DI SUSUN OLEH :
Sumber:
http//www.google.com/image/udangwindu.jpg.
Gambar 1: Udang Windu (Peaeeus monodon)
Udang windu digolongkan kedalam jenis organisme Eurihalin atau organisme air
yang hidup pada salinitas yang berkisar 3 – 45 ppt (pertumbuhan yang optimal pada
salinitas 15 – 30 ppt). Organisme ini aktif pada malam hari, dan pada siang hari lebih
suka membenamkan diri di tempat yang tadah serta berlumpur.
2.2 Reproduksi Udang
Murtidjo (2003), menyatakan bahwa keserdia induk dengan kualitas baik serta
jumlah yang cukup sangat penting bagi usaha pembenihan udang. Dalam hal ini,
pemilihan induk udang sangat menentukan keberhasilan pembenihan udang windu.
Sebagai pedoman, syarat calon induk udang windu yang baik serta produktif adalah
sebagai berikut.
1. Berat udang betina minimal 100 gram, sedangkan induk udang jantan minimal 80
gram
2. Tubuh induk udang tidak cacat dan luka, terutama pada organ reproduksi dan
bagian punggung.
3. Bentuk punggung induk udang relatif datar dan kulit keras.
Dari keempat cara tersebut, cara yang paling praktis dan efektif serta
menunjukan hasil yang baik adalah dengan melakukan pemotongan tangkai mata
(ablasi). Ablasi pada udang windu berpedoman pada perkembangan alat kelamin
udang yang dihambat hormon yang dikeluarkan, hormon yang menghambat
perkembangan alat kelamin tidak diproduksi sehingga udang sanggup mematangkan
telur dan memijah (Murtidjo, 2003).
2.4.4. Pemijahan
Menurut Murtidjo (2003), induk undang jantan dipindahkan terlebih dahulu,
baru kemudian induk udang betina yang sudah mencapai tingkat kematangan gonad
ketiga. Penangkapan induk udang dilakukan dengan menggunakan seser bertangkai
panjang. Selama dalam bak perkawinan, induk udang windu harus dihindarkan dari
suara dan cahaya yang terlalu kuat disekitar bak. Apabila pada malam pertama induk
udang belum juga betelur, pada hari kedua air dalam bak perkawinn harus diganti.
Permijahan biasanya terjadi pukul 14.00 WIB-03.00 WIB. Induk udang windu
mampu memproduksi telur sekitar 500.000-1.000.000 butir. Dari jumlah telur yang
diproduksikan sekitar 70-90% akan menjadi nauplius, menjadi zoea sekitar 90%
menjadi myrsis sekitar 50% dan menjadi post larva sekitar 70%. Seekor induk udang
windu yang dapat menghasilkan 200.000-250.000 ekor benur dalam sekali
pemijahan sudah dapat digolongkan sangat baik.
Prahasta dan Masturi (2009), menambahkan bahwa perkawinan atau
pemijahan udang windu terjadi pada saat induk betina ganti kulit dan hal ini terjadi
pada malam hari. Selama dalam bak pemijahan, pengolaan rutin yang dilakukan
meliputi pemberian pakan, pergantian air, pemeriksaan kesehatan, serta pemeriksaan
terhadap perkembangan telur. Pemeriksaan terhadap perkembangan telur dilakukan 3-
4 hari setelah ablasi. Waktu pemeriksaan dilakukan sore hari, bersama waktu
pergantian air. Pemeriksaan mengunakan senter dengan megamati bagian
punggungnya. Telur pada tingkat I kelihatan seperti garis berwarna hijau-hitaman,
dan pada akhir tingkat I tampak pada tingkat udang yang takbirah, terjadi
perkembangan sperma. Tingkat II, telur semakn jelas dan tampak berbentuk satu
gelembung, hingga telur mempunyai dua gelembung pada ruas pertama membentuk
cabang dibagian kiri dan kanan yang menyerupai setengah bulan sabit. Pada kondisi
ini,induk udang betina siap melepaskan telur yang telah mencapai matang telur
tingkat III. Selanjutnya induk udang di pelihara pada bak pemijahan
Jika terjadi pembuahan, tahap berikutnya adalah menggendong telur.
