Referat TB HIV
Referat TB HIV
LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia. Pada tahun 1992, World Health Assosiation (WHO) telah mencanangkan TB
sebagai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2011
adalah1:
Insidensi kasus : 8,7 juta (8.3- 9.0 juta)
Prevalensi kasus : 12 juta (10- 13 juta)
Kasus meninggal (HIV negatif) : <1 juta (0,84 - 1.1 juta )
Kasus meninggal (HIV positif) : 0,43 juta (0,40-0,46 juta); 0.38
juta (0.32-0.45 juta) pada 20092
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Dari data
hasil WHO tahun 2011, lima negara dengan insiden kasus terbanyak yaitu India (2,0
-2.5 juta), China (0,9 -1.1 juta), Afrika Selatan (0.4-0.6 juta), Indonesia (0,4 – 0,5 juta)
dan Pakistan (0.3- 0.5 juta) 1. TB paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian
penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis
ekstrapulmonar 2. Diperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi
kuman M. Tuberculosis 3 .
Sedangkan masalah HIV/ AIDS sendiri adalah masalah besar yang
mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO
yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah ODHA (Orang dengan
HIV/AIDS) di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat
ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/ AIDS 4.
HIV dan TB merupakan kombinasi penyakit mematikan2. Seseorang yang
terinfeksi HIV akan menderita infeksi oportunistik selama perjalanan alamiah
penyakit. TB adalah salah satu infeksi oportunistik yang tersering pada kasus infeksi
HIV dan mungkin mendahului terjadinya perkembangan AIDS, tapi seringnya
keduanya terdiagnosis secara bersamaan5.
Pada akhir tahun 2011, sekitar 1,1 juta orang dari 8,7 yang terinfeksi TB di
seluruh dunia terdapat koinfeksi Dengan HIV. 79% yang mengalami koinfeksi di
Afrika Sub-sahara, sisanya berada di Asia Tenggara dan di Amerika Latin dan Karibia
1
. Kenaikan jumlah pasien TB akibat meningkatnya jumlah seropositif HIV telah
dilaporkan terjadi di berbagai negara, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat,
demikian juga di negara-negara berkembang seperti Republik Tanzania,
Uganda,Ziare, dan juga Brunei. Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan
hingga akhir Desember 2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar
11.835 kasus (49%). Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di Indonesia
diperkirakan sekitar 3%; di Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi termasuk
populasi di Lapas/Rutan angkanya diperkirakan lebih tinggi 6. Perlu diketahui bahwa
apabila seseorang dengan seropositif HIV terinfeksi kuman TB maka ia mudah
menjadi AIDS dibanding mereka yang seronegatif 7.
2
C. Patogenesis
1.Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer disebit sebagai fokus Ghon.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian di mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan terlihat
peradangan pembuluh limfe menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah
satu nasib sebagai berikut 12 :
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali,
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus),
c. Menyebar dengan cara:
1) Perkontinuatum
Salah satu contoh adalah epitutuberkulosis, yaitu
suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epitutuberkulosis 12.
3
TB dalam beberapa bulan. Bila tidak terdapat imunitas yang
adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
gawat seperti TB milier, meningitis TB, Typhobacillosis
landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan TB pada
organ lain, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya12.
2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang persisten pada TB primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa
(tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun
seperti malnutrisi, alkohol, peyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal.
TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas
paru (bagian apical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya
adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. TB
pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua 13.
Patogenesis dan manifestasi patologi TB paru merupakan hasil
respon imun seluler (cell mediated immunity) dan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat terhadap antigen kuman TB12.
4
chemoatractant protein (MPC-1). Lama kelamaan makin banyak
makrofag dan kuman TB yang berkumpul di tempat lesi.
