Anda di halaman 1dari 8

PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI VAGINISMUS

Cherng-Jye Jeng
Departemen Obstetri dan Ginekologi, Rumah Sakit Umum Cathay dan
Universitas Kedokteran Taipei, Taipe, Taiwan

Vaginismus didefinisikan sebagai spasme involunter otot pelvis yang berhubungan dengan vagina
bagian sepertiga luar, terutama otot perineum dan otot levator ani. Keadaan yang parah biasanya
menyebabkan kesulitan penetrasi yang mengakibatkan nyeri terbakar dan ketidakharmonisan
dalam pernikahan. Muncul dasar kesepakatan bahwa vaginismus adalah kelaianan psikososial
dengan unsur fobia akibat pengalaman buruk terhadap upaya penetrasi. Ketakutan dan kecemasan
terhadap penetrasi secara fisiologis terlihat melalui spasme otot vagina involunter sebagai tanda
vaginismus. Sejak tahun 1547, ketika vaginismus dijelaskan pertama kali, ribuan makalah
penelitian telah dipublikasikan terkait kelainan seksual perempuan ini. Namun, etiologi
vaginismus tetap kontroversial. Wanita dengan vaginismus umumnya mengalami rasa malu, jijik
dan tidak suka terhadap alat kelaminnya. Mereka pada umumnya memiliki fobia lainnya. Pada
umumnya, mereka dijaga ketat oleh ayahnya dan menjadi anak perempuan yang baik sejak kecil.
Pasangan seksual mereka umumnya baik, lembut, penuh pertimbangan dan pria pasif yang baik.
Pasangan pria kurang agresif secara nyata mengarahkan ke pernikahan yang tidak harmonis.
Hubungan seksual dengan suami secara aman biasanya bisa mengatasi vaginismus derajat ringan
yang menetap dengan memasukkan penis secara gigih. Untuk vaginismus derajat sedang sampai
berat, intervensi medis biasanya dibutuhkan untuk mengarahkan pada pernikahan yang sempurna.

Kata kunci: vaginismus, kelaianan seksual wanita

PENDAHULUAN
Vaginismus didefinisikan sebagai spasme involunter otot pelvis yang berhubungan dengan vagina
bagian sepertiga luar, terutama otot perineum dan otot levator ani. Pada kasus vaginismus yang
parah, adduktor paha, rektus abdominis, dan otot gluteus mungkin terlibat. Refleks kontraksi ini
dipicu oleh bayangan atau antisipasi upaya penetrasi vagina atau selama tindakan penetrasi atau
koitus.
Bentuk vaginismus klasik yang berat menyebabkan penetrasi hampir tidak mungkin, akibat sebuah
keparahah, rasa nyeri terbakar, dan menuntun pada ketidakharmonisan pernikahan. Namun, ada
derajat vaginismus yang kurang dijelaskan, ditandai oleh kekakuan otot vagina yang
memungkinkan penetrasi, namun disertai rasa nyeri yang sama. Kondisi ini dapat terjadi secara
primer (hadir sejak pertama penetrasi) atau sekunder (terkait trauma fisik atau pskologis, infeksi,
perubahan menopause, atau patologi panggul). Diskusi kita akan berfokus pada vaginismus
primer.
PATOFISIOLOGI
Huguier pertama kali menjelaskan tentang vaginismus pada 1834 sebagai judul tesis dokter medis.
Namun, kemungkinan buku Salerno Trotula pada 1547 yang membahas tentang penyakit pada
wanita, dimana menjelaskan pertama kali mengenai apa yang kita sebut vaginismus,
“pengencangan vulva, sehingga pada perempuan yang telah tergoda tetap memperlihatkan
keperawanan”. Pada telaah sebelumnya, Faure dan Siredey menyimpulakn bahwa vaginismus
menggambarkan sebuah involunter, nyeri, kontraksi spasmodik pada kanal vulva-vagina
dipengaruhi oleh hipersensitvitas spesifik terhadap organ genital. Pertanyaan Walthard pada
gagasan Sims mengenai hipersensitvitas spesifik terhadap organ genital dan saran bahwa spasme
otot vagina menunjukkan reaksi fobia akibat ketakutan pada nyeri. Dia menekankan pentingnya
psikoterapi dan edukasi lebih baik daripada pembedahan dan dilatasi.
