Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

Makanan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dalam melakukan


kelangsungan hidup manusia (Broto, 2003). Di era modern sekarang ini, masyarakat lebih
menyukai kepraktisan dalam menyiapkan makanan karena keterbatasan waktu yang
dimiliki. Namun masih banyak pula masyarakat yang memilih memasak sendiri dirumah.

Kebiasaan untuk memasak makanan sendiri dilakukan karena berbagai alasan


antara lain: lebih hemat, lebih terjangkau, lebih bersih dan lebih terjamin mutu nya. Tetapi
pada kenyataan nya banyak masyarakat yang hanya memiliki sedikit waktu untuk
membuat bumbu masakannya karena kesibukan mereka sendiri, sehingga menggunakan
bumbu yang telah siap pakai.

Sekarang ini banyak kita temukan berbagai bumbu masakan yang sudah siap
pakai, dari yang bermerek, sampai tidak bermerek. Contohnya yaitu bumbu – bumbu siap
pakai yang banyak beredar diantaranya cabe giling, jahe giling, lengkuas giling maupun
bumbu yang sudah diracik sendiri seperti bumbu soto, bumbu rendang, dan bumbu rawon.
Bumbu giling ini banyak dijual di pasar –pasar tradisional dan supermarket. (hirasa dan
takemasa,1998)

Pada umumnya bumbu giling yang di jual di pasar tradisional diproduksi dalam
lingkup home industry sehingga banyak bumbu yang dikemas dalam kemasan yang tidak
sesuai dengan standar. Oleh sebab itu, kualitas dari bumbu giling ini masih dipertanyakan
konsumen tentunya harus lebih waspada dalam menggunakan berbagai bumbu giling
yang dijual dipasar tradisional, terutama terhadap kandungan bahan tambahan pangan
yang ada didalamnya. (Sukarta,2008).

Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk tumbuhnya
mikroorganisme yang bersifat patogenik terhadap manusia. Penyakit menular yang cukup
berbahaya seperti tipes, kolera, disentri, tbc, poliomilitis dengan mudah disebarkan
melalui bahan pangan. Akhir-akhir ini terjadi peningkatan gangguan saluran pencernaan
akibat keracunan bahan pangan yang Universitas Sumatera Utara disebabkan oleh

1
mikroorganisme patogenik yang termakan bersama bahan pangan yang tercemar
(Hartoko, 2007).

Bumbu giling yang dijual di tukang sayur , pedagang daging atau pasar tradisional
lainnya dimana kondisi pasar yang lembab, sanitasi kurang baik, dan kios pedagang satu
dengan pedagang lainnya berdekatan atau menyampur atau juga dagang langsung depan
pinggir jalan dan berdekatan dengan petugas parkir.

Rempah –rempah dari bumbu giling tersebet seperti cabe, jahe, laos, atau bumbu
lainnya tersebut adalah bahan dasar dari bumbu masakan dan sangatlah ada kemukinan
terkontaminasi oleh mikroorganisme atau dari mulai panen, pertumbuhan dan sampai
pengolahan menjadi bumbu dasar sampai dengan ke pengiriman ke pemasaran. Biasanya
bakteri bersifat aerob berspora dan banyak ditemukan bakteri berupa penyebab
kebusukan sehingga kwalitas rasa, vitamin, atau kandungan lainnya berkurang, kualitas
kurang baik. Biasanya bakteri pada bumbu rempah terdapat nya bakteri coliform, dan
hasil positip juga kepada Escherichia coli dan dilihat dari penyimpanan bumbu bila
mana penyimpanan tidak sehat dapat menyebabkan Staphilococcus aureus, Bakteri
microccocus, enterococcus, dan khamir bakteri yang bersifat patogen seperti salmonella
spp, Staphilococcus aureus, dan B aureius didapat pada bumbu .

Mikroorganisme dalam pangan dapat bersifat merugikan atau menguntungkan.


Mikroorganisme tersebut dalam banyak kasus tidak menyebabkan kerusakan pangan dan
tidak berbahaya ketika terkonsumsi bersama pangan, meski pada beberapa kasus
mikroorganisme dapat menyebabkan kerusakan dan penyakit bawaan pangan. Menurut
Sopandi dan Wardah (2014) jumlah dan jenis mikroorganisme dalam pangan
karakteristik pangan, lingkungan penyimpanan pangan, karakteristik mikroorganisme,
dan efek pengolahan pangan

Berdasarkan hal diatas, sehingga peneliti melakukan penelitian dengan judul


Kualitas mikrobiologi Eschericia coli dan Staphilococcus aureus pada bumbu giling
(cabe merah giling, Jahe giling , dan laos giling ) pada 3 (Tiga) Pasar Tradisional yang
ada di kota Serang Provinsi Banten.

2
Tujuan Penelitian

1. Bagaimana hasil penelitian terhadap bumbu giling pada bakteri Escherichia coli
dan Staphylococcus aureus.apakah menenuhi standar atau tidak
2. Apakah ada perbedaan antar bumbu giling cabe, jahe, dan laos
3. Apakah ada perbedaan antar pasar yang menjual bumbu giling
4. Apakah ada perbedaan antar kelompok atau warung dari setiap pedagang yang
menujual bumbu giling dipasar tradisional

Hipotesis

a. Adanya pengaruh terhadap hasil penelitian terhadap bumbu giling pada


bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Apakah menenuhi
standar atau tidak
b. Adanya perbedaan antar bumbu giling cabe, jahe, dan laos
c. Adanya perbedaan antar pasar yang menjual bumbu giling
d. Adanya perbedaan antar kelompok atau warung dari setiap pedagang yang
menjual bumbu giling di pasar tradisional

3
BAB II METODE PENELITIAN

A. Tempat dan waktu penelitian


Penelitian ini yaitu untuk mengetahui kualitas mikrobiologi Escherichia coli
dan Staphylococcus aureus pada Bumbu giling cabai merah, jahe dan lengkuas dari
beberapa pasar tradisional di kota Serang Provinsi Banten.
Tempat pengambilan sampel di Pasar Tradisional kota serang Provinsi
Banten yaitu Pasar Rawu, , Pasar Lama dan Pasar Taman Sari yang berada dikawasan
kota serang.
Tempat pemeriksaan dilakukan dilaboratorium Mikrobiologi Universitas
Nasional. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember 2018.
B. Instrumen penelitian
a. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini Erlenmeyer 250 ml, Batang pengaduk,
Tabung reaksi, Rak tabung reaksi, Cawan petri , Autoklaf , Oven Pemanas listrik/hot
plate, stirrer Pipet, volumetric, Bunsen, Botol semprot alkohol, Inkubator, Vortex,
gelas ukur, timbangan manual, Aquades, Kapas, Aluminium foil, Plastik Warp,
Kertas pembungkus, Tissue, Alcohol 70% , spiritus.

Bahan
Bahan percobaan digunakan dalam penelitian ini adalah bumbu giling yang dijual
di pasar tradisional ( cabai merah, jahe, dan laos ) dengan media VRBA sebagai
medium selektif untuk menghitung koloni bakteri Escherichia coli dan MSA
sebagai media selektif untuk menghitung coloni bakteri Staphylococcus aureus .

4
Defenisi Operasional Variabel ( DOV )
Variable penelitian adalah 3 bumbu giling ( cabe, Laos dan jahe ) dikatakan
variable bebas dan Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus sebagai
variable terikat.

No Variable Definis Sumber Satuan


operasional
Variable (DOV)

1 Sampel bumbu Sampel cabai Diperoleh gram


giling merah giling, jahe dari 3 (tiga )
dan lengkuas pasar
giling

2 Media selektif VRBA Hasil Bakteri /g


untuk menghitung pengamatan
baktri E.coli

3 Media selektif MSA (Manitol Salt Hasil Bakteri/g


untuk menghitung Agar ) Pengamatan
bakteri
Staphylococcus
aureus

C. Cara Kerja Penelitian


1) Sterilisasi Alat
Bahan-bahan seperti medium pertumbuhan disterilisasikan dengan menggunakan
autoclave pada suhu 121º C tekanan 2 atm selama ± 15 menit, sedangkan alat-alat gelas
seperti cawan petri, pipet volumetric, disterilisasikan dengan menggunakan oven pada
suhu 180 º C selama 2 jam.

5
2) Media MSA

Kandungan media MSA ( Manitol salt agar ) adalah Nacl 7.5 % manitol, merah
dari fenol. Media MSA( Manitol salt agar ) dipakai un tuk membedakan
Staphilococcus yang bersifat pathogen dan tidak pathogen. MSA ( Manitol salt agar )
mengandung kadar NaCl tinggi, sehingga akan menghambat pertumbuhan bakeri,
Staphilococus tidak dihambat pertumbuhannya, dan pada media MSA (Manitol Salt
Agar ) akan membentuk zona kuning. Staphilococcus epidermis akan membentuk
zona merah.

MSA ( Manitol Saltv Agar ) disebabkan oleh fermentasi manitol dengan


permukaan asam. dan warna merah disebabkan oleh manitol yang tidak
difermentasikan. Warna merah pada Fenol merupakkan indikator untuk melihat
adanya pembentukan asam,

Prosedur kerja pembuatan Manitol Salt Agar (MSA ):

1. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan


2. Timbang 60 gram medium dimasukkan didalam erlemeyer 250 ml , tambah 1 liter
aquadest
3. Dipanaskan dalam erlemeyer 250 ml sambil diaduk sampai agar semua agak larut
4. Diangkat erlemeyer , mulut erlemeyer ditutup menggunakan bundel, kertas dan
diikat karet
5. Dimasukkan kedalam autoclave ,simpan dikulkas
6. Setelah itu tanam bumbu dapur tersebut kedalam media MSA (manitol salt agar)
selama 24 jam
3) MEDIA VRBA (Violet Red Bile Agar )

VBRA ( violet Red Bile Agar ) digunakan untuk perhitungan kelompok bakteri
Enterobactericeac, agar VRBA ( violet Red Bile Agar ) mengandung violet kristal
yang bersifat basa, sedangkan sel mikroba bersifat asam. Bila kondisi terlalu basa
maka sel akan mati. Dengan VRBA ( violet Red Bile Agar ) dapat dihitung jumlah
bakteri Escherichia coli .

