Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI
Gambaran klinis
Tatalaksana
• Menghindari menggaruk lesi
• Antipruritus: antihistamin H1 generasi 1 efek sedatif agar mengurangi
sifat menggaruk
• Kortikosteroid potensi kuat
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI
Steroid Topikal
• Memiliki sifat anti inflamasi, anti
alergi, anti pruritus, anti mitotik, dan
vasokonstriksi
• Diklasifikasikan berdasarkan
kemampuan vasokonstriksi menjadi 7
kelas berdasarkan USA system
kelas VII adalah yang paling lemah
dan paling ringan
• UK, Jerman, Belanda, dan New
Zealand memakai sistem 4 kelas
untuk UK & New Zealand Kelas I
paling potent; sedangkan Belanda &
Jerman sebaliknya, kelas IV paling
potent
• Berdasarkan Buku Ajar Kulit • Berdasarkan WHO
kelamin FKUI, 2015 – Kelas I : Ultra High
– Kelas I : Super poten – Kelas II: High
– Kelas II: Potensi tinggi – Kelas III : High
– Kelas III : Potensi tinggi – Kelas IV : Medium
– Kelas IV : Potensi medium – Kelas V: Medium
– Kelas V: Potensi medium – Kelas VI : Low
– Kelas VI : Potensi medium – Kelas VII : Low
– Kelas VII : Potensi lemah
• Berdasarkan Journal of American
• Berdasarkan AAFP (American Academy of Dermatology, 2006.
Academy of Family Physicians) – Kelas I : Ultra High
– Kelas I : Ultra High – Kelas II: High
– Kelas II: High – Kelas III : Medium to High/ upper
– Kelas III : medium to high mid strength
– Kelas IV : Medium – Kelas IV : Medium
– Kelas V: Medium – Kelas V: Medium to low/ Lower mid
– Kelas VI : Low strength
– Kelas VII : Least potent – Kelas VI : Low
– Kelas VII : Least potent
102. Pitiriasis Rosea
• Etiologi: tidak jelas, diduga virus karena self limiting
• Gejala klinis:
1. Gatal ringan
2. Pitiriasis (skuama halus)
3. Lesi khas
Lesi yang pertama muncul:
Herald Patch
• Lokasi di badan
• Soliter
• Oval dan annular
• Diameter ± 3 cm
• Lesi eritema dan skuama halus di pinggirnya
• Tatalaksana
– Suportif
• Zinc oxide, antihistamin oral
dan kalamin untuk pruritus
– Steroid topikal/oral (kurang
direkomendasikan) lesi luas
– UV B fototerapi untuk pruritus
Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
http://emedicine.medscape.com/article/1107532-treatment#d8
103. Dermatitis statis
• Salah satu jenis dermatitis sirkultorius
• Paling sering: dermatitis varikosum ec insufisiensi vena
• Gejala:
- Pruritus, edema pada kaki hemosiderin keluar dari pemb.
Darah bercak hiperpigmentasi dermatitis
- Bila infeksi sekunder indurasi subkutan
- Dapat timbul ulkus
• Terapi
- Utk gangguan sirkulasi: elevasi tungkai dan
- pembalut elastis
- Lesi eksudatif: kompres PK 1/10.000
- Lesi kering: kortikosteroid topikal
- Infeksi sekunder: antibiotik sistemik
Ulkus pada Tungkai Bawah
Penyakit Keterangan
Ektima • Infeksi pioderma pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi
• Ulkus superfisial dengan gambaran “punched out appearance” atau berbentuk cawan dengan
dasar merah dan tepi meninggi
Ulkus • Ulkus tropikum adalah ulkus yang cepat berkembang dan nyeri, biasanya pada tungkai
tropikum bawah, dan lebih sering ditemukan pada anak-anak kurang gizi di daerah tropik
• Bentuk ulkus lonjong atau bulat, tertutup oleh jaringan nekrotik dan secret serosanguinolen
yang banyak dan meleleh
Ulkus • Dasar ulkus terlihat jaringan granulasi atau bahan fibrosa. Dapat juga terlihat eksudat yang
Varikosum banyak. Kulit sekitarnya tampak merah kecoklatan akibat hemosiderin
/stasis • Kulit sekitar luka mengalami indurasi, mengkilat, dan fibrotik
vena • Daerah predileksi yaitu daerah antara maleolus dan betis, tetapi cenderung timbul di sekitar
maleolus medialis
Ulkus varikosum
• Sinonim: ulkus venosum
• Ulkus pada tungkai bawah akibat gangguan aliran darah
vena
• Etiologi: kelainan vaskular pada vena berupa trombosis,
tromboflebitis, kelainan katup vena, dan kelainan lain yang
menyebabkan obstruksi pada vena sehingga terjadi
trombosis (tumor, kehamilan, dsb)
• Predileksi: proksimal dari malleolus medialis, yaitu area
sekitar vena safena magna, atau di malleolus lateral di
area sekitar vena safena parva
• Soliter, dangkal, tertutup jaringan nekrotik, tepi tidak
meninggi, jaringan sekitar hiperpigmentasi
Patogenesis dan patofisiologi
Tromboflebitis kerusakan katup vena edema
Jaringan fibrotik
Eritrosit keluar
Iskemia
Purpura
Nekrotik
Jika penyebabnya
aterosklerosis
- Ulkus terdapat dekat
Hipoksia jaringan tonjolan tulang
Ulkus
EVALUATION
LOCATION Distal lower leg, medial malleolus. Distal lower leg/feet/toes, lateral
malleolus, anterior tibial area.
PAIN May be present. Usually improves Usually painful especially with leg
with leg elevation. elevation.
SKIN CHANGES Flaking, dry, hyperpigmented. Thin, shiny, hairless, yellow nails.
3.
104. Keganasan Pada Kulit
Karsinoma Sel Basal Karsinoma Sel Skuamosa
• Berasal dari sel epidermal • Berasal dari sel epidermis.
pluripoten. Faktor predisposisi: Etiologi: sinar matahari, genetik,
lingkungan (radiasi, arsen, paparan herediter, arsen, radiasi,
sinar matahari, trauma, ulkus hidrokarbon, ulkus sikatrik
sikatriks), genetik • Usia tersering 40-50 tahun
• Usia di atas 40 tahun • Dapat bentuk intraepidermal
• Biasanya di daerah berambut, • Dapat bentuk invasif: mula-mula
invasif, jarang metastasis berbentuk nodus keras, licin,
• Bentuk paling sering adalah kemudian berkembang menjadi
nodulus: menyerupai kutil, tidak verukosa/papiloma. Fase lanjut
berambut, berwarna coklat/hitam, tumor menjadi keras, bertambah
berkilat (pearly), bila melebar besar, invasif, dapat terjadi
pinggirannya meninggi di tengah ulserasi. Metastasis biasanya
menjadi ulkus (ulcus rodent) melalui KGB.
kadang disertai talangiektasis,
teraba keras
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Melanoma Maligna SCC
• Etiologi
• Belum pasti. Mungkin faktor
herediter atau iritasi berulang
pada tahi lalat
• Usia 30-60 tahun
• Bentuk: BCC
• Superfisial: Bercak dengan
warna bervariasi, tidak teratur,
berbatas tegas, sedikit
penonjolan
• Nodular: nodus berwarna biru
kehitaman dengan batas tegas
• Lentigo melanoma maligna:
plakat berbatas tegas, coklat
kehitaman, meliputi muka
• Prognosis buruk MM
Melanoma Maligna
Definisi
Keganasan kulit yg berasal dari
melanosit.
Epidemiologi
Umum terjadi pada kulit putih
17.2/100.000
Faktor risiko
Kulit putih, red hair, light eyes, dan
riwayat keluarga.
Weller R, Hunter H, Mann M. Clinical Dermatology. 5th edition. Wiley. 2015. Oxford
Melanoma Maligna
Klasifikasi
1. Superficial spreading melanoma (70%) sering terjadi pd
ekstremitas bagian bawah, lengan dan punggung atas, warna
dapat kombinasi, hitam atau coklat.
Ferri’s best test: a practical guide to clinical laboratory medicine and diagnostic imaging, ed 3, Philadelphia, 2014, Elsevier
Melanoma Maligna
Pemeriksaan
• Dermoskopi
• Biopsi Kulit
Tatalaksana
• Eksisi
• Eksisi KGB
• Adjuvant terapi
interferon alfa
Brown RG, Harman K, Johnston G. Dermatology Lecture Notes. 11th edition. Willey Blackwell. 2017. Oxford
Malignant melanoma
• Predominance of single cell
melanocytes over nests of
• melanocytes along the
dermoepidermal junction
• Pagetoid (upward)
migration of single cell
melanocytes
• Confluent spread of
melanocytes
• Cellular dyscohesion
• Lack of uniform melanin
distribution
Hystology Basal Cell Carcinoma
Palisade = “pagar”
Squamous Cell Carcinoma
• Proliferation of
anastomosing nests,
sheets and strands of
atypical keratinocytes
• originating in the
epidermis and
infiltrating into the
dermis
• Epithelial pearl/keratin
pearl
105. Entamoeba Histolytica
• Kista matang dikeluarkan bersama tinja
penderita (berinti empat) kontaminasi
pada makanan, air, atau tangan ekskistasi
(3) terjadi dalam usus dan berbentuk
tropozoit (4) bermigrasi ke usus
besar. Tropozoit memperbanyak diri:
membelah diri (binary fission) & menjadi
kista (5), menumpang dalam tinja.
• Mikroskopik terlampir
• USG
– Abses hati amoeba: lesi bulat hipoekoik soliter di aspek
posterior lobus kanan hati (70-80%)
http://emedicine.medscape.com/article/212029-workup#c7
Amoebiasis: Gambaran Mikroskopik
Trofozoit dari
Entamoeba histolytica
Sel darah
Central
merah
Karyosome
Amoebiasis: Stadium Kista
Quadrinucleated cyst
Terapi Entamoeba Hystolitica
• Metronidazole (DOC)
– 3x500-750 mg selama 5-10 hari
• Tinidazole
– Dewasa 2 gr / hari selama 3 hari dalam dosis
terbagi
• Emetin hidroklorida
– Dewasa: maks. 65 mg / hari
– Anak dibawah 8 tahun: 10 mg / hari
– Lama pengobatan: 4-6 hari
• Klorokuin
– Dewasa 1 gr/ hari selama 2 hari, kemudian 500
mg sehari selama 2-3 minggu
Aktif: berflagel, In
Giardia aktif: oval, dinding
GIARDIASIS Diarrhea, Malodorous, greasy stools
intestinalis tipis dan kuat, berinti
2-4
106. Morbus Hansen
• Pemeriksaan fisik:
- Sensibilitas kulit: hypoesthesia
- Pemeriksaan saraf tepi: penebalan N.
fascialis, N. auricularis magnus, N. radialis, N.
medianus, N. peroneus communis, N.
ulnaris, N. tibialis posterior
- Foot drop atau clawed hands
- Wasting dan kelemahan otot
- Ulserasi yang tidak nyeri pada tungkai atas
atau bawah
- Lagophtalmus, iridocyclitis, ulserasi kornea,
dan/atau katarak sekunder akibat kerusakan
saraf atau invasi bakteri secara langsung,
bahkan hingga amputasi
Claw hands
Pemeriksaan penunjang
Histopatologi
• Histiosit: makrofag di kulit, sel virchow/sel lepra/foamy cell
• Granuloma: akumulasi makrofag dan derivatnya
Bakteriologi
Lesi
BTA
Pure neuritis leprosy Jenis lepra yang gejalanya berupa neuritis saja
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI hal 82-83
Faktor Pencetus Reaksi Kusta
Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Kusta: Tipe 1
(Reaksi Reversal)
• Patofisiologi
– Terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman
kusta dikulit dan syaraf berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati
akibat pengobatan yang diberikan
Reaksi Kusta: Tipe 2
• Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul
pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT)
• Klofazimin
– 200-300 mg/hari • Dengan neuritis akut
– Khasiat lebih lambat dari – Prednison 40 mg/hari lihat
kortikosteroid skema
– Dapat melepaskan
ketergantungan steroid
– Efek samping: kulit berwarna
merah kecoklatan (reversible)
Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Reaksi Reversal: Pengobatan
Minggu Pemberian Prednison Dosis Harian yang Dianjurkan
• Minggu 1-2 40 mg
• Minggu 3-4 30 mg
• Minggu 5-6 20 mg
• Minggu 7-8 15 mg
• Minggu 9-10 10 mg
• Minggu 11-12 5 mg
• Pemberian Lampren
– 300 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 200 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 100 mg/hari selama 2-3 bulan, bila ada perbaikan turunkan menjadi
– 50 mg/hari bila pasien masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila
penderita sudah dinyatakan RFT
Menald, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
E.N.L
Lucio’s phenomenone
Reversal reaction of leprosy
107. Nevus Pigmentosus
• Etiologi
– Sel-sel nevus kulit berasal dari neural crest, sel-sel ini membentuk sarang-
sarang kecil pada lapisan sel basal epidermis dan pada zona taut
dermoepidermal. Sel-sel ini membelah dan masuk dermis dan membentuk
sarang- sarang pada dermis
• Diagnosis Banding
– Melanoma maligma, nevus biru, nevus sel epiteloid dan atau nevus spindel,
KSB berpigmen, Histiositoma, Keratosis seboroik berpigmen
• Pengobatan
• Umumnya tidak diperlukan pengobatan
• Bila menimbulkan masalah secara kosmetik,
atau sering terjadi iritasi karena gesekan
pakaian, dapat dilakukan bedah eksisi
• Bila ada kecurigaan ke arah keganasan
dapat dilakukan eksisi dengan pemeriksaan
histopatologi
Nevus Pigmentosus Kongenital
Nevus: Pola Dermatoskopik Melanosit
Melanoma Maligna
• Etiologi
• Belum pasti. Mungkin faktor
herediter atau iritasi berulang
pada tahi lalat
• Usia 30-60 tahun
• Bentuk:
• Superfisial: Bercak dengan
warna bervariasi, tidak teratur,
berbatas tegas, sedikit
penonjolan
• Nodular: nodus berwarna biru
kehitaman dengan batas tegas
• Lentigo melanoma maligna:
plakat berbatas tegas, coklat
kehitaman, meliputi muka
• Prognosis buruk MM
108. Giardiasis
Anerior membulat
Trofozoit
Kista
Trofozoit:
- Pear shaped
Flagel Inti - Sepasang
nukleusseperti mata
- Pada bagian ventral
Posterior tajam terdapat alat
isapuntuk menempel
di mukosa usus
Giardiasis
• Etiologi: Giardia interstinalisdikenal sebagai Giardia
lamblia (protozoa)
Akut: berbau, mual, distensi
• Gejala klinis: abdomen, demam, tidak ada darah
dalam tinja
Dapat asimptomatik
Diare bisa menjadi akut/kronik
Ekskresi lemak meningkatsteatorrhea Kronik: nyeri dan distensi
• Terapi: abdomen, tinja berlendir, dan BB
turun
DOC: metronidazole 2x500 mg selama 5-7hari
Alternatif: Tinidazole 2 gr PO SD (anak: 50 mg/kgBB
PO SD)
109. Gonorrhea
• Etiologi
– Neisseria gonnorrhoeae
• Jenis Infeksi
– Pada Pria
• Urethritis, tysonitis, paraurethritis, littritis, cowperitis, prostatitis,
veikulitis, funikulitis, epididimitis, trigonitis
– Pada Wanita
• Urethritis, paraurethritis, servisitis, bartholinitis, salpingitis, proktitis,
orofaringitis, konjungtivitis infant, gonorea diseminata
– Gambaran urethritis
• Gatal, panas di uretra distal, disusul disuria, polakisuria, keluar duh kadang
disertai darah, nyeri saat ereksi
Urethritis GO
• Pemeriksaan
– Sediaan langsung: diplokokus gram
negatif
– Kultur: Agar Thayer Martin
• Rekomendasi:
First line
– Azitromycin 1 gr single dose PO, atau
– Seftriakson 250 mg single dose IMterutama di anak
Second Line
– Siprofloksasin 2x500 mg selama 3 hari, atau
– Eritromisin 3x500 mg selama 7 hari
• Faktor predisposisi
- Endogen: perubahan fisiologik (kehamilan,
obesitas, iatrogenik, DM, penyakit kronik),
usia (orang tua dan bayi), imunologik
- Eksogen: iklim panas, kelembapan tinggi,
kebiasaan berendam kaki, kontak dengan
penderita
Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN
Volume 60, Number 4, April 2015
Esophageal Foreign Body
• Plain radiographs are indicated for every patient with a known or
suspected radiopaque foreign body in the oropharynx, esophagus,
stomach, or small intestine.
• Plain radiographs are also mandated for children in whom any ingestion
of a radiopaque foreign body is suspected.
• Keep in mind, however, that in cases of nonradiopaque foreign bodies,
imaging studies rarely have any influence on management, except in
delaying endoscopy or CT scanning.
• In small children, a mouth-to-anus radiograph can be obtained. In older
children and adults, posteroanterior (PA) and lateral chest radiographs
provide better localization.
• Radiopaque objects are easily seen and localized on the radiograph.
• Coins are usually seen in a coronal alignment on anteroposterior (AP), or
frontal, radiographs (examples of a lodged coin are shown in the
radiographs below).
Coin lodged at the level of the
aortic crossover.
NELSON FORMULA
116. Resusitasi
Neonatus
Rekomendasi utama untuk resusitasi
neonatus:
• Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan
dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan.
• Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian
warna kulit tidak dapat diandalkan.
• Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan
dengan udara dibanding dengan oksigen 100%.
• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara
(blended oxygen , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan
oksimetri.
• Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya
pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban
bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi.
• Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit
untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup
untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat
pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran
(blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi
dimulai dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Teknik Ventilasi dan Kompresi
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Teknik Ventilasi dan Kompresi
• Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful Resuscitation
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghentikan resusitasi?
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
117. Pediatric Aspiration Pneumonia
• Aspiration is defined as the inhalation of either
oropharyngeal or gastric contents into the lower airways,
that is, the act of taking foreign material into the lungs.
• There are four types of aspiration syndromes.
– Aspiration of gastric acid causes a chemical pneumonitis which
has also been called Mendelson's syndrome.
– Aspiration of bacteria from oral and pharyngeal areas causes
aspiration pneumonia.
– Aspiration of oil (eg, mineral oil or vegetable oil) causes
exogenous lipoid pneumonia, an unusual form of pneumonia.
– Aspiration of a foreign body may cause an acute respiratory
emergency and, in some cases, may predispose the patient to
bacterial pneumonia.
Pediatric Airway Foreign Body
• The child may present with persistent or recurrent cough, persistent or
recurrent pneumonia, lung abscess, focal bronchiectasis, or hemoptysis.
• Physical findings include tachypnea, diminished breath sounds, wheezing,
stridor, dyspnea, cyanosis, and suprasternal retractions.
• Absence of breath sounds on auscultation of the chest occurs in 30% to
60% of affected children and is suggestive of total airway obstruction.
• If there is a reliable history for aspiration, the child should be evaluated
further.
• Most foreign bodies aspirated by children are radiolucent.
• Therefore, radiographs primarily are useful for detecting only the indirect
signs of foreign body aspiration, such as air trapping or atelectasis. Routine
diagnostic imaging consists of anteroposterior and lateral chest
radiographs
Radiologic Findings in Aspirated
Foreign Body
• Normal findings
• Air trapping
• Mediastinal shift
• Atelectasis
• Pneumonia
• Lobar collapse
• Consolidation
• Radiopaque foreign body
Pediatric Airway Foreign Body
Complications
• The most common complications among children in whom the diagnosis
was delayed were croup, pneumonia, pneumothorax, atelectasis, stricture,
and perforation (multicenter study, Reilly et. al)
• The pathogenesis of pulmonary infection which is related to either partial
or complete obstruction of the airway that results in retained secretions
and subsequent bacterial overgrowth.
• Consider the diagnosis of foreign body aspiration in all children who have
unexplainable pulmonary pathology, such as persistent lung infections
(recurrent pneumonia or lung abscess), bronchiectasis, or new-onset
asthmatic symptoms.
• In these instances, the use of flexible bronchoscopy may aid in the
diagnosis.
• Less common complications of chronic aspiration of a foreign body include
perforation of the bronchial tree and fistula formation.
Pediatric Aspiration Pneumonia
Treatment
• Aspiration pneumonia — Empiric antibiotic
regimens for community-acquired aspiration
pneumonia must cover oral anaerobes.
Appropriate antibiotic regimens for hospitalized
children include:
– Ampicillin-sulbactam 150 to 200 mg/kg per day of the
ampicillin component IV in four divided doses;
maximum 8 g/day of the ampicillin component, or
– Clindamycin 30 to 40 mg/kg per day IV in three or four
divided doses to a maximum of 1 to 2 g/day if MRSA
etiology is suspected.
118. Sindrom Eisenmenger
Faktor risiko
• Advanced maternal age, European ethnicity, obesity, tobacco
smoking, infants weighing < 1.500 g at birth
Sumber : Townsend C, Beauchamp D, Evers M. Sabiston Textbook of Surgery. 20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017
Atresia Esofagus
Klasifikasi menurut Gross
• Type A - Esophageal atresia without fistula or so-called pure esophageal atresia
(7%)
• Type B - Esophageal atresia with proximal TEF (2%)
• Type C - Esophageal atresia with distal TEF (86%)
• Type D - Esophageal atresia with proximal and distal TEFs (<1%)
• Type E - TEF without esophageal atresia or so-called H-type fistula (4%)
Sumber : Townsend C, Beauchamp D, Evers M. Sabiston Textbook of Surgery. 20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017
Atresia Esofagus
Presentation
• Prenatal – polyhydramnios, absent Management
stomach bubble, associated • Decompression of the proximal
abnormalities. esophageal pouch
• Birth onwards – frothing of oral • Upright prone position
secretions, drooling, choking or and minimize GER and prevent
sianosis. aspiration
• Thoracotomy repair
Investigations
• Unable to pass wide - bore
orogastric tube; confirmed on chest
• X - ray, shows tube in esophageal
pouch. Air in the stomach indicates
a fistula is present.
Sumber : Townsend C, Beauchamp D, Evers M. Sabiston Textbook of Surgery. 20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017
Radiologi
• Chest radiography (see the
images below) is mandatory
and should be performed as
soon as possible if esophageal
atresia is suspected.
• Plain chest X-ray with a NGT:
coiled NGT at upper pouch
(the tube has not reached the
stomach)
• Type E can’t be diagnosed
with Chest radiograph
The Gasless
Abdomen
• Absence of gas in the
abdomen suggests
that the patient has
either atresia
without a fistula or
atresia with a
proximal fistula only
Syndrome Association
• VACTERL (vertebral defects, anal atresia, cardiac defects,
tracheoesophageal fistula, renal anomalies, and limb) association:
20%abnormalities
Vertebral 17%
Anal 12%
Cardiac 20%
Renal 16%
Limb 5%
• CHARGE association: Cloboma, Heart defect, Atresia choanae,
developmental Retardation, Genital hypoplasia, Ear deformity.
• Schisis association: Omphalocele, Neural Tube Defect, Cleft Lip
&Palate And Genital Hypoplasia.
120-121. Leukemia
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte dont die when they should
crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This makes it hard for
normal blood cells to do their work.
Common in
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Adults & children
children
Symptoms & Grows slowly may asymptomatic, the Grows quickly feel sick & go to
Signs disease is found during a routine test. their doctor.
Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i ) sd 2 bul an 29 har i (89 har i ) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices /kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
The difference to 2017
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan
Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)
bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12
1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6 bulan
2017
Polio: lahir, 2,4,6 Hep .B: sama dengan
bulan 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
DPT: 2,4,6 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan
Plus2 : HiB
Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th edition. New York : Saunders; 2011.
Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)
Mycoplasma pneumoniae * Adolescents; summer-fall Infl uenza A, B High fever; winter months
epidemics
Chlamydophila pneumoniae * Adolescents Adenovirus Can be severe; often occurs between January
and April
Francisella tularensis Animal, tick, fly contact; Blastomyces dermatitidis Ohio/Mississippi River valley
bioterrorism
Nocardia species Immunosuppressed persons Mycobacterial
Chlamydophila psittaci * Bird contact (especially parakeets) Mycobacterium tuberculosis Travel to endemic region; exposure to high-risk
Persons
Yersinia pestis Plague; rat contact; bioterrorism Mycobacterium avium Immunosuppressed persons
complex
Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th edition. New York : Saunders; 2011.
Patofisiologi
RESOLUTION
Sumber : Rubin E, Resiner H. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th edition. New
York : Lippincot ; 2014.
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis
Manifestasi Klinis
• Infeksi umum demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
• Gangguan respiratori batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merintih, dan sianosis.
Pneumonia
• Hubungan antara diagnosis klinis dan
Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di
Kabupaten/Kota.
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Kriteria rawat inap
Pneumonia Ringan
• Dx disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
• Napas cepat:
• pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
• pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
• Tx rawat jalan, beri antibiotik : Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
Pneumonia Berat
• Dx Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
• Kepala terangguk-angguk
• Pernapasan cuping hidung
• Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
• Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi)
• Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
• Napas cepat
• Suara merintih (grunting) pada bayi muda
• Pada auskultasi terdengar : Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial
• Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, Kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distres pernapasan berat.
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Tatalaksana
Pneumonia Berat
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari.
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY
Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Fluoroquinolone
4/2/2018 169
Denver II
• Mencakup usia 0-6 tahun
• Ada 4 bidang perkembangan
– Personal-sosial: berhubungan dengan orang lain dan
pemenuhan kebutuhan sendiri
– Motorikhalus: koordinasimata- tangan, manipulasi
objek kecil
– Motorik kasar: meliputi gerakan yang menggunakan
otot-otot besar secara keseluruhan (duduk, berjalan,
melompat)
– Bahasa-dengar: mengerti dan menggunakan bahasa
Interpretasi Denver II
• Skor Penilaian
– P (Pass) : Anak dapat melakukan ujicoba dengan baik, atau terdapat
laporan yang dapat dipercaya
– F (Fail) L : Anak tidak dapat melakukan ujicoba dengan baik
– No (No opportunity) : Tidak ada kesempatan untuk ujicoba karena ada
hambatan
– R (Refusal) : Anak menolak melakukan ujicoba
• Interpretasi
– Lebih (advanced) : bila anak Pass pada uji coba yang terletak di kanan
garis umur
– Normal : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba di sebelah kanan garis
– Caution/peringatan : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba yang dilewati
garis umur pada persentil 75-90
– Delayed/keterlambatan : bila anak Fail/Refusal pada ujicoba yang
terletak lengkap di sebelah kiri garis umur
126-128. DENGUE FEVER (DF) & DENGUE
HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
• Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DEN-
1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti
atau aedes albopictus
• DEN-3 merupakan serotipe yang banyak berhubungan
dengan kasus berat, diikuti dengan serotipe DEN-2
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut:
– Nyeri kepala
– Nyeri retroorbita
– Myalgia/arthralgia
– Ruam
– Manifestasi perdarahan
– Leukopenia
Shock
Bleeding
Dengue Fever – Immune Response
Fig. 1. DV-induced cytokine cascade. DV replicates in macrophage and is presented to recruit CD4 cells which produce hCF. hCF induces a cytokine
cascade that may lead to Th1-type response causing a mild illness, the DF or to a Th2-type response resulting in various grades of severe illness, the
DHF. Thin line, positive induction; Interrupted line, inhibition; Thick line, damaging effect.
molecular mechanisms that contribute to
dengue-induced thrombocytopenia
Pemeriksaan Penunjang
Serologi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi
sejak hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.
Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf
6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85
Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. 1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45. http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/36284
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000. 6/London%20App.%20B.pdf
Chikungunya vs dengue
129. Cerebral Malaria
• Possible cause:
• Binding of
parasitized red cells
in cerebral capillaries
→ sekuestrasi →
severe malaria
• permeability of the
blood brain barrier
• Excessive induction
ofcytokines
http://www.microbiol.unimelb.edu.au
Pilihan utama Malaria Berat di RS: Artesunat
*Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida
intramuscular sebagai dosis awal sebelum merujuk ke RS rujukan.
Pilihan lainnya: Kina
• Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml dextrose
5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama.
• Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau
NaCl 0,9%.
• Setelah itu, diberikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam
larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam.
• Empat jam selanjutnya, hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl
0,9%.
• Setelah itu diberikan dosis rumatan seperti di atas sampai penderita dapat
minum kina per oral.
• Bila sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti dengan kina tablet
dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam.
• Kina oral diberikan bersama doksisiklin, tetrasiklin pada orang dewasa
atau klindamisin pada ibu hamil.
• Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang
pertama
130. Rickets
• Rickets merupakan kelainan yang terjadi akibat gangguan mineralisasi matriks
tulang di lempeng pertumbuhan, dengan pertumbuhan tulang yang terus
berlanjut.
• Mudahnya, tulang terus bertumbuh, namun mineralisasinya kurang sehingga
tulang tidak tebal dan “lembek”.
• Karena “lembek” inilah maka tulang cenderung menjadi membengkok, terutama
pada area weight bearing (ekstremitasi bawah). Bengkok pada tulang ekstremitas
bawah ini dapat menjadi berbentuk O (pediatric genu varum/bow legged) atau X
(pediatric genu valgum/knock knees)
• Selain itu, tulang yang terkena juga tidak hanya pada ekstremitas bawah namun
bisa juga pada area lain
Etiologi
• Etilogi utama
berasal dari
defisiensi
vitamin D dan
kurangnya
paparan
terhadap sinar
matahari
• Hal ini
dikarenakan
regulasi kalsium
pada tubuh
dipengaruhi oleh
kedua kondisi ini
Nelson Pediatrics
Nelson Pediatrics
Gejala klinis
Nelson Pediatrics
Windswept deformity
Toddlers: Bowed Older children: Knock- (combination of valgus
legs (genu varum) knees deformity of 1 leg with varus
(genu valgum) deformity of the other leg)
Harrison groove
Anterior bowing of
the tibia
Frontal bossing
(K)*
(K)*
(K)*
(K)*
NORMAL Metabolic
Acidosis
Normal value
PCO2 PH
PH PCO2
HCO3- HCO3-
HCO3- HCO3-
PH PCO2
PCO2 PH
Normal value
PH
HCO3- PH
PCO2 HCO3- PCO2
PCO2 PCO2
HCO3-
HCO3-
PH
PH
http://pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/129/5/1006.full.pdf
136. Wilms tumor
neuroblastoma NB is the third most common pediatric cancer, accounting for about 8% of
childhood malignancies
The signs and symptoms of NB reflect the tumor site and extent of disease.
Most cases of NB arise in the abdomen, either in the adrenal gland or in
retroperitoneal sympathetic ganglia. Usually a firm, nodular mass that is
palpable in the flank or midline is causing abdominal discomfort
Wilms tumor Wilms tumor is the most common renal malignancy in children and the
fourth most common childhood cancer
Most children with Wilms tumor present with an abdominal mass or
swelling, without other signs or symptoms. Other symptoms can include
abdominal pain (30 %), hematuria (12 to 25 %), and hypertension (25 %)
PF reveals a firm, nontender, smooth mass that rarely crosses the midline
and generally does not move with respiration. In contrast, neuroblastoma
and splenomegaly often will extend across the midline and move with
respiration
disease Sign & symptoms
Burkit limfoma Patients with BL present with rapidly growing tumor masses and often have evidence
of tumor lysis with a very high serum lactate dehydrogenase (LDH) concentration and
elevated uric acid levels
The endemic (African) form usually presents as a jaw or facial bone tumor that
spreads to extranodal sites including the mesentery, ovary, testis, kidney, breast, and
especially to the bone marrow and meninges
The nonendemic (sporadic) form usually has an abdominal presentation
Immunodeficiency-related cases more often involve lymph nodes
BL tumor cells are monomorphic, medium-sized cells with round nuclei, multiple
nucleoli, and basophilic cytoplasm
A "starry-sky" pattern is usually present, imparted by numerous benign macrophages
that have ingested apoptotic tumor cells
hodgkin commonly present with painless, non-tender, firm, rubbery, cervical or supraclavicular
limfoma lymphadenopathy.
Most patients present with some degree of mediastinal involvement. patients may
present with symptoms and signs of airway obstruction (dyspnea, hypoxia, cough),
pleural or pericardial effusion, hepatocellular dysfunction, or bone marrow infiltration
(anemia, neutropenia, or thrombocytopenia).
Diagnostic Reed-Stemberg cells are large cells that have bilobed, double, or multiple
nuclei and prominent, eosinophilic, inclusion-like nucleoli in at least two nuclei or
nuclear lobes
137. Komplikasi Diare
• Dehidrasi
• Asidosis Metabolik
• Hipoglikemia, terutama dengan predisposisi
undernutrition
• Gangguan elektrolit
– hipo/hipernatremia
– Hipokalemia
– (NB: Hiperkalemia bisa menstimulasi intestinal
motility menyebabkan watery diarrhea.)
• Gangguan gizi
• Gangguan sirkulasi (syok)
Electrolyte: kalium
• K has important role in resting membrane potential & action potentials.
Hypokalemia Hyperkalemia
PPM IDAI
http://emedicine.medscape.com/article/907757-treatment
138. Hipertiroid
Grave’s Disease
COMMON SYMPTOMS OTHER SYMPTOMS
• Hyperactivity, nervousness, • Weight loss (50%)
and emotional lability • (increased appetite in 60%)
• Alterations in mental status • Sweating (49%)
• Deterioration of behavior • Hyperactivity (44%)
and school performance • Heat intolerance (33%)
(previously the child did
well) • Palpitations (30%)
• Ophthalmopathy (50-80%) • Fatigue (16%)
• Diarrhea (13%)
• Insomnia
• Deterioration in
handwriting
• Menstrual irregularities
• Muscle weakness
Clinical Presentstion
LABORATORY
• Patients with Graves disease have elevated
levels of T4, fT4, T3 and low or undetectable
levels of TSH.
Treatment
• Thionamide:
– DOC: Methimazole 0.4-0.7 mg/kg/d, with a lower maintenance dose
(one third to one half the starting dose)
– PTU 5-7 mg/kg/d, divided 3 times daily
• (risk for severe liver injury and acute liver failure)
• PTU should not be used in pediatric patients unless the patient is allergic to or
intolerant of methimazole
– Carbimazole
• Beta blocker can be given at patients with marked cardiac
manifestations of hyperthyroidism
– Infants and Children: Oral: Immediate release formulations: 0.5 to 2
mg/kg/day divided every 8 hours; maximum dose: 40 mg/dose
– Adolescents: Oral: Immediate release formulations: 10 to 40 mg every
6 to 8 hours
Beta Bloker
• Infants and Children: Oral: Immediate release
formulations: 0.5 to 2 mg/kg/day divided
every 8 hours; maximum dose: 40 mg/dose
(Kliegman 2016)
• Adolescents: Oral: Immediate release
formulations: 10 to 40 mg every 6 to 8 hours
(ATA [Ross 2016])
OBSTETRI &
GINEKOLOGI
139. Neural tube defect
• Open NTDs (defect is only • closed NTDs (defect is
covered by a membrane covered by skin)
or, rarely, nothing at all) – include
– comprise 80 percent of lipomyelomeningocele and
NTDs; lipomeningocele.
– the most common open – Although covered with
NTDs are skin, closed NTDs may be
myelomeningocele (spina associated with a tuft of
bifida), meningocele, hair, dimple, birthmark,
encephalocele, and lump, or other skin
anencephaly. abnormality at the site of
– Open NTDs of the spine the defect, as well as
can be associated with cerebral ventriculomegaly
cerebral ventriculomegaly.
Risk Factor
• Defisiensi folat
• Faktor genetik
• syndromes
• Amniotic band
• Fever/hyperthermia
• Pregestasional diabete
• Obesitas
140. PEB PNPK
Kriteria teriminasi kehamilan pada PEB
141. Kryptomenorhea
• Merupakan suatu kondisi dimana menstruasi
terjadi namun tidak dapat mengalir keluar akibat
adanya obstruksi
pertumbuhan sel
penempelan dan vaskularisasi dan anti
invasi apoptosis
Yen and Jaffe. Reproductive Endocrinology and Infertility, 2009
KELUHAN ENDOMETRIOSIS
INFERTILITAS NYERI
290
Endometriosis: Faktor Risiko
• Faktor genetik:
Risiko 7x lbh besar pada riwayat ibu penderita
endometriosis
• Faktor imunologi
Tidak semua wanita dengan menstruasi retrograd
akan menderita endometriosis, mungkin ada
kekurangan imun yang mempengaruhi
291
Endometriosis: Gejala Klinik
• Dismenore
– Timbul beberapa saat sebelum keluarnya darah haid,
berlangsung selama menstruasi dan progresif
• Subfertilitas/infertilitas
• Dispareunia
• Abortus spontan
– Meningkat 40% dibanding wanita normal 15-25%
• Keluhan lain
– Di kolon & rektum : distensi abdomen, kostipasi
– Di ureter : obstruksi, disuri, hematuri dll
292
Endometriosis: Pemeriksaan
• Umumnya tidak menunjukkan kelainan
http://www.nhs.uk/Conditions/Endometriosis/Pages/Treatment.aspx
Endometriosis: Pemeriksaan
• Laparoskopi : untuk biopsi lesi
• USG, CT scan, MRI
http://www.nhs.uk/Conditions/Endometriosis/Pages/Treatment.aspx
Endometriosis: Terapi
1. Operatif
2. Non-Operatif
– Anti nyeri (NSAID, aspirin, morphine, and codeine)
– Hormonal
• Pil KB
• Levonorgestrel-releasing intrauterine system
(LNG-IUS)
• Gonadotrophin-releasing hormone (GnRH)
analogues
• Progestogens (medroxyprogesterone acetate)
http://www.nhs.uk/Conditions/Endometriosis/Pages/Treatment.aspx
143. Uterine Dysfunction
• His Normal: mulai dari fundus menjalar ke korpus, dominasi di fundus dan disertai
relaksasi yang merata
• Faktor predisposisi disfungsi uterus
– Primigravida, terutama primi tua
– Kelainan letak janin/disporposi fetopelviks
– Peregangan rahim yang berlebihan: gemeli, hidramnion
• Mekanik
– Kateter Transservikal (Kateter Foley)
– Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
– Stripping membrane
– Induksi Amniotomi
– Stimulasi putting susu
Induksi Persalinan: Metode Mekanik
• Metode Mekanik
– Metode stripping, pemasangan balon keteter, (oley
chateter) dimulut rahim, serta memecahkan ketuban
saat persalinan sedang berlangsung.
• Etiologi
– Rh isoimunisasi, DM, gemelli, kelainan kongenital dan idiopatik
• Gejala
– Sering pada trimester terakhir kehamilan
– Fundus uteri ≥ tua kehamilan
– DJJ sulit didengar
– Ringan : sesak nafas ringan
– Berat : air ketuban > 4000 cc
– Dyspnoe & orthopnea
– Oedema pada extremitas bawah
• Diagnosis
– Palpasi dan USG
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
Polihidramnion: Tatalaksana
• Identifikasi penyebab
• Kronik hidramnion : diet protein ↑, cukup istirahat
• Polihidramnion sedang/berat, aterm → terminasi
• Penderita di rawat inap, istirahat total dan dimonitor
• Jika dyspnoe berat, orthopnea, janin kecil → amniosintesis
• Amniosintesis, 500 – 1000 cc/hari → diulangi 2 – 3 hari
• Bila perlu dapat dipertimbangkan pemberian tokolitik
• Komplikasi
– Kelainan letak janin
– partus lama
– solusio plasenta
– tali pusat menumbung dan
– PPH
– Prematuritas dan kematian perinatal tinggi
KB Alamiah • Tidak dianjurkan • Tidak ada pengaruh • Suhu basal tubuh kurang
sampai siklus haid terhadap laktasi akurat jika klien sering
kembali teratur terbangun malam untuk
menyusui
Metode Amenorea Laktasi
• Mekanisme: • Keuntungan khusus bagi
– pemberian Air Susu Ibu (ASI) kesehatan:
eksklusif untuk menekan ovulasi. – Mendorong pola menyusui yang
– Metode ini memiliki tiga syarat benar, sehingga membawa
yang harus dipenuhi: – manfaat bagi ibu dan bayi.
• Ibu belum mengalami haid lagi
• Bayi disusui secara eksklusif dan
sering, sepanjang siang dan malam • Risiko bagi kesehatan:
• • Bayi berusia kurang dari 6 bulan – Tidak ada.
• Efektivitas: • Efek samping:
– Risiko kehamilan tinggi bila ibu – Tidak ada.
tidak menyusui bayinya secara
benar. • Mengapa beberapa orang
– Bila dilakukan secara benar, risiko menyukainya:
kehamilan kurang dari 1 di antara – Metode alamiah, mendorong
100 ibu dalam 6 bulan setelah kebiasaan menyusui, dan tidak
persalinan. perlu biaya.
146. Kanker Servix
Kanker Serviks
Tanda dan Gejala Diagnosis
• Perdarahan pervaginam • IVA
• Perdarahan menstruasi • Sitologi servikal (Pap Test)
lebih lama dan lebih • Kolposkopi
banyak dari biasanya • Biopsi serviks
• Perdarahan post
menopause atau
keputihan >>
• Perdarahan post koitus
• Nyeri saat berhubungan
• Keputihan (terutama
berbau busuk + darah)
• Massa pada serviks,
mudah berdarah
The
oncogenic
proteins
http://media.jaapa.com/Images/2009/
Kanker Serviks: Faktor Risiko
• Aktivitas Seksual • Faktor Lain
• Jumlah partner seksual • Kehamilan usia dini
• Partner seksual tidak • Multiparitas
disirkumsisi • Sosial ekonomi rendah
• Aktivitas seksual usia dini • Merokok
(< 16 tahun) • Imunosupresi
• Defisiensi nutrisi &
Penyakit Menular Seksual vitamin
• Human papillomavirus • Kontrasepsi oral > 5
• Herpes simplex virus tahun
• Chlamydia trachomatis • Riwayat lesi intraepitelial
• HIV skuamosa
Kanker Serviks: Stadium
Deteksi Lesi Pra Kanker
• Deteksi Lesi Pra Kanker
– Pelayanan Primer: IVA, VILI (Visual inspection with
Lugol's iodine (VILI), a.k.a Schiller's test), sitologi
pap smear
– Pelayanan Sekunder: Liquid base cytology
– Pelayanan Tersier: DNA HPV
Deteksi Lesi Prakanker: Pap Smear
Pap Smear
• Sampel sel-sel diambil dari luar serviks dan dari liang serviks dengan
melakukan usapan dengan spatula yang terbuat dari bahan kayu atau
plastik
• Setelah usapan dilakukan, sebuah cytobrush (sikat kecil berbulu halus,
untuk mengambil sel-sel serviks) dimasukkan untuk melakukan usapan
dalam kanal serviks
• Setelah itu, sel-sel diletakkan dalam object glass (kaca objek) dan
disemprot dengan zat untuk memfiksasi, atau diletakkan dalam botol
yang mengandung zat pengawet, kemudian dikirim ke laboratorium
untuk diperiksa
ASC-H: atypical squamous cells cannot exclude high grade
ASC-US: atypical squamous cells of undetermined significance
Papsmear
Accuracy of the Papanicolaou Test in Screening for and Follow-up of Cervical Cytologic Abnormalities: A
Systematic Review
Kavita Nanda, MD, MHS; Douglas C. McCrory, MD, MHSc; Evan R. Myers, MD, MPH; Lori A. Bastian, MD, MPH; Vic
Hasselblad, PhD; Jason D. Hickey; and David B. Matchar, MD
Pemeriksaan
Lower 1/3 of Epithelium Middle 1/3 of Epithelium > 2/3 of Epithelium
Cervical intraepithelial
CIN1 CIN2 CIN3
neoplasia
Skrining 12
bulan
Observasi
LSIL ulang test 3
bulan
(+) Kolposkopi
LSIL/HSIL
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana HSIL
(-) Observasi
- Observasi
NIS I DNA HPV
+ Ablasi
NIS II + Ablasi
Konisasi
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kolposkopi
• Kolposkopi
– Mempelajari serviks saat hasil Pap
mendeteksi sel abnormal.
– Pemeriksaan porsio, vagina dan vulva
dengan pembesaran 10-15x; untuk
menampilkan porsio, dipulas terlebih
dahulu dengan asam asetat 3-5%
– Porsio dengan kelainan (infeksi HPV
atau Neoplasia Intraepitel Serviks)
terlebih bercak putih atau perubahan
corakan pembuluh darah
– Mahal dan ketersediaan alat terbatas
hanya digunakan untuk
pemeriksaan lanjut dari hasil tes pap
abnormal
http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345
6789/24546/4/Chapter%20II.pdf
Pemeriksaan Cone Biopsy
• Biopsi Cone
Prosedur diagnostik dan terapeutik
Pemeriksaan
• HPV DNA testing
Meningkatkan sensitifitas hingga 96% bersama
dengan Pap Smear.
HPV tidak dapat dikultur di laboratorium sehingga
digunakan teknologi molekuler untuk mendeteksi
DNA HPV dari sampel servikal, misalnya, dengan PCR.
147. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation
• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks
Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) index
• Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) score can be used to classify the
severity of NVP
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
The initial management of NVP and HG
• Women with mild NVP should be managed in the
community with antiemetics.
• Ambulatory daycare management should be used for
suitable patients when community/primary care measures
have failed and where the PUQE score is less than 13.
• Inpatient management should be considered if there is at
least one of the following:
– continued nausea and vomiting and inability to keep down oral
antiemetics
– continued nausea and vomiting associated with ketonuria
and/or weight loss (greater than 5% of body weight), despite
oral antiemetics
– confirmed or suspected comorbidity (such as urinary tract
infection and inability to tolerate oral antibiotics)
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Therapeutic options for NVP and HG
• Antiemetics
– There are safety and efficacy data for first-line antiemetics such as
antihistamines (H1 receptor antagonists) and phenothiazines and they should
be prescribed when required for NVP and HG
– Combinations of different drugs should be used in women who do not
respond to a single antiemetic.
– For women with persistent or severe HG, the parenteral or rectal route may be
necessary and more effective than an oral regimen. Women should be asked
about previous adverse reactions to antiemetic therapies.
– Metoclopramide is safe and effective, but because of the risk of
extrapyramidal effects it should be used as second-line therapy.
– There is evidence that ondansetron is safe and effective, but because data are
limited it should be used as second-line therapy
– Drug-induced extrapyramidal symptoms and oculogyric crises can occur with
the use of phenothiazines and metoclopramide. If this occurs, there should be
prompt cessation of the medications.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
148. Asma dan Kehamilan
• Bagi Ibu:
– Preeklampsia, hipertensi, hiperemesis gravidarum,
perdarahan pervaginam, induksi, komplikasi
kehamilan
• Bagi Janin
– Kematian perinatal, IUGR, kehamilan preterm,
hipoksia neonatal, BBLR
Asma pada Kehamilan
• Diagnosis: sama seperti pasien tidak hamil (Sesak/ sulit bernapas, wheezing,
batuk berdahak, ronkhi)
• Treatment :
– In treating mild to moderate pelvic inflammatory disease, it is not necessary to
remove the intrauterine device during treatment unless the patient requests
removal or there is no clinical improvement after 72 hours of appropriate
antibiotic treatment.
– In cases of severe pelvic inflammatory disease, consideration can be given to
removing the intrauterine device after an appropriate antibiotic regimen has
been started.
SOGC COMMITTEE OPINION. Best Practices to Minimize Risk of Infection With Intrauterine Device Insertion. March 2014.
Salphingitis
• Inflamasi pada tuba fallopi
• Salphingitis akut biasanya disamakan dengan PID karena merupakan bentuk paling sering
dari PID
• Faktor Risiko
– Instrumentasi pada serviks dan uteri (IUD, biopsi, D&C)
– Perubahan hormonal selama menstruasi, menstruasi retrogard
• Diagnosis
• Nyeri perut bawah, nyeri adneksa bilateral, nyeri goyang serviks
• Tambahan: suhu oral > 38.3 C, keputihan abnormal, peningkatan C rekative protein, adanya bukti
keterlibatan N. gonorrhoeae atau C. trachomatis
• Terapi
– Rawat inap dengan antibiotik IV (cefoxitin dan doksisiklin)
– Rawat jalan dengan cefotixin IM dan Doksisiklin oral
– Operatif bila antibiotik gagal
http://emedicine.medscape.com/article/275463-overview#a2
PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012
PID: Pengobatan
• Harus berspektrum luas
• Semua regimen harus efektif melawan N. gonorrhoeae dan C.
trachomatis karena hasil skrining endoserviks yang negatif tidak
menyingkirkan infeksi saluran reproduksi atas
http://www.cdc.gov/std/treatment/2010/pid.htm
Pelvic Inflammatory Disease
Uterine tenderness, OR
Adnexal tenderness, OR
Cervical motion tenderness on pelvic exam?
YES NO
YES NO
Efek Samping
• Nyeri pasca operasi
Kerugian
• Infertilitas bersifat permanen
Female Sterilization Overview
Anatomy
Ampulla
Isthmus
Infundibulum
Fimbria
Methods of Female Sterilization
1 Pregnancy After Tubal Sterilization with Bi-Polar Electrocoagulation. Obstetrics and GYN. August 1999 Volume
94. Herbert B Petterson et al for the CREST Working Group
Kontrasepsi Mantap
Keuntungan Kerugian
• Efektif dan permanen • Rasa sakit/ tidak nyaman
• Tidak ada efek samping jangka pendek
jangka panjang • Risiko pembedahan
• Tidak mempengaruhi proses • Tidak dapat dilakukan untuk
menyusui orang yang masih memiliki
• Tidak mengganggu anak
hubungan seksual
• Tindakan aman &
sederhana
151. Hemorrhagia Post Partum
• Definisi Fungsional
– Setiap kehilangan darah yang memiliki potensial untuk
menyebabkan gangguan hemodinamik
• Insidens
– 5% dari semua persalinan
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
G E J A L A D A N TA N D A G E J A L A & TA N D A YA N G DIAGNOSIS
YA N G S E L A L U A D A KADANG-KADANG ADA
• Uterus tidak berkontraksi dan lembek • Syok Atonia uteri
• Perdarahan setelah anak lahir (perdarahan
pascapersalinan primer)
• Plasenta belum lahir setelah 30 menit • Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
• Perdarahan segera (P3) berlebihan
• Uterus kontraksi baik • Inversio uteri akibat tarikan
• Perdarahan lanjutan
• Plasenta atau sebagian selaput (mengandung • Uterus berkontaksi tetapi tinggi Tertinggalnya
pembuluh darah) tidak lengkap • fundus tidak berkurang sebagian plasenta
• Perdarahan segera • (kontraksi hilang-timbul)
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
GEJALA DAN
G E J A L A D A N TA N D A TA N D A YA N G
DIAGNOSIS
YA N G S E L A L U A D A KADANG-KADANG
ADA
• Uterus tidak teraba • Syok neurogenik Inversio uteri
• Lumen vagina terisi massa • Pucat dan limbung
• Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir)
• Perdarahan segera
• Nyeri sedikit atau berat
2 komponen utama:
1. Tatalaksana
perdarahan
obstetrik dan
kemungkinan syok
hipovolemik
2. Identifikasi dan
tatalaksana
penyebab utama
Atonia Uteri: Faktor Risiko
• Uterus overdistensi (makrosomia, kehamilan kembar,
hidramnion atau bekuan darah)
• Induksi persalinan
• Penggunaan agen anestetik (agen halogen atau
anastesia dengan hipotensi)
• Persalinan lama
• Korioamnionitis
• Persalinan terlalu cepat
• Riwayat atonia uteri sebelumnya
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Masase uterus segera setelah plasenta lahir (15 detik) ATONIA
UTERI:
TATALAKSANA
kompresi bimanual interna maks 5 menit
Identifikasi sumber
Jika terus berdarah, Kompresi bimanual eksterna + perdarahan lain
Infus oksitosin dalam NS** • Laserasi jalan
Infus untuk restorasi cairan & jalur obat esensial, kemudian
lahir
lanjutkan KBI
• Hematoma
parametrial
Tidak berhasil • Ruptur uteri
• Inversio uteri
• Sisa fragmen
plasenta
Rujuk; Selama perjalanan Kompresi
bimanual eksterna **Berikan 20-40 unitoksitosin dalam 1000 ml
Berhasil Kompresi aorta abdominalis larutan NaCl 0,9%/Ringer
Tekan segmen bawah atau aorta Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan
abdominalis; lanjutkan infus infus 20 IU 10 unitIM. Lanjutkan infus oksitosin 20
unitdalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer
oksitosin dalam 500 ml NS/RL/ jam Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit
hingga perdarahan berhenti.
• Faktor risiko:
• Parity — Parity (having one or more
pregnancies extending beyond 20 weeks
of gestation) decreases the chance of
fibroid formation
• Early menarche — Early menarche (<10
years old) is associated with an increased
risk of developing fibroids.
• Alcohol increases risk; where as smoking
decreasing risk
• Genetics — Studies imply a familial
predisposition to leiomyomas in some
women. http://www.myoma.co.uk/about-uterine-myoma.html
Klasifikasi
• Mioma uteri diklasifikasikan berdasarkan letak
pertumbuhannya pada lapisan uterus, yaitu
– mioma subserosa di lapisan serosa uterus
– mioma intramural mioma yang tumbuh di lapisan
tengah dinding uterus
– mioma submukosa mioma yang tumbuh di lapisan
endometrium dan tumbuh ke arah kavum uteri.
• Bila mioma tumbuh dan bertangkai, maka dapat keluar
masuk ke dalam vagina disebut mioma geburt
– mioma bertangkai (pedunculated) Bila mioma uteri
hanya dihubungkan oleh tangkai ke uterus
Pada kehamilan
• Membesar pada trimester pertama karena pengaruh estrogen
• Degenerasi merah pada masa hamil atau nifas
• Torsio dengan tanda akut abdomen
Faktor Predisposisi
• Nulipara, infertilitas, riwayat keluarga
Diagnosis
• Massa yang menonjol/ teraba seperti bagian janin, tes HCG (-)
• USG abdominal/ transvaginal Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Mioma Uteri: Tatalaksana
• Pemeriksaan Berkala
– Pemeriksaan fisik &USG setiap 6-8 minggu untuk mengawasi
pertumbuhan, ukuran, dan jumlah bila stabil observasi setiap
3-4 bulan
• Terapi Hormonal
– Preparat progestin atau GnH efek hipoestrogen
• Terapi Operasi
– Miomektomi
• Bila pasien masih muda/ingin memiliki anak
– Histerektomi
• Bila tidak ingin memiliki anak lagi atau nyeri hebat yang tidak sembuh
dengan terapi
– Miolisis
• Koagulasi laparoskopik dengan neodymium
– Embolisasi arteri uteri
E Surya. Mioma Servikal. 2010
Tatalaksana
• Tatalaksana mioma dapat konservatif atau operatif,
konservatif untuk mengobati gejala.
• Cara operatif digunakan bila terapi medikamentosa
tidak dapat mengatasi keluhan, dapat berupa
histerektomi, miomektomi, atau miolisis
• Indikasi histerektomi menurut American College of
Obstetricians and Gynecologist (ACOG)
– 1. Mioma asimptomatik yang dapat teraba dari dinding
perut dan dikeluhkan oleh pasien.
– 2. Perdarahan uterus berlebihan, yang ditandai/diikuti
oleh:
• Perdarahan banyak dan bergumpal atau berulang selama >8 hari.
• Anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.
– 3. Rasa tidak nyaman di pelvis yang:
• akut dan hebat,
• rasa tertekan pada perut bagian bawah atau pinggang, atau
• penekanan vesika urinaria yang meningkatkan frekuensi miksi
bukan disebabkan oleh infeksi saluran kemih.
• Kriteria diagnosis :
– Usia kehamilan > 20 minggu
– Keluar cairan ketuban dari vagina
– Inspekulo : terlihat cairan keluar dari OUE
– Kertas nitrazin menjadi biru
– Mikroskopis : terlihat lanugo dan verniks kaseosa
• Mikroskopik
• Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)
• Amniosentesis
• Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS tampak
pada tampon vagina setelah 30 menit
http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
KPD: Tatalaksana
KETUBAN PECAH DINI
MASUK RS
• Antibiotik
• Batasi pemeriksaan dalam
• Observasi tanda infeksi & fetal distress
PPROM
• Observasi:
PROM
• Temperatur
• Fetal distress
• Kelainan Obstetri
Kortikosteroid
• Fetal distress
Letak Kepala
• Letak sungsang
• CPD
• Riwayat obstetri buruk Indikasi Induksi
• Grandemultipara • Infeksi
• Elderly primigravida • Waktu
• Riwayat Infertilitas
• Persalinan obstruktif
Berhasil
• Persalinan pervaginam
Gagal
Sectio Caesarea • Reaksi uterus tidak ada
• Kelainan letak kepala
• Fase laten & aktif memanjang
• Fetal distress
• Ruptur uteri imminens
• CPD
Ketuban Pecah Prematur: Tatalaksana
• Tatalaksana Umum: Antibiotik profilaksis
• DOC: Penisilin dan makrolida
• Ampicillin 2 g IV/6 jam dan erythromycin 250 mg IV/6 jam selama 2 hari diikuti amoxicillin 250
mg PO/ 8 jam dan erythromycin 333 mg PO/8 jam selama 5 hari
• Atau eritromisin 250 mg PO/6 jam selama 10 hari
• Kombinasi amoksilin dengan asam klavulanat tidak digunakan karena dapat
memicu terjadinya enterokolitis nekrotikans
• Mikroskopik
• Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)
• Amniosentesis
• Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS tampak
pada tampon vagina setelah 30 menit
http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
Fern Test (Amniotic Fluid Crystallization Test
for Ruptured Membranes )
• Purpose:
– Detection of fern-type amnoitic fluid crystallization
as an aid in the detection of ruptured amniotic
membranes in pregnant women.
• “Ferning” is not specific for amniotic fluid. Other
fluids (e.g., blood, cervical mucus, semen and
some urine specimens) when dried can also yield
microscopic crystallization in a “fern” pattern
• Ferning is due to the prescence of sodium chloride
in the mucus under estrogen effect.
• When high levels of estrogen are present just
before the ovulation, the cervical mucus forms fern
like pattern due to crystallization of sodium
chloride on mucus fiber.
154. TB pada Kehamilan
• Pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya
• WHO
– Hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
Streptomisin (permanent ototoxic dan dapat menembus
barier placenta) gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada janin
• Kontrasepsi
– Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal
menurunkan efektivitas kontrasepsi
– Sebaiknya pasien dengan TB menggunakan KB non
hormonal,atau kontrasepsi dengan estrogen dosis tinggi (50
mcg)
Pengaruh Tuberkulosis Paru terhadap
Kehamilan
• kematian janin 6 kali lebih besar dan insidens
dari: prematuritas, KMK ( kecil untuk masa
kehamilan), BBLR (berat badan lahir rendah)
(<2500g) adalah 2 kali lipat
• Pengaruh tidak langsung tuberkulosis
terhadap kehamilan ialah efek teratogenik
terhadap janin karena obat anti tuberkulosis
yang diberikan kepada sang ibu.
Najoan Nan Warouw, Aloysius Suryawan .Manajemen TBC dalam Kehamilan. JKM. Vol. 6, No. 2, Februari 2007
155. PCOS
• Etiologi
– hiperandrogenisme dan resistensi terhadap insulin
• Gejala PCOS
– Gangguan siklus haid yaitu siklus haid jarang dan tidak teratur
– Gangguan kesuburan dimana yang bersangkutan menjadi sulit
hamil (subfertile)
– Tumbuh bulu yang berlebihan dimuka, dada, perut, anggota
badan dan rambut mudah rontok (hirsutisme)
– Banyak jerawat
– kegemukan (obesitas)
– Pada USG ditemukan banyak kista
di ovarium
PCOS: Pemeriksaan
• Diagnosis USG
– Gambaran seperti roda
pedati
– 12 atau lebih folikel
terlihat jelas di satu
ovarium
– Ukuran satu atau
kedua ovarium
membesar
PCOS: Terapi
Tata laksana PCOS dilakukan secara komprehensif, meliputi:
Edukasi
Menjelaskan pentingnya perubahan gaya hidup untuk memperbaiki gangguan hormonal yang terjadi
Manajemen infertilitas
Tata laksana lini pertama pada SOPK adalah penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup. Tindakan
selanjutnya adalah induksi ovulasi yang dapat dilakukan dengan klomifen sitrat dan atau metformin
• Terapi
- Pencegahan: Imunisasi
- Perawatan: suportif dengan
mengedukasi orangtua
Rubella
• This RNA togavirus typically causes infections of minor importance
in the absence of pregnancy.
• Rubella infection in the first trimester significant risk for abortion
and severe congenital malformations.
• Transmission occurs via nasopharyngeal secretions, and the
transmission rate is 80 percent to susceptible individuals
• Vertical transmission from maternal to fetus intraplasental
route
• Maternal rubella infection is usually a mild, febrile illness with a
generalized maculopapular rash beginning on the face and
spreading to the trunk and extremities.
– Other symptoms : arthralgias or arthritis, head and neck
lymphadenopathy, and conjunctivitis.
– Up to half of maternal infections are subclinical despite viremia that
may cause devastating fetal infection
Fetal Effect
• Rubella is one of the most complete teratogens, and sequelae of fetal infection
are worst during organogenesis.
• Pregnant women with rubella infection and a rash during the first 12 weeks of
gestation have a fetus with congenital infection in up to 90 percent of cases
• At 13 to 14 weeks’ gestation, this incidence was 54 percent, and by the end of
the second trimester, it was 25 percent. Defects are rare after 20 weeks
• Congenital rubella syndrome includes one or more of the following:
– Eye defects cataracts and congenital glaucoma
– Congenital heart defects patent ductus arteriosus and pulmonary artery stenosis
– Sensorineural deafness the most common single defect
– Central nervous system defects microcephaly, developmental delay, mental
retardation, and meningoencephalitis
– Pigmentary retinopathy
– Neonatal purpura
– Hepatosplenomegaly and jaundice
– Radiolucent bone disease
• Neonates born with congenital rubella may shed the virus for many months and
thus be a threat to other infants and to susceptible adults who contact them.
Rubella Kongenital: Manifestasi Klinis
• Faktor Predisposisi :
– Diet rendah zat besi, B12, dan asam folat
– Kelainan gastrointestinal
– Penyakit kronis
– Riwayat Keluarga
Tatalaksana Umum
• Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel
darah merah.
• Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan
suplementasi besi dan asam folat.
– Tablet yang saat ini banyak tersedia di Puskesmas adalah tablet
tambah darah yang berisi 60 mg besi elemental dan 250 µg asam
folat.
– Pada ibu hamil dengan anemia, tablet tersebut dapat diberikan 3 kali
sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan, lanjutkan pemberian
tablet sampai 42 hari pascasalin.
– Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan asam folat kadar
hemoglobin tidak meningkat, rujuk pasien ke pusat pelayanan yang
lebih tinggi untuk mencari penyebab anemia.
Tatalaksana Khusus
• Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan apus darah tepi.
• Anemia mikrositik hipokrom :
– Defisiensi besi: lakukan pemeriksaanferritin. Apabila ditemukan kadar
ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan dosis setara 180 mg besi
elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan
TIBC.
– Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan
tatalaksana bersama dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang
lebih spesifik
• Anemia normositik normokrom :
– Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi, mola,
kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan
– Infeksi kronik
• Anemia makrositik hiperkrom :
– Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan
vitamin B12 1 x 250 – 1000 µg
• Transfusi untuk anemia dilakukan pada pasien
dengan kondisi berikut:
• Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20%
• Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing, pandangan
berkunangkunang, atau takikardia (frekuensi nadi
>100x/menit)
– Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan
janin dengan memantau pertambahan tinggi fundus,
melakukan pemeriksaan USG, dan memeriksa denyut
jantung janin secara berkala.
Maternal Effect of Anemia
• Obviously, severe anemia has adverse effects on the mother and
the fetus.
• Major maternal complications directly related to anemia are not
common in women with a hemoglobin level greater than 6 gr/dl.
• However, Hb levels even lower may lead to significant morbidity in
pregnant women, such as infections, increased hospital stays, and
other general health problems.
• In more severe cases, especially in pregnant women with
hemoglobin levels less than 6 gr/dl, significant life-threatening
problems secondary to high-output congestive heart failure and
decreased oxygenation of tissues, including heart muscle may be
encountered.
• severe iron deficiency anemia or methemorragic anemia may be
presented by complications of pregnancy, such as placenta previa
or abruptio placenta, operative delivery and post partum
hemorrhage.
Sifakis S. Anemia in Pregnancy. Annals of the New York Academy of Sciences. February 2000.
Fetal Effect of Anemia
• effects the maternal anemia has on the fetus
are not well defined; however, several reports
in the literature associate the reduction in
hemoglobin level with prematurity,
spontaneous abortions, low birth weight, and
fetal death.
Sifakis S. Anemia in Pregnancy. Annals of the New York Academy of Sciences. February 2000.
Megaloblastic Anemia in Pregnancy
• These anemias are
characterized by blood
and bone-marrow
abnormalities from
impaired DNA
synthesis.
• Worldwide, the
prevalence of
megaloblastic anemia
during pregnancy varies
considerably
Cunningham et al. Williams Obstetrics 24th ed. 2014
Folic Acid deficiency
• megaloblastic anemia beginning during
pregnancy almost always results from folic acid
deficiency
• It usually is found in women who do not consume
fresh green leafy vegetables, legumes, or animal
protein.
• As folate deficiency and anemia worsen, anorexia
often becomes intense and further aggravates
the dietary deficiency
• folic acid during pregnancy requirements are
increased, and 400 μg/day is recommended
Cunningham et al. Williams Obstetrics 24th ed. 2014
Vit B12 Deficiency
• During pregnancy, vitamin B12 levels are lower than nonpregnant
values because of decreased levels of binding proteins that include
haptocorrin—transcobalamins I and III—and transcobalamin II
• During pregnancy, megaloblastic anemia is rare from deficiency of
vitamin B12, that is, cyanocobalamin
• Etiology :
– vitamin B12 deficiency in pregnancy is more likely encountered
following gastric resection.
– Crohn disease, ileal resection, and bacterial overgrowth in the small
bowel
• Treatment
– Those who have undergone total gastrectomy require 1000 μg of
vitamin B12 given intramuscularly each month. Those with a partial
gastrectomy usually do not need supplementation, but adequate
serum vitamin B12 levels should be ensured during pregnancy
Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/255450
159. HIV pada Kehamilan
• Penularan dari ibu ke anak
– Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari
ibunya.
– Virus dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada
anaknya selama hamil, saat persalinan dan menyusui.
– faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari
ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan
obstetrik
Faktor yang Mempengaruhi penularan HIV dari
Ibu ke Anak
• Faktor Ibu • Faktor anak
– Jumlah virus (viral load) : Risiko penularan HIV – Usia kehamilan dan berat badan bayi
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah saat lahir : (BBLR) lebih rentan
(kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika tertular HIV karena sistem organ dan
kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml. sistem kekebalan tubuhnya belum
– Jumlah sel CD4 : Semakin rendah jumlah sel berkembang dengan baik.
CD4 risiko penularan HIV semakin besar. – Periode pemberian ASI : Semakin
– Status gizi selama hamil : Berat badan rendah lama ibu menyusui, risiko penularan
serta kekurangan vitamin dan mineral selama HIV ke bayi akan semakin besar.
hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita – Adanya luka di mulut bayi
penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
– Penyakit infeksi selama hamil : Sifilis, PMS,
infeksi saluran reproduksi lainnya, malaria, dan
tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
– Gangguan pada payudara : mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan
risiko penularan HIV melalui ASI.
• Tindakan obstetri
– Jenis persalinan : penularan persalinan per vaginam > (sectio caesaria).
– Lama persalinan : Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak semakin tinggi
– Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat
– Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
Terapi HIV dalam kehamilan
• Epidemiologi HIV dan kebijakan tes yang akan
diambil pada ibu hamil
Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV
• Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa
memandang jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan
indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup (pedoman
WHO 2013, option B+).
• Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau hasil pengobatan,
bukan sebagai acuan untuk memulai terapi.
• Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada orang
dewasa lainnya.
• Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada trimester
pertama, belakangan tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik
dibandingkan bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli 2012
WHO mengeluarkan kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada
ibu hamil.
• Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV
berapapun usia kehamilan.
• Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat
diteruskan tanpa perlu diganti. ARV tetap diteruskan setelah
melahirkan hingga seterusnya.
DEPKES. PEDOMAN PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL 2014
Algoritma rekomendasi
ARV pada ibu hamil dan
menyusui
Proglotid Keluar sendiri scr aktif Keluar bersama tinja 2-3 progl.
satu-satu
Matang Ovarium 2 lobus Ovarium trilobus
Gravid 15-30 cabang lateral 7-12 cabang lateral
∑ telur/proglotid 100.000 30.000-50.000
Larva Cystisercus bovis Cystisercus cellulose
Hospes perantara Sapi Babi dan manusia
Cara infeksi Makan daging sapi yg Makan daging babi yg mengandung
mengandung cystisercus cystisercus cellulose (mjd taeniasis)
bovis dan tertelan telur (mjd sistiserkosis)
Prazikuantel
TTGO
Diabetes gestasional
Diabetes pregestasional
GDP 92-125 mg/dl, atau
GDP >=126 mg/dl, atau
GD 2 jam pp >= 153 mg/dl,
GD 2 jam pp >=200 mg/dl, atau
atau
GDS >=200 mg/dl
GDS 153-199 mg/dl
GESTATIONAL DIABETES PATHOPHYSIOLOGY
Fetoplacental
Normal Insulin hormones
pregnancy resistance (GH, HCG, HPL, Cortisol,
progesterone, prolactin)
• Suntikan Progestin
– Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo
Provera) 150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan
– Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat)
200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2
bulan
DMPA Mechanisms of Action
• Depot medroxyprogesterone acetate (DMPA) primarily
acts by :
– inhibition of gonadotropin secretion inhibiting follicular
maturation and ovulation
– The inhibition of ovarian function hypoestrogenic state
inhibits endometrial proliferation and renders the
endometrium less receptive to implantation.
– changes in cervical mucus (thicker and less permeable to
sperm) and
– tubal motility (reduced ciliary action) that are unfavorable
to sperm migration, thus inhibiting fertilization.
164. Hipertiroidisme dalam
Kehamilan
• Penyebab utama hipertiroidisme dalam kehamilan adalah penyakit
Graves disease.
• Tanda dan gejala
– Takikardia dan palpitasi
– Peningkatan abnormal denyut jantung saat tidur
– Pembesaran kelenjar tiroid
– Eksoftalmus
– Berat badan tidak naik pada wanita non-obes meskipun asupan
makanan cukup atau berlebih
– Merasa panas atau berkeringat berlebihan
– Suhu tubuh meningkat
– Tremor
• Faktor predisposisi
– Jenis kelamin perempuan, riwayat hipertiroidisme pada keluarga
Tatalaksana Awal
• Tata laksana awal dilakukan di rumah sakit, kemudian rawat jalan dapat dilanjutkan
di pusat layanan kesehatan yang lebih sederhana.
• Untuk terapi awal, anjurkan rawat inap untuk mengontrol kadar hormon tiroid
• Tirah baring dianjurkan untuk mengurangi aktifitas dan menstabilkan emosi.
• Berikan diet yang sesuai untuk mengembalikan defisit kalori.
• Antitiroid: PTU/Metimazol
• Propanolol digunakan untuk mengurangi manifestasi simpatetik, dengan dosis 40-
80 mg/hari, terbagi dalam 3-4 dosis. Tidak digunakan pada kehamilan dengan
hipertiroid yang disertai penyakit paru obstruktif, blokade jantung, dekompensasio
kordis, dan diabetes melitus.
• Tiroidektomi dapat dipertimbangkan ketika kondisi hipertiroid telah teratasi lewat
pengobatan.
• Setelah bayi lahir, periksa kadar hormon tiroidnya untuk menyingkirkan
kemungkinan hipotiroidisme pada bayi akibat pengobatan selama ibu hami
Mekanisme Kerja Thionamide
• Antithyroid (thionamides), which contain a sulfhydryl
group and a thiourea moiety within a heterocyclic
structure
• Propylthiouracil, but not methimazole or carbimazole,
can block the conversion of thyroxine to
triiodothyronine within the thyroid and in peripheral
tissues
• Their primary effect is to inhibit thyroid hormone
synthesis by interfering with thyroid peroxidase
mediated iodination of tyrosine residues in
thyroglobulin, an important step in the synthesis of
thyroxine and triiodothyronine
Antihipertiroid in pregnancy
• Propylthiouracil is the drug of choice during the first
trimester of pregnancy causes less severe birth
defects than methimazole.
• Methimazole 2nd to 3rd trimester
• Because there have been rare cases of liver damage in
people taking propylthiouracil, some clinicians will
suggest switching to methimazole after the first
trimester, while others may continue propylthiouracil.
• For women who are nursing, methimazole is probably
a better choice than propylthiouracil (to avoid liver side
effects).
Antihipertiroid in pregnancy
• The dosage of methimazole :
– 15-100 mg daily, administered as divided doses 3 times daily.
– Once serum thyroid hormone levels return to normal, it is necessary to
decrease the dosage to 5-20 mg daily of methimazole
• The appropriate dosage of PTU:
– 300 mg daily to a maximum dose of 1200 mg daily in divided doses 3 times
daily.
– Once serum thyroid hormone levels return to normal, it is necessary to
decrease the dosage to 50-300 mg daily for PTU in divided doses.
• When doses of PTU are > 300 mg/day or > 20 mg/day for methimazole are
taken long term, fetal goiter and hypothyroidism may result.
• This is why it is important to decrease the dosage after levels return to
normal.
• TSH levels should be checked every 3-4 weeks to assess thyroid function.
• The free T3 and T4 levels should be just above the normal range.
IKK &
FORENSIK
165. Definisi Kasus SARS
Suspect
• A person presenting after 1 Nov 2002 with history of:
– High fever (> 38 C) AND
– Cough or breathing difficulty AND one or more of the following
exposures during the 10 days prior to onset of symptoms:
- close contact with a person who is a suspect or probable case of
SARS;
- history of travel, to an area with recent local transmission of SARS
- residing in an area with recent local transmission of SARS
• A person with an unexplained acute respiratory illness resulting in death
after 1 November 2002, but on whom no autopsy has been performed
AND one or more of the following exposures during to 10 days prior to
onset of symptoms:
- close contact, with a person who is a suspect or probable case of SARS;
- history of travel to an area with recent local transmission of SARS
- residing in an area with recent local transmission of SARS
165. Definisi Kasus SARS
Probable
• A suspect case with radiographic evidence of infiltrates consistent
with pneumonia or respiratory distress syndrome (RDS) on chest X-
ray (CXR).
• A suspect case of SARS that is positive for SARS coronavirus by one or
more assays.
• A suspect case with autopsy findings consistent with the pathology
of RDS without an identifiable cause.
Exclusion criteria
• A case should be excluded if an alternative diagnosis can fully explain
their illness.
166. DESAIN PENELITIAN
Secara umum dibagi menjadi 2:
• DESKRIPTIF: memberi gambaran distribusi dan
frekuensi penyakit saja. Misalnya prevalensi
DM tipe 2 di DKI Jakarta, 10 penyakit
terbanyak di Puskesmas X.
STUDY
DESIGNS
Analytical Descriptive
Case series
Observational Experimental
Cross-sectional
TERPADU / TERINTEGRASI
• Memakai seluruh ilmu kedokteran yang telah
di dapat bekerja sama dengan pasien,
keluarga, dokter spesialis atau tenaga
kesehatan lain
169. Karakteristik Surveilans Efektif
• Cepat
– Informasi diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat
(timely) sehingga memungkinkan identifikasi dan
penatalaksanaan masalah segera.
– Cara meningkatkan kecepatan surveilans:
• Analisis sedekat mungkin dengan pelaporan data primer
• Melembagakan pelaporan wajib untuk penyakit tertentu
(notifiable diseases)
• Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan
• Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat
• Implementasi sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah, dan
segera
• Akurat
– Sensitivitas dan spesifisitas tinggi
– Dipengaruhi oleh kemampuan petugas dan infrastruktur
pemeriksaan penunjang
169. Karakteristik Surveilans Efektif
• Standar, seragam, reliable, dan kontinyu
– Terdapat definisi kasus, alat ukur, dan prosedur yang
standar.
– Surveilans secara kontinyu tentang insidens penyakit untuk
mendeteksi kecenderungan
– Pelaporan reportable diseases seminggu sekali
• Representatif dan lengkap
– Harus menggambarkan kondisi sesungguhnya di populasi
– Membutuhkan kapasitas petugas kesehatan yang cukup
• Sederhana, fleksibel, dan akseptabel
– Sistem surveilans sederhana dan praktis, baik dalam
organisasi, struktur, maupun operasi
– Data yang dilaporkan relevan dan terfokus
– Format laporan yang tidak digunakan dapat dibuang
170. Penyelenggaraan Pelayanan Gizi Masyarakat
Ruang lingkup:
• Pelayanan kesehatan ibu dan anak
– Cakupan bayi berat lahir rendah yang ditangani
• Pelayanan kesehatan anak pra-sekolah dan usia sekolah
– Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita & pra-sekolah
– Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh nakes atau tenaga
terlatih
– Cakupan pelayanan kesehatan remaja
• Pelayanan pengobatan/perawatan
– Cakupan rawat jalan dan rawat inap
• Pemantauan pertumbuhan balita
– Balita yang naik berat badannya
– Balita bawah garis merah (BGM)
• Pelayanan Gizi
– Cakupan balita mendapat kapsul Vit A 2x/tahun
– Cakupan ibu hamil mendapat 90 tablet Fe
– Cakupan pemberian MP-ASI pada bayi BGM dari keluarga miskin
– Balita gizi buruk mendapat perawatan
170. Penyelenggaraan Pelayanan Gizi Masyarakat
Ruang lingkup:
• Pelayanan gawat darurat
– Sarana kesehatan dengan pelayanan gawat darurat yg dapat diakses
masyarakat
– Penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB dan gizi buruk
– Desa/kelurahan yang mengalami KLB ditangani <24 jam
– Kecamatan bebas rawan gizi
• Penyuluhan perilaku sehat
– Bayi yang mendapat ASI eksklusif
– Desa dengan garam beryodium baik
• Pelayanan kesehatan kerja
– Cakupan pelayanan kesehatan kerja pada pekerja formal
• Pelayanan kesehatan usia lanjut
– Cakupan Pelayanan kesehatan pra-usia lanjut dan usia lanjut
• Pelayanan gizi
– Cakupan wanita usia subur yang mendapat kapsul yodium
Pemantauan Pertumbuhan Balita
• Balita yang naik berat badannya
• Desa dengan garam beryodium baik (≤1 sampel garam dgn yodium <
30 ppm dari 21 sampel yang diperiksa pada kurun waktu tertentu)
• Penanganan KLB
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4311333/
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
172. FIVE-STAR DOCTOR
• Memberikan pelayanan yang memenuhi semua
kebutuhan pasien
Care provider • Pelayanan promotif hingga rehabilitatif dengan
kualitas tertinggi
STUDY
DESIGNS
Analytical Descriptive
Case series
Observational Experimental
Cross-sectional
Cohort study
– Individu dengan pajanan/ faktor risiko diketahui, diikuti
sampai waktu tertentu, kemudian dinilai apakah outcome
terjadi atau tidak.
Case-control study
– Individu dengan outcome diketahui, kemudian digali
riwayat masa lalunya apakah memiliki pajanan/ faktor
risiko atau tidak.
Prinsip Desain Studi Analitik
Observasional
Assess Known
Case -control study exposure outcome
Known Assess
Prospective cohort exposure outcome
Known Assess
Retrospective cohort exposure outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam
satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak
berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat
ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini
secara bersamaan.
• Studi kohort selalu dimulai dari subyek yang tidak sakit. Kelompok subyek
dibagi menjadi subyek yang terpajan dan tidak terpajan. Kemudian
dilakukan pengamatan sampai terjadinya penyakit atau sampai waktu
yang ditentukan.
Kohort Prospektif vs Retrospektif
• Baik kohort prospektif
maupun retrospektif selalu
dimulai dari menjadi subyek
yang tidak sakit.
KELEBIHAN: KELEMAHAN:
• Mengukur angka prevalensi • Sulit membuktikan
• Mudah dan cepat hubungan sebab-akibat,
• Sumber daya dan dana yang karena kedua variabel
efisien karena pengukuran paparan dan outcome
dilakukan dalam satu waktu direkam bersamaan.
KELEBIHAN: KEKURANGAN:
• Dapat membuktikan • Pengukuran variabel secara
hubungan sebab-akibat. retrospektif, sehingga
• Tidak menghadapi kendala rentan terhadap recall bias.
etik, seperti halnya • Kadang sulit untuk memilih
penelitian kohort dan subyek kontrol yang
eksperimental. memiliki karakter serupa
• Waktu tidak lama, dengan subyek kasus
dibandingkan desain kohort. (case)nya.
• Mengukur odds ratio (OR).
Desain Kohort
KELEBIHAN: KEKURANGAN:
• Mengukur angka insidens. • Memerlukan waktu penelitian
• Keseragaman observasi yang relative cukup lama.
terhadap faktor risiko dari • Memerlukan sarana dan
waktu ke waktu sampai terjadi prasarana serta pengolahan
outcome, sehingga merupakan data yang lebih rumit.
cara yang paling akurat untuk • Kemungkinan adanya subyek
membuktikan hubungan penelitian yang drop out/ loss
sebab-akibat. to follow up besar.
• Mengukur Relative Risk (RR). • Menyangkut masalah etika
karena faktor risiko dari
subyek yang diamati sampai
terjadinya efek, menimbulkan
ketidaknyamanan bagi subyek.
177. Langkah Menentukan Uji
Statistik
• Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik)
O U TCO ME VS I MPAC T
Indikator outcome dan impact sering kali disamakan atau dijadikan sebagai satu
kesatuan. Namun pada umumnya indikator outcome lebih menilai luaran jangka
pendek dan untuk wilayah setempat, sedangkan indikator impact lebih menilai
luaran jangka panjang dan dampak untuk wilayah yang lebih luas. Outcome
bersifat dinamis (lebih mudah berubah dibandingkan impact).
179. HAK KELAS PESERTA BPJS
• Dibagi menjadi kelas I, II, III.
2. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan
ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;
4. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan;
5. Peserta Pekerja Penerima Upah selain di atas (no 1-4) dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai
Negeri dengan Gaji atau Upah di atas Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) sampai dengan Rp
8.000.000,00 (delapan juta rupiah); dan
6. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar iuran
untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I
https://www.panduanbpjs.com/penjelasan-ruang-perawatan-masing-masing-kelas-bpjs-kesehatan/
HAK KELAS PESERTA BPJS
KELAS 2
1. Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I
dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;
2. Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;
3. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;
4. Peserta Pekerja Penerima Upah selain pada poin 1 sampai dengan 3 di atas dan
Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri dengan Gaji atau Upah sampai dengan Rp
4.000.000,00 (empat juta rupiah); dan
5. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar
iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II.
https://www.panduanbpjs.com/penjelasan-ruang-perawatan-masing-masing-kelas-bpjs-kesehatan/
HAK KELAS PESERTA BPJS
KELAS 3
Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh
Pemerintah Daerah; dan
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang
membayar iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III
https://www.panduanbpjs.com/penjelasan-ruang-perawatan-masing-masing-kelas-bpjs-kesehatan/
Kenaikan Kelas Peserta BPJS
Kelas Kelas yang Biaya tambahan
awal diinginkan
3 PBI Tidak bisa naik kelas
3 2 Selisih biaya tarif INA-CBG pada kelas rawat inap lebih tinggi
3 1 yang dipilih dengan tarif INA-CBG pada kelas rawat inap yang
2 1 sesuai hak peserta
2&3 VIP (1 tingkat di • Selisih tarif INA CBG kelas 1 dengan tarif INA CBG kelas
atas kelas 1) sesuai haknya, dan
• Biaya tambahan maksimal 75% dari tarif INA CBG kelas 1
1 VIP Biaya tambahan maksimal 75% dari tarif INA CBG kelas 1
1, 2, 3 Kelas di atas VIP Selisih biaya tarif rumah sakit pada kelas yang dipilih dengan
tarif INA CBG pada kelas yang menjadi haknya
Untuk pelayanan rawat jalan, jika peserta BPJS menginginkan pelayanan rawat jalan
eksekutif, peserta harus membayar tambahan biaya paket pelayanan rawat jalan eksekutif
paling banyak sebesar Rp250.000,00 untuk setiap episode rawat jalan.
• Jika ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh:
– dirawat di kelas perawatan 1 tingkat lebih tinggi paling
lama 3 hari, lalu dikembalikan ke ruang sesuai haknya. Jika
belum ada ruangan sesuai haknya dalam 3 hari, peserta
ditawarkan untuk dirujuk, atau selisih biaya menjadi
tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TARIF PELAYANAN
KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
Tarif Kapitasi
• Tarif Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a diberlakukan pada FKTP yang melakukan
pelayanan:
a. administrasi pelayanan;
b. promotif dan preventif;
c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun
non operatif;
e. obat dan bahan medis habis pakai;
f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pratama.
Tarif Non Kapitasi
• Tarif Non Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan kesehatan di
luar lingkup pembayaran kapitasi, yang meliputi:
a. pelayanan ambulans
b. pelayanan obat program rujuk balik;
c. pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik;
d. pelayanan penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk
pelayanan terapi krio untuk kanker leher rahim;
e. rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis;
f. jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh
bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya;
dan
g. pelayanan Keluarga Berencana di FKTP
Penyakit yang Termasuk dalam
Program Rujuk Balik
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/4238e7d5f66ccef4ccd89883c46fcebc.pdf
181. Visum et Repertum (VeR)
Dasar: PASAL 133 KUHAP
• Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya
• WEWENANG PENYIDIK
• TERTULIS (RESMI)
• TERHADAP KORBAN, BUKAN TERSANGKA
• ADA DUGAAN AKIBAT PERISTIWA PIDANA
• BILA MAYAT :
– IDENTITAS PADA LABEL
– JENIS PEMERIKSAAN YANG DIMINTA
– DITUJUKAN KEPADA : AHLI KEDOKTERAN FORENSIK /
DOKTER DI RUMAH SAKIT
• Mengenai isi rekam medis diatur lebih khusus dalam Pasal 12 ayat
(2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis: Isi rekam medis
merupakan milik pasien yang dibuat dalam bentuk ringkasan rekam medis.
Kepemilikan Rekam Medis
• Aplikasi: Karena isi Rekam Medis merupakan milik
pasien, maka pada prinsipnya tidak pada tempatnya jika
dokter atau petugas medis menolak memberitahu
tentang isi Rekam Medis kepada pasiennya, kacuali pada
keadaan-keadaan tertentu yang memaksa dokter untuk
bertindak sebaliknya.
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
(nonmaleficence)
• Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar • Praktik Kedokteran haruslah memilih
pasien yang dirawatnya terjaga keadaan pengobatan yang paling kecil risikonya dan
kesehatannya (patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
• Pengertian ”berbuat baik” diartikan first, do no harm, tetap berlaku dan harus
bersikap ramah atau menolong, lebih diikuti.
dari sekedar memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
for person) / Autonomy ekonomi, pandangan politik, agama dan
faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus kewarganegaraan, status perkawinan,
diperlakukan sebagai manusia yang serta perbedaan jender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter
memiliki otonomi (hak untuk menentukan terhadap pasiennya.
nasib diri sendiri), • Tidak ada pertimbangan lain selain
• Setiap manusia yang otonominya kesehatan pasien yang menjadi perhatian
berkurang atau hilang perlu mendapatkan utama dokter.
perlindungan. • Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Beneficence (Berbuat baik)
• General beneficence
– Melindungi dan mempertahankan hak, mencegah terjadinya kerugian
– Menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain
• Specific beneficence
– Menolong orang cacat, menyelamatkan dari bahaya, mengutamakan kepentingan pasien
– Memandang pasien/ keluarga/ sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter/ rumah
sakit/ pihak lain
– Maksimalisasi akibat baik
– Menjamin nilai pokok: “apa saja yang ada, pantas kita bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada
yang hidup)
• Prinsip tindakan
– Berbuat baik kepada siapa pun, termasuk yang tidak kita kenal
– Pengorbanan diri demi melindungi dan menyelamatkan pasien
– “janji” atau wajib menyejahterakan pasien dan membuat diri terpecaya
• Contoh tindakan
– Dokter bersikap profesional, bersikap jujur, dan luhur pribadi (integrity); menghormati pasien,
peduli pada kesejahteraan pasien, kasih sayang, dedikatif mempertahankan kompetensi
pengetahuan dan keterampilan teknisnya
– Memilih keputusan terbaik pada pasien yang tidak otonom (kurang mampu memutuskan
bagi dirinya), misalnya anak, pasien dengan gangguan jiwa, pasien dalam kondisi gawat
Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Non-Maleficence
• Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien: tidak boleh
berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien; minimalisasi
akibat buruk
• Primum non nocere: First do no harm
• Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal:
– Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang
penting dan dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
– Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
– Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal)
– Norma tunggal, isinya larangan
• Contoh tindakan:
– Tidak melakukan malpraktik etik, baik sengaja atau tidak; seperti dokter tidak
mempertahankan kemampuan ekspertisnya atau menganggap pasien sebagai
komoditi
– Menghentikan pengobatan yang sia-sia atau pengobatan luar biasa, yaitu
pengobatan yang tidak biasa diperoleh atau digunakan tanpa pengeluaran
amat banyak, nyeri berlebihan, atau ketidaknyamanan lainnya
– Juga membiarkan mati (letting die), bunuh diri dibantu dokter, euthanasia,
sengaja malpraktik etis
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
Autonomy
• Autonomy
• Pandangan Kant
– Otonomi kehendak = otonomi moral, yaitu kebesan
bertindak, memutuskan atau memilih dan menentukan diri
sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang
ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan, atau campur
tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam
berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia
• Tell the truth
– Hormatilah hak privasi orang lain, lindungi formasi
konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien;
bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting
Justice
Kriteria
1. Memberlakukan sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan
8. Tidak melakukan penyalahgunaan
9. Bijak dalam makro alokasi
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
Justice
• Justice (Keadilan)
• Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness), yaitu:
– Memberi sumbangan dan menuntut pengorbanan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur
dari kebutuhan dan kemampuan pasien
• Jenis keadilan:
– Komparatif (perbandingan antarkebutuhan penerima)
– Distributif (membagi sumber): sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani ;
secara material kepada:
• Setiap orang andil yang sama
• Setiap orang sesuai kebutuhannya
• Setiap orang sesuai upayanya
• Setiap orang sesuai jasanya
– Sosial: kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama
• Utilitarian: memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi sosial dan
memaksimalkan nikmat/ keuntungan bagi pasien
• Libertarian: menekankan hak kemerdekaan sosial-ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil
substansif atau materiil)
• Komunitarian: mementingkan tradisi komunitas tertentu
• Egalitarian: kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap individu
rasional (sering menerapkan kriteria material kebutuhan bersama)
– Hukum (umum)
• Tukar-menukar: kebajikan memberkan atau mengembalikan hak-hak kepada yang berhak
• Pembagian sesuai denan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai
kesejahteraan umum
186. PEMERIKSAAN DALAM KASUS KEJAHATAN
SEKSUAL
PEMERIKSAAN SEMEN
Pada pakaian, bercak mani berbatas tegas dan warnanya lebih gelap
Pemeriksaan daripada sekitarnya. Dan Bercak yang sudah agak tua berwarna
visual kekuningan.
Bercak mani teraba kaku seperti kanji. Pada tekstil yang tidak menyerap,
Perabaan dan bila tidak teraba kaku, masih dapat dikenali dari permukaan bercak yang
penciuman teraba kasar. Pada penciuman, bau air mani seperti klorin (pemutih) atau
bau ikan
Sampel :
1. Forniks posterior vagina
Fosfatase asam, PAN, Berberio, Florence
• Untuk memeriksa lebih jauh, pisahkan paru-paru dari jantung dan timus,
dan kedua belah paru juga dipisahkan. Bila masih terapung, potong
masing-masing paru-paru menjadi 12 – 20 potongan-potongan kecil.
Bagian-bagian ini diapungkan lagi. Bagian kecil paru ini ditekan dipencet
dengan jari di bawah air. Bila telah bernafas, gelembung udara akan
terlihat dalam air.
• Dead born child, di sini bayi memang sudah mati dalam kandungan. Bila
kematian dalam kandungan telah lebih dari 2 – 3 hari akan
terjadi maserasi pada bayi. Ini terlihat dari tanda-tanda:
– Bau mayat seperti susu asam.
– Warna kulit kemerah-merahan.
– Otot-otot lemas dan lembek.
– Sendi-sendi lembek sehingga mudah dilakukan ekstensi dan fleksi.
– Bila lebih lama didapati bulae berisi cairan serous encer dengan dasar bullae
berwarna kemerah-merahan.
– Alat viseral lebih segar daripada kulit.
– Paru-paru belum berkembang.
Ada/ Tidaknya Tanda Perawatan
Tidak adanya tanda perawatan adalah sbb:
• Tubuh masih berlumuran darah,
• Ari-ari (placenta), masih melekat dengan tali pusat dan
masih berhubungan dengan pusar (umbilicus),
• Bila ari-ari tidak ada, maka ujung tali pusat tampak tidak
beraturan, hal ini dapat diketahui dengan meletakkan ujung
tali pusat tersebut ke permukaan air,
• Adanya lemak bayi (vernix caseosa), pada daerah dahi serta
di daerah yang mengandung lipatan-lipatan kulit, seperti
daerah lipat ketiak, lipat paha dan bagian belakang bokong.
188. LUKA TEMBAK
20 30 2 6 8 12 24 36
0 mnt mnt jam jam jam jam jam jam
Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
PENURUNAN SUHU TUBUH (ALGOR
MORTIS)
• Dapat terjadi pada semua otot di tubuh akan tetapi biasanya pada grup –
grup otot tertentu, misalnya otot lengan atas.
The major virulence of the organism lies in its ability to produce the
potent 62-kd polypeptide exotoxin, which inhibits protein synthesis and
causes local tissue necrosis
Within the first few days of respiratory tract infection , a dense necrotic coagulum
of organisms, epithelial cells, fibrin, leukocytes and erythrocytes forms, advances,
and becomes a gray-brown, leather-like adherent pseudomembrane . Removal is
difficult and reveals a bleeding edematous submucosa
Severity of Airway Obstruction
Jackson Criteria
I : Patient Calm
Stridor --> Inspiratory
Retraction --> Suprasternal
II : Patient Discomfort
Stridor --> Inspiratory
Retraction --> Suprasternal, Substernal
IV : Patient Cyanosis/Apathy
Stridor --> Inspiratory, Expiratory
Retraction --> Suprasternal, Substernal, Intercostal
193. Difteri
• Pemeriksaan :
– Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab
tenggorok, jika bisa diambil dibawah selaput
pseudomembran
– Kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite blood
agar (CTBA), medium hoyle dan medium tinsdale
medium selektif untuk kultur Corynebacterium diphtheriae
– Untuk megisolasi Corynebacterium digunakan agar darah
telurit (Mc Leod), sebagai media selektif, setelah inkubasi
selama 24 jam koloni bakteri terlihat berwarna abu-abu tua-
hitam.
– Selanjutnya untuk biakan murni Corynebacterium digunakan
media perbenihan Loeffler dalam tabung
• Hearing loss
• Stuffed or full
feeling to ear
• Pain if cerumen
touches TM
External Auditory Canal
Cerumen Impaction
• Be sure TM is intact prior to lavage
• Irrigate ear with one part peroxide, and one
part water
• Karbogliserin tetes telinga
• Ear irrigation and manual cerumen removal
195. Angina Ludwig
• Ludwig’s angina is a rapidly progressing
polymicrobial cellulitis of the sublingual and
submandibular spaces
• Results in life threatnening air way compromise
• The organisms most often isolated in patients
with the disorder are Streptococcus viridans and
• Staphylococcus aureus
• Anaerobes also are frequently involved,
including bacteroides, peptostreptococci, and
peptococcus, fusiform bacilli , diptheroids.
• Non specific mixed infection
Etiology
• > 90% odontogenic in origin
• Peritonsillar absecess
• Parapharyngeal abscesses
• Oral lacerations
• Mandibular fractures
• Submandibular sialadenitis
195. Angina Ludwig
• Ludwig’s is a cellulitis of the submandibular space that
spreads to the structures of the anterior
• neck and beyond via connective tissue, muscle, and
fascial planes rather than by the lymphatic system.
• Cellulitis, rather than abscess formation, is the most
common early presenting finding.
• As the infection progresses, edema of the suprahyoid
tissues and supraglottic larynx elevate and posteriorly
displace the tongue, resulting in lifethreatening airway
narrowing.
• In advanced infection, cavernous sinus thrombosis and
brain abscess, in addition to airway compromise, have
been described.
Presentation
• Board like swelling of floor of mouth
• Elevation of the tongue
• Nonfluctuant suprahyoid swelling typify the
disease process. There is typically a bilateral
submandibular edema,
• The swelling of the anterior soft tissues of
the neck above the hyoid bone sometimes
leads to the characteristic “bull’s neck”
appearance of affected patients.
• Adenopathy and fluctuance are not usually
seen in patients with Ludwig’s angina
Pathogens
• Bacterial isolates are often mixed, comprising
both aerobes and anaerobes.
Secondary goal:
• Antibiotic agent or incision and
drainage
195. Abses Leher Dalam
DIAGNOSIS C L I N I C A L F E AT U R E S
SUBMANDIBULAR Fever, neck pain, swelling below the mandible or tongue. Trismus often
ABSCESS found. If spreading fast bilateral, cellulitis ludwig angina
ISPA, Selulitis ec
Komplikasi Penjalaran
ETIOLOGI limfadenitis Penjalaran infeksi penjalaran
tonsilitis infeksi
retrofaring infeksi
Tanda OE:
Nyeri jika aurikel ditarik ke belakang atau tragus
ditekan.
• Otitis externa sirkumskripta (furuncle)
– Etiologi: Staph. aureus, Staph. albus
– Terbatas pada kelenjar minyak/rambut yg
terobstruksi
– Hanya pada bagian kartilago telinga, tidak
ada jaringan penyambung di bawah kulit
sangat nyeri
– Th/: AB topikal, analgetik topikal.
Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
196. Otitis Externa
• Otitis eksterna difus (swimmer’s ear)
– Etiologi: Pseudomonas, Staph. albus, E. coli.
– Kondisi lembab & hangat bakteri tumbuh
– Sangat nyeri, liang telinga: edema, sempit, nyeri
tekan (+), eksudasi
– Jika edema berat pendengaran berkurang
– Th/: AB topikal, kadang perlu AB sistemik
– AB: ofloxacin, ciprofloxacin, colistin, polymyxin B,
neomycin, chloramphenicol, gentamicin, &
tobramycin.
– Ofloxacin & ciprofloxacin: AB tunggal dengan
spektrum luas untuk patogen otitis eksterna.
Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
196. Otitis Externa
• Malignant otitis externa (necrotizing OE)
– Pada pasien diabetik lansia atau imunokompromais.
Definisi
• Masa tumor jinak yg
berada pada bagian
posterior dari regio
aritenoid.
• Men>Women,
usually adults
198. Granuloma Laring
Patofisiologi
• The thin mucosa and
perichondrium overlying the
cartilaginous glottis become
inflamed, perhaps as a result
of overly forceful apposition
(slamming together) of th
arytenoids at the onset of voicing
(glottal stroke) or during chronic
coughing or throat clearing.
• Acid reflux may also increase
inflammation of the vocal
process area.
• The traumatized area ulcerates or
produces a heaped-up granulom
198. Granuloma Laring
Diagnosis
• Manifestasi klinis
Hoarseness (91%)
Sensation of lump (47%)
Dyspneu (18%)
Cough (12%)
Hemoptysis (6%)
• Makroskopik : proliferative tissue emenating from the vocal
cord
• Color : pale gray to dark red, 2-15 mm, polypoid, nodular,
fungating or ulcerated
• Typical location : posterior aspect of the vocal cords
Tatalaksana
Cough prevention and treatment
If the cough is due to an acute illness or recent instrumentation, a narcotic cough
suppressant may become necessary.
Chronic cough and throat clearing may be managed by improved hydration, reflux
treatment, topical anesthetics, and asthma and allergy treatment as well as other
treatments.
Antireflux treatment
Antireflux treatment consists of omeprazole 20-40 mg PO bid (or an equivalent proton
pump inhibitor), lansoprazole, or rabeprazole.
Ranitidine 300 mg PO bid-qid may be used if proton pump inhibitors are not an option.
Lifestyle modifications are crucial and must be initiated and maintained even in patients
undergoing pharmacotherapy. Instruct patients to implement the following measures:
Avoid foods that cause reflux or are acidic (eg, tomato products, pepper, onion, garlic,
peppermint).
Eliminate intake of caffeine from products such as coffee, sodas, and tea (including
green tea).
Do not wear tight clothing.
Avoid eating 2-3 hours prior to sleep.
Elevate the head of the bed.
Avoid the use of multiple pillows because they cause a bend at the waist and increase
the risk of reflux.
Speech therapy
Speech therapy is essential in all hyperfunctional patients and is also recommended in individuals whose
contact ulcer or granuloma may have resulted from intubation trauma or reflux.
Speech therapy improves breath support and reduces hard glottal attack.
Speech therapy can eliminate poor vocal habits such as throat clearing and straining against a closed
glottis.
Systemic steroid therapy (anecdotal): Doses of steroids stronger than those considered therapeutic have been
suggested for the treatment of contact granulomas.
Adrenal axis suppression is a concern when using steroids as a treatment option.
The use of steroids in the treatment of contact granulomas is not well studied.
Topically applied steroids via an inhaler may offer some efficacy.
The role of steroids injected directly into the lesion in the office setting is also possible, but population
studies are lacking.
198. Laryngeal Disease
Papillomatosis
Vocal nodules
Vocal cord polyp
• Chronic tonsillitis
– Persistent sore throat, anorexia, dysphagia, &
pharyngotonsillar erythema
– Lymphoid tissue is replaced by scar widened
crypt, filled by detritus.
– Foul breath, throat felt dry.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Tonsilitis Kronik
• Disebabkan oleh rangsangan terus menerus
seperti merokok, berbagai jenis makanan ,
kebersihan mulut yang buruk dna pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.
• Peradangan berulangepitel mukosa limfoid
terkikis jaringan parut pelebaran kripta.
Kripta dapat diisi oleh detritus. Dapat disertai
pembesaran kelenjar limfa submandibula.
• Terapi: tergantung penyebab dan ditujukan pada
menjaga kebersihan rongga mulut.
Tonsilitis
• Indikasi tonsilektomi:
– Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walau
dengan terapi adekuat
– Menimbulkan maloklusi gigi dan gangguan pertumbuhan
orofasial.
– Sumbatan jalan nafas
– Infeksi kronis seperti rhinitis, sinusitis dan peritonsilitis.
– Nafas berbau
– Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh grup A
streptococcus beta hemolitikus
– Hipertrofi tonsil yang curiga keganasan
– Otitis media efusa/ otitis media supuratif.