Anda di halaman 1dari 18

EKOLOGI PANGAN DAN GIZI

PENYAKIT MENULAR INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS


(ISPA)

Dosen Pengampuh : Anitatia Ratna Megasari, S.KM.,M.PH

Kelompok 3 :

DIAH INDRI ASTUTI P 101 22 143


NAJWA NABILA S. TAHER P 101 22 166
SITI FATIMA S. BONDO P 101 22 144
MAGFIRATUL JANNAH P 101 22 004
GITA DIVA SAPUTRI P 101 22 140
RISKI DWI RETNOWATI P 101 22 137
AHMAD VAIZY P 101 22 131

KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TADULAKO

2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 2

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 5

1.3 Tujuan ........................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6

2.1 Definisi penyakit ISPA ....................................................................................... 6

2.2 Faktor penyebab terjadinya penyakit ISPA............................................... 6

2.3 Faktor risiko penyakit ISPA ................................................................................. 7

2.4 Hubungan antara kebutuhan gizi dengan penyakit ISPA ................... 12

2.5 Cara pencegahan penyakit ISPA melalui upaya pemenuhan gizi .......... 13

2.6 Keterkaitan antara penyakit ISPA dengan kebutuhan gizi berdasarkan


penelitian nasional dan internasional ...................................................................... 14

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 16

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 16

3.2 Saran............................................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 18


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat
dan hidayah-Nya, kami kelompok 3 dapat menyelesaikan tugas makalah yang
bertema Penyakit Menular (ISPA).

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Pangan dan
Gizi. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang Penyakit
Menular (ISPA) dan hubungannya dengan permasalahan gizi.

Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Dosen Pengampuh Ekologi


Pangan dan Gizi, kepada teman-teman kelompok yang sudah membantu dan aktif
dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karna itu,
diperlukan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah dan
pengalaman kami dalam membuat makalah.

Palu, 29 Februari 2024

Kelompok III
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekologi pangan adalah bidang studi yang menggabungkan prinsip-


prinsip ekologi dengan sistem pangan manusia, hal ini melibatkan pemahaman
tentang hubungan yang kompleks antara manusia, lingkungan, dan sistem
pangan yang berkelanjutan. Pemdekatan ekologi pangan mempertimbangkan
berbagai aspek , seperti produksi, distribusi , konsumsi dan bagaimana hal-hal
ini berdampak pada lingkungan (Ekologi Pangan dan Gizi, 2023).
Ekologi pangan dan gizi adalah bidang yang mempelajari hubungan yang
kompleks antara produksi pangan, lingkungan, dan kesehatan manusia dengan
memahami elemen-elemen ini, kita dapat mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan dalam sistem pangan yang memiliki elemen lingkungan dan gizi
yang seimbang. Selain itu, pendekatan ekologi pangan dan gizi memperhatikan
elemen kesehatan manusia seperti aksesibilitas makanan yang sehat, kecukupan
gizi, dan bagaimana kebiasaan makan memengaruhi kesehatan Pendekatan ini
berusaha untuk mendorong sistem pangan yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan, yang pada gilirannya dapat membant kesehatan manusia dan
lingkungan secara keseluruhan (Ekologi Pangan dan Gizi, 2023).
Penyakit menular adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus,
atau parasit yang dapat ditularkan melalui media tertentu. Penyakit menular
sering juga disebut penyakit infeksi karena penyakit ini diderita melalui infeksi
virus, bakteri, atau parasit yang ditularkan melalui berbagai macam media
seperti udara, jarum suntik, transfusi darah, tempat makan atau minum, dan lain
sebagainya (Andika, 2020).
ISPA diartikan sebagai suatu infeksi pada saluran pernafasan yang
disebabkan karena terjadi nya penularan infeksius pada manusia ke manusia
lainya. Penyebaran gejala pada penyakit ini biasanya dapat dihitung dengan
cepat bahkan dalam hitungan jam hingga beberapa hari, gejala yang timbul
dirasakan biasanya seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, pilek, sesek nafas
atau kesulitan bernafas (Salva bila, 2023).
Menurut World Health Organization (WHO, 2018) menyatakan jumlah
kematian balita disebabkan oleh penyakit ISPA diseluruh dunia menduduki
urutan paling tinggi. Pada tingkat Under Five Mortality Rate (UMFR) penyakit
ISPA berkisaran 41/1000 anak sedangkan menurut tingkat Infant Mortality Rate
(IFR) ISPA sebesar 45/1000 anak. Kejadian ISPA pada negara maju
dikarenakan virus sedangkan untuk negara yang berkembang disebabkan oleh
bakteri (Salva bila, 2023).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari penyakit ISPA?
2. Apa saja penyebab terjadinya penyakit ISPA?
3. Apa saja faktor risiko terjadinya penyakit ISPA?
4. Apa hubungan antara kebutuhan gizi dengan penyakit ISPA?
5. Bagaimana cara pencegahan penyakit ISPA melalui upaya pemenuhan gizi?
6. Bagaimana keterkaitan antara penyakit ISPA dengan kebutuhan gizi
berdasarkan penelitian nasional dan internasional?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi penyakit ISPA


