Tugas HAN Review Buku HAN Ridwan HR
Tugas HAN Review Buku HAN Ridwan HR
Disusun Oleh :
A. Perlindungan Hukum
Subjek hukum selaku pemikul hak-hak dan kewajiban-kewajiban (de drager van de rechten en
plichten), baik itu manusia (naturlijke persoon), badan hukum (rechtspersoon), maupun jabatan
(ambt), dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan kemampuan (bekwaam) atau
kewenangan (bevoegdheid) yang dimilikinya. Agar hubungan antarsubjek hukum itu berjalan secara
harmonis, seimbang, dan adil, dalam arti setiap subjek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya
dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main
dalam mengatur hubungan hukum tersebut. Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen
untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum, agar masing-masing subjek hukum
dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar. Menurut
Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar
kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung
secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi pelanggaran hukum. Subjek hukum yang dilanggar hak-
haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.
Hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara adalah
Hukum Administrasi Negara atau hukum perdata, tergantung sifat dan kedudukan pemerintah dalam
melakukan tindakan hukum tersebut. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam
kapasitasnya sebagai wakil badan hukum, maka tindakan tersebut diatur dan tunduk pada ketentuan
hukum keperdataan, sedangkan ketika pemerintah bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat, maka
tindakan itu diatur dan tunduk pada Hukum Administrasi Negara.
Kedudukan pemerintah yang serba khusus terutama karena sifat-sifat istimewa yang melekat
padanya, yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, telah menyebabkan perbedaan pendapat yang
berkepanjangan dalam sejarah pemikiran hukum, yaitu berkenaan dengan apakah negara dapat digugat
atau tidak di depan hakim. Oleh karena itu, persoalan menggugat pemerintah di muka hakim tidaklah
dapat dipersamakan dengan menggugat rakyat biasa. Para pencari keadilan dapat menuntut negara dan
alatnya agar mereka berkelakuan normal. Setiap kelakuan yang mengubah kelakuan yang normal dan
melahirkan kerugian-kerugian, dapat digugat.
Kedudukan pemerintah atau administrasi negara dalam hal ini tidak berbeda dengan seseorang
atau badan hukum perdata, yaitu sejajar sehingga pemerintah dapat menjadi tergugat maupun
penggugat. Dalam konteks inilah prinsip kedudukan yang sama di depan hukum yang menjadi salah
satu unsur negara hukum terimplementasi. Dengan kata lain, hukum perdata memberikan
perlindungan yang sama baik bagi pemerintah maupun seseorang atau badan hukum perdata.
Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum preventif dan
represif. Pada perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Artinya perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan
sebaliknya perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Upaya adminstratif ada dua macam, yaitu banding administratif dan prosedur keberatan.
Banding administratif, yaitu penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi atasan
atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang disengketakan. Sedangkan prosedur
keberatan adalah penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan
keputusan yang bersangkutan.
Perlindungan Konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya
hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda
pemberitahuan kepada konsumen. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak
untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
B. Penegakan Hukum
Hukum adalah sarana yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep tentang
keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Penegakan hukum adalah usaha untuk
mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.
Jika hakikat penegakan hukum itu mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang memuat
keadilan dan kebenaran, maka penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas para penegak hukum
yang sudah dikenal secara konvensional. Akan tetapi, menjadi tugas dari setiap orang. Penegakan
hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Oleh karena itu, keberhasilan penegakan
hukum akan dipengaruhi oleh hal-hal tersebut.
Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum administrasi, yaitu:
Dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara, ada dua istilah mengenai paksaan
pemerintahan ini, yaitu bestuurdwang dan politiedwang. Menurut Philipus M. Hadjon, digunakannya
istilah bestuurdwang adalah untuk mengakhiri kesalahpahaman yang dapat ditimbulkan oleh kata
“politie” dalam penyebutan politiedwang (paksaan polisi). Polisi sama sekali tidak terlibat dalam
pelaksanaan politiedwang (bestuurdwang).
Salah satu sanksi dalam HAN adalah pencabutan atau penarikan KTUN yang menguntungkan.
Pencabutan ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu keputusan baru yang isinya menarik kembali
dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi keputusan yang terdahulu. Penarikan kembali keputusan yang
menguntungkan berarti meniadakan hak-hak yang terdapat dalam keputusan itu oleh organ
pemerintahan. Sanksi penarikan kembali KTUN yang menguntungkan diterapkan dalam hal terjadi
pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang
diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang
oleh sipelanggar. Disamping itu, dapat pula pencabutan keputusan itu dilakukan karena kesalahan dari
pihak pembuat keputusan atau pemerintah, artinya keputusan yang dikeluarkan ternyata keliru atau
cacat lainnya dan diketahui oleh pihak dengan jelas.
Dalam Hukum Administrasi Negara pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada
seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan. Pengenaan uang paksa merupakan
alternatif untuk tindakan nyata yang berati sebagai sanksi ‘subsidiaire’ dan dianggap sebagai sanksi
repatoir. Persoalan hukum yang dihadapi dalam pengenaan dwangsom sama dengan pelaksanaan
paksaan nyata.
