Anda di halaman 1dari 38

1.

Latar Belakang

Bahasa merupakan salah satu media yang digunakan manusia dalam

berkomunikasi. Manusia tidak akan lepas dari proses penggunaan bahasa dalam

kehidupan sehari-hari. Bahasa digunakan dalam setiap kehidupan untuk

mempermudah proses berkomunikasi. Penggunaan bahasa tidak mengenal usia,

dari orang tua hingga anak kecil, dan harus menggunakan bahasa untuk

menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Selain itu, bahasa dapat juga

diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural, dan musik. Bahasa juga dapat

mencakup aspek komunikasi nonverbal seperti gestikulasi, gestural atau pantomim.

Gestikulasi adalah ekspresi gerakan tangan dan lengan untuk menekankan makna

wicara. Pantomim adalah sebuah cara komunikasi yang mengubah komunikasi

verbal dengan aksi yang mencakup beberapa gestural (ekspresi gerakan yang

menggunakan setiap bagian tubuh) dengan makna yang berbeda beda.

Menurut Chusairi dan Damanik (2002:188), “Bahasa meliputi suatu sistem

simbol yang kita gunakan untuk berkomunikasi satu sama lain. Sistem itu ditandai

oleh penciptaan yang tidak pernah berhenti dan adanya sistem atau aturan.”

Vygotsky mengemukakan, “a child is not a miniature adult and his mind not

the mind of an adult on a small scale” (Amanda, 2012:270). Pada anak kecil, tata

bahasa yang mereka gunakan tentu berbeda dengan tata bahasa yang orang dewasa

gunakan. Hal ini disebabkan bahasa mereka masih berupa bahasa sederhana.
Bahasa sebagai produk masyarakat, tidak terlepas dari lingkungan sosial dan

budaya masyarakatnya. Masyarakat yang bergerak secara dinamis menggerakkan

bahasa secara dinamis pula. Suryalaga (Sauri, 2011:8), menyebutkan bahwa

“kesopanan atau tatakrama dan perubahannya tidak terlepas dari faktor waktu,

tempat, struktur sosial dan situasi.‟ Faktor waktu yang dimaksud semakin

berkembangnya zaman tatakrama atau kesopanan pun dapat berkembang sesuai

norma yang berlaku pada zaman yang telah ada. Tatakarma berkaitan dengan

tempat, seperti tatakrama pada saat makan dirumah makan dan juga tatakrama pada

saat berkunjung kerumah orang (bertamu) Tatakrama terkait pula dengan struktur

sosial seperti usia, pekerjaan, jabatan, dan lain sebagainya. Dan juga situasi yang

menjadikan kesesuaian tingkah laku pada situasi tertentu.

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda

verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, tunduk pada norma-norma

budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang dipikirkan. Tatacara

berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat

tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila

tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia

akan mendapatkan nilai negatif.

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi

(komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu,

masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam


komunikasi anatarpersonal. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan

orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi.

Peristiwaa komunikasi tidak mengenal tempat, dimana saja kita bisa melakukan

aktivitas komunikasi dan aktivitas komunikasi dapat terjadi pada siapa saja, seperti

komunikasi yang terjadi antara dokter dengan pasien. Seorang dokter memegang

pengaruh penting bagi kesehatan seorang pasien, karena seorang dokter lebih

memahami mengenai ilmu kedokteran dibandingkan dengan orang awam yang

tidak belajar mengenai dunia kedokteran.

Di dalam profesi dunia kedokteran, komunikasi antara dokter dengan pasien

merupakan sebuah kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang dokter,

kompetensi inilah yang menentukan keberhasilan seorang dokter dalam membantu

masalah kesehatan pasien. (Konsil Kedokteran Indonesia, 2006:1).

Seorang dokter harus benar-benar memahami betul apa yang menjadi keluhan dari

pasien tersebut, oleh sebab itu komunikasi antara dokter dengan pasien sangat

diperlukan dalam hal ini. Biasanya komunikasi yang terjadi antara dokter dengan

pasien terbilang singkat, dokter hanya menanyakan seperlunya saja, tidak ada waktu

yang cukup untuk mereka saling berbincang-bincang, padahal perbincangan

diantara keduanya sangat bermanfaat bagi dokter untuk dapat memahami lebih

dalam apa yang menjadi keluhan atau penyakit yang dialami oleh pasien.

Untuk dapat berbincang lebih dalam kepada pasien memang bukan hal yang mudah

sebab tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari pasien karena

memang tidak bisa diperoleh begitu saja.Perlu dibangun hubungan saling percaya
yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan pengertian akan kebutuhan, harapan,

maupun kepentingan masing-masing.

Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk

berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya.

Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk

menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan tindakan lebih lanjut. Dari

sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi lebih rendah di hadapan dokter

(superior-inferior), sehingga takut bertanya dan bercerita atau hanya menjawab

sesuai pertanyaan dokter saja (Konsil Kedokteran Indonesia, 2006:1).

Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior-

inferior) sangat diperlukan agar pasien mau atau dapat menceritakan sakit atau

keluhan yang dialaminya secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu

mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana

tindakan selanjutnya, sedangkan

komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah (Konsil Kedokteran Indonesia,

2006:1).

Dokter juga merupakan seorang manusia yang memiliki keterbatasan begitu pula

dengan pasien yang juga bukan sekedar objek.Dokter perlu menjelaskan kondisi

dan tindakan medis yang dilakukan pada tubuh pasien. Karena itu komunikasi yang

baik adalah unsur penting dalam proses penyembuhan pasien. Sayangnya,

komunikasi dua arah seringkali tidak terjalin dalam hubungan dokter dan pasiennya
Pasien seolah menjadi takut untuk bertanya dan tak bisa dipungkiri masih banyak

dokter yang tidak bersedia memperlakukan pasien sebagai konsumen jasa

pelayanan kesehatan. Masih banyak oknum dokter yang bersikap arogan dan

terkesan tak mau mendengar pendapat pasiennya.

Tatacara berbahasa merupakan ujung tombak dalam penyampaikan informasi.