2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya penyakit ISPA
3. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit ISPA
4. Untuk mengetahui hubungan antara kebutuhan gizi dengan penyakit ISPA
5. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit ISPA melalui upaya
pemenuhan gizi
6. Untuk mengetahui keterkaitan antara penyakit ISPA dengan kebutuhan gizi
berdasarkan penelitian nasional dan internasional
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi penyakit ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan suatu penyakit


infeksi pada saluran pernapasan baik saluran pernapasan atas (hidung) atau
bawah (alveoli), dan dapat menyebabkan penyakit dari ringan hingga berat
yang dapat menyebabkan kematian(Salva bila, 2023).
ISPA diartikan sebagai suatu infeksi pada saluran pernafasan yang
disebabkan karena terjadi nya penularan infeksius pada manusia ke manusia
lainya. Penyebaran gejala pada penyakit ini biasanya dapat dihitung dengan
cepat bahkan dalam hitungan jam hingga beberapa hari, gejala yang timbul
dirasakan biasanya seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, pilek, sesek
nafas atau kesulitan bernafas (Salva bila, 2023).
2.2 Faktor penyebab terjadinya penyakit ISPA

ISPA merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang


menyebar melalui udara. Penyakit ini dapat menular apabila virus atau
bakteri yang terbawa dalam droplet terhirup oleh orang sehat. Droplet
penderita dapat disebarkan melalui batuk atau bersin. Proses terjadinya
penyakit setelah agent penyakit terhirup berlangsung dalam masa inkubasi
selama 1 sampai 4 hari untuk berkembang dan menimbulkan ISPA. Apabila
udara mengandung zat – zat yang tidak diperlukan manusia dalam jumlah
yang membahayakan Oleh karena itu kualitas lingkungan udara dapat
menentukan berbagai macam transmisi penyakit (Yuhendri Putra, 2019),
ISPA sebagian besar disebabkan oleh infeksi, akan tetapi dapat juga
disebabkan oleh bahan - bahan seperti aspirasi minyak mineral, inhalasi
bahan - bahan organik atau uap kimia seperti Berillium, inhalasi bahan-
bahan debu yang mengandung alergen, seperti spoampas tebu di pabrik
gula, obat (Nitrofurantoin, Busulfan, Metotreksat), radiasi dan
Desquamative interstitial pneumonia, Eosinofilic pneumonia.
(Leonymayang, 2022).
Penyakit ini disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia/ protozoa. Virus
yang termasuk penggolong ISPA adalah rinovius, koronavitus, adenovirus,
dan koksakievirus, influenza, virus sinsial pernfasan. Virus yang ditularkan
melalui ludah yang dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita adalah virus
influenza, virus sinsial dan rino virus. (Leonymayang, 2022).
2.3 Faktor risiko penyakit ISPA

