Anda di halaman 1dari 25

NUTRISI PADA INFLAMMATORY BOWEL DISEASE (IBD)

Pembimbing :
dr. Fitriyani Nasution, M.gizi, Sp.GK
Oleh :
Denny Japardi 140100119
M.Chairul Akbar Nst 130100402
Ashila Pritta Siregar 140100030
Namira Friliandita 140100147
Nisrina Sari 140100004

DEPARTEMEN ILMU GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
NUTRISI PADA INFLAMMATORY BOWEL DISEASE (IBD)

Pembimbing :
dr. Fitriyani Nasution, M.gizi, Sp.GK
Oleh :

Denny Japardi 140100119


M.Chairul Akbar Nst 130100402
Ashila Pritta Siregar 140100030
Namira Friliandita 140100147
Nisrina Sari 140100004

DEPARTEMEN ILMU GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya yang selalu menyertai penulis dalam menyelesaikan
makalah dengan judul “Nutrisi pada Inflammatory Bowel Disease (IBD)”.
Sejujurnya penulis menyatakan bahwa selesainya makalah ini tentu saja tidak
telepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankan penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada semua
pihak yang turut membantu, khususnya kepada dr. Fitriyani Nasution, M.gizi,
Sp.GK selaku dosen pembimbing.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari pembaca, sehingga makalah ini dapat disempurnakan lagi
pada masa yang akan datang.

Medan, 29 Januari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ............................................................................................. i


Kata Pengantar ............................................................................................... ii
Daftar Isi........................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Tujuan Makalah ........................................................................... 1
1.2.1 Tujuan Umum ..................................................................... 1
1.2.2 Tujuan Khusus .................................................................... 1
1.3 Manfaat Makalah ......................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Definisi ......................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ................................................................................ 3
2.3 Faktor Risiko dan Etiopatogenesis .............................................. 3
2.4 Gejala Klinis................................................................................. 6
2.5 Diagnosis ...................................................................................... 7
2.6 Penaatalaksana ............................................................................. 8
2.7 Komplikasi ................................................................................. 14
2.8 Prognosis .................................................................................... 17
BAB 3 KESIMPULAN .............................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 19

iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah suatu penyakit radang menahun yang
mengenai saluran pencernaan terutama usus halus dan kolon. Kelainan ini terdiri dari 2
penyakit yang dikenal dengan kolitis ulseratif / ulcerative colitis (UC) dan penyakit Crohn
/ Crohn disease (CD).1
Insidensi dan prevalensi tertinggi IBD adalah di Eropa utara, Inggris, dan
Amerika utara. Dilaporkan terjadi peningkatan insidensi dan prevalensi IBD di
Eropa tengah dan selatan, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Insidensi IBD di area
Asia masih rendah, namun angkanya menunjukkan peningkatan bila dibandingkan
dengan 20 tahun yang lalu.1
Pasien yang menderita IBD dapat mengalami malnutrisi sebagai akibat dari
malabsorpsi, penurunan asupan makanan, pengobatan, atau hilangnya bagian usus.
Oleh sebab itu penting untuk dilakukan penilaian status nutrisi dan risiko malnutrisi
pada penderita IBD.2
Penilaian status nutrisi dapat dilakukan dengan banyak cara, antara lain dengan
menggunakan kuesioner, dan dengan pengukuran antropometri. Pengukuran
antropometri untuk menilai status nutrisi dapat menggunakan indeks massa tubuh
atau lingkar lengan atas (LLA). Pada kondisi saat pengukuran indeks massa tubuh
tidak mungkin untuk dilakukan dapat digunakan pengukuran LLA sebagai
penggantinya.2
1.2 TUJUAN MAKALAH
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum makalah ini adalah untuk mengetahui tentang penyakit
Inflammatory bowel disease.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus makalah ini adalah untuk mengetahui terapi nutrisi yang
diberikan pada penderita Inflammatory bowel disease.

1
2

1.3 MANFAAT MAKALAH


1. Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
pengetahuan dan sumber informasi yang benar mengenai terapi nutrsi pada
Inflammatory bowel disease.
2. Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan membaca
khususnya peserta P3D mengenai nutrisi pada Inflammatory bowel disease.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan
saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai sekarang ini belum diketahui jelas.
Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu Kolitis Ulseratif/Ulcerative colitis
(UC), penyakit Crohn/Crohn’s disease (CD), dan bila sulit membedakan kedua hal
tersebut, maka dimasukkan dalam kategori Indeterminate Colitis. Hal ini secara
praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah
diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskemia, dan radiasi.1

2.2 Epidemiologi

IBD merupakan penyakit dengan kekerapan tinggi di Negara-negara Eropa dan


Amerika. Terdapat perbedaan tingkat kekerapan antara negara Barat dengan negara
Asia Pasifik. Penyakit IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada
usia muda (umur 25-30 tahun) dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara
perempuan dan laki-laki.1

2.3 Faktor Risiko dan Etiopatogenesis

Crohn’s disease (CD) dan Ulcerative colitis (UC) mewakili dua bentuk berbeda
dari peradangan kronis pada saluran pencernaan, dengan demikian, memiliki
penyebab dan mekanisme patogen yang berbeda. Namun, faktor-faktor yang
mendasari terjadinya CD dan UC kira-kira sama, seperti perubahan yang progresif
di lingkungan, kecenderungan genetik intrinsik, keberadaan flora enterik, dan
reaktivitas imun abnormal yang pada akhirnya bertanggung jawab dalam merusak
usus dan menyebabkan munculnya manifestasi klinis.3

2.3.1 Faktor Lingkungan dan Genetik

Munculnya autoimun kronis dan penyakit infeksi, termasuk IBD, di seluruh


dunia terkait erat dengan kemajuan sosial dan ekonomi. “Hygiene Hypothesis”
dikatakan sebagai kemungkinan alasan yang mendasari perubahan penyakit yang
sering terjadi dari penyakit infeksi ke penyakit inflamasi kronis. Ini terjadi akibat

3
4

perubahan dari gaya hidup dengan paparan mikroba yang tinggi ke gaya hidup
dengan paparan mikroba yang rendah. Kurangnya antigen mikroba di awal
kehidupan akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan akan
menghasilkan respon imun yang tidak efektif di kemudian hari. Meskipun
berkontribusi terhadap menurunnya kejadian penyakit infeksi, namun pada saat
bersamaan menciptakan lonjakan pada penyakit alergi dan autoimun.3
Berbagai faktor lingkungan dianggap sebagai faktor risiko IBD, termasuk
merokok, diet, obat-obatan, geografis dan status sosial, stress, flora enterik,
perubahan permeabilitas usus, dan appendectomy.3

2.3.2 Faktor Mikroba

Selama bertahun-tahun, beberapa mikroorganisme, seperti Listeria


monocytogenes, Chlamydia tracomatis, Escherichia coli, Cytomegalovirus,
Saccharomyces cerevisiae, dan lainnya, telah diusulkan memiliki peran etiologis.
Secara khusus, Mycobacterium paratuberculosis sebagai agen CD terus menerima
perhatian yang cukup besar. Bakteri ini adalah penyebab Johne’s disease, ileitis
granulomatosa kronis pada ruminansia yang sangat mirip dengan CD.4
Pada usus besar yang sehat, ada lapisan mukus yang terdiri dari dua lapisan sub-
struktur: bagian luar adalah lapisan yang melekat secara longgar, baik untuk
pertumbuhan bakteri; sementara bagian dalam adalah lapisan yang melekat kuat,
biasanya steril. Dalam IBD, khususnya CD, ada peningkatan yang ditandai dalam
bakteri yang terkait dengan lapisan lendir yang melekat kolon. Dalam CD,
peningkatan yang konsisten dalam E. coli terkait mukosa dan pengurangan
Firmicutes dilaporkan. Ada bukti kuat untuk peningkatan E. coli terkait mukosa di
kedua ileum dan usus besar, dan kehadiran mereka dalam granuloma dalam CD
berimplikasi peran patogenik primer. Fenotipe E. coli (AIEC) yang patuh dan
invasif telah ditemukan dalam CD, yang diketik dengan invasi bakteri ke dalam sel
epitel dan replikasi dalam makrofag.4

2.3.3 Faktor Imunologi

Berdasarkan penelitian terdahulu yang fokus pada respon imun adaptif


beranggapan bahwa dua tipe utama IBD mewakili bentuk perdangan usus yang
5

jelas berbeda. CD telah lama dianggap didorong oleh respon Th1 dan UC dikaitkan
dengan respon Th2 non-konvensional. Sel-sel Th17 juga terlibat dalam respon
inflamasi IBD.4