Sepertinya halnya antara seorang dokter terhadap pasien, teman sejawat maupun

dengan rekan kerja lainnya. Di dalam profesi dunia kedokteran, komunikasi antara

dokter dengan pasien merupakan sebuah kompetensi yang harus dikuasai oleh

seorang dokter, kompetensi inilah yang menentukan keberhasilan seorang dokter

dalam membantu masalah kesehatan pasien. Terbangunnya hubungan saling

percaya diantara keduanya, pasien dengan leluasa akan memberikan keterangan

yang benar dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis

penyakit pasien secara baik dan memberi obat yang tepat bagi pasien.Dalam

menentukan diagnosa penyakit pada pasien hal pertama yang dilakukan seorang

dokter adalah anamnesis. Anamnesis dalam dunia kedokteran ialah proses tanya

jawab baik kepada pasien secara langsung maupun kepada pihak keluarga dengan

tujuan menggali informasi mengenai riwayat penyakit yang kemudian dari hasil

tanya jawab ini akan didapatkan sebuah diagnosa penyakit yang selanjutnya akan

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut jika diperlukan. Tanpa adanya komunikasi yang

baik maka peluang terjadinya kesalahan dalam mendiagnosa dan penanganan medis

akan semakin besar. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode

studi kasus bagaimana komunikasi risiko yang terjadi antara dokter dengan pasien
,upaya dokter agar dapat meminimalisir terjadinya risiko medis antara dokter

dengan pasien dan upaya dokter agar meminimalisir risiko terjadinya

miscommunication diantara keduanya.

Tak jarang kita mendengar kata ‘malapraktik’ dalam dunia kedokteran sebagaimana

tindakan yang seharusnya membuat pasien lebih baik malah menjadi lebih buruk

bahkan berujung pada kematian. Hal ini disebabkan oleh kurangnnya komunikasi

yang baik antara dokter dengan pasien, dokter dengan keluarga pasien, ataupun

antar tenaga medis.

Meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini sudah ada upaya dari kalangan dokter

sendiri untuk memperbaiki komunikasi dokter-pasien, namun sebagai pasien kita

juga wajib mengetahui apa saja yang menjadi hak kita sebagai pasien dan

membekali diri dengan informasi sehingga tidak harus selalu bersikap pasrah

(Kompas, 30 Juli 2010).

kita sebagai pasien dan membekali diri dengan informasi sehingga tidak harus

selalu bersikap pasrah (Kompas, 30 Juli 2010).

Kesalahan berbahasa merupakan satu di antara penyebab kesalahan di atas

karena berbahasa sendiri memiliki tujuan agar dicapainya suatu komunikasi yang

baik yakni penerima informasi mengerti secara jelas yang disampaikan oleh

pemberi informasi. Kesalahan berbahasa yang terjadi dalam berkomunikasi akan


mengakibatkan pergeseran makna sehingga informasi yang diharapkan dapat

diketahui dan dikerjakan dengan baik tidak tercapai.

Satu di antara contoh kesalahan berbahasa adalah tidak menggunakan bahasa

Indonesia yang baik dan benar sehingga informasi yang diharapkan tidak

tersampaikan dan terhambatnya pelayanan medis.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahasa. Meskipun demikian, hal

ini seharusnya tidaklah menjadi penghambat warga untuk melakukan komunikasi

antara satu dengan lainnya karena Indonesia memiliki bahasa persatuan yakni

bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diajarkan kepada setiap warga negara sejak

berada dibangku sekolah baik itu dari tingkat pendidikan terendah yakni Pendidikan

Anak Usia Dini (PAUD) hingga tingkat pendidikan tertinggi yakni Perguruan

Tinggi.

Upaya lebih untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dokter menjadi

semakin penting. Belum optimalnya aspek komunikasi dokter dan pasien menjadi

salah satu persoalan praktik kedokteran sehingga menimbulkan banyak pengaduan.

Hal itu mengemuka dalam Seminar Forum Komunikasi Rumah Sakit dalam Rangka

Pembinaan Praktik Kedokteran yang Baik, di Jakarta, Rabu (29/5). Wakil Ketua

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Sabir Alwy

mengatakan, “MKDKI menerima 208 pengaduan selama tahun 2006 hingga Mei

2013, sebanyak 59 persen pengaduan berkaitan dengan masalah komunikasi”

(Kompas, 30 Mei 2013)


Sebagai seseorang yang bekerja di dalam dunia kedokteran kesalahan

berbahasa sangat perlu dihindari. Meskipun terlihat sepele namun hal ini akan

berakibat fatal terhadap pasien terutama bagi seorang dokter yang merupakan

perpanjangan tangan Tuhan karena nyawa seseorang berada di tangannya.

”Permasalahan yang paling banyak diadukan adalah komunikasi, selain soal dokter

ingkar janji, penelantaran, pembiayaan, standar pelayanan, dan lainnya. Terkait

komunikasi, pasien mengeluh soal dokter yang lebih banyak diam dan tidak

memberikan penjelasan, penggunaan istilah kedokteran yang tidak dipahami,

hingga miscommunication antara dokter dan pasien

Kerja sama antar semua pihak terkait dalam hal komunikasi dalam dunia

kedokteran sangatlah penting guna meningkatkan kualitas pelayanan medis dan

mengurangi tindakan malapraktik yang pada kenyataannya bukanlah kesalahan

penuh oleh dokter melainkan adanya pihak lain termasuk pasien sendiri. Oleh

karena itu biasakanlah diri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

agar komunikasi yang terjalin satu dengan yang lain tidak terhambat dan mengalami

pergeseran makna sehingga maksud yang diharapkan untuk dipahami dapat

tersampaikan.