Berdasarkan penelitian milik Ridwan S.F (2021), didapatkan bahwa faktor


risiko penyakit ISPA antara lain :
1. Pengaruh Usia terhadap Kejadian ISPA
Usia merupakan salah satu faktor risiko yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada balita. Menurut laporan Global Burden of Disease
(GBD) pada tahun 2017, infeksi saluran pernapasan akut bawah sebagai
penyebab 652.572 kematian pada anak-anak di bawah lima tahun.
Namun, masih terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai kelompok
usia balita yang paling berisiko terserang ISPA. Sejumlah peneliti
melaporkan bahwa ISPA lebih banyak ditemukan pada balita dengan usia
di bawah 12 bulan dibandingkan kelompok usia lainnya. Mereka
menjelaskan bahwa pada rentang usia tersebut sistem imun adaptive
masih belum berkembang, sehingga balita hanya bisa mengandalkan
sistem imun yang masih bersifat non-spesifik (innate immunity) dan
belum dapat mengatasi patogen secara baik. Beberapa peneliti lainnya
mengatakan bahwa kelompok usia balita 11-23 bulanlah yang paling
rentan terhadap penyakit ISPA. Penyebabnya adalah pada usia tersebut
anak mulai disapih dan diperkenalkan dengan makanan pendamping.
Pemberian makanan pendamping dan peningkatan aktivitas anak di
lingkungan luar rumah membuat anak lebih berisiko terpapar agen
penyebab ISPA. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa usia
balita adalah usia yang paling rentan terserang ISPA. Pembentukan
sistem imun dan faktor eksternal lebih berperan dalam menentukan
kejadian ISPA daripada usia balita. Sistem imun yang belum matang
(immature) di usia kurang dari 12 bulan dan faktor eksernal di usia 11-
23 bulan menyebabkan balita mudah terserang ISPA. Walaupun
mungkin sistem imun balita pada usia 11-23 bulan lebih baik dari balita
kurang dari 12 bulan.
2. Pengaruh Berat Badan Lahir Rendah terhadap Kejadian ISPA
Bayi yang lahir dengan berat badan di bawah normal atau kecil
dari 2.500 g tergolong dalam kategori bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR). Berat badan lahir rendah menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fisik pada masa balita. Beberapa peneliti sepakat bahwa
bayi dengan BBLR memiliki risiko lebih besar terjangkit ISPA, tetapi
mereka mempunyai pendapat yang berbeda terkait mekanisme yang
menyebabkan tingginya risiko ISPA pada balita BBLR tersebut. Balita
dengan BBLR umumnya mengalami hambatan pertumbuhan selama di
dalam kandungan. Menurut penelitian Deepti & Abha (2018) hal ini
menjadi salah satu penyebab terjadinya deformasi dari sturuktural paru
pada calon bayi. Pendapat ini memperkuat laporan Ronkainen et al.
(2016) yang menduga terjadi pembatasan pertumbuhan intra-uterus pada
balita BBLR sehingga timbul kelainan struktur dan fungsi paru. Berat
lahir ditemukan berbanding terbalik dengan prevalensi rawat inap balita
yang terdiagnosis ISPA. Kebanyakan balita BBLR yang dirawat tersebut
mengalami gangguan
Kekebalan biologis terindikasi dari rendahnya presentase
komponen limfosit sel B dan T dibandingkan dengan bayi yang terlahir
dengan berat normal. Anteneh & Hassen (2020) menambahkan bahwa
interleukin 7 juga ditemukan dengan kadar yang rendah dalam plasma
bayi BBLR. Semakin rendah kadar interleukin 7 dalam plasma, dan
pendeknya ukuran telomer pada sel mononuklear darah perifer, dapat
meningkatkan kerentanan terhadap beberapa agen infeksi, termasuk
ISPA.Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ISPA pada balita dapat
