Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TEKNIK PEMBENIHAN UDANG WINDU ( Penaeus


Monodon )

DI SUSUN OLEH :

DODI SUPRIADI 3201608030

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERIAKAN


JURUSAN ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
POLITEKNIK NEGERI PONMTUIANAK
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perikanan Indonesia merupakan salah satu sumber devisa Negara yang sangat
potensial. Dengan adanya garis pantai sepanjang ± 81.000 km, pemanfaatan bidang
perikanan seharusnya dapat dilakukan dengan maksimal untuk kemajuan Negara serta
kemakmuran masyarakat. Wilayah Indonesia memiliki potensi besar untuk
pengembangan sektor budidaya perairan. Salah satunya udang windu.
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu komoditas unggulan
Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara yang berasal dari kelompok non
migas. Kondisi laut yang luas dan iklim tropis di Indonesia mendukung pertumbuhan
dan perkembangan udang windu (Penaeus monodon). Namun karena berlalunya
waktu, udang windu semakin sulit untuk didapat secara alami. Sehingga dilakukan
berbagai cara agar produksi udang windu tetap berjalan, salah satunya adalah
penerapan system budidaya atau pembenihan udang windu secara intensif yang
dimulai sejak pertengahan tahun 1986.
Benur udang windu merupakan salah satu faktor bagi usaha pembenihan yang
tidak tergantung pada benur alam yang terdapat disekitar. Oleh sebab itu penyediaan
benur mendapatkan perhatian yang utama untuk memudahkan budidaya udang
windu. Untuk menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan adalah dengan
mendirikan balai-balai pembenihan. Keberhasilan usaha pembenihan udang windu
merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai budidaya. Keberhasilan
pembenihan tersebut pada akhirnya akan mendukung usaha penyediaan benih udang
windu yang berkualitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Udang Windu (Penaeus monodon)

Menurut Darmono (1993), taksonomi udang windu (Penaeus monodon)


adalah sebagai berikut :
 Phyllum : Arthropoda
 Sub Phyllum : Mandibulata
 Class : Crustacea
 Devisi : Malacostraca
 Ordo : Decapoda
 Sub Ordo : Natanita
 Family : Panaeidae
 Sub Family : Penaenae
 Genus : Penaeus
 Spesies : Penaeus monodon

Sumber:
http//www.google.com/image/udangwindu.jpg.
Gambar 1: Udang Windu (Peaeeus monodon)

Udang windu digolongkan kedalam jenis organisme Eurihalin atau organisme air
yang hidup pada salinitas yang berkisar 3 – 45 ppt (pertumbuhan yang optimal pada
salinitas 15 – 30 ppt). Organisme ini aktif pada malam hari, dan pada siang hari lebih
suka membenamkan diri di tempat yang tadah serta berlumpur.
2.2 Reproduksi Udang

Sistem reproduksi udang Penaeus monodon betina terdiri dari sepasang


ovarium, oviduk, lubang genital dan thelycum. Oogonia diproduksi secara mitosis
dari epitelium germinal selama kehidupan reproduktif udang betina.
Oogonia mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit dan dikelilingi
oleh sel-sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan meresap material kuning telur (yolk)
dari darah induk melalui sel-sel folikel (Wyban et al., 1991).
Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia,
petasma dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nucleus yang tidak
terkondensasi dan bersifat nonmotil karena bersifat flagella. Selama perjalanan
melalui vas deferens, sperma yang berdifersisasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan
melingkupinya dalam sebuah Chitinous spermatophore (Wyben et al., 1991).

2.3 Penyebaran udang windu (Penaeus monodon)


Daerah penyebaran udang windu di Indonesia antara lain : Sulawesi Selatan
(Jeneponto, Tamanroya, Nassara, Suppa), Jawa Tengah, (Sluke, Lasem), Jawa Timur
(Banyuwangi, Situbondo, Tuban, bangkalan dan Sumenep), Nangroeh Aceh
Darussalam, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan lain-
lain (Choirul, 2002).

