Anda di halaman 1dari 8

BAB IV Replikasi DNA

dalam bab ini akan dibahas tiga fungsi DNA sebagai materi genetik pada
sebagian besar organisme serta cara replikasi DNA baik pada sistem prokariot
maupun eukariot. Dengan mempelajari pokok bahasan ini akan diperoleh
gambaran mengenai perbedaan cara replikasi DNA di antara kedua kelompok
organisme tersebut.

Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan


mampu menjelaskan:

1. tiga fungsi DNA sebagai materi genetik,


2. mekanisme replikasi semikonservatif,
3. mekanisme replikasi lingkaran menggulung, pengertian replikon, ori,
garpu replikasi, dan termini, cara replikasi DNA pada prokariot, dan cara
replikasi DNA pada eukariot.

Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari


pokok bahasan ini dengan lebih baik adalah struktur asam nukleat, khususnya
DNA, dan struktur molekuler kromosom, yang masing-masing telah dijelaskan
pada Bab II dan Bab III. Selain itu, konsep dasar tentang replikasi DNA yang
telah diperoleh pada mata kuliah Genetika juga sangat mendukung pemahaman
materi bahasan di dalam bab ini.

Fungsi DNA sebagai Materi Genetik

DNA sebagai materi genetik pada sebagian besar organisme harus dapat
menjalankan tiga macam fungsi pokok berikut ini.

DNA harus mampu menyimpan informasi genetik dan dengan tepat dapat
meneruskan informasi tersebut dari tetua kepada keturunannya, dari generasi ke
generasi. Fungsi ini merupakan fungsi genotipik, yang dilaksanakan melalui
replikasi. Inilah materi yang akan dibahas di dalam bab ini.

DNA harus mengatur perkembangan fenotipe organisme. Artinya, materi genetik


harus mengarahkan pertumbuhan dan diferensiasi organisme mulai dari zigot
hingga individu dewasa. Fungsi ini merupakan fungsi fenotipik, yang
dilaksanakan melalui ekspresi gen (Bab V hingga Bab VII).

DNA sewaktu-waktu harus dapat mengalami perubahan sehingga organisme


yang bersangkutan akan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang
berubah. Tanpa perubahan semacam ini, evolusi tidak akan pernah berlangsung.
Fungsi ini merupakan fungsi evolusioner, yang dilaksanakan melalui peristiwa
mutasi (Bab VIII).
Mekanisme Replikasi Semikonservatif

Ada tiga cara teoretis replikasi DNA yang pernah diusulkan, yaitu konservatif,
semikonservatif, dan dispersif. Pada replikasi konservatif seluruh tangga berpilin
DNA awal tetap dipertahankan dan akan mengarahkan pembentukan tangga
berpilin baru. Pada replikasi semikonservatif tangga berpilin mengalami
pembukaan terlebih dahulu sehingga kedua untai polinukleotida akan saling
terpisah. Namun, masing-masing untai ini tetap dipertahankan dan akan
bertindak sebagai cetakan (template) bagi pembentukan untai polinukleotida
baru. Sementara itu, pada replikasi dispersif kedua untai polinukleotida
mengalami fragmentasi di sejumlah tempat. Kemudian, fragmen-fragmen
polinukleotida yang terbentuk akan menjadi cetakan bagi fragmen nukleotida
baru sehingga fragmen lama dan baru akan dijumpai berselang-seling di dalam
tangga berpilin yang baru. konservatif semikonservatif dispersifGambar 4.1.
Tiga cara teoretis replikasi DNA
= untai lama = untai baruDi antara ketiga cara replikasi DNA yang diusulkan
tersebut, hanya cara semikonservatif yang dapat dibuktikan kebenarannya
melalui percobaan yang dikenal dengan nama sentrifugasi seimbang dalam
tingkat kerapatan atau equilibrium density-gradient centrifugation. Percobaan ini
dilaporkan hasilnya pada tahun 1958 oleh M.S. Meselson dan F.W. Stahl.

Mereka menumbuhkan bakteri Escherichia coli selama beberapa generasi di


dalam medium yang mengandung isotop nitrogen 15N untuk menggantikan
isotop nitrogen normal 14N yang lebih ringan. Akibatnya, basa-basa nitrogen
pada molekul DNA sel-sel bakteri tersebut akan memiliki 15N yang berat.
Molekul DNA dengan basa nitrogen yang mengandung 15N mempunyai tingkat
kerapatan (berat per satuan volume) yang lebih tinggi daripada DNA normal
(14N). Oleh karena molekul-molekul dengan tingkat kerapatan yang berbeda
dapat dipisahkan dengan cara sentrifugasi tersebut di atas, maka Meselson dan
Stahl dapat mengikuti perubahan tingkat kerapatan DNA sel-sel bakteri E. coli
yang semula ditumbuhkan pada medium 15N selama beberapa generasi,
kemudian dikembalikan ke medium normal 14N selama beberapa generasi
berikutnya.

