Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma toraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus kecelakaan dan

merupakan penyebab kematian terbesar (25%). Umumnya pada trauma toraks,

trauma tumpul lebih sering terjadi dibandingkan trauma tajam. Meskipun

demikian hanya 15% dari seluruh trauma toraks yang memerlukan tindakan

bedah karena sebagian besar kasus (80–85%) dapat ditangani dengan tindakan

yang sederhana, seperti pemasangan chest tube (Prasenohadi, 2012).

Trauma toraks banyak terjadi pada pengendara kendaraan bermotor roda

dua akibat trauma tumpul toraks. Kelainan yang sering dijumpai yaitu fraktur

iga yang hampir mencapai 50%. Selain itu penggunaan sabuk pengaman pada

kendaraan roda empat atau lebih juga sebagai penyebab terjadinya trauma

toraks berupa fraktur sternum. Fraktur iga baik tunggal maupun multipel juga

terjadi pada orang tua dengan insidens sekitar 12%. Insidens sesungguhnya

fraktur iga masih belum diketahui dan diperkirakan 50% fraktur iga tidak

terdeteksi dengan foto toraks (Howell, Ranasinghe, & Graham, 2005).

Fraktur iga multipel dapat menyebabkan rasa nyeri, atelektasis dan gagal

napas. Diagnosis klinis fraktur iga didapatkan dari kelainan dada, pergerakan

fragmen, ekimosis dan juga pemeriksaan radiologi. Nyeri timbul pada saat

inspirasi dan pasien berusaha untuk mengurangi gerakan rongga dada yang

berakibat pada hipoventilasi. Mengurangi rasa nyeri juga menyebabkan

1
berkurangnya batuk dan napas dalam yang berakibat pada retensi sputum,

atelektasis dan penurunan kapasitas residu fungsional. Faktor–faktor tersebut

menyebabkan penurunan lung compliance hingga hipoksemia (Duan Y, Smith

CE, Como JJ, 2007) maka penanganan kegawatan sangat diperlukan pada

kasus ini.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep manajemen kegawatdaruratan pada pasien dengan Fraktur

Multiple Costae ?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa/(i) mampu memahami konsep dan menerapkan manajemen

kegawatdaruratan pasien dengan Fraktur Multiple Costae.

2. Tujuan Khusus

Agar mahasiswa/(i) dapat mengetahui dan memahami tentang:

a. Pengertian Fraktur Multiple Costae

b. Etiologi Fraktur Multiple Costae

c. Tanda dan gejala Fraktur Multiple Costae

d. Klasifikasi Fraktur Multiple Costae

e. Web of Caution (WOC) Fraktur Multiple Costae

f. Komplikasi Fraktur Multiple Costae

g. Penatalaksanaan Fraktur Multiple Costae

2
h. Pengkajian Primary Survey dan Secondary Survey Fraktur Multiple

Costae

i. Diagnosa Keperawatan

j. Rencana Tindakan

k. Algoritma Penanganan

l. Protokol Manajemen Fraktur Costae

D. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:

Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan sistematika penulisan.

Bab II : Berisi tinjauan teori yang terdiri dari definisi etiologi, web

of caution, klasifikasi, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penujang, komplikasi,asuhan keperawatan, dan

algoritma penanganan Fraktur Multiple Costae.

Bab III : Berisi tinjauan kasus

Bab IV : Berisi pembahasan kasus

Bab V : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Fraktur Multiple Costae

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya

disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). Fraktur adalah rusaknya

kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar

dari yang dapat diserap oleh tulang, ( Linda Juall C, 2002 ). Fraktur Multiple

Costae merupakan gangguan sistem muskuluskeletal, dimana terjadi pemisahan

atau patahnya tulang iga lebih dari satu disebabkan oleh trauma atau tenaga

fisik. (Doenges E Marilyn, 2000).

Multiple fraktur adalah patahnya tulang lebih dari satu garis fraktur

(Silvia A. Prince, 2000). Fraktur Multiple Costae adalah keadaan dimana

terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang di daerah costae lebih dari satu

garis (Silvia A. Prince, 2000). Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka

dapat disimpulkan Fraktur Multiple Costae adalah keadaan dimana terjadi

hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan 2 tulang lebih dari satu garis

yang disebabkan oleh tekanan eksternal.

B. Etiologi Fraktur Multiple Costae

Kasus Fraktur Multiple Costae ini jarang terjadi namun penyebab paling

sering terjadinya yaitu pada pengendara bermotor (Prasenohadi, 2012).

Morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh fraktur iga dan sternum

4
berkaitan erat dengan penyebab cedera, kegawatan pada insiden Fraktur

Multiple Costae dapat menyebabkan kerusakan yang bermakna pada paru

karena akan mempengaruhi ventilasi dan menyebabkan rasa nyeri hebat.

Bagaimanapun juga mengatasi nyeri pada pasien dengan trauma toraks tidak

hanya membantu meringankan keluhan tetapi juga mengurangi serta mencegah

komplikasi sekunder (Howell NJ, Ranasinghe AM, Graham TR, 2005;

Weinberg JA, Croce MA, 2008).

C. Tanda dan Gejala Fraktur Multiple Costae

1. Sesak napas

Pada fraktur costae terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur ke rongga

pleura sehinnga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan

pada rongga dada lalu dapat terjadi penumothoraks dan hemothoraks yang

akan menyebabkan gangguan ventilasi sehinnga menyebabkan terjadinya

sesak napas.

2. Tanda-tanda insufisiensi pernapasan: Sianosis, Takipnea

Pada fraktur costae terjadi gangguan pernapasan yang disertai

meningkatnya penimbunan CO2 dalam darah dan bermanifetasi terjadinya

sianosis.

3. Nyeri tekan pada dinding dada

Nyeri pada fraktur costae terjadi akibat terdorongnya ujung-ujung

fraktur masuk ke rongga pleura sehinnga mengakibatkan terjadinya

kerusakan struktur dan jaringan pada rongga dada dan terjadi stimulasi

5
pada saraf sehingga menyebabkan terjadinya nyeri tekan pada dinding

dada.

4. Gerakan nafas paradoksal

Gerak paradoksal terjadi akibat adanya fraktur costae yang

multiple, yaitu adanya garis patahan lebih dari satu dan terjadi di beberapa

costae (kurang lebih 3 costae) dan mengakibatkan adanya Flail Chest

(Mengambang). Costae yang biasanya menempel atau terhubung dengan

costae lainnya oleh dikarenakan fraktur costae multiple maka coste tidak

lagi terhubung dengan rongga dada. Akibat tidak lagi terhubung dengan

rongga dada, maka saat bernafas seharusnya rongga dada mengembang

maka daerah yang terkena flail chest tersebut tidak bergerak dan

mempertahankan posisinya sehingga seperti bergerak ke dalam.

