Anda di halaman 1dari 10

Antibodi Monoklonal

Antibodi monoklonal merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi mukosa
menghasikan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang masuk ke dalam sirkulasi
darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang disebut limfosit B. limfosit B akan
mengeluarkan antibodi yang kemudian diletakkan pada permukaannya. Setiap antibodi yang
berbeda akan mengenali dan mengikat hanya satu antigen spesifik. Antigen meruapakan suatu
protein yang terdapat pada permukaan bakteri, virus, dan sel kanker. Pengikatan antigen akan
memicu multiplikasi sel B dan pelepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi mengaktivasi sistem
respon imun yang akan menetralkan dan mengeliminasinya. Antibodi memiliki berbagai macam
bentuk dan ukuran walaupun struktur dasarnya berbentuk Y. antibodi tersebut mempunyai 2
fragmen, fragmen antigen binding Fab dan frgamen cristallizable Fc. Fragmen antigen binding Fab
digunakan untuk mengenal dan mengikat antigen spesifik, tempat melekatnya antibodi yang tepat
sesuai region yang bervariasi disebut complementary determining region (CDR) dan Fc berfungsi
sebagai efektor yang dapat berinteraksi dengan sel imun atau protein serum.

Pada tahun 1975 Georges Kohler, Cesar Milstein, dan Njels Kaj Jerne menemukan cara baru
dalam membuat antibody dengan mengimunisasi hewan percobaan, kemudian sel limfositnya
difusikan dengan sel mielome, sehingga sel hybrid dapat dibiakkan terus-menerus. Sel myeloma
adalah sel limfosit B yang abnormal yang mampu bereplikasi terus-menerus dan menghasilkan
sebuah antibody spesifik berupa paraprotein, sel myeloma disebut juga dengan sel B kanker.
Mereka juga mampu membuat antibody yang homogeny yang diproduksi oleh satu klon sel hybrid.
Antibody tersebut lebih spesifik dibandingkan dengan antibody poliklonal karena dapat mengikat
1 epitop antigen dan dapat dibuat jumlah yang tak terbatas. Definisi epitope adalah daerah spesifik
pada antigen yang dapat dikenali oleh antibody (Riechmann, 1992). Antibodi yang homogen dan
spesifik ini disebut antibody monklonal. Berkat temuan antibody monoclonal Georges Kohler,
Cesar Milstein, dan Njels Kaj Jerne mendapatkan hadiah nobel di bidang fisiologi dan kedokteran
pada tahun 1985.

