak Aman dan Tidak Sehat Jumlah biaya yang sangat
besar sering muncul karena ada kerugian-kerugian akibat kematian dan kecelakaan di tempat
kerja dan kerugian akibat menderita penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan, serta yang
berkaitan dengan kondisi-kondisi psikologis.

menurut Mangkunegara (2005), tujuan keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut :
a.Setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial
dan psikologis.
b.Setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya, seefisien mungkin.
c.Semua produksi dipelihara keamanannya.
d.Adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e.Meningkatkan kegairahan, keserasian kerja dan partisipasi kerja.
f.Terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau
kondisi kerja.

Fungsi Dan Tugas Perawat Dalam K3


Fungsi dan tugas perawat dalam usaha keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah
sebagai berikut (Effendy, Nasrul. 1998):
1. Fungsi perawat
a. Mengkaji masalah kesehatan
b. Menyusun rencana asuhan keperawatan pekerja
c. Melaksanakan pelayanan kesehatan dan keperawatan terhadap pekerja
d. Melakukan penilaian terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan
2. Tugas perawat
a. Mengawasi lingkungan pekerja
b. Memelihara fasilitas kesehatan perusahaan
c. Membantu dokter dalam pemeriksaan kesehatan pekerja
d. Membantu melakukan penilaian terhadap keadaan kesehatan pekerja
e. Merencanakan dan melaksanakan kunjungan rumah dan perawatan di rumah kepada
pekerja dan keluarga yang mempunyai masalah kesehatan
f. Ikut berperan dalam penyelenggaraan pendidikan K3 terhadap pekerja
g. Ikut berperan dalam usaha keselamatan kerja
h. Memberikan pendidikan kesehatan mengenai KB terhadap pekerja dan keluarganya
i. Membantu usaha penyelidikan kesehatan pekerja
j. Mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan K3.

Manfaat : Menurut Modjo (2007), manfaat penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja
di perusahaan antara lain adalah sebagai berikut :

1.Pengurangan Absentisme Perusahaan yang melaksanakan program keselamatan dan


kesehatan kerja secara serius, akan dapat menekan angka resiko kecelakaan dan penyakit
kerja dalam tempat kerja, sehingga karyawan yang tidak masuk karena alasan cidera dan
sakit akibat kerja pun juga semakin berkurang.
2.Pengurangan Biaya Klaim Kesehatan Karyawan yang bekerja pada perusahaan yang benar-
benar memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja karyawannya, kemungkinan
mengalami cidera dan sakit akibat kerja adalah kecil, sehingga makin kecil pula
kemungkinan klaim pengobatan/kesehatan dari karyawan.
3.Pengurangan Turnover Pekerja Perusahaan yang menerapkan program K3 mengirim pesan
yang jelas pada pekerja bahwa manajemen menghargai dan memperhatikan kesejahteraan
mereka, sehingga menyebabkan para pekerja menjadi lebih bahagia dan tidak ingin keluar
dari pekerjaannya.
4.Peningkatan Produktivitas Program K3 yang dijalankan dengan baik oleh perusahaan akan
berpengaruh positif terhadap produktivitas kerja.

2. Ruang lingkup K3 :
a. Kesehatan dan keselamatan kerja diterapkan disemua tempat kerja yang didalamnya
melibatkan aspek manusia sebagai tenaga kerja, bahaya akibat kerja dan usaha yang
dikerjakan
b. Aspek perlindungan meliputi :
 tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian
 peralatan dan bahan yang dipergunakan
 factor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun sosial
 proses produksi
 karakteristik dan sifat pekerjaan
 teknologi dan metodologi kerja
3. Kebijakan K3

Kebijakan merupakan persyaratan utama dalam semua system manajemen seperti


Manajemen Lingkungan, Manajemen mutu dan lainnya. Kebijakan merupakan roh dari
semua system, yang mampu memberikan spirit dan daya gerak untuk keberhasilan suatu
usaha.

Kebijakan adalah arah yang ditentukan untuk dipatuhi dalam proses kerja dan organisasi
perusahaan. Kebijakan yang ditetapkan manajemen menuntut partisipasi dan kerja sama
semua pihak. Setiap peserta diberi arahan dan pemikiran yang akan membantunya mencapai
sasaran dan hasil. Setiap kebijakan mengandung sasaran jangka panjang dan ketentuan yang
harus dipatuhi setiap kategori fungsionaris perusahaan (Direksi, Manajer, Penyelia, dan
Mandor).

Kebijakan K3 (OH&S Policy) merupakan perwujudan dari komitmen pucuk pimpinan yang
memuat visi dan tujuan organisasi, komitmen dan tekad untuk melaksanakan keselamatan
dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja.

Oleh karena itu, kebijakan K3 sangat penting dan menjadi landasan utama yang diharapkan
mampu menggerakkan semua partikel yang ada dalam organisasi sehingga program K3 yang
diinginkan dapat berhasil dengan baik.

Namun demikian, suatu kebijakan hendaknya jangan hanya bagus dan indah diatas kertas
tetapi tidak ada implementasi atau tindak lanjutnya sehingga akan sia-sia belaka. Tanpa
adanya kebijakan yang dilandasi dengan komitemen yang kuat, apapun yang direncanakan
tidak akan berhasil dengan baik.

Frank Bird dalam bukunya “Commitment”, menyebutkan bahwa komitmen adalah niat atau
tekad untuk melaksanakan sesuatu yang menjadi daya dorong yang sangat kuat untuk
mencapai tujuan. Tekad dan keinginan tersebut, akan tercermin dalam sikap dan
tindakannya tentang K3. Tanpa komitmen dari semua unsure dalam organisasi, khususnya
para pimpinan, pelaksanaan K3 tidak akan berjalan dengan baik. Komitmen bukan sekedar
diucapkan atau dituangkan dalam tulisan dan instruksi, tetapi harus diwujudkan secara nyata
dalam tindakan dan sikap sehari-hari.