diakibatkan oleh BBLR. Ada beberapa mekanisme sehingga balita
BBLR mudah terserang ISPA yaitu BBLR menyebabkan terjadinya
deformasi dari sturuktural paru pada calon bayi, gangguan
imunokompetensi serta rendahnya komponen limfosit sel B, limfosit sel
T, dan kadar interleukin 7.
3. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Kejadian ISPA
Jenis kelamin oleh banyak ahli diyakini sebagai salah satu faktor
yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian ISPA pada balita.
Balita laki-laki ditemukan lebih banyak terserang ISPA daripada balita.
Tetapi beberapa riset menemukan pengecualian, di mana penyakit ini
lebih banyak dialami oleh balita perempuan.Perbedaan genetik dan
lambatnya maturasi sistem imun pada balita laki-laki yang menjadi
penyebab tingginya risiko ISPA pada jenis kelamin tersebut. Penyebab
lain, yaitu bahwa ukuran timus laki-laki lebih kecil daripada perempuan.
Ukuran timus berbanding terbalik dengan risiko infeksi. Argumentasi
lain yang mendukung pendapat ini, dikemukan oleh Trigunaiteimo pada
tahun (2015) yang mengatakan bahwa kemungkinan lain penyebab balita
laki-laki lebih rentan terhadap ISPA adalah terjadinya tekanan terhadap
respon imun oleh hormon testosteron pada jenis kelamin laki-laki.
Hormon ini jumlahnya lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki dan
terkadang ditemukan peningkatan jumlahnya pada balita laki-laki yang
disebut mini pubertas. Riset yang melaporkan bahwa ISPA lebih banyak
terjadi pada balita perempuan dikemukan oleh Ibama et al. (2017).
Ibama et al. (2017) berpendapat bahwa lebih banyaknya kejadian
ISPA pada balita perempuan di masyarakat pedesaan disebabkan oleh
orang tua mereka memiliki pengetahuan yang kurang terhadap ISPA dan
tingkat kepedulian yang rendah terhadap fasilitas kesehatan. Pendapat
lainnya mengatakan bahwa pada semua kelompok umur, kejadian ISPA,
seperti sinusitis dan tonsilitis, lebih sering ditemukan pada wanita. Hal
ini diakibatkan oleh perbedaan anatomi saluran pernapasan antara pria
dan wanita. Wanita memiliki struktur ostium yang lebih kecil dari sinus
paranasal dan karena itu kemungkinan menjadi lebih rentan terhadap
sinusitis. Merujuk kajian literatur di atas dapat disimpulkan bahwa balita
berjenis kelamin lakilaki lebih rentan terhadap ISPA. Penyebabnya
adalah karena balita laki-laki lambat mengalami maturasi sistem imun,
memiliki ukuran timus yang kecil dan hormon testosteron serta
perbedaan genetik. Sementara penyebab tingginya kejadian ISPA pada
balita perempuan lebih pada struktur ostium mereka yang lebih kecil.
4. Pengaruh ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA
Menyusui merupakan salah satu faktor yang diharapkan dapat
mengurangi risiko kejadian ISPA pada balita. Menyusui secara eksklusif
hingga usia enam bulan dapat menurunkan risiko kejadian ISPA hingga
usia balita. Penelitian yang dilakukan pada bayi berusia 0-23 bulan di
Eutohpia menemukan bahwa bayi yang diberikan susu botol lebih rentan
terhadap ISPA dibandingkan bayi yang mendapatkan Early Initiation of
Breastfeeding (EIBF) maupun Exclusive Breastfeeding (EBF) (Ahmed
et al., 2020). Penelitian lainnya yang dilakukan di Vietnam juga
menunjukkan bahwa bayi yang diberi susu formula ditemukan lebih
banyak dirawat di rumah sakit dengan keluhan diare dan ISPA
dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif. Namun
terdapat beberapa hasil penelitian yang tidak menemukan hubungan