Pembuatan Antibodi Monoklonal

1. Imunisasi mencit
Antigen berupa protein atau polisakarida yang berasal dari bakteri atau virus, disuntikkan
secara subkutan pada beberapa tempat atau secara intraperitoneal. Antigen yang sama 30
hari sbelum fusi diemulsikan dalam Freund.s Incomplete adjuwant kemudian disuntikkan
ke mencit dengan dosis yang sama secara intraperitoneal. Pengambilan serum mencit
dilakukan 1 minggu setelah mencit diimunisasi terakhir, dan pengukuran respon imunnya
dilakukan 1 minggu setelah enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Mencit yang
menunjukkan respon imun dengan nilai optical density (OD) tertinggi digunakan untuk
produksi antibody monoclonal. Cara imunisasi yang juga dilakukan adalah imunisasi sekali
untuk intralimpa (single-shot intransplenic immunization). Pada cairan imunisasi
konvensional antigen dipengaruhi bermacam-macam factor. Apabila disuntikkan kedalam
darah sebagian besar akan dieliminasi secara alami, sedangkan melalui kulit akan tersaring
oleh kelenjar limfa, makrofag, dan sel retikuler. Hanya sebgaian kecil saja antigen yang
terlibat dilakukan suntikan imunisasi langsung pada limpa dan ternyata hasilnya lebih baik
dari cara konvensional. Menyuntik hewan laboratorium (mencit) dengan antigen dan
kemudian, setelah antibody telah terbentuk, mengumpulkan antibody dari serum darah
hewan tersebut (antibody yang mengandung serum darah disebut antiserum).
2. Fusi sel limpa kebal dan sel myeloma
Pada kondisi biakan jaringan biasa, sel limpa yang membuat antibody akan cepat mati,
sedangkan sel myeloma yang dapat dibiakan terus menerus. Fusi sel dapat menciptakan sel
hybrid yang terdiri dari gabungan sel limpa yang dapat membuat antibody dan sel myeloma
yang dapat dibiakan tersu menerus dalam jumlah yang tidak terbatas secara in vitro.
Fusi sel diawali dengan fusi membrane plasma sehingga menghasilkan sel besar dengan
dua atau lebih inti sel, yang berasal dari kedua induk sel yang berbeda jenis yang dibuat
heterokarion. Pada waktu tumbuh dan membelah diri terbentuk satu inti yang mengandung
kromosom kedua induk yang disebut sel hybrid. Frekuensi fusi dipengaruhi beberapa factor
antara lain jenis medium, perbandingan jumlah sel limpa dengan sel myeloma, jenis sel
myeloma yang digunakan, dan bahan yang mendorong timbulnya fusi (fusogen0.
Penambahan polietilen glikol (PEG) dan dimetilsulfoksida (DMSO) dpat menaikkan
efisiensi fusi sel. Mentransfer campuran fusi sel (sel limfosit B dan sel myeloma ke medium
kultur yang disebut medium HAT (karena mengandung Hipoxantin Aminopterin Timidin).
a. Sel myeloma (sel-sel tumor sum-sum tulang yang akan tumbuh tanpa batas di
laboratorium dan menghasilkanimunoglobulin) yang tidak mengalami fusi tidak
dapat tumbuh karena kekurangan HGPRT.
b. Sel limfosit B (limpa mencit yang telah terkena antigen sehingga memproduksi
antibody X) yang tidak mengalami fusi tidak dapat tumbuh terus karena punya
batas waktu hidup.
c. Sel hibridoma (dihasilkan oleh fusi yang berhasil) dapat tumbuh tanpa batas karena
sel limpa dapat memproduksi HGPRT dan sel myeloma dapat membantu sel limpa.
d. Fusi ini menggabungkan kemampuan untuk terus menerus dari sel myeloma dan
kemampuan untuk menghasilkan sejumlah besar antibody dari sel limfosit B murni.
3. Eliminasi sel induk yang tidak berfusi
Frekuensi terjadinya hybrid sel limpa- sel myeloma biasnaya rendah, karena itu penting
untuk mematikan sel yang tidak fusi yang jumlahnya lebih banyak agar sel hybrid
mempunyai kesempatan untuk tumbuh dengan cara membiakkan sel hybrid dalam media
selektif yang mengandung hypoxanthine, aminopterin, dan thymidine (HAT). Aminopterin
menghambat jalur biosintesis purin dan pirimidin sehingga memaksa sel menggunakan
salvage pathway. Seperti kit ketahui bahwa sel myeloma mempunyai kelinan untuk
mensintesis nukleotida yaitu sel myeloma yang tidak mempunyai enzim timidin kinase
atau hypoxanthine phosphoribosyl transferase, sehingga sel myeloma yang tidak berfusi,
karena tidak mempunyai enzim timidin kinase atau hypoxanthine
phosphonibosyltransferase akan mati, sedangkan sel hybrid karena mendapatkan enzim
tersebut dan sel mamalia yang difusikan dapat menggunakan salvage pathway, sehingga
tetap hidup dan berkembang.
4. Isolasi dan pemilihan klon hibridoma
Sel hibridoma dikembangkan sedemikian rupa, sehingga tiap sel hybrid akan membentuk
koloni homogeny yang disebut hibridoma. Tiap koloni kemudian dipelihara terpisah satu
sama lain. Hibridoma yang tumbuh diharapkan mensekresi antibody ke dalam medium,
sehingga antibody yang erbentuk bisa diidolasi. Umunya penentuan antibody yang
diinginkan dilakukan dengan cara enzyme linked immunosorbent assay(ELISA) atau
radioimmunoassay (RIA). Pemilihan klon hibridoma dilakukan dua kali, pertama adalah
dilakukan untuk memperooleh hibridoma yang dapat menghasilkan antibody, dan yang
kedua adalaha memilih sel monoclonal yang tinggi dan stabil.
Mekanisme kerja antibody monoclonal
Antibody monoclonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk meningkatkan efek sitotoksik
sel tumor. Mekanisme komponen system imun adalah antibody dependent, cellular cytotoxicity
(ADCC), complement dependent cytotoxicity (CDC), menubah signal transduksi sel tumor atau
menghilangkan sel permukaan antigen. Antibody dapat digunakan sebagai target muatan
(radioisotope, obat atau toksin) untuk membunuh sel tumor atau mengaktivasi prodrug di tumor,
antibody directed enzyme prodrug therapy (ADEPT). Antibody monoclonal digunakan secara
sinergis melengkapi mekanisme kerja kemoterapi untuk melawan tumor.

a. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)


Mekanisme ini terjadi ijka antibody mengikat antigen sel tumor dan Fc antibody melekat
dengan reseptor Fc pada permukaan sel imun efektor. Interaksi Fc reseptor ini berdasarkan
kemanjuran antitumor dan sangat penting pada pemilihan suatu antibody monoclonal. Sel
efektor yang berperan masih belum jelas tapi diasumsikan sel fagosit mononuclear dan atau
natural killer (NK). Struktur Fc domain dimanipulasi untuk menyesuaikan jarak antibody
dan interaksi dengan Fc reseptor. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dapat
meningkatkan respon klinis secara langsung menginduksi destruksi tumor melalui
presentasi antigen dan menginduksi respons sel T tumor. Antibody monoclonal berikatan
dengan antigen permukaan sel tumor melalui Fc reseptor permukaan sel NK. Hal ini
memicu penglepasan perforin dan granzymes untuk menghancurkan sel tumor (gambar
5a). sel-sel yang hancur ditangkap antigen presenting cell (APC) lalu dipresentasikan pada
sel B sehingga memicu pengelpasan antibody kemudian antibody ini akan berikatan
dengan antigen (gamabr 5b-d). sel cytotoxic T lymphocytes (CTLs) dapat mengenali dan
membunuh sel target antigen (gamabr 5d).
b. Complement dependent cytotoxicity (CDC)
Pengikat antibody monoclonal dengan antigen permukaan sel akan mengawali kaskade
complement. Complement dependent cytotoxicity (CDC) merupakan suatu metode
pembunuh sel tumor yang lain dan antibody. Immunoglobulin G1 dan G3 sangat efektif
pada CDC melalui jalur klasik aktivasi komplemen (gamabr 6a). formasi kompleks antigen
antibody merupakan komplemen C1q berikatan dengan IgG sehingga memicu komplemen
protein lain untuk mengawali penglepasan proteolitik sel efektor kemotaktik/ agen aktivasi
C3a dan C5a (gambar 6b). kaskade komplemen ini diakhiri dengan formasi membrane
attack complex (MAC) (gamabr 6c). sehingga terbentuk suatu lubang pada sel memberan.
Membrane attack complex (MAC) memfasilitasi keluar masuknya air dan Na++ yang akan
menyebabkan sel target lisis (gambar 6d).
c. Perubahan trasnduksi signal
Reseptor growth factor meruapkan suatu antigen target tumor, ekspresinya berlebihan pada
keganasan, aktivasi transduksi signal yang juga menyebabkan tumor tidak sensitive
terhadap zat kemoterapi. Antibody monoclonal sangat potensial menormalkan laju
perkembanan sel dan membuat sel sensitive terhadap zat sitotoksik dengan menghilangkan
signal reseptor ini. Target antibody EGFR merupakan inhibitor yang kuat untuk transduksi
signal. Terapi antibody monoclonal memberikan efek penurunan density ekspresi target
antigen contohnya penurunan konsentrasi EFGR permukaan sel tumor atau membersihkan
ligan seperti VEGF. Pengikatan ligand resptor growth factor memicu dimerisasi dan
aktivasi kaskade signal (gambar 7a) sehingga terjadi poliferasi sel dan hambatan terhadap
zat sitotoksik (gambar 7b). antibody monoclonal menghambat signal dengan cara
menghambat dimerisasi atau mengganggu ikatan ligand (gambar 7c).
d. Imunomodulasi
Beberapa percobaan menunjukkan antibody yang langsung melawan cytotoxic T
lymphocyte antigen 4 (CTLA 4) terbukti dapat menginduksi regresi imun. Pola tiksisiti
yang diteliti pada uji klinis memperlihatkan hubungan perlekatan CTLA 4 dengan ligand
dapat menginduksi respon autoimun, hal ini terlihat pada aktivitas sel T dependent.
Gabungan antibody anti CTLA 4 denga antibody monoclonal menginduksi ADCC,
kemoterapi sitotoksik atau radioterapi sehingga dapat meningkatkan respon imun terhadap
antigen spesifik tumor. Pengahntara muatan sitotoksik, antibody monoclonal pada terapi
kanker akan melawan target sel tumor dengan cara mengikat sel spesifik tumor dan
menginduksi respon imun. Antibody monolkonal telah digunakan secara luas dalam
percobaan sebagai zat sitotoksik sel-sel tumor. Modifikasi antibody monoclonal dilakukan
dengan tujuan sebagai zat enghantar radioisotope, toksin katalik, obat-obatan, sitokin,
enzim atau zat konjugasi aktif lainnya. Pola antibody biospesifik pada kedua bagian Fab
memungkinkan untuk mengikat target antigen dan sl efektor.
e. Antibody directed enzyme prodrug therapy (ADEPT)
Antibody directed enzyme prodrug therapy (ADEPT) mengunakan antibody monoclonal
sebagai penghantar untuk sampai ke sel tumor kemudian enzim mengaktifkan prodrug pada
tumor, hal ini dapat meningkatkan dosis active drug di dalam tumor. Konjugasi antibody
monoclonal dan enzim mengikat antigen permukaan sel tumor (gamabr 7a) kemudian zat
sitotoksik dalam bentuk inaktif prodrug akan menikat konjugasi antibody monoclonal dan
enzim permukaan sel tumor (gamabr 7b-c) akhirnya inaktivasi prodrug terpecah dan
melepaskan active drug di dalam tumor (gambar 7d).