Berbagai bentuk komitmen yang dapat diwujudkan oleh pimpinan dan manajemen dalam K3
antara lain:

 Dengan memenuhi semua ketentuan K3 yang berlaku dalam organisasi, seperti


penggunaan alat keselamatan yang diwajibkan dan persyaratkan K3 lainnya.
 Memasukkan K3 dalam setiap kesempatan, rapat manajemen dan pertemuan lainnya.
 Secara berkala dan konsisten mengkomunikasikan keinginan dan harapannya
mengenai K3 kepada semua pemangku kepentingan.
 Melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan K3 seperti pertemuan
keselamatan, kampanye keselamatan dan kesehatan kerja, petemuan audit K3.
 Memberikan dukungan nyata dalam bentuk sumberdaya yang diperlukan untuk
terlaksananya K3 dalam organisasi.
 Memberikan keteladanan K3 yang baik dengan menjadikan K3 sebagai bagian
integral dalam setiap kebijakan organisasi.

Kebijakan K3 dibuat melalui proses konsultasi antara pengurus dan wakil tenaga kerja yang
kemudian harus dijelaskan dan disebarluaskan kepada semua tenaga kerja, pemasok dan
pelanggan. Kebijakan K3 bersifat dinamik dan selalu ditinjau ulang dalam rangka peningkatan
kinerja K3.

Kebijakan K3 harus tertulis dan formal karena:

1. Kebijakan K3 sebagai pedoman kerja sehari-hari.


2. Mempermudah pelaksanaan dan pengawasannya.
3. Mempermudah pekerja untuk mengikuti ketentuan dan peraturan K3 (hak dan
kewajiban).
4. Kebijakan K3 menjadi pedoman dalam menyusun peraturan K3 perusahaan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penyusunan (perumusan), penetapan,


dan penyebarluasan kebijakan K3 yaitu:

1. Singkat, mudah dimengerti, disetujui oleh manajemen tertinggi dan diketahui oleh
semua tenaga kerja dalam organisasi.
2. Pernyataan kebijakan harus diformulasikan dan dirancang dengan jelas agar sesuai
dengan organisasi.
3. Tertulis dan mencakup rencana organisasi untuk memastikan adanya K3.
4. Mengalokasikan berbagai tanggungjawab terhadap K3 dalam perusahaan.
5. Memberikan informasi kebijakan untuk diketahui tiap tenaga kerja, supervisor, dan
manajer.
6. Menetapkan bagaimana cara mengatur pelayanan kesehatan kerja.
7. Menetapkan tindakan-tindakan yang diambil untuk surveilans kesehatan tenaga kerja
dan lingkungan kerja.
8. Kebijakan dapat dinyatakan dalam bentuk pernyataan misi dan visi organisasi sebagai
suatu dokumen yang mencerminkan nilai-nilai keselamatan dan kesehatan kerja
perusahaan.
9. Kebijakan tersebut juga harus menegaskan tugas dan tanggungjawab pimpinan
departemen atau tim K3 sebagai penggerak utama didalam proses menterjemahkan
tujuan-tujuan kebijakan K3.
10. Dicetak ke dalam bahasa atau media yang mudah dimengerti oleh tenaga kerja. Bila
kemampuan baca rendah, ddapat digunakan bentuk komunikasi non verbal.
11. Dokumen ini harus diedarkan sehingga setiap tenaga kerja mempunyai kesempatan
mengenalnya.
12. Kebijakan ini sebaiknya dipajang di tempat kerja sebagai pengingat untuk semua orang.
13. Kebijakan ini juga dikirimkan ke semua kantor manajemen agar para manajer ingat
akan kewajiban mereka terhadap aspek-aspek penting pelaksanaan perusahaan.

Kriteria Kebijakan K3

Suatu kebijakan K3 yang baik disyaratkan memenuhi criteria sebagai berikut:

1. Sesuai dengan sifat dan skala resiko K3 organisasi


Kebijakan K3 adalah perwujudan dari visi dan misi suatu organisasi, sehingga
harus disesuaikan dengan sifat dan skala organisasi. Kebijakan K3 tentu berbeda
antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya, tergantung sifat dan skala
resiko K3 yang dihadapi, serta strategi bisnis organisasi.

2. Mencakup komitmen untuk peningkatan berkelanjutan


Dalam kebijakan K3 harus tersirat adanya komitmen untuk peningkatan
berkelanjutan. Aspek K3 tidak statis, karena berkembang sejalan dengan
teknologi, operasi dan proses produksi. Karena itu, kinerja K3 harus terus
menerus ditingkatkan selama organisasi beroperasi. Komitmen untuk
peningkatan berkelanjutan akan memberikan dorongan bagi semua unsure dalam
organisasi untuk terus-menerus meningkatkan K3 dalam organisasi.
3. Termasuk adanya komitmen untuk sekurangnya memenuhi perundangan K3 yang
berlaku dan persyaratan lainnya yang diacu organisasi
Hal ini berarti bahwa manajemen akan mendukung pemenuhan semua
persyaratan dan norma K3, baik yang disyaratkan dalam perundangan maupun
petunjuk praktis atau standar yang berlaku bagi aktivitasnya.

4. Didokumentasikan, diimplementasikan dan dipelihara


Kebijakan K3 harus didokumentasikan artinya bukan hanya dalam bentuk
ungkapan lisan atau persyaratan manajemen, tetapi dibuat tertulis sehingga dapat
diketahui dan dibaca oleh semua pihak berkepentingan. Disamping itu kebijakan
tersebut harus diimplementasikan, bukan sekedar pajangan atau bagian dari
manual K3.
Salah satu bentuk implementasinya adalah dengan menggunakan kebijakan K3
sebagai acuan dalam setiap kebijakan organisasi, pengembangan strategi bisnis
dan rencana kerja organisasi.
Kebijakan K3 juga harus dipelihara, artinya selalu disempurnakan sesuai
perkembangan, tuntutan, dan kemajuan organisasi.

5. Dikomunikasikan
Dikomunikasikan kepada seluruh pekerja dengan maksud agar pekerja
memahami maksud dan tujuan kebijakan K3, kewajiban serta peran semua pihak
dalam K3. Komunikasi kebijakan K3 dapat dilakukan melalui berbagai cara atau
media, misalnya ditempatkan di lokasi-lokasi kerja, dimasukkan dalam buku saku
K3, website organisasi atau bahan pembinaan dan pelatihan.

6. Tersedia bagi pihak lain yang terkait


Kebijakan K3 juga harus diketahui oleh pihak lain yang terkait dengan bisnis atau
aktivitas organisasi seperti konsumen, pemasok, instansi pemerintah, mitra bisnis,
pemodal, atau masyrakat sekitar. Dengan mengetahui kebijakan K3 tersebut,
mereka dapat mengantisipasi, mendukung atau mengapresiasi K3 organisasi.
Kebijakan K3 harus dapat diakses misalnya melalui situs organisasi.
7. Ditinjau ulang secara berkala
Ditinjau ulang secara berkala untuk memastikan bahwa masih relevan dan sesuai
bagi organisasi. Kebijakan K3 bersifat dinamis dan harus selalu disesuaikan
dengan kondisi baik internal maupun eksternal organisasi. Karena itu harus
ditinjau secara berkala apakah masih relevan dengan kondisi organisasi.

Proses Pengembangan Kebijakan K3

Banyak organisasi yang memiliki kebijakan K3 yang indah dan tertulis rapi dalam bingkai
kaca. Namun kebijakan ini sering kali hanya berupa slogan kosong yang tidak tercermin
dalam pelaksanaan dan kinerja K3 organisasi. Salah satu factor penyebab antara lain karena
pengembangan kebijakan K3 tidak melalui proses yang baik.

Pengembangan kebijakan K3 harus mempertimbangkan factor berikut:

 Kebijakan dan objektif organisasi secara korporat


Kebijakan K3 harus sejalan atau mendukung kebijakan umum atau strategi bisnis
yang ditetapkan. Sering kebijakan tidak bisa diimplementasikan karena tidak
sejalan atau tidak mempertimbangkan kebijakan organisasi secara menyeluruh,
misalnya rencana pengembangan produk, jasa, teknologi dan bisnis.

 Resiko dan potensi bahaya yang ada dalam organisasi


Kebijakan K3 pada dasarnya adalah untuk merespons resiko K3 yang ada dalm
organisasi. Karena itu dalam mengembangkan kebijakan K3 harus
mempertimbangkan factor resiko.

 Peraturan dan standard K3 yang berlaku


Kebijakan K3 didasarkan kepada berbagai standar dan ketentuan perundangan
dan standar lain yang terkait dengan kegiatan bisnis organisasi. Kebijakan K3
harus dapat menjawab kebutuhan untuk memenuhi persyaratan perundangan yang
berlaku.
 Kinerja K3
Kebijakan K3 disusun dengan mempertimbangkan kinerja K3 sebelumnya,
sehingga kebijakan K3 dapat menjadi pedoman untuk peningkatan berkelanjutan.
Kinerja K3 secara berkala harus dievaluasi melalui kajian manajemen. Dengan
demikian, kebijakan K3 juga bersifat dinamis dan harus disempurnakan secara
berkala.

 Persyaratan pihak luar


Persyaratan yang diminta oleh pihak lain yang terkait dengan bisnis organisasi,
misalnya mitra usaha, konsumen, pemerintah atau pihak lainnya. Dewasa ini,
banyak organisasi yang mensyaratkan mitra kerjanya (kontraktor atau pemasok)
untuk memiliki system manajemen K3, termasuk adanya kebijakan K3 yang dapat
mendukung objektif K3 mereka.

 Peningkatan berkelanjutan
Kebijakan K3 juga harus dapat memberikan ruang untuk peningkatan
berkelanjutan. Masalah K3 akan selalu timbul selama organisasi masih hidup atau
beroperasi. Karena itu, upaya K3 harus terus-menerus ditingkatkan. Kebijakan K3
harus mempertimbangkan hal tersebut.

 Ketersediaan sumber daya


Kebijakan K3 sering tidak dapat direalisir karena sumber daya organisasi tidak
mendukung. Sebaliknya kebijakan K3 sering dibuat tanpa mempertimbangkan
kemampuan organisasi serta sumber daya yang tersedia, sehingga tidak mampu
direalisir.

 Peran pekerja
Adanya peran pekerja dalam pengembangan dan penyusunan kebijakan, sehingga
akan memperoleh dukungan dan partisipasi aktif dari semua pihak.
Pengembangan K3 dapat dilakuka misalnya melaui komite K3, P2K3, atau
perwakilan pekerja lainnya sehingga mereka merasa memiliki dan turut
bertanggung jawab untuk merealisirnya.

 Partisipasi semua pihak


Kebijakan K3 tidak akan berrhasil jika tidak didukung oleh semua pihak dalam
organisasi. Banyak terjadi kebijakan K3 yang telah ditandatangani oleh
manajemen puncak hanya dianggap sebagai dokumen belaka, tidak memiliki arti
dalam kegiatan sehari-hari. Karena itu diperlukan peran semua pihak termasuk
pihak terkait dengan bisnis organisasi seperti kontraktor, atau pihak eksternal
lainnya.

Berdasarkan masukan yang diterima dan dihimpun dari semua pihak, disusun kebijakan.
Kebijakan ini harus ditandatangani oleh pimpinan tertinggi dalam organisasi atau unit
kegiatan. Selanjutnya kebijakan tersebut dikomunikasikan kepada semua pihak, misalnya
dalam bentuk brosur, intranet, buletin, dan pedoman K3.

Kebijakan K3 harus mudah dimengerti, dipahami dan didokumentasikan serta


didistribusikan kepada semua pihak terkait dalam organisasi.

