SKRIPSI
Disusun Oleh :
AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI
NIM: 136114014
i
TEO
SKRIPSI
Oleh :
AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI
NIM: 136114014
ii
SKRIPSI
Oleh :
AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI
NIM: 136114014
Pembimbing I
Pembimbing II
iii
SKRIPSI
Oleh :
AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI
NIM: 136114014
Yogyakarta, .....................................
Fakultas Teologi
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN SKRIPSI
Yogyakarta, ...................................
Penulis,
v
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
vi
ABSTRAK
Dalam beberapa tahun terakhir ini, isu kerusakan lingkungan hidup menjadi
isu yang banyak dibahas. Pemanasan global dan bencana alam yang terjadi
semakin sering dan semakin hebat mendorong manusia untuk mencari tahu apa
sebab di balik semua fenomena tersebut. Solusi berupa tindakan praktis pun
dibuat guna mengurangi emisi karbon yang dianggap menjadi biang semua
kerusakan tersebut.
Namun, krisis ekologis ternyata memiliki dimensi yang lebih luas. Para
warga miskin, yang merasakan dampak yang paling besar dari kerusakan
meneruskan ekploitasi mereka terhadap alam. Masih ada juga para pemimpin
negara yang menolak membuat regulasi untuk menjaga kelestarian alam. Dunia
melalui ensiklik Laudato Si’. Melalui ensiklik ini, Paus melihat bahwa krisis
ekologis terjadi karena cara pandang kita yang salah terhadap alam. Dalam
baru untuk mendasari tindakan kita terhadap pelestarian alam. Paus Fransiskus
kemudian mengusulkan sebuah solusi berupa ekologi integral: suatu cara pandang
vii
ABSTRACT
Global warming and natural disasters which happened more frequently and
intensely encourage people to find out what causes these phenomena. Then the
practical actions to reduce carbon emissions are taken, which are considered to be
However, the ecological crisis has a wider dimension. The poor, who
Large companies continue their exploitation of nature. There are also country's
leaders who refuse to make regulations to preserve nature. The world needs more
than just practical solutions to overcome the ecological crisis since the political
encyclical, Laudato Si'. Through this encyclical, the Pope saw that the ecological
crisis occurs because there is a mistake on the way we look our nature. According
to Pope Francis, there is an urgency of a new spirituality that underlies our actions
in preserving the nature. Pope Francis then proposes a solution in the form of
viii
KATA PENGANTAR
Kerusakan alam ciptaan adalah hal nyata yang sedang terjadi di dunia
sekarang ini. Adanya pemanasan global, iklim yang tidak menentu, serta anomali-
anomali yang terjadi di alam merupakan dampak dari kerusakan alam yang tidak
dapat kita abaikan. Tidak hanya itu, dampak yang bersifat politis dan ekonomis
pun kita rasakan. Kaum miskin menjadi semakin miskin dan penyalahgunaan
krisis ekologis yang sedang terjadi pun meluas hingga ke dimensi ekonomi dan
politik.
Berhadapan dengan kerusakan yang semakin masif, kita, manusia, tidak bisa
dari keseluruhan masalah yang terkandung dalam krisis ekologis. Dalam kondisi
ensiklik ini, Paus memberi gambaran yang lebih luas mengenai akar krisis
menyeluruh dan integral, bukan semata-mata solusi teknis dan praktis dalam
menanggulangi krisis yang kita alami saat ini. Skripsi ini mencoba mensistemisasi
pemikiran Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ dalam kerangka akar-
solusi. Maka, diharapkan para pembaca dapat melihat alam ciptaan dan krisis
ekologis secara baru, melalui kacamata Paus Fransiskus dalam Laudato Si’.
ix
Atas terselesainya skripsi ini, penulis hendak menghaturkan puji syukur
kepada Allah Tritunggal Mahakudus —Bapa, Pencipta dan Bapa Semua Ciptaan;
Putra, Pendamai dan Penebus; serta Roh Kudus, Sang Pemelihara— yang telah
menginspirasi penulis untuk membuat skripsi ini serta senantiasa menyertai dalam
sebagai berikut:
1. Mgr Johannes Pujasumarta (alm), Rm. FX Sukendar, Pr, dan Mgr. Robertus
dalam menulis skripsi ini, yang senantiasa sabar menanti kiriman naskah
x
memberikan koreksi dan masukan yang sangat berguna bagi tersusunnya
skripsi ini.
5. Teman-teman tingkat IV, baik dari Seminari Tinggi (Fr. Christian, Fr. Dhita,
Fr. Willy, Fr. Andri, Fr. Dhany, Fr. Windu, dan Mas Aji) maupun dari
konvik lain, yang telah berkenan menjadi teman seperjalanan yang baik bagi
skripsi ini.
7. Bpk. Bernardus Budi Darmawan, Ibu Mathea Dalkiswati, dan Monica Latu
Melati sebagai orangtua dan adik penulis, yang dukungan doa dan
8. Keluarga besar Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta beserta jajaran staf,
karyawan, dan para frater, yang telah menjadi rumah dan anggota keluarga
9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu per satu, yang dengan
masing-masing
Penulis sadar, bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka, penulis
dengan rendah hati dan terbuka menerima masukan yang membangun penulis
dalam karya-karya selanjutnya. Harapan penulis, skripsi ini dapat berguna bagi
xi
mereka yang membacanya ataupun tidak, terutama bagi mereka yang terpanggil
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
xiii
BAB 2 AKAR KRISIS EKOLOGIS MENURUT PAUS FRANSISKUS DALAM
2.2 Hal-hal yang Sedang Terjadi pada Rumah Kita Bersama ........................... 14
3.1.3 Usaha Pendamaian antara Manusia, Alam Ciptaan, dan Allah ............ 40
3.2.2.4 Politik dan Ekonomi dalam Dialog untuk Pemenuhan Manusia ... 65
A. Dokumen ...................................................................................................... 92
B. Buku ............................................................................................................. 92
xvi
1
BAB 1
PENDAHULUAN
dalam film ini membuat kenyamanan dan kemapanan dunia terusik. Pemanasan
global akan makin tak terkendali dan daya rusaknya akan semakin hebat jika
orang tidak mengambil tindakan secepatnya. Para pemimpin dunia terhenyak akan
adanya satu masalah yang menuntut tanggapan secepatnya dan setepatnya dari
seluruh warga dunia, yaitu kerusakan bumi. Setelah film An Inconvenient Truth
dirilis, istilah global warming atau pemanasan global menjadi akrab bagi seluruh
warga dunia.
Selanjutnya, pada tahun 2016, film serupa dirilis. Film dokumenter berjudul
Before The Flood menjadi sebuah proyek dari seorang aktor yang juga terkenal
sebagai aktivis lingkungan hidup, Leonardo DiCaprio. Before The Flood berfokus
pada usaha pencarian DiCaprio akan penyebab dan solusi dari krisis ekologis
menunjukkan tingginya emisi karbon sebagai masalah utama krisis ekologis, yang
2
ditawarkan oleh DiCaprio, yaitu bahwa krisis lingkungan hidup secara eksplisit
kecil yang berkontribusi paling kecil pada perubahan iklim adalah yang akan
adalah dua hal penting yang disinggung dalam Before The Flood.
Inconvenient Truth dan Before The Flood hanyalah sebagian kecil dari
begitu banyak contoh usaha memahami krisis ekologis. Logika yang digunakan
biasanya serupa: mencari akar krisis dan berdasarkan analisis tersebut ditawarkan
berbagai macam solusi. Maka kita sekarang mengenal berbagai usaha yang
penanggulangan atas krisis ekologis, mulai dari kantong plastik berbayar sampai
gerakan Earth Hour. Berbagai organisasi pencinta lingkungan hidup juga mulai
tidak semua orang sadar bahwa krisis ekologis berdimensi global dan politis.
Dalam kondisi semacam itu, Paus Fransiskus, melalui ensikliknya, Laudato Si’2
yang diterbitkan di Roma pada 18 Juni 2015 menawarkan satu alternatif cara
pandang yang baru dalam menganalisis krisis ekologis. Menurut Paus Fransiskus
1
Informasi lebih lengkap mengenai Republik Palau dapat diakses melalui situs resminya,
http://palaugov.pw/.
2
Dokumen Laudato Si’ yang digunakan adalah dokumen yang diterjemahkan oleh Martin Harun,
OFM. Untuk selanjutnya Laudato Si’ akan disebut dengan menggunakan singkatan LS.
3
dalam ensiklik LS, krisis ekologis tidak disebabkan oleh tindakan perseorangan,
melainkan melibatkan sistem berskala global. Krisis ekologis tidak hanya dialami
penduduk di negara maupun kota tertentu, melainkan dialami oleh seluruh warga
dunia, karena sesungguhnya seluruh bumi adalah “rumah kita bersama” dan
“saudari yang berbagi hidup dengan kita” (LS 1). Paus menunjukkan bahwa krisis
ekologis juga berdimensi politis, karena kita harus mengakui kalau politik
internasional tunduk pada teknologi dan keuangan (LS 54). Oleh karena itu,
sejauh tidak menyentuh dua dimensi tersebut, gerakan ekologis tidak akan
gerakan ekologis yang integral (LS 137). Untuk itu, penulis mengangkat
pemikiran Paus Fransiskus yang termuat dalam ensikliknya, LS, yang diterbitkan
pada 18 Juni 2015 yang lalu. Paus Fransiskus, sebagai pemimpin tertinggi agama
asal kita bersama, pada rasa saling memiliki, dan pada masa depan yang harus
sikap, dan bentuk kehidupan yang baru (LS 202). LS disusun dengan mencoba
menjawab satu pertanyaan pokok: “Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan
kepada keturunan kita, kepada anak-anak yang sekarang sedang bertumbuh?” (LS
160). Jawaban tersebut diberikan oleh LS dengan paparannya dalam enam bab
isinya: Apa yang Terjadi dengan Rumah Kita (Bab 1), Kabar Baik Penciptaan
(Bab 2), Akar Manusiawi Krisis Ekologis (Bab 3), Ekologi yang Integral (Bab 4),
Beberapa Pedoman untuk Orientasi dan Aksi (Bab 5), dan Pendidikan dan
Spiritualitas Ekologis (Bab 6). Skripsi ini akan mencoba menerangkan pemikiran
4
Gereja dalam memahami penyebab dan solusi atas krisis ekologis yang terjadi di
mengenai akar masalah. Maka, pertanyaan pertama yang ingin penulis jawab
melalui skripsi ini adalah apa yang menjadi akar krisis ekologis menurut Paus
modern (LS 101-132). Akar krisis ekologis tidak lain adalah manusia sendiri, di
bumi yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kecepatan kemajuan yang
Kemudian, bermula dari akar krisis yang nantinya akan dipaparkan, penulis
akan mencoba menjawab pertanyaan kedua: Solusi apa yang ditawarkan oleh Paus
terdapat dalam seluruh bab 4, yang diberi judul “Ekologi yang Integral”.
lintas-ilmu dari semua warga bumi, terutama seluruh manusia di dunia. Krisis
ekologis tak bisa lagi disempitkan menjadi masalah pelestarian lingkungan hidup
dan segala macam ‘gerakan hijau’-nya, melainkan dilihat secara lebih menyeluruh
dalam kaitannya dengan krisis sosial, ekonomi, politik, dan budaya, seperti yang
5
visi yang memperhitungkan semua aspek dari krisis global... yang jelas
Paus Fransiskus yang terdapat dalam LS. Namun, karena ada beberapa istilah baru
yang digunakan Paus Fransiskus dalam LS, penulis akan menggunakan referensi
pembanding lain untuk mencoba menerangkan makna dari istilah baru tersebut.
Fransiskus yang termuat dalam LS sebagai salah satu solusi yang dapat diterapkan
Acuan utama penulis adalah Ensiklik Paus Fransiskus, yaitu Laudato Si’. Dari
pemikiran Paus Fransiskus yang termuat dalam LS dengan bantuan referensi lain
dengan artikel acuan tersebut, informasi-informasi tambahan, baik itu dari internet
Untuk memberikan alur serta garis besar gagasan yang akan disampaikan
dalam skripsi ini, berikut penulis cantumkan sistematika penulisan skripsi ini.
Bab I: PENDAHULUAN
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab pertama ini menjadi
Dalam bab yang kedua ini penulis akan memberi uraian dan analisa
mengenai akar dari krisis ekologis menurut pemikiran Paus Fransiskus. Uraian
saat ini dan sejauh mana situasi tersebut diindikasikan sebagai krisis ekologis.
Fransiskus mengenai akar krisis ekologis yang terdapat dalam LS Bab 3 (“Akar
Bab ketiga adalah bagian utama dari penulisan skripsi ini. Penulis pertama-
tama akan menjelaskan mengenai solusi krisis ekologis dari berbagai sudut
pandang, sebagai usaha menjelaskan ekologi integral yang ditawarkan oleh Paus
7
Pada Bab IV, penulis akan memberikan tanggapan kritis berkenaan dengan
akar, dan solusinya, dan sejauh mana ensiklik ini berbicara bagi masyarakat luas,
baik masyarakat kristiani maupun non-kristiani. Bab ini juga akan memuat
Bab V: PENUTUP
penerapan yang bisa dilakukan. Diharapkan, pada akhir skripsi ini, pembaca dapat
BAB 2
Persoalan ekologi bukanlah topik yang baru untuk dibahas, baik oleh Gereja
tokoh politik mengenai akar dan solusi dari krisis ekologis. Analisisnya
mereka, Lynn White, seorang ahli abad pertengahan atau medieval, pada tahun
1967 pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “The Historical Roots of Our
Ecological Crisis” yang dimuat dalam majalah Science. Dalam artikel tersebut,
9
White mencoba mencari tahu akar historis dari krisis ekologis dan menemukan
antroposentris yang pernah dimiliki dunia 3 . Pernyataan ini tentu tidak perlu
dan pada gilirannya akan menjadi korban kerusakan alam”4. Sementara itu, Paus
Paus Fransiskus dengan LS-nya hadir untuk memberi alternatif baru untuk
Bersama”. Dari subjudul itu, tampak dua unsur yang sekiranya dapat diberi
3
Terjemahan bebas dari kutipan “Christianity is the most anthropocentric religion the world has
seen”, L. White, Jr., “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, Science, Vol. 155 No. 3767
(1967):1205.
4
Terjemahan bebas dari kutipan surat apostolik Octogesima Adveniens artikel 21: “Man is
suddenly becoming aware that by an ill-considered exploitation of nature he risks destroying it
and becoming in his turn the victim of this degradation”, diunduh dari
http://w2.vatican.va/content/ paul-vi/en/apost_letters/documents/hf_p-vi_apl_19710514_
octogesima-adveniens.html, pada 2 Desember 2016 pukul 9.54 WIB.