Imunitas bawaan

Respon imun bawaan dimediasi oleh berbagai macam tipe sel yang berbeda
termasuk sel epitel, neutrofil, sel dendritic, monosit, makrofag, dan sel NK. Bentuk
imunitas ini diinisiasi dengan adanya antigen mikroba yang dimediasi oleh reseptor
pengenal seperti toll like receptors (TLRs) pada permukaan sel dan NOD-like
recepstors di sitoplasma. Studi terbaru menemukan bahwa adaya perubahan yang
signifikan dari TLRs dan protein NOD pada pasien dengan IBD.4
IL-23 merupakan sitokin penting dalam imunitas bawaan dan adaptif, dan
memiliki peran sentral dalam mendorong respon awal terhadap mikroba.
Polimorfisme IL23R telah dikaitkan dengan CD dan UC, menunjukkan bahwa IL-
23 mewakili molekul inflamasi dalam peradangan usus kronis. IL-23 telah terbukti
menginduksi sitokin Th17 dari sel limfoid bawaan (ILC).4
Autophagy adalah salah satu mekanisme untuk mempertahankan homeostasis
seluler dan dianggap sangat penting untuk pertahanan host terhadap
mikroorganisme intraseluler. Biasanya, autophagy diinduksi oleh efek bakterisidal
dan presentasi antigen endogen, dan proses ini terganggu pada pasien dengan
mutasi pada NOD2 atau Atg16L1. Terkait erat dengan autophagy dan kekebalan
bawaan, disregulasi respon protein yang tidak dilipat juga dapat berkontribusi
terhadap patogenesis IBD. Respons ini diinduksi oleh stres retikulum endoplasma
dan akhirnya menginduksi kematian sel apoptosis dan menyebabkan IBD.4

Imunitas Adaptif

Respon imun Th1 yang abnormal diperkirakan menyebabkan peradangan usus


dalam CD, dan telah diamati bahwa sel T mukosa dari pasien CD menghasilkan
jumlah IL-2 dan IFN-γ yang lebih tinggi daripada sel T yang berasal dari pasien

UC atau kontrol. Juga telah ditunjukkan bahwa di UC, sel T NK atipikal


melepaskan jumlah yang lebih tinggi dari sitokin Th2 IL-13 daripada sel T dari
kontrol atau pasien CD lakukan. Oleh karena itu, CD ditandai oleh respon imun
6

Th1, sedangkan UC dianggap sebagai penyakit yang dimediasi Th2. Namun, ada
juga pengamatan yang berbeda tentang sitokin Th1 dan Th2 di IBD. Baik biopsi
UC dan CD yang dikultur in vitro melepaskan IFN-γ dalam jumlah yang tinggi dan

sebanding. Tingkat IL-13 yang lebih rendah ditemukan di mukosa kolon pasien UC
dibandingkan dengan pada pasien CD dan subyek dari kelompok kontrol.4
Sel Th17 adalah subset sel T yang ditandai dengan produksi IL-17A, IL-17F,
IL-21 dan IL-22. Mereka diinduksi oleh kombinasi IL-6 dan mentransformasikan
faktor pertumbuhan (TGF) -β, dan ekspansinya dipromosikan oleh IL-23.4

2.4 Gejala Klinis


Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah, dan
nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna
(ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran
sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemi, demam, gangguan
nutrisi.5,6,7 Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan klinis IBD bersifat
kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan fase
remisi.6
Pemahaman atas proses in amasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan
membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD.
Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam pada KU dibandingkan
PC karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon
sedangkan pada PC lebih bervariasi. Perbedaan gambaran klinis dan patologis
antara KU dan PC disajikan dalam tabel 1 dan tabel 2. Namun perlu diingat bahwa
terkadang sulit membedakan gambaran IBD dengan penyakit lain yang kerap
ditemukan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yakni kolitis infeksi
dan tuberkulosis usus.6
Secara umum, terdapat kriteria klinik sebagai gambaran aktivitas penyakit
untuk keperluan pedoman keberhasilan pengobatan maupun penetapan fase remisi
yakni Disease Activity Index (DAI) yang didasarkan pada frekuensi diare, ada
7

tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan
endoskopi serta penilaian keadaan umum pasien.6

2.5 Diagnosis
Tes pertama yang mungkin dilakukan adalah tes darah dan tes feses, termasuk:
- Hitungan CBC dapat mencakup pemeriksaan jumlah sel darah putih (WBC)
dan jumlah sel darah merah (RBC). Jumlah WBC yang tinggi mungkin
merupakan tanda bahwa ada peradangan di suatu tempat di dalam tubuh.
Hitung RBC yang rendah bisa menjadi tanda bahwa ada perdarahan di suatu
tempat di dalam tubuh (jika tidak jelas dari darah yang terlihat di tinja) atau
bahkan menunjukkan berapa banyak darah yang hilang jika dibandingkan
dengan tingkat jumlah RBC sebelumnya.7
- tes elektrolit untuk mengukur tingkat natrium, kalium, klorida, dan karbon
dioksida dalam tubuh. Diare kronis dapat menyebabkan elektrolit-elektrolit
ini mencapai tingkat abnormal rendah.7
- Tes fungsi hati (LFT) untuk mengukur alanine transaminase (ALT),
aspartate transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP), albumin, total
protein, dan kadar bilirubin total dan langsung. Tingkat abnormal dapat
disebabkan oleh malnutrisi karena saluran pencernaan tidak menyerap
nutrisi sebagaimana mestinya.7
- fecal occult blood test (juga disebut feses guaiac atau hemoccult test)
digunakan untuk memeriksa tinja untuk jejak darah yang tidak dapat dilihat
dengan mata telanjang. feses juga dapat diuji untuk mengetahui adanya
infeksi bakteri yang dapat menyebabkan gejala.7