2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana

berkomunikasi dengan tatacara berbahasa yang baik dan benar dalam penyampaian

informasi di dunia kedokteran

3. Pembahasan

a. Pengertian Bahasa

1) Menurut Gorys Keraf (2004 : bahasa adalah alat

komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang

dihasilkan oleh alat ucap manusia. Ketika anggota masyarakat

menginginkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, maka orang

tersebut akan menggunakan suatu bahasa yang sudah biasa

digunakannya untuk menyampaikan sesuatu informasi. Pada

umumnya bahasa-bahasa tersebut dapat berbeda antara satu daerah

dengan daerah yang lain, hal ini dapat dikarenakan adanya perbedaan

budaya, lingkungan dan kebiasaan yang mereka miliki. Mungkin

asumsi beberapa orang berpendapat bahwa tidak hanya bahasa saja

yang dapat dijadikan sebagai media komunikasi.Mereka memakai

beberapa alat ataupun media untuk menyampaikan suatu kabar yang

memang ingin diinformasikan kepada pihak lain dengan menggunakan

lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan

sebagainya.
2) Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), bahasa adalah

sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh

sekelompok masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan

mengidentifikasikan diri. Dilihat dari pengertian yang ada dalam

kamus tersebut, dapat dipahami bahwa bahasa juga dapat berfungsi

sebagai lambang bunyi sebagai mana not yang ada pada nada, akan

tetapi fungsi atau manfaat yang diberikan sangatlah berbeda antara

keduanya. Bunyi yang dihasilkan oleh bahasa dipreoritaskan untuk

menyampaikan suatu informasi serta lebih menitik beratkan pada

kepadatan isinya bukan pada fungsi estetika yang dihasilkannya.

Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

bahasa adalah alat untuk berkomunikasi yang dapat disampaikan melalui lisan,

tulisan maupun media lain yang sudah disepakati oleh pihak yang berkomunikasi.

Bahasa yang disampaikan melalui lisan dapat disebut dengan bahasa primer

sedangkan bahasa yang diutarakan dengan menggunakan selain lisan disebut

dengan bahasa sekunder.

Adapun pengertian dari berkomunikasi melalui lisan yaitu berkomunikasi dengan

menggunakan suatu simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang

memiliki ciri khas tersendiri yang dapat berbada makna ketika diucapkan oleh

orang dan kondisi yang berbedaSedang pengertian dari tulisan adalah susunan dari

simbol (huruf) yang dirangkai menjadi kata bermakna dan dituliskan. Bahasa lisan
lebih ekspresif. Mimik, ekspresi wajah, intonasi, dan gerakan tubuh dapat

bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukannya.

b tata cara berbahasa

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan

yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam

komunikasi, penutur danpetutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran,

tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan.6

Keharmonisan hubungan penutur dan petuturtetap terjaga apabila masing- masing

peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik

penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga

muka.Kesantunan (politeness), kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat,

atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan berbahasa tercermin

dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika

berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya,tidak hanya sekedar

menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan

unsur- unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dandipergunakannya

suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak

sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif,

misalnya dituduh
6 Sumarsono, Pragmatik, (Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha, 2010),hlm

148 4

sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak

berbudaya

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta

komunikasi(komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh

karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama

dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa

diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi

karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut:

1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu

2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu

3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan

4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.

5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.

6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau

kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan

tatacaraberbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris.

Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa

orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini


menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang

berpengaruh pada pola berbahasanya.

Etika Berbahasa

Menurut Masinambow sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana

berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, oleh karena itu di dalam

tindak laku berbahasa hendaknya disertai dengan norma-norma yang berlaku dalam

budaya itu.12 Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini

disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika berbahasa merupakan

subsistem dari kebudayaan hal ini terbukti dengan kemampuan seseorang dalam

berbahasa diukur melalui pengetahuannya mengenai suatu budaya dalam suatu

masyarakat tempat ia tinggal. Melalui budaya yang ia pelajari ia akan dapat dengan

mudah menggunakan bahasa sesuai dengan tata cara atau etika berbahasa yang

berlaku di masyarakat tersebut. Etika berbahasa erat kaitannya dengan keberadaan

suatu kelompok masyarakat, oleh karena itu seharusnya etika berbahasa dimiliki

oleh seseorang maupun kelompok masyarakat itu sendiri,

12 Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010),hlm 6 16

karena melalui bahasa seseorang akan tahu status sosial dan budaya dalam

masyarakat itu sehingga dapat memudahkan orang tersebut dalam memilih atau

menggunakan bahasa secara tepat pada tempatnya. Dalam menerapkan etika

berbahasa hendaknya seseorang atau masyarakat diberi pengetahuan mengenai


aturan-aturan sosial berbahasa, seperti: siapa yang berbicara, dengan bahasa apa,

kepada siapa, tentang apa, kapan, di mana, dan dengan tujuan apa. Dengan

mengetahui aturan-aturan tersebut seseorang atau masyarakat akan lebih mudah

dalam memilih kata-kata dalam berkomunikasi. Hal di atas sesuai dengan pendapat

Hymes dalam Chaer dan Agustina yang mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur

harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya

dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah:

Setting and scane

yaitu berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung. Participant yaitu

pihak-pihak yang terlibat dalam pertututran. Ends yaitu maksud dan tujuan

pertuturan. Act sequence yaitu bentuk ujaran da isi ujaran. Key yaitu nada, cara dan

semangat dimana suatu pesan disampaikan. Instrumentalities yaitu jalur bahasa

yang digunakan. Genre yaitu jenis bentuk penyampaian. Aspek sosial budaya dalam

memilih kata sapaan juga harus dipertimbangkan dalam etika berbahasa seperti:

yang disapa itu lebih tua, sederajat, lebih muda, atau kanak-kanak; status sosialnya

lebih tinggi, sama, atau lebih rendah, situasinya formal atau tidak formal, akrab atau

tidak akra,; wanita atau pria, sudah dikenal atau belum dikenal dan sebagainya.

Selain aspek sosial yang harus diperhatikan dalam etika berbahasa adalah ketepatan

waktu, artinya dengan mengetahui kapan waktunya kita berbicara dan

mendengarkan. Dengan memperhatikan hal seperti ini maka seseorang atau

masyarakat akan saling menghargai satu sama lain dalam berinteraksi atau

berkomunikasi. Kualitas

17
volume suara dan gerak-gerik anggota tubuh saat berbicara juga sangat berpengaruh

pada etika berbahasa. Mengenai kualitas volume suara untuk menjaga etika

berbahasa kita harus mengenal terlebih dahulu penuturnya berasal dari mana atau

kebiasaan di daerahnya, karena biasanya penutur yang berasal dari Sumatra akan

menggunakan volume suara yang lebih tinggi. Oleh karena itu dalam menerapkan

etika berbahasa hendaknya mempelajari dahulu kebudayaan, norma dan kode

bahasa dalam masyarakat tersebut.

E. Santun Berbahasa Indonesia

Berbahasa Indonesia dengan santun adalah menggunakan bahasa Indonesia dengan

budi bahasa yang halus, nilai rasa yang baik, dan penuh kesopanan, serta berusaha

menghindari konflik antara pembicara dengan lawan berbicaranya di dalam proses

berkomunikasi.

b. manfaat Bahasa

Bahasa dibentuk oleh kaidah atau aturan serta pola yang tidak boleh

dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan dalam berkomunikasi. Kaidah atau

aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata

kalimat. Bahasa penting dikusai oleh pengirim maupun penerima pesan agar
komunikasi yang terjadi antar keduanya dapat berjalan dengan lancar. Bahasa

adalah suatu sistem dari lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan

dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri

(Godam,2008). Bahasa terdiri dari dua jenis, yaitu bahasa lisan sebagai bahasa

primer, dan bahasa tulisan merupakan bahasa sekunder.

Manfaat Penggunaan Bahasa Dalam Masyarakat :

Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak

akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain.

Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai

oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman

dengan kita. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan

maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja

sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas

kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf,

1997 : 4). Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah

memiliki tujuan tertentu, kita ingin dipahami oleh orang lain, kita ingin

menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain, kita ingin membuat

orang lain yakin terhadap pandangan kita, kita ingin mempengaruhi orang lain.

Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal

ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita.

Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan

khalayak sasaran kita. Pada saat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara
lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan mudah

dipahami orang lain atau tidak. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah

“bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-

orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah

dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami

dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah,

wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-

kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa

keilmuan, nuansa intelektualitas, nuansa tradisional.

2) Mempermudah kita untuk berintegrasi dan beradaptasi secara social,

Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula

manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan

mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan

dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan

secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh

memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial

yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan

menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi

yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna

bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5). Cara berbahasa

tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat
integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial

tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi

dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada

orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan

teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang-orang

yang kita hormati.

3. Alat untuk mengidentifikasi diri.Bahasa dibentuk oleh kaidah atau aturan serta

pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan dalam

berkomunikasi. Kaidah atau aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata

bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Bahasa penting dikusai oleh pengirim maupun

penerima pesan agar komunikasi yang terjadi antar keduanya dapat berjalan dengan

lancar. Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat

ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi

diri (Godam,2008). Bahasa terdiri dari dua jenis, yaitu bahasa lisan sebagai bahasa

primer, dan bahasa tulisan merupakan bahasa sekunder.

Manfaat Bahasa Indonesia dalam Pelayanan Kesehatan

Jenis pelayanan kesehatan yang ada Indonesia sangat beragam mulai dari lingkup

yang sederhana sampai yang luas cakupannya. Pelayanan kesehatan diberikan

mulai dari lingkup personal, keluarga, dan yang berada di lingkungan masyarakat.
Pelayanan kesehatan dalam lingkungan masyarakat dapat meliputi pelayanan

kesehatan di puskesmas, kelompok-kelompok masyarakat atau komunitas dan

Rumah Sakit. Komunikasi merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan oleh

orang yang memberikan pelayanan kesehatan. Dalam komunikasi faktor yang

sangat berpengaruh adalah bahasa. Oleh karena itu dibutuhkan kesamaan jenis

bahasa yang digunakan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

Di Indonesia penggunaan bahasa Indonesia lebih ditekankan penggunaannya dari

pada bahasa daerah. Hal ini dilakukan oleh perawat agar klien memahami bahasa

yang perawat gunakan. Namun, sebagai seorang perawat harus tetap menghormati

bahasa yang digunakan oleh kliennya. Adapun manfaat dari penggunaan Bahasa

Indonesia dalam pelayanan kesehatan adalah:

a. Mengurangi hambatan dalam berkomunikasi antara pemberi dan penerima

pelayanan kesehatan

b. Memberi kemudahan bagi pemberi pelyanan kesehatan khususnya perawat dalam

memberikan intervensi kepada kliennya

c. Memudahkan klien dan perawat dalam berkomunikasi

d. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa pemersatu mudah dimengerti oleh

hampir seluruh penduduk Indonesia sehingga penerima pelayanan keperawatan

mudah memahami dan menerima pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan

e. Perawat akan lebih mudah dalam menerapkan komunikasi teraupetik kepada

klien sebagai penerima pelayanan kesehatan


d Kounikasi dala dunia kedokteran

Komunikasi kesehatan melibatkan dokter, pasien, dan keluarga adalah komunikasi

yang tidak dapat dihindari dalam kegiatan kesehatan atau klinikal. Pasien datang

berobat menyampaikan keluhannya, didengar, dan ditanggapi oleh dokter sebagai

respon dari keluhan tersebut. Seorang pasien yang datang berobat memiliki harapan

akan kesembuhan penyakitnya, sedangkan seorang dokter mempunyai kewajiban

memberikan pengobatan sebaik mungkin (Arianto, 2012).

Komunikasi kesehatan antara dokter dan pasien yang dulu menganut pola

paternalistik dengan dokter pada posisi yang lebih dominan sudah saatnya diubah

menjadi setara antara dokter dan pasien. Efektifitas komunikasi yang baik antara

kedua belah pihak akan berdampak pada kesehatan yang lebih baik, kenyamanan,

kepuasan pada pasien, dan penurunan resiko malpraktik, serta perselisihan atau

sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien. Salah satu anggota Perhimpunan

Universitas Sumatera Utara

Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), dr. Khie Chen yang dikutip Dianne Berry

(2007) mengemukakan bahwa terjadinya sengketa medis lebih sering disebabkan

kesenjangan persepsi antara dokter dan pasien. Pada sisi lain, pasien dan keluarga

merasa kurang puas dengan proses atau hasil pengobatan yang dilakukan,

sedangkan pada sisi lain, dokter dan pihak rumah sakit merasa sudah melakukan

pengobatan secara optimal. Sengketa medis ini terjadi karena adanya perbedaan
persepsi antara dokter dan pasien mengenai penyakit, adanya ekspektasi yang

berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan “bahasa”, makna pesan,

dokter dengan pasien, dan atau ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi

yang empatik (Arianto, 2012).

Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh

kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan

komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus

diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang

efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat

mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya

sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses

penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh

dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin

bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya

bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya (Ali,

2006).

Universitas Sumatera Utara

Kurtz (1998) dalam Konsil Kedokteran Indonesia (2006) menyatakan bahwa

komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif

terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali

kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis,

adanya komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang
diharapkan sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah

kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.

Namun disadari bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum disiapkan untuk

melakukannya. Dalam kurikulum kedokteran dan kedokteran gigi, membangun

komunikasi efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas. Untuk itu dirasakan

perlunya memberikan pedoman (guidance) untuk dokter guna memudahkan

berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang

hal- hal penting dalam pengembangan komunikasi dokter-pasien diharapkan terjadi

perubahan sikap dalam hubungan dokter-pasien.

Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk

mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih

memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi

keduanya (Kurtz, 1998).

Menjalin hubungan dengan pasien juga sangat penting. Dokter harus nampak

ramah, sopan dan menunjukkan keinginan untuk membantu pasien dengan

membiarkan pasien mengemukakan masalahnya. Seringkali dokter tidak benar-

benar mendengarkan keluhan pasien, atau terburu-buru memotong cerita pasien.

Umumnya pasien datang menemui dokter karena cemas dengan keadaannya dan

ingin mengetahui bagaimana dokter akan mengatasi masalahnya (Irvine, 2003).

Tetapi seringkali dokter menghadapi pasien dengan latar belakang sosial dan

budaya yang berbeda, sehingga kadang-kadang sulit bagi pasien untuk


mengungkapkan masalahnya dan mungkin sulit pula bagi dokter untuk menjelaskan

sesuai dengan bahasa daerahnya. Meskipun begitu, dokter harus tetap berusaha

mengidentifikasi dan memahami keinginan pasien serta memahami bagaimana

pasien memandang permasalahannya sendiri. Sudah terbukti bahwa pada hubungan

dokter pasien yang tidak baik, pasien juga akan enggan memberikan informasi yang

dibutuhkan, dan ini bisa menimbulkan masalah pada proses diagnosis maupun

pengobatan. Masalah lain

Universitas Sumatera Utara

yang sering timbul adalah pemahaman dan kesepakatan pasien mengenai rencana

perawatan yang akan diberikan. Seringkali karena penggunaan jargon-jargon

medis, pasien menjadi tidak mengerti apa yang dijelaskan dokter (Taylor, 2012).

Telah banyak penelitian yang menunjukkan pentingnya komunikasi, baik secara

verbal maupun non verbal, untuk meningkatkan kepuasan pasien saat konsultasi

dan untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan. Kedua hal

ini akan meningkatkan patient safety dan mengurangi kemungkinan adanya

komplain dari pasien. Lama waktu konsultasi diketahui berhubungan dengan

penurunan resiko klaim malpraktek, tetapi bukanlah lama waktunya itu sendiri yang

penting, tetapi efektifitas komunikasi. Komunikasi tidak akan berlangsung dengan

baik jika dokter sedang terburu-buru, marah atau sedang di bawah tekanan

pekerjaan lain. Komunikasi dalam keadaan tersebut akan meningkatkan resiko

terjadinya adverse events

atau kejadian tidak diinginkan (Irvine, 2003).


Komunikasi efektif dokter dan pasien dalam proses terapi berkaitan dengan

keselamatan pasien (patient safety) yaitu melibatkan pasien dan keluarga dalam

informed consent, kompetensi budaya (cultural competence), dan menyampaikan

insiden pada pasien (open disclosure) (HNS, 2012; APSEF, 2011).

1. Memberikan Informed Consent

Proses informed consent adalah barometer untuk mengetahui sejauh mana

keterlibatan pasien dalam proses terapi. Informed consent tidak hanya sebatas tanda

tangan pasien dan keluarganya, tetapi merupakan suatu proses untuk memberikan

kesempatan pada pasien dan keluarganya untuk mempertimbangkan

Universitas Sumatera Utara

semua pilihan dan resiko yang terkait dengan pengobatan pasien. Sudah banyak

guidelines yang diterbitkan untuk membantu petugas untuk mendapatkan informed

consent dengan baik. Sayangnya keterbatasan waktu dan kebiasaan petugas untuk

mendapatkan informed consent dengan cepat membuat proses ini seringkali

diabaikan.

Ada dua bagian utama dari informed consent, yaitu:

1.

Bagian yang menginformasikan pasien mengenai:

1) Pemberian informasi oleh praktisi kesehatan

2) Penangkapan informasi oleh pasien.

2.

Bagian yang memungkinkan pasien mengambil keputusan:


1) Pengambilan keputusan oleh pasien dengan bebas dan tidak terpaksa 2)

Kompetensi kultural

Banyak pihak yang memperdebatkan sejauh mana dan jenis informasi apa

saja yang harus disampaikan pada pasien dan sejauh mana informasi itu harus

dimengerti pasien sebelum seorang pasien dikatakan telah menerima informasi

dengan baik. Bagaimana seorang dokter atau praktisi kesehatan lainnya bisa

mengetahui bahwa keputusan pasien diambil secara bebas (tidak terpaksa),

berdasarkan pengetahuan yang adekuat, dan terbebas dari tekanan-tekanan internal

(stress, kesedihan mendalam, dan lain-lain) dan eksternal (biaya, ancaman, dan lain-

lain)

Dokter selalu dianjurkan untuk menggunakan evidence-based medicine. Penelitian-

penelitian yang menunjukkan kemungkinan keberhasilan dan

Universitas Sumatera Utara

kegagalan pengobatan telah tersedia untuk sebagian besar pengobatan. Informasi-

informasi ini harus disampaikan pada pasien, bahkan lebih baik jika tersedia dalam

bentuk media cetak dan bisa diberikan pada pasien untuk membantu membuat

keputusan. Informasi yang harus diberikan pada pasien antara lain:

1.

Diagnosis: meliputi prosedur diagnosis dan hasil pemeriksaannya. Jika tindakan

medis dilakukan untuk melakukan diagnosis, maka prosedur diagnosis harus

dijelaskan.

2.
Tingkat kepastian diagnosis: Ilmu kedokteran adalah ilmu yang tingkat

ketidakpastiannya tinggi, dengan semakin banyak gejala yang muncul, maka

diagnosis bisa berubah atau bisa semakin pasti.

3.

Resiko terapi: pasien perlu mengetahui efek samping terapi, komplikasi akibat

terapi atau tindakan medis, outcome yang mungkin memperngaruhi kesehatan

mental pasien, latar belakang dari resiko terapi, konsekuensi jika tidak dilakukan

terapi. Pasien juga perlu tahu pilihan terapi yang tersedia, tidak hanya jenis terapi

yang dipilih dokternya. Pasien juga perlu tahu jenis terapi pilihan, hasil yang

diharapkan, kapan terapi harus dimulai, lama terapi dan biaya yang dibutuhkan.

4.

Manfaat terapi dan resiko jika tidak dilakukan terapi: sebagian terapi prognosisnya

buruk, sehingga pilihan untuk tidak memberikan terapi akan lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

5.

Perkiraan waktu pemulihan: jenis terapi atau tindakan medis yang dipilih mungkin

akan mempengaruhi kehidupan pasien, seperti pekerjaan, jarak tempat pengobatan

dari rumah pasien jika harus sering kontrol.

6.

Nama, jabatan, kualifikasi, dan pengalaman tenaga kesehatan yang memberikan

terapi dan perawatan: pasien perlu mengetahui apakah tenaga kesehatan yang akan

memberikan terapi atau melakukan tindakan medis cukup berpengalaman. Jika


tidak maka dibutuhkan supervisi dari seniornya dan informasi tentang supervisi ini

juga harus diberikan pada pasien.

7.

Ketersediaan dan biaya perawatan setelah keluar dari rumah sakit: pasien mungkin

masih membutuhkan perawatan di rumah setelah keluar dari rumah sakit. Maka

informasi ketersediaan tenaga kesehatan di sekitar rumahnya dan perkiraan biaya

perawatan sampai pulih juga harus disampaikan.

2. Kompetensi Budaya (Culture Competence)

Menurut Australian Patient Safety Education Framework (APSEF),

kompetensi budaya adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan

pengetahuan, keahlian, dan sikap yang harus dimiliki semua tenaga kesehatan

supaya dapat memberikan pelayanan kesehatan yang tepat dan adekuat pada semua

orang dengan tetap menghargai budaya lokal. Tenaga kesehatan yang mempunyai

kompetensi budaya mampu untuk:

1.

Memahami dan menerima perbedaan budaya

2.

Memahami nilai budaya yang dipercaya seseorang

Universitas Sumatera Utara


c. Memahami bahwa individu dengan latar belakang budaya yang berbeda akan

berkomunikasi, berperilaku, menginterpretasi masalah dan memecahkan masalah

dengan cara yang berbeda pula.

4.

Memahami bahwa kepercayaan terhadap budaya tertentu akan mempengaruhi

pasien dalam menilai kesehatannya, mencari kesehatan, berinteraksi dengan tenaga

kesehatan dan kepatuhan terhadap pengobatan.

5.

Menyesuaikan cara bekerja dengan budaya setempat, sehingga bisa diterima oleh

pasien dan masyarakat setempat

Gerakan patient safety di banyak negara, termasuk di Indonesia, masih

merupakan hal yang baru. Dokter dan pasien baru terpapar dengan program patient

safety dan pelibatan pasien dalam proses terapi. Di banyak negara yang sudah lebih

dahulu menerapkan, patient safety adalah tentang mengubah budaya dalam sistem

pelayanan kesehatan.

3. Menyampaikan Insiden pada Pasien (Open Disclosure)

Salah satu prinsip komunikasi yang baik adalah jujur dan tidak menutupi

kesalahan. Setiap insiden yang terjadi dalam proses pelayanan kesehatan haruslah

dijelaskan dan didiskusikan secara terbuka pada pasien. Di beberapa negara, seperti

di Australia menyampaikan insiden pada pasien sudah menjadi kebijakan nasional.

Menurut the Australian Commission on Safety and Quality in Health Care, dalam
proses penyampaian insiden pada pasien, dokter harus meminta maaf atas insiden

yang telah terjadi, memberitahukan rencana perubahan terapi (jika ada),

memberitahukan perkembangan hasil investigasi mengenai terjadinya

Universitas Sumatera Utara

insiden, dan memberitahukan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencegah

insiden serupa di masa yang akan datang.

Setelah terjadi adverse events pasien selalu ingin mendapatkan penjelasan

mengenai terjadinya event tersebut, yang antara lain mencakup:

1.

Penjelasan mengenai apa yang telah terjadi

2.

Pernyataan akan bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi

3.

Permintaan maaf

4.

Memastikan bahwa akan mencegah kejadian yang sama terulang lagi

5.

Pada beberapa kasus, hukuman dan kompensasi.

Tetapi pada umumnya dokter dan perawat khawatir jika informasi


mengenai insiden diberikan akan memancing kemarahan pasien dan keluarganya

dan berdampak pada dibuatnya tuntutan hukum. Dokter juga khawatir akan

memberikan lebih banyak stress pada pasien, dan untuk dirinya sendiri, khawatir

akan kehilangan reputasi, pekerjaan, dan malu dengan kolega lainnya.

Ada beberapa guidelines yang sudah diterbitkan untuk membantu dokter dan

perawat memberikan informasi terjadinya insiden pada pasien. Ada 8 prinsip

pemberian informasi insiden menurut Australian Commission for Safety and

Quality in Health Care (ACSQHC, 2011).

a. Komunikasi yang terbuka setiap saat: ketika terjadi hal yang tidak diinginkan,

pasien dan keluarganya harus diberikan informasi mengenai apa yang telah terjadi

dengan jujur dan terbuka sepanjang waktu. Informasi mengenai proses yang sedang

berlangsung sebaiknya juga diberikan.

Universitas Sumatera Utara

2.

Pengakuan: organisasi pelayanan kesehatan harus mengakui jika suatu adverse

events terjadi dan memulai proses pemberian informasi (open disclosure).

3.

Mengekspresikan penyesalan/meminta maaf: Penyesalan atas adverse event yang

terjadi harus disampaikan sedini mungkin pada pasien.

4.

Memahami keinginan pasien dan keluarganya: Sudah menjadi kewajaran jika

pasien dan keluarganya ingin mengetahui semua fakta-fakta yang terkait dengan
terjadinya adverse event dan konsekuensinya, ingin diperlakukan dengan penuh

empathy, dihargai dan diberikan dukungan sesuai dengan yang dibutuhkannya.

5.

Dukungan dari staff medis: Organisasi pelayanan kesehatan harus menciptakan

lingkungan dimana semua staff mampu dan terdorong untuk mengenali dan

melaporkan terjadinya adverse events dan mendapatkan dukungan dari organisasi

dalam proses memberikan informasi pada pasien.

6.

Manajemen resiko yang terintegrasi dan perbaikan sistem: Investigasi kejadian

adverse events dan outcome-nya dilakukan melalui proses yang berfokus pada

manajemen resiko. Hasil investigasi berfokus pada perbaikan sistem dan kemudian

akan direview efektifitasnya.

7.

Good Governance: Proses pemberian informasi insiden pada pasien membutuhkan

proses peningkatan mutu dan identifikasi resiko klinis melalui kerangka governance

dimana adverse events diinvestigasi dan dianalisis untuk

Universitas Sumatera Utara

mengetahui apa saja yang bisa dilakukan untuk mencegah hal yang sama

terulang kembali.

h. Kerahasiaan (confidentiality): Kebijakan dan prosedur yang dibuat organisasi


pelayanan kesehatan harus mempertimbangkan sepenuhnya privasi dan

confidentiality pasien, keluarganya dan staffnya sendiri, sesuai dengan hukum yang

berlaku.

Komunikasi yang tidak efektif antara dokter dengan pasien ternyata dapat memicu

rasa stres pada pasien, hal ini dapat terjadi karena kadang pasien merasa yang

diucapkan atau dilontarkan oleh dokter, membuat pasien merasa tidak nyaman atau

terkadang ada dokter yang bersifat arogan sehingga membuat pasien tidak leluasa

dalam bertanya atau mengungkapkan sesuatu terhadap dokter, karena dokter yang

arogan biasanya tidak mau menerima saran atau pendapat dari pasien.Dokter yang

cenderung memiliki sifat arogan, menganggap bahwa dirinya lebih tahu mengenai

masalah medis dibandingkan pasien yang notabene tidak memiliki pengetahuan

medis, padahal terkadang dokter dapat membuat kesalahan dalam mendiagnosa

penyakit pasien. Dijelaskan secara gamblang bahwa tidak mudah bagi dokter

menjadi “terapis” untuk pasiennya. Begitu juga pasien dan dokter sendiri harus

menyadari bahwa pengeluaran emosi yang tidak tepat malah akan memperburuk

kondisi psikologis pasien.Hal ini belum lagi jika ternyata dokter tidak mempunyai

latar belakang pendidikan di bidang ilmu perilaku dan kognitif, sehingga

melakukan komunikasi untuk mengeluarkan emosi pasien tanpa dasar ilmu yang

kuat. Sering kita melihat banyak praktisi yang bukan seorang ahli di bidang

kesehatan jiwa ataupun di bidang ilmu perilaku merasa mampu untuk memberikan

terapi untuk pasien- pasien (Kompas, 26 Agustus 2011).


Dasar ilmu yang tidak ada atau minim tidak akan cukup untuk menjalani peran

sebagai seorang terapis. Dalam proses komunikasi pasien

ke terapisnya bukanlah hanya mengungkit semua masalah, namun kemudian

membiarkannya begitu saja. Perlu suatu pemahamanan yang baik tentang

bagaimana menangani itu semua, bukan hanya membiarkannya keluar dan

membiarkannya berantakan begitu saja. Emosi yang telah dikeluarkan namun tidak

tertangani dengan baik akan sangat berbahaya buat pasiennya sendiri (Kompas, 26

Agustus 2011).

Seorang dokter yang notabene menghadapi pasien yang memiliki sakit parah harus

selalu bisa memberikan rasa aman kepada pasien agar pasien tidak merasa stres,

karena rasa stres yang dialami oleh pasien berpengaruh kuat terhadap penyakit yang

diderita seorang pasien. Komunikasi verbal dan nonverbal yang diperlihatkan

kepada pasien sangatlah penting, karena dari ekspresi atau perkataan yang

dikatakan oleh dokter inilah yang dibaca oleh pasien.

Semua orang menyadari bahwa dunia penuh dengan ketidakpastian, kecuali

kematian, yang meskipun demikian juga tetap mengandung ketidakpastian di

dalamnya, antara lain mengenai: kapan, karena apa kematian itu terjadi.

Ketidakpastian tersebut mengakibatkan adanya risiko (yang merugikan) bagi pihak-

pihak yang berkepentingan (Djojosoedarso, 1999: 1).

Seperti halnya keputusan yang diberikan dokter kepada pasien, dalam hal ini dokter

harus benar-benar bisa memahami apa yang dirasakan oleh pasien agar tidak terjadi
kesalahan dalam mendiagnosa penyakit pasien, karena terdapat risiko yang besar

apabila dokter salah

dalam mendiagnosa penyakit pasien. Apalagi bila pasien tersebut memiliki riwayat

penyakit yang tergolong parah. Risiko nyawa menjadi tanggung jawab dokter

apabila sampai membuat pasien tersebut kehilangan nyawa atau bertambah parah

sakit yang dideritanya.

Dalam pemaparan di atas tentang malpraktik, ada istilah lain yang masyarakat

belum memahami, atau bahkan tenaga medis sendiripun belum paham mengenai

istilah yang terjadi dalam pelayanannya. Ada yang dikenal dengan risiko tindakan

medis (medical risk) yang memiliki makna sangat luas. Risiko medik terbangun

dari kata “Risiko” dan “Medik”. Risiko sendiri berasal dari kata “risk” yang dalam

bahasa Inggris berarti “The possibility of something bad happening at some time in

the future; a situation that could be dangerous or have a bad result” (Wehmeir 18:

2005) atau kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak baik di kemudian hari;

situasi yang dapat membahayakan atau mempunyai hasil yang tidak baik

(Kompasiana, 2 Maret 2013).

10

Risiko tindakan medis dapat terjadi dalam setiap rangkaian proses pengobatan,

seperti pada penegakan diagnosis, saat dilakukan operasi, penentuan obat dan

dosisnya, pasca operasi dan lain sebagainya. Risiko medis juga dapat terjadi di

semua tempat dilakukannya pengobatan: di rumah sakit, klinik, praktik dokter,


apotik, di rumah pasien, di tempat umum (pada kegiatan imunisasi, bakti social,

misalnya) dan lain-lain. (Amir Hamzah Pane, dalam Kompasiana 2 Maret 2013).

Bentuk risiko medis bermacam-macam, seperti : Kesalahan medis (medical error,

preventable medical error), Kecelakaan medis (medical accident, medical

misadventure atau medical mishap), Kelalaian medis (medical negligence), Adverse

event, adverse incident, dan lain sebagainya. Dalam beberapa literatur berkenaan

dengan “medical risk”, diketahui ada perbedaan antara risiko relatif (relative risk)

dan risiko mutlak (absolute risk). Risiko relatif tindakan medis artinya risiko itu

bersifat individual dan tidak diperkirakan sebelumnya, sedangkan risiko mutlak

bersifat umum, artinya semua orang yang mendapatkan tindakan medis itu akan

mendapatkan risiko yang sama dan sudah diperkirakan sebelumnya. Risiko relatif

dicontohkan dengan orang yang tanpa diketahui sebelumnya ternyata tidak tahan

dengan suntikan antibiotic penicillin sehingga menyebabkan reaksi anafilaktik

(alergi anafilaktik). Risiko mutlak misalnya rontoknya rambut setelah seseorang

menjalani kemoterapi kanker (Kompasiana, 2 Maret 2013).

Dalam perspektif hukum, risiko medis yang dapat dikualifikasikan sebagai

malpraktik medis atau medical negligence adalah yang disebabkan

11

medical violation (timbul akibat penyimpangan standar prosedur tindakan medis)

dan medical recklessness (timbul akibat kecerobohan dalam melakukan tindakan

medis). Dalam perspektif medis, para dokter tidak dapat disalahkan jika terjadi

medical error , preventable medical error, medical accident, atau medical mishap.
Hal-hal ini terjadi diluar kemampuan dan pengetahuan dokter. Dokter sudah

melakukan segala sesuatunya dengan benar dan adequate sesuai standar pelayanan

(SOP) yang disesuaikan juga dengan kondisi dan situasi fasilitas pelayanan. Prinsip

pelayanan kedokteran ditekankan kepada upaya (inspannings verbintenissen) bukan

pada hasilnya (resultans verbintenissen). Sehingga dalam sumpah dokter dilafazkan

“Saya akan berikhtiar dengan sungguh sungguh supaya saya tidak terpengaruh

oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan

sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien”

. Ikhtiar berarti upaya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan

mengutamakan kepentingan pasien (Kompasiana 2 Maret 2013).

Terjalinnya komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien atau keluarga

pasien, akan membuat keluarga pasien paham tindakan apa saja yang akan

dilakukan oleh dokter, sehingga nanti apabila terjadi kesalahan atau hal yang tidak

terduga, keluarga pasien sudah paham risiko yang terjadi apabila dilakukan sebuah

tindakan.

19

Sejak awal dokter seharusnya senantiasa menjelaskan risiko apa saja yang bisa

terjadi apabila dilakukan sebuah tindakan, dan sebaiknya dokter menjelaskan

mengenai prosedural dalam pembedahan sehingga keluarga pasien bisa paham

tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan oleh dokter dan risiko medis apa saja

yang dapat terjadi. Komunikasi diantara keduanya dinilai sangat penting, kedua
belah pihak harus sama-sama saling memahami agar dapat meminimalisir risiko

dan tentu saja agar dapat terhindar dari mis communication

Selain wajib menjalin komuniaksi yang baik dengan pasien atau keluarga pasien,

dokter benar-benar harus dapat memberikan rasa aman kepada pasien terutama

apabila saat dokter akan menyampaikan penyakit pasien yang tergolong parah,

disinilah komunikasi risiko dokter dengan pasien berperan. Dokter harus bersikap

hati-hati dalam penyampaian informasi yang mengandung risiko ini, apabila dokter

tidak berhati-hati akan mengakibatkan pasien merasa stres atau terbebani jiwanya

karena mengetahui sakit yang dideritanya tergolong penyakit yang parah.

Komunikasi risiko bukan saja pada saat penyampaian dokter kepada pasien

mengenai penyakit parah saja, tetapi juga pada saat dokter akan memeriksa pasien,

dokter harus dapat melihat situasi dan kondisi pasien, yang dimaksudkan dalam hal

ini adalah apabila saat melakukan pemeriksaan dokter melakukan atau memberikan

candaan kepada pasien disaat waktu dan psikis pasien yang tidak tepat, yang akan

berakibat pada pasien akan merasa takut, bukan membuat pasien merasa lebih

tenang tetapi malah akan membuat dampat yang buruk bagi psikis pasien.

20

Dokter boleh saja memberikan semacam candaan kepada pasien, hal ini memang

dapat membuat pasien merasa lebih tenang, tetapi dokter haruslah melihat situasi

dan kondisi pasien. Apabila dokter memberikan candaan diwaktu dan kondisi

yang tidak tepat, malah akan membuat pasien merasa terbebani.

Anda mungkin juga menyukai