5
Pernyataan ini disarikan dari kutipan dari ensiklik Centesimus Annus artikel 40: “It is the task of
the State to provide for the defence and preservation of common goods such as the natural and
human environments, which cannot be safeguarded simply by market forces”, diunduh dari
http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_01051991_
centesimus-annus.html, pada 2 Desember 2016 pukul 9.54 WIB.
10
pembelaan (orang sakit dsb.)”6. Namun, dalam Bahasa Perancis yang dijadikan
yang dalam Bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai “to safeguard” 8 yang
bukan “to safeguard” dan “sauvegarde”, karena terjemahan ini jauh lebih tepat
“perawatan” yang kita lakukan tidak perlu menunggu sampai “rumah kita
mengandung arti mengantisipasi bahaya yang mungkin terjadi pada “rumah kita
bersama”.
Mengenai unsur kedua, yaitu “rumah kita bersama”, Laudato Si’ versi
6
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976.
7
Pada Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama hal. vi, disebutkan bahwa
alasan Martin Harun menggunakan acuan Laudato Si’ dalam bahasa Perancis adalah karena“segi
bentuk bahasa umumnya sangat dekat dengan versi Italia, Spanyol, dan Jerman”. Di sisi lain, versi
Inggris “lebih menyapa pembaca (‘kita’), membongkar kalimat panjang, menggunakan ungkapan
alternatif yang tampak lebih lazim di dunia Anglo-Saxon, memperlunak nada kritis, dan sering
menggunakan idiom Inggris yang tak mudah diterjemahkan”.
8
R. Weiman, Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York, 1978.
9
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
10
Subjudul LS dalam versi bahasa Italia yang dapat dilihat dalam laman
http://w2.vatican.va/content/francesco/it/encyclicals/documents/papa-
francesco_20150524_enciclica-laudato-si.html juga menggunakan kata “Sulla Cura Della Casa
Commune”.
11
atau menggunakan terjemahan yang dipakai oleh Martin Harun, “rumah kita
“house”11, yang dapat diartikan sebagai “a building for a person or family to live
in” 12 . Kita juga mengenal sinonim “house”, yaitu “home” —yang sama-sama
diterjemahkan dengan kata “maison”— yang berarti “the private living quarters of
a person or family13”. Satu kata lagi, yaitu “common”, dapat diartikan sebagai
“belonging or relating to more than one”14. Kita dapat menggantikan kata “rumah
kita bersama” dengan kata “planet bumi”. Dengan demikian, maksud dari ensiklik
ini semakin jelas, yaitu membahas tentang perawatan terhadap bumi, rumah kita
Si’ adalah: “Mengapa “rumah kita bersama” perlu “dirawat”?” dan “Apa yang
sedang terjadi pada “rumah kita bersama” sekarang ini?”. Jawaban dari
pertanyaan ini terkait dengan pertanyaan inti yang ingin dijawab oleh Laudato Si’,
yaitu “Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada keturunan kita, kepada
anak-anak yang sekarang sedang bertumbuh?” (LS 160). Namun, sebelum masuk
dalam LS, kita akan melihat secara umum bagaimana pandangan Paus Fransiskus
11
R. Weiman, Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York, 1978.
12
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
13
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
14
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
12
khotbahnya. Ada lima tema besar yang diusung oleh Paus Fransiskus berkaitan
dan perjumpaan15.
a. Ekologi Integral
Ada dua poin penting dari ekologi integral menurut Paus Fransiskus, yaitu
bagaimana kita berelasi dengan alam dan bagaimana kita berelasi dengan sesama
kita. Ekologi yang integral berarti ada kesinambungan antara cara kita menghargai
merawat lingkungan dan sumber daya alam sebagai anugerah dari Tuhan. Hal ini
nampak, misalnya dalam kutipan audiensi umum yang diberikannya pada 5 Juni
2013: “Namun, untuk ‘merawat dan melestarikan’ tidak berhenti pada hubungan
kita dengan lingkungan atau hubungan manusia dengan ciptaan. Ini (merawat dan
dapat dilepaskan dari kepedulian dan kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Alam
adalah ciptaan Tuhan yang dianugerahkan bagi kita. Maka, jika kita gagal
15
Pembagian lima tema ini dan pembahasannya merupakan rangkuman dari artikel “Pope Francis
Themes on Ecology” yang diunggah oleh USCCB (United States Conference of Catholic Bishops)
dalam situs resminya, diunduh dari http://www.usccb.org/issues-and-action/human-life-and-
dignity/environment/upload/pope-francis-encyclical-themes.pdf, pada 5 Desember 2016 pukul
9.25 WIB. Sitiran selanjutnya akan langsung menggunakan rumusan “Pope Francis Themes on
Ecology”, USCCB.
16
“Pope Francis Themes on Ecology”, USCCB, 1.
13
kepada kita. Dan, pemanfaatan alam ciptaan haruslah demi kebaikan bersama
umat manusia. Seperti nampak dalam kutipan audiensi umum yang diberikannya
pada 21 Mei 2014: “Alam ciptaan bukanlah milik kita, yang bisa kita gunakan
seturut kehendak kita” namun penciptaan adalah “sebuah pemberian yang indah
semua”17.
c. Perubahan Iklim
Hal yang paling disoroti oleh Paus Fransiskus mengenai perubahan iklim
adalah dampaknya yang tidak proporsional. Mereka yang miskin dan lemah, yang
menyumbang paling sedikit untuk perubahan iklim, terkena dampak yang paling
besar darinya. Oleh karena itu, perubahan iklim merupakan “tanggungjawab etis
dan moral yang serius”18 (Pesan Paus Fransiskus pada Konvensi PBB mengenai
Perubahan Iklim).
d. Budaya Membuang
merupakan mentalitas umum yang merasuki semua orang. Hidup manusia tidak
lagi dilihat sebagai “nilai utama yang harus dijaga dan dihormati”, terlebih hidup
mereka yang miskin, lemah, dan tidak berguna. Menurut Paus Fransiskus, budaya
membuang paling nampak dari tidak munculnya rasa bersalah saat kita membuang
makanan, sementara di bagian dunia yang lain, ada manusia yang kelaparan dan
17
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 1.
18
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 2.
19
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 2.
14
politik” 20 . Cirinya tampak dalam “makanan yang dibagikan secara adil dan
yang masih harus diantisipasi, melainkan sedang terjadi. Secara khusus, dalam
bab pertama, yaitu “Hal-hal yang sedang Terjadi pada Rumah Kita Bersama”,
disebutkan tujuh gejala yang menunjukkan bahwa bumi yang kita tinggali
sekarang sungguh berada dalam situasi krisis. Berikut ini tujuh gejala yang
Polusi bukanlah kata yang asing bagi manusia di zaman ini. Banyak hal
dapat mengakibatkan polusi, seperti asap bahan bakar, transportasi, asap industri,
limbah produksi, dan sebagainya. Menurut Paus Fransiskus dalam LS 22, masalah
ini erat kaitannya dengan budaya ‘membuang’ (istilah dalam bahasa Inggris:
Fransiskus, yang juga muncul dalam dokumennya yang lain, misalnya dalam
20
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 3.
21
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 3.
15
22
seruan apostolik Evangelii Gaudium artikel 53 . Secara umum budaya
menjadi jelas dengan terjadinya kenaikan air laut karena pemanasan global dan
masyarakat, ekonomi, perdagangan, dan politik, serta akan dirasakan secara paling
nyata oleh penduduk negara-negara berkembang. Di sisi lain, mereka yang tinggal
di negara maju dan memiliki kekuatan ekonomi justru belum menganggap serius
perubahan iklim memang sudah banyak dilakukan, namun masih jauh dari massal.
Masalah air merupakan masalah serius bagi Paus Fransiskus, karena “akses
ke air minum yang aman merupakan hak asasi manusia yang dasariah dan
lainnya” (LS 30). Sayangnya, persediaan air yang dulu relatif stabil, kini di
banyak tempat dieksploitasi melebihi batas. Bahkan, ditengarai ada gerakan yang
22
Evangelii Gaudium merupakan anjuran apostolik yang ditulis oleh Paus Fransiskus dan
dikeluarkan pada tanggal 24 November 2013. Dokumen ini sekaligus merupakan dokumen
pertama yang ditulis oleh Paus Fransiskus, dengan mengandaikan bahwa dokumen sebelumnya,
Lumen Fidei masih dipengaruhi oleh pemikiran Paus Benediktus XVI. Evangelii Gaudium biasa
disingkat dengan singkatan EG.
23
Kalimat ini merupakan ringkasan dari rumusan dalam EG artikel 53.
16
soal kualitas. Dalam hal ini, kegiatan manusia menjadi akar krisis air. Kegiatan
seperti disentri dan kolera berkembang, dan berdampak secara signifikan terhadap
makhluk hidup “memiliki nilai dalam dirinya sendiri” (LS 33). Intervensi
bumi “kurang kaya dan indah”, karena seringkali dilakukan dalam konteks
tempat air bawah tanah, gunung es, lautan) dan melalui berbagai kegiatan (alih
langsung pada penurunan kualitas hidup. Kota-kota menjadi begitu padat dan
ruang terbuka serta ruang hijau menjadi semakin sempit dan terbatas. Hal ini
membuat miris karena menurut Paus Fransiskus “penduduk bumi ini tidak
dimaksudkan untuk hidup terhimpit oleh beton, aspal, kaca, dan logam” (LS 44).
dipicu oleh berkembangnya budaya baru, yakni budaya digital. Suatu perasaan
artifisial lahir, di mana perasaan ini “lebih berkaitan dengan perangkat dan
penampilan di layar daripada dengan manusia dan alam” (LS 47). Perasaan
kita bisa mengambil satu kesimpulan: krisis ekologis selalu berkaitan dengan
krisis sosial, dan yang paling terkena dampaknya adalah mereka yang paling
lemah di bumi. Oleh karenanya, Paus Fransiskus menegaskan bahwa ada dua
jeritan perlu didengarkan secara lebih saksama: “jeritan bumi” dan “jeritan kaum
yang tidak memiliki kontak langsung dengan permasalahan lingkungan hidup dan
dikorbankan.
Menurut Paus Fransiskus, kita, warga bumi, belum memiliki “budaya yang
diperlukan untuk menghadapi krisis” seperti yang dialami bumi selama dua ratus
tahun terakhir ini (LS 53). Maka dari itu, sekalipun banyak konferensi global
dilakukan, belum ada solusi yang betul-betul jitu guna menanggulangi krisis.
menjamin perlindungan ekosistem, dan berlaku secara global. Kita tentu tidak
atau melakukan kegiatan yang tanpa kita sadari menghancurkan diri kita sendiri.
Satu hal yang bisa dijadikan pegangan, kita tidak bisa berbuat seolah tidak terjadi
Berhadapan dengan krisis yang sedang terjadi, kita mesti mengakui bahwa
pandangan manusia akan krisis ekologis dan sosial yang terjadi pun tidak
seragam. Paus Fransiskus menunjukkan ada dua ekstrem yang berkembang saat
ini. Di satu sisi, ada pihak yang “kuat mempertahankan mitos kemajuan dan
19
sementara di sisi yang lain, ada yang memandang bahwa “manusia dengan segala
dan oleh karena itu kehadirannya di planet ini harus dikurangi dan segala bentuk
Kita mesti sadar bahwa jalan keluar yang bisa diambil tidak cuma satu.
Gereja pun “tidak memiliki alasan untuk memberikan pendapat definitif” (LS 61).
pengharapan mengatasi krisis. Kita patut sadar, bahwa di atas segalanya, kita
Berhadapan dengan tujuh gejala krisis ekologis (dan sosial) yang terjadi di
dunia, LS menawarkan beberapa hal yang dapat dikenali sebagai akar krisis.
Teknologi sejatinya bukan hal yang buruk. Bila dirunut dari awal
berdampak dan berdampak buruk saat bersanding dengan ilmu pengetahuan, yang
bercorak aristokratis (kaum kelas atas), spekulatif, dan memiliki maksud yang
24
L. White, Jr., “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, 1204.
20
menjadi satu kajian yang menyasar seluruh kelompok masyarakat, yang diikuti
dengan pemahaman yang tidak pernah menyeluruh (kaum kelas bawah akan sulit
memahami gaya berpikir kelas atas, begitu juga sebaliknya), dan jika dibiarkan
praktis. Iptek inilah yang menurut penulis dimaksudkan Paus Fransiskus sebagai
akar krisis ekologis dalam LS, yang juga dirujuk dalam LS 103 versi Perancis: la
techno-science.
Dalam LS, Paus Fransiskus menyebut dua unsur yang menyertai iptek, yaitu
manusia” dan “menghasilkan hal-hal yang indah dan membantu manusia yang
tenggelam dalam dunia materi untuk melompat ke dalam dunia kesenian” (LS
103). Iptek merupakan wadah yang terus ‘membesar’ bagi pemikiran manusia
menguji suatu hal. Tiga pertanyaan tersebut adalah: “Apakah sesuatu itu baik?”,
25
L. White, Jr., “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, 1204.
21
“Apakah sesuatu itu benar?”, dan “Apakah sesuatu itu berguna?” 26 . Teknologi
tentu adalah sesuatu yang berguna, karena teknologi diciptakan untuk membantu
manusia. Ilmu pengetahuan juga sesuatu yang benar, karena didasarkan pada
sisi kebaikan dari iptek masih bisa diperdebatkan. Jika dimensi fungsional dan
moralnya. Iptek membuat “alam kehilangan sisi konkritnya; menjadi tidak organis
termasuk manusia, dilihat hanya sebagai objek penelitian untuk memuaskan rasa
ingin tahu manusia yang tidak ada habisnya. Di sinilah tampak dampak buruk
mencari tahu mengenai segala macam hal, dan dengan demikian menguasai segala
kekuasaan.
kekuasaan yang begitu besar atas dirinya sendiri; dan tidak ada jaminan bahwa itu
akan selalu digunakan dengan baik, terutama bila kita memperhatikan bagaimana
itu saat ini sedang digunakan” (LS 104). Ada sesuatu yang salah, menurut Paus
Fransiskus, saat manusia yang “tidak sepenuhnya otonom” tidak memiliki “etika
26
Kisah mengenai tiga pertanyaan Sokrates ini dapat ditemukan dari banyak sumber. Salah
satunya adalah http://www.thinkinghumanity.com/2014/04/socrates-the-test-of-three.html, yang
dikunjungi penulis pada Rabu, 17 Mei 2017, pukul 22.01 WIB.
