Antibodi Monoklonal
Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi mukosa
menghasikan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang masuk ke dalam sirkulasi
darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang disebut limfosit B. limfosit B akan
mengeluarkan antibodi yang kemudian diletakkan pada permukaannya. Setiap antibodi yang
berbeda akan mengenali dan mengikat hanya satu antigen spesifik. Antigen meruapakan suatu
protein yang terdapat pada permukaan bakteri, virus, dan sel kanker. Pengikatan antigen akan
memicu multiplikasi sel B dan pelepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi mengaktivasi sistem
respon imun yang akan menetralkan dan mengeliminasinya. Antibodi memiliki berbagai macam
bentuk dan ukuran walaupun struktur dasarnya berbentuk Y. antibodi tersebut mempunyai 2
fragmen, fragmen antigen binding Fab dan frgamen cristallizable Fc. Fragmen antigen binding Fab
digunakan untuk mengenal dan mengikat antigen spesifik, tempat melekatnya antibodi yang tepat
sesuai region yang bervariasi disebut complementary determining region (CDR) dan Fc berfungsi
sebagai efektor yang dapat berinteraksi dengan sel imun atau protein serum.
Pada tahun 1975 Georges Kohler, Cesar Milstein, dan Njels Kaj Jerne menemukan cara baru
dalam membuat antibody dengan mengimunisasi hewan percobaan, kemudian sel limfositnya
difusikan dengan sel mielome, sehingga sel hybrid dapat dibiakkan terus-menerus. Sel myeloma
adalah sel limfosit B yang abnormal yang mampu bereplikasi terus-menerus dan menghasilkan
sebuah antibody spesifik berupa paraprotein, sel myeloma disebut juga dengan sel B kanker.
Mereka juga mampu membuat antibody yang homogeny yang diproduksi oleh satu klon sel hybrid.
Antibody tersebut lebih spesifik dibandingkan dengan antibody poliklonal karena dapat mengikat
1 epitop antigen dan dapat dibuat jumlah yang tak terbatas. Definisi epitope adalah daerah spesifik
pada antigen yang dapat dikenali oleh antibody (Riechmann, 1992). Antibodi yang homogen dan
spesifik ini disebut antibody monklonal. Berkat temuan antibody monoclonal Georges Kohler,
Cesar Milstein, dan Njels Kaj Jerne mendapatkan hadiah nobel di bidang fisiologi dan kedokteran
pada tahun 1985.
1. Imunisasi mencit
Antigen berupa protein atau polisakarida yang berasal dari bakteri atau virus, disuntikkan
secara subkutan pada beberapa tempat atau secara intraperitoneal. Antigen yang sama 30
hari sbelum fusi diemulsikan dalam Freund.s Incomplete adjuwant kemudian disuntikkan
ke mencit dengan dosis yang sama secara intraperitoneal. Pengambilan serum mencit
dilakukan 1 minggu setelah mencit diimunisasi terakhir, dan pengukuran respon imunnya
dilakukan 1 minggu setelah enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Mencit yang
menunjukkan respon imun dengan nilai optical density (OD) tertinggi digunakan untuk
produksi antibody monoclonal. Cara imunisasi yang juga dilakukan adalah imunisasi sekali
untuk intralimpa (single-shot intransplenic immunization). Pada cairan imunisasi
konvensional antigen dipengaruhi bermacam-macam factor. Apabila disuntikkan kedalam
darah sebagian besar akan dieliminasi secara alami, sedangkan melalui kulit akan tersaring
oleh kelenjar limfa, makrofag, dan sel retikuler. Hanya sebgaian kecil saja antigen yang
terlibat dilakukan suntikan imunisasi langsung pada limpa dan ternyata hasilnya lebih baik
dari cara konvensional. Menyuntik hewan laboratorium (mencit) dengan antigen dan
kemudian, setelah antibody telah terbentuk, mengumpulkan antibody dari serum darah
hewan tersebut (antibody yang mengandung serum darah disebut antiserum).
2. Fusi sel limpa kebal dan sel myeloma
Pada kondisi biakan jaringan biasa, sel limpa yang membuat antibody akan cepat mati,
sedangkan sel myeloma yang dapat dibiakan terus menerus. Fusi sel dapat menciptakan sel
hybrid yang terdiri dari gabungan sel limpa yang dapat membuat antibody dan sel myeloma
yang dapat dibiakan tersu menerus dalam jumlah yang tidak terbatas secara in vitro.