Sebelumnya adanya identifikasi sebagai respon kondisi, vaginismus dianggap merupakan sebuah
gejala histeris atau konversi, yang menjadi tanda ekspresi adanya konflik spesifik intrapsikis yang
tidak disadari. Beberapa pihak berwenang masih percaya bahwa wanita yang menderita
vaginismus benci kepada pria dan adanya keinginan secara tidak sadar untuk mengebiri mereka.
Perumusan klinis menyatakan bahwa kecemburuan pada penis adalah sebuah fenomena universal
yang muncul pada fase falik selama perkembangan gadis muda. Berdasarkan teori ini, jika wanita
tidak menyelesaikan kecemburuan pada penis, dia cenderung mengembangan vaginismus di
kemudian hari. Vaginismus dijelaskan sebagai ekspresi fisik pada ketidaksararan wanita untuk
menggalkan keinginan seksual pria atau lebih utama untuk mengebiri mereka sebagai pembalasan
terhadap pengebirian pada diri mereka. Mengikuti psikoanalitik terkait pendekatan untuk
pengobatan vaginismus mencoba untuk menumbuhkan kesadaran pasien tentang permusuhan
bawah sadar terhadap pria dan penyelesaian konflik darimana ia berasal. Menurut Kaplan, laporan
hasil dari bentuk pengobatan tidak bagus dan tidak tersedia.
Vaginismus adalah sebuah fenomena psikogenik yang menggambarkan spasme otot vagina
dimulai dengan sedikit kontraksi pada awal hubungan seksual, pada kasus ekstrim dimana spasme
menyebabkan nyeri yang parah, adduksi paha dan opistotonus, dan tidak memungkinkan
pengenalan organ seksual pria atau bahkan ujung jari ke dalam vagina. Kebanyakan wanita yang
menunjukkan vaginismus percaya bahwa "mereka terlalu kecil di dalam", yang sebenarnya adalah
selama masa spasme itu ada. Sementara vaginismus dapat digunakan untuk mencegah penis diluar,
perlu dicatat bahwa spasme vagina yang sebenarnya tidak dapat dihasilkan secara sadar dan
karenanya tidak dapat secara sadar digunakan oleh wanita untuk menghindari hubungan seksual.
Dawkins dan Taylor membagi wanita-wanita ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri
dari mereka yang belum berhasil mencapai kematangan seksual. Disini, fungsi dokter adalah
membantu wanita mengintegrasikan organ seksualnya ke dalam tubuhnya dan merasa dirinya
sebagai manusia yang lengkap dan memungkinkan dia mengendalikan seluruh tubuhnya. Wanita
dengan gangguan kepribadian dan ketidakharmonisan pernikahan termasuk dalam kelompok
kedua. Pasien ini, meski mereka mencari pertolongan, tapi menolak pengobatan.
Frank melihat vaginismus sebagai mekanisme pertahanan melawan seks karena alasan seperti
takut hamil, perasaan mual, pertunangan yang hancur, ditemukannya cacat fisik pada suami setelah
menikah, atau penolakan terhadap wanita. Faktor lainnya adalah kurangnya pertimbangan atau
perhatian selama foreplay terhadap persatuan seksual atau halitosis, yang bisa menjadi dasar
keengganan terhadap suami, dan, secara tidak sadar, awal perlawanan dan pertahanan seksual.
Dalam beberapa kasus, suami datang untuk menggambarkan seorang "ayah" di dalam pikiran
wanita tersebut, jadi dia merasa bahwa seks dengan dia akan menjadi incest.