signifikan antara ASI eksklusif dengan kejadian ISPA. Mekanisme
biologis penyebab balita yang mendapatkan ASI lebih terhindar dari
kejadian ISPA adalah karena ASI mengandung zat imunologis seperti
oligosakarida, imunoglobulin, hormon, dan enzim. Zat imunologis
memberikan kekebalan pasif kepada bayi, serta membantu dalam
pematangan sistem kekebalan tubuh. Air susu ibu memiliki protein
immunoglobulin A (IgA) sekretori, laktoferin, dan lisozim. Ig A sekretori
berfungsi melindungi bayi dari infeksi bakteri dan virus.
Argumentasi tersebut diperkuat oleh Deepti & Abha (2018) yang
mengatakan bahwa kolostrum yang terdapat dalam ASI memiliki peran
dalam mentransfer imunitas pasif yang dimiliki ibu untuk melindungi
bayinya dari infeksi. Oleh sebab itu bayi yang memiliki riwayat inisiasi
ASI yang terlambat, lebih berisiko menderita ISPA bagian bawah di
kemudian hari. Uraian di atas menegaskan bahwa meskipun terdapat
beberapa hasil penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan antara
pemberian ASI dengan risiko ISPA, tetapi pada umumnya para pakar
kesehatan sepakat bahwa balita yang mendapatkan susu formula akan
lebih rentan terserang ISPA dibandingkan yang mendapatkan ASI
eksklusif. Penyebabnya adalah karena ASI mengandung zat-zat antibodi
dan immunoglobulin yang memberikan efek menyediakan proteksi pasif
untuk melawan pathogen penyebab infeksi.
5. Pengaruh Status Gizi terhadap Kejadian ISPA
Secara klinis telah diketahui bahwa status gizi mempengaruhi
kerentanan dan respon tubuh terhadap infeksi secara umum. Hasil
penelitian Taksande & Yeole (2016) menemukan hubungan signifikan
antara malnutrisi dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil tersebut
diperkuat laporan Cox et al. (2017) bahwa anak yang mengalami
malnutrisi memiliki risiko tiga kali lebih tinggi menderita ISPA daripada
anak dengan gizi yang baik. Komponen nutrisi yang terdiri dari zat makro
dan mikro akan membantu proses imun, sehingga mempengaruhi sistem
imunitas tubuh. Berkurangnya imunitas seluler dan sistem kekebalan
tubuh yang tidak berkembang baik, membuat anak- anak dengan status
gizi buruk lebih rentan terhadap kejadian ISPA (Alemayehu et al., 2019).
Kandungan antioksidan yang terdapat dalam vitamin C sangat
penting untuk mengatasi infeksi di saat stress oksidatif meningkat. Zat
gizi mikro berperan penting dalam sintesis nukleotida dan asam nukleat
misalnya seng, magnesium, dan zat besi Angka kejadian ISPA yang
tinggi pada balita diakibatkan oleh anemia defisiensi besi. Asupan zat
besi yang adekuat penting untuk proliferasi pematangan sel imun,
terutama limfosit yang memiliki respon spesifik terhadap infeksi.
Meskipun sudah banyak penelitian yang menemukan hubungan positif
antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita, tetapi ada juga
peneliti yang tidak menemukan hubungan signifikan antar keduanya. Hal
ini umumnya disebabkan karena tidak adanya data yang lengkap terkait
riwayat asupan gizi pada balita yang diteliti. Balita yang mempunyai
status gizi baik mempunyai daya tahan (antibodi) yang lebih tinggi,
sehingga dapat mencegah atau terhindar dari penyakit seperti ISPA. Zat
gizi, misalnya besi yang memadai akan membantu proliferasi
pematangan sel imun, terutama limfosit yang memiliki respon spesifik
terhadap infeksi, demikian halnya dengan vitamin C sangat penting untuk
mengatasi infeksi di saat stress oksidatif meningkat.
2.4 Hubungan antara kebutuhan gizi dengan penyakit ISPA