Organisasi

Dalam perencanaan maupun pelaksanaan kebijakan K3, banyak pihak yang terkait yang
mana disusun dalam satu kerangka organisasi. Susunan organisasi perusahaan yang
mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja mencerminkan keterlibatan semua pihak,
baik staf maupun lini. Fungsionaris lini bertanggungjawab akan pemeliharaan kondisi kerja
yang aman (safe working conditions) sedangkan fungsionaris staf wajib melibatkan diri
dalam pencegahan kecelakaan (accident prevention).
Kandungan Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Berikut ini tertulis contoh dari kandungan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja

A. Pendahuluan
1. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja menggarisbawahi hubungan kerja
manajemen dan karyawan dalam rangka pelaksanaan program Kesehatan dan
Keselamatan Kerja yang efektif.
2. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan komponen dasar kebijakan
manajemen yang akan member arah bagi setiap pertimbangan yang menyangkut aspek
operasional dari mutu, volume, hubungan kerja dan aspek lainnya dari kebijakan
manajemen.
3. Setiap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja dilaksanakan oleh Direkturnya sebagai
pengemban fungsi Direktur Utama. Tugas utamanya adalah menggalakkan kesadaran
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di kalangan fungsionaris lini dengan mengadakan
bahan-bahan promosi, perencanaan program, motivasi, rapat-rapat, inspeksi, dan
sebagainya, untuk Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

B. Maksud dan Tujuan


Perusahaan harus menjunjung tinggi keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan karyawan.
Bekerja dengan selamat lebih diutamakan dari produksi. Berdasarkan hal ini, dan sejalan
dengan praktek manajemen modern, maka hal berikut harus dijadikan sasaran setiap
kegiatan:
1. Pemeliharaan kondisi kerja yang aman dan sehat.
2. Taat asas dengan setiap prosedur operasional yang dirancang untuk mencegah luka
atau penyakit.
3. Mematuhi Undang-Undang Pokok Keselamatan dan Kesehatan Kerja No. 1/1970 dan
seluruh peraturan yang berrkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
C. Tanggung jawab Manajerial
1. Direktur Utama bertanggungjawab atas pembinaan program pencegahan kecelakaan
dan bahaya kebakaran.
2. Direktur Pabrik bertanggungjawab atas:
a) Pemeliharaan kondisi kerja yang aman di seluruh ruang lingkup
wewenangnya.
b) Pimpinan pasukan pemadam kebakaran.
3. Manajer dan Penyelia bertanggungjawab atas pencegahan kecelakaan dalam bagian
mereka masing-masing.
a) Mereka bertanggungjawab atas pemeliharaan kondisi kerja yang aman dan
keselamatan bawahan mereka.
b) Pengurusan tempat kerja yang baik dan serasi.
c) Setiap Penyelia bertanggungjawab melatih bawahannya dengan baik. Bahaya
kerja dan prosedur yang selamat wajib diterangkan kepada karyawan baru.
d) Setiap Penyelia bertanggungjawab atas pengadaan perlengkapan keselamatan
kerja yang sesuai dengan ketentuan.
e) Setiap Pengawas wajib menggalakkan saran-saran Keselamatan dan
Kesehatan dari bawahannya, kemudian mempertimbangkannya.
f) Para Pengawas wajib menjadwalkan rapat Keselamatan dan Kesehatan Kerja
berkala untuk meningkatkan cara bekerja yang selamat.
4. Tanggungjawab Mandor :
a) Mencegah kecelakaan di kalangan bawahan.
b) Melaksanakan seluruh peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja baik
khusus (departmental) maupun umum (perusahaan).
c) Melaporkan setiap kecelakaan dan melaksanakan tugas PPPK dimana perlu.
d) Melakukan inspeksi atas setiap kejadian kecelakaan atau hampir kecelakaan
dan menyusun laporan.
e) Setiap pemuka harus terlatih dalam PPPK.

5. Tanggungjawab Direktur Keselamatan dan Kesehatan Kerja


a) Direktur Keselamatn dan Kesehatan Kerja bertindak selalu pengemban
kebijakannya atas nama Direktur Utama.
b) Tanggungjawab utama Direktur Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah
memberikan nasehat, penyuluhan, dan yang sejenis dengan itu kepada para
penyelia dalam rangka pencegahan kecelakaan.
c) Instruksi mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi karyawan baru.
d) Mengawasi penggunaan perlengkapannya (sepatu, helm, dan sebagainya).
e) Merencanakan rapat-rapat K3.
f) Mengadakan bahan untuk rapat atau pendidikan K3.
g) Menyiapkan formulir yang berkaitan dengan K3.
h) Mengikuti perkembangan hasil penyelidikan K3.
i) Menempatkan karyawan yang cacat akibat kecelakaan.
j) Menyusun laporan dan surat-menyurat tentang K3.
k) Mengatur secara berkala inspeksi perusahaan dan pemeriksaan kesehatan
karyawan.
l) Merencanakan rapat-rapat dan pendidikan K3 bagi seluruh karyawan.
TUGAS TAMBAHAN:
a. Mengorganisasi dan memimpin Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (P2K3).
b. Menyusun (untuk disetujui Direktur Utama) program kerja tahunan P2K3.
c. Mempersiapkan statistic kecelakaan dan menyusun anjungan (rekomendasi)
pencegahan kecelakaan.
d. Senantiasa membenahi diri dan para anggota P2K3 dengan teknik mutakhir
pencegahan kecelakaan, peralatan dan perlengkapan K3 dan program-
program yang berkaitan dengan peningkatan K3.
e. Mengkoordinasi usaha bersama manajemen dan karyawan tentang K3.
f. Bekerja sama dengan Kepala Regu Pemadam Kebakaran dan Dokter
Perusahaan dalam rangka K3, khususnya dalam penanggulangan penyakit
akibat kerja dan bahaya kebakaran.
g. Mengatur program latihan dan pendidikan bagi anggota P2K3, Pengawas
Pemuka, dan Karyawan.