Fusi sel diawali dengan fusi membrane plasma sehingga menghasilkan sel besar dengan
dua atau lebih inti sel, yang berasal dari kedua induk sel yang berbeda jenis yang dibuat
heterokarion. Pada waktu tumbuh dan membelah diri terbentuk satu inti yang mengandung
kromosom kedua induk yang disebut sel hybrid. Frekuensi fusi dipengaruhi beberapa factor
antara lain jenis medium, perbandingan jumlah sel limpa dengan sel myeloma, jenis sel
myeloma yang digunakan, dan bahan yang mendorong timbulnya fusi (fusogen0.
Penambahan polietilen glikol (PEG) dan dimetilsulfoksida (DMSO) dpat menaikkan
efisiensi fusi sel. Mentransfer campuran fusi sel (sel limfosit B dan sel myeloma ke medium
kultur yang disebut medium HAT (karena mengandung Hipoxantin Aminopterin Timidin).
a. Sel myeloma (sel-sel tumor sum-sum tulang yang akan tumbuh tanpa batas di
laboratorium dan menghasilkanimunoglobulin) yang tidak mengalami fusi tidak
dapat tumbuh karena kekurangan HGPRT.
b. Sel limfosit B (limpa mencit yang telah terkena antigen sehingga memproduksi
antibody X) yang tidak mengalami fusi tidak dapat tumbuh terus karena punya
batas waktu hidup.
c. Sel hibridoma (dihasilkan oleh fusi yang berhasil) dapat tumbuh tanpa batas karena
sel limpa dapat memproduksi HGPRT dan sel myeloma dapat membantu sel limpa.
d. Fusi ini menggabungkan kemampuan untuk terus menerus dari sel myeloma dan
kemampuan untuk menghasilkan sejumlah besar antibody dari sel limfosit B murni.
3. Eliminasi sel induk yang tidak berfusi
Frekuensi terjadinya hybrid sel limpa- sel myeloma biasnaya rendah, karena itu penting
untuk mematikan sel yang tidak fusi yang jumlahnya lebih banyak agar sel hybrid
mempunyai kesempatan untuk tumbuh dengan cara membiakkan sel hybrid dalam media
selektif yang mengandung hypoxanthine, aminopterin, dan thymidine (HAT). Aminopterin
menghambat jalur biosintesis purin dan pirimidin sehingga memaksa sel menggunakan
salvage pathway. Seperti kit ketahui bahwa sel myeloma mempunyai kelinan untuk
mensintesis nukleotida yaitu sel myeloma yang tidak mempunyai enzim timidin kinase
atau hypoxanthine phosphoribosyl transferase, sehingga sel myeloma yang tidak berfusi,
karena tidak mempunyai enzim timidin kinase atau hypoxanthine
phosphonibosyltransferase akan mati, sedangkan sel hybrid karena mendapatkan enzim
tersebut dan sel mamalia yang difusikan dapat menggunakan salvage pathway, sehingga
tetap hidup dan berkembang.
4. Isolasi dan pemilihan klon hibridoma
Sel hibridoma dikembangkan sedemikian rupa, sehingga tiap sel hybrid akan membentuk
koloni homogeny yang disebut hibridoma. Tiap koloni kemudian dipelihara terpisah satu
sama lain. Hibridoma yang tumbuh diharapkan mensekresi antibody ke dalam medium,
sehingga antibody yang erbentuk bisa diidolasi. Umunya penentuan antibody yang
diinginkan dilakukan dengan cara enzyme linked immunosorbent assay(ELISA) atau
radioimmunoassay (RIA). Pemilihan klon hibridoma dilakukan dua kali, pertama adalah
dilakukan untuk memperooleh hibridoma yang dapat menghasilkan antibody, dan yang
kedua adalaha memilih sel monoclonal yang tinggi dan stabil.
Mekanisme kerja antibody monoclonal
Antibody monoclonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk meningkatkan efek sitotoksik
sel tumor. Mekanisme komponen system imun adalah antibody dependent, cellular cytotoxicity
(ADCC), complement dependent cytotoxicity (CDC), menubah signal transduksi sel tumor atau
menghilangkan sel permukaan antigen. Antibody dapat digunakan sebagai target muatan
(radioisotope, obat atau toksin) untuk membunuh sel tumor atau mengaktivasi prodrug di tumor,
antibody directed enzyme prodrug therapy (ADEPT). Antibody monoclonal digunakan secara
sinergis melengkapi mekanisme kerja kemoterapi untuk melawan tumor.