Status gizi merupakan indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi bagi


balita penderita ISPA. Ketidakcukupan nutrisi akan berdampak pada
penurunan berat badan, peningkatan kerentanan terhadap infeksi,
penurunan daya tahan tubuh, dan meningkatnya resiko kekambuhan dan
komplikasi penyakit ISPA pada balita. Pemberian imunisasi lengkap dapat
meningkatkan kekebalan tubuh bayi agar terlindungi dari berbagai penyakit
yang berbahaya. Bayi yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap sangat
berisiko terkena berbagai penyakit (Lea, A. I., 2022).
Menurut Nikita Welandra (2021),menjelaskan bahwa zat gizi yang
diperoleh dari asupan makanan memiliki efek kuat untuk reaksi
kekebalan tubuh dan resistensi terhadap infeksi. Pada kondisi kurang
energi protein (KEP), dapat menyebabkan ketahanan tubuh menurun
dan virulensi pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan
yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu
determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut
adalah status gizi. Penderita ISPA pada balita dikarenakan memiliki
status gizi kurang sehingga akan memperlemah daya tahan tubuh dan
menimbulkan penyakit terutama yang disebabkan oleh infeksi. Balita
dengan status gizi kurang akan lebih rentan terhadap penyakit infeksi
dan bahkan serangannya lebih lama dibandingkan dengan anak yang
memiliki status gizi normal.
2.5 Cara pencegahan penyakit ISPA melalui upaya pemenuhan gizi

Berbagai upaya yang dapat dilakukan berhubungan dengan status


gizi dan ISPA pada balita yaitu dengan diadakannya suatu promosi
kesehatan yang meliputi penyuluhan, pendidikan kesehatan, dan penjelasan
tentang status gizi dan kejadian ISPA pada balita. Cara pencegahan ISPA
yaitu mengusahakan agar anak mempunyai status gizi baik, mengusahakan
kekebalan tubuh anak, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan,
mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA dan pengobatan segera
bila ada gejala ISPA (Nikita Welandra ,2021).
Studi menunjukkan bahwa hubungan antara status gizi balita dan
kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sangat signifikan. Balita
dengan status gizi kurang memiliki risiko lebih besar untuk terserang ISPA
dibandingkan dengan balita yang memiliki status gizi baik Faktor-faktor
seperti pengetahuan ibu tentang asupan gizi, tingkat pendidikan, dan
pengetahuan orang tua juga berperan dalam memengaruhi status gizi anak
serta kejadian ISPA pada balita. Langkah-langkah pencegahan ISPA yang
melibatkan aspek gizi meliputi:
1. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik, karena hal ini dapat membantu
mencegah penyakit ISPA
2. ⁠Memberikan makanan pada saat muntahnya reda setiap selesai
jangkitan muntah, serta memberikan makanan sedikit demi sedikit tapi
sesering mungkin selama anak sakit dan setelah sembuh untuk
mencegah kekurangan gizi
3. ⁠Memastikan pemberian cairan tambahan seperti susu, air putih, dan
buah pada anak dengan ISPA untuk menghindari kehilangan cairan
yang berlebihan selama sakit.
Dengan memperhatikan aspek gizi dalam pencegahan ISPA, terutama pada
balita, dapat membantu mengurangi risiko kejadian ISPA dan
meningkatkan kesehatan anak secara keseluruhan.
2.6 Keterkaitan antara penyakit ISPA dengan kebutuhan gizi
berdasarkan penelitian nasional dan internasional