6
1) Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2) Timbang medium VRBA ( violet Red Bile Agar ) sebanyak 39.5 gram
dimasukkan ke dalam beker glas dan dilarutkan ke dalam 1 liter aquadest
3) Dipanaskan hingga mendidik dan terus menerus di aduk sampai benar – benar
larut
4) Jangan didihkan lebih dari 2 menit dan tidak di autoklaf. Ph 7.4 lebih kurang
0.2 pada suhu 250C. Media yang sudah jadi berwarna gelap dan jernih
5) Kultur diinokulasikan dengan metode tuang
6) Diinkubasi 24 jam pada suhu 300C
7) Koloni akan tumbuh penampakannya berwarna merah dan membentuk area
dengan pinggir kemerahan dengan diameter 1-2 mm.
4. PROSEDUR KERJA PENELITIAN
 Pengambilan dan Persiapan sample.
Sample yang diambil berupa bumbu masakan yang sudah digiling 3 (tiga)
macam (cabe merah giling, jahe giling, dan laos giling ) yang ada di beberapa
pasar tradisional di Serang (Pasar Rawu, Pasar Lama, Pasar Taman Sari ) di
dalam satu pasar diambil 3 (tiga ) tempat yang menjual bumbu. Ketiga sample
tersebut di bawa ke laboratorium mikrobiologi
 Cara pengambilan sample dari pasar dikirim ke Lab biomedik UNAS
1. Persiapkan wadah steril
2. Siapkan formulir dari awal pembelian, jam, tempat atau lokasi
pengambilan , dan beri kode
3. Masukkan sample ke dalam wadah steril
4. Wadah diberi kode, lokasi sampling dan tanggal pengambilan sample
dengan memakai spidol tahan air
5. Masukkan kedalam cool box berisi es batu yang sudah disiapkan
sebelummya
6. Kirim sample ke laboratorium untuk diperiksa

7
 Prosedur persiapan sample
1. Pengeceran -1 : timbang 10 gram sample, dilarutkan 100 ml larutan Nacl
fisiologis (NaCl 0.9 % )
2. Penegceran -2 : pengeceran -1 dipipet 1 ml, dimasukkan ke dalam 9 ml
NaCl 0.9 %, homogenkan
3. Pengeceran -3 :Pengeceran -2 dipipet 1 ml, dimasukkan kedalam 9 mL
NaCl fis 0.9 %, dihomogenkan
4. Pengeceran -5 : penegceran -3 dipipet 0.1 mL, dimasukkan ke dalam 9,9
ml Nacl 0,9 %, dihomogenkan
5. Pengeceran -7 :penegceran -5 dipipet 0.1 ml, masukkan kedalam 9.9 ml
Nacl 0.9 % , dihomogenkan
 Penghitungan TPC (Total Plate Count )

Metode hitungan cawan didasarkan pasa anggapan bahwa setiap sel yang
dapat hidup akan berkembang biak menjadi satu koloni. Jadi jumlah koloni yang
muncul pada cawan mengandung indeks bagi jumlah mikroorganisme yang dapat
terkandung dalam sampel. Teknik yang harus dikuasai dalam metode ini adalah
mengencerkan sampel dan mencawankan hasil pengenceran tersebut. Setelah
inkubasi, jumlah masing-masing cawan diamati. Untuk memenuhi persyaratan
statistic, cawan yang dipilih untuk pengitungan koloni adalah yang mengandung
antara 30-300 koloni. Karena jumlah mikroorganisme dalam sampel tidak diketahui
sebelumnya, maka untuk memperoleh sekurang-kurangnya satu cawan yang
mengandung koloni dalam jumlah yang memenuhi persyaratan tersebut, harus
dilakukan sederetan pengenceran dan pencawanan. Jumlah organisme yang terdapat
dalam sampel asal ditentukan dengan menggunakn jumlah koloni yang terbentuk
dengan faktor pengenceran pada cawan yang bersangkutan.

Data yang didapat dari penelitian adalah jumlah koloni dan data berupa nilai TPC ( total
Plate Count ) dianalisis secara deskriptif sebagai data sekunder. Data nilai TPC (total
Plate Count) merupakan jumlah koloni bakteri /ml ( CFU/ml ) yang didapatkan dari hasil
perkalian jumlah koloni yang tampak dengan faktor 1 / faktor pengeceran.

8
Data dianalisis secara statistik menggunakan One Way Analysis of Varians (ANAVA) dan
brown forsythe (derajat signifikan 5 % a=0,05 ). Uji anava dilakukan atas dasar bahwa
data berdistribusi normal.

9
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian bumbu giling cabe, jahe, dan laos dari 3 ( tiga ) pasar
dengan 9 (sembilan ) toko bumbu giling yang berbeda terdapat hasil yang berbeda – beda
jumlah bakteri bakteri E.coli dengan S.aureus .

Tabel 1.Hasil pemeriksaan jumlah bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
pada beberapa bumbu giling dari beberapa pasar tradisional di Serang

Bumbu Pasar Jumlah E.coli Jumlah S. aureus KET


Giling (CFU/mL) (CFU/mL)
k1 k2 k3 k1 k2 K3
Cabe 1.Pasar Rawu 0 0 0 1480 1940 1650
2.Pasar Taman sari 360 390 320 280 670 320
3.Pasar Lama 0 0 0 600 600 820
Jahe 1.Pasar Rawu 0 0 0 1740 980 1530
2.Pasar Taman Sari 660 300 250 560 400 350
3.Pasar Lama 500 0 0 910 660 1020
Laos 1.Pasar Rawu 0 0 0 460 810 1680
2.Pasar Taman sari 450 210 460 530 600 610
3.Pasar Lama 600 0 990 820 600 670