Penggunaan antibody monoclonal untuk terapi kanker


Pemanfaatan antibody monoclonal dalam bidang kesehatan, baik untuk diagnostic atau mengatasi
penyakit kanker tertentu, telah banyak dilakukan. Bebrapa antibody monoclonal yang dilakukan
untuk pengobatan berasal dari sel mencit atau tikus, sering menimbulkan reaksi alergi pada pasien
yang menerima terapi antibody tersebut sehingga dikembangkan antibody monoclonal
rekombinan manusia, yaitu suatu monoclonal antibody yang sebagian atau seluruhnya terdiri dari
protein yang berasal dari manusia, untuk mengurangi efek penolakan oleh system imun pasien.
(Tuscano, J.M et al, 2005).
Beberapa jenis antibody monoclonal generasi baru yang telah dikembangkan antara lain:
1. Antibody monoclonal murine (fully mouse)
Antibody ini merupakan antibody murni yang didapatkan dari tikus. Antibody ini dapat
menyebabkan human anti mouse antibodies (HAMA). Biasnaya antibody ini memiliki
akhiran dengan nama “momab” contohnya Ibritumomab). (Tuscano, J.M., et al, 2005)
2. Antibody monoclonal kimera (chimeric)
Antibody monoclonal ini dibuat melalui teknik rekayasa genetika untuk menciptakan galur
mencit atau tikus transgenic yang dapat memproduksi sel hybrid mencit manusia yang
disebut kimera (chimeric). Bagian variabel molekul antibody (Fab), termasuk bagian
antigen binding site, berasal dari mencit, sedangkan bagian lainnya, yaitu bagian yang
constant (Fc) berasal dari manusia. Memiliki kahiran dengan nama “ximab” (Rituximab)
(Tuscano, J.M., et al, 2005).
3. Antibody monoclonal manusiawi (humanized)
Antibody ini dibuat secara rekayasa genetika dimana bagian protein yang berasal dari
mencit hanya terbatas pada antigen binding site saja, sedangkan bagian yang lainnya yaitu
bagia variable dan bagian konstan berasal dari manusia. Antibody ini memiliki akhiran
nama “zumab” (Transzumab). (Tuscano, J.M., et al, 2005)
4. Antibody monoclonal manusia (fully human)
Antibody ini merupakan antibody yang paling ideal untuk menghindari terjadinya respon
imun karena protein antibody yang disuntikkan kedalam tubuh seluruhnya merupakan
protein yang berasal dari manusia. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk merancang
pembentukan antibody monoclonal yang seluruhnya mengandung protein manusia tersebut
adalah dengan teknik rekayasa genetika untuk menciptakan mencit transgenic yang
membawa gen yang berasal dari manusia, sehingga mampu memproduksi antibody yang
diinginkan. Pendekatan lainnya dalah merekayasa suatu binatang transgenic yang dapat
mensekresikan antibody yang 100% mengandung protein manusia memiliki akhiran nama
“mumab” (paintumumab). (Tuscano, J.M., et al, 2005).

