Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Guillain–Barré Syndrome

Disusun Oleh
dr. Ely Kartika

Pembimbing
dr. Alfindra Tamin, Sp.S., Msi., MMed

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD AHMAD RIPIN SENGETI
MUARO JAMBI
2019

1
BERITA ACARA DISKUSI/PRESENTASI LAPORAN KASUS

Pada hari ini, tanggal Januari 2019, telah dipresentasikan sebuah laporan kasus oleh :
Nama : dr. Ely Kartika
Judul : Guillain–Barré Syndrome
Nama Wahana : RSUD Ahmad Ripin Sengeti Muaro Jambi

No Nama Peserta Diskusi Presentasi Tanda Tangan


1 dr. Iqbal Zain Kurniawan
2 dr. Eni Fathonah
3 dr. Robiyanti Nur C H
4 dr. Siti Mirza Hana
5 dr. Sri Zuryani

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya :

Pendamping I Pendamping II

dr. Susy Andriati dr. Sahata Parhusip

Pembimbing

dr. Alfindra Tamin, Sp.S., Msi., MMed

KATA PENGANTAR

2
Puji syukur penulis mengucapkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tentang “Demam Berdarah Dengue” dalam
rangka memenuhi salah satu syarat dalam menjalani program internship di RSUD Ahmad
Ripin Muaro Jambi
Pada kesempatan kali ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada narasumber dan pembimbing yaitu dr. Alfindra Tamin, Sp.S., Msi., MMed,
pendamping internsip dr. Susy Adriati dan dr. Sahata Parhusip serta pihak-pihak yang telah
membantu baik dalam bentuk saran maupun dukungan moril sehingga mempermudah dalam
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mendukung demi perbaikan dan
kesempurnaan penulisan ini dimasa depan nanti. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Jambi, Januari 2019

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

3
A. LATAR BELAKANG

Guillain–Barré Syndrome (disingkat GBS) atau radang polineuropati demyelinasi


akut adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul setelah suatu
infeksi atau diakibatkan oleh autoimun, di mana proses imunologis tersebut langsung
mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis.
Sindroma ini juga dapat dikatakan sebagai sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas
tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemik. Saraf
yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba
sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa.1,2
Angka kejadian Guillain–Barré Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu
banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita
hampir sama. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada usia
dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang juga
menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS menyerang pada usia
di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95
tahun.1,2
Dalam kaitannya dengan etiologi (kaplan 2008), 4 dari 6 penderita Guillain– Barré
Syndrome pada anak secara serologis menunjukkan adanya infeksi cytomegalovirus. Pada
penelitian di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, kultur serum menunjukkan bukti adanya
infeksi pendahulu Campylobacter jejuni terdapat pada 26-45% pasien Guillain–Barré
Syndrome.3,4
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Guillain–Barré Syndrome. Sebagian
besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun demikian Guillain–Barré Syndrome
memerlukan perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi
terutama pada keadaan akut yang dapat menimbulkan gagal napas akibat kelemahan otot
pernapasan dan bisa berlanjut pada kematian.1,2

BAB II

4
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses
imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain– Barré Syndrome
adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu
infeksi1,2
Parry mengatakan bahwa Guillain–Barré Syndrome adalah suatu polineuropati yang
bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu sindrom klinis yang
ditandai dengan adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut dan berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis.2,6

B. EPIDEMIOLOGI
Pieter et al. melaporkan bahwa insidensi dari sindrom Guillain–Barré Syndrome
bervarasi antara 1.2-1.3 per 100.000 orang pertahun. Insidensi tertinggi pada bulan April
sampai Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.1,2 Sepuluh studi
melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15 tahun), dan menemukan angka kejadian setiap
tahunnya menjadi antara 0,34 sampai 1.34/100.000. Kebanyakan penelitian menyelidiki
populasi di Eropa dan Amerika Utara melaporkan angka kejadian tahunan antara 0,84
sampai 1,91/100.000.2
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi di Indonesia Rata-rata pertahun 1-
3/100.000 populasi. Jumlah penderita wanita dan laki-laki hampir sama, perbandingan
rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia. Insidensi terbanyak di Indonesia
yaitu dibawah usia 35 tahun.2,5