6. Tanggungjawab Karyawan
a) Seluruh karyawan bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan kearah
pencegahan kecelakaan.
b) Tidak satu kerja pun yang dapat dinyatakan rampung jika karyawan tidak
memelihara keselamatan dirinya dan teman-teman sejawatnya.
c) Seluruh karyawan harus melaporkan kepada dan meminta pertolongan
pertama dari mandor mereka untuk setiap luka betapa pun kecilnya.
d) Kondisi, peralatan, atau perbuatan yang kurang selamat harus segera
dilaporkan kepada mandor.
e) Setiap karyawan wajib membaca, memahami, dan mematuhi seluruh petunjuk
dan arahan tentang K3.
f) Setiap karyawan yang mendapat perlengkapan K3 wajib mempergunakannya.
g) Setiap karyawan harus menganggap rapat-rapat K3 sebagai bagian dari
tugasnya.
D. Sanksi-sanksi
Dalam pelaksanaan setiap kebijakan yang diterapkan perlu adanya sanksi-sanksi yang
diberlakukan, hal ini merupakan bukti ketegasan dari kebijakan itu sendiri. Adapun hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah :
1. Petunjuk dan arahan yang tidak dipatuhi harus diuabah menjadi perintah Direktur Utama.
2. Setiap karyawan yang tidak membaca, memahami, dan mematuhi buku pintar (pedoman)
K3 harus dibebaskan dari tugas tanpa upah untuk mempelajari buku pintar K3. Setelah
menguasai inti buku tersebut, barulah dia dibenarkan bekerja kembali.
3. Untuk setiap kecelakaan, kelompok yang bersangkutan harus memperbincangkannya di
tempat kerja diluar jam kerja.
a) Untuk setiap keadaan hampir celaka tanpa ada waktu terbuang yang dilaporkan,
anggota kelompok yang bersangkutan harus menambah jam kerja selama 15
menit.
b) Untuk setiap kecelakaan dengan waktu terbuang yang dilaporkan, anggota
kelompok yang bersangkutan harus menambah jam kerja selama 1 jam.
4. Jika seseorang mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang menimbulkan cacat, cacat
total, meninggal dunia, dan atau kerusakan peralatan, maka setelah penelitian diadakan
karyawan yang bersangkutan harus diberhentikan.

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja tidak akan berarti jika Pimpinan Utama
Perusahaan tidak menetapkan kebijakannya yang konsisten dan berlaku di seluruh
Perusahaan. Pedoman manufaktur yang baik, maupun Buku Pegangan K3 masih
membutuhkan kebijakan manajerial agar efektif dan bermakna dalam rangka pencegahan
kerugian menyeluruh.

Penanggulangan kecelakaan dan penyakit akibat kerja hanya akan berhasil jika:

a) Manajemen sungguh-sungguh menyadarri bahwa akar dari setiap kecelakaan atau


penyakit akibat kerja terletak pada manajemen.
b) Manajemen memberi wewenang penuh kepada manajer K3.
c) Kebijakan K3 ditetapkan.
d) Perlengkapan kebijakan K3 dimasyarakatkan kepada karyawan.

Regulasi Terkait Kebijakan K3

Kebijakan K3 merupakan langkah awal didalam pelaksanaan K3 atau penerapan SMK3.


Regulasi yang berkaitan dengan kebijakan K3 diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No.50
Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 pada:

1. Pasal 7:
 Ayat 1: Penetapan kebijakan K3 sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf a
dilaksanakan oleh pengusaha.
 Ayat 2: Dalam menyusun kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemgusaha
paling sedikit harus:
a. Melakukan tinjauan awal kondisi K3 yang meliputi:
1. Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko;
2. Perbandingan penerapan K3 dengan perusahaan dan sector lain yang lebih baik;
3. Peninjauan sebab akibat kejadian yang membahayakan;
4. Kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian sebelumnya yang berkaitan
dengan keselamatan; dan
5. Penilaian efisiensi dan efektivitas sumber daya yang disediakan.
b. Memperhatikan peningkatan kinerja manajemen K3 secara terus-menerus;
dan
c. Memperhatikan masukan dari pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.
 Ayat 3: Kebijakan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit memuat:
a. Visi;
b. Tujuan perusahaan;
c. Komitmen dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara
menyeluruh yang bersifat umum dan/atau operasional.
d. Pasal 8: Pengusaha harus menyebarluaskan kebijakan K3 yang telah ditetapkan kepada
seluruh pekerja/buruh, orang lain selain pekerja/buruh yang berada di perusahaan, dan pihak
lain yang terkait.

Untuk lebih jelasnya Pasal 7 dan 8 tersebut diatas dapat dilihat penjelasannya pada
Lampiran 1 PP RI No. 50 Tahun 2012 sebagai berikut:

1. Penyusunan kebijakan K3 dilakukan melalui:


a. Tinjauan awal kondisi K3; dan
b. Proses konsultasi antara pengurus dan wakil pekerja/buruh.
2. Penetapan kebijakan K3 harus:
a. Disahkan oleh pucuk pimpinan perusahaan;
b. Tertulis, tertanggal dan ditandatangani;
c. Secara jelas menyatakan tujuan dan sasaran K3;
d. Dijelaskan dan disebarluaskan kepada seluruh pekerja/buruh, tamu, kontraktor,
pemasok, dan pelanggan;
e. Terdokumentasi dan terpelihara dengan baik;
f. Bersifat dinamik; dan
g. Ditinjau ulang secara berkala untuk menjamin bahwa kebijakan tersebut masih
sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam perusahaan dan peraturan perundang-
undangan.
3. Untuk melaksanakan ketentuan angka 2 huruf c sampai dengan huruf g, pengusaha
dan/atau pengurus harus:
a. Menempatkan organisasi K3 pada posisi yang dapat menentukan keputusan
perusahaan;
b. Menyediakan anggaran, tenaga kerja yang berkualitas dan sarana-sarana lain yang
diperlukan di bidang K3;
c. Menetapkan personil yang mempunyai tanggungjawab, wewenang dan kewajiban
yang jelas dalam penanganan K3;
d. Membuat perencanaan K3 yang terkoordinasi;
e. Melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut pelaksanaan K3.
4. Ketentuan tersebut pada angka 3 huruf a sampai dengan huruf e diadakan peninjauan
ulang secara teratur.
5. Setiap tingkat pimpinan dalam perusahaan harus menunjukan komitmen terhadap K3
sehingga SMK3 berhasil diterapkan dan dikembangkan.
6. Setiap pekerja dan orang lain yang berada di tempat kerja harus berperan serta dalam
menjaga dan mengendalikan pelaksanaan K3.

