K3 dalam keperawatan
1. Manfaat Lingkungan Kerja yang Aman dan Sehat Jika perusahaan dapat menurunkan tingkat
dan beratnya kecelakaan kerja, penyakit, dan hal-hal yang berkaitan dengan stres, serta
mampu meningkatkan kualitas kehidupan kerja para pekerjanya, maka perusahaan akan
semakin efektif. Manfaat lingkungan kerja yang aman dan sehat adalah agar setiap karyawan
mendapatkan jaminan K3 baik secara fisik, sosial, dan psikologis yang dapat memberikan rasa
aman dan terlindungi dalam bekerja serta terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh lingkungan atau kondisi kerja, serta meningkatkan kegairahan, keserasian dan partisipasi
kerja.
2. Kerugian Lingkungan Kerja yang Tidak Aman dan Tidak Sehat Jumlah biaya yang sangat
besar sering muncul karena ada kerugian-kerugian akibat kematian dan kecelakaan di tempat
kerja dan kerugian akibat menderita penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan, serta yang
berkaitan dengan kondisi-kondisi psikologis.
menurut Mangkunegara (2005), tujuan keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut :
a.Setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial
dan psikologis.
b.Setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya, seefisien mungkin.
c.Semua produksi dipelihara keamanannya.
d.Adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e.Meningkatkan kegairahan, keserasian kerja dan partisipasi kerja.
f.Terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau
kondisi kerja.
Manfaat : Menurut Modjo (2007), manfaat penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja
di perusahaan antara lain adalah sebagai berikut :
2. Ruang lingkup K3 :
a. Kesehatan dan keselamatan kerja diterapkan disemua tempat kerja yang didalamnya
melibatkan aspek manusia sebagai tenaga kerja, bahaya akibat kerja dan usaha yang
dikerjakan
b. Aspek perlindungan meliputi :
tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian
peralatan dan bahan yang dipergunakan
factor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun sosial
proses produksi
karakteristik dan sifat pekerjaan
teknologi dan metodologi kerja
3. Kebijakan K3
Kebijakan adalah arah yang ditentukan untuk dipatuhi dalam proses kerja dan organisasi
perusahaan. Kebijakan yang ditetapkan manajemen menuntut partisipasi dan kerja sama
semua pihak. Setiap peserta diberi arahan dan pemikiran yang akan membantunya mencapai
sasaran dan hasil. Setiap kebijakan mengandung sasaran jangka panjang dan ketentuan yang
harus dipatuhi setiap kategori fungsionaris perusahaan (Direksi, Manajer, Penyelia, dan
Mandor).
Kebijakan K3 (OH&S Policy) merupakan perwujudan dari komitmen pucuk pimpinan yang
memuat visi dan tujuan organisasi, komitmen dan tekad untuk melaksanakan keselamatan
dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja.
Oleh karena itu, kebijakan K3 sangat penting dan menjadi landasan utama yang diharapkan
mampu menggerakkan semua partikel yang ada dalam organisasi sehingga program K3 yang
diinginkan dapat berhasil dengan baik.
Namun demikian, suatu kebijakan hendaknya jangan hanya bagus dan indah diatas kertas
tetapi tidak ada implementasi atau tindak lanjutnya sehingga akan sia-sia belaka. Tanpa
adanya kebijakan yang dilandasi dengan komitemen yang kuat, apapun yang direncanakan
tidak akan berhasil dengan baik.
Frank Bird dalam bukunya “Commitment”, menyebutkan bahwa komitmen adalah niat atau
tekad untuk melaksanakan sesuatu yang menjadi daya dorong yang sangat kuat untuk
mencapai tujuan. Tekad dan keinginan tersebut, akan tercermin dalam sikap dan
tindakannya tentang K3. Tanpa komitmen dari semua unsure dalam organisasi, khususnya
para pimpinan, pelaksanaan K3 tidak akan berjalan dengan baik. Komitmen bukan sekedar
diucapkan atau dituangkan dalam tulisan dan instruksi, tetapi harus diwujudkan secara nyata
dalam tindakan dan sikap sehari-hari.