Hubungan antara penyakit ISPA dengan kebutuhan gizi dapat dilihat


dari beberapa studi nasional dan internasional. Berdasarkan penelitian,
balita dengan status gizi kurang memiliki risiko lebih besar untuk terserang
ISPA dibandingkan dengan balita yang memiliki status gizi baik. Faktor-
faktor seperti pengetahuan ibu tentang asupan gizi, tingkat pendidikan, dan
pengetahuan orang tua juga berperan dalam memengaruhi status gizi anak
serta kejadian ISPA (Aslina, A., & Suryani, I, 2020).
1. Jurnal Nasional : “Rosanti, R., Handyana, F. I., & Kristianaa, A. S.
(2020). Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Anak
Usia Toddler (1-3 Tahun). Professional Health Journal, 2(1), 38-50.”
Pada penelitian ini dibuktikan dengan responden penelitian
anak usia toddler yang mengalami ISPA sebanyak 35,8% anak adalah
dengan status gizi kurus dan sebanyak 37,7% adalah anak yang tidak
mengalami ISPA dengan status gizi normal. Anak yang keadaan
gizinya kurang akan mudah mengalami penyakit infeksi, karena
kurangnya asupan energi dan protein yang tidak mencukupi kebutuhan,
sehingga pembuatan zat antibodi terganggu. Salah satu cara lain untuk
menumbuhkan kekebalan pada tubuh adalah dengan menyuntikan
serum yang merupakan plasma darah yang mengandung antibodi
tertentu untuk melawan antigen tertentu. Sistem imunitas merupakan
hasil kerjasama dari rangkaian sel, jaringan, protein dan organ
tubuhanak usia toddler sudah mendapat dukungan sistem imunitas sejak
bayi melalui air susu ibu (ASI) yang pertama kali keluar mengandung
kolostrum. Sistem imunitas tergantung pada apa yang dimasukan
kedalam perut sehingga penting menjaga asupan nutrisi yang dapat
mendukung sistem imunitas tersebut. Dari hasil diatas dapat
disimpulkan bahwa gizi mempunyai peran yang sangat besar dalam
pemeliharaan kesehatan tubuh anak usia toddler. Jika anak mengalami
status gizi yang kurang maka akan lebih mempermudah kuman maupun
bakteri patogen menyerang tubuh sehingga terjadi
ISPA. Maka dari itu untuk mengurangi angka kejadian ISPA maka
status gizi balita harus selalu dijaga dan ditingkatkan.
2. Jurnal Internasional : “Sari, R. D. P., Utama, W. T., Nareswari, S.,
Nugraha, S. A., & Indriyani, R. (2023). Analysis of Diarrhea, Acute
Respiratory Infection (Ari), And Hepatitis with the Nutritional Status of
Children in Children in Indonesia (Riskesdas Data 2018). resmilitaris,
13(2), 6438-6452.”
Hubungan antara status gizi balita dan kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) telah dibahas dalam beberapa penelitian
internasional. Salahsatunya dalam penelitian “Sari, R. D. P., Utama, W.
T., Nareswari, S., Nugraha, S. A., & Indriyani, R. (2023). Berdasarkan
penelitian, balita dengan status gizi kurang memiliki risiko lebih besar
terserang ISPA dibandingkan balita dengan status gizi baik. Penelitian
juga menunjukkan bahwa balita dengan status gizi kurang sebanyak 47
balita (50%), sedangkan balita dengan status gizi baik 39 balita
(41,5%), dan balita dengan status gizi buruk sebanyak 5 balita (5,3%).
Hubungan ini menunjukkan bahwa status gizi yang baik sangat penting
untuk mencegah terjadinya ISPA pada balita.
Pada penelitian dalam jurnal tersebut, menyebutkan bahwa
Prevalensi ISPA pada anak usia 0-59 bulan sangat tinggi di Indonesia.
Menurut data Riskesdas tahun 2018, ISPA menduduki peringkat ke-2
setelah diare sebagai penyakit terbanyak pada balita usia 0-59 bulan
dengan prevalensi pada balita kurang dari 1 tahun sebesar 7,4% dan
balita usia 12-59 bulan sebesar 8% (Riskesdas, 2018).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan tentang hubungan penyakit ISPA dengan kebutuhan gizi


