Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

FISTULA PRE AURICULA

PEMBIMBING :
Dr. Bondan Herwindo Sp.THT-KL
Dr. Selvina M. R. Manurung Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Steven Sapta Putra
1765050062

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN-KEPALA LEHER
PERIODE 25 FEBRUARI – 30 MARET 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemudahan
dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam
Kepaniteraan Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar
Minggu dengan judul “Fistula Pre Auricula”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Bondan
Herwindo Sp.THT-KL dan Dr. Selvina M. R. Manurung Sp.THT-KL selaku
pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik
Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para pembaca.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan dan masih perlu
banyak perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari pembaca.

Jakarta, 4 Maret 2019

Penulis

Steven Sapta Putra


NIM:1765050062

Ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. ii


DAFTAR ISI………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………… 1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi hidung ...................................................... 2


2.1.2 Hidung Luar ........................................................................ 2
2.1.3 Cavitas Nasi ........................................................................ 3
2.1.4 Vaskularisasi ....................................................................... 5
2.1.4 Persarafan Hidung ................................................................ 5
2.2 Rinitis Kronis ................................................................................ 6
2.2.1 Definisi............................................................................. 6
2.2.2 Epidemiologi.................................................................... 6
2.2.3 klasifikasi …………......................................................... 6
2.2.5 Rhinitis Alergi .................................................................. 7
2.2.6 Rhinitis Vasomotor........................................................... 14
2.2.7 Rhinitis Atrofi……........................................................... 19
2.2.8 Rhinitis Hipertrofi………................................................. 22
2.2.8 Rhinitis Granulamatosa…….............................................. 22
2.2.8 Rhinitis Obstructive ……….............................................. 23
2.2.8 Rhinitis Purulent ………….............................................. 23

BAB III KESIMPULAN………………………………………………………. 24


DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 25
iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Telinga manusia merupakan organ pendengaran yang menangkap dan merubah
bunyi berupa energi mekanis menjadi energi elektris secara efisien dan diteruskan ke
otak untuk disadari serta dimengerti, sebagai sistem organ pendegaran, telinga dibagi
menjadi sistem organ pendengaran perifer dan sentral1 . Telinga manusia mampu
mendengar suara dengan frekuensi dari 20 Hz sampai 20.000 Hz.2 Suara pria dalam
percakapan normalnya sekitar 120 Hz sedangkan wanita mencapai 250 Hz .Hidung
merupakan bagian dari saluran pernafasan awal.2 Udara masuk ke dalam tubuh manusia
melalui mulut dan hidung.2 Telinga terdiri atas tiga bagian dasar yaitu telinga bagian
luar, telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam.2 Setiap bagian telinga memiliki
tugas khusus untuk mendeteksi dan menginterpretasikan bunyi2. Perkembangan daun
telinga dimulai pada minggu ketiga kehidupan embrio dengan terbentuknya arkus
brakialis pertama atau arkus mandibular dan arkus brakialis kedua atau arkus hyoid.3
Pada minggu ke enam arkus brakialis ini mengalami diferensiasi menjadi enam buah
tuberkel.3 Secara bertahap daun telinga akan terbentuk dari penggabungan ke enam
tuberkel ini.3 Pada keadaan normal di bulan ke tiga daun telinga sudah lengkap
terbentuk.3 Bila penggabungan tuberkel tidak sempurna maka timbul fistula pre
aurikular.3

Sinus preaurikular adalah anomali kongenital yang terjadi karena malformasi


selama penggabungan celah brakialis cabang pertama dan kedua yang membentung
telinga selama perkembangan embrionik (Alfian F, et al 2018).3 Sedangkan menurut
departemen otorhinolaryngology di India, sinus preaurikular adalah kelainan bawaan
dari telinga luar yang biasanya tanpa gejala.4
Fistula pre aurikula dikenal juga dengan cyst pre aurikula atau sinus pre aurikula.5
Prevalensi fistula pre aurikula masih ada diberbagai negara contohnya di
Nigeria pada tahun 2013 terdapat 9,3% yang terkena penyakit tersebut.6 Insiden pre
aurikula pada Eropa sebesar 0,1%, Amerika sebesar 0,9%, Taiwan 2,5%.7
Fistula pre aurikula sering ditemukan gejala didepan tragus berbentuk bulat atau
lonjong dengan ukuran se ujung pensil. Dari muara fistel sering keluar cairan yang
berasal dari kelenjar sebasea.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Sistem organ pendegaran perifer terdiri dari struktur organ pendengaran yang
berada di luar otak dan batang otak yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga dalam dan
saraf kokhlearis sedangkan organ pendengaran sentral adalah struktur yang berada di
dalam batang otak dan otak yaitu nucleus koklearis, nucleus olivatorius superior,
lemnikus lateralis, kolikulus inferior dan kortek serebri lobus temporalis area
Wernicke.8