Pemeriksaan lainnya :
- X-ray, pemeriksaan yang cepat, murah, non-invasif, dan rontgen abdomen
juga bisa menunjukkan apakah terdapat obstruksi atau dilatasi usus.7
- Barium enema (juga disebut seri gastrointestinal bagian bawah) adalah jenis
sinar-X khusus yang menggunakan barium sulfat dan udara untuk
8

menguraikan lapisan rektum dan usus besar. Hasilnya dapat menunjukkan


polip, tumor, atau divertikulosis.7
- Kolonoskopi adalah prosedur endoskopi yang digunakan untuk memeriksa
bagian dalam usus yang dapat melampaui area yang dapat dijangkau oleh
sigmoidoskopi. Kolonoskopi bermanfaat dalam mendeteksi kanker usus
besar, bisul, radang, dan masalah lain di usus besar. Biopsi juga dapat
diambil selama kolonoskopi dan diperiksa untuk petunjuk dalam membuat
diagnosis.7
2.6 Penatalaksanaan
. Karena etiologi dan patogenesis IBD yang belum jelas, terapi IBD
menitikberatkan pada penghambatan kaskade inflamasi. Penghambatan kaskade
inflamasi diharapkan dapat mengurangi gejala klinis untuk mencapai masa remisi
(induksi) dan mempertahankan kondisi remisi tersebut (maintenance). Disamping
itu, terapi IBD juga bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi.8,9

Pengobatan umum

Dengan dugaan adanya faktor proinflamasi dalam bentuk bakteri intralumen


usus, maka untuk mengeliminasi hal tersebut dapat diberikan antibiotik.
Metronidazole 1 - 1,5 gr/hari atau Ciprofloxacin 2 x 500 mg/harcukup bermanfaat
pada penyakit Chron’s dalam menurunkan derajat penyakitnya. Sedangkan pada
kolitis ulseratif pemberian antibiotik jarang dilakukan.8
Selain terapi untuk menghambat kaskade inflamasi, pasien-pasien IBD juga
memerlukan terapi simptomatik terutama untuk gejala-gejala yang tidak secara
langsung disebabkan oleh proses inflamasi. Pemberian antidiare seperti loperamide
atau difenoksilat/atropin sebaiknya dihindari pada pasien eksaserbasi IBD akut
karena obat-obatan tersebut dapat menyebabkan megakolon toksik. Diare pada
pasien dengan penyakit Chron’s terutama pada ileum atau pada pasien IBD yang
pernah menjalani reseksi ileum biasanya disebabkan oleh malabsorpsi garam
empedu. Pada keadaan tersebut pemberian agen pengikat garam empedu seperti
kolestiramin dapat mengurangi gejala diare.9
9

Terapi Medikamentosa

Pendekatan terapi medikamentosa pada IBD dilakukan secara bertahap (step-


up). Tahap pertama adalah dengan pemberian aminosalisilat untuk kolitis ulseratif
dan antibiotik untuk penyakit Chron’s. Tahap kedua adalah pemberian
kortikosteroid untuk kasus-kasus yang tidak memberikan respon terhadap terapi
aminosalisilat. Kortikosteroid dapat menurunkan derajat inflamasi dengan cepat
dan mengurangi gejala IBD dengan cepat. Ketika fase remisi sudah tercapai,
kortikosteroid dapat di taper off.9

Obat-obatan imunosupresif adalah terapi tahap ketiga yang diberikan pada


pasien yang gagal diterapi dengan kortikosteroid atau pada pasien yang
membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama untuk
mencapai remisi.2 Pada pasien dengan presentasi klinis yang berat, pemberian
terapi medikamentosa dapat dilakukan secara step-down dengan memberikan obat-
obatan yang berpotensi tinggi terlebih dahulu. Hal ini dapat dilakukan untuk
mencegah komplikasi. 9
1. Terapi aminosalisilat dan antibiotik
Obat golongan aminosalisilat terutama berguna untuk episode eksaserbasi dan
mempertahankan masa remisi. Obat golongan aminosalisilat bekerja menghambat
kaskade inflamasi pada usus. Aminosalisilat menghambat respon kemotaktik
terhadap leukotrien B4, menghambat sintesis dari platelet activating, factor dan
juga menghambat adhesi leukosit ke dinding sel usus.10
Obat golongan aminosalisilat yang sudah lama dipakai dalam pengobatan IBD
adalah preparat sulfasalazin yang yang merupakan gabungan sulpiridin dan
aminosalisilat dalam ikatan azo. Preparat ini akan dipecah di dalam usus menjadi
sulfapiridin dan 5-acetyl-salicylic acid (5-ASA). Telah diketahui bahwa yang
bekerja sebagai agen anti inflamasi adalah 5-ASA. Saat ini telah ada preparat 5-
ASA murni, baik dalam sediaan lepas lambat ataupun gabungan 5-ASA dalam
bentuk ikatan diazo.8,10
Dosis rata-rata 5-ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gr/hari, yang
kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan sesuai kondisi pasien. Obat 5-
10