Tahap 3: terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman TB menetap karena
pertumbuhannya dihambat oleh respon imun tubuh terhadap
tuberculin-like antigen. Pada tahap ini, delayed type of
hypersensitivity (DTH) merupakan respon imun utama yang
mampu menghancurkan makrofag yang berisi kuman. Respon
ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi. Dalam solid caseous
center yang terbentuk, kuman ekstraseluler tidak dapat tumbuh,
dikelilingi non-activated makrofag dan partly activated
macrofag. Pertumbuhan kuman TB secara logaritmik terhenti,
namun respon imun DTH ini menyebabkan perluasan caseous
necrosis tapi tidak dapat berkembang biak karena keadaan
anoksia, penurunan pH dan adanya inhibitory fatty acid. Pada
keadaan dorman ini metabolism kuman minimal sehingga tidak
sensitif terhadap terapi. Caseous necrosis ini merupakan reaksi
DTH yang berasal dari limfosit T, khususnya T sitotoksik (Tc),
yang melibatkan clotting factor, sitokin TNF-alfa, antigen
reaktif, nitrogen intermediate, kompleks antigen antibody,
komplemen dan produk-produk yang dilepaskan kuman yang
mati. Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler menjadi aktif
menghasilkan molekul-molekul adesi (ICAM-1, ELAM-1,
VCAM-1), MHC klas I dan II.
Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen tuberkulin
pada sel Tc sehingga menyebabkan jejas pada endotel dan
memicu kaskade koagulasi. Trombosis lokal menyebabkan
iskemia dan nekrosis dekat jaringan.
Tahap 4: respon imun cell mediated immunity (CMI) memegang peran
utama dimana CMI akan mengaktifkan makrofag sehingga
mampu memfagositosis dan menghancurkan kuman. Activated
macrophage menyelimuti tepi caseous necrosis untuk mencegah
terlepasnya kuman. Pada keadaan dimana CMI lemah,
5
kemampuan makrofag untuk menghancurkan kuman hilang
sehingga kuman dapat berkembang biak di dalamnya dan
seanjutnya akan dihancurkan oleh respon imun DTH, sehingga
caseous necrosis makin luas. Kuman TB yang terlepas akan
masuk ke dalam kelenjar limfe trakheobronkial dan menyebar
ke organ lain.
Tahap 5: terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama kalinya
terjadi multiplikasi kuman TB ekstraseluler yang dapat
mencapai jumlah besar. Respon imun CMI sering tidak mampu
mengendalikannya.
Dengan progresivitas penyakit terjadi perlunakan caseous
necrosis, membentuk kavitas dan erosi dinding bronkus.
Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis dan respon
DTH terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag tidak
dapat hidup dan merupakan media pertumbuhan yang baik bagi
kuman. Kuman TB masuk ke dalam cabang-cabang bronkus,
menyebar ke bagian paru lain dan jaringan sekitarnya 12.
D. Diagnosis
Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik
dan pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui
pemeriksaan kultur bakteriologi, pemeriksaan sputum BTA, radiologi
dan pemeriksaan penunjang lainnya2.
1. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu gejala lokal dan sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru
maka gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ
yang terlibat) 2.
a. Gejala respiratori :
1) Batuk ≥ 2 minggu
2) Hemoptisis
3) Dyspneu
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam, anoreksia, dan
berat badan menurun.
6
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada
meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis TB
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan 2.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung
dengan organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan
S2) serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan antara lain suara napas bronchial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-anda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum2.
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, LCS, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi2.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila:
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian, bila 1
kali positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif BTA
negatif 3 .
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan
mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD). Skala IUATLD:
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
7
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(3+)2.
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif adalah:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
a. Fibrotik.
b. Kalsifikasi.
c. Schwarte atau penebalan pleura
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Analisis cairan pleura.
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan.
c. Pemeriksaan darah2.
8
Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru 3
E. Penatalaksanaan
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif
dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap
hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC
BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan
intensif 3.
9
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakterostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
10
RH (150/50)+
Selama 56 hari Selama 28 hari E (400)
Selama 20 minggu
2 tab 4KDT +
500 mg 2 tab 2KDT + 2 tab
30 – 37 kg 2 tab 4KDT
Streptomisin Etambutol
inj
3 tab 4KDT +
750 mg 3 tab 2KDT + 3 tab
30 – 54 kg 3 tab 4KDT
Streptomisin Etambutol
inj
+ 1000 mg
55 – 70 kg Streptomisin 4 tab 4KDT 4 tab Etambutol
inj
5 tab 4KDT –
1000 mg 5 tab 2 KDT + 5 tab
≥ 71 kg 5 tab 4KDT
Streptomisin Etambutol
inj
11
membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan limfosit
CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+. Setelah
nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription)
dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda
virus. cDNA kemudian bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan
berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV integrase. Integrasi dengan
DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu transkripsi
mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein struktural
dan enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam
sitoplasma dan bergabung dengan protein inti. Tahap akhir adalah
pemotongan dan penataan protein virus menjadi segmen- segmen kecil
oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus akan dibungkus oleh
sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion)
kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+
lainnya, monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel
epitel, sel dendritik (pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada
kulit), sel mikroglia, dan berbagai jaringan tubuh15.