adalah bahwa balita dengan status gizi kurang memiliki risiko lebih besar untuk
terserang ISPA dibandingkan balita dengan status gizi baik. Dalam Penelitian
jurnal internasional menunjukkan bahwa balita dengan status gizi kurang
sebanyak 47 balita (50%), sedangkan balita dengan status gizi baik 39 balita
(41,5%), dan balita dengan status gizi buruk sebanyak 5 balita (5,3%).
Hubungan ini menunjukkan bahwa status gizi yang baik sangat penting untuk
mencegah terjadinya ISPA pada balita. Pencegahan ISPA yang melibatkan
aspek gizi, seperti menjaga kesehatan gizi agar tetap baik, memberikan
makanan pada saat muntahnya reda setiap selesai jangkitan muntah,
memberikan makanan sedikit demi sedikit tapi sesering mungkin selama anak
sakit dan setelah sembuh untuk mencegah kekurangan gizi, dan memastikan
pemberian cairan tambahan seperti susu, air putih, dan buah pada anak dengan
ISPA untuk menghindari kehilangan cairan yang berlebihan selama sakit
3.2 Saran

Saran untuk mengurangi risiko kejadian ISPA dengan melibatkan aspek gizi
meliputi :

1) Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik.


2) Memberikan makanan pada saat muntahnya reda setiap selesai jangkitan
muntah.
3) Memberikan makanan sedikit demi sedikit tapi sesering mungkin selama
anak sakit dan setelah sembuh untuk mencegah kekurangan gizi.
4) Memastikan pemberian cairan tambahan seperti susu, air putih, dan buah
pada anak dengan ISPA untuk menghindari kehilangan cairan yang
berlebihan selama sakit.
5) Mengusahakan agar anak mempunyai status gizi baik, mengusahakan
kekebalan tubuh anak, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan,
mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA dan pengobatan segera
bila ada gejala ISPA.
6) Menyediakan informasi tentang gizi dan penyakit ISPA pada anak untuk
mengurangi risiko kejadian ISPA dan meningkatkan kesehatan anak secara
keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA

Aslina, A., & Suryani, I. (2020). Hubungan Status Gizi terhadap Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Payung Sekaki Kota Pekanbaru Tahun 2018. Ensiklopedia of Journal, 1(1).
Marniati, A. D., SE, M. K., & Notoatmodjo, S. (2022). Lifestyle of Determinant:
Penderita Penyakit Jantung Koroner. PT. RajaGrafindo Persada-Rajawali
Pers.
Ridwan, S. F., Rohima, W., Sudarsono, W., Septina, S. A., & Putri, S. R. (2021).
Faktor Risiko Fisiologis Penyebab Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) pada Balita: Literatur Riview. JUMANTIK (Jurnal Ilmiah
Penelitian Kesehatan), 6(1), 85-95.
Prakoso, T., Wardana, A. S., Untari, I., Rahayu, M. M., Aghadiati, F.,
Nirmagustina, D. E., ... & Butarbutar, A. F. (2023). Ekologi Pangan dan
Gizi. Pradina Pustaka.
Prasiwi, N. W., Ristanti, I. K., FD, T. Y., & Salamah, K. (2021). Hubungan Antara
Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita. Cerdika: Jurnal Ilmiah
Indonesia, 1(5), 560-566.
Putri, N. P. D. A. (2019). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Media Booklet
Anti ISPA (BOOKIS) terhadap Perilaku Pencegahan ISPA pada Ibu Balita
(Doctoral dissertation, Politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar Jurusan
Keperawatan).
Rosanti, R., Handyana, F. I., & Kristianaa, A. S. (2020). Hubungan antara Status
Gizi dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia Toddler (1-3 Tahun).
Professional Health Journal, 2(1), 38-50.
Sari, R. D. P., Utama, W. T., Nareswari, S., Nugraha, S. A., & Indriyani, R. (2023).
Analysis of Diarrhea, Acute Respiratory Infection (Ari), And Hepatitis with
the Nutritional Status of Children in Children in Indonesia (Riskesdas Data
2018). resmilitaris, 13(2), 6438-6452.

Anda mungkin juga menyukai