DEMAM TIFOID
DISUSUN OLEH :
HAJAR HANIYAH
1102013119
Pembimbing :
Letkol Ckm (K) dr. Ade Netra Kartika, Sp.PD, MARS, FINASIM
Penyusun Pembimbing
Nilai
Makalah 1. Ketepatan menyerahkan makalah kepada pembimbing 10 ………
2. Penulisan a. Introduksi / Latar belakang 3 ………
b. Epidemiologi 3 ………
c. Etiologi 3 ………
d. Patofisiologi / Patogenesis 4 ………
e. Manifestasi / Gejala Klinis 3 ………
f. Pemeriksaan fisik 3 ………
g. Pemeriksaan penunjang 3 ………
h. Diagnosis 3 ………
i. Penatalaksanaan 3 ………
j. Prognosis 3 ………
k. Referensi (Cara Vancouver) 3 ………
a. Suara 3 ………
Penyajian 1. Audio Visual b. OHP/Slide/In Focus 3 ………
c. Sistematis Penampilan 10 ………
1. Penguasaan materi 20 ………
Diskusi
2. Tanya jawab 20 ………
Jumlah Nilai Referat 100 ………
………………, 2019
Pembimbing,
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................................... ii
LEMBAR PENILAIAN SARI PUSTAKA ..............................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iv
BAB I ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
BAB II....................................................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 2
2.1 Etiologi............................................................................................................................ 2
2.2 Patogenesis...................................................................................................................... 4
2.3 Manifestasi Klinik........................................................................................................... 5
2.4 Diagnosis......................................................................................................................... 6
2.5 Penatalaksanaan .......................................................................................................... 13
2.6 Komplikasi .................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 24
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica
serotype paratyphi A, B, atau C(demam paratifoid). Demam tifoid ditandai antara lain
dengan demam tinggi yang terus menerus bisa selama 3-4 minggu, toksemia, denyut
nadi yang relatif lambat, kadang gangguan kesadaran seperti mengigau, perut
kembung, splenomegali dan leukopenia.
Di negara maju kasus demam tifoid terjadi secara sporadik dan sering juga
berupa kasus impor atau bila ditelusuri ternyata ada riwayat kontak dengan karier
kronik. Di negara berkembang kasus ini endemik. Diperkirakan sampai dengan 90 -
95 % penderita dikelola sebagai penderita rawat jalan. Jadi data penderita yang
dirawat di rumahsakit dapat lebih rendah 15 – 25 kali dari keadaan yang sebenarnya.
Diseluruh dunia diperkirakan antara 16 – 16, 6 juta kasus baru demam tifoid
ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak
13 juta kasus setiap tahunnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif tidak membentuk
spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar).
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air,
es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60◦C) selama
15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Genus Salmonella terdiri dari dua species, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella
bongori (disebut juga subspecies V). Salmonella enterica dibagi ke dalam enam
subspecies yang dibedakan berdasarkan komposisi karbohidrat, flagell, dan struktur
lipopolisakarida. Subspecies dari Salmonella enterica antara lain subsp. Enterica,
subsp. Salamae, subsp. Arizonae, subsp. Diarizonae, subsp. Houtenae, subsp. Indica.
Semua serotipe Salmonella dapat ditunjuk olehformula antigen berdasarkan
somatik(O) dan flagellar(H) antigen selain kapsuler(Vi) :
1. AntigenO (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol
tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. AntigenH (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau
pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan
alkohol.
3. AntigenVi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas didalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
2.2 Patogenesis
Bila respon imun kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaquePeyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
2.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan
berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk
mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid
secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah
tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji
serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
2.4.1. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan
hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan
aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan
bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai
nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai
dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
2. 5 Penatalaksanaan
Management atau penatalaksanaan secara umum, asuhan keperawatan yang baik
serta asupan gizi yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam
tifoid selain pemberian antibiotik. Sampai saat ini masih dianut trilogi
penatalaksanaan demam tifoid,yaitu:
2. Managemen Nutrisi
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah
mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk dikonsumsi,
antara lain:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk
memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin
meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak
merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk
menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah:
a. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
c. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
e. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan
serat maksimal 8gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan
toleransi perorangan
f. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai
dengan toleransi perorangan.
g. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu
asam dan berbumbu tajam.
h. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak
terlalu panas dan dingin
i. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
j. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan
khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral,
makanan formula, atau makanan parenteral.
Tatalaksana Farmakologi
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang
dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus.
Sembelit bila lebih dari 3hari perlu dibantu dengan paraffin atau lava sedeng
anglistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat
memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.