Sedangkan saat Ekspirasi, rongga dada seharusnya mengempis tetapi

daerah yang terkena flail chest tetap mempertahankan posisinya sehingga

terlihat seperti menonjol keluar.

5. Krepitasi pada bagian dada

D. Klasifikasi Fraktur Multiple Costae

1. Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan :

b. Fraktur simple

c. Fraktur multiple

6
2. Menurut jumlah fraktur pada tiap costa:

a. Fraktur segmental

b. Fraktur simple

c. Fraktur comminutif

3. Menurut letak fraktur dibedakan :

a. Superior (costa 1-3 )

b. Median (costa 4-9)

c. Inferior (costa 10-12 )

4. Menurut posisi:

a. Anterior

b. Lateral

c. Posterior

7
Fraktur
E. WOC
Trauma :
Non Trauma :
1. Tajam (luka tusuk &
akibat adanya
luka tembak)
gerakan berlebihan
2. Tumpul (Lakalantas,
dan stress fraktur,
jatuh dari ketinggian,
seperti pada
jatuh di tempat yg keras/
gerakan olahraga
Perkelahian)
lempar martil, soft
ball, tennis, golf

Multiple Fraktur

Superior (costa 1-3 ) Median (costa 4-9) Inferior (costa 10-12 )

Cedera sel Trauma pada dada Luka terbuka Reaksi


peradangan
Kerusakan pada pleura
Keterbatasan untuk paru
Degranulasi sel mast Mk : Gangguan Edema
bergerak, penurunan Terpapar
kekuatan/kontrol otot Kuman atau integritas kulit
kotoran dan jaringan Penekanan pada
Tension
(D.0129) jaringan vaskuler
MK : Gangguan Mobilitas
Fisik (D.0054)

8
Pelepasan mediator
Kimia Tekanan dalam Mk : Resiko Kehilangan
pleura infeksi Penurunan
cairan/Darah
aliran darah
meningkat (D.0142)
Nociceptor
Mk: Resiko Mk : perfusi
Udara tertahan di Syok perifer tidak
Medulla Spinalis
lapisan pleura (D0039) efektif (D.0009)

Korteks Serebri
Luas Permukaan Paru
Mk : Nyeri Akut Menurun
(D.0077)

Penurunan laju difusi

Mk : Gangguan pertukaran gas


(D.0003)

9
F. Komplikasi

Menurut (Melendez,2015) komplikasi yang dapat terjadi pada pasien

dengan Fraktur Multiple Costae yaitu:

1. Kegagalan fungsi respirasi

Nyeri pada dinding dada karena patah tulang meningkatkan kerja

dari pernapasan dan risiko terjadi kelemahan pada paru-paru. Kegagalan

respirasi dapat terjadi karena trauma pada dinding thoraks dan lebih sering

terjadi kontusio paru atau terjadinya pneumonia nosokomial.

2. Hipoksia

Fraktur tulang iga mengganggu proses ventilasi dengan berbagai

mekanisme. Ketidaksesuaian perfusi/ventilasi menurunkan pertukaran gas

dan penurunan compliance paru sehingga secara klinis muncul gejala

seperti hipoksia. Kegagalan pernapasan terjadi ketika pertukaran O2

dengan CO2 tidak adekuat sesuai kebutuhan metabolisme sehingga

menyebabkan hypoxemia (Gunning, 2003).

3. Atelektasis

Nyeri dari patah tulang costae dapat disebabkan karena penekanan

respirasi yang menyebabkan atelectasis dan pneumonia. Hipoksemia

berhubungan dengan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi karena

penurunan ventilasi sehingga meningkatkan FiO2. Bila atelectasis muncul,

positive end expiratory pressure (PEEP) akan meningkatkan PaO2

(Gunning, 2003).

10
4. Pneumonia

Penumonia merupakan salah satu komplikasi yang paling sering

terjadi pada patah tulang costae. Pneumonia dapat bervariasi tergantung

pada patah tulang costae dan usia pasien. Insiden terjadinya pneumonia

pada semua pasien yang dirawat di rumah sakit dengan satu atau lebih

patah tulang costae sekitar 6% (Melendez, 2015).

b. Kerusakan organ viseral

Fraktur pada costae bagian bawah biasanya berhubungan dengan

trauma pada organ abdomen dibandingkan dengan parenkim paru. Fraktur

pada bagian bawah kiri berhubungan dengan trauma lien dan fraktur pada

bagian bawah kanan berhubungan trauma liver dengan fraktur pada costae

11 dan 12 biasanya berhubungan dengan cedera ginjal (Melendez, 2015).

c. Pneumothoraks

Adanya akumulasi udara dalam rongga pleura yang menekan paru-paru

dapat dilihat pada pemeriksaan diagnostik foto polos thoraks.

Pneumothoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di

rongga pleura akibat robeknya pleura viseral, dapat terjadi spontan atau

karena trauma yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan negatif

intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru.

Pneumothoraks terjadi karena trauma tumpul atau tembus thorak. Dapat

pula terjadi karena robekan pleura viseral yang disebut dengan barotrauma

atau robekan pleura mediastinal yang disebut dengan trauma

trakheobronkial (Neto,2015).

11
d. Hemothoraks

Hemothoraks berhubungan dengan adanya darah/bekuan darah pada

rongga thoraks dan memerlukan tindakan segera thoracostomy drainage.

Risiko empysema meningkat pada pasien dengan hemothoraks.

Terakumulasinya darah pada rongga thoraks terjadi akibat trauma tumpul

atau tembus pada thoraks. Sumber perdarahan umumnya berasal dari arteri

interkostalis atau arteri mamaria interna. Perlu diingat bahwa rongga

thoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehinnga pasien hemothoraks

dapat terjadi syok hipovolemik berat yang mengakibatkan terjadinya

kegagalan sirkulasi tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata oleh

karena perdarahan massif yang terjadi terkumpul di dalam rongga thoraks

(Melendez,2015).

e. Kontusio Paru

Trauma tumpul thoraks menyebabkan kontusio paru merupakan kasus

yang sering terjadi dengan 10% - 17% dari semua pasien yang masuk

rumah sakit dengan angka kematian 10% - 25% (Martin et al, 2009).

Fraktur costae selalu berhubungan dengan kontusio paru. Fraktur Multiple

Costae ditemukan menjadi faktor predisposisi atau faktor penyebab

terjadinya penurunan fungsi paru dan compromised ventilation.

12
G. Penatalaksanaan

Fraktur 1-2 costae tanpa adanya penyulit/kelainan lain ditangani

secara konservatif (analgetika). Fraktur lebih dari 2 costae harus diwaspadai

kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks). Penatalaksanaan

fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain (seperti:

pneumotoraks, hematotoraks dsb.) ditujukan untuk mengatasi kelainan yang

mengancam jiwa secara langsung, di ikuti oleh penanganan pasca

operasi/ tindakan yang adekuat (analgetika, bronchial toilet, cek lab dan

rontgen berkala, sehingga dapat menghindari morbiditas komplikasi

(Anonim, 2011). Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit

pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah

(Dewi, 2010; Sjamsuhidajat, dkk., 2004):

a. Analgetik yang adekuat (oral/ iv /intercostal block)

b. Bronchial toilet

c. Cek lab berkala : Hb, Ht, leukosit, trombosit,dan analisa gas darah

d. Cek foto rontgen berkala

13
PIC TOOLS

1. Skor total dapat berkisar dari 3 hingga 10, dimana 10 adalah skor tertinggi.

2. Nyeri dinilai pada skala 1-3 , mewakili skor nyeri yang dilaporkan pasien pada

skala 0-10 secara subjektif : 3 poin jika di kontrol (skala numerik 0-4), 2 poin

jika dikontrol secara moderat (skala numerik subjek 5-7), atau 1 poin jika berat

(skala numerik subjektif 8-10).

3. Pasien menerima 4 poin jika mampu mencapai setidaknya volume spirometri

inspirasi maksimal. 3 jika ada atara tingka sasaran dan kewaspadaan. 2 jjika

kurang dari volume waspada, dan 1 jika tidak dapat melakukan spirometri

inspirasi.

4. Batuk dinilai secarasubjektif oleh perawat di samping tempat tidur dan diberi

tiga poin jika kuat, dua poin jika lemah, dan satu poin jika tidak ada.

14
5. Pasien yang menerima perawatan ICU menjalani penilaian skor PIC per jam,

dan pasien yang menerima perawatan akut menjalani penilaian setiap 4 jam.

6. Dokter yang bertanggung jawab dan terapis pernafasan diberitahu jika pasien

menerima skor 1 dalam kategori apapun atau skor keseluruhan ≤ 4 walaupun

ada intervensi.

H. Primary Survey dan Secondary Survey Fraktur Multiple Costae

Primary Survey :

1. Airway dan kontrol cedera cervical

a. Kaji adanya sumbatan jalan napas.

b. Kaji adanya suara napas snoring, gurgling dan stridor.

c. Buka jalan napas, jika dicurigai adanya fraktur cervical buka jalan napas

dengan teknik jaw trust dan jika tidak ada fraktur cervical buka jalan

napas dengan head til, chin lift atau head til dan chin lift.

2. Breathing

a. Look : pergerakan dinding dada (asimetris/simetris), warna kulit,

memar, deformitas, gerakan paradoksal.

b. Listen: vesikular paru, suara jantung, suara tambahan

c. Feel: krepitasi, nyeri tekan

3. Circulation dan control perdarahan

a. Ukur Tekanan darah

b. Kaji adanya perdarahan

15
c. Kaji adanya tanda-tanda syok (nadi cepat dan lemah, akral dingin, CRT >

2 detik)

4. Disability

a. Tingkat kesadaran

b. Respon pupil

c. Tanda-tanda lateralisasi

d. Tingkat cedera spinal

e. Kaji refleks cahaya, pupil, Babinski.

5. Eksposure

a. Buka pakaian pasien tetap pertahankan suhu tubuh pasien agar tidak

mengalami hipotermi.

b. Kaji DOTS (Deformitas, Open Wounds, Tenderness, dan Swelling).

6. Folley Catheter

Dilakukan pemasangan kateter jika tidak ada kontraindikasi dilakukan

pemasangan kateter.

7. Gastric Tube

Pemasangan OGT atau NGT jika ada indikasi dan tidak ada kontra indikasi.

8. Heart Monitor

Pemasangan monitor kelistrikan jantung, tekanan darah, nadi, pernapasan

dan suhu tubuh.

16
Secondary Survey :

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:

1. Rontgen standar

a. Rontgen rhorax anteroposterior dan lateral dapat membantu diagnosis

hemothoraks dan pneumothoraks ataupun kontusio paru, dan untuk

mengetahui jenis dan letak fraktur.

b. Foto oblique untuk mengetahui fraktur multiple

2. EKG

3. Monitor laju pernapasan

4. Pemeriksaan Laboratorium (analisa gas darah), pulse oksimetri dan laju

Nafas

I. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan Pertukaran Gas (D.0003)

2. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009)

3. Nyeri akut (D.0077)

4. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)

5. Gangguan integritas kulit dan jaringan (D.0129)

6. Resiko Syok (D.0039)

7. Resiko infeksi (D.0142)

17
J. Rencana Tindakan

1. Gangguan Pertukaran Gas (D.0003)

NOC :

a. Respiratory Status : Gas exchange

b. Respiratory Status : ventilation

c. Vital Sign Status

Kriteria Hasil :

a. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang

adekuat

b. Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress

pernafasan

c. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak

ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu

bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)

d. Tanda tanda vital dalam rentang normal

NIC :

Airway Management

a. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu

b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

c. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan

d. Pasang mayo bila perlu

e. Lakukan fisioterapi dada jika perlu

18
f. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction

g. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

h. Lakukan suction pada mayo

i. Berika bronkodilator bial perlu

j. Barikan pelembab udara

k. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.

l. Monitor respirasi dan status O2

Respiratory Monitoring

a. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi

b. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot

tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal

c. Monitor suara nafas, seperti dengkur

d. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi,

cheyne stokes, biot

e. Catat lokasi trakea

f. Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis)

g. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi

dan suara tambahan

h. Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan

ronkhi pada jalan napas utama

i. auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya

19
3. Perfusi perifer tidak efektif (D0009)

NOC :

a. Circulation status

b. Tissue Prefusion : cerebral

Kriteria Hasil :

a. mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :

1) Tekanan systole dandiastole dalam rentang yang diharapkan

2) Tidak ada ortostatikhipertensi

3) Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih

dari 15 mmHg)

b. mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:

1) berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan

2) menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi

3) memproses informasi

4) membuat keputusan dengan benar

c. menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat

kesadaran mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter

NIC :

Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)

a. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap

panas/dingin/tajam/tumpul

b. Monitor adanya paretese

20
c. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau

laserasi

d. Gunakan sarun tangan untuk proteksi

e. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung

f. Monitor kemampuan BAB

g. Kolaborasi pemberian analgetik

h. Monitor adanya tromboplebitis

i. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi

4. Nyeri akut (D0077)

NOC :

a. Pain Level

b. Pain control

c. Comfort level

Kriteria Hasil :

a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan

tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen

nyeri

c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

e. Tanda vital dalam rentang normal

21
NIC :

Pain Management

a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman

nyeri pasien

d. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

e. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau

f. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang

ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

g. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

h. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu

ruangan, pencahayaan dan kebisingan

i. Kurangi faktor presipitasi nyeri

j. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi

dan inter personal)

k. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

l. Ajarkan tentang teknik non farmakologi

m. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

n. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

o. Tingkatkan istirahat

22
p. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak

berhasil

q. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration

a. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum

pemberian obat

b. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi

c. Cek riwayat alergi

d. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika

pemberian lebih dari satu

e. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri

f. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal

g. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara

teratur

h. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama

kali

i. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat

j. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

5. Gangguan mobilitas fisik (D0054)

NOC :

a. Joint Movement : Active

b. Mobility Level

c. Self care : ADLs

23
d. Transfer performance

Kriteria Hasil :

a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik

b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

c. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan

kemampuan berpindah

d. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)

NIC :

Exercise therapy : ambulation

a. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien

saat latihan

b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai

dengan kebutuhan

c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah

terhadap cedera

d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai

kemampuan

g. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi

kebutuhan ADLs ps.

h. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.