Telinga terdiri atas tiga bagian dasar, yaitu telinga bagian luar, telinga bagian
tengah dan telinga bagian dalam. Setiap bagian telinga bekerja dengan tugas khusus
untuk mendeteksi dan menginterpretasikan bunyi.8

1. Telinga Luar9

Telinga luar terdiri dari Pinna (daun telinga), meatus akustikus eksterna dan
membrane timpani (eardrum). Pinna adalah struktur menonjol yang merupakan
kartilago terbalut kulit. Fungsi utamanya adalah mengumpulkan dan menghubungkan
suara menuju meatus akustikus eksterna. Meatus akustikus eksterna selain sebagai
tempat penyimpanan serumen, juga berfungsi untuk meningkatkan sensitifitas telinga
dalam 3000-4000Hz. Saluran ini memiliki panjang sekitar 2,5 cm. Gendang telinga atau
membrane timpani memiliki ketebalan sekitar 0,1cm dan luas sekitar 65mm2. Gendang
telinga menyalurkan getaran di udara ke tulang-tulang kecil telinga tengah. Membran
timpani berada pada perbatasan telinga luar dan tengah. Area tekanan tinggi dan rendah
pada gelombang suara akan menyebabkan membran timpani bergetar ke dalam dan
keluar. Supaya membran tersebut dapat secara bebas bergerak kedua arah, tekanan
udara istirahat pada kedua sisi membran timpani harus sama. Membran sebelah luar
terekspos pada tekanan atmosfer yang melewati meatus akustikus ekterna sedangkan
bagian dalam menghadapi tekanan atmosfer dari tuba eustachius yang menghubungkan

2
telinga tengah ke faring. Secara normal, tuba ini tertutup tetapi dapat dibuka dengan
gerakan menguap, mengunyah dan menelan.

2. Telinga Tengah8,10,11

Telinga tengah terdiri dari 3 buah tulang (ossicle) yaitu malleus, incus dan
stapes. Malleus menempel pada membrane timpani sedangkan stapes menempel pada
oval window yang merupakan gerbang menuju koklea yang berisi cairan. Saat
membran timpani bergetar, tulang-tulang tersebut bergerak dengan frekuensi yang
sama, mentransmisikan frekuensi tersebut menuju oval window. Tiap-tiap getaran
menghasilkan pergerakan seperti gelombang pada cairan di telinga dalam dengan
frekuensi yang sama dengan gelombang suara aslinya. Sistem ossiclemengamplifi-
kasikan tekanan dari gelombang suara pada udara dengan dua mekanisme untuk
menghasilkan getaran cairan pada koklea. Pertama adalah karena permukaan area dari
membran timpani lebih besar dari oval window, tekanan di tingkatkan ketika gaya yang
mempengaruhi membran timpani disampaikan oleh ossicle ke oval window (tekanan =
gaya/area). Tambahan tekanan tersebut penting untuk menghasilkan pergerakan cairan
pada koklea.

Telinga tengah terdapat dua buah otot yaitu m. tensor timpani dan m. stapedius.
M tensor timpani berorigo di dinding semikanal tensor timpani dan berinsersio di
bagian atas tulang maleus, inervasi oleh cabang saraf trigeminus. Otot ini menyebabkan
membran timpani tertarik ke arah dalam sehingga menjadi lebih tegang.dan
meningkatkan frekuensi resonansisistem penghantar suara dan melemahkan suara
dengan frekuensi rendah. M. stapedius berorigo di dalam eminensia pyramid dan
berinsersio di ujung posterior kolumna stapes, hal ini menyebabkan stapes kaku,
memperlemah transmini suara dan meningkatkan resonansi tulang-tulang pendengaran.
Kedua otot ini berfungsi mempertahankan , memperkuat rantai osikula dan meredam
bunyi yang terlalu keras sehingga dapat mencegah kerusakan organ koklea.8

Tuba Eustachius menghubung-kan telinga tengah ke bagian belakang mulut


kita. Saluran ini berfungsi sebagai jalur drainase untuk cairan yang dihasilkan di telinga
tengah. Sewaktu terbuka sesaat, saluran ini memungkin-kan tekanan di telinga tengah
menjadi sama dengan tekanan atmosfer. Saluran ini hampir selalu dalam keadaan