A. Pemberian antimikroba
Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman.
a. Kloramfeniko
Dierapre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi
sekitar 15%. Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948,
mengubah perjalanan penyakit, menurunkan angka mortalitas hingga
<1% dan durasi demam dari 14-28hari menjadi 3-5hari. Dosis untuk
orang dewasa adalah 4kali 500mg perhari oral atau intravena,
sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan intramuskular tidak
dianjurkan karena hidrolisis ester tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat pilihan untuk
demam enterik hingga munculnya resistensi pada tahun1970.
Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit yang
memanjang dan karier kronik, toksisitas terhadap sumsum tulang
(anemia aplastik), angka mortalitas yang tinggi di beberapa negara
berkembang merupakan perhatian terhadap kloramfenikol.
Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam
terjadi rata-rata pada hari ke-5.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500mg, demam
rata-rata menurun pada hari ke-6 sampai ke-6.
B. Penggunaan Glukokortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat dengan
gangguankesadaran (delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan
dengan dosis awal 3mg/kg IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak
delapan kali pemberian. Selain itu, juga diberikan kepada pasien dengan
demam yang tidak turun-turun.
Hari ke 1: Kortison 3 X 100 mg im atau Prednison 3 X 10 mg oral
Hari ke 2: Kortison 2 X 100 mg im atau Prednison 2 X 10 mg oral
Hari ke 3: Kortison 3 X 50 mg im atau Prednison 3 X 5 mg oral
Hari ke 4: Kortison 2 X 50 mg im atau Prednison 2 X 5 mg oral
Hari ke 5: Kortison 1 X 50 mg im atau Prednison 1 X 5 mg oral
C. Antipiretik
Pireksia dapat di atasi dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya
sebaiknya tidak diberikan karena dapat menyebabkan keringat yang banyak
dan penurunan tekanan darah (bradikardi relatif).
2.6 Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh
dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi
yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
1. Komplikasi Intestinal
Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan intestinal
perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis)
dapat terbentuk tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap
sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding
usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan
juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan
kedua faktor. Sekitar 25% penderitademam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis
perdarahan akut darurat bedah ditegakan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal.
Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%,
bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan
tidak dapat mengimbangi perdarahan yang
terjadi,makatindakanbedahperlu dipertimbangkan.
Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka
penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat
terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke
seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah
pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena
adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah
nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi)
ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan,
maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya
perforasi usus pada demam tifoid.Beberapa faktor yang dapat
meningkatkankejadian perforasi adalah umur (biasanya20-30 tahun), lama
demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas
penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati
kuman S.Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif
dan aerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas
dengan kombinasikloramfenikoldan ampisilinintravena. Untuk
kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/ metronidazol. Cairan harus
diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan
dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat
kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
2. Komplikasi
Ekstraintestinal
a.Hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-
genemia, peningkatan protombin time, peningkatan partialthromboplastin
time, peningkatan fibrindegradation product sampai koagulasi
intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien
demam tifoid. Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi
karena menurunnya produksi trombosit di sum-sum tulang selama proses
infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial.
Obat-obatan juga memiliki peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang
sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem
biologik, koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan
histamin menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh
darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi
;baik KID kompensata maupundekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah,
substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin,
meskipun adapula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian
heparin pada demam tifoid.
b. Hepatitistifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50%
kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi
daripada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena
tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik,
parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam
tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum
bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus).
Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem
imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepato
ensefalopati dapat terjadi.
c. Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid.
Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus,
bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase
dan lipase serta USG/ CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini
dengan akurat.
Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan
pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik
intravena seperti ceftriakson atau quinolon.
d. Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan
kelainan elektrokardiografi (EKG) dapat terjadi pada 10-15% penderita.
Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat
berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok
kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan EKG
yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan
ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis
sering sebagai penyebab kematian. Biasanya pada pasien yang sakit berat,
keadaan akut dan fulminan.
Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran
Indonesia. 2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-
2012/edisi-no-08-vol-xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-
akurat-diagnosis-demam-tifoid. [4 Januari 2019].
Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [4 Januari 2019].
Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New
England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMra020201. [4 Januari 2019].
Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta :
Salemba Medika, 2002:1-43.
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Mei 2006. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes /KMK%20No.
%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf.
[4 Januari 2019].
The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization;
2003: 17-18.
Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi –
Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur.
Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan
Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV.
Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of
bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever : relationship
between counts and clinical features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6.
Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta
: Interna Publishing. 2009:2797-2800.