24
i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika

diperlukan

6. Gangguan integritas kulit dan jaringan (D0129)

NOC :

Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes

Kriteria Hasil :

a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,

temperatur, hidrasi, pigmentasi)

b. Tidak ada luka/lesi pada kulit

c. Perfusi jaringan baik

d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah

terjadinya sedera berulang

e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan

perawatan alami

NIC : Pressure Management

a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar

b. Hindari kerutan padaa tempat tidur

c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering

d. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali

e. Monitor kulit akan adanya kemerahan

f. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan

g. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien

h. Monitor status nutrisi pasien

25
7. Resiko Syok (D0039)

NOC

a. Syok prevention

b. Syok management

Kriteria Hasil :

a. Nadi dalam batas yang diharapkan

b. Irama jantung dalam batas yang diharapkan

c. Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan

d. Natrium serum dbn

e. Kalium serum dbn

f. Klorida serum dbn

g. Kalsium serum dbn Magenesium serum dbn

h. PH darah serum dbn

Hidrasi Indikator

a. Mata cekung tidak ditemukan

b. Demam tidak ditemukan

c. TD dbn

d. Hematokrit dbn

NIC :

Syok prevention

a. Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, HR,

dan ritme, nadi perifer, dan kapiler refill

b. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan

26
c. Monitor suhu dan pernafasan

d. Monitor input dan output

e. Pantau nilai laboratorium : HB,HT,AGD dan elektrolit

f. Monitor hemodinamik invasi yang sesuai

g. Monitor tanda dan gejala asites

h. Monitor tanda awal syok

i. Tempatkan pasien pada posisi supine,kaki elevasi untuk peningkatan

preload dengan tepat

j. Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas

k. Berikan cairan iv dan atau oral yang tepat

l. Berikan vasodilator yang tepat

m. Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala datangnya syok

n. Ajarkan keluarga dan pasien tentang langkah untuk mengatasi gejala

syok

Syok management

a. Monitor fungsi neurologis

b. Monitor fungsi renal ( e.g. BUN dan Cr lavel )

c. Monitor tekanan nadi

d. Monitor status cairan,input output

e. Catat gas darah arteri dan oksigen dijaringan

f. Memonitor gejala gagal pernafasan ( misalnya,rendah PaO₂ peningkatan

PaO₂ tingkat,kelelahan otot pernafasan)

27
8. Resiko infeksi (D0142)

NOC :

a. Immune Status

b. Knowledge : Infection control

c. Risk control

Kriteria Hasil :

a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi

penularan serta penatalaksanaannya,

c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

d. Jumlah leukosit dalam batas normal

e. Menunjukkan perilaku hidup sehat

NIC :

Infection Control (Kontrol infeksi)

a. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain

b. Pertahankan teknik isolasi

c. Batasi pengunjung bila perlu

d. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung

dan setelah berkunjung meninggalkan pasien

e. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan

f. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan

g. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung

h. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat

28
i. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan

petunjuk umum

j. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing

k. Tingktkan intake nutrisi

l. Berikan terapi antibiotik bila perlu

Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)

a. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal

b. Monitor hitung granulosit, WBC

c. Monitor kerentanan terhadap infeksi

d. Batasi pengunjung

e. Saring pengunjung terhadap penyakit menular

f. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko

g. Pertahankan teknik isolasi k/p

h. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,

drainase

i. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah

j. Dorong masukkan nutrisi yang cukup

k. Dorong masukan cairan

l. Dorong istirahat

m. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep

n. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi

o. Ajarkan cara menghindari infeksi

29
K. Algoritma Penanganan di IGD Rumah Sakit

PRIMARY SURVEY

Airway dengan Kontrol Breathing dan Ventilasi Circulation dengan Kontrol Disability Eksposure
Servikal Perdarahan

1. Penilaian patensi airway 1. Penilaian dengan membuka leher 1. Menilai tingkat 1. Periksa adanya DOTS
(inspeksi, auskultasi, dan dada penderita, dengan 1. Penilaian untuk mengetahui kesadaran memakai (Deformitas, Open
palpasi) tetap memperhatikan kontrol sumber perdarahan (eksternal dan AVPU/GCS Wounds, Tenderness,
2. Management dengan me- servikal in-line immobilisasi. internal) 2. Menilai pupil besarnya, Swelling)
lakukan chin lift dan/ atau 2. Tentukan laju dan dalamnya 2. Periksa nadi: kecepatan, isokor atau tidak, 2. Manajemen
jaw thrust dengan kontrol pernapasan. kualitas, keteraturan, pulsus refleks cahaya dan penanganan trauma.
servikal in-line 3. Inspeksi dan palpasi leher serta paradoksus. awasi tanda-tanda
immobilisasi. thoraks untuk mengenali 3. Tidak diketemukannya pulsasi lateralisasi. hipotermia
3. Bersihkan airway dari kemungkinan terdapat deviasi dari arteri besar merupakan dengan selimut hangat
benda asing maupun trakhea, ekspansi thoraks simetris pertanda diperlukannya resusitasi 3. Tempatkan pada ruangan
cairan. atau tidak, pemakaian otot-otot masif segera. yang cukup hangat.
tambahan dan tanda-tanda cedera 4. Periksa warna kulit, kenali tanda-
lainnya. tanda sianosis, tekanan darah.
4. Perkusi thoraks untuk menentukan 5. Balut tekan pada sumber
redup atau hipersonor, diikuti perdarahan eksternal
auskultasi thoraks bilateral. 6. Pemasangan kateter IV 2 jalur
5. Pemberian oksigen dan analgesik ukuran besar sekaligus mengambil
untuk mengurangi nyeri sampel darah untuk pemeriksaan
6. Hindari fiksasi/pengikatan dada rutin
7. Pemberian cairan kristaloid 1-2
liter dengan tetesan cepat.
8. Transfusi darah jika
perdarahan masif dan tidak ada
respon terhadap pemberian
cairan awal.
9. Pemasangan kateter urin untuk
monitoring indeks perfusi jaringan.
1.
30
Gastric Tube Heart Monitor Folley Catheter

Pemasangan OGT/NGT, Memantau kelistrikan di


jika ada indikasi jantung, tekanan darah, 1. Pemasangan kateter dilakukan bila
MAP, suhu, pernapasan. tidak ada kontraindikasi
2. Monitor adanya tanda-tanda syok
akibat adanya perdarahan masif.