Kebijakan K3 yang telah ditetapkan oleh pengusaha menjadi referensi dalam menyusun
program (perencanaan) K3. Program K3 tidak dapat disusun tanpa adanya kebijakan K3.

4.Resiko dan Hazard


Dalam melakukan pekerjaan perlu dipertimbangkan berbagai potensi bahaya serta resiko
yang bisa terjadi akibat sistem kerja atau cara kerja, penggunaan mesin, alat dan bahan serta
lingkungan disamping faktor manusianya.
Istilah hazard atau potensi bahaya menunjukan adanya sesuatu yang potensial untuk
mengakibatkan cedera atau penyakit, kerusakan atau kerugian yang dapat dialami oleh
tenaga kerja atau instansi. Sedang kemungkinan potensi bahaya menjadi manifest, sering
disebut resiko. Baik “hazard” maupun “resiko” tidak selamanya menjadi bahaya, asalkan
upaya pengendaliannya dilaksanakan dengan baik. Ditempat kerja, kesehatan dan kinerja
seseorang pekerja sangat dipengaruhi oleh (effendi, Ferry. 2009: 233):
1. Beban Kerja berupa beban fisik, mental dan sosial sehingga upaya penempatan
pekerja yang sesuai dengan kemampuannya perlu diperhatikan. Beban kerja yang
terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang
pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja.
2. Kapasitas Kerja yang banyak tergantung pada pendidikan, keterampilan, kesegaran
jasmani, ukuran tubuh, keadaan gizi dan sebagainya. Kapasitas kerja yang baik
seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang
prima diperlukan agar seorang pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.
Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja sebagai modal awal seseorang untuk
melakukan pekerjaan harus pula mendapat perhatian. Kondisi awal seseorang untuk
bekerja dapat dipengaruhi oleh kondisi tempat kerja, gizi kerja, dll.
3. Lingkungan Kerja sebagai beban tambahan, baik berupa faktor fisik, kimia, biologik,
ergonomik, maupun aspek psikososial. Kondisi lingkungan kerja (misalnya, panas,
bising, berdebu, zat-zat kimia, dll) dapat menjadi beban tambahan terhadap pekerja.
Beban-beban tambahan tersebut secara sendiri atau bersama-sama dapat
menimbulkan gangguan atau penyakit akibat kerja.
kerusakan – kerusakan lainnya. Firence (1978) mendefinisikan hazard sebagai suatu material
atau kondisi yang berpotensi ditempat kerja dimana dengan atau tanpa interaksi dengan variabel
lain dapat menyebabkan kematian, cedera, atau kerugian lain.
Komponen Bahaya :
1. Karakteristik material.
2. Bentuk material.
3. Hubungan pekerjaan dan efek.
4. Kondisi dan frekuensi penggunaan.
5. Tingkah laku pekerja.
 Jenis-Jenis Hazard
Berdasarkan karakteristik dampak yang diakibatkan oleh suatu jenis bahaya maka
jenis bahaya dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu bahaya kesehatan kerja dan bahaya
keselamatan kerja. Bahaya kesehatan kerja dapat berupa bahaya fisisk, kimia, biologi dan
bahaya berkaitan dengan ergonomi, berdampak kepada kesehatan dan kenyamanan kerja,
misalnya penyakit akibat kerja. Sedangkan, bahaya keselamatan (safety hazard) fokus
pada keselamatan manusia yang terlibat dalam proses, peralatan, dan teknologi. Dampak
safety hazard bersifat akut, konsekuensi tinggi, dan probabilitas untuk terjadi rendah.
Bahaya keselamatan (Safety hazard) dapat menimbulkan dampak cidera,
kebakaran, dan segala kondisi yang dapat menyebabkan kecelakaan di tempat kerja.
Biasanya efek dari bahaya keselamatan dapat langsung terlihat pada saat terjadi.
 Jenis-jenis safety hazard, antara lain :
a. Mechanical Hazard, bahaya yang terdapat pada benda atau proses yang bergerak
yang dapat menimbulkan dampak, seperti tertusuk, terpotong, terjepit, tergores,
terbentur, dan lain-lain.
b. Electrical Hazard, merupakan bahaya yang berasal dari arus listrik.
c. Chemical Hazard, bahaya bahan kimia baik dalam bentuk gas, cair, dan padat yang
mempunyai sifat mudah terbakar, mudah meledak, dan korosif.
Bahaya kesehatan (health hazard) fokus pada kesehatan manusia. Bahaya keselamatan
kerja dapat berupa bahaya fisik, kimia, bahaya berkaitan dengan ergonomi, psikososial,
elektrik, berdampak pada keselamatan kerja, misalnya cedera, kebakaran, ledekan,
pemajanan terjadi pada waktu singkat.
a. Hazard Fisik
Bentuk dari hazard fisik adalah radiasi, kebisingan, temperature ekstrim,
pencahayaan, getaran.
c. Hazard Kimia ialah kecederaan akibat sentuhan dan terhidu bahan kimia.
Contohnya bahan-bahan kimia seperti asid, alkali, gas, pelarut, simen, getah
sintetik, gentian kaca, pelekat antiseptik, aerosol, insektisida, dan lain-lain..
Bahan-bahan kimia tersebut merbahaya dan perlu diambil langkah - langkah
keselamatan apabila mengendalinya.