Maksudnya telur yang telah terbuahi oleh perjantan akan digendong oleh nduk udang
betina dibawah tubuhnya. Bila telur yang digendong lepas, induk betina akan
mangambilnya kembali dan megabungkan kembali dengan telur lainya. Tanda –
tanda induk udang windu bertelur, atau udang windu baru selesai melakukan
pemijahan, dan terjadi pembuahan, adalah udang melipat ekor sehingga kipas
ekornya mengenai kaki lima, ada busa atau foam pada badanya. Setelah beberapa hari
, betina mulai melakukan aktivitas seperti biasanya, namun lebih banyak diam dengan
ekor tetap berlipat. Induk yang baru bertelur jangan dipindahkan, karena dalam
permindahan mungkin pembuahannya belum sempurna, hingga telur belum
berbentuk dengan baik dan pertumbuhan telur terganngu. Induk dipindahkan, saat
telur bewarna krem atau telur telah berumbur 7 hari (Prahasta dan Masturi 2009).
2.4.5. Penetasan Telur
Menurut Murtidjo (2003), telur yang baik akan menetas dalam waktu 10-12
jam sejak dipijahkan. Jadi, apabila pemijahan berlangsung pada malam hari, keesokan
harinya telah tampak nauplius. Untuk mempercepat proses penetasan dapat dilakukan
pengadukan. Pada umumnya, temperatur penetasan tinggi, akan dihasilkan nauplius
cukup padat dan tampak memenuhi seluruh bak penetasan. Jika terjadi hal demikian,
secepatnya nauplius harus dipindahkan ke bak pemeliharaan larva. Keberhasilan
proses pembenihan setiap induk dapat dilihat dari jumlah naplius yang dihasilkan
oleh setiap induk udang, dengan cara sebagai berikut.
1. Induk udang windhu yang memijah dipisahkan dari yang tidak memijah.
2. Diambil satu liter air dari bak perkawinan dengan menggunakan gelas tembus
cahaya, kemudian dihitung jumlah nauplius beberapa kali sampai diperoleh
perkiraan tertentu.
3. Jumlah nauplius rata-rata dikalikan dengan volume air bak perkawinan,
kemudian dibagi dengan jumlah induk yang memijah.
Prahasta dan Masturi (2009), mengatakan induk udang betina akan
melepaskan telurnya pada malam hari, sekitar pukul 22.00 WIB-04.00 WIB. Pada
saat melepaskan telurnya, induk betina berenang dipermukaan air dan telur keluar
dari lobang gonophornya, yang diikuti pelepasan kantong sperma dari thelicum.
Proses ini berjalan atara 3-5 menit. J.pelepasan telur akan sempurna apabila dalam
keadaan gelap. Keadaan terang menyebabkan telur hanya sebagian saja yang
dikeluarkan, sedangkan sisanya akan diserap kembali oleh induk. Pada suhu air 30o-
31oC dan salinitas 30-31 PPT, telur akan menetas menjadi nauplius setelah 12-15 jam
telur dilepaskan. Telur yang dilepas diberi aerasi. Dasar bak diaduk 3 kali selama
proses penetasan, dan diberi disenfektan telur dengan menggunakan Methylene Blue
1 ppm sampai telur menetas.
Setelah telur menetas menjadi nauplius, aerasi diperbesar menjadi sekitar 10
liter/menit, dan menggunakan batu aerasi yang mengahisilkan gelembung-gelembung
halus. Batu aerasi ditempatkan tidak terlalu dekat dengan dinding kurang lebih 50 cm
dari dinding. Jika penempatan batu aerasi terlalu dekat akan menyebabkan larva
membentur dinding bak, hingga mengakibatkan kematian (Prahasta dan Masturi,
2009).
2.4.7. Panen
Menurut Amri (2004), panen merupakan kegiatan akhir dari proses
pemeliharaan udang. Kegiatan panen dilakukan jika udang sudah mencapai ukuran
yang diharapkan. Ukuran udang yang dipanen berhubungan dengan harga jual udang
tersebut. Semakin besar ukuran udang, harga jualannya semangkin tinggi. Misalnya
udangan dengan ukuran 30 ekor/kg lebih mahal dari pada udang dengan ukuran 40
ekor/kg. Jika pemeliharaan lebih lama dari pada empat bukan (biasanya tidak lebih
dari 4,5) bulan, biasanya berhubungan dengan masa pemeliharaan dan ukuran udang,
keputusan melakukan pemanenan juga dipengaruhi oleh pertimbangan harga jual
dipasaran. Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) udang windu yang
dipelihara secara intensif di tambak adalah 60-70 %.