Pada bumbu giling cabe, jahe dan laos yang diperoleh di Pasar Rawu, tidak di
temukan bakteri E.coli, maka bumbu tersebut berarti memenuhi syarat untuk dikonsumsi
menurut Standar Nasional Indonesia , batas cemaran E.coli untuk bahan pangan adalah
< 3 bakteri / g. Pada saat pengambilan sample terlihat bumbu giling termasuk cabe , jahe
dan laos berasal dari bahan dasar yang segar dan pedagang yang berjualan bumbu giling
tersebut mengolahnya dengan menjaga kebersihan, mencuci tangan dan membersihkan
alat dengan bersih. Kemudian bila ada sisa biasanya mereka simpan d kulkas atau juga
mereka jual ke pedagang warung atau pedagang sayuan matang disekitar Pasar. Namun
pada bumbu giling cabe, jahe dan laos dari Pasar Rawu, ditemukan bakteri S .aureus
dengan jumlah di atas standar Nasional Indonesia .

Pada bumbu giling cabe, jahe dan laos yang diperoleh di Pasar kedua yaitu Pasar
Taman Sari, di temukan jumlah bakteri E.coli melebihi standar Nasional Indonesia untuk
bahan pangan bumbu yaitu >3 bakteri /g, maka bumbu tersebut berarti tidak memenuhi
syarat untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena ditemukan pengelolaan kwalitas

10
pengolahan dari jahe menjadi jahe giling yang dikelupas tidak sempurna, penggunaan air
berkali-kali dalam mencuci jahe dan ada juga pedagang yang tidak mencuci jahe dahulu,
lingkungan tempat penjualan yang tidak bersih, serta peralatan yang kotor. Pedagang
tidak memakai sarung tangan saat melayani konsumen, pencuciannya tidak memakai
kwalitas air bersih sehingga tumbuhlah bakteri E.coli yang mencemari bumbu giling
tersebut, tetapi di pasar Taman Sari dari 3 (tiga) toko penjual bumbu giling ditemukan
bakteri S.aureus pada bumbu giling cabe, jahe, dan laos giling dengan jumlah bakteri
yang bervariasi tetapi masih dalam batas normal dari standar Nasional Indonesia , dimana
batas pencemaran untuk bahan pangan pada bumbu giling pada bakteri S.aureus yaitu
1x102 bakteri/g, karena pedagang dalam melayani konsumen memakai sarung tangan,
dan celemek, serta wadah penyajian yang bersih dan sendok yang tidak bercampur antara
bumbu – bumbu lainnya, wadah bumbu pun ditutup dengan kain yang bersih.
Bahan pangan dapat tercemar oleh mikroorganisme sebelum panen atau dipotong
(Pencemaran Primer ) atau sesudah dipanen dan dipotong, selama pengolahan
(Pencemaran Sekunder ). Pencemaran sekunder dapat terjadi pada beberapa tahap setelah
bahan pangan dipanen atau dipotong, selama Pengolahan, Penjualan dan Persiapan untuk
konsumen (Buckle , Edwaard, fleet dan wooton, 1985).
Pada bumbu bumbu giling cabe di Pasar Lama tidak ditemukan bakteri E.coli,
maka bumbu tersebut berarti memenuhi syarat untuk dikonsumsi menurut Standar
Nasional Indonesia, batas cemaran E.coli untuk bahan pangan adalah < 3 bakteri / g.
Akan tetapi pada bumbu giling jahe di warung (K1) terdapat jumlah bakteri E.coli yang
melebihi batas cemar pangan pada bumbu giling serta pada warung (k1) dan warung (k2)
terdapat jumlah bakteri E.coli pada laos giling. Hal ini disebabkan karena baik pada laos
dan jahe dalam pengelupasan tidak sempurna, penggunaan air yang sama dan berkali –
kali dalam pencucian jahe. Menurut penelitian Fitria wulandari, Pada jurnal nya yang
berjudul uji bakterioligis jahe giling (zingiber officinale Rose) yang dijual dipasar raya
kota padang, Bahan pangan dapat tercemar oleh mikroorganisme sebelum panen atau
dipotong (Pencemaran Primer ) atau sesudah dipanen dan dipotong , selama pengolahan
(Pencemaran Sekunder ). Pencemaran sekunder dapat terjadi pada beberapa tahap setelah
bahan pangan dipanen atau dipotong, selama Pengolahan, Penjualan dan Persiapan untuk
konsumen (Buckle , Edwaard, fleet dan wooton, 1985). Namun 90 % pada bumbu giling

