Anda di halaman 1dari 626

101.

Liken Simpleks Kronikus


• Nama lain: Liken Vidal atau neurodermatitis
sirkumskripta
• Penebalan kulit akibat gesekan atau garukan berulang
• Gatal (dengan atau tanpa penyebab patologis kulit) 
garukan berulang  trauma mekanis  likenifikasi
• Daerah
– Kulit kepala, belakang leher, tungkai atas atau bawah, vulva
dan skrotum
• Etiologi
– Rangsangan pruritogenik dari alergi atau stress

Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI
Gambaran klinis

Plak eritematosa, skuama, dengan likenifikasi

Tatalaksana
• Menghindari menggaruk lesi
• Antipruritus: antihistamin H1 generasi 1 efek sedatif agar mengurangi
sifat menggaruk
• Kortikosteroid potensi kuat
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI
Steroid Topikal
• Memiliki sifat anti inflamasi, anti
alergi, anti pruritus, anti mitotik, dan
vasokonstriksi
• Diklasifikasikan berdasarkan
kemampuan vasokonstriksi menjadi 7
kelas berdasarkan USA system 
kelas VII adalah yang paling lemah
dan paling ringan
• UK, Jerman, Belanda, dan New
Zealand memakai sistem 4 kelas 
untuk UK & New Zealand Kelas I
paling potent; sedangkan Belanda &
Jerman sebaliknya, kelas IV paling
potent
• Berdasarkan Buku Ajar Kulit • Berdasarkan WHO
kelamin FKUI, 2015 – Kelas I : Ultra High
– Kelas I : Super poten – Kelas II: High
– Kelas II: Potensi tinggi – Kelas III : High
– Kelas III : Potensi tinggi – Kelas IV : Medium
– Kelas IV : Potensi medium – Kelas V: Medium
– Kelas V: Potensi medium – Kelas VI : Low
– Kelas VI : Potensi medium – Kelas VII : Low
– Kelas VII : Potensi lemah
• Berdasarkan Journal of American
• Berdasarkan AAFP (American Academy of Dermatology, 2006.
Academy of Family Physicians) – Kelas I : Ultra High
– Kelas I : Ultra High – Kelas II: High
– Kelas II: High – Kelas III : Medium to High/ upper
– Kelas III : medium to high mid strength
– Kelas IV : Medium – Kelas IV : Medium
– Kelas V: Medium – Kelas V: Medium to low/ Lower mid
– Kelas VI : Low strength
– Kelas VII : Least potent – Kelas VI : Low
– Kelas VII : Least potent
102. Pitiriasis Rosea
• Etiologi: tidak jelas, diduga virus karena self limiting
• Gejala klinis:
1. Gatal ringan
2. Pitiriasis (skuama halus)
3. Lesi khas
Lesi yang pertama muncul:
Herald Patch
• Lokasi di badan
• Soliter
• Oval dan annular
• Diameter ± 3 cm
• Lesi eritema dan skuama halus di pinggirnya

• Gambaran lesi seperti lesi pertama


hanya lebih kecil dan semakin banyak
• Susunan sejajar costae seperti pohon
cemara terbalik
• Timbul serentak atau dalam beberapa
hari 4-10 hari setelah lesi pertama:
• Predileksi: badan, lengan atas
proksimal, dan paha atasseperti
Pohon cemara terbalik
pakaian renang wanita jaman dahulu Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI
Ptiriasis Rosea: Pemeriksaan dan Tatalaksana
• Pemeriksaan
– Laju endap darah >>
– KOH  untuk membedakan dgn
tinea korporis
– VDRL untuk membedakan dengan
sifilis II

• Tatalaksana
– Suportif
• Zinc oxide, antihistamin oral
dan kalamin untuk pruritus
– Steroid topikal/oral (kurang
direkomendasikan)  lesi luas
– UV B fototerapi untuk pruritus

Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
http://emedicine.medscape.com/article/1107532-treatment#d8
103. Dermatitis statis
• Salah satu jenis dermatitis sirkultorius
• Paling sering: dermatitis varikosum ec insufisiensi vena
• Gejala:
- Pruritus, edema pada kaki  hemosiderin keluar dari pemb.
Darah bercak hiperpigmentasi dermatitis
- Bila infeksi sekunder indurasi subkutan
- Dapat timbul ulkus
• Terapi
- Utk gangguan sirkulasi: elevasi tungkai dan
- pembalut elastis
- Lesi eksudatif: kompres PK 1/10.000
- Lesi kering: kortikosteroid topikal
- Infeksi sekunder: antibiotik sistemik
Ulkus pada Tungkai Bawah
Penyakit Keterangan

Ektima • Infeksi pioderma pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi
• Ulkus superfisial dengan gambaran “punched out appearance” atau berbentuk cawan dengan
dasar merah dan tepi meninggi

Ulkus • Ulkus tropikum adalah ulkus yang cepat berkembang dan nyeri, biasanya pada tungkai
tropikum bawah, dan lebih sering ditemukan pada anak-anak kurang gizi di daerah tropik
• Bentuk ulkus lonjong atau bulat, tertutup oleh jaringan nekrotik dan secret serosanguinolen
yang banyak dan meleleh

Ulkus • Dasar ulkus terlihat jaringan granulasi atau bahan fibrosa. Dapat juga terlihat eksudat yang
Varikosum banyak. Kulit sekitarnya tampak merah kecoklatan akibat hemosiderin
/stasis • Kulit sekitar luka mengalami indurasi, mengkilat, dan fibrotik
vena • Daerah predileksi yaitu daerah antara maleolus dan betis, tetapi cenderung timbul di sekitar
maleolus medialis
Ulkus varikosum
• Sinonim: ulkus venosum
• Ulkus pada tungkai bawah akibat gangguan aliran darah
vena
• Etiologi: kelainan vaskular pada vena berupa trombosis,
tromboflebitis, kelainan katup vena, dan kelainan lain yang
menyebabkan obstruksi pada vena sehingga terjadi
trombosis (tumor, kehamilan, dsb)
• Predileksi: proksimal dari malleolus medialis, yaitu area
sekitar vena safena magna, atau di malleolus lateral di
area sekitar vena safena parva
• Soliter, dangkal, tertutup jaringan nekrotik, tepi tidak
meninggi, jaringan sekitar hiperpigmentasi
Patogenesis dan patofisiologi
Tromboflebitis kerusakan katup vena edema

Peningkatan tekanan kapiler vena

Jaringan fibrotik

Eritrosit keluar

Iskemia

Purpura
Nekrotik

Berubah menjadi kehitaman


Ulkus
Ulkus Venosum
Tatalaksana
• Elevasi tungkai saat berbaring mengurangi hambatan
pada aliran vena, meningkatkan venous return
• Varises di proksimal ulksudiberi bebat
elastismenunjang kerja otot tungkai bawah untuk
memompa darah ke arah jantung
• Jika terdapat infeksi sekunder diberi kompres antiseptik:
 Gram positifpermanganas kalikus 1/5000
 Gram negatiflarutan perak nitrat 0,5% atau 0,25%
 Jika sudah keringgentamisin atau neomisin topikal
 Antibiotik oral harus diberikan
Patogenesis dan patofisiologi
Penyempitan lumen karena aterosklerosis atau lainnya

Jika penyebabnya
aterosklerosis
- Ulkus terdapat dekat
Hipoksia jaringan tonjolan tulang

- Kulit tipis, kering, bersisik, dan sianotik


- Bulu berkurang
- Kuku jari menebal dan distrofik

Jika penyebabnya hipertensi


Mekanisme proteksi menurun - Paling sering di lateral
Trauma pergelangan kaki

Ulkus
EVALUATION

CHARACTERISTICS VENOUS ARTERIAL


APPEARANCE Irregular, dark pigmentation, Irregular, smooth edge, minimum
sometimes fibrotic, granulation, to no granulation, usually deep
usually shallow. with a punched out appearance.

LOCATION Distal lower leg, medial malleolus. Distal lower leg/feet/toes, lateral
malleolus, anterior tibial area.

PEDAL PULSES Usually present. May be diminished or absent.

PAIN May be present. Usually improves Usually painful especially with leg
with leg elevation. elevation.

DRAINAGE Moderate to large. Minimal to none.

TEMPERATURE May be increased. May be decreased.

SKIN CHANGES Flaking, dry, hyperpigmented. Thin, shiny, hairless, yellow nails.
3.
104. Keganasan Pada Kulit
Karsinoma Sel Basal Karsinoma Sel Skuamosa
• Berasal dari sel epidermal • Berasal dari sel epidermis.
pluripoten. Faktor predisposisi: Etiologi: sinar matahari, genetik,
lingkungan (radiasi, arsen, paparan herediter, arsen, radiasi,
sinar matahari, trauma, ulkus hidrokarbon, ulkus sikatrik
sikatriks), genetik • Usia tersering 40-50 tahun
• Usia di atas 40 tahun • Dapat bentuk intraepidermal
• Biasanya di daerah berambut, • Dapat bentuk invasif: mula-mula
invasif, jarang metastasis berbentuk nodus keras, licin,
• Bentuk paling sering adalah kemudian berkembang menjadi
nodulus: menyerupai kutil, tidak verukosa/papiloma. Fase lanjut
berambut, berwarna coklat/hitam, tumor menjadi keras, bertambah
berkilat (pearly), bila melebar besar, invasif, dapat terjadi
pinggirannya meninggi di tengah ulserasi. Metastasis biasanya
menjadi ulkus (ulcus rodent) melalui KGB.
kadang disertai talangiektasis,
teraba keras

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Melanoma Maligna SCC

• Etiologi
• Belum pasti. Mungkin faktor
herediter atau iritasi berulang
pada tahi lalat
• Usia 30-60 tahun
• Bentuk: BCC
• Superfisial: Bercak dengan
warna bervariasi, tidak teratur,
berbatas tegas, sedikit
penonjolan
• Nodular: nodus berwarna biru
kehitaman dengan batas tegas
• Lentigo melanoma maligna:
plakat berbatas tegas, coklat
kehitaman, meliputi muka
• Prognosis buruk MM
Melanoma Maligna
Definisi
Keganasan kulit yg berasal dari
melanosit.

Epidemiologi
Umum terjadi pada kulit putih
17.2/100.000

Faktor risiko
Kulit putih, red hair, light eyes, dan
riwayat keluarga.

Weller R, Hunter H, Mann M. Clinical Dermatology. 5th edition. Wiley. 2015. Oxford
Melanoma Maligna
Klasifikasi
1. Superficial spreading melanoma (70%)  sering terjadi pd
ekstremitas bagian bawah, lengan dan punggung atas, warna
dapat kombinasi, hitam atau coklat.

2. Nodular melanoma (15%-20%)  sering terjadi pd bagian tubuh


yg sering terpapar matahari, warna coklat atau coklat
kemerahan, dapat berbentuk kubah atau bertangkai.

3. Lentigo maligna melanoma (5%-10%)  terjadi pd bagian yg


terekspos terus menerus dgn matahari sering berawal dari
lentigo maligna atau melanoma in situ. Warna lebih uniform
dibanding superficial spreading melanoma.

4. Acral lentiginous melanoma (7%-10%) sering terjadi pada


telapak kaki, mukosa subungual dan telapak tangan.

Ferri’s best test: a practical guide to clinical laboratory medicine and diagnostic imaging, ed 3, Philadelphia, 2014, Elsevier
Melanoma Maligna

Pemeriksaan
• Dermoskopi
• Biopsi Kulit

Tatalaksana
• Eksisi
• Eksisi KGB
• Adjuvant terapi 
interferon alfa

Brown RG, Harman K, Johnston G. Dermatology Lecture Notes. 11th edition. Willey Blackwell. 2017. Oxford
Malignant melanoma
• Predominance of single cell
melanocytes over nests of
• melanocytes along the
dermoepidermal junction
• Pagetoid (upward)
migration of single cell
melanocytes
• Confluent spread of
melanocytes
• Cellular dyscohesion
• Lack of uniform melanin
distribution
Hystology Basal Cell Carcinoma

Palisade = “pagar”
Squamous Cell Carcinoma
• Proliferation of
anastomosing nests,
sheets and strands of
atypical keratinocytes
• originating in the
epidermis and
infiltrating into the
dermis
• Epithelial pearl/keratin
pearl
105. Entamoeba Histolytica
• Kista matang dikeluarkan bersama tinja
penderita (berinti empat)  kontaminasi
pada makanan, air, atau tangan  ekskistasi
(3) terjadi dalam usus dan berbentuk
tropozoit (4)  bermigrasi ke usus
besar. Tropozoit memperbanyak diri:
membelah diri (binary fission) & menjadi
kista (5), menumpang dalam tinja.

• Kista dapat bertahan beberapa hari -


berminggu-minggu pada keadaan luar

• Dalam banyak kasus, tropozoit akan kembali


berkembang menuju lumen usus (A:
noninvasive infection) pada carier yang
asimtomatik, kista ada dalam
tinjanya. Pasien yang diinfeksi oleh tropozoit
di dalam mukosa ususnya (B: intestinal
disease), atau, menuju aliran darah, secara
ekstra intestinal menuju hati, otak, dan paru
(C: extraintestinal disease), dengan berbagai
kelainan patologik.
Morfologi Entamoeba histolytica memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoitnya
memiliki ciri-ciri morfologi :
– Ukuran 10 – 60 μm
– Sitoplasma bergranular dan mengandung eritrosit, yang merupakan penanda
penting untuk diagnosisnya
– Terdapat satu buah inti entamoeba, ditandai dengan karyosom padat yang
terletak di tengah inti, serta kromatin yang tersebar di pinggiran inti
– Bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar, disebut
pseudopodia.
Amoebiasis: Diagnosis
• Laboratorium
– Leukositosis tanpa eosinofilia (80%)
– Peningkatan alkaline phosphatase (80%)
– Peningkatan kadar transaminase dan bilirubin
– Penurunan albumin dan anemia

• Mikroskopik  terlampir

• Feses: adanya bentuk tropozoit dan kista

• Pewarnaan Lugol pada jaringan terinfeksi

• USG
– Abses hati amoeba: lesi bulat hipoekoik soliter di aspek
posterior lobus kanan hati (70-80%)
http://emedicine.medscape.com/article/212029-workup#c7
Amoebiasis: Gambaran Mikroskopik

Trofozoit dari
Entamoeba histolytica

Kista Imatur Entamoeba histolytica


(kista matur memiliki 4 nuklei)

Sel darah
Central
merah
Karyosome
Amoebiasis: Stadium Kista

Uninucleated cyst Binucleated cyst

Quadrinucleated cyst
Terapi Entamoeba Hystolitica
• Metronidazole (DOC)
– 3x500-750 mg selama 5-10 hari

• Tinidazole
– Dewasa 2 gr / hari selama 3 hari dalam dosis
terbagi

• Emetin hidroklorida
– Dewasa: maks. 65 mg / hari
– Anak dibawah 8 tahun: 10 mg / hari
– Lama pengobatan: 4-6 hari

• Klorokuin
– Dewasa 1 gr/ hari selama 2 hari, kemudian 500
mg sehari selama 2-3 minggu

• Antibiotika: Tetrasiklin & Eritromisin


– Dosis: 25 mg/kgBB/hari selama 5 hari dalam
dosis terbagi
Amoebiasis vs Infeksi Pencernaan Lain
P E N YA K I T ETIOLOGI GEJALA KLINIS T E L U R / K I S TA
Psedoupodium
Entamoeba
AMOEBIASIS Diare berdarah, nyeri perut, tenesmus dengan sel darah
histolytica
didalamnya
Anemia (hidup di sekum- colon Tempayan dengan
Tricuris
TRICURIASIS asendens) gejala diare-disentri atau penonjolan pada
trichuria
tanpa gejala kedua kutubnya
Berdinding tebal,
Balantidium
BALANTIDIASIS Sindroma disentri bervakuola,
coli
makronukleus
Telur dibungkus
T. Solium/ T. Nyeri ulu hati, mual, muntah,
TAENIASIS embriofor yang
Saginata mencret, obstipasi dan pusing
bergaris radial

Aktif: berflagel, In
Giardia aktif: oval, dinding
GIARDIASIS Diarrhea, Malodorous, greasy stools
intestinalis tipis dan kuat, berinti
2-4
106. Morbus Hansen
• Pemeriksaan fisik:
- Sensibilitas kulit: hypoesthesia
- Pemeriksaan saraf tepi: penebalan N.
fascialis, N. auricularis magnus, N. radialis, N.
medianus, N. peroneus communis, N.
ulnaris, N. tibialis posterior
- Foot drop atau clawed hands
- Wasting dan kelemahan otot
- Ulserasi yang tidak nyeri pada tungkai atas
atau bawah
- Lagophtalmus, iridocyclitis, ulserasi kornea,
dan/atau katarak sekunder akibat kerusakan
saraf atau invasi bakteri secara langsung,
bahkan hingga amputasi
Claw hands
Pemeriksaan penunjang
Histopatologi
• Histiosit: makrofag di kulit, sel virchow/sel lepra/foamy cell
• Granuloma: akumulasi makrofag dan derivatnya

Bakteriologi

• Pemeriksaan BTA dari kerokan kulit


atau sekret mukosa hidung
• Pemeriksaan kerokan kuliit pada 4-6
tempat, yaitu kedua cuping telinga dan
4 tempat dengan lesi paling aktif
• Pemeriksaan BTA dihitung indeks
Imunologi
bakteri dan indeks morfologi • Immunoglobulin: IgM
dan IgG
• Lepromin skin test
Klasifikasi Kusta tipe MB berdasarkan Jopling
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL) Mid Borderline (BB)

Lesi

Bentuk Makula Makula Plakat


Infiltrat difus Plakat Dome shape (kubah)
Papul Papul Punched out
Nodul
Jumlah Tidak terhitung, tidak Sukar dihitung, masih ada Dapat dihitung, kulit sehat
ada kulit sehat kulit sehat jelas masih ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Jelas

BTA

Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif


Klasifikasi Kusta tipe PB berdasarkan Jopling
Sifat Tuberculoid (TT) Borderline Tuberculoid (BT) Intermediate (I)
Lesi
Bentuk Makula dibatasi Makula dibatasi infiltrat atau Hanya infiltrat
infiltrat infiltrat saja
Jumlah Satu atau beberapa Beberapa atau satu dengan lesi Satu atau beberapa
satelit
Distribusi Terlokalisir dan Asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Kering, berskuama Kering, skuama Fapat halus agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Bisa jelas/tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
BTA
Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ Negatif
negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negatif
Tipe Kusta Menurut WHO
Flowchart of Diagnosis & Classification
Pengobatan Kusta
Reaksi Kusta
• Interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik

• Dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama


gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat
menimbulkan kecacatan pada pasien kusta

• Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat


pengobatan, pada saat pengobatan, maupun sesudah
pengobatan  paling sering terjadi pada 6 bulan sampai
satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.
Morbus Hansen
REAKSI LESI
• Pada tipe MB (BL,LL)
Eritema nodosum • Nodus eritema dan nyeri
leprosum (reaksi kusta • Predileksi : lengan dan tungkai
tipe 2) • Tidak terjadi perubahan tipe
• Hipersensitivitas tipe 3
• Pada tipe borderline (Li,BL,BB,BT,Ti)
Reaksi • Terjadi perubahan tipe
reversal/borderline/up • Lesi menjadi lebih aktif/timbul lesi baru
grading (reaksi kusta • Peradangan pada saraf dan kulit
tipe 1) • Pada pengobatan 6 bulan pertama
• Hipersensitivitas tipe 4

• Reaksi kusta yang sangat berat


• Pada tipe lepromatosa non-nodular difus
Fenomena lucio • Plak/infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, nyeri (+).
Jika lebih berat dapat disertai purpura dan bula
• Dimulai dari ekstremitas lalu menyebar ke seluruh tubuh

Pure neuritis leprosy Jenis lepra yang gejalanya berupa neuritis saja
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI hal 82-83
Faktor Pencetus Reaksi Kusta

Buku Panduan Praktik Klinis. IDI


Perbedaan Reaksi Kusta 1 dan 2

Buku Panduan Praktik Klinis. IDI


Reaksi Kusta: Klasifikasi (Terbaru)
ERITEMA NODOSUM LEPROSUM REAKSI REVERSAL/ REAKSI
(ENL) UPGRADING
• Respon Imun humoral • Reaksi hipersensitivitas tipe
(kompleks imun) lambat
• Tidak terjadi perubahan tipe • Reaksi borderline (dapat
• Klinis berubah tipe)
– Nodus eritema (penanda)
• Klinis
– Nyeri (predileksi lengan &
tungkai) – Sebagian/seluruh lesi yang
– Gejala konstitusi ringan sd telah ada bertambah aktif dan/
berat timbul lesi baru dalam waktu
– Dapat mengenai organ lain relatif singkat
(iridosiklitis, neuritis akut, – Dapat disertai neuritis akut
artritis, limfadenitis dll)
• Pada pengobatan 6 bulan
• Pada pengobatan tahun kedua pertama

Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Kusta: Tipe 1
(Reaksi Reversal)

• Rekasi hipersensitivitas tipe IV


(Delayed Type Hypersensitivity Reaction)

• Terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL)

• Biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat


pengobatan

• Patofisiologi
– Terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman
kusta dikulit dan syaraf  berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati
akibat pengobatan yang diberikan
Reaksi Kusta: Tipe 2

• Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)

• Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III

• Terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL)



• Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL

• Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul
pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT)

• Patofisiologi: Manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada


pembuluh darah.
Reaksi Kusta: Pengobatan
ERITEMA NODOSUM LEPROSUM REAKSI REVERSAL/ REAKSI
(ENL) UPGRADING
• Kortikosteroid • Tanpa neuritis akut
– Prednison 15-30 mg/hari – Tidak ada pengobatan selain
(dapat timbul ketergantungan)
MDT

• Klofazimin
– 200-300 mg/hari • Dengan neuritis akut
– Khasiat lebih lambat dari – Prednison 40 mg/hari  lihat
kortikosteroid skema
– Dapat melepaskan
ketergantungan steroid
– Efek samping: kulit berwarna
merah kecoklatan (reversible)

Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Reversal: Pengobatan
Minggu Pemberian Prednison Dosis Harian yang Dianjurkan
• Minggu 1-2 40 mg
• Minggu 3-4 30 mg
• Minggu 5-6 20 mg
• Minggu 7-8 15 mg
• Minggu 9-10 10 mg
• Minggu 11-12 5 mg

• Pemberian Lampren
– 300 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 200 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 100 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 50 mg/hari bila pasien masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila
penderita sudah dinyatakan RFT

Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
E.N.L

Lucio’s phenomenone
Reversal reaction of leprosy
107. Nevus Pigmentosus
• Etiologi
– Sel-sel nevus kulit berasal dari neural crest, sel-sel ini membentuk sarang-
sarang kecil pada lapisan sel basal epidermis dan pada zona taut
dermoepidermal. Sel-sel ini membelah dan masuk dermis dan membentuk
sarang- sarang pada dermis

• Diagnosis Banding
– Melanoma maligma, nevus biru, nevus sel epiteloid dan atau nevus spindel,
KSB berpigmen, Histiositoma, Keratosis seboroik berpigmen

• Pengobatan
• Umumnya tidak diperlukan pengobatan
• Bila menimbulkan masalah secara kosmetik,
atau sering terjadi iritasi karena gesekan
pakaian, dapat dilakukan bedah eksisi
• Bila ada kecurigaan ke arah keganasan
dapat dilakukan eksisi dengan pemeriksaan
histopatologi
Nevus Pigmentosus Kongenital
Nevus: Pola Dermatoskopik Melanosit
Melanoma Maligna
• Etiologi
• Belum pasti. Mungkin faktor
herediter atau iritasi berulang
pada tahi lalat
• Usia 30-60 tahun
• Bentuk:
• Superfisial: Bercak dengan
warna bervariasi, tidak teratur,
berbatas tegas, sedikit
penonjolan
• Nodular: nodus berwarna biru
kehitaman dengan batas tegas
• Lentigo melanoma maligna:
plakat berbatas tegas, coklat
kehitaman, meliputi muka
• Prognosis buruk MM
108. Giardiasis
Anerior membulat

Trofozoit
Kista

Trofozoit:
- Pear shaped
Flagel Inti - Sepasang
nukleusseperti mata
- Pada bagian ventral
Posterior tajam terdapat alat
isapuntuk menempel
di mukosa usus
Giardiasis
• Etiologi: Giardia interstinalisdikenal sebagai Giardia
lamblia (protozoa)
Akut: berbau, mual, distensi
• Gejala klinis: abdomen, demam, tidak ada darah
dalam tinja
 Dapat asimptomatik
 Diare bisa menjadi akut/kronik
Ekskresi lemak meningkatsteatorrhea Kronik: nyeri dan distensi
• Terapi: abdomen, tinja berlendir, dan BB
turun
DOC: metronidazole 2x500 mg selama 5-7hari
Alternatif: Tinidazole 2 gr PO SD (anak: 50 mg/kgBB
PO SD)
109. Gonorrhea
• Etiologi
– Neisseria gonnorrhoeae

• Jenis Infeksi
– Pada Pria
• Urethritis, tysonitis, paraurethritis, littritis, cowperitis, prostatitis,
veikulitis, funikulitis, epididimitis, trigonitis

– Pada Wanita
• Urethritis, paraurethritis, servisitis, bartholinitis, salpingitis, proktitis,
orofaringitis, konjungtivitis infant, gonorea diseminata

– Gambaran urethritis
• Gatal, panas di uretra distal, disusul disuria, polakisuria, keluar duh kadang
disertai darah, nyeri saat ereksi
Urethritis GO
• Pemeriksaan
– Sediaan langsung: diplokokus gram
negatif
– Kultur: Agar Thayer Martin

• Tatalaksana (based on 2015 STD Treatment Guidelines)


– Uncomplicated Gonorrhea
– DOC: Ceftriaxone 250 mg IM SD + Azitromisin 1 gr
oral SD
– Alternatif: Cefixime 400 mg oral SD + Azitromisin 1 gr
oral SD

2015 STD Treatment Guideline


110. Ulkus Pada IMS
Ulkus Durum Ulkus Mole (Chancroid)
• Treponema pallidum (spiral) • Haemophilus ducreyi
• Dasar bersih (kokobasil, gram negatif)
• Tidak nyeri (indolen) • Dasar kotor, mudah berdarah
• Sekitar ulkus keras (indurasi) • Nyeri tekan
• Soliter • Lunak
• Multipel
• Tepi ulkus menggaung
Ulkus Mole (Chancroid)
Ulkus Mole: Penyakit infeksi pada alat kelamin yang akut,
setempat disebabkan oleh Haemophillus ducreyi. Ulkus: kecil,
lunak, tidak ada indurasi, bergaung, kotor (tertutup jaringan
nekrotik dan granulasi)
PATOGENESIS :

• Masa inkubasi : 1-3 hari


• Port d’entrée  merah  papul  pustula  pecah  ulkus
• Ulkus :
 Multiple
 Tidak teratur
 Dinding bergaung
 Indurasi +
 Nyeri (dolen)
 Kotor
2015 STD Treatment Guideline CDC
Prinsip diagnosis
• Diagnosis definitif adalah menemukan H. ducrei
dengan medium kultur spesifikTidak tersedia di
semua negara, sensitivitas <80%kurang efisien
• Harus memenuhi semua kriteria di bawah ini:
1. Adanya 1 atau lebih ulkus genital yang nyeri
2. Limfadenopati regional tidak wajib ada
3. Terbukti tidak ada syphilis melalui
pemeriksaan lapang pandang gelap
4. HSV negatif

2015 STD Treatment Guideline CDC


Ulkus Mole
Gambaran mikroskopis

2015 STD Treatment Guideline CDC


Ulkus Mole
Gambaran mikroskopis
• Kokobasil gram negatif
• School of fish

Seperti sekelompok ikan berenang


Tatalaksana Chancroid
Based on 2015 STD Treatment Guidelines

• Rekomendasi:
 First line
– Azitromycin 1 gr single dose PO, atau
– Seftriakson 250 mg single dose IMterutama di anak
 Second Line
– Siprofloksasin 2x500 mg selama 3 hari, atau
– Eritromisin 3x500 mg selama 7 hari

• Ulkus akan mulai mengering 3-7 hari setelah pengobatan, gejala


akan hilang total max. 2 minggu setelah terapi

2015 STD Treatment Guideline CDC


2017 European Guideline for Management of Chancroid
111. Malaria
• Trias Malaria:
- Demam
- Menggigil
- Sakit kepala
• 2016 Clinical Guideline
for Malaria
- Demam ≥ 37.5oC
- Khusus anak: telapak tangan
pucat atau Hb < 8 g/dl
- Tidak ada kombinasi gejala
yang bisa menegakkan kasus
malaria
- Semua kasus suspek harus test
apusan darah tepi atau rapid
test
Malaria
Klasifikasi Malaria
Jenis Malaria Etiologi Keterangan
Malaria Falciparum / Plasmodium falciparum Periode tidak panas tiap 12
malaria tropikana jam, demam muncul tiap 24,
36 atau 48 jam
Malaria ovale Plasmodium ovale • Terutama di daerah Afrika,
sifatnya ringan dan self
limiting
• Tidak panas tiap 36 jam,
demam muncul tiap 48 jam
Malaria vivax / tertiana Plasmodium vivax Tidak panas tiap 36 jam,
demam muncul tiap 48 jam

Malaria malariae / Plasmodium malariae Tidak panas selama 60 jam,


quartana demam muncul tiap 72 jam
Malaria knowlesi Plasmodium knowlesi Parasit malaria terutama di
monyet, dapat menginfeksi
manusia juga
P. Vivax or P. Ovale?
• Eritrosit yang diinfeksi oleh P. vivax
dapat membesar hingga 11/2 kali
ukuran normal dan bentuknya
mengalami distorsi
• Eritrosit yang diinfeksi ovale hanya Eritrosit normal
dapat membesar hingga 11/4 kali
ukuran normal
• Akan tetapi gambaran multi infeksi
dalam satu eritrosit hanya ditemukan
di infeksi P. ovale, pada infeksi P.
vivax tidak pernah ada
• Selain itu, dari epidemiologinya
infeksi P. vivax lebih banyak daripada
P. ovale
112. Kandidiosis Kutis
• Candidiosis: penyakit yang disebabkan oleh genus candida
• Klasifikasi:
- Kandidiosis mukosa: kandidiosis oral, perleche,
vulvovaginitis, balanitis, mukokutan kronik,
bronkopulmonar
- Kandidiosis kutis: lokalisata, generalisata, paronikia dan
onikomikosis, dan granulomatosa
- Kandidiosis sistemik: endokarditis, meningitis,
pyelonefritis, septikemia
- Reaksi id (kandidid)/autoeczematization: reaksi akut
generalisat pada kulit akibat multifaktorial

Buku Ajar Kulit dan Kelamin FKUI 2015


Kandidiosis Kutis

• Faktor predisposisi
- Endogen: perubahan fisiologik (kehamilan,
obesitas, iatrogenik, DM, penyakit kronik),
usia (orang tua dan bayi), imunologik
- Eksogen: iklim panas, kelembapan tinggi,
kebiasaan berendam kaki, kontak dengan
penderita

Buku Ajar Kulit dan Kelamin FKUI 2015


Candida albicans: Mikroskopik
Kandidiosis Kutis
• Bentuk klinis:
- Kandidiosis intertriginosa:
- Kandidiosis perianal
- Kandidiosis kutis generalisata

• Pemeriksaan diagnostik: KOH (ditemukan sel ragi,


blastospora, atau hifa semu), kultur agar Saboraud
• Tatalaksana:
- menghindari faktor predisposisi
- Antifungal: group azol oral (ketokonazole, fluconazole),
topikal (miconazole)
Buku Ajar Kulit dan Kelamin FKUI 2015
ILMU
KESEHATAN
ANAK
113. Cerebral Palsy
• Cerebral palsy pada dasarnya adalah gangguan terhadap pergerakan dan
postur tubuh; yang mencakup gangguan pengontrolan gerakan akibat
adanya lesi atau kelainan terhadap perkembangan otak di awal tahap
kehidupan dengan latar belakang penyakit yang tidak progresif.
• Definisi dari cerebral palsy terdiri dari beberapa kondisi, yaitu: lokasi lesi
terdapat di otak, lesi permanen dan tidak progresif meski gambaran
kliniknya dapat berubah seiring waktu, lesi muncul di awal kehidupan dan
mengganggu perkembangan otak yang normal, gambaran kliniknya di
dominasi oleh gangguan gerak dan postur dan gangguan kemampuan
pasien untuk menggunakan ototnya secara sadar.
• Mungkin juga diiringi komplikasi lain dari gangguan neurologis dan tanda
maupun gejala mental.
• CP is caused by a broad group of developmental, genetic, metabolic,
ischemic, infectious, and other acquired etiologies that produce a
common group of neurologic phenotypes
Cerebral Palsy Risk factor
Klasifikasi palsi cerebral:
• Tipe Spastik (jenis paling banyak)
– Lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada traktus
kortikospinal.
– Terjadi peningkatan konstan pada tonus otot, peningkatan reflex
otot kadang di sertai klonus (reflex peregangan otot yang
meningkat) dan tanda Babinski positif.
• Tipe Diskinetik: akibat lesi pada basal ganglia atau batang
otak. Terdiri dari distonia dan koreaatetosis. Terkait dengan
gerakan involunter.
• Tipe Ataksik terdiri dari tremor, langkah yang goyah dengan
kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan
gerakan abnormal. lokasi lesi utama yang menyebabkan
kelainan ini adalah cerebellum.
• Tipe Campuran merupakan gabungan dari 2 jenis (biasanya
tipe spastik dan koreoatetoid)
Clinical Manifestation
• CP is generally divided into several major motor syndromes
that differ according to the pattern of neurologic involvement,
neuropathology, and etiology
DDx: Acute dystonia
• Gejala ekstrapiramidal akibat
obat-obatan neuroleptic
• Kondisi ini reversibel
• Karakteristiknya berupa
kontraksi involunter atau
spasme intermiten pada otot-
otot wajah, leher, dada,
pelvis, ektremitas, hingga
laring.
DDx: Myelodysplasia
• Kelainan hematopoiesis yang sering dijumpai pada usia
lanjut dengan karakteristik utama berupa sitopenia
• Sitopenia dapat terjadi pada 1 atau hingga 3 progenitor
myeloid, yaitu erythrocytic, granulocytic, megakaryocytic
• Gejala:
Anemia: lemas, mudah lelah
CHF pada mereka yang anemia berat
Ptekiae, ekimosis, dan epistaksis
• Pemeriksaan darah dapat menunjukkan satu sitopenia
(anemia, thrombositopenia, or neutropenia) pada fase
awal, bisitopenia (2 deficient cell lines), atau pansitopenia
(3 deficient cell lines) pada stadium lebih lanjut.
DDx: Spinal muscular atrophy
• Kelainan yang diturunkan secara autosomal resesif berupa kelemahan
progresif dari LMN
• Gejala utamanya berupa kelemahan and muscle wasting ekstremitas,
pernapasan, dan bulbar atau brainstem muscles
• Terdapat 4 tipe, yaitu
SMA type I - Acute infantile or Werdnig-Hoffman disease
 Severe, progressive muscle weakness and flaccid or reduced muscle
tone (hypotonia)
 Bulbar dysfunction includes poor suck ability, reduced swallowing,
and respiratory failure
SMA type II - Chronic infantile form
 Developmental motor delay
 SMA type III - Chronic juvenile or Kugelberg-Welander syndrome
 Slowly progressive proximal weakness
SMA type IV - Adult-onset form
 Seperti tipe 3 namun onsetnya di usia 30an
DDx: Muscular dystrophy
• Kelemahan dan penurunan massa otot secara
progresif tanpa adanya kelainan pada sistem saraf
pusat maupun perifer
• Etiologinya adalah kelainan genetik yang mengkode
dystrophin
• Dystrophin berperan untuk stabilisasi sarkolema,
kelainan pada gen yang mengkode dystrophin
menyebabkan gangguan sarkolemma berupa
bocornya komponen intraselular yang mengakibatkan
kematian sel otot secara progresif
• Salah satu bentuk terseringnya adalah Duchenne
Muscular Dystrophy
114. Tertelan Benda Asing (Foreign
Body ingestions)
• Foreign body ingestions (FBIs) in children are
accidental and involve common objects found in
the home environment, such as coins, toys,
jewelry, magnets, and batteries.
• FBIs will be categorized into the following major
groups:
– button batteries (BBs),
– magnets, sharp/pointed objects,
– food impaction, coins/blunt objects, and
superabsorbent objects
Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN
Volume 60, Number 4, April 2015
Anatomi Esofagus
• Dari perjalanannya dari faring menuju gaster,
esofagus melalui tiga kompartemen:
– leher (pars servikalis), berjalan di antara trakea dan
kolumna vertebralis.
– Dada (pars thorakalis), setinggi manubrium sterni
berada di mediastinum posterior mulai di belakang
lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, lalu
membelok ke kanan bawah di samping kanan depan
aorta thorakalis bawah.
– Abdomen (pars abdominalis), masuk ke rongga perut
melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di
kardia lambung, panjang berkisar 2-4 cm
Daerah Penyempitan
• Esofagus mempunyai tiga penyempitan fisiologis
yang menyebabkan benda asing tersangkut di
esofagus.
– Daerah setinggi muskulus krikofaringeal atau setinggi
sfingter faringoesofagus, dimana pertemuan antara
serat otot striata dan otot polos menyebabkan daya
propulsif melemah. (70% kasus)
– Daerah penyempitan kedua disebabkan oleh
persilangan cabang utama bronkus kiri dan arkus
aorta (15% kasus)
– Sekitar 15% di atas sfingter esofagus bagian bawah
atau sfingter esofagogastrik
Ingested Foreign Body
• Symptoms : • Management:
– stridor, pain, – If an object is in the esophagus,
– drooling, fussiness, chest pain, removal is considered
– abdominal pain, fever, mandatory.
– Feeding refusal, – The airway should be protected
with an endotracheal tube
– wheezing, and during removal, particularly
– respiratory distress critical if the patient has been
fasting for <8 hours.
– Depending on the position of
the object and the nil per os
(NPO) status of the patient,
removal by anesthesia with
McGill forceps or by ENT with
a rigid scope may be
alternatives to endoscopic
removal

Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN
Volume 60, Number 4, April 2015
Esophageal Foreign Body
• Plain radiographs are indicated for every patient with a known or
suspected radiopaque foreign body in the oropharynx, esophagus,
stomach, or small intestine.
• Plain radiographs are also mandated for children in whom any ingestion
of a radiopaque foreign body is suspected.
• Keep in mind, however, that in cases of nonradiopaque foreign bodies,
imaging studies rarely have any influence on management, except in
delaying endoscopy or CT scanning.
• In small children, a mouth-to-anus radiograph can be obtained. In older
children and adults, posteroanterior (PA) and lateral chest radiographs
provide better localization.
• Radiopaque objects are easily seen and localized on the radiograph.
• Coins are usually seen in a coronal alignment on anteroposterior (AP), or
frontal, radiographs (examples of a lodged coin are shown in the
radiographs below).
Coin lodged at the level of the
aortic crossover.

Coin (quarter) lodged at the level of the


cricopharyngeus muscle.
Coin lodged at the
lower esophageal
sphincter.
Endoscopy
• Emergent endoscopy is indicated for patients whose airway
is compromised or who show signs of complications.
• Endoscopy is absolutely indicated for foreign bodies that
are sharp, nonradiopaque, or elongated; for multiple
foreign bodies; or for possible esophageal injuries.
• Endoscopy is the most commonly used technique for active
management of impacted esophageal foreign bodies.
• Endoscopy is indicated for patients with foreign bodies in
the stomach or proximal duodenum if the foreign bodies
are larger than 2 cm in diameter or longer than 5-7 cm or
for oddly shaped foreign bodies such as open safety pins.
115. Kejang dan Status Epileptikus pada
Anak
• Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai
definisi status epileptikus (SE) karena International League
Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah
kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode
waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya
kesadaran diantara kejang.
• Kekurangan defnisi menurut ILAE tersebut adalah batasan
lama kejang tersebut berlangsung.
• Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan
batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.
Tatalaksana
• Evaluasi tanda vital serta penilaian airway,
breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-
konvulsan.
• Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan
pada tata laksana SE sangat bervariasi antar
institusi.
Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI 2016
Keterangan
• Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
• Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
• Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
– 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
– 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
– 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
– 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
• Tapering midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
• Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
• Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
Pediatric Weight Estimation Formula

NELSON FORMULA
116. Resusitasi
Neonatus
Rekomendasi utama untuk resusitasi
neonatus:
• Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan
dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan.
• Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian
warna kulit tidak dapat diandalkan.
• Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan
dengan udara dibanding dengan oksigen 100%.
• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara
(blended oxygen , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan
oksimetri.
• Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya
pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban
bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi.
• Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit
untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup
untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat
pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran
(blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi
dimulai dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Teknik Ventilasi dan Kompresi

• Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


• Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
• Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Teknik Ventilasi dan Kompresi

• Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful Resuscitation

• A prompt increase in heart rate remains the most sensitive indicator of


resuscitation efficacy (LOE 55).
• Of the clinical assessments, auscultation of the heart is the most accurate,
with palpation of the umbilical cord less so.
• There is clear evidence that an increase in oxygenation and improvement
in color may take many minutes to achieve, even in uncompromised
babies.
• Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the newly born
to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular and functional
level.
• For this reason color has been removed as an indicator of oxygenation or
resuscitation efficacy.
• Respirations, heart rate, and oxygenation should be reassessed
periodically, and coordinated chest compressions and ventilations should
continue until the spontaneous heart rate is 􏰖 60 per minute

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghentikan resusitasi?

• Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut


jantung, dianggap layak untuk menghentikan
resusitasi jika detak jantung tetap tidak terdeteksi
setelah dilakukan resusitasi selama 10 menit
(kelas IIb, LOE C).
• Keputusan untuk tetap meneruskan usaha
resusitasi bisa dipertimbangkan setelah
memperhatikan beberapa faktor seperti etiologi
dari henti hantung pasien, usia gestasi, adanya
komplikasi, dan pertimbangan dari orangtua
mengenai risiko morbiditas.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
117. Pediatric Aspiration Pneumonia
• Aspiration is defined as the inhalation of either
oropharyngeal or gastric contents into the lower airways,
that is, the act of taking foreign material into the lungs.
• There are four types of aspiration syndromes.
– Aspiration of gastric acid causes a chemical pneumonitis which
has also been called Mendelson's syndrome.
– Aspiration of bacteria from oral and pharyngeal areas causes
aspiration pneumonia.
– Aspiration of oil (eg, mineral oil or vegetable oil) causes
exogenous lipoid pneumonia, an unusual form of pneumonia.
– Aspiration of a foreign body may cause an acute respiratory
emergency and, in some cases, may predispose the patient to
bacterial pneumonia.
Pediatric Airway Foreign Body
• The child may present with persistent or recurrent cough, persistent or
recurrent pneumonia, lung abscess, focal bronchiectasis, or hemoptysis.
• Physical findings include tachypnea, diminished breath sounds, wheezing,
stridor, dyspnea, cyanosis, and suprasternal retractions.
• Absence of breath sounds on auscultation of the chest occurs in 30% to
60% of affected children and is suggestive of total airway obstruction.
• If there is a reliable history for aspiration, the child should be evaluated
further.
• Most foreign bodies aspirated by children are radiolucent.
• Therefore, radiographs primarily are useful for detecting only the indirect
signs of foreign body aspiration, such as air trapping or atelectasis. Routine
diagnostic imaging consists of anteroposterior and lateral chest
radiographs
Radiologic Findings in Aspirated
Foreign Body
• Normal findings
• Air trapping
• Mediastinal shift
• Atelectasis
• Pneumonia
• Lobar collapse
• Consolidation
• Radiopaque foreign body
Pediatric Airway Foreign Body
Complications
• The most common complications among children in whom the diagnosis
was delayed were croup, pneumonia, pneumothorax, atelectasis, stricture,
and perforation (multicenter study, Reilly et. al)
• The pathogenesis of pulmonary infection which is related to either partial
or complete obstruction of the airway that results in retained secretions
and subsequent bacterial overgrowth.
• Consider the diagnosis of foreign body aspiration in all children who have
unexplainable pulmonary pathology, such as persistent lung infections
(recurrent pneumonia or lung abscess), bronchiectasis, or new-onset
asthmatic symptoms.
• In these instances, the use of flexible bronchoscopy may aid in the
diagnosis.
• Less common complications of chronic aspiration of a foreign body include
perforation of the bronchial tree and fistula formation.
Pediatric Aspiration Pneumonia
Treatment
• Aspiration pneumonia — Empiric antibiotic
regimens for community-acquired aspiration
pneumonia must cover oral anaerobes.
Appropriate antibiotic regimens for hospitalized
children include:
– Ampicillin-sulbactam 150 to 200 mg/kg per day of the
ampicillin component IV in four divided doses;
maximum 8 g/day of the ampicillin component, or
– Clindamycin 30 to 40 mg/kg per day IV in three or four
divided doses to a maximum of 1 to 2 g/day if MRSA
etiology is suspected.
118. Sindrom Eisenmenger

• Suatu kondisi dimana defek jantung kongenital yang


tidak dikoreksi menyebabkan hipertensi pulmonal yang
ireversibel, reversal flow, dan sianosis
• Pirau dari kiri ke kanan berubah menjadi kanan ke kiri
akibat meningkatnya tekanan arteri pulmonal.
• 50% dari VSD besar yg tidak dikoreksi dan 10% dari
pasien dgn ASD besar tdk dikoreksi, serta hampir
semua pasien truncus arteriosus berpotensi mengalami
sindrom eisenmenger
Etiology

• Peningkatan aliran arteri pulmoner - Atrial septal


defect (ASD), systemic arteriovenous fistulae,
total anomalous pulmonary venous return
• Peningkatan aliran dan tekanan arteri pulmoner -
VSD besar, PDA besar, truncus arteriosus, single
ventricle dgn aliran darah pulmoner yang normal
• Peningkatan tekanan vena pulmoner - Mitral
stenosis, cor triatriatum, obstructed pulmonary
venous return
Gejala
GEJALA HIPERTENSI PULMONAL: GEJALA ERYTHROCYTOSIS:
• Sesak napas
• Myalgias
• Fatigue
• Letargi
• Anorexia
• Toleransi latihan fisik berkurang • Fatigue
dengan fase pemulihan yg lambat • Paresthesia jari-jari dan bibir
• Presyncope
• Tinnitus
• Syncope
• Pandangan kabur
GEJALA GAGAL JANTUNG: • Nyeri kepala & pusing
• DOE • Irritabilitas
• Orthopnea
• Paroxysmal nocturnal dyspnea
GEJALA VASODILATASI:
• Edema
• Ascites • Presyncope
• Anorexia • Syncope
• Nausea
Tanda
• Sianosis sentral
• Clubbing finger/ jari tabuh
• Palpasi prekordial didapatkan adanya ventricular
heave kanan dan palpable S2.
• Suara P2 yang keras
• High-pitched early diastolic murmur dari insufiensi
pulmonal
• Right-sided fourth heart sound
• Pulmonary ejection click
• Single S2
Tatalaksana
• Jaga fluid balance
• Gagal jantung kanan: diuretik utk mengurangi gejala kongestif
• Pulmonary vasodilating agents: fosfodiesterase, prostasiklin
• Eritrositosis  flebotomi
• Bedah paliatif:
– tidak ada bedah korektif yang bisa mengkoreksi kelainan kongenital (defek
primer) yang telah menyebabkan eisenmenger syndrome
– Heart-lung transplantation and single or bilateral, sequential lung
transplantation are viable transplant procedures and are the only surgical
options for a patient with Eisenmenger syndrome.
• Untuk ps. Wanita disarankan jangan hamil (mother mortality rate 50%)  ligasi
tuba
Prognosis

• Eisenmenger syndrome bersifat fatal; tetapi


sebagian kecil pasien berhasil bertahan hidup
hingga dekade keenam.
• Angka harapan hidup biasanya sekitar 20-50
tahun jika didiagnosa awal dan ditatalaksana
maksimal.
119. Atresia Esofagus
Definisi Etiologi
• Kelainan kongenital dari • Belum diketahui
esofagus yg mengalami
diskontinuitas  obstruksi • Terkait dgn abnormalitas lain
esofagus proksimal.  VACTERL syndrome
(vertebral anomalies, anal
atresia, cardiac,
Epidemiologi
tracheoesophageal, renal, limb)
• 1 : 4000 neonatus
• >90% terkait dengan
• Slight male predominance
trachoesophageal fistula (TEF)

Faktor risiko
• Advanced maternal age, European ethnicity, obesity, tobacco
smoking, infants weighing < 1.500 g at birth
Sumber : Townsend C, Beauchamp D, Evers M. Sabiston Textbook of Surgery. 20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017
Atresia Esofagus
Klasifikasi menurut Gross
• Type A - Esophageal atresia without fistula or so-called pure esophageal atresia
(7%)
• Type B - Esophageal atresia with proximal TEF (2%)
• Type C - Esophageal atresia with distal TEF (86%)
• Type D - Esophageal atresia with proximal and distal TEFs (<1%)
• Type E - TEF without esophageal atresia or so-called H-type fistula (4%)

Sumber : Townsend C, Beauchamp D, Evers M. Sabiston Textbook of Surgery. 20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017
Atresia Esofagus
Presentation
• Prenatal – polyhydramnios, absent Management
stomach bubble, associated • Decompression of the proximal
abnormalities. esophageal pouch
• Birth onwards – frothing of oral • Upright prone position 
secretions, drooling, choking or and minimize GER and prevent
sianosis. aspiration
• Thoracotomy  repair
Investigations
• Unable to pass wide - bore
orogastric tube; confirmed on chest
• X - ray, shows tube in esophageal
pouch. Air in the stomach indicates
a fistula is present.

Sumber : Townsend C, Beauchamp D, Evers M. Sabiston Textbook of Surgery. 20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017
Radiologi
• Chest radiography (see the
images below) is mandatory
and should be performed as
soon as possible if esophageal
atresia is suspected.
• Plain chest X-ray with a NGT:
coiled NGT at upper pouch
(the tube has not reached the
stomach)
• Type E can’t be diagnosed
with Chest radiograph
The Gasless
Abdomen
• Absence of gas in the
abdomen suggests
that the patient has
either atresia
without a fistula or
atresia with a
proximal fistula only
Syndrome Association
• VACTERL (vertebral defects, anal atresia, cardiac defects,
tracheoesophageal fistula, renal anomalies, and limb) association:
20%abnormalities
 Vertebral 17%
 Anal 12%
 Cardiac 20%
 Renal 16%
 Limb 5%
• CHARGE association: Cloboma, Heart defect, Atresia choanae,
developmental Retardation, Genital hypoplasia, Ear deformity.
• Schisis association: Omphalocele, Neural Tube Defect, Cleft Lip
&Palate And Genital Hypoplasia.
120-121. Leukemia
CLL CML ALL AML

The bone marrow makes abnormal leukocyte  dont die when they should 
crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This makes it hard for
normal blood cells to do their work.

Common in
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Adults & children
children

Symptoms & Grows slowly  may asymptomatic, the Grows quickly  feel sick & go to
Signs disease is found during a routine test. their doctor.

Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak, bleeding/bruising easily,


hepatomegaly/splenomegaly, weight loss, bone pain.

Mature Mature granulocyte, Myeloblast


Lymphoblast
Lab lymphocyte, dominant myelocyte & >20%, aeur rod
>20%
smudge cells segment may (+)

Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away


AML VS ALL
AML ALL

Epidemiologi Lebih banyak pada dewasa Lebih banyak pada anak-anak

Sel mieloblas imatur, terdapat


Morfologi Limfoblas
auer rod
• Mieloperoksidase (+)
• Mieloperoksidase (-)
• Terminal deoxynucleotidyl
• Terminal deoxynucleotidyl
transferase (TdT) (-)
Sitokimia transferase (TdT) (+)
• LDH & serum uric acid
• LDH & serum uric acid elevated 
elevated  tumor lysis
tumor lysis syndrome
syndrome

• B-precursor ALL (70% ALL subtype in


Immuno Children)  CD10, CD19, CD20,
phenotyping, CD13, CD14, CD15, and CD33 CD22, CD24
Cytogenetics & (>90% of leukemic cells) • T-cell ALL (16% ALL Subtype in
Molecular testing children)  CD2, CD3, CD4, CD5,
CD7, CD8
Leukemia
• Jenis leukemia yang paling sering terjadi pada
anak-anak adalah Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous
Leukemia (AML)
• ALL merupakan keganasan yg paling sering
ditemui pada anak-anak (1/4 total kasus
keganasan pediatrik)
• Puncak insidens ALL usia 2-5 tahun
Clinical Manifestation
• More common in AML
– Leukostasis (when blas count >50.000/uL): occluded
microcirculationheadache, blurred vision, TIA, CVA, dyspnea,
hypoxia
– DIC (promyelocitic subtype)
– Leukemic infiltration of skin, gingiva (monocytic subtype)
– Chloroma: extramedullary tumor, virtually any location.
• More common in ALL
– Bone pain, lymphadenopathy, hepatosplenomegaly (also seen in
– monocytic AML)
– CNS involvement: cranial neuropathies, nausea, vomiting,
headache, anterior mediastinal mass (T-cell ALL)
– Tumor lysis syndrome
ALL Classification
• In the WHO classification system for hematologic malignancies,
the lymphoblastic neoplasms (which may present as leukemia
and/or lymphoma) are divided into:
– Precursor B cell lymphoblastic leukemia/lymphoma, also called
precursor B cell acute lymphoblastic leukemia (precursor B cell ALL)
– Precursor T cell lymphoblastic leukemia/lymphoma (precursor T-LBL),
also called precursor T cell acute lymphoblastic leukemia (T cell ALL)
• These two entities are morphologically indistinguishable.
• FAB subtype is not currently used in either diagnosis or treatment
decisions
• ALL is the preferred term in the US when the bone marrow
contains more than 25% lymphoblasts, whereas lymphoma is the
preferred term when the process is confined to a mass lesion with
minimal or no blood and bone marrow involvement.
French-American-British (FAB) Classification
ALL Diagnosis
• Evaluation will include clinical examination, and bone
marrow aspiration and biopsy, which will diagnose ALL and
determine the leukemia phenotype as well as the presence
or absence of cytogenetic abnormalities.
• Bone marrow aspirations are preferred for diagnostic
accuracy and often provide better cytogenetics results.
• It is not standard in children or adolescents to diagnose
leukemia from the peripheral blood when lymphoblasts are
present.
• However, in cases where it is difficult to obtain either bone
marrow aspirate or biopsy, peripheral blood can be
substituted for bone marrow.
ALL AML
epidemiologi ALL merupakan keganasan yg paling 15% dari leukemia pada pediatri, juga
sering ditemui pada anak-anak (1/4 ditemukan pada dewasa
total kasus keganasan pediatrik)
Puncak insidens usia 2-5 tahun
etiologi Penyebab tidak diketahui Cause unknown. Risk factors: benzene
exposure, radiation exposure, prior
treatment with alkylating agents
Gejala dan Gejala dan tanda sesuai dengan Pucat, mudah lelah, memar, peteki,
tanda infiltrasi sumsum tulang dan/atau epistaksis, demam, hiperplasia gingiva,
gejala ekstrameduler: konjungtiva chloroma, hepatosplenomegali
pucat, petekie dan memar akibat
trombositopenia; limfadenopati,
hepatosplenomegali.Terkadang ada
keterlibatan SSP (papil edem, canial
nerve palsy); unilateral painless
testicular enlargement.
Lab Anemia, Trombositopenia, Trombositopenia,
Leukopeni/Hiperleukositosis/normal, leukopenia/leukositosis, primitif
Dominasi Limfosit, Sel Blas (+) granulocyte/monocyte, auer rods (thin,
needle-shaped, eosinophilic cytoplasmic
inclusions)
Terapi kemoterapi kemoterapi
122. Imunisasi
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014
Umur pemberian vaksin
Jenis vaksin Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatit
i s B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7(Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus
e 1 2 3
Influ nza Ulangan 1 kaliptia tpahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan tia 3 t ahun
Hepatit
i s A 2 kali, interval 6-12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 3 kali

Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i ) sd 2 bul an 29 har i (89 har i ) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices /kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
The difference to 2017
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)

bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12

bulan, respon antibody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan)

optimal catchup booster daerah endemis

1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6 bulan
2017
Polio: lahir, 2,4,6 Hep .B: sama dengan
bulan 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
DPT: 2,4,6 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan

Plus2 : HiB

2,4,6 bulan 2,3,4 bulan 2,3,4 bulan


*Intradermal=Intrakutan
123-124. Pneumonia
• Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis
yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Etiologic Agents Grouped By Age Of The Patient
Age group Frequent Pathogens (In order of Frequency)
Neonates (<3 wk) Group B streptococcus, Escherichia coli, other gram negative bacilli,
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae (type b)
3 wk-3 mo Respiratory syncytial virus, other respiratory viruses (parainfluenza
viruses, influenza viruses, adenovirus), S. pneumoniae, H. influenzae (type
b); if patient is afebrile, consider Chlamydia trachomatis

4 mo- 4 yr Respiratory syncytial virus, other respiratory viruses (parainfluenza


viruses, influenza viruses, adenovirus), S. pneumoniae, H. infl uenzae
(type b), Mycoplasma pneumoniae, group A streptococcus
≥5 yr M. pneumoniae, S. pneumoniae, Chlamydophila pneumoniae, H.
influenzae (type b), infl uenza viruses, adenovirus, other respiratory
viruses, Legionella pneumophila

Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th edition. New York : Saunders; 2011.
Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)

Fast breathing (tachypnea)


Respiratory thresholds
Age Breaths/minute
< 2 months 60
2 - 12 months 50
1 - 5 years 40
Causes of Infectious Pneumonia
Bacterial Viral
Common Common
Streptococcus pneumoniae Consolidation, empyema Respiratory synctial virus Bronchiolitis

Group A streptococci Empyema Parainfl uenza types 1-3 Croup

Mycoplasma pneumoniae * Adolescents; summer-fall Infl uenza A, B High fever; winter months
epidemics
Chlamydophila pneumoniae * Adolescents Adenovirus Can be severe; often occurs between January
and April

Chlamydia trachomatis Infants Human metapneumovirus Similar to respiratory syncytial virus

Mixed anaerobes Aspiration pneumonia Uncommon

Gram-negative enterics Nosocomial pneumonia Rhinovirus Rhinorrhea

Uncommon Enterovirus Neonates

Haemophilus influenzae type b Unimmunized Herpes simplex Neonates

Staphylococcus aureus Pneumatoceles, empyema; Cytomegalovirus Infants, immunosuppresse


infants
Moraxella catarrhalis Fungal

Neisseria meningitidis Histoplasma capsulatum Ohio/Mississippi River valley; bird, bat


contact

Francisella tularensis Animal, tick, fly contact; Blastomyces dermatitidis Ohio/Mississippi River valley
bioterrorism
Nocardia species Immunosuppressed persons Mycobacterial

Chlamydophila psittaci * Bird contact (especially parakeets) Mycobacterium tuberculosis Travel to endemic region; exposure to high-risk
Persons

Yersinia pestis Plague; rat contact; bioterrorism Mycobacterium avium Immunosuppressed persons
complex
Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th edition. New York : Saunders; 2011.
Patofisiologi

RESOLUTION
Sumber : Rubin E, Resiner H. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th edition. New
York : Lippincot ; 2014.
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis

Manifestasi Klinis
• Infeksi umum  demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
• Gangguan respiratori  batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merintih, dan sianosis.
Pneumonia
• Hubungan antara diagnosis klinis dan
Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)

Diagnosis (Klinis) Klasifikasi (MTBS)


Pneumonia berat (rawat inap)
• Tanpa gejala hipoksemia
Penyakit sangat berat
• Dengan gejala hipoksemia
(Pneumonia berat)
• Dengan komplikasi

Pneumonia ringan (rawat jalan)


Pneumonia

Infeksi respiratori akut atas Batuk: bukan pneumonia

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di
Kabupaten/Kota.
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Kriteria rawat inap
Pneumonia Ringan
• Dx  disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
• Napas cepat:
• pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
• pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
• Tx  rawat jalan, beri antibiotik : Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.

Pneumonia Berat
• Dx  Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
• Kepala terangguk-angguk
• Pernapasan cuping hidung
• Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
• Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi)
• Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
• Napas cepat
• Suara merintih (grunting) pada bayi muda
• Pada auskultasi terdengar : Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial
• Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, Kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distres pernapasan berat.
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Tatalaksana
Pneumonia Berat

Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus


dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik
maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah
sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari.

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The


Pneumonia opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or
pneumonia reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.

pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most


characteristic)  Associated with thicker Bronchial wall, inflammation
Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with
Asthma
accessory muscle use)
Hyperinflation (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent,
bronkiolitis Peribronchial thickening
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Fluoroquinolone

• Obat-obatan yang tergolong dalam fluoroquinolone ini merupakan


salah satu antibiotik spektrum luas yaang superior, dan menjadi salah
satu pilihan antibiotik untuk pneumonia pada dewasa
• Penggunaan obat ini diketahui memiliki efek samping terutama pada
muskuloskeletal di anak
• Obat ini diketahui dapat menyebabkan kerusakan pada lempeng
epifisis, yang merupakan lempeng pertumbuhan pada anak, sehingga
menghambat pertumbuhan pada anak
Kline JM, Wietholter JP, Kline VT, Confer J. Pediatric Antibiotic Use: A Focused Review of Fluoroquinolones and Tetracyclines. US Pharm. 2012;37(8):56-59
Goldman JA, Kearns GL. Fluoroquinolone Use in Paediatrics: Focus on Safety and Place in Therapy . 18th Expert Committee on the Selection and Use of Essential Medicines , 2011
Summary: Quinolones In Pediatric
• Systemically administered fluoroquinolones are not recommended for
routine use in children <18 years of age because studies in immature
animals have demonstrated the development of arthropathy with
erosions of the cartilage in weight-bearing joints.
• Ciprofloxacin has been approved by the FDA for use in children with
complicated urinary tract infections and pyelonephritis due to Escherichia
coli.
• Ciprofloxacin and levofloxacin have been FDA approved for use in children
for postexposure prophylaxis against inhalational anthrax and treatment
and prevention of plague.
• The American Academy of Pediatrics recommends that the use of
systemic fluoroquinolones in children be limited to the treatment of
infections for which no safe and effective alternative exists.
Uptodate.2017
125. Skrining Tumbuh Kembang Anak

• Pertumbuhan : bertambahnya ukuran fisik anak dalam


hal panjang/tinggi badan, berat badan, dan lingkar
kepala
– Pemantauan : melalui penilaian klinis dan pengukuran
antropometris (Z Score WHO atau kurva NCHS CDC)
• Perkembangan : bertambahnya kemampuan fungsi
individu antara lain dalam bidang motorik kasar,
motorik halus, komunikasi dan bahasa, intelektual,
emosi, dan sosial
– Pemantauan : penilaian klinis dan skrining perkembangan
Denver II
• Pemantauan setiap bulan hingga usia 1 tahun dan
setiap 3 bulan hingga 5 tahun
Child Developmental Sectors

4/2/2018 169
Denver II
• Mencakup usia 0-6 tahun
• Ada 4 bidang perkembangan
– Personal-sosial: berhubungan dengan orang lain dan
pemenuhan kebutuhan sendiri
– Motorikhalus: koordinasimata- tangan, manipulasi
objek kecil
– Motorik kasar: meliputi gerakan yang menggunakan
otot-otot besar secara keseluruhan (duduk, berjalan,
melompat)
– Bahasa-dengar: mengerti dan menggunakan bahasa
Interpretasi Denver II
• Skor Penilaian
– P (Pass) : Anak dapat melakukan ujicoba dengan baik, atau terdapat
laporan yang dapat dipercaya
– F (Fail) L : Anak tidak dapat melakukan ujicoba dengan baik
– No (No opportunity) : Tidak ada kesempatan untuk ujicoba karena ada
hambatan
– R (Refusal) : Anak menolak melakukan ujicoba
• Interpretasi
– Lebih (advanced) : bila anak Pass pada uji coba yang terletak di kanan
garis umur
– Normal : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba di sebelah kanan garis
– Caution/peringatan : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba yang dilewati
garis umur pada persentil 75-90
– Delayed/keterlambatan : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba yang
terletak lengkap di sebelah kiri garis umur
126-128. DENGUE FEVER (DF) & DENGUE
HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
• Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DEN-
1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti
atau aedes albopictus
• DEN-3 merupakan serotipe yang banyak berhubungan
dengan kasus berat, diikuti dengan serotipe DEN-2
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut:
– Nyeri kepala
– Nyeri retroorbita
– Myalgia/arthralgia
– Ruam
– Manifestasi perdarahan
– Leukopenia
Shock
Bleeding
Dengue Fever – Immune Response

Fig. 1. DV-induced cytokine cascade. DV replicates in macrophage and is presented to recruit CD4􏰖 cells which produce hCF. hCF induces a cytokine
cascade that may lead to Th1-type response causing a mild illness, the DF or to a Th2-type response resulting in various grades of severe illness, the
DHF. Thin line, positive induction; Interrupted line, inhibition; Thick line, damaging effect.
molecular mechanisms that contribute to
dengue-induced thrombocytopenia
Pemeriksaan Penunjang
Serologi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi
sejak hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
– Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan,
IgG muncul mulai hari ke-12.
– Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan
dengan IgM
– IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika
titer awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.


Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset of • IgG: detectable at high levels in the initial
illness,  by about 2 weeks & undetectable phase, persist from several months to a
after 2–3 months. lifelong period.
• IgG: detectable at low level by the end of the • IgM: significantly lower in secondary infection
first week & remain for a longer period (for cases.
many years).
Rumple leede test

• A tourniquet test used to determine the presence of


vitamin C deficiency or thrombocytopenia
• A circle 2.5 cm in diameter, the upper edge of which is
4 cm below the crease of the elbow, is drawn on the
inner aspect of the forearm, pressure midway between
the systolic and diastolic blood pressure is applied
above the elbow for 15 minutes
• Count petechiae within the circle is made:
– 10  normal
– 10-20  marginal
– more than 20  abnormal.
Pemantauan Rawat
Alur Perawatan
• Transfusi trombosit:
• Hanya diberikan pada
DBD dengan
perdarahan masif (4-5
ml/kgBB/jam) dengan
jumlah trombosit
<100.000/uL, dengan
atau tanpa DIC.
• Pasien DBD
trombositopenia tanpa
perdarahan masif tidak
diberikan transfusi
trombosit.
Pediatric Vital
Signs
Heart Rate
Age
(beats/min)

Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf

6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85

Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. 1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45. http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/36284
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000. 6/London%20App.%20B.pdf
Chikungunya vs dengue
129. Cerebral Malaria

• Possible cause:
• Binding of
parasitized red cells
in cerebral capillaries
→ sekuestrasi →
severe malaria
•  permeability of the
blood brain barrier
• Excessive induction
ofcytokines

http://www.microbiol.unimelb.edu.au
Pilihan utama Malaria Berat di RS: Artesunat

• Artesunate parenteral tersedia • Artesunat (AS) diberikan dengan


dalam vial yang berisi 60 mg dosis 2,4 mg/kgBB per-iv,
serbuk kering dan pelarut dalam sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24.
ampul yang berisi 0,6 ml natrium Selanjutnya diberikan 2,4
bikarbonat 5%. mg/kgbb per-iv setiap 24 jam
• Untuk membuat larutan sampai penderita mampu minum
artesunat dengan mencampur 60 obat.
mg serbuk kering dengan larutan • Larutan artesunat bisa diberikan
0,6 ml biknat 5%. Kemudian secara intramuskular dengan
ditambah larutan Dextrose 5% dosis yang sama.
sebanyak 3-5 cc. • Apabila sudah dapat minum obat,
pengobatan dilanjutkan dengan
dihydroartemisinin-piperakuin
atau ACT lainnya selama 3 hari +
primakuin
Pilihan lainnya: Artemeter

• Artemeter intramuskular • Apabila sudah dapat minum


tersedia dalam ampul yang obat, pengobatan
berisi 80 mg artemeter dilanjutkan dengan
dalam larutan minyak. dihydroartemisinin-
• Artemeter diberikan dengan piperakuin atau ACT lainnya
dosis 3,2 mg/kgBB selama 3 hari + primakuin
intramuskular. Selanjutnya
artemeter diberikan 1,6
mg/kgBB intramuskular satu
kali sehari sampai penderita
mampu minum obat.
Pilihan lainnya: Kina

• Kina per-infus masih • Kina tidak boleh diberikan


merupakan obat alternatif secara bolus intra vena,
untuk malaria berat pada karena toksik bagi jantung
daerah yang tidak tersedia dan dapat menimbulkan
derivat artemisinin kematian.
parenteral dan pada ibu
hamil trimester pertama.
• Dalam bentuk ampul kina
hidroklorida 25%.
• Satu ampul berisi 500 mg/2
ml.

*Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida
intramuscular sebagai dosis awal sebelum merujuk ke RS rujukan.
Pilihan lainnya: Kina
• Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml dextrose
5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama.
• Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau
NaCl 0,9%.
• Setelah itu, diberikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam
larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam.
• Empat jam selanjutnya, hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl
0,9%.
• Setelah itu diberikan dosis rumatan seperti di atas sampai penderita dapat
minum kina per oral.
• Bila sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti dengan kina tablet
dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam.
• Kina oral diberikan bersama doksisiklin, tetrasiklin pada orang dewasa
atau klindamisin pada ibu hamil.
• Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang
pertama
130. Rickets
• Rickets merupakan kelainan yang terjadi akibat gangguan mineralisasi matriks
tulang di lempeng pertumbuhan, dengan pertumbuhan tulang yang terus
berlanjut.
• Mudahnya, tulang terus bertumbuh, namun mineralisasinya kurang sehingga
tulang tidak tebal dan “lembek”.
• Karena “lembek” inilah maka tulang cenderung menjadi membengkok, terutama
pada area weight bearing (ekstremitasi bawah). Bengkok pada tulang ekstremitas
bawah ini dapat menjadi berbentuk O (pediatric genu varum/bow legged) atau X
(pediatric genu valgum/knock knees)
• Selain itu, tulang yang terkena juga tidak hanya pada ekstremitas bawah namun
bisa juga pada area lain
Etiologi
• Etilogi utama
berasal dari
defisiensi
vitamin D dan
kurangnya
paparan
terhadap sinar
matahari
• Hal ini
dikarenakan
regulasi kalsium
pada tubuh
dipengaruhi oleh
kedua kondisi ini
Nelson Pediatrics
Nelson Pediatrics
Gejala klinis

Nelson Pediatrics
Windswept deformity
Toddlers: Bowed Older children: Knock- (combination of valgus
legs (genu varum) knees deformity of 1 leg with varus
(genu valgum) deformity of the other leg)
Harrison groove

Anterior bowing of
the tibia
Frontal bossing

Widening of wrist, knee and ankle due to physeal over growth


Approach Considerations in Rickets
• Serum measurements in the workup for rickets may
include the following:
– Calcium (in vit D def: usually low)
– Phosphorus (in vit D def: invariably low for age)
– Alkaline phosphatase ((in vit D def: elevated)
– Parathyroidhormone (in vit D def: elevated)
– 25-hydroxy vitamin D (in vit D def: low)
– 1,25-dihydroxyvitamin D (in vit D def: low, normal, or high)
– Creatinine
– Electrolytes
• Radiography is indicated in patients with rickets
Radiography in Rickets
• Hypomineralization of bones, decreased
calcification Thickening of growth plate.
• FRAYING: Edge of metaphysis loses its sharp
border.
• CUPPING: Edge of metaphysis changes from
convex or flat to concave surface. Most easily
seen at distal ends of radius, ulna, fibula.
• Widening of distal end of metaphysis  Clinically
causes thickened wrists and ankles, and rachitic
rosary.
Rickets
• Rickets sendiri secara umum terbagi menjadi 2 macam,
yaitu Calcipenic Rickets dan Phosphopenic Rickets.
• Untuk Calcipenic Rickets, penyebabnya bersifat
acquired terutama karena masalah intake seperti pada
kasus ini. Sebagian besar kasus Rickets memang
menunjukkan tipe Calcipenic Rickets. Sedangkan untuk
tipe Phosphopenic Rickets lebih jarang.
• Untuk mengetahui etiologi lebih lanjut, dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan laboratorium yang menunjang
seperti kadar kalsium, vitamin D, dan juga hormone
paratiroid diperiksakan
Laboratory Findings
Phospho Alkaline 25 1,25 Urine
Type Calcium PTH
rus phosphatase OHD (OH)2D calcium
Vitamin D deficient ↓o
↓ or N ↑ or ↑↑ ↑ ↓ ↑ or N* ↓ or N
rickets N
1-alpha-hydroxyla
↓ ↓ or N ↑↑ ↑ N ↓ ↓
e deficiency¶
Calcipe
25-hydroxylase
nic
deficiency ↓ or N ↓ ↑↑ ↑ ↓ N ↓
rickets
(variable severity)
Hereditary
resistance to ↓ ↓ or N ↑↑ ↑ N ↑↑ ↓
vitamin DΔ
N or
X-linked
N ↓↓ ↑ slightly N N or ↓ ↓
hypophosphatemia

Hereditary
Phosph
hypophosphatemic ↓ or
openic N ↑ N or ↓ N ↑ ↑
rickets with ↓↓
rickets
hypercalciuria
Nutritional
phosphate ↑ or ↓ ↑ or ↑↑ ↓ or N N ↑ ↑ or N
deprivation
Pemeriksaan Laboratorium
• Jika merujuk pada tabel diatas, tampak bahwa PTH lebih
signifikan dalam membedakan kedua tipe ini, karena jika
PTH meningkat maka mengarah ke Calcipenic Rickets,
sedangkan jika PTH normal maka lebih ke tipe
Phosphopenic Rickets.
• Sebenarnya vitamin D juga bisa membedakan keduanya,
tapi perlu diperjelas tipe yang mana karena ada 2 bentuk
yaitu 25 OHD dan 1.25 (OH)2D.
• Untuk kadar kalsium sendiri dapat ditemukan menurun
atau normal pada kasus defisiensi nutrisi yang
menyebabkan calcipenic rickets
Vitamin D Deficiency Treatment
• Either vitamin D2 (ergocalciferol) or vitamin D3
(cholecalciferol) may be used.
– Infants <1 month old – 1000 IU/day for up to three
months, followed by maintenance dosing of 400 IU/day.
– Infants 1 to 12 months old – 1000 to 2000 IU/day for up to
three months, followed by maintenance dosing of 400
IU/day.
– Children 1 to 12 years – 2000 to 6000 IU/day for three
months, followed by maintenance dosing of 600 IU/day.
– Children ≥12 years old – 6000 IU/day for three months,
followed by maintenance dosing of 600 IU/day.
Vitamin D Deficiency Treatment
• Stoss therapy (using Vitamin D3, not Vitamin D2)– Short-term
administration of high dose vitamin D, known as "stoss
therapy", is an effective alternative, and can be a good solution
for patients who do not adhere to oral therapy.
• Stoss therapy should not be used for young infants, and careful
dosing is important to avoid risks of hypercalcemia.
– Infants <3 months of age – stoss therapy not recommended
– Infants 3 to 12 months of age – a single dose of 50,000 international
units
– Children 1 to 12 years – a single dose of 150,000 international units
– Children ≥ 12 years – a single dose of 300,000 international units
Vitamin D Deficiency Treatment
Calcium supplementation during treatment of Vitamin D deficiency
• For patients with elevated levels of parathyroid hormone (PTH) or clinical
evidence of rickets, calcium should be supplemented along with vitamin
D.
• This is because vitamin D replacement and a normalization of PTH levels
can precipitate hypocalcemia by suppressing bone resorption and from
increased bone mineralization, also referred to as the "hungry bone"
syndrome.
• Hence, calcium replacement is necessary along with vitamin D
replacement and should be given at doses of 30 to 75 mg/kg/day of
elemental calcium given in two to three divided doses for two to four
weeks, until vitamin D doses have been reduced to maintenance levels of
600 to 1000 IU daily
131. Keseimbangan Asam-Basa

First, you need to know the normal range


220
221
H-H EQUATION

[HCO3-] [Base] [metabolik]


pH ∞ ∞ ∞
d CO2 Acid [respiratorik]
Respiratory
Acidosis
Respiratory
Alkalosis
Metabolic
Acidosis
Metabolic
Alkalosis
Kelainan Asam-Basa Tubuh dengan Reaksi
Kompensasinya

(K)*

(K)*

(K)*

(K)*

*(K) adalah reaksi kompensasi yang terjadi akibat gangguan


keseimbangan pH
Normal value

HCO3- PCO2 PH PCO2


HCO3- PH

NORMAL Metabolic
Acidosis

Normal value

PCO2 PH
PH PCO2
HCO3- HCO3-

Metabolic Compensated Metabolic


Acidosis Acidosis
Normal value

HCO3- HCO3-
PH PCO2
PCO2 PH

Metabolic alkalosis Compensated Met alkalosis

Normal value

PH
HCO3- PH
PCO2 HCO3- PCO2

Acute Respiratory Chronic (compensated)


Alkalosis Respiratory Alkalosis
Normal value

PCO2 PCO2
HCO3-
HCO3-
PH
PH

Respiratory Compensated Respiratory


Acidosis Acidosis
132. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

(KIPI)
Definisi : suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima
imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi.
Klasifikasi KIPI Keterangan
Induksi vaksin Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor intrinsik vaksin
(vaccine induced). terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak
menderita poliomielitis setelah mendapat vaksin polio oral.
Provokasi vaksin Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini
(vaccine potentiated) terjadi oleh karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam
pasca imunisasi yang terjadi pada anak yang mempunyai
predisposisi kejang
Kesalahan Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan pada teknik
(pelaksanaan) pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara
program pemberian. Contoh: terjadi indurasi pada bekas suntikan
(programmatic disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara
errors). intramuskular diberikan secara subkutan
Koinsidensi KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang
(coincidental) sedang diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit
jantung bawaan mendadak sianosis setelah diimunisasi
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
133. Gagal Ginjal Akut
• Gagal ginjal akut (GGA)/Acute Kidney Injury (AKI) ialah
penurunan fungsi ginjal mendadak yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mempertahankan homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara
progresif 0,5 mg/dL per hari dan peningkatan ureum
sekitar 10-20 mg/dL per hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus
dan <0,8 ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
Klasifikasi
Patogenesis
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi ginjal dapat dinaikkan secara
• Pemberian cairan disesuaikan bertahap sampai maksimum 10
dengan keadaan hidrasi mg/kgBB/kali. (pastikan
kecukupan sirkulasi dan bukan
• Koreksi gangguan merupakan GGA pascarenal).
ketidakseimbangan cairan
elektrolit • Bila gagal dengan
medikamentosa, maka
• Natrium bikarbonat untuk dilakukan dialisis peritoneal
mengatasi asidosis metabolik atau hemodialisis.
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya asidosis
134. Hiperkalemia
• Kadar kalium darah melebihi batas normal
• The range in children & infants is age-dependent, whereas the range
for adults is approximately 3.5-5.5 mEq/L
• The upper limit may be considerably high in young or premature
infants, as high as 6.5 mEq/L.
• Potassium is the primary intracellular cation; more than 95-98% of the
total body potassium is found in the intracellular space, primarily in
muscle.
• Patofisiologi:
– Keluarnya K+ dari intrasel  ekstrasel
– Berkurangnya ekskresi K+ melalui ginjal
– Meningkatnya intake K + ke dalam tubuh via oral/intravena
• Gejala terutama timbul bila kadar K+ >7 mEq/L atau peningkatan
terjadi dalam waktu yang cepat.
– Gangguan konduksi listrik jantung, kelemahan otot , paralisis sehingga
pasien merasa sesak nafas.
Hiperkalemia
EKG pada hiperkalemia
• Gelombang T
yang tinggi,
pemanjangan
inetrval PR,
Pelebaran QRS
kompleks yang
dapat mengarah
ke VF dan
asistol.
Tatalaksana
Tatalaksana
• Batasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel
– Calcium gluconate 1 g = 90 mg (4.5 mEq) of elemental calcium.
– Calcium chloride 1 g = 270 mg (13.5 mEq) of elemental calcium.
• Tingkatkan ambilan K+ ke dalam sel
– Insulin dlm glukosa 40% bolus i.v  Although effect is almost immediate,
it is temporary, and, therefore, should be followed by therapy that actually
enhances potassium clearance
– Natrium bikarbonat IV  IV infusion helps shift K+ into cells, further
lowering serum K+ levels. Can be considered in treatment of hyperkalemia
even in absence of metabolic acidosis (but less effective). Also increases
sodium delivery to the kidney
– β2 agonis, nebulisasi maupun intravena  Albuterol and other beta-
adrenergic agents induce the intracellular movement of potassium via the
stimulation of the sodium/potassium–adenosine triphosphate (Na+/K+ -
ATP) pump.
• Keluarkan kelebihan K+
– Diuretik kuat seperti furosemide disertai NaCl.
– Resin penukar ion dapat diberikan oral maupun per rektal (Sodium
polystyrene sulfonate (Kayexalate))
– Dialisis
135. Sepsis Neonatorum
• Merupakan sindrom klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi
pada 1 bulan pertama kehidupan
– Early onset sepsis (onset< 72 jam)
Faktor risiko: Ibu dengan infeksi rahim (korioamnionitis), ketuban pecah dini, riwayat persalinan
tidak higienis. 85% kasus neonatus terjadi pada early onset.
– Late onset sepsis (onset > 72 jam)
Ditemukan fokus infeksi yang tidak berhubungan dengan proses melahirkan. Sering disertai dengan
meningitis. Etiologi pada late onset: Stafilokokus koagulase negatif, S. Aureus, E. Coli, Klebsiella,
Pseudomonas, Enterboacter, Candida, Serratia, Acinetobacter, Anaerob, GBS
– Sepsis nosokomial
Ditemukan pada bayi yang dirawat, berhubungan dengan penggunaan alat-alat di RS
• Etiologi tersering (pada early onset)
– Group B streptococcus (GBS)
– E. Coli
– Stafilokokus koagulase negatif
– H. inluenza
– L. monocytogenes
http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview
Sepsis Neonatorum
• International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2005:
Sepsis adalah systemic inflammatory rensponse syndrome
(SIRS) + infeksi.
• Kriteria SIRS (2 dari 4):
– Suhu tubuh > 38,5°C atau < 36°C
– Takikardia, didefinisikan sebagai rata-rata frekuensi denyut
jantung > 2 SD atau diatas nilai normal menurut umur
– Frekuensi pernafasan > 2 SD menurut umur
– Leukositosis atau leukopenia berdasarkan umur atau
ditemukannya > 10% netrofil imatur
• Sepsis berat: sepsis disertai kegagalan organ atau
hipoperfusi
• Syok sepsis: sepsis disertai kegagalan organ kardiovaskular
Sepsis Neonatorum
• Anamnesis • Pemeriksaan fisis
– Riwayat ibu dengan infeksi – Suhu tubuh abnormal (sering
intrauterin (demam, ketuban hipotermia)
pecah dini >18 jam, air ketuban – Letargi, mengantuk, aktivitas
keruh) berkurang
– Riwayat persalinan, penolong – Malas minum
persalinan, lingkungan persalinan – Iritabel atau rewel
yang tidak higienis
– Riwayat lahir asfiksia berat, BBLR, – Perburukan cepat
prematur – Muntah, diare, perut kembung,
– Riwayat bayi malas minum hepatomegali (muncul pada hari
ke-4)
– Perfusi kurang, sianosis, petekia,
ikterik
– Takipnea, distres nafas (NCH,
merintih, retraksi), takikardia,
hipotensi
– Penurunan kesadaran, kejang,
ubun-ubun menonjol
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium
– DPL, leukosit, diff count, • Radiologis
CRP Foto thoraks (bila ada distress
– Kultur darah, kultur urin nafas), hasil:
– Uji resistensi – Pneumonia kongenital
konsolidasi bilateral atau efusi
– AGD pleura
– Kadar bilirubin meningkat – Pneumonia krn infeksi
• Pungsi lumbal periksa intrapartum infiltrasi dan
cairan CSF destruksi jaringan
bronkopulmoner, atelektasis
segmental, gambaran
retikulogranular difus (spt
pada HMD)
– Pneumonia krn infeksi
pascanatal sesuai pola
kuman setempat
Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.
Tatalaksana
• Antibiotik
o Neonatus dengan kecurigaan sepsis segera langsung diberikan antibiotik
o Pilihan antibiotik empirik: ampisilin + gentamisin.
o Bila organisme tidak dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukkan tanda
infeksi setelah > 48 jam  cefotaksim+gentamisin
o Pada sepsis nosokomial antibiotik disesuaikan dengan pola kuman. Bila
disertai dengan meningitis, antibiotik dosis meningitis diberikan selama 14 hari
(kuman gram +) dan 21 hari (kuman gram -)
• Jaga patensi jalan nafas dan berikan oksigen, bila perlu pasang ventilator
mekanik
• Pasang iv line, beri cairan maintenance
– Pantau TD dan perfusi jaringan
– Bila ada gangguan perfusi berikan volume ekspander (NaCl, darah, albumin,
tergantung kebutuhan) 10cc/kg dalam 30 menit, dapat diulang 1-2 kali
– Inotropik agent (dopamin atau dobutamin)

Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.


Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.
Identifying Neonates With Clinical Signs of Sepsis With A “High Likelihood” of
Early-Onset Sepsis Who Require Antimicrobial Agents Soon After Birth

http://pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/129/5/1006.full.pdf
136. Wilms tumor

• Wilms tumor Tumor ganas ginjal • Merupakan tumor solid pada


yang terjadi pada anak, yang renal terbanyak pada masa
terdiri dari sel spindel dan kanak-kanak, 5% dari jumlah
jaringan lain. kanker pada anak. (smith urology)
• Disebut juga adenomyosarcoma, • Puncak usia adalah pada usia 3
embryoma of kidney, tahun
nephroblastoma, renal • Lebih sering unilateral ginjal
carcinosarcoma. • Etiologi
– Non familial: 2 postzygotic
mutation pada single cell
– Familial : 1 preygotic mutation dan
The American Heritage® Stedman's Medical Dictionary
subsequent post zygotic event
Copyright © 2002, 2001, 1995 by Houghton Mifflin Company. – Mutasi ini terjadi pada lengan
Published by Houghton Mifflin Company.
pendek kromosom 11 (11p13)
Patogenesis & Karakteristik
Pathology tumor
• Wilms tumor :
Prekurson wilms tumor (nephrogenic large, multi lobular, gray or tan in
rest-NR) color, focal area of hemorrhage
Perilobar NR dan intralobar NR and necrosis, biasanya terdapat
fibrous pseudocapsule
• Penyebarannya :
NR dormant untuk beberapa tahun 1. Direct extension  renal
capsule
2. hematogenously  renal vein
atau vena cava
Renal mengalami involusi dan 3. lymphatic
sclerosis • Metastasis : 85-95% ke paru, 10-
15% ke liver, 25% ke limf node
regional
Wilms tumor
Histopatology : Blastemal, epithelial,
dan stromal element, tanpa
anaplasia
Staging tumor
Menurut NWTS (National • Stage II : Tumor sudah
Wilms Tumor Study) meluas dari ginjal tapi
• Stage I : Tumor terbatas masih dapat diangkat
pada ginjal. Tidak ada sempurna. Terdapat
penetrasi ke kapsul penetrasi permukaan luar
renalis atau keterlibatan renal kapsul, invasi renal
renal sinus vessel. Tumor vessel sinus. Tidak ada
tidak rupture pada saat residual tumor, tidak ada
pengangkatan, tidak ada sisa pada batas
residual tumor di batas pengangkatan, tidak ada
pengangkatan tumor. keterlibatan kelenjar
getah bening regional
• Stage III : Residual • Stage IV : Terdapat
nonhematogenous metastasis
tumor ke abdomen. hematogenous ke paru,
Terdapat keterlibatan liver, tulang, dan otak
kelenjar getah bening,
kontaminasi peritoneal, • Stage V: Keterlibatan
implan pada permukaan bilateral renal
peritoneal, tumor
meluar melebihi daerah
pengangkatan, terdapat
trombus tumor
Gejala Klinis Pemeriksaan penunjang
• Massa dan rasa sakit pada • Lab : Urinalisis : hematuria,
abdominal anemia, subcapsular
hemorrhage. Jika sudah
• Macroscopic haematuria metastasis ke liver terdapat
• Hypertension peningkatan creatinin
• Anorexia, nausea, vomit • CT abdominal lihat
ekstensi tumor
• Chest xray  lihat
metastasis ke paru
• Biopsi
• CT scan in a patient  Gross nephrectomy
with a right-sided specimen shows a
Wilms tumor with Wilms tumor pushing
favorable histology. the normal renal
parenchyma to the
side.
Manajemen
• Surgical :
- Keterlibatan kidney unilateral
- Tumor tidak melibatkan organ visceral
• Chemotherapy
• Radiasi
disease Sign & symptoms
Renal cell In contrast to adults, renal cell carcinoma is rare in childhood. However,
carcinoma there appears to be a subset of affected adolescent males with a unique
chromosomal translocation at Xp11.2
The classic triad of RCC (flank pain, hematuria, and a palpable abdominal
renal mass)

neuroblastoma NB is the third most common pediatric cancer, accounting for about 8% of
childhood malignancies
The signs and symptoms of NB reflect the tumor site and extent of disease.
Most cases of NB arise in the abdomen, either in the adrenal gland or in
retroperitoneal sympathetic ganglia. Usually a firm, nodular mass that is
palpable in the flank or midline is causing abdominal discomfort

Wilms tumor Wilms tumor is the most common renal malignancy in children and the
fourth most common childhood cancer
Most children with Wilms tumor present with an abdominal mass or
swelling, without other signs or symptoms. Other symptoms can include
abdominal pain (30 %), hematuria (12 to 25 %), and hypertension (25 %)
PF reveals a firm, nontender, smooth mass that rarely crosses the midline
and generally does not move with respiration. In contrast, neuroblastoma
and splenomegaly often will extend across the midline and move with
respiration
disease Sign & symptoms
Burkit limfoma Patients with BL present with rapidly growing tumor masses and often have evidence
of tumor lysis with a very high serum lactate dehydrogenase (LDH) concentration and
elevated uric acid levels
The endemic (African) form usually presents as a jaw or facial bone tumor that
spreads to extranodal sites including the mesentery, ovary, testis, kidney, breast, and
especially to the bone marrow and meninges
The nonendemic (sporadic) form usually has an abdominal presentation
Immunodeficiency-related cases more often involve lymph nodes
BL tumor cells are monomorphic, medium-sized cells with round nuclei, multiple
nucleoli, and basophilic cytoplasm
A "starry-sky" pattern is usually present, imparted by numerous benign macrophages
that have ingested apoptotic tumor cells

hodgkin commonly present with painless, non-tender, firm, rubbery, cervical or supraclavicular
limfoma lymphadenopathy.
Most patients present with some degree of mediastinal involvement. patients may
present with symptoms and signs of airway obstruction (dyspnea, hypoxia, cough),
pleural or pericardial effusion, hepatocellular dysfunction, or bone marrow infiltration
(anemia, neutropenia, or thrombocytopenia).
Diagnostic Reed-Stemberg cells are large cells that have bilobed, double, or multiple
nuclei and prominent, eosinophilic, inclusion-like nucleoli in at least two nuclei or
nuclear lobes
137. Komplikasi Diare
• Dehidrasi
• Asidosis Metabolik
• Hipoglikemia, terutama dengan predisposisi
undernutrition
• Gangguan elektrolit
– hipo/hipernatremia
– Hipokalemia
– (NB: Hiperkalemia bisa menstimulasi intestinal
motility menyebabkan watery diarrhea.)
• Gangguan gizi
• Gangguan sirkulasi (syok)
Electrolyte: kalium
• K has important role in resting membrane potential & action potentials.

• The level of K influences cell depolarization


– the movement of the resting potential closer to the threshold  more
excitability & hyperpolarization
– decreased resting membrane potential to a point far away from the threshold
 less excitability.

• The most critical aspect of K, it affects:


– Cardiac rate, rhythm, and contractility
– Muscle tissue function, including skeletal muscle and muscles of the diaphragm,
which are required for breathing
– Nerve cells, which affect brain cells and tissue
– Regulation of many other body organs (intestinal motility)

Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008


Electrolyte: kalium

Hypokalemia Hyperkalemia

• Disorientation • Rapid heart beat


• Confusion (fibrillation)
• Discomfort of muscles • Skin tingling
• Muscle weakness • Numbness
• Ileus paralytic • Weakness
• Paralysis of the • Flaccid paralysis
muscles of the lung,
resulting in death

Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008


Tatalaksana Hipokalemia
• Transient, asymptomatic, or mild hypokalemia may spontaneously resolve
or may be treated with enteral potassium supplements.
• Symptomatic or severe hypokalemia should be corrected with a solution of
intravenous potassium.