Denda administratif (bestuurslijke boetes) dapat dilihat contohnya pada denda fiskal yang
ditarik oleh inspektur pajak dengan cara meninggikan pembayaran dari ketentuan semula sebagai
akibat dari kesalahannya. Sanksi ini biasanya terdapat dalam hukum pajak, jaminan sosial, dan hukum
kepegawaian.
Hukum di Indonesia hingga saat ini masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Setiap hari dapat kita
saksikan sejumlah kasus hukum yang diberitakan melalui media massa. Sepertinya persoalan hukum
di Indonesia telah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Penegak hukum di Indonesia yang masih
terbilang lemah dan tidak tegas itu dapat kita lihat dari kasus-kasus seperti kasus lalu lintas.
Pelanggaran lalu lintas yang sering kita lihat di jalan raya, para penegak hukum memberi sanksi
kepada para pelanggar pengguna jalan yang melanggar peraturan perlalulintasan. Seharusnya
pengguna jalan tersebut dihukum oleh pihak yang berwenang sehingga menimbulkan efek jera
terhadap pelanggar tetapi mereka bernegosiasi diantara pelanggar dan penegak hukum. Mereka yang
melanggar dengan mudah mengeluarkan sejumlah uang yang telah disepakati saat negosiasi itu
berlangsung. Sehingga mereka dapat melanjutkan perjalanan mereka tanpa harus mendapatkan
perlakuan hukum. Kejadian ini membuat peraturan yang sudah dibuat untuk menertibkan dan
membuat nyaman para pengguna jalan menjadi percuma.
C. Pertanggungjawaban Pemerintah
1. Pengertian Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib
menanggung segala sesuatu (kalau ada suatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan
sebagainya). Dalam kasus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban yakni
liability dan responsibility. Liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliput hampir
setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability
didefinisikan untuk menujuk: semua karakter hak dan kewajiban. Responsibility berarti hal yang dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan
kecakapan.
Berdasarkan perspektif hukum, dalam kehidupan sehari-hari dikenal istilah pergaulan hukum
(rechtsverkeer), yang di dalamnya mengisyaratkan adanya tindakan hukum (rechtshandeling) dan
hubungan hukum (rechtbetrekking) antar subjek hukum. Hukum diciptakan untuk mengatur pergaulan
hukum agar masing-masing subjek hukum menjalankan kewajibannya secara benar dan memperoleh
haknya secara wajar. Ketika ada subjek hukum yang melalaikan kewajiban hukum yang seharusnya
dijalankan atau melanggar hak subjek hukum lain, kepada yang melalaikan kewajiban dan melanggar
hak itu dibebani tanggung jawab dan dituntut memulihkan atau mengembalikan hak yang sudah
dilanggar tersebut.
Ketika membahas perlindungan hukum dalam bidang perdata, disinggung tentang konsep
“onrechtmatige daad”. Dalam perspektif ilmu hukum, prinsip bahwa setiap tindakan onrechmatig
subjek hukum yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, mengharuskan adanya
pertanggungjawaban bagi subjek hukum yang berangkutan merupakan prinsip yang telah diakui dan
diterima secara umum dalam pergaulan hukum.
Salah satu prinsip negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap
tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan. Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna
penggunaan kewenangan , maka di dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban. Namun
demikian harus pula dikemukakan tentang cara-cara memperoleh dan menjalankan kewenangan.
Sebab tidak semua pejabat tata usaha negara yang menjalankan kewenangan pemerintahan itu secara
otomatis memikul tanggung jawab hukum. Badan atau pejabat tata usaha negara yang melakukan
tindakan hukum atas dasar kewenangan yang diperoleh secara atribusi dan delegasi adalah sebagai
pihak yang memikul pertanggungjawaban hukum, sedangkan badan atau pejabat tata usaha negara
yang melaksanakan tugas dan pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung
jawab hukum, yang memikul tanggung jawab hukum adalah pemberi mandat.
Dalam perspektif hukum publik, yang melakukan tindakan hukum adalah jabatan (ambt) yakni
suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya
diberikan tugas dan wewenang.
Berdasarkan teori perwakilan dan tindakan hukum dalam bidang publik, dapatlah disebutkan
bahwa pada hakikatnya yang terlibat dalam pergaulan hukum adalah yang diwakili atau jabatan,
sedangkan pejabat atau wakil hanyalah bertindak atas nama yang diwakili atau jabatan. Atas dasar
itulah gugatan seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan akibat tindakan hukum
pemerintahan khususnya keputusan (beschikking) diajukan terhadap Badan Tata Usaha Negara, bukan
terhadap pejabat sebagai pribadi (privepersoon), dan alamat tergugat –sebagai salah satu syarat
formal gugatan- adalah alamat instansi bukan alamat rumah pejabat. Kesalahan dan kekeliruan dalam
pembuatan dan penerbitan KTUN itu berasal dari pribadi pejabat, bukan dari jabatan. Pada prinsipnya
kewenangan, tugas, dan fungsi yang melekat pada jabatan itu tidak pernah dimaksudkan untuk
diimplementasikan secara salah dan keliru. Pejabat yang telah membuat dan menerbitkan KTUN
secara keliru dan salah itu sudah sewajarnya dibebani tanggung jawab dan dituntut ganti rugi sebagai
konsekuensi dari perbuatannya.