Anda di halaman 1dari 92

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analisa air termasuk ke dalam bagian kimia analisa kuantitatif karena
menentukan kadar suatu zat dalam campuran zat-zat lain. Prinsip analisa air yang
digunakan adalah prinsip titrasi dan metode yang digunakan adalah metode
indikator warna dan secara umum termasuk ke dalam analisa volumetrik. Air
merupakan sumber daya alam yang mempunyai fungsi sangat penting bagi
kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya serta sebagai modal dasar dalam
pembangunan. Dengan perannya yang sangat penting, air akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kondisi atau komponen lainnya.
Air juga banyak mendapat pencemaran. Berbagai jenis pencemar air
kebanyakan berasal dari:
1. Sumber domestik (rumah tangga), perkampungan, kota, pasar, jalan, dan
sebagainya.
2. Sumber non-domestik (pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, serta
sumber-sumber lainnya).
Semua bahan pencemar diatas secara langsung ataupun tidak langsung akan
mempengaruhi kualitas air. Berbagai usaha telah banyak dilakukan agar kehadiran
pencemaran terhadap air dapat dihindari atau setidaknya diminimalkan. Apabila
kandungan zat-zat kimia terlalu banyak jumlahnya didalam air, air tersebut dapat
menjadi sumber bencana yang dapat merugikan kelangsungan hidup semua
makhluk sekitarnya. Dengan adanya pencemaran-pencemaran air oleh pabrik
maupun rumah tangga, kandungan zat-zat kimia di dalam air semakin meningkat
dan pada akhirnya kualitas air tersebut menurun. Oleh karena itu, diperlukan analisa
air untuk menentukan dan menghitung zat-zat kimia yang terkandung di dalam air
sehingga dapat diketahui air tersebut membahayakan kesehatan, layak tidaknya
dikonsumsi maupun sudah tercemar atau belum (Agus, 2010).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum Analisa air adalah untuk mengambil sampel
air dengan benar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Analisa air termasuk ke dalam bagian kimia analisa kuantitatif karena
menentukan kadar suatu zat dalam campuran zat-zat lain. Prinsip analisa air yang
digunakan adalah prinsip titrasi dan metode yang digunakan adalah metode
indikator warna dan secara umum termasuk ke dalam analisa volumetrik. Air
merupakan sumber daya alam yang mempunyai fungsi sangat penting bagi
kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya serta sebagai modal dasar dalam
pembangunan. Dengan perannya yang sangat penting, air akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kondisi atau komponen lainnya.
Air juga banyak mendapat pencemaran. Berbagai jenis pencemar air
kebanyakan berasal dari:
3. Sumber domestik (rumah tangga), perkampungan, kota, pasar, jalan, dan
sebagainya.
4. Sumber non-domestik (pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, serta
sumber-sumber lainnya).
Semua bahan pencemar diatas secara langsung ataupun tidak langsung akan
mempengaruhi kualitas air. Berbagai usaha telah banyak dilakukan agar kehadiran
pencemaran terhadap air dapat dihindari atau setidaknya diminimalkan. Apabila
kandungan zat-zat kimia terlalu banyak jumlahnya didalam air, air tersebut dapat
menjadi sumber bencana yang dapat merugikan kelangsungan hidup semua
makhluk sekitarnya. Dengan adanya pencemaran-pencemaran air oleh pabrik
maupun rumah tangga, kandungan zat-zat kimia di dalam air semakin meningkat
dan pada akhirnya kualitas air tersebut menurun. Oleh karena itu, diperlukan analisa
air untuk menentukan dan menghitung zat-zat kimia yang terkandung di dalam air
sehingga dapat diketahui air tersebut membahayakan kesehatan, layak tidaknya
dikonsumsi maupun sudah tercemar atau belum (Agus, 2010).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Tempat dan Waktu


Praktikum ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Porlak Simalingkar
Universitas HKBP Nommensen yang dimulai pada bulan September sampai
Desember.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada analisa air adalah sebagai berikut jerigen
putih, tali pancing, bola pimpong, permen karet, tali plastik alat tulis dan lain-lain.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah air sungai.
3.3 Metode Percobaan
Adapun prosedur kerja dalam pengambilan sampel air adalah:
1. Tentukan sungai yang akan di ambil sampel airnya .
2. Deliniasi di citra titik-titik daerah sungai yang akan di ambil sampelnya, hal ini
untuk mempermudah dan mempercepat proses pengambilan sampel air.
3. Datang kelokasi sesuai dengan titik pengambilan sampel air sungai yang sudah
di deliniasi di citra, lokasi antar titik yang telah di tentukan adalah berjarak 200
meter antar titik pengambilan sampel.
4. Siapkan botol air minum yang sudah di bersihkan, botol air minum harus di
bersihkan hal ini bertujuan untuk menghilangkan zat-zat cair dari bekas
minuman, agar sampel air nantinya tidak tercampur dengan zat-zat air minum.
5. Carilah titik pengambilan sampel air, tempat yang tepat untuk di ambil
sampelnya adalah daerah tali arus (strem flow).
6. Saat mengambil sampel usahakan botol berada di dalam air sepenuhnya isi
sampai penuh.
7. Saat air sudah penuh tutup botol tersebut di dalam air juga, hal ini bertujuan
untuk menghindari ikut sertanya air kedalam botol.
8. Setelah selesai simpan botol dengan aman, pengetesan sampel sebaiknya
kurang dari 24 jam setelah pengambilanya dari sungai, hal ini bertujuan untuk
menghindari reaksi-reaksi yang mungkin bisa terjadi jika air dibiarkan di dalam
botol dalam jangka waktu yang lama.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Adapun hasil dari praktikum di atas yaitu :

Gambar 1. Pengambilan sampel air tergenang dan mengalir


4.2 Pembahasan
Agar diperoleh hasil analisa yang sesuai dengan keadaan sebenernya
diperlukan sampel yang representative yaitu sampel yang mewakili air atau badan
air yang akan diperiksa kualitasnya. Sampel air yang representative dapat diperoleh
dengan mencampur sampel yang diambil dari periode waktu tertentu atau dari
beberapa titik atau tempat pengambilan sampel yang berlainan.
1. Jumlah Sampel Air
Untuk analisa atau pemeriksaan kualitas sampel air secara fisika dan kimia
termasuk pemeriksaan kadar klorida diperlukan sampel sebanyak 2-5 liter. Sampel
air yang akan digunakan guna analisa atau pemeriksaan kimia harus memenuhi
persyaratan-persyaratan, salah satunya cara pengambilan sampel air.
2. Selang Antara Waktu Pengambilan Sampel Air dan Analisa
Makin pendek selang waktu antara pengambilan sampel air dan analisa atau
pemeriksaan, akan memberikan hasil makin baik. Beberapa unsur dan sifat fisika
dikehendaki analisa di lapangan, karena susunan sampel air akan berubah setibanya
di laboratorium.
Batas waktu maksimum untuk menunda pemeriksaan sampel air yang akan
dianalisa atau akan diperiksa:
1.Air bersih selama 72 jam
2.Air yang sedikit tercemar selama 48 jam
3.Air kotor atau air limbah selama 12 jam
Selang waktu tersebut hendaknya dicantumkan dalam laporan hasil
laboratorium. Jika sampel air diawetkan dengan penambahan asam atau pembunuh
jasad renik maka selang waktunya dapat diperpanjang.
Beberapa unsur dapat mengalami perubahan pada waktu penyimpanan
sampel air. Kation-kation tertentu akan hilang Karena adsorpsi atau pertukaran ion
oleh dinding wadah sampel dari gelas. Maka sampel air untuk analisa atau
pemeriksaan kation-kation alumunium, cadmium, kromium, tambaga, besi, timbal,
mangan, perak, dan seng perlu dipisahkan dalam botol yang bersih dan diasamkan
dengan asam klotida pekat atau asam nitrat sampai pH skitar 3,5 untuk mencegah
pengendapan atau adsorpsi oleh dindin gwadah sampel air.
Suhu dan pH dapat berubah dengan cepat antara pH-kebasaan-
karbondioksida akan mengendapkan kalium karbonat sehingga menurunkan kadar
kalsium dan kesadahan. Senyawa besi dan mangan akan larut dalam valensi rendah
(tereduksi) dan merupakan senyawa yang tidak larut pada valensi tinggi
(teroksidasi), oleh karenanya kation-kation ini dapat larut atau mengendap
tergantung pada potensial reaksi sampel tersebut.
Kegiatan jasad renik dapat merubah keseimbangan nitrit-nitritamonia,
menurunkan kadar fenol dan BOD atau mereduksi sulfat enjadi sulfide. Sisa klor
akan direduksi menjadi klorida, sulfit, ferro, iodide dan sianida akan hilang karena
pengaruh oksidasi. Warna, baud an kekeruhan akan bertambah atau berkurang.
Natrium silikat dan boron dapat larut dari gelas wadah sampel. Krom valensi 6
dapat tereduksi menjadi valensi 3.
3. Sampel Air yang Representatif
Untuk mendapatkan hasil analisa atau hasil pemeriksaan sampel air yang
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, pengambilan sampel harus dilakukan
sebaik-baiknya dan dicegah kemungkinan kontaminasi atau perubahan selama
dibawa ke laboratorim. Sebelum diisi, botol diblas 2-3 kali dengan air yang akan
diperiksa. Faktor penting yang mempengaruhi hasi analisa atau pemeriksaan
sampel air adalah kekeruhan, sehingga kekeruhan ini harus dihilangkan. Juga akan
terjadi perubahan fisika dan kimia selama penyimpanan dan kena udara. Tiap
sampel air yang keruh harus diperlakukan tersendiri tergantung unsur yang akan
ditetapkan, banyaknya dan sifat kekeruhan dan lain-lain keadaan yang akan
memperngaruhi hasilnya. Umumnya bahan tersuspensi dipisahkan dengan cara
dekantasi, pemusingan atau penyaringan.kadang-kadang perlu dinyatakan bahwa
analisa dilakukan dengan atau tanpa penyaringan.
Tiap sampel harus diberi keterangan yang jelas dan tidak mudah hilang pada
wadahnya. Keterangan memuat nama tempat pengambilan, tanggal, waktu
pengambilan, lokasi pengambilan, nama pengambil sampel, suhu dan data-data
lainnya yang diperlukan seperti cuaca, kedalaman, aliran air dan lain-lain.
Untuk mengambil sampel air dari sungai, danau, sumur, kolam renang dapat
menggunakan wadah gelas isi 1 liter yang di bagian bawahnya diperi pemberat dari
timah hitam, dengan pegikat kawat kuningan atau tembaga. Tidak boleh dpakai
kawat ari besi karena mudah berkarat sehingga udah putus dan karatnya akan
mencemari air maupun sampel air.
Mulut botol harus cukup lebar, sehingga dapat dimasuki sumbat karet (s)
yang diberi dua buah lubang. Pada lubang tersebut dimasukkan dua buah pipa
plastik dengan garis tengah + 0,5 cm. Sebuah pipa dimasukkan sampai dasar botol
dan pipa lainnya hanya sampai dasar sumbat, sedang ujungnya kira-kira 25 cm dari
luar botol. Pipa kedua ini dapat disambung dengan pipa plastik yang panjangnya
disesuaikan dengan kedalaman pengambilan sampel. Sebelumnya botol harus
dibersihkan dahulu. Pada pengambilan pertama air dibuang, untuk membilas botol
pengamil. Pengambilan kedua dipergunakan untuk membilas tempat samb]pel air
yang akan dikirimkan ke laboratorium. Pengambilan ketiga diisikan kedalam
wadah yang akan dikirim ke laboratorium dengan cara membalikkan botol
pangambilan sampel air tadi, sehingga ujung pipa diluar mengenai dasarnya. Hal
ini untuk mencegah aerasi.
4. Pengawetan Sampel Air
500 ml sampel air + 0,5 ml asam sulfat pakt (H2SO4) untuk pemeriksaan
logam-logam dan 250 ml sapel air + 3 tetes toluol untuk pemeriksaan nitrat, nitrit
dan amonia.
5. Pengiriman Sampel Air
Masing-masing sampel dikirim kan ke laboratorium harus ditempel suatu
label yng memuat:
a. Tempat pengambilan contoh atau sampel air
b. Kode sampel air
c. Lokasi yang tepat
d. Pemeriksaan yang akan diminta
e. Diambil oleh
f. Tangga dan waktu
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat disampaikan dalam laporan praktikum
analisa air adalah analisa atau pemeriksaan kualitas sampel air secara fisika dan
kimia termasuk pemeriksaan kadar klorida diperlukan sampel sebanyak 2-5 liter.
Sampel air yang akan digunakan guna analisa atau pemeriksaan kimia harus
memenuhi persyaratan-persyaratan, salah satunya cara pengambilan sampel air.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam laporan prakikum analisa air
pengairan yaitu dalam pengambilan sampel air pengairan sebaiknya dilakukan
sesuai dengan prosedurnya dan sesuai waktu yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, 2010, Tekhnik pengambilan Agus,2 010,sampel aur,


(http://agus34drajat.files.wordpress.com/2010/10/pedoman-pengambilan-
pemantauan-kualitas-air.pdf). Diakses pada 25 Januari 2015

Anonimius, 2012, TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL AIR, (online),


(http://dc195.4shared.com/doc/FcY99a5c/preview.html), Diakses pada 25
Januari 2015.

Anonimius, 2012, CARA PENGAMBILAN SAMPEL AIR DAN LIMBAH CAIR,


(online),(http://terasibakar.wordpress.com/2012/04/07/cara-pengambilan-
sampel-air-dan-limlim-cair/). Diakses pada 25 Januari 2015.

Anonimius, Tekhnik pengambilan sampel air, (online),


(http://www.scribd.com/doc/177102992/Teknik-Pengambilan-Sampel-Air-
Sungai) Diakses pada 25 Januari 2015.

Lukman Wawan, PENGAMBILAN DAN PENGIRIMAN SAMPEL AIR UNTUK


PEMERIKSAAN KIMI, (online),
(http://laboratoriumbpn.blogspot.com/2011/04/pengambilan-dan-
pengiriman-sampel-air.html), Diakses pada 25 Januari 2015.
LAMPIRAN FOTO

Gambar 1. Pengambilan sampel air tergenang

Gambar 2. Pengambilan sampel air mengalir


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keanekaragaman spesies, ekosistem dan sumberdaya genetik semakin
menurun pada tingkat yang membahayakan akibat kerusakan lingkungan.
Kepunahan akibat beberapa jenis tekanan dan kegiatan, terutama kerusakan habitat
pada lingkungan alam yang kaya dengan keanekaragam hayati, seperti hutan hujan
tropik dataran rendah. Kepunahan keanekaragaman hayati sebagian besar karena
ulah manusia. Kepunahan akan berampak besar terhadap perubahan struktur
komunitas ekosisem suatu hutan. Oleh karena itu, suatu analisis untuk menentukan
struktur komunitas hutan meliputi perhitungan jenis dan spesies vegetasi perlu
dilakukan untuk menentukan struktur komunitas hutan suatu wilayah.
Menurut Marsono (1977), Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-
tumbuhan, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu
tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat,
baik diantara sesame individu penyususn vegetasi itu sendiri maupun dengan
organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang tumbuh dan hidup serta
dinamis (Marsono, 1977).
Salah satu metode untuk mendeskripsikan suatu vegetasi yaitu analisis
vegetasi. Analisa vegetasi merupakan cara untuk mempelajari susunan (komposisi
jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pada suatu
kondisi hutan yang luas, kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling
sehingga cukup ditempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat
tersebut. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dala sampling ini, yaitu jumlah petak
contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan
(Soerianegara, 2005).