Silverstein melihat vaginismus sebagai sebuah gejala. Ini mewakili kebutuhan defensif untuk
menutup, melindungi diri sendiri, mencegah, membarikade dan memberikan batasan. Vaginismus
melindungi terhadap antisipasi rasa sakit dan juga terhadap dugaan pelanggaran dan intrusi. Ini
merupakan keinginan untuk menjaga integritas diri. Dalam kebanyakan kasus, persepsi
pelanggaran terjadi akibat sejarah pelanggaran aktual dan kemarahan pasif terhadap pasangan
sebagai representasi agresor (ayah). Wanita ini tidak dapat marah langsung pada agresor
sebenarnya, jadi mereka memproyeksikan agresi mereka ke pasangan mereka. Mereka tidak
merasa aman untuk terbuka secara emosional atau fisik. Para pasangan, karena alasan historis
mereka sendiri, berkolusi dalam identifikasi proyektif dan memandang seksualitas mereka sendiri
sebagai sesuatu yang agresif.
Silverstein berpikir bahwa pilihan pasangan wanita dengan vaginismus itu didasarkan pada
hubungan internalisasi dengan ayahnya, memilih apa yang tampaknya merupakan karakter yang
berlawanan. Reaksi terhadap citra ayah yang introjected diproyeksikan agresif ke suami,
membuatnya merasa terancam dan terganggu.
Secara umum, vaginismus adalah kondisi di mana sepertiga bagian luar otot vagina wanita
berkontraksi secara spasmodik saat antisipasi hubungan seksual terjadi. Pengetatan otot vagina
secara tidak sadar. Kondisi ini akibat dari berbagai masalah organik seperti infeksi, namun sering
kali tidak ada dasar fisiologis atau biologis.
Vaginismus merupakan hasil dari rasa takut akan nyeri dan takut berhubungan intim,
menyebabkan koitus tidak mungkin atau sangat sulit. Kondisi ini terjadi pada banyak pernikahan
yang tidak harmonis. Vaginismus telah disamakan dengan respons kedipan mata saat terjadi
ancaman sentuhan. Gejalanya adalah ego-syntonic; pernikahan mungkin berlangsung selama
bertahun-tahun sebelum beberapa motivasi lain, seperti keinginan untuk melahirkan anak,
membawa wanita atau pasangan untuk berobat.
Baru-baru ini, muncul kesepakatan mendasar bahwa vaginismus adalah gangguan psikofisiologis
dengan unsur fobia yang dihasilkan dari pengalam negatif yang sebenarnya atau yang dibayangkan
terhadap seksualitas/penetrasi dan/atau patologi organik. Ketakutan dan kecemasan tentang
penetrasi diekspresikan secara fisiologis melalui spasme otot vagina yang menjadi ciri vaginismus.
Meskipun vaginismus bukan masalah umum, tidak jarang, dan ini mungkin terjadi pada tingkat
minimal pada banyak wanita. Permasalah ini bukan hanya karena wanita dan pasangannya tidak
dapat menikmati hubungan seksual, tetapi juga karena harga diri mereka dipengaruhi oleh
kegagalan berulang atau dengan menghindari hubungan intim sepenuhnya. Wanita dengan
vaginismus, bagaimanapun, tidak harus memiliki hambatan seksual lainnya, dan mereka mungkin
cukup mampu melakukan kesenangan dan orgasme dengan metode seksual lainnya.
ETIOLOGI
Berbagai faktor etiologi telah dinyatakan menjadi penyebab penting vaginismus. Mereka
diurutkan berdasarkan Reissing et al dalam tinjauan kritis yang sangat baik dan dimodifikasi
seperti di bawah ini.
Misinformasi, ketidaktahuan, dan perasaan bersalah tentang seksualitas
Ellison melaporkan bahwa 90% pasien vaginismusnya menunjukkan tingkat ketidaktahuan dan
kesalahan informasi mengenai seksualitas mereka. Misalnya, beberapa wanita percaya bahwa
menstruasi itu kotor atau mereka harus memiliki orgasme agar bisa bereproduksi. Dawkins dan
Taylor telah mengusulkan, bagaimanapun, bahwa ketidaktahuan itu bisa menjadi gejala dan bukan
penyebab kesulitan, dengan penolakan untuk menerima atau mencari informasi tentang seks
menjadi bagian dari masalah kepribadian; satu penelitian telah menunjukkan bahwa hanya
seperenam pasien dengan vaginismus menerima informasi langsung di rumah.