2.4 Teknik Pembenihan Udang Windu


2.4.1 Persiapan wadah

Menurut sutaman (1993), persiapan bak, walaupun kelihatannya sederhana,


memegang peranan yang penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu
usaha pemeliharaan larva. Persiapan bak yang dimasksud adalah upaya untuk
mengeringkan dan membersihkan bak dari segala bentuk kotoran, sebelum bak
digunakan atau diisi air. Dalam hal ini bak harus dibersihkan dari segala bentuk
kehidupan organisme maupun kotoran yang menempel pada dasar dan dinding bak.
Bahan-bahan organis seperti ammonia yang masih tersisa akan mengganggu
kehidupan larva, bahkan bisa mematikan pada konsentrasi 1,3 ppm (part permilion
atau satu per satu juta bagian). Selain itu, mikroorganisme (jasad-jasad renik) yang
masih menempel dan belum mati akan menyebabkan timbulnya penyakit. Oleh
karena itu kebersihan bak harus menjadi perhatian utama dalam masa persiapan.
a. Bak pemijahan
Menurut Murtidjo (2003), sebelum digunakan, bak perkawinan dan pemijahan
harus dicuci bersih. Pencucian dilakukan dengan menggunakan campuran air tawar
yang bersih dan klorin sebanyak 50 ppm. Selanjutnya dibilas dengan air laut yang
bersih dan diamkan selama beberapa menit. Setelah agak mengering, bak diisi dengan
air laut bersih yang memiliki ssalinitas 29 ppt - 30 ppt dengan kisaran temperatur
280C-29 0C. jika salinitas dan temperatursudah stabil, aerasu dapat diaktifkan agar air
didalam bak jenuh dan oksigen terlarut.
Bersamaan dengan pencucian bak ini, selang aerasi dan batu aerasi semuanya
perlu dicuci terlebih dahulu sehingga bisa langsung dipasang. Untuk menghindari
pencemaran kotoran dari udara dan tempat lain, bak yang telah dicuci tersebut perlu
ditutup dengan dark light (Sutaman, 1993).
b. Bak perawatan larva
Wadah yang digunakan harus dibersihkan, dicuci,sikat dan dikeringkan 2-3 hari
sampai kering. Pengeringan yang dimaksud untuk mematikan organisme yang
menempel dalam wadah yang berbentuk bak, serta mencegahnya timbulnya
penyakit. Pembersihan bak dilakukan dengan cara membersih bagian bak dengan kain
yang dimasukan kedalam clorine 150 ppm atau 150 ml larutan 10% dalam 1 m3
air.kemudian didiamkan selama 1-2 jam , dan dibetralisir dengan larutan natrium
thiosulfat dengan dosis 40 ppm. Larutan tersebut berguna untuk menghilangkan chlor
yang bersifat racun bagi larva udang dan alg. Air pada media pemeliharaan larva
dapat langsung diambil dari laut dengan menggunakan pompa air ,atau menggunakan
air tambak yang jernih dan tidak tercemar. Air laut yang dimasukan ke bak
pemeliharaan larva menggunakan kain saringan ukuran 100 mikrin dan di aerasi.
Pemberian aerasi bertujuan untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam
air, menciptakan sirkulasi air dalam media pemeliharaan, serta mempercepat
penguapan gas beracun sebagai proses pembusukan sisa-sisa pakan dan kotoran.
Jumlah batu aerasi yang diperlukan sebanyak 2-5 buah permeter persegi permukaan
air. Batu aerasi yang dipilih menimbulkan gelembung halus, untuk memperbesar
difusi oksigen dalam air media.batu aerasi dipasang menggantung pada jarak 15 cm
dari dasr bak. Air diberikan EDTA, sebanyak 2 ppm, yaitu untuk volume 20 ton
dibutuhkan 20 gram EDTA, senyawa ini berfungsi mengenapkan logam-logam berat
(Prahasta dan Masturi, 2009).

2.4.2 Seleksi induk

Murtidjo (2003), menyatakan bahwa keserdia induk dengan kualitas baik serta
jumlah yang cukup sangat penting bagi usaha pembenihan udang. Dalam hal ini,
pemilihan induk udang sangat menentukan keberhasilan pembenihan udang windu.
Sebagai pedoman, syarat calon induk udang windu yang baik serta produktif adalah
sebagai berikut.
1. Berat udang betina minimal 100 gram, sedangkan induk udang jantan minimal 80
gram
2. Tubuh induk udang tidak cacat dan luka, terutama pada organ reproduksi dan
bagian punggung.
3. Bentuk punggung induk udang relatif datar dan kulit keras.

Prahasta dan Masturi (2009), berpendapat bahwa dlam pembenihan, induk


merupakan komponen terpenting. Induk yang digunakan harus memenuhi beberapa
kriteria, yaitu berat induk yang berasal dari laut, untuk induk udang berat induk betina
adalah 225 gram, dan untuk induk udang jantan adalah 150 gram. Adapun berat induk
dari tambak minimum 125 gram untuk induk induk betina, dan 80 gram utuk induk
jantan. Pilihan induk yang baik dengan ciri antara lain anggota tubuh tidak cacat atau
lengkap, warna kulit jernih, punggung tidak retak khususnya untuk induk betina
mendatar dengan warna tubuh cerah atau kehijauan. Jangan menggunakan induk yang
tubuhnya ditempeli parasit.
2.4.3. Pengelolaan Induk
Menurut Mutidjo (2003), calon induk (spawner) hasil penangkapan maupun
induk yang dibesarkan dari tambak ditempatkan dalam bak aklimatisasi terlebih
dahulu agar beradaptasi dengan salinitas dan temperatur air di tempat pembenihan.
Proses tersebut umumnya berlangsung selama (24 jam), tanpa diberi makan.
Prahasta dan Masturi (2009) menambahkan, untuk waktu yang lama,
kepadatan dikurangi, dan udang tetap diberi makan. Proses penyesuaian lingkugan
dilakukan secara pelan-pelan akan memberikan hasil yang memuaskan. Sebelum
dimasukan kedalam bak induk, udang diberi desinfektan Methylen Blue 5 ppm
selama 2 jam.
Induk udang windu masih ditampung sementara dalam bak penampungan
dengan kepadatan 4 ekor/m3 dengan perbandingan induk udang jantan dan betina 1:1.
Sambil enunggu gonad, air dalam bak penampungan harus dalam keadaan mengalir
dengan kecepatan pergantian air 200% - 250% per hari. Blower yang berfungsi
sebagai aerator juga dijalankan terus adar suplai oksigen terlarut dalam bak
penampungan terjamin (murtidjo, 2003).
Sedangkan menurut Prahasta dan Masturi (2009), padat penebaran induk
udang adalah 2 ekor per meter persegi, dengan perbndingan induk jantan dan betina
adalah 2:3. Selama pemeliharaan dilakuakan pergantian air 2 kali per hari. Jenis akan
yang diberikan adalah cumi-cumi, kepiting, rajungan atau kerang-kerangan dengan
jumlah 10-20% dari berat badan udang setiap hari. Selama pemeliharaan, desinfektan
yang diberikan adalah Methylen Blue 5 ppm pemebrian dilakukan selama 2 minggu.
Menurut Murtidjo (2003), untuk merangsang kematangan telur pada induk
udang betina agar cepat memijah dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik untuk
induk udang hasil tangkapan laut maupun induk udang yang dibesarkan dalam bentuk
tambak. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Pemijahan tangkai bola mata dan bola mata