Pada praktikum ini,dalam menganalisi vegetasi perlu dibuat suatu petak


berbentuk persegi dengan ukuran 50 cm x 50 cm. Percobaan ini penting dilakukan
untuk mengetahui keberagaman suatu spesies di suatu tempat dan dominasi spesies
pada suatu vegetasi.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam melaksanakan praktikum ini adalah untuk mengetahui
letak pengambilan sampel tanah, dan untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada
pada titik pengambilan sampel.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari
beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme
kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama
individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga
merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1977).
Analisis vegetasi merupakan cara yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
sebaran berbagai spesies dalam suatu area melalui pengamatan langsung.
Analisa vegetasi merupakan cara untuk mempelajari susunan (komposisi
jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pada suatu
kondisi hutan yang luas, kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling
sehingga cukup ditempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat
tersebut. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dala sampling ini, yaitu jumlah petak
contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan
(Soerianegara, 2005). Analisa vegetasi penting untuk mengetahui vegetasi
tumbuhan dimasa sekarang dan menduga-duga kemungkinan perkembangan
dimasa depan.
Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan
atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan
vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang
merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu
habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah
untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah
yang dipelajari (Indriyanto, 2006).
Menurut Syafei (1990), dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai
metode untuk menganalisis suatu vegetasi yang sangat membantu dalam
mendeskripsikan suatu vegetasi sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini, suatu
metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dalam
bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus diperhitungkan berbagai
kendala yang ada. Macam-macam metode analisis vegetasi yaitu metode destruktif,
metode nondestruktif, metode floristik, dan metode nonfloristik.
1. Metode destruktif
Metode ini biasanya dilakukan untuk memahami jumlah materi organik
yang dapat dihasilkan oleh suatu komunitas tumbuhan. Variabel yang dipakai
bisa diproduktivitas primer, maupun biomasa, dengan demikian dalam
pendekatan selalu harus dilakukan penuaian atau berarti melakukan perusakan
terhadap vegetasi tersebut. Metode ini umumnya dilakukan untuk bentuk-bentuk
vegetasi yang sederhana, dengan ukuran luas pencuplikan antara satu meter
persegi sampai lima meter persegi. Penimbangan bisa didasarkan pada berat
segar materi hidup atau berat keringya. Metode ini sangat membantu dalam
menentukan kualitas suatu padang rumput dengan usaha pencairan lahan
penggembalaan dan sekaligus menentukan kapasitas tampangnya. Pendekatan
yang terbaik untuk metode ini adalah secara floristika, yaitu didasarkan pada
pengetahuan taksonomi tumbuhan.
2. Metode nondestruktif
Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu
berdasarkan penelaahan organism hidup atau tumbuhan tidak didasarkan pada
taksonominya, sehingga dikenal dengan pendekatan nonfloristika. Pendekatan
lainnya adalah didasarkan pada penelaahan organisme tumbuhan secara
taksonomi atau pendekatan floristika.
3. Metode floristik
Metode ini didasarkan pada penelaahan organisme tumbuhan secara
taksonomi. Metode ini dapat menentukan kekayaan floristika atau
keanekaragaman dari berbagai bentuk vegatasi. Penelaahan dilakukan terhadap
semua populasi spesies pembentuk masyarakat tumbuhan tersebut, sehingga
pemahaman daris setiap jenis tumbuhan secara taksonomi adalah sangat
dibutuhkan. Pelaksanaan metode floristik ini sangat ditunjang dengan variabel-
variabel yang diperlukan untuk menggambarkan baik struktur maupun
komposisi vegetasi, diantaranya adalah:
a. Kerapatan, untuk menggambarkan jumlah individu darip populasi sejenis.
b. Kerimbunan, variabel yang menggambarkan luas penutupan suatu populasi
di suatu kawasan, dan bisa juga menggambarkan luas daerah yang dikuasai
oleh populasi tertentu atau dominasinya.
Frekuensi, variabel yang menggambarkan penyebaran dari populasi disebut
kawasan. Variabel-variabel merupakan salah satu dari beberapa macam variabel
yang diperlukan untuk menjelaskan suatu bersifat kuantitatif, seperti statifikasi,
periodisitas, dan vitalitas.
4. Metode nonfloristik
Pada metode ini, dunia tumbuhan dibagi berdasarkan berbagai hal, yaitu
bentuk hidup, ukuran, fungsi daun, bentuk dan ukuran daun, tekstur daun, dan
penutupan. Untuk setiap karakteristika dibagi lagi dalam sifat yang lebih rinci, yang
pengungkapannya dinyatakan dalam bentuk simbol huruf dan gambar bentuk
hidup. Klasifikasi bentuk vegetasi biasanya dipergunakan dalam pembuatan peta
vegetasi dengan skala kecil sampai sedang, dengan tujuan untuk menggambarkan
penyebaran vegetasi berdasarkan penutupannya dan juga masukan bagi disiplin
ilmu yang lainnya.
Menurut Michael (1994), Metode- metode yang umum dan sangat efektif
serta efisien jika digunakan untuk penelitian komunitas tumbuhan, pada garis
besarnya digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Metode plot (petak ukur), adalah prosedur yang umum digunakan untuk
sampling berbagai tipe organisme. Bentuk plot biasanya segi empat atau persegi
ataupun lingkaran. Sedangkan ukurannya tergantung dari tingkat keheterogenan
komunitas. Contohnya:
a. Petak tunggal yaitu metode yang hanya satu petak sampling yang mewakili
satu areal hutan.
b. Petak ganda yaitu pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan
banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata (sebaiknya secara
sistematik). Ukuran berbeda- beda berdasarkan kelompok tumbuhan yang
akan dianalisis. Perbandingan panjang dan lebar petak 2:1 merupakan
alternatif terbaik daripada bentuk lain.

c. Petak jalur
Metode tanpa plot yaitu suatu metode berupa titik, dalam metode ini bentuk
percontohan atau sampel berupa titik karena tidak menggambarkan suatu luas area
tertentu. contohnya metode kuadrat, yaitu bentuk sampel dapat berupa segi empat
atau lingkaran yang menggambarkan luas area tertentu. Luasnya bisa bervariasi
sesuai dengan bentuk vegetasi atau ditentukan dahulu luas minimumnya. Untuk
analisa yang menggunakan metode ini dilakukan perhitungan terhadap variabel-
variabel kerapatan, kerimbunan, dan frekuensi.
d. Adanya vegetasi akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan
ekosistem dalam skala yang lebih luas. Umumnya peranan vegetasi pada suatu
ekosistem terkait dengan pengaturan dianalisis. Perbandingan panjang dan lebar
petak 2:1 merupakan alternatif terbaik daripada bentuk lain.
e. Petak jalur
Metode tanpa plot yaitu suatu metode berupa titik, dalam metode ini bentuk
percontohan atau sampel berupa titik karena tidak menggambarkan suatu luas area
tertentu. contohnya metode kuadrat, yaitu bentuk sampel dapat berupa segi empat
atau lingkaran yang menggambarkan luas area tertentu. Luasnya bisa bervariasi
sesuai dengan bentuk vegetasi atau ditentukan dahulu luas minimumnya. Untuk
analisa yang menggunakan metode ini dilakukan perhitungan terhadap variabel-
variabel kerapatan, kerimbunan, dan frekuensi.
Adanya vegetasi akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan
ekosistem dalam skala yang lebih luas. Umumnya peranan vegetasi pada suatu
ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen
dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah, pengaturan tata air
tanah dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area
memberikan dampak positif, namun pengaruh ini berbeda-beda tergantung dari
struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu (Arrijani, dkk, 2006).
Menurut Odum (1993), analisis vegetasi suatu lahan atau daerah penting
dilakukan. Tujuannya adalah suatu analisis secara objektif dari segi floristik
sebenarnya yang terdapat pada saat pengkajian. Prosedur pengkajian mengikuti dua
langkah yaitu:
1. Analisis lapang, yang meliputi seleksi plot-plot contoh atau kwadrat – kwadrat
enomerasi semua semua tumbuhan didalamnya. Kurva spesies area sangat luas
digunakan untuk menentukan ukuran yang sesuai dan jumlah dari petak-petak
contoh.
2. Sintesis data untuk menentukan derajat asosiasi dari populasi-populasi
tumbuhan , kurva frekuensi seringkali digunakan untuk menentukan
homogenitas atau heterogenitas dari suatu tegaknya vegetasi khusus.
Menurut Mc Noughton dan Wolf (1990), bentuk-bentuk pertumbuhan
(growth form) dapat dinyatakan berdasarkan batas ketinggiannya, misalnya untuk
komunitas hutan, terdapat 4 tingkatan:
1. Lapisan pohon (tree layer)
Tingkatan ini terdiri atas semua tumbuhan yang tingginya lebih dari 5 m. Pada
hutan-hutan tinggi, lapisan ini dapat dibagi lagi menjadi 2, 3, atau bahkan 4
lapisan.
2. Lapisan semak (schrub layer)
Tingkatan ini terdiri atas tumbuhan dengan tinggi antara 0,5 m sampai 5 m.
Lapisan ini dapat dibagi lagi menjadi S1 (tinggi 2-5 m) dan S2 (tinggi 0,3 atau
0,5 m sampai 2 m).
3. Lapisan herba (herb layer)
Pada tingkatan ini, tumbuhan yang ada adalah dengan tinggi kurang dari 0,3 atau
0,5 m atau kurang dari 1 m. Seperti tingkatan di atas, lapisan ini dibagi lagi
menjadi H1 atau lapisan herba tinggi (tinggi lebih dari 0,3 m), H2 (tinggi 0,1 –
0,3 m), dan lapisan herba rendah (tinggi kurang dari 0,1 m).
4. Lapisan lumut dan lichenes
Merupakan lapisan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan lumut.
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Tempat dan Waktu


Praktikum ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Porlak Simalingkar
Universitas HKBP Nommensen yang dimulai pada bulan September sampai
Desember.
5.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu Pasak, Meteran jahit, Tali raffia, Lux
meter dan gunting serta asistensi.
5.3 cara kerja
Suatu daerah yang terdapat komunitas vegetasi tumbuhan bawah di daerah
naungan dan derah tanpa naungan dicari, kemudian dibuat petak ukur berukuran 50
cm x 50 cm pada masing-masing plot. Setiap sudut pada plot dibatasi dengan empat
buah pasak yang saling dihubungkan dengan tali rafia sebagai pembatas petak ukur
dengan area luar petak. Setelah itu, pada masing-masing plot, jenis tanaman yang
ada di dalam petak ukur dicatat jumlahnya dan diidentifikasi jenis serta
kelompoknya, kemudian intensitas cahaya pada setiap plot diukur dengan
menggunakan lux meter. Indeks nilai penting setiap jenis tumbuhan yang
ditemukan pada tempat naungan dan tanpa naungan dihitung dengan menggunakan
rumus :
6 INP = KR +FR
Indeks kesamaan Sorrensen dihitung pada kedua komunitas tumbuhan tersebut
dengan menggunakan rumus :
𝟐𝑾
7 IS = 𝑨+𝑩
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Setelah dilakukan percobaan Analisis Vegetasi didapatkan hasil berupa
beberapa Histogram sebagai berikut :

Histogram Cacah Spesies Naungan


35
30 32 33

25
20
15 Jumlah
17
10
10
5
2
0
Herba Rumput Semak Seedling Perdu

Gambar 1. Histogram Cacah Spesies Naungan

Histogram Cacah Spesies


Tanpa Naungan
Seedling 2
Semak 8
Herba 8
Rumput 43 Jumlah

Perdu 266

0 50 100 150 200 250 300

Gambar 2. Histogram Cacah Spesies Tanpa Naungan

4.2 Pembahasan

Vegetasi merupakan Vegetasi adalah suatu kumpulan dari tumbuhan yang


pada umumnya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama dalam suatu
habitat atau tempat. Pada mekanisme hidup bersama tersebut terdapat interaksi
yang sangat erat, baik interaksi antara sesama individu penyusun vegetasi tersebut
maupun organisme lainnya sehingga terjadi suatu sistem hidup dan tumbuh yang
dinamis (Marsono, 1997). Vegetasi berfungsi sebagai perantara hewan dengan
habitat. Vegetasi pun dapat mengubah dan menentukan sifat habitat, apakah cocok
atau tidak bagi hewannya, karena itu vegetasi dapat menyeleksi hewan. Vegetasi
berfungsi sebagai tempat berlindung, bersarang, tempat mencari makan, dan
sumber air, vegetasi penting sebagai sumber air karena akar tanaman suatu dahan
dan daunnya bertindak sebagai pelindung dan penangkap bagi air yang turun
(Yatim, 1994).
Metode yang digunakan pada praktikum kali ini adalah metode plot (petak
ukur), adalah prosedur yang umum digunakan untuk sampling berbagai tipe
organisme. Bentuk plot biasanya segi empat atau persegi ataupun lingkaran.
Sedangkan ukurannya tergantung dari tingkat keheterogenan komunitas.
Contohnya:
1. Petak tunggal yaitu metode yang hanya satu petak sampling yang mewakili satu
areal hutan.
2. Petak ganda yaitu pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan banyak
petak contoh yang letaknya tersebar merata (sebaiknya secara sistematik).
Ukuran berbeda- beda berdasarkan kelompok tumbuhan yang akan dianalisis.
Perbandingan panjang dan lebar petak 2:1 merupakan alternatif terbaik daripada
bentuk lain.
Pada praktikum ini, analisa vegetasi dilakukan pada komunitas tumbuhan
bawah di daerah naungan dan di daerah tanpa naungan. Pemilihan kedua daerah
yang berbeda ini untuk mengetahui jenih tumbuhan apa saja yang berada pada
daerah dengan naungan dan daerah tanpa naungan, perbedaan ini juga dipengaruhi
oleh intensitas cahaya yang didapat oleh tumbuhan. Kemudian dibuat petak dengan
ukuran 0,5 m x 0,5 m, ukuran ini dipilih agar ukuran petak cukup besar agar
individu jenis yang ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, namun juga harus
cukup kecil sehingga individu dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa adanya
duplikasi maupun pengabaian (Turner, 2011).
Pada 4 sudut plot dibatasi dengan menggunakan pasak yang saling
dihubungkan dengan area luar petak, hal ini untuk membuat petak yang berbentuk
persegi dimana jenis tanaman yang ada didalam petak ukur pada masing-masing
plot akan dicatat jumlahnya dan diidentifikasi serta kelompoknya.
Percobaan analisis vegetasi dilakukan di halaman belakang kampus II
gedung Thomas Aquinas Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk Tanpa Naungan
dan di Kebun Biologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk yang Naungan.
Pada lokasi ini terdapat beberapa jenis tumbuhan dengan berbagai ukuran. Ada
beberapa pohon tinggi, meskipun tidak terlalu banyak sehingga tempat ini tidak
terlalu gelap karena sinar matahari masih dapat melewati celah ranting dan
dedaunan pohon. Tempat ini tidak hanya ditumbuhi pohon tetapi juga semak,
rumput, seedling, dan tumbuhan herba.
Pada lokasi dengan naungan dan tanpa naungan dilakukan perbedaan lokasi
karena tumbuhan yang ada dan pula keanekaragaman tumbuhan yang hidup. Pada
lokasi dengan naungan terdapat pohon-pohon besar yang akan menghalangi sinar
matahari sehingga tanaman yang terdapat di bawah sedikit menerima cahaya
matahari. Sedangkan pada lokasi tanpa naungan, banyak terdapat jenis tumbuhan
yang rendah, karena pada lokasi tanpa naungan tidak ada penghalang bagi
tumbuhan rendah untuk mendapatkan sinar matahari.
Berdasarkan hasil pengamatan analisis vegetasi, diperoleh beberapa
growthform di lokasi naungan dan tanpa naungan. Pada lokasi naungan, diperoleh
growthform semak, rumput, perdu, seedling dan herba. Growthform semak
ditemukan sebanyak 2 spesies dan memiliki total nilai kerapatan relatif sebesar
18,09%, frekuensi relatif sebesar 21,74%, dan nilai penting sebesar 39,82%.
Growthform rumput ditemukan sebanyak 5 spesies dan memiliki total nilai
kerapatan relatif sebesar 34,04%, frekuensi relatif sebesar 26,09%, dan nilai penting
sebesar 60,13%. Growthform Perdu ditemukan sebanyak 2 spesies dan memiliki
total nilai kerapatan relatif sebesar 2,13%, frekuensi relatif sebesar 8,70%, dan nilai
penting sebesar 10,83%. Growthform seediling ditemukan sebanyak 4 spesies dan
memiliki total nilai kerapatan relatif sebesar 35,11%, frekuensi relatif sebesar
21,74%, dan nilai penting sebesar 56,85%. Growthform Herba ditemukan sebanyak
5 spesies dan memiliki total nilai kerapatan relatif sebesar 10,64%, frekuensi relatif
sebesar 21,74%, dan nilai penting sebesar 32,38%.
Pada lokasi tanpa naungan, diperoleh growthform semak, rumput, perdu,
seedling dan herba. Growthform semak ditemukan sebanyak 2 spesies dan memiliki
total nilai kerapatan relatif sebesar 2,75%, frekuensi relatif sebesar 10,00%, dan
nilai penting sebesar 12,75%. Growthform rumput ditemukan sebanyak 8 spesies
dan memiliki total nilai kerapatan relatif sebesar 13,15%, frekuensi relatif sebesar
45,00%, dan nilai penting sebesar 58,15%. Growthform perdu ditemukan sebanyak
2 spesies dan memiliki total nilai kerapatan relatif sebesar 81,04%, frekuensi relatif
sebesar 15,00%, dan nilai penting sebesar 96,04%. Growthform seedling ditemukan
sebanyak 2 spesies dan memiliki total nilai kerapatan relatif sebesar 0,61%,
frekuensi relatif sebesar 10,00%, dan nilai penting sebesar 10,61%. Growthform
herba ditemukan sebanyak 3 spesies dan memiliki total nilai kerapatan relatif
sebesar 2,45%, frekuensi relatif sebesar 20,00%, dan nilai penting sebesar 22,45%.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan Praktikum yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan
sebagai berikut :
1. Macam-macam metode analisis vegetasi yaitu metode Plot dan Metode tanpa
Plot. Metode yang digunakan dalam praktikum adalah metode Plot (petak ukur)
dengan ukuran 50 x 50 cm.
2. Nilai tertinggi kerapatan relatif sebesar 34,04%, frekuensi relatif sebesar
26,09%, dan nilai penting sebesar 60,13% pada lokasi dengan naungan terdapat
pada rumput. Nilai tertinggi kerapatan relatif sebesar 13,15%, frekuensi relatif
sebesar 54,17%, dan nilai penting sebesar 58,15% pada lokasi tanpa naungan
terdapat pada rumput. Indeks Similaritas Sorensen antara lokasi dengan
naungan dan tanpa naungan adalah 0,51 dan 0,53 dan Indeks Disimilaritas
Sorensen antara lokasi dengan naungan dan tanpa naungan adalah 0,88 dan
0,34.
DAFTAR PUSTAKA

Arrijani, dkk. 2006. Analisis Vegetasi Hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango. Biodiversitas. Volume 7, Nomor 2, Hal 147-153.
Greig and Smith P. 1983. Quantitative Plant Ecology. Blackwell Scientific
Publications. Oxford

Harjosuwarno, S. 1990. Dasar-dasar Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi UGM.


Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.

Krebs, J.C. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance.
Harper and Row Publisher. London.

Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas


Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mc Noughton, S. J. dan Wolf, L. L. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

Michael, P.E. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
Universitas Indonesia. Jakarta.
LAMPIRAN FOTO

Gambar 1. Lokasi Vegetasi Tanaman

Gambar 2. Lokasi Pengambilan Sampel Tanam


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman
penghasil minyak nabati yang paling efisien diantara beberapa tanaman sumbe
minyak nabati yang memiliki nilai ekonomi tinggi lainnya, seperti kedelai, zaitun,
kelapa dan bunga matahari (Sunarko, 2009).
Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.
Kebutuhan buah kelapa sawit meningkat tajam seiring dengan meningkatnya
kebutuhan CPO dunia, oleh karenanya peluang perkebunan kelapa sawit masih
sangat prospek, baik untuk memenuhi pasar dalam negeri maupun luar negeri
(Pardamean, 2012).
Total luas perkebunan kelapa sawit di indonesia mencapai 10 juta ha. Area
perkebunan kelapa sawit di Indonesia di kendalikan oleh para taipan sebanyak 31%.
Taipan berasal dari bahasa jepang yang artinya adalah tuan besar. Area yang belum
ditanami kelapa sawit adalah 2,0 juta ha. Jadi, luas perkebunan kelapa sawit di
Indonesia dikuasai oleh para taipan sebanyak 51 juta ha sisanya milik BUMN dan
taipan kecil serta kebun mandiri termasuk rakyat (Supriyanto, 2015).
Seiring dengan bertambahnya jumlah perusahaan perkebunan yang ada d
dunia maka persaingan global pun semakin meningkat sehingga perusahaan
perkebunan dituntut untuk semakin efektif dan efisien agar tetap eksis di tengah
persaingan usaha yang semakin ketat (Pardamean, 2012).
Pemupukan merupakan faktor yang sangat penting dalam membudidayakan
tanaman, pemupukan memberikan kontribusi yang sangat luas dalam meningkatkan
produktifitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Salah satu efek pemupukan yang
sangat bermanfaat yaitu meningkatkan kesuburan tanah yang menyebabkan tingkat
produksi tanaman menjadi relatif stabil serta meningkatkan daya tahan tanaman
terhadap serangan penyakit dan pengaruh iklim yang tidak menguntungkan. Selain
itu, pemupukan bermanfaat melengkapi penyediaan unsur hara di dalam tanah
sehingga kebutuhan tanaman terpenuhi dan pada akhirnya tercapai hasil/produksi
yang maksimal (Pahan, 2008).
Manajemen pemupukan adalah pengelolaan sumber daya secara efektif
untuk mencapai proses pemupukan yang telah ditentukan. Tujuan manajemen
pemupukan adalah menjamin kelancaran pengadaan dan pelaksanaan pemupukan
untuk mencapai pemupukan yang efisien dan efektif, memenuhi prinsip lima tepat,
yaitu: tepat waktu, tepat dosis, tepat cara, tepat jenis, tepat tempat dan pengawasan
(Mangoensoekarjo, 2007).
Pahan (2008) menyatakan bahwa, biaya pemupukan pada kelapa sawit
tergolong tinggi, yaitu 40‐60% dari total biaya operasional. Biaya pemupukan yang
tinggi tersebut menuntut pihak perkebunan untuk secara tepat menentukan jenis dan
kualitas pupuk yang akan digunakan dan mengelolanya sejak dari pengadaan
hingga aplikasinya di lapangan. Ketepatan penyediaan semua jenis pupuk di kebun
merupakan masalah yang selalu dihadapi pekebunan untuk mencapai
keseimbangan hara seperti yang direkomendasikan.
Perencanaan dan pengawasan memegang peranan yang penting dan mutlak
dilaksanakan. Pada perusahaan perkebunan kelapa sawit, anggaran berperan
sebagai alat perencanaan dan pengawasan. Dalam perencanaan anggaran berperan
untuk mengidentifikasi perencanaan strategis kedalam bentuk yang lebih spesifik
dan sistematis. Sementara dalam proses pengawasan, anggaran digunakan sebagai
alat pengukur atas hasil aktual yang dicapai.
Disisi lain akuntansi mampu membantu manajemen dalam menyusun
perencanaan, mengawasi serta mengevaluasi pelaksanaan kegiatan (Pardamean,
2012).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan praktikum ini yaitu untuk melakukan
analisis daun pada tanaman kelapa sawit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Sub Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Palmales
Family : Palmae
Sub Family : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
2.2 Syarat Tumbuh
2.2.1 Iklim
a. Curah hujan
Curah hujan merupakan komponen iklim terpenting karena curah hujan
merupakan sumber penyediaan air tanah. Rata - rata curah hujan tahunan yang
optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit sekitar 2000 mm/tahun yang terbagi
merata sepanjang tahun (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).
b. Intensitas penyinaran
Sinar matahari sangat penting dalam kehidupan tumbuhan, karena
merupakan salah satu syarat mutlak terjadinya proses fotosintesis. Menurut
Mangoensoekarjo dan Semangun (2005), untuk pertumbuhan kelapa sawit yang
optimal diperlukan sekurang - kurangnya 5 jam penyinaran per hari sepanjang
tahun.
Disamping lama penyinaran, aspek penyinaran lain yang penting adalah
intensitasnya. Di daerah - daerah yang intensitas penyinarannya rendah ataupun
karena jarak tanam terlalu rapat, sebagian dari karangan bunga akan gugur.
c. Ketinggian tempat
Menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2005), kelapa sawit akan
tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 5-500 meter dari permukaan laut.
Tinggi tempat dari permukaan laut erat kaitannya dengan suhu udara. Rata - rata
suhu minimum antara 22 o–24o C dan rata - rata suhu maksimum antara 29 o–32oC
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).
2.2.2 Tanah
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, akan tetapi
kelapa sawit tumbuh secara optimal memerlukan jenis tanah yang cocok. Jenis
tanah yang baik untuk tanaman kelapa sawit adalah jenis tanah Latosol, Aluvial,
Podsolik merah kuning, Podsolik cokelat, tanah Organosol dan tanah Regosol
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Tempat dan Waktu


Praktikum ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Porlak Simalingkar
Universitas HKBP Nommensen yang dimulai pada bulan September sampai
Desember.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu parang, tissu, cutter, dan
kantong plastik putih.
Bahan yang digunakan adalah kebun koleksi tanaman kelapa sawit di porlak
simalnigkar.
3.4 Pengambilan Sampel Daun Tanaman Kelapa Sawit
3.4.1 sistem menentukan pohon sampel
a. Sistem terpusat
1. Pohon sampel terpusat di wilayah tertentu yang mewakili seluruh tanaman
2. Dilakukan pada areal dengan topografi data berombak
3. Jumlah sampel pohon sebanyak 30 pohon
4. Sampel pohon terdapat pada 1 sampai 2 baris tanaman terletak di tengah
areal
b. Sistem tersebar
1. Pohon sampel tersebar merata di seluruh wilayah
2. Dilakukan pada areal dengan topografi bergelombang berbukit
3.4.2 Syarat pohon sampel untuk mengambil sampel daun kelapa sawit
1. Pohon tidak dekat jalan, sungai, bangunan dan parit
2. Bukan pohon sisipan
3. Tidak berdekatan dengan areal terbuka
4. Pohon normal dan tidak terkena hama dan penyakit
5. Jika ketepatan urutan pohon sampel terdapat pada pohon yang terkena hama
dan penyakit maka dapat dipindahkan ke pohon di sampingnya yang baik tetapi
barisnya masih tetap.
3.4.3 syarat pengambilan sampel pelepah daun tanaman kelapa sawit
1. pada tanaman belum menghasilkan umur 2 tahun diambil pelepah daun ke 9
2. pada tanaman menghasilkan diambil pelepah daun ke 17
3.4.4 cara menentuan letak pelepah daun tanaman kelapa sawit
1. daun ke 1 adalah daun termuda yang helai daunnya telah terbuka seluruhnya
dan jarak Antara helai daun tersebut dengan daun yang lainnya sudah jelas
tampak pada pangkal pelepah
2. daun ke 9 letaknya di bawah daun ke 1 agak ke sebelah kiri pada spiral arah
kanan dan agak kanan pada spiral kiri
3. daun ke 17 letaknya di bawah daun ke 9 agak ke sebelah kiri pada spriral arah
kanan dan agak kanan pada spiral kiri
4. jika tanaman belum menghasilkan umur 2-3 tahun, sampel daun ke 9 tidak dapat
di ambil maka dapat diganti dengan daun ke 3
5. pengambilan daun sebaiknya dilakukan pada pukul 07.00 – 13.00 Wib
6. pengambilan daun tidak dianjurkan pada sore hari dan waktu hujan
3.4.5 cara mengambil sampel daun kelapa sawit
1. pemotongan pelepah daun sampel
2. tentukan pusat atau titik ujung permukaan datar
3. pengambilan helai daun pada titik ujung permukaan datar dari permukaan atas
pelepah
4. helai daun yang diambil adalah 3 helai pada bagian sebelah kanan dan 3 helai
pada bagian sebelah kiri
5. potong helai anak daun menjadi 3 bagian yang sama dan yang diambil sebagai
sampel adalah bagian tengah
6. bersihkan helai daun dari debu, jamur dan lain-lain dengan menggunakan kapas
yang dibasahi akuades.
7. pisahkan lidi dari helai daun dan selanjutnya helai daun saja yang digumakan
8. masukkan helai daun ke dalam amplop yang berlobang dan beri label untuk
dibawa ke laboratorium.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

Gambar 1. Sampel daun ke 9 dan 17 setelah di potong 15 cm

Gambar 2. Sampel daun ke 9 dan 17 yang telah dipisahkan dari lidi


4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengambilan sampel daun tanaman kelapa sawit di atas
menunjukkan perbedaan Antara sampel daun tanaman yang menghasilkan dan
tanaman yang tidak menghasilkan. Sampel daun tanaman menghasilkan diambil
pelepah daun ke 17, terlihat dari hasil pengamatan bahwa sampel daun tanaman ke
17 berwarna hijau tua. Berbeda dengan sampel daun tanaman yang belum
menghasilkan, yang diambil pelepa daun ke 9 yang memiliki warna hijau muda.
Pada praktikum pengambilan sampel daun tanaman kelapa sawit ini, hanya
sampai pada tahap analisis daun di lapangan, masih belum melakukan analisis di
laboratorium.
Sama hal dengan tanah dan air, pengambilan sampel terhadap tanaman juga
menjadi kunci keberhasilan dari hasil analisa yang akan digunakan sebagai dasar
rekomendasi. Suatu tanaman dapat dijadikan menjadi sampel berbeda antara satu
jenis tanaman dengan tanaman yang lain. Artinya tidak semua tanaman dapat
dijadikan tanaman sampel. Demikan juga organ tanaman seperti akar, batang, daun
dan buah. Pada tanaman tertentu daun digunakan sebagai sampel akan tetapi pada
tanaman lain tidak dapat digunakan. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan
untuk menentukan tanaman sampel adalah umur tanaman, baris dan lajur tanaman
serta klasifikasi tanaman (tanaman semusim dan tanaman tahunan).
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan dilapangan, adapun kesimpulan
yang dapat diambil yaitu sebagai berikut.
1. Dalam pengambilan daun sampel tanaman harus dipertimbangkan umur
tanaman, baris dan lajur tanaman serta klasifikasi tanaman
2. Pada tanaman belum menghasilkan diambil pelepah daun ke 9 dan pada
tanaman menghasilkan di ambil pelepah daun ke 17
3. Sampel daun tanaman yang belum menghasilkan memiliki warna daun yang
berbeda dengan sampel daun tanaman menghasilkan.

5.2 Saran
Adapun saran dalam pelaksanaan praktikum ini adalah sebaiknya dilakukan
pada pagi sampai siang hari dan tidak dalam keadaan hujan serta hasil analisis di
lapangan sebaiknya dilanjutkan analisis di laboratorium agar kita dapat
memperoleh hasil yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Arrijani, dkk. 2006. Analisis daun kelapa sawit. Biodiversitas. Volume 7, Nomor 2,
Hal 147-153.
Greig and Smith P. 1983. Quantitative Plant Ecology. Blackwell Scientific
Publications. Oxford

Harjosuwarno, S. 1990. Dasar-dasar Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi UGM.


Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.

Krebs, J.C. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and


Abundance. Harper and Row Publisher. London.

Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas


Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mc Noughton, S. J. dan Wolf, L. L. 1990. Ekologi Umum. Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

Michael, P.E. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan


Laboratorium. Universitas Indonesia. Jakarta.
LAMPIRAN FOTO

Gambar 1. Sampel daun ke 9 dan 17 setelah di potong 15 cm

Gambar 2. Sampel daun ke 9 dan 17 yang telah dipisahkan dari lidi

Gambar 3. Sampel daun tanaman kelapa sawit


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemasaman tanah adalah sifat tanah yang perlu diketahui, sebab
menunjukkan adanya hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara dan juga
hubungna antara pH dengan sifat-sifat tanah. Terdapatnya beberapa hubungan
komponen dalam tanah mempengaruhi konsentrasi H+ dalam tanah, dimana
keadaannya dipersulit oleh bahan-bahan tanah yang lain.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi optimal
dari tanaman adalah pH tanah. Reaksi tanah yang dinyatakan dengan pH
menunjukkan sifat kemasaman atau konsentrasi ion H+ dan ion OH- dalam tanah.
pH yang dibutuhkan oleh tanaman adalah pH yang sesuai dengan keadaan anatomi
dan fisiologis daripada tanaman tersebut, oleh sebab itu pH perlu diubah agar sesuai
kebutuhan tanaman. Namun usaha ini tidak mudah sebab ada penghambat yang
disebut Buffer (sanggahan), yang merupakan suatu sifat umum dari campuran
asam-basa dan garamnya.
Pentingnya pH adalah untuk menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara
diserap tanaman. Pada tanaman yang sekitar pH netral, disebakan karena pH
tersebut kebanyakan unsur hara larut dalam air. Ditinjau dari berbagai segi, tanah
yang mempunyai pH antara 6-7 merupakan pH yang terbaik (netral), pada pH
dibawah 7 merupakan tanah yang masam sehingga unsur P tidak dapat diserap
tanaman karena diikat (difiksasi) oleh Al sedangkan pada tanah alkalis pHnya
berkisar antara 8-14 sehingga unsur P juga tidak dapat diserap oleh tanaman karena
difikasi atau diikat oleh Ca. Penanggullangan tanah yang terlalu masam dapat
dinaikkan dengan menambah kapur pada tanah itu, sedangkan tanah yang terlalu
alkalis dapat diturunkan pHnya dengan cara penambahan belerang.
Kemasaman dikenal ada dua yaitu kemasaman aktif dan kemasaman
potensial. Kemasaman aktif disebabkan oleh H+ dalam larutan, sedangkan
kemasaman potensial disebabkan oleh ion H+ dan Al yang terjerap pada permukaan
kompleks jerapan. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu melakukan percobaan
reaksi tanah (pH) untuk mengetahui jenis reaksi dan nilai pH tanah pada berbagai
lapisan tanah.
Setiap tanaman memerlukan jumlah hara dalam komposisi yang berbeda-
beda, pengetahuan pengaruh pH Tanah terhadap pola ketersediaan hara tanah dapat
di gunakan sebagai acuan dalam pemeliharaan tanaman yang sesuai dengan suatu
jenis tanah, melalui berbagai penelitian, telah di ketahui bahwa tanaman tertentu
mempunyai kisaran pH ideal yang tertentu pula.
pH tanah sanggat penting di karenakan larutan tanah mengandung unsur
seperti nitrogen (N), kalium (K), pospor (P), dimana tanaman membutuhkan dalam
jumlah tertentu untuk tumbuhan, berkembang dan bertahan terhadap penyakit. pH
tertentu yang berukuran pada tanah di tentukan oleh seperangkat faktor kimia
tertentu, oleh karena itu, penentuan PH tanah adalah sebuah lini yang paling penting
yang dapat di gunakan untuk mendiagnosa masalah pertumbuhan tanaman,
biasanya tanah pada daerah basah bersifat masam dan pada daerah kering bersifat
basah.
Nilai pH berkisar antara 0 – 14, makin tinggi kepekatan/ kosentrasi (H+)
dalam tanah, makin rendah pH tanah dan sebaliknya, makin rendah konsentrasi (H+)
maka makin tinggi PH tanah, sehubungan dengan nilai pH di jumpai tiga (tiga)
kemungkinan yaitu : Masam, Netral, dan Basah. pH optimum, untuk ketersediaan
unsur hara tanah adalah sekitar 7,0 karena pada pH ini semua unsur makro tersedia
secara maksimum.
1.2. Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk menetapkan nilai pH tanah, menetapkan
tingkat kemasaman tanah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. pH Tanah
pH tanah adalah salah satu dari beberapa indikator kesuburan tanah, sama
dengan keracunan tanah. Level optimum pH tanah untuk aplikasi penggunaan
lahan berkisar antara 5–7,5. tanah dengan pH rendah (acid) dan pH tinggi (alkali)
membatasi pertumbuhan tanaman. Efek pH tanah pada umumnya tidak
langsung. Di dalam kultur larutan umumnya tanaman budidaya yang dipelajari
pertumbuhannya baik/sehat pada level pH 4,8 atau lebih (Bunting, 1981).
PH tanah menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (didalam tanah).
Makin tinggi kadar ion didalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Bila
kandungan H sama dengan maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7
(Hardjowigeno, 2010).
Nilai pH tanah dipengaruhi oleh sifat misel dan macam katron yang komplit
antara lain kejenuhan basa, sifat misel dan macam kation yang terserap. Semakin
kecil kejenuhan basa, maka semakin masam tanah tersebut dan pH nya semakin
rendah. Sifat misel yang berbeda dalam mendisosiasikan ion H beda walau
kejenuhan basanya sama dengan koloid yang mengandung Na lebih tinggi
mempunyai pH yang lebih tinggi pula pada kejenuhan basa yang sama
(Pairunan,dkk, 1985).
2.2. Faktor – Faktor Yang Mempenggaruhi pH Tanah
Air bersifat netral karena konsentrasi H+ dan OH- yang sama pada keadaan
netral pH adalah 7. Suatu ukuran skala pH digunakan untuk memudahkan dan
meenyatakan SI+ yang sangat kecil didalam air maupun didalam berbagai sistem
hayati penting, kation-kation yang dapat dipertukarkan terserap dengan tenaga yang
cukup besar untuk memperlambat pencuciannya dari tanah, (Foth, 1994)
Pengukuran pH tanah dilapangan dengan prinsip kalori meter dengan
menggunakan indicator (larutan, kertas lakmus), yang menunjukan warna tertentu
pada pH berbeda (Mohr, 1972) kondisi pH tanah mempengaruhi serapan unsur hara
dan peertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap ketersedian unsur hara
dan adanya unsur-unsur yang beracun. (Hanafiah, 1990)
Biasanya jika pH tanah semakin tinggi maka unsur hara semakin sulit diserap
tanaman, demikian juga sebaliknya jika terlalu rendah akar juga akan kesulitan
menyerap makanannya yang berada didalam tanah. Akar tanaman akan mudah
menyerap unsur hara atau pupuk yang kita yang kita berikan jika pH dalam
tanahsedang-sedang saja cenderung netral. (Tan,1990).
Beberapa unsur hara fungsional seperti besi, mangan, dan seng berkurang
apabila pH digunakan dari 5,0 menjadi 7,5 atau 80 molidenium berkurang
ketersediannya bila pH diturunkan pada pH kurang dari 5,0 besi dan mangan
menjadi larut dalam jumlah cukup banyak sehingga dapat mengganggu serapan
normal unsur lain dan sangat merugikan pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986).
Reaksi tanah menunjukan sifat kemasaman atau alkalis tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukan banyaknya konesntrasi ion
hidrogen H+ didalm tanah, makin tinggi kadar ion H+ didalam tanah, maka semakin
masam tanah tersebut. Pada tanah-tanah yang masam ion H+ lebih `tinggi dari pada
OH- sedangkan pada tanah brsifat alkalis kandungaan ion OH- lebih tinggi pada ion
H+. kemasam tanah terdapat pada daerah dengan curah hujan tinggi sedangkan
pengaruhnya sangat besar padatanaman, seehingga kemasaman tanah harus
diperhatikan karena merupakan sifat tanah yang sangat penting (Hakim, 1986)
Sifat kemasaman tanah ada dua jenis yaitu kemasaman aktif dan
kemasaman potensial, kemasan aktif ialah yang diukurnya konsentrasi ion H+ yang
terdapat pada pemakaian sehari-hari. Sedangkan reaksi tanah adalahh banyaknya
kadar hydrogen dapat ditukar oleh kompleks koloid tanah (Hardjowigeno, 1987).
2.3 Hubungan Keasaman Tanah dengan Kesuburan Tanah
Pentingnya pH tanah adalah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara
diserap tanaman, menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun, dan
mempengaruhi perkembangan mikro organisme. Tanah yang terlalu masam dapat
dinaikkan pH-nya dengan menambahkan zat kapur ke dalam tanah, sedang tanah
yang terlalu alkalis dapat diturunkan pH-nya dengan penambahan
belerang (Hardjowigeno, 2003).
Komponen kimia tanah sangat berperan dalam menentukan sifat dan ciri
tanah pada umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Uraian kimia tanah
banyak menjelaskan tentang reaksi-reaksi kimia yang menyangkut masalah-
masalah ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Hal-hal yang banyak berkaitan
dengan masalah tersebut di atas adalah penyerapan dan pertukaran kation, sifat dari
tanah, reaksi tanah, dan pengelolaannya (Foth, 1999).
Reaksi tanah atau pH tanah dapat memberikan petunjuk beberapa sifat
tanah. Makin tinggi pH makin banyak basa-basa terdapat dalam tanah. Tanah-tanah
yang terus menerus tercuci oleh air hujan cenderung mempunyai pH yang rendah
dan miskin basa-basa. Pada tanah masam, aktivitas (kelarutan) Al mungkin tinggi
dan dapat meracuni tanaman, sedangkan pada tanah-tanah yang mempunyai pH
tinggi unsur-unsur tertentu mungkin kurang tersedia untuk tanaman karena
mengendap (Harjowigeno,2003).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Porlak Simalingkar
Universitas HKBP Nommensen yang dimulai pada bulan September sampai
Desember.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan terdiri dari sampel tanah terombak dari
beberapa jenis tanah yang berbeda pH-nya dan air suling. Adapun peralatan yang
diperlukan adalah pH meter, pH indikator, timbangan, gelas silinder, dan silinder
pengukur volume.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pengukuran menggunakan pH meter
Adapun prosedur kerja dalam praktikum keasaman tanah yaitu:
1. Menyiapkan tanah kering udara sebanyak 5 g (ditimbang dengan timbangan
digital).
2. Memasukkan kelima contoh kedalam vial yang telah disediakan.
3. Menambahkan 12,5 ml air suling (pH 7) kedalam vial.
4. Mengocok tanah yang bersangkutan dengan sepatula selama dua menit.
5. Membilas probe (elektroda) dari pH meter yang tersedia dengan air suling.
6. Memasukkannya kedalam suspense tanah yang ada didalam vial.
7. Melakukan pembacaan pH meter.
3.3.2 Pengukuran menggunakan pH indikator
1. Menyiapkan tanah kering udara sebanyak 5 gram.
2. Memasukkan 5 gram tanah tersebut ke dalam roll film dan diberi label.
3. Menambahkan air suling (pH 7) kedalam vial.
4. Mengocok roll film yang berisi tanah selama 2 menit sampai tanah hancur dan
membentuk suspensi tanah yang homogen.
5. Mencelupkan sebagian dari ujung bawah dari pH indikator ke dalam roll film.
6. Melihat perubahan warnanya.
7. Mencatat berapa nilai pH yang terbaca.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka diperoleh data sebagai
berikut:
Tabel 5. Pengamatan keasaman tanah lapisan I, lapisan II, dan lapisan III.
Nilai pH (dalam H2O, 1 : 2,5 )
Lapisan Tanah
pH Meter pH Indikator
Lapisan I 6,02 (agak masam) 5 (agak masam)

Lapisan II 7,00 (netral) 4 (agak masam)

Lapisan III 5,68 (agak masam) 5 (agak masam)

4.2. Pembahasan
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada lapisan satu
diukur dengan menggunakan pH meter hasil yang didapatkan adalah 6,02 dan
dengan menggunakan pH indikator hasil yang didapatkan adalah 5 dengan kriteria
agak masam. Pada lapisan dua dengan menggunakan pH meter hasil yang
didapatkan adalah 7 dan dengan menggunakan pH indikator hasil yang didapatkan
adalah 4 dengan kriteria agak masam. Pada lapisan tiga dengan menggunakan pH
meter hasil yang didapatkan adalah 5,68 dan dengan menggunakan pH indikator
hasil yang didapatkan adalah 5 dengan kriteria agak masam.
Jika diperhatikan pada tabel diatas nilai pH yang diukur mengunakan pH
meter pada lapisan kedua lebih banyak (netral) dibanding lapisan pertama (agak
masam), hal ini desebabkan oleh dua kemungkinan yaitu yang pertama adalah
terjadi kekeliruan dalam praktikum misalnya pada saat pengocokan roll film yang
seharusnya dilakukan selam 15 menit dan hanya dilakukan selama 2 menit.
Kemungkinan kedua adalah terjadinya pengendapan yang menyebabkan pH tanah
tercuci karena menurut Hanafiah (2014) Jika air berasal dari air hujan melewati
tanah, kation-kation basa seperti Ca dan Mg akan tercuci.
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kandungan pH pada tanah
masih memungkinkan tumbuhan bisah tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hanafiah (2014) yang mengemukakan bahwa tanaman dapat tumbuh pada
kisaran pH 4,0 sampai 8,0.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan ditunjukkan bahwa pH pada
tanah yang diamati berbeda-beda menurut perbandingan tanah dan airnya, hal ini
sesuai dengan pendapat Pairunan (2007) yang menyatakan bahwa pemberian air
yang berbeda-beda pada suatu jenis tanah akan memberikan pengaruh yang besar
terhadap nilai pH suatu tanah.Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kemasaman tanah yaitu pencucian basa-basa, kejenuhan basa, sifat misel, dan
macam kation yang terserap. mineralisasi atau dekomposisi bahan organik.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat diperoleh data yaitu
pada lapisan satu diukur menggunakan pH meter dengan hasil 6,02 dan dengan
menggunakan pH indikator dengan hasil 5 dengan kriteria agak masam. Pada
lapisan dua dengan menggunakan pH meter dengan hasil 7 dan dengan
menggunakan pH indikator dengan hasil 4 dengan kriteria agak masam. Pada
lapisan tiga dengan menggunakan pH meter dengan hasil 5,68 dan dengan
menggunakan pH indikator dengan hasil 5 dengan kriteria agak masam.
5.2 Saran
Saat mengamati pH tanah dilaboratorium sebaiknya dilakukan dengan hati-
hati dan teliti agar tidak terjadi kekeliruan saat pengamatan seperti yang telah terjadi
pada saat pengamatan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bunting. 1981. Konservasi Tanah dan Air. CV. Pustaka buana: Bandung.
Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika. Pressindo : Jakarta
Pedoman Praktikum. 2008. Pedoman Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah.
Fakultas Pertaian UPM : Probolinggo.

Pairunan,A.1985. Dasa - Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi


Negri Indonesia Timur: Makassar.

Foth , 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah, Erlangga Jakarta. Mohr. 1972. Tropical
Soils. Net Herlands. Geuze Dordrecht

Hanafiah, A.K. 1990. Dasar –Dasar Ilmu Tanah.Edisi 1–3 Jakarta Rajawalipress.
Hardjowigeno . S. 1987. Dasar –Dasar Ilmu Tanah, Akademik,Presindo
Jakarta.

Tan H. K 1990. Dasar – Dasar Kimia Tanah. Gaja Mada Universitas press
Yogyakarta, Indonesia.

Hakim, 1986. dasar – dasar ILMU TANAH. Penerbit Universitas Lampung.


Soepardi G, 1979. Sifat Dan Ciri Tanah, The Nature and Properties of soild, by
Brandy, 1975.

Partana Fajar Crys, 2006. Seri IPA KIMIA 1 Kelas VII. Quadara : Jakarta
Rappang, 2011. Tanah Untuk Pertanian. http://bpp-rappang.blogspot.com diakses
pada tanggal 5 Juni 2015 pukul 20.30 WIB
LAMPIRAN FOTO

Gambar 1. Pengukuran pH Tanah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan elemen dasar yang tidak terpisahkan dalam dunia
pertanian. Tanpa adanya tanah mustahil kita bisa menanam padi, palawija, sayuran,
buah-buahan maupun kehutanan meskipun saat ini telah banyak dikembangkan
sistim bercocok tanam tanpa tanah, misalnya Hidroponik, Airoponik dan lain-lain,
tetapi apabila usaha budidaya tanaman dalam skala luas masih lebih ekonomis dan
efisien menggunakan media tanah.
Mengingat pentingnya peranan tanah dalam usahatani, maka pengelolaan
tanah untuk usahatani haruslah dilakukan sebaik mungkin guna menjaga kesuburan
tanahnya. Tanah yang memenuhi syarat agar pertumbuhan tanaman bisa optimal
tentulah harus memiliki kandungan unsur hara yang cukup,mengandung banyak
bahan organik yang menguntungkan.
Tanah memiliki sifat fisik yang berpengaruh terhadap kesuburan tanah.
Salah satu sifat fisik tanah yaitu tekstur tanah. Tekstur tanah merupakan
perbandingan relatif fraksi pasir, debu, dan liat. Tekstur tanah menggambarkan
ukuran kasar atau halusnya tanah. Dalam menetapkan tekstur tanah ada tiga metode
yang digunakan yaitu metode feeling, pipet, dan hydrometer.
Tanah merupakan suatu sistem lapisan kerak bumi yang tidak padu dengan
ketebalan beragam berbeda dengan bahan-bahan di bawahnya, yang juga tidak baku
dalam hal warna, bangunan fisik, struktur, susunan kimiawi, sifat biologi, proses
kimia, ataupun reaksi-reaksi.
Tektur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang menunjukkan komposisi
partikel penyusun tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proposi tanah fraksi
pasir, debu dan liat. Tektur tanah sangat menentukan tingkat pertumbuhan tanaman
dan penyerapan air serta mineral.
Tekstur tanah berpengaruh terhadap ketersediaan air yang ada di dalam
tanah, semakin besar maka akan semakin porus. Semakin akar akan mudah
melakukan penetrasi. Untuk mengetahui peranan tekstur tanah bagi ketersediaan
air, untuk hara dan pertumbuhan tanaman, maka pentingnya dilakukan pengamatan
tekstur tanah ini. Sehingga jika kita bisa memahami dan mengetahui berbagai
macam tekstur tanah itu sendiri, sehingga akan menjadi optimal (Praharyanto,
2012).
Keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap keadaan sifat-sifat
tanah yang lain seperti struktur tanah, permeabilitas tanah, porositas dan lain-lain.
Tekstur tanah juga sangat berpengaruh bagi kesuburan tanah.
Kesuburan tanah ditentukan oleh tekstur tanah yang memiliki komposisi
faraksi yang ideal. Dengan demikian, tanah yang subur akan berpengaruh banyak
terhadap pertumbuhan dan kesuburan tanaman karena tekstur menentukan cepat
lambatnya air meresap (daya serap air) ke dalam pori-pori tanah, besarnya aerasi,
infiltrasi, perlokasi, ketersediaan udara dan unsur hara untuk respirasi tanaman dan
dapat mempengaruhi sistem perakaran tanaman. Tekstur juga bisa digunakan
sebagai kriteria dalam klasifikasi tanah maupun kesesuaian lahan.
Sifat fisik tanah ditentukan oleh permukaan butiran tanah, sifat-sifat kimia
dari butiran dan kandungan bahan organik. Butiran-butiran yang menyusun tanah
mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Perbedaan ukuran dan jumlah butiran
tersebut sangat mempengaruhi tekstur tanah.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu untuk mengetahui gambaran
mengenai tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman dan kesuburan dari
tanah, maka diperlukan adanya pengetahuan tentang tekstur tanah.dimana tektur
tanah telah diketahui memiliki tiga perbandingan fraksi. Sehingga, pengukuran
tekstur tanah di laboratorium ini lah yang dapat memberikan secara jelas
perbandingan dari ketiga fraksi tersebut.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui cara yang tepat
dalam pengukuran tekstur dengan metode hidrometer di laboratorium dan untuk
mengetahui perbandingan dari ketiga fraksi tanah yaitu pasir, debu dan liat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tekstur Tanah


Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah (separat)
yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir, fraksi
debu dan fraksi liat.Tanah terdiri dari butir-butir pasir, debu, dan liat sehingga tanah
dikelompokkan kedalam beberapa macam kelas tekstur, diantaranya kasar, agak
kasar, sedang, agak halus,dan hancur (Hanafiah, 2014).
Tekstur tanah dapat menentukan sifat-sifat fisik dan kimia serta mineral
tanah. Partikel-partikel tanah dapat dibagi atas kelompok-kelompok tertentu
berdasarkan ukuran partikel tanpa melihat komposisi kimia, warna, berat, dan sifat
lainnya. Analisis laboratorium yang mengisahkan hara tanah disebut analisa
mekanis. Sebelum analisa mekanis dilaksanakan, contoh tanah yang kering udara
dihancurkan lebih dulu disaring dan dihancurkan dengan ayakan 2 mm. Sementara
itu sisa tanah yang berada di atas ayakan dibuang. Metode ini merupakan metode
hydrometer yang membutuhkan ketelitian dalam pelaksanaannya. Tekstur tanah
dapat ditetapkan secara kualitatif dilapangan (Hakim, 1986).
Kasar dan halusnya tanah dalam klasifikasi tanah (taksonomi tanah)
ditunjukkan dalam sebaran butir yang merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur
tanah dengan memperhatikan pula fraksi tanah yang lebih kasar dari pasir (lebih
besar 2 mm), sebagian besar butir untuk fraksi kurang dari 2 mm meliputi berpasir
lempung, berpasir, berlempung halus, berdebu kasar, berdebu halus, berliat halus,
dan berliat sangat halus (Hardjowigeno, 1995).
2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tekstur Tanah
Faktor yang mempengaruhi tekstur tanah antara lain : Iklim, Jika kondisi
iklim hujan maka tanah selalu dalam keadaan basah, hal ini dapat mempengaruhi
keadaan tekstur tanah dan akan terjadi proses pencucian (leaching). Organisme,
keberadaan organisme dapat menjadikan tekstur tanah menjadi semakin subur
karena organisme dapat menjadi kompos dan pengurai. Bahan induk, Jika bahan
induk tanah berasal dari batuan maka tekstur tanah akan cenderung memiliki pori-
pori yang besar. Topografi, Berubahnya muka bumi akan mengakibatkan terjadinya
perubahan bentuk pada tekstur tanah, misalnya dalam hal kepadatan dan bentuk
strukturnya. Waktu Semakin lama suatu tanah di permukaan bumi maka teksturnya
akan semakin padat karena adanya pengaruh dari kekuatan luar misalnya organisme
(Poerwowidodo, 1991).
Adapun faktor yang dipengaruhi oleh tekstur tanah antara lain: Konsistensi,
Semakin liat suatu tekstur maka konsistensi akan semakin besar, sebaliknya jika
tekstur memiliki pori-pori yang renggang dan permukaan luas maka kosistensi akan
semakin kecil. Kadar air, semakin liat tekstur tanah maka air yang tersedia akan
semakin banyak didalamnya karena pada tekstur liat dapat mengikat air lebih kuat
dengn pori-porinya yang halus dan padat. Organisme, jika suatu tanah memiliki
tekstur liat maka organisme yang ada didalamnya akan sedikit karena tekstur liat
sangat padat dan sangat sulit ditembus, sebaliknya pada tekstur lempung terdapat
banyak organisme karena ketersediaan unsur haranya banyak dan mudah ditembus.
Perakaran, semakin liat tekstur tanah maka akan semakin sulit untuk ditembus oleh
perakaran tumbuhan. Pengolahan, semakin liat tekstur tanah maka akan semakin
sulit untuk diolah karena tekturnya padat. (Poerwowidodo, 1991).
2.3 Hubungan Tekstur Tanah dengan Pertumbuhan Tanaman
Tanah pada masa kini sebagai media tumbuh tanaman didefenisikan sebagai
lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh
berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan penyuplai
kebutuhan air dan udara, secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai
hara atau nutrisi dan unsur-unsur esensial sedangkan secara biologis berfungsi
sebagai habitat biota yang berpatisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan
zat-zat adiktif bagi tanaman (Hanafiah, 2014).
Tanah yang didominasi pasir akan banyak mempunyai pori-pori makro,
tanah yang didominasi debu akan mempunyai pori-pori meso (sedang), sedangkan
didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro. Hal ini berbanding
terbalik dengan luas permukaan yang terbentuk, luas permukaan mencerminkan
luas situs yang dapat bersentuhan dengan air, energi atau bahan lain, sehingga
makin dominan fraksi pasir akan makin kecil daya tahannya untuk menahan tanah
(Hakim, 1986).
Fraksi pasir umumnya didominasi oleh mineral kuarsa yang sangat tahan
terhadap pelapukan, sedangkan fraksi debu biasanya berasal dari mineral yang
cepat lapuk, pada saat pelapukannya akan membebaskan sejumLah hara, sehingga
tanah bertekstur debu umumnya lebih subur ketimbang tanah bertekstur pasir
(Hardjowigeno, 1995).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Porlak Simalingkar
Universitas HKBP Nommensen yang dimulai pada bulan September sampai
Desember.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini di lapangan adalah Diagram
penuntun tekstur dengan feeling dan labu semprot. Sedangkan alat yangdigunakan
dilaboratorium adalah botol tekstur, cawan petri, silinder sedimentasi, botol
semprot, saringan 0,05 mm, hydrometer, thermometer, dan oven. Kemudian bahan
yang digunakan dilapangan adalah sampel tanah kering yang telah diayak dan air.
Bahan yang digunakan dilaboratorium adalah sampel tanah terganggu, larutan
calgon, aquades, amyl alkohol, plastik dan karet gelang.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1. Prosedur Kerja di Lapangan Menggunakan Metode Feeling
1. Mengambil segenggam tanah, tambahkan air sedikit demi sedikit sambil
meremas agregat tanah, sehingga didapatkan pasta tanah pada kondisi sekitar
batas plastis (dapat dengan mudah dibentuk, tidak terlalu basah, tidak terlalu
kering) dan membuat bola tanah.
2. Menempatkan bola tanah di antara ibu jari dan telunjuk, pelintir tanah ke atas
dengan ibu jari untuk secara perlahan membentuk pita tanah yang panjang
hingga patah dengan sendirinya.
3. Membasahkan sejumLah tanah pada telapak tangan, lalu gerus dengan ibu jari.
4. Merasakan, apakah tanah itu kasar, halus, dan berdebu.

3.3.2. Prosedur Kerja di Laboratorium dengan Metode Hydrometer

1. Menimbang 20 gram tanah kering udara, butir-butir tanah ini berukuran


kurang dari 2 mm.

2. Memasukkan kedalam erlenmeyer atau botol tekstur dan menambahkan 10 mL


calgon 4% dan air secukupnya.
3. Menutup dengan plastik, aduk dengaan spatula dan setelah itu di diamkan 1-
2 jam.
4. Menuangkan secara kualitatif semua isinya kedalam silinder sedimentasi 500
mL yang diatasnya dipasangi saringan dan corong lalu membersihkan botol
tekstur dengan bantuan botol semprot.
5. Menyemprot dengan botol semprot sambil diaduk-aduk semua suspensi yang
masih tinggal pada saringan sehingga semua partikel debu dan liat turun.
6. Memindahkan pasir yang tertinggal ke dalam cawan dengan botol semprot
kemudian masukkan kedalam oven bersuhu 105 °C selama 1 x 24 jam,
selanjutnya memasukkan ke dalam desikator dan timbang hingga berat pasir
diketahui (catat sebagai C gram).
7. Menuangkan larutan suspensi dalam silinder sedimentasi dengan air destilasi
hingga 500 mL.
8. Mengangkat silinder sedimentasi sumbat baik-baik dengan plastik lalu ikat
dengan karet gelang lalu kocok dengan membolak-balikkan tegal lurus 180°
sebanyak 20 kali, atau dapat juga dilakukan dengan memasukkan pengocok
kedalam silinder sedimentasi lalu aduk naik turun selama 1 menit.
9. Menuangkan dengan cepat kira-kira 3 tetes amyl alkohol kepermukaan
suspensi untuk menghilangkan gangguan buih yang mungkin timbul.
10. Memasukkan hydrometer kedalam suspensi dengan hati-hati agar suspensi
tidak banyak terganggu setelah 15 detik.
11. Mencatat pembacaan hydrometer pertama ( H1) dan suhu suspensi ( t1) setelah
40 detik.
12. Mengeluarkan hydrometer dari suspensi dengan hati-hati.
13. Memasukkan hydrometer dan catat pembacaan hydrometer kedua ( H2 ) dan
suhu suspensi kedua ( t2) setelah menjelang 8 jam.
14. Menghitung berat debu dan liat dengan menggunakan persamaan dibawah ini:

Berat debu dan liat = – 0,5..........( a )


Berat liat = – 0,5..........( b )
Berat debu = berat ( debu + liat ) – berat liat ...............( a + b )
15. Menghitung persentase pasir, debu dan liat dengan persamaan:

% Pasir = x 100 %

% Debu = x 100 %

% Liat = x 100 %
16. Memasukkan nilai yang didapat kedalam segitiga tekstur.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, maka diperoleh data sebagai
berikut:
Tabel I : Hasil Analisis Ukuran Partikel (Tekstur) tanahpada Lapisan I, II dan III
Persentase Fraksi (%) Kelas
Lapisan
Pasir Debu Liat Tekstur
Lapisan I 47,12 % 20,46% 32,42% Lempung liat
berpasir
Lapisan II 55,15% 14,43% 30,42% Liat

Lapisan III 32,83% 45,13% 22,04% Lempung

Sumber : Data primer setelah diolah


5.1. Pembahasan
Berdasarkan tabel hasil pengamatan pada tekstur tanah bahwa pada lapisan
I diperoleh % pasir sebesar 47,12%, % debu sebesar 20,46% dan persen liat sebesar
32,42%. Sedangkan pada lapisan II diperoleh % pasir sebesar 55,15%, % debu
sebesar 14,43%, dan % liat sebesar 30,42%. Hal ini menunjukkan tekstur pada
lapisan I bertekstur lempung liat berpasir, lapisan II bertekstur liat sedangkan
lapisan III bertekstur lempung.
Lapisan I memiliki persentase fraksi liat lebih besar daripada persentase
fraksi debu dan pasir, karena lapisan ini komposisi tanahnya masih berasal dari
serasah (sisa-sisa tanaman) dan mengandung banyak bahan organik. Hal ini sesuai
pendapat Hanafiah(2005), yang menyatakan bahwa pada lapisan atas tingkat
kesuburan tanah basanya mengacu pada ketersediaan hara.
Lapisan II juga memiliki persentase fraksi liat lebih besar daripada
persentase fraksi debu dan pasir, karena liat memiliki permukaan luas dan
bermuatan listrik yang memberi kemampuan untuk mengikat unsur hara dan air
pada tanaman untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai pendapat Foth(1988),
yang menyatakan bahwa kapasitas berbeda untuk menahan air dan unsur hara
melawan tarikan gravitasi yang merupakan ciri utama liat.
Lapisan I yang bertekstur liat bersifat sangat lekat dan membentuk sangat
baik. Tanah yang mengandung liat mempunyai permukaan yang sangat halus, yang
mampu menyimpan air, akan tetapi peredaran udara dan aerasi tanah tidak baik
yang salah satu penyebabnya adalah kurangnya pori pada tanah itu. Penambahan
bahan organik membantu mengatasi masalah kelebihan air tanah berliat. Bahan
organik membantu mengikat butiran liat membentuk ikatan lebih besar sehingga
memperbesar ruang-ruang udara diantaranya ikatan butiran. Hal ini sesuai dengan
pendapat Foth(1988), bahwa selain daya simpan air, hara tertentu dapat digunakan,
disimpan pada permukaan partikel tanah liat. Oleh karena itu, tanayh liat bertindak
sebagai reservoir penyimpanan air dan hara.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada praktikum tekstur tanah ini, maka
dapat kami simpulkan bahwa tanah pada lapisan I memiliki persentase pasir sebesar
47,12 %, debu 20,46 %, dan liat sebesar 32,42 % sehinnga termasuk dalam tekstur
lempung liat berpasir. Tanah pada lapisan II memiliki persentase pasir 55,15%,
debu 14,43%, dan liat sebesar 32,42%, sehingga termasuk dalam tekstur liat.
sedangkan tanah pada lapisan III memiliki presentase pasir 32,82 3%, debu 45,13
%, dan liat 22,04 % sehingga termasuk dalam tekstur lempung.
5.2. Saran
Untuk memilih lahan pertanian, perlu diperhatikan masalah tekstur tanah,
hal ini disebabkan karena tekstur tanah dapat mempengaruhi kandungan bahan
organik atau unsur hara yang diperlukan untuk tumbuhan serta kemampuannya
menyimpan air dan aerasi.
DAFTAR PUSTAKA

Buckman, H.O. dan N.C. Brandy, 1982. Ilmu Tanah. Jakarta: Brata Karya Aksara,.
Hardjowigeno, S., 1995. Ilmu Tanah. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa,.
Hakim, Nurjati. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas
Lampung.
Hanafiah, K.A. 2014. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Rajawali Pers.
Poerwowidodo. 1991. Ganesha Tanah. Jakarta : Rajawali Pers.

LAMPIRAN FOTO
Gambar 1. Segitiga tekstur tanah

Gambar 2. Tekstur tanah yang rusak


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah sudah digunakan orang sejak dahulu karena semua orang yang hidup
di permukaan bumi mengenal wujud tanah. Pengertian tanah itu sendiri bermacam-
macam, akan tetapi karena luas penyebarannya apa sebenarnya yang dimaksud
tanah, akan ditemui bermacam-macam jawaban atau bahkan orang akan bingung
untuk menjawabnya. Masing-masing jawaban akan dipengaruhi oleh pengetahuan
dan minat orang yang menjawab dalam sangkut-pautnya dengan tanah. Mungkin
pengertian tanah antara orang yang satu dengan yang lain berbeda. Misalnya
seorang ahli kimia akan memberi jawaban berlainan dengan seorang ahli fisika,
dengan demikian seorang petani akan memberi jawaban lain dengan seorang
pembuat genteng atau batubata. Pada mulanya orang menganggap tanah sebagai
medium alam bagi tumbuhnya vegetasi yang terdapat di permukaan bumi atau
bentuk organik dan anorganik yang di tumbuhi tumbuhan, baik yang tetap maupun
sementara (Pairunan, 2007)
Semua makhluk hidup sangat tergantung dengan tanah, sebaliknya suatu
tanah pertanian yang baik ditentukan juga oleh sejauh mana manusia itu cukup
terampil mengolahnya. Tanah merupakan sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia. Tanah dapat
digunakan untuk medium tumbuh tanaman yang mampu menghasilkan berbagai
macam makanan dan keperluan lainnya. Maka dari berbagai macam tanah beserta
macam-macam tujuan penggunaannya itu perlu dilakukan suatu pembelajaran lebih
lanjut mengenai tanah agar kita benar-benar memahami tanah itu sendiri (Novita
Evarnas, 2014).
Pengambilan contoh tanah terganggu (disturbed soil) dilakukan di atas
permukaan tanah atau horizon, sedangakan pengambilan contoh tanah utuh
(undisturbed soil) sangat penting karena diperlukan untuk analisis sifat fisik tanah.
Pengambilan tanah utuh harus benar-benar diperhatikan dalam proses dilapang
(Khamdaandayu, 2009).
Tanah pada setiap lingkungan memiliki struktur dan pola yang berbeda-
beda pada setiap lingkungan dengan keadaan kandungan pH dan kandungan airnya
yang tidak sama. Kandungan kesuburan tanah itu berbeda-beda serta warna yang
berbeda antara tanah yang satu dengan yang lainnya, untuk itu perlu diperhatikan
dalam pengambilan sampel tanah utuh dan tidak utuh supaya hasil yang di peroleh
bisa terkontrol dengan baik untuk di uji di laboratorium (Kartasapoetra, 2008).
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui teknik pengambilan
contoh tanah utuh dan tanah terganggu. Kegunaan untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan dan kerusakan tanah serta sifat-sifat tekstur
tanah sebagai sampel bahan praktikum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengambilan Contoh Tanah Utuh


Tanah mempunyai sifat sangat kompleks, terdiri atas komponen padatan
yang berinteraksi dengan cairan, dan udara. Komponen pembentuk tanah yang
berupa padatan, cair, dan udara jarang berada dalam kondisi kesetimbangan, selalu
berubah mengikuti perubahan yang terjadi di atas permukaan tanah yang
dipengaruhi oleh suhu udara, angin, dan sinar matahari. Untuk bidang pertanian,
tanah merupakan media tumbuh tanaman. Media yang baik bagi pertumbuhan
tanaman harus mampu menyediakan kebutuhan tanaman seperti air, udara, unsur
hara, dan terbebas dari bahan-bahan beracun dengan konsentrasi yang berlebihan.
Dengan demikian sifat-sifat fisik tanah sangat penting untuk dipelajari agar dapat
memberikan media tumbuh yang ideal bagi tanaman (Kartasapoetra,2008).
Contoh tanah adalah suatu volume massa tanah yang diambil dari suatu
bagian tubuh tanah (horizon/lapisan/solum) dengan sifat-sifat yang akan diteliti.
Sifat-sifat fisika tanah, dapat kita analisis meaui dua aspek, yaitu fraksinasi.
Mencari atau mengetahui sifat fisik tanah, kita dapat menggunakan pengambilan
contoh tanah dengan 3 cara yaitu : pengambilan dalam keadaan agregat atau tanah
utuh, pengambilan tanah tidak utuh atau terganggu (Husein Suganda, 2012).
Pengambilan contoh tanah merupakan tahapan penting untuk penetapan
sifat-sifat fisik tanah di laboratorium. Prinsipnya, hasil analisis sifat-sifat fisik tanah
di laboratorium harus dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya sifat fisik
tanah di lapangan. Keuntungan penetapan sifat-sifat fisik tanah yang dilakukan di
laboratorium dapat dikerjakan lebih cepat, dan dalam jumlah contoh tanah relatif
lebih banyak. Kerugiannya adalah contoh tanah yang diambil di lapangan bersifat
destruktif, karena dapat merusak permukaan tanah, seperti terjadinya lubang bekas
pengambilan contoh tanah, cenderung menyederhanakan kompleksitas sistem yang
ada di dalam tanah, dan sebagainya (Hanaafiah, 2010).
Agregat-agregat dalam tanah selalu dalam tingkatan perubahan yang
continue. Pembasahan, pengeringan, pengolahan tanah, dan aktivitas biologis
semuanya berperan di dalam pengrusakan dan pembangunan agregat-agregat tanah.
Struktur lapisan oleh lapisan olah dipengaruhi oleh pengolahan praktis dan dimana
aerasi dan drainase membatasi pertumbuhan tanaman, sistem pertanaman yang
mampu menjaga kemantapan agregasi tanah akan memberikan hasil yang tinggi
bagi produksi tanaman (Forth dan Henry 2009).
Banyak faktor yang mempengaruhi proses pembentukan tanah tetapi hanya
ada lima faktor yang dianggap paling penting yaitu (1) Iklim, (2) Organisme, (3)
Bahan Induk, (4) Topografi, dan (5) Waktu. Dalam proses pembentukan tanah
pengaruh kelima faktor tersebut bersifat simutan, bukan parsial. Pengambilan
contoh tanah merupak tahap awal dan terpenting dalam program uji tanah di
laboratorium (deptan, 2006).
2.2 Pengambilan Contoh Tanah Tidak Utuh
Agregat-agregat dalam tanah selalu dalam tingkatan perubahan yang
continue. Pembasahan, pengeringan, pengolahan tanah, dan aktivitas biologis
semuanya berperan di dalam pengrusakan dan pembangunan agregat-agregat tanah.
Struktur lapisan oleh lapisan olah dipengaruhi oleh pengolahan praktis dan dimana
aerasi dan drainase membatasi pertumbuhan tanaman, sistem pertanaman yang
mampu menjaga kemantapan agregasi tanah akan memberikan hasil yang tinggi
bagi produksi pertanian (Ahmad dan Fachri, 2010).
Struktur tanah merupakan karakteristik fisik tanah yang terbentuk dari
komposisi antara agregat (butir) tanah dan ruang antar agregat. Tanah tersusun dari
tiga fase yaitu : fase padatan, fase cair, dan fase gas. Fase cair dan gas mengisi
ruang antar agregat. Stuktur tanah tergantung dari imbangan ketiga faktor
penyusunnya. Ruang antar agregat disebut sebagai porus (jamak pori). Struktur
tanah baik bagi perakaran apabia pori berukuran besar terisi air. Tanah yang
gembur memiliki agregat yang cukup besar (Ali Kemas Hanafiah, 2005).
Analisis contoh tanah bertujuan untuk menentukan sifat fisik dan kimia
tanah (status unsur hara tanah), mengetahui lebih dini adanya unsur-unsur beracun
didalam tanah, sebagai dasar penetapan dosis pupuk, dan kapur sehingga lebih
efektif, efisien dan rasional dan memperoleh database untuk program perencanaan
dan pengolahan tanah tanaman. Contoh tanah tidak utuh untuk penetapan
kandungan kadar air tanah, penetapan C-Organik tanah, penetapan KTK tanah,
(Khamandayu, 2009).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Porlak Simalingkar
Universitas HKBP Nommensen yang dimulai pada bulan September sampai
Desember.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang di gunakan dalam praktikum pengambilan sampel tanah utuh
adalah pisau, spidol, dan 2 buah ring dan bahan yang di gunakan adalah kantong
plastik, lebel, karet gelang. Kemudian alat yang di gunakan dalam praktikum
pengambilan contoh tanah tidak utuh adalah sekop, cangkul, dan bahan yang di
gunakan adalah kantong plastik dan lebel.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Pengambilan sampel tanah utuh
Pertama-tama bersihkan dari rerumputan dan sampah, kemudian Ring
sampel diletakkan pada tanah dengan bagian yang runcing diposisi bawah,
kemudian buat lingkaran dengan pusat yang sama dengan ring sampel dengan garis
tengah 2 kali lebih besar. Terlebih dahulu ring dan tutupnya di timbang beratnya
dan dicatat, lalu Lingkaran diluar ring sampel ini kemudian digali sehingga
terbentuk lubang lingkaran sedalam + 30 cm, hal ini dimaksudkan agar ring sampel
dapat dengan mudah tekan dan masuk ke dalam tanah, kemudian dengan
menggunakan tangkai penekan ring sampel yang terbuat dari besi, maka ring
sampel ini ditekan dengan hati-hati secara vertical, kalau ternyata sudah keras
sedangkan ring masih harus dimasukkan terus maka bias dipukul-pukul dengan
palu kayu secara perlahan-lahan.
Setelah tanah yang berada didalam ring sampel kira-kira sudah muncul di
atas bibir ring bagian atas maka penekanan dihentikan, kemudian bawahnya
dipotong dengan pisau atau dengan sekop atau dengan benang nilon halus, setelah
itu ring yang sudah berisi tanah kemudian diratakan dengan pisau tajam dan tipis
sehingga kedua permukaan betul-betul rata dengan kedua bibir ring sampel tadi dan
setelah itu kedua begian muka tanah tersebut ditutup dengan tutup ring yang terbuat
dari plastic dan ring sampel yang sudah berisi tanah utuh ini kemudian dimasukkan
ke dalam kotak agar aman dalam pengangkutan dan sedapat mungkin segera
dianalisis.
3.3.2 Pengambilan contoh tanah tidak utuh
Pertama-tama permukaan tanah dibersihkan dahulu dari rerumputan dan
sampah-sampah lainnya, kemudian tanah dicangkul sampai kedalaman 20 cm dari
permukaan tanah, setelah itu tanah dimasukkan kedalam kantong plastic sebanyak
+ 1 kg (diusahakan agar agregat-agregat tanah jangan rusak atau hancur), lalu
Contoh tanah diberi label di bagian luar dan dalam dari kantong plastic tersebut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1 Pengambilan Contoh Tanah Utuh
Berdasarkan hasil praktek yang di lalului di lapangan tentang pengambilan
sampel tanah utuh adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Cara pengambilan Sampel Tanah Utuh yang berasal dari daerah sidera
dengan Menggunakan Ring Sampel.

4.1.2 Pengambilan Cotoh Tanah Tidak Utuh


Berdasarkan hasil praktek yang di lalului di lapangan tentang pengambilan
sampel tanah tidak utuh adalah sebagai bebrikut :

Gambar 2. Cara Pengambilan Sampel Tanah Terganggu yang Berasal dari Daerah
Sidera Di Ambil dengan Secara Acak.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengambilan sampel tanah utuh
Pengambilan sampel tanah utuh di laksanakan di Desa Maku, Kecamatan
Biromaru, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah. Vegetasi tanah pada desa
Maku termasuk dalam vegetasi yang baik, karena bayaknya jenis tanaman yang
hidup di areal tersebut, baik itu dari tanaman budi daya maupun tubuhan yang hidup
secara liar. Cara pengambilan sampel tanah utuh yaitu pertama-pertama bersihkan
permukaan tanah dari rerumputan, kemudian tancapkan ring sampel lalu tekan atau
di pukul-pukul secara perlahan-lahan, setelah itu apabila tanah sudah mulai muncul
di permukaan bibir ring sampel maka galilah tanah di sekitaraan ring sampel, lalu
potong bagian bawahnya dan ratakan kedua permukaanya dengan menggunakan
pisau, dan tutup kedua permukaannya dengan plastik.
Contoh tanah agregat utuh (bongkah) dilakukan perlakuan metode standar
dengan mencangkul hingga kedalaman 0-20 cm. Tanah yang diambil harus berupa
bongkahan alami yang tidak mudah pecah dan tidak terintervensi oleh benda lain
atau tercangkul.
Pertajukan tanaman utama yang tumbuh pada suatu areal tertentu, jika
berlapis dengan tanaman penutup lahan dan serasah akan memberikan ketahanan
berganda terhadap pukulan butiran hujan yang jatuh ke permukaan tanah, selain
berfungsi menghalangi pukulan langsung air hujan kepermukaan tanah, vegetasi
penutup lahan juga menambah kandungan bahan organik tanah yang meningkatkan
resistensi terhadap erosi yang terjadi, untuk pencegahan erosi paling sedikit 70 %
lahan harus tertutup oleh vegetasi (Deptan 2006).
Pengambilan contoh tanah merupakan tahap awal dan terpenting dalam
program uji tanah di laboratorium. Pengambilan contoh tanah ini bertujuan untuk
mengetahui sifat-sifat tanah pada suatu titik pengamatan. Prinsipnya adalah hasil
analisis sifat fisik tanah dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya sifat fisik
tanah di lapangan (Kartasapoetra, 2008).
4.2.2 Pengembalian Contoh Tanah Tidak Utuh
Pengambilan contoh tanah tidak utuh kami laksanakan di Desa Maku,
Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah, yang mana
vegetasi tanahnya termasuk dalam vegetasi tanah yang baik.
Pada umumnya tanah tidaklah homogen. Hal ini berarti bahwa setiap
jengkal tanah terutama sifat-sifat kimianya pada suatu tempat yang sama mungkin
berbeda-beda. Oleh karena itu, pengambilan suatu sampel tanah yang betul-betul
mewakili keadaan daerah tertentu penting sekali. Pengambilan sampel tanah dapat
dilakukan pada tanah terganggu (disturbed soil) dan tanah utuh (undisturbed soil
sample). Pengambilan sampel tanah biasa atau tanah terganggu dilakukan diatas
permukaan tanah atau di horizon/lapisan lainnya, tempat pengambilan harus
berdekatan atau sama dengan lokasi pengambilan contoh tanah utuh dan
pelaksanaannya mudah sekali. Sampel tanah ini biasanya dipergunakan untuk
kepentingan analisa kimia dan kestabilan agregat (agregat stability) dan untuk
keperluan membuat contoh tanah utuh secara simulasi atau cara tiruan (buatan)
dimana bobot isinya disesuaikan dengan keadaan alami tanah utuh di lapangan
(Khamandayu, 2009).
Cara pengambilan sampel tanah tidak utuh yaitu, pertama-tama bersihkan
permukaan tanah dari rerumputan, kemudian cangkul tanah tersebut dan hancurkan
tanah-tanah yang masih berbentuk agregat utuh, setelah itu maka masukkan tanah
tersebut ke dalam kantung plastik dan plastik tersebut di beri lebel (Kartasapoetra,
2008).
Fraksinasi adalah penganalisisan sifat-sifat fisika tanah dengan cara
memisahkan butir-butir primer tersebut. Untuk mencari dan atau mengetahui sifat
fisik tanah, kita dapat menggunakan pengambilan contoh tanah dengan
pengambilan tanah tidak utuh ( Pairunan, 2007).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada praktikum pengambilan sampel
tanah utuh dan pengambilan sampel tanah tidak utuh dapat ditarik kesimpulan
dengan sebagai berikut :
1. Pengambilan sampel tanah utuh kami lakukan di desa maku kecamatan
biromaru, kabupaten sigi, provinsi sulawesi tengah, yang mana di daerah maku
termasuk daerah yang subur untuk lahan pertanian. Kemudian pada
pengambilan sampel tanah tidak utuh kami lakukan pada daerah yang sama
yaitu di desa maku, yang mana pengambilan sampel tanah utuh kami lakukan
dengan cara yang teratur sedangkan pada pengambilan sampel tanah tidak utuh
kami lakukan secara acak.
2. Tanah mempunyai sifat sangat kompleks, terdiri atas komponen padatan yang
berinteraksi dengan cairan, dan udara. Komponen pembentuk tanah yang
berupa padatan, cair, dan udara jarang berada dalam kondisi kesetimbangan,
selalu berubah mengikuti perubahan yang terjadi di atas permukaan tanah yang
dipengaruhi oleh suhu udara, angin, dan sinar matahari. Untuk bidang pertanian,
tanah merupakan media tumbuh tanaman. Pengambilan contoh tanah
merupakan tahapan terpenting di dalam program uji tanah. Prinsip pengambilan
contoh tanah adalah bahwa hasil analisis sifat fisik dan kimia di laboratorium
harus dapat menggambarkan keadaan sifat fisik dan dan kimia di lapangan.
3. Analalisi contoh tanah yang diambil diperlukan untuk mengukur kadar hara,
menetapakan status hara, mengukur kandungan kandungan kadar air tanah,
dapat digunakan sebagai petunjuk penggunaan pupuk dan kapur secara efisien,
rasional dan menguntungkan yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman.

5.2 Saran
Pelaksanaan praktikum kedepannya nanti agar lebih baik dari yang sekarang
ini jika di tinjau dari segi cara pembimbingannya dan sebaiknya sebelum praktikum
dimulai, perlengkapan untuk laboratorium yang akan digunakan sudah tersedia
serta keadaan laboratorium sudah siap pakai.
DAFTAR PUSTAKA

Abraham Suriadikusuma. 2010. Penetapan Tekstur Tanah dan Kesesuaian Lahan


Untuk Tanamn Kina di Sub Das Cikapundung Hulu Melalui Citra Satelit
Landsat Tm-Image. Volume 1,halaman 88.
Ali Kemas Hanafiah, 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada :
Jakarta.
Ahmad, Fachri. 2010. Dasar – Dasar Ilmu Tanah. Universitas Andalas: Padang
Andi Wijanarko. 2012. Pengeruh Kualitas Bahan Organik Dan Kesuburan Tanah
Terhadap Mineralisasi Nitrogen dan Serapan oleh Tanaman Ubi Kayu di
Ultisol. Volume 1, Halaman 4.

Bandi Hermawan. 2012. Penetapan Kadar Air Tanah Melalui Sifat Dielektrik pada
Berbagai Tingkat Kepadatan. Volume 6. Halaman 71. Di akses dari
http://repository.unib.ac.id/201/1/66JIPI-2012.PDF. Tanggal 15 November
2015 pukul 10.30 Wita
Bandi Hermawan. 2012. Monitoring Kadar Air Tanah Melaluli Pengukuran Sifat
Dielektrik pada Lahan Jagung. Volume 7. Halaman 18. Di akses
darihttp://repository.unib.ac.id/132/1/15JIPI-2012.PDF. Tanggal 15
November 2015 pukul 10.30 Wita
LAMPIRAN FOTO

Gambar 1. Cara pengambilan Sampel Tanah Utuh yang berasal dari daerah sidera
dengan Menggunakan Ring Sampel.

Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel tanah

Gambar 3. Sampel tanah yang akan di bawa ke laboratorium untuk di analisa


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu bagian dari siklus hidrologi adalah sungai. Sungai dan anak-anak
sungai tersebut berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan serta sumber air lainnya. Sungai yang mengalirkan air
tawar dari hulu (sumber) ke hilir (muara) secara terus menerus memberi manfaat
bagi sekitarnya, baik untuk keperluan pertanian, dan bahan baku air minum.
Wilayah suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai yang
melaluinya disebut daerah aliran sungai (DAS). Akhir-akhir ini, persoalan seperti
erosi, sedimentasi, longsor dan banjir pada DAS intensitasnya semakin meningkat.
Persoalan-persoalan tersebut merupakan bentuk respon negatif dari komponen-
komponen DAS terhadap kondisi curah hujan.
Debit (kecepatan aliran) dan sedimen merupakan komponen penting yang
berhubungan dengan permasalahan DAS seperti erosi, sedimentasi, banjir dan
longsor. Oleh harena itu, pengukuran debit dan sedimen harus dilakukan dalam
pemantauan DAS.
Kegiatan yang dilakukan dalam pengukuran debit adalah pembuatan profil
melintang sungai dan pengukuran kecepatan aliran. Profil melintang sungai atau
bentuk geometri saluran sungai berpengaruh terhadap besarnya kecepatan aliran
sungai, sehingga dalam perhitungan debit perlu dilakukan pembuatan profil
Kecepatan aliran sungai diperoleh dari rata-rata kecepatan aliran pada tiap
bagian penampang sungai tersebut. Idealnya, kecepatan aliran rata-rata diukur
dengan menggunakan 'current meter'. Alat ini dapat mengetahui kecepatan aliran
pada berbagai kedalaman penampang.
Selain air, sungai juga mengalirkan sedimen. Kandungan sedimentasi
berpengaruh pada kecepatan aliran dan kedalaman sungai. Untuk menghitung
kandungan sedimentasi pada air sungai dan debit air, maka praktikum “Metode
Pengukuran Debit” dilakukan.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan percobaan ini adalah untuk mengukur debit air (jumlah air yang
mengalir dari suatu penampang tertentu persatuan waktu), serta menghitung
kandungan sedimentasi pada air sungai sehingga dapat menganalisis pengaruh
sedimentasi terhadap debit aliran.
Kegunaan dari praktikum ini yaitu setiap mahasiswa mengerti dan
mengetahui cara-cara mengukur debit air menggunakan current meter.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DAS (Daerah Aliran Sungai)


DAS adalah daerah tertentu yang bentuk dan sifat alaminya sedemikian rupa
sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai yang
melaluinya. Sungai dan anak-anak sungai tersebut berfungsi untuk menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan serta sumber air
lainnya. Penyimpanan dan pengaliran air dihimpun dan ditata berdasarkan hukum
alam di sekelilingnya sesuai dengan keseimbangan daerah tersebut. Proses tersebut
dikenal sebagai siklus hidrologi (Rahayu, et al., 2009).

Gambar 1. Siklus Hidrologi dalam Lanskap Daerah Aliran Sungai.


(Sumber: Rahayu, 2010)

Karakteristik fisik DAS merupakan variabel dasar yang menentukan proses


hidrologi pada DAS, sedangkan karakteristik sosial ekonomi dan budaya
masyarakat adalah variabel yang mempengaruhi percepatan perubahan
kondisi hidrologi DAS. Oleh karena itu, pemahaman mengenai karakteristik
fisik DAS, dalam hal ini terrain dan geomorfologi, pola pengaliran dan
penyimpanan air sementara pada DAS, dapat membantu mengidentifikasi daerah
yang memiliki kerentanan tinggi terhadap terjadinya persoalan DAS, yang ada di
dalam sistem DAS secara umum dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu
komponen masukan yaitu curah hujan, komponen output yaitu debit aliran dan
polusi atau sedimen, dan komponen proses yaitu manusia, vegetasi, tanah, iklim,
dan topografi (Subekti, 2009).
2.2 Debit
Pengertian debit adalah besaran yang menyatakan volume fluida yang
mengalir melalui suatu penampang tertentu dalam satuan waktu tertentu. Dalam
hidrologi dikemukakan, debit air sungai adalah tinggi permukaan air sungai yang
terukur oleh alat ukur pemukaan air sungai. Pengertian yang lain debit atau aliran
sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya
debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/s) (Hidayat, 2010).

Q = V.t ………………………….(pers. 1)

Dimana: Q = debit aliran (m3/s)

V = volume (m2)

t = selang waktu (s)

Debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya
debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/dt). Data debit atau aliran
sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air.
Debit puncak (banjir) diperlukan untuk merancang bangunan pengendali banjir.
Sementara data debit aliran kecil diperlukan untuk perencanaan alokasi
(pemanfaatan) air untuk berbagai macam keperluan, terutama pada musim
kemarau panjang. Debit aliran rata-rata tahunan dapat memberikan gambaran
potensi sumber daya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran sungai
(Subekti, 2009).
Pengukuran debit di lapangan dapat dilakukan dengan membuat stasiun
pengamatan atau dengan mengukur debit di bangunan air seperti bendung dan
peluap. Pada pembuatan stasiun pengamatan debit, paramater yang diukur adalah
tampang lintang sungai, elevasi muka air, dan kecepatan aliran Selanjutnya, debit
aliran dihitung dengan mengalikan luas tampang dan kecepatan aliran. Untuk
mendapatkan hasil yang teliti, lebar sungai dibagi menjadi sejumlah pias dan diukur
kecepatan aliran (Triatmodjo, 2010).
Debit aliran sungai diberi notasi Q adalah jumlah air yang mengalir melalui
tampang lintang sungai tiap satu satuan waktu, yang biasanya dinyatakan dalam
m3/s. Debit sungai, dengan distribusinya dengan ruang dan waktu, merupakan
informasi penting yang diperlukan dalam perencanaan bangunan air dan
pemanfaatan sumber daya air. Mengingat bahwa debit aliran sangat bervariasi dari
waktu ke waktu maka diperoleh data pengamatan debit dalam waktu yang panjang.
Debit aliran (Q) diperoleh dengan mengalikan luas tampang aliran (A) dengan
percepatan aliran (v). Kedua parameter tersebut dapat diukur pada suatu tampang
lintang (stasiun) di sungai. Luas tampang aliran diperoleh dengan mengukur elevasi
permukaan air dan dasar sungai. Kecepatan aliran diukur dengan menggunakan alat
ukur kecepatan current meter (Subekti, 2009).
Menurut Nababan (2012), faktor yang memengaruhi distribusi aliran langsung dan
limpasan permukaan adalah sebagai berikut:
1. Intensitas curah hujan, yang merupakan faktor paling penting yang berpengaruh
terhadap aliran langsung. Curah hujan besar akan melebihi kapasistas infiltrasi
permukaan tanah sehingga menghasilkan aliran permukaan yang besar, sedang
curah hujan dengan intensitas lebih kecil akan lebih banyak diserap ke dalam
tanah.
2. Lama hujan, bila lama hujan adalah sama atau lebih besar dari waktu perjalanan
rata-rata maka potensi kelbihan hujan adalah maksimum sedangkan apabila
lama hujan lebih kecil dari waktu perjalanan rata-rata maka potensial kelebihan
hujan adalah lebih kecil dari maksimum. Maksimum karena seluruh daerah
tangkapan curah hujan akan memberikan kontribusi kepada aliran permukaan
sebelum curah hujan berkurang.
3. Distribusi curah hujan, dengan volume curah hujan tertentu secara seragam
terdistribusi di seluruh DAS akan memunyai intensitas yang lebih rendah dan
kurang menghasilkan aliran permukaan daripada dengan volume curah hujan
yang sama jatuh di daerah yang kecil pada suatu lokasi tertentu dari DAS.
2.2.1 Profil Melintang Sungai
Pengukuran dilakukan perlahan untuk mendapatkan profil melintang sungai
yang dibutuhkan. Pengukuran penampang profil melintang sungai bertujuan untuk
mendapatkan luas area pada penampang sungai. Pengukuran ini dilakukan karena
sangat dibutuhkan pada pengolahan data dan termasuk salah satu parameter yang
dibutuhkan (Samitra, 2013).
Pengukuran profil sungai bertujuan agar luas penampang sungai dapat
diketahui. Luas penampang sungai (A) merupakan penjumlahan seluruh bagian
penampang sungai yang diperoleh dari hasil perkalian antara interval jarak
horisontal dengan kedalaman air. Kecepatan aliran sungai pada satu penampang
saluran tidak sama. Kecepatan aliran sungai ditentukan oleh bentuk aliran, geometri
saluran dan faktor-faktor lainnya. Kecepatan aliran sungai diperoleh dari rata-rata
kecepatan aliran pada tiap bagian penampang sungai tersebut. semakin dalam
sungai, maka semakin besar kecepatan alirannya (Rahayu, et al., 2009).

2.2.2 Metode Pengukuran Debit Air

Distribusi kecepatan aliran di dalam alur tidak sama arah horisontal maupun
arah vertikal. Dengan kata lain kecepatan aliran pada tepi alur tidak sama dengan
tengah alur, dan kecepatan aliran dekat permukaan air tidak sama dengan kecepatan
pada dasar alur (Hidayat, 2010).

Gambar 2. Distribusi Kecepatan Aliran.


(Sumber: Hidayat, 2010)
Keterangan :
A : teoritis
B : dasar saluran kasar dan banyak tumbuhan
C : gangguan permukaan (sampah)
D : aliran cepat, aliran turbulen pada dasar

E : aliran lambat, dasar saluran halus

F : dasar saluran kasar/berbatu

Kecepatan aliran dapat diukur dengan beberapa metode salah satunya adalah
metode current-meter. Current meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran
(kecepatan arus). Prinsip pengukuran kecepatan dengan current meter yaitu luas
penampang basah ditetapkan berdasarkan pengukuran kedalaman air dan lebar
permukaan air. Kedalaman dapat diukur dengan mistar pengukur, kabel atau tali
(Hidayat, 2010).

Menurut Hidayat(2010), untuk menentukan menggunakan current meter

v = n.a + b ……………………(Pers. 2)

Dimana: v = kecepatan aliran

n = Jumlah putaran per detik

a dan b = konstanta yang diperoleh dari kaibrasi alat


Table 1. Pengukuran Kecepatan dan Kecepatan Rata-rata

Tipe Kedalaman Titik pengamatan dari Kecepatan rata-rata


Air (d) permukaan pada vertical
Satu titik 0,3 – 0,6 m 0,6 v=v
Dua titik 0,6 – 3 m 0,2 dan 0,8 d v = ½ (v2 + v8)
Tiga titik 3–6m 0,2 ; 0,6 dan 0,8 d v = ¼ (v2 + 2v6 + v8)
Lima titik >6 m s; 0,2 ; 0,6 ; 0,8 ; dan b v = 1/10
(vs+3v2 +2v6+3v8+vb)
Sumber: Rahayu, et al (2010).