Berbagai bentuk komitmen yang dapat diwujudkan oleh pimpinan dan manajemen dalam K3
antara lain:
Kebijakan K3 dibuat melalui proses konsultasi antara pengurus dan wakil tenaga kerja yang
kemudian harus dijelaskan dan disebarluaskan kepada semua tenaga kerja, pemasok dan
pelanggan. Kebijakan K3 bersifat dinamik dan selalu ditinjau ulang dalam rangka peningkatan
kinerja K3.
1. Singkat, mudah dimengerti, disetujui oleh manajemen tertinggi dan diketahui oleh
semua tenaga kerja dalam organisasi.
2. Pernyataan kebijakan harus diformulasikan dan dirancang dengan jelas agar sesuai
dengan organisasi.
3. Tertulis dan mencakup rencana organisasi untuk memastikan adanya K3.
4. Mengalokasikan berbagai tanggungjawab terhadap K3 dalam perusahaan.
5. Memberikan informasi kebijakan untuk diketahui tiap tenaga kerja, supervisor, dan
manajer.
6. Menetapkan bagaimana cara mengatur pelayanan kesehatan kerja.
7. Menetapkan tindakan-tindakan yang diambil untuk surveilans kesehatan tenaga kerja
dan lingkungan kerja.
8. Kebijakan dapat dinyatakan dalam bentuk pernyataan misi dan visi organisasi sebagai
suatu dokumen yang mencerminkan nilai-nilai keselamatan dan kesehatan kerja
perusahaan.
9. Kebijakan tersebut juga harus menegaskan tugas dan tanggungjawab pimpinan
departemen atau tim K3 sebagai penggerak utama didalam proses menterjemahkan
tujuan-tujuan kebijakan K3.
10. Dicetak ke dalam bahasa atau media yang mudah dimengerti oleh tenaga kerja. Bila
kemampuan baca rendah, ddapat digunakan bentuk komunikasi non verbal.
11. Dokumen ini harus diedarkan sehingga setiap tenaga kerja mempunyai kesempatan
mengenalnya.
12. Kebijakan ini sebaiknya dipajang di tempat kerja sebagai pengingat untuk semua orang.
13. Kebijakan ini juga dikirimkan ke semua kantor manajemen agar para manajer ingat
akan kewajiban mereka terhadap aspek-aspek penting pelaksanaan perusahaan.
Kriteria Kebijakan K3
5. Dikomunikasikan
Dikomunikasikan kepada seluruh pekerja dengan maksud agar pekerja
memahami maksud dan tujuan kebijakan K3, kewajiban serta peran semua pihak
dalam K3. Komunikasi kebijakan K3 dapat dilakukan melalui berbagai cara atau
media, misalnya ditempatkan di lokasi-lokasi kerja, dimasukkan dalam buku saku
K3, website organisasi atau bahan pembinaan dan pelatihan.
Banyak organisasi yang memiliki kebijakan K3 yang indah dan tertulis rapi dalam bingkai
kaca. Namun kebijakan ini sering kali hanya berupa slogan kosong yang tidak tercermin
dalam pelaksanaan dan kinerja K3 organisasi. Salah satu factor penyebab antara lain karena
pengembangan kebijakan K3 tidak melalui proses yang baik.
Peningkatan berkelanjutan
Kebijakan K3 juga harus dapat memberikan ruang untuk peningkatan
berkelanjutan. Masalah K3 akan selalu timbul selama organisasi masih hidup atau
beroperasi. Karena itu, upaya K3 harus terus-menerus ditingkatkan. Kebijakan K3
harus mempertimbangkan hal tersebut.
Peran pekerja
Adanya peran pekerja dalam pengembangan dan penyusunan kebijakan, sehingga
akan memperoleh dukungan dan partisipasi aktif dari semua pihak.
Pengembangan K3 dapat dilakuka misalnya melaui komite K3, P2K3, atau
perwakilan pekerja lainnya sehingga mereka merasa memiliki dan turut
bertanggung jawab untuk merealisirnya.