Menurut Mujiman dan Suyanto (2003), udang yang kan dipanen hrus mempunyai
mutu yang ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu :
Ukurannya, makin besar makin tinggi harganya.
Kulitnya keras, bersih, licn, bersinar, dan badannya tidak cacat.
Udang yang masih dalam keadaan hidup, jadi masih segar, harganya akan tinggi.
Nilai udang akan turun bahkan dapat ditolak bila waktu ditangkap kulitnya
lunak, karena belum lama ganti kulit. Udang yang badannya putus-putus juga ditolak
oleh pemborong. Kulit udang yang nampak kontor karena ditumbuhi lumut, lama
tidak ganti kulit dan juga turun harganya. Agar mutu udang yang dipanen tetap
terjaga, maka sebelumnya penen petani harus mempersiapkan alat-alat tangkap,
mencuci alat dan wadah-wadah, serta orang-orang terlatih untuk menanganinya. 7-10
hari sebelum pemanenan, air tampak perlu diganti untuk yang terakhir kali agar
menghilangkan kotoran oleh pertumbuhan alga. Lalu masih ada cukup waktu
beberapa hari sehingga kulit udang itu mengeras kembali. Itulah sebabnya, hari
penangkapannya harus ditentukan denga cemat sejak subulan atau dua minggu
sebelumnya (Mujiman dan Suyanto,2003).
2.4.8. Pascapanen
Pascapanen udang merupakan serangkaian kegiatan penanganan udang hasil
panen dengan tujuan menekan penurunan mutu sampai tingkat sekecil mungkin
sehingga kondisi udang ketika sampai ke konsumen masih segar, seperti baru , saja
ditangkap atau baru saja dipanen. Dengan demikian, segala perlakuan yang diberikan
hendaknya mampu menahan proses pembusukan secara kimia, mikrobiologi, dan
enzimatris. Untuk menghindari kerusakan pada udang, penanganan pascapanen harus
segera dilakukan. Di samping itu, tindakan yang diberikan harus mampu melawan
udara panas dan kondisi luar lainnya yang sangat berpengaruh dalam proses
pembusukan. Karena itu, sistem rantai dingin, tempat pelelangan (penjualan),
pedagang pengepul, tempat transportasi, tempat pengolahan terakhir, hingga
konsumen perlu diterapkan (Amri, 2004).
Udang windu yang telah dipanen dikumpulkan dalam keranjang bambu, rotan,
atau bak fiber glass yang cukup lebar dan bagian dasarnya berlubang-lubang.
Kemudian ,udang disemprot dengan air bersih sampai udang bersih dari kotoran yang
melekat. Setelah itu, udang disortir dan dikelompokan menurut ukurannya, lalu
timbang. Biasanya udang yang cacat ditolak oleh pembeli dan dinyatakan sebagai
udang BS (below standard) tetapi oleh petani masih dapat dijual dipasar lokal (
Takarina dn Suyanto, 2009).
2.4.9. Pengontrolan Kualitas Air
Menurut Amri (2003), selama pemeliharaan udang windu, mutu dan
kedalaman air didalam tambak harus diperhatikan sehingga udang windu dan
organisme dapat hidup dan berkembang secara baik. Berbagai usaha perlu dilakukan
untuk meningkatkan mutu air dan lingkungannya serta mencegah pencemaran yang
mungkin timbul, baik seca langsung maupun tidak langsung, kelainan dalam
pengelolaan air akan mengakibatkan masuknya bahan pencemar yang dapat
mempengaruhi dan mengubah sifat air, baik fisik, kimia maupun biologinya. Hal ini
sangat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan dan
perkembangan udang windu serta organisme penunjang sehingga bobot/ekor
menurun dan persentase kematiannya tinggi.
d.Oksigen terlarut
Menurut Amri (2003), derajat keasaman disebut dengan pH. Nilai pH normal
untuk tambak udang windu adalah 6-9. Nilai pH diatas 10 dapat membunuh udang,
sementara nilai pH dibawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat.