C. ETIOLOGI
Guillain–Barré Syndrome merupakan penyakit yang langka dan biasanya disebabkan
oleh paralisis flaksid akut, oleh karena itu banyak praktisi yang tidak dapat mengatasi
sindrom ini karena tidak menyadari tanda dan gejala awal serta membutuhkan edukasi
yang lebih jauh tentang Guillain–Barré Syndrome.2,6

5
Etiologi Guillain–Barré Syndrome belum diketahui secara umum, tetapi beberapa
penelitian yang ada menduga bahwa ada beberapa faktor pencetus dan beberapa dari faktor
ini terdapat pada pelayanan kesehatan primer. Vaksinasi, infeksi virus, dan beberapa jenis
keracunan makanan adalah contoh dari faktor pencetus Guillain–Barré Syndrome.
Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya Guillain–Barré Syndrome, antara lain infeksi, vaksinasi, pembedahan,
kehamilan atau dalam masa nifas, penyakit sistemik seperti: keganasan, sistemik lupus
eritematosus, tiroiditis, penyakit Addison.1,2,6

D. KLASIFIKASI
Guillain–Barré Syndrome diklasifikasikan sebagai berikut 12:
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis
paling umum ditemukan pada Guillain–Barré Syndrome, yang juga cocok dengan gejala
asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota gerak
proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus
facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf
perifer dan demielinasi segmental makrofag.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas Guillain–
Barré Syndrome epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65%
dari pasien Guillain–Barré Syndrome merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada
kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan
kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan,
meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan
AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan
melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motoric.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik. Pasien
biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari
AMAN.

6
4. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy mungkin
terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap
ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada saraf
kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
5. Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada SGB.
Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat kematian
tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat,
kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau
bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal
adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala
otonom termasuk ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan
dengan intoleransi ortostatik, serta disfungsi pencernaan.
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai dengan onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan
penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE meskipun
presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan peran penting
dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah dikaitkan dengan SGB aksonal,
dengan indikasi bahwa dua gangguan yang erat terkait dan membentuk spectrum
lanjutan.

E. PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Guillain–Barré Syndrome masih belum
diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah14:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

7
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan didapatkannya penimbunan
kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang
menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain–Barré Syndrome dipengaruhi oleh


respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem kekebalan seluler, sel
limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit
berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan
sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.14
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem
saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi dari myelin. 15
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang
dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung
myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan
baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Myelin tidak membungkus
akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus
Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf
juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini,
transmisi sinyal akan semakin lambat. 15

Gambar 1. Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS


8
Pada Guillain–Barré Syndrome, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai
reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya
dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini
akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Akibatnya, produksi myelin akan berkurang,
sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh 15,16.
Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat,
terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan
menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas
sehari-hari,termasuk berjalan.16 Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi
terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin
ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri
diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini
didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh
manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus
infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson.
Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk
gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.15
Guillain–Barré Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan
yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi
sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi
abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai
demyelinasi primer.13,15
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini
putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga
timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini
terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena
regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang
sembuh lebih cepat.13

9
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-
saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf
kranialis dapat juga ikut terlibat. 13 Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T
memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari
sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum
dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.14
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah otak, untuk mengaktifkan sel
limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat
merusak protein mielin disamping menghasilkan TNF dan komplemen. 14

F. MANIFESTASI KLINIS
Guillain–Barré Syndrome terjadi pada orang yang relatif sehat yang mengalami
infeksi beberapa hari sampai minggu sebelum timbul gejala Guillain– Barré Syndrome.
Infeksi yang paling sering dilaporkan pada kasus Guillain–Barré Syndrome adalah
gastroenteritis dan infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi kira-kira 1-3 minggu
sebelum gejala neurologi muncul. Sekitar 20% dari pasien Guillain–Barré Syndrome
pernah mengalami bentuk gastroenteritis sebelum diagnosis Guillain–Barré Syndrome.2,6
Gejala klinis pada penderita Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian
besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar
secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga
bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan
saraf kranialis. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai
atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh,
bulbar, dan otot pernapasan dapat juga terpengaruh. Kelemahan otot pernapasan dengan
sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal
lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat

10
dari bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia
dengan kegagalan ventilasi. 13,15
b. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan Guillain– Barré
Syndrome. Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa
ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan
N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena
akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. Laringeus.13
c. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau
perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia
umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya
tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih
jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi
sirkumoral.13,15
d. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome,
89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan Guillain–Barré Syndrome pada beberapa
waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu,
punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini
sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut.13
e. Perubahan otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita Guillain–Barré Syndrome.
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis
dapat diamati pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, bradikardia, facial flushing, hipertensi paroksimal,
hipotensi ortostatik, anhidrosis dan /atau diaphoresis.
f. Pernapasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila
tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma
dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.

11
Empat puluh persen pasien Guillain–Barré Syndrome cenderung memiliki kelemahan
pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai
berikut; Dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, dan bicara cadel.
Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga
sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.15
Perjalanan alamiah Guillain–Barré Syndrome, skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasi antara berbagai penderita Guillain–Barré Syndrome. Perjalan penyakit ini terdiri
dari 3 fase, yaitu :
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampaigejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif
dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat
serangan pada penderita. Kasus Guillain– Barré Syndrome yang ringan mencapai nadir
klinis pada waktu yang sama dengan Guillain–Barré Syndrome yang lebih berat. Terapi
secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi
resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.15
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan
tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam
memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perludilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta
kekakuan otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase
penyembuhan setelah fase infeksi,sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau
selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan
myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi

12
pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, sertamengajarkan penderita
untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang
berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat
muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun
pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi
pada fase infeksi.15

G. DIAGNOSIS
Diagnosis Guillain–Barré Syndrome terutama ditegakkan secara klinis. Kriteria
diagnosis yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu : 1,2,6
1. Kelumpuhan progresif dari lengan dan tungkai. Mungkin diawali oleh kelumpuhan di
ekstremitas bawah saja, gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu dan 90% dalam 4
minggu.
2. Arefleksia (penurunan refleks tendon).
3. Ditemui hal-hal yang memperkuat prognosis:
a. Progresi dari gejala dalam 4 minggu atau kurang
b. Gejala relatif simetris
c. Ada gejala sensoris yang ringan
d. Ada keterlibatan saraf kranial. Gejala saraf kranial ±50% terjadi paresis nervus
VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan
e. Disfungsi otonom: takikardi, aritmia, hipotensi, hipertensi dan gejala vasomotor
f. Nyeri biasanya sering terjadi
g. Terdapat protein dengan konsentrasi tinggi, serta kelainan pada CSF yang
khas. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosis:
-
Protein cairan serebrospinal: meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada lumbal pungsi serial
-
Jumlah sel cairan serebrospinal <10MN/m3

13
-
Varian: tidak ada peningkatan protein cairan serebrospinal setelah 1
3
minggu gejala, jumlah sel cairan serebrospinal 11-50 MN/m

h. Ada gambaran elektrodiagnosis yang spesifik. Perlambatan


konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan
hantar kurang 60% dari normal.

G. PEMERIKSAAN NEUROLOGI
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan
paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan
aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang
meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis
seperti refleks Babinsky tidak ditemukan. 13

I. PEMERIKSAAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan
otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini
disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai
pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah
sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak
ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa
meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh
SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone). 13,15
2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Guillane Barre Syndrome merupakan suatu kelainan pada konduksi pada saraf dan
EMG dapat menjadi suatu penilaian yang baik untuk mengkonfirmasi diagnosis,
identifikasi dari segmen saraf yang rusak dan memperkirakan prognosis. Ada sejumlah
laporan temuan elektrodiagnostik dalam kasus ini beberapa menunjukkan sedikit
perubahan pada konduksi saraf dengan adanya kelemahan yang parah, mengarah ke
kesimpulan oleh beberapa bahwa tidak ada korelasi antara gejala klinis dan studi konduksi
saraf.
3. Pemeriksaan Darah Tepi