d. Hazard Biologis
Hazard ini seluruhnya berasal dari makhluk hidup dan berdampak pada
kesehatan, berupa jamur, bakteri, virus.
e. Hazard Mekanis, semua jenis bahaya yang berasal dari benda-benda bergerak
atau bersifat mekanis. Contoh : mesin-mesin pemotong, bahaya getaran.
f. Hazard Listrik
Hazard listrik adalah hazard yang ditimbulkan dari arus listrik pendek, listrik
statis.
g. Hazard Psikososial
Stress, kekerasan ditempat kerja, waktu kerja yang padat, kurangnya waktu
istirahat.
Risiko
Kata risiko (Risk) berasal dari bahasa Arab yaitu Rizk yang berarti
pemberian. Menurut kamus Webster, risiko adalah kemungkinan timbulnya
kerugian cedera, keadaan yang merugikan atau perusakan (Risk is Possibility
of loss, injury,disadventage or destruction). Menurut International Labour
Organization (ILO), risiko adalah kemungkinan adanya peristiwa atau
kecelakaan yang tidak diharapkan dan dapat terjadi dalam waktu dan keadaan
tertentu.
Sumber lain menyatakan bahwa risiko adalah adalah ukuran kemungkinan
kerugian yang timbul dari sumber bahaya (hazard) tertentu yang terjadi,
dengan kata lain risiko adalah probabilitas kerusakan atau kerugian dari
hazard yang melekat pada spesifik individu atau kelompok yang terpapar oleh
hazard tersebut. Risiko merupakan akumulasi dari potensi hazard,
konsekuensi yang diakibatkannya, durasi pemaparan dan probabilitas yang
ditimbulkannya. Risiko merupakan gambaran kuantitatif dari kemungkinan
kerugian yang mempertimbangkan kemungkinan suatu hazard yang akan
mengakibatkan suatu peristiwa tersebut (DOE, USA, 1996). Menurut Kolluru
(1996) ada 5 macam tipe risiko, yaitu :

1. Risiko Keselamatan
Risiko keselamatan memiliki probabilitas rendah, tingkat paparan dan
konsekuensi tinggi, bersifat akut, dan jika terjadi kontak akan langsung
terlihat efeknya. Penyebab risiko keselamatan lebih dapat diketahui serta
lebih berfokus pada keselamatan manusia dan pencegahan kecelakaan di
tempat kerja.
2. Risiko Kesehatan
Risiko kesehatan memiliki probabilitas tinggi, tingkat paparan dan
konsekuensi rendah, dan bersifat kronis. Penyebab risiko kesehatan sulit
diketahui serta lebih berfokus pada kesehatan manusia.
3. Risiko Lingkungan dan Ekologi
Risiko lingkungan dan ekologi melibatkan interaksi yang beragam antara
populasi, komunitas. Fokus risiko lingkungan dan ekologi lebih kepada
dampak yang ditimbulkan terhadap habitat dan ekosistem yang jauh dari
sumber risiko.
4. Risiko Finansial
Risiko finansial memiliki risiko jangka panjang dan jangka pendek dari
kerugian properti terkait dengan perhitungan asuransi dan pengembalian
asuransi. Fokus risiko finansial lebih kepada kemudahan pengoperasian
dan aspek keuangan.
5. Risiko Terhadap Masyarakat
Risiko terhadap masyarakat memperhatikan pandangan masyarakat
terhadap kinerja organisasi dan produksi, semua hal pada risiko terhadap
masyarakat terfokus pada penilaian dan persepsi masyarakat.

Penerapan Keperawatan Kesehatan Kerja


Secara umum, tujuan keperawatan kesehatan kerja adalah menciptakan tenaga
kerja yang sehat dan produktif. Tujuan hyperkes dapat diperinci sebagai berikut
(Rachman. 1990):
1. Agar tenaga kerja dan setiap orang yang berada di tempat kerja selalu dalam keadaan
sehat dan selamat
2. Agar sumber-sumber produksi dapat berjalan secara lancar tanpa adanya hambatan.

Hazard dan Resiko Dalam Proses Pengkajian dan Perencanaan


Dalam melakukan proses pengkajian dan perencanaan pada pasien, perawat
harus memperhatikan hazard dan resiko yang kemungkinan terjadi, seperti :
1. Pelecehan verbal saat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga.
2. Kekerasan fisik pada perawat ketika melakukan pengkajian.
3. Pasien dan keluarga acuh tak acuh dengan pertanyaan yang diajukan
perawat.
4. Resiko tertular penyakit dengan kontak fisik maupun udara saat
pemeriksaan fisik.
5. Perawat menjadi terlalu empati dengan keadaan pasien dan keluarganya.

Contoh Kasus
Kasus I
 Seorang perawat di salah satu RS mengalami kekerasan fisik dan verbal pada
saat perawat tersebut sedang melakukan pengkajian. Seperti yang dikutip
dalam suatu artikel di media online:
 “Ketika perawat T,28 tahun, melakukan pendekatan untuk mengumpulkan
data, salah satu pasiennya mengamuk, berteriak dan memukul-mukul
kepalanya ke dinding. Dia mencoba menghentikan dan menenangkannya tapi
pasiennya secara emosional malah menendang dadanya, membuat dia
terluka, dan membuat mentalnya tergoyang seharian.”