27
Terjemahan bebas dari kutipan “nature has lost all concreteness; having become inorganic and
technical, it has lost the quality of real experience”, R. Guardini, The End of The Modern World,
Sheed & Ward, London, 1957, 88.
22
yang kuat, budaya dan spiritualitas yang benar-benar menetapkan batas-batas dan
dan pemilik alam 29 . Pengetahuan manusia atas alam semesta membuat mereka
Ada dua kata yang bisa kita beri perhatian lebih di sini, yaitu “gambar dan rupa
Kita” dan “berkuasa”. Menurut The New Interpreter’s Bible Volume I, ungkapan
“gambar dan rupa” berfungsi untuk “mencerminkan sosok Tuhan pada dunia,
menjadi Tuhan sebagaimana semestinya Tuhan bagi ciptaan selain manusia, dan
merasa menjadi yang paling unggul dari ciptaan yang lain, yang membuat mereka
28
K. Bertens, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, 283.
29
K. Bertens, Etika, 283.
30
Ayat ini dikutip dari Alkitab Deuterokanonika yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia tahun 1974 dan diterbitkan oleh Lembaga Biblika Indonesia tahun 2001. Penyuntingan
berupa cetak miring dilakukan oleh penulis.
31
L. E. Keck, Dkk. (editor), The New Interpreter’s Bible Volume I, Abingdon Press, Nashville,
1994, 345.
23
dominion 32 ” yang dipakai dalam terjemahan Bahasa Inggris versi NRSV (The
New Revised Standard Version, diterjemahkan pada tahun 1989). Sulit untuk tidak
membaca ayat ini sebagai legitimasi atas eksploitasi manusia terhadap alam,
untuk semakin menunjukkan kuasanya terhadap alam. Hal ini dijelaskan Paus
karena mereka menciptakan kerangka kerja yang pada akhirnya membentuk gaya
pada masalah ekologis, teknologi akan selalu menjadi akar krisis ekologis dan
Teknokratis berasal dari kata Yunani, “techne” dan “kratia” yang berarti
32
L. E. Keck, Dkk. (editor), The New Interpreter’s Bible Volume I, 339.
33
L. E. Keck, Dkk. (editor), The New Interpreter’s Bible Volume I, 346..
34
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
24
yang dipaksakan bagi kehidupan individu dan cara kerja masyarakat” (LS 107).
efeknya dengan mengambil jarak” 35 . Bila paradigma ini diterapkan pada alam,
maka manusia hanya melihat alam sebagai objek untuk memenuhi kebutuhannya.
sumber daya alam yang ada bisa dimanfaatkan untuk menambah kekayaannya.
Misalnya, manusia tahu bahwa minyak kelapa sawit adalah komoditi yang
yaitu karena hutan tidak memberi mereka keuntungan sebesar yang diberikan
kebun kelapa sawit kepada mereka. ‘Jeritan alam’ tidak mereka dengar karena
Sesungguhnya, kita tak dapat memperlakukan alam sebagai barang, di mana kita
merawatnya saat kita membutuhkan, namun membuangnya saat kita sudah tidak
ciptaan lain, yang degradasinya pun sudah terjadi saat kita mengeksploitasinya.
35
Terjemahan bebas dari “Man can no longer experience the work he does; he can only calculate
its possibilities and control its effects from a distance”, R. Guardini, The End of The Modern
World, 88.
25
Inilah yang terjadi apabila paradigma teknokratis sudah memasuki tahap yang
Namun, manusia lupa bahwa tidak semuanya yang bisa dilakukan dengan
kemampuan ilmiah dan teknologis boleh dilakukan juga36. Manusia jatuh karena
tidak bisa membedakan “apa yang mampu dilakukan” dan “apa yang boleh
dilakukan”.
demikian,
“Lebih dari 90% dari ahli-ahli ilmu dan teknologi di seluruh dunia itu hidup
dan bekerja di negara-negara yang sudah maju; bahwa lebih dari 90%
kegiatan penelitian mereka itu terpusat pada hal-hal yang bersangkutan
dengan negara-negara yang kaya saja dan hasilnya dilindungi secara ketat
oleh proses-proses teknis dan hukum37”
Paradigma teknokratis, yang merupakan ciri khas para teknisi yang bekerja di
yang belum sepenuhnya dipersiapkan untuk cara pandang ini. Sejauh indikasi
36
K. Bertens, Etika, 288.
37
Supardan (editor), Ilmu, Teknologi, dan Etika, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991, 139.
26
kepentingan umum yang lebih luas dengan sendirinya diabaikan secara tidak adil.
Perhatian untuk segi etis perkembangan ilmu dan teknologi memang ada, namun
usaha pemikiran etis ketinggalan jauh dari usaha untuk memacu ilmu dan
gerakan ekologis mengatasi krisis ekologis, sesuatu yang justru disebabkan oleh
muncul dalam kaitan dengan kerusakan lingkungan” (LS 111). Pemanasan global
untuk bepergian. Menumpuknya sampah plastik yang tak terurai diatasi dengan
menemui jalan buntu sejauh kita tidak bisa membatasi diri pada pertanyaan
apa?39”.
manusia sebagai pusat atau tujuan alam semesta40. Paham ini merupakan ekses
38
K. Bertens, Etika, 289.
39
K. Bertens, Etika, 286.
40
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
27
dari biosentrisme, yakni paham yang menganggap bumi sebagai pusat alam
manusia tidak dapat menemukan tempatnya yang benar di alam semesta (LS 115).
Di sini, ciri khas antropologi Kristiani yang memandang manusia sebagai citra
Allah bermakna besar. Manusia tidak bisa begitu saja mengambil jarak dari alam
melainkan hidup di tengah dan bersama ciptaan lain. Namun, sebagai ciptaan
pandangan yang mengarah pada ekstrem yang lain dapat dipastikan membawa
dua macam relativisme, yaitu relativisme etis subjektif atau analitis dan
relativisme etis kultural. Relativisme etis subjektif atau analitis menilai baik-buruk
relativisme etis kultural berpandangan bahwa penilaian etis tidak sama karena
tidak ada kesamaan masyarakat dan budaya43. Kiranya dua jenis relativisme inilah
doktrinal yang dibuat oleh Paus Fransiskus, dengan relativisme praktis yang
tergantung dari masing-masing orang adalah tidak adanya kebenaran yang berlaku
umum dan objektif. Dengan kata lain, segala macam upaya politik dan kekuatan
hukum tidak akan berfungsi secara optimal karena setiap orang menganggap
kepentingannya selalu di atas kepentingan lain. Logika ‘pakai dan buang’ kembali
disebut oleh Paus Fransiskus di sini, sebagai akibat dari keinginan tak teratur
41
A. Mangunhardjana, Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997, 203.
42
A. Mangunhardjana, Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, 203.
43
A. Mangunhardjana, Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, 203-204.
29
123). Akar dari logika ini adalah standar ‘kebutuhan’ yang relatif, yang membuat
Mereka yang berpandangan bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta akan
juga berpikir bahwa kerja adalah campur tangan manusia untuk mengembangkan
dunia ciptaan dengan cermat (LS 124). Di sini Paus Fransiskus mengangkat
kembali refleksi mengenai kerja dari Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya,
Laborem Exercens, yang menyebut kerja sebagai “sebuah kunci, mungkin kunci
Persoalannya, kerja kadang dipahami secara tidak tepat. Situasi ini terjadi
saat kemampuan manusia untuk bermenung dan bersujud merosot (LS 127).
dapat digantikan dengan mesin dan produk teknologi lain. Meluasnya paradigma
44
merupakan terjemahan bebas dari kutipan ensiklik Laborem Exercens artikel 3: “a key, probably
the essential key, to the whole social question”, diunduh dari http://w2.vatican.va/content/john-
paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_14091981_laborem-exercens.html, pada 3
Desember 2016, pukul 9.45 WIB.
45
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, Penerbit Ledalero,
Maumere, 2009, 70. Bandingkan juga dengan teks Kej 2:15, di mana kerja adalah perutusan Allah
bagi manusia untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (dunia).
30
miskin dengan memberi uang harus selalu menjadi “solusi sementara”, sementara
ekonomi untuk menggantikan tenaga kerja manusia dengan tenaga kerja mesin
mencederai martabat kerja, dan menjadi akar krisis sosial, krisis budaya, dan
krisis ekologis.
terhadap ciptaan. Manusia melihat alam dan ciptaan sebagai objek penelitian yang
dan ekonomi”46.
Pada satu sisi, teknologi biologis yang baru membawa banyak kemajuan.
46
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 325.
47
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta, 2006, 67.
31
tersebut 48 . Dampaknya dapat kita lihat dan sudah terjadi, misalnya terjadinya
terutama yang menyangkut modifikasi genetik (LS 133). Namun, bila kita
melihatnya dalam konteks manusia yang harus melakukan campur tangan dalam
makhluk hidup atau lingkungan alam patut dicela, sedangkan campur tangan yang
pendekatan komprehensif (LS 135). Satu hal yang patut dijadikan pegangan,
bahwa teknologi yang dipisahkan dari etika tidak akan mudah untuk dapat
membatasi kekuasaannya sendiri. Hal itu terjadi jika kita lupa, bahwa nilai mutlak
2.4 Kesimpulan
Ekologis”. Hal ini kiranya menunjukkan bahwa akar dari krisis ekologis berpusat
pada manusia, baik itu hubungan manusia dengan alam maupun hubungan antara
101, bahwa kita perlu berfokus pada “paradigma teknokratis” dan “tempat
martabatnya yang unik dan karena diberkati dengan akal budi, manusia dipanggil
bertanggungjawab akan terjadinya krisis ekologis, namun kita tidak boleh lupa
meminimalisasi dampaknya, sehingga tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas
krisis ekologi.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa manusia adalah makhluk multidimensional
lepas dari berbagai macam aspek yang melekat pada diri manusia dan hubungan
yang dibangun manusia dengan entitas lain. Di sinilah tampak kebenaran dari
solusi ekologi integral sebagai alternatif solusi atas krisis ekologi yang ditawarkan
oleh Paus Fransiskus. Tidak ada solusi tunggal yang bisa ditawarkan, sejauh
BAB 3
KRISIS EKOLOGIS
Telah kita ketahui melalui pembahasan pada Bab 2, bahwa krisis ekologis
yang terjadi di dunia pada saat ini memiliki akar yang bercabang begitu banyak
dan luas, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Atas dasar
penemuan ini, Paus Fransiskus menawarkan solusi ekologi yang integral sebagai
solusi krisis ekologis. Penyelesaian tidak bisa lagi diharapkan hanya menyentuh
hanya menyelesaikan satu akar dari berbagai macam akar permasalahan ekologis.
“Ecology” (Ing) memiliki dua arti, yaitu “the branch of biology concerned
with the relation between organisms and their environment” dan “the set of
dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos (rumah, kediaman) dan logos (ilmu)53.
essentially part of some whole”, (2) “forming a single unit with something else”,
52
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
53
A. Bakker, Kosmologi & Ekologi, Kanisius, Yogyakarta, 1995, 34.
54
R. Weiman, Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York, 1978.
55
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
34
dan (3) “whole and complete”. Sementara itu, “entire” juga memiliki tiga arti56,
yaitu (1) “whole and complete, absolute and unqualified”, (2) “not broken or
damaged, intact”, dan (3) “with an unbroken outer edge”. Berdasarkan definisi di
atas, penulis berkesimpulan bahwa ekologi yang integral berarti suatu cara
akan menyangkut dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Hal
tiga hubungan penting telah rusak, yaitu “hubungan dengan Allah, dengan
menyangkut hubungan manusia dengan sesama dan alam ciptaan (aspek sosial-
vertikal menyangkut aspek ilahi dari ekologi dan dimensi horisontal menyangkut
Dimensi vertikal ekologi integral secara khusus diberi tempat oleh Paus
Fransiskus dalam LS Bab 2 yang berjudul “Kabar Baik Penciptaan” dan enam
Tritunggal dan Hubungan antara Makhluk”, “Ratu Seluruh Dunia Ciptaan”, dan
56
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
35
karena “tidak ada cabang ilmu dan tidak ada jenis kebijaksanaan yang dapat
Ada beberapa poin pokok yang bisa digunakan untuk membantu memahami
ujaran Paus dalam LS berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah dalam
hakikat alam ciptaan di hadapan Allah, dan usaha perdamaian antara manusia,
eksistensi manusia dan realitas sejarah” (LS 66). Secara khusus, ayat dari Kej
1:2657 harus diberi perhatian lebih karena menunjukkan martabat manusia yang
“diciptakan karena cinta, menurut gambar dan rupa Allah” (LS 65) dan “bukan
hanya sesuatu, tetapi seseorang sehingga mampu mengenal dan menguasai dirinya
dengan orang lain secara bebas” 58 . Secara kronologis, penciptaan manusia pun
57
“Berfirmanlah Allah” “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas
seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”, dikutip dari Alkitab
Deuterokanonika yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia tahun 1974 dan diterbitkan
oleh Lembaga Biblika Indonesia tahun 2001. Penyuntingan berupa cetak miring dilakukan oleh
penulis.
58
Terjemahan bebas dari kutipan Cathecism of The Catholic Church nomor 357: “Who is not just
something, but someone. He is capable of self-knowledge, of self-possession and of freely giving
himself and entering into communion with other persons”, diunduh dari
http://archeparchy.ca/wcm-docs/docs/catechism-of-the-catholic-church.pdf, pada 7 Februari 2017,
pukul 18.30 WIB.
36
merupakan gambar Allah dan rupa Allah karena manusia memiliki akal budi dan
kehendak bebas seperti Allah. Sementara itu, pendapat kedua beranggapan bahwa
manusia merupakan gambar dan rupa Allah karena ia ikut mengatur alam semesta.
Dari dua pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa di hadapan Allah manusia
memiliki tugas untuk ikut mencipta bersama Allah 61 . Kata “bersama” di sini
menjadi penting karena pada akhirnya tugas yang diemban manusia tidak pernah
dapat dipisahkan dari kehendak Allah. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia
harus mengelola dan memelihara dunia yang dipercayakan kepadanya 62. Di sini
hakikat manusia di hadapan Allah menjadi jelas, yaitu ciptaan yang paling mulia
kehendak Allah menjadi yang terutama. Konsep ini sekaligus menangkal konsep
adalah kata “ciptaan”, yang memiliki arti lebih luas karena ada hubungannya
59
H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa,
Dioma, Malang, 1996, 119.
60
H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, 119.
