Anda di halaman 1dari 2

TUGAS MEMBUAT RESUME BUKU MAGANG II

1 Nama Mentee : Hanif Ibrahim Mumtaz, S.H.


2 NIP : 199306162017121004
3 PPC Angkatan : III
4 Pengadilan Negeri Magang : Pengadilan Negeri Mungkid
5 Mentor : Dian Nur Pratiwi, S.H., M.H.Li.
6 Judul Buku : Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana
7 Pengarang : Edward Omar Sharif Hiariej
8 Impresum : Penerbit Erlangga, 2009, Jakarta, cetakan ke-1
9 Kolasi : 21 cm, 94 + ix hlm.

1
Penulis memulai buku ini dengan menyampaikan adagium dalam Bahasa Belanda “het recht hinkt achter
de feiten aan”. Maknanya, hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya. Sehingga dalam menerapkan hukum
kepada suatu fakta, diperlukan penemuan hukum. Dalam buku ini bahasan pertamanya adalah uraian mengenai
asas legalitas. Dalam hukum pidana, asas legalitas merupakan salah satu asas utama. Adagium populer yang
mewakili asas ini adalah “nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak
ada hukuman tanpa ada hukum yang memidananya). Asas legalitas muncul sebagai perlindungan bagi
kepentingan individu dalam penegakan hukum pidana. Pada abad pertengahan di Eropa, diserap hukum
Romawi kuno yang memuat prinsip crimine extra ordinaria di mana banyak pidana yang tidak tertulis, sehingga
penguasa yang pada zaman itu absolut dapat membuat suatu peradilan pidana yang sewenang-wenang. Asas
legalitas menghendaki bahwa suatu pemidanaan terhadap suatu perbuatan pidana harus telah dituliskan dalam
hukum yang berlaku. Dengan demikian, apabila suatu perbuatan tidak diatur sebagai delik pidana, maka pidana
tidak dapat dikenakan atasnya.
Pada buku ini dijelaskan berbagai instrumen internasional (antara lain ICCPR, ECHR, UDHR, dan Statuta
Roma) yang memuat asas legalitas yang pada pokoknya menyatakan bahwa seseorang, demi perlindungan
hak asasinya, tidak dapat dipidana tanpa adanya delik pidana yang telah berlaku. Selain itu, asas legalitas
mengalami penghalusan, yaitu apabila di antara waktu diperbuatnya pidana dengan waktu diputusnya perkara
atas perbuatan tersebut muncul hukum baru yang lebih menguntungkan terdakwa, maka yang digunakan
adalah hukum tersebut (in dubio pro reo).
Selanjutnya mengenai apa yang dimaksud dengan penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo,
penemuan hukum adalah menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa konkret. Sedangkan menurut
J.A. Portier, sebagaimana dikutip oleh penulis, tidak semua hukum ditemukan dalam undang-undang. Penulis
menyimpulkan bahwa sumber hukum meliputi juga doktrin, yurisprudensi, perjanjian, dan kebiasaan. Mengenai
keberlakuan yurisprudensi, meski di Indonesia tidak wajib mengikuti putusan terdahulu, berdasarkan asas
similia similibus, serta kepastian hukum, secara bersyarat hakim terikat pada putusan sebelumnya.
Dalam proses menemukan hukum dikenal beberapa metode, antara lain penafsiran dan analogi. Asas-
asas umum yang berlaku dalam penafsiran hukum antara lain (1) asas proporsionalitas dan subsidiaritas, (2)
prinsip relevansi dalam hukum pidana, (3) asas kepatutan, (4) asas in dubio pro reo, (5) prinsip exceptio format
regulam, (6) prinsip titulus est lex dan rubrica est lex, serta (7) asas materiil. Dalam hukum pidana ada
kecenderungan interpretasi dilakukan secara ketat. Namun demikian, penulis menantang kecenderungan
tersebut dengan pendapat dari J.E. Jonkers yang intinya menyatakan bahwa penafsiran pada undang-undang
pidana pada prinsipnya sama dengan penafsiran dalam hukum perdata sebagaimana termaktub dalam Pasal
1342 – 1350 KUH Perdata.
Untuk masuk kepada pembahasan analogi dalam penemuan hukum, penulis terlebih dulu menguraikan
jenis-jenis penafsiran yang secara garis besar terdiri dari 4 (empat) metode penafsiran yaitu (1) interpretasi
gramatikal, (2) interpretasi sistematis/logis, (3) interpretasi historis, dan (4) interpretasi teleologis/sosiologis.
Dua metode pertama termasuk ke dalam interpretasi restriktif (terbatas) dan dua yang terakhir merupakan
interpretasi ekstensif (luas). Berkenaan dengan definisi dari ‘analogi’, diungkapkan pendapat beberapa ahli.
Sementara itu menurut Moeljatno, analogi artinya adalah perbuatan yang menjadi persoalan tidak bisa
dimasukkan dalam aturan yang ada. Selanjutnya perbuatan itu menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan
perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada, maka perbuatan tadi dapat dikenai aturan
yang ada dengan menggunakan analogi.
Mengenai analogi dalam konteksnya sebagai metode penemuan hukum pidana, ada ahli yang melarang
penggunaannya (antara lain van Bemmelen, Moeljatno, dan Remmelink) dan ada yang membolehkan (Roling,
Pompe, dan Jonkers). Remmelink selaku ahli yang melarang penggunaan analogi berargumen bahwa analogi
akan bertentangan dengan kepastian hukum. Sementara itu W.P.J. Pompe sebagai ahli yang membolehkan
digunakannya analogi memberi batasannya, yaitu hanya digunakan ketika adanya kekosongan hukum karena
pembuat undang-undang lupa memikirkan atau tidak dapat memikirkan (kasus yang muncul seiring
perkembangan zaman). Ada pula ahli yang melarang analogi tetapi membolehkan penafsiran ekstensif.
Kontroversi mengenai penggunaan analogi ini sudah berlangsung sejak akhir abad XIX.
Argumentasi penulis dalam memandang situasi kontroversial tersebut adalah bahwa asas penafsiran
dalam hukum pidana, empat dari tujuh asas yang ada lebih mengarah pada aturan-aturan yang tidak tertulis
dan berdasarkan perkembangan masyarakat. Dalam konteks yang demikian, sulit untuk menyebut bahwa
penemuan hukum dibatasi secara ketat oleh teks hukum sebagaimana dikehendaki asas legalitas. Selain itu,
dari berbagai yurisprudensi dapat disimpulkan bahwa dalam penafsiran hukum pidana diprioritaskan interpretasi
teleologis dan historis yang termasuk interpretasi ekstensif, baru kemudian menggunakan interpretasi
gramatikal dan sistematis yang merupakan interpretasi restriktif. Jadi sifat ekstensif lebih dikedepankan dalam
penafsiran hukum pidana. Terakhir, dari berbagai pendapat yang dikemukakan tidak ada perbedaan pokok
antara penafsiran ekstensif dengan analogi.
Pada bagian akhir buku, penulis memilih meyakini pendapat yang menyamakan antara analogi dengan
penafsiran ekstensif, untuk kemudian memperbolehkan digunakannya analogi, karena sudah terjadi pergeseran
tujuan hukum pidana yang tadinya melindungi individu (diejawantahkan dengan dijunjungnya asas legalitas)
menjadi melindungi masyarakat dari kejahatan (suatu perbuatan jahat harus bisa dihukum dengan hukum
pidana).
Kata kunci: penafsiran, analogi, legalitas, penemuan hukum
2

Anda mungkin juga menyukai