3
tertutup. Apabila saluran tersebut menutup atau membuka terus-menerus selama
beberapa jam, akandapat timbul masalah-masalah fisiologis. Penyamaan tekanan dapat
terjadi secara spontan tanpa gerakan rahang apabila tekanan udara sekitar berkurang.
Udara di telinga tengah biasanya secara perlahan diserap ke dalam jaringan sehingga
tekanan di bagian dalam gendang telinga berkurang. Apabila karena suatu hal tuba
Eustachius tidak membuka, perbedaan tekanan akan menyebabkan gendang telinga
cekung ke dalam dan mengurangi kepekaan telinga.11

3. Telinga Dalam8,12

Koklea adalah sebuah struktur yang menyerupai siput yang merupakan bagian
dari telinga dalam yang merupakan sistem tubular terkurung yang berada didalam
tulang temporalis. Berdasarkan panjangnya, komponen fungsional koklea dibagi
menjadi tiga kompartemen longitudinal yang berisi cairan. Duktus koklear yang
ujungnya tidak terlihat di kenal sebagai skala media, yang merupakan kompartemen
tengah. Bagian yang lebih diatasnya adalah skala vestibuli yang mengikuti kontur
dalam spiral dan skala timpani yang merupakan kompartemen paling bawah yang
mengikuti kontur luar dari spiral.Cairan di dalam skala timpani dan skala vestibuli
disebut perilimfe. Sementara itu, duktus koklear berisi cairan yang sedikit berbeda yaitu
endolimfe. Bagian ujung dari duktus koklearis dimana cairan dari kompar-temen atas
dan bawah bergabung di sebut dengan helikotrema. Skala vestibuli terkunci dari telinga
tengah oleh oval window, tempat stapes menempel. Sementara itu, skala timpani
dikunci dari telinga tengah dengan bukaan kecil berselaput yang disebut round window.
Membran vestibular tipis membentuk langit-langit duktus koklear dan memisahkannya
dari skala vestibuli. Membran basilaris mem-bentuk dasar duktus koklear yang
memisahkannya dengan skala timpani. Membran basilarisini sangat penting karena di
dalamnya terdapat organ korti.

Organ corti, yang terletak di atas membran basilaris di seluruh panjangnya,


mengandung sel rambut yang merupakan reseptor suara. Sekitar 30.000 ujung saraf dan
sebanyak 16.000 sel rambut di dalam masing-masing koklea tersusun menjadi empat
baris sejajar di seluruh panjang membran basilaris: satu baris sel rambut dalam dan tiga
baris sel rambut luar. Dari permukaan masing-masing sel rambut menonjol sekitar 100
rambut yang dikenal sebagai stereosilia. Sel rambut menghasilkan sinyal saraf jika

4
rambut permukaannya mengalami perubahan bentuk secara mekanikakibat gerakan
cairan di telinga dalam.Stereosilia ini berkontak dengan membrane tektorium, suatu
tonjolan mirip tenda yang menutupi organ corti di seluruh panjangnya.

Sel rambut dalam adalah sel yang mengubah gaya mekaniksuara (getaran cairan
koklea) menjadi impuls listrik pendengaran (potensial aksi yang menyampaikan pesan
pendengaran ke korteks serebri). Karena berkontak dengan membran tektorium yang
kaku dan stasioner, maka stereosilia sel-sel reseptor ini tertekuk maju-mundur ketika
membran basilaris mengubah posisi relatif terhadap membran tektorium.Deformasi
mekanis maju-mundur rambut-rambut ini secara bergantian membuka dan menutup
saluran ion berpintu mekanis di sel rambut sehingga terjadi perubahan potensial
depolarisasi dan hiper-polarisasi yang bergantian. Sel rambut dalam berhubungan
melalui suatu sinaps kimiawi dengan ujung serat-serat saraf aferen yang membentuk
nervus auditorius (kokhlearis).Lintasan impuls auditori selanjutnya menuju ganglion
spiralis korti, saraf VIII, nukleus koklearis di medula oblongata, kolikulus superior,
korpus genukulatum medial, korteks auditori di lobus temporalis serebri. Sementera
sel-sel rambut dalam mengirim sinyal auditorik ke otak melalui serat aferen, sel rambut
luar tidak memberi sinyal ke otak tentang suara yang datang. Sel-sel rambut luar secara
aktif dan cepat berubah panjang sebagai respons terhadap perubahan potensial
membran, suatu perilaku yang dikenal sebagai elektromotilitas. Sel rambut luar
memendek pada depo-larisasi dan memanjang pada hiperpolarisasi.

2.2 Fisiologi Pendengaran3

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membrane timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit
tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrane timpani dan tingkap
oval atau fenestra ovalis atau fenestra vestibuli. Energi getar yang telah di amplifikasi
ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap oval sehingga perlimfa pada
skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membrane
basilaris dan membrane tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang

5
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel – sel rambut, sehingga kanal ion
terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke
dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dijalnjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus
temporalis.

2.3 Vaskularisasi Telinga


Aurikula (daun telinga) dialiri arteri aurikularis posterior dan arteri temporalis
superfisialis. Aliran vena menuju ke gabungan vena temporalis superfisialis, vena
aurikularis posterior dan vena emissary mastoid. Inervasi oleh cabang nervus cranial V,
VII, IX dan X. MAE (meatus akustikus eksternus) dialiri arteri temporalis superfisialis
dan arteri aurikularis posterior serta arteri aurikularis profundus. Darah vena mengalir ke
vena maksilaris, jugularis eksterna dan pleksus venosus pterygoid. Aliran limfe menuju
ke lnn. aurikularis anterior, posterior dan inferior. Inervasi oleh cabang aurikularis
dari nervus vagus dan cabang aurikulotemporalis dari nervus mandibularis.8
Suplai darah untuk kavum timpani oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid,
arteri petrosal superficial, arteri timpani inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran
arteri dan berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus pterygoideus.13
Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris
anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke
meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A. Kohlearis
communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A.
Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus
semisirkularis. A. Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea
terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang kohlear. Cabang vestibular
memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea.
Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan
ligamen spiralis.A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus
internus dan didalam kohlea mengitari modiolus.Vena dialirkan ke V. Labirintin yang
diteruskanke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati
akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior.14

2.4 Kelainan Telinga Luar3

2.4.1 Daun telinga3


A. Kelainan Kongenital
Perkembangan daun telinga dimulai pada minggu ketiga kehidupan embrio
dengan terbentuknya arkus brakialis pertama atau arkus mandibular dan arkus
brakialis kedua atau arkus hyoid. Pada minggu ke enam arkus brakialis ini
mengalami diferensiasi menjadi enam buah tuberkel. Secara bertahap daun
telinga akan terbentuk dari penggabungan ke enam tuberkel ini. Pada keadaan
normal di bulan ketiga daun telinga sudah lengkap terbentuk. Bila

6
penggabungan tuberkel tidak sempurna maka timbul fistel pre aurikular.
Kelainan kongenital seperti : Fistula pre aurikula, mikrotia dan atresia liang
telinga.
B. Kelainan Yang Di Dapat
Kelainan yang terjadi setelah perkembangan telinga secara normal dan
disebabkan ada sesuatu hal yang membuat kelainan telinga tersebut dapat
muncul pada diri manusia, yaitu Hematoma, Perikondritis dan Pesudokista.

2.5 Definisi Fistula Pre Auricular


Sinus preaurikular adalah anomali kongenital yang terjadi karena malformasi
selama penggabungan celah brakialis cabang pertama dan kedua yang membentung
telinga selama perkembangan embrionik (Alfian F, et al 2018).3 Sedangkan menurut
departemen otorhinolaryngology di India, sinus preaurikular adalah kelainan bawaan dari
telinga luar yang biasanya tanpa gejala.7 Menurut Bagian Pediatric Otolaryngology di
rumah sakit B.C di Canada fistula pre auricular merupakan adalah kelainan bawaan pada
telinga yang biasanya ditandai dengan lubang kecil atau bukaan rongga yang berada pada
di telinga luar pada margin anterior tungkai heliks, yang dapat menyebabkan saluran.15

2.6 Epidemiologi

Kejadian sinus preauricular di Amerika Serikat 0-0.9% dan kejadian di bagian


New York diperkirakan 0,23%. Di Taiwan terdapat insiden preauricular sinus sebesar
1,6-2,5%. Di Scotland 0,006%, di Hungaria 0,47%, di Asia 4% dan Africa preauricula
10%. Prevalensi di China sebesar 1,36%, Malay sebesar 0,69%, Indian sebesar 0,13%,
Korea sebesar 2,53% .16

2.7 Manifestasi Klinis17,18


Pada kelainan kongenital pre auricular tidak ada gejala gejala yang muncul, tetapi
ada beberapa yang merasakan keluhan seperti keluarnya cairan dari sinus, eritema,
discharge dan nyeri.

2.8 Etiologi Fistula Pre Auricular5


Etiologi sinus preauricular dan fistula tidak sepenuhnya ditemukan, namun,
mereka dianggap sebagai malformasi kongenital, di mana baik cacat perkembangan
auricular embriologis.
2.9 Patofisiologi 3,7
Perkembangan daun telinga dimulai pada minggu ketiga kehidupan embrio dengan
terbentuknya arkus brakialis pertama atau arkus mandibula dan arkus brakialis kedua
atau arkus hyoid. Pada minggu ke enam arkus brakialis ini mengalami diferensiasi
menjadi enam buah tuberkel. Secara bertahap daun telinga akan terbentuk dari
penggabungan ke enam tuberkel ini. Pada keadaan normal di bulan ketiga daun telinga
sudah lengkap terbentuk. Bila penggabungan tuberkel tidak sempurna maka timbul
fistel preaurikular.

7
2.10 Diagnosis
Penegakkan diagnosis pada fistula/sinus/cyst pre auricula dengan :
 Anamnesis :3,7
1. Keluhan yang dirasakan, beberapa orang datang dengan sudah adanya
keluhan keluar cairan.
2. Sudah berapa lama
3. Cairan yang keluar berwarna apa, warna putih
4. Sepanjang hari apa tidak
5. Ada keluhan lain yang menyertai beberapa dengan keluhan nyeri,
kemerahan, demam
 Pemeriksaan Fisik :19
1. Diagnosis fistula preaurikular kongenital dapat ditegakkan dengan
ditemukannya muara fistula didepan telinga yang terdapat sejak lahir
 Pemeriksaan Penunjang :20
1. Darah Lengkap : Peningkatan leukosit
2. Kultur Kuman : beberapa pasien datang sudah ada keluhan keluar cairan
dari fistula/sinus pre aurikular dimana perlu diketahui, dikarenakan
kuman yang sering ditemukan yaitu : Staphylococcus epidermidis
(31%), Staphylococcus aureus (31%), Peptococcus Species (15%), dan
Proteus Species (8%).
3. USG : Ditemukan saluran sinus yang membengkak dan peningkatan
aliran darah disekitar sinus.
4. Fistulografi : Penentuan lokasi sinus dan panjang salurannya yaitu
dengan menyuntikkan cairan kontras melalui muara sinus dan kemudian
dilakukan pemeriksaan radiologik (fluoroscopy) dan lakukan
pengambilan foto.
2.11 Tatalaksana :
 Pencegahan :20
1. Pencegahan terhadap infeksi dapat dilakukan dengan melakukan
pembersihan muara dari sumbatan dengan alkohol atau cairan
antiseptik lainnya secara rutin .
 Farmakologis : Antibiotik yang sering digunakan untuk fistula pre aurikula
yang sudah mengalami infeksi yaitu : Gentamisin, ofloksasin, sefuroksim dan
amoksisilin-klavulanat.21,22
 Non Farmakologi : Terdapat beberapa kesepakatan mengenai indikasi dilakukan
tindakan pembedahan pada sinus preaurikular. Walaupun terdapat pendapat
keadaan asimptomatik dapat diindikasikan untuk pembedahan, namun pada
umumnya para ahli berpendapat bahwa indikasi pembedahan adalah setelah
terjadi dua kali infeki yang berurutan atau infeksi persisten.23
Contoh pembedahan :
1. Sinektomi Simpel :24
Sinektomi simpel. Sinektomi simpel atau teknik bedah standar,
prosedur pembedahannya adalah dengan dilakukan insisi elips disekitar
muara sinus dilanjutkan diseksi ramifikasi pada jaringan subkutaneus dengan
tetapi traktus kemudian dibuka dan diseksi dengan percabangannya
mengikuti perbedaan gambaran epitelium di bawah pembesaran.
Percabangan yang lebih kecil dan traktus diikuti hingga akhir.

8
2. Eksisi Lokal Luas
Sinus prearukuler dengan inflamasi yang lebih berat dapat
diindikasikan untuk dilakukan tindakan eksisi lokal luas. Teknik eksisi lokal
luas standar dilakukan dengan cara membuat insisi berbentuk baji atau elips
yang cukup luas sehingga semua jaringan dan kulit nekrotik terangkat.
Selanjutnya jaringan inflamasi pada daerah dibawah fasia temporalis
diangkat. Pendekatan lain eksisi lokal luas adalah dengan pendekatan supra-
aurikuler

Gambar 1 : Prosedur operasi eksisi lokal luas

Gambar 2 : Insisi supra – aurikuler, (A) incision line,


(B) Skin incision

Diseksi dilanjutkan dengan mengidentifikasi fasiatemporalis di medial area


sinus. Fasia ini merupakan batas paling dalam diseksi, kemudian dilanjutkan
ke arah medio-lateral sampai dengan kartilago heliks. Pada level ini, diseksi
dilakukan dibawah perikondrium dan pada perlekatan maksimum dari fistula,
disarankan untuk dilakukan eksisi sebagian kecil kartilago.

3. Eksisi Luas25

Eksisi luas dapat diindikasikan pada sinus preaurikular dengan infeksi berat
dan juga pada yang terbentuk fistula, yaitu sinus preaurikular dengan dengan
dua lubang, lubang muara sinus dan lubang pada kulit akibat terjadinya abses.
Infeksi yang berat atau terjadinya abses mengakibatkan jaringan nekrotik
yang luas sehingga membutuhkan eksisi yang luas. Untuk meminimalkan
eksisi jaringan sehat pada kasus ini dapat digunakan teknik eksisi luas dengan
insisi angka 8. Insisi elips dilakukan pada dua tempat, yaitu pada lubang
muara sinus dan lubang akibat abses beserta jaringan nekrotiknya. Flap kulit
dielevasi kemudian dilakukan diseksi sampai perikondrium. Diseksi
dilanjutkan sampai batas fasia temporalis dan mengangkat seluruh jaringan
yang inflamasi secara seksama. Dalam prosedur tersebut sering menjumpai
9
arteri dan vena temporalis superfisialis sehingga ke dua pembuluh tersebut
dapat diligasi agar lapang pandang. operasi menjadi jelas. Luka operasi dijahit
dan dipasang drain.

Gambar 3: Berbagai Tipe insisi angka delapan (8)

Gambar 4 : Tahapan operasi dengan insisi angka delapan

4. Teknik inside-out26

Tindakan pembedahan dikerjakan dengan bantuan kaca pembesar atau


mikroskop. Insisi elip vertikal meliputi muara sinus, diusahakan mereseksi
kulit seminimal mungkin (Gambar A). Pada ujung insisi superior dan
posterior dijahit dengan benang untuk fiksasi (Gambar B). selanjutnya sinus
dibuka dengan gunting tajam (Gambar C). Sinus dipaparkan dan ditelusuri
dari sisi luar (seperti teknik klasik) dan dari dalam (Gambar D). Saluran
berikutnya dibuka dan diikuti seperti cara diatas sampai pada akhir saluran.
Probe ductus lakrimalis halus dapat digunakan untuk mengetahui arah dari
duktus yang kecil. Biasanya saluran melekat pada perikondrium sisi atas
heliks atau tragus, dilakukan reseksi juga pada bagian tersebut. Batas medial
(paling dalam) diseksi adalah fasia temporalis. Dasar dari luka dievaluasi
apakah masih ada sisa sinus. Luka operasi dijahit dengan satu lapis jahitan
tanpa dipasang drain, selanjutnya dipasang dresing dengan strip steril.

10
Gambar 5 : Teknik Inside Out

11
BAB III

KESIMPULAN

Sinus preaurikular adalah anomali kongenital yang terjadi karena malformasi


selama penggabungan celah brakialis cabang pertama dan kedua yang membentung
telinga selama perkembangan embrionik (Alfian F, et al 2018). Sedangkan menurut
departemen otorhinolaryngology di India, sinus preaurikular adalah kelainan bawaan
dari telinga luar yang biasanya tanpa gejala. Pada kelainan kongenital pre auricular
tidak ada gejala gejala yang muncul, tetapi ada beberapa yang merasakan keluhan
seperti keluarnya cairan dari sinus, eritema, discharge dan nyeri. Etiologi sinus
preauricular dan fistula tidak sepenuhnya ditemukan, namun, mereka dianggap sebagai
malformasi kongenital, di mana baik cacat perkembangan auricular embriologis.
Penatalaksanaan sinus pre aurikula ada 3 yaitu, pencegahan, farmakologis dan non
farmakologis. Pencegahan terhadap infeksi dapat dilakukan dengan melakukan
pembersihan muara dari sumbatan dengan alkohol atau cairan antiseptik lainnya secara
rutin. Antibiotik yang sering digunakan untuk fistula pre aurikula yang sudah
mengalami infeksi yaitu : Gentamisin, ofloksasin, sefuroksim dan amoksisilin-
klavulanat.Selain itu ada juga dilakukan pembedahan jika Terdapat beberapa
kesepakatan mengenai indikasi dilakukan tindakan pembedahan pada sinus
preaurikular yaitu menurut pendapat para ahli bahwa indikasi pembedahan adalah
setelah terjadi dua kali infeki yang berurutan atau infeksi persisten.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklada99f6a28full.pdfCunha J.
P. Chronic Rhinitis and Post-Nasal Drip Symptoms, Causes, Treatment. 2018
[cited 2018 Oktober 1].
2. Lili I(2012). Majalah Kedokteran Andalasan No 2 Vol 36.Fisiologi Medik Proses
Pendengaran. Stephen, G et al. (2018).
3. Alfian F, Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar: 2018. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Kepala dan Leher.
4. Departement Of Otorhinolaryngology. 2017. Volume 23. Preauricular sinus : A
comparative Study between different surgical approaches.Egpyt.
http://www.indianjotol.org/article.asp?issn=0971-
7749;year=2017;volume=23;issue=3;spage=193;epage=196;aulast=ElAassar
5. Nazim B, Yunus F, Ahmet G & Ferhat B.2016. The Preauricular Sinus/Cyst :
A Case Report. Turkey. https:// www.journalagent.com / vtd / pdfs / VTD _
23_4_352_356.pdf
6. Adegbiji W, Alabi B, Olajuyin O & C Nwawolo. 2013. Presentation of
Preauricular Sinus and Preauricular Sinus Abcess.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3884798/
7. Richa G, Anil A, & V Poorey. 2015. Preauricular Sinus : A clinicopathological
study. India . Doi : http://dx.doi.org/10.18203/2320-6012.ijrms20151175.
8. Puguh S, Wiyadi H. 2009. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran
Perifer.
9. Sherwood L.bHuman Physiology: From Cells to Systems:6thed. USA: The
Thomson Corporation.2007.
10.Barrett E.,et al,. Ganong’s Review of Medical Physiology: Hearing &
Equilibrium. 23rded. Singapore: Mc Graw Hill; 2011.p.203-13.

11. Guyton AC.Physiology of The Human Body. 11th ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company.2003.Soepardi .
12. DobieRA.Noise Induced Hearing Loss.Otolaryngology Head and Neck
Surgery, 4thEd Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams& Wilkins.2006. 2190-
201
13. Siti N. Pola Kuman Aerob. RSUP.H.Adam Malik Medan. Medan.
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-siti%20nursiah.pdf

13
14. Ricko M, Jacky M, Yan E, Nirza W % Rossy R. Inejksi Kortikosteroid
Intratimpani Sebagai Salvage Therapy pada pasien Tuli Mendadak. 2018.
Journal Kesehatan Andalas.
15. Yu, C. V., Khera, K. D., Pauwels, J., & Chadha, N. K. (2016). Prevalence and
ethnic variation of pre-auricular sinuses in children. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology, 80, 43–48. doi:10.1016/j.ijporl.2015.11.008
16. Yoo, H., Park, D. H., Lee, I. J., & Park, M. C. (2015). A Surgical Technique for
Congenital Preauricular Sinus. Archives of Craniofacial Surgery, 16(2), 63.
doi:10.7181/acfs.2015.16.2.63, Yu, C. V., Khera, K. D., Pauwels, J., & Chadha,
N. K. (2016). Prevalence and ethnic variation of pre-auricular sinuses in
children. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 80, 43–48.
doi:10.1016/j.ijporl.2015.11.008
17. Richa G, Anil A, Poorey V (2015). Preauricular sinus : a clinicopathological
study.3(11), DOI: http://dx.doi.org/10.18203/2320-6012.ijrms20151175
18. Kumar Chowdary, K. V. S., Sateesh Chandra, N., & Karthik Madesh, R. (2013).
Preauricular Sinus: A Novel Approach. Indian Journal of Otolaryngology and
Head & Neck Surgery, 65(3), 234–236. doi:10.1007/s12070-012-0520-y.
19. Didit Y. Penatalaksanaan Sinus PreAuricular Kongenital. Journal Kedokteran
Unram. 2017.
20. Tian, H., & Zhong, C. (2018). Postoperation of preauricular fistula cellulitis
caused by methicillin-resistant staphylococcus aureus infection. Journal of
Otology, 13(3), 111–113. doi:10.1016/j.joto.2018.07.002
21. Adobamen PO, Ediale J. Presentation and bacteriological pattern of preauricular
sinus in. Gomal Journal of Medical Sciences. 2012
22. Medscape. Preauricular treatment . Diunduh dari :
https://emedicine.medscape.com/article/845288-overview#a1
23. Leopardi G, Chiarella G, Conti S, Cassandro E. Surgical treatment of recurring
preauricular sinus: supra-auricular approach. Acta Otorhinolaryngol Ital.
2008;28(6):302–305
24. Gan EC, Anicete R, Tan HKK, Balakrishnan A. Preauricular sinuses in the
pediatric population: techniques and recurrence rates. International journal of
pediatric otorhinolaryngology. 2013;77(3):372– 378.
25. Huang WJ, Chu CH, Wang MC, Kuo CL, Shiao AS. Decision making in the
choice of surgical management for preauricular sinuses with different severities.
Otolaryngology–HeadandNeckSurgery. 2013;148(6):959–964
26. Baatenburg de Jong RJ. A new surgical technique for treatment of preauricular
sinus. Surgery. 2005;137(5):567–570

14
Laporan Kasus

1. Anamnesis :
Seorang anak laki-laki umur 3 tahun 6 bulan datang ke Poliklinik THT-KL
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 11 April 2011 dengan keluhan utama
bengkak di bagian belakang daun telinga kanan yang mengeluarkan cairan
yangberbau. Bengkak sudah ada sejak kecil. Keluar cairan berwarna putih
kekuningan yang berbau hilang timbulsejakumur 1 tahun. Bengkak kadang terasa
sakit bila sedang infeksi.Terdapat lubang kecil dipuncak pembengkakan. Lobang
kecil ini telah terlihat sejak anak lahir. Riwayat trauma pada telinga tidak ada.
Gangguan pendengaran tidak ada, dapatberbicara dengan lancar sesuai dengan
usianya, dan telah mulai bicara sejak umur 1 tahun. Anak pertama dan belum
mempunyai adik. Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini. Buang air kecil
biasa. Demam tidak ada. Pasien telah berobat 2 minggu sebelumnya dengan keluhan
yang sama dan telah diberi terapi antibiotik. Saat ini cairan yang keluar sudah
minimal.
2. Pemeriksaan :
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum baik, kesadaran
komposmentis kooperatif dan tidak demam. Pada pemeriksaan lokalis THT
didapatkan telinga kiri dalam batas normal. Telinga kanan; pada daun telinga
kananterdapat bengkak pada daerah helikssedikit diatas lobulus, membesar kearah
belakang permukaan sama dengan kulit sekitarnya.Konsistensi kenyal padat, tidak
nyeri, berbatas tegas, ukuran 1,5cm x 1,5cm x 1cm terdapat lubang kecil di puncak
pembengkakan, terdapat cairan berwarna putih keruh berbau. Retroaurikuler dekstra
tidak ada kelainan.Liang telinga lapang, membran timpani utuh refleks cahaya
positif. Hidung dan tenggorok dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium
darah didapatkan hemoglobin 12,1g%, leukosit 12.000/mm3, hematokrit 38%,
trombosit 180.000/mm3, PT 12,0, APTT 41,4.

3. Diagnosis :
Diagnosis kerja pada saat ini ditegakkan suspek sinus preaurikuler tipe varian
auris dekstra

4. Tatalaksana :
Amoksilin asam klavulanat syrup 3x125mg. Direncanakan untuk sinektomi dalam
narkose umum.

5. Laporan Operasi :
Pada tanggal 19 April dilakukan operasi sinektomi dalam narkose umum. Laporan
operasi:
 Pasien tidur terlentang di meja operasi dalam narkose umum.
 Dilakukan prosedur aseptik anstiseptik di daerah operasi.
 Dilakukan evaluasi saluran sinus dengan jarum iv kateter no 18 masuk lebih
kurang 1,5cm ke arah medial posterior konka.
 Dilakukan infiltrasi dengan lidokain : epinefrin 1:200.000.kemudian saluran
sinus ditandaidengan menyuntikkan metilen blue ke dalam sinus.
 Insisi elips pada daerah sekitar pit.
 Saluran dicari dan dilepas dari jaringan sekitar secara tajam.
 Sakus ditemukan melengket ke kartilago konka.

15
 Sakus diangkat bersama dengan kartilago konka tempat sakus menempel, dan
dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan
histopatologi.
 Luka operasi dibersihkan dan dijahit tanpa dipasang salir
 Operasi Selesai

Gambar 1 : Sinus pada aurikel dekstra pra operasi.

Gambar 2 : Sinus yang Telah di Angkat

16
Gambar 3 : Pasca Operasi Sinektomi

6. Diagnosis Pasca Operasi


Diagnosis setelah dilakukan operasi Sinektomi adalah sinus preaurkuler tipe varian
auris dektra

7. Terapi Pasca Operasi :


Setelah dilakukan operasi Sinektomi pasien diberikan tatalaksana :injeksi seftriakson
2x300mg iv, ibuprofen syrup 2x100mg.

8. Keadaan Lanjut Pasien :


Pada kontrol hari kedua pasca operasi terlihat luka operasi kering, tidak ada tanda
infeksi, demam tidak ada. Pasien boleh pulang dan diberikan terapi amoksilin asam
klavulanat syrup 3x125mg dan ibuprofen syrup 2x100mg. Anjuran kontrol 4 hari lagi
ke poliklinik THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang.

9. Kontrol :
didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran komposmentis kooperatif,
demam tidak ada. Luka operasi kering tanda infeksi tidak ada. Jahitan dibuka. Terapi
amoksilin asam klavulanat 3x125mg

Gambar 4 : Pasca Sinektomi Hari ke 6

17

Anda mungkin juga menyukai