SECONDARY SURVEY

Pemeriksaan fisik : kepala Re-evaluasi pasien


Anamnesis: AMPLE dan
dan maksilofasial, vertebra
mekanisme trauma
servikal dan leher, thoraks,
abdomen, perineum,
muskuloskeletal, neurologis

31
L. Protokol Manajemen Fraktur Costae

Intervensi dan sistem Penanganan Kontrol Nyeri

Terapi Sistem Pernafasan Tindakan Utama

Pengkajian Intake : Ukur Analgesik sistemik multimodal


volume spirometri awal, target diberikan saat masuk atau pada
sasaran (kapasitas inspirasi saat ekstubasi, tanpa kontra
80%) dan derajat kewaspadaan indikasi
(15 ml/kg atau maksimal
1500ml) 1. Pengobatan psikoaktif
2. Gabapentin
1. Pasien ICU dalam waktu 1 3. Acetaminopen (oral/IV)
jam setelah masuk 4. Ketorolac IV atau celloxib
2. Pasien perawatan akut oral
dalam waktu 6jam setelah 5. PCA atau opioid oral
masuk
Konsultasi pelayanan anastesi
Evaluasi bertahap dari terapi nyeri akut, jika nyeri persistent
sistem pernafasan dan/atau tidak ada perbaikan
dalam parameter pernafasan
setelah 6-8 jam
1. Pasien ICU setiap 4 jam
2. Pasien perawatan akut Pertimbangan pemasangan
setiap 6 jam kateter neurexial (ditentukan
secara individual)

Perawatan di tempat tidur Penilaian lebih dalam ps.


Geriatrik yg mungkin kurang
toleran thdp analgesia sistemik
multimodal

Elevasi kepala tempat tidur 300


tanpa kontra indikasi

Latihan nafas : Menggunakan Edukasi dan pemberdayaan pasien dan


spirometer intensif/jam, batuk, keluarga
dan lat. Nafas dalam

32
Tindakan Keperawatan

Mobilisasi setidaknya 3 kali


sehari taanpa kontra indikasi
Anjurkan pasien latihan nafas
dengan teknik yang tepat
Skor PIC ditampilkan dipapan menggunakan spirometri
tulis dan dalam rekam medis intensif dan batuk dan latihan
elektronik. nafas dalam

1. Pasien ICU setiap jam


2. Pasien perawatan akut
setiap 4 jam

33
Tindakan Utama Berikan handout edukasi pada
ps. dan kluarga

Evaluasi berkelanjutan, Papan skor PIC ditempatkan di


koordinasi perawatan, ruang ps. di lokasi yg terlihat,
pengganbungan skor PIC dan memungkinkan ps. dan keluarga
volume IS setiap shift untuk memantau kemajuan
pasien
Minimakan cairan intravena jika
memungkinkan

Kelompok Waspada : Total PIC skor ≤ , atau skor 1 poin di setiap kategori PIC, walaupun sudah
diberikan intervensi

Kriteria ICU : Pasien usia ≥ 65 tahun fraktur ≥ 3 tulang iga.

34
BAB III

TINJAUAN KASUS

B. Kasus

Seorang laki–laki berusia 35 tahun dengan berat badan 65 kg, pasca

kecelakaan lalu lintas dibawa ke instalasi rawat darurat. Pasien tabrakan motor

vs motor dengan kecepatan > 60 km/jam, jatuh kekiri dan menghantam

trotoar. Pasien pingsan, tidak ada muntah, tidak ada kejang. Dan mengeluh

nyeri dada sebelah kanan dan nyeri perut. Pemeriksaan fisik didapatkan TD

86/48 mmHg, N 110 x/menit, Pernapasan 35 x/menit, GCS E2M4V3.

Pada pemeriksaan awal (primary survey) ketika diterima di ruang

resusitasi instalasi rawat darurat , jalan napas bebas sumbatan, terpasang collar

brace di leher dari rumah sakit sebelumnya, tampak jejas maksilofasial.

Pernapasan spontan, terdapat jejas dan krepitasi teraba di dinding dada.

Perkusi dada redup di kedua sisi. Suara napas vesikular melemah di kedua sisi.

TD 86/48 mmHg, N 110 x/menit, Pernapasan 35 x/menit, GCS E2M4V3,

pupil bulat isokor, refleks cahaya baik, dan tidak terdapat lateralisasi. Pada

dada regio frontal kanan terdapat vulnus appertum dengan perdarahan 500 ml.

Jejas tampak pada aksila kanan, flank kanan, pedis kanan dan kiri.

Berdasarkan masalah yang dirumuskan, yaitu syok hipovolemik kelas II,

hematotoraks kanan dan kiri, flail chest kanan dan kiri, kontusio paru, dan

fraktur iga multipel kanan dan kiri; pada pasien dilakukan pemberian O2

dengan NRM 10 liter/menit, infus cairan melalui 2 akses diberikan RL 1500

35
mL, transfusi whole blood (3 unit), morfin intravena 1 mg, foto toraks segera,

insersi chest tube, dan USG FAST.

Pada foto toraks tampak fraktur iga multipel bilateral (fraktur kosta

1,2,4,5,6,7 kanan lateral, fraktur kosta 2,3,4,5,6,7,8,10 kiri poterior), fraktur

klavikula kanan, kontusio paru kanan dan kiri, hematotoraks kanan dan kiri.

Pada USG FAST tidak didapatkan cairan bebas dirongga peritonium,

splenorenal dan perivesika. Pada sisi toraks tampak efusi pleura kanan.

Setelah dilakukan insersi chest tube, dari sisi kanan keluar udara dan cairan

600 mL; dan dari sisi kiri keluar udara dan cairan 200 mL.