Contoh Antibodi Monoklonal


1. Rituximab
Rituximab adalah obat anti kanker dengan ‘target khusus’ yang telah disetujui
untuk pengobatan Non Hodgkin Limfoma (NHL) indolen yang tidak memberikan respon
pada terapi standar yang selama ini ada atau yang sukar disembuhkan, dan dalam
kombinasi dengan kemoterapi untuk NHL agresif. Pertama kali disetujui Food and Drug
Administration (FDA) USA pada November 1997 dan telah dipasarkan di USA, Kanada
dan Jepang dengan nama Rituxan. Di Indonesia obat ini telah mendapatkan ijin pemasaran
pada bulan Juli 2004 dengan indikasi untuk Limfoma tipe agresif dan indolen dengan nama
dagang MabThera®. Rituximab mendapat persetujuan dari Uni Eropa untuk NHL indolent
pada Juni 1998, dan dalam terapi kombinasi dengan kemoterapi CHOP (kemoterapi
konvensional untuk NHL) untuk pengobatan NHL agresif pada Maret 2002.
Rituximab adalah antibodi monoklonal untuk pengobatan kanker sistem limfatik
yang disebut Non Hodgkin Limfoma (NHL). Tidak seperti bentuk umum dari pengobatan,
Rituximab melacak dan memusnahkan sel kanker secara spesifik. Rituximab bekerja
dengan mengikat suatu protein pada permukaan luar dari sel-B normal dan sel-B ganas
(maligna). Lebih dari 85% NHL berasal dari sel-B. Selanjutnya, pertahanan tubuh alamiah
akan direkrut untuk menyerang dan membasmi sel-B. Setelah sel ganas dihancurkan,
kemudian akan diganti dengan sel-B normal, jadi sistem imun akan diregenerasi oleh sel-
B normal.
Rituximab diberikan secara infus IV (intra vena atau melalui pembuluh darah),
setiap tiga minggu pada pasien rawat jalan sampai dengan delapan siklus (8 kali infus) oleh
dokter spesialis ahli kanker darah (hematologi). Efek sambing yang dihasilkan umumnya
ringan dan bersifat sementara, hanya berlangsung selama pengobatan atau beberapa jam
setelahnya. Efek samping terjadi paling sering selama pengobatan minggu pertama, dan
biasanya berkurang dengan dosis selanjutnya. Hal ini disebabkan lebih banyak sel limfoma
selama pengobatan pertama yang harus diserang oleh antibodi monoklonal dan
dihancurkan oleh si induk kekebalan tubuh. Beberapa pasien mengalami mual (mual) atau
muntah. Obat anti muntah (anti-muntah) umumnya sangat efektif dalam mencegah maupun
meringankan gejala-gejala ini sehingga lebih dapat ditoleransi. Kadang-kadang, pasien
merasakan nyeri pada bagian tubuh yang merupakan lokasi limfoma. Nyeri biasanya ringan
dan dapat diatasi dengan obat anti-nyeri biasa. Rituximab dapat menyebabkan reaksi alergi.
Gejalanya dapat berupa :
 Gatal atau mendadak muncul warna kemerahan
 Batuk, mengi atau sesak napas
 Lidah bengkak atau rasa bengkak di tenggorokan
 Edema, atau pembengkakan karena kelebihan cairan dalam jaringan tubuh
2. Transtuzumab
″Trastuzumab″ (Herceptin) merupakan suatu antibodi monoklonal humanized yang
menghambat sel pertumbuhan dengan cara mengikat bagian ekstraseluler reseptor
HER2 protein tyrosine kinase. ″Trastuzumab″ juga menginduksi ADCC melalui sel NK
dan monosit untuk melawan sel ganas. ″Trastuzumab″ mempunyai efek samping berupa
disfungsi jantung (27% pada terapi kombinasi dan 8% terapi tunggal), mielosupresi dan