61
H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, 119,
sebagaimana dikutip dari Stephen Greenhalgh, “Creative Partnership in Genesis”, Scripture
Bulletin Vol. XXII No.1 (1992):9-14.
62
H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, 120.
37
dengan “proyek kasih Allah di mana setiap makhluk memiliki nilai dan arti” (LS
76). Ciptaan bukan hanya sistem yang dapat dipelajari, dipahami, dan dikelola,
namun, lebih daripada itu, adalah hadiah dari tangan terbuka Bapa kita semua,
sebagai kenyataan yang disinari kasih yang memanggil kita ke dalam suatu
persekutuan universal (LS 76). Hal ini didukung oleh ilmu kosmologi, yang
tersebut perlu mendapat perhatian lebih, karena menunjukkan sisi subjektif dari
alam semesta, bahwa mereka bukan hanya dilihat sebagai objek, melainkan juga
Ini berarti manusia tidak memiliki kuasa tunggal atas seluruh ciptaan, karena
apapun yang terjadi atas ciptaan pasti berpengaruh pula pada kehidupan manusia.
ciptaan sebagai manifestasi kasih Allah Tritunggal, yaitu sebagai ‘saudara’ yang
terhadap eksistensi dan nilai intrinsik alam ciptaan menjadi sebuah tuntutan yang
fundamental, karena baik manusia maupun seluruh anasir alam diciptakan oleh
Pencipta yang sama, ditebus oleh Kristus yang sama, dan akan kembali kepada
63
A. Bakker, Kosmologi & Ekologi, 54.
64
Y. D. Udu, “Implikasi Ekologis dari Kristologi Bonaventura terhadap Cara Pandang Orang
Kristen dalam Melihat Alam”, Diskursus Vol. 37 No. 2 (2005):54.
38
Bapa yang satu dan sama 65 . Ide mengenai persekutuan, kebersamaan, dan
kesatuan antara manusia dengan alam ciptaan inilah yang dapat menjadi salah satu
alam ciptaan, dan tenggang rasa dalam perlakuan manusia terhadapnya 66. Paus
Paus menulis: “Karena diciptakan oleh Bapa yang sama, kita (manusia) dan
semua makhluk alam semesta disatukan oleh ikatan tak kelihatan, dan membentuk
semacam keluarga universal, suatu persekutuan luhur yang memenuhi kita dengan
rasa hormat yang suci, lembut, dan rendah hati”. Persekutuan ini juga tidak hanya
dalam konteks hubungan erat yang mengikat aneka ragam bagian ekosistem 68 .
Keberadaan dan kelestarian hutan, gunung, dan ekosistem lain di dunia, sekalipun
penting dalam keseimbangan ekosistem seluruh planet bumi, tempat tinggal kita
bersama.
bagaimana ciptaan juga dihargai, bahkan dipelihara oleh Sang Pencipta. Melalui
sabda Yesus, kita mengimani bahwa Allah pun memelihara burung pipit (Mat
65
Y. D. Udu, “Implikasi Ekologis dari Kristologi Bonaventura terhadap Cara Pandang Orang
Kristen dalam Melihat Alam”, 54, sebagaimana dikutip dari Bonaventure, Breviloquium, III, c.11,
1-3, 124..
66
A. Woi, “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”, Menyapa Bumi Menyembah
Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2008, 22.
67
A. Woi, “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”, 22.
68
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 320.
39
10:29) dan bunga (Mat 6:28-30)69. Jaminan Allah bagi burung-burung di udara
maupun jaminan untuk kebutuhan manusia adalah sejajar 70 . Dari sini dapat
disimpulkan bahwa manusia dan ciptaan tidak hanya ada dalam persekutuan,
kesatuan, dan kebersamaan. Di hadapan Allah, manusia dan ciptaan memiliki nilai
jelas bahwa tidak ada hierarki dalam persekutuan antara manusia dengan ciptaan,
ciptaan. Ilmu etika memang melihat manusia memiliki nilai intrinsik paling tinggi
di antara semua makhluk ciptaan di dunia ini 71 , namun hal ini tidak berarti
Gagasan mengenai kesatuan antara manusia dengan ciptaan yang lain secara
tegas mengkritik pandangan teknokratisme, yang juga menjadi salah satu akar
teknis. Namun, pandangan ini juga tidak dapat dipahami sebagai biosentrisme
karena yang menjadi pusat bukanlah ciptaan, melainkan Sang Pencipta itu sendiri.
(LS 78). Inilah yang menjadi kunci hubungan antara alam ciptaan, manusia, dan
Allah.
69
C. Dane-Drummond, Teologi & Ekologi: Buku Pegangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta,
1999, 32.
70
C. Dane-Drummond, Teologi & Ekologi: Buku Pegangan, 32.
71
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2015, 36.
40
Fransiskan yang menjiwainya, pemahaman akan dosa diperluas. Dosa tidak hanya
dipahami dalam konteks perbuatan buruk yang kita lakukan terhadap sesama
manusia, melainkan diperluas dengan juga mencakup perbuatan buruk yang kita
Manusia, alam ciptaan, dan Allah bersinggungan dalam satu pribadi, yaitu
Yesus Kristus. Melalui Yesus, kita mengenal status baru, yaitu hubungan
kebapaan yang dimiliki Allah dengan semua makhluk (LS 96). Dengan demikian.
dengan Allah sebagai Bapa. Kiranya pandangan inilah yang juga melatarbelakangi
bersama dengan makhluk ciptaan lain sesuai dengan kehendak Allah, Sang Bapa.
Keistimewaan peran Yesus Kristus ini terangkum secara indah dalam perikop Kol
72
“15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang
diciptakan,16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang
ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik
pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.17 Ia ada terlebih
dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.18 Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat.
Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama
41
segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang
penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”) dan ayat 20 (“...dan
oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di
bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah
salib Kristus”). Dari perikop tersebut dapat disimpulkan bahwa perdamaian antara
bumi dan sorga tak mungkin dapat dicapai tanpa melalui penebusan Kristus Yesus
Dalam artikel yang ditulis oleh David Naugle, profesor filsafat dari Dallas
gambar Allah yang tak kelihatan, sulung dari segala ciptaan, pelaku penciptaan,
Allah 75 . Namun, pendamaian segala sesuatu dengan Diri Kristus tidak terjadi
tanpa syarat. Pendamaian yang dibawa oleh salib Kristus tersebut perlu
diwartakan dan diterima dalam iman (bdk. Kol 1:23, 2:6), terwujud dalam mereka
yang menjadi anggota Tubuh Mistik Kristus yaitu Gereja (bdk. Kol 1:24) yang
dalam segala sesuatu.19 Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia,20 dan oleh
Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang
ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus. 21 Juga kamu yang
dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata
dari perbuatanmu yang jahat,22 sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh
kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-
Nya.23 Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan
mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh
alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.” sebagaimana dikutip
dari Alkitab Deuterokanonika yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia tahun 1974
dan diterbitkan oleh Lembaga Biblika Indonesia tahun 2001.
73
D. G. Hornell, “Yesus dan Ibu Bumi: Injil dan Ekologi”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5
(2016):31-32.
74
D. Naugle, “The Cosmic Christ Of Colossians: A Study Of Colossians 1:15-23”, 3-8, diunduh
dari http://www3.dbu.edu/naugle/pdf/Colossians1.15-23.pdf, diunduh pada 25 Maret 2017 pukul
11.12 WIB.
75
D. Naugle, “The Cosmic Christ Of Colossians: A Study Of Colossians 1:15-23”, 10.
42
bertahan dalam iman (bdk. Kol 1:23) hingga mencapai kedewasaan dalam Kristus
dalam bahasa Indonesia sebagai pertobatan. Kata ini juga dipakai dalam bahasa
Inggris dan mengandung arti sama, yaitu (1) “a converting or being converted,
esp. to new beliefs or to new allegiance, e.g. from one Christian denomination to
another”, (2) “a change of role, purpose, etc.”, (3) “a voluntary change of stocks
and shares into others of a different kind” 77 . Kata ini dekat dengan kata
turn around”78 dan “a complete change of mind and heart away from sin and
sikap kita yang selama ini merusak alam menuju ke sikap merawat alam. Ini
sesuai dengan apa yang diharapkan Paus Fransiskus dalam LS 216, “Yang penting
bukanlah berbicara tentang ide-ide, tetapi terutama tentang motivasi yang lahir
76
Kata “pendamaian” dan “pertobatan” adalah dua kata yang memiliki kedekatan makna.
Sakramen tobat seringkali disebut sakramen rekonsiliasi. Sementara itu, dalam teks bahasa Inggris
dari ayat Kol 1:20, digunakan kata “reconciled” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
dengan “didamaikan”. Maka, untuk menerangkan makna “Pertobatan Ekologis” yang menjadi
istilah khusus Paus Fransiskus, penulis menghubungkannya dengan kata “pendamaian” sekalipun
dalam teks LS bahasa Inggris dan Perancis digunakan kata “conversion” (Ing) dan “conversion”
(Pra).
77
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. Sebenarnya masih ada lima arti lagi
yang dicantumkan dalam kamus ini, namun kelimanya merupakan kosakata khusus dalam bidang
ekonomi, logika, matematika, fisika, dan kimia.
78
http://internetbiblecollege.net/Lessons/Repentance.pdf, 1, diunduh pada 27 Februari 2017 pukul
18.30 WIB.
79
http://internetbiblecollege.net/Lessons/Repentance.pdf, 1, sebagaimana dikutip dari Jay Green,
“A Concise Lexicon to the Biblical Languages”, 83.
43
Ada dua hal yang terkandung dalam pertobatan ekologis, yaitu visi
teosentris mengenai ciptaan dan solidaritas dengan generasi yang akan datang80.
Seperti telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, visi teosentris adalah hal yang
patut diusahakan dalam membangun spiritualitas yang ekologis. Kita tak lagi
memperlakukan alam ciptaan. Visi teosentrik ini dijabarkan, salah satunya oleh
Eco Learning Camp Bandung yang didirikan oleh Rm. Stanislaus Ferry Sutrisna
Wijaya, Pr pada tahun 2014 dengan uraian mengenai tujuh kesadaran baru hidup
ekologis, yang terdiri dari sikap berkualitas, sederhana, hemat, peduli, berbagi,
datang merupakan sebuah konsekuensi dari makna etimologis ekologi itu sendiri,
yang merupakan bentukan dua kata Yunani, yakni oikos (rumah) dan logos (ilmu,
tidak mengakibatkan tersedianya ‘rumah’ yang layak, bukan hanya untuk generasi
kita sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Inilah pentingnya
Seperti telah kita lihat, pertobatan ekologis berpangkal dari pandangan yang
melihat alam ciptaan sebagai keluarga, atau setidaknya sebagai saudara. Apa yang
80
F. Gions, “Kesalehan Ekologis & Laudato Si’”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 1 (2016):8.
81
J. Dohut, “Eco Camp dan Pendidikan Nilai Berbasis Lingkungan Hidup”, Gita Sang Surya, Vol.
11 No. 5 (2016):13-14.
82
F. Gions, “Kesalehan Ekologis & Laudato Si’”, 8.
44
visi teosentris mengenai ciptaan dan solidaritas dengan generasi yang akan datang
mempunyai semangat yang sama dengan penghayatan kita akan pertobatan yang
kita lakukan atas kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama kita. Namun,
pertobatan ekologis hanya akan berada pada tataran manusiawi jika kita tidak
Ciri sakramental terletak pada dua unsur yang selalu hadir bersama dan
saling berhubungan dan mengandaikan, yaitu unsur ilahi dan manusiawi, di mana
unsur ilahi menjadi segi isi yang disimbolkan dan unsur manusiawi menjadi
menjadi simbol yang mengungkapkan unsur ilahi itu83. Maka dari itu, sakramen-
sakramen adalah cara istimewa bagaimana “alam diangkat oleh Allah dan
dijadikan perantaraan kehidupan adikodrati” (LS 235). Bila dalam sakramen “air,
minyak, api, dan warna-warni diangkat dengan segala daya simbolisnya” (LS
235), segala unsur dalam alam ciptaan dapat ditransendensi menjadi lebih agung
daripada apa yang ditampakkan, karena manusia dapat menemukan unsur ilahi di
balik segala unsur manusiawi. Ciri sakramental ini selalu memiliki dasarnya pada
sesuatu yang bersifat historis, dalam artian selalu terjadi dalam dimensi ruang dan
waktu. Ciri sakramental ini berbeda dari ciri mitologis, yang menunjuk pada
sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah 84 . Contoh konkretnya, sebuah
pohon memiliki ciri sakramental jika dilihat sebagai karya Allah, bukan dengan
83
E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral,
Kanisius, Yogyakarta, 2003, 56.
84
E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, 57.
45
melihat ada ‘makhluk penunggu’ yang menjaganya. Kedua ciri sama-sama dapat
membuat kita menghormati sebuah ciptaan, namun dalam arti yang berbeda.
dalam Ekaristi, yang merupakan sumber dan puncak seluruh kehidupan kristiani
(Lumen Gentium 85 11). Dalam Ekaristi, kehadiran pribadi Kristus dan karya
penebusan-Nya dalam kurban salib —di mana peran sentral dan unik-Nya telah
dalam kehadiran real Tubuh dan Darah-Nya dalam rupa roti dan anggur86. Dalam
Ekaristi, unsur ilahi dari alam ciptaan sangat nampak, misalnya dalam
anggur, “hasil dari usaha manusia”, tetapi pertama-tama “hasil dari bumi” dan
langit dan bumi” serta “merangkul dan meresapi seluruh ciptaan” (LS 236). Tak
hanya dalam kaitannya dengan kelestarian alam, Ekaristi yang dirayakan pada hari
Minggu, yang merupakan hari istirahat untuk memusatkan diri pada Ekaristi,
miskin”, karena istirahat “membuka mata kita untuk dunia yang lebih luas dan
memungkinkan kita untuk mengakui hak-hak dari yang lain” (LS 237).
dalam perayaan tersebut setiap orang beriman diajak untuk menyadari keberadaan
Allah, dalam dirinya sendiri dan alam ciptaan —termasuk perhatian kepada
85
Selanjutnya disebut LG.
86
E. Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta,
2005, 356.
87
A. Cahyono, “Ekaristi: Rekonsiliasi dengan Alam Ciptaan”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5
(2016):15-16.
46
mereka yang terabaikan— dalam satu kesatuan relasi harmonis, yang dengan
ciptaan88.
alam ciptaan dengan Allah. Ekologi integral juga mencakup hal-hal praktis
hal teknis dan praktis mengenai perawatan bumi sebagai “rumah kita bersama”
dibahas. Namun, patut dicatat bahwa pembedaan dimensi vertikal dan dimensi
horisontal ekologi integral tidak berarti bahwa keduanya terpisahkan. Untuk dapat
ciptaan dan dengan Sang Pencipta, yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya.