PPM IDAI
http://emedicine.medscape.com/article/907757-treatment
138. Hipertiroid
Grave’s Disease
COMMON SYMPTOMS OTHER SYMPTOMS
• Hyperactivity, nervousness, • Weight loss (50%)
and emotional lability • (increased appetite in 60%)
• Alterations in mental status • Sweating (49%)
• Deterioration of behavior • Hyperactivity (44%)
and school performance • Heat intolerance (33%)
(previously the child did
well) • Palpitations (30%)
• Ophthalmopathy (50-80%) • Fatigue (16%)
• Diarrhea (13%)
• Insomnia
• Deterioration in
handwriting
• Menstrual irregularities
• Muscle weakness
Clinical Presentstion
LABORATORY
• Patients with Graves disease have elevated
levels of T4, fT4, T3 and low or undetectable
levels of TSH.
Treatment
• Thionamide:
– DOC: Methimazole 0.4-0.7 mg/kg/d, with a lower maintenance dose
(one third to one half the starting dose)
– PTU 5-7 mg/kg/d, divided 3 times daily
• (risk for severe liver injury and acute liver failure)
• PTU should not be used in pediatric patients unless the patient is allergic to or
intolerant of methimazole
– Carbimazole
• Beta blocker can be given at patients with marked cardiac
manifestations of hyperthyroidism
– Infants and Children: Oral: Immediate release formulations: 0.5 to 2
mg/kg/day divided every 8 hours; maximum dose: 40 mg/dose
– Adolescents: Oral: Immediate release formulations: 10 to 40 mg every
6 to 8 hours
Beta Bloker
• Infants and Children: Oral: Immediate release
formulations: 0.5 to 2 mg/kg/day divided
every 8 hours; maximum dose: 40 mg/dose
(Kliegman 2016)
• Adolescents: Oral: Immediate release
formulations: 10 to 40 mg every 6 to 8 hours
(ATA [Ross 2016])
OBSTETRI &
GINEKOLOGI
139. Neural tube defect
• Open NTDs (defect is only • closed NTDs (defect is
covered by a membrane covered by skin)
or, rarely, nothing at all) – include
– comprise 80 percent of lipomyelomeningocele and
NTDs; lipomeningocele.
– the most common open – Although covered with
NTDs are skin, closed NTDs may be
myelomeningocele (spina associated with a tuft of
bifida), meningocele, hair, dimple, birthmark,
encephalocele, and lump, or other skin
anencephaly. abnormality at the site of
– Open NTDs of the spine the defect, as well as
can be associated with cerebral ventriculomegaly
cerebral ventriculomegaly.
Risk Factor
• Defisiensi folat
• Faktor genetik
• syndromes
• Amniotic band
• Fever/hyperthermia
• Pregestasional diabete
• Obesitas
140. PEB PNPK
Kriteria teriminasi kehamilan pada PEB
141. Kryptomenorhea
• Merupakan suatu kondisi dimana menstruasi
terjadi namun tidak dapat mengalir keluar akibat
adanya obstruksi

• Hematokolpos: himen yang menonjol dan


berwarna kebiruan akibat berkumpulnya darah
pada belakang himen karena tidak terdapat
lubang keluar (imperforata)
Variasi Bentuk Himen
Himen Imperforata
• Variasi ekstrim dari bentuk himen  bentuk himen tidak
memungkinkan adanya pembukaan himen
– Akibat dari bentuk anatomis tersebut, darah menstruasi tidak dapat
mengalir keluar sehingga dapat menyebabkan penimbunan darah
menstruasi di kavum uteri dan menyebabkan massa abdomen
• Gejala klinis tersering: amenorrhea primer di mana pasien tidak
pernah merasakan menstruasi walaupun gejala menstruasi seperti
nyeri abdomen dapat ditemukan
– Nyeri abdominal siklis (mengikuti siklus menstruasi
• Terapi: Bedah
• Komplikasi
– Hematometra: darah berkumpul di kavum uteri
– Hematosalping: darah berkumpul di tuba falopii
– Endometriosis
– Dapat menimbulkan retensi urin dan infertilitas
Sumber:http://emedicine.medscape.com/article/269050-overview#a03
142. Endometriosis
• Endometriosis
– Pertumbuhan jaringan yang mirip dengan
endometrium di luar kavum uteri
• Endometriosis interna / Adenomiosis
– Endometriosis yang terdapat di dalam miometrium

• Pelvic endometriosis muncul bersamaan dengan


adenomyosis uteri pada 2–24% kasus, hal ini
menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara dua
kelainan ini
Patogenesis Endometriosis
“ kesalahan cleaning service “

darah haid yang fibrosis dan


membalik nyeri
Sel Endometrium

aktivasi sistem sekresi


imun prostaglandin dan
estrogen

pertumbuhan sel
penempelan dan vaskularisasi dan anti
invasi apoptosis
Yen and Jaffe. Reproductive Endocrinology and Infertility, 2009
KELUHAN ENDOMETRIOSIS

INFERTILITAS NYERI

NYERI PADA ENDOMETRIOSIS

Nyeri pelvik merupakan keluhan


tersering
• Dismenorea
• Dispareunia
• Diskezia
• Disuria
Dysmenorrhea
• Nyeri berat, kram pada abdomen bagian bawah dan bisa
diikuti oleh berkeringat, takikardia, sakit kepala,
mual/muntah, diare

• Primer: tanpa kelainan patologis, onset < 20 tahun


• Sekunder: berhubungan dengan kelainan pelvis
Dysmenorrhea: Endometriosis
Pengertian : adanya jaringan endometrium (kelenjar atau
stroma) di luar uterus.:

Etiologi: Penyakit estrogen dependen


1. Teori transplantasi ektopik jaringan endometrium
2. Teori meteplasia jaringan selomik
3. Teori induksi

290
Endometriosis: Faktor Risiko
• Faktor genetik:
Risiko 7x lbh besar pada riwayat ibu penderita
endometriosis

• Faktor imunologi
Tidak semua wanita dengan menstruasi retrograd
akan menderita endometriosis, mungkin ada
kekurangan imun yang mempengaruhi

291
Endometriosis: Gejala Klinik
• Dismenore
– Timbul beberapa saat sebelum keluarnya darah haid,
berlangsung selama menstruasi dan progresif

• Subfertilitas/infertilitas

• Dispareunia

• Abortus spontan
– Meningkat 40% dibanding wanita normal 15-25%

• Keluhan lain
– Di kolon & rektum : distensi abdomen, kostipasi
– Di ureter : obstruksi, disuri, hematuri dll
292
Endometriosis: Pemeriksaan
• Umumnya tidak menunjukkan kelainan

• Nodul pada daerah ligamentum sakrouterina dan


kavum douglas

• Nyeri pada septum rektovagina dan pembesaran


ovarium unilateral (kistik)

• Kasus berat : uterus retroversi fiksata, pergerakan


ovarium dan tuba terbatas

http://www.nhs.uk/Conditions/Endometriosis/Pages/Treatment.aspx
Endometriosis: Pemeriksaan
• Laparoskopi : untuk biopsi lesi
• USG, CT scan, MRI

http://www.nhs.uk/Conditions/Endometriosis/Pages/Treatment.aspx
Endometriosis: Terapi
1. Operatif
2. Non-Operatif
– Anti nyeri (NSAID, aspirin, morphine, and codeine)
– Hormonal
• Pil KB
• Levonorgestrel-releasing intrauterine system
(LNG-IUS)
• Gonadotrophin-releasing hormone (GnRH)
analogues
• Progestogens (medroxyprogesterone acetate)

http://www.nhs.uk/Conditions/Endometriosis/Pages/Treatment.aspx
143. Uterine Dysfunction
• His Normal: mulai dari fundus menjalar ke korpus, dominasi di fundus dan disertai
relaksasi yang merata
• Faktor predisposisi disfungsi uterus
– Primigravida, terutama primi tua
– Kelainan letak janin/disporposi fetopelviks
– Peregangan rahim yang berlebihan: gemeli, hidramnion

1. Hypotonic uterine dysfunction


 more common
 no basal hypertonus
 uterine contractions have a normal gradient pattern
 the slight rise in pressure during a contraction is insufficient to dilate the cervix

2. Hypertonic uterine dysfunction or Incoordinate uterine contraction


 either basal tone is elevated or the pressure gradient is distorted
 complete asynchronism of the impulses originating in each cornu or a combination of these
two
Treatment
1. Oxytocin infusion
2. Glucose infusion
3. Mobilization
4. Cervix dilatation
– Prostaglandins
– Drotaverin + Opiates
– Paracervical block
– Epidural analgesia
5. Perineal relaxation
– Pudendal block
– Epidural analgesia
– Spinal analgesia
Induksi & Akselerasi Persalinan
• Definisi
– Induksi: upaya menstimulasi uterus untuk memulai persalinan
– Augmentasi atau akselerasi: meningkatkan frekuensi, lama, dan
kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. (Saifuddin, 2002)

• Indikasi (Oxford, 2013)


– KPD, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis,
PEB, hipertensi akibat kehamilan, IUFD) dan PJT, insufisiensi
plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri
doppler

• Kontraindikasi (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002)


– CPD, plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio
caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa
previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif
Induksi Persalinan
• Indikasi Darurat:
– HT gestational berat, komplikasi janin akut, IUGR
berat, penyakit maternal bermakna, korioamnionitis

• Indikasi Segera (Urgent)


– KPD saat aterm atau dekat aterm, PJT tanpa
komplikasi akut, DM tidak terkontrol, penyakit
isoimun saat aterm/dekat aterm

• Indikasi Tidak Segera (Non Urgent)


– Kehamilan post term, DM terkontrol, riwayat IUFD
Proses Induksi/Akselerasi
• Kimia
– Prostaglandin E2 (PGE2) gel atau pesarium
– Prostaglandin E1 (PGE1): misoprostol atau cytotec tab
100-200 mcg
– Oksitosin IV

• Mekanik
– Kateter Transservikal (Kateter Foley)
– Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
– Stripping membrane
– Induksi Amniotomi
– Stimulasi putting susu
Induksi Persalinan: Metode Mekanik
• Metode Mekanik
– Metode stripping, pemasangan balon keteter, (oley
chateter) dimulut rahim, serta memecahkan ketuban
saat persalinan sedang berlangsung.

Kateter Foley Transervikal Stripping of The Membrane


Induksi Persalinan: Metode Kimia
• Oksitosin
– 2.5 - 5 unit Oksitosin dilarutkan dalam 500 ml kristaloid
dan diberikan dengan dosis awal 10 tetes per menit.
– Naikkan jumlah tetesan sebesar 10 tetes permenit
setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus yang
adekuat.
– Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi > 60 detik
atau lebih dari 4 kali kontraksi per 10 menit) hentikan
infus dan kurangi hiperstimulasi dengan pemberian:
• Terbutalin 250 mcg IV perlahan selama 5 menit atau
• Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan RL 10 tetes permenit
Oksitosin (Alternatif Lainnya)

1. Penderita diberi oleum ricini, kemudian klisma


3
jam

2. Infus oksitosin 5 Unit dalam 500 cc lar glukosa 5%


awal: 8 tts/menit

Pantau FN,TD, DJJ, His

3. Naikkan kecepatan 4 tts/mnt tiap 30’ (s.d 60 tts)

His adekuat pertahankan sampai kelahiran


His belum adekuat

Ulangi langkah 2 & 3


(ttsn lanjut) His adekuat

His belum adekuat pertahankan sampai


kelahiran

Ulangi langkah 2&3 (ttsn


lanjut) His adekuat
+ pecahkan ketuban

His belum adekuat


(KP 24 jam) SC
Oksitosin: Efek samping

• Efek maternal terlihat pada pemakaian IV


• hipotensi, hipertensi, mual, muntah, penurunan aliran
darah uterus, ruam kulit, dan anoreksia, tetani uterus,
anafilaksis, asfiksia, kejang, koma, pendarahan
intracranial, intoksikasia air, dan disritmia
• Pada Janin
– Karena induksi motilitas uterus, oksitosin dapat
menyebabkan bradikardia, kontraksi ventrikel prematur,
dan aritmia lain, dan sangat jarang kematian janin, nilai
Apgar rendah, ikterik, dan pendarahan retina

Oxytocin (pitocin). VIHA pharmacy. 2006


Synthetic Oxytocin
• When given by low-dose intravenous infusion,
Syntocinon elicits rhythmic uterine contractions that
are indistinguishable in frequency, force and duration
from those observed during spontaneous labour.
• At higher infusion dosages, or when given by single
injection,the drug is capable of causing sustained
tetanic uterine contractions.
• Oxytocin also causes contraction of the myoepithelial
cells surrounding the mammary alveoli.
Synthetic Oxytocin
• When Syntocinon is given for the induction and
augmentation of labour, it must only be administered
as an intravenous infusion, preferably by means of a
motor-driven variable speed infusion pump, and not by
subcutaneous, intramuscular or intravenous bolus
injection.
• When administered by rapid intravenous bolus
injection oxytocin cause transient direct relaxing
effect on vascular smooth muscle, resulting in brief
hypotension, flushing and reflex tachycardia
144. Polihidramnion
• Volume air ketuban lebih 2000 cc
• Muncul sesudah kehamilan lebih 20 minggu

• Etiologi
– Rh isoimunisasi, DM, gemelli, kelainan kongenital dan idiopatik

• Gejala
– Sering pada trimester terakhir kehamilan
– Fundus uteri ≥ tua kehamilan
– DJJ sulit didengar
– Ringan : sesak nafas ringan
– Berat : air ketuban > 4000 cc
– Dyspnoe & orthopnea
– Oedema pada extremitas bawah

• Diagnosis
– Palpasi dan USG
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
Polihidramnion: Tatalaksana
• Identifikasi penyebab
• Kronik hidramnion : diet protein ↑, cukup istirahat
• Polihidramnion sedang/berat, aterm → terminasi
• Penderita di rawat inap, istirahat total dan dimonitor
• Jika dyspnoe berat, orthopnea, janin kecil → amniosintesis
• Amniosintesis, 500 – 1000 cc/hari → diulangi 2 – 3 hari
• Bila perlu dapat dipertimbangkan pemberian tokolitik

• Komplikasi
– Kelainan letak janin
– partus lama
– solusio plasenta
– tali pusat menumbung dan
– PPH
– Prematuritas dan kematian perinatal tinggi

Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO


145. KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan

• Pada klien yang tidak menyusui, masa infertilitas


rata-rata sekitar 6 minggu
• Pada klien yang menyusui, masa infertilitas lebih
lama, namun, kembalinya kesuburan tidak dapat
diperkirakan
• Metode yang langsung dapat digunakan adalah :
Spermisida
Kondom
Koitus Interuptus
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan
Metode Waktu Pascapersalinan Ciri Khusus Catatan

MAL Mulai segera • Manfaat kesehatan bagi • Harus benar-benar ASI


ibu dan bayi eksklusif
• Efektivitas berkurang jika
sudah mulai suplementasi
Kontrasepsi • Jangan sebelum 6- • Akan mengurangi ASI • Merupakan pilihan terakhir
Kombinasi 8mg pascapersalinan • Selama 6-8mg bagi klien yang menyusui
• Jika tidak menyusui pascapersalinan • Dapat diberikan pada klien
dapat dimulai 3mg mengganggu tumbuh dgn riw.preeklamsia
pascapersalinan kembang bayi • Sesudah 3mg
pascapersalinan akan
meningkatkan resiko
pembekuan darah

Kontrasepsi • Bila menyusui, • Selama 6mg pertama • Perdarahan ireguler dapat


Progestin jangan mulai pascapersalinan, progestin terjadi
sebelum 6mg mempengaruhi tumbuh
pascapersalinan kembang bayi
• Bila tidak menyusui • Tidak ada pengaruh pada
dapat segera dimulai ASI
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan
Metode Waktu Pascapersalinan Ciri Khusus Catatan

AKDR • Dapat dipasang • Tidak ada pengaruh • Insersi postplasental


langsung terhadap ASI memerlukan petugas
pascapersalinan • Efek samping lebih terlatih khusus
sedikit pada klien yang
menyusui
Kondom/S • Dapat digunakan Tidak pengaruh terhadap Sebaiknya dengan kondom
permisida setiap saat laktasi dengan pelicin
pascapersalinan
Diafragma Tunggu sampai 6mg • Tidak ada pengaruh • Perlu pemeriksaan dalam
pascapersalinan terhadap laktasi oleh petugas

KB Alamiah • Tidak dianjurkan • Tidak ada pengaruh • Suhu basal tubuh kurang
sampai siklus haid terhadap laktasi akurat jika klien sering
kembali teratur terbangun malam untuk
menyusui
Metode Amenorea Laktasi
• Mekanisme: • Keuntungan khusus bagi
– pemberian Air Susu Ibu (ASI) kesehatan:
eksklusif untuk menekan ovulasi. – Mendorong pola menyusui yang
– Metode ini memiliki tiga syarat benar, sehingga membawa
yang harus dipenuhi: – manfaat bagi ibu dan bayi.
• Ibu belum mengalami haid lagi
• Bayi disusui secara eksklusif dan
sering, sepanjang siang dan malam • Risiko bagi kesehatan:
• • Bayi berusia kurang dari 6 bulan – Tidak ada.
• Efektivitas: • Efek samping:
– Risiko kehamilan tinggi bila ibu – Tidak ada.
tidak menyusui bayinya secara
benar. • Mengapa beberapa orang
– Bila dilakukan secara benar, risiko menyukainya:
kehamilan kurang dari 1 di antara – Metode alamiah, mendorong
100 ibu dalam 6 bulan setelah kebiasaan menyusui, dan tidak
persalinan. perlu biaya.
146. Kanker Servix
Kanker Serviks
Tanda dan Gejala Diagnosis
• Perdarahan pervaginam • IVA
• Perdarahan menstruasi • Sitologi servikal (Pap Test)
lebih lama dan lebih • Kolposkopi
banyak dari biasanya • Biopsi serviks
• Perdarahan post
menopause atau
keputihan >>
• Perdarahan post koitus
• Nyeri saat berhubungan
• Keputihan (terutama
berbau busuk + darah)
• Massa pada serviks,
mudah berdarah

Gynecology Illustrated.; http://www.aafp.org


Kanker Serviks: Patogenesis

The
oncogenic
proteins

http://media.jaapa.com/Images/2009/
Kanker Serviks: Faktor Risiko
• Aktivitas Seksual • Faktor Lain
• Jumlah partner seksual • Kehamilan usia dini
• Partner seksual tidak • Multiparitas
disirkumsisi • Sosial ekonomi rendah
• Aktivitas seksual usia dini • Merokok
(< 16 tahun) • Imunosupresi
• Defisiensi nutrisi &
Penyakit Menular Seksual vitamin
• Human papillomavirus • Kontrasepsi oral > 5
• Herpes simplex virus tahun
• Chlamydia trachomatis • Riwayat lesi intraepitelial
• HIV skuamosa
Kanker Serviks: Stadium
Deteksi Lesi Pra Kanker
• Deteksi Lesi Pra Kanker
– Pelayanan Primer: IVA, VILI (Visual inspection with
Lugol's iodine (VILI), a.k.a Schiller's test), sitologi
pap smear
– Pelayanan Sekunder: Liquid base cytology
– Pelayanan Tersier: DNA HPV
Deteksi Lesi Prakanker: Pap Smear
Pap Smear
• Sampel sel-sel diambil dari luar serviks dan dari liang serviks dengan
melakukan usapan dengan spatula yang terbuat dari bahan kayu atau
plastik
• Setelah usapan dilakukan, sebuah cytobrush (sikat kecil berbulu halus,
untuk mengambil sel-sel serviks) dimasukkan untuk melakukan usapan
dalam kanal serviks
• Setelah itu, sel-sel diletakkan dalam object glass (kaca objek) dan
disemprot dengan zat untuk memfiksasi, atau diletakkan dalam botol
yang mengandung zat pengawet, kemudian dikirim ke laboratorium
untuk diperiksa
ASC-H: atypical squamous cells cannot exclude high grade
ASC-US: atypical squamous cells of undetermined significance

Papsmear

Accuracy of the Papanicolaou Test in Screening for and Follow-up of Cervical Cytologic Abnormalities: A
Systematic Review
Kavita Nanda, MD, MHS; Douglas C. McCrory, MD, MHSc; Evan R. Myers, MD, MPH; Lori A. Bastian, MD, MPH; Vic
Hasselblad, PhD; Jason D. Hickey; and David B. Matchar, MD
Pemeriksaan
Lower 1/3 of Epithelium Middle 1/3 of Epithelium > 2/3 of Epithelium

Bethesda (NCI) squamous


LSIL HSIL HSIL
intraepithelial lesion

Cervical intraepithelial
CIN1 CIN2 CIN3
neoplasia

Reagan terminology mild moderate severe/CIS (dysplasia)


PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana LSIL

Skrining 12
bulan

Observasi
LSIL ulang test 3
bulan

(+) Kolposkopi

LSIL/HSIL

Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana HSIL

(-) Observasi
- Observasi
NIS I DNA HPV
+ Ablasi
NIS II + Ablasi

HSIL Kolposkopi NIS III + Ablasi

Konisasi

Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kolposkopi
• Kolposkopi
– Mempelajari serviks saat hasil Pap
mendeteksi sel abnormal.
– Pemeriksaan porsio, vagina dan vulva
dengan pembesaran 10-15x; untuk
menampilkan porsio, dipulas terlebih
dahulu dengan asam asetat 3-5%
– Porsio dengan kelainan (infeksi HPV
atau Neoplasia Intraepitel Serviks)
terlebih bercak putih atau perubahan
corakan pembuluh darah
– Mahal dan ketersediaan alat terbatas
 hanya digunakan untuk
pemeriksaan lanjut dari hasil tes pap
abnormal
http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345
6789/24546/4/Chapter%20II.pdf
Pemeriksaan Cone Biopsy
• Biopsi Cone
Prosedur diagnostik dan terapeutik
Pemeriksaan
• HPV DNA testing
 Meningkatkan sensitifitas hingga 96% bersama
dengan Pap Smear.
 HPV tidak dapat dikultur di laboratorium sehingga
digunakan teknologi molekuler untuk mendeteksi
DNA HPV dari sampel servikal, misalnya, dengan PCR.
147. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks

Hyperemesis gravidarum (no universally accepted definition)


• NVP with complications:
– dehydration,
– hyperchloremic alkalosis,
– ketosis

Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) index
• Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) score can be used to classify the
severity of NVP

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
The initial management of NVP and HG
• Women with mild NVP should be managed in the
community with antiemetics.
• Ambulatory daycare management should be used for
suitable patients when community/primary care measures
have failed and where the PUQE score is less than 13.
• Inpatient management should be considered if there is at
least one of the following:
– continued nausea and vomiting and inability to keep down oral
antiemetics
– continued nausea and vomiting associated with ketonuria
and/or weight loss (greater than 5% of body weight), despite
oral antiemetics
– confirmed or suspected comorbidity (such as urinary tract
infection and inability to tolerate oral antibiotics)
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Therapeutic options for NVP and HG
• Antiemetics
– There are safety and efficacy data for first-line antiemetics such as
antihistamines (H1 receptor antagonists) and phenothiazines and they should
be prescribed when required for NVP and HG
– Combinations of different drugs should be used in women who do not
respond to a single antiemetic.
– For women with persistent or severe HG, the parenteral or rectal route may be
necessary and more effective than an oral regimen. Women should be asked
about previous adverse reactions to antiemetic therapies.
– Metoclopramide is safe and effective, but because of the risk of
extrapyramidal effects it should be used as second-line therapy.
– There is evidence that ondansetron is safe and effective, but because data are
limited it should be used as second-line therapy
– Drug-induced extrapyramidal symptoms and oculogyric crises can occur with
the use of phenothiazines and metoclopramide. If this occurs, there should be
prompt cessation of the medications.

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
148. Asma dan Kehamilan

Pengaruh kehamilan pada asma:


•  hormon estrogen: kongesti kapiler hidung
(terutama trimester ketiga)
•  hormon progesteron: peningkatan laju
pernapasan, bronkodilatasi
•  hormon kortisol bebas: << gejala asma
• prostaglandin (terutama trimester III):
bronkokonstriktor (Nelson and Piercy, 2001)
Komplikasi Asma pada Kehamilan

• Bagi Ibu:
– Preeklampsia, hipertensi, hiperemesis gravidarum,
perdarahan pervaginam, induksi, komplikasi
kehamilan

• Bagi Janin
– Kematian perinatal, IUGR, kehamilan preterm,
hipoksia neonatal, BBLR
Asma pada Kehamilan
• Diagnosis: sama seperti pasien tidak hamil (Sesak/ sulit bernapas, wheezing,
batuk berdahak, ronkhi)

• Tatalaksana pada kehamilan


– O2 dan pasang kanul IV.
– Hindari penggunaan obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin.
– Berikan cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%.
– Salbutamol via nebulizer
– Metilprednisolon IV 40-60 mg/ 6 jam, ATAU hidrokortison IV 2 mg/kgBB/ 4 jam atau
setelah loading dose 2 mg/kgBB dilanjutkan infus 0,5 mg/kgBB/jam.
– Jika ada tanda infeksi, beri ampisilin 2 g IV tiap 6 jam.
– Rujuk ke fasilitas yang memadai. Di rumah sakit rujukan, pertimbangkan foto
thoraks, laboratorium, alat monitor fungsi vital, dan rawat intensif bilamana perlu.
– Budesonide inhalasi sebagai controller

• Bila harus dilakukan persalinan: Jangan beri prostaglandin. Untuk mencegah


perdarahan pascasalin, beri oksitosin 10 unitIM atau ergometrin 0,2 mg IM.
149. PELVIC INFLAMMATORY DISEASE
• Infeksi pada traktus genital atas wanita yang melibatkan
kombinasi antara uterus, ovarium, tuba falopi, peritonium
pelvis, atau jaringan penunjangnya.
• PID terutama terjadi karena ascending infection dari traktus
genital bawah ke atas
• Patogen: Dapat berupa penyakit akibat hubungan seksual atau
endogen (Tersering: N. Gonorrhea & Chlamydia Trachomatis)
• Faktor Risiko:
 Kontak seksual
 Riwayat penyakit menular seksual
 Multiple sexual partners
 IUD

PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012


IUD and Infection
• Historically there have been concerns that IUD use
increases the risk of pelvic inflammatory disease (PID) 
no evidence
• Although PID resulting from IUD insertion is rare , given
the possible serious sequelae of PID, clinicians should have
a low threshold for empiric treatment of PID in women who
have recently undergone IUD insertion.
• All women with IUD suspected of having PID should
undergo bimanual exam to evaluate for cervical motion,
uterine, or adnexal tenderness.
• Additionally, speculum exam should be performed to
evaluate for cervical mucopurulent discharge
IUD related infection : Treatment
• PID has historically been associated with STIs, such as chlamydia and
gonorrhea, but multiple other agents including genital mycoplasmas, both
aerobic and anaerobic endogenous vaginal flora, and aerobic
streptococcus can also cause PID
• Studies have found higher rates of BV in women using the IUD than in
women using other contraceptive method  Metronidazole should be
used in women suspected with PID

• Treatment :
– In treating mild to moderate pelvic inflammatory disease, it is not necessary to
remove the intrauterine device during treatment unless the patient requests
removal or there is no clinical improvement after 72 hours of appropriate
antibiotic treatment.
– In cases of severe pelvic inflammatory disease, consideration can be given to
removing the intrauterine device after an appropriate antibiotic regimen has
been started.

SOGC COMMITTEE OPINION. Best Practices to Minimize Risk of Infection With Intrauterine Device Insertion. March 2014.
Salphingitis
• Inflamasi pada tuba fallopi

• Salphingitis akut biasanya disamakan dengan PID karena merupakan bentuk paling sering
dari PID

• Faktor Risiko
– Instrumentasi pada serviks dan uteri (IUD, biopsi, D&C)
– Perubahan hormonal selama menstruasi, menstruasi retrogard

• Gejala dan Tanda


– Spotting, dismenorea, dispareunia, demam, nyeri punggung bawah, sering BAK, mual dan muntah,
nyeri goyang serviks

• Diagnosis
• Nyeri perut bawah, nyeri adneksa bilateral, nyeri goyang serviks
• Tambahan: suhu oral > 38.3 C, keputihan abnormal, peningkatan C rekative protein, adanya bukti
keterlibatan N. gonorrhoeae atau C. trachomatis

• Terapi
– Rawat inap dengan antibiotik IV (cefoxitin dan doksisiklin)
– Rawat jalan dengan cefotixin IM dan Doksisiklin oral
– Operatif bila antibiotik gagal

http://emedicine.medscape.com/article/275463-overview#a2
PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012
PID: Pengobatan
• Harus berspektrum luas
• Semua regimen harus efektif melawan N. gonorrhoeae dan C.
trachomatis karena hasil skrining endoserviks yang negatif tidak
menyingkirkan infeksi saluran reproduksi atas

• Rawat jalan atau rawat inap bergantung pada:


 Adanya emergensi (contoh; apendisitis)
 Pasien hamil
 Pasien tidak berespon baik terhadap antibiotik oral
 Pasien tidak memungkinkan untuk menoleransi antibiotik oral
 Pasien memiliki penyakit berat, mual-muntah, demam tinggi
 Pasien memiliki abses tubo-ovarian

http://www.cdc.gov/std/treatment/2010/pid.htm
Pelvic Inflammatory Disease

Sexually active woman presenting with abnormal vaginal


discharge, lower abdominal pain, OR dyspareunia

Uterine tenderness, OR
Adnexal tenderness, OR
Cervical motion tenderness on pelvic exam?

YES NO

1) Perform NAAT for gonorrhea and chlamydia


2) Perform pregnancy testing See Vaginal Discharge algorithm,
3) Perform vaginal microscopy if available consider other organic causes
4) Offer HIV testing

Empiric treatment for PID* if no other organic


cause found (e.g. ectopic pregnancy, appendicitis)

Signs of severe illness (i.e. high fever, nausea/vomiting), OR


Surgical emergency (e.g. appendicitis) not excluded, OR
Suspected to have a tubo-ovarian abscess, OR
Unable to tolerate or already failed oral antibiotics, OR
Pregnant?

YES NO

Inpatient PID treatment: Outpatient PID treatment:


Cefotetan 2g IV Q12 hours OR Ceftriaxone 250mg IM x 1 dose PLUS
Cefoxitin 2g IV Q6 hours, PLUS Doxycycline 100mg PO BID x 14 days,** WITH OR WITHOUT
Doxycycline 100mg PO/IV Q12 hours** Metronidazole 500mg PO BID x 14 days***
(other regimens available****) OR
Cefoxitin 2g IM x 1 dose and Probenecid 1g PO x 1dose together PLUS
Doxycycline 100mg PO BID X 14 days,** WITH OR WITHOUT
Metronidazole 500mg PO BID x 14 days***
(other regimens available****)

1) Hospitalize 24-48 hours to ensure response to treatment Response to treatment


2) Discharge on oral antibiotics to complete 14 day course 72 hours later? http://depts.washington.edu/handbook/syndr
omesFemale/ch8_pid.html
NO YES

See Inpatient treatment Continue treatment for 14 days


http://www.cdc.gov/std/treatment/201
0/pid.htm
150. KB Mantap
Definisi
• Menutup tuba falopii (mengikat dan
memotong atau memasang cincin),
sehingga sperma tidak dapat bertemu
dengan ovum
• oklusi vasa deferens sehingga alur
transportasi sperma terhambat dan
proses fertilisasi tidak terjadi

Efek Samping
• Nyeri pasca operasi

Kerugian
• Infertilitas bersifat permanen
Female Sterilization Overview
Anatomy

Ampulla
Isthmus

Infundibulum

Fimbria
Methods of Female Sterilization

Interval Post Partum/ Labor & Delivery


• Laparoscopic • Pomeroy
– Electrocoagulation (Mono • Parkland
and Bi -Polar)
• Irving
– Falope Ring
• Uchida
– Hulka Clip
• Filshie Tubal Ligation System
– Filshie Tubal Ligation
System
• Hysteroscopy
– Essure
– Adiana
Methods of Female Sterilization1
Procedure Timing Technique
Minilaparotomy • Post Partum • Mechanical Devices (Clips,
Rings)
• Post Abortion
• Tubal Ligation or Excision
• Interval
Laparoscopy • Interval Only • Electrocoagulation
(Unipolar, Bipolar)
• Mechanical Devices (Clips,
Rings)
Laparotomy In conjunction with other • Mechanical Devices (Clips,
surgery (Cesarean Rings)
section, salpingectomy,
ovarian cystectomy, etc.) • Tubal Ligation or Excision
1 Female Sterilization In: Landry E, ed. Contraceptive Sterilization: Global Issues and Trends. New York: Engender Health; 2002: 139-160

Since 2002, hysteroscopic methods are available and can be performed


interval-only (Essure and Adiana).
Methods of Female Sterilization
Pomeroy Technique
Developed in 1930 by Ralph Hayword
Pomeroy
– Incision – suprapubic and
subumbilical (PP)
– Isthmic portion is ligated twice with
0 or 2-0 plain catgut suture Tied
– Segment is then excised
– Inspect for hemostasis and the
presence of the tubal lumen
Cut
Benefits
– Easy technique
– Highly effective Final result
– Relatively inexpensive (excluding lab
costs for pathology)
Complications
Failure Rate: 7.5/1000
– Infection and bleeding
– Potential ectopic pregnancy

1 Pregnancy After Tubal Sterilization with Bi-Polar Electrocoagulation. Obstetrics and GYN. August 1999 Volume
94. Herbert B Petterson et al for the CREST Working Group
Kontrasepsi Mantap
Keuntungan Kerugian
• Efektif dan permanen • Rasa sakit/ tidak nyaman
• Tidak ada efek samping jangka pendek
jangka panjang • Risiko pembedahan
• Tidak mempengaruhi proses • Tidak dapat dilakukan untuk
menyusui orang yang masih memiliki
• Tidak mengganggu anak
hubungan seksual
• Tindakan aman &
sederhana
151. Hemorrhagia Post Partum

Etiologi (4T dan I) • Palpasi uterus


• Tone (tonus) – atonia – Bagaimana kontraksi uterus dan tinggi
fundus uterus.
uteri • Memeriksa plasenta dan ketuban:
• Trauma – trauma – lengkap atau tidak.
traktus genital • Melakukan eksplorasi kavum uteri untuk
• Tissue (jaringan)- mencari :
– Sisa plasenta dan ketuban.
retensi plasenta
– Robekan rahim.
• Thrombin – – Plasenta suksenturiata.
koagulopati • Inspekulo :
• Inversio Uteri – untuk melihat robekan pada serviks, vagina
dan varises yang pecah.
• Pemeriksaan laboratorium :
– periksa darah, hemoglobin, clot
observation test (COT), dan lain-lain.
Hemorrhagia Post Partum: Definisi
• Definisi Lama
– Kehilangan darah > 500 mL setelah persalinan pervaginam
– Kehilangan darah > 1000 mL setelah persalinan sesar (SC)

• Definisi Fungsional
– Setiap kehilangan darah yang memiliki potensial untuk
menyebabkan gangguan hemodinamik

• Insidens
– 5% dari semua persalinan
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
G E J A L A D A N TA N D A G E J A L A & TA N D A YA N G DIAGNOSIS
YA N G S E L A L U A D A KADANG-KADANG ADA
• Uterus tidak berkontraksi dan lembek • Syok Atonia uteri
• Perdarahan setelah anak lahir (perdarahan
pascapersalinan primer)

• Perdarahan segera • Pucat Robekan jalan


• Darah segar yang mengalir segera setelah bayi • Lemah lahir
lahir • Menggigil
• Uterus kontraksi baik
• Plasenta lengkap

• Plasenta belum lahir setelah 30 menit • Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
• Perdarahan segera (P3) berlebihan
• Uterus kontraksi baik • Inversio uteri akibat tarikan
• Perdarahan lanjutan

• Plasenta atau sebagian selaput (mengandung • Uterus berkontaksi tetapi tinggi Tertinggalnya
pembuluh darah) tidak lengkap • fundus tidak berkurang sebagian plasenta
• Perdarahan segera • (kontraksi hilang-timbul)
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
GEJALA DAN
G E J A L A D A N TA N D A TA N D A YA N G
DIAGNOSIS
YA N G S E L A L U A D A KADANG-KADANG
ADA
• Uterus tidak teraba • Syok neurogenik Inversio uteri
• Lumen vagina terisi massa • Pucat dan limbung
• Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir)
• Perdarahan segera
• Nyeri sedikit atau berat

• Sub-involusi uterus • Anemia Perdarahan


• Nyeri tekan perut bawah • Demam terlambat
• Perdarahan > 24 jam setelah persalinan. Perdarahan Endometritis atau
sekunder atau P2S. Perdarahan bervariasi (ringan atau sisa plasenta
berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (terinfeksi atau
(jika disertai infeksi) tidak)

• Perdarahan segera (Perdarahan intraabdominal dan / • Syok Robekan dinding


atau pervaginam • Nyeri tekan perut uterus (Ruptura
• Nyeri perut berat atau akut abdomen • Denyut nadi ibu cepat uteri
HPP: Tatalaksana

2 komponen utama:
1. Tatalaksana
perdarahan
obstetrik dan
kemungkinan syok
hipovolemik
2. Identifikasi dan
tatalaksana
penyebab utama
Atonia Uteri: Faktor Risiko
• Uterus overdistensi (makrosomia, kehamilan kembar,
hidramnion atau bekuan darah)
• Induksi persalinan
• Penggunaan agen anestetik (agen halogen atau
anastesia dengan hipotensi)
• Persalinan lama
• Korioamnionitis
• Persalinan terlalu cepat
• Riwayat atonia uteri sebelumnya

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Masase uterus segera setelah plasenta lahir (15 detik) ATONIA
UTERI:
TATALAKSANA
kompresi bimanual interna maks 5 menit

Identifikasi sumber
Jika terus berdarah, Kompresi bimanual eksterna + perdarahan lain
Infus oksitosin dalam NS** • Laserasi jalan
Infus untuk restorasi cairan & jalur obat esensial, kemudian
lahir
lanjutkan KBI
• Hematoma
parametrial
Tidak berhasil • Ruptur uteri
• Inversio uteri
• Sisa fragmen
plasenta
Rujuk; Selama perjalanan Kompresi
bimanual eksterna **Berikan 20-40 unitoksitosin dalam 1000 ml
Berhasil Kompresi aorta abdominalis larutan NaCl 0,9%/Ringer
Tekan segmen bawah atau aorta Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan
abdominalis; lanjutkan infus infus 20 IU 10 unitIM. Lanjutkan infus oksitosin 20
unitdalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer
oksitosin dalam 500 ml NS/RL/ jam Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit
hingga perdarahan berhenti.

Terkontrol Ligasi a. uterina & ovarika Perdarahan masih

Transfusi Rawat & Observasi HISTEREKTOMI Transfusi


Atonia Uteri: Terapi
• Atonia Uteri - Bimanual Massage
152. Mioma Uteri
• Disebut juga: fibroid, leimioma, leimiomata, fibromioma
• Tumor jinak yang tumbuh dari jaringan otot uterus
• Dapat terdiri dari satu mioma atau beberapa mioma kecil
• Epidemiologi: 20-50% wanita usia subur

• Faktor risiko:
• Parity — Parity (having one or more
pregnancies extending beyond 20 weeks
of gestation) decreases the chance of
fibroid formation
• Early menarche — Early menarche (<10
years old) is associated with an increased
risk of developing fibroids.
• Alcohol increases risk; where as smoking
decreasing risk
• Genetics — Studies imply a familial
predisposition to leiomyomas in some
women. http://www.myoma.co.uk/about-uterine-myoma.html
Klasifikasi
• Mioma uteri diklasifikasikan berdasarkan letak
pertumbuhannya pada lapisan uterus, yaitu
– mioma subserosa  di lapisan serosa uterus
– mioma intramural  mioma yang tumbuh di lapisan
tengah dinding uterus
– mioma submukosa  mioma yang tumbuh di lapisan
endometrium dan tumbuh ke arah kavum uteri.
• Bila mioma tumbuh dan bertangkai, maka dapat keluar
masuk ke dalam vagina disebut mioma geburt
– mioma bertangkai (pedunculated)  Bila mioma uteri
hanya dihubungkan oleh tangkai ke uterus

E Surya. Mioma Servikal. 2010


Mioma Uteri
Gejala dan Tanda:
• Perdarahan banyak dan lama selama masa haid atau pun di luar masa haid
• Rasa nyeri karena tekanan tumor dan terputarnya tangkal tumor, serta adanya infeksi rahim
• Penekanan pada organ di sekitar tumor seperti kandung kemih, ureter, rektum, organ
panggul lain  gangguan BAB atau BAK, pelebaran pembuluh darah vena dalam panggul,
gangguan ginjal
• Infertilitas karena terjadi penekanan pada saluran indung telur
• Pada bagian bawah perut dekat rahim terasa kenyal.

Pada kehamilan
• Membesar pada trimester pertama karena pengaruh estrogen
• Degenerasi merah pada masa hamil atau nifas
• Torsio dengan tanda akut abdomen

Faktor Predisposisi
• Nulipara, infertilitas, riwayat keluarga

Diagnosis
• Massa yang menonjol/ teraba seperti bagian janin, tes HCG (-)
• USG abdominal/ transvaginal Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Mioma Uteri: Tatalaksana
• Pemeriksaan Berkala
– Pemeriksaan fisik &USG setiap 6-8 minggu untuk mengawasi
pertumbuhan, ukuran, dan jumlah  bila stabil  observasi setiap
3-4 bulan

• Terapi Hormonal
– Preparat progestin atau GnH  efek hipoestrogen

• Terapi Operasi
– Miomektomi
• Bila pasien masih muda/ingin memiliki anak
– Histerektomi
• Bila tidak ingin memiliki anak lagi atau nyeri hebat yang tidak sembuh
dengan terapi
– Miolisis
• Koagulasi laparoskopik dengan neodymium
– Embolisasi arteri uteri
E Surya. Mioma Servikal. 2010
Tatalaksana
• Tatalaksana mioma dapat konservatif atau operatif,
konservatif untuk mengobati gejala.
• Cara operatif digunakan bila terapi medikamentosa
tidak dapat mengatasi keluhan, dapat berupa
histerektomi, miomektomi, atau miolisis
• Indikasi histerektomi menurut American College of
Obstetricians and Gynecologist (ACOG)
– 1. Mioma asimptomatik yang dapat teraba dari dinding
perut dan dikeluhkan oleh pasien.
– 2. Perdarahan uterus berlebihan, yang ditandai/diikuti
oleh:
• Perdarahan banyak dan bergumpal atau berulang selama >8 hari.
• Anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
– 3. Rasa tidak nyaman di pelvis yang:
• akut dan hebat,
• rasa tertekan pada perut bagian bawah atau pinggang, atau
• penekanan vesika urinaria yang meningkatkan frekuensi miksi
bukan disebabkan oleh infeksi saluran kemih.

E Surya. Mioma Servikal. 2010


153. Ketuban Pecah Dini
• Robeknya selaput korioamnion dalam kehamilan
(sebelum onset persalinan berlangsung)
• PPROM (Preterm Premature Rupture of
Membranes): ketuban pecah saat usia kehamilan
< 37 minggu
• PROM (Premature Rupture of Membranes): usia
kehamilan > 37 minggu

• Kriteria diagnosis :
– Usia kehamilan > 20 minggu
– Keluar cairan ketuban dari vagina
– Inspekulo : terlihat cairan keluar dari OUE
– Kertas nitrazin menjadi biru
– Mikroskopis : terlihat lanugo dan verniks kaseosa

• Pemeriksaan penunjang: USG (menilai jumlah cairan ketuban,


menentukan usia kehamilan, berat janin, letak janin, kesejahteraan janin
dan letak plasenta)
KPD: Diagnosis
• Inspeksi
• pengumpulan cairan di vagina atau mengalir keluar dari lubang
serviks saat pasien batuk atau saat fundus ditekan

• Kertas nitrazin (lakmus)


• Berubah menjadi biru (cairan amnion lebih basa)

• Mikroskopik
• Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)

• Amniosentesis
• Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS  tampak
pada tampon vagina setelah 30 menit

http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
KPD: Tatalaksana
KETUBAN PECAH DINI

MASUK RS
• Antibiotik
• Batasi pemeriksaan dalam
• Observasi tanda infeksi & fetal distress

PPROM
• Observasi:
PROM
• Temperatur
• Fetal distress
• Kelainan Obstetri
Kortikosteroid
• Fetal distress
Letak Kepala
• Letak sungsang
• CPD
• Riwayat obstetri buruk Indikasi Induksi
• Grandemultipara • Infeksi
• Elderly primigravida • Waktu
• Riwayat Infertilitas
• Persalinan obstruktif

Berhasil
• Persalinan pervaginam
Gagal
Sectio Caesarea • Reaksi uterus tidak ada
• Kelainan letak kepala
• Fase laten & aktif memanjang
• Fetal distress
• Ruptur uteri imminens
• CPD
Ketuban Pecah Prematur: Tatalaksana
• Tatalaksana Umum: Antibiotik profilaksis
• DOC: Penisilin dan makrolida
• Ampicillin 2 g IV/6 jam dan erythromycin 250 mg IV/6 jam selama 2 hari diikuti amoxicillin 250
mg PO/ 8 jam dan erythromycin 333 mg PO/8 jam selama 5 hari
• Atau eritromisin 250 mg PO/6 jam selama 10 hari
• Kombinasi amoksilin dengan asam klavulanat tidak digunakan karena dapat
memicu terjadinya enterokolitis nekrotikans

• Tatalaksana Khusus kehamilan 24-33 minggu


– Selama perawatan 2 hari dilakukan:
• Observasi adanya amnionitis/tanda infeksi (demam, takikardia, lekositosis, nyeri pada rahim,
sekret vagina purulen, takikardi janin)
• Pengawasan timbulnya tanda persalinan
• USG menilai kesejahteraan janin
– Bila terdapat amnionitis, abrupsio plasenta, dan kematian janin, lakukan persalinan
segera.
– Berikan deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam atau betametason 12
mg IM tiap 24 jam selama 48 jam.
– Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai kondisi ibu dan janin.
– Bayi dilahirkan di usia kehamilan 34 minggu, atau di usia kehamilan 32-33 minggu,
bila dapat dilakukan pemeriksaan kematangan paru dan hasil menunjukkan bahwa
paru sudah matang (komunikasikan dan sesuaikan dengan fasilitas perawatan bayi
preterm).
Tatalaksana Khusus
• <24 minggu:
– Pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan
janin.
– Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan
mungkin menjadi pilihan.
– Jika terjadi infeksi (korioamnionitis), lakukan
tatalaksana korioamnionitis
• >34 minggu:
– Lakukan induksi persalinan dengan oksitosin bila tidak
ada kontraindikasi.
Alur Antibiotik untuk KPD
KPD: Diagnosis
• Inspeksi
• pengumpulan cairan di vagina atau mengalir keluar dari lubang
serviks saat pasien batuk atau saat fundus ditekan

• Kertas nitrazin (lakmus)


• Berubah menjadi biru (cairan amnion lebih basa)

• Mikroskopik
• Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)

• Amniosentesis
• Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS  tampak
pada tampon vagina setelah 30 menit

http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
Fern Test (Amniotic Fluid Crystallization Test
for Ruptured Membranes )
• Purpose:
– Detection of fern-type amnoitic fluid crystallization
as an aid in the detection of ruptured amniotic
membranes in pregnant women.
• “Ferning” is not specific for amniotic fluid. Other
fluids (e.g., blood, cervical mucus, semen and
some urine specimens) when dried can also yield
microscopic crystallization in a “fern” pattern
• Ferning is due to the prescence of sodium chloride
in the mucus under estrogen effect.
• When high levels of estrogen are present just
before the ovulation, the cervical mucus forms fern
like pattern due to crystallization of sodium
chloride on mucus fiber.
154. TB pada Kehamilan
• Pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya

• WHO
– Hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
Streptomisin (permanent ototoxic dan dapat menembus
barier placenta)  gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada janin

• Perlunya KIE pada ibu hamil agar melaksanakan


pengobatan dengan baik agar persalinan berjalan
lancar dan bayi terhindar dari kemungkinan tertular TB
TB pada Menyusui dan KB
• Menyusui
– Pengobtan TB pada menyusui serupa dengan TB pada
umumnya
– Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui
– Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan
– Pencegahan dengan INH diberikan pada bayi sesuai berat
badannya

• Kontrasepsi
– Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal 
menurunkan efektivitas kontrasepsi
– Sebaiknya pasien dengan TB menggunakan KB non
hormonal,atau kontrasepsi dengan estrogen dosis tinggi (50
mcg)
Pengaruh Tuberkulosis Paru terhadap
Kehamilan
• kematian janin 6 kali lebih besar dan insidens
dari: prematuritas, KMK ( kecil untuk masa
kehamilan), BBLR (berat badan lahir rendah)
(<2500g) adalah 2 kali lipat
• Pengaruh tidak langsung tuberkulosis
terhadap kehamilan ialah efek teratogenik
terhadap janin karena obat anti tuberkulosis
yang diberikan kepada sang ibu.

Najoan Nan Warouw, Aloysius Suryawan .Manajemen TBC dalam Kehamilan. JKM. Vol. 6, No. 2, Februari 2007
155. PCOS
• Etiologi
– hiperandrogenisme dan resistensi terhadap insulin

• Gejala PCOS
– Gangguan siklus haid yaitu siklus haid jarang dan tidak teratur
– Gangguan kesuburan dimana yang bersangkutan menjadi sulit
hamil (subfertile)
– Tumbuh bulu yang berlebihan dimuka, dada, perut, anggota
badan dan rambut mudah rontok (hirsutisme)
– Banyak jerawat
– kegemukan (obesitas)
– Pada USG ditemukan banyak kista
di ovarium
PCOS: Pemeriksaan
• Diagnosis USG
– Gambaran seperti roda
pedati
– 12 atau lebih folikel
terlihat jelas di satu
ovarium
– Ukuran satu atau
kedua ovarium
membesar
PCOS: Terapi
Tata laksana PCOS dilakukan secara komprehensif, meliputi:

Edukasi
Menjelaskan pentingnya perubahan gaya hidup untuk memperbaiki gangguan hormonal yang terjadi

Penurunan berat badan


Penurunan indeks massa tubuh sebesar 10% dapat memperbaiki pematangan sel telur

Manajemen resistensi insulin


Pengobatan resistensi insulin dengan metformin dapat memperbaiki pematangan sel telur

Manajemen gangguan haid


Pengaturan siklus haid sangat penting peranannya untuk mencegah penebalan lapisan dinding dalam rahim.
Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian metformin, pil kontrasepsi kombinasi atau preparat progestin

Manajemen infertilitas
Tata laksana lini pertama pada SOPK adalah penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup. Tindakan
selanjutnya adalah induksi ovulasi yang dapat dilakukan dengan klomifen sitrat dan atau metformin

Manajemen pertumbuhan rambut dan jerawat


Pemberian pil kontrasepsi atau anti androgen dapat mengobati pertumbuhan jerawat dan rambut yang
berlebihan pada pasien SOPK.
156. TORCH: Rubella
• Karakteristik • Tes Serologik Rubella
– Single-stranded RNA virus Kongenital
– Dapat dicegah oleh vaksin
– Ringan, self-limiting
• Bayi
– Infeksi pada trimester pertama • IgM = Infeksi baru atau
memiliki kemungkinan mengenai kongenital
janin yang tinggi
• Peningkatan titer IgG
bulanan mengarah pada
• Diagnosis kongenital
– IgG maternal  bisa akibat
imunisasi atau infeksi lampau  • Diagnosis setelah anak berusia
tidak dapat dipegang 1 tahun  sulit
– Virus dapat diisolasi dari sekret nasal

• Terapi
- Pencegahan: Imunisasi
- Perawatan: suportif dengan
mengedukasi orangtua
Rubella
• This RNA togavirus typically causes infections of minor importance
in the absence of pregnancy.
• Rubella infection in the first trimester  significant risk for abortion
and severe congenital malformations.
• Transmission occurs via nasopharyngeal secretions, and the
transmission rate is 80 percent to susceptible individuals
• Vertical transmission from maternal to fetus  intraplasental
route
• Maternal rubella infection is usually a mild, febrile illness with a
generalized maculopapular rash beginning on the face and
spreading to the trunk and extremities.
– Other symptoms : arthralgias or arthritis, head and neck
lymphadenopathy, and conjunctivitis.
– Up to half of maternal infections are subclinical despite viremia that
may cause devastating fetal infection
Fetal Effect
• Rubella is one of the most complete teratogens, and sequelae of fetal infection
are worst during organogenesis.
• Pregnant women with rubella infection and a rash during the first 12 weeks of
gestation have a fetus with congenital infection in up to 90 percent of cases
• At 13 to 14 weeks’ gestation, this incidence was 54 percent, and by the end of
the second trimester, it was 25 percent. Defects are rare after 20 weeks
• Congenital rubella syndrome includes one or more of the following:
– Eye defects  cataracts and congenital glaucoma
– Congenital heart defects  patent ductus arteriosus and pulmonary artery stenosis
– Sensorineural deafness  the most common single defect
– Central nervous system defects  microcephaly, developmental delay, mental
retardation, and meningoencephalitis
– Pigmentary retinopathy
– Neonatal purpura
– Hepatosplenomegaly and jaundice
– Radiolucent bone disease
• Neonates born with congenital rubella may shed the virus for many months and
thus be a threat to other infants and to susceptible adults who contact them.
Rubella Kongenital: Manifestasi Klinis

• Tuli sensorineural (50-75%)


• Katarak dan glaukoma (20-50%)
• Kelainan jantung (20-50%)
• Neurologis (10-20%)
• Lainnya termasuk pertumbuhan terhambat,
gangguan tulang, trombositopenia, lesi
“blueberry muffin”
157. ANEMIA
• Anemia adalah suatu kondisi dimana terdapat
kekurangan sel darah merah atau hemoglobin.
• Diagnosis :
– Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III) atau <
10,5 g/dl (pada trimester II)

• Faktor Predisposisi :
– Diet rendah zat besi, B12, dan asam folat
– Kelainan gastrointestinal
– Penyakit kronis
– Riwayat Keluarga
Tatalaksana Umum
• Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel
darah merah.
• Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan
suplementasi besi dan asam folat.
– Tablet yang saat ini banyak tersedia di Puskesmas adalah tablet
tambah darah yang berisi 60 mg besi elemental dan 250 µg asam
folat.
– Pada ibu hamil dengan anemia, tablet tersebut dapat diberikan 3 kali
sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan, lanjutkan pemberian
tablet sampai 42 hari pascasalin.
– Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan asam folat kadar
hemoglobin tidak meningkat, rujuk pasien ke pusat pelayanan yang
lebih tinggi untuk mencari penyebab anemia.
Tatalaksana Khusus
• Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus darah tepi.
• Anemia mikrositik hipokrom :
– Defisiensi besi: lakukan pemeriksaanferritin. Apabila ditemukan kadar
ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan dosis setara 180 mg besi
elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan
TIBC.
– Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan
tatalaksana bersama dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang
lebih spesifik
• Anemia normositik normokrom :
– Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi, mola,
kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan
– Infeksi kronik
• Anemia makrositik hiperkrom :
– Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan
vitamin B12 1 x 250 – 1000 µg
• Transfusi untuk anemia dilakukan pada pasien
dengan kondisi berikut:
• Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20%
• Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing, pandangan
berkunangkunang, atau takikardia (frekuensi nadi
>100x/menit)
– Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan
janin dengan memantau pertambahan tinggi fundus,
melakukan pemeriksaan USG, dan memeriksa denyut
jantung janin secara berkala.
Maternal Effect of Anemia
• Obviously, severe anemia has adverse effects on the mother and
the fetus.
• Major maternal complications directly related to anemia are not
common in women with a hemoglobin level greater than 6 gr/dl.
• However, Hb levels even lower may lead to significant morbidity in
pregnant women, such as infections, increased hospital stays, and
other general health problems.
• In more severe cases, especially in pregnant women with
hemoglobin levels less than 6 gr/dl, significant life-threatening
problems secondary to high-output congestive heart failure and
decreased oxygenation of tissues, including heart muscle may be
encountered.
• severe iron deficiency anemia or methemorragic anemia may be
presented by complications of pregnancy, such as placenta previa
or abruptio placenta, operative delivery and post partum
hemorrhage.
Sifakis S. Anemia in Pregnancy. Annals of the New York Academy of Sciences. February 2000.
Fetal Effect of Anemia
• effects the maternal anemia has on the fetus
are not well defined; however, several reports
in the literature associate the reduction in
hemoglobin level with prematurity,
spontaneous abortions, low birth weight, and
fetal death.

Sifakis S. Anemia in Pregnancy. Annals of the New York Academy of Sciences. February 2000.
Megaloblastic Anemia in Pregnancy
• These anemias are
characterized by blood
and bone-marrow
abnormalities from
impaired DNA
synthesis.
• Worldwide, the
prevalence of
megaloblastic anemia
during pregnancy varies
considerably
Cunningham et al. Williams Obstetrics 24th ed. 2014
Folic Acid deficiency
• megaloblastic anemia beginning during
pregnancy almost always results from folic acid
deficiency
• It usually is found in women who do not consume
fresh green leafy vegetables, legumes, or animal
protein.
• As folate deficiency and anemia worsen, anorexia
often becomes intense and further aggravates
the dietary deficiency
• folic acid during pregnancy  requirements are
increased, and 400 μg/day is recommended
Cunningham et al. Williams Obstetrics 24th ed. 2014
Vit B12 Deficiency
• During pregnancy, vitamin B12 levels are lower than nonpregnant
values because of decreased levels of binding proteins that include
haptocorrin—transcobalamins I and III—and transcobalamin II
• During pregnancy, megaloblastic anemia is rare from deficiency of
vitamin B12, that is, cyanocobalamin
• Etiology :
– vitamin B12 deficiency in pregnancy is more likely encountered
following gastric resection.
– Crohn disease, ileal resection, and bacterial overgrowth in the small
bowel
• Treatment
– Those who have undergone total gastrectomy require 1000 μg of
vitamin B12 given intramuscularly each month. Those with a partial
gastrectomy usually do not need supplementation, but adequate
serum vitamin B12 levels should be ensured during pregnancy

Cunningham et al. Williams Obstetrics 24th ed. 2014


158. Meigs Syndrome
• Meigs Syndrome didefiniskan sebagai adanya trias dari
tumor jinak ovarium, efusi pleura, dan asites yang akan
mereda setelah tumor diangkat.
• Penyebab paling sering adalah fibroma ovarium, tumor
Brenner (neoplasma epitelial dan stroma jinak), dan tumor
sel granulosa
• Gejala klinis yang sering didapatkan adalah kelelahan, sesak
napas, adanya massa abdomen-pelvis, perubahan berat
badan, batuk tidak produktif, kembung, amenore pada usia
premenopause, dan menstruasi tidak teratur.
• Pemeriksaan fisis didapatkan adanya massa pelvis disertai
tanda efusi pleura dan asites
Pemeriksaan Penunjang Meigs
Syndrome

• Laboratorium: darah lengkap, serum elektrolit,


fungsi ginjal, fungsi hati, fungsi koagulasi,
Ca125.
• Imejing: CT-scan abdomen dan thorax, foto
rontgen thorax, parasentensis cairan asites
• Terapi: Bedah, suportif

Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/255450
159. HIV pada Kehamilan
• Penularan dari ibu ke anak
– Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari
ibunya.
– Virus dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada
anaknya selama hamil, saat persalinan dan menyusui.
– faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari
ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan
obstetrik
Faktor yang Mempengaruhi penularan HIV dari
Ibu ke Anak
• Faktor Ibu • Faktor anak
– Jumlah virus (viral load) : Risiko penularan HIV – Usia kehamilan dan berat badan bayi
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah saat lahir : (BBLR) lebih rentan
(kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika tertular HIV karena sistem organ dan
kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml. sistem kekebalan tubuhnya belum
– Jumlah sel CD4 : Semakin rendah jumlah sel berkembang dengan baik.
CD4 risiko penularan HIV semakin besar. – Periode pemberian ASI : Semakin
– Status gizi selama hamil : Berat badan rendah lama ibu menyusui, risiko penularan
serta kekurangan vitamin dan mineral selama HIV ke bayi akan semakin besar.
hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita – Adanya luka di mulut bayi
penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
– Penyakit infeksi selama hamil : Sifilis, PMS,
infeksi saluran reproduksi lainnya, malaria, dan
tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
– Gangguan pada payudara : mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan
risiko penularan HIV melalui ASI.
• Tindakan obstetri
– Jenis persalinan : penularan persalinan per vaginam > (sectio caesaria).
– Lama persalinan : Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak semakin tinggi
– Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat
– Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
Terapi HIV dalam kehamilan
• Epidemiologi HIV dan kebijakan tes yang akan
diambil pada ibu hamil
Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV
• Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa
memandang jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan
indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup (pedoman
WHO 2013, option B+).
• Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau hasil pengobatan,
bukan sebagai acuan untuk memulai terapi.
• Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada orang
dewasa lainnya.
• Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada trimester
pertama, belakangan tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik
dibandingkan bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli 2012
WHO mengeluarkan kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada
ibu hamil.
• Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV
berapapun usia kehamilan.
• Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat
diteruskan tanpa perlu diganti. ARV tetap diteruskan setelah
melahirkan hingga seterusnya.
DEPKES. PEDOMAN PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL 2014
Algoritma rekomendasi
ARV pada ibu hamil dan
menyusui

DEPKES. PEDOMAN PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL 2014


160. Asuhan Nutrisi pada Ibu hamil
• Masa hamil adalah masa penting untuk
pertumbuhan optimal janin dan persiapan
persalinan.
• Penambahan zat-zat gizi berguna untuk :
– kesehatan ibu hamil,
– pertumbuhan janin,
– saat persalinan,
– persiapan menyusui dan tumbuh kembang bayi.

KEMENKES RI. Makanan sehat ibu Hamil. 2011


• Syarat pengaturan makanan :
– Energi : Pada Trimester I ditambah 180 Kkal dari
kebutuhan sebelum hamil; Trimester II dan III
ditambah 300 Kkal dari kebutuhan sebelum hamil.
– Protein : 10-15% dari total energi, atau sesuai
kecukupan protein ibu sebelum hamil ditambah
17 g/hari selama kehamilan.
– Lemak 20-25% dari total energi.
– Karbohidrat 50-60%/hari dari total energi.
– Vitamin dan Mineral sesuai AKG
KEMENKES RI. Makanan sehat ibu Hamil. 2011
• Hal-hal yang perlu diperhatikan:
– Makan lebih banyak dari sebelum hamil agar penambahan
berat badan sesuai dengan umur kehamilan.
– Bagi ibu yang terlalu gemuk , kurangi porsi makanan
sumber energi dari lemak dan karbohidrat.
– Bila ibu terlalu kurus tambahkan porsi makanan sumber
energi dan protein.
– Usahakan konsumsi makanan dengan porsi kecil tapi
sering.
– Untuk menghindari penimbunan cairan/edema perhatikan
penggunaan garam dalam makanan dan minuman agar
tidak berlebihan.
KEMENKES RI. Makanan sehat ibu Hamil. 2011
• Cara mengatur diet • Hal yang perlu diperhatikan:
– Hidangkan makanan yang – Sirup, madu, permen, sangat
menarik, sehingga menimbulkan baik sebagai penambah energi,
selera makan tetapi tidak diberikan dekat
– Makanan padat energi diberikan dengan waktu makan karena
porsi kecil tapi sering, misalnya 6 dapat mengurangi nafsu makan.
kali sehari. – Bila ada edema (bengkak di kaki),
– Piliihlah makanan sumber tekanan darah tinggi, perlu
protein hewani dan protein mengurangi garam dan bahan
nabati sesuai jumlah yang telah makanan sumber natrium
ditentukan. lainnya, seperti soda kue, kaldu
– airan lebih baik diberikan dalam instan, ikan asin, kecap, telur
bentuk minuman. asin, terasi, petis, makanan yang
diawetkan.
– Masakan lebih baik dibuat tidak – Jumlah cairan yang masuk harus
berkuah, seperti ditumis, seimbang dengan cairan yang
dipanggang, dikukus atau keluar (urin).
dibakar.
– Bila harus membatasi garam,
untu menambah cita rasa
gunakanlah lebih banyak bumbu
seperti gula, asam dan bumbu
dapur lainnya (lengkuas, kunyit,
daun salam, dan lain- lain).

KEMENKES RI. Makanan sehat ibu Hamil. 2011


161. Taeniasis (Cacing Pita)
Gejala
• mual, konstipasi, diare; sakit
perut; lemah; kehilangan nafsu
makan; sakit kepala; berat
badan turun, benjolan pada
jaringan tubuh (sistiserkosis)
Telur
• Bulat dengan embrio berstria
radier tebal
• Berisi onkosfer dengan 6 kait
• Ukuran 31-34 mcm

DOC: Prazikuantel 5-10 mg/kgBB SD (untuk


anak ≤ 4 tahun safety dan efficacy belum jelas)
Alternatif: Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 2 dosis selama 15 hari
P E R B E DA A N K A R A K T E R I ST I K
T. s a g i n a t a T. s o l i u m
Penyakit Taeniasis Taeniasis dan sistiserkosis
Panjang cacing dws 4-12 m 2-4 m & 8 m
∑ proglotid 1000-2000 800-1000
Skolek Tanpa rostelum/kait-kait Punya rostelum + kait-kait

Proglotid Keluar sendiri scr aktif Keluar bersama tinja 2-3 progl.
satu-satu
Matang Ovarium 2 lobus Ovarium trilobus
Gravid 15-30 cabang lateral 7-12 cabang lateral
∑ telur/proglotid 100.000 30.000-50.000
Larva Cystisercus bovis Cystisercus cellulose
Hospes perantara Sapi Babi dan manusia
Cara infeksi Makan daging sapi yg Makan daging babi yg mengandung
mengandung cystisercus cystisercus cellulose (mjd taeniasis)
bovis dan tertelan telur (mjd sistiserkosis)
Prazikuantel

• Indikasi: Cacing pita, kista hidatid

• Cara Kerja: Meningkatkan permeabilitas membrane sel


trematoda dan cestoda terhadap kalsium, yang
menyebabkan paralisis, pelepasan, dan kematian (Katzung,
2010).

• Dosis: Dosis tunggal prazikuantel sebesar 5 – 10 mg/ kg

• Efek samping: Nyeri kepala, pusing, mengantuk dan


kelelahan, efek lainnya meliputi mual, muntah, nyeri
abdomen, feses yang lembek, pruritus, urtikaria, artalgia,
myalgia, dan demam berderajat rendah
162. DM Gestasional
DM pada Kehamilan
• Hiperglikemia yang terdeteksi pada kehamilan
harus ditentukan klasifikasinya sebagai salah
satu di bawah ini: ( WHO 2013, NICE update 2014)
– DM yang sebelumnya dikenal dan kemudian
menjadi hamil (Pregestational Diabetes
Mellitus) dan
– Diabetes yang baru diidentifikasi selama
kehamilan (Gestational Diabetes
Mellitus/GDM/DMG)
Diagnosis Diabetes Gestasional
• Penegakan diagnosis DM gestasional menurut American
Diabetes Association 2016: Menggunakan tes toleransi
glukosa oral dengan pembebanan 75 gram glukosa. Gula
darah diperiksaa saat puasa, dan diperiksa lagi 1 dan 2 jam
setelah mengkonsumsi glukosa.

TTGO

Diabetes gestasional
Diabetes pregestasional
GDP 92-125 mg/dl, atau
GDP >=126 mg/dl, atau
GD 2 jam pp >= 153 mg/dl,
GD 2 jam pp >=200 mg/dl, atau
atau
GDS >=200 mg/dl
GDS 153-199 mg/dl
GESTATIONAL DIABETES PATHOPHYSIOLOGY

Fetoplacental
Normal Insulin hormones
pregnancy resistance (GH, HCG, HPL, Cortisol,
progesterone, prolactin)

Compensatory mechanism Increased fat deposit


Beta cell function  hyperinsulinemia Increased insulin resistance

Compensated Not compensated


Normal GDM
pregnancy
Maternal hyperglycemia
|
Fetal hyperglycemia
|
Fetal pancreatic beta-cell hyperplasia
|
Fetal hyperinsulinaemia
|
Macrosomia, organomegaly, polycythaemia,
hypoglycemia, RDS
Faktor Risiko DM Gestasional
• Excessive early
gestasional weight gain
– 1st trimester: 2kg
– 2nd trimester:
• Underweight: 0,6 kg per
week
• Normal: 0,45 kg per week
• Overweight: 0,32 kg per
week
• Obese: 0,27 kg per week
• South Asia and South
east Asia  high risk of
GDM
DM Gestasional
• DM gestasional sering asimtomatik  screening penting
untuk deteksi
• Pada kehamilan normal, resistensi insulin terjadi pada
trimester II dan terus terjadi hingga kelahiran. Mekanisme
pasti resistensi insulin pada kehamilan belum diketahui.
Dikaitkan dengan produksi hormon, sitokin, adipokin plasenta.
Pada keadaan normal, resistensi insulin dibarengi dengan
peningkatan sekresi insulin  kadar gula darah normal.
• DM gestasional dapat terjadi karena adanya preexisting factor
resistensi insulin sebelumnya dan menurunnya sekresi insulin.
Waktu Skrining DM Gestasional
• Sebetulnya, waktu dilakukannya skrining DMG bervariasi berdasarkan
regionya.
• Berdasarkan epidemiologi, orang South Asia dan South East Asia memiliki
risiko tinggi DM gestasional.
• Screening DM gestasional dengan kriteria ACOG maupun ADA dilakukan
pada saat trimester II (24-28 mgg) karena resistensi insulin muncul pada
trimester II, mekanisme belum jelas (dikaitkan dengan produksi hormon,
sitokin dari plasenta).
• Dalam buku saku pelayanan kesehatan ibu, skrining DMG dengan TTGO 75
gram juga dilakukan pada 24-28 minggu.
• Akan tetapi, menurut Algoritma PERKENI serta departemen Obstetri
Ginekologi RSUPN-CM, sebaiknya skrining DMG sudah dilakukan sejak
trimester pertama (karena risiko tinggi DMG pada orang Asia Tenggara).
Gestasional
Diagnosis dan
Penatalaksanaan
Diabetes Melitus

Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Gestasional


dr. Arietta Pusponegoro, SpOG (K) Dept. Obstetri Ginekologi FKUI/RSUPN-CM
Disampaikan pada: Pelatihan Manajemen DMG di Fasyankes Primer 06-07 Sept. ‘17 di R.
Rapat 1 (R. Mochtar) Gd. IKK FKUI
Tatalaksana DM Gestasional
Non Medikamentosa Medikamentosa
• Nutritional therapy – (ADA 2016)
– 1st line treatment: insulin
• Physical activity
– Alternatif: Metformin preferable
– Rekomendasi ACOG dibanding Glibenclamide (sulfonil
 moderate excercise urea) karena SU Increased neonatal
consisting of 30 hypoglycemia & macrosomia and No
minutes most days of long-term safety data
the week for women • Target GDP <=95; 1 jam PP <= 140;
with GDM dan no 2 jam PP<=120
medical or obstetric
contraindication
GDM Treatment Scheme
GDM

FPG <130 mg/dL FPG ≥130 mg/dL


ADA
FPG ≥ 105 or
Medical nutrition
therapy (MNT) 1 week PPBG ≥ 120 mg/dL

FPG <105 and FPG>105 or


2 hr pp PG <120 2 hr pp PG >120

MNT MNT + Insulin

Konsensus Perkeni DMG


Komplikasi DM gestasional
MATERNAL FETAL
• Hipertensi gestasional • Makrosomia
• Preeklamsia • Hipoglikemia neonatus
• SC
• Hiperbilirubinemia
• Subsequent development
• Birth trauma
of type 2 DM
• Respiratory distress syndrome
• Distosia bahu
• Birth defects
• Subsequent adolescent and
childhood overweight
163.Kontrasepsi Hormonal
No Jenis kontrasepsi Mekanisme Kerja
1 Pil Kombinasi menekan ovulasi, mencegah implantasi,
mengentalkan lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh
sperma, dan menganggu pergerakan tuba sehingga
transportasi telur terganggu
2 Pil progestin Supresi ovulasi, menekan puncak LH dan FSH,
meningkatkan kekentalan lendir servix, menurunkan
jumlah dan ukuran kelenjar endometrium, menurunkan
motilitas cilia di tuba falopi
3 Suntik kombinasi menekan ovulasi, mengentalkan lendir
serviks sehingga penetrasi sperma terganggu, atrofi pada
endometrium sehingga implantasi terganggu, dan
menghambat transportasi gamet oleh tuba. Suntikan ini
diberikan sekali tiap bulan
4. Suntik Progestin Kerja utama mencegah ovulasi dengan menekan FSH dan
LH serta LH surge

5. Implan Kombinasi antara supresi LH surge, supresi ovulasi,


mengentalkan lendir servix, mencegah pertumbuhan dan
perkembangan endometrium
Jenis Progestin pada Kontrasepsi
No. Generasi Jenis

1 Generasi pertama • Norethindrone acetate


• Ethynodiol diacetate
• Lynestrenol
• Norethynodrel
2 Generasi kedua • Norgestrel
• Levonorgestrel

3 Generasi ketiga • Desogesthrel


• Gestodene
• Norgestimate
4 Generasi keempat • Drospirenone
• Cyproterone acetate
Metode Hormonal:
Pil & Suntikan Kombinasi
• Jenis Pil Kombinasi
– Monofasik (21 tab): E/P dalam dosis yang
sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif
(placebo).
– Bifasik (21 tab): E/P dengan dua dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.
– Trifasik (21 tab) : E/P dengan tiga dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif

• Jenis Suntikan Kombinasi


– 25mg Depo Medroksiprogesteron Asetat + 5
mg Estradiol Sipionat, IM sebulan sekali
– 50mg Noretindron Enantat + 5 mg Estradiol
Valerat, IM sebulan sekali
Metode
Pil dan Hormonal:
Suntikan Progestin
Pil & Suntikan Kombinasi
• Pil Progestin
– Isi 35 pil: 300 µg levonorgestrel atau 350 µg
noretindron
– Isi 28 pil: 75 µg norgestrel
– Contoh
• Micrinor, NOR-QD, noriday, norod (0,35 mg
noretindron)
• Microval, noregeston, microlut (0,03 mg
levonogestrol)
• Ourette, noegest (0,5 mg norgestrel)
• Exluton (0,5 mg linestrenol)
• Femulen (0,5 mg etinodial diassetat)

• Suntikan Progestin
– Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo
Provera)  150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan
– Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat)
 200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2
bulan
DMPA Mechanisms of Action
• Depot medroxyprogesterone acetate (DMPA) primarily
acts by :
– inhibition of gonadotropin secretion  inhibiting follicular
maturation and ovulation
– The inhibition of ovarian function  hypoestrogenic state
 inhibits endometrial proliferation and renders the
endometrium less receptive to implantation.
– changes in cervical mucus (thicker and less permeable to
sperm) and
– tubal motility (reduced ciliary action) that are unfavorable
to sperm migration, thus inhibiting fertilization.
164. Hipertiroidisme dalam
Kehamilan
• Penyebab utama hipertiroidisme dalam kehamilan adalah penyakit
Graves disease.
• Tanda dan gejala
– Takikardia dan palpitasi
– Peningkatan abnormal denyut jantung saat tidur
– Pembesaran kelenjar tiroid
– Eksoftalmus
– Berat badan tidak naik pada wanita non-obes meskipun asupan
makanan cukup atau berlebih
– Merasa panas atau berkeringat berlebihan
– Suhu tubuh meningkat
– Tremor
• Faktor predisposisi
– Jenis kelamin perempuan, riwayat hipertiroidisme pada keluarga
Tatalaksana Awal
• Tata laksana awal dilakukan di rumah sakit, kemudian rawat jalan dapat dilanjutkan
di pusat layanan kesehatan yang lebih sederhana.
• Untuk terapi awal, anjurkan rawat inap untuk mengontrol kadar hormon tiroid
• Tirah baring dianjurkan untuk mengurangi aktifitas dan menstabilkan emosi.
• Berikan diet yang sesuai untuk mengembalikan defisit kalori.
• Antitiroid: PTU/Metimazol
• Propanolol digunakan untuk mengurangi manifestasi simpatetik, dengan dosis 40-
80 mg/hari, terbagi dalam 3-4 dosis. Tidak digunakan pada kehamilan dengan
hipertiroid yang disertai penyakit paru obstruktif, blokade jantung, dekompensasio
kordis, dan diabetes melitus.
• Tiroidektomi dapat dipertimbangkan ketika kondisi hipertiroid telah teratasi lewat
pengobatan.
• Setelah bayi lahir, periksa kadar hormon tiroidnya untuk menyingkirkan
kemungkinan hipotiroidisme pada bayi akibat pengobatan selama ibu hami
Mekanisme Kerja Thionamide
• Antithyroid (thionamides), which contain a sulfhydryl
group and a thiourea moiety within a heterocyclic
structure
• Propylthiouracil, but not methimazole or carbimazole,
can block the conversion of thyroxine to
triiodothyronine within the thyroid and in peripheral
tissues
• Their primary effect is to inhibit thyroid hormone
synthesis by interfering with thyroid peroxidase
mediated iodination of tyrosine residues in
thyroglobulin, an important step in the synthesis of
thyroxine and triiodothyronine
Antihipertiroid in pregnancy
• Propylthiouracil is the drug of choice during the first
trimester of pregnancy  causes less severe birth
defects than methimazole.
• Methimazole  2nd to 3rd trimester
• Because there have been rare cases of liver damage in
people taking propylthiouracil, some clinicians will
suggest switching to methimazole after the first
trimester, while others may continue propylthiouracil.
• For women who are nursing, methimazole is probably
a better choice than propylthiouracil (to avoid liver side
effects).
Antihipertiroid in pregnancy
• The dosage of methimazole :
– 15-100 mg daily, administered as divided doses 3 times daily.
– Once serum thyroid hormone levels return to normal, it is necessary to
decrease the dosage to 5-20 mg daily of methimazole
• The appropriate dosage of PTU:
– 300 mg daily to a maximum dose of 1200 mg daily in divided doses 3 times
daily.
– Once serum thyroid hormone levels return to normal, it is necessary to
decrease the dosage to 50-300 mg daily for PTU in divided doses.
• When doses of PTU are > 300 mg/day or > 20 mg/day for methimazole are
taken long term, fetal goiter and hypothyroidism may result.
• This is why it is important to decrease the dosage after levels return to
normal.
• TSH levels should be checked every 3-4 weeks to assess thyroid function.
• The free T3 and T4 levels should be just above the normal range.
IKK &
FORENSIK
165. Definisi Kasus SARS
Suspect
• A person presenting after 1 Nov 2002 with history of:
– High fever (> 38 C) AND
– Cough or breathing difficulty AND one or more of the following
exposures during the 10 days prior to onset of symptoms:
- close contact with a person who is a suspect or probable case of
SARS;
- history of travel, to an area with recent local transmission of SARS
- residing in an area with recent local transmission of SARS
• A person with an unexplained acute respiratory illness resulting in death
after 1 November 2002, but on whom no autopsy has been performed
AND one or more of the following exposures during to 10 days prior to
onset of symptoms:
- close contact, with a person who is a suspect or probable case of SARS;
- history of travel to an area with recent local transmission of SARS
- residing in an area with recent local transmission of SARS
165. Definisi Kasus SARS
Probable
• A suspect case with radiographic evidence of infiltrates consistent
with pneumonia or respiratory distress syndrome (RDS) on chest X-
ray (CXR).
• A suspect case of SARS that is positive for SARS coronavirus by one or
more assays.
• A suspect case with autopsy findings consistent with the pathology
of RDS without an identifiable cause.

Exclusion criteria
• A case should be excluded if an alternative diagnosis can fully explain
their illness.
166. DESAIN PENELITIAN
Secara umum dibagi menjadi 2:
• DESKRIPTIF: memberi gambaran distribusi dan
frekuensi penyakit saja. Misalnya prevalensi
DM tipe 2 di DKI Jakarta, 10 penyakit
terbanyak di Puskesmas X.

• ANALITIK: mencari hubungan antara paparan


dengan penyakit. Misalnya penelitian
hubungan antara obesitas dengan DM tipe 2.
DESAIN PENELITIAN

STUDY
DESIGNS

Analytical Descriptive

Case report (E.g. Cholera)

Case series
Observational Experimental
Cross-sectional

1. Cross-sectional Clinical trial (parc vs. aspirin


in Foresterhill)
2. Cohort
3. Case-control Field trial (preventive
programmes )
4. Ecological
167. TEKNIK SAMPLING
Probability Sampling Techique lebih baik
dibanding non-probability
• Simple Random Sampling: pengambilan sampel dari
semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata/tingkatan yang ada dalam
populasi itu.

• Stratified Sampling: Penentuan sampling tingkat


berdasarkan karakteristik tertentu (usia, jenis kelamin,
dsb). Misalnya untuk mengambil sampel dipisahkan
dulu jenis kelamin pria dan wanita. Baru kemudian dari
kelompok pria diambil sampel secara acak, demikian
juga dari kelompok wanita.
Probability Sampling Techique lebih
baik dibanding non-probability
• Cluster Sampling: disebut juga sebagai teknik sampling daerah.
Pemilihan sampel berdasarkan daerah yang dipilih secara acak.
Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta.
Seluruh penduduk dari 20 kecamatan terpilih dijadikan sampel.

• Multistage random sampling: teknik sampling yang menggunakan 2


teknik sampling atau lebih secara berturut-turut. Contohnya
mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta (cluster sampling).
Kemudian dari masing-masing kecamatan terpilih, diambil 50
sampel secara acak (simple random sampling).

• Systematical Sampling anggota sampel dipilh berdasarkan urutan


tertentu. Misalnya setiap kelipatan 10 atau 100 dari daftar pegawai
disuatu kantor, pengambilan sampel hanya nomor genap atau yang
ganjil saja.
Non-probability Sampling
• Purposive Sampling: sampel yang dipilih secara khusus
berdasarkan tujuan penelitiannya.
• Snowball Sampling: Dari sampel yang prevalensinya sedikit
,peneliti mencari informasi sampel lain dari yang dijadikan
sampel sebelumnya, sehingga makin lama jumlah
sampelnya makin banyak
• Quota Sampling:anggota sampel pada suatu tingkat dipilih
dengan jumlah tertentu (kuota) dengan ciri-ciri tertentu
• Convenience sampling:mengambil sampel sesuka peneliti
(kapanpun dan siapapun yang dijumpai peneliti)
• Consecutive sampling: mengambil sampel sesuai dengan
kriteria inklusi hingga mencapai jumlah sampel yang
diinginkan.
When population is small,
homogeneous & readily
available. All subsets of the
frame are given an equal
probability.

The frame organized into


separate "strata." Each stratum
is then sampled as an
independent sub-population,
out of which individual
elements can be randomly
selected
In this technique, the total
population is divided into these
groups (or clusters) and
a simple random sample of the
groups is selected (two stage)
Ex. Area
sampling or geographical
cluster sampling
168. PRINSIP PELAYANAN
KEDOKTERAN KELUARGA
• Holistik
• Komprehensif
• Terpadu
• Berkesinambungan

Danasari. 2008. Standar Kompetensi Dokter Keluarga. PDKI : Jakarta


Pelayanan Kedokteran Keluarga
HOLISTIK
• Mencakup seluruh tubuh jasmani dan rohani
pasien (whole body system), nutrisi
• Tidak hanya organ oriented
• Patient and Family oriented
• Memandang manusia sebagai mahluk
biopsikososial pada ekosistemnya.
Pelayanan Kedokteran Keluarga
KOMPREHENSIF (Menyeluruh)
• Tidak hanya kuratif saja, tapi pencegahan dan
pemulihan
• Health promotion
• Spesific protection
• Early diagnosis and Prompt treatment
• Disability limitation
• Rehabilitation
• Penatalaksanaan tidak hanya patient oriented,
tapi juga family oriented dan community oriented
Pelayanan Kedokteran Keluarga
BERKESINAMBUNGAN
• Tidak sesaat, ada follow upnya dan
perencanaan manajemen pasien

TERPADU / TERINTEGRASI
• Memakai seluruh ilmu kedokteran yang telah
di dapat bekerja sama dengan pasien,
keluarga, dokter spesialis atau tenaga
kesehatan lain
169. Karakteristik Surveilans Efektif
• Cepat
– Informasi diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat
(timely) sehingga memungkinkan identifikasi dan
penatalaksanaan masalah segera.
– Cara meningkatkan kecepatan surveilans:
• Analisis sedekat mungkin dengan pelaporan data primer
• Melembagakan pelaporan wajib untuk penyakit tertentu
(notifiable diseases)
• Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan
• Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat
• Implementasi sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah, dan
segera
• Akurat
– Sensitivitas dan spesifisitas tinggi
– Dipengaruhi oleh kemampuan petugas dan infrastruktur
pemeriksaan penunjang
169. Karakteristik Surveilans Efektif
• Standar, seragam, reliable, dan kontinyu
– Terdapat definisi kasus, alat ukur, dan prosedur yang
standar.
– Surveilans secara kontinyu tentang insidens penyakit untuk
mendeteksi kecenderungan
– Pelaporan reportable diseases seminggu sekali
• Representatif dan lengkap
– Harus menggambarkan kondisi sesungguhnya di populasi
– Membutuhkan kapasitas petugas kesehatan yang cukup
• Sederhana, fleksibel, dan akseptabel
– Sistem surveilans sederhana dan praktis, baik dalam
organisasi, struktur, maupun operasi
– Data yang dilaporkan relevan dan terfokus
– Format laporan yang tidak digunakan dapat dibuang
170. Penyelenggaraan Pelayanan Gizi Masyarakat
Ruang lingkup:
• Pelayanan kesehatan ibu dan anak
– Cakupan bayi berat lahir rendah yang ditangani
• Pelayanan kesehatan anak pra-sekolah dan usia sekolah
– Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita & pra-sekolah
– Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh nakes atau tenaga
terlatih
– Cakupan pelayanan kesehatan remaja
• Pelayanan pengobatan/perawatan
– Cakupan rawat jalan dan rawat inap
• Pemantauan pertumbuhan balita
– Balita yang naik berat badannya
– Balita bawah garis merah (BGM)
• Pelayanan Gizi
– Cakupan balita mendapat kapsul Vit A 2x/tahun
– Cakupan ibu hamil mendapat 90 tablet Fe
– Cakupan pemberian MP-ASI pada bayi BGM dari keluarga miskin
– Balita gizi buruk mendapat perawatan
170. Penyelenggaraan Pelayanan Gizi Masyarakat
Ruang lingkup:
• Pelayanan gawat darurat
– Sarana kesehatan dengan pelayanan gawat darurat yg dapat diakses
masyarakat
– Penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB dan gizi buruk
– Desa/kelurahan yang mengalami KLB ditangani <24 jam
– Kecamatan bebas rawan gizi
• Penyuluhan perilaku sehat
– Bayi yang mendapat ASI eksklusif
– Desa dengan garam beryodium baik
• Pelayanan kesehatan kerja
– Cakupan pelayanan kesehatan kerja pada pekerja formal
• Pelayanan kesehatan usia lanjut
– Cakupan Pelayanan kesehatan pra-usia lanjut dan usia lanjut
• Pelayanan gizi
– Cakupan wanita usia subur yang mendapat kapsul yodium
Pemantauan Pertumbuhan Balita
• Balita yang naik berat badannya

• Balita bawah garis merah (BGM)


Pemantauan Pelayanan Gizi
• Cakupan balita mendapat vit A 2x/tahun

• Cakupan ibu hamil mendapat 90 tablet Fe

• Cakupan pemberian MPASI pada bayi BGM dari Keluarga Miskin

• Cakupan perawatan balita gizi buruk


Pemantauan Pelayanan Gizi
• Perilaku pemberian ASI eksklusif

• Desa dengan garam beryodium baik (≤1 sampel garam dgn yodium <
30 ppm dari 21 sampel yang diperiksa pada kurun waktu tertentu)

• Penanganan KLB

• Kecamatan bebas rawan gizi


171. FIVE LEVEL OF PREVENTION
• Dilakukan pada orang sehat
Health promotion • Promosi kesehatan
• Contoh: penyuluhan

• Dilakukan pada orang sehat


Specific • Mencegah terjadinya kesakitan
protection • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun

• Dilakukan pada orang sakit


Early diagnosis & • Tujuannya kuratif
prompt treatment • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB

• Dilakukan pada orang sakit


Disability • Membatasi kecacatan
limitation • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki

• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan


Rehabilitation • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada
• Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
Primordial Prevention & Quartenary
Prevention
Primordial prevention Quartenary prevention
• consists of actions to minimize future • Action taken to identify patient at risk
hazards to health and hence inhibits of over-medicalization, to protect
the establishment of factors which him from new medical invasion, and
are known to increase the risk of to suggest him interventions ethically
disease. acceptable.
• It addresses broad health
determinants rather than preventing • For example:
personal exposure to risk factors, – the avoidance of screening without
which is the goal of primary foundation, such as in prostate cancer
prevention. – The appropriate use of antibiotics in
upper respiratory tract infections
• The difference with primary
prevention:
– Primary prevention seeks to prevent the
onset of specific diseases via risk
reduction by altering behaviors or
exposures that can lead to disease or by
enhancing resistance to the effects of
exposure to a disease agent.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4311333/
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
172. FIVE-STAR DOCTOR
• Memberikan pelayanan yang memenuhi semua
kebutuhan pasien
Care provider • Pelayanan promotif hingga rehabilitatif dengan
kualitas tertinggi

• Menentukan penatalaksanaan terbaik sesuai dengan


Decision maker kondisi dan situasi yang ada

• Mengajak masyarakat (dengan komunikasi) untuk


Communicator menjalani pola hidup sehat dan bekerja sama dalam
meningkatkan taraf kesehatan

Community • Ikut serta dalam kegiatan kesehatan masyarakat


• Memahami berbagai faktor yang dapat
leader mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat

• Memiliki kemampuan manajerial untuk


Manager mendapatkan informasi, berasosiasi dengan tim
multidisiplin untuk meningkatkan taraf kesehatan
173. Komunikasi Dokter Pasien
• Komunikasi efektif
– Pengembangan hubungan dokter pasien secara
efektif yang berlangsung dengan efisien
– dengan tujuan menyampaikan informasi atau
pemberian penjelasan dalam rangka membangun
kerja sama antara dokter dan pasien secara verbal
dan non verbal
Komunikasi Efektif (7C)
• Credibility (keterpercayaan)
– rasa saling percaya antara komunikator dan komunikan.
• Context (pertalian)
– kesesuaian pesan dengan kenyataan masyarakat.
• Content (kepuasan)
– penggunaan kata sesuai dengan target audience dalam hal ini komunikan
dapat memahami maksud komunikator sehingga komunikator merasa puas.
• Clarity (kejelasan)
– komunikator harus menyampaikan pesan / berita secara jelas istilahnya pun
harus jelas sehingga tercapainya tujuan.
• Continuity
– pesan dilakukan secara berulang-ulang, tetapi bervariasi dalam penyampaian.
• Consistency
– pesan tidak bertentangan dari awal sampai akhir
• Capability
– kemampuan komunikator untuk menjelaskan dengan akurat, dirancang untuk
menarik perhatian, disampaikan menggunakan symbol-simbol, memberikan
motivasi dan solusi
Komunikasi Empati
Langkah komunikasi
• Empat langkah komunikasi (SAJI)
– Salam
– Ajak bicara  komunikasi dua arah, dorong
pasien mengemukakan pikiran dan perasaannya
– Jelaskan  Luruskan persepsi yang keliru. Berikan
penjelasan mengenai sakitnya
– Ingatkan  ingatkan untuk hal yang penting
174. Pengendalian Variabel Perancu
Cara untuk menyingkirkan variabel perancu:
• Dalam desain penelitian:
– Restriksi
– Matching
– Randomisasi
• Dalam analisis hasil penelitian:
– Stratifikasi
– Analisis multivariat
Menyingkirkan Perancu dalam Desain
Penelitian (1)
• Restriksi
– Melakukan pembatasan kriteria subjek yang diteliti.
– Misalnya penelitian antara hubungan konsumsi kopi
dengan penyakit jantung koroner. Kebiasaan merokok
merupakan variabel perancu, maka subjek yang dipilih
adalah bukan perokok.
– Sangat efektif untuk menyingkirkan variabel perancu
– Kelemahan:
• Sulit memperoleh subjek penelitian (kebanyakan peminum
kopi juga perokok)
• Generalisasi menjadi terbatas (kebanyakan peminum kopi juga
perokok)
Menyingkirkan Perancu dalam Desain
Penelitian (2)
• Matching (individual)
– Menyamakan variabel perancu pada kedua kelompok yang
diteliti
– Misalnya pada contoh penelitian di atas, bila subyek pada
kelompok peminum kopi adalah perokok, maka untuk
kontrol dicari pasangan subjek yang tidak minum kopi tetapi
perokok
– Efektivitas menyingkirkan perancu sama dengan metode
restriksi
– Kelemahan:
• Sulit dilakukan jika terdapat banyak variabel perancu
• Risiko terjadi overmatching (matching variabel yang bukan variabel
perancu)
• Kemungkinan adanya variabel perancu cukup kuat yang tidak
terdeteksi
Menyingkirkan Perancu dalam Desain
Penelitian (3)
• Randomisasi
– Dilakukan pada uji klinis  dengan randomisasi, variabel
perancu terbagi seimbang di antara 2 kelompok
– Meliputi variabel perancu yang sudah diketahui maupun
belum.
– Syarat agar randomisasi dapat membagi seimbang
semua variabel pada kelompok:
• Prosedur randomisasi dilakukan dengan benar
• Jumlah subyek cukup besar
Menyingkirkan Perancu dalam Analisis
Hasil Penelitian (1)
• Stratifikasi
– Hasil penelitian distratifikasi berdasarkan faktor-faktor
risikonya
– Dilakukan penghitungan asosiasi penelitian (odds ratio
atau relative risk) berdasarkan data stratifikasi tersebut.
– Selanjutnya dilakukan analisis statistika Mantel-Haenszel
untuk menghitung asosiasi penelitian setelah
dibebaskan dari faktor perancu.
Menyingkirkan Perancu dalam Analisis
Hasil Penelitian (2)
Analisis Multivariat
• Mengetahui asosiasi antar variabel dengan
menyingkirkan variabel lain, termasuk variabel
perancu
• Analisis multivariat yang paling sering digunakan:
– Regresi multipel/linier
– Regresi logistik
175-176. DESAIN PENELITIAN

STUDY
DESIGNS

Analytical Descriptive

Case report (E.g. Cholera)

Case series
Observational Experimental
Cross-sectional

1. Cross-sectional Clinical trial (parc vs. aspirin


in Foresterhill)
2. Cohort
3. Case-control Field trial (preventive
programmes )
4. Ecological
Prinsip Desain Studi Analitik
Observasional
Cross-sectional
– Pajanan/ faktor risiko dan outcome dinilai dalam waktu
yang bersamaan.

Cohort study
– Individu dengan pajanan/ faktor risiko diketahui, diikuti
sampai waktu tertentu, kemudian dinilai apakah outcome
terjadi atau tidak.

Case-control study
– Individu dengan outcome diketahui, kemudian digali
riwayat masa lalunya apakah memiliki pajanan/ faktor
risiko atau tidak.
Prinsip Desain Studi Analitik
Observasional

PAST PRESENT FUTURE


Time
Assess exposure
Cross -sectional study and outcome

Assess Known
Case -control study exposure outcome

Known Assess
Prospective cohort exposure outcome

Known Assess
Retrospective cohort exposure outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam
satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak
berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat
ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini
secara bersamaan.

• Bila menggunakan desain case control, dimulai dengan


peneliti menentukan subyek anak 1-3 tahun yang
pernah mengalami diare dengan yang tidak pernah
mengalami diare. Kemudian ibu diwawancara apakah
sebelumnya memberi ASI eksklusif atau tidak.
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain kohort (prospektif), maka dimulai
dengan peneliti mengumpulkan subyek penelitian berusia 6
bulan yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI
eksklusif. Kemudian, subyek tersebut diamati selama 1
tahun untuk dilihat apakah mengalami diare atau tidak.

• Bila menggunakan desain kohort (retrospektif), dari catatan


rekam medis RS tahun 2015 dimulai dengan dikumpulkan
data bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI
eksklusif. Kemudian rekam medis ditelusuri, dari tahun
2015-2016 apakah subyek pernah mengalami diare atau
tidak.
Prinsip
Kohort

• Studi kohort selalu dimulai dari subyek yang tidak sakit. Kelompok subyek
dibagi menjadi subyek yang terpajan dan tidak terpajan. Kemudian
dilakukan pengamatan sampai terjadinya penyakit atau sampai waktu
yang ditentukan.
Kohort Prospektif vs Retrospektif
• Baik kohort prospektif
maupun retrospektif selalu
dimulai dari menjadi subyek
yang tidak sakit.

• Kohort prospektif dimulai


saat ini dan diikuti ke depan
sampai terjadi penyakit.

• Pada kohort retrospektif,


peneliti “kembali ke masa
lalu” melalui rekam medik,
mencari subyek yang sehat
pada tahun tertentu
kemudian mengikuti
perkembangannya melalui
catatan rekam medik hingga
terjadinya penyakit.
Desain Cross Sectional

KELEBIHAN: KELEMAHAN:
• Mengukur angka prevalensi • Sulit membuktikan
• Mudah dan cepat hubungan sebab-akibat,
• Sumber daya dan dana yang karena kedua variabel
efisien karena pengukuran paparan dan outcome
dilakukan dalam satu waktu direkam bersamaan.

• Kerjasama penelitian • Desain ini tidak efisien


(response rate) dengan untuk faktor paparan atau
desain ini umumnya tinggi. penyakit (outcome) yang
jarang terjadi.
Desain Case Control

KELEBIHAN: KEKURANGAN:
• Dapat membuktikan • Pengukuran variabel secara
hubungan sebab-akibat. retrospektif, sehingga
• Tidak menghadapi kendala rentan terhadap recall bias.
etik, seperti halnya • Kadang sulit untuk memilih
penelitian kohort dan subyek kontrol yang
eksperimental. memiliki karakter serupa
• Waktu tidak lama, dengan subyek kasus
dibandingkan desain kohort. (case)nya.
• Mengukur odds ratio (OR).
Desain Kohort
KELEBIHAN: KEKURANGAN:
• Mengukur angka insidens. • Memerlukan waktu penelitian
• Keseragaman observasi yang relative cukup lama.
terhadap faktor risiko dari • Memerlukan sarana dan
waktu ke waktu sampai terjadi prasarana serta pengolahan
outcome, sehingga merupakan data yang lebih rumit.
cara yang paling akurat untuk • Kemungkinan adanya subyek
membuktikan hubungan penelitian yang drop out/ loss
sebab-akibat. to follow up besar.
• Mengukur Relative Risk (RR). • Menyangkut masalah etika
karena faktor risiko dari
subyek yang diamati sampai
terjadinya efek, menimbulkan
ketidaknyamanan bagi subyek.
177. Langkah Menentukan Uji
Statistik
• Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik)

• Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah


variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila
kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah
memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan
soal UKMPPD, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan
bahwa variabel tersebut terdistribusi normal atau
memenuhi persyaratan chi square.

• Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.


TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN

Fisher (digunakan untuk tabel


Kategorik Kategorik Chi square 2x2)*
Kolmogorov-Smirnov
(digunakan untuk tabel bxk)*

Kategorik T-test independen Mann-Whitney**


Numerik
(2 kategori)
T-test berpasangan Wilcoxon**

One Way Anova (tdk


Kruskal Wallis**
Kategorik berpasangan)
Numerik
(>2 kategori) Repeated Anova
Friedman**
(berpasangan)
Numerik Numerik Korelasi Pearson Korelasi Spearman**
Regresi Linier
Keterangan:
* : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi
**: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Syarat Uji Chi Square
• Tidak ada cell dengan nilai frekuensi kenyataan atau
disebut juga Actual Count (F0) sebesar 0 (Nol).
• Apabila bentuk tabel kontingensi 2 X 2, maka tidak boleh
ada 1 cell saja yang memiliki frekuensi harapan atau
disebut juga expected count (“Fh”) kurang dari 5.
• Apabila bentuk tabel lebih dari 2 x 2, misak 2 x 3, maka
jumlah cell dengan frekuensi harapan yang kurang dari 5
tidak boleh lebih dari 20%.

Bila tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan


di atas, maka uji chi square tidak dapat digunakan.
One Sample vs Two Sample T-Test
One sample T-test Two Sample T-test
• Mengetahui perbedaan mean • Mengetahui apakah terdapat
(rerata) satu kelompok perbedaan mean antara dua
dibandingkan dengan mean kelompok populasi.
yang sudah ditetapkan peneliti
atau mean sudah diketahui di • Misalnya penelitian ingin
populasi. mengetahui apakah terdapat
perbedaan mean GDS dari
• Misalnya penelitian tentang kelompok pasien DM yang
mean gula darah sewaktu (GDS) diberi metformin dengan
pada pasien DM yang diberi kelompok pasien DM yang
metformin. Contoh pertanyaan diberi insulin?
penelitiannya adalah: apakah
mean GDS pasien DM yang
diberi metformin lebih dari 200
mg/dl?
Independent vs Paired T-Test
Independent T-test Paired T-test
• Prinsipnya adalah setiap • Prinsipnya adalah setiap
subjek hanya dilakukan 1 kali subjek dilakukan pengukuran
pengukuran. lebih dari 1 kali.

• Contoh: penelitian obat A dan • Contoh: penelitian obat A dan


obat B terhadap kadar obat B terhadap kadar
kolesterol. Subyek dibagi dua kolesterol. Subyek dibagi dua
kelompok, kelompok pertama kelompok, kelompok pertama
diberi obat A dan kelompok diberi obat A dan kelompok
kedua diberi obat B. setelah 3 kedua diberi obat B. Sebelum
bulan, tiap subyek diukur mulai penelitian, tiaap subyek
kadar kolesterolnya. diukur kadar kolesterolnya.
setelah 3 bulan, tiap subyek
diukur kadar kolesterolnya
lagi.
Korelasi Pearson vs Regresi Linier
• Penelitian yang meneliti hubungan antara dua
variabel, di mana kedua variabel bersifat
numerik, dapat menggunakan korelasi Pearson
dan regresi linier.

• Korelasi pearson digunakan untuk mengetahui


arah dan kekuatan hubungan antara kedua
variabel. Sedangkan regresi linier digunakan
untuk memprediksi nilai variabel dependen
melalui variabel independen (dinyatakan dalam
persamaan Y = a + bX).
178. MONITORING & EVALUASI
PROGRAM KESMAS (LOGIC MODEL)
OUTCOMES/I
INPUTS ACTIVITIES OUTPUTS
M PA C T S

what is produced the changes or


what resources go what activities the
through those benefits that result
into a program program undertakes
activities from the program

e.g. increased skills/


e.g. number of knowledge/
e.g. development of
e.g. money, staff, booklets produced, confidence, leading in
materials, training
equipment workshops held, longer-term to
programs
people trained promotion, new job,
etc.

O U TCO ME VS I MPAC T
Indikator outcome dan impact sering kali disamakan atau dijadikan sebagai satu
kesatuan. Namun pada umumnya indikator outcome lebih menilai luaran jangka
pendek dan untuk wilayah setempat, sedangkan indikator impact lebih menilai
luaran jangka panjang dan dampak untuk wilayah yang lebih luas. Outcome
bersifat dinamis (lebih mudah berubah dibandingkan impact).
179. HAK KELAS PESERTA BPJS
• Dibagi menjadi kelas I, II, III.

• Tidak ada peserta BPJS kesehatan yang berhak


atas kelas VIP.
– Peserta yang ingin dirawat di kelas VIP harus iur
biaya (membayar selisih biaya kamar rawat inap
VIP dengan biaya kamar yang menjadi hak
kelasnya).
– Peserta PBI tidak boleh naik kelas. Jika tetap naik
kelas, hak PBInya akan gugur.
HAK KELAS PESERTA BPJS
KELAS 1
1. Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan
ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;

2. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan
ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;

3. Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya;

4. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan;

5. Peserta Pekerja Penerima Upah selain di atas (no 1-4) dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai
Negeri dengan Gaji atau Upah di atas Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) sampai dengan Rp
8.000.000,00 (delapan juta rupiah); dan

6. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar iuran
untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I

https://www.panduanbpjs.com/penjelasan-ruang-perawatan-masing-masing-kelas-bpjs-kesehatan/
HAK KELAS PESERTA BPJS
KELAS 2
1. Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I
dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

2. Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

3. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

4. Peserta Pekerja Penerima Upah selain pada poin 1 sampai dengan 3 di atas dan
Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri dengan Gaji atau Upah sampai dengan Rp
4.000.000,00 (empat juta rupiah); dan

5. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar
iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II.
https://www.panduanbpjs.com/penjelasan-ruang-perawatan-masing-masing-kelas-bpjs-kesehatan/
HAK KELAS PESERTA BPJS
KELAS 3
Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh
Pemerintah Daerah; dan

Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang
membayar iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III

https://www.panduanbpjs.com/penjelasan-ruang-perawatan-masing-masing-kelas-bpjs-kesehatan/
Kenaikan Kelas Peserta BPJS
Kelas Kelas yang Biaya tambahan
awal diinginkan
3 PBI Tidak bisa naik kelas
3 2 Selisih biaya tarif INA-CBG pada kelas rawat inap lebih tinggi
3 1 yang dipilih dengan tarif INA-CBG pada kelas rawat inap yang
2 1 sesuai hak peserta
2&3 VIP (1 tingkat di • Selisih tarif INA CBG kelas 1 dengan tarif INA CBG kelas
atas kelas 1) sesuai haknya, dan
• Biaya tambahan maksimal 75% dari tarif INA CBG kelas 1
1 VIP Biaya tambahan maksimal 75% dari tarif INA CBG kelas 1
1, 2, 3 Kelas di atas VIP Selisih biaya tarif rumah sakit pada kelas yang dipilih dengan
tarif INA CBG pada kelas yang menjadi haknya
Untuk pelayanan rawat jalan, jika peserta BPJS menginginkan pelayanan rawat jalan
eksekutif, peserta harus membayar tambahan biaya paket pelayanan rawat jalan eksekutif
paling banyak sebesar Rp250.000,00 untuk setiap episode rawat jalan.
• Jika ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh:
– dirawat di kelas perawatan 1 tingkat lebih tinggi paling
lama 3 hari, lalu dikembalikan ke ruang sesuai haknya. Jika
belum ada ruangan sesuai haknya dalam 3 hari, peserta
ditawarkan untuk dirujuk, atau selisih biaya menjadi
tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan.

• Ruang rawat inap sesuai hak dan 1 tingkat di atasnya


penuh :
– Opsi 1: dirawat di kelas 1 tingkat lebih rendah paling lama
3 hari, lalu dikembalikan ke ruang sesuai haknya. Jika
masih penuh, BPJS kesehatan membayar sesuai dengan
kelas dimana pasien dirawat.

– Opsi 2: ditawarkan untuk dirujuk ke faskes yang setara


180. PEMBAYARAN BPJS DI FASKES PRIMER

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TARIF PELAYANAN
KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
Tarif Kapitasi
• Tarif Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a diberlakukan pada FKTP yang melakukan
pelayanan:
a. administrasi pelayanan;
b. promotif dan preventif;
c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun
non operatif;
e. obat dan bahan medis habis pakai;
f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pratama.
Tarif Non Kapitasi
• Tarif Non Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan kesehatan di
luar lingkup pembayaran kapitasi, yang meliputi:
a. pelayanan ambulans
b. pelayanan obat program rujuk balik;
c. pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik;
d. pelayanan penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk
pelayanan terapi krio untuk kanker leher rahim;
e. rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis;
f. jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh
bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya;
dan
g. pelayanan Keluarga Berencana di FKTP
Penyakit yang Termasuk dalam
Program Rujuk Balik

https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/4238e7d5f66ccef4ccd89883c46fcebc.pdf
181. Visum et Repertum (VeR)
Dasar: PASAL 133 KUHAP
• Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya

Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna


Permintaan VeR menurut Ps.133 KUHAP

• WEWENANG PENYIDIK
• TERTULIS (RESMI)
• TERHADAP KORBAN, BUKAN TERSANGKA
• ADA DUGAAN AKIBAT PERISTIWA PIDANA
• BILA MAYAT :
– IDENTITAS PADA LABEL
– JENIS PEMERIKSAAN YANG DIMINTA
– DITUJUKAN KEPADA : AHLI KEDOKTERAN FORENSIK /
DOKTER DI RUMAH SAKIT

Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna


Ketentuan Lain dalam VeR Korban Hidup

• SURAT PERMINTAAN VER DAPAT “TERLAMBAT” :


– KORBAN LUKA DIBAWA KE DOKTER (RS) DULU SEBELUM KE
POLISI
– SPV MENYEBUTKAN PERISTIWA PIDANA YANG DIMAKSUD
– VER = SURAT KETERANGAN, JADI DAPAT DIBUAT
BERDASARKAN REKAM MEDIS (RM telah menjadi barang
bukti sejak datang SPV)
– PEMBUATAN VER TANPA IJIN PASIEN, SEDANGKAN SKM
LAIN HARUS DENGAN IJIN.
– SEBAIKNYA DIANTAR PETUGAS AGAR DAPAT DIPASTIKAN
IDENTITAS KORBAN DAN STATUSNYA SEBAGAI “BARANG
BUKTI”
Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
VeR dan Rekam Medis
• Seorang pasien yang datang berobat ke RS dengan
perlukaan dan/atau keracunan, apalagi dengan anamnesis
yang menunjukkan adanya kemungkinan kaitan dengan
suatu tindak pidana, pertama-tama harus DIANGGAP
sebagai kasus forensik, tanpa melihat ada atau tidaknya
Surat Permintaan VER dari polisi.
• Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan
pencatatan anamnesis secara lengkap dan detil.
Pemeriksaan fisik dilakukan seperti biasa, akan tetapi
pencatatan luka-lukanya dilakukan secara lengkap dan
mendetil.
• VER kasus forensik klinik dibuat berdasarkan rekam medis
korban, yang dibuat oleh dokter IGD, dokter yang merawat,
SpF maupun perawat. Suatu VER yang baik hanya dapat
dihasilkan dari Rekam Medis (RM) yang baik pula.
Cara Pencatatan Rekam Medis untuk Kasus Forensik Klinik,
Djaja Surya Atmadja
Sanksi Hukum Bila Menolak
Pembuatan VeR
PASAL 216 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau
permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh
pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana;
demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna
menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.

Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna


182. Rekam Medis
– Administrative Value
– Legal Value
– Financial Value
– Research Value
– Education Value
– Documentation Value
ASPEK HUKUM REKAM MEDIS
• Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran: setiap dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.

• Pasal 47 ayat (1): Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan
kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.

• Mengenai isi rekam medis diatur lebih khusus dalam Pasal 12 ayat
(2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis: Isi rekam medis
merupakan milik pasien yang dibuat dalam bentuk ringkasan rekam medis.
Kepemilikan Rekam Medis
• Aplikasi: Karena isi Rekam Medis merupakan milik
pasien, maka pada prinsipnya tidak pada tempatnya jika
dokter atau petugas medis menolak memberitahu
tentang isi Rekam Medis kepada pasiennya, kacuali pada
keadaan-keadaan tertentu yang memaksa dokter untuk
bertindak sebaliknya.

• Sebaliknya, karena berkas Rekam Medis merupakan milik


institusi, maka tidak pada tempatnya pula jika pasien
meminjam Rekam Medis tersebut secara paksa, apalagi
jika institusi pelayanan kesehatan tersebut menolaknya.
183. PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS
• Persetujuan tindakan medis secara praktis
dibagi menjadi 2:
Implied consent Pasien tidak menyatakan persetujuan baik secara tertulis maupun
lisan, namun dari tingkah lakunya menyatakan persetujuannya.
Contoh: pasien membuka baju untuk diperiksa, pasien
mengulurkan lengan untuk diambil sampel darah.

Expressed Persetujuan dinyatakan secara lisan atau tertulis. Khusus setiap


consent tindakan yang mengandung risiko tinggi, harus diberikan
persetujuan tertulis oleh pasien atau yang berhak mewakili (sesuai
UU No.29 tahun 2004 pasal 45)

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyelidikan,


A. Munim Idries, 2013
Jenis Consent Lainnya
JENIS
PENJELASAN
CONSENT
Consent yang diberikan pada pasien secara tertulis,
Informed consent yang ditandatangani langsung oleh pasien yang
berangkutan.

Consent yang diberikan oleh wali pasien (orangtua,


suami/istri, anak, saudara kandungnya dsb) karena
Proxy consent
pasien tidak kompeten untuk memberikan consent
(misalnya pada pasien anak).

Pasien tidak dapat memberikan consent, namun


diasumsikan bahwa bila pasien sadar, ia akan setuju
Presumed
dengan tindakan medis yang diambil. Consent jenis ini
consent
biasanya dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan atau
pada donor organ dari cadaver.
Appelbaum PS. Assessment of patient’s competence to consent to treatment. New England Journal of Medicine. 2007; 357: 1834-
1840.
184-185. KAIDAH DASAR MORAL

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
(nonmaleficence)
• Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar • Praktik Kedokteran haruslah memilih
pasien yang dirawatnya terjaga keadaan pengobatan yang paling kecil risikonya dan
kesehatannya (patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
• Pengertian ”berbuat baik” diartikan first, do no harm, tetap berlaku dan harus
bersikap ramah atau menolong, lebih diikuti.
dari sekedar memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
for person) / Autonomy ekonomi, pandangan politik, agama dan
faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus kewarganegaraan, status perkawinan,
diperlakukan sebagai manusia yang serta perbedaan jender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter
memiliki otonomi (hak untuk menentukan terhadap pasiennya.
nasib diri sendiri), • Tidak ada pertimbangan lain selain
• Setiap manusia yang otonominya kesehatan pasien yang menjadi perhatian
berkurang atau hilang perlu mendapatkan utama dokter.
perlindungan. • Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Beneficence (Berbuat baik)
• General beneficence
– Melindungi dan mempertahankan hak, mencegah terjadinya kerugian
– Menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain
• Specific beneficence
– Menolong orang cacat, menyelamatkan dari bahaya, mengutamakan kepentingan pasien
– Memandang pasien/ keluarga/ sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter/ rumah
sakit/ pihak lain
– Maksimalisasi akibat baik
– Menjamin nilai pokok: “apa saja yang ada, pantas kita bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada
yang hidup)
• Prinsip tindakan
– Berbuat baik kepada siapa pun, termasuk yang tidak kita kenal
– Pengorbanan diri demi melindungi dan menyelamatkan pasien
– “janji” atau wajib menyejahterakan pasien dan membuat diri terpecaya
• Contoh tindakan
– Dokter bersikap profesional, bersikap jujur, dan luhur pribadi (integrity); menghormati pasien,
peduli pada kesejahteraan pasien, kasih sayang, dedikatif mempertahankan kompetensi
pengetahuan dan keterampilan teknisnya
– Memilih keputusan terbaik pada pasien yang tidak otonom (kurang mampu memutuskan
bagi dirinya), misalnya anak, pasien dengan gangguan jiwa, pasien dalam kondisi gawat
Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Non-Maleficence
• Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien: tidak boleh
berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien; minimalisasi
akibat buruk
• Primum non nocere: First do no harm
• Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal:
– Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang
penting dan dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
– Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
– Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal)
– Norma tunggal, isinya larangan
• Contoh tindakan:
– Tidak melakukan malpraktik etik, baik sengaja atau tidak; seperti dokter tidak
mempertahankan kemampuan ekspertisnya atau menganggap pasien sebagai
komoditi
– Menghentikan pengobatan yang sia-sia atau pengobatan luar biasa, yaitu
pengobatan yang tidak biasa diperoleh atau digunakan tanpa pengeluaran
amat banyak, nyeri berlebihan, atau ketidaknyamanan lainnya
– Juga membiarkan mati (letting die), bunuh diri dibantu dokter, euthanasia,
sengaja malpraktik etis
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
Autonomy
• Autonomy
• Pandangan Kant
– Otonomi kehendak = otonomi moral, yaitu kebesan
bertindak, memutuskan atau memilih dan menentukan diri
sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang
ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan, atau campur
tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam
berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia
• Tell the truth
– Hormatilah hak privasi orang lain, lindungi formasi
konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien;
bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting
Justice
Kriteria
1. Memberlakukan sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan
8. Tidak melakukan penyalahgunaan
9. Bijak dalam makro alokasi
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
Justice
• Justice (Keadilan)
• Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness), yaitu:
– Memberi sumbangan dan menuntut pengorbanan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur
dari kebutuhan dan kemampuan pasien
• Jenis keadilan:
– Komparatif (perbandingan antarkebutuhan penerima)
– Distributif (membagi sumber): sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani ;
secara material kepada:
• Setiap orang andil yang sama
• Setiap orang sesuai kebutuhannya
• Setiap orang sesuai upayanya
• Setiap orang sesuai jasanya
– Sosial: kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama
• Utilitarian: memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi sosial dan
memaksimalkan nikmat/ keuntungan bagi pasien
• Libertarian: menekankan hak kemerdekaan sosial-ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil
substansif atau materiil)
• Komunitarian: mementingkan tradisi komunitas tertentu
• Egalitarian: kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap individu
rasional (sering menerapkan kriteria material kebutuhan bersama)
– Hukum (umum)
• Tukar-menukar: kebajikan memberkan atau mengembalikan hak-hak kepada yang berhak
• Pembagian sesuai denan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai
kesejahteraan umum
186. PEMERIKSAAN DALAM KASUS KEJAHATAN
SEKSUAL

PEMERIKSAAN SEMEN
Pada pakaian, bercak mani berbatas tegas dan warnanya lebih gelap
Pemeriksaan daripada sekitarnya. Dan Bercak yang sudah agak tua berwarna
visual kekuningan.

Bercak mani teraba kaku seperti kanji. Pada tekstil yang tidak menyerap,
Perabaan dan bila tidak teraba kaku, masih dapat dikenali dari permukaan bercak yang
penciuman teraba kasar. Pada penciuman, bau air mani seperti klorin (pemutih) atau
bau ikan

Semen kering (bercak semen) berfluoresensi (bluish-white) putih


kebiruan di bawah iluminasi UV dan menunjukkan warna yang
Ultraviolet (UV) sebelumnya tak nampak. Namun Pemeriksaan ini tidak spesifik,sebab
nanah, fluor albus, bahan makanan, urin, dan serbuk deterjen yang
tersisa pada pakaian sering berflouresensi juga.
PEMERIKSAAN KIMIAWI
Cairan vaginal atau bercak mani yang sudah dilarutkan,
ditetesi larutan yodium (larutan Florence) di atas objek glass
Metode
Hasil yang diharapkan: kristal-kristal kholin peryodida
Florence
tampak berbentuk jarum-jarum / rhomboid yang berwarna
coklat gelap

Cairan vagina atau bercak semen yang sudah dilarutkan,


diteteskan pada objek glass, lalu ditambahkan asam pikrat
Metode
dan diamati di bawah mikroskop.
Berberio
Hasil yang diharapkan: Kristal spermin pikrat akan terbentuk
rhomboik atau jarum yang berwarna kuning kehijauan.

Dapat dilakukan pada cairan vagina dan pada bercak semen


di pakaian.
Fosfatase
Hasil yang diharapkan: warna ungu timbul dalam waktu
asam
kurang dari 30 detik, berarti asam fosfatase berasal dari
prostat.

Bercak pada pakaian diekstraksi dengan cara menempelkan


Metode kertas saring Whatman no.2 yang dibasahi dengan
PA N aquadest, selama 10 menit.
Hasil positif menunjukkan warna merah jambu.
PEMERIKSAAN CAIRAN MANI

Sampel :
1. Forniks posterior vagina
Fosfatase asam, PAN, Berberio, Florence

2. Bercak pada pakaian


Pemeriksaan Taktil, Visual, Sinar UV,
Fosfatase asam, PAN, Berberio, Florence
Pemeriksaan Sperma

• Pemeriksaan Sperma tanpa pewarnaan


– Tujuan: Untuk melihat motilitas spermatozoa.
Pemeriksaan ini paling bermakna untuk
memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.
– Sperma didalam liang vagina masih dapat
bergerak dalam waktu 4 – 5 jam post-coitus;
sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak
sampai sekitar 24-36 jam post coital dan bila
wanitanya mati masih akan dapat ditemukan 7-8
hari.
Pemeriksaan Sperma

• Pemeriksaan dengan pewarnaan


– Bila sediaan dari cairan vagina, dapat diperiksa
dengan Pulas dengan pewarnaan gram, giemsa
atau methylene blue atau dengan pengecatan
Malachite-green.
– Bila berasal dari bercak semen (misalnya dari
pakaian), diperiksa dengan pemeriksaan Baechii.
Hasil: spermatozoa dengan kepala berwarna
merah dan ekor berwarna biru muda terlihat
banyak menempel pada serabut benang
Pewarnaan Malachite Green

• Keuntungan dengan pulasan ini


adalah inti sel epitel dan leukosit
tidak terdiferensiasi, sel epitel
berwarna merah muda merata dan
leukosit tidak terwarnai. Kepala
spermatozoa tampak berwarna
ungu, bagian hidung merah muda.

• Dikatakan positif, apabila


ditemukan sperma paling sedikit
satu sperma yang utuh.
Pewarnaan Baechii

• Reagen dapat dibuat dari : Acid


fuchsin 1 % (1 ml), Methylene
blue 1 % (1 ml), Asam klorida 1
% (40 ml).

• Hasil : Serabut pakaian tidak


berwarna, spermatozoa dengan
kepala berwarna merah dan ekor
berwarna biru muda terlihat
banyak menempel pada serabut
benang.
187. Pembunuhan Anak Sendiri
• Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu
atas anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak
berapa lama setelah dilahirkan, karena takut
ketahuan bahwa ia melahirkan anak (Pasal 341).
• Dokter yang memeriksa mayat bayi, harus
mencantumkan hal – hal berikut
– Apakah lahir mati atau hidup Uji apung paru
– Berapakah umur bayi tersebut (intra dan
ekstrauterine)
– Apakah bayi tersebut sudah dirawat
– Apakah penyebab kematiannya
Pembunuhan Anak Sendiri

• Patokan korban baru dilahirkan berdasarkan tidak adanya


tanda-tanda perawatan:
– Masih berlumuran darah
– Tali pusat belum dirawat
– Adanya lemak bayi yang jelas
– Belum diberi pakaian
• Tanda lahir hidup:
– Makroskopis: dada tampak mengembang, diafragma sudah turun
sampai sela ida 4-5. Paru berwarna warna merah muda tidak merata
dengan gambaran mozaik, konsistensi spons, teraba derik udara, akan
mengapung pada tes apung paru.
– Mikroskopis paru: adanya pengembangan kantung alveoli.
PEMERIKSAAN MAYAT BAYI
Hal yang perlu diperiksa adalah:
• Berapa umur bayi dalam kandungan, apakah sudah cukup
bulan untuk dilahirkan? (Untuk membedakan kasus abortus
dengan kasus pembunuhan anak)

• Apakah bayi lahir hidup atau sudah mati saat dilahirkan?


(Untuk membedakan kasus stillbirth dengan bayi lahir hidup)

• Apakah ada tanda perawatan bayi? (Untuk membedakan


kasus infantisida atau pembunuhan)

• Apakah penyebab kematian bayi?


Infantisida (Pembunuhan Anak
Sendiri)
• Infanticide atau pembunuhan anak sendiri adalah
pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu
dengan atau tanpa bantuan orang lain terhadap
bayinya pada saat dilahirkan atau beberapa saat
sesudah dilahirkan, oleh karena takut diketahui
orang lain bahwa ia telah melahirkan anak.

• Pasal berkaitan infantisida: pasal 341-343 KUHP.


Pemeriksaan dalam kasus Infantisida
• Hal-hal yang harus ditentukan atau yang perlu
dijelaskan dokter dalam pemeriksaannya adalah:
– Berapa umur bayi dalam kandungan, apakah sudah
cukup bulan untuk dilahirkan.
– Apakah bayi lahir hidup atau sudah mati saat
dilahirkan.
– Bila bayi lahir hidup, berapa umur bayi sesudah lahir.
– Apakah bayi sudah pernah dirawat.
– Apakah penyebab kematian bayi.
Penentuan Usia Janin (1)
• Bayi dianggap cukup bulan jika: Panjang badan di atas
45 cm, berat badan 2500 – 3500 gram, lingkar kepala
lebih dari 34 cm.
• Untuk menentukan umur bayi dalam kandungan, ada
rumus empiris yang dikemukakan oleh De Haas, yaitu
menentukan umur bayi dari panjang badan bayi.
– Untuk bayi (janin) yang berumur di bawah 5 bulan, umur
sama dengan akar pangkat dua dari panjang badan. Jadi
bila dalam pemeriksaan didapati panjang bayi 20 cm, maka
taksiran umur bayi adalah Ö20 yaitu antara 4 sampai 5
bulan dalam kandungan atau lebih kurang 20 – 22 minggu
kehamilan.
– Untuk janin yang berumur di atas 5 bulan, umur sama
dengan panjang badan (dalam cm) dibagi 5 atau panjang
badan (dalam inchi) dibagi 2.
Penentuan Usia Janin (2)
• Keadaan ujung-ujung jari: apakah kuku-kuku telah melewati
ujung jari seperti anak yang dilahirkan cukup bulan atau
belum. Garis-garis telapak tangan dan kaki dapat juga
digunakan, karena pada bayi prematur garis-garis tersebut
masih sedikit.
• Keadaan genitalia eksterna: bila telah terjadi descencus
testiculorum maka hal ini dapat diketahui dari terabanya
testis pada scrotum, demikian pula halnya dengan keadaan
labia mayora apakah telah menutupi labia minora atau
belum; testis yang telah turun serta labia mayora yang
telah menutupi labia minora terdapat pada anak yang
dilahirkan cukup bulan dalam kandungan si-ibu.
• Hal tersebut di atas dapat diketahui bila bayi segar, tetapi
bila bayi telah busuk, labia mayora akan terdorong keluar.
Penentuan Usia Janin (3)
Berdasarkan ukuran lingkaran kepala:
• Bayi 5 bulan : 38,5-41 cm
• Bayi 6 bulan : 39-42 cm
• Bayi 7 bulan : 40-42 cm
• Bayi 8 bulan : 40-43 cm
• Bayi 9 bulan : 41-44 cm
Penentuan Usia Janin (4)
• Pusat penulangan diperiksa pada 2 tempat yaitu yaitu
pada telapak kaki dan lutut.

• Pada telapak kaki pemeriksaan ditujukan kepada tulang


talus, calcaneus dan cuboid.
– Adanya pusat penulangan di tulang talus menunjukkan
bayi telah berumur 7 bulan, tulang calcaneus 8 bulan dan
tulang cuboid 9 bulan.

• Di lutut ditujukan untuk memeriksa pusat penulangan


di proksimal tulang tibia dan distal femur.
– Adanya pusat penulangan pada kedua tulang tersebut
menunjukkan bayi telah berumur 9 bulan dalam
kandungan (cukup umur).
Penentuan Bayi Lahir Hidup/ Mati
• Pemeriksaan luar: Pada bayi yang lahir hidup, pada
pemeriksaan luar tampak dada bulat seperti tong . biasanya
tali pusat masih melengket ke perut, berkilat dan licin.
Kadang-kadang placenta juga masih bersatu dengan tali
pusat. Warna kulit bayi kemerahan.

• Penentuan apakah seorang anak itu dilahirkan dalam


keadaan hidup atau mati, pada dasarnya adalah sebagai
berikut:
– Adanya udara di dalam paru-paru.
– Adanya udara di dalam lambung dan usus,
– Adanya udara di dalam liang telinga bagian tengah, dan
– Adanya makanan di dalam lambung.

• Penentuan pasti dengan tes apung paru.


Usia Bayi Ekstra Uterin
• Udara dalam saluran cerna : sampai lambung
atau duodenum (hidup beberapa saat), usus
halus (hidup 1-2 jam), usus besar (5-6 jam),
rektum (12 jam)
• Mekonium dalam kolon (24 jam setelah lahir)
• Perubahan tali pusat (tempat lekat membentuk
lingkaran kemerahan dalam 36 jam)
• Eritrosit berinti hilang dalam 24 jam pertama
• Perubahan sirkulasi darah
Tes Apung Paru
• Keluarkan paru-paru dengan mengangkatnya mulai dari trachea sekalian
dengan jantung dan timus. Kesemuanya ditaruh dalam baskom berisi air.
Bila terapung artinya paru-paru telah terisi udara pernafasan.

• Untuk memeriksa lebih jauh, pisahkan paru-paru dari jantung dan timus,
dan kedua belah paru juga dipisahkan. Bila masih terapung, potong
masing-masing paru-paru menjadi 12 – 20 potongan-potongan kecil.
Bagian-bagian ini diapungkan lagi. Bagian kecil paru ini ditekan dipencet
dengan jari di bawah air. Bila telah bernafas, gelembung udara akan
terlihat dalam air.

• Bila masih mengapung, bagian kecil paru-paru ditaruh di antara 2 lapis


kertas dan dipijak dengan berat badan. Bila masih mengapung, itu
menunjukkan bayi telah bernafas. Sedangkan udara pembusukan akan
keluar dengan penekanan seperti ini, jadi ia akan tenggelam.
Bayi Lahir Mati: Still birth vs Dead Born
• Still birth, artinya dalam kandungan masih hidup, waktu dilahirkan sudah mati.
Ini mungkin disebabkan perjalanan kelahiran yang lama, atau terjadi accidental
strangulasi dimana tali pusat melilit leher bayi waktu dilahirkan.

• Dead born child, di sini bayi memang sudah mati dalam kandungan. Bila
kematian dalam kandungan telah lebih dari 2 – 3 hari akan
terjadi maserasi pada bayi. Ini terlihat dari tanda-tanda:
– Bau mayat seperti susu asam.
– Warna kulit kemerah-merahan.
– Otot-otot lemas dan lembek.
– Sendi-sendi lembek sehingga mudah dilakukan ekstensi dan fleksi.
– Bila lebih lama didapati bulae berisi cairan serous encer dengan dasar bullae
berwarna kemerah-merahan.
– Alat viseral lebih segar daripada kulit.
– Paru-paru belum berkembang.
Ada/ Tidaknya Tanda Perawatan
Tidak adanya tanda perawatan adalah sbb:
• Tubuh masih berlumuran darah,
• Ari-ari (placenta), masih melekat dengan tali pusat dan
masih berhubungan dengan pusar (umbilicus),
• Bila ari-ari tidak ada, maka ujung tali pusat tampak tidak
beraturan, hal ini dapat diketahui dengan meletakkan ujung
tali pusat tersebut ke permukaan air,
• Adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta
di daerah yang mengandung lipatan-lipatan kulit, seperti
daerah lipat ketiak, lipat paha dan bagian belakang bokong.
188. LUKA TEMBAK

• Dalam memberikan pendapat atau kesimpulan dalam


visum et repertum, tidak dibenarkan menggunakan istilah
pistol atau revolver; oleh karena perkataan pistol
mengandung pengertian bahwa senjatanya termasuk
otomatis atau semi otomatis, sedangkan revolver berarti
anak peluru berada dalam silinder yang akan memutar jika
tembakan dilepaskan.

• Oleh karena dokter tidak melihat peristiwa


penembakannya, maka yang akan disampaikan adalah;
senjata api kaliber 0,38 engan alur ke kiri dan sebagainya.
Luka Tembak Menempel Erat

• Luka simetris di tiap sisi


• Jejas laras jelas mengelilingi lubang luka
• Tidak akan dijumpai kelim jelaga atau kelim
tattoo
Kelim pada Luka Tembak

• Kelim tato: akibat butir mesiu; gambaran bintik-


bintik hitam bercampur perdarahan, tidak dapat
dihapus dengan kain.
• Kelim jelaga: akibat asap; gambaran bintik-bintik
hitam yang dapat dihapus dengan kain.
• Kelim api: akibat pembakaran dari senjata; luka
bakar terlihat dari kulit dan rambut di sekitar luka
yang terbakar.
• Kelim lecet: akibat partikel logam; bentuknya luka
lecet atau luka terbuka yang dangkal
Luka Tembak Masuk vs Keluar

• Luka tembak masuk: pada tubuh korban tersebut akan


didapatkan perubahan yang diakibatkan oleh berbagai
unsur atau komponen yang keluar dari laras senjata api
tersebut, seperti anak peluru, butir-butir mesiu yang
tidak terbakar atau sebagian terbakar, asap atau jelaga,
api, partikel logam, minyak pada anak peluru.

• Luka tembak keluar: tidak adanya kelim lecet, kelim-


kelim lain juga tentu tidak ditemukan. Luka tembak
keluar pada umumnya lebih besar dari luka tembak
masuk.
189. TANATOLOGI FORENSIK

• Livor mortis atau lebam mayat


– terjadi akibat pengendapan eritrosit sesudah
kematian akibat berentinya sirkulasi dan adanya
gravitasi bumi .
– Eritrosit akan menempati bagian terbawah badan
dan terjadi pada bagian yang bebas dari tekanan.
– Muncul pada menit ke-30 sampai dengan 2 jam.
Intensitas lebam jenazah meningkat dan menetap
8-12 jam.
Rigor mortis atau kaku mayat

• terjadi akibat hilangnya ATP.


• Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin
bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam
postmortem.
• Kemudian dipertahankan selama 12 jam, setelah itu akan
berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya.
• Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku jenazah
adalah suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan.
• Makin tinggi suhu tubuh makin cepat terjadi kaku jenazah.
• Rigor mortis diperiksa dengan cara menggerakkan sendi fleksi
dan antefleksi pada seluruh persendian tubuh.
Penurunan suhu badan

• Pada saat sesudah mati, terjadi proses pemindahan


panas dari badan ke benda-benda di sekitar yang lebih
dingin secara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.
• dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konstitusi tubuh dan
pakaian.
• Bila suhu lingkugan rendah, badannya kurus dan
pakaiannya tipis maka suhu badan akan menurun lebih
cepat.
• Lama kelamaan suhu tubuh akan sama dengan suhu
lingkungan.
Pembusukan mayat (dekomposisi)

• Terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja


bakteri.
• Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai
dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau
busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lain-lain.
• RUMUS CASPER untuk perbedaan kecepatan pembusukan udara:
air: tanah = 8:2:1
• Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah
terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari
predators seperti binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen
menghambat berkembang biaknya organisme aerobik.
Thanatologi

Livor mortis Livor mortis lengkap


mulai muncul dan menetap

20 30 2 6 8 12 24 36
0 mnt mnt jam jam jam jam jam jam

Rigor mortis Pembus


Rigor mortis Pembusuk ukan
lengkap (8-10
mulai muncul an mulai tampak
jam)
tampak di di
caecum seluruh
tubuh

Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
PENURUNAN SUHU TUBUH (ALGOR
MORTIS)

Approximate times for algor and rigor mortis in temperate regions


Body temperature Body stiffness Time since death
warm not stiff dead not more than three
hours
warm stiff dead 3 to 8 hours
cold stiff dead 8 to 36 hours
cold not stiff dead more than 36 hours
SOURCE: Stærkeby, M. "What Happens after Death?" In the University of Oslo
Forensic Entomology [web site]. Available from
http://folk.uio.no/mostarke/forens_ent/afterdeath.shtml.
190. CADAVERIC SPASM
• Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan dimana
terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-kadang pada seluruh
otot, segera setelah terjadi kematian somatis dan tanpa melalui relaksasi
primer.

• Berhubungan dengan kehabisan cadangan glikogen dan ATO yang bersifat


setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat
sesaat sebelum meninggal

• Dapat terjadi pada semua otot di tubuh akan tetapi biasanya pada grup –
grup otot tertentu, misalnya otot lengan atas.

• Kepentingan medikolegal adalah menunjukan sikap terakhir masa


hidupnya, misalnya tangan menggenggam erat benda yang diraihnya pada
kasus tenggelam ; terjadi sesaat setelah kematian, sebelum onset normal
dari rigor mortis.
Cadaveric Spasme atau Rigor Mortis?

• Bedakan rigor mortis dengan cadaveric


spasme.
– Rigor mortis baru terjadi pada 2-4 jam pertama,
terjadi secara komplit pada 6-12 jam paska
kematian,dan terutama terlihat jelas pada otot –
otot kecil.
– Cadavaric spasme segera setelah terjadi kematian
somatis. Dapat terjadi pada semua otot di tubuh
akan tetapi biasanya pada grup – grup otot
tertentu.
Bedanya dengan stiffening
• Heat stiffening : kekakuan otot akibat koagulasi protein
oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi
rapuh (mudah robek)
– dapat dijumpai pada korban mati terbakar
– pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek
sehingga menimbulkan flexi leher, siku, paha, dan lutut,
membentuk sikap petinju (pugilistic attitude)

• Cold stiffening : kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin,


sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan
sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot,
sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya
es dalam rongga sendi.
THT-KL
191. Noise Induced Hearing Loss
• Tuli akibat bising (NIHL = Noise Induced Hearing Loss)
• Kerusakan bagian organ Corti : membran, stereosilia, sel rambut,
• Klinis:
– pendengaran terganggu biasanya bilateral
– Telinga berdenging
– Riwayat terpajan bising dalam jangka waktu lama
– Bising > 85 dB >8 jam perhari atau 40 jam perminggu
– Pada gangguan pendengaran cukup berat, sukar menangkap percakapan
– Uji Penala : R: +, W : tak ada lateralisasi, atau lateralisasi ke sisi yg lebih
baik (tuli sensorineural)
– Audiogram : tuli sensorineural, penurunan pada frek 3000- 6000Hz,
terdapat takik pd frek 4000Hz (“Kahart Notch”)
– Audiometri tutur : gangguan diskriminasi wicara
Nilai Ambang Kebisingan
• NAB (nilai ambang batas) kebisingan untuk 8 jam kerja per
hari adalah sebesar 85 dBA.

• Pajanan bising tidak boleh melebihi level 140 dBC


walaupun hanya sesaat.

• Apabila menggunakan alat pelindung telinga (APT) untuk


mengurangi dosis pajananbising, maka perlu diperhatikan
kemampuan APT dalam mereduksi pajanan bising yang
dinyatakan dalam noise reduction rate (NRR).

• NAB pajanan kebisingan untuk durasi pajanan tertentu


dapat dilihat dalam tabel di slide selanjutnya.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR DAN PERSYARATAN KESEHATAN
LINGKUNGAN KERJA INDUSTRI
Nilai
Ambang
Kebisingan

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG
STANDAR DAN PERSYARATAN KESEHATAN
LINGKUNGAN KERJA INDUSTRI
Audiologi Nada Murni
Audiometri nada murni:
• Ambang Dengar (AD): bunyi nada murni terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga
seseorang.
• Perhitungan derajat ketulian:
(AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz) / 4
• Derajat ketulian:
– 0-25 dB : normal
– >25-40 dB : tuli ringan
– >40-55 dB : tuli sedang
– >55-70 dB : tuli sedang berat
– >70-90 dB : tuli berat
– >90 dB : tuli sangat berat
Audiogram
192. Polip nasi
• Etiologi:Inflamasi
kronik, disfungsi
otonom, predisposisi
genetik
• Polip berasal dari
kompleks ostiomeatal di
meatus medius dan
sinus etmoid
• Mulanya, pasien
mengalami hidung
buntu kronik karena
polip. Selanjutnya,
berkomplikasi menjadi
sinusitis dengan adanya
sekret berbau
Anamnesis
– hidung tersumbat, rinorea, hiposmia atau
anosmia.
– Dapat disertai bersin, nyeri hidung dan sakit
kepala di frontal.
– Bila disertai infeksi sekunder, terjadi PND dan
sekret purulen.
– Gejala sekunder: napas lewat mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur
Pemeriksaan
• Pemeriksaan utama adalah rhinoskopi anterior.
• Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior  massa pucat dari
meatus medius, mudah digerakkan,bisa menyebabkan
pelebaran hidung karena polip yang masif
• Penunjang: nasoendoskopi, radiologi (foto polos sinus
paranasal, CT scan)  terapi ini dilakukan jika dari
pemerikaan rhinoskopi anterior belum dapat ditegakkan
diagnosis polip.
• Biopsi  dilakukan jika terdapat kecurigaan ke arah
keganasan.
• Terapi: steroid (polipektomi medikamentosa)  tidak
membaik, polipektomi bedah
Diagnosis Banding Sumbatan Hidung
• Septum deviasi: keadaan dimana septum nasi tidak
lurus di tengah
• Angiofibroma nasofaring: tumor jinak pembuluh
darah yang memiliki kemampuan untuk mendestruksi
tulang dan jaringan sekitarnya.
• Rhinitis alergi: penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan berulang.
• Sinusitis: inflmasi mukosa sinus paranasal, biasanya
dipicu oleh rhinitis.
Contoh Polip

Gambar diunduh dari: http://thtkl.wordpress.com/tag/polip-hidung/


193. Tonsilitis difteri
• Tonsilitis difteri merupakan salah satu dari
kelompok tonsilitis membranosa
• Etiologi: kuman Corynebacterium diphteriae
• Sering ditemukan pada anak usia kurang dari
10 tahun
193. Tonsilitis difteri
• Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan, yaitu:
– Gejala umum : subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat, nyeri menelan
– Gejala lokal: tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor membentuk membran semu yang mudah
berdarah, kelenjar limfe leher membengkak
menyerupai leher sapi (bullneck/ Burgemeester’s hals)
– Gejala akibat eksotoksin:
• Pada jantung  miokarditis hingga dekom kordis
• Pada n.kranial  kelumpuhan otot palatum & otot
pernapasan
• Pada ginjal  albuminuria
Patogenesis
Entry into nose or mouth
The organism remains in the superficial layers of skin lesions or respiratory tract mucosa,
inducing local inflammatory reaction

The major virulence of the organism lies in its ability to produce the
potent 62-kd polypeptide exotoxin, which inhibits protein synthesis and
causes local tissue necrosis

Within the first few days of respiratory tract infection , a dense necrotic coagulum
of organisms, epithelial cells, fibrin, leukocytes and erythrocytes forms, advances,
and becomes a gray-brown, leather-like adherent pseudomembrane . Removal is
difficult and reveals a bleeding edematous submucosa
Severity of Airway Obstruction
Jackson Criteria
I : Patient Calm
Stridor --> Inspiratory
Retraction --> Suprasternal

II : Patient Discomfort
Stridor --> Inspiratory
Retraction --> Suprasternal, Substernal

III : Patient Dyspnea


Stridor --> Inspiratory, Expiratory
Retraction --> Suprasternal, Substernal, Intercostal

IV : Patient Cyanosis/Apathy
Stridor --> Inspiratory, Expiratory
Retraction --> Suprasternal, Substernal, Intercostal
193. Difteri
• Pemeriksaan :
– Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab
tenggorok, jika bisa diambil dibawah selaput
pseudomembran
– Kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite blood
agar (CTBA), medium hoyle dan medium tinsdale 
medium selektif untuk kultur Corynebacterium diphtheriae
– Untuk megisolasi Corynebacterium digunakan agar darah
telurit (Mc Leod), sebagai media selektif, setelah inkubasi
selama 24 jam koloni bakteri terlihat berwarna abu-abu tua-
hitam.
– Selanjutnya untuk biakan murni Corynebacterium digunakan
media perbenihan Loeffler dalam tabung

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
193. Tellurite Blood (Hoyle’s)
Agar
• A selective medium for
isolation of Corynebacterium
diphtheriae.
• Tellurite inhibits the growth of
most secondary bacteria
without an inhibitory effect on
diphtheria bacilli.
• It is also an indicator medium
as the diphtheria bacilli
produce black colonies.
• Tellurite metabolized to
tellbrism, which has black
colour.
Tatalaksana Umum
• Pasien harus diisolasi sampai masa akut selesai dan
biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut turut
• Pasien tetap diisolasi dan tirah baring selama 2-3
minggu
• Bila pasien gelisah, iritabel, atau terdapat gangguan
pernafasan yang progresif dilakukan trakeostomi
• Pasien dengan difteria laring dijaga agar nafas tetap
bebas dan dijaga kelembaban udara dengan nebulizer
spesifik
Tatalaksana
• Antitoksin: harus diberikan segerah setelah diagnosis
dibuat. Sebelum diberikan, harus dilakukan skin test. (dosis
ADS lihat tabel)
• Anbiotik: Penisillin prokain 50.000-100.000 Unit/kgBB IM
per hari selama 10-14 hari atau eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10-14 hari
• Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran repirasi
(Pemberian oksigen dengan nasal prongs dapat membuat
anak tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi)

PPK RSCM & Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


Dosis ADS pada Difteri
Tipe Difteria Dosis ADS Cara Pemberian

Difteri hidung 20.000 IM

Difteri tonsil 40.000 IM/IV

Difteri faring 40.000 IM/IV

Difteri laring 40.000 IM/IV

Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV

Terlambat berobat > 72


80.000-100.000 IV
jam (lokasi di mana saja)
Tatalaksana
• Jika anak demam (≥ 39o C) beri parasetamol.
• Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa
nasogastrik.
• Tirah baring 2-3 minggu
• Kortikosterod dianjurkan pada kasus difteria
dengan gejala penyerta obstruksi saluran
nafas bagian atas ( dengan atau tanpa bullneck
) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
– Prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari yang
diturunkan secara bertahap.
Tindakan Kesehatan Masayarakat
• Rawat anak di ruangan isolasi
• Lakukan imunisasi pada anak serumah sesuai
dengan riwayat imunisasi
• Berikan eritromisin pada kontak serumah
sebagai tindakan pencegahan (12.5 mg/kgBB,
4xsehari, selama 3 hari)
• Lakukan biakan usap tenggorok pada keluarga
serumah

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


194. Serumen Prop
• Cerumen is produced by apocrine and
sebaceous glands in external ear canal.
• Often caused by attempts to clean the ear, or
water in canal
• Cerumen is pushed down
Cerumen Impaction
Clinical Manifestations

• Hearing loss
• Stuffed or full
feeling to ear
• Pain if cerumen
touches TM
External Auditory Canal
Cerumen Impaction
• Be sure TM is intact prior to lavage
• Irrigate ear with one part peroxide, and one
part water
• Karbogliserin tetes telinga
• Ear irrigation and manual cerumen removal
195. Angina Ludwig
• Ludwig’s angina is a rapidly progressing
polymicrobial cellulitis of the sublingual and
submandibular spaces
• Results in life threatnening air way compromise
• The organisms most often isolated in patients
with the disorder are Streptococcus viridans and
• Staphylococcus aureus
• Anaerobes also are frequently involved,
including bacteroides, peptostreptococci, and
peptococcus, fusiform bacilli , diptheroids.
• Non specific mixed infection
Etiology
• > 90% odontogenic in origin
• Peritonsillar absecess
• Parapharyngeal abscesses
• Oral lacerations
• Mandibular fractures
• Submandibular sialadenitis
195. Angina Ludwig
• Ludwig’s is a cellulitis of the submandibular space that
spreads to the structures of the anterior
• neck and beyond via connective tissue, muscle, and
fascial planes rather than by the lymphatic system.
• Cellulitis, rather than abscess formation, is the most
common early presenting finding.
• As the infection progresses, edema of the suprahyoid
tissues and supraglottic larynx elevate and posteriorly
displace the tongue, resulting in lifethreatening airway
narrowing.
• In advanced infection, cavernous sinus thrombosis and
brain abscess, in addition to airway compromise, have
been described.
Presentation
• Board like swelling of floor of mouth
• Elevation of the tongue
• Nonfluctuant suprahyoid swelling typify the
disease process. There is typically a bilateral
submandibular edema,
• The swelling of the anterior soft tissues of
the neck above the hyoid bone sometimes
leads to the characteristic “bull’s neck”
appearance of affected patients.
• Adenopathy and fluctuance are not usually
seen in patients with Ludwig’s angina
Pathogens
• Bacterial isolates are often mixed, comprising
both aerobes and anaerobes.

• Mostly alpha-hemolytic streptococci,


staphylococci and bacteroides.
Treatment
Primary goal:
• Preserve the oropharyngeal
airway.

Secondary goal:
• Antibiotic agent or incision and
drainage
195. Abses Leher Dalam
DIAGNOSIS C L I N I C A L F E AT U R E S

ABSES Odynophagia, otalgia, vomit, foetor ex ore, hypersalivation, hot potato


PERITONSIL voice, & sometimes trismus.

ABSES 1.Trismus, 2. Angle mandible swelling, 3. Medial displacement of lateral


PARAFARING pharyngeal wall.

In children: irritability,neck rigidity, fever,drolling,muffle cry, airway


ABSES
compromise
RETROFARING
In adult: fever, sore throat, odynophagia, neck tenderness, dysnea

SUBMANDIBULAR Fever, neck pain, swelling below the mandible or tongue. Trismus often
ABSCESS found. If spreading fast  bilateral, cellulitis  ludwig angina

Swelling bilaterally, hypersalivation, airway obstrution caused by


LUDWIG/LUDOVI
retracted tongue, odynophagia, trismus, no purulence (no time to
CI ANGINA
develop)
1) Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Cummings otolaryngology. 4th ed. Mosby; 2005.
Abses Leher Dalam
ABSES ABSES ABSES ABSES ANGINA
PERITONSIL RETROFARING PARAFARING SUBMANDIBULA LUDOVICI

ISPA, Selulitis ec
Komplikasi Penjalaran
ETIOLOGI limfadenitis Penjalaran infeksi penjalaran
tonsilitis infeksi
retrofaring infeksi

Odinofagia, Trismus, Nyeri, dasar


otalgia, Nyeri, disfagia, Trismus, pembengkakan mulut
GEJALA DAN regurgitasi, demam, leher indurasi bawah membengkak
TANDA foetor ex ore, kaku, sesak sekitar angulus mandibula/ mendorong
hipersalivasi, napas, stridor mandibula bawah lidah, lidah
trismus fluktuasi kebelakang

Paltum mole Dinding Riwayat sakit


bengkak, uvula belakang faring gigi, mengorek
PEMERIKSAAN rontgen rontgen
terdorong, ada benjolan atau mencabut
detritus unilateral gigi

Antibiotik, obat AB parenteral


AB parenteral AB parenteral AB parenteral
kumur, pungsi, dosis tinggi,
TERAPI dosis tinggi, dosis tinggi, dosis tinggi, insisi
insisi, insisi
insisi abses insisi
tonsilektomi
Abses Leher Dalam

Peritonsillar abscess Parapharyngeal abscess

Retropharyngeal abscess Submandibular abscess


196. Otitis eksterna

Tanda OE:
Nyeri jika aurikel ditarik ke belakang atau tragus
ditekan.
• Otitis externa sirkumskripta (furuncle)
– Etiologi: Staph. aureus, Staph. albus
– Terbatas pada kelenjar minyak/rambut yg
terobstruksi
– Hanya pada bagian kartilago telinga, tidak
ada jaringan penyambung di bawah kulit
 sangat nyeri
– Th/: AB topikal, analgetik topikal.
Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
196. Otitis Externa
• Otitis eksterna difus (swimmer’s ear)
– Etiologi: Pseudomonas, Staph. albus, E. coli.
– Kondisi lembab & hangat  bakteri tumbuh
– Sangat nyeri, liang telinga: edema, sempit, nyeri
tekan (+), eksudasi
– Jika edema berat  pendengaran berkurang
– Th/: AB topikal, kadang perlu AB sistemik
– AB: ofloxacin, ciprofloxacin, colistin, polymyxin B,
neomycin, chloramphenicol, gentamicin, &
tobramycin.
– Ofloxacin & ciprofloxacin: AB tunggal dengan
spektrum luas untuk patogen otitis eksterna.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
196. Otitis Externa
• Malignant otitis externa (necrotizing OE)
– Pada pasien diabetik lansia atau imunokompromais.

– OE dapat menjadi selulitis, kondritis, osteitis,


osteomielitis  neuropati kranial.

– Liang telinga bengkak & nyeri, jaringan granulasi merah


tampak di posteroinferior sambungan kartilago dengan
tulang, di 1/3 dalam.

– Awalnya gatal, lalu cepat menjadi nyeri, sekret (+), &


pembengkakan liang telinga.

– Th/: antibiotik topikal & sistemik, debridemen agresif.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
197. Presbiakusis
• Gangguan pendengaran pada lansia, 25-30% terjadi pada usia 65-70 tahun.
• Presbikusis: tuli simetris, terutama nada tinggi (suara wanita memiliki
frekuensi lebih tinggi dari pria), karena proses penuaan.
– Sensorik: sel rambut & sel sustentakular berkurang, organ korti rata
– Neural:neuron koklea berkurang
– Strial: atropi stria vaskularis
– Konduktif: membran basilar kaku
• TatalaksanaRehabilitasi
– Pemasangan alat bantu dengar
– Latihan membaca ujaran (speech reading)
– Latihan mendengar (auditory training)
Gangguan Pendengaran
• Cocktail party deafness
– Tanda tuli koklear, pasien terganggu oleh suara background 
sulit mendengar di lingkungan ramai.
– Dijumpai pada presbikusis & noice induced hearing loss.

• Presbikusis • Noise induced hearing loss


₋ Terjadi pada usia >65 ₋ Pajanan bising jangka
tahun. panjang cochlear
₋ Bilateral sensorineural deafness
dengan/tanpa tinnitus.
₋ Bilateral
Audiometri Pada Presbiakusis
Audiologi Nada Murni
Audiometri nada murni:
• Ambang Dengar (AD): bunyi nada murni terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga
seseorang.
• Perhitungan derajat ketulian:
(AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz) / 4
• Derajat ketulian:
– 0-25 dB : normal
– >25-40 dB : tuli ringan
– >40-55 dB : tuli sedang
– >55-70 dB : tuli sedang berat
– >70-90 dB : tuli berat
– >90 dB : tuli sangat berat
198. Granuloma Laring

Definisi
• Masa tumor jinak yg
berada pada bagian
posterior dari regio
aritenoid.
• Men>Women,
usually adults
198. Granuloma Laring
Patofisiologi
• The thin mucosa and
perichondrium overlying the
cartilaginous glottis become
inflamed, perhaps as a result
of overly forceful apposition
(slamming together) of th
arytenoids at the onset of voicing
(glottal stroke) or during chronic
coughing or throat clearing.
• Acid reflux may also increase
inflammation of the vocal
process area.
• The traumatized area ulcerates or
produces a heaped-up granulom
198. Granuloma Laring
Diagnosis
• Manifestasi klinis
 Hoarseness (91%)
 Sensation of lump (47%)
 Dyspneu (18%)
 Cough (12%)
 Hemoptysis (6%)
• Makroskopik : proliferative tissue emenating from the vocal
cord
• Color : pale gray to dark red, 2-15 mm, polypoid, nodular,
fungating or ulcerated
• Typical location : posterior aspect of the vocal cords
Tatalaksana
Cough prevention and treatment
 If the cough is due to an acute illness or recent instrumentation, a narcotic cough
suppressant may become necessary.
 Chronic cough and throat clearing may be managed by improved hydration, reflux
treatment, topical anesthetics, and asthma and allergy treatment as well as other
treatments.

Antireflux treatment
 Antireflux treatment consists of omeprazole 20-40 mg PO bid (or an equivalent proton
pump inhibitor), lansoprazole, or rabeprazole.
 Ranitidine 300 mg PO bid-qid may be used if proton pump inhibitors are not an option.
 Lifestyle modifications are crucial and must be initiated and maintained even in patients
undergoing pharmacotherapy. Instruct patients to implement the following measures:
 Avoid foods that cause reflux or are acidic (eg, tomato products, pepper, onion, garlic,
peppermint).
 Eliminate intake of caffeine from products such as coffee, sodas, and tea (including
green tea).
 Do not wear tight clothing.
 Avoid eating 2-3 hours prior to sleep.
 Elevate the head of the bed.
 Avoid the use of multiple pillows because they cause a bend at the waist and increase
the risk of reflux.
Speech therapy
 Speech therapy is essential in all hyperfunctional patients and is also recommended in individuals whose
contact ulcer or granuloma may have resulted from intubation trauma or reflux.
 Speech therapy improves breath support and reduces hard glottal attack.
 Speech therapy can eliminate poor vocal habits such as throat clearing and straining against a closed
glottis.

Botulinum toxin type A


 Occasionally, a granuloma that is unresponsive to maximal reflux therapy and good speech therapy is
encountered. Botulinum toxin type A is emerging as a treatment option for granulomas that are
unresponsive to other therapies.
 The toxin is administered by injection into the ipsilateral thyroarytenoid muscle.
 Speech therapy is ongoing during this treatment.
 The injection is performed either in the clinic or in conjunction with operative resection of the granuloma.
 The amount injected varies from 2.5-15 U.
 The goal is paresis or chemical paralysis of the ipsilateral thyroarytenoid or lateral cricoarytenoid muscle
to reduce the force of glottal attack and the impact between the 2 vocal processes during phonation and
cough.
 Speech therapy is continued so that the soft glottal attack can be carried over after the effect of the
injection wears off in about 3 months.

Systemic steroid therapy (anecdotal): Doses of steroids stronger than those considered therapeutic have been
suggested for the treatment of contact granulomas.
 Adrenal axis suppression is a concern when using steroids as a treatment option.
 The use of steroids in the treatment of contact granulomas is not well studied.
 Topically applied steroids via an inhaler may offer some efficacy.
 The role of steroids injected directly into the lesion in the office setting is also possible, but population
studies are lacking.
198. Laryngeal Disease

Papillomatosis

Vocal nodules
Vocal cord polyp

Laringitis Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.


198. Penyakit Laring
Diagnosis Karakteristik
Polip pita suara Penyebab: inflamasi kronik. Polip bertangkai, unilateral. Di
sepertiga anterior/medial/seluruhnya. Dapat terjadi di segala
usia, umumnya dewasa. Gejala: parau. Jenis: polip mukoid
(keabu-abuan & jernih) & polip angiomatosa (merah tua).
Papilloma laring Tumbuh pada pita suara anterior atau subglottik. Seperti buah
murbei, putih kelabu/kemerahan. Sangat rapuh, tidak
berdarah, & sering rekuren.
Gejala: parau, kadang batuk, sesak napas. Terapi: ekstirpasi.
Laringitis Gejala umum: demam, malaise. Gejala lokal: suara parau,
afoni, nyeri ketika menelan atau berbicara, gejala sumbatan
laring. Batuk kering atau kemudian berdahak.
PF: mukosa laring hiperemis, edema terutama di atas & di
bawah pita suara, biasanya juga ada tanda radang di hidung
atau sinus paranasal atau paru.
Nodul pita suara Penyebab: penyalahgunaan suara dalam waktu lama. Suara
parau. Laringoskopi: nodul kecil berwarna keputihan,
umumnya bilateral, di sepertiga anterior/medial.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
199. Rhinitis Kronik/ Atrofi
• Infeksi hidung kronik, ditandai oleh atrofi progresif
pada mukosa dan tulang konka
• Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret
yang kental dan cepat mengering sehingga
berbentuk krusta berbau busuk
• Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia
epitel toraks bersilia menjadi epitel kubik/gepeng
berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa lebih
tipis, kelenjar atrofi
Rhinitis Atrofi
• Etiologi: infeksi kuman spesifik (Klebsiella,
Stafilokokus, Pseudomonas), defisiensi Fe,
defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan
hormonal, penyakit kolagen
• Gejala: napas berbau, ingus kental berwarna
hijau, kerak (krusta) hijau, gangguan
penghidu, sakit kepala, hidung tersumbat
• Pengobatan: konservatif dan operatif
Diagnosis Clinical Findings
Rinitis alergi Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Rinitis Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin.


vasomotor Pemicu: asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres.
Tanda: mukosa edema, konka hipertrofi merah gelap.
Rinitis hipertrofi Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan
oleh infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor.
Gejala: hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak
& mukopurulen.
Rinitis atrofi / Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa
ozaena pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau,
hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media
& inferior, sekret & krusta hijau.
Rinitis Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan
medikamentosa vasokonstriktor topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma
edema,hipersekresi mukus. Rinoskopi: edema/hipertrofi konka
dengan sekret hidung yang berlebihan.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Tatalaksana Rhinitis Atrofi
• Irigasi hidung dgn NS hangat minimal 2 kali sehari
• Setelah irigasi  lubrikasi mukosa nasal dgn petroleum
jelly, xylitol-containing saline sprays, or personal
lubricants.
• Antibiotik dpt ditambahkan ke larutan irigasi jika cairan
nasal tetap purulen selama lebih dari 2 hari . Antibiotik
dpt diteruskan hingga purulen hilang.
• Antibotik awal yg dapat digunakan  mupirosin
• Jika curiga gram negatif  quinolon atau aminoglikosida.
• The oral administration of antibiotics may also be
required for acute infections  pakai broad spectrum AB
Tatalaksana Rhinitis Atrofi
Operasi
• A number of surgical procedures have been proposed; however,
controlled trials have not been performed to adequately assess
their efficacy.
 Operasi Young  Penutupan total rongga hidung dengan flap
 Operasi Young yang dimodifikasi  penutupan lubang hidung
dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
 Operasi Lautenschlager  memobilisasi dinding medial antrum
dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang
hidung.
 Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit,
bahan sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin.
 Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila
(operasi Wittmack) dengan tujuan membasahi mukosa hidung
200. Tonsillitis
• Acute tonsillitis:
– Viral: similar with acute rhinitis +
sore throat
– Bacterial: GABHS, pneumococcus, S.
viridan, S. pyogenes.
• Detritus → follicular tonsillitits
• Detritus coalesce → lacunar tonsillitis.
• Sore throat, odinophagia, fever, malaise,
otalgia.
• Th: penicillin or erythromicin

• Chronic tonsillitis
– Persistent sore throat, anorexia, dysphagia, &
pharyngotonsillar erythema
– Lymphoid tissue is replaced by scar  widened
crypt, filled by detritus.
– Foul breath, throat felt dry.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Tonsilitis Kronik
• Disebabkan oleh rangsangan terus menerus
seperti merokok, berbagai jenis makanan ,
kebersihan mulut yang buruk dna pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.
• Peradangan berulangepitel mukosa limfoid
terkikis jaringan parut pelebaran kripta.
Kripta dapat diisi oleh detritus. Dapat disertai
pembesaran kelenjar limfa submandibula.
• Terapi: tergantung penyebab dan ditujukan pada
menjaga kebersihan rongga mulut.
Tonsilitis
• Indikasi tonsilektomi:
– Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walau
dengan terapi adekuat
– Menimbulkan maloklusi gigi dan gangguan pertumbuhan
orofasial.
– Sumbatan jalan nafas
– Infeksi kronis seperti rhinitis, sinusitis dan peritonsilitis.
– Nafas berbau
– Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh grup A
streptococcus beta hemolitikus
– Hipertrofi tonsil yang curiga keganasan
– Otitis media efusa/ otitis media supuratif.

Anda mungkin juga menyukai