Anda di halaman 1dari 3

Berdasarkan prinsip-prinsip material ini telah dibentuk beberapa teori keadilan distributif.

Di
sini kami memperkenalkan tiga teori macam itu.

I. Teori egalitarianisme

Teori egalitarianisme didasarkan atas prinsip pertama. Mereka berpendapat bahwa kita
baru membagi dengan adil, bila semua orang mendepat bagian yang sama (equal). Membagi
dengan adil berarti membagi rata. "Sama rata, sama rasa" merupakan sebuah semboyan
egalitarian yang khas. Jika karena alasan apa saja tidak semua orang mendapat bagian yang
sama, menurut egalitarianisme pembagian itu tidak adil betul.

Egalitarianisme ini pantas menimbulkan simpati kita, Semua manusia memang sama.
Pemikiran ini merupakan keyakinan umum sejak zaman modern, artinya sejek Revolusi
Prancis menumbangkan monarki absolut dan feodalisme. Dalam artikel pertama dari
"Dekarasi hak manusia dan warga negara" (1789) yang dikeluarkan waktu Revolusi Prancis
dapat dibaca "Manusia dilahirkan bebas serta sama haknya, dan mereka tetap tinggal begitu"
Beberapa tahun sebelumnya di Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence
(1776) sudah ditegaskan “All men are created equal”, Dan Amerika Serikat dari semula
melarang struktur-struktur feodal, sampai-sampai gelar bangsawan pun yang dibawa olch
emigran dari Eropa dilarang pemakaiannya jika kita mengatakan bahwa semua manasia
sama,yang terutama dimaksudkan adalah martabatnya Satu manusia tidak pernah lebih
manusia daripada manusia lain. Kenyataan ini mempunyai konsekuensi besar di beberapa
bidang misalnya, hukum. Supaya adil, di hadapan hukum semua warga negara harus
diperlakukan dengan cara yang sama: orang kaya atau miskin, pejabat tinggi atau orang
biasa, kaum ningrat atau rakyat jelata. Mengapa begitu? Karena hukum hanya memandang
warga negara sebagai manusia dan martabat manusia selalu sama, terlepas dari ciri-ciri yang
tidak releven, seperti kedudukan sosial, ras, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Di sini
pembagian egalitarian memang satu-satunya cara yang adil, Contoh lain adalah pemilihan
umum. Di semua negara modern, pemilihan umum diatur dengan cara sungguh egalitarian,
atas dasar prinsip “one person one vote” Dalam hal ini profesor dalam ilmu politik dan warga
negara yang buta huruf diperlakukan dengan cara yang sama, sekalipun tahap pengertian
tentang politik pada dua orang itu sangat berbeda.

Namun demkian, walaupun martabat manusia selalu sama, dalam banyak hal manusia
tidak sama. Inteligensi dan keterampilannya, misalnya, sering tidak sama. Kemampuarnya
untuk menghasilkan nilai ekonomis acap kali berbeda. Dan jastru hal terakhir inilah penting
dalam konteks ekonomi dan bisnis. Karena itu sulit untuk menerapkan egalitarianisme di
bidang penggajian, umpamanya. Para pendukung egalitarianisme yang radikal memang akan
berpendapat bahwa sistem penggajian baru adil betul bila semua karyawan dalam perusahaan
menerima gaji yang persis sama. Kadang-kadang ada kelampok idealis yang mengusahakan
sistem perggajian egalitarian. Ketika pada tahn 1980-an filsuf dan sastrawan Prancis
berhaluan kiri, Jean-Paul Sartre, bersama dengan teman-temannya mendirikan surat kabar
baru, Liberation, yang antikapitalistis dan karena itu antara lain tidak mau memuat iklan
komersial, mereka dikabarkan juga menerapkan sistem penggajian egalitarian, Dari pimpinan
redaksi sampai dengan sopir atau tenaga kebersihan, semua menerima gaji yang sama
Permulaan surat kabar ini cukup sulit. Penerbitannya sering tersendat-sendat.Tetapi ia
bertahan hidup dan sekarang tergolorg surat kabar Prancis yang terkemuka. Sulit untuk
dibayangkan, kini mereka masih mempraktekkan sistem penggajian yang secara radikal
egalitarian Sekal pun dalam konteks ekonomi dan binis ternvata teori ini sulit diterapkan, di
situ pun pemikiran egaliterian tetap bisa berperanan sebagai cita-cita dan pada skala terbatas
digunakan juga. Misalnya, ada perusahaan yang memberi Tunjangan Hari Raya (THR) yang
sama untuk semua karywan Negera seperti Denmark menyemangati sistem pelayanan
kesehatan yang betul-betul egalitarian, sehingga semua warga Negara tersedia playanan yang
sama orang kaya tidak dapat memperoleh pelayanan kesehatan apa pun tidak tersedia juga
untuk semua warga negara. Dan prinsip pemerataan pendapatan di pengaruhi juga oleh
pemikiran egaliterian. Supaya masyarakat mengatur dengan adil, membagi pendapatan tidak
boleh terlalu besar, biarpun tidak mungkin semua manusia masyarakat menerima pendapatan
yang sama.

2. Teori sosialistis

Teori sosialistis tentang keadilan distributif memilih prinsip kebutuhan sebagai dasarnya.
Menurut mereka masyarakat diatur dengan adil, tetapi semua orang terpenuhi, seperti
kebutuhan akan sandang, makanan, papan. Secara konkret, sosialisme sebagian besar
merupakan masalah masalah-masalah pekerjaan bagi pekerja dalam konteks industrialisasi.
Dalam teori sosialisme tentang keadilan, terkenal adalah prinsip yang oleh Karl Marx (1818-
1883) diambil alih dari sosialis Francis, Louis Blanc (1811-1882): “ From each according to
his ability, to each according to his needs “. Bagian pertama prinsip ini berbicara tentang
bagimana burdens harus dibagi: Hal-hal yang menuntut pengorbanan. Sedangkan bagian
kedua menjelaskan bagaimana benefits harus dibagi: hal-hal yang enak belum didapat. Hal-
hal yang berat harus dibagi sesuai dengan kemampuan. Tidak adil jika orang cacat,
umpamanya, diharuskan bekerja sama berat seperti orang yang seluruh anggota badannya
Kepada orang menyandang cacat badan harus sesuai pekerjaan yang cocok dengan
kemampuannya. Hal-hal yang enak untuk diporoleh harus diberikan sesuai dengan
kebutuhan. Misalnya, pelayanan medis adil, jika diberikan dengan kebutuhan orang sakit.
Adil tidaknya gaji atau upah juga harus diukur dengan kebutuhan.

Perlu diakui, kebutuhan dan kemampuan memang tidak dapat diabaikan dalam
melaksanakan distribusi keadilan. Tetapi timbul kesulitan besar juga, bila prinsip ini dipakai
sebagai pegangan satu-satunya untuk mewujudkan keadilan distributif. Terutama dua macam
kritik dapat dikemukakan, Pertama, jika diperlukan, satu-satunya yang disetujui untuk
melaksanakan keadilan di bidang penggajian. para pekerja tidak akan merasa bermotivasi
untuk bekerja keras, Gaji atau upah yang diperoleh sudah dipastikan sebelum orang mulai
bekerja, karena kebutuhannya sudah jelas. Bekerja keras atau bermalas malasan tidak akan
mengubah pendapatannya. Sistem imbalan kerja yang berpedoman pada kebutuhan saja akan
mengakibatkan produktivitas kerja rendah dan ekonomi akan mandek. Seperti kita ketahui, di
negara-negara komunis dulu memang terjadi demikian.

Kritik kedua menyangkut kemampuan sebagai satu-satunya alasan untuk membagi


pekerjaan. Terutama dalam sosialisme komunistis yarg totaliter, prinsip ini mengakibatkan
orang yarg berkemampuan harus menerima saja, bila negara membagi pekerjaan kepadanya.
Jika orang mempunyai kamampuan untuk menjadi pilot dan negara sedang membutuhkan
profesional-profesional ini, ia harus menerima pekerjaan ini sebagai profesinya, Tetapi belum
tentu profesi pilot merjadi pilihannyan juga. Cara mempraktekkan keadilan distributif ini
mengabaikan hak seseorang untuk memilih profesinya sendiri

3. Teori liberalistis

Liberalisme justru menolak pembagian atas dasar kebutuhan sebagai tidak adil. Karena
manusia adalah makhluk bebas, kita harus membagi menurut usaha-usaha bebas dari
individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk
memperoleh sesuatu. Liberalisme menolak sebagai sangat tidak etis sikap free rider: benalu
yang merumping pada usaha orang lain tanpa mengeluarkan air keringat sendiri. Orang
seperti itu tidak mengakui hak sesamanya untuk menikmati hasil jerih payahnya. Dalam teori
liberalistis tentang keadilan distributif digaris bawahi pentingnya dari prinsip 3 (hak), prinsip
4 (usaha) tapi secara khusus prirsip 6 (jasa atau prestasi), Terutama prestasi mereka lihat
sebagai perwujudan pilihan bebas seseorang.

Salah satu kesulitan pokok dengan teori keadilan distributif ini adalah bagaimana orang
yang tidak bisa berprestasi karena cacat mental atau fisik orang yang menganggur di luar
kemauannya sendiri, dan sebagainya? Mereka sebenarnya ingin berprestasi juga. tapi tidak
bisa. Karena itu mereka tidak mendapat apa-apa. Apakah cara seperti itu bisa dianggap adil?

Teori keadilan distibutif yang membatasi diri pada satu prinsip saja, ternyata sulit
dipertahankan. Untuk membagi dengan adil, kita harus memperhatikan semua prinsip
material. Hal itu berarti, dalam suatu keadaan konkret kita harus mempertimbangkan prinsip
mana yang paling penting. Kemungkinan tidak tertutup, berbagai orang mempunyai beda
tentang apa yang dianggap sebagai pembagian adil. Jadi, di sini faktor subyektif tidak
mungkin disingkirkan Salah satu tugas untuk setiap masyarakat demokratis ialah bersama-
sama mergembangkan kesepakatan tentang yang bisa dinilai sebagai pembagian adil dalam
situasi tertentu. Berikut ini kami memperkenalkan secara singkat dua teori keedilan distribatif
dari abad ke-20 yang justru berusaha merumuskan bagaimana keadilan distributif harus
diwujudkan dalam mesyarakat yang demokratis.

Anda mungkin juga menyukai