ASA tersedia dalam bentuk oral, supositoria, maupun enema.1 Penggunaan 5-ASA
pada penyakit Chron’s memiliki hasil rata-rata untuk mencapai masa remisi, tetapi
tidak memperlihatkan hasil yang efektif dalam mempertahankan masa remisi.8,9
Agen antiinflamasi yang digunakan pada penyakit Chron’s adalah antibiotik
golongan metronidazol dan ciprofloxacin. Antibiotik ini dapat digunakan atas
berbagai indikasi seperti penyakit perianal, fistula, dan peradangan massa
intraabdomen. Dosis Metronidazole 1 - 1,5 gr/hari atau Ciprofloxacin 2 x 500
mg/hari cukup bermanfaat pada penyakit Chron’s dalam menurunkan derajat
penyakit Chron’s.9
Efek samping penggunaan antibiotik pada penyakit Chron’s adalah mual,
anoreksia, diare, kandidiasis, dan neuropati perifer. Sedangkan pada kolitis ulseratif
pemberian antibiotik jarang dilakukan, karena berisiko menyebabkan kolitis
klostridium.8,9

2. Terapi kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan pilihan untuk penyakit Chron’s berbagai derajat dan


kolitis ulseratif sedang-berat. Pilihan kortikosteroid yang digunakan adalah
prednison, metilpredisolon (bentuk preparat peroral), atau steroid enema. Pada
keadaan IBD eksaserbasi berat dapat juga diberikan steroid parenteral. Dosis rata-
rata steroid yang digunakan untuk mencapai fase remisi dalam terapi IBD adalah
setara dengan 40 – 60 mg prednison, kemudian dilakukan tappering dose setelah
remisi dalam 8 – 12 minggu.8
Pada penyakit Chron’s, kortikosteroid oral maupun intravena efektif dalam
menginduksi remisi tetapi tidak efektif dalam pengobatan pemeliharaan. Jadi
sebaiknya segera dilakukan tappering dose kortikosteroid setelah fase remisi
tercapai.8
Seperti pada penyakit Chron’s, pemberian steroidjuga ebrguna dalam
pengobatan fase akut kolitis ulseratif yang sedang-berat. Kembali, steroid tidak
efektif untuk digunakan sebagai terapi pemeliharaan pada kolitis ulseratif.
Pemberian steroid enema juga dapat dilakukan pada kolitis ulseratif distal tanpa
dikhawatirkan efek sistemiknya.8
11

3. Terapi imunosupresif
Obat golongan imunosupresif dapat dipakai bila pemberian golongan
aminosalisilat dan kortikosteroid gagal mecapai remisi. Obat imunosupresan yang
dipakai untuk pengobatan IBD diantaranya adalah 6-mercaptopurin (6-MP),
azathioprine, siklosporin, methotrexate, dan obat golongan anti-tumor necroting
factor. 8
Azathioprine dan 6-MP adalah golongan analog purin yang efektif untuk
mencapai dan mempertahankan remisi pada penyakit Chron’s serta dapat
menyembuhkan fistulasi dan meminimalisasi penggunaan steroid. Penggunaan
golongan analog purin ini terbatas apda kasus penyakit Chron’s derajat sedang-
berat yang tidak memberikan respon terhadap terapi aminosalisilat dan steroid. 1
Dosis standar azathioprine pad apenyakit Chron’s adalah 2 – 2,5 mg/kg/hari dan
dosis 6-MP adala 1 – 1,5 mg/kg/hari. Efektifitas pemberian golongan analog purin
pada kolitis ulseratif belum banyak diteliti. Methotrexate adalag inti metabolit folat
yang dapat menginduksi remisi pada penyakit Chron’s dengan dosis 25 mg/minggu
yang diberikan secara intramuskular atau subkutan. Dosis maintenance
methotrexate pada penyakit Chron’s adalah 15 mg/minggu. 8
Obat golongan siklosporin juga dapat digunakan dalam terapi IBD. Siklosporin
digunakan secara terbatas, sebagai alur akhir penatalaksaan IBD yang refrakter
terhadap obat golongan lainnya. Efek terapetik siklosporin pendek dan memiliki
toksisitas yang berat sehingga tidak dainjurkan untuk penggunaan jangka panjang.8
Efek samping pemberian obat golongan imunosupresan ini adalah terjadinya
infeksi sekunder, skrining penyakit laten seperti tuberkulosis atau hepatitis perlu
dilakukan. 8
Sebelumnya terapi nutrisi pada pasien IBD hanya berperan sebagai terapi
adjuvan. Baru-baru ini diketahui pemberian bahan makanan tertentu dapat
membantu mengatasi komplikasi berupa defisiensi berbagai zat nutrisi pada pasien
IBD dan mempertahankan masa remisi penyakit.11
Saat ini terapi nutrisi pada IBD juga termasuk ke dalam sebagai salah satu
pendekatan terapi untuk mencapai dan mempertahankan remisi.11 Meskipun belum
12