Kurangnya pendidikan seks juga telah dicatat dalam penelitian selanjutnya pada wanita dengan
vaginismus. Lebih lanjut dihipotesiskan bahwa kurangnya informasi ini, bersamaan dengan
identifikasi dengan ibu erotofobik, menyebabkan rasa takut akan rasa sakit dan akhirnya menarik
diri dari hubungan seksual. Namun, dalam studi terkontrol, Duddle tidak menemukan perbedaan
dalam tingkat pendidikan seks antara sekelompok wanita dengan vaginismus dan kelompok
pembanding pada wanita yang mengunjungi klinik kontrasepsi. Ellison mengidentifikasi sumber
ketakutan penting dalam perkembangan vaginismus: kesalahan seksual adalah akibat dari konflik
seksual yang mendalam, yang menyebabkan ketakutan akan hukuman dan reaksi pertahanan fisik
yang lebih kuat. Teori personal wanita dengan vaginismus mengenai sebab dan akibat kondisinya
dievaluasi oleh Ward dan Ogden. Enam puluh tujuh penderita dan 22 mantan penderita
memberikan peringkat tertinggi kedua untuk "kepercayaan bahwa seks itu salah". Basson
menemukan bahwa mayoritas wanita dalam penelitiannya menganggap pandangan negatif tentang
seksualitas pada umumnya dan aktivitas seksual sebelum menikah pada khususnya.
Wanita dengan vaginismus umumnya mengalami rasa malu, jijik dan tidak suka terhadap alat
kelamin mereka. Perasaan dan kesalahan informasi ini dipelajari dari identifikasi ibu yang juga
tidak menyukai alat kelaminnya sendiri dan sering juga tidak menyukai seks, dan dalam beberapa
kasus juga memiliki vaginismus dan/atau hymenectomy. Asumsinya, vaginismus tidak didasarkan
pada konflik intrapsikis tetapi pada faktor yang dipelajari.
Ketakutan pada nyeri
Dawkins dan Taylor mengemukakan bahwa rasa takut akan nyeri adalah sebuah gejala dan bukan
penyebab vaginismus, namun ada juga yang menekankan kemungkinan penyebab dan berperan
dalam kelainan tersebut. Dalam sebuah penelitian wawancara terhadap 476 wanita dengan
vaginismus, Blazer mencatat ketakutan akan nyeri sebagai alasan utama untuk abstinens. Hal ini
didukung baru-baru ini oleh temuan Ward dan Ogden, di mana 74% wanita dengan vaginismus
dilaporkan ketakutan akan nyeri sebagai alasan utama yang mendasari kondisi mereka. Berbagai
pengalaman masa kecil telah terlibat dalam perkembangan rasa takut akan nyeri, termasuk trauma
fisik masa kecil, seperti enema dan supositoria, takut akan ayah yang kejam, dan kondisi ibu yang
tidak baik.
Namun, kita harus mempertimbangkan hubungan sebab-akibat nyeri pada vaginismus dimana
merupakan nyeri sekunder akibat beberapa faktor selain respon otot vaginismus yang putatif
(misalnya sindrom vestibulitis vulva, infeksi, penyakit menular seksual, dll.), atau apakah nyeri
merupakan akibat dari aktivitas otot spasmodik? Saat ini, kita tidak mengerti tingkat keparahan,
atau mekanisme penyebab dari nyeri pada vaginismus.
Wanita dengan vaginismus sering memiliki fobia lain. Mereka melihat ibu mereka tidak baik
dalam keluarga (karena mereka tidak melindungi diri mereka sendiri atau anak-anak mereka) dan
terkadang tidak butuh bantuan. Ibu mereka sering bertengkar keras melawan dominasi ayah
mereka, tetapi tidak berhasil. Melakukan hubungan seksual merupakan identifikasi dengan ibu –
sebuah peran yang ditakuti.