Berdasarkan masukan yang diterima dan dihimpun dari semua pihak, disusun kebijakan.
Kebijakan ini harus ditandatangani oleh pimpinan tertinggi dalam organisasi atau unit
kegiatan. Selanjutnya kebijakan tersebut dikomunikasikan kepada semua pihak, misalnya
dalam bentuk brosur, intranet, buletin, dan pedoman K3.
Organisasi
Dalam perencanaan maupun pelaksanaan kebijakan K3, banyak pihak yang terkait yang
mana disusun dalam satu kerangka organisasi. Susunan organisasi perusahaan yang
mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja mencerminkan keterlibatan semua pihak,
baik staf maupun lini. Fungsionaris lini bertanggungjawab akan pemeliharaan kondisi kerja
yang aman (safe working conditions) sedangkan fungsionaris staf wajib melibatkan diri
dalam pencegahan kecelakaan (accident prevention).
Kandungan Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Berikut ini tertulis contoh dari kandungan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja
A. Pendahuluan
1. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja menggarisbawahi hubungan kerja
manajemen dan karyawan dalam rangka pelaksanaan program Kesehatan dan
Keselamatan Kerja yang efektif.
2. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan komponen dasar kebijakan
manajemen yang akan member arah bagi setiap pertimbangan yang menyangkut aspek
operasional dari mutu, volume, hubungan kerja dan aspek lainnya dari kebijakan
manajemen.
3. Setiap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja dilaksanakan oleh Direkturnya sebagai
pengemban fungsi Direktur Utama. Tugas utamanya adalah menggalakkan kesadaran
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di kalangan fungsionaris lini dengan mengadakan
bahan-bahan promosi, perencanaan program, motivasi, rapat-rapat, inspeksi, dan
sebagainya, untuk Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
6. Tanggungjawab Karyawan
a) Seluruh karyawan bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan kearah
pencegahan kecelakaan.
b) Tidak satu kerja pun yang dapat dinyatakan rampung jika karyawan tidak
memelihara keselamatan dirinya dan teman-teman sejawatnya.
c) Seluruh karyawan harus melaporkan kepada dan meminta pertolongan
pertama dari mandor mereka untuk setiap luka betapa pun kecilnya.
d) Kondisi, peralatan, atau perbuatan yang kurang selamat harus segera
dilaporkan kepada mandor.
e) Setiap karyawan wajib membaca, memahami, dan mematuhi seluruh petunjuk
dan arahan tentang K3.
f) Setiap karyawan yang mendapat perlengkapan K3 wajib mempergunakannya.
g) Setiap karyawan harus menganggap rapat-rapat K3 sebagai bagian dari
tugasnya.
D. Sanksi-sanksi
Dalam pelaksanaan setiap kebijakan yang diterapkan perlu adanya sanksi-sanksi yang
diberlakukan, hal ini merupakan bukti ketegasan dari kebijakan itu sendiri. Adapun hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah :
1. Petunjuk dan arahan yang tidak dipatuhi harus diuabah menjadi perintah Direktur Utama.
2. Setiap karyawan yang tidak membaca, memahami, dan mematuhi buku pintar (pedoman)
K3 harus dibebaskan dari tugas tanpa upah untuk mempelajari buku pintar K3. Setelah
menguasai inti buku tersebut, barulah dia dibenarkan bekerja kembali.
3. Untuk setiap kecelakaan, kelompok yang bersangkutan harus memperbincangkannya di
tempat kerja diluar jam kerja.
a) Untuk setiap keadaan hampir celaka tanpa ada waktu terbuang yang dilaporkan,
anggota kelompok yang bersangkutan harus menambah jam kerja selama 15
menit.
b) Untuk setiap kecelakaan dengan waktu terbuang yang dilaporkan, anggota
kelompok yang bersangkutan harus menambah jam kerja selama 1 jam.
4. Jika seseorang mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang menimbulkan cacat, cacat
total, meninggal dunia, dan atau kerusakan peralatan, maka setelah penelitian diadakan
karyawan yang bersangkutan harus diberhentikan.