14
Dapat didapati polimorfonuclear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,
limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat
terjaadi limfositosis, eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah (LED) dapat meningkat
sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
4. Test hipersensitivitas
Dapat dijumpai hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgM, dan IgA, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis virus yang akut atau sedang berlangsung; umumya jarang karena virus hepatitis
itu sendiri, namun aibat infeksi CMV ataupun EBV.
5. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardi.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase
QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
6. Tes fungsi respirasi
Dikenal juga dengan pengukuran kapasitas vital paru ini, akan menunjukkan adanya
insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
7. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa
limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan
pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan
secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi
telah hancur. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis
dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.13,15

J. DIAGNOSIS BANDING
Guillain–Barré Syndrome harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala
kelemahan motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut :
1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat
ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita Guillain–Barré Syndrome

15
tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas;
selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari Guillain–Barré Syndrome dimana pada
Guillain–Barré Syndrome, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas
gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks
patologis Babinski
3. Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot
pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.
4. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang
terinfeksi.19 Gejala dimulai dengan diplopia disertai dengan pupil yang non-reaktif
pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien Guillain–
Barré Syndrome.
5. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi
pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.
6. Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun
pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam
aminolevulinik delta.
7. Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat
kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada Guillain–Barré
Syndrome.
8. Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi
dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana
refleks tendon akan menghilang.
9. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang
diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
10. Mielopati servikalis. Pada Guillain–Barré Syndrome, terdapat keterlibatan otot
wajah dan pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki
jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam
pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.

K. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Farmakologi
Kortikosteroid

16
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.2

Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada Guillain–Barré Syndrome
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan
alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis
lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).2
Pengobatan imunosupresan
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.2
Pada penelitian tentang terapi immunoglobulin intravena pada kasus Guillain–Barré
Syndrom pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al. ditemukan bahwa pengobatan
dengan IVIg pada kasus ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi
memberikan peningkatan pada kecepatan onset perbaikan klinis.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
- merkaptopurin (6-MP)
- azathioprine
- cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopesia, muntah, mual dan sakit kepala.
Manajemen nyeri cukup sulit tapi karbamazepin atau gabapentin dapat membantu.
Dosis untuk karbamazepin yaitu 300mg/hari, dan untuk gabapentin 15mg/kgBB/hari.
Asetaminofen atau obat NSAID dapat dicoba sebagai terapi pertama pada sindrom
Guillain-Barre tetapi biasanya kurang efektif.6

2. Terapi Suportif
Monitor respirasi, bila perlu lakukan trakeostomi. Penggunaan ventilator mekanik
menjadi suatu keharusan apabila diduga telahterjadi paralysis otot-otot respirasi.

17
Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini. Pasang NGT Apabila
terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan,maka perlu dipasang pipa hidung-lambung
(NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan.
Fisioterapi
Fisioterapi aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi alat
gerak, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan. Fisioterapi pasif setelah
terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot.

L. KOMPLIKASI
Guillain–Barré Syndrome merupakan salah satu penyebab terbanyak dari paralisis
neuromuskular. Kebanyakan pasien Guillain–Barré Syndrome meninggal dikarenakan
gangguan otonom; henti jantung menjadi penyebab paling sering, bertanggung jawab pada
20-30% kematian.2,6

M. PROGNOSIS
Prognosis dari Guillain–Barré Syndrome sendiri sulit untuk diprediksi pada pasien
individual karena variasi subsantasial dari gejala sisanya. Usia tua, sering dilaporkan
dengan prognosis yang buruk. Keparahan Guillain–Barré Syndrome ditentukan pada fase
awal penyakit.19
Menurut pembelajaran RCT, telah diinvestigasi bahwa efek IVI atau PE pada pasien
yang tidak dapat berjalan dapat disimpulkan bahwa 20% pasien tetap tidak dapat berjalan
tanpa bantuan setelah 6 bulan. Pemeriksaan neurofisiologis dilaporkan membantu dalam
menilai resiko gagal nafas, yang mana paling tinggi pada pasien dengan pengurangan
kapasitas vital pada lebih dari 20% dan tanda-tanda dimielinasi sebagai pertanda oleh
pengurangan aksi potensial gabungan saraf peroneal proksimal atau distal.19
Gangguan konduksi saraf peroneal dan usia yang diatas 40 tahun merupakan
predictor tunggal dari ketidakmampuan selama 6 bulan. Baru-baru ini, dikembangkan
sebuah system scoring klinis yang sederhana (EGOS) yang dengan mudah digunakan pada
pasien tingkat akut. Ini juga secara akurat dapat memprediksi kesempatan untuk berjalan
sendiri (tanpa bantuan) setelah 6 bulan dan dapat dikalkulasikan selama 2 minggu pertama
dari onset penyakit berdasarkan usia, adanya diare yang mendahului dan skor cacat
Guillain–Barré Syndrome. Berdasarkan EGOS sendiri, Kesempatan untuk sembuh pada
pasien individual bervariasi dari 1% sampai 83%. Akurasi dari skala ini dikonfirmaikan
dalam sebuah pembelajaran kohort pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. EGOS