Patologi organik
Teori organik tentang etiologi vaginismus biasanya terbatas pada beberapa kondisi patologi yang
dapat menyebabkan rasa nyeri saat hubungan seksual. Berikut ini biasanya terdapat beberapa
kemungkinan penyebab organik pada vaginismus: kelainan himen, kelainan kongenital, atrofi
vagina dan adhesi, atrofi vagina dan adhesi akibat operasi vagina atau radiasi intravaginal, uterus
prolaps, sindrom vestibulitis vulva, endometriosis, infeksi, lesi vagina dan tumor, penyakit
menular seksual, dan kemacetan panggul. Telah disarankan bahwa ketika ada masalah medis yang
menyebabkan dispareunia berlanjut, kemungkinan akibatnya adalah vaginismus.
Steege telah menyarankan bahwa spasme tersebut mungkin merupakan respons awal yang tepat
terhadap rangsangan yang menyakitkan (misalnya, hubungan seksual selama episode vaginitis),
namun akan berlanjut bahkan setelah masalah utama dipecahkan. Namun, vaginismus bukanlah
hasil akhir yang mungkin bagi banyak wanita yang menderita dispareunia, bahkan jika masalahnya
sudah lama. Dalam studi klinis vaginismus, Gaafar menemukan lesi lokal pada lima dari 19 kasus,
sedangkan Basson menemukan 42% tingkat komorbiditas dengan sindrom vulva vestibulitis.
Lamont menemukan bukti faktor fisik selain spasme vagina yang berhubungan dengan onset
vaginismus pada 32% sampelnya. Sebaliknya, ketika memeriksa pasien dengan sindrom uretra,
Kaplan dan Steege menemukan bahwa 70% juga mengalami vaginismus.
Penyesalan seksual
Telah dikemukakan bahwa pengalaman trauma seksual merupakan faktor penyebab
perkembangan vaginismus. Namun, dalam penelitian dengan kelompok kontrol atau pembanding,
tidak ada perbedaan signifikan pada kelompok terhadap prevalensi pelecehan seksual. Dalam
sebuah penelitian, tingkat prevalensi pelecehan seksual pada wanita vaginismus sebenarnya lebih
rendah dari pada populasi umum. Ketika diminta untuk menunjukkan penyebab mereka
mengalami vaginismus, penderita dan mantan penderitanya saat ini menempatkan pelecehan
seksual sebagai penyebab yang tidak penting.
Trauma fisik anak usia dini (misalnya enema atau kateter urin) juga telah dinyatakan memiliki
peranan. Namun, hanya dua pasien dalam satu studi yang memberikan riwayat seperti tersebut.
Dalam studi Jeng, tidak ada pasien di antara 60 wanita dengan vaginismus yang memiliki riwayat
trauma fisik masa kecil.
Ortodoks agama
Masters percaya bahwa vaginismus ditandai oleh bentuk kontrol yang berat dari ortodoks agama.,
riwayat trauma seksual, atau setelah mencoba aktivitas heteroseksual oleh seorang wanita, dimana
sebelumnya dengan homoseksual.
Meskipun beberapa penulis berpendapat bahwa harapan tinggi yang ditanamkan oleh ibu atau
kesalahan seksual yang diakibatkan oleh tindak pidana dan agama yang kaku dapat menyebabkan
vaginismus, dimana secara religius sebagai faktor kegagalan terhadap dukungan yang menetap.
Dalam studi Jeng, ortodoksi agama tidak ada hubungannya dengan vaginismus.
Kepribadian
Kepribadian juga dikaitkan dengan perkembangan vaginismus. Berdasarkan sampel klinis dari 100
wanita vaginismus, Friedman menghipotesiskan bahwa wanita dengan pernikahan yang tidak
harmonis menimbulkan berbagai pertahanan terhadap emosi yang saling bertentangan tentang
seksualitas; pertahanan ini kemudian menjadi bagian dari kepribadian mereka. Namun, upaya
untuk mengkonfirmasi hipotesis klinis ini telah gagal saat peneliti menggunakan standar
kepribadian yang ada.