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja tidak akan berarti jika Pimpinan Utama
Perusahaan tidak menetapkan kebijakannya yang konsisten dan berlaku di seluruh
Perusahaan. Pedoman manufaktur yang baik, maupun Buku Pegangan K3 masih
membutuhkan kebijakan manajerial agar efektif dan bermakna dalam rangka pencegahan
kerugian menyeluruh.
Penanggulangan kecelakaan dan penyakit akibat kerja hanya akan berhasil jika:
1. Pasal 7:
Ayat 1: Penetapan kebijakan K3 sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf a
dilaksanakan oleh pengusaha.
Ayat 2: Dalam menyusun kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemgusaha
paling sedikit harus:
a. Melakukan tinjauan awal kondisi K3 yang meliputi:
1. Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko;
2. Perbandingan penerapan K3 dengan perusahaan dan sector lain yang lebih baik;
3. Peninjauan sebab akibat kejadian yang membahayakan;
4. Kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian sebelumnya yang berkaitan
dengan keselamatan; dan
5. Penilaian efisiensi dan efektivitas sumber daya yang disediakan.
b. Memperhatikan peningkatan kinerja manajemen K3 secara terus-menerus;
dan
c. Memperhatikan masukan dari pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.
Ayat 3: Kebijakan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit memuat:
a. Visi;
b. Tujuan perusahaan;
c. Komitmen dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara
menyeluruh yang bersifat umum dan/atau operasional.
d. Pasal 8: Pengusaha harus menyebarluaskan kebijakan K3 yang telah ditetapkan kepada
seluruh pekerja/buruh, orang lain selain pekerja/buruh yang berada di perusahaan, dan pihak
lain yang terkait.
Untuk lebih jelasnya Pasal 7 dan 8 tersebut diatas dapat dilihat penjelasannya pada
Lampiran 1 PP RI No. 50 Tahun 2012 sebagai berikut:
Kebijakan K3 yang telah ditetapkan oleh pengusaha menjadi referensi dalam menyusun
program (perencanaan) K3. Program K3 tidak dapat disusun tanpa adanya kebijakan K3.
d. Hazard Biologis
Hazard ini seluruhnya berasal dari makhluk hidup dan berdampak pada
kesehatan, berupa jamur, bakteri, virus.
e. Hazard Mekanis, semua jenis bahaya yang berasal dari benda-benda bergerak
atau bersifat mekanis. Contoh : mesin-mesin pemotong, bahaya getaran.
f. Hazard Listrik
Hazard listrik adalah hazard yang ditimbulkan dari arus listrik pendek, listrik
statis.
g. Hazard Psikososial
Stress, kekerasan ditempat kerja, waktu kerja yang padat, kurangnya waktu
istirahat.
Risiko
Kata risiko (Risk) berasal dari bahasa Arab yaitu Rizk yang berarti
pemberian. Menurut kamus Webster, risiko adalah kemungkinan timbulnya
kerugian cedera, keadaan yang merugikan atau perusakan (Risk is Possibility
of loss, injury,disadventage or destruction). Menurut International Labour
Organization (ILO), risiko adalah kemungkinan adanya peristiwa atau
kecelakaan yang tidak diharapkan dan dapat terjadi dalam waktu dan keadaan
tertentu.
Sumber lain menyatakan bahwa risiko adalah adalah ukuran kemungkinan
kerugian yang timbul dari sumber bahaya (hazard) tertentu yang terjadi,
dengan kata lain risiko adalah probabilitas kerusakan atau kerugian dari
hazard yang melekat pada spesifik individu atau kelompok yang terpapar oleh
hazard tersebut. Risiko merupakan akumulasi dari potensi hazard,
konsekuensi yang diakibatkannya, durasi pemaparan dan probabilitas yang
ditimbulkannya. Risiko merupakan gambaran kuantitatif dari kemungkinan
kerugian yang mempertimbangkan kemungkinan suatu hazard yang akan
mengakibatkan suatu peristiwa tersebut (DOE, USA, 1996). Menurut Kolluru
(1996) ada 5 macam tipe risiko, yaitu :
1. Risiko Keselamatan
Risiko keselamatan memiliki probabilitas rendah, tingkat paparan dan
konsekuensi tinggi, bersifat akut, dan jika terjadi kontak akan langsung
terlihat efeknya. Penyebab risiko keselamatan lebih dapat diketahui serta
lebih berfokus pada keselamatan manusia dan pencegahan kecelakaan di
tempat kerja.