18
dapat digunakan untuk memberikan informasi kepada pasien itu sendiri tentang
prognosisnya, dan juga dapat digunakan dalam percobaan pengobatan terbaru yang lebih
spesifik pada pasien dengan prognosis buruk dari Guillain– Barré Syndrome.19
DAFTAR PUSTAKA

1. Erasmus MC. Gullain-Barre syndrome. Orphanet Encyclopedia 2004; 1: 1-5.


2. McGrogan A, Gemma C.M, Helen E.S, Corinne S.V. The epidemiology of guillane-
barre syndrome worldwide. Neuroepidemiology 2009; 32: 150-163.
3. Charles F. Read, M.D.; Thomas E. Conley, M.D.; Henry H. Conley. Acute asending
paralysis: landry syndrome prolonge use of artificial respirations; death and autopsy.
M.D. JAMA. 1930;94(8):557-559.
4. Fachir H, Suryatmojo B. Profil penderita bells palsy dan sindroma
guillain-barre : di RSUP Dr. Sardjito, sebagai Tesis guna memperoleh derajat dokter
spesialis I. Yogyakarta, 1996.
5. Mantay KC, E Armeau, T Parish. Recognizing Guillain-Barré Syndrome
in the primary care setting. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice
2007; 5(1): 1-8.
6. Hutton E, dkk. Reccurent Guillain-Barre Syndrom. 2011 [15/01/2019]. Available from
https://jnnp.bmj.com/content/89/6/A31.2
7. Frenzen PD. Hospital Admissions for Guillain-Barre Syndrome in United States,
1993-2004. Original paper. Neuroepidemiology 2007;29:83-88.
8. Juurlink DN et al. Guillain-Barre Syndrome After Influenza Vaccination in Adults. A
population based study. Archintern med 2006;vol 166;2217-2221.
9. Oh SJ, LaGanke C, Claussen GC. Sensory Guillain-Barre Syndrome. Neurology
2001;56;82-86.
10. Inoue N, Ichimura H, Goto S, Hashimoto Y, Ushio Y. MR Imaging Finding of Spinal
Posterior Column Involvement in a Case of Miller Fisher Syndrome. AJNR Am j
Neuroradiol April 2004 25:645-648.
11. Fauci AS, DL Kasper, DL longo, et al. Harrison’s principles of internal medicine 17th
Ed. New York: McGraw-Hill, 2008.
12. Burns TM. Guillain-Barre’ syndrome. Thieme Medical Journal 2008;
28(2): 152-167.
13. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology

19
in clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-
Heinemann; 1996.p.1911-16.
14. Andary T M, Guillain-Barre Syndrom Treatment and Management. 2011
[15/01/2019]. Available from : https://emedicine.medscape.com/article/315632-
treatment
15. Van Doorn PA. Guillain-Barre Syndrome. Orphanet Encyclopedia. University Medical
Center Rotterdam. September 2004.
16. Van Doorn PA, L Ruts, B Jacobs. Clinical features, pathogenesis and treatment of
Guillain-Barre syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939-950.
17. Grabenstein JD. Guillain-Barre syndrome and vaccination: usually
unrelated. Hospital Pharmacy 2000; 36(2): 199-207.
18. Korinthenberg R, Schessl J, Kirschner J, Monting JS. Intravenously Administering
Immunoglobulin in the Treatment of Childhood GuillainBarre Syndrome: A
Randomized Trial. Pediatric 2005;116;8-14.
19. GutierrezAmparo,SumnerAustinJ.Electromyography in neurorehabilitation. In:
Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH. Textbook of
neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK:
Cambridge University Press; 2006. p.49-55.

20

Anda mungkin juga menyukai