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama
respon imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga
mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi
dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk meningkatkan
aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel
CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag,
monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV
menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada sel-sel
imun lainnya16.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari
600 sampai 1200/ μl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar
limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut.
Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah
normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara
perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala
12
imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/μl. Pasien
dengan kadar CD4+ kurang dari 200/μl mengalami imunosupresi yang
berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik15.
C. Penularan HIV/ AIDS
Penularan AIDS terjadi melalui :
1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);
2. Penerimaan darah dan produk darah;
3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;
4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).
Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih
besar bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka
atau ulserasi pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air
liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan dalam
penularan hanyalah darah dan sperma. Hingga saat ini juga tidak terdapat
bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman, makanan,
kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau
tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS tidak dapat
dibuktikan17.
D. Diagnosis
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay)
yang bereaksi terhadap antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA
positif, dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih spesifik, yaitu Western
blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan tes ulang karena uji ini dapat
memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila hasilnya tetap
positif, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan
pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat
penyakit dan dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi 15.
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan
prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut17.
13
Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal
Tahap 2:
-Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi jamur di kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Angular cheilitis
- seboroik dermatitis
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal
Tahap 3:
- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- TB paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)
Dan/atau Performance scale 3: bedrest < 50% dlm sehari 1 bulan terakhir
Tahap 4:
- HIV wasting syndrome (penurunan bb > 10%, diare>1n bl atau lemah lesu dan
demam > 1 bln)
- Pneumonisitis carina pneumonia
- Toxoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
- Kriptokokosis, ekstra paru
- TB ekstra paru
- Penyakit disebabkan oleh CMV
- Kandidiasis
- Mikobakteriosis atipikal
- Lymphoma
- Kaposi sarcoma
- HIV encephalopati
- Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan
14
- Leukoensefalopati multifokal yang progresif
- Infeksi jamur endemik yang menyebar
Dan/atau Performance scale 4 : bedrest >50% dlm sehari 1 bulan terakhir
Non-NukleosideReverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
15
Protease Inhibitor (PI)
* Ritonavir dalam hal ini digunakan untuk booster/ memperkuat Protease Inhibitor
16
Infeksi tersebut dapat terjadi pada berbagai tahap infeksi HIV dan
imunosupresi 17.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi
HIV/ AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko
paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB 3. Menurut WHO,
infeksi HIV terbukti merupakan faktor yang memudahkan terjadinya
proses pada orang yang telah terinfeksi TB, meningkatkan risiko TB
laten menjadi TB aktif dan kekambuhan, menyulitkan diagnosis, dan
memperburuk stigma. TB juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien pengidap HIV 7.
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada Gambar 2.
transmisi
transmisi
Diagnosis tepat
dan cepat
Pengobatan tepat
Jumlah kasus TB BTA + dan lengkap
Risiko menjadi TB bila
Faktor lingkungan: Kondisi
dengan HIV:
Ventilasi kesehatan
5-10% setiap
Kepadatan mendukung
tahun
Dalam ruangan
> 30% lifetime
Faktor perilaku
TERPAJAN
INFEKS
I TB MATI
10%
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak Keterlambatan diagnosis
Malnutrisi dan pengobatan
Penyakit DM, Tatalaksana tak memadai
Gambar 2. imunosupresan Kondisi
Faktor Risiko Kejadian TB 3 kesehatan
B. Patogenesis
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M.
tuberculosis, organisme disajikan kepada makrofag melalui ingesti
dimana setelah diproses, antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4
17
mengeluarkan limfokin yang meningkatkan kapasitas makrofag untuk
menelan dan membunuh mikobakteri. Pada sebagian besar orang terjadi
infeksi dan TB tidak berkembang, meski sejumlah basil tetap dorman
tubuh. Hanya 10% dari kasus yang berkembang menjadi TB klinis,
segera setelah infeksi primer atau bertahun-tahun kemudian sebagai
reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan pada fungsi
dari sel T dan makrofag5.
Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah dengan
adanya kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit, membentuk ciri
infeksi HIV. Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV dan AIDS)
sebagai predisposisi terjadinya infeksi TB baik primer maupun
reaktivasi. Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa infeksi HIV
meningkatkan risiko reaktivasi laten TB dan juga risiko penyakit
progresif dari infeksi baru5.
C. Diagnosis
Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan
gambaran klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini
disebabkan karena rendahnya reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti
diketahui manifestasi klinis TB sebenarnya merupakan reaksi
imunologik terhadap Mycobacterium tuberculosis7. Banyak ditemukan
diagnosis TB pada pasien HIV berbeda dengan diagnosis TB pada
umumnya, dimana gejala TB pada pasien HIV tidaklah spesifik. TB
ekstra paru lebih sering ditemukan pada pasien dengan HIV
dibandingkan pasien tanpa HIV sehingga bila ditemukan TB ekstraparu
harus dipikirkan kemungkinan adanya HIV. Tb ekstraparu yang sering
ditemukan adalah limfadenopati pada leher, abdomen atau aksila; efusi
pleura; efusi pericardial; efusi peritoneal; meningitis dan Tb
mediastinum. Deteksi dini HIV pada pasien TB juga harus dilaksanakan
dengan baik dan telah diatur dalam International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC) yaitu : “ Uji HIV dan konseling harus
direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang diduga
menderita TB” 18.
18
Ketika infeksi HIV berlanjut, limfosit T CD4+ mengalami
penurunan baik dalam jumlah maupun fungsinya. Sel ini memerankan
peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis.
Dengan demikian, kemampuan sistem imunitas menurun dalam
mencegah pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri tersebut17.
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diketahui dalam diagnosis
pada pasien TB dengan HIV18:
i. Gambaran klinis TB paru, gambaran klinis TB paru secara umum diawali
dengan batuk lebih dari 2-3 minggu, sedangkan TB pada pasien
HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB dengan HIV
demam dan penurunan berat badan merupakan gejala yang penting.
ii. Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV secara
klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering ditemuakan BTA
negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur BTA. Pemeriksaan biakan
sputum merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB paru. Pada
ODHA dengan gejala klinis TB paru yang hasil pemeriksaan
mikroskopik dahak BTA nya negatif, pemeriksaan biakan dahak sangat
dianjurkan karena hal ini dapat membantu diagnosis TB paru. Selain itu,
pemeriksaan biakan dan resistensi juga dilakukan untuk mengetahui
adanya MDR-TB, dimana pasien HIV merupakan salah satu faktor risiko
MDR-TB. Dalam rangka memperbaiki tata laksana pasien TB-HIV,
akhir-akhir ini telah ditemukan alat penunjang TB secara tepat yakni
kultur resistensi BTA dengan Genexpert, namun alat tersebut belum ada
disetiap layanan kesehatan, hanya ada pada sentral layana yang
direkomendasi.
iii. Foto thoraks, gambaran foto thoraks bervariasi dalam hal lokasi maupun
bentuknya. Umumnya gambaran foto thoraks pada TB terdapat di apeks,
namun pada TB-HIV bukan diapeks terutama pada HIV lanjut. Pada HIV
yang masih awal gambaran foto thoraks dapat sama pada gambaran foto
thoraks pada umunya, namun pada HIV lanjut gambaran foto thoraks
sangat tidak spesifik. Pada pasien TB-HIV tidak jarang ditemukan
gambaran TB milier.
iv. Pemeriksaan Tes Mantoux. Pemeriksaan tes mantoux dapat membantu
pada suspek TB dengan BTA negatif dan foto thoraks yang tidak khas
19
dan gambaran klinis yang kurang menunjang. Pada pasien suspek TB
pada umumnya, tes mantoux dinyatakan positif apabila diameter >=
10mm, namun pada pasien dengan HIV positif diameter > 5 mm sudah
dapat dinyatakan positif.