 Analisis Kasus
Hazard : Perawat mendapatkan kekerasan fisik sekaligus verbal pada
saat melakukan pengkajian kepada pasien.
Resiko : Perawat mengalami luka dan mentalnya tidak stabil.
Kejadian kekerasan fisik maupun verbal dalam kasus tersebut
tidak disebut berasal dari kesalahan perawat sendiri ataukah
karena memang sang pasien memiliki emosional yang tidak
dapat dikontrol. Dalam proses pengkajian sendiri, terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat. Mulai
dari pemahaman akan pengertian pengkajian, tahap-tahapan
pengkajian, hingga metode yang digunakan melakukan
pengkajian.
 Dalam mengkaji pasien, perawat pun harus menyadari akan adanya hazard
dan resiko yang mungkin mereka dapatkan. Berbagai macam upaya perlu
dilakukan sebagai tidakan pencegahan. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan
baik dari pihak pasien, perawat itu sendiri maupun dari pihak manajemen
rumah sakit. Berikut beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mecegah
terjadinya kekerasan fisik dan verbal pada perawat saat melakukan
pengkajian:
1. Perawat harus melaporkan setiap adanya tindakan kekerasan dalam bentuk
apapun kepada pihak rumah sakit.
2. Memberikan pengertian kepada pasien agar memperlakukan sesama
manusia dengan dasar martabat dan rasa hormat.
3. Dalam melakukan kontak kepada pasien, perawat seharusnya menjadi
pendengar yang baik. Salah satu teknik pengumpulan data pada pengkajian
adalah wawancara. Saat melakukan wawancara, perawat harus mampu
menempatkan diri sebagai tempat curhat pasien sebaik mungkin.
4. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada perawat tentang cara
menghindari tindakan kekerasan verbal dan fisik.
5. Ketika pasien terlihat sedang dalam keadaan tidak terkontrol dan susah
untuk didekati, perawat dapat melakukan pengkajian kepada keluarga
pasien terlebih dahulu.
6. Saat mengkaji, perawat tidak boleh menyampaikan kata-kata yang
menyinggung pasien dan keluarganya.
7. Saat melakukan tindakan pemeriksaan fisik, perawat harus meminta
persetujuan dari pasien terlebih dahulu.
8. Manajemen rumah sakit perlu memfasilitasi perawat mempersiapkan diri
untuk menghadapi hazard dan resiko.
9. Manajemen harus terbuka serta tidak berusaha menutupi terhadap laporan-
laporan kekerasan fisik maupun verbal terhadap perawat.
10. Memodifikasi lingkungan yang nyaman di rumah sakit mulai dari poli,
ruangan rawat inap, sampai ke unit gawat darurat dan ruang intensif untuk
menentramkan suasana hati pasien dan keluarga.

 Kasus II
Seorang perawat di salah satu RS diketahui positif difteri pasca menangani
pasien difteri. Berdasarkan informasi, perawat tersebut diduga tertular pasca
menangani dan melakukan tindakan awal pada pasien positif difteri tersebut,.
 Analisis Kasus
Hazard : Hazard Biologis yaitu perawat tertular penyakit difteri dari pasien
pasca menangani dan melakukan tindakan awal pada pasien positif difteri.
 Upaya pencegahan dari Rumah Sakit/ tempat kerja:
1. RS menyediakan APD yang lengkap seperti masker, handscoon, scout dll
Alasan: meminimalisir terjadinya atau tertularnya penyakit/ infeksi yang dapat
terjadi terutama saat bekerja, APD harus selalu di gunakan sebagai pelindung
diri. Dengan kasus diatas dapat dihindari jika perawat menggunakan APD
lengkap mengingat cara penularan Difteri melalui terpaparnya cairan ke
pasien.
2. Menyediakan sarana untuk mencuci tangan atau alkohol gliserin untuk
perawat.
Alasan: Cuci tangan merupakan cara penanganan awal jika kita sudah
terlanjur terpapar cairan pasien baik pasien beresiko menularkan atau tidak
menularkan. Cuci tangan merupakan tindakan aseptic awal sebelum ke pasien
maupun setelah ke pasien.
3. RS menyediakan pemilahan tempat sampah medis dan non medis.
Alasan: Bila sampah medis dan non medis tercampur dan tidak dikelola
dengan baik akan menimbulkan penyebaran penyakit.
4. RS menyediakan SOP untuk tindakan keperawatan.
Alasan: Agar petugas/perawat menjaga konsistensi dan tingkat kinerja
petugas/perawat atau tim dalam organisasi atau unit kerja, sebagai acuan
(check list) dalam pelaksanaan kegiatan tertentu bagi sesama pekerja,
supervisor dan lain-lain dan SOP merupakan salah satu cara atau parameter
dalam meningkatkan mutu pelayanan.
 Upaya pencegahan pada Perawat:
1. Menjaga diri dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptic seperti
mencuci tangan, memakaiAPD, dan menggunakan alat kesehatan dalam
keadaan steril.
Alasan: Agar perawat tidak tertular penyakit dari pasien yang di tangani
meskipun pasien dari UGD dan memakai APD adalah salah satu SOP RS
2. Perawat mematuhi Standar Operational Prosedure yang sudah ada RS dan
berhati-hati atau jangan terburu-buru dalam melakukan tindakan.
Alasan :Meskipun pasien di Ruang UGD dan pertama masuk RS, perawat
sebaiknya lebih berhati – hati atau jangan terburu-buru dalam melakukan
tindakan ke pasien dan perawat menciptakan dan menjaga keselamatan tempat
kerja supaya dalam tindakan perawat terhindar dari tertularnya penyakit dari
pasien dan pasien juga merasa aman.

 Upaya Mencegah dan Meminimalkan Resiko dan Hazard pada Perawat


dalam Tahap Pengkajian Bedasarkan Kasus Penyakit Akibat Kerja
1. Batasi akses ke tempat isolasi
2. Menggunakan APD dengan benar
3. SOP memasang APD, jangan ada sedikitpun bagian tubuh yang tidak
tertutup APD
4. Petugas tidak boleh menyentuh wajahnya sendiri
5. Membatasi sentuhan langsung ke pasien
6. Cuci tangan dengan air dan sabun
7. bersihkan kaki dengan di semprot, ketika meninggalkan ruangan tempat
melepas APD
8. Lakukan pemeriksaan berkala pada pekerja
9. Hindari memegang benda yang mungkin terkontaminasi.
K3 DALAM KEPERAWATAN

OLEH :

Kelompok I

1. JARNOTO
2. NARMIN ADNAN
3. ERRIL STESIA KUHUELA
4. ODE SULASTRI
5. RAIHANA MALAWAT
6. JULEN J.G. SAHERTIAN

PRODI : KEPERAWATAN

DOSEN: Ira Sandi Tunny, S.Si.,M.Kes

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MALUKU HUSADA
KAIRATU
2018

Anda mungkin juga menyukai