Untungnya goncangan pH pada air budidaya udang didalam tambak tidak terlalu
mengkhawatirkan karena air laut mempunyai daya penyangga (buffer) yang cukup
kuat .goncangan pH yang kuat bisa diatasi dengan meningkatkan frelkuensi
penggantian air dan pengoperasian aerator, terutama pada malam hari. Besarnya
goncangan pH yang bisa ditoleransi sebaiknya tidak lebih dari 0,5. Pengukuran pH
umumnya dilakukan dengan kertas lakmus (kertas pH) dan pH water tester atau pH
meter (alat penjgukuran pH air secara digital).
f. amoniak
Menurut Amri (2003), munculknya amoniak didlam tambak disebabkan oleh
adanya sisa pakan yang tidak termakan, bangkai hewan dan tumbuha, kotoran udang
dan bahan organik lainya yang membusuk, misalnya ganggang. Amoniak yang
terdapat didalam air tambak tidak boleh lebih dari 0,01 ppm. Pada konsentrasi diatas
0,45 ppm, amoniak dapat menghambayt pertumbuhan udangn ssampai 50%.
g. nitrat dan Nitrit
Menurut Amri (2003), adlanya oksigen didalam oksigen didalam air tambak
akan mengubah amonia menjadi nitrat dan nitrit (nitrifikasi). Nitrit tersebuit terbentuk
akibat reaksi antara amonia dan oksigen yang terlarut didalam air. Besarnya kadar
nitrat didalam tambak yang masih bisa ditoleransi berada di bawah 0,1 ppm .
smentara itu, kadar nitrit diperoleh tidak lebih dari 0,5 ppm. Kadar nitrat dan nitrit
didalam air tambak yang melebihi ambang batas tersebut akan berpengaruh negatif
terhadap udang windu yang dipel;ihara. Pengukuran kaadar nitar dan nitrit
menggunakan instrumen kitdengan kisaran pengkuran 0,05 -2 ppm. Alat ini juga
berfungsi sebagai pengukuran kadar Cd (Cadmium) dalam tambak.
2.4.10. Hama dan Penyakit
a. Hama
Menurut Suyanto dan Mujiman (2003), menyatakan bahwa gangguan hama
dapat dibedakan menjadi tiga golongan pemangsa (predator), golongan penyaing
(kompetator), dan golongan penggangu.
a. Golongan pemangsa (predator) benar-benar sangat merugikan kita, karena dapat
memangsa udang secara langsung seperti burung, ular, ikan-ikan buas dan
kepiting.
b. Golongan penyaing (kompetator) adalah hewan-hewan yang menyaingi udang
dalam hidupnya, baik mengenai pangan maupun papan, seperti bangsa siput, ikan
liar, ketam-ketaman dan udang-udang kecil terutama jenis Caridana denticulata.
c. Golongan penggangu, walaupun tidak memangsa ataupun menyaingi udang, tapi
mereka cukup merepotkan kita. Diantara mereka ada yang merusak pematang,
merusak tanah dasar, dan merusak pintu air, sperti bangsa ketam yang suka
membuat lubang-lubang dipematang, dan teritip yang suka menempel pada
bangunan-bangunan pintu air.
b. Penyakit
3.1 Kesimpulan
Pembenihan udang windu adalah salah satu rangkaian proses produksi udang
yang memegang peranan penting dalam usaha untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas produksi udang. Rendahnya tingkat produksi benih menghambat arus
pemintaan pasar yang yang disebabkan keterbatasan benih udang.hal ini dengan
penguasaan teknik pemijahan, ketersediaan induk matang gonad, dan kualitas air
merupakan faktor keberhasilan kegiatan pada pembenihan udang windu (Panaeus
monodon ).
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Khairul. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka; Jakarta
Murtidjo, Bambang Agus. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius ;
yogyakarta
Prahasta, Arief dan Hasanawi Masturi. 2009. Agribisnis udang windu. Pustaka
grafika ; Bandung
Sutaman, 1993. Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga.
Kanisius : Yogyakarta