Pada pemeriksaan lanjut (secondary survey) dari anamnesis didapatkan

keterangan bahwa pasien mengalami kecelakaan lalu lintas motor vs motor

dengan kecepatan > 60 km/jam, jatuh kekiri dan menghantam trotoar. Pasien

tidak memiliki riwayat minum obat–obatan dan alkohol. Pasien tampak lemah

dengan tekanan darah TD 86/48 mmHg, N 110 x/menit, Pernapasan 35

x/menit, GCS E2M4V3 dan terpasang NRM 10 liter/menit. Pada pemeriksaan

toraks tampak simetris, teraba krepitasi, sonor, vesikuler melemah, dan

terdengar ronki atau wheezing. Abdomen normal. Akral dingin, kering, dan

tampak pucat. Pengkajian pasien selanjutnya adalah masalah hematotoraks

kanan dan kiri, syok hipovolemik kelas II, flail chest kanan dan kiri, kontusio

paru, fraktur iga multiple kanan dan kiri, dan cedera otak ringan. Selanjutnya

pada pasien direncanakan CT–scan kepala, konsul ortopedi, bedah saraf dan

bedah toraks, perawatan di ICU, infus RL, pemberian nebulizer, dan

mempertahankan tekanan negatif chest tube –18 s/d –20 cmH2O.

36
37
Parameter Nilai

Hb 7,8 g/dL

Ht 21,6 l%

Lekosit 14.000/mm3

Trombosit 206.000/mm3

BUN 13 mg/dL

Kreatinin 0,9 mg/dL

SGOT 77 IU/L

SGPT 42 IU/L

Glukosa 119 mg/dL

Na 134,5 mEq/L

Cl 103,5 mEq/L

K 3,46 mEq/L

Ca 0,73 mEq/L

pH 7,391

PCO2 35,2

PO2 274,4

HCO3 21,5

BE -3,6

SaO2 99%

38
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

Penatalaksanaan awal pasien di ruang resusitasi pada umumnya sesuai

dengan tata cara penanganan pasien trauma yaitu mulai dari tahapan primary

survey, resusitasi, secondary survey dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan

foto toraks menunjukkan adanya fraktur iga multipel, kontusio paru dan

hemotoraks serta pemeriksaan FAST menunjukan tidak ada cairan di rongga

abdomen dan ditemukan efusi pleura kanan. Pasien dilakukan pemasangan

chest tube kanan dan kiri dan pasca tindakan dirawat di ruang observasi

intensif/ICU.

Masalah yang pertama kali dihadapi (primary survey) adalah syok

hipovolemik kelas II, nyeri, hematotoraks kanan dan kiri, flail chest kanan dan

kiri, kontusio paru dan fraktur iga kanan dan kiri. Tindakan yang dilakukan

pada saat pertama kali pasien diterima di instalasi gawat darurat sudah cukup

memadai, terutama collar brace yang telah terpasang sebelumnya, pemberian

cairan dan transfusi darah untuk mengatasi syok dan anemia, pemberian

oksigen NRM 10 liter/menit dan direncanakan dilakukan tindakan intubasi

untuk mempertahankan jalan napas dan mengurangi beban otot pernapasan

serta pemberian O2 untuk oksigenasi, pemasangan chest tube untuk

mengevakuasi cairan di rongga pleura sehingga masalah restriksi dapat

dikurangi dan pemberian morfin untuk mengatasi rasa nyeri. Setelah tindakan

39
resusitasi dilakukan maka masuk tahapan secondary survey guna menentukan

diagnosis pasti dengan melakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh diikuti

dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologis.

Seharusnya pemeriksaan foto toraks dan USG dilakukan setelah seluruh

pemeriksaan fisik dikerjakan. Pada pasien ini kedua pemeriksaan itu dilakukan

lebih awal kemungkinan untuk menentukan masalah (diagnosis)

sesungguhnya secepat mungkin sehingga komplikasi yang mungkin terjadi

dapat segera dicegah. Pemeriksaan laboratorium memang dilakukan setelah

secondary survey dikerjakan termasuk pemeriksaan analisis gas darah.

Analisis gas darah diperlukan untuk menetukan apakah pasien dengan trauma

toraks harus dilakukan intubasi atau tidak. Pertama kali pasien datang ke

ruang resusitasi diberikan terapi NRM 10 liter/menit dan direncanakan untuk

dilakukan intubasi. Tindakan intubasi diindikasikan dilakukan karena kedua

paru pasien sudah mengalami gangguan akibat fraktur iga multipel dengan

demikian diharapkan fungsi ventilasi penatalaksanaan pasien trauma dengan

fraktur iga multipel. masih dapat dipertahankan.

Dahulu pasien dengan fraktur iga multipel rutin dilakukan intubasi dan

pemasangan ventilasi mekanik, termasuk juga pada pasien dengan flail

segment. Meskipun saat ini penelitian menunjukkan bahwa fraktur iga

multipel yang diberikan continuous positive airway pressure (CPAP) dan

analgesia regional (epidural atau blok saraf interkosta) secara bermakna

menurunkan lama perawatan dan komplikasi dibandingkan pasien yang

diintubasi dan mendapat ventilasi mekanik.

40
Hal ini karena pasien yang tidak disedasi dan tanpa ventilasi mekanik

dapat melakukan fisioterapi dan mobilisasi serta menurunkan kejadian sepsis.

Indikasi intubasi trakhea pada pasien dengan flail chest, yaitu : (1) syok berat,

(2) sistolik <70mmHg), (3) GCS <8, (4) pasien yang membutuhkan

pembedahan (segera), (5) fungsi pernapasan yang tidak adekuat, (6)

penggunaan otot bantu napas, pernapasan >35/menit atau <8/menit, saturasi

O2 <90% dengan O2 15L/menit dengan masker PaCO2 >55mmHg.

Hasil pemeriksaan fisik toraks pasien ini menunjukkan ada kelainan di

paru berupa penurunan suara napas baik paru kanan maupun paru kiri,

sehingga sebenarnya diagnosis atau masalah fraktur iga multipel,

hematotoraks maupun emfisema subkutis sudah dapat ditentukan.

Pemeriksaan fisik harus dilakukan lebih seksama untuk menentukan apakah

pada pasien ini hanya terdapat fraktur iga biasa atau fraktur iga segmental.

Iga segmental baik di dada kanan maupun kiri. Hal ini dapat terjadi

karena ketika dilakukan palpasi pasien merasakan nyeri atau fraktur

segmental yang terjadi masih terfiksasi dengan baik oleh otot–otot.

Karenanya pemeriksaan tambahan seperti foto toraks sangat membantu

memecahkan masalah ini.

Hasil pemeriksaan foto toraks pasien ini ditemukan pula ada fraktur iga

multiple, hemotoraks dan kontusio paru. Foto toraks diperlukan karena

sebagian besar pasien dengan trauma dada merupakan cedera multipel

sehingga pemeriksaan fisik kadangkala menjadi sulit dilakukan. Seringkali

dijumpai kasus trauma toraks dengan pneumotoraks atau hemotoraks yang

41
tidak terdiagnosis pada saat penilaian awal. Pemeriksaan foto toraks pada

pasien dengan fraktur iga dilakukan dalam 10 menit setelah pasien pertama

kali datang tanpa menghambat pertolongan pada pasien. Interpretasi yang

cepat dan akurasi hasil foto toraks diperlukan untuk menghindari hilangnya

petunjuk yang dapat menyelamatkan nyawa pasien. Sensitifitas foto toraks

dalam mendeteksi fraktur iga berkisar 20 – 50%. Pemeriksaan foto toraks

yang harus dilakukan adalah dari posisi lateral dan frontal.

Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan foto toraks lateral sehingga

diagnosis hanya fraktur iga multiple saja dan kemungkinan terjadinya fraktur

iga segmental masih belum dapat disingkirkan. Foto toraks lateral mungkin

tidak dilakukan karena fraktur iga terjadi bilateral sehingga pasien tidak

mungkin dimiringkan saat dilakukan pemeriksaan. Untuk menegakkan

diagnosis fraktur iga segmental maka pemeriksaan dengan CT–scan toraks

merupakan pilihan pada pasien ini.

Flail chest pada pasien ini tidak dapat disingkirkan karena pemeriksaan

fisik dan hasil foto toraks masih belum dapat menyingkirkan hal tersebut.

Foto toraks kurang memberikan hasil yang memuaskan karena fraktur iga

yang banyak dan posisi fraktur terletak di lateral dan posterior. Untuk

menentukan apakah terdapat fraktur iga segmental sebaiknya dilakukan

pemeriksaan CT–scan toraks yang dapat menentukan jumlah, jenis dan letak

fraktur iga. Flail chest terjadi akibat lepasnya hubungan antar - tulang pada

fraktur iga segmental yang dapat menyebabkan pernapasan paradoksal. Pada

saat inspirasi dada akan bergerak ke arah dalam mengikuti tekanan negatif

42
dan pada saat ekspirasi bagian fraktur segmental akan terangkat. Pada tahap

awal kematian yang terjadi akibat flail chest kebanyakan disebabkan oleh

hemotoraks massif dan kontusio paru, sedangkan pada tahap lanjut

disebabkan oleh acute respiratory distress syndrome (ARDS). Untuk itu

penanganan secepatnya perlu dilakukan dengan memberikan analgetik dan

pemberian ventilasi yang adekuat.

Hasil pemeriksaan foto toraks juga didapatkan ada fraktur klavikula

kanan. Fraktur klavikula umumnya terjadi akibat kecelakaan lalu lintas

terutama para pengguna kendaraan roda dua. Fraktur klavikula pada

umumnya akan sembuh sendiri dengan penanganan konservatif dengan

pemasangan collar–and–cuff sling dan hanya sedikit yang memerlukan

tindakan bedah. Pasien ini tidak dapat dilakukan pemasangan sling karena

akan mengganggu pernapasan dan meningkatkan komplikasi.

Tindakan pemeriksaan (FAST) focused assessment with sonography in

trauma pada pasien ini sudah sesuai dengan prosedur penatalaksanaan trauma

toraks. Hasil pemeriksaan FAST menunjukkan tidak ada cairan di rongga

abdomen dan ditemukan efusi pleura kanan. Pemeriksaan ini dilakukan pada

pasien dengan trauma dada untuk menilai apakah ada cedera di organ lain

dengan menilai jumlah cairan seperti efusi perikardium dan cairan

intraperitoneal. Pemeriksaan FAST cukup sensitif dan spesifik sehingga dapat

digunakan untuk menentukan tindakan bedah.

Kontusio paru pada pasien ini terjadi kemungkinan akibat ekstravasasi

darah ke dalam alveoli dan bronkus akibat cedera. Kontusio paru adalah

43
cedera parenkim paru yang menyebabkan edema dan perdarahan interstisial,

biasanya akibat proses akselerasi–deselerasi. Darah akan masuk ke dalam

alveoli dan bronkus sehingga terjadi gangguan difusi berupa perubahan rasio

ventilasi dan perfusi, terjadi pergeseran shunt dari kanan ke kiri dan gangguan

ventilasi. Mortalitas pasien dengan kontusio paru berkisar 10–25% dan sering

terjadi akibat trauma tumpul toraks. Kontusio paru dapat mengganggu

pertukaran gas dan menyebabkan shunting. Pasien dengan kontusio paru

merupakan predisposisi mendapatkan pneumonia dan ARDS akibat pelepasan

sitokin inflamasi dari daerah kontusio paru tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ventilasi noninvasif pada

fraktur iga multipel (lebih dari 3 tulang iga) yang disebabkan oleh trauma

tumpul yang kurang dari 24 jam setelah cedera dan terdapat gangguan batuk

akibat rasa nyeri atau kelainan paru, memberikan hasil yang lebih baik

dibandingkan dengan pasien sama yang diberikan ventilasi mekanik. Pasien

dengan fraktur iga multipel dengan CPAP dan analgetik regional lebih baik

dibandingkan dengan pemberian ventilasi mekanik dengan PEEP dalam hal

lama rawat dan komplikasi pneumonia serta pasien dengan ventilasi

noninvasif akan lebih cepat melakukan mobilisasi.

Masalah hemotoraks bilateral pada pasien ini diatasi dengan

pemasangan chest tube kanan dan kiri. Tindakan ini sesuai dengan tata

laksana penanganan pasien trauma toraks dan harus dilakukan karena akan

mengancam jiwa. Diagnosis homotoraks ditegakkan pemeriksaan fisik yaitu

ditemukan suara napas yang menurun dengan perkusi redup, hasil foto toraks

44
dan syok. Saat dilakukan pemasangan chest tube ke luar darah dalam jumlah

yang cukup banyak. Fraktur iga sering menyebabkan pneumotoraks yang

disebakan oleh rusaknya parenkim paru sehingga terjadi peningkatan tekanan

intraalveolar. Sedangkan hemotoraks terjadi akibat robeknya pembuluh darah

parenkim paru, pembuluh darah interkosta atau cedera pada jantung dan

pembuluh darah besar. Jika terjadi perdarahan yang berasal dari pembuluh

darah interkosta, mamari atau pulmoner maka tindakan bedah harus

dilakukan.

Pemasangan chest tube pada pneumotoraks traumatik yang diakibatkan

oleh trauma tumpul baik ringan maupun sedang tanpa cedera yang bermakna

ataupun dalam penggunaan intermittent positive pressure ventilation (IPPV)

bukan merupakan hal yang utama. Hal ini karena sebagian pneumotoraks

besar udara yang ada akan diserap dengan sendiri. Pasien dengan traumatik

pneumotoraks dalam 24 jam harus diberikan analgetik, pemantauan tanda

vital dan oxymetry. Pemeriksaan foto toraks ulang harus dilakukan setelah 6

jam dan chest tube harus dipasang jika peneumotoraks bertambah luas.