diare. Ekspresi protein HER2 yang berlebihan ditemukan pada jaringan tumor KPKBSK
dengan menggunakan teknik immunohistochemistry (IHC) 20%, fluorescence in situ
hybridization (FISH) 6% dan kadar serum HER2 > 15 ng/ml pada ELISA 6%.
Immunohistochemistry (IHC) didapatkan 66 spesimen memberikan hasil positif dan
ELISA didapatkan 13 spesimen positif tetapi tidak satupun spesimen positif pada FISH.
(Segota, E., et al., 2004; Heinmoller,P., et al., 2003)
Kombinasi ″trastazumab″ dan kemoterapi memberikan hasil lebih baik growth
inhibitor pada sel yang mengekspresi HER2. Kombinasi ″trastuzumab″ dengan kemoterapi
terbukti secara klinis memberikan keuntungan pasien kanker payudara metastasis HER2
positif. Penelitian uji klinis randomisasi fase II efek penambahan kombinasi ″trastazumab″
dengan kemoterapi standar (gemcitabine dan cisplatin) pada pasien KPKBSK HER2 positif
memberikan hasil toleransi yang baik secara klinis. Kombinasi paclitaxel, carboplatin dan
″trastuzumab″ dapat diberikan pada KPKBSK stage lanjut dengan toksisiti yang tidak lebih
buruk dibandingkan dengan terapi tanpa ″trastuzumab″. Strategi yang paling menjanjikan
dari target HER2 adalah penggunaan kombinasi inhibitor EGRF TK dengan inhibitor
HER2 dimerization. (Bunn, P.A., et al., 2001; Vogel, C.L., et al., 2002; Lanjer, C.J., et al.,
2004)
3. Cetuximab
″Cetuximab″ (Erbitux) merupakan antibodi monoklonal chimeric yang bekerja mengikat
EGFR pada bagian ekstraseluler. ″Cetuximab″ memberikan efek samping ruam acneiform,
folikulitis pada wajah dan dada serta dilaporkan juga reaksi hipersensitif. Response rate
(RR) lebih tinggi bila terjadi ruam pada kulit. Penelitian fase II monoterapi ″cetuximab″
pasien KPKBSK rekuren dan metastasis yang dideteksi EGFRnya dan yang telah diberikan
satu atau lebih regimen kemoterapi sebelumnya, didapatkan 2 dari 29 (6,9%) parsial
respons (PR) dan 5 pasien (17,2%) penyakitnya stabil. Uji klinis fase II pasien KPKBSK
stage IIIB/IV rekuren atau metastasis didapatkan respons, 3,3% PR (2/60 pasien) dan 25%
penyakitnya stabil (15/60 pasien). Hal ini menunjukkan toleransi ″cetuximab″ sangat baik.
(Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D., et al., 2005) Efikasi ″cituximab″ ditambah
kemoterapi lainnya telah diteliti. Penelitian fase I pada KPKBSK didapatkan PR 2 dari 19
pasien (10,5%) dengan dosis multipel ″cetuximab″ dan cisplatin. Uji klinis randomisasi
terkontrol kemoterapi naive pasien KPKBSK stadium lanjut dengan ekspresi EGFR
berlebihan didapatkan RR yang tinggi pada regimen ″cetuximab″, vinorelbine dan cisplatin
dibandingkan hanya dengan ″vinorelbine″ dan ″cisplatin″ saja (31,7% vs 20,0%).
Penelitian lain kombinasi ″cetuximab″ dilaporkan bahwa didapatkan RR yang hampir
sama. Kombinasi ″cetuximab″ dengan docetaxel kemoterapi pada KPKBSK
refrakter/resisten didapatkan 28% (13/47) PR dan 17% (8/47) penyakitnya stabil.
″Cetuximab″ yang ditambahkan regimen paclitaxel + carboplatin atau regimen
gemcitabine + carboplatine pada KPKBSK naïve didapatkan masing – masing RR 26% (31
pasien) dan 28,6% (35 pasien). (Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D., et al., 2005)