v. Gambaran klinis TB ekstraparu. TB ekstraparu perlu diwaspadai pada
odha karena kejadiannya lebih sering dibandingkan pada TB dengan HIV
negatif. Diagnosis pasti dari TB ekstraparu sangat kompleks dan sulit
terutama di daerah dengan fasilitas yang terbatas. Berdasarkan ISTC,
diagnosis TB ekstraparu dapat dilakukan dengan mengambil lesi dan
pemeriksaan patologi untuk menemukan BTA dari jaringan apabila
memungkinkan. Namun, apabila lesi sulit didapat, diagnosis TB
ekstraparu dapat ditegakkan dengan dugaan klinis yang menunjang.
Adanya TB ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa
penyakitnya sudah lanjut.
vi. Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif.
Pemberian antibiotic pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu
diagnosis TB paru tidak direkomendasikan lagi karena dapat
menyebabkan diagnosis TB terlambat dengan konsekuensi pengobatan
juga terlambat sehingga meningkatkan risiko kematian. Penggunaan
antibiotik kuinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB dengan HIV
positif harus dihindari sebab golongan antibiotik ini respons terhadap
mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan gejala
sementara. Disamping itu dikhawatirkan timbulnya resistensi, sementara
antibiotic golongan kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Alur
pendiagnosisan TB paru pada ODHA yang berobat jalan, secara ringkas
digambarkan pada Gambar 3.
20
Gambar 3. Alur diagnosis TB paru pada ODHA yang berobat jalan18
Keterangan:
a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda- tanda berikut: frekuensi
pernapasan 30 kali/menit, demam > 390 C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila
tdk dibantu.
b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalensi HIV
diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu
ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka
tidak lagi dilakukan tes HIV.
c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien
menolak utk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung kecurigaan HIV positif.
d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 3 sediaan
hasilnya negatif.
e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila tersedia fasilitas)
dan rujukan untuk layanan HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila
memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan
diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones) untuk mengatasi typical & atypical
bacteria.
i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia Pneumocystis jiroveci
j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Tabel 7 menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil sputum dan
radiologi antara pasien infeksi HIV dengan TB paru tahap awal dan tahap
lanjut 2,17.
21
Tabel 7. Perbedaan TB paru pada infeksi HIV tahap awal (dini) dan
lanjut 2,17
D. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama
dengan pengobatan tanpa HIV/AIDS. Namun, pengobatan pasien dengan
koinfeksi TB-HIV lebih sulit daripada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien
TB-HIV memiliki sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan
adanya infeksi hepatitis dan lainnya, maka saat pengobatan sering timbul
efek samping dan interaksi obat sehingga memperburuk kondisi pasien
serta obat-obat harus dihentikan atau dikurangi dosisnya. Kondisi
tersebut menyebabkan pengobatan menjadi lebih panjang serta
kepatuhan pasien sering terganggu18.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa
jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat 2.
Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah adalah dengan mendahulukan
pengobatan TB. Pengobatan ARV (Antiretroviral) dimulai berdasarkan
stadium klinis HIV dengan standar WHO3.
22
Pengobatan OAT pada TB-HIV2:
- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena
akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik
sekali pakai yang steril.
- Desensitasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon
untuk pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat,
juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien
HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan
derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima sub
optimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum.
23
mengalami penurunan jumlah virus HIV setelah pemberian ARV,
contoh tersering dari manifestasi IRIS adalah herpes zoster atau TB
yang terjadi.
- Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol
dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.
Standar 15
Semua.pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi
untuk menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV diberikan selama
pengobatan TB. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat
24
antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi.
Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan TB tidak boleh ditunda.
Pasien TB dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai
pencegahan infeksi lainnya.
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan
seksama, tidak menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi TB
laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan. (belum diterapkan di indonesia,
walaupun Indonesia adalah negara endemik TB)
25
Pilihan NNRTI :
26
- Untuk TB pada Sistem saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis)
dan TB tulang dan sendi direkomendasikan 9-14 bulan terapi.