Bagaimanapun juga pemasangan chest tube harus segera dilakukan bila pada

saat pengamatan terjadi gangguan respirasi ataupun pemberian intermittent

positive pressure ventilation (IPPV) tidak memberikan hasil yang baik karena

paru bertambah kolaps. Pada kasus traumatik pneumotoraks dengan cedera

yang bermakna dan tanpa ada gangguan respirasi, kebanyakan akan membaik

dengan sendirinya sehingga risiko akibat pemasangan chest tube dapat

dihindarkan.

45
Selain pemasangan chest tube, mengatasi rasa nyeri yang terjadi akibat

fraktur iga merupakan hal yang penting pada pasien ini. Dengan mengatasi

rasa nyeri maka pola pernapasan pasien dapat diatur sehingga komplikasi

yang akan timbul seperti pneumonia, atelektasis dan gagal napas dapat

dicegah. Pasien ini diberikan morfin secara teratur karena selain

menghilangkan rasa nyeri juga mempunyai efek sedasi. Pemberian tramadol

juga dimungkinkan karena obat ini merupakan golongan analgesik opioid

lemah dan bisa digunakan untuk mengatasi rasa nyeri derajat sedang hingga

berat

Pada pasien terjadi emfisema subkutis yang kemungkinan disebabkan

oleh robeknya pleura parietal oleh fragmen iga sehingga udara luar masuk

dari rongga pleura. Pemberian tekanan setempat dan pembebatan (strapping)

biasanya dapat mengatasi emfisema subkutis. Penangan emfisema subkutis

tergantung dari berat dan luasnya karena kebanyakan emfisema subkutis

dapat sembuh sendiri tanpa meninggalkan bekas yang serius. Berbagai

macam tindakan dapat dilakukan untuk mengatasi emfisema subkutis mulai

dari konservatif yaitu dengan pengawasan dan pemberian oksigen dan hindari

penggunaan tekanan ventilasi positif hingga tindakan dekompresi yang

invasif. Ada beberapa teknik invasif untuk mengatasi emfisema subkutis

mulai dari melakukan pemasangan beberapa jarum, pemasangan angiokateter,

insisi subkutis hingga pemasangan drain.

Pasien dilakukan tindakan bedah berupa pemasangan fiksasi interna

tulang iga yang patah. Sebenarnya pada pasien ini bisa juga dilakukan

46
perawatan konservatif, seperti intubasi dan ventilasi mekanik tetapi hal

tersebut tidak banyak membantu Tindakan bedah harus dilakukan karena

sudah terjadi cedera toraks, kontusio paru dan gangguan respirasi. Waktu

yang tepat kapan seharusnya dilakukan fiksasi fraktur pada trauma dada

sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Fiksasi yang dilakukan pada saat

awal menurunkan kejadian inflamasi di daerah cedera, menurunkan rasa nyeri

dan penggunaan opiat. Penelitian menunjukkan bahwa fiksasi akan

mengurangi komplikasi paru dan mempercepat mobilisasi. Tetapi morbiditi

dan mortaliti tetap tinggi jika trauma dada disertai dengan trauma di organ

lain, seperti kepala, akibat keluarnya sumsum tulang yang mempengaruhi

sistem pulmoner dan susunan saraf pusat. Fiksasi hanya dapat dilakukan jika

semua proses resusitasi telah dilaksanakan dengan baik.

Fraktur iga yang terjadi pada pasien ini begitu banyak sehingga jika

telah masuk tahap penyembuhan kemungkinan akan terjadi deformiti,

atelektasis dan pengurangan volume paru. Tindakan yang dilakukan sedini

mungkin diharapkan akan memperbaiki bentuk dinding dada, mengurangi

kecacatan dan mempertahankan fungsi paru. Selain pemasangan fiksasi

interna, ahli bedah juga dapat membersihkan rongga pleura dari darah dan

bekuan darah sehingga tidak terjadinya empyema dan fibrosis pleura dapat

dicegah. Pasien yang dilakukan pembedahan dirawat di ICU lebih singkat

dibandingkan pasien yang hanya dilakukan perawatan konservatif. Demikian

pula dengan penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat dan proses

penyapihan lebih cepat pada pasien yang dilakukan pembedahan. Pasien ini

47
telah dilakukan clipping iga ke–5 dan ke–6 kiri dan iga ke–6 dan ke–7 kanan

dan selanjutnya dirawat di ICU. Pasien dirawat selama 5 hari di ICU dan

diekstubasi pada hari ke–4 pasca bedah.

Foto thoraks setelah pemasangan chest tube

48
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya

disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). Fraktur adalah rusaknya

kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar

dari yang dapat diserap oleh tulang, ( Linda Juall C, 2002 ). Fraktur Multiple

Costae merupakan gangguan sistem muskuluskeletal, dimana terjadi pemisahan

atau patahnya tulang iga lebih dari satu disebabkan oleh trauma atau tenaga

fisik. (Doenges E Marilyn, 2000). Penatalaksanaan dari kegawatan pada kasus

Fraktur Multiple Costae tanpa adanya penyulit/kelainan lain ditangani

secara konservatif (analgetika). Fraktur lebih dari 2 costae harus diwaspadai

kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks).

C. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan institusi dappat memberikan tambahan literatur tentang

manajemen kegawatdaruratan Fraktur Multiple Costae, baik dari konsep

maupun pengkajian dan pemeriksaan fisik serta penatalaksanaan awal yang

harus diberikan, sehingga dapat dijadiakan referensi bagi mahasiswa dan

update ilmu pengetahuan

49
2. Bagi Tenaga Kesehatan

Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk

mendapatkan hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.

3. Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui manajemen

kegawatdaruratan Fraktur Multiple Costae sehingga dapat menerapkannya

pada praktik klinik keperawatan di kemudian hari.

50
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Kolaps Paru Pada Pneumothorax. Diakses dari

http://medicastore.com/penyakit/148/Kolaps_Paru-

Paru_Pneumothorax.html pada tanggal 17 Januari 2019

Anonim. 2004. Pneumothorax dan Kolaps Paru. Diakses dari

http://fordisfisio.forumotion.com/kardiorespirasi-f4/pneumothorax-kolaps-

paru-t12.htm pada tanggal 17 Januari 2019.

Azz, Y. 2008. Fraktur Costae. Diakses dari

http://www.slideshare.net/yar_azz/fraktur-iga pada tanggal 5 Januari 2012.

Dewi, I.K. 2010. Fraktur Clavicula dan Fraktur Costae. Diakses dari

http://www.scribd.com/doc/47345054/Fraktur-Clavicula-dan-Fraktur-

Costae pada tanggal 17 Januari 2019.

Howell, N., Ranasinghe, A., & Graham, T. (2005). Management of rib and sternal

fractures. Trauma, 7, 47–54.

Prasenohadi, T. S. (2012). Penatalaksanaan Pasien Trauma dengan Fraktur Iga

Multipel. Majalah Kedokteran Terapi Intensif, 2.

Syamsuhidajat, R, Wim De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

51

Anda mungkin juga menyukai