Reissing et al menunjukkan bahwa teori feminim mengkonseptualisasikan seksualitas secara
umum, dan vaginismus pada khususnya, dalam konteks sosial budaya sebagai bagian dari teori
dan persepsi maskulinitas dan feminitas. Pendekatan ini mengabaikan spasme vagina (dan tujuan
terapi tradisional dari hubungan seksual) dan sebaliknya berfokus pada hambatan emosional untuk
melakukan hubungan seksual dengan vaginismus, yaitu ketakutan akan keintiman, sebuah gejala
dari sebuah pertahanan yang tertutup, cara wanita melawan kembali untuk mendapatkan hak
menjadi pemeran dari agenda seksual, sebuah tanda tidak setuju terhadap peran seksual, atau gejala
kurangnya batasan yang ditentukan sendiri. Pendekatan teoritis ini memandang vaginismus
sebagai respon pertahanan tubuh terhadap nyeri, tapi tanpa konotasi negatif dari disfungsi seksual.
Pertahanan fisik mungkin bukan karena pengalaman dan/atau harapan akan nyeri, namun bisa
mewakili pertahanan dari emosional akibat nyeri dan gangguan yang tidak diinginkan.
Hubungan orang tua dan hubungan ayah-anak
Dalam penelitian Silverstein terhadap 22 pasien, ayah wanita dengan vaginismus cenderung sangat
kritis, dominan, bersikap moralistik dan mengancam wanita ini saat anak-anak. Lebih dari 90%
wanita dengan vaginismus melaporkan merasa takut pada ayah mereka. Pada 45,5%, ayah pecandu
alkohol dan 22,7% ayah memiliki gangguan mental atau saraf yang memerlukan rawat inap.
Hubungan orang tua yang buruk dan kekerasan atau penganiayaan fisik terjadi di antara orang tua
pada hampir 55% kasus. Banyak wanita telah menyaksikan atau mendengar ibu mereka dipaksa
untuk melakukan hubungan seks. Para ibu cenderung mewajibkan, tapi terkadang menolak suami
mereka.
Silverstein menemukan bahwa 63,6% wanita dengan vaginismus sering diperlakukan sebagai anak
istimewa oleh sang ayah. Mereka terlalu protektif, tapi ayahnya tidak menghormati privasi atau
batasan anak perempuan mereka. Dalam 72,7%, ayah menggoda anak perempuan mereka. Anak
perempuan sepertinya bisa menggantikan sang ibu dengan cara tertentu. Ayahnya bertingkah
seperti kekasih yang cemburu saat anak perempuan mereka kencan, dan di satu sisi bersifat
moralistik, namun di sisi lain terlalu penasaran dengan seksualitas anak perempuan mereka. Jeng
memiliki pengamatan serupa dalam sebuah penelitian baru-baru ini.
Kepribadian pasangan pria
Malleson melibatkan pasangan pria dalam etiologi vaginismus dengan mengatakan bahwa
masalahnya menular secara emosional. Pria berpotensi menyebabkan atau memperburuk
vaginismus pada pasangan wanita yang "kurang kompeten, terlalu cemas, atau terlalu sabar".
Pernyataan yang paling umum bahwa pasangan pria telah dipilih karena dia pasif dan tidak tegas,
dan pasangan tersebut terlibat dalam persekongkolan untuk menghindari hubungan seksual.
Namun, ketika karakteristik personal pasangan pria secara empiris dibandingkan dengan kontrol,
tidak ada perbedaan kelompok yang telah ditetapkan.
Pada sisi lain, pasangan-pasangan tersebut secara umum digambarkan seorang yang baik, lembut,
dan perhatian. Mereka cenderung pasif, bergantung, terlalu protektif, berhati-hati, dan takut akan
agresi dan seksualitas agresif mereka sendiri. Mereka adalah "orang baik". Telah ditunjukkan
bahwa suami yang aman secara seksual mungkin dapat mengatasi spasme ringan terhadap
penetrasi penis yang terus-menerus. Kedua pasangan, bagaimanapun juga takut akan agresivitas
seksual dan pilihan wanita pada pasangan yang lemah tersebut membuat keputusan yang tidak
sadar untuk menghindari cedera. Penerimaan suami terhadap situasi ini memungkinkan adanya
homoseksualitas laten dalam beberapa kasus.