II. TB pada Otak
- Untuk meningitis TB diberikan 2RHZE/7-12RH dan
dexamethason untuk mengurangi inflamasi di otak (tidak untuk
HIV positif).
- Indikasi pemberian kortikosteroid untuk meningitis TB :
peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri, defisit
neurologis fokal, hidrosefalus, infark dan adanya meningitis
basalis.
- Bila terdapat putus obat diberikan OAT kategori 2 yakni
2RHZES/7-12RH lalu nilai respon secara klinis
27
Kelelahan Pikirkan anemia, terutama oleh karena ZDV.
Periksa HB, kelelahan biasa terjadi 4-6 minggu
setelah penggunaan ZDV, jika > 4-6 minggu
dirujuk.
Tegang, mimpi buruk Mungkin disebabkan oleh EFV, lakukan konseling
dan dukungan, dapat hilang < 3 minggu. Rujuk
pasien apabila ada gangguan mood atau psikosis,
masa sulit awal atasi dengan amitriptilin pada
malam hari.
Kuku kebiruan/kehitaman Yakinkan pasien sebagai akibat pengobatan ZDV.
Perubahan dalam distribusi Diskusikan dengan pasien, sebagai efek samping
lemak D4T.
Gatal atau kemerahan pada Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB
kulit dan ART, rujuk pasien. Jika dalam pengobatan NVP
periksa dan teliti : apakah lesinya kering
(kemungkinan alergi) atau basah (kemungkinan
steven Johnson syndrome ), minta pendapat ahli.
Gangguan pendengaran Hentikan streptomisin, rujuk ke unit DOTS.
atau keseimbangan
Ikterus Lakukan pemeriksaan fungsi hati, hentikan OAT
dan ART, minta pendapat ahli.
Ikterus dan nyeri perut Hentikan OAT dan ART, periksa fungsi hati, nyeri
perut dapat dikarenakan pankreatitis yang
disebabkan oleh ddI atau D4T.
Muntah berulang Periksa penyebab muntah, lakukan pemeriksaan
fungsi hati, jika terjadi hepatotoksik hentikan OAT
dan ART, rujuk pasien.
Penglihatan berkurang Hentikan EMB, minta pendapat ahli/rujuk.
Demam Periksa penyebab demam dapat disebabkan oleh
efek samping obat, infeksi oportunistik, infeksi
baru atau IRIS, beri parasetamol dan minta
pendapat ahli.
Pucat,anemia Ukur kadar HB singkirkan infeksi oportunistik,
pasien dirujuk dan stop ZDV/diganti D4T.
Batuk atau kesulitan Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik, minta
bernafas pendapat ahli.
Limfadenopati Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik, minta
pendapat ahli.
28
29
III. KESIMPULAN
30
IV. DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012: epidemiology, strategy,
financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva, Switzerland: WHO; 2012.
2. Isbaniyah, F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: PDPI; 2011.
3. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI;
2011.
4. Djoerban, Z. Samsuridjal, D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.
5. Bhatia, R.S.. HIV and Tuberculosis: The Ominous Connection. IJCP. 2001; 2 (4): 256-9.
6. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional TB-HIV
Pengendalian Tuberkulosis 2011–2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.
7. Hudoyo, A. dkk. Diagnosis TB-Paru pada Pasien dengan HIV/ AIDS. 2008; JTI 4(2): 1-5.
8. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.
9. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya Medika;
2002.
10. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik. Jakarta:
Dian Rakyat; 2006.
11. Alsagaff, H. Abdul M. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University
Press; 2009.
12. Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press; 2010
13. Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI; 2009.
14. Simbolon, E. Pola Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara; 2011. Diakses dari:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21448.
15. Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat
(AIDS). Dalam: Hartanto,H. (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p. 224-245.
16. Murtiastutik, D. AIDS. Dalam: Barakbah, J. (eds). Buku Ajar Infeksi Menular Seksual.
Ed.2. Surabaya: Airlangga University Press; 2008.p. 211-220.
17. WHO. TB/ HIV: A Clinical Manual; 2004. Diakses dari:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.
18. Syam, A.F. dkk. Tatalaksana HIV/AIDS : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran.
Jakarta: Kemenkes RI Konsorsium Upaya Kesehatan; 2011.
31