Metode selanjutnya yang digunakan dalam pengukuran debit adalah metode


tidak langsung. Cara tidak langsung digunakan jika pengukuran secara langsung
tidak dapat dilakukan. Di dalam zat cair ideal, tidak terjadi gesekan, sehingga
kecepatan aliran (v) sama di setiap titik pada tampang lintang (Rahayu, 2009).
2.3 Sedimentasi
Sedimentasi yaitu proses pengendapan dari suatu material yang berasal dari
angin, erosi air, gelombang laut. Material yang dihasilkan dari erosi yang dibawa
oleh aliran dapat diendapkan di tempat lebih rendah. Selanjutnya jika sedimentasi
terjadi, maka perubahan kedalaman (pendangkalan) juga akan terjadi yang
mengakibatkan kemungkinan terjadi banjir (Pangestu, 2008).
Menurut Supangat (2014), faktor yang menentukan laju sedimentasi DAS :
1. Jumlah dan intensitas hujan
2. Tipe tanah dan formasi geologi Penutupan tanah dan penggunaan lahan, dan
topografi
3. Kondisi drainase alami yang meliputi: bentuk, jaringan, kerapatan, gradien,
ukuran, dan run off
4. Karakteristik sedimen, seperti ukuran butir dan mineralogi; dan hidrolika
saluran (sungai)
Sedimen di sungai dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sedimen
melayang (suspended load) dan sedimen merayap (bed load). Pengukuran sedimen
melayang dapat dilakukan dengan mengambil contoh air sungai melalui metode
pengambilan langsung di permukaan (grab sample; untuk sungai yang homogen)
atau metode integrasi kedalaman (depth integrated; untuk sungai dalam dan tidak
homogen). Sedangkan sedimen merayap diambil dengan metode perangkap
(Rahayu, et al., 2009).
Aliran pada sungai, secara umum membawa sejumlah sedimen, baik
sedimen suspensi (suspended load) maupun sedimen dasar (bed load). Adanya
perubahan angkutan sedimen dasar (bed load) akan disertai dengan perubahan
konsentrasi sedimen suspensi. Konsentrasi sedimen suspensi (dan distribusi
kecepatan) diketahui berubah dari tengah ke arah tepi saluran. Adanya sedimen
suspensi dapat mempengaruhi bentuk distribusi kecepatan, yang akan
mempengaruhi besaran kecepatan gesek yang ditimbulkannya. Adanya bed load
yang diketahui mempengaruhi kandungan konsentrasi sedimen suspensi, dan juga
mempengaruhi bentuk distribusi kecepatan, diperkirakan juga mempengaruhi
besarnya kecepatan gesek (Kironoto, 2007).
Sedimen melayang akan dialirkan lebih jauh dibandingkan dengan sedimen
merayap. Disamping itu sedimen melayang biasanya juga mengadung partikel-
partikel lain seperti zat hara atau bahan lain yang dapat mencemari air. Oleh karena
itu penetapan hasil sedimen melayang lebih sering dilakukan dibandingkan sedimen
merayap (Rahayu, et al., 2009).
Menurut Rahayu, et al., (2009), untuk mengetahui berapa jumlah sedimen
melayang di sungai dapat dilakukan dengan cara:
1. Mengambil contoh air sungai dengan volume tertentu kemudian diendapkan
dan dikeringkan dalam oven.
2. Menimbang berat kering sedimen. Dari berat kering tersebut bisa diukur
konsentrasi sedimen dalam contoh air. Selanjutnya, dengan data debit dapat
diketahui hasil sedimen.
Peningkatan muatan sedimen di permukaan sungai mempengaruhi debit
suatu sungai. Penumpukan sedimen dalam jumlah besar di dasar sungai umumnya
menyebabkan debit sungai akan menurun. Namun permukaan tebing sungai yang
tidak rata (bergelombang) membuat debit sungai tetap konstan.
Penumpukan sedimen yang tinggi berpotensi mengurangi kapasitas
tampung sungai terhadap air hujan yang berintensitas besar terutama saat musim
hujan (Maulana, et al., 2014).
Sifat debit pada sungai yang terbuka yaitu apabila semakin ke hilir aliran
airnya semakin kuat sehingga jumlah sedimen yang tersuspensi dalam aliran sungai
tersebut menjadi semakin besar terutama jika hujan turun pada bagian hulu sungai
dalam waktu yang cukup lama. Hujan yang terjadi pada daerah aliran sungai akan
menyebabkan daya angkut yang kuat untuk membawa muatan suspensi yang
banyak sampai ke muara dan mengikis material tanah yang dilaluinya sehingga
muatan suspensinya juga semakin banyak. Semakin cepat aliran debit, jumlah
sedimen yang tersuspensi dalam aliran debit sungai tersebut menjadi semakin besar.
Daerah aliran sungai yang mempunyai bentuk lahan terbuka pada umumnya akan
memberikan sumbangan suspensi yang relatif lebih besar dari daerah aliran sungai
yang terdiri atas lahan-lahan tertutup, misalnya hutan (Aryanto, 2010).
Menurut Supangat (2014), perhitungan hasil sedimentasi meliputi:
a. Debit (Q) adalah volume air yang mengalir melalui suatu penampang
melintang sungai per satuan waktu, dalam satuan (m³/detik)
b. Konsentrasi sedimen (Cs) = kandungan sedimen
Konsentrasi sedimen (Cs) = (b-a) / vol. air ….(pers. 3)

a = berat gelas ukur / kertas saring kosong

b = berat gelas ukur / kertas saring isi

c. Data Cs diperoleh dengan cara mengambil sampel/contoh air dan membawa ke


laboratoriun untuk dapat diketahui konsentrasi sedimen dalam satuan mg/liter
atau ppm.
d. Debit sedimen (Qs) adalah perkalian antara debit (Q, m3/dt) dengan konsentrasi
sedimen (CS, mg/l). Perhitungan debit suspensi (Qs).
1. Perhitungan debit suspensi sesaat/harian
Qsi = Csi x Qi ….… (pers. 5)

Qsi = debit sedimen setiap saat (m³/detik)

Qi = debit aliran (m³/detik)

Csi = kandungan sedimen

2. Perhitungan lengkung debit suspensi untuk beberapa sampel air yang


diambil pada berbagai variasi dan debit pada periode waktu tertentu (musim
atau tahunan).
2.4 Current Meter
Kecepatan aliran dapat diukur dengan beberapa metode salah satunya
adalah metode current meter. Current meter adalah alat untuk mengukur kecepatan
aliran (kecepatan arus).Ada dua tipe current meter yaitu tipe baling-baling
(propeler type) dan tipe canting (cup type) (Farista, 2009).
Current meter harus memiliki respon yang cepat dan konsisten dengan
setiap perubahan yang terjadi pada kecepatan air. Selain itu, current meter
keakuratan harus sesuai dengan komponen kecepatan, tahan lama, mudah dilakukan
pemeliharaan, dan mudah digunakan dengan kondisi lingkungan yang berbeda-
beda. (Farista, 2009).
Prinsip kerja jenis curent meter ini adalah propeler berputar dikarenakan
partikel air yang melewatinya.Jumlah putaran propeler per waktu pengukuran dapat
memberikan kecepatan arus yang sedang diukur apabila dikalikan dengan rumus
kalibrasi propeler tersebut. Jenis alat ini yang menggunakan sumbu propeler sejajar
dengan arah arus disebut ottpropeller curent meter dan yang sumbunya tegak lurus
terhadap arah arus disebut pricecup current meter. Peralatan sumbu vertikal ini
tidak peka terhadap arah aliran (Farista, 2009).

Gambar 3. Bagian Current Meter.


(Sumber: Farista, 2009)
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Porlak Simalingkar
Universitas HKBP Nommensen yang dimulai pada bulan September sampai
Desember.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum pengukuran debit aliran
yaitu meteran, patok, tali rafia, current meter, payung, botol 600 mL 4 buah, mesin
pengering/oven, timbangan elektronik ion scales EPS05, gelas ukur, tabung ukur,
kawat jaring, gunting serta laptop.
Bahan yang digunakan yaitu kertas saring, air, sampel sedimen,
alumininium foil, dan kertas label.
3.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja dari praktikum pengukuran debit aliran adalah sebagai
berikut:
3.1.1 Pengukuran Profil Penampang Sungai dan Kecepatan Aliran
a. Menyiapkan alat dan bahan
b. Membentangkan tali rafiah dan mengikat ujung tali dengan patok yang telah di
pasang di pinggir sungai.
c. Mengukur lebar sungai kemudian menetukan titik yang akan diukur.
d. Menentukan posisi tempat pengukuran dengan membagi sungai menjadi lima
segmen dengan jarak (lebar) yang sama.
e. Memberi tanda pada posisi pengukuran dengan menggunakan tali rafia.
f. Mengukur kedalaman sungai setiap segmen menggunakan meteran.
g. Menentukan titik pengukuran kecepatan dengan cara mengalikan hasil
ketinggian muka air sungai dengan 0,6.
h. Mengukur kecepatn aliran sungai pada setiap segmen pengukuran
menggunakan current meter dan mencatat nilai yang terbaca pada alat.
i. Mengambil sampel sedimen melayang disetiap titik pengukuran dengan
menggunakan botol aqua tepat disamping alat current meter dan pengambilan
sampel tidak melawan arus sungai.
j. Mengulangi prosedur f-g untuk titik selanjutnya.
k. Melakukan perhitungan debit aliran berdasarkan data pengukuran.
3.3.2 Pengolahan Sampel Sedimen
a. Menggunting kertas saring dengan ukuran yang sama besar sebanyak 4 bagian.
b. Menimbang setiap kertas saring yang telah digunting dengan menggunakan
timbangan.
c. Membuat nampan dari aluminium foil dan kawat jaring dan menimbangnya
dengan menggunakan timbangan.
d. Mengocok sampel sedimentasi kemudian dituang kedalam gelas ukur untuk
mengetahui volume yang didapatkan dari setiap sampel.
e. Membagi setiap sampel sedimentasi yang telah diambil dilapangan menjadi 6
(satuan volume) dengan menggunakan gelas ukur.
f. Menyaring setiap sampel sedimen dengan menggunakan kertas saring.
g. Memasukkan hasil saringan setiap sampel kedalam oven selama beberapa menit
yang disimpan diatas Loyang aluminium foil dan kawat jaring yang telah dibuat
dan memeriksa sampel hingga kering.
h. Mengeluarkan sampel dari oven apabila sampel telah kering.
i. Mengukur berat yang dihasilkan dari hasil pengeringan setiap sampel
sedimentasi dengan menggukan timbangan.
j. Melakukan perhitungan debit sedimentasi disetiap titik berdasarkan data
pengukuran.
3.4 Rumus yang Digunakan

3.4.1 Penentuan Debit


a. Metode Langsung
v1 + v2
Q= A
2

Keterangan:
Q = Debit Aliran (m3/s)
A = Luas Penampang (m2)
v = Kecepatan Aliran (m/s)
b. Metode Manning
Mencari kecepatan aliran terlebih dalu setelahnya menghitung debit
v = 1/n r2/3 S1/2
Q = A.v

Keterangan:

v = Kecepatan Aliran (m/s)


r = Jari-jari Hidrolik (m)
S = Slope (m)
Q = Debit Aliran (m3/s)
A = Luas Penampang (m2)
3.4.2 Penetuan Sedimen Melayang
Cs = (W2-W0)/L
Qs = Cs x Qtot
Keterangan:
Cs = Jumlah Sedimen (g/m3)
W0 = Berat Kertas Saring (g)
W = Berat Kertas Saring Basah (g)
W2 = Berat Kertas Saring Kering (g)

L = Jumlah Air (mL)


Qtot = Debit Total Sungai Melalui Metode Langsung dan
Manning (m3/s)
Qs = Debit Sedimen (m3/s)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

4.1.1 Profil Melintang Sungai

Profil Melintang Sungai


Segmen Sungai
0 1 2 3 4 5 6 7
0
0.1
0.2
Kedalaman

0.3
0.4
0.5
0.6
0.7

Gambar 4. Profil Melintang Sungai

4.1.2 Sedimen Melayang

Tabel 2. Jumlah dan Debit Sedimen

Debit Sedimen (m3/s)


Jumlah Sedimen
Segmen Metode Metode
(g/m3)
Langsung Manning
B 0.00195 0.004095 0.002028
C 0.00292 0.006132 0.003037
D 0.00297 0.006237 0.003089
E 0.00096 0.002016 0.000998
Sumber: Data primer setelah diolah Hidrologi Teknik, 2016
4.2 Pembahasan
Praktikum metode pengukuran debit dilakukan dengan menggunakan
metode current meter. Hal yang pertama kali dilakukan adalah membagi lebar
sungai menjadi lima segmen sehingga didapatkan profil melintang sungai. Profil
melintang sungai dibutuhkan karena bertujuan untuk mendapatkan bentuk
penampang sungai agar luas area pada profil sungai dapat diketahui. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Samitra (2013) bahwa pengukuran penampang profil melintang
sungai bertujuan untuk mendapatkan luas area pada penampang sungai.
Setelah membagi lebar sungai menjadi lima segmen, kedalaman masing-
masing segmen diukur kemudian menempatkan current meter disetiap titik
pengamatan agar kecepatan aliran setiap titik terukur. Data yang diperoleh
menunjukkan semakin dalam kedalaman sungai, semakin cepat aliran debit. Hal ini
sesuai dengan pendapat Rahayu (2010), bahwa kecepatan aliran sungai diperoleh
dari rata-rata kecepatan aliran pada tiap bagian penampang sungai tersebut, semakin
dalam sungai, maka semakin besar kecepatan alirannya.
Pengukuran debit dapat dilakukan dengan metode pengukuran secara
lansung dan tidak langsung menggunakan rumus koefisien Manning. Tabel 2
menunjukkan adanya perbedaan antara pengkuran debit secara langsung dan
pengukuran debit secara tidak langsung. Perbedaan tersebut karena kecepatan aliran
pada sungai diasumsikan bahwa zat cairnya merupakan zat cair ideal sehingga tidak
terjadi gesekan, jadi kecepatan di setiap segmen diasumsikan sama. Hal ini sesuai
dengan Rahayu (2009), yang menyatakan bahwa cara tidak langsung umumnya
dipakai jika pengukuran secara langsung tidak dapat dilakukan. Di dalam zat cair
ideal, tidak terjadi gesekan, sehingga kecepatan aliran (v) sama di setiap titik pada
tampang lintang.
Aliran sungai membawa material sedimen. Tabel 2 menunjukkan semakin
cepat aliran, material sedimen yang terbawa semakin banyak. Hal ini sesuai dengan
Aryanto (2010), bahwa semakin besar volume aliran debit, jumlah sedimen yang
tersuspensi dalam aliran debit sungai tersebut menjadi semakin besar.
Material sedimen berpengaruh terhadap kedalaman sungai. Berdasarkan
hasil pengukuran, semakin dalam kedalaman sungai, semakin sedikit kandungan
sedimen dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pangestu (2013), bahwa
jika sedimentasi terjadi, maka perubahan kedalaman (pendangkalan) juga akan
terjadi yang mengakibatkan kemungkinan terjadi banjir.
BAB IV
PENUTUP
4.3 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum pengukuran debit aliran, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pengukuran penampang profil melintang sungai bertujuan untuk mendapatkan
luas area pada penampang sungai.
2. Semakin dalam kedalaman sungai, semakin cepat kecepatan alirannya.
Sebaliknya, semakin dangkal sungai, kecepatan alirannya semakin berkurang.
3. Semakin besar volume aliran debit, jumlah sedimen yang tersuspensi dalam
aliran debit sungai tersebut menjadi semakin besar.
4. Perbedaan kecepatan berdasarkan metode langsung dan tidak langsung karena
kecepatan aliran pada metode tidak langsung diasumsikan bahwa zat cairnya
merupakan zat cair ideal sehingga tidak terjadi gesekan, jadi kecepatan di setiap
segmen diasumsikan sama.
DAFTAR PUSTAKA

Farista, B., 2009. Oseanografi Fisika. http://website-dadang.blogspot.com/2009-


08-01-archive.html. Diakses pada tanggal 24 April 2016 pukul 20.00
WITA.
Aryanto, A.F. 2010. Pengaruh Perubahan Penutup Lahan terhadap Debit Aliran
Permukaan di Sub DAS Keduang Kabupaten Wonogiri. UNS: Surakarta.
Sihotang,C.1989. Limnologi I. Fakultas Perikanan dan Ilmu KelautanUniversitas
Riau. Pekanbaru. 33 hal. (tidak diterbitkan).

Wardoyo, S. T. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan


Perikanan. Trainning Analisa Dampak lingkungan PDLH-UNDP-PUSDI-PSL dan
IPB Bogor 40 hal (tidak diterbitkan).
LAMPIRAN FOTO

Gambar 1. Pengukuran dalam sungai

Gambar 2. Pengukuran lebar sungai

Anda mungkin juga menyukai