Seperti telah disebutkan pada awal bab, dimensi horisontal ekologi integral
manusiawi yang dimaksud adalah aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Dimensi horisontal ekologi integral ini secara khusus dibahas oleh Paus
88
A. Cahyono, “Ekaristi: Rekonsiliasi dengan Alam Ciptaan”, 16.
47
pedoman yang terdapat dalam LS, yaitu ekologi integral yang dilaksanakan
Dalam Bab 4 LS, Paus Fransiskus menawarkan lima komponen yang dapat
Ekologi lingkungan, ekonomi, dan sosial bukan sesuatu yang asing dalam
istilah pembangunan, karena sejak lama telah dikenal istilah yang erat maknanya
suatu studi tentang cara kerja masyarakat, ekonominya, perilakunya, dan cara
mereka memahami realitas (LS 139). Solusi yang dicapai kemudian diharapkan
martabat orang yang dikucilkan, dan pada saat yang sama melestarikan alam (LS
139).
teknologi dalam bidang komunikasi dan dan transportasi membuat kita memiliki
cara pandang yang baru terhadap dunia, yaitu sebagai sebuah desa global (global
village) di mana semua warga dunia ini seakan-akan menjadi tetangga dalam
48
hidup sosial masyarakat dunia, di mana seperti yang terjadi di desa, semua
warganya terhubung dan saling mempengaruhi. Warga dunia tidak lagi bisa
berpikiran bahwa apa yang terjadi di negara tempat tinggal mereka tidak akan
membawa pengaruh bagi negara di belahan dunia yang lain. Suka-duka setiap
warganya adalah suka-duka warga lain, baik di lain kota, lain negara, maupun lain
Indonesia dapat ikut menanggapi cuitan dari Presiden Amerika dan warga Eropa
dapat mengikuti dan memberi tanggapan atas kehidupan sehari-hari Presiden Joko
Widodo yang diunggah dalam akun media sosialnya. Perubahan secara sosial ini
kemudian diikuti dengan perubahan dalam banyak bidang lain, seperti politik,
ekonomi, dan budaya. Cara pandang ini sebenarnya merupakan sebuah peluang
bagi gerakan ekologis, karena kesadaran akan interkonektivitas yang ada dalam
setiap individu di dunia ini akan mendorong kita untuk berhati-hati dalam
gerakan sadar lingkungan. Namun, yang terjadi dalam era globalisasi di mana
suara setiap individu semestinya dapat didengarkan dan diperdengarkan ini justru
adalah pengabaian satu suara, yaitu suara Bumi, yang merupakan “rumah kita
permintaan komoditi seperti kayu dan minyak kelapa sawit yang sangat tinggi dari
masih memungkinkan untuk ditanami kayu dan kelapa sawit memperluas lahan
89
J. Moltmann, “A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological Perspective”,
The Ecumenical Review, Vol. 63 No. 1 (2011):16.
90
J. Moltmann, “A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological Perspective”,
17.
49
Moltmann, salah satunya dari bidang ekonomi. Ada tiga tahapan yang diamati
Perdagangan yang sebelumya hanya dikenal dalam lingkup dalam negeri mulai
dilihat lebih luas dengan berkembangnya kebijakan impor-ekspor. Pada tahap ini,
kebijakan politik cenderung tunduk pada kebijakan ekonomi. Pada tahap yang
kedua, hubungan ekonomi tidak hanya dilihat sebagai hubungan antara negara
yang satu dengan negara yang lain; tidak hanya sebagai hubungan negara importir
dengan negara eksportir. Ekonomi nasional berpadu menjadi satu ekonomi dunia.
Di sini ketidakseimbangan mulai terjadi, ketika warga dunia harus ikut membayar
harga dari kerugian ekologis yang dilakukan oleh perusahaan trasnnasional. Pada
tahap yang ketiga, akhirnya tumbuh kesadaran akan pentingnya “ekonomi bumi”,
kepentingan bumi harus ikut dijaga dan mereka yang ‘melukai’ bumi harus
membayar ganti rugi. Moltmann menawarkan agar manusia belajar dari siklus
dalam ekonomi akan meningkatkan angka produksi yang akan diikuti dengan
91
Kesimpulan pribadi penulis, bahwa dalam “A Common Earth Religion: World Religions from
an Ecological Perspective”, 17-18, Moltmann menulis perkembangan “From world politics to
earth politics” dan “From a world economy to an earth economy”.
92
Bagian ini disarikan dari J. Moltmann, “A Common Earth Religion: World Religions from an
Ecological Perspective”, 17.
50
memanipulasi kegiatan konsumsi. Salah satu hal yang bisa dilakukan di sini
keseimbangan ekologi dapat tetap terjaga. Inilah salah satu penerapan dari siklus
dalam berbagai bidang dan aspeknya turut dipertimbangkan (LS 140). Pergeseran
cara pandang “ekonomi dunia” menjadi “ekonomi bumi” oleh Paus Fransiskus
sejarah, seni, dan budaya. Maka, gerakan ekologi haruslah juga meliputi
pelestarian kekayaan budaya umat manusia dalam arti yang luas, termasuk
sejarah, budaya, dan arsitektur lokal (LS 143). Dalam zaman ini, ekologi budaya
penting kelestarian budaya oleh Paus Fransiskus termuat dalam LS 145 di mana
dalam artikel terebut tertulis bahwa hilangnya satu budaya dapat sama serius atau
dengan gerakan ekologis disebut secara eksplisit oleh Francis Wahono: “kearifan
51
bencana dan kendala serta keteledoran manusia”93. Kearifan lokal jauh lebih luas
pembanding yang kontras dengan sistem ekonomi dunia saat ini, yang justru
semakin memandang rendah alam sebatas faktor produksi. Contoh kearifan lokal
arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam
ekologis terjamin karena petani tidak akan menanam tanaman pertanian dengan
pohon-pohon besar yang ada di hampir seluruh budaya lokal di Indonesia. Pohon-
pohon besar, terutama beringin adalah penanda bahwa di sekitar pohon tersebut
terdapat sumber air yang baik. Kita tahu bahwa air adalah salah satu unsur utama
penggunaan kayu Gopasa sebagai tiang rumah dan jembatan masyarakat Bajo,
Gorontalo, yang diambil dari luar kawasan mangrove, yang merupakan komponen
93
Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan”, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Fakultas
MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009, B-207, diunduh dari
http://eprints.uny.ac.id/12149/1/Bio_Suhartini2%20UNY.pdf, pada 4 Maret 2017 pukul 11.30
WIB.
94
Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan”, B-211.
52
penting pelestarian biota laut95. Di sini anjuran Paus Fransiskus dalam merawat
lokal, kita juga merawat lingkungan yang ada di wilayah kearifan lokal tersebut.
melestarikannya dengan paling baik (LS 146), sesuatu yang tidak bisa dilakukan
yang luas dan abstrak, namun juga dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, di
tempat di mana kita hidup sehari-harinya, baik di kamar, rumah, tempat kerja,
bidang ekonomi dan politik yang bersifat konseptual dan kolektif, dalam ekologi
hidup sehari-hari Paus memberi tempat bagi spontanitas, kepekaan pribadi, dan
hati dari pelakunya, yang berusaha agar setiap tempat bukan menjadi neraka tetapi
berubah menjadi tempat kehidupan yang bermartabat (LS 148). Dengan cinta
peluang. Cara berpikir positif dan adaptif merupakan ciri lain dari ekologi hidup
sehari-hari, karena selalu berusaha memikirkan hal sederhana apa yang bisa
dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Tidak ada anjuran secara rinci mengenai
apa yang harus dilakukan, namun Paus Fransiskus memberi landasan motivasi
ekologi sehari-hari dengan menganggap bahwa seluruh dunia adalah “hadiah dari
Bapa dan rumah bersama” (LS 155). Ekologi hidup sehari-hari dapat dimulai
seluruh maknanya (LS 155). Dengan demikian, kita bisa merawat kamar, rumah,
dan bumi kita tanpa harus menikmati kekuasaan mutlak atasnya, seperti kita juga
kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah” (LS 156)96. Bentuk
kesejahteraan umum bisa macam-macam, mulai dari hal-hal yang sudah ada
(keindahan alam, gunung gemunung, air terjun, sinar matahari, dan sebagainya)
sampai dengan segala sesuatu yang masih harus dicapai atau diusahakan bersama
manusia apa adanya, kesejahteraan sosial, dan kedamaian sosial (LS 157).
96
Definisi ini dikutip oleh Paus Fransiskus dari Gaudium et Spes artikel 26.
97
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 219.
54
keamanan dalam suatu tatanan yang adil, serta terciptanya keamanan masyarakat
moral98. Maka, kesejahteraan umum memiliki kekhasan yaitu hanya bisa dicapai
yang terorganisasi100.
Kesejahteraan umum merupakan salah satu tema etika yang sudah ada sejak
zaman Yunani dan Romawi kuno. Para filsuf Yunani dan Romawi kuno seperti
Plato, Aristoteles, dan Cicero sudah membahas kesejahteraan umum sebagai salah
satu tujuan negara 101 . Namun, di masa sekarang kesejahteraan umum semakin
dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Mengutip Surat Pastoral tentang
98
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 222.
99
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 219.
100
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 220.
101
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 218.
55
menunjukkan bahwa efek paling parah dari semua perusakan lingkungan diderita
oleh kaum miskin”. Maka, tidaklah adil apabila ada banyak pihak yang
mendapat kompensasi yang wajar atas kerusakan yang terjadi pada alam yang
mereka tinggali. Mengenai keterikatan antara krisis ekologis dan kemiskinan ini,
“pendekatan ekologis sejati” yang “selalu berupa pendekatan sosial” (LS 49).
Dengan demikian, keadilan terjadi saat kita mampu mendengarkan “jeritan bumi
meluas, tidak hanya dalam dimensi ruang, melainkan juga dalam dimensi waktu.
Kesejahteraan umum tidak hanya dipahami pada masa sekarang, namun juga
yang merupakan salah satu komponen ekologi integral tidak lagi dapat
(utang) yang diterima setiap generasi dan harus diteruskan kepada generasi
berikut”102.
jawaban yang kita berikan atas pertanyaan mendasar: Dunia macam apa yang
ingin kita tinggalkan untuk mereka yang datang sesudah kita, anak-anak yang kini
sedang dibesarkan? (LS 160). Usaha menjawab pertanyaan ini adalah tugas
dramatis bagi diri kita sendiri, karena menyangkut makna perjalanan kita sendiri
di dunia ini. (LS 160). Maka, eksploitasi besar-besaran terhadap alam tidak hanya
yang selain membuat manusia tidak berpikir panjang mengenai nasib generasi
yang akan hadir kemudian, juga tidak memperhatikan orang-orang miskin di masa
Dialog adalah tujuan yang ingin dicapai oleh Paus Fransiskus dalam
penulisan LS. Beliau “mengundang dengan mendesak agar diadakan dialog baru
tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita” (LS 14). Paus juga
mengutip pernyataan para Uskup Afrika yang menyatakan bahwa “bakat dan
102
LS 159, sebagaimana dikutip dari Konferensi Uskup Portugal, Surat Pastoral Responsabilidade
Solidaria pelo Bem Comum (Tanggung Jawab Solider untuk Kesejahteraan Umum), 15 September
2003, 20.
57
disebabkan oleh manusia yang menyalahgunakan ciptaan Allah” 103. Yang ingin
disampaikan oleh Paus Fransiskus kiranya adalah bahwa gerakan ekologis tidak
seluruh warga dunia, anggota keluarga ciptaan, untuk merawat rumah mereka
integral akan mengikuti alur pikiran Paus Fransiskus dalam Bab 5 LS yang
internasional, dialog untuk kebijakan baru nasional dan lokal, dialog dan
untuk pemenuhan manusia, dan agama-agama dalam dialog dengan ilmu. Inilah
beberapa jalur utama dialog yang dicoba digariskan oleh Paus Fransiskus yang
dapat membantu kita untuk keluar dari spiral penghancuran diri yang
Dasar dari pentingnya dialog ini adalah kesadaran akan adanya “saling
ketergantungan” yang memaksa warga dunia untuk berpikir tentang “dunia yang
ekologis haruslah dalam skala global, dan mengandaikan dialog dalam skala
103
LS 14, sebagaimana dikutip dari Konferensi Waligereja Afrika Selatan, Pastoral Statement on
The Environmental Crisis (Pernyataan Pastoral tentang Krisis Lingkungan), 5 September 1999.
58
menanggapi krisis ekologis. Antara lain Paus menyebutkan KTT Bumi yang
diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro (LS 167), Konvensi Basel
dan Flora Liar yang Terancam Punah”, Konvensi Wina tentang “Perlindungan
karena melahirkan tiga badan internasional yang secara khusus menangani krisis
pada 21 Maret 1994, berkantor di Bonn, Jerman105), dan UNCCD (United Nations
Jerman 106 ). Ketiga badan internasional ini sampai sekarang masih aktif dan
104
Informasi didapat dari mengunjungi situs resminya di https://www.cbd.int/secretariat/ pada 1
Maret 2017 pukul 21.30 WIB.
105
Informasi didapat dari mengunjungi situs resminya di http://unfccc.int/2860.php pada 1 Maret
2017 pukul 21.30 WIB.
106
Informasi didapat dari mengunjungi situs resminya di http://www2.unccd.int/ pada 1 Maret
2017 pukul 21.30 WIB.
59
internasional tersebut tidak membawa dampak. Dunia seharusnya tidak lagi hanya
dengan perubahan iklim dalam rangka mengatasi dampak yang tidak bisa
berprioritas tinggi.
bilateral.
- Asuransi Iklim
107
I. Burton, Dkk., Adaptation to Climate Change: International Policy Options, PEW Center on
Global Climate Change, 2016, diunduh dari https://www.c2es.org/docUploads/PEW_
Adaptation.pdf, 1, pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.
108
I. Burton, Dkk., Adaptation to Climate Change: International Policy Options, 15.
60
pemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi secara efektif (LS
pengurangan emisi yang menjadi hasil KTT Perubahan Iklim Paris yang
dilaksanakan pada 2015 109 , misalnya harus dilaksanakan secara merata tanpa
serta memiliki wewenang yang ditetapkan secara adil melalui kesepakatan antara
Dialog tidak hanya dilakukan dalam lingkup yang besar, seperti antarnegara.