Molekul DNA mempunyai kerapatan yang lebih kurang sama dengan kerapatan
larutan garam yang sangat pekat seperti larutan 6M CsCl (sesium khlorida).
Sebagai perbandingan, kerapatan DNA E.coli dengan basa nitrogen yang
mengandung isotop 14N dan 15N masing-masing adalah 1,708 g/cm3 dan 1,724
g/cm3, sedangkan kerapatan larutan 6M CsCl adalah 1,700 g/cm3.

Ketika larutan 6M CsCl yang di dalamnya terdapat molekul DNA disentrifugasi


dengan kecepatan sangat tinggi, katakanlah 30.000 hingga 50.000 rpm, dalam
waktu 48 hingga 72 jam, maka akan terjadi keseimbangan tingkat kerapatan. Hal
ini karena molekul-molekul garam tersebut akan mengendap ke dasar tabung
sentrifuga akibat adanya gaya sentrifugal, sementara di sisi lain difusi akan
menggerakkan molekul-molekul garam kembali ke atas tabung. Molekul DNA
dengan tingkat kerapatan tertentu akan menempati kedudukan yang sama
dengan kedudukan larutan garam yang tingkat kerapatannya sama dengannya.

medium 15N ekstrak DNA


(generasi 0)

ekstrak DNA
medium 14N (generasi 1)

ekstrak DNA
(generasi 2)
medium 14N

ekstrak DNA
medium 14N (generasi 3)
interpretasi data hasil sentrifugasi DNA

Gambar 4.2. Diagram percobaan Meselson dan Stahl yang memperlihatkan


replikasi DNA secara semikonservatifDNA yang diekstrak dari sel E. coli yang
ditumbuhkan pada medium 15N terlihat menempati dasar tabung. Selanjutnya,
DNA yang diekstrak dari sel E.coli yang pertama kali dipindahkan kembali ke
medium 14N terlihat menempati bagian tengah tabung. Pada generasi kedua
setelah E.coli ditumbuhkan pada medium 14N ternyata DNAnya menempati
bagian tengah dan atas tabung. Ketika E.coli telah ditumbuhkan selama
beberapa generasi pada medium 14N, DNAnya nampak makin banyak berada di
bagian atas tabung, sedangkan DNA yang berada di bagian tengah tabung tetap.
Meselson dan Stahl menjelaskan bahwa pada generasi 15N, atau dianggap
sebagai generasi 0, DNAnya mempunyai kerapatan tinggi. Kemudian, pada
generasi 14N yang pertama, atau disebut sebagai generasi 1, DNAnya
merupakan hibrid antara DNA dengan kerapatan tinggi dan rendah. Pada
generasi 2 DNA hibridnya masih ada, tetapi muncul pula DNA baru dengan
kerapatan rendah. Demikian seterusnya, DNA hibrid akan tetap jumlahnya,
sedangkan DNA baru dengan kerapatan rendah akan makin banyak dijumpai.
Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa interpretasi data hasil percobaan sentrifugasi ini
jelas sejalan dengan cara pembentukan molekul DNA melalui replikasi
semikonservatif.

Pada percobaan Meselson dan Stahl ekstrak DNA yang diperoleh dari sel-sel E.
coli berada dalam keadaan terfragmentasi sehingga replikasi molekul DNA
dalam bentuknya yang utuh sebenarnya belum diketahui. Replikasi DNA
kromosom dalam keadaan utuh _ yang pada prokariot ternyata berbentuk
melingkar atau sirkular _ baru dapat diamati menggunakan teknik autoradiografi
dan mikroskopi elektron. Dengan kedua teknik ini terlihat bahwa DNA berbagai
virus, khloroplas, dan mitokhondria melakukan replikasi yang dikenal sebagai
replikasi θ (theta) karena autoradiogramnya menghasilkan gambaran seperti
huruf Yunani tersebut. Selain replikasi θ, pada sejumlah bakteri dan organisme
eukariot dikenal pula replikasi yang dinamakan replikasi lingkaran menggulung
(rolling circle replication). Replikasi ini diawali dengan pemotongan ikatan
fosfodiester pada daerah tertentu yang menghasilkan ujung 3’ dan ujung 5’.
Pembentukan (sintesis) untai DNA baru terjadi dengan penambahan
deoksinukleotida pada ujung 3’ yang diikuti oleh pelepasan ujung 5’ dari
lingkaran molekul DNA. Sejalan dengan berlangsungnya replikasi di seputar
lingkaran DNA, ujung 5’ akan makin terlepas dari lingkaran tersebut sehingga
membentuk ’ekor’ yang makin memanjang (Gambar 4.3).