Disfungsi seksual pasangan pria
Masters mencantumkan disfungsi seksual pria sebagai faktor penyebab yang paling sering terjadi,
dimana vaginismus berfungsi untuk melindungi pasangan dalam menghadapi masalah pria
tersebut. Dalam studi O'Sullivan, suami dua kali lebih mungkin (26%) memiliki disfungsi seksual
jika istri mereka mengalami vaginismus daripada disfungsi orgasme. Namun, peningkatan
kejadian impotensi dan ejakulasi dini pada suami akibat pasangan vaginismus. Sebagai tanggapan
atas frustrasi yang berulang, fungsi seksual pria mungkin akan terpengaruh.
Dalam studi dimana subjek ditanya tentang kronologi disfungsi pria, disfungsi ereksi dan ejakulasi
dini muncul secara sekunder akibat vaginismus dan/atau transien vaginismus terhadap pengobatan.
Hubungan pasangan
Menurut tinjauan literatur Reissing et al, beberapa peneliti telah menyarankan bahwa berbagai
jenis kesulitan dalam hubungan pasangan (misalnya perselingkuhan, konflik) dapat menyebabkan
vaginismus. Namun, ini belum didukung oleh penelitian lain. Dalam sebuah penelitian, Hawton
dan Catalan menemukan bahwa pasangan vaginitis menunjukkan komunikasi yang jauh lebih baik
dan tingkat hubungan yang lebih baik daripada kelompok pembanding. Di sisi lain, vaginismus
tanpa perawatan yang tepat dapat mengakibatkan kesulitan dalam hubungan dengan pasangan dan
dapat menyebabkan perceraian.
RINGKASAN
Silverstein menyimpulkan bahwa kombinasi faktor predisposisi menyebabkan dan
mempertahankan vaginismus: 1) pemahaman awal bahwa pria (biasanya karena sang ayah) tidak
aman dan mengancam; 2) pembelajaran awal bahwa wanita (biasanya karena ibunya) lemah dan
tidak berdaya, dan pria mendominasi; 3) pembelajaran awal bahwa hubungan seksual itu buruk
dan menyakitkan, namun pria membutuhkannya dan wanita harus mematuhi; 4) hal-hal yang
masuk ke dalam tubuh terasa sakit (misalnya jarum suntik, enema) dan dialami sebagai penderita;
5) rasa takut dan amarah harus ditekan, ekspresinya tidak dapat ditolerir, dan tidak aman untuk
membuka perasaan secara emosional atau fisik; 6) upaya seks dini memang menimbulkan rasa
nyeri. Dengan demikian, semua wanita dengan vaginismus tampaknya memiliki pengalaman nyata
tentang rasa sakit dan trauma, namun ini tidak ditemukan dalam penelitian lain.
SIMPULAN
Muncul kesepakatan bahwa vaginismus adalah gangguan psikososial dengan unsur fobia yang
dihasilkan dari pengalaman negatif dengan adanya usaha penetrasi. Ketakutan dan kecemasan
tentang penetrasi diekspresikan secara fisiologis melalui spasme otot vagina yang tidak disengaja
yang menjadi ciri vaginismus.
Wanita dengan vaginismus umumnya mengalami rasa malu, jijik dan tidak menyukai alat kelamin
mereka. Mereka sering memiliki fobia lainnya. Mereka biasanya dilindungi oleh ayah mereka dan
telah menjadi "gadis baik" sejak kecil. Pasangan seksual mereka biasanya baik, lembut, penuh
perhatian dan orang pasif yang baik. Kurangnya agresivitas pasangan pria sebenarnya bisa
menyebabkan ketidakharmonisan pernikahan. Suami yang aman secara seksual biasanya dapat
mengatasi vaginismus derajat ringan dengan adanya penetrasi penis yang terus-menerus. Namun,
etiologi sebenarnya dari vaginismus tetap tidak diketahui.

Anda mungkin juga menyukai