2. Pembakaran tangkai bola mata dengan menggunakan solder atau dengan benda
perak mitrat.
3. Pengikatan tangkai mata.
4. Pemotongan atau pengguntingan tangkai mata.

Dari keempat cara tersebut, cara yang paling praktis dan efektif serta
menunjukan hasil yang baik adalah dengan melakukan pemotongan tangkai mata
(ablasi). Ablasi pada udang windu berpedoman pada perkembangan alat kelamin
udang yang dihambat hormon yang dikeluarkan, hormon yang menghambat
perkembangan alat kelamin tidak diproduksi sehingga udang sanggup mematangkan
telur dan memijah (Murtidjo, 2003).

Menurut Prahasta dan Matsuri (2009), ablasi dilakukan untuk merangsang


perkembangan telur udang, yaitu dengan merusak sistem syaraf reproduksi yang
terdapat dalam tubuh udang. Tempat syaraf yang berpengaruh dalam proses
perkembangan udang terletak pada tangkai mata. Ablasi dilakukan setelah induk
beradaptasi 2-3 hari, dengan lingkungan barunya. Ablasi dilakukan pada induk betina
yang sehat dengan cara menjepit salah satu tangkai mata, dengan menggunakan
gunting panas pada bagian pangkal matanya. Setelah dilakukan ablasi, induk betina
dan induk jantan dimasukan dalam bak perkawianan atau pemijahan.