penambahan
nukleotida
ujung 3’
tempat ujung 5’ pelepasan ujung 5’ pemanjangan ’ekor’
terpotongnya ikatan fosfodiester

Gambar 4.3. Replikasi lingkaran menggulung


= untai lama = untai baruReplikon, Ori, Garpu Replikasi, dan Termini

Setiap molekul DNA yang melakukan replikasi sebagai suatu satuan tunggal
dinamakan replikon. Dimulainya (inisiasi) replikasi DNA terjadi di suatu tempat
tertentu di dalam molekul DNA yang dinamakan titik awal replikasi atau origin of
replication (ori). Proses inisiasi ini ditandai oleh saling memisahnya kedua untai
DNA, yang masing-masing akan berperan sebagai cetakan bagi pembentukan
untai DNA baru sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang disebut sebagai
garpu replikasi. Biasanya, inisiasi replikasi DNA, baik pada prokariot maupun
eukariot, terjadi dua arah (bidireksional). Dalam hal ini dua garpu replikasi akan
bergerak melebar dari ori menuju dua arah yang berlawanan hingga tercapai
suatu ujung (terminus). Pada eukariot, selain terjadi replikasi dua arah, ori dapat
ditemukan di beberapa tempat.

Replikasi pada kedua untai DNA

Proses replikasi DNA yang kita bicarakan di atas sebenarnya barulah proses
yang terjadi pada salah satu untai DNA. Untai DNA tersebut sering dinamakan
untai pengarah (leading strand). Sintesis DNA baru pada untai pengarah ini
berlangsung secara kontinyu dari ujung 5’ ke ujung 3’ atau bergerak di sepanjang
untai pengarah dari ujung 3’ ke ujung 5’.

Pada untai DNA pasangannya ternyata juga terjadi sintesis DNA baru dari ujung
5’ ke ujung 3’ atau bergerak di sepanjang untai DNA cetakannya ini dari ujung 3’
ke ujung 5’. Namun, sintesis DNA pada untai yang satu ini tidak berjalan kontinyu
sehingga menghasilkan fragmen terputus-putus, yang masing-masing
mempunyai arah 5’→ 3’. Terjadinya sintesis DNA yang tidak kontinyu sebenarnya
disebabkan oleh sifat enzim DNA polimerase yang hanya dapat menyintesis DNA
dari arah 5’ ke 3’ serta ketidakmampuannya untuk melakukan inisiasi sintesis
DNA.
Untai DNA yang menjadi cetakan bagi sintesis DNA tidak kontinyu itu disebut
untai tertinggal (lagging strand). Sementara itu, fragmen-fragmen DNA yang
dihasilkan dari sintesis yang tidak kontinyu dinamakan fragmen Okazaki, sesuai
dengan nama penemunya. Fragmen-fragmen Okazaki akan disatukan menjadi
sebuah untai DNA yang utuh dengan bantuan enzim DNA ligase.

fragmen-fragmen untai tertinggal


3’ Okazaki 5’
5’ 3’ 5’ 3’
untai pengarah

Gambar 4.4. Diagram replikasi pada kedua untai DNA

Replikasi DNA prokariot

Replikasi DNA kromosom prokariot, khususnya bakteri, sangat berkaitan dengan


siklus pertumbuhannya. Daerah ori pada E. coli, misalnya, berisi empat buah
tempat pengikatan protein inisiator DnaA, yang masing-masing panjangnya 9 pb.
Sintesis protein DnaA ini sejalan dengan laju pertumbuhan bakteri sehingga
inisiasi replikasi juga sejalan dengan laju pertumbuhan bakteri. Pada laju
pertumbuhan sel yang sangat tinggi, DNA kromosom prokariot dapat mengalami
reinisiasi replikasi pada dua ori yang baru terbentuk, sebelum putaran replikasi
yang pertama berakhir. Akibatnya, sel-sel hasil pembelahan akan menerima
kromosom yang sebagian telah bereplikasi.

Protein DnaA membentuk struktur kompleks yang terdiri atas 30 hingga 40 buah
molekul, yang masing-masing akan terikat pada molekul ATP. Daerah ori akan
mengelilingi kompleks DnaA-ATP tersebut. Proses ini memerlukan kondisi
superkoiling negatif DNA (pilinan kedua untai DNA berbalik arah sehingga
terbuka). Superkoiling negatif akan menyebabkan pembukaan tiga sekuens
repetitif sepanjang 13 pb yang kaya dengan AT sehingga memungkinkan
terjadinya pengikatan protein DnaB, yang merupakan enzim helikase, yaitu
enzim yang akan menggunakan energi ATP hasil hidrolisis untuk bergerak di
sepanjang kedua untai DNA dan memisahkannya.

Untai DNA tunggal hasil pemisahan oleh helikase selanjutnya diselubungi oleh
protein pengikat untai tunggal atau single-stranded binding protein (Ssb) untuk
melindungi DNA untai tunggal dari kerusakan fisik dan mencegah renaturasi.
Enzim DNA primase kemudian akan menempel pada DNA dan menyintesis RNA
primer yang pendek untuk memulai atau menginisiasi sintesis pada untai
pengarah.

Agar replikasi dapat terus berjalan menjauhi ori, diperlukan enzim helikase selain
DnaB. Hal ini karena pembukaan heliks akan diikuti oleh pembentukan putaran
baru berupa superkoiling positif. Superkoiling negatif yang terjadi secara alami
ternyata tidak cukup untuk mengimbanginya sehingga diperlukan enzim lain,
yaitu topoisomerase tipe II yang disebut dengan DNA girase. Enzim DNA girase
ini merupakan target serangan antibiotik sehingga pemberian antibiotik dapat
mencegah berlanjutnya replikasi DNA bakteri.

Seperti telah dijelaskan di atas, replikasi DNA terjadi baik pada untai pengarah
maupun pada untai tertinggal. Pada untai tertinggal suatu kompleks yang disebut
primosom akan menyintesis sejumlah RNA primer dengan interval 1.000 hingga
2.000 basa. Primosom terdiri atas helikase DnaB dan DNA primase.

Primer baik pada untai pengarah maupun pada untai tertinggal akan mengalami
elongasi dengan bantuan holoenzim DNA polimerase III. Kompleks multisubunit
ini merupakan dimer, separuh akan bekerja pada untai pengarah dan separuh
lainnya bekerja pada untai tertinggal. Dengan demikian, sintesis pada kedua
untai akan berjalan dengan kecepatan yang sama.

Masing-masing bagian dimer pada kedua untai tersebut terdiri atas subunit a,
yang mempunyai fungsi polimerase sesungguhnya, dan subunit e, yang
mempunyai fungsi penyuntingan berupa eksonuklease 3’® 5’. Selain itu, terdapat
subunit b yang menempelkan polimerase pada DNA.

Begitu primer pada untai tertinggal dielongasi oleh DNA polimerase III, mereka
akan segera dibuang dan celah yang ditimbulkan oleh hilangnya primer tersebut
diisi oleh DNA polimerase I, yang mempunyai aktivitas polimerase 5’® 3’,
eksonuklease 5’ ® 3’, dan eksonuklease penyuntingan 3’ ® 5’. Eksonuklease 5’
® 3’ membuang primer, sedangkan polimerase akan mengisi celah yang
ditimbulkan. Akhirnya, fragmen-fragmen Okazaki akan dipersatukan oleh enzim
DNA ligase. Secara in vivo, dimer holoenzim DNA polimerase III dan primosom
diyakini membentuk kompleks berukuran besar yang disebut dengan replisom.
Dengan adanya replisom sintesis DNA akan berlangsung dengan kecepatan 900
pb tiap detik.

Kedua garpu replikasi akan bertemu kira-kira pada posisi 180°C dari ori. Di
sekitar daerah ini terdapat sejumlah terminator yang akan menghentikan gerakan
garpu replikasi. Terminator tersebut antara lain berupa produk gen tus, suatu
inhibitor bagi helikase DnaB. Ketika replikasi selesai, kedua lingkaran hasil
replikasi masih menyatu. Pemisahan dilakukan oleh enzim topoisomerase IV.
Masing-masing lingkaran hasil replikasi kemudian disegregasikan ke dalam
kedua sel hasil pembelahan.

Replikasi DNA eukariot

Pada eukariot replikasi DNA hanya terjadi pada fase S di dalam interfase. Untuk
memasuki fase S diperlukan regulasi oleh sistem protein kompleks yang disebut
siklin dan kinase tergantung siklin atau cyclin-dependent protein kinases (CDKs),
yang berturut-turut akan diaktivasi oleh sinyal pertumbuhan yang mencapai
permukaan sel. Beberapa CDKs akan melakukan fosforilasi dan mengaktifkan
protein-protein yang diperlukan untuk inisiasi pada masing-masing ori.

Berhubung dengan kompleksitas struktur kromatin, garpu replikasi pada eukariot


bergerak hanya dengan kecepatan 50 pb tiap detik. Sebelum melakukan
penyalinan, DNA harus dilepaskan dari nukleosom pada garpu replikasi sehingga
gerakan garpu replikasi akan diperlambat menjadi sekitar 50 pb tiap detik.
Dengan kecepatan seperti ini diperlukan waktu sekitar 30 hari untuk menyalin
molekul DNA kromosom pada kebanyakan mamalia.
Sederetan sekuens tandem yang terdiri atas 20 hingga 50 replikon mengalami
inisiasi secara serempak pada waktu tertentu selama fase S. Deretan yang
mengalami inisasi paling awal adalah eukomatin, sedangkan deretan yang agak
lambat adalah heterokromatin. DNA sentromir dan telomir bereplikasi paling
lambat. Pola semacam ini mencerminkan aksesibilitas struktur kromatin yang
berbeda-beda terhadap faktor inisiasi.
Seperti halnya pada prokariot, satu atau beberapa DNA helikase dan Ssb yang
disebut dengan protein replikasi A atau replication protein A (RP-A) diperlukan
untuk memisahkan kedua untai DNA. Selanjutnya, tiga DNA polimerase yang
berbeda terlibat dalam elongasi. Untai pengarah dan masing-masing fragmen
untai tertinggal diinisiasi oleh RNA primer dengan bantuan aktivitas primase yang
merupakan bagian integral enzim DNA polimerase a. Enzim ini akan meneruskan
elongasi replikasi tetapi kemudian segera digantikan oleh DNA polimerase d
pada untai pengarah dan DNA polimerase e pada untai tertinggal. Baik DNA
polimerase d maupun e mempunyai fungsi penyuntingan. Kemampuan DNA
polimerase d untuk menyintesis DNA yang panjang disebabkan oleh adanya
antigen perbanyakan nuklear sel atau proliferating cell nuclear antigen (PCNA),
yang fungsinya setara dengan subunit b holoenzim DNA polimerase III pada E.
coli. Selain terjadi penggandaan DNA, kandungan histon di dalam sel juga
mengalami penggandaan selama fase S.

Mesin replikasi yang terdiri atas semua enzim dan DNA yang berkaitan dengan
garpu replikasi akan diimobilisasi di dalam matriks nuklear. Mesin-mesin tersebut
dapat divisualisasikan menggunakan mikroskop dengan melabeli DNA yang
sedang bereplikasi. Pelabelan dilakukan menggunakan analog timidin, yaitu
bromodeoksiuridin (BUdR), dan visualisasi DNA yang dilabeli tersebut dilakukan
dengan imunofloresensi menggunakan antibodi yang mengenali BUdR.

Ujung kromosom linier tidak dapat direplikasi sepenuhnya karena tidak ada DNA
yang dapat menggantikan RNA primer yang dibuang dari ujung 5’ untai
tertinggal. Dengan demikian, informasi genetik dapat hilang dari DNA. Untuk
mengatasi hal ini, ujung kromosom eukariot (telomir) mengandung beratus-ratus
sekuens repetitif sederhana yang tidak berisi informasi genetik dengan ujung 3’
melampaui ujung 5’. Enzim telomerase mengandung molekul RNA pendek, yang
sebagian sekuensnya komplementer dengan sekuens repetitif tersebut. RNA ini
akan bertindak sebagai cetakan (templat) bagi penambahan sekuens repetitif
pada ujung 3’.
Hal yang menarik adalah bahwa aktivitas telomerase mengalami penekanan di
dalam sel-sel somatis pada organisme multiseluler, yang lambat laun akan
menyebabkan pemendekan kromosom pada tiap generasi sel. Ketika
pemendekan mencapai DNA yang membawa informasi genetik, sel-sel akan
menjadi layu dan mati. Fenomena ini diduga sangat penting di dalam proses
penuaan sel. Selain itu, kemampuan penggandaan yang tidak terkendali pada
kebanyakan sel kanker juga berkaitan dengan reaktivasi enzim telomerase

Anda mungkin juga menyukai