2. Risiko Kesehatan
Risiko kesehatan memiliki probabilitas tinggi, tingkat paparan dan
konsekuensi rendah, dan bersifat kronis. Penyebab risiko kesehatan sulit
diketahui serta lebih berfokus pada kesehatan manusia.
3. Risiko Lingkungan dan Ekologi
Risiko lingkungan dan ekologi melibatkan interaksi yang beragam antara
populasi, komunitas. Fokus risiko lingkungan dan ekologi lebih kepada
dampak yang ditimbulkan terhadap habitat dan ekosistem yang jauh dari
sumber risiko.
4. Risiko Finansial
Risiko finansial memiliki risiko jangka panjang dan jangka pendek dari
kerugian properti terkait dengan perhitungan asuransi dan pengembalian
asuransi. Fokus risiko finansial lebih kepada kemudahan pengoperasian
dan aspek keuangan.
5. Risiko Terhadap Masyarakat
Risiko terhadap masyarakat memperhatikan pandangan masyarakat
terhadap kinerja organisasi dan produksi, semua hal pada risiko terhadap
masyarakat terfokus pada penilaian dan persepsi masyarakat.
Contoh Kasus
Kasus I
Seorang perawat di salah satu RS mengalami kekerasan fisik dan verbal pada
saat perawat tersebut sedang melakukan pengkajian. Seperti yang dikutip
dalam suatu artikel di media online:
“Ketika perawat T,28 tahun, melakukan pendekatan untuk mengumpulkan
data, salah satu pasiennya mengamuk, berteriak dan memukul-mukul
kepalanya ke dinding. Dia mencoba menghentikan dan menenangkannya tapi
pasiennya secara emosional malah menendang dadanya, membuat dia
terluka, dan membuat mentalnya tergoyang seharian.”
Analisis Kasus
Hazard : Perawat mendapatkan kekerasan fisik sekaligus verbal pada
saat melakukan pengkajian kepada pasien.
Resiko : Perawat mengalami luka dan mentalnya tidak stabil.
Kejadian kekerasan fisik maupun verbal dalam kasus tersebut
tidak disebut berasal dari kesalahan perawat sendiri ataukah
karena memang sang pasien memiliki emosional yang tidak
dapat dikontrol. Dalam proses pengkajian sendiri, terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat. Mulai
dari pemahaman akan pengertian pengkajian, tahap-tahapan
pengkajian, hingga metode yang digunakan melakukan
pengkajian.
Dalam mengkaji pasien, perawat pun harus menyadari akan adanya hazard
dan resiko yang mungkin mereka dapatkan. Berbagai macam upaya perlu
dilakukan sebagai tidakan pencegahan. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan
baik dari pihak pasien, perawat itu sendiri maupun dari pihak manajemen
rumah sakit. Berikut beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mecegah
terjadinya kekerasan fisik dan verbal pada perawat saat melakukan
pengkajian:
1. Perawat harus melaporkan setiap adanya tindakan kekerasan dalam bentuk
apapun kepada pihak rumah sakit.
2. Memberikan pengertian kepada pasien agar memperlakukan sesama
manusia dengan dasar martabat dan rasa hormat.
3. Dalam melakukan kontak kepada pasien, perawat seharusnya menjadi
pendengar yang baik. Salah satu teknik pengumpulan data pada pengkajian
adalah wawancara. Saat melakukan wawancara, perawat harus mampu
menempatkan diri sebagai tempat curhat pasien sebaik mungkin.
4. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada perawat tentang cara
menghindari tindakan kekerasan verbal dan fisik.
5. Ketika pasien terlihat sedang dalam keadaan tidak terkontrol dan susah
untuk didekati, perawat dapat melakukan pengkajian kepada keluarga
pasien terlebih dahulu.