Rujukan contoh anbodmon


Coiffier dkk. CHOP chemotherapy plus rituximab compared with CHOP alone in
elderly patients with diffuse large-B-cell lymphoma. N Eng J Med 2002;346:235-241
Heinmőller P, Gross C, Beyser K, Schmidtgen C, Maass G, Pedrocchi M, et al. HER 2
status in non small cell lung cancer: result from patient screening for enrollment to a phase
II study of herceptin. Clin Cancer Res 2003; 9: 5238-44.
Segota E, Bukowski RM. (2004). The promise of targeted therapy: cancer drugs become
more specific. Cleveland Clin J Med. 71: 551-60.
Bunn PA, Helfrich B, Soriano AF, Franklin WA, Garcia MV, Hirsch FR, et al. (2001).
Expression of HER 2/neu in human lung cancer cell lines by immunohistochemistry and
fluorescence in situ hybridization and its relationship to in vitro cytotoxicity by
trastuzumab and chemotherapeutic agents. Clin Cancer Res. 7: 3239-50. 29. Vogel CL,
Cobleigh MA, Tripathy D, Gutheil JC, Harris LN, Fehrenbacher L, et al. (2002). 62
Efficacy and safety of trastuzumab as a single agent in first line treatment of HER 2
overexpressing metastatic breast cancer. J Clin Oncol. 20: 719-26.
Lanjer CJ, Stephenson P, Thor A, Vangel M, Johnson DH. (2004). Trastuzumab in the
treatment of advanced non small cell lung cancer: is there a role? focus on eastern
cooperative oncology group study 2598. J Clin Oncol. 22: 1180-7.
Lynch TJ, Lilenbaum R, Bonomi P Ansari R, Govindan R, Janne PA, et al. (2004). A phase
II trial of cetuximab as therapy for recurrent non small cell lung cancer (NSCLC). Proc Am
Soc Clin Oncol. 22: abst 7084.
Thienelt CD, Bunn PA, Hanna N, Rosenberg A, Needle MN, Long ME, et al. (2005).
Multicenter phase I/II study of cituximab with paclitaxel and carboplatin in untreated
patients with stage IV non small cell lung cancer. J Clin Oncol. 23: 8786-93.

Anda mungkin juga menyukai