Anda di halaman 1dari 120

TEO

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS


FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’

SKRIPSI

Disusun Oleh :
AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI
NIM: 136114014

PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI


JURUSAN TEOLOGI – FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017

i
TEO

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS


FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Teologi
Program Studi Ilmu Teologi

Oleh :
AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI
NIM: 136114014

PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI


JURUSAN TEOLOGI – FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017

ii
SKRIPSI

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS


FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’

Oleh :
AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI
NIM: 136114014

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Dr. D. Bismoko Mahamboro Tanggal, .................................

Pembimbing II

Dr M. Mali, CSsR Tanggal, .................................

iii
SKRIPSI

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS


FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’

Oleh :
AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI
NIM: 136114014

Telah dipertahankan di depan panitia penguji


Pada tanggal ...........................................
Dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan panitia penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr. ............................

Sekretaris : Alb. Bagus Laksana, SJ, Ph.D. ............................

Anggota : Dr. D. Bismoko Mahamboro ............................

Yogyakarta, .....................................
Fakultas Teologi
Universitas Sanata Dharma

Dekan,

Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr.

iv
PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa


skripsi yang berjudul:

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS


FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’

Tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan


dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, ...................................
Penulis,

Agustinus Rosario Daru Nelahi


NIM: 136114014

v
Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta.


Ayah, Ibu, dan Adik yang senantiasa memberikan dukungan dan menjadi salah
satu semangat bagi penulis dalam menyusun skripsi ini.
Teman-teman angkatan tingkat IV 2016/2017 yang menjadi teman seperjuangan
di Fakultas Teologi
Keuskupan Agung Semarang yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk
belajar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.
Kelestarian alam ciptaan.

vi
ABSTRAK

Dalam beberapa tahun terakhir ini, isu kerusakan lingkungan hidup menjadi

isu yang banyak dibahas. Pemanasan global dan bencana alam yang terjadi

semakin sering dan semakin hebat mendorong manusia untuk mencari tahu apa

sebab di balik semua fenomena tersebut. Solusi berupa tindakan praktis pun

dibuat guna mengurangi emisi karbon yang dianggap menjadi biang semua

kerