Anda di halaman 1dari 62

PROPOSAL PENELITIAN DAN CONTOH PROPOSAL

BY : KEN WIDYATWATY

A. BAGIAN AWAL
1.Halaman Judul
Judul : singkat,tepat,jelas,tidak banyak menimbulkan penafsiran yg beranekaragam.
Maksud usulan untuk menulis skripsi.
Logo Unniversitas
Nama Mahasiswa. NIM.
Fakultas,nama Universitas, Tahun
2.Halaman Persetujuan diisi nama pembimbing utama dan pembimbing pendamping.

B.BAGIAN UTAMA
1.Latar Belakang Berisi :
Perumusan masalah : alasan mengapa masalah tersebut perlu diteliti,menarik dan penting
dalam lingkup permasalahan yang luas.
Keaslian : masalah blm pernahn diteliti, atau beda dgn penelitian sebelumnya.
Faedah: berfaedah bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
2. Tujuan Penelitian : tulis scr spesifik tujuan yg akan dicapai.
3.Tinjaun Pustaka: uraian scr sistematis ttg penelitian sebelumnya yg berhub dgn obyek
kajian. Dan yunjukkan bahwa permasalahan yg akan diteliti blm terpecahkan scr
memuaskan. Cantumkan sumber dan nama peneliti. 4.Landasan Teori : dijabarkan dan
disusun sendiri oleh mahasiswa sbg tuntrutan untuk memecahkan masalah. Dpt
berbentuk uraian kualitatif, matematis atau persamaan sesuai dgn bidang ilmu.
5.Hipotesis. Pernyataan singkat yg disimpulkan dari teori dan tinjauan pustaka sbg
jawaban sementara atas penelitian.
Cara penelitian. Uraian ttg bahan, alat, jalannya penelitian,variabel dan
7. Jadwal. Tahapan,rincian kegiatan,waktu .
C. BAGIAN AKHIR
1.Daftar Pustaka
Buku :nama,th,judul,jilid,terbitan ke,nama penerbit,kota.
Majalah: nama,th,judul,nama majalah,jilid,nomer halaman yg diacu.
2. Lampiran . Misal kuesioner.
CONTOH PROPOSAL
GAMBARAN POLA ASUH ORANG TUA
DALAM PENERAPAN GIZI
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS USIA 6-12 TAHUN
DI SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) “WANTUWIRAWAN” SALATIGA

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun oleh:
Eva Ardiana
462010041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengasuhan dan penerapan gizi yang tepat bagi anak-anak akan lebih baik dilakukan sedini

mungkin agar bermanfaat bagi pembentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di masa

depan. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi kependekan, kekurusan,

dan kegemukan tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-12 tahun (usia sekolah dasar), yaitu

sebesar 25,6 %, 11,2 %, dan 9,2 %. Masalah ini erat kaitannya dengan tingkat pendidikan orang

tua dan jenis pekerjaan orang tua, serta keadaan ekonomi keluarga. Semakin tinggi tingkat

pendidikan dan jenis pekerjaan orang tua serta keadaan ekonomi keluarga, semakin baik asupan

gizi bagi anak-anak, sehingga semakin rendah prevalensi kekurusan anaknya. Sementara semakin

rendah tingkat pendidikan orang tua dan semakin rendah keadaan ekonomi keluarga, prevalensi

kekurusan cenderung lebih tinggi (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

WHO pada tahun 2007 mencatat bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia

adalah sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000 anak dan

mengalami penurunan jumlah anak berkebutuhan khusus, pada tahun 2010 jumlah anak

berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar

6,2 juta anak (www.gizikia.depkes.go.id, 2012).

Pemenuhan gizi yang baik akan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang

berkualitas, yaitu sehat, cerdas, dan memiliki fisik yang tangguh serta produktif. Anak

berkebutuhan khusus, entah fisik ataupun mental, para orang tua harus bisa memberikan asupan

dengan mengatur pola makanan yang bernutrisi bagi anaknya. Cakupan gizi bagi anak
berkebutuhan khusus harus tercukupi, baik karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Sebab,

asupan gizi yang baik secara umum bisa mengurangi efek keterbatasan yang mereka miliki.

Sebaliknya, kekurangan nutrisi dalam tubuhnya bisa memperparah cacat yang dimiliki anak dan

menghambat perkembangan sel-sel otak anak serta dapat mengakibatkan terjadinya gangguan

fisik maupun mental pada anak (www.gizikia.depkes.go.id, 2012).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 27 Februari 2014,

peneliti melakukan pengambilan data di Dinas Kesehatan tentang status gizi anak SLB di Salatiga

serta data kesehatan lainnya mengenai anak berkebutuhan khusus, dan peneliti memperoleh hasil

bahwa tidak ada data kesehatan baik dalam pelayanan kesehatan, kesehatan reproduksi, serta

status gizi anak SLB (IMT), sehingga peneliti melakukan pengambilan data langsung ke sekolah

SLB “Wantuwirawan” Salatiga.

Siswa anak berkebutuhan khusus di SLB “Wantuwirawan” Salatiga yang terdiri dari SLB-A

(Tunanetra), SLB- B (Tunarungu), SLB-C (Tunagrahita), dan SLB-D (Tunadaksa). Jumlah total

siswa 90, terdiri dari siswa SD sampai siswa SMA. Dari total siswa yang aktif berangkat ke

sekolah sebanyak 72 siswa, karena siswa berkebutuhan khusus cenderung berangkat sekolah

sesuka hatinya. Jumlah anak SLB-A 10 siswa, SLB-B 20 siswa, SLB-C 33 siswa, dan SLB-D 9

siswa.

Peneliti melakukan wawancara singkat kepada Guru SLB “Wantuwirawan” Salatiga

mengenai gizi anak, dan diperoleh hasil bahwa banyak anak SLB yang mengalami gizi kurang,

dikarenakan faktor keadaan ekonomi, pendidikan, dan pengetahuan orang tua mengenai gizi anak.

Dalam upaya membantu kecukupan asupan gizi pihak sekolah mengadakan PMT (Pemberian

Makanan Tambahan), seperti: memberikan susu, bubur kacang hijau, buah-buahan, dan lain-lain.

Kegiatan tersebut diadakan dalam dua minggu-an atau sebulan sekali. Jika pihak sekolah
mempunyai kegiatan yang padat maka kegiatan PMT ditiadakan. Dengan demikian kegiatan

PMT ini belum berjalan dengan optimal.

Pengamatan awal juga dilakukan peneliti melalui pengukuran status gizi pada semua siswa

SDLB, SMPLB, SMALB A-D. Dari pengukuran antopometri tersebut dijumpai anak yang

mengalami status gizi kurang banyak dialami oleh anak SDLB yang berumur 6-12 tahun.

Kenyataan inilah yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, mengapa status gizi siswa SDLB

pada rentang usia tersebut dalam kategori gizi kurang. Hasil Pengukuran berdasarkan

antropometri pada 23 anak berkebutuhan khusus adalah sebagai berikut:

1. SD SLB-A (Tunanetra) dijumpai 1 anak dengan status gizinya normal dan 2 anak dengan

status gizinya kurus.

2. SD SLB-B (Tunarungu) didapati 2 anak dengan status gizinya normal, 3 anak dengan

status gizinya kurus, 2 anak dengan status gizinya sangat kurus, dan 1 anak dengan status

gizinya obesitas.

3. SD SLB-C (Tunagrahita) ditemukan 2 anak status gizinya sangat kurus, 1 anak dengan

status gizinya kurus, 3 anak dengan status gizinya normal, dan 1 anak dengan status

gizinya obesitas.

4. SD SLB-D (Tuna Daksa) dijumpai 2 anak dengan status gizinya normal, 1 anak dengan

status gizinya kurus, dan 2 anak dengan status gizinya sangat kurus.

Jadi secara keseluruhan, anak yang status gizinya normal sebanyak 8 siswa, anak yang status

gizinya kurus sebanyak 7 siswa, anak yang status gizinya sangat kurus sejumlah 6 siswa, dan

anak yang status gizinya obesitas sejumlah 2 siswa.

Lebih lanjut peneliti melakukan wawancara singkat terhadap 4 orang tua siswa dari siswa

tunanetra, tunarungu, tunadaksa dan tunagrahita tentang gambaran pola asuh orang tua dalam
penerapan gizi anak. Dari wawancara tersebut diketahui bahwa pendidikan, pengetahuan, dan

sosial ekonomi mempengaruhi penerapan gizi dan status gizi anak. Selain itu, psikologis anak

juga mempengaruhi pola makan anak, karena psikologis masing-masing anak berkebutuhan

khusus itu berbeda-beda. Psikologis tersebut tercermin melalui sikap dan kepribadian yang

cenderung mementingkan diri sendiri, mudah marah, sensitif, ego, penyendiri, agresif, pendiam

dan mudah tersinggung. Dalam kondisi yang demikian orang tua menuruti keinginan anak dan

memberikan makanan kesukaannya, tanpa memperhatikan gizi yang baik bagi anak.

Berdasarkan masalah tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran pola asuh

orang tua dalam penerapan gizi bagi anak berkebutuhan khusus tingkat SD usia 6-12 tahun di

Sekolah Luar Biasa “Wantuwirawan” Salatiga yang belum terpenuhi kebutuhan gizinya secara

optimal.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana status gizi berdasarkan antropometri anak berkebutuhan khusus tingkat SD dari

SLB A-D usia 6-12 tahun di SLB “Wantuwirawan” Salatiga?

2. Bagaimana pola asuh orang tua dalam penerapan gizi anak dalam memberikan pola makan?

3. Faktor-faktor apa saja yang relevan terkait pola asuh orang tua dalam penerapan gizi anak di

SLB “Wantuwirawan” Salatiga?

4. Bagaimana kaitan perilaku anak terhadap pola makan?

1.3. Batasan Masalah

Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi dalam penerapan gizi dan status gizi anak

berkebutuhan khusus, ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi gizi anak seperti tingkat

pendidikan, pengetahuan, dan pendapatan orang tua.


Peneliti membatasi penelitian hanya menjelaskan tentang gambaran pola asuh orang tua dalam

penerapan gizi bagi anak berkebutuhan khusus, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

pola asuh orang tua dalam penerapan gizi anak berkebutuhan khusus tingkat SD usia 6-12 tahun

di SLB “Wantuwirawan Salatiga”.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan gambaran pola asuh orang tua dalam penerapan gizi

pada anak berkebutuhan khusus tingkat SD usia 6-12 tahun di SLB “Wantuwirawan”

Salatiga.

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan status gizi berdasarkan antropometri anak berkebutuhan khusus tingkat SD

dari SLB A-D usia 6-12 tahun di SLB “Wantuwirawan” Salatiga.

b. Mengetahui bagaimana pola asuh orang tua dalam penerapan gizi anak dalam

memberikan pola makan.

c. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang relevan terkait pola asuh orang tua dalam

penerapan gizi anak di SLB “Wantuwirawan” Salatiga.

d. Menjelaskan kaitan antara perilaku anak terhadap pola makan.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Bagi Peneliti

Mengetahui bagaimana penerapan gizi pada anak berkebutuhan khusus, serta menambah ilmu

dan wawasan bagi peneliti mengenai gizi bagi anak berkebutuhan khusus.

b. Bagi Orang Tua


Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi keluarga, terutama bagi orang tua anak

berkebutuhan khusus untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya.

c. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam penerapan gizi yang tepat bagi anak

berkebutuhan khusus.

d. Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Penelitian ini diharapkan berguna bagi anak berkebutuhan khusus agar anak ABK mengetahui

bahwa penerapan gizi bagi dirinya itu sangat penting bagi kesehatan dan kecerdasan otak.

e. Bagi Profesi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapakan dapat berguna bagi tenaga-tenaga kesehatan, karena dapat

mengetahui keadaan gizi pada anak berkebutuhan khusus, sehingga dalam penerapan gizi

bagi anak dapat tercukupi.


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Teori Dasar

2.1.1. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak, yaitu

bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak,

termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan

perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik,

sehingga dijadikan panutan bagi anaknya.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

1. Tingkat Pendapatan Keluarga

Keadaan ekonomi keluarga relatif lebih mudah diukur dan

berpengaruh besar pada konsumsi pangan, dimana konsumsi pangan pada

balita ditentukan dari pola asuh gizi, terutama pada keluarga golongan

miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin

menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan

makanan. Dua perubah ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan

pola asuh gizi adalah pendapatan keluarga dan harga (baik harga pangan

maupun harga komoditas kebutuhan dasar) (Yayuk , dkk 2004).

Perubahan pendapatan dapat mempengaruhi perubahan pola asuh gizi

yang secara langsung mempengaruhi konsumsi pangan pada balita.

Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli


pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya

penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas

dan penurunan kuantitas pangan yang dibeli (Yayuk Farida B, dkk 2004).

2. Tingkat Pendidikan Orang Tua

Menurut Kunaryo Hadikusumo (1996) yang dikutip oleh Hardianto

(2001) tingkat pendidikan adalah jenjang aktifitas dan usaha manusia

untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-

potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, rasa, karsa,mcipta dan budi nurani)

dan jasmani (panca indera dan keterampilanketerampilan) melalui

pendidikan formal. Adapun tingkat pendidikan di negara kita meliputi :

pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam

tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, maka orang

tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara

pengasuhan anak yang baik/cara mempraktekkan pola asuh dalam

kehidupan sehari-hari, bagaimana cara menjaga kesehatan anak,

pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih, 1995).

3. Tingkat Pengetahuan Orang Tua

Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi

didasarkan pada tiga kenyataan :

a. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan

kesejahteraan.
b. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya

mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan

yang optimal, pemeliharaan dan energi.

c. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk

dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan

gizi.

Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan

pangan dan nilai pangan adalah umum disetiap negara di dunia.

Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan

faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari

gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau

kemampuan untuk menerapkan informasi, dengan pengetahuan yang

kurang dapat menentukan pola asuh gizi yang dilaksanakan sehari-hari

(Suhardjo, dkk, 1986).

4. Jumlah Anggota Keluarga

Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap

pembagian pangan pada masing-masing anggota keluarga. Pada keluarga

yang memiliki balita, dengan jumlah anggota keluarga yang besar bila

tidak didukung dengan seimbangnya persediaan makanan di rumah maka

akan berpengaruh terhadap pola asuh yang secara langsung

mempengaruhi konsumsi pangan yang diperoleh masing-masing anggota

keluarga terutama balita yang membutuhkan makanan pendamping ASI.


2.1.2. Orang Tua

Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan

merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk

sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh

dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang

menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat (Adwinta,

2012).

2.1.3. Gizi

1. Pengertian Gizi

Gizi (Nutrition) adalah suatu proses organisme menggunakan

makanan yang di konsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi,

transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak

di gunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi

normal dari organ-organ serta menghasilkan energi (Supariasa, dkk., 2013).

Zat Gizi (Nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan oleh tubuh

untuk melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan

memelihara jaringan serta mengukur prosesproses kehidupan (Sunita

Almatsier, 2003).

2. Status Gizi

Menurut Agus Krisno (2009), secara umum status gizi dibagi menjadi

tiga kelompok , yaitu sebagai berikut:


a. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang)

Dalam hal ini asupan gizi, seimbang dengan kebutuhan gizi seseorang

yang bersangkutan. Kebutuhan gizi basal, kegiatan, dan pada keadaan

fisiologis tertentu, serta dalam keadaan sakit.

b. Gizi Kurang

Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat (patologis) yang timbul

karena tidak cukup makan dengan demikian konsumsi energi dan protein

kurang selama jangka waktu tertentu. Di negara sedang berkembang,

konsumsi makanan yang tidak menyertakan pangan cukup energi,

biasanya juga kurang dalam satu/lebih zat gizi esensial lainnya. Berat

badan yang menurun adalah tanda utama dari gizi kurang.

c. Gizi Lebih

Keadaan patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makan.

Mengokonsumsi energi lebih banyak dari pada yang diperlukan tubuh

untuk jangka waktu yang panjang dikenal sebagai gizi lebih. Kegemukan

(obesitas) merupakan tanda pertama yang biasa dapat dilihat dari keadaan

gizi lebih. Obesitas jika dibiarkan berkelanjutan akan mengakibatkan

berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi, aterosklerosis, gangguan

kinerja jantung, diabetes melitus dan lain sebagainnya.

3. Fakor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang. Faktor-faktor yang

mempengaruhi status gizi dibagi menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak

langsung.
1. Faktor yang mempengaruhi secara langsung :

Menurut Soekirman (2000) penyebab langsung timbulnya gizi kurang

pada anak adalah konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Kedua penyebab

tersebut saling berpengaruh. Dengan demikian timbulnya gizi kurang

tidak hanya karena kurang makanan tetapi juga karena adanya penyakit

infeksi, terutama diare dan ispa. Anak yang mendapatkan makanan cukup

baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita

gizi kurang. Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makanan cukup dan

seimbang daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian

anak mudah diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak

kekurangan makanan. Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila

keadaan ini terus berlangsung anak dapat menjadi kurus dan timbulah

kejadian kurang gizi.

2. Faktor yang mempengaruhi secara tidak langsung:

a. Pola Asuh Gizi

Pola Asuh Gizi merupakan faktor yang secara langsung

mempengaruhi konsumsi makanan pada anak. Dengan demikian pola

asuh gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan faktor

tidak langsung dari status gizi. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi pola asuh gizi sudah dijelaskan diatas diantaranya:

tingkat pendapatan keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat

pengetahuan ibu, jumlah anggota keluarga dan budaya pantang


makanan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

adalah jumlah dan jenis makanan, pembagian makanan, pantangan

pada makanan tertentu, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu,

kebiasaan makan, selera makan, sanitasi makanan (penyiapan,

penyajian, penyimpanan), dan pengetahuan gizi.

b. Psikologi

Menurut Sarwono Waspadji (2003) psikologi seseorang

mempengaruhi pola makan. Makanan yang berlebihan atau

kekurangan dapat terjadi sebagai respons terhadap kesepian, berduka

atau depresi. Dapat juga merupakan respons terhadap rangsangan dari

luar seperti iklan makanan atau kenyataan bahwa ini adalah waktu

makan.

c. Genetik

Genetik menjadi salah satu faktor dari status gizi. Hal ini dijelaskan

oleh Ali Khomsan (2003) pada anak dengan status gizi lebih atau

obesitas besar kemungkinan dipengaruhi oleh orang tuanya

(herediter). Bila salah satu orang tua mengalami gizi lebih atau obes

maka peluang anak untuk mengalami gizi lebih dan menjadi obesitas

sebesar 40%, dan kalau kedua orang tua mengalami gizi lebih atau

obes maka peluang anak meningkat sebesar 80%. Selain genetik atau

hereditas ada faktor lain yang mempengaruhi yaitu lingkungan,

dimana lingkungan ini mempunyai pengaruh terhadap pola makan

seseorang.
d. Pelayanan Kesehatan

Penyebab kurang gizi yang merupakan faktor penyebab tidak

langsung yang lain adalah akses atau keterjangkauan anak dan

keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan. Pelayanan

kesehatan ini meliputi imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan

persalinan, penimbangan anak, dan sarana lain seperti keberadaan

posyandu dan puskesmas, praktek bidan, dokter, dan rumah sakit

(Soekirman 2000).

2.1.4. Pengukuran Antopometri

1. Definisi Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh (IMT) adalah berat badan dalam kilogram (kg)

dibagi tinggi dalam meter kuadrat (m2) (Sugondo, 2006). IMT merupakan

indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat

populasi berat badan kurang, normal, atau lebih dan obesitas pada orang

dewasa maupun anak-anak.

IMT juga dapat diterapkan untuk anak dan remaja, dengan cara yang

sama menghitung nilai IMT seperti pada orang dewasa, kemudian nilai

tersebut di-plot-kan ke grafik CDC IMT-berdasarkan umur (CDC, 2011).

Dalam grafik tersebut akan terlihat persentil IMT-berdasarkan umur si anak,

dari nilai persentil inilah dapat ditentukan apakah anak kurus, normal atau

obese (CDC, 2011).

2. Cara Mengukur Indeks Masa Tubuh (IMT)


Menurut (WHO, 2005) IMT/U (dibaca Indeks Massa Tubuh menurut

Umur) digunakan untuk anak-anak usia diatas 5 tahun hingga 18 tahun. Pada

saat ini, yang paling sering dilakukan untuk menyatakan indeks tersebut

adalah dengan Z-skor. Z-skor adalah deviasi nilai seseorang dari nilai median

populasi referensi dibagi dengan simpangan baku populasi referensi.

IMT =
Berat
Badan (kg)
Tinggi

Sangat <-3 SD
Kurus
Kurus -3 SD
sampai
dengan
Indeks Massa
<-2 SD
Tubuh menurut
Normal -2 SD
Umur (IMT/U)
sampai
Anak
dengan 1
Umur 5-
SD
18
Gemuk >1 SD
Tahun
sampai
dengan 2
SD
Obesita >2 SD
s

Klasifikasi IMT menurut Kemenkes RI 2010 untuk anak usia 5-18 tahun

Z score = Nilai IMT yang diukur – Median Nilai IMT (referensi)


Standar Deviasi dari standar/referensi

Nilai Z-skor Klasifikasi


z-skor ≥ +2 Obesitas
+1 < z-skor < +2 Gemuk
-2 < z-skor < +1 Normal
-3 < z-skor < -2 Kurus
z-skor < -3 Sangat
kurus
2.1.5. Anak Berkebutuhan Khusus

1. Pengertian

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

dengan anak-anak secara umum atau rata-rata anak seusianya.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kelainan pada

fisik, mental, tingkah laku, atau indranya memiliki kelainan sehingga untuk

mengembangkan kemampuannya membutuhkan PLB (Pendidikan Luar

Biasa) (Hargio Santoso, 2012).

2. Macam-Macam Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Kauffman & Hallahan (2006) dan Bendi Delphie (2006) tipe-

tipe kebutuhan khusus yang selama ini menyita perhatian orangtua dan guru

adalah (1) tuna grahita (mental retardation) atau anak dengan hambatan

perkembangan (child with development impairment), (2) kesulitan Belajar

(learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah, (3) hiperaktif

(Attention Deficit Disorder with Hyperactive ), (4) tunarungu wicara

(communication disorder and deafness), (5) tunanetra atau anak dengan

hambatan penglihatan (Partially seing and legally blind), (6) autistik, (7)

tunadaksa (physical handicapped), dan (8) anak berbakat (giftedness and

special talents).
Menurut E. Kosasih tahun 2012, anak-anak yang tergolong jenis ABK

adalah sebagai berikut:

a. Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada anak yang

mengalami kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak

mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan

perilaku.

b. Cerebral Palsy

Cerebral palsy (CP) adalah gangguan kenali terhadap fungsi motorik

dikarenakan kerusakan pada otak yang sedang bekembang. Menurut

World Commision on CP, cerebral palsy adalah suatu sindroma, yakni

terdapatnya gangguan pada sistem motorik, sikap tubuh atau gejala saraf

laninnya dengan atau tanpa melibatkan keterbelakangan mental yang

disebabkan disfungsi.

c. Down Sindrome

Down sindrome adalah kelainan kromosom dan kelainan itu berdampak

pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental.

d. Tunadaksa

Tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan

fungsinya sebagai akibat bawaan, luka, penyakit, atau pertumbuhan yang

tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu

layanan secara khusus.


e. Tunagrahita

Tunagrahita adalah suatu kondisi anak yang kecerdasannya mengalami

penurunan jauh dibawah rata-rata dan ditandai dengan keterbatasan

inteligensi dan ketidakcakapan terhadap komunikasi sosial.

f. Tunanetra

Tunanetra adalah ketidakmampuan seseorang dalam penglihatan atau

tidak berfungsinya indra penglihatan. Tunanetra mempunyai keterbatasan

dalam melihat mislanya tidak bisa melihat gerakan tangan pada jarak

kurang dari 1 meter dan bidang penglihatan tidak lebih luas dari 20

derajat.

g. Tunarungu

Tunarungu adalah kekurangan atau kehilangan pendengran atau

kemampuan mendengar yang disebabkan karna keruskaan fungsi atau

seluruh alat atau organ-organ pendengaran, baik menggunakan maupun

tanpa alat bantu dengar.

3. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

Karakteristik masing-masing jenis anak berkebutuhan khusus menurut

Kemenkes RI (2010) dan Sutjihati (2012), dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Tunanetra

Karakteristik anak tuna netra antara lain: mempunyai

kemampuan berhitung, menerima informasi dan kosakata hampir

menyamai anak normal biasa, tetapi mengalami kesulitan dalam hal


pemahaman yang berhubungan dengan penglihatan, kesulitan

penguasaan ketrampilan sosial yang ditandai dengan sikap tubuh yang

tidak menentu, agak kaku, serta antara ucapan dan tindakan kurang

sesuai karena tidak dapat menegtahui situasi yang ada di lingkungan

sekitarnya. Umumnya mereka menunjukan kepekaan indera

pendengaran dan perabaan yang lebih baik dibandingkan dengan anak

normal, dan sering menggosokan-gosokan mata dan meraba-raba

sekelilingnya.

Keadaan emosi anak tuna netra seperti menarik diri,

mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau

perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya serta

beberapa gejala atau pola emosi yang negatif dan berlebihan tersebut

adalah perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati,

dan kesedihan yang berlebihan.

b. Tunarungu/Tunawicara

Anak tuna rungu/wicara mengalami gangguan komunikasi

secara verbal karena kehilangan seluruh atau sebagian daya

pendengarannya, sehingga mereka menggunakan bahasa isyarat dalam

berkomunikasi, oleh karena itu pergaulan dengan orang normal

mengalami hambatan. Selain itu anak tuna rungu/wicara mengalami

ego-sentris yang melebihi anak normal biasa, cepat marah, dan mudah

tersinggung. Kesehatan fisik pada umumnya sama dengan anak normal

biasa.
Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan

seringkali menyebabkan anak tuna rungu menafsirkan sesuatu secara

negatif atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya.

Tekanan pada emosinya itu menimbulkan sikap menutup diri,

bertindak agresif, atau sebaliknya menampakan kebimbangan dan

keragu-raguan.

c. Tunagrahita

Anak tunagrahita memiliki prestasi sekolah kurang secara

menyeluruh, tingkat kecerdasan (IQ) dibawah 70, memiliki

ketergantungan pada orang lain secara berlebihan, kurang tanggap,

penampilan fisiknya kurang proposional, perkembangan bicara

terlambat dan bahasa terbatas.

Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan berupa tidak

matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat

dipercaya, impulsif, lancang dan merusak. Anak tuna grahita wanita

mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri,

dan cenderung melanggar ketentuan.

d. Tunadaksa

Tunadaksa memiliki anggota tubuh tidak lengkap, bentuk anggota

tubuh dan tulang belakang tidak normal, kemampuan gerak sendi

terbatas, ada hambatan dalam melaksanakan aktivitas kehidupan

sehari-hari.
Orang tua anak tunadaksa sering memperlakukan anaknya

dengan sikap terlalu melindungi, misalnya dengan memenuhi segala

keinginannya, melayani secara berlebihan, dan sebagainya. Disamping

itu ada orang tua yang menyebabkan anak-anak tuna daksa merasakan

ketergantungan sehinga merasa takut serta cemas dalam menghadapi

lingkungan yang tidak dikenalnya.


2.2. Kerangka Konseptual

Psikologis

Kebutuhan ABK Pola Asuh Orang Tua


dalam Penerapan Gizi
pangan Anak dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi
Pola Asuh Orang Tua
Biologis Sandang

papan

Status Gizi
Anak

1. Gizi Baik

2. Gizi Kurang

3. Gizi Buruk

Pemenuhan

Gizi ABK

Gizi ABK

Ket:

: Yang Diteliti
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi merupakan suatu pendekatan yang

mempelajari makna dari pengalaman manusia menjalani suatu fase kehidupannya.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka dalam

memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang,

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus

yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2010).

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang telah dilakukan di sekolah SLB “Wantuwirawan” Salatiga.

3.3. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai pada tanggal 14 Juni 2014 sampai tanggal 17 Juli 2014.

3.4. Populasi dan Sampel

A. Populasi

Menurut Sugiyono (2009) populasi merupakan seluruh subyek atau obyek

dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti, bukan hanya obyek atau subyek

yang dipelajari saja tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subyek atau

obyek tersebut. Menurut Kuntoro (2008) arti populasi adalah kumpulan semua

elemen atau individu dan kepadanya peneliti akan membuat inferensi atau

generalisai.
Populasi yang akan diambil oleh peneliti adalah orang tua anak berkebutuhan

khusus tingkat SD umur 6-12 tahun di SLB “Wantuwirawan” Salatiga kelas SLB-A,

SLB-B, SLB-C, dan SLB-D.

B. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian

jumlah dari karateristik yang dimiliki oleh populasi. Tujuan ditentukannya sampel

dalam penelitian adalah untuk mempelajari karakteristik suatu populasi, karena tidak

dimungkinkannya peneliti melakukan penelitian dipopulasi, karena jumlah populasi

yang sangat besar, keterbatasan waktu, biaya, atau hambatan lainnya (A. Aziz, 2010).

Peneliti mengambil sample menggunakan teknik Purposive Sampling. Purposive

sampling dilakukan untuk sampel yang tidak diambil secara acak, akan tetapi sampel

dipilih mengikuti kriteria tertentu dan kepada riset partisipan juga dinyatakan

mengenai kesediannya untuk menjadi riset partispan. Di dalam penelitian kualitatif,

teknik purposive sampling sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor konstektual

dan maksud sampling, dalam hal ini bertujuan untuk menjaring sebanyak-banyaknya

informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (constructions) (Moleong,

2007 dan Saryono, 2008). Peneliti mengambil sampel dari orang tua anak

berkebutuhan khusus tingkat SD yang berumur 6-12 tahun di SLB “Wantu

Wirawan” Salatiga setelah dilakukan pengukuran antropometri, yang status gizinya

kurang dan normal setelah melakukan pengukuran status gizi berdasarkan

antropometri.

Kriteria inklusi dari sampel penelitian ini adalah:


1. Orang tua murid tingkat SDLB A-D yang memiliki anak berumur 6-12

tahun SLB “Wantuwirawan “ Salatiga.

2. Dapat mendengar dan berbicara dengan jelas, dan mampu berpartisipasi

dalam wawancara.

3. Mengisi informed consent.

3.5. Partisipan Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini adalah orang tua siswa tingkat SD kelas SLB-A,

SLB-B, SLB-C, dan SLB-D berumur 6-12 tahun yang di SLB “Wantuwirawan”

Salatiga.

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Menurut A. Aziz (2010) metode pengumpulan data merupakan cara yang

dilakukan dalam pengumpulan data penelitian. Cara pengumpulan data tersebut meliputi

wawancara semi terstruktur, observasi, pengukuran, atau melihat data statistik (data

sekunder) seperti dokumentasi.

a. Wawancara

Wawancara merupakan metode dalam pengumpulan data dengan

mewawancarai secara langsung dari responden yang diteliti, metode ini

memberikan hasil secara langsung, dan dapat dilakukan apabila ingin tahu hal-hal

dari responden sedikit. Dalam metode wawancara ini dapat digunakan instrumen

seperti pedoman wawancara. Pedoman wawancara yang digunakan peneliti yaitu

semi structured (semi struktur). Peneliti menanyakan beberapa pertanyaan

terstruktur mengenai peran orang tua dalam penerapan gizi anaknya dengan teknik

wawancara mendalam yaitu melakukan atau mengajukan beberapa pertanyaan-


pertanyaan yang sudah terstruktur yang kemudian diperdalam dengan mengorek

keterangan lebih lanjut mengenai pemenuhan gizi (Saryono, 2008).

b. Observasi

Observasi digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh

suatu gambaran yang lebih jelas melalui pengamatan yang dilakukan secara

langsung terhadap objek penelitian. Dengan observasi dapat mengumpulkan data

secara lebih cermat dan terinci. Pengamatan dilakukan tidak terbatas hanya pada

apa yang dilihat. Disini peneliti melakukan pengamatan atau observasi langsung

terhadap subjek penelitian. Kegiatan observasi meliputi: mencatat, dan

pertimbangan. (Saryono,2008). Peneliti melakukan pengamatan terhadap

pemenuhan nutrisinya, menu apa saja dan pola makan yang diberikan setiap

harinya, seperti jenis makanan yang dikonsumsi, pantangan makanan, kebiasaan

makan, makanan kesukaan, penyajian makanan, sehingga peneliti tahu pola asuh

orang tua dalam menerapkan pemberian kebutuhan gizi pada anak.

c. Pengukuran

Peneliti melakukan pengukuran antropometri pada anak berkebutuhan khusus

dengan melakukan pengukuran TB, dan BB.

d. Dokumentasi

Pada penelitian ini, dokumentasi dilakukan dengan perekaman menggunakan

hand phone, agar data yang didapat lebih valid dan tidak ada yang informasi-

informasi mengenai pola asuh dan kedekatan orang tua dengan anaknya yang

terlewatkan (Saryono, 2008).


3.7. Analisa Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode Colaizzi (Polit & Back, 2004)

untuk analisa data. Peneliti memilih metode Colaizzi karena metode ini merupakan

metode yang memvalidasi hasil dengan mengembalikan data ke partsipan. Metode yang

dipakai dalam penelitian ini adalah:

a. Membaca semua transkip data yang telah disusun untuk mendapatkan data

partisipan.

b. Membaca kembali transkip data yang ada dan memberikan kutipan atau tanda data

yang signifikan.

c. Membaca kembali setiap data yang signifikan yang telah ditandai menjadi

rumusan yang akan menjadi sebuah tema sebelum dikelompokkan.

d. Mengelompokkan data-data yang signifikan menjadi sebuah tema.

e. Menggabungkan hasil yang didapat dari tema kedalam deskripsi yang mendalam

tentang fenomena yang ada.

f. Merumuskan deskripsi yang mendalam tersebut ke dalam kalimat yang tegas

sebagai identifikasi.

g. Menanyakan kembail tentang partisipan tentang hasil yang didapat sebagai tahap

validasi terakhir.

3.8. Etika Penelitian

Etika dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan sebuah

penelitian mengingat penelitian keperawatan akan berhubungan langsung dengan

manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan karena manusia mempunyai hak
asasi dalam kegiatan penelitian. Sebelum melakukan penelitian, peneliti harus

melakukan beberapa prinsip etika penelitian, yaitu:

1. Informed consent

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan partisipan, dengan memberikan

lembar persetujuan (informed consent). Informed consent tersebut diberikan sebelum

penelitian dilaksanakan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi

partisipan. Tujuan informed consent adalah agar partisipan mengerti maksud dan

tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika partisipan bersedia maka mereka harus

menandatangani lembar persetujuan, serta bersedia untuk direkam dan jika partisipan

tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak partisipan.

2. Anonimity (tanpa nama)

Merupakan etika dalam penelitian keperawatan dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode

pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan.

3. Kerahasiaan (confidentiality)

Merupakan etika dalam penelitian untuk menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian

baik informasi maupun masalah-masalah lainnya, semua partisipan yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu

yang dilaporkan pada hasil penelitian (Soekidjo, 2012)

3.9. Uji Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian ini, terdapat 4 macam kriteria untuk memberikan

validasi dan reability terhadap data yang telah di dapat, antara lain; Credibility (derajat
kepercayaan), dependability (kebergantungan), confirmability (kepastian), dan

transferability (keteralihan).

1. Credibility (derajat kepercayaan)

Credibilty dapat dicapai dengan cara mengumpulkan data subyektif dan selengkap

mungkin. Uji kreadibilitas data hasil penelitian kualitatif dilakukan dengan

perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, trianggulasi,

diskusi dengan teman, analisis kasus negatif dan membercheck (Sugiono, 2007).

Pada penelitian ini aspek kreadibilitas dipenuhi dengan melakukan membercheck

yaitu mengembalikan pada partisipan transkip interview dan atau kisi-kisi tema

yang berisi ungkapan signifikan dan mempersilahkan partisipan jika ingin

merubah, menambah, atau mengurangi data. Peneliti melakukan membercheck

kepada partisipan dengan menelepon partisipan untuk bertemu disekolah saat anak

pulang sekolah, saat orang tuanya menunggu peneliti melakukan membercheck

kepada partisipan untuk merubah, menambah, atau mengurangi data.

2. Dependability (kebergantungan)

Dependability merupakan kestabilan data dari waktu ke waktu dan pada tiap

kondisi. Salah satu tekhnik untuk mencapai dependability data adalah inquiry

audit, yaitu peneliti meneliti kembali data-data yang diperoleh dengan cermat dan

mencari data-data lain yang mendukung validasi data. Data-data lain yang

mendukung peneliti yaitu mengambil dari teori dan konsep sebelumnya.

3. Confirmability (kepastian)

Confirmability merupakan objektifitas atau netralitas data, dimana tercapai

persetujuan anatara dua orang atau lebih tentang relevansi data. Confirmability
pada penelitian ini adalah para pembaca dapat menelusuri bagaimana peneliti

melakukan analisis data, dimulai dari frase bermakna sampai menentukan

essential structure.

4. Transferability (keteralihan)

Hasil penelitian ini dapat diimplementasikan di tempat lain dengan latar belakang

yang hampir atau sama dengan dilakukannya penelitian ini. Dengan demikian,

penelitian ini memenuhi kaidah transferability (Polit & Beck, 2004).

DAFTAR PUSTAKA
PROPOSAL PENELITIAN HIBAH KOMPETISI

PENGEMBANGAN POTENSI BUDAYA DESA WISATA SEBAGAI


MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DI DESA
KEMETUL KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG

Oleh :
Ken Widyawati, S.S, M.Hum

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau yang indah dan
memiliki berbagai macam adat istiadat dan budaya yang sangat unik di setiap suku bangsa yang
ada di Indonesia. Keindahan alam yang dimiliki Indonesia sangat mendukung perkembangan
sektor pariwisata. Pariwisata yang makin berkembang di Indonesia selain karena keindahan
alam,juga karena keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Pariwisata merupakan sektor yang paling mudah dieksplore oleh setiap
negara di dunia. Hal ini yang membuat pariwisata tetap menjadi primadona dan
menjadi salah satu tumpuan perekonomian bagi sebagian besar negara di dunia
termasuk Indonesia.
Sektor pariwisata diharapkan mampu menjadi salah satu pemasok devisa bagi
negara Indonesia. Dalam perkembangannya, berbagai objek wisata yang ada di
Indonesia bermunculan dan menawarkan beragam jenis wisata seperti, wisata alam,
wisata pendidikan, wisata sejarah, wisata olahraga, wisata budaya, wisata religi,
wisata desa dan wisata lain yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Wisata
desa saat ini cukup terkenal di Indonesia, hampir diseluruh pulau di Indonesia
terdapat desa wisata, termasuk di pulau Jawa.
Desa Kemetul merupakan salah satu desa wisata di pulau Jawa walaupun
belum sepenuhnya menjadi Desa Wisata . Sampai saat ini pengembangan daerah
Desa Kemetul masih tergolong hanya sebagai daerah yang menyediakan akomodasi
pariwisata saja. Suatu daerah untuk dapat dikembangkan menjadi objek wisata atau
menjadi sebuah desa wisata perlu adanya unsur-unsur yang mendukung, tidak hanya
mengandalkan keindahan alam dan akomodasinya saja. Seperti yang dijelaskan oleh
Suantoro (1997:19), unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna menunjang
pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata meliputi perencanaan, pelaksanaan
pembangunan dan pengembangan daearah wisata meliputi lima unsur, yaitu objek
dan daya tarik wisata, prasarana wisata, sarana wisata, tata laksana dan infrastruktur,
serta masyarakat dan lingkungan.
Pariwisata pedesaan pada prinsipnya adalah pembelajaran tentang alam
pedesaan dimana masyarakat desa akan turut mendapat manfaatnya. Ditinjau dari
prinsip tersebut, Desa Kemetul memiliki potensi besar dalam pengembangan
pariwisata pedesaan, mengingat Desa Kemetul memiliki sejumlah sumber daya alam,
sosial, kesenian dan budaya yang dapat menopang pembangunan pariwisata seperti
daerah pertanian, hutan, gunung, sungai, beserta fauna dan floranya. dalam upaya
pengembangan desa wisata yang berkelanjutan yaitu pelibatan atau partisipasi
masyarakat setempat, pengembangan mutu produk wisata pedesaan, pembinaan
kelompok pengusaha setempat.
Keaslian daerah wisata akan memberikan manfaat bagi produk wisata
pedesaan. Unsur-unsur keaslian produk wisata yang utama adalah kualitas ,
keorisinalan, keunikan, ciri khas daerah dan kebanggaan daerah diwujudkan dalam
gaya hidup dan kualitas hidup masyarakatnya yang secara khusus berkaitan dengan
prilaku, integritas, keramahan dan kesungguhan penduduk yang tinggal di desa
tersebut.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka, pemodelan desa wisata bagi
pembangunan pedesaan yang berkelanjutan harus secara kreatif mengembangkan
identitas atau ciri khas yang unik di desa tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
pemecahan masalah yang berkaitan dengan krisis ekonomi daerah pedesaan yang
makin bertambah akibat adanya berbagai kebijakan yang di terapkan pemerintah
pusat. Kebijakan pemerintah pusat ada beberapa yang menyebabkan berkurangnya
kesempatan kerja maupun peningkatan pendapatan masyarakat desa, salah satu jalan
keluar yang dapat mengatasi krisis tersebut adalah melalui pembangunan industri
desa wisata skala kecil, sehingga mampu bersaing dan unggul dalam pembangunan
daerah pedesaan, serta penciptaan lapangan kerja baru yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat desa sangat penting kedudukannya dalam pengembangan objek
wisata Desa, seperti Desa Kemetul yang mempunyai alam yang indah, seni budaya
yang menarik dan juga ditunjang oleh masyarakat yang terampil dan ramah.
Sirtha (2008:2) menjelaskan dalam sistem pemerintahan desa , dikenal dua
sistem pemerintahan yakni desa dinas dan desa adat. Kedua jenis desa tersebut
memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Desa Adat mengatur masalah adat dan
agama, sedangkan desa dinas mengatur urusan administrasi yang berhubungan
dengan pelaksanaan pemerintahan desa di bawah kecamatan.
Desa Kemetul di samping merupakan desa dinas, juga merupakan desa Adat
hal ini dapat dilihat bahwa Desa Kemetul jika dilihat dari sisi pariwisata telah
dikembangkan sebagai daerah wisata, walaupun saat ini baru sampai pada penyedia
akomodasi wisata saja. Berkembangnya Desa Kemetul sebagai daerah wisata tentu
juga berdampak pada masyarakat desa Kemetul. Sebab tugas dari desa Adat menjadi
lebih kompleks, dalam hal ini desa Adat tidak hanya mengatur masalah adat dan
agama tetapi juga ikut membantu dalam pengembangan daerahnya agar menjadi
daerah wisata. Dilihat dari beberapa fungsi pokok desa Adat sesuai dengan Perda. No.
03 Tahun 2001 (dalam Supartha, 1999:165) salah satunya disebutkan bahwa fungsi
dari desa Adat adalah untuk menjaga, memelihara, dan memanfaatkan kekayaan desa
untuk kesejahteraan desa dan masyarakat desa itu sendiri. Kekayaan alam yang
dimaksudkan adalah termasuk potensi alam yang dimiliki oleh Desa Kemetul yang
dimanfaatkan sebagai objek wisata alam. Untuk memejukan wisata alam tersebut
perlu adanya peran serta masyarakat desa Kemetul dalam menjaga, memelihara, dan
memanfaatkan potensi desa yang ada dengan tujuan kesejahteraan masyarakat desa
Kemetul sendiri.
Realita yang terjadi, peran serta masyarakat desa dalam mengembangkan wilayahnya sebagai
daerah wisata belum nampak secara jelas. Pada umumnya yang lebih terlihat adalah peran dari
aparat dan tokoh-tokoh desa . Berdasarkan hal tersebut penting untuk mengungkap bagaimana
peranan masyarakat desa Kemetul khususnya dalam pengembangan potensi budya dan adat desa
Kemetul dalam mengembangkan desa Kemetul sebagai daerah wisata alam.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.:
1. Bagaimanakah model dan jenis wisata Desa Kemetul yang sesuai sebagai kawasan
desa wisata yang didasari pada pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan.
2. Bagaimanakah pembangunan Desa Kemetul dengan mengidentifikasi dan
menganalisis potensi budaya masyarakat untuk membuat kemungkinan alternatif
pengembangan sebagai desa wisata.
3. Bagaimana. kemampuan masyarakat desa Kemetul untuk memelihara, menggali, dan
mengembangkan keanekaragaman seni budaya masyarakat, yang berguna bagi
kelengkapan atraksi wisata yang dapat dinikmati oleh pengunjung dan tersedianya
makanan khas daerah dari bahan mentah yang ada di desa Kemetul.
4. Bagaimana mendorong peningkatan kewirausahaan masyarakat Desa Kemetul.
5. Bagaimana mengembangkan produk wisata desa Kemetul.

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menyusun pemodelan kawasan desa wisata Kemetul yang didasari pembangunan
kepariwisataan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
2. Membuat pembangunan Desa Kemetul dengan mengidentifikasi dan menganalisis
potensi budaya masyarakat dan membuat kemungkinan alternatif pengembangan
sebagai desa wisata.
3. Meningkatkan kemampuan masyarakat Desa Kemetul untuk memelihara, menggali,
mengembangkan keanekaragaman seni budaya masyarakat, yang berguna bagi
kelengkapan atraksi wisata yang dapat dinikmati oleh pengunjung dan tersedianya
makanan khas daerah dari bahan mentah yang ada di Desa Kemetul.
4. Mendorong peningkatan kewirausahaan masyarakat Desa Kemetul.
5. Mengembangkan produk wisata Desa Kemetul.

D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian mengenai potensi Wisata Desa Kemetul adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Praktis
Melestarikan dan mengembangkan potensi Wisata Desa Wisata Kemetul dan
meningkatkan pariwisata di Kabupaten Semarang.
2. Manfaat Akademis
Memberikan informasi dalam usaha untuk menambah perbendaharaan ilmu
pengetahuan serta wawasan di bidang pariwisata, khususnya yang berkenaan dengan
Wisata Desa Kemetul.

D. LANDASAN TEORI
a. Pengertian Pariwisata, wisata, dan Wisatawan
Pariwisata berasal dari bahasa sanskerta yaitu: kata pari yang berarti penuh, lengkap,
berkeliling, wis (man) yang berarti rumah, properti, kampung, komunitas dan ata yang berarti
pergi terus-menerus, mengembara. Apabila dirangkai menjadi satu kata menjadi pariwisata,
yang berarti: pergi secara lengkap meninggalkan rumah (kampung) berkeliling terus-menerus
dalam jangka waktu tertentu. Istilah pariwisata juga dipakai sebagai pengganti istilah asing
tourism atau travel diberi makna oleh Pemerintah Indonesia: sebagai “Mereka yang
meninggalkan rumah untuk mengadakan perjalanan tanpa mencari nafkah di tempat-tempat
yang dikunjungi sambil menikmati kunjungan alam daerah yang dikunjungi ( Pendit, 2002:1).
Marpaung mendefinisikan pariwisata sebagai perpindahan sementara yang dilakukan
manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Aktivitas
dilakukan selama wisatawan tinggal di tempat yang dituju dan fasilitas yang dibuat untuk
memenuhi kebutuhan wisatawan terse4but ( Marpaung, 2002: 13).
Berdasarkan UU No. 9 tahun 1990 pasal 1 wisata adalah kegiatan perjalanan atau
sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serat bersifat sementara untuk
menikmati objek dan daya tarik wisata (Karyono,1997: 21).
Dalam Undang-Undang Kepariwisataan No.9, BAB I, Pasal 1,Tahun 1990, wisata
didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan
secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Hary
Karyono membedakan beberapa jenis wisata, yaitu (1). wisata budaya, (2). wisata kesehatan,
(3). wisata olahraga,(4). wisata komersial, (5).wisata industri,(6).wisata politik,(7). wisata
konvensi, (8). wisata sosial, (9).wisata pertanian, (10) wisata maritim, (11).wisata cagar alam,
(12). wisata buru, (13). wisata pilgrim dan (14). wisata bulan madu.
Wisata Budaya diartikan sebagai wisata yang dilakukan seseorang dengan tujuan
untuk mempelajari adat-istiadat, budaya, tata cara kehidupan masyarakat dan kebiasaan yang
terdapat di daerah atau negara yang dikunjungi.
Wisata Kesehatan disebut juga wisata pulih atau sembuh, artinya seseorang
melakukan perjalanan dengan tujuan untuk sembuh dari suatu penyakit atau untuk memulihkan
kesegaran jasmani dan rohani, sedangkan wisata olahraga adalah jika seseorang melakukan
perjalanan dengan tujuan untuk nmengikuti kegiatan olahraga, misalnya Olympiade, Thomas
Cup, Sea Games dan sebagainya.
Wisata komersial memiliki istilah lain wisata bisnis. Wisatawan yang masuk ke dalam
jenis wisata ini adalah mereka yang melakukan perjalanan untuk tujuan yang bersifat komersial
atau dagang.
Wisata industri adalah perjalanan yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau
mahasiswa untuk berkunjung ke perusahaan atau industri yang besar guna mempelajari atau
meneliti industri tersebut. Sedangkan wisata politik adalah apabila seseorang berkunjung ke
suatu Negara untuk tujuan aktif dalam kegiatan politik, misalnya kunjungan kenegaraan,
penobatan raja atau ratu suatu kerajaan , konferensi politik dan lainnya.
Wisata konvensi adalah berkunjung ke suatu daerah atau negara dengan tujuan
mengikuti konvensi atau konferensi.
Wisata sosial diartikan sebagai kegiatan wisata yang diselenggarakan dengan tujuan
tidak mencari keuntungan. Perjalanan ini diperuntukkan bagi golongan masyarakat ekonomi
lemah maupun pelajar dengan biaya dari yayasan, pemerintah daerah atau donatur.
Wisata pertanian adalah wisata yang perjalanannya dilakukan dengan mengunjungi
daerah pertanian, perkebunan, dan riset atau penelitian tentang pertanian atau perkebunan.
Sedangkan wisata bahari sering dikaitkan dengan olahraga air, seperti berselancar, menyelam,
berenang, dan sebagainya.
Wisata Cagar Alam adalah berkunjung ke daerah cagar alam. Di samping untuk
mengunjungi binatang atau tumbuhan yang langka juga untuk menghirup udara segar dan
menikmati keindahan alam. Objek wisata jenis ini contohnya Kebun Raya Bogor, Kebun
binatang. Sedangkan Kegiatan wisata buru dikaitkan dengan hobi berburu yang lokasinya
sudah ditentukankan oleh pemerintah sebagai daerah perburuan.
Wisata pilgrim dikaitkan dengan agama, kepercayaan ataupun adat-istiadat dalam
masyarakat. Wisata ini dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat suci, makam-makam
orang terkenal atau pemimpin yang diagungkan. Wisata bulan madu adalah
wisata yang dilakukan orang-orang yang sedang berbulan madu atau pengantin baru
( Karyono, 1997: 17-19).
Pengertian wisatawan dalam Inpres RI no.9 tahun 1969 adalah: setiap orang yang
bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati
perjalanan dan kunjungan itu. Ross menjelaskan bahwa wisatawan memiliki 4 ciri utama yaitu:
pertama, wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan dantinggal di berbagai tempat
tujuan. Kedua, tempat tujuan wisatawan berbeda dari tempat tinggal dan tempat kerjanya
sehari-hari, karena itu kegiatan wisatawan tidak sama dengan kegiatan penduduk yang berdiam
dan bekerja di tempat tujuan wisatawan. Ketiga, wisatawan bermaksud pulang kembali dalam
beberapa hari atau bulan karena itu perjalanannya bersifat sementara dan berjangka pendek,
dan keempat wisatawan melakukan perjalanan bukan untuk mencari tempat tinggal untuk
menetap di tempat tujuan atau bekerja untuk mencari nafkah (Ross, 1998: 4-5).

b.Pengembangan Potensi Desa Wisata dan Konsep Kawasan Desa wisata


Pengembangan adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan berencana untuk
memperbaiki produk yang sedang berjalan atau menambah jenis produk yang dihasilkan
ataupun yang akan dipasarkan.
Potensi wisata dalam kamus pariwisata dan perhotelan diartikan sebagai segala
hal dalam keadaan baik dan nyata dapat diraba, maupun yang tidak teraba, yang digarap,
diatur, dan disediakan sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat atau diwujudkan
sebagai kemampuan, faktor, dan unsur yang diperlukan/ menentukan bagi usaha dan
pengembangan kepariwisataan, baik itu berupa suasana, kejadian, bangunan, maupun
pelayanan jasa-jasa ( Ramaini,1992: 112).
Pengembangan suatu desa menjadi desa wisata disamping identifikasi terhadap
unsur-unsur yang ada di desatersebut, penentuan desa wisata juga harus diimbangi
dengan pemahaman terhadap karakteristik serta tatanan sosial budaya masyarakat.
Tatananh sosial budaya masyarakat dapat dimanfaatkan untuk pengembangan aspek
perekonomian desa yang dilakukan untuk menentukan jenis dan tingkatan
pemberdayaan masyarakat secara tepat guna dan berhasil guna. Selain itu yang lebih
penting adalah untuk mengenali tingkatan penerimaan dan kesediaan masyarakat
terhadap kegiatan pariwisata yang akan dikembangkan di desa tersebut
Desa wisata mempunyai potensi untuk dikembangkan, ditingkatkan, di desain
secara kualitas dalam berbagai komponen kepariwisataan berdasarkan kepada kekayaan
budaya tradisional dari desa itu sendiri. Dengan demikian diharapkan bahwa desa wisata
sebagai produk wisata akan lebih bernuansa pedesaan berdasarkan pandangan hidup, dan
kebudayaan pedesaan sehingga pengembangan pariwisata dapat sejalan dengan
kebudayaan masyarakat setempat tanpa harus merusak kebudayaan yang asli (Profil desa
wisata di Kab Sleman, 2007: 11).
Desa wisata muncul karena desa itu memiliki potensi atau kekayaan yang dapat
atau layak untuk dijual oleh masyarakatnya sendiri kepada wisatawan nusantara dan
wisatawan mancanegara. Obyek desa wisata adalah desa dengan segalpotensinya,
sedangkan pemrakarsanya adalah penduduk desa tersebut yang memiliki kemauan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Wisatawan yang masuk ke desa wisata tersebut dapat menikmati alam pedesaan
yang masih bersih dan merasakan hidup dalam suasana desa dengan adat-istiadat dan
budayanya (http/www.google.com, Kompas-Wisata pedesaan Sleman masih mencari
bentuk).
Kawasan desa wisata juga harus memiliki berbagai fasilitas untuk menunjang
kawasan tersebut sebagai tujuan wisata. Berbagai fasilitas ini akan memudahkan para
pengunjung Desa Wisata dalam melakukan kegiatan wisata. Fasilitas-fasilitas yang
sebaiknya dimiliki oleh kawasan Desa Wisata antara lain: sarana transportasi,
telekomunikasi, dan akomodasi (http/www.google.com, Kompas-Wisata pedesaan
Sleman masih mencari bentuk).
Pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata disamping identifikasi terhadap
unsur-unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan
pemahaman terhadap karakteristik serta tatanan sosial budaya masyarakat. Hal ini
dimaksudkan untuk dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa
tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk dapat menentukan jenis dan tingkatan
pemberdayaan masyarakat secara tepat guna dan berhasil guna. Selain itu yang lebih
penting lagi adalah untuk mengenali tingkatan penerimaan dan kesediaan masyarakat
terhadap kegiatan pariwisata yang akan dikembangkan di desa tersebut. Dalam
pengembangan desa wisata pinsip-prinsip yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut:
a. Tidak bertentangan dengan adat-istiadat atau budaya masyarakat desa setempat
b. Pembangunan fisik ditujukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan desa
c. Memperhatikan unsur kelokalan dan keaslian
d. Memberdayakan masyarakat desa wisata
e. Memperhatikan daya dukung dan daya tampung serta berwawasan lingkungan
(Profil Desa Wisata di Kab Sleman, 2007: 7-8).
Kebudayaan membuat perkampungan dimulai sejak manusia merasa membutuhan
rumah tempat tinggal. Misalnya perkampungan masyarakat desa Kemetul yang memiliki
nilai-nilai keunikan, adat istiadat dan kebudayaan yang khas.. Selain dari kebudayaan ,
lahan pertanian, peternakan, kesenian dan ketrampilan masyarakat juga menjadi
perhatian yang penting. Sebagai contoh lahan (tanah) menduduki tempat utama dalam
pandangan hidup orang Jawa jika akan dijadikan tempat tinggal (rumah). Karena rumah
dalam bahasa Jawa disebut omah , untuk menegaskan bahwa rumah sangat penting bagi
kehidupan manusia.
Pola perkampungan masyarakat mencerminkan satu kesatuan yang utuh , satu
sama lain ditampilkan melalui formasi dan komposisi rumah yang berdekatan, dengan
memusat (bertitik pusat) kepada satu bangunan milik orang yang dituakan di kampung
tersebut, dan orang tersebut biasa disebut sesepuh desa.
Pola kampung secara keseluruhan terdiri dari rumah-rumah yang berhubungan
dengan berbagai fasilitas yang mencerminkan pola hidup harmonis dalam kesatuan
lingkungan, sehingga merupakan perpaduan antara aspek-aspek yang keramat (sacral)
dan lingkungan yang tetap terpelihara dalam suasana silih asah, silih asih dan silih asuh
sebagai satu konsep saling menyayangi di antara keluarga, kerabat dan paling utama
adalah cerminan sikap gotong royong masyarakat dalam segala bentuk prilaku dan
kehidupan. Harmonisasi dalam pengembangan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya
serta lingkungan dalam pola perkampungan memiliki kemampuan untuk memberikan
penyesuaian dan harmonisasi antara religi , kemajuan teknologi dan modernisasi.
c. Pendekatan Kawasan Desa wisata

Pentingnya pendekatan pada masyarakat dalam proses membangun pemodelan


desa wisata bertujuan supaya pembangunan tetap berorientasi kepada kepentingan
masyarakat desa setempat, lingkungan dan pembagian tatanan yang tepat dalan penataan.
Tata ruang yang didasarkan pada kondisi, potensi alam serta karakter sosial, budaya serta
ekonomi masyarakat desa setempat. Adapun pendekatan yang dapat dilakukan dalam
pengembangan desa wisata adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan kualitas lingkungan masyarakat sebagai dasar utama yang harus dijaga
keutuhannya, sehingga tidak akan timbul konflik dengan masyarakat desa setempat
maka langkah-langkah pendekatan sesuaidengan kearifan lokal untuk memenuhi
fungsi timbal balik, estetika, rekreatif, ilmiah dan konservasi.
2. Pendekatan perencanaan fisik yang meliputi daya tampung ruang, pemilihan daya
tampung ruang, pemilihan lokasi yang tepat serta tata ruang yang seimbang antara
daerah ( zona) inti, zona penyangga, dan zona pelayanan, tanah, air dan iklim .
3. Pendekatan terhadap unsur-unsur pariwisata yang dapat dibangun dalam hubungan
dengan pemenuhan kebutuhan fasilitas bagi wisatawan.
4. Pendekatan dasar rencana tata ruang yang berkaitan dengan peletakan fisik, sistem
transportasi, sistem utilitas tipologis, pola penghijauan, pola disain arsitektural, tata
bangunan, topografi, iklim, desain lanskap.
5. Pendekatan struktur geo-klimatologis dan geo-morfologis setempat harus mendukung
kesuburan dan keindahan seperti karakter, pegunungan/perbukitan yang indah, udara
yang sejuk serta kondisi hidrologis yang memungkinkan, budi daya pertanian
berkembang.
Hubungan antara wisatawan dan penduduk setempat harus lebih mengedepankan
kepentingan dan kenyamanan masyarakat. Unsur penting yang lain adalah membentuk
kawasan desa wisata yang berkelanjutan dengan mengadakan pelatihan bagi masyarakat ,
karena pembangunan kawasan desa wisata memerlukan sumber daya manusia yang
berkualitas dan profesional . Pembentukan kelompok pengusaha setempat dan pembinaan
kelompok pengusaha lokal dapat bermanfaat agar dapat memunculkan usaha-usaha baru.
Caranya dapat diperoleh dengan memajukan dan menampilkan produk lokal
seperti barang kerajinan, makanan khas, minuman dan produk-produk lainnya yang
memberikan cita rasa khas pada wisatawan tentang daerah tersebut , serta dapat digunakan
untuk mempromosikan kekhasan tersebut kepada wisatawan.
Semua hal tersebut di atas adalah produk yang dapat dimanfaatkan oleh usaha
pariwisata lokal , untuk memajukan ciri khas lokal desa tersebut dan mengembalikan
modal dan pendapatan ke dalam daerah tersebut. Pembentukan kelompok pengusaha lokal
juga dapat memperkuat kedudukan pengusaha kecil menjadi kuat dan mapan.
Keaslian desa wisata memberikan manfaat bagi produk wisata yang berwujud
desa wisata. Keaslian utama adalah kualitas, keorsinilan, keunikan, khas daerah dan
kebanggaan daerah. Keaslian itu dapat terwujud melalui gaya hidup dan kualitas hidup
masyarakat desa setempat , dan secara khusus berkaitan dengan prilaku integritas,
keramahan dan kesungguhan penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Keaslian desa
wisata dipengaruhi oleh tingkat ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan. misalnya
warisan budaya, pertanian, bentangan alam, jasa dan peristiwa sejarah dan budaya dari
daerah tersebut.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka, dalam proses perencanaan pemodelan desa
wisata tidak dapat dipisahkan dari partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat muncul secara partisipatif sebagai alternatif terhadap
pendekatan pembangunan serta sentralisasi dan bersifat bottom up.
Proses partisipasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat didasarkan pada dua
perspektif. Pertama : Pelibatan masyarakat, setempat dalam pemilihan, perancangan,
perencanaan dan pelaksanaan program yang akan dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga
dapa dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap, dan pola pikir serta nilai-nilai
pengetahuan masyarakat ikut dipertimbangkan secara penuh. Kedua : membuat umpan
balik yang pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan
pembangunan desa wisata.
Masyarakat desa dapat diajak terlibat untuk perencanaan dan program pemodelan
desa wisata dalam kerangka pembangunan desa secara keseluruhan yang berdasar pada:
(1) desa tempat dimana pemerintahan desa menjalankan pemerintahan, (2) desa tempat
dimana penduduk desa menjalankan pola kehidupan keagamaan, adat istiadat, kebudayaan
dalam satu harmonisasi kehidupan yang mencerminkan tata karma masyarakat, (3) desa
tempat dimana masyarakat desa melakukan kegiatan,mengisi waktu luang dan
bercengkerama di alam desa yang mereka miliki, (4) desa dimana masyarakat memiliki
sikap, perilaku untuk melindungi, memelihara dan memanfaatkan seni budaya,
lingkungan, dan nilai-nilai tradisi masyarakat yang dapat mendorong kelestarian serta
promosi wisata desa itu sendiri. Pembinaan harus bisa mengubah masyarakat dari hanya
sebagai obyek tetapi menjadi subyek pembangunan , harus menguntungkan dan
menyejahterakan masyarakat. Jika desa wisata dikembangkan, maka desa wisata harus
memiliki manfaat terhadap:

1. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat


Desa wisata memerlukan dukungan melalui kelancaran dan efektivitas
pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama untuk mengembangkan Usaha Mirko Kecil dan
Koperasi (UMKK) , Lembaga Keuangan Mikro (LKM) agar masyarakat desa mendapatkan
pekerjaan yang layak. Oleh karena itu perlu adanya pengembangan usaha ekonomi dan
mata pencaharian berkelanjutan , yang dapat ditempuh dengan cara : (1) Usaha Ekonomi
Rakyat (usaha kecil, mikro dan koperasi) yang memanfaatkan sumber daya lokal secara
optimal dan lestari, (2) mengembangkan badan usaha milik rakyat yang dapat
berdampingan dan bermitra dengan Koperasi, (3) pengembangan klaster-klaster usaha
ekonomi rakyat yang menampilkan produk-produk unggulan bernilai tinggi sebagai
sentra-sentra industri menuju kemandirian ekonomi rakyat.
Dukungan kelancaran dan efektivitas pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut
dapat dikembangkan secara partisipatif sesuai dengan sumber daya masyarakat seperti,
prasarana fisik , transportasi dan komunikasi, pelayanan dasar, perluasan ruang publik
yang bermanfaat bagi masyarakat, pengembangan tenaga kerja dan lingkungan kerja
khususnya bagi tenaga kerja usia muda.

2. Pemberdayaan Sosial Budaya


Pendekatan secara terintegrasi dalam menata kehidupan sosial masyarakat dapat
dikembangkan melalui kearifan lokal dan partisipasi pemerintah daerah, yang bertindak
sebagai fasilitator dalam melakukan identifikasi kegiatan, mekanisme dalam pemecahan
masalah kependudukan, perbaikan pelayanan dan peningkatan kualitas pendidikan, serta
perbaikan pelayanan masyarakat. Unsur-unsur tersebut perlu menjadi pertimbangan
utama dalam mengkaji kawasan desa wisata, mengingat pengembangan desa wisata
secara umum tidak terlepas dari kerjasama antara pemerintah daerah dengan melibatkan
masyarakat, sehingga membawa dampak kemajuan bagi masyarakat setempat.
Selain uraian di atas ada beberapa pendapat menunjukkan adanya berbagai
dampak yang tidak diharapkan, seperti adanya kesenjangan pendapatan antar kelompok
masyarakat, ketimpangan antar daerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap
sumber daya ekonomi. Kajian sosiologi dalam penerapan pemodelan pariwisata
dianggap tepat , karena tipe pariwisata yang dikembangkan adalah desa wisata, dimana
desa wisata mempunyai beberapa ciri, seperti; desa wisata melibatkan masyarakat lokal
secara lebih luas dan lebih intensif karena dasarnya berkaitan dengan kehidupan sosial
budaya yang menjadi daya tarik wisata melekat pada masyarakat itu sendiri, oleh karena
itu pentingnya mengidentifikasi dampak terhadap sosial budaya pariwisata yang menurut
Fiquerola ( Pitana, 2005:117) terdiri dari enam kategori, yaitu :
a) Dampak terhadap struktur demografi
b) Dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian
c) Dampak terhadap transportasi nilai
d) Dampak terhadap gaya hidup tradisional
e) Dampak terhadap pola konsumsi, dan
f) Dampak terhadap pembangunan masyarakat yang merupakan manfaat sosial
budaya pariwisata.
3. Pemberdayaan Lingkungan Desa wisata
Pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan desa wisata menyangkut tiga
hal penting yaitu, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Budiharsono (2006:10)
mengemukakan dimensi ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta merubah pola produksi dan
konsumsi ke arah yang seimbang, sedangkan dimensi sosial budaya bersangkutan
dengan upaya pemecahan masalah ke pendudukan, perbaikan pelayanan masyarakat,
peningkatan pendidikan dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai
upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah serta
konservasi sumber daya alam.
Sedangkan prinsip-prinsip sistemik pengembangan desa wisata mencakup
keanekaragaman, kemitraan dan partisipasi strategi yang dapat ditempuh dalam
perencanaan kawasan desa wisata antara lain:
a. Kawasan desa wisata harus berdasarkan prinsip pembangunan yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan . Pembangunan bernuansa lingkungan memiliki
keterkaitan dengan pencegahan kerusakan sumber daya alam sebagai akibat dari
perkembangan pariwisata, serta merupakan dampak baik terhadap lingkungan
hidup , sumber daya alam, sosial ekonomi dan budaya penduduk setempat.
Karena itu kewaspadaan terhadap dampak lingkungan dalam pemodelan desa
wisata yang akan diakibatkan oleh kunjungan wisatawan massal menjadi penting
guna memelihara kelanjutan kualitas lingkungan hidup dan sumber daya alam
yang tersedia di pedesaan.
b. Kawasan desa wisata harus mengantisipasi secara terpadu, kemungkinan
terjadinya dampak lingkungan hidup dan sumber daya alam sejak dini, yang
digarap sejak tahap perencanaan, sehingga upaya untuk mencegah dan
mengarungi serta mengendalikan dampak lingkungan hidup dan sumber daya
alam sebagai bagian dari pengembangan desa wisata tidak terpisahkan.
c. Studi pra-rencana untuk mendukung desa wisata dalam pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan tersebut, sekaligus akan memberikan
masukan yang berharga terhadap ketersediaan potensi desa wisata.
d. Pengembangan desa wisata lebih diarahkan dan dipacu menuju upaya
pengembangan ekowisata yang berpola pada pemanfaatan dan penyelamatan
lingkungan biogeofisik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya serta
memelihara sumber daya alam pedesaan, dari kerusakan lingkungan hidup dan
sumber daya alam pedesaan.
e. Dalam rangka pengendalian dampak sosial ekonomi dan budaya, pengembangan
kawasan desa wisata harus ditujukan kepada upaya peningkatan pemerataan
kesempatan, pendapatan, peran serta dan tanggung jawab masyarakat setempat
yang terpadu dengan upaya pemerintah daerah dan dunia usaha.
f. Pengembangan kawasan desa wisata tidak dapat dilepaskan dari desa sebagai
pusat pemerintah desa, desa sebagai tempat hidup masyarakat dan desa sebagai
tempat berekreasi masyarakat, hal ini penting untuk mencegah beralihnya aset
desa dan kepemilikan lahan masyarakat desa kepada pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab serta tersisihnya masyarakat oleh datangnya pendatang.
Sejalan dengan strategi tersebut di atas maka dalam pengelolaan sumber daya
alam pedesaan melibatkan masyarakat desa dalam rangka mengelola dan memanfaatkan
sumber daya alam di pedesaan mencakup peningkatan efisiensi dan produktivitas,
pemerataan hasil dan kesejahteraan secara profesional dan pencapaian sumber daya yang
berkelanjutan. Tujuan ini merupakan pilar yang secara bersama dan seimbang
mendukung, keberadaan sumber daya alam bagi kepentingan masyarakat desa.

4. Pemberdayaan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia


Pemodelan kelembagaan dan sumber daya manusia pada desa wisata lebih
menekankan kepada: Pertama; investasi pada modal manusia (human capital) yaitu
dalam bidang pendidikan dan kesehatan, Kedua; peningkatan kapasitas organisasi di
pedesaan, disamping organisasi pemerintahan desa yang secara bersama-sama memiliki
keinginan untuk mengembangkan desa wisata sebagai upaya pembangunan yang
berkelanjutan, Ketiga; memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan
kelompok sehingga efisiensi bisa tercapai, Keempat; memperbaiki budaya kerja, kerja
keras, tanggung jawab dan hemat, Kelima; menghilangkan sifat dan mental negatif,
boros, konsumtif yang dapat merusak produktivitas. Sedangkan melalui pendidikan lebih
diarahkan kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam bentuk
hasil kerja yang dibutuhkan oleh pasar.
Pendidikan dan pelatihan tidak hanya memberikan keilmuan tetapi yang lebih
penting adalah kesadaran untuk menerima, bekerja sama, dan menimbulkan perilaku baru
dalam upaya mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan dan ketergantungan pada
pemerintah..
d. Pengelolaan Desa wisata
Bentuk pengelolaan desa wisata pada dasarnya berpusat pada masyarakat yang
dikelola secara baik, dengan mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam
pengelolaan seperti; (1) aspek sumber daya manusia, (2) aspek keuangan, (3) aspek
material, (4) aspek pengelolaan dan (4) aspek pasar. Penge4lo0laan desa wisata tersebut
diwujudkan dalam bentuk organisasi masyarakat dan kemitraan, manajemen korporasi,
yayasan atau badan pengelola desa wisata yang unsur- unsur pengelolanya diambil dari
masyarakat setempat dan lebih mengutamakan pada para pemuda yang memiliki latar
belakang pendidikan atau keterampilan yang dibutuhkan.

e. Perencanaan Kawasan Desa wisata


Hal penting dalam setiap kerja sama individu dalam satu kelompok, adalah
maksud dan tujuan kerja sama tersebut dilakukan, dan bagaimana metode untuk
mencapainya.. Agar usaha kelompok tersrebut lebih efektif, orang-orang dalam kelompok
itu harus mengetahui apa yang diharapkan untuk menyelesaikannya, inilah yang disebut
sebagai perencanaan.
Berdasarkan fungsi perencanaan tersebut, maka perencanaan adalah keputusan
untuk waktu yang akan datang, apa yang akan dilakukan, bilamana akan dilakukan dan
siapa yang akan melakukan. Jelasnya perencanaan dimaksudkan untuk memperoleh
sesuatu dalam waktu yang akan datang, dan usaha atau cara yang efektif untuk
mencapainya. Oleh karena itu perencanaan adalah suatu keputusan apa yang diharapkan
dalam waktu yang akan datang.
Penyusunan perencanaan kawasan desa wisata merupakan proses kesinambungan.
Dalam penyusunan perencanaan kawasan desa wisata dibutuhkan suatu tindakan
pemeliharaan yang terbaik dan menguntungkan dari berbagai alternatif dalam usaha
untuk mencapai tujuan. Mengingat perencanaan kawasan desa wisata lebih banyak
melibatkan peran, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, maka bentuk
perencanaannya lebih menitik beratkan kepada Community Based Tourism. Pendekatan
partisipatif merupakan strategi dalam paradigma pembangunan yang bertumpu kepada
masyarakat (people centred development) (Ekajati, 1995).
Strategi ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan
kemandirian dan kekuatan internal dalam mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan
masyarakat desa yang dikenal sebagai satu pendekatan Participatory Planning dapat
diartikan sebagai metode yang memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi
meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehidupan
desa.
Desa wisata yang bertumpu pada masyarakat merupakan suatu alternatif baru
untuk meningkatkan hasil produksi guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Perencanaan
partisipatif dapat dilakukan jika praktisi pembangunan tidak berperan sebagai perencanaan
untuk masyarakat tetapi sebagai pendamping dalam proses perencanaan yang dilakukan
oleh masyarakat.

f. . Ciri-Ciri dan Perkembangan Desa Wisata.


Untuk lebih menitikberatkan pada perencanaan desa wisata, maka dibutuhkan
kajian terhadap kebudayaan desa itu sendiri yang sangat berpengaruh kepada keaslian
desa wisata. Ekajati, (1995:109) mengemukakan bahwa kebudayaan bertitik tolak dari
corak kehidupan desa pada lingkungan masyarakat tertentu, terutama di lingkungan pusat
pemerintah dan pusat perdagangan, berkembang menuju corak kehidupan kota.
Corak kehidupan desa ditandai oleh kehidupan yang cenderung homogen dan
berputar sekitar bertani. Sampai dengan abad ke-19 masehi sistem pertanian yang
menonjol digunakan masyarakat ialah sistem berladang (Ekajati, 1995:109), dalam
masyarakat sistem tersebut dikenal dengan sistem huma.
Sejak pertengahan abad ke-19 masehi, sistem pertanian sawah mulai dipopulerkan
secara sistematis dan besar-besaran di lingkungan masyarakat secara menyeluruh. Pada
masa pengaruh kebudayaan hindu (sebelum tahun 1579) istilah desa sudah dikenal dalam
masyarakat Jawa. Pada mulanya desa terbentuk berdasarkan persekutuan adat, sehingga
bisa disebut desa adat. Hal itu dalam ungkapan ciri sabumi, cara sadesa yang berarti
setiap desa mempunyai adat masing-masing (Ekajati, 1995:114).
Dalam kedudukannya sebagai desa adat, maka desa merupakan lembaga otonomi,
yaitu suatu lembaga yang mengatur diri sendiri. Karena itu desa bukan hanya merupakan
satu kesatuan sosial, melainkan juga merupakan kesatuan hukum, kesatuan ekonomi,
tegasnya kesatuan hidup manusia atau dengan kata lain merupakan satu kesatuan
kebudayaan. Kesatuan desa sebagai bagian dari pemerintahan, masih berlaku hingga
sekarang.
Kedudukan tersebut dewasa ini, dikukuhkan dengan Undang-undang No. 32, tahun
2004, tentang otonomi daerah. Dalam masyarakat terbentuknya desa melalui proses yang
diawali dari munculnya kesatuan pemukiman yang terdiri dari atas sekitar 1-3 rumah
beserta lingkungannya, kemudian berkembang menjadi sebuah kampung yang terdiri h
dari 20 rumah atau lebih Akhirnya terbentuklah desa sebagai pengembangan dari
kampung atau himpunan beberapa kampung (Garna, 1994:227-229).
Terbentuknya kampung terjadi di daerah persawahan, karena persyaratan yang
diperlukan untuk pendirian sebuah kampung adalah adanya mata pencaharian yang
sama. Di daerah persawahan masyarakat kemudian menetap di satu tempat secara
bersama-sama karena adanya ikatan dengan lahan pertanian yang harus diolah sepanjang
tahun secara terus menerus.
Dengan kehidupan yang menetap, mereka hidup bersama-sama di satu tempat,
saling tolong menolong dan saling bantu untuk memenuhi keperluan hidup mereka serta
mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar dan bekerja sama dalam segala bidang
( Hadikoesoemo, 1965:3). Berdasarkan letak geografisnya, desa-desa di Jawa dapat
digolongkan atas tiga jenis (Ekajati, 1995:126-127). Ketiga jenis dimaksud adalah:
1. Desa pegunungan, yaitu desa yang terletak di pegunungan dan dataran tinggi.
2. Desa dataran rendah, yaitu desa yang terletak di dataran rendah.
3. Desa pantai yaitu desa yang terletak di tepi pantai dan di sepanjang pesisir.
Sedangkan berdasarkan mata pencaharian pokok penduduk desa-desa di Jawa
dibedakan atas:
1. Desa pertanian, desa yang kehidupan utama penduduknya dari bidang pertanian
dengan mengelola tanah. Sebagian besar desa di Jawa adalah desa pertanian.
2. Desa nelayan, desa yang kehidupan utama penduduknya dari hasil penangkapan
ikan di laut, karena itu lokasi desanya pun berada di tepi pantai atau sekitar pantai.
3. Desa kerajinan yaitu desa yang kehidupan utama penduduknya dari bidang
kerajinan tangan atau industri.
Ditinjau dari sudut pengelompokan bangunannya, desa-desa di Jawa dapat
digolongkan atas tiga macam pola (Ekajati, 1995:127). Ketiga macam pola tersebut
adalah:
1. Desa linier, yaitu desa yang perumahan penduduknya (kampung-kampungnya)
berkelompok memanjang mengikuti alur jalan desa atau jalan raya, aliran sungai,
jalur lembah, atau garis pantai.
2. Desa radial, yaitu desa yang perumahan penduduknya (kampung-kampungnya)
berkelompok pada persimpangan jalan, biasanya perempatan jalan (simpang
empat). Setiap jenis dan pola desa mempunyai corak sosial-budaya sendiri yang
mandiri, disamping persamaannya sebagai hasil proses sosial dan sejarah. Di
dalamnya terdapat beberapa faktor yang ada dan hidup dalam lingkungan desa
masing-masing. Pemerintahan di desa dipimpin oleh seorang kepala desa, sebutan
kepala desa di Pulau Jawa berbeda-beda antara wilayah yang satu dengan wilayah
yang lain. Di wilayah Banten disebut Jaro (Jaro berarti orang yang dihormati),
sama dengan juragan di Periangan, di Karawang disebut mandor, di wilayah
Periangan sejak 1926 disebut lurah, di jawa tengah disebut lurah atau kepala desa.
Sejak abad ke 19 pemerintah desa merupakan bagian dari struktur pemerintahan
yang lebih luas. Dalam hal ini, desa berada pada kedudukan paling bawah, dalam
kedudukan tanggung jawab kepada pejabat yang paling atas.
Kegiatan sehari-hari pemerintah desa umumnya diselenggarakan di sebuah
bangunan yang disebut bale desa (balai desa). Biasanya balai desa terletak di
tengah-tengah wilayah desa atau dekat rumah kepala desa. Lokasi
pemerintahan desa sering disebut sebagai pusat desa. Sesungguhnya balai desa
mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan masyarakat desa, salah satu untuk
pertemuan penting dalam mengambil keputusan dan penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat desa .
3. Desa di sekitar alun-alun atau lapangan terbuka yaitu desa yang pemukiman
penduduk dan perlengkapan desanya (balai desa, masjid, sekolah) berkelompok di
sekeliling alun-alun desa atau lapangan terbuka. Pola desa ini dipandang sebagai
imitasi desa dan miniatur dari pola kota, kabupaten atau kota kecamatan (Garna,
1984:231-232, dalam Ekajati 1995:127).
Apabila memperhatikan pola penyebaran desa memungkinkan terbentuknya dua
macam pola desa , yaitu pola desa yang tersebar dan pola desa yang terkonsentrasi. Pola
desa tersebar diidentifikasikan sebagai pola dimana kampung-kampungnya tersebar di
beberapa lokasi yang dipisahkan oleh jalan, kebun, persawahan, lembah, hutan. Dalam
pola desa tersebar, terdapat kampung induk, yang ditandai dengan adanya kantor desa,
dan kantor lainnya yang merupakan satu kesatuan dalam pemerintahan desa seperti
LKMD, LMD. Pola desa berkonsentrasi lebih berintikan kepada pemusatan kampung-
kampung dalam satu lokasi yang berdekatan antara satu dengan yang lainnya. Pada
umumnya pola desa terkonsentrasi luas wilayahnya agak sempit.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam perencanaan/pemodelan desa
wisata, tidak dapat dipisahkan dari ciri-ciri yang berkembang dalam pembangunan desa
saat ini. Mengapa masyarakat kota saat ini merindukan kehidupan pedesaan, salah satu
alasannya adalah rutinitas kota yang mengubah pola hidup mereka menjadi serba sibuk
dan membutuhkan suasana yang tenang. Suasana pedesaan menjadi dambaan
masyarakat kota untuk melakukan kunjungan wisata ke desa. Namun sejauh mana
potensi pedesaan menjadi daya tarik wisata, tentunya memerlukan berbagai inovasi dan
kreasi yang dapat dibentuk misal dari desain arsitektur rumah di pedesaan, lingkungan
yang diciptakan dalam tatanan pedesaan, makanan dan industri kerajinan dan kemasan
sajian budaya masyarakat desa sebagai upaya untuk menciptakan kawasan desa wisata.

E. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan proses dimana antara satu tahap dengan tahap yang lain saling
terkait sehingga menjadi susunan yang sistematik. Setiap tahapan dalam penelitian
merupakan bagian yang menentukan proses penelitian selanjutnya .Oleh karena itu sebelum
penelitian dilakukan, terlebih dahulu harus dibuat langkah-langkah penelitian.
Langkah-langkah penelitian ini dibuat dengan maksud untuk memudahkan dan
memberikan arahan jalannya penelitian, sehingga dapat berguna sebagai tuntunan bagi
peneliti dalam menyusun dan melaksanakan penelitian secara terencana dan sistematis. Uraian
berikut menjelaskan langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan.

3.I. Data dan Sumber Data


3.1.1. Data
Data adalah informasi atau keterangan mengenai segala sesuatu yang berkaitan
dengan tujuan penelitian. Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara,
observasi, dokumentasi foto pada saat penelitian. Data-data ini diperoleh dari : (a) Buku-
buku, majalah, koran yang memuat informasi tentang desa Kemetul (b) hasil wawancara
dengan responden (sesepuh ,juru kunci makam. Lurah Kemetul dan tokoh masyarakat Desa
Kemetul) mengenai potensi desa Kemetul meliputi : kebudayaan dan kesenian , adat-istiadat,
makanan rakyat, kerajinan masyarakat. (c) foto dan dokumentasi tentang desa Kemetul dan
potensi masyarakat desa Kemetul.
3.1.2. Sumber Data
Sumber data secara umum berasal dari masyarakat desa Kemetul sebagai obyek
kajian dalam penelitian. Untuk memperoleh data yang akurat, ada beberapa syarat yang
dipergunakan untuk memilih informan. Syarat-syarat tersebut adalah :
1) Orang dewasa
2) Bertempat tinggal atau berdomisili di lingkungan desa Kemetul Kec. Susukkan Kab
Semarang
3) Bisa berbahasa ibu
4) Sehat jasmani dan rohani
5) Pewaris aktif dan merupakan kelompok pendukung.
Dengan syarat tersebut diharapkan data-data yang diperoleh dapat lebih akurat
dan tepat. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan
sumber data sekunder.

1. Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung pada saat
penelitian. Data ini diperoleh dari hasil wawancara terhadap sesepuh ,juru kunci makam.
Lurah Kemetul dan tokoh masyarakat Desa Kemetul.

2. Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari buku-buku,
makalah, majalah dan koran yang berkaitan dengan desa Kemetul. Data sekunder ini
digunakan untuk perbandingan dan memperkaya data penelitian.

3.2. Teknik Pengumpulan Data


Dalam rangka pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian maka terlebih
dahulu perlu dilakukan identifikasi cara pengumpulannya. Pengumpulan data dalam
penelitian ini dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan data secara langsung dari informan.
Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur artinya
wawancara yang bersifat bebas, santai dan memberikan kebebasan seluas- luasnya pada
informan untuk mengeluarkan pandangan, perasaan, pikiran, keyakinan,dan
kepercayaannya tanpa diatur peneliti. Selain wawancara peneliti juga mengumpulkan data
dari buku-buku, majalah,koran artikel atau jurnal yang berkaitan dan memberikan
informasi tentang desa Kemetul dan potensi desa Kemetul..

3.3. Uji Validitas Data


Agar diperoleh temuan dan interpretasi yang valid sebagai sumber data penelitian,
maka perlu diteliti kredibilitasnya dengan menggunakan teknik-teknik perpanjangan
kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang mendalam, triangulasi (mempergunakan
beberapa sumber, metode, peneliti, teori), pembahasan denan teman sejawat dan
pelacakan kesesuaian hasil. Teknik yang digunakan untuk uji validitas data dalam
penelitian ini adalah:
1. Perpanjangan keikutsertaan yaitu menambah waktu untuk observasi dan wawancara
sehingga dapat diperoleh data tambahan dari para informan.
2. Triangulasi, peneliti berusaha mengumpulkan data yang sama dari beberapa sumber
data (koran, majalah, artikel, jumal) menggunakan metode yang bebeda untuk
mengumpulkan data yang sama, menerapkan beberapa teori untuk mebahas data
yang sama sehingga hasil pembahasan dapat relevan dengan tujuan penelitian.
3. Diskusi dengan teman sejawat yang memiliki latar belakang yang sama, sehingga
dapat menambah wawasan peneliti dalam pengolahan dan pembahasan data.

3.4. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
data langsung, artinya analisis data dilakukan sejak awal pengumpulan data dan terus
berlanjut sampai akhir penelitian. Teknik analisis datanya adalah sebagai berikut:
1. Analisis Data Selama Pengumpulan Data
Pada tahap ini, peneliti mewawancarai informan yang menjadi sumber data. Hasil
wawancara dicatat kemudian ditelaah dan dikembangkan dalam bentuk rangkuman.

2. Analisis Data Setelah Pengumpulan Data


Setelah data terkumpul ada beberapa tahap yang dilakukan untuk memproses
data, yaitu :
a. Editing, memeriksa kelengkapan dan kelayakan data untuk mendapatkan data yang
akurat, apabila belum lengkap dapat dilakukan pengumpulan data ulang langsung
ke narasumber yang bersangkutan.
b. Coding, memberikan kode-kode pada hasil wawancara, observasi untuk
mengklasifikasikan jawaban dan informasi yang berhubungan dengan rumusan
masalah untuk memperrnudah tahap berikutnya.
c. Simpulan, mengarnbil kesimpulan dari data-data yang sudah dikumpulkan,
dianalisis untuk mendapatkan makna dari pokok kajian.

3.5. Penafsiran Hasil Penelitian


Tahap ini rnerupakan kelanjutan dari tahap pengolahan data, hasil wawancara
penelitian akan dianalisis secara individual maupun secara keseluruhan. Pada tahapan ini
dilakukan dua macam analisis yaitu. (1) penjelasan tentang hasil wawancara sebagai
sumber data (2) interprestasi terhadap hasil pengolahan data.

3.6. Penyimpulan Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis pengolahan data penelitian,
selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan penelitian. Pada tahap ini juga diajukan
saran-saran. Saran ini diajukan baik kepada pimpinan tempat dilakukannya penelitian
maupun kepada peneliti atau calon peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mendalami
studi mengenai topik penelitian serupa.
Keseluruhan metode penelitian sebagaimana diuraikan di atas, secara ringkas
dapat disajikan dalam bentuk diagram alir (flowchart) pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1
Bagan Alir Proses Penelitian

Desa Kemetul Kec


Susukan Kab Semarang

Obsevasi dan Potensi seni dan Pemberdayaan


wawancara budaya masyarakat masyarakat desa
Desa Kemetul Kemetul

Pengolahan data , klasifikasi


data dan analisis data

Simpulan/Hasil Penelitian:

Terbentuknya Desa Wisata Kemetul Kecamatan Susukan Kabupaten


Semarang Jawa Tengah berdasarkan pengembangan potensi budaya dan
pemberdayaan masyarakat desa Kemetul

3.7.Penyajian Hasil Analisis Data


Penyajian hasil analisis data pada penelitian ini adalah deskripsi. Deskripsi
adalah menyajikan hasil analisis data dengan cara menjelaskan dan menguraikan atau
mendeskripsikan obyek penelitian seakan-akan ada dihadapan pembaca.
H. JADWAL PENELITIAN

Penelitian ini dijadwalkan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 5 (lima) bulan, dengan
rincian skedul sebagai berikut:

No Kegiatan Bulan Ke
1 2 3 4 5
1 Persiapan Administratif
2 Diskusi Metodologis
3 Pengumpulan Data/Observasi/ Wawancara
4 Pengumpulan Data/Observasi/ Wawancara
5 Pengumpulan Data/Observasi/ Wawancara
6 Pengolahan&Analisis Data
7 Penyusunan&Penggandaan Laporan
DAFTAR PUSTAKA

Arsip BAPARDA. 2007. Panduan Wisata Sleman. Yogyakarta.


______________. 2007. Petunjuk Wisata Jogja. Yogyakarta.
Arsip DISPARTA Sleman. 2007. Profil Desa Wisata di Kabupaten Sleman.Yogyakarta
______________. 2007. Sleman Regency. Yogyakarta
Hari Karyono. 1997. Kepariwisataan. Jakarta: PT. Gramedia.
.Kusmayadi & Endar Sugiarto. MM. 2000. Metodologi Penelitian dalam bidang
Kepariwisataan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
M. A Desky. 1999. manajemen perjalanan wisata. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Marpaung, Happy. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung:ALFABETA
Morissan. 2002. Petunjuk Wisata Lengkap Jawa-Bali. Jakarta: Ghalia Indonesia
Oka A. Yoeti. 1997. Perencanaan Dan Pengembangan Pariwisata.. Jakarta: PT. Pradnya
Paramitha
Pendit, Nyoman. S.. 2002. Ilmu Pariwisata. Jakarta: PT Pradnya Paramitha
Pitang, I Gede dan G. Gayatri, Putu. 2005. Sosiologi Pariwisata Yogyakarta. Andi Offset.
Rangkuti, Freddy. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia
Ramaini, H. Khodiyat. 1992. Kamus Pariwisata dan Perhotelan. Jakarta: Grasindo
Ross, Glenn F. 1998. Psikologi Pariwisata. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
R.S. Damarjati. 2001. Istilah-istilah Dunia Pariwisata.Jakarta: Pradnya Paramita.
Sugiantoro, Ronny. 2000. Pariwisata: Antara Obsesi dan Realita. Yogyakarta:Adi Cita.84
Suantoro, Gamal. 1997. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta
Sirtha, I Nyoman. 2008. Aspek Hukum dalam Konflik adat di Bali. Denpasar : Udayana
Univesity Press
Supartha, Wayan. 1999. Bali Dan Masa Depannya. Denpasar : Balai Pustaka
Wirata, I Nengah. 2010. Pariwisata Pedesaan Sebagai Paket Wisata Alternatif : Kasus Desa Wisata
Taman Salu. Volume 9, Nomor 2 September 2010. Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada
Masyarakat, STP Bali

http//www.yogyes.com
http//www.slemankab.com

Anda mungkin juga menyukai