Dialog yang lebih efektif dan efisien harus dilakukan dalam lingkup yang lebih
kecil seperti lingkup nasional dan lokal. Memang, seperti telah disebutkan dalam
109
Rangkuman mengenai lima poin yang menjadi hasil KTT Perubahan Iklim dilihat dalam laman
https://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/inilah-5-poin-penting-hasil-konferensi-perubahan-
iklim pada 1 Maret 2017 pukul 21.38 WIB.
61
swasembada lokal, dan bahkan penjualan surplus energi. Inilah contoh di mana
memungkinkan untuk turun tangan (LS 179). Berkaitan dengan dialog dalam
skala nasional dan lokal, tidak ada resep-resep yang seragam, karena tiap negara
atau wilayah memiliki masalah dan keterbatasan tersendiri (LS 180). Apa yang
cocok diterapkan di satu wilayah tertentu tidak tentu cocok diterapkan dalam
wilayah yang lain. Pencegahan peluasan kebun kelapa sawit yang mengancam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 110 Pasal 33 ayat (3) yang
berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
rakyat”111. Lebih lanjut, dalam ayat (4) disebutkan bahwa “perekonomian nasional
Melalui dua ayat ini, kesadaran akan pentingnya peran negara dalam mencapai
kesejahteraan umum, yang merupakan prinsip yang memainkan peran sentral dan
ini juga melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang
dalam wujud monopoli, oligopoli maupun praktek kartel 113 . Kaitan antara
hubungan antara krisis ekologi dengan krisis ekonomi, yaitu bahwa rusaknya
umum.
menuntut suatu proses politik yang transparan dan berupa dialog, sementara
yang dicapai dengan menahan informasi dan mengelak dialog yang luas” (LS
112
Dikutip dari naskah UUD ’45 yang diunduh dari https://www.kpi.go.id/download/regulasi/
UUD%201945.pdf pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB.
113
A. Firmansyah, “Penafsiran Pasal 33 UUD 1945 dalam Membangun Perekonomian di
Indonesia”, Syiar Hukum, Vol. 13 No. 1 (2012):267, sebagaimana dikutip dari Arimbi HP dan
Emmy Hafild, “Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 1945”, Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia dan Fiend of the eart (FoE), Indonesia, 1999,1, diunduh dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=356422&val=5644&title=PENAFSIRAN%2
0PASAL%2033%20UUD%201945%20DALAM%20MEMBANGUN%20PEREKONOMIAN%2
0DI%20INDONESIA pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB.
63
182). Bagi Paus Fransiskus, dialog yang sehat mengandaikan keterbukaan dan
transparansi, dan dialog yang sehat inilah yang akan menentukan keberhasilan
Berhubungan dengan dialog nasional dan lokal yang telah dibahas sebelumnya,
mendapat tempat khusus di meja diskusi” (LS 183). Merekalah yang paling
“informasi yang memadai tentang berbagai aspek dan juga berbagai risiko dan
peluang” (LS 183) harus diberikan secara transparan kepada mereka. Kepentingan
ekonomis maupun politis pembuat kebijakan tidak boleh mendapat tempat yang
Dalam kaitannya dengan krisis ekologis, dalam bagian ini Paus juga banyak
transparan, dan independen dari segala tekanan politik atau ekonomi” (LS 183).
Lingkungan Hidup 114 . Paling tidak ada delapan jenis kegiatan yang menuntut
114
Selanjutnya disebut PP 27 Tahun 1999.
64
kereta api, dan pembukaan hutan; (2) kegiatan pertambangan dan eksploitasi
hutan; (3) pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan
kerusakan kawasan konservasi alam, atau pencemaran benda cagar budaya; (6)
introduksi suatu jenis tumbuh-tumbuhan baru atau jasad renik (mikro organisme)
yang dapat menimbulkan jenis penyakit baru terhadap tanaman, introduksi suatu
jenis hewan baru dapat mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada; (7)
penggunaan bahan hayati dan non hayati mencakup pula pengertian pengubahan;
dan (8) penerapan teknologi yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
ayat (1) yang berbunyi: “Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat
Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi: “Semua dokumen analisis mengenai dampak
hidup dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum”. Dari dua ayat
115
Dikutip dari naskah Penjelasan PP 27 No. 1999 Pasal 3 ayat (1) yang diunduh dari
http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_27_99.htm pada 3 Maret 2017 pukul 10.00 WIB. Kutipan-kutipan
selanjutnya yang berhubungan dengan PP 27 No. 1999 diambil dari sumber yang sama.
65
tadi, tampak bahwa dialog dan transparansi secara de jure sudah diatur dalam
AMDAL, sekalipun secara de facto masih ada yang tidak melaksanakannya sesuai
Bagi Paus Fransiskus, dialog antara ekonomi dan politik secara garis besar
berarti bahwa “politik tidak harus tunduk pada ekonomi dan ekonomi tidak harus
tunduk pada perintah atau paradigma efisiensi teknokrasi” (LS 189). Hal ini sesuai
dengan hakikat dari dialog yang mengandaikan adanya kesetaraan antara dua
pihak yang berdialog. Jika tidak, yang terjadi adalah politik dan ekonomi
Ada dua sistem ekonomi besar yang digunakan dalam banyak negara di
dunia, yaitu sistem ekonomi pasar bebas dan sistem ekonomi sentralistik116. Ciri
sistem ekonomi pasar bebas adalah masyarakat yang bersifat sangat konsumtif
dan tingkat produktivitas masyarakat yang tinggi 117 . Sementara itu, sistem
ekonomi sentralistik memiliki ciri semua alat produksi menjadi milik bersama, di
bawah kekuasaan pemerintah 118 . Dua sistem ekonomi ini berada pada dua
Bila anjuran Paus Fransiskus kita terapkan pada dua sistem ekonomi ini, dapat
disimpulkan bahwa Paus Fransiskus tidak menghendaki kedua sistem ekonomi ini
diterapkan secara absolut. Perlu dicari jalan tengah daripada kedua sistem
116
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 35-39.
117
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 37.
118
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39.
66
ekonomi ini sehingga ada tempat yang lebih berimbang bagi pemerintah
ekonomi dan politik dalam sistem ekonomi, misalnya, dapat kita temukan dalam
semua warga negara memperoleh berbagai jaminan sosial dari pemerintah 120 .
Sebaliknya, sesudah tahun 1989, banyak negara yang bercorak komunis mencoba
Contohnya adalah Republik Rakyat Tiongkok yang sejak beberapa tahun terakhir
bebas121. Indonesia sendiri menganut sistem ekonomi yang berupa perpaduan dari
dua sistem ekonomi besar di atas, di mana beberapa sektor ekonomi “yang
sementara sektor-sektor ekonomi yang lain dibiarkan secara bebas dikelola oleh
pengusaha-pengusaha swasta122.
kesejahteraan umum. Politik dan ekonomi yang tidak berpadu dengan baik tidak
119
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39.
120
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39.
121
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39-40.
122
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 40.
67
negara. Wacana ekologi tidak pernah bisa dikemas hanya dalam logika keuangan
atau teknokrasi (LS 194), karena mengkerdilkan makna ekologi itu sendiri sebagai
disiplin ilmu. Pembahasan dengan hanya menggunakan satu disiplin ilmu tentu
saja tidak memadai, karena hanya akan menjawab satu aspek dari sekian banyak
aspek yang terdapat dalam krisis ekologis. Namun, Paus Fransiskus ternyata juga
tentang kehidupan” (LS 199). Pada bagian ini, nampak keterkaitan antara dimensi
vertikal dan dimensi horisontal ekologi integral. Hubungan manusia dengan alam
dan sesamanya kembali tidak bisa dipisahkan dari hubungan manusia dengan
memadai.
Dialog antara agama dengan ilmu yang terjadi dengan baik, sesungguhnya
yang saling menghormati (LS 201). Dalam dialog inilah jati diri umat beriman
dan ancaman global. Paul F. Kniitter, seorang teolog, memandang ancaman global
hal ini, Knitter mengusulkan sebuah “iman kosmologis”, yang tumbuh dari
lintas agama dan batas-batas negara 124 . Dan, sejak krisis ekologis dilihat juga
sebagai krisis moral, maka agama harus diberi tempat khusus dalam gerakan
agama)”125, sesuatu yang tak didapat dari ilmu pengetahuan dan filsafat.
3.3 Kesimpulan
menyentuh semua segi kehidupan manusia, baik dari sisi ilahi maupun sisi
manusiawi. Dengan cara pandang demikian, kita diajak untuk menyadari betapa
seriusnya krisis ekologis yang kita alami saat ini dan betapa pentingnya bagi
123
P. F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, 85.
124
P. F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global, 85.
125
P. F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global,
106.
69
Hal pertama yang diharapkan dari ekologi integral menurut Paus Fransiskus
adalah perubahan cara pandang kita dalam melihat krisis ekologis; bahwa pada
berubahnya cara pandang ini, diharapkan juga muncul sebuah spiritualitas baru,
yang mendasari tindakan kita terhadap alam. Inilah yang menjadi inti ekologi
tindakan praktis yang harus kita usahakan, melainkan perubahan cara pandang
Solusi atas krisis ekologis pun meluas, baik dalam dimensi ruang maupun
waktu, sehingga kita tidak lagi dapat berpikir hanya mengenai kelompok kita di
masa sekarang. Keberhasilan ekologi integral sebagai solusi yang ditawarkan oleh
Paus Fransiskus atas krisis ekologis yang terjadi tidak dapat diharapkan akan
terjadi di masa sekarang. Justru, ekologi integral ini diharapkan menjadi sebuah
gaya hidup yang diwariskan kepada generasi-generasi yang akan datang, sehingga
anak-cucu kita tetap masih dapat tinggal di ‘rumah’ yang layak untuk mereka
BAB 4
REFLEKSI KRITIS
pada ekologi126. Di satu sisi, hal ini merupakan kemajuan, bahwa Gereja mulai
Gereja dan ajaran sosialnya dalam kaitannya dengan masalah ekologis. Namun,
apakah Gereja sungguh memiliki kapasitas yang cukup untuk memberi jawaban
Pada bab 4 ini, penulis akan memberi tanggapan kritis atas LS dengan
berdasar pada dua kriteria, yaitu LS sebagai dokumen gereja dan LS sebagai
karena sejatinya LS adalah sebuah ensiklik, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
seorang paus sebagai pemimpin Gereja Katolik Roma. Sementara itu, kriteria LS
“dialog baru” yang “melibatkan semua orang”, sehingga LS tidak dapat dipahami
126
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, Asian Horizons, Vol. 9 No. 4 (2015):616.
71
Ensiklik adalah surat uskup yang ditujukan kepada umat dalam lingkup
yang luas127. Sejak abad kedelapan belas, ensiklik secara khusus digunakan untuk
menyebut surat-surat yang ditulis Paus untuk seluruh Gereja atau sebagian warga
Gereja128. Ada paling tidak empat hal yang membedakan ensiklik dari dokumen
(1) “sebuah surat kepausan dan karena itu dibedakan dari surat pastoral yang
ditulis oleh seorang ordinaris untuk keuskupannya”, (2) “sebuah surat dan
oleh karenanya dibedakan dari dokumen kepausan lainnya, seperti brevia,
bula, reskrip, dan konstitusi”, (3) “pastoral dan karenanya berkaitan dengan
urusan doktrinal dan moral”, dan (4) “ditulis untuk Gereja universal dan
karena itu dibedakan dari surat pribadi paus, yang ditulis oleh paus sendiri,
dan surat-surat ensiklik yang ditujukan hanya untuk bagian tertentu dari
Gereja universal”129.
Ensiklik berasal dari kata encyclius (Latin) atau enkyklios (Yunani) yang berarti
“in a circle, singular”130. Selain digunakan dalam Gereja Katolik, kata ensiklik
127
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta, 1996, 69.
128
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 69.
129
Terjemahan bebas oleh penulis dari definisi yang diberikan oleh New Catholic Encyclopedia
Volume V, The Catholic University of America, Washington D. C., 1967, 332, yang berbunyi: (1)
“a papal letters and is therefore distinguished from pastoral letters written by an ordinary for his
diocese”, (2) “a letter and is distinguished from other papal documents, such as briefs, bulls,
rescripts, and constitutions”, (3) “pastoral and hence pertains ordinarily to doctrinal, moral, or
disciplinary matters”, dan (4) “written for the universal Church and is therefore distinguished
from papal autograph letters, those written in the pope’s hand, and encyclical epistles addresed
only to parts of the universal Church”.
130
Definisi ini dikutip dari http://www.etymonline.com/index.php?term=encyclical, diakses pada
21 Maret 2017 pukul 20.30 WIB.
131
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 69.
72
dapat salah 132 . Tingkatan otoritas ensiklik pun ada di bawah bulla, konstitusi
apostolik, dan motu proprio, sekalipun masih lebih tinggi daripada surat apostolik
seruan apostolik, surat dekrit, alokusio, reskrip kepausan, dan brevia 133 . LS
adalah ensiklik kedua Paus Fransiskus setelah Lumen Fidei 134 (terbit 29 Juni
November 2013)135.
Ensiklik ditulis oleh Paus, maka dari itu kebenaran ajarannya hanya dapat
diterima bila menyangkut iman dan moral. Umat Katolik maupun masyarakat
biasa berhak mengkritisi atau bahkan tidak menyetujui pemaparan ilmiah yang
yang unik karena secara khusus membahas mengenai lingkungan hidup, hal yang
sangat dekat kaitannya dengan kesejahteraan umum yang menjadi salah satu topik
moral, sosial, dan politik. Berhadapan dengan dua kemungkinan sikap tadi, LS
tidak bisa diabaikan begitu saja karena ensiklik merupakan ajaran resmi Gereja.
Namun, sebagai sebuah ajaran resmi, tetap ada ketidaksetaraan dalam otoritas
unsur-unsur dalam LS. Usaha Paus Fransiskus untuk menyadarkan umat Katolik
pokok kesejahteraan umum tentu adalah hal yang tidak bisa disangkal
132
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 69.
133
C. Song, “Types Of Papal Documents”, diunduh dari
http://library.athenaeum.edu/c.php?g=30820&p=193150 pada 21 Maret 2017 pukul 20.35 WIB.
134
Selanjutnya disebut LF.
135
Disunting dari http://www.papalencyclicals.net/, diakses pada 21 Maret 2017 pukul 20.47 WIB.
136
A. Mena, “Infallible? Informal? How Binding Is The New Encyclical On Catholics?”, diunduh
dari http://www.catholicnewsagency.com/news/infallible-informal-how-binding-is-the-new-
encyclical-on-catholics-24963/, pada 21 Maret 2017 pukul 21.04 WIB.
73
landasan Paus Fransiskus dalam melihat akar dan solusi krisis ekologis. Dalam
dua bagian ini Paus menampilkan diri sebagai Gembala dan Pengajar tertinggi
seluruh kaum beriman, terkhusus dalam bidang iman dan moral137. Di sisi lain,
berbagai macam kemungkinan akar masalah dan solusi praktis yang terdapat
dalam LS lebih merupakan sebuah seruan dari Paus Fransiskus 138 , yang tidak
mengajak kita untuk masuk ke dalam dialog moral yang serius mengenai
4.1.2 Perbandingan LS dengan dokumen Ajaran Sosial Gereja 140 yang Lain
ASG adalah ajaran Gereja mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota
menjadi titik tolak untuk memajukan sebuah humanisme yang terpadu dan
solider142. ASG terdiri dari berbagai dokumen yang memiliki tingkat kewibawaan
amanat-amanat para Paus, sampai berbagai dokumen yang disusun oleh berbagai
137
Bdk. Kitab Hukum Kanonik 749 § 1.
138
Bdk. LS 13-16.
139
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 613.
140
Selanjutnya disebut sebagai ASG.
141
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 20.
142
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 6.
143
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 7.
74
Ada berbagai tema yang menjadi perhatian ASG, antara lain hak asasi
secara nyata terutama dalam statusnya sebagai ensiklik pertama yang dikeluarkan
besar perubahan iklim bagi krisis ekologis dan ekologi integral sebagai alternatif
solusi dalam menanggapi krisis ekologis 146. LS juga membawa muatan teologi
dalam ASG ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu melihat kata “sosial” tidak hanya
(dan warganya) dengan ‘dunia’ alam ciptaan dan mengundang ‘dunia’ manusia
mengutip ajaran-ajaran dari Konferensi Para Uskup dari setiap benua, termasuk
144
Dikutip dari http://www.usccb.org/beliefs-and-teachings/what-we-believe/catholic-social-
teaching/seven-themes-of-catholic-social-teaching.cfm, diakses pada 22 Maret 2017, pukul 11.15
WIB.
145
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 616. Dalam artikel dan halaman yang
sama disebutkan beberapa usaha Paus-paus sebelum Fransiskus (dimulai dari Paus Yohanes
XXIII) untuk menyinggung persoalan lingkungan hidup dalam ensikliknya, seperti Paus Yohanes
XXIII yang melihat bahaya senjata nuklir yang dapat menghancurkan bumi dan Paus Paulus VI
yang menyinggung isu mengenai polusi, krisis energi, dan kemendesakan diterapkannya
pembangunan berkelanjutan.
146
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 616-617.
147
F. Wilfried, “Theological Significance Of Laudato Si”, Vidyajyoti, Vol. 79 No. 9 (2015):646-
647.
148
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 616.
75
perhatian yang lebih pada spiritualitas, tidak seperti ajaran lain yang
tentu adalah spiritualitas Fransiskan yang akan didalami pada bagian selanjutnya.
Paus menggunakan nama Santo Fransiskus dari Asisi. Dari nama yang digunakan,
terpampang dengan cukup jelas bahwa urusan kemiskinan dan ciptaan akan
menjadi prioritasnya 150 . Dalam homili pada misa inaugurasinya, beliau bahkan
mengatakan,
“Let us protect Christ in our lives, so that we can protect others, so that we
can protect creation! The vocation of being a “protector”, however, is not
just something involving us Christians alone; it also has a prior dimension
which is simply human, involving everyone. It means protecting all creation,
the beauty of the created world, as the Book of Genesis tells us and as Saint
Francis of Assisi showed us. It means respecting each of God’s creatures
and respecting the environment in which we live.”151
Dari teks homili ini, kita dapat menangkap seberapa besar spiritualitas Fransiskan
Santo Fransiskus dari Asisi hidup pada tahun 1182-1226. Pengikutnya, yang
dari spiritualitas kristiani pada umumnya, bahkan cenderung unik. Hal ini tidak
lain disebabkan karena spiritualitas ini diturunkan oleh seorang awam (Santo
Fransiskus sendiri) yang tidak mengalami pendidikan klerus secara khusus. Maka
149
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 617.
150
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 610.
151
Diunduh dari http://w2.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2013/documents/papa-
francesco_20130319_omelia-inizio-pontificato.html pada 22 Maret 2017 pukul 22.05 WIB.
76
dari itu, sekalipun hidup pada zaman skolastik152 spiritualitas ini lebih dekat pada
Ada lima tema yang menjadi ciri khas spiritualitas Fransiskan, yaitu Injil
sebagai referensi utama, pujian kepada Tuhan melebihi segala hal, kemiskinan
total, kasih persaudaraan kepada sesama anggota, dan kehadiran semua sebagai
saudara153. Tema-tema tersebut adalah tema-tema yang banyak dibahas dalam LS.
Misalnya, pada bab 2 Paus Fransiskus secara khusus membahas mengenai hikmat
cerita-cerita alkitab (LS 65-75) dan tatapan Yesus (LS 96-99) sehingga dia
doktrin melainkan pada Kitab Suci dan pengalaman empiris (LS Bab I). Tema
mendengarkan mereka yang lemah (LS 48, 52). Kidung Fransiskus Asisi yang
dalam LS adalah bahwa LS menjadi dokumen Gereja yang mudah dicerna dan
empiris dan Kitab Suci, serta ajaran-ajaran dari para Uskup di seluruh dunia, alih-
baru, yang diawali dengan pengalaman dan dilanjutkan dengan menempatkan data
152
Menurut Encyclopedia of Christian Theology Volume II, Routledge, 2005, 1448, zaman
skolastik adalah satu periode filsafat yang diwarnai dialektika dan berkembang di sekolah-sekolah
teologi pada abad 12.
153
Encyclopedia of Christian Theology Volume II, 1516.
77
empiris dalam dialog dengan sumber-sumber iman yang diwujudkan dalam aksi
Salah satu kritikan paling tajam yang ditujukan kepada LS adalah bahwa LS
cenderung bertendensi anti-modern155. Hal ini tampak secara jelas, misalnya pada
juga dipertanyakan, terutama dalam hal kapasitas Paus untuk memberi alternatif
cara pandang terhadap krisis ekologis. Memang, Paus Fransiskus sendiri adalah
seorang yang memiliki gelar master dalam kimia156, namun ternyata masyarakat
dunia masih belum dapat seluruhnya menerima intervensi Gereja yang terlalu
menjadi contoh paling aktual bahwa “Gereja yang mendengar” sebagai harapan
154
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 613.
155
M. A. Mills, “Is Pope Francis Anti-Modern?”, dikutip dari
http://www.thenewatlantis.com/publications/is-pope-francis-anti-modern, diakses pada 10 April
2017 pukul 21.12 WIB.
156
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 615.
157
S. Gregg, “Laudato Si’: Well Intentioned, Economically Flawed”, dikutip dari
https://spectator.org/63160_laudato-si-well-intentioned-economically-flawed/, diakses pada 23
Maret 2017, pukul 18.53 WIB.
158
R.R. Reno, “The Weakness Of Laudato Si’”, dikutip dari https://www.firstthings.com/web-
exclusives/2015/07/the-weakness-of-laudato-si, diakses pada 23 Maret 2017 pukul 18.45 WIB.
78
keterlibatan sosial yang didasarkan pada hukum kodrat sehingga relevan baik bagi
orang beriman maupun tidak beriman. LS, yang tidak banyak memberi prinsip-
Usaha mendamaikan iman dan ilmu pengetahuan adalah usaha yang perlu
diupayakan terus-menerus dan tidak akan pernah selesai secara definitif. Maka,
teolog dan ilmuwan adalah dua kelompok yang akan bereaksi paling keras dan
ilmu pengetahuan, termasuk LS. Gereja yang ‘kurang mendengar’ dan ilmu
terjadinya dialog. Dalam hal ini, LS menurut penulis kurang peka dalam
sekuler seperti ekonomi (mis. LS 26), politik (mis. LS 165), dan teknologi (mis.
LS 113). Di sisi lain, ilmu pengetahuan juga kurang terbuka untuk menerima
terutama dalam pedoman untuk aksi. Bahkan, beberapa istilah yang dianggap khas
Pertanyaan utama LS (“Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada
159
R.R. Reno, “The Weakness Of Laudato Si’”.
79
PBB September 2009160. Keyakinan bahwa “kurang adalah lebih” yang dikutip
Paus Fransiskus dalam LS 222 juga pernah dibahas secara khusus dalam satu bab
oleh Al Gore dalam bukunya, Our Choice161. Logika pakai-buang162 yang terdapat
dalam LS 123 juga sudah digunakan oleh Majalah Life yang terbit pada bulan
Agustus 1955 163 . Kata “integral” dalam konteks solusi juga sudah mulai
menanggapi krisis ekologis juga lebih banyak ditemukan, misalnya dalam Our
Choice karangan Al Gore atau Protokol Kyoto yang dibuat pada tahun 1997, yang
160
P. R. John, “Laudato Si: Challenges Faced Today for an Integral Ecology”, Vidyajyoti, Vol. 80,
No. 1 (2016):9. Yugaratna Srivastha adalah seorang anak kelas 9 dari Uttar Pradesh. Dia
mengatakan, “Dunia macam apa yang akan kalian (para pendahulu) tinggalkan bagi kami, anak-
anak?”
161
Al Gore, Our Choice: Rencana untuk Memecahkan Krisis Iklim, Kanisius, Yogyakarta, 2010,
258-289.
162
Dalam terjemahan Bahasa Inggris digunakan istilah “use and throw away logic”
163
B. Congsrove, “’Throwaway Living’: When Tossing Out Everything Was All The Rage”,
dikutip dari http://time.com/3879873/throwaway-living-when-tossing-it-all-was-all-the-rage/,
diakses pada 24 Maret 2017 pukul 9.30 WIB.
164
Paus Benediktus melengkapi judul lengkap ensiklik ini dengan pernyataan “On Integral Human
Development In Charity And Truth”. Teks diunduh dari http://w2.vatican.va/content/benedict-
xvi/en/encyclicals/documents/hf_ben-xvi_enc_20090629_caritas-in-veritate.pdf, 24 Maret 2017
pukul 9.43 WIB.
165
“We must therefore encourage and support the "ecological conversion" which in recent
decades has made humanity more sensitive to the catastrophe to which it has been heading”,
dikutip dari http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/audiences/2001/documents/hf_jp-
ii_aud_20010117.html, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 10.47 WIB.
80
Praktis tidak ada gagasan baru yang ditawarkan oleh LS dalam kaitannya
Terlepas dari munculnya tanggapan buruk tentang LS, tak diragukan lagi
ekologis di abad 21 168 . Justru, berbagai reaksi —baik pro maupun kontra—
menunjukkan bahwa banyak orang membaca LS dan bahwa efek dari LS telah
membawa dampak yang luar biasa, bahkan bagi orang non-kristiani169. Menurut
166
Ed King, “Kyoto Protocol: 10 Years of The World’s First Climate Change Treaty”, dikutip dari
http://www.climatechangenews.com/2015/02/16/kyoto-protocol-10-years-of-the-worlds-first-
climate-change-treaty/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 10.06 WIB.
167
Saat ini ada 191 negara dan 1 organisasi integrasi ekonomi regional yang tergabung dalam
Protokol Kyoto. Data diperoleh dari
http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php. Diakses pada 24 Maret
2017 pukul 10.09 WIB. Teks lengkap Protokol Kyoto dapat diunduh dari
https://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf.
168
A. R. Omar, “A Muslim Response To Pope Francis’ Environmental Encyclical: Laudato Si’”,
dikutip dari https://sites.nd.edu/contendingmodernities/2015/12/17/a-muslim-response-to-pope-
franciss-environmental-encyclical-laudato-si/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 18.10 WIB.
169
M. Meier, “Global Response To Laudato Si’”, dikutip dari http://jesc.eu/global-response-to-
laudato-si/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 18.13 WIB.
81
Rabbinic Letters On Climate Crisis yang ditandatangani 330 rabi pada Juni 2015
negatif, dari kalangan atheis 171 . Hal ini menunjukkan bahwa LS membawa
dampak bagi umat beriman lain dan juga umat yang tidak beragama.
Tak hanya dari golongan pemimpin agama, LS juga memicu reaksi dari
2015) untuk “berefleksi bersama atas ajakan Paus Fransiskus akan perawatan
terhadap rumah kita bersama” 172 . Hal ini kemudian diafirmasi oleh François
bahkan memberi ruang untuk diskusi tentang LS174. Tanggapan juga muncul dari
media di mana beberapa artikel dan reportase secara khusus membahas LS 175 .
Menurut penulis, tidak banyak dokumen Gereja yang menuai tanggapan seluas
LS. Entah tanggapan tersebut pro atau kontra, hanya menunjukkan bahwa dialog
170
A. R. Omar, “A Muslim Response To Pope Francis’ Environmental Encyclical: Laudato Si’”.
171
Salah satu reaksi yang muncul adalah tulisan V. Abbas dalam
http://canadianatheist.com/2015/07/a-short-critique-of-laudato-si/ yang berjudul “A Short Critique
On Laudato Si’” yang diunggah pada 24 Juli 2015, tidak lama setelah LS dikeluarkan Paus
Fransiskus. Artikel ini antara lain menyebut LS sebagai karya yang “tidak praktis, banyak
mengulang-ulang, dan terorganisasi dengan buruk”.
172
M. Meier, “Global Response To Laudato Si’”.
173
M. Meier, “Global Response To Laudato Si’”.
174
Beberapa tanggapan jurnal ilmiah atas LS termuat dalam artikel M. Meier, “Global Response
To Laudato Si’”
175
Beberapa daftar media yang memberikan tanggapan terhadap LS dapat dilihat dalam
http://libguides.loras.edu/c.php?g=337751&p=2864455.
82
yang diharapkan oleh Paus Fransiskus dalam LS 14 sudah mulai terjadi, sekalipun
kata sepakat dan aksi nyata yang diharapkan belum banyak terwujud.