ada penelitian yang mengemukakan hubungan diet dengan kejadian IBD dan
hubungan konsumsi makanan tertentu dengan eksaserbasi IBD.9
Terdapat tiga indikasi untuk melakukan terapi nutrisi yang intensif pada pasien
IBD. Pertama untuk mengkoreksi atau menghindari malnutrisi dan menfasilitasi
pertumbuhan. Kedua sebagai terapi primer dari inflamasi usus aktif pada penyakit
Chron’s tapi tidak begitu berperan pada kolitis ulseratif. Ketiga termasuk proporsi
kecil untuk pasien penyakit Chron’s yang memerlukan support nutrisi jangka
panjang karena short bowel syndrome dan perluasan penyakit aktif.11,12
Meskipun terapi diet pada pasien dengan kolitis ulseratif tidak memiliki peran
yang tidak begitu signifikan, pemberian diet tertentu pada pasien dengan kolitis
ulseratif dapat membantu meringankan gejala kolitis. Diet rendah residu dianggap
menguntungkan bagi pasien dengan kolitis ulseratif karena membantu mengurangi
pergerakan usus.9
Sebaliknya, derajat inflamasi pada pasien dengan penyakit Chron’s sangat
terantung pada diet. Puasa atau pemberian diet elemental dapat membantu
mengurangi derajat inflamasi pada dinding usus. Diet enteral elemental dianggap
lebih superior daripada diet dengan makanan biasa untuk mengurangi inflamasi
pada penyakit Chron’s. permasalahan yang dapat muncul dengan pemberian diet
elemental cair adalah kurangnya kandungan kalori dalam bentuk tersebut sehingga
tidak dapat memenuhi kebutuhan kalori pasien.9,11
1. Diet enteral
Diet enteral pada pasien IBD dapat diberikan dalam 2 bentuk, yaitu: 11
- Diet elemental yang mengandung nutrisi dalam bentuk sederhana
yang dapat langsung diserap tanpa melalui proses pencernaan
mekanik maupun kimiawi.
- Diet polimerik yang mengandung protein dan karbohidrat dalam
bentuk yang lebih kompleks.
Diet elemental diketahui dapat membantu mencapai fase remisi dan
penyembuhan mukosa usus pada penyakit Chron’s. Hal ini terutama bermanfaat
pada pasien pediatri untuk mengurangi dan menghindari penggunaan kortikosteroid
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan anak.11,12
13

Pada diet elemental, nutrisi diberikan dalam bentuk sederhana. Protein


diberikan dalam bentuk L-asam amino. Bentuk ini memiliki antigenisitas yang
lebih rendah dibandingkan dengan asam amino bebas pada protein. Hal ini
berguna untuk mengurangi inflamasi pada mukosa usu pasien dengan IBD. Selain
itu bentuk L-asam amino tidak memerlukan proses pencernaan, sehingga dapat
dengan baik diabsorbsi pada segmen atas dari usus halus dan mengurangi kerja
usus. Diet elemental juga mengandung sedikit lemak, sering dalam bentuk medium-
chain-triglyseride. Bentuk ini memerlukan lipolisis yang relatif kecil di usus.11,12
Pemberian nutrisi enteral dalam bentuk elemental dipertimbangkan untuk
diberikan pada kasus IBD berat. Diet elemental diberikan melalui tube feeding.
Kontraindikasi pemberian diet enteral pada IBD adalah perdarahan massif ,
perforasi usus, obstruksi usus total, megakolon toksik.11
Pasien dengan penyakit Chron’s sering mengalami komplikasi. Sebagai
tambahan terhadap pengobatan, pembatasan diet spesifik seperti serat yang sedikit,
atau diet rendah lemak yang akan menghasilkan asupan energi yang suboptimal.
Pada kasus ini terapi nutrisi enteral bertujuan untuk mengkoreksi suplai energi.
Pada penyakit Chron’s nutrisi artificial sering diberikan dalam jangka waktu lebih
lama dibanding pada pasien kolitis ulseratif.9,11
2. Diet parenteral
Karena antigen yang berasal dari diet merupakan salah satu stimulan terhadap
sistem pertahanan mukosa usus, mengistirahatkan usus dengan pemberian nutrisi
parenteral total dapat digunakan sebagai salah satu terapi IBD. Tujuan pemberian
terapi parenteral pada IBD adalah untuk mengistirahatkan usus, memperbaiki
defisiensi berbagai nutrisi, dan untuk menghilangkan stimulus antigen dari mukosa
usus.11
Penggunaan diet parenteral sebagai pengganti nutrisi pada IBD tidak
berbeda dengan penggunaannya pada penyakit lainnya. Yang harus diperhatikan
pada kasus IBD adalah adanya defisiensi nutrisi tertentu. Indikasi lain untuk
menggunakan diet parenteral, adalah sebagai terapi primer yaitu ketika terapi
konvensional medis gagal, sehingga dilakukan pemberian nutrisi melalui jalur
14

parenteral pasien memulai bowel rest. Secara rasional terapi bowel rest dilakukan
sebagai manuver terapetik untuk menghindari asupan oral karena adanya gejala-
gejala obstruksi usus atau berharap adanya perbaikan gejala klinis IBD sebagai
hasil dari penurunan aktivitas mekanis, fisik dan kimia dari usus.12
Pemberian diet parenteral total biasanya diberikan pada pasien penyakit
Chron’s derajat sedang hingga berat, pasien IBD yang tidak mencapai remisi
dengan diet enteral, rute enteral tidak memungkinkan untuk dilakukan, obstruksi
intestinal, short bowel syndrome, fistula dan malnutrisi berat yang tidak dapat
dikoreksi dengan diet enteral. Diet parenteral total juga dapat diberikan pada
pasien-pasien penyakit Chron’s yang menjalani operasi anastomosis. Diet
parenteral total diakitkan dengan biaya perawatan yang lebih tinggi dan risiko
sepsis. Pemberian nutrisi parenteral total dinilai kurang bermanfaat untuk pasien
dengan kolitis ulseratif.9,11,12
Akan tetapi diet parenteral mempunyai beberapa efek samping yaitu penurunan
permukaan absorbtif usus dan menurunkan aktivitas enzimatik usus. Lebih
jauh lagi ternyata bowel rest dapat menyebabkan translokasi bakteri,
transmigrasi endotoksin, terutama pada kondisi seperti IBD, dimana telah terjadi
disrupsi epitel usus.12
2.7 Komplikasi
Komplikasi IBD dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu komplikasi intestinal
dan komplikasi ekstraintestinal.. Komplikasi intestinal antara lain yaitu :13
1. Keterlibatan organ saluran pencernaan proksimal
Hal ini terjadi terutama pada pasien anak atau pada beberapa orang dewasa dengan
etnis tertentu (keturunan Afrika), namun paling banyak adalah anak – anak dengan
riwayat pemeriksaan gastroskopi sebagai pemeriksaan awal rutin
2. Perdarahan
Perdarahan masif pada ulkus terjadi pada UC, sementara pada CD jarang terjadi.
3. Perforasi
Perforasi usus lebih umum terjadi pada CD, namun hal ini juga bisa mengenai
keduanya (UC dan CD) bila terdapat adanya megacolon
4. Abses intraabdomen
15

Komplikasi ini terutama terdapat pada CD


5. Striktura dan obstruksi
Hal ini terjadi akibat penyempitan lumen usus yang disebabkan oleh inflamasi,
edema, atau pun oleh proses fibrosis kronis
6. Fistula dan penyakit perianal
Hal ini merupakan komplikasi yang khas pada CD
7. Toxic megacolon
8. Keganasan
IBD menjadi faktor risiko yang meningkatkan peluang terjadinya karsinoma.
Komplikasi ekstraintestinal harus dibedakan dari manifestasi intestinal, dan
mungkin saja berkaitan dengan efek dari pengobatan yang diberikan dan malnutrisi,
selain daripada inflamasi yang terdapat pada penyakit itu sendiri. Beberapa
komplikasi dan manifestasi ekstraintestinal dipaparkan dalam tabel berikut ini:14
16
17

2.8 Prognosis
Malnutrisi menjadi risiko untuk perburukan prognosis, angka kejadian
komplikasi, mortalitas, dan kualitas hidup pada pasien dengan IBD. Hal ini
terutama lebih banyak terjadi. Hal ini terutama lebih mudah terjadi pada kasus CD
daripada UC. Seluruh pasien IBD sebaiknya dilakukan skrining untuk menilai
status gizinya. Pasien dengan IBD aktif, terutama yang tidak responsif terhadap
terapi medis, umumnya memiliki risiko yang tinggi mengalami gizi buruk.14
Secara keseluruhan, angka kematian akibat IBD telah menurun seiring
berjalannya waktu menjadi dibawah 5%. UC bisa disembuhkan dengan
proctolectomy dan ileostomy, sementara pada CD bisa ditangani dengan reseksi
dan anastomosis, namun rekurensi bisa terjadi.14
BAB 3

KESIMPULAN

Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan suatu kondisi inflamasi pada


saluran gastrointestinal yang bersifat kronis. IBD dibagi menjaadi 2 tipe utama
yaitu Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn dimana kedua penyakit ini mempunyai
gejala yang serupa namun gambaran patologi saluran cerna yang berbeda. Kolitis
Ulseratif merupakan inflamasi yang terjadi dimulai dari kolon dan menyebar ke
arah proksimal. Sedangkan Penyakit Crohn merupakan inflamasi yang dapat terjadi
di sepanjang saluran gastrointestinal dan bersifat segmental.1

Meskipun pasien dengan penyakit radang usus (IBD) memiliki minat yang kuat
dalam modifikasi diet sebagai bagian dari manajemen terapi mereka, saran diet
hanya memainkan bagian kecil dalam pedoman yang diterbitkan. Literatur ilmiah
menunjukkan bahwa faktor makanan dapat mempengaruhi risiko pengembangan
IBD, bahwa diet dapat berfungsi sebagai pengobatan simptomatik untuk gejala
seperti sindrom iritasi usus besar pada IBD. Peran nutrisi dalam IBD digaris bawahi
oleh efek berbagai terapi diet. Pada pasien anak-anak dengan Crohn's disease (CD)
enteral nutrition (EN) mencapai tingkat remisi yang mirip dengan steroid. Pada
pasien dewasa, bagaimanapun, EN lebih rendah daripada kortikosteroid. EN tidak
efektif pada kolitis ulserativa (UC). Nutrisi parenteral total pada IBD tidak lebih
baik daripada steroid atau EN. Penggunaan probiotik spesifik pada pasien dengan
IBD hanya dapat direkomendasikan dalam situasi klinis khusus.9

18
DAFTAK PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Daldiyono, DharmikaDjojoningrat. IBD: Hospital based data and
endoscopic assessment of disease activity in Jakarta, Indonesia. J.
Gastroenterol Hep.2000;15;B10.
3. Danese, S & Fiocchi C. Etiopathogenesis of inflammatory bowel disease.
World Journal of Gastroenterology.2006;12(30):4807-4812
4. Zhang, YZ & Li YY. Inflammatory bowel disease: Pathogenesis. World J
Gastroenterol.2014;20(1):91-99.
5. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et
al. World gastroenterology organization practice guidelines for the

diagnosis and management of IBD in 2010. In amm 
 Bowel Dis 2010;

16(1): 112-24. 


6. Kelompok Studi In ammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus


nasional penatalaksanaan in ammatory bowel disease (IBD) di Indonesia.

Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi 
 Indonesia 2011. 


7. Rowe WA, Katz J. In ammatory bowel disease. [disitasi tanggal 18 April

2012]. http://www.medscape.com 


8. Rowe WA. Inflamatory Bowel Disease [Internet]. Medscape. 2017 [cited


29 January 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/179037-overview
9. Greenfield SM, Punchard NA, Teare JP, Thompson RP. Review article:
the mode of action of the aminosalicylates in inflammatory bowel disease.
Aiment Pharmacol Ther. 2009; 7(4):369-83.
10. Durchschein F, Petritsch W, Hammer HF. Diet therapy for inflammatory
bowel diseases: the established and the new. World Journal of
Gastroenterology. 2016;22(7):2179-94.

19
11. Forbes A, Escher J, Hebuterne X, et al. ESPEN Guideline: Clinical
Nutrition in Inflamatory Bowel Disease. Clinical Nutrition. 2016;36(1):
321-47.
12. Forbes, A., Escher, J., Hébuterne, X., Kłęk, S., Krznaric, Z., Schneider, S.,
... & Bischoff, S. C. (2017). ESPEN guideline: Clinical nutrition in
inflammatory bowel disease. Clinical nutrition, 36(2), 321-347.
13. Rothfuss, K. S., Stange, E. F., & Herrlinger, K. R. (2006). Extraintestinal
manifestations and complications in inflammatory bowel diseases. World
journal of gastroenterology: WJG, 12(30), 4819.
14. Sales, D. J., & Kirsner, J. B. (1983). The prognosis of inflammatory bowel
disease. Archives of internal medicine, 143(2), 294-299.

20

Anda mungkin juga menyukai