11
cabe, jahe dan laos dari Pasar lama, ditemukan bakteri S .aureus dengan jumlah masih
batas Standar Nasional Indonesia, Tetapi pada warung (k3) di bumbu giling jahe di pasar
lama , ternyata ditemukan bakteri S.aeureus dengan jumlah diatas batas Standar Nasional
Indonesia. Hal ini disebabkan Kondisi pasar terlihat cukup lembab, sanitasi kurang baik,
dan kondisi antar kios pedagang satu dengan yang lain sangatlah berdekatan dengan
pedagang daging dan ayam potong, bahkan ada beberapa pedagang yang memasarkan
dagangannya di sekitaran samping luar pasar yang berbatasan langsung dengan tempat
parkir kendaraan. Selain faktor distribusi dan penyimpanan bumbu giling tersebut, proses
pra produksi dan produksi juga dapat meningkatkan tingkat cemaran mikroorganisme,
khususnya bakteri.
Bumbu giling kemasan pada umumnya dijual oleh pedagang daging dan daging
ayam, pedagang sayur, dan pedagang sembako. Adapun bumbu giling home industry
dijual sendiri oleh pedagang bumbu giling dengan kondisi tempat jualan yang berdekatan
dengan penjual daging dan daging ayam. Pedagang tersebut selain menjual bumbu giling
buatannya sendiri juga menjual bumbu giling kemasan produk pabrik.
Bumbu giling home industry ditempatkan pada wadah plastik. Beberapa pedangan
ada yang menutup wadah bumbu guling jualannya dan ada pula pedagang yang berjualan
dengan wadah tanpa tutup. Bumbu giling tersebut baru di pindahkan ke dalam plastik
ketika ada yang membeli. Bumbu giling diproduksi dalam jumlah banyak dan akan
disimpan di dalam kios apabila tidak habis. Bakteri yang sering ditemukan dalam bumbu
giling menurut penelitian terdahulu adalah Escherichia coli, Salmonella sp, Shigella sp.
Dan S.aureus bakteri tersebut merupakan indikasi cemaran mikroorganisme dalam
pangan dan dapat menyebabkan kerusakan pangan sampai permasalahan kesehatan.
Berdasarkan hasil analisa menggunakan progam SPSS dengan uji two way anova
didapat hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara bumbu giling dengan bakteri
E.coli , yaitu P (0.239 ), dan pada bakteri S. aureus juga tidak ada hubungan yang
signifikan pada bumbu giling yaitu P (0.377 ). Tetapi terdapat hubungan yang signifikan
antara Pasar dengan E.coli, Adanya pengaruh selektif terhadap jumlah dan jenis
mikroorganisme awal yang terdapat pada makanan dapat mempengaruhi populasi
mikroorganisme yang terdapat pada setiap makanan baik jumlah maupun jenisnya.

12
Pasar merupakan salah satu tempat umum bagi oang banyak dalam melakukan
kegiatan jual beli yang dapat menyebabkan timbulnya atau menularnya penyakit,dimulai
dari alat, tata cara pengolahan bahan bumbu giling jauh dari prses pengolahan yang bersih
serta adanya faktor lingkungan yang pasar yang kurang tersusun rapi lokasi kiosnya.

Pasar Rawu merupakan pasar induk terbesar di kota serang,dilihat dari tata lokasi
sudah lebih rapi dan teratur, meski tidak sempurna dari pasar modern, atau supermarket
dibanding dengan pasar taman sari dan pasar Lama di kota serang. Lokasi untuk
berjualan bumbu giling berjauahan dengan parkiran, sehingga tidak menimbulkan
pencemaran udara debu dan asap. sumber air sebagai masih berasal dari kwalitas air
bersih. Umumnya para penjual bumbu giling langsung dari lokais nya tersebut dan tidak
menggiling berlebihan , bila bumbu telah terjual habis pedagang biasanya langsung
mengolah laagi atau juga di jual di warung terdekat penjual sayur siap saji.

Pada pasar ke dua yaitu pasar taman sari, termasuk pasar induk kedua, dimana
lokasinya masih kurang luas, masih dalam pembangunan, dimana lokasi masih acak –
acakan dan penataannya kurang baik tepat antara saluran air dan kios. Selama
penggilingan kemungkinan pula dapat terjadi kontaminasi silang yang tidak bersih,
kondisi ruang terbuka kotoran debu masuk dan juga tindakan para penjual dalam mencuci
bahan dan alat sebelum berjualan, seharusnya menggunakan air mengalir untuk mencuci,
karena menggunakan air tergenang (dalam wadah ) untuk tidak efektif untuk mensanitasi
alat dan bahan karena berpeluang rekontaminasi dari air tersebut. Air yang digunakan
pedagang umumnya berasal dari air PDAM yang disedikan pengelola pasar. Air PDAM
sering mengalami kontaminasi selama perjalanan yang masuk melalui kebocoran pipa
sehingga air comberan dan ari buangan lain terserap masuk ke dalam pipa sehingga
adanya kontaminasi dari pipa kran yang kurang baik dan kotor.

Pada pasar lama, pasar induk kecil dimana lokasi penataannya sudah lebih baik
dibanding pasar taman sari, lokasi pasar dibagi 2 (dua) tempat area perdagangan, area
depan yang berdekatan dengan toilet dan area dalam lokais penjualan kios yang
bercampur antara pedagang sayur, serta dengan pedagang lauk, dimana keduanya masih
berdampingan dengan sumber air . Dan karena pasar induk nya kecil maish dipantau oleh
pengelola pasar , terkadang dilakukan penyuluhan oleh warga setempat yang dimana

13
lokasi pasar berdekatan dengan rumah pedagang, hanya saja masih ada penjual yang
kurang peduli dengan pejelasan bagaimana peneglolaah bahan , pembuangan sampah dan
lain lain yang sesuai dengan aktivitas pasar.

Berbagai pengaruh selektif menyebabkan satu atau beberapa jenis


mikroorganisme mungkin menjadi dominan dibanding dengan jenis mikroorganisme lain.
Suatu kelompok mikroorganisme yang terdapat dalam suatu pangan dapat tumbuh subur,
tetap dominan, atau mati sangatlah bergantung pada beberapa faktor penyebab. Suatu
mikroorganisme dikatakan dominan apabila keadaan mikroorganisme tersebut tidak mati
dan juga tidak dapat tumbuh karena tidak melakukan metabolisme. Menurut Sopandi dan
Wardah (2014:82) berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme
dalam pangan ditentukan oleh karakteristik fisika-kimia pangan (faktor intrinsik), kondisi
lingkungan penyimpanan (faktor ekstrinsik), dan karakteristik, interaksi
antarmikroorganisme (faktor implisit), dan faktor pengolahan pangan.

Bumbu giling pasta racikan ada berbagai macam, yaitu seperti bumbu gulai, kare,
rendang, rawon, dan opor. Bumbu tersebut kebanyakan dijual dalam bentuk kemasan dan
siap untuk digunakan, sehingga ada kemungkinan penggunaan pengawet. Pengawet
tersebut ada yang berasal dari alami maupun sintesis kimia. Pengawet alami itu sendiri
sudah berasal dari rempah-rempah bumbu maupun garam.
Rempah yang digunakan dalam kegiatan pengolahan makanan sehari-hari dengan
konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan, tetapi pada konsentrasi tersebut
rempah dapat membantu bahan lain yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme
pada makanan. Efek penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh suatu jenis
remoah bersifat khas. Beberapa jenis rempah yang diketahui memiliki aktivitas
antimikroba yang cukup kuat adalah bawang merah (Johnson dan Vaughn, 1969), bawang
putih (Thomas, 1984), cabe merah (Dewanti, 1984), jahe (Jenie et al., 1992), kunyit
(Suwanto, 1983), dan lengkuas (Rahayu, 1999).
Garam dapat mempengaruhi besarnya aktivitas air dalam pangan, sehingga
penambahan garam pada bumbu akan berperan sebagai penghambat selektif pada
mikroorganisme tertentu (Rahayu, 2000:42).Hal ini sesuai dengan Penelitian Lisa
yusmita ,tentang penelitiannya tentang Identifikasi konsentrasi Natrium Klorida (NaCl)

14
pada jahe dan Laos giling di beberapa pasar tradisional di kota Padang ,dimana dalam
penelitiannya bertujuan untuk menentukan kadar garam (NaCl) yang terdapat pada jahe
giling dan Lngkuas giling yang dijual di beberapa Pasar tradisional di kota Padang
didapatkan kadar Natrium Klorida (NaCl) yang teridentifikasi < 2 % pada seluruh sample
d uji , dimana Penambahan Natrium Klorida (NaCl ) bertujuan sebagai pemberi rasa asin
pada bahan makanan bukan sebagai bahan pengawet.
Menurut Sopandi dan Wardah (2014:66), mikroorganisme yang paling penting
pada bumbu adalah spora kapang, Baciluus, dan Clostridium spp. Bakteri Micrococci,
Enterococci, khamir, dan beberapa patogen seperti Salmonella spp., Staphylococcus
aureus, dan B.cereus ditemukan dalam bumbu atau kodimen. Adanya berbagai
kemungkinan tersebut dapat dijadikan penguat untuk dilakukan analisis mikrobiologi
untuk melihat mutu suatu pangan. Analisis mikrobiologi adalah penghitungan jumlah
mikroorganisme dan pengidentifikasian mikroorganisme yang terdapat dalam suatu
pangan, yaitu bumbu giling. Jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam bumbu giling
tersebut tidak boleh melebihi ambang batas normal agar bumbu giling tersebut layak
untuk dikonsumsi dan terhindar dari kemungkinan kerusakan pangan serta keracunan
pangan.
Menurut Trihendrokesowo, dkk (1989:136) umumnya rempah yang telah diolah
(bumbu giling) diperiksa dengan memakai prosedur untuk angka kuman secara aerob,
jamur, ragi, dan bakteri Coliform. Suatu bumbu giling jika terdapat Coliform, maka
kandungan Escherichia coli ditentukan. Penyimpanan rempah (termasuk bumbu giling)
yang tidak sehat, maka adanya Salmonella dan Shigella harus ditentukan. Analisa
tambahan mungkin diperlukan oleh pengolah makanan, seperti pemeriksaan terhadap
Staphylococcus aureus, bakteri anaerob pembentuk spora, enterokocus, Lactobacillus,
dan B. cereus.
Adanya pengaruh selektif terhadap jumlah dan jenis mikroorganisme awal yang
terdapat pada makanan dapat mempengaruhi populasi mikroorganisme yang terdapat
pada setiap makanan baik jumlah maupun jenisnya. Berbagai pengaruh selektif
menyebabkan satu atau beberapa jenis mikroorganisme mungkin menjadi dominan
dibanding dengan jenis mikroorganisme lain. Suatu kelompok mikroorganisme yang
terdapat dalam suatu pangan dapat tumbuh subur, tetap dominan, atau mati sangatlah

15
bergantung pada beberapa faktor penyebab. Suatu mikroorganisme dikatakan dominan
apabila keadaan mikroorganisme tersebut tidak mati dan juga tidak dapat tumbuh karena
tidak melakukan metabolisme. Menurut Sopandi dan Wardah (2014:82) berbagai faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam pangan ditentukan oleh
karakteristik fisika-kimia pangan (faktor intrinsik), kondisi lingkungan penyimpanan
(faktor ekstrinsik), dan karakteristik, interaksi antarmikroorganisme (faktor implisit), dan
faktor pengolahan pangan.
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri fakultatif anaerobik, tetapi
tumbuh cepat pada kondisi aerobik. Bakteri ini dapat memfermentasi karbohidrat dan
dapat menyebabkan proteolisis oleh enzim ekstraseluler proteolitik. Kebanyakan strain
Staphylococcus aureus dapat memfermentasi manitol dan menghasilkan koagulase,
termonuklease, dan hemolisin, tetapi mempunyai sensitivitas yang beragam terhadap
bakteriofag. Sel bakteri mati pada suhu 6600C selama 12 menit dan pada suhu 7200 C
selama 15 detik. Bakteri ini merupakan bakteri mesofilik dengan kisaran suhu
pertumbuhan antara 7-480C, tumbuh lebih cepat pada suhu antara 20-370C, dapat tumbuh
pada aw rendah (0,86), pH rendah (4,8-7,6), dapat tumbuh pada konsentrasi garam (10%
atau lebih) dan gula tinggi (15%), serta adanya NO2 (Budiharta dan Yani, 1988:84;
Sopandi dan Wardah, 2014:391). Hal tersebut menyebabkan Staphylococcus aureus
dapat tumbuh pada berbagai jenis pangan.
Staphylococcus aureus mencairkan gelatin dan mereduksi nitrat menjadi nitrit dan
amonia. Bakteri ini apabila dibiakkan di dalam medium padat bakterinya berwarna putih,
kuning atau berwarna emas. Bakteri ini merupakan kompetitor lemah terhadap berbagai
jenis mikroorganisme yang terdapat pada pangan, tetapi dapat menjadi dominan dalam
pangan karena kemampuan bakteri ini untuk tumbuh dalam kondisi lingkungan yang
tidak sesuai untuk mikroorganisme lain (Sopandi dan Wardah, 2014:391).
Keterlibatan strain dari spesies Staphylococcus aureus yang berbeda dalam
intoksikasi ini belum diketahui. Manusia dianggap sebagai sumber yang paling penting
dari Staphylococcus aureus di dalam makanan.
Pertumbuhan optimum terjadi pada suhu sekitar 37-400C. Pada jumlah populasi
mencapai beberapa juta sel per gram atau milimeter, yang pada umumnya dicapai dalam
waktu 4 jam pada kondisi di bawah pertumbuhan optimum, toksin tidak terdeteksi. Toksin

16
dapat diproduksi pada suhu 100C, pH 5,0, atau aw 0,86, dan kombinasi dari 2 (dua)atau
lebih parameter tersebut dapat berpengaruh sebaliknya (Sopandi dan Wardah, 2014:392).
Hampir semua makanan yang basah yang mendukung pertumbuhan yang
mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus dapat menyebabkan kontaminasi
sampai keracunan pangan, meskipun makanan kering juga dapat terlibat dalam
penyebaran penyakit oleh bakteri tersebut (Budiharta dan Yani, 1988:85). Secara umum,
pertumbuhan bakteri ini dalam pangan menghasilkan toksin tanpa berpengaruh terhadap
penurunan kualitas pangan. Pangan yang mengandung kadar protein yang tinggi yang
tidak ditangani dan disimpan pada suhu penyimpanan yang tepat, berkaitan dengan
gastroenteritis stafilokokal.
Escherichia coli thermotoleran adalah strain Escherichia coli yang telah dapat
hidup pada suhu biakan 44,50C dan merupakan indikator pencemaran air dan makanan
oleh feses (Supardi dan Sukamto, 1999:184). Klasifikasi bakteri Escherichia coli yaitu
Kingdom/Domain: Bacteria (Cavalier-Smith, 2002), Subkingdom/subdomain:
Negibacteria (Cavalier-Smith, 2002), Phylum/Filum: Proteobacteria (Garrity et al.,
2005), Class/Kelas: Gammaproteobacteria (Garrity et al., 2005), Order/Ordo:
Enterobacteriales (Garrity and Holt, 2001), Family/Famili: Enterobacteriaceae (Rahn,
1937), Genus: Escherichia (Castellani and Chalmers, 1919), dan Spesies: Escherichia
coli (Migula, 1895). Escherichia coli termasuk bakteri gram negatif, tidak berkapsul,
umumnya mempunyai fimbria, motil, tidak membentuk spora, berbentuk batang bulat
pendek(kokobasil), fakultatif anaerobik. Sel Escherichia coli mempunyai ukuran panjang
2,0-6,0 μm, tersusun tunggal, berpasangan, dengan flagella peritikus.
Escherichia coli tumbuh pada suhu antara 10-400C, dengan suhu optimum 370C.
pH optimum untuk pertumbuhannya adalah pada 7,0-7,5, pH minimum pada 4,0 dan
maksimum pada pH 9,0. Nilai aw minimum untuk pertumbuhan Escherichia coli adalah
0,96. Bakteri ini relatif sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu
pasteurisasi makanan atau selama pemasakan makanan. Escherichia coli merupakan flora
normal di dalam saluran pencernaan hewan dan manusia yang mudah mencemari air,
sehingga kontaminasi bakteri ini pada makanan biasanya berasal dari kontaminasi air
yang digunakan. Kontaminasi pada alat-alat yang digunakan dalam industri pengolahan

17
pangan berasal dari air yang diguankan untuk mencuci yang menandakan praktek sanitasi
yang kurang baik (Supardi dan Sukamto, 1999:189).

18
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Terdapat perbedaan jumlah bakteri pada 3 (tiga ) bumbu giling
yaitu Cabe, jahe dan laos dari 3 ( pasar ) dengan 9 (sembilan ) toko
pasar tradisonal di kota serang.
2. Di dapat hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara bumbu
giling dengan E.coli , yaitu P (0.239 ), dan pada S .aureus juga
tidak ada hubungan yang signifikan pada bumbu giling yaitu P
(0.377 ). tetapi terdapat hubungan yang signifikan antara Pasar
dengan E.coli .
3. Sebagian ada nya pasar yang memenuhi standar maxsimum pd
E.coli meski tidak terlalu berat.
4. Didapat Pasar yang tidak layak dalam standar maksimum pada
bakteri bakteri S.aureus.
B. Saran
Saran yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini adalah :
1. Dilakukan kembali penelitian lebih lanjut pada kunyit, kemiri,
bawang merah.
2. Untuk meningkatkan keamanan pangan cabe gilng, jahe dan laos
giling disarankan kepada instasi terkait untuk dapat memanfaatkan
hasil penelitian ini melakukan pembinaan khususnya terhadap
pedagang bumbu giling dan penyebaran informasi keamanan
pangan kepada konsumen pada umumnya.
3. Disarankan kepada Pedagang jahe dan laos giling untuk dapat
menjaga kebersihan pada saat pengolahan dan konsumen dapat
memilih tempat penjualan yang higienis dalam pembelian jahe
4. Diharapkan agar pihak pemerintah dapat melakukan pengawasan
dan peninjauan lebih lanjut pada proses pengolahan jahe dan laos
giling hingga ke masyarakat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Agtini MD. 2009 .Buletin jendela data dan informasi situasi diare di Indonesia.
Triwulan I KEMENKES RI.

Entjang I, 2003. Mikrobiologi dan parasitologi, citra aditya bakti :Bandung

Rosaria, 2007, studi keamanan cabai giling , skripsi Fakultas Teknologi Pertanian
Institute Bogor. Bagor

Standar Nasional indonesia, 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam


pangan.

Wasetiawan , 2010. Eosin methylen blue agat pddf. 20 april 2010.

{Harlia, 2010 #7} Keamanan Dendeng Giling Yang Dijual Di Pasar Tradisional
Ditinjau Dari Cemaran Bakteri Patogen.

{Veerman, 2011 #9}PENGARUH METODE PENGERINGAN DAN


KONSENTRASI BUMBU SERTA LAMA PERENDAMAN DALAM
LARUTAN BUMBU TERHADAP KUALITAS FISIK DAN SENSORI
DENDENG BABI, Buletin Peternakan, Volume 7 hal 34-40.

Mujianto, Bagya, Purwanti, Angki Rismini, Siti, 2013, Identifikasi Pengawet


dan Pewarna Berbahaya Pada Bumbu Giling, Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kesehatan (JITek), V0l 1.

Kartina, Berta Ashar, Taufik Hasan, Wirsal,2013, Karakteristik Pedagang,


Sanitasi Pengolahan dan Analisa Kandungan Rhodamin B pada Bumbu

20
Cabai Giling di Pasar Tradisional Kecamatan Medan Baru Tahun 2012,
Lingkungan dan Keselamatan Kerja,Volume1 issue 1.

Yuni sepriani , 2013 padang,Uji bakteriologis kunyit giling ( curcuma domestica


Val ) dari bbeberapa pasar tradisional di kota padang, STKIP PGRI
sumatera barat.

Utami A, D. 2012 / Studi pengolahan dan lma penyimpanan sambel ulek berbahan
dasar cabe merah, cabe keriting dan cabe rawit yang difermentasikan ,
skripsi program studi Ilmu dsn teknologi pangan. Jurusan Teknologi
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hassanuddin. Makasar.

Fardiaz .s, 1993 . Analisis Mikrobiologi pangan , Jakarta . PT. Raja Grafindo
Persada.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan,


mutu dan Gizi Pangan.

21
Tabel Lampiran 1 . Data Badan Standarisasi Nasional batas cemaran E.coli pada
bahan pangan Bumbu giling (2009)

No pangkat Kategori pangan Jenis Cemaran mikroba Batas maksimum


12.2 Kondimen dan bumbu lainnya ALT (30 0C 72 Jam ) 1 x 10 4 bakteri/g
Koliform 1x10 2 bakteri/g
APM E.coli < 3 /g
Salmonella Sp Negative/25 g
Bacillus Cereus 1x10 2 bakteri/g
Clostridium Perfinger 1x10 2 bakteri/g
Kapang dan Khamir 2x 10 2 bakteri/g

Tabel Lampiran 1 . Data Badan Standarisasi Nasional batas cemaran S.aureus


pada bahan pangan Bumbu giling (2009)

No pangkat Kategori pangan Jenis Cemaran mikroba Batas maksimum


12.6 Saus dan produk ALT (30 0 C 72 Jam ) 1 x 10 4 bakteri/g
sejenis
Saus tomat ,saus cabe APM Koliform 100 gram
dan saus non emulsi
lainnya
Staphilococcus aureus 1 x 10 2 bakteri/g
Kapang 5 x 10 1 bakteri/g

22
Tabel lampiran 3. Output hasil one way anova jumlah bakteri pada bumbu giling.

23
24

Anda mungkin juga menyukai