Anda di halaman 1dari 35

GAMBARAN POLA ASUH ORANG TUA

DALAM PENERAPAN GIZI


ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS USIA 6-12 TAHUN
DI SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) “WANTUWIRAWAN”
SALATIGA

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun oleh:
Eva Ardiana
462010041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Pengasuhan dan penerapan gizi yang tepat bagi anak-anak akan

lebih baik dilakukan sedini mungkin agar bermanfaat bagi pembentukan

kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di masa depan. Menurut data

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi kependekan,

kekurusan, dan kegemukan tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-12

tahun (usia sekolah dasar), yaitu sebesar 25,6 %, 11,2 %, dan 9,2 %.

Masalah ini erat kaitannya dengan tingkat pendidikan orang tua dan

jenis pekerjaan orang tua, serta keadaan ekonomi keluarga. Semakin

tinggi tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan orang tua serta keadaan

ekonomi keluarga, semakin baik asupan gizi bagi anak-anak, sehingga

semakin rendah prevalensi kekurusan anaknya. Sementara semakin

rendah tingkat pendidikan orang tua dan semakin rendah keadaan

ekonomi keluarga, prevalensi kekurusan cenderung lebih tinggi

(Kementerian Kesehatan RI, 2010).


WHO pada tahun 2007 mencatat bahwa jumlah anak berkebutuhan

khusus di Indonesia adalah sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18

tahun atau sebesar 6.230.000 anak dan mengalami penurunan jumlah

anak berkebutuhan khusus, pada tahun 2010 jumlah anak

berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7% dari total jumlah anak


usia 0-18 tahun atau sebesar 6,2 juta anak (www.gizikia.depkes.go.id,

2012).
Pemenuhan gizi yang baik akan menghasilkan Sumber Daya

Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu sehat, cerdas, dan memiliki fisik

yang tangguh serta produktif. Anak berkebutuhan khusus, entah fisik

ataupun mental, para orang tua harus bisa memberikan asupan dengan

mengatur pola makanan yang bernutrisi bagi anaknya. Cakupan gizi

bagi anak berkebutuhan khusus harus tercukupi, baik karbohidrat,

protein, vitamin dan mineral. Sebab, asupan gizi yang baik secara

umum bisa mengurangi efek keterbatasan yang mereka miliki.

Sebaliknya, kekurangan nutrisi dalam tubuhnya bisa memperparah

cacat yang dimiliki anak dan menghambat perkembangan sel-sel otak

anak serta dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik maupun

mental pada anak (www.gizikia.depkes.go.id, 2012).


Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada

tanggal 27 Februari 2014, peneliti melakukan pengambilan data di

Dinas Kesehatan tentang status gizi anak SLB di Salatiga serta data

kesehatan lainnya mengenai anak berkebutuhan khusus, dan peneliti

memperoleh hasil bahwa tidak ada data kesehatan baik dalam

pelayanan kesehatan, kesehatan reproduksi, serta status gizi anak SLB

(IMT), sehingga peneliti melakukan pengambilan data langsung ke

sekolah SLB “Wantuwirawan” Salatiga.


Siswa anak berkebutuhan khusus di SLB “Wantuwirawan” Salatiga

yang terdiri dari SLB-A (Tunanetra), SLB- B (Tunarungu), SLB-C

(Tunagrahita), dan SLB-D (Tunadaksa). Jumlah total siswa 90, terdiri


dari siswa SD sampai siswa SMA. Dari total siswa yang aktif berangkat

ke sekolah sebanyak 72 siswa, karena siswa berkebutuhan khusus

cenderung berangkat sekolah sesuka hatinya. Jumlah anak SLB-A 10

siswa, SLB-B 20 siswa, SLB-C 33 siswa, dan SLB-D 9 siswa.


Peneliti melakukan wawancara singkat kepada Guru SLB

“Wantuwirawan” Salatiga mengenai gizi anak, dan diperoleh hasil

bahwa banyak anak SLB yang mengalami gizi kurang, dikarenakan

faktor keadaan ekonomi, pendidikan, dan pengetahuan orang tua

mengenai gizi anak. Dalam upaya membantu kecukupan asupan gizi

pihak sekolah mengadakan PMT (Pemberian Makanan Tambahan),

seperti: memberikan susu, bubur kacang hijau, buah-buahan, dan lain-

lain. Kegiatan tersebut diadakan dalam dua minggu-an atau sebulan

sekali. Jika pihak sekolah mempunyai kegiatan yang padat maka

kegiatan PMT ditiadakan. Dengan demikian kegiatan PMT ini belum

berjalan dengan optimal.


Pengamatan awal juga dilakukan peneliti melalui pengukuran status

gizi pada semua siswa SDLB, SMPLB, SMALB A-D. Dari pengukuran

antopometri tersebut dijumpai anak yang mengalami status gizi kurang

banyak dialami oleh anak SDLB yang berumur 6-12 tahun. Kenyataan

inilah yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, mengapa status gizi

siswa SDLB pada rentang usia tersebut dalam kategori gizi kurang.

Hasil Pengukuran berdasarkan antropometri pada 23 anak

berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut:


1. SD SLB-A (Tunanetra) dijumpai 1 anak dengan status gizinya

normal dan 2 anak dengan status gizinya kurus.


2. SD SLB-B (Tunarungu) didapati 2 anak dengan status gizinya

normal, 3 anak dengan status gizinya kurus, 2 anak dengan

status gizinya sangat kurus, dan 1 anak dengan status gizinya

obesitas.
3. SD SLB-C (Tunagrahita) ditemukan 2 anak status gizinya sangat

kurus, 1 anak dengan status gizinya kurus, 3 anak dengan status

gizinya normal, dan 1 anak dengan status gizinya obesitas.


4. SD SLB-D (Tuna Daksa) dijumpai 2 anak dengan status gizinya

normal, 1 anak dengan status gizinya kurus, dan 2 anak dengan

status gizinya sangat kurus.


Jadi secara keseluruhan, anak yang status gizinya normal sebanyak

8 siswa, anak yang status gizinya kurus sebanyak 7 siswa, anak yang

status gizinya sangat kurus sejumlah 6 siswa, dan anak yang status

gizinya obesitas sejumlah 2 siswa.


Lebih lanjut peneliti melakukan wawancara singkat terhadap 4 orang

tua siswa dari siswa tunanetra, tunarungu, tunadaksa dan tunagrahita

tentang gambaran pola asuh orang tua dalam penerapan gizi anak. Dari

wawancara tersebut diketahui bahwa pendidikan, pengetahuan, dan

sosial ekonomi mempengaruhi penerapan gizi dan status gizi anak.

Selain itu, psikologis anak juga mempengaruhi pola makan anak,

karena psikologis masing-masing anak berkebutuhan khusus itu

berbeda-beda. Psikologis tersebut tercermin melalui sikap dan

kepribadian yang cenderung mementingkan diri sendiri, mudah marah,

sensitif, ego, penyendiri, agresif, pendiam dan mudah tersinggung.

Dalam kondisi yang demikian orang tua menuruti keinginan anak dan
memberikan makanan kesukaannya, tanpa memperhatikan gizi yang

baik bagi anak.


Berdasarkan masalah tersebut di atas, peneliti tertarik untuk

mengetahui gambaran pola asuh orang tua dalam penerapan gizi bagi

anak berkebutuhan khusus tingkat SD usia 6-12 tahun di Sekolah Luar

Biasa “Wantuwirawan” Salatiga yang belum terpenuhi kebutuhan

gizinya secara optimal.


1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana status gizi berdasarkan antropometri anak berkebutuhan

khusus tingkat SD dari SLB A-D usia 6-12 tahun di SLB

“Wantuwirawan” Salatiga?
2. Bagaimana pola asuh orang tua dalam penerapan gizi anak dalam

memberikan pola makan?


3. Faktor-faktor apa saja yang relevan terkait pola asuh orang tua

dalam penerapan gizi anak di SLB “Wantuwirawan” Salatiga?


4. Bagaimana kaitan perilaku anak terhadap pola makan?
1.3.Batasan Masalah
Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi dalam penerapan gizi

dan status gizi anak berkebutuhan khusus, ada beberapa faktor-faktor

yang mempengaruhi gizi anak seperti tingkat pendidikan, pengetahuan,

dan pendapatan orang tua.


Peneliti membatasi penelitian hanya menjelaskan tentang gambaran

pola asuh orang tua dalam penerapan gizi bagi anak berkebutuhan

khusus, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola asuh orang

tua dalam penerapan gizi anak berkebutuhan khusus tingkat SD usia 6-

12 tahun di SLB “Wantuwirawan Salatiga”.


1.4.Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan gambaran pola asuh orang

tua dalam penerapan gizi pada anak berkebutuhan khusus tingkat

SD usia 6-12 tahun di SLB “Wantuwirawan” Salatiga.


2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan status gizi berdasarkan antropometri anak

berkebutuhan khusus tingkat SD dari SLB A-D usia 6-12 tahun di

SLB “Wantuwirawan” Salatiga.


b. Mengetahui bagaimana pola asuh orang tua dalam penerapan

gizi anak dalam memberikan pola makan.


c. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang relevan terkait pola asuh

orang tua dalam penerapan gizi anak di SLB “Wantuwirawan”

Salatiga.
d. Menjelaskan kaitan antara perilaku anak terhadap pola makan.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Bagi Peneliti
Mengetahui bagaimana penerapan gizi pada anak berkebutuhan

khusus, serta menambah ilmu dan wawasan bagi peneliti mengenai

gizi bagi anak berkebutuhan khusus.


b. Bagi Orang Tua
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi keluarga, terutama bagi

orang tua anak berkebutuhan khusus untuk memenuhi kebutuhan

gizi anaknya.
c. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam penerapan

gizi yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus.


d. Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Penelitian ini diharapkan berguna bagi anak berkebutuhan khusus

agar anak ABK mengetahui bahwa penerapan gizi bagi dirinya itu

sangat penting bagi kesehatan dan kecerdasan otak.


e. Bagi Profesi Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapakan dapat berguna bagi tenaga-tenaga

kesehatan, karena dapat mengetahui keadaan gizi pada anak

berkebutuhan khusus, sehingga dalam penerapan gizi bagi anak

dapat tercukupi.

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Teori Dasar


2.1.1. Pola Asuh
1. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh merupakan pola interaksi antara

orang tua dan anak, yaitu bagaimana cara sikap atau

perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak,

termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan


nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang

serta menunjukkan sikap dan perilaku baik, sehingga

dijadikan panutan bagi anaknya.


2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
1. Tingkat Pendapatan Keluarga
Keadaan ekonomi keluarga relatif lebih mudah

diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi

pangan, dimana konsumsi pangan pada balita

ditentukan dari pola asuh gizi, terutama pada

keluarga golongan miskin. Hal ini disebabkan

karena penduduk golongan miskin menggunakan

sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi

kebutuhan makanan. Dua perubah ekonomi yang

cukup dominan sebagai determinan pola asuh gizi

adalah pendapatan keluarga dan harga (baik

harga pangan maupun harga komoditas

kebutuhan dasar) (Yayuk , dkk 2004).


Perubahan pendapatan dapat mempengaruhi

perubahan pola asuh gizi yang secara langsung

mempengaruhi konsumsi pangan pada balita.

Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar

peluang untuk membeli pangan dengan kualitas

dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya

penurunan pendapatan akan menyebabkan

penurunan dalam hal kualitas dan penurunan


kuantitas pangan yang dibeli (Yayuk Farida B, dkk

2004).
2. Tingkat Pendidikan Orang Tua
Menurut Kunaryo Hadikusumo (1996) yang

dikutip oleh Hardianto (2001) tingkat pendidikan

adalah jenjang aktifitas dan usaha manusia untuk

meningkatkan kepribadiannya dengan jalan

membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani

(pikir, rasa, karsa,mcipta dan budi nurani) dan

jasmani (panca indera dan

keterampilanketerampilan) melalui pendidikan

formal. Adapun tingkat pendidikan di negara kita

meliputi : pendidikan dasar, pendidikan menengah

dan pendidikan tinggi.


Pendidikan orang tua merupakan salah satu

faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak,

karena dengan pendidikan yang baik, maka orang

tua dapat menerima segala informasi dari luar

terutama tentang cara pengasuhan anak yang

baik/cara mempraktekkan pola asuh dalam

kehidupan sehari-hari, bagaimana cara menjaga

kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya

(Soetjiningsih, 1995).
3. Tingkat Pengetahuan Orang Tua
Suatu hal yang meyakinkan tentang

pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada

tiga kenyataan :

a. Status gizi yang cukup adalah penting bagi

kesehatan dan kesejahteraan.

b. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika

makanan yang dimakannya mampu

menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk

pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan dan

energi.

c. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu

sehingga penduduk dapat belajar

menggunakan pangan dengan baik bagi

kesejahteraan gizi.

Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi

tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan

adalah umum disetiap negara di dunia.

Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan

yang bergizi merupakan faktor penting dalam

masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting

dari gangguan gizi adalah kurangnya

pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk

menerapkan informasi, dengan pengetahuan


yang kurang dapat menentukan pola asuh gizi

yang dilaksanakan sehari-hari (Suhardjo, dkk,

1986).

4. Jumlah Anggota Keluarga

Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan

berpengaruh terhadap pembagian pangan pada

masing-masing anggota keluarga. Pada keluarga

yang memiliki balita, dengan jumlah anggota

keluarga yang besar bila tidak didukung dengan

seimbangnya persediaan makanan di rumah

maka akan berpengaruh terhadap pola asuh yang

secara langsung mempengaruhi konsumsi

pangan yang diperoleh masing-masing anggota

keluarga terutama balita yang membutuhkan

makanan pendamping ASI.

2.1.2. Orang Tua


Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari

ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan

perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah

keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk

mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya

untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan

anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat

(Adwinta, 2012).
2.1.3. Gizi
1. Pengertian Gizi
Gizi (Nutrition) adalah suatu proses organisme

menggunakan makanan yang di konsumsi secara

normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-

zat yang tidak di gunakan untuk mempertahankan

kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari

organ-organ serta menghasilkan energi (Supariasa,

dkk., 2013).
Zat Gizi (Nutrients) adalah ikatan kimia yang

diperlukan oleh tubuh untuk melakukan fungsinya

yaitu menghasilkan energi, membangun dan

memelihara jaringan serta mengukur prosesproses

kehidupan (Sunita Almatsier, 2003).


2. Status Gizi
Menurut Agus Krisno (2009), secara umum

status gizi dibagi menjadi tiga kelompok , yaitu

sebagai berikut:
a. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang)
Dalam hal ini asupan gizi, seimbang dengan

kebutuhan gizi seseorang yang bersangkutan.

Kebutuhan gizi basal, kegiatan, dan pada

keadaan fisiologis tertentu, serta dalam keadaan

sakit.
b. Gizi Kurang
Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat

(patologis) yang timbul karena tidak cukup makan


dengan demikian konsumsi energi dan protein

kurang selama jangka waktu tertentu. Di negara

sedang berkembang, konsumsi makanan yang

tidak menyertakan pangan cukup energi,

biasanya juga kurang dalam satu/lebih zat gizi

esensial lainnya. Berat badan yang menurun

adalah tanda utama dari gizi kurang.


c. Gizi Lebih
Keadaan patologis (tidak sehat) yang disebabkan

kebanyakan makan. Mengokonsumsi energi lebih

banyak dari pada yang diperlukan tubuh untuk

jangka waktu yang panjang dikenal sebagai gizi

lebih. Kegemukan (obesitas) merupakan tanda

pertama yang biasa dapat dilihat dari keadaan

gizi lebih. Obesitas jika dibiarkan berkelanjutan

akan mengakibatkan berbagai penyakit seperti

tekanan darah tinggi, aterosklerosis, gangguan

kinerja jantung, diabetes melitus dan lain

sebagainnya.

3. Fakor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi

seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi status

gizi dibagi menjadi dua yaitu secara langsung dan

tidak langsung.
1. Faktor yang mempengaruhi secara langsung :

Menurut Soekirman (2000) penyebab

langsung timbulnya gizi kurang pada anak adalah

konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Kedua

penyebab tersebut saling berpengaruh. Dengan

demikian timbulnya gizi kurang tidak hanya

karena kurang makanan tetapi juga karena

adanya penyakit infeksi, terutama diare dan ispa.

Anak yang mendapatkan makanan cukup baik

tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya

dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak

yang tidak memperoleh makanan cukup dan

seimbang daya tahan tubuhnya dapat melemah.

Dalam keadaan demikian anak mudah diserang

infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak

kekurangan makanan. Akhirnya berat badan anak

menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung

anak dapat menjadi kurus dan timbulah kejadian

kurang gizi.

2. Faktor yang mempengaruhi secara tidak

langsung:

a. Pola Asuh Gizi


Pola Asuh Gizi merupakan faktor yang secara

langsung mempengaruhi konsumsi makanan

pada anak. Dengan demikian pola asuh gizi

dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

merupakan faktor tidak langsung dari status

gizi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi

pola asuh gizi sudah dijelaskan diatas

diantaranya: tingkat pendapatan keluarga,

tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan

ibu, jumlah anggota keluarga dan budaya

pantang makanan. Selain itu, faktor-faktor

yang mempengaruhi status gizi adalah jumlah

dan jenis makanan, pembagian makanan,

pantangan pada makanan tertentu, kesukaan

terhadap jenis makanan tertentu, kebiasaan

makan, selera makan, sanitasi makanan

(penyiapan, penyajian, penyimpanan), dan

pengetahuan gizi.

b. Psikologi

Menurut Sarwono Waspadji (2003) psikologi

seseorang mempengaruhi pola makan.

Makanan yang berlebihan atau kekurangan

dapat terjadi sebagai respons terhadap


kesepian, berduka atau depresi. Dapat juga

merupakan respons terhadap rangsangan dari

luar seperti iklan makanan atau kenyataan

bahwa ini adalah waktu makan.

c. Genetik

Genetik menjadi salah satu faktor dari status

gizi. Hal ini dijelaskan oleh Ali Khomsan

(2003) pada anak dengan status gizi lebih

atau obesitas besar kemungkinan dipengaruhi

oleh orang tuanya (herediter). Bila salah satu

orang tua mengalami gizi lebih atau obes

maka peluang anak untuk mengalami gizi

lebih dan menjadi obesitas sebesar 40%, dan

kalau kedua orang tua mengalami gizi lebih

atau obes maka peluang anak meningkat

sebesar 80%. Selain genetik atau hereditas

ada faktor lain yang mempengaruhi yaitu

lingkungan, dimana lingkungan ini mempunyai

pengaruh terhadap pola makan seseorang.

d. Pelayanan Kesehatan

Penyebab kurang gizi yang merupakan faktor

penyebab tidak langsung yang lain adalah

akses atau keterjangkauan anak dan keluarga


terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan ini meliputi imunisasi,

pemeriksaan kehamilan, pertolongan

persalinan, penimbangan anak, dan sarana

lain seperti keberadaan posyandu dan

puskesmas, praktek bidan, dokter, dan rumah

sakit (Soekirman 2000).

2.1.4. Pengukuran Antopometri


1. Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) adalah berat badan

dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter

kuadrat (m2) (Sugondo, 2006). IMT merupakan

indikator yang paling sering digunakan dan praktis

untuk mengukur tingkat populasi berat badan kurang,

normal, atau lebih dan obesitas pada orang dewasa

maupun anak-anak.
IMT juga dapat diterapkan untuk anak dan

remaja, dengan cara yang sama menghitung nilai

IMT seperti pada orang dewasa, kemudian nilai

tersebut di-plot-kan ke grafik CDC IMT-berdasarkan

umur (CDC, 2011). Dalam grafik tersebut akan

terlihat persentil IMT-berdasarkan umur si anak, dari

nilai persentil inilah dapat ditentukan apakah anak

kurus, normal atau obese (CDC, 2011).


2. Cara Mengukur Indeks Masa Tubuh (IMT)
Menurut (WHO, 2005) IMT/U (dibaca Indeks

Massa Tubuh menurut Umur) digunakan untuk anak-

anak usia diatas 5 tahun hingga 18 tahun. Pada saat

ini, yang paling sering dilakukan untuk menyatakan

indeks tersebut adalah dengan Z-skor. Z-skor adalah

deviasi nilai seseorang dari nilai median populasi

referensi dibagi dengan simpangan baku populasi

referensi.

IMT = Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m)2


Sangat Kurus <-3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan
Indeks Massa Tubuh
<-2 SD
menurut Umur
Normal -2 SD sampai dengan
(IMT/U)
1 SD
Anak Umur 5-18
Gemuk >1 SD sampai dengan
Tahun
2 SD
Obesitas >2 SD

Klasifikasi IMT menurut Kemenkes RI 2010 untuk anak usia 5-18 tahun

Z score = Nilai IMT yang diukur – Median Nilai IMT (referensi)


Standar Deviasi dari standar/referensi

Nilai Z-skor Klasifikasi


z-skor ≥ +2 Obesitas
+1 < z-skor < +2 Gemuk
-2 < z-skor < +1 Normal
-3 < z-skor < -2 Kurus
z-skor < -3 Sangat kurus
2.1.5. Anak Berkebutuhan Khusus
1. Pengertian
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang

memiliki perbedaan dengan anak-anak secara umum

atau rata-rata anak seusianya.


Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang

memiliki kelainan pada fisik, mental, tingkah laku,

atau indranya memiliki kelainan sehingga untuk

mengembangkan kemampuannya membutuhkan

PLB (Pendidikan Luar Biasa) (Hargio Santoso, 2012).


2. Macam-Macam Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Kauffman & Hallahan (2006) dan

Bendi Delphie (2006) tipe-tipe kebutuhan khusus

yang selama ini menyita perhatian orangtua dan guru

adalah (1) tuna grahita (mental retardation) atau anak

dengan hambatan perkembangan (child with

development impairment), (2) kesulitan Belajar

(learning disabilities) atau anak yang berprestasi

rendah, (3) hiperaktif (Attention Deficit Disorder with

Hyperactive ), (4) tunarungu wicara (communication

disorder and deafness), (5) tunanetra atau anak

dengan hambatan penglihatan (Partially seing and

legally blind), (6) autistik, (7) tunadaksa (physical

handicapped), dan (8) anak berbakat (giftedness and

special talents).
Menurut E. Kosasih tahun 2012, anak-anak

yang tergolong jenis ABK adalah sebagai berikut:


a. Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan yang

terjadi pada anak yang mengalami kondisi

menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak

mengalami keterbatasan dari segi komunikasi,

interaksi sosial, dan perilaku.


b. Cerebral Palsy
Cerebral palsy (CP) adalah gangguan kenali

terhadap fungsi motorik dikarenakan kerusakan

pada otak yang sedang bekembang. Menurut

World Commision on CP, cerebral palsy adalah

suatu sindroma, yakni terdapatnya gangguan

pada sistem motorik, sikap tubuh atau gejala saraf

laninnya dengan atau tanpa melibatkan

keterbelakangan mental yang disebabkan

disfungsi.

c. Down Sindrome
Down sindrome adalah kelainan kromosom dan

kelainan itu berdampak pada keterbelakangan

pertumbuhan fisik dan mental.


d. Tunadaksa
Tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota

tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai

akibat bawaan, luka, penyakit, atau pertumbuhan


yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan

pembelajarannya perlu layanan secara khusus.


e. Tunagrahita
Tunagrahita adalah suatu kondisi anak yang

kecerdasannya mengalami penurunan jauh

dibawah rata-rata dan ditandai dengan

keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan

terhadap komunikasi sosial.


f. Tunanetra
Tunanetra adalah ketidakmampuan seseorang

dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indra

penglihatan. Tunanetra mempunyai keterbatasan

dalam melihat mislanya tidak bisa melihat gerakan

tangan pada jarak kurang dari 1 meter dan bidang

penglihatan tidak lebih luas dari 20 derajat.


g. Tunarungu
Tunarungu adalah kekurangan atau kehilangan

pendengran atau kemampuan mendengar yang

disebabkan karna keruskaan fungsi atau seluruh

alat atau organ-organ pendengaran, baik

menggunakan maupun tanpa alat bantu dengar.

3. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus


Karakteristik masing-masing jenis anak

berkebutuhan khusus menurut Kemenkes RI (2010)

dan Sutjihati (2012), dapat diuraikan sebagai berikut:


a. Tunanetra
Karakteristik anak tuna netra antara lain:

mempunyai kemampuan berhitung, menerima


informasi dan kosakata hampir menyamai anak

normal biasa, tetapi mengalami kesulitan dalam

hal pemahaman yang berhubungan dengan

penglihatan, kesulitan penguasaan ketrampilan

sosial yang ditandai dengan sikap tubuh yang

tidak menentu, agak kaku, serta antara ucapan

dan tindakan kurang sesuai karena tidak dapat

menegtahui situasi yang ada di lingkungan

sekitarnya. Umumnya mereka menunjukan

kepekaan indera pendengaran dan perabaan

yang lebih baik dibandingkan dengan anak

normal, dan sering menggosokan-gosokan

mata dan meraba-raba sekelilingnya.


Keadaan emosi anak tuna netra seperti

menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta

sangat menuntut pertolongan atau perhatian

dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya

serta beberapa gejala atau pola emosi yang

negatif dan berlebihan tersebut adalah

perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah

marah, iri hati, dan kesedihan yang berlebihan.


b. Tunarungu/Tunawicara
Anak tuna rungu/wicara mengalami

gangguan komunikasi secara verbal karena

kehilangan seluruh atau sebagian daya


pendengarannya, sehingga mereka

menggunakan bahasa isyarat dalam

berkomunikasi, oleh karena itu pergaulan

dengan orang normal mengalami hambatan.

Selain itu anak tuna rungu/wicara mengalami

ego-sentris yang melebihi anak normal biasa,

cepat marah, dan mudah tersinggung.

Kesehatan fisik pada umumnya sama dengan

anak normal biasa.


Kekurangan akan pemahaman bahasa

lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak

tuna rungu menafsirkan sesuatu secara negatif

atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi

emosinya. Tekanan pada emosinya itu

menimbulkan sikap menutup diri, bertindak

agresif, atau sebaliknya menampakan

kebimbangan dan keragu-raguan.


c. Tunagrahita
Anak tunagrahita memiliki prestasi

sekolah kurang secara menyeluruh, tingkat

kecerdasan (IQ) dibawah 70, memiliki

ketergantungan pada orang lain secara

berlebihan, kurang tanggap, penampilan

fisiknya kurang proposional, perkembangan

bicara terlambat dan bahasa terbatas.


Anak tunagrahita pria memiliki

kekurangan berupa tidak matangnya emosi,

depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak

dapat dipercaya, impulsif, lancang dan

merusak. Anak tuna grahita wanita mudah

dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang

dapat menahan diri, dan cenderung melanggar

ketentuan.
d. Tunadaksa
Tunadaksa memiliki anggota tubuh tidak

lengkap, bentuk anggota tubuh dan tulang

belakang tidak normal, kemampuan gerak

sendi terbatas, ada hambatan dalam

melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari.


Orang tua anak tunadaksa sering

memperlakukan anaknya dengan sikap terlalu

melindungi, misalnya dengan memenuhi

segala keinginannya, melayani secara

berlebihan, dan sebagainya. Disamping itu ada

orang tua yang menyebabkan anak-anak tuna

daksa merasakan ketergantungan sehinga

merasa takut serta cemas dalam menghadapi

lingkungan yang tidak dikenalnya.


2.2. Kerangka Konseptual

Psikologis

Kebutuhan ABK Pola Asuh Orang Tua


Pangan dalam Penerapan
Biologis Sandang
Gizi Anak dan Faktor-
Papan Faktor yang
Mempengaruhi Pola
Status
Asuh GiziTua
Orang
Anak
1. Gizi Baik
2. Gizi Kurang
3. Gizi Buruk

Pemenuhan

Ket: Gizi ABK


Gizi ABK
: Yang Diteliti

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan

fenomenologi merupakan suatu pendekatan yang mempelajari

makna dari pengalaman manusia menjalani suatu fase

kehidupannya. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang

memanfaatkan wawancara terbuka dalam memahami sikap,

pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok

orang, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan


bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2010).


3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang telah dilakukan di sekolah SLB

“Wantuwirawan” Salatiga.
3.3. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai pada tanggal 14 Juni 2014 sampai

tanggal 17 Juli 2014.


3.4. Populasi dan Sampel
A. Populasi
Menurut Sugiyono (2009) populasi merupakan

seluruh subyek atau obyek dengan karakteristik tertentu

yang akan diteliti, bukan hanya obyek atau subyek yang

dipelajari saja tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang

dimiliki subyek atau obyek tersebut. Menurut Kuntoro

(2008) arti populasi adalah kumpulan semua elemen atau

individu dan kepadanya peneliti akan membuat inferensi

atau generalisai.
Populasi yang akan diambil oleh peneliti adalah orang

tua anak berkebutuhan khusus tingkat SD umur 6-12 tahun

di SLB “Wantuwirawan” Salatiga kelas SLB-A, SLB-B, SLB-

C, dan SLB-D.
B. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan

diteliti atau sebagian jumlah dari karateristik yang dimiliki

oleh populasi. Tujuan ditentukannya sampel dalam

penelitian adalah untuk mempelajari karakteristik suatu

populasi, karena tidak dimungkinkannya peneliti melakukan


penelitian dipopulasi, karena jumlah populasi yang sangat

besar, keterbatasan waktu, biaya, atau hambatan lainnya

(A. Aziz, 2010). Peneliti mengambil sample menggunakan

teknik Purposive Sampling. Purposive sampling dilakukan

untuk sampel yang tidak diambil secara acak, akan tetapi

sampel dipilih mengikuti kriteria tertentu dan kepada riset

partisipan juga dinyatakan mengenai kesediannya untuk

menjadi riset partispan. Di dalam penelitian kualitatif, teknik

purposive sampling sangat erat kaitannya dengan faktor-

faktor konstektual dan maksud sampling, dalam hal ini

bertujuan untuk menjaring sebanyak-banyaknya informasi

dari berbagai macam sumber dan bangunannya

(constructions) (Moleong, 2007 dan Saryono, 2008). Peneliti

mengambil sampel dari orang tua anak berkebutuhan

khusus tingkat SD yang berumur 6-12 tahun di SLB “Wantu

Wirawan” Salatiga setelah dilakukan pengukuran

antropometri, yang status gizinya kurang dan normal setelah

melakukan pengukuran status gizi berdasarkan

antropometri.
Kriteria inklusi dari sampel penelitian ini adalah:
1. Orang tua murid tingkat SDLB A-D yang memiliki

anak berumur 6-12 tahun SLB “Wantuwirawan “

Salatiga.
2. Dapat mendengar dan berbicara dengan jelas,

dan mampu berpartisipasi dalam wawancara.


3. Mengisi informed consent.
3.5. Partisipan Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini adalah orang tua siswa

tingkat SD kelas SLB-A, SLB-B, SLB-C, dan SLB-D berumur 6-

12 tahun yang di SLB “Wantuwirawan” Salatiga.


3.6. Teknik Pengumpulan Data
Menurut A. Aziz (2010) metode pengumpulan data

merupakan cara yang dilakukan dalam pengumpulan data

penelitian. Cara pengumpulan data tersebut meliputi

wawancara semi terstruktur, observasi, pengukuran, atau

melihat data statistik (data sekunder) seperti dokumentasi.


a. Wawancara
Wawancara merupakan metode dalam pengumpulan

data dengan mewawancarai secara langsung dari

responden yang diteliti, metode ini memberikan hasil

secara langsung, dan dapat dilakukan apabila ingin tahu

hal-hal dari responden sedikit. Dalam metode wawancara

ini dapat digunakan instrumen seperti pedoman

wawancara. Pedoman wawancara yang digunakan

peneliti yaitu semi structured (semi struktur). Peneliti

menanyakan beberapa pertanyaan terstruktur mengenai

peran orang tua dalam penerapan gizi anaknya dengan

teknik wawancara mendalam yaitu melakukan atau

mengajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang

sudah terstruktur yang kemudian diperdalam dengan


mengorek keterangan lebih lanjut mengenai pemenuhan

gizi (Saryono, 2008).

b. Observasi

Observasi digunakan dalam penelitian ini dengan

tujuan untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih

jelas melalui pengamatan yang dilakukan secara

langsung terhadap objek penelitian. Dengan observasi

dapat mengumpulkan data secara lebih cermat dan

terinci. Pengamatan dilakukan tidak terbatas hanya pada

apa yang dilihat. Disini peneliti melakukan pengamatan

atau observasi langsung terhadap subjek penelitian.

Kegiatan observasi meliputi: mencatat, dan

pertimbangan. (Saryono,2008). Peneliti melakukan

pengamatan terhadap pemenuhan nutrisinya, menu apa

saja dan pola makan yang diberikan setiap harinya,

seperti jenis makanan yang dikonsumsi, pantangan

makanan, kebiasaan makan, makanan kesukaan,

penyajian makanan, sehingga peneliti tahu pola asuh

orang tua dalam menerapkan pemberian kebutuhan gizi

pada anak.

c. Pengukuran
Peneliti melakukan pengukuran antropometri pada anak

berkebutuhan khusus dengan melakukan pengukuran

TB, dan BB.


d. Dokumentasi
Pada penelitian ini, dokumentasi dilakukan dengan

perekaman menggunakan hand phone, agar data yang

didapat lebih valid dan tidak ada yang informasi-informasi

mengenai pola asuh dan kedekatan orang tua dengan

anaknya yang terlewatkan (Saryono, 2008).


3.7. Analisa Data
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode Colaizzi

(Polit & Back, 2004) untuk analisa data. Peneliti memilih

metode Colaizzi karena metode ini merupakan metode yang

memvalidasi hasil dengan mengembalikan data ke partsipan.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah:


a. Membaca semua transkip data yang telah disusun untuk

mendapatkan data partisipan.


b. Membaca kembali transkip data yang ada dan

memberikan kutipan atau tanda data yang signifikan.


c. Membaca kembali setiap data yang signifikan yang telah

ditandai menjadi rumusan yang akan menjadi sebuah

tema sebelum dikelompokkan.


d. Mengelompokkan data-data yang signifikan menjadi

sebuah tema.
e. Menggabungkan hasil yang didapat dari tema kedalam

deskripsi yang mendalam tentang fenomena yang ada.


f. Merumuskan deskripsi yang mendalam tersebut ke dalam

kalimat yang tegas sebagai identifikasi.


g. Menanyakan kembail tentang partisipan tentang hasil

yang didapat sebagai tahap validasi terakhir.


3.8. Etika Penelitian
Etika dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting

dalam pelaksanaan sebuah penelitian mengingat penelitian

keperawatan akan berhubungan langsung dengan manusia,

maka segi etika penelitian harus diperhatikan karena manusia

mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian. Sebelum

melakukan penelitian, peneliti harus melakukan beberapa

prinsip etika penelitian, yaitu:

1. Informed consent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan

partisipan, dengan memberikan lembar persetujuan

(informed consent). Informed consent tersebut diberikan

sebelum penelitian dilaksanakan dengan memberikan

lembar persetujuan untuk menjadi partisipan. Tujuan

informed consent adalah agar partisipan mengerti maksud

dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika

partisipan bersedia maka mereka harus menandatangani

lembar persetujuan, serta bersedia untuk direkam dan jika

partisipan tidak bersedia maka peneliti harus menghormati

hak partisipan.
2. Anonimity (tanpa nama)
Merupakan etika dalam penelitian keperawatan dengan cara

tidak memberikan atau mencantumkan nama responden

pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada


lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

disajikan.
3. Kerahasiaan (confidentiality)
Merupakan etika dalam penelitian untuk menjamin

kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun

masalah-masalah lainnya, semua partisipan yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian

(Soekidjo, 2012)
3.9. Uji Keabsahan Data
Keabsahan data dalam penelitian ini, terdapat 4 macam

kriteria untuk memberikan validasi dan reability terhadap data

yang telah di dapat, antara lain; Credibility (derajat

kepercayaan), dependability (kebergantungan), confirmability

(kepastian), dan transferability (keteralihan).


1. Credibility (derajat kepercayaan)
Credibilty dapat dicapai dengan cara mengumpulkan data

subyektif dan selengkap mungkin. Uji kreadibilitas data

hasil penelitian kualitatif dilakukan dengan perpanjangan

pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian,

trianggulasi, diskusi dengan teman, analisis kasus negatif

dan membercheck (Sugiono, 2007). Pada penelitian ini

aspek kreadibilitas dipenuhi dengan melakukan

membercheck yaitu mengembalikan pada partisipan

transkip interview dan atau kisi-kisi tema yang berisi

ungkapan signifikan dan mempersilahkan partisipan jika


ingin merubah, menambah, atau mengurangi data.

Peneliti melakukan membercheck kepada partisipan

dengan menelepon partisipan untuk bertemu disekolah

saat anak pulang sekolah, saat orang tuanya menunggu

peneliti melakukan membercheck kepada partisipan

untuk merubah, menambah, atau mengurangi data.


2. Dependability (kebergantungan)
Dependability merupakan kestabilan data dari waktu ke

waktu dan pada tiap kondisi. Salah satu tekhnik untuk

mencapai dependability data adalah inquiry audit, yaitu

peneliti meneliti kembali data-data yang diperoleh dengan

cermat dan mencari data-data lain yang mendukung

validasi data. Data-data lain yang mendukung peneliti

yaitu mengambil dari teori dan konsep sebelumnya.


3. Confirmability (kepastian)
Confirmability merupakan objektifitas atau netralitas data,

dimana tercapai persetujuan anatara dua orang atau

lebih tentang relevansi data. Confirmability pada

penelitian ini adalah para pembaca dapat menelusuri

bagaimana peneliti melakukan analisis data, dimulai dari

frase bermakna sampai menentukan essential structure.


4. Transferability (keteralihan)
Hasil penelitian ini dapat diimplementasikan di tempat lain

dengan latar belakang yang hampir atau sama dengan

dilakukannya penelitian ini. Dengan demikian, penelitian

ini memenuhi kaidah transferability (Polit & Beck, 2004).

Anda mungkin juga menyukai