4.3 Kesimpulan
yang baru dengan bertolak dari pengalaman konkrit dan Kitab Suci, bukan hanya
terutama pada sistem ekonomi, politik, dan teknologi juga mudah dipahami
BAB 5
PENUTUP
Pada harian KOMPAS yang terbit pada Hari Minggu, 2 April 2017, Trias
pun terasa semakin tipis. Kerap kali, sekarang ini, terdengar teriakan “rumahku,
Serikat, Donald Trump, yang mencabut regulasi iklim. Menurutnya, dia sedang
membawa Amerika Serikat pada sebuah era baru dalam produksi energi. Melalui
Amerika Serikat sebelum Trump) dalam hal produksi minyak. Alasan Trump
dapat menjadi bukti bahwa cara pandang terhadap bumi sebagai “rumah bersama
yang harus dibangun atas dasar kasih sayang” 178 yang dipromosikan oleh Paus
Fransiskus melalui LS belum secara utuh diterima oleh masyarakat luas. Ekologi
176
T. Kuncahyono, “Kalabahi”, Kompas, 2 April 2017, 4.
177
“Trump Cabut Regulasi Iklim”, Kompas, 30 Maret 2017, 10.
178
T. Kuncahyono, “Kalabahi”, 4.
84
dipratikkan. Oleh karena itu, butuh waktu yang lebih panjang dan perjuangan
yang lebih tekun untuk mewartakan gagasan mengenai ekologi integral dalam LS
Pada bab terakhir ini, penulis akan menutup karya tulis ini dalam tiga bagian
besar, yaitu kesimpulan, relevansi dan tindakan, serta refleksi pribadi. Pada bagian
kesimpulan, penulis akan mencoba memberikan kilas balik atas pembahasan yang
sudah dibuat dalam karya tulis ini, terutama mengenai akar krisis ekologis, solusi
yang ditawarkan Paus, serta beberapa tanggapan kritis yang harus diperhatikan
berkaitan dengan LS. Pada bagian relevansi dan tindakan, penulis akan mencoba
memaparkan beberapa manfaat yang dapat diambil dari LS, termasuk bagaimana
konkret. Penulis kemudian akan menutup karya tulis ini dengan menuliskan
refleksi pribadi, terutama berkaitan dengan proses penulisan karya tulis ini.
5.1 Kesimpulan
kerjasama dari seluruh warga dunia, semua disiplin ilmu, dan setiap kebenaran
iman untuk dapat mengatasinya. Berbagai macam regulasi dan tindakan praktis
tentu saja diperlukan, namun lebih daripada itu adalah suatu spiritualitas baru
yang dipengaruhi oleh perubahan cara pandang kita terhadap dunia dan mendasari
seluruh tindakan kita. Di sinilah ekologi integral yang ditawarkan oleh Paus
manusia gagal memiliki cara pandang yang tepat terhadap ciptaan, sehingga
diperlukan suatu perubahan cara pandang dan spiritualitas dalam bentuk ekologi
integral.
85
semestinya tetap memiliki sisi misteri yang membuat manusia sadar akan
manusia yang sangat besar untuk mengeksplorasi dan mengatur alam semesta
pada akhirnya berujung pada ekstrem yang kurang tepat, yaitu eksploitasi dan
alam, yaitu hanya sebagai objek pemuas kebutuhan. Cara pandang yang baru ini
kelestarian alam. Pada akhirnya, manusia mengklaim diri mereka sendiri sebagai
pusat alam semesta. Dengan cara pandang teknokratis dan antroposentristik ini,
segala pikiran dan perbuatan mereka pada kehendak Tuhan, Sang Pencipta dan
Penguasa Sejati.
tercapai dengan suatu pertobatan ekologis, perubahan cara pandang radikal dari
86
yang berpusat pada diri sendiri menuju persaudaraan sejati bersama seluruh
ciptaan dengan Tuhan sebagai Bapa. Inilah dimensi vertikal dari ekologi integral.
berbagai macam aspek dan menyentuh banyak disiplin ilmu, yang didasari oleh
kesadaran akan interkonektivitas semua unsur di alam, bukan hanya dalam tataran
logis, namun juga dalam tataran spiritual sebagai saudara sepenciptaan. Kesadaran
akan fakta bahwa semua unsur di alam saling mempengaruhi ini mensyaratkan
adanya dialog yang baik, baik itu antara manusia dengan sesamanya, antara satu
ilmu dengan ilmu yang lain, dan antara ilmu-ilmu dengan agama.
Sebagai sebuah dokumen Gereja yang kaya akan pencerahan, LS tetap tidak
dapat luput dari tanggapan kritis. Memang LS unggul sebagai dokumen Gereja,
terutama atas upayanya merangkul berbagai macam jawaban yang diberikan ilmu
pengetahuan dan agama berkaitan dengan krisis ekologis dalam bingkai kekayaan
Gereja yang lama terlupakan: spiritualitas Fransiskan. Namun, dengan rendah hati
kita tetap harus membaca dokumen lingkungan hidup yang lain sebagai pedoman
ekologis. Di sini, porsi iman dan rasio harus seimbang, sehingga semua solusi
Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’”, dan memang sumbangan terbesar
ciptaan sebagai saudara dengan Allah sebagai Bapa. Cara pandang terhadap krisis
ekologis pun diubah, dengan tidak hanya meihat krisis ekologis hanya sebagai
tindakan konkrit yang kita lakukan untuk merawat dan memelihara alam dimulai
disebabkan oleh banyak faktor dan membawa dampak pada berbagai macam
terdapat dalam LS, tidak cukup hanya menyangkut tindakan konkret. Sebelum
terdapat di alam harus membawa kita kepada pemahaman yang lebih luas
ekologis tidak dapat lagi hanya dilakukan dalam sudut pandang biologis, namun
yang dipelajari tersebut. Dengan demikian, suatu cara pandang dan pemahaman
88
yang lebih utuh akan krisis ekologis akan lebih menyeluruh karena dilaksanakan
suatu spiritualitas yang berangkat dari kesadaran kita akan interkonektivitas yang
ditemui di alam. Spiritualitas ini adalah jembatan antara pemahaman dan tindakan
Fransiskan untuk membingkai segala cara pandang dan upaya kita dalam menjaga
kepentingan yang boleh diberi ruang adalah kehendak Allah, yang hanya dapat
dipahami lewat penebusan Yesus dan penyertaan Roh Kudus. Ilmu-ilmu yang
dipelajari tidak cukup apabila tidak disertai dan didialogkan dengan iman.
Menarik, memang, bahwa kelestarian ekologis juga tergantung dari seberapa besar
tindakan ekologis paling mudah diterapkan jika dimulai dari keluarga. Setiap
kepala keluarga dan disepakati oleh seluruh anggota keluarga. Kesadaran untuk
merawat rumah dan keluarga kita masing-masing dalam kasih sayang akan
mendorong kita untuk melakukan hal yang sama pada rumah dan keluarga kita
5.3 Refleksi
Penulis mengawali penulisan karya tulis ini dengan ekspektasi tinggi, yaitu
menemukan solusi yang radikal dan spektakuler dalam menangani krisis ekologis.
Mungkin suatu paham baru, atau sekadar mengkompilasi berbagai macam solusi
dalam sebuah istilah baru yang akan mengubah dunia. Namun, dalam
pengerjaannya, penulis justru semakin dibawa pada kesadaran bahwa solusi yang
penulis cari justru ditemukan dalam hal yang paling sederhana dan paling pribadi:
besar bagi dunia, namun justru untuk kembali melihat ke dalam diri sendiri dan
relasi manusia dengan Tuhan. Tindakan-tindakan besar tidak akan bertahan lama
jika tidak dimulai dari kematangan rasio dan kedalaman batin. Paus Fransiskus
yang paling dekat dengan mereka, yaitu dengan Tuhan dan dengan keluarga
mereka. Kunci untuk ekologi integral adalah kasih: kasih yang mendasari
kasih yang “tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang”
(Mat 18:14).
Kehilangan salah seorang dari anggota keluarga selalu membawa duka yang
mendalam bagi anggota keluarga yang lain. Itulah yang sebenarnya terjadi saat
satu spesies punah atau satu ekosistem rusak. Lebih menyesakkan dari itu adalah
ketika salah satu anggota keluarga tega melukai anggota keluarga lain atau
merusak rumah yang menjadi tempat tinggal secara sengaja. Adakah manusia
sejahat itu sehingga membiarkan kerusakan lingkungan terus terjadi? Rumah dan
90
anggota keluarga macam apa yang akan dialami oleh generasi penerus kita apabila
sejak sekarang kita biasa untuk melukai dan merusak anggota keluarga dan rumah
salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya
untuk Aku” (Mat 25:40). Bumi, rumah dan saudara kita bersama, kini sedang
menderita dan ditelantarkan. Jeritannya tidak didengar oleh kita yang lebih
merawat bumi, kita memuliakan Allah, Bapa seluruh ciptaan. Implikasi dari
pandangan ini di zaman sekarang adalah bahwa menyembah Allah tidak dapat
dilakukan hanya di rumah ibadat. Dengan menyadari bahwa ada Allah ada di
dalam semua ciptaan, kita pun terbantu untuk melanjutkan ibadat yang kita
melestarikan alam, ciptaan-Nya dan saudara kita. Inilah motivasi paling luhur dari
gerakan ekologis, yaitu bahwa segala tindakan perawatan kita terhadap alam
adalah ibadah yang kita lakukan untuk menyembah dan memuliakan Allah. Maka,
di sisi lain, segala bentuk perusakan kita terhadap alam merupakan dosa besar
yang melukai hubungan kita dengan Allah. Dalam konteks ini, penebangan satu
batang pohon tidak lebih benar daripada pembunuhan seorang manusia. Dengan
demikian, seluruh gerakan ekologis yang gencar dilakukan di hari-hari ini perlu
dibingkai dalam kerangka pertobatan dan rekonsiliasi ekologis atas dosa yang
Hal ini memiliki makna yang sangat mendalam dan mengandung konsekuensi
91
yang tidak ringan. Segala macam usaha kita untuk melestarikan alam sebenarnya
tidak lain merupakan usaha kita untuk memuji, menghormati, serta mengabdi
dirinya sendiri. Keselamatan jiwa manusia juga tidak ditentukan dari seberapa
besar kekayaan yang diperoleh dari memanfaatkan alam. Kemajuan teknologi dan
pertumbuhan ekonomi tidak akan ada artinya apabila Allah tidak dimuliakan.
pengikut terbesar di dunia, namun juga sebagai seorang pribadi yang terluka oleh
karena lingkungan hidup yang ada dalam status krisis. Ajakan beliau jelas, yaitu
rumah kita bersama. “Apa yang dapat kaulakukan untuk saudaramu yang paling
hina dan menderita —bumi, orang miskin, dan lingkungan yang rusak— ini? Apa
yang dapat kaulakukan untuk-Nya?” adalah pertanyaan yang tersirat dari Paus
Fransiskus dalam LS. Semoga kita dapat segera mengusahakan apa yang perlu
dan penting untuk terjaminnya keberlangsungan rumah dan anggota keluarga kita,
sehingga bersama dengan Santo Fransiskus Asisi —santo pelindung ekologi yang
namanya dipilih oleh Paus Fransiskus— kita dapat memuji, “Laudato Si’, mi’
DAFTAR PUSTAKA
A. Dokumen
Fransiskus,
Obor, Jakarta
B. Buku
Bakker, A.,
Bertens, K.
Dane-Drummond, C.,
Jakarta.
93
Gore, Al,
Yogyakarta.
Guardini, R.,
1957 The End of The Modern World, Sheed & Ward, London.
Knitter, P. F.,
Kusmaryanto, C.B.,
Mangunhardjana, A.,
Martasudjita, E.,
Yogyakarta.
Supardan (editor),
Weiman, R.,
Poerwadarminta, WJS,
___,
___,
___,
___,
Abbas, V.,
http://canadianatheist.com/2015/07/a-short-critique-of-laudato-si/
Cahyono, A.,
Vol. 11 No. 5.
96
Congsrove, Ben,
___ “’Throwaway Living’: When Tossing Out Everything Was All The
Cornish, S.,
No. 4.
Dohut, J.,
Firmansyah, A,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=356422&val=
5644&title=PENAFSIRAN%20PASAL%2033%20UUD%201945
%20DALAM%20MEMBANGUN%20PEREKONOMIAN%20DI
Gions, F.,
97
2016 “Kesalehan Ekologis & Laudato Si’”, Gita Sang Surya, Vol. 11
No. 1.
Gregg, S.,
dari https://spectator.org/63160_laudato-si-well-intentioned-
WIB.
Hornell, D. G.,
2016 “Yesus dan Ibu Bumi: Injil dan Ekologi”, Gita Sang Surya, Vol. 11
No. 5.
John, P. R.,
King, Ed,
http://www.climatechangenews.com/2015/02/16/kyoto-protocol-
Kuncahyono, T.
Meier, M.,
Mena, A.,
http://www.catholicnewsagency.com/news/infallible-informal-
how-binding-is-the-new-encyclical-on-catholics-24963/, pada 21
Mills, M. A.,
http://www.thenewatlantis.com/publications/is-pope-francis-anti-
Moltmann, J.,
Naugle, D.,
Omar, A. R.,
https://sites.nd.edu/contendingmodernities/2015/12/17/a-muslim-
response-to-pope-franciss-environmental-encyclical-laudato-si/,
Pidyarto, H.
Reno, R.R.,
https://www.firstthings.com/web-exclusives/2015/07/the-
WIB
Song, C.,
100
http://library.athenaeum.edu/c.php?g=30820&p=193150 pada 21
Suhartini,
http://eprints.uny.ac.id/12149/1/Bio_Suhartini2%20UNY.pdf, pada
Udu, Y. D.,
No. 2.
Utina, R.,
diunduh dari
http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/4/7/Kecerdasan-Ekologis-
101
Dalam-Kearifan-Lokal-Masyarakat-Bajo-Desa-Torosiaje-Provinsi-
1967 “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, Science, Vol. 155
No. 3767.
Wilfried, F.,
9.
Woi, A.,
___,
D. Internet
http://w2.vatican.va/content/ paul-vi/en/apost_letters/documents/hf_p-
http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-
9.54 WIB.
http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-
9.45 WIB.
http://w2.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2013/documents/papa-
http://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/encyclicals/documents/hf_ben-
WIB.
http://w2.vatican.va/content/francesco/it/encyclicals/documents/papa-
francesco_20150524_enciclica-laudato-si.html.
http://www.usccb.org/issues-and-action/human-life-and-
http://www.usccb.org/beliefs-and-teachings/what-we-believe/catholic-social-
http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php, diakses
https://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf.
http://palaugov.pw/.
http://www.thinkinghumanity.com/2014/04/socrates-the-test-of-three.html
http://archeparchy.ca/wcm-docs/docs/catechism-of-the-catholic-church.pdf,
https://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/inilah-5-poin-penting-hasil-
10.00 WIB.
http://libguides.loras.edu/c.php?g=337751&p=2864455.