6. Saat mengkaji, perawat tidak boleh menyampaikan kata-kata yang
menyinggung pasien dan keluarganya.
7. Saat melakukan tindakan pemeriksaan fisik, perawat harus meminta
persetujuan dari pasien terlebih dahulu.
8. Manajemen rumah sakit perlu memfasilitasi perawat mempersiapkan diri
untuk menghadapi hazard dan resiko.
9. Manajemen harus terbuka serta tidak berusaha menutupi terhadap laporan-
laporan kekerasan fisik maupun verbal terhadap perawat.
10. Memodifikasi lingkungan yang nyaman di rumah sakit mulai dari poli,
ruangan rawat inap, sampai ke unit gawat darurat dan ruang intensif untuk
menentramkan suasana hati pasien dan keluarga.
Kasus II
Seorang perawat di salah satu RS diketahui positif difteri pasca menangani
pasien difteri. Berdasarkan informasi, perawat tersebut diduga tertular pasca
menangani dan melakukan tindakan awal pada pasien positif difteri tersebut,.
Analisis Kasus
Hazard : Hazard Biologis yaitu perawat tertular penyakit difteri dari pasien
pasca menangani dan melakukan tindakan awal pada pasien positif difteri.
Upaya pencegahan dari Rumah Sakit/ tempat kerja:
1. RS menyediakan APD yang lengkap seperti masker, handscoon, scout dll
Alasan: meminimalisir terjadinya atau tertularnya penyakit/ infeksi yang dapat
terjadi terutama saat bekerja, APD harus selalu di gunakan sebagai pelindung
diri. Dengan kasus diatas dapat dihindari jika perawat menggunakan APD
lengkap mengingat cara penularan Difteri melalui terpaparnya cairan ke
pasien.
2. Menyediakan sarana untuk mencuci tangan atau alkohol gliserin untuk
perawat.
Alasan: Cuci tangan merupakan cara penanganan awal jika kita sudah
terlanjur terpapar cairan pasien baik pasien beresiko menularkan atau tidak
menularkan. Cuci tangan merupakan tindakan aseptic awal sebelum ke pasien
maupun setelah ke pasien.
3. RS menyediakan pemilahan tempat sampah medis dan non medis.
Alasan: Bila sampah medis dan non medis tercampur dan tidak dikelola
dengan baik akan menimbulkan penyebaran penyakit.
4. RS menyediakan SOP untuk tindakan keperawatan.
Alasan: Agar petugas/perawat menjaga konsistensi dan tingkat kinerja
petugas/perawat atau tim dalam organisasi atau unit kerja, sebagai acuan
(check list) dalam pelaksanaan kegiatan tertentu bagi sesama pekerja,
supervisor dan lain-lain dan SOP merupakan salah satu cara atau parameter
dalam meningkatkan mutu pelayanan.
Upaya pencegahan pada Perawat:
1. Menjaga diri dari infeksi dengan mempertahankan teknik aseptic seperti
mencuci tangan, memakaiAPD, dan menggunakan alat kesehatan dalam
keadaan steril.
Alasan: Agar perawat tidak tertular penyakit dari pasien yang di tangani
meskipun pasien dari UGD dan memakai APD adalah salah satu SOP RS
2. Perawat mematuhi Standar Operational Prosedure yang sudah ada RS dan
berhati-hati atau jangan terburu-buru dalam melakukan tindakan.
Alasan :Meskipun pasien di Ruang UGD dan pertama masuk RS, perawat
sebaiknya lebih berhati – hati atau jangan terburu-buru dalam melakukan
tindakan ke pasien dan perawat menciptakan dan menjaga keselamatan tempat
kerja supaya dalam tindakan perawat terhindar dari tertularnya penyakit dari
pasien dan pasien juga merasa aman.
OLEH :
Kelompok I
1. JARNOTO
2. NARMIN ADNAN
3. ERRIL STESIA KUHUELA
4. ODE SULASTRI
5. RAIHANA MALAWAT
6. JULEN J.G. SAHERTIAN
PRODI : KEPERAWATAN