2.4.4. Pemijahan
Menurut Murtidjo (2003), induk undang jantan dipindahkan terlebih dahulu,
baru kemudian induk udang betina yang sudah mencapai tingkat kematangan gonad
ketiga. Penangkapan induk udang dilakukan dengan menggunakan seser bertangkai
panjang. Selama dalam bak perkawinan, induk udang windu harus dihindarkan dari
suara dan cahaya yang terlalu kuat disekitar bak. Apabila pada malam pertama induk
udang belum juga betelur, pada hari kedua air dalam bak perkawinn harus diganti.
Permijahan biasanya terjadi pukul 14.00 WIB-03.00 WIB. Induk udang windu
mampu memproduksi telur sekitar 500.000-1.000.000 butir. Dari jumlah telur yang
diproduksikan sekitar 70-90% akan menjadi nauplius, menjadi zoea sekitar 90%
menjadi myrsis sekitar 50% dan menjadi post larva sekitar 70%. Seekor induk udang
windu yang dapat menghasilkan 200.000-250.000 ekor benur dalam sekali
pemijahan sudah dapat digolongkan sangat baik.
Prahasta dan Masturi (2009), menambahkan bahwa perkawinan atau
pemijahan udang windu terjadi pada saat induk betina ganti kulit dan hal ini terjadi
pada malam hari. Selama dalam bak pemijahan, pengolaan rutin yang dilakukan
meliputi pemberian pakan, pergantian air, pemeriksaan kesehatan, serta pemeriksaan
terhadap perkembangan telur. Pemeriksaan terhadap perkembangan telur dilakukan 3-
4 hari setelah ablasi. Waktu pemeriksaan dilakukan sore hari, bersama waktu
pergantian air. Pemeriksaan mengunakan senter dengan megamati bagian
punggungnya. Telur pada tingkat I kelihatan seperti garis berwarna hijau-hitaman,
dan pada akhir tingkat I tampak pada tingkat udang yang takbirah, terjadi
perkembangan sperma. Tingkat II, telur semakn jelas dan tampak berbentuk satu
gelembung, hingga telur mempunyai dua gelembung pada ruas pertama membentuk
cabang dibagian kiri dan kanan yang menyerupai setengah bulan sabit. Pada kondisi
ini,induk udang betina siap melepaskan telur yang telah mencapai matang telur
tingkat III. Selanjutnya induk udang di pelihara pada bak pemijahan
Jika terjadi pembuahan, tahap berikutnya adalah menggendong telur.
Maksudnya telur yang telah terbuahi oleh perjantan akan digendong oleh nduk udang
betina dibawah tubuhnya. Bila telur yang digendong lepas, induk betina akan
mangambilnya kembali dan megabungkan kembali dengan telur lainya. Tanda –
tanda induk udang windu bertelur, atau udang windu baru selesai melakukan
pemijahan, dan terjadi pembuahan, adalah udang melipat ekor sehingga kipas
ekornya mengenai kaki lima, ada busa atau foam pada badanya. Setelah beberapa hari
, betina mulai melakukan aktivitas seperti biasanya, namun lebih banyak diam dengan
ekor tetap berlipat. Induk yang baru bertelur jangan dipindahkan, karena dalam
permindahan mungkin pembuahannya belum sempurna, hingga telur belum
berbentuk dengan baik dan pertumbuhan telur terganngu. Induk dipindahkan, saat
telur bewarna krem atau telur telah berumbur 7 hari (Prahasta dan Masturi 2009).
2.4.5. Penetasan Telur
Menurut Murtidjo (2003), telur yang baik akan menetas dalam waktu 10-12
jam sejak dipijahkan. Jadi, apabila pemijahan berlangsung pada malam hari, keesokan
harinya telah tampak nauplius. Untuk mempercepat proses penetasan dapat dilakukan
pengadukan. Pada umumnya, temperatur penetasan tinggi, akan dihasilkan nauplius
cukup padat dan tampak memenuhi seluruh bak penetasan. Jika terjadi hal demikian,
secepatnya nauplius harus dipindahkan ke bak pemeliharaan larva. Keberhasilan
proses pembenihan setiap induk dapat dilihat dari jumlah naplius yang dihasilkan
oleh setiap induk udang, dengan cara sebagai berikut.
1. Induk udang windhu yang memijah dipisahkan dari yang tidak memijah.
2. Diambil satu liter air dari bak perkawinan dengan menggunakan gelas tembus
cahaya, kemudian dihitung jumlah nauplius beberapa kali sampai diperoleh
perkiraan tertentu.
3. Jumlah nauplius rata-rata dikalikan dengan volume air bak perkawinan,
kemudian dibagi dengan jumlah induk yang memijah.
Prahasta dan Masturi (2009), mengatakan induk udang betina akan
melepaskan telurnya pada malam hari, sekitar pukul 22.00 WIB-04.00 WIB. Pada
saat melepaskan telurnya, induk betina berenang dipermukaan air dan telur keluar
dari lobang gonophornya, yang diikuti pelepasan kantong sperma dari thelicum.
Proses ini berjalan atara 3-5 menit. J.pelepasan telur akan sempurna apabila dalam
keadaan gelap. Keadaan terang menyebabkan telur hanya sebagian saja yang
dikeluarkan, sedangkan sisanya akan diserap kembali oleh induk. Pada suhu air 30o-
31oC dan salinitas 30-31 PPT, telur akan menetas menjadi nauplius setelah 12-15 jam
telur dilepaskan. Telur yang dilepas diberi aerasi. Dasar bak diaduk 3 kali selama
proses penetasan, dan diberi disenfektan telur dengan menggunakan Methylene Blue
1 ppm sampai telur menetas.
Setelah telur menetas menjadi nauplius, aerasi diperbesar menjadi sekitar 10
liter/menit, dan menggunakan batu aerasi yang mengahisilkan gelembung-gelembung
halus. Batu aerasi ditempatkan tidak terlalu dekat dengan dinding kurang lebih 50 cm
dari dinding. Jika penempatan batu aerasi terlalu dekat akan menyebabkan larva
membentur dinding bak, hingga mengakibatkan kematian (Prahasta dan Masturi,
2009).

2.4.6. Perawatan Larva


Setelah telur udang windu menetas menjadi larva, diperlukan tata aksana
pemeliharaan larva udang. Pemeliharaan larva udang dimulai dari tingkat larva
nauplius kedua (N2) sampai tingkat post larva ketujuh (PL-7). Pemeliharaan
diusahakan dalam bak dalam ruang tersendiri, yakni ruang pemeliharaan larva udang
windu. Dari seluruh daur hidupnya, stadia larva adalah bagian yang paling lemah,
maka memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan berhasil tidaknya
suatu usaha pembenihan. Oleh karena itu penangganan larva selama pemeliharaan
mulai dari stadia nauplius post larva harus benar-benar diperhatikan. Sebab larva,
seperti halnya seorang bayi, memerlukan perawatan dan perhatian yang khusus,
bahkan bila perlu harus dilakukan selama 24 jam/hari. Banyak hal rutin yang perlu
dilakukan dalam kegiatan pemeliharaan larva udang. Pekerjaan ini sering kali
kelihatan sederhana, tetapi jika tidak dilakukan dengan baik, akan berakibat buruk
terhadap usaha pemeliharaan yang sedang dilakukan. Stadia nauplis, zoea da mysis
merupakan stadia yang sangat rawan, maka perlu dihindari hal-hal yang dapat
menimbulkan setress pada larva tersebut. Seperti misalnya kondisi aerasi, apakah
tidak terlalu kecil oksigen yang keluar, ataukah justru terlal besar untuk stadia
tertentu. Dan yang lebih penting lagi jangan sampe aerasi mati, sebab jika aerasi mati
akan berakibat buruk terhadap lara yang dipelihara, bahkan menimbulkan kematian
massal (Sutaman, 1993).
Menurut Murtdjo (2003), pasa stadium nauplius, larva udang windu tidak
perlu diberi pakan. Pada tingkat tersebut, larva masih menyimpan persediaan
makanan dalam katong kuning telurnya. Pemberian pakan dimulai pada stadium zoea
atau setelah larva nauplius berusia 6 hari (N6). Makanan alami yang umum digunakan
untuk stadium zoea berupa plankton dari genus chaetoceros sp. Tetraselmis sp.,
skeletonemia sp., dan Isochrysis sp. Stadium zoea berlangsung selama 4 hari.
Plankton diberikanan pada saat larva sudah mencapai zea pertama (Z1) sampai zoea
ketiga (Z3). Setelah nauplius mencapai mencapai stadium nauplius 6 (N6) sebaiknya
media pemeliharaan diberi antibiotik yang berupa eritromisin sebanyak 1,33 ppm.
Antibiotik yang berupa tablet harus digerus atau di lembutkan hingga lembut. Pada
saat akan diberikan atau dicampurkan dalam media, tepung antibiotik diletakan dalam
saringan dan diayak dalam air sampai larut, kemudian larutan tersebut ditebarkan
secara merata ke dalam bak pemeliharaan. Pada hari ketiga setelah penetasan,
keseluruhan nauplius mulai berubah menjadi zoea pertama (Z1). Makanan pertama
perlu diberikan adalah fitoplankton skeletonema sp. Yang dipanen dari satu ton media
produksi. Pemberian makanan untuk stadium zoea dilakukan dua kali sehari, yakni
pada pukul 12.00 dan 20.00, sedangkan makanan buatan diberikan 4 jam sekali.
Pemberian makanan untuk stadium zoea tergantung pada sisa makanan yang ada
dalam bak pemeliharaan dan jumlah larva. Kepadatan makanan alami berua
skeletonema sp. Yang harus tersedia dalam bak pemeliharaan larva stadium zoea
adalah sebagai berikut.
1. Stadium zoea pertama : 5000-10.000 sel/cc
2. Stadium zoea kedua : 10.000-15.000 sel/cc
3. Stadium zoea ketiga : 15.000-30.000 sel/cc
Mencapai hari keempat, zoea hampir seluruhnya telah berubah menjadi misis. Misis
adalah salah satu stadium larva udang windu yang dapat dengan mudah ditandai
karena posisi renangya sealu terbalik. Posisi tubuh ini menyulitkan memberikan
makanan buatan. Makanan hanya dapat dimakan apabila partikel makanan
bersentuhan dengan kaki jalannya. Oleh karena itu, makanan buatan yang diberikan
sebaiknya berupa butiran halus yang agak melayang didalam air. Butiran yang kecil
juga sangat menolong penyebaran makanan dan kemudahan partikel terangkat
kembali oleh aerasi yang dihidupkan terus menerus. Misis juga memiliki kebiasaan
berenang dan berkumpul disalah satu titik dalam bak pemeliharaan larva. Kebiasaan
ini sangat ditentukan oleh kuat lemahnya cahaya dan besar kecilnya aerasi dalam bak
pemeliharaan. Makanan alami untuk satdium misis pertama (M1) sampai misis ketiga
(M3) adalah skeletonema sp. Dan artemia sp. Adapun takaran ketersediaan makanan
untuk stadium misis menurut Murtdjo (2003), adalah sebagai berikut.
1. Stadium misis pertama : 20.000 sel/cc dan 0,2 sel/cc
2. Stadium misis kedua : 20.000 sel/cc dan 0,2 sel/cc
3. Stadium misis ketiga : 20.000 sel/cc dan 0,5 – 1,0 sel/cc
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang beberapa jenis plankton
yang biasa digunakan sebagai makanan larva udang beserta ukurannya menurut
sutaman (1993), dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel Plankton yang umumnya digunakan sebagai makanan hidup untuk larva
udang.
No Spesies Jenis Ukuran rata-rata
( mikro)
1 Skeletonema costatum Diatom 15
2 Chaetoceros calcitrans Diatom 4
3 Phaeodactylum tricornutum Diatom 20-25
4 Chylotella nana Diatom 6-1-
5 Chorella sp. Alga biru 3-8
6 Tetra selmis chui Alga biru 7-12
7 Nanochloris sp. Alga biru 8
8 Nitzshia closterium Diatom 4-20
9 Artemia salina Crustacean Larva
Sumber : Sulaiman, (1993)

Pemberian pakan pada waktu sampling untuk mengamati perkembangan larva


serta menghitung kepadatan larva dalam bak harus dilakukan secara cermat. Dengan
pengamatan perkembangan dan kepadatan yang cermat, kita dapat segera mengambil
langkah-langkah penyelamatan yang menguntungkan. Seperti misalnya, apabila
populasi larva terlalu padat, maka sebagian larva perlu dipindah kebak lain yang
masih kosong. Dan apaliba kondisi larva kritis, kita dapat segera mengatasinya baik
dengan pergantian air atau dengan pemberian obat yang tepat. Selain itu, pengelolaan
kualitas air juga perlu dilakukan dalam proses perawatan larva. pengelolaan kualitas
air adalah cara pengendalian kondisi air sedemikian rupa sehingga memenuhui
persyaratan fisik dan kimiawi bagi kehidupan dan pertumbuhan larva udang yang
dipelihara ( sutaman, 1993).
Murtidjo (2003) menambahkan, faktor yang sangat menentukan dalam rangka
pembenihan udang windu adalah sistem pengelolaan air . keberhasilan air yang
digunakan akan menentukan keberhasilan pembenihan udang. Menurut Sutaman
(1993), ada dua variabel kunci dalam menetukan mutu air media pemeliharaaan larva,
yaitu yang termasuk variabel fisik air adalah suhu dan kekeruhan. Sedangkan variabel
kimiawi air yang terpenting adalah salinitas, metabolisme lainnya. Parameter kualitas
air yang optimal untuk pertumbuhan larva udang windu dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel Parameter kualitas air untuk pertumbuhan larva udang windu
No Parameter Keterangan
1. Suhu 28-320C
2. Salinitas 28-33 ppt
3. Oksigen terlarut >3,7 mg/L
Sumber : Sulaiman, (1993)

2.4.7. Panen
Menurut Amri (2004), panen merupakan kegiatan akhir dari proses
pemeliharaan udang. Kegiatan panen dilakukan jika udang sudah mencapai ukuran
yang diharapkan. Ukuran udang yang dipanen berhubungan dengan harga jual udang
tersebut. Semakin besar ukuran udang, harga jualannya semangkin tinggi. Misalnya
udangan dengan ukuran 30 ekor/kg lebih mahal dari pada udang dengan ukuran 40
ekor/kg. Jika pemeliharaan lebih lama dari pada empat bukan (biasanya tidak lebih
dari 4,5) bulan, biasanya berhubungan dengan masa pemeliharaan dan ukuran udang,
keputusan melakukan pemanenan juga dipengaruhi oleh pertimbangan harga jual
dipasaran. Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) udang windu yang
dipelihara secara intensif di tambak adalah 60-70 %.
Menurut Mujiman dan Suyanto (2003), udang yang kan dipanen hrus mempunyai
mutu yang ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu :
 Ukurannya, makin besar makin tinggi harganya.
 Kulitnya keras, bersih, licn, bersinar, dan badannya tidak cacat.
 Udang yang masih dalam keadaan hidup, jadi masih segar, harganya akan tinggi.
Nilai udang akan turun bahkan dapat ditolak bila waktu ditangkap kulitnya
lunak, karena belum lama ganti kulit. Udang yang badannya putus-putus juga ditolak
oleh pemborong. Kulit udang yang nampak kontor karena ditumbuhi lumut, lama
tidak ganti kulit dan juga turun harganya. Agar mutu udang yang dipanen tetap
terjaga, maka sebelumnya penen petani harus mempersiapkan alat-alat tangkap,
mencuci alat dan wadah-wadah, serta orang-orang terlatih untuk menanganinya. 7-10
hari sebelum pemanenan, air tampak perlu diganti untuk yang terakhir kali agar
menghilangkan kotoran oleh pertumbuhan alga. Lalu masih ada cukup waktu
beberapa hari sehingga kulit udang itu mengeras kembali. Itulah sebabnya, hari
penangkapannya harus ditentukan denga cemat sejak subulan atau dua minggu
sebelumnya (Mujiman dan Suyanto,2003).
2.4.8. Pascapanen
Pascapanen udang merupakan serangkaian kegiatan penanganan udang hasil
panen dengan tujuan menekan penurunan mutu sampai tingkat sekecil mungkin
sehingga kondisi udang ketika sampai ke konsumen masih segar, seperti baru , saja
ditangkap atau baru saja dipanen. Dengan demikian, segala perlakuan yang diberikan
hendaknya mampu menahan proses pembusukan secara kimia, mikrobiologi, dan
enzimatris. Untuk menghindari kerusakan pada udang, penanganan pascapanen harus
segera dilakukan. Di samping itu, tindakan yang diberikan harus mampu melawan
udara panas dan kondisi luar lainnya yang sangat berpengaruh dalam proses
pembusukan. Karena itu, sistem rantai dingin, tempat pelelangan (penjualan),
pedagang pengepul, tempat transportasi, tempat pengolahan terakhir, hingga
konsumen perlu diterapkan (Amri, 2004).
Udang windu yang telah dipanen dikumpulkan dalam keranjang bambu, rotan,
atau bak fiber glass yang cukup lebar dan bagian dasarnya berlubang-lubang.
Kemudian ,udang disemprot dengan air bersih sampai udang bersih dari kotoran yang
melekat. Setelah itu, udang disortir dan dikelompokan menurut ukurannya, lalu
timbang. Biasanya udang yang cacat ditolak oleh pembeli dan dinyatakan sebagai
udang BS (below standard) tetapi oleh petani masih dapat dijual dipasar lokal (
Takarina dn Suyanto, 2009).
2.4.9. Pengontrolan Kualitas Air
Menurut Amri (2003), selama pemeliharaan udang windu, mutu dan
kedalaman air didalam tambak harus diperhatikan sehingga udang windu dan
organisme dapat hidup dan berkembang secara baik. Berbagai usaha perlu dilakukan
untuk meningkatkan mutu air dan lingkungannya serta mencegah pencemaran yang
mungkin timbul, baik seca langsung maupun tidak langsung, kelainan dalam
pengelolaan air akan mengakibatkan masuknya bahan pencemar yang dapat
mempengaruhi dan mengubah sifat air, baik fisik, kimia maupun biologinya. Hal ini
sangat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan dan
perkembangan udang windu serta organisme penunjang sehingga bobot/ekor
menurun dan persentase kematiannya tinggi.

Kualitas air yang perlu diperhatikan antara lain:


a. Suhu
Menurut Amri (2003), kisaran suhu yang baik bagi kehidupan udang windu
adalah 25-300C. Perubahan suhu yang biasa ditoleransi tidak lebih dari 20C. Karena
iti harus dihindari perubahan suhu secara mendadak karena akan berpengaruh
langsung terhadap kehidupan udang. Jika suhu air tambak turun hingga dibawah
250C, daya cerna udang windu terhadap makanan yang dikonsumsi berkurang,
sebaliknya, jika suhu naik hingga lebih dari 300C, udang windu akan mengalami
stress karena kebutuhan oksigennya semangkin tinggi. Sementara itu, jika suhu air
berada dibawah 140C, udang windu bisa mengalami kematian. Biasanya, suhu air
tambak dilapangan diukur dengan menggunakan alat termometer.
b. Salinitas
Menurut Amri (2003), secara sederhana, salinitas disebut juga dengan kadar
garam atau tinggang keasianan air. Secara ilmiah, salinitas didefinisikan dengan total
padatan dalam air setelah semua karbonat dsan senyawa organis dioksidasi, dan
bromida serta iodida dianggap sebagai klorida. Besarnya salinitas dinyatakan
dalam(%) atau ada juga yang menyebutkannya dengan gram/kilogram. Untuk
mengukur salinitas air tambak secara praktis bisa menggunakan salinometer atau
refraktometer. Udang windu menyukai air bersalinitas 10-35% salinitas ini lebih
rendah dari pada salinitas yang dikenhendaki udanumbuhan udang windu yang baik
diperolek pada kisaran 19-35%. penurunan salinitas air tambak di bawah 10%
sebaiknnya dihindari karena kondisi udang menjadi lemah, warnanya lebih biru dan
lebih peka terhadap serangan penyakit.
c. Kekeruhan

Menurut Amir (2003), pengukuran kekeruhan air sering dilakukan dengan


melihat tingkat kecerahan air. Untuk mengukur kecerahan air digunakan alat yang
disebut dengan secchi disk. Tingkat kecerahan yang diharapkan untuk budidaya
udang windu adalah 25-40 cm. Artinya, daya tembus maksimum sinar matahari
kedalam air hanya 40 cm. Daya tembus sinar matahari yang tidak terlalu dalam
tersebut disebabkan oleh banyaknya yanhg menghuni perairan sehingga persediaan
makanan alaminya cukup tersedia. Sementara itu, jika kecerrahan tambak sampai ke
dasar (100-150 cm),bertarti perairan teresebut tidak subur karena hanya mengandung
sedikit plankton.

d.Oksigen terlarut

oksigen dibutuhkan udang untuk bernapas. Oksigen yang bisa dimanfaatkan


udang adalah oksigen terlarut dalanm air. Kandungan oksigen terlarut yang baik
untuk kehidupan udang adalah 4-8 ppm. Rendahnya kandungan oksigenterlarut di
dlam tambak sering terjadi pada periode musim kemarau yang tidak berangin. Selain
itu, penurunan kandungan oksigen juga dipengaruhi oleh aktivitas suhu rendah pada
malam hari yang diikuti dengan meningkatnya aktivitas fitoplankton. Kondisi ini
dittandai dengan mengembangnya udang( udang nai ke permukaan air). Cara
mengatasinya diperlukan aerator agar kandungan oksigen terlarut didalam tambak
naik.
e. Derajat keasaman (pH)

Menurut Amri (2003), derajat keasaman disebut dengan pH. Nilai pH normal
untuk tambak udang windu adalah 6-9. Nilai pH diatas 10 dapat membunuh udang,
sementara nilai pH dibawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat.
Untungnya goncangan pH pada air budidaya udang didalam tambak tidak terlalu
mengkhawatirkan karena air laut mempunyai daya penyangga (buffer) yang cukup
kuat .goncangan pH yang kuat bisa diatasi dengan meningkatkan frelkuensi
penggantian air dan pengoperasian aerator, terutama pada malam hari. Besarnya
goncangan pH yang bisa ditoleransi sebaiknya tidak lebih dari 0,5. Pengukuran pH
umumnya dilakukan dengan kertas lakmus (kertas pH) dan pH water tester atau pH
meter (alat penjgukuran pH air secara digital).

f. amoniak
Menurut Amri (2003), munculknya amoniak didlam tambak disebabkan oleh
adanya sisa pakan yang tidak termakan, bangkai hewan dan tumbuha, kotoran udang
dan bahan organik lainya yang membusuk, misalnya ganggang. Amoniak yang
terdapat didalam air tambak tidak boleh lebih dari 0,01 ppm. Pada konsentrasi diatas
0,45 ppm, amoniak dapat menghambayt pertumbuhan udangn ssampai 50%.
g. nitrat dan Nitrit
Menurut Amri (2003), adlanya oksigen didalam oksigen didalam air tambak
akan mengubah amonia menjadi nitrat dan nitrit (nitrifikasi). Nitrit tersebuit terbentuk
akibat reaksi antara amonia dan oksigen yang terlarut didalam air. Besarnya kadar
nitrat didalam tambak yang masih bisa ditoleransi berada di bawah 0,1 ppm .
smentara itu, kadar nitrit diperoleh tidak lebih dari 0,5 ppm. Kadar nitrat dan nitrit
didalam air tambak yang melebihi ambang batas tersebut akan berpengaruh negatif
terhadap udang windu yang dipel;ihara. Pengukuran kaadar nitar dan nitrit
menggunakan instrumen kitdengan kisaran pengkuran 0,05 -2 ppm. Alat ini juga
berfungsi sebagai pengukuran kadar Cd (Cadmium) dalam tambak.
2.4.10. Hama dan Penyakit
a. Hama
Menurut Suyanto dan Mujiman (2003), menyatakan bahwa gangguan hama
dapat dibedakan menjadi tiga golongan pemangsa (predator), golongan penyaing
(kompetator), dan golongan penggangu.
a. Golongan pemangsa (predator) benar-benar sangat merugikan kita, karena dapat
memangsa udang secara langsung seperti burung, ular, ikan-ikan buas dan
kepiting.
b. Golongan penyaing (kompetator) adalah hewan-hewan yang menyaingi udang
dalam hidupnya, baik mengenai pangan maupun papan, seperti bangsa siput, ikan
liar, ketam-ketaman dan udang-udang kecil terutama jenis Caridana denticulata.
c. Golongan penggangu, walaupun tidak memangsa ataupun menyaingi udang, tapi
mereka cukup merepotkan kita. Diantara mereka ada yang merusak pematang,
merusak tanah dasar, dan merusak pintu air, sperti bangsa ketam yang suka
membuat lubang-lubang dipematang, dan teritip yang suka menempel pada
bangunan-bangunan pintu air.

b. Penyakit

Selama masa pemeliharaan udang, tidak jarang kita menghadapi timbulnya


udang-uidang yang sakit. Bahkan sering menimbulkan kematian yang tidak sedikit.
Penyakit udang dapat disebabkan oleh beberapa jenis penyebab penyakit seperti
protozoa, bakteri cendawan, virus dan jamur. Sebabnya di air terdapat bibit-bibit
penyakit itu juga. Apabila kondisi air tempat hidup udang selalu baik, dan udang
memperoleh pakan yang bergizi baik, tentu tidak mudah untuk mengobati udang
sakit. Hampir semua pakar berpendapat bahwa mencegah penyakit lebih baik dari
pada mengobati. Maka yang paling bagus adalah menjaga kualitas air tambak yaitu
dengan cara : mengganti air sebagian atau seluruhnya sesering mungkin, terutama
bila terlihat air menurun (Suyanto dan Mujiman, 2003).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembenihan udang windu adalah salah satu rangkaian proses produksi udang
yang memegang peranan penting dalam usaha untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas produksi udang. Rendahnya tingkat produksi benih menghambat arus
pemintaan pasar yang yang disebabkan keterbatasan benih udang.hal ini dengan
penguasaan teknik pemijahan, ketersediaan induk matang gonad, dan kualitas air
merupakan faktor keberhasilan kegiatan pada pembenihan udang windu (Panaeus
monodon ).
DAFTAR PUSTAKA

Amri, Khairul. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka; Jakarta

Murtidjo, Bambang Agus. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius ;
yogyakarta

Prahasta, Arief dan Hasanawi Masturi. 2009. Agribisnis udang windu. Pustaka
grafika ; Bandung

Sutaman, 1993. Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga.
Kanisius : Yogyakarta

Suyanto, Rachmatun Dan Ahmad Mujiman, 2003. Budidaya Udang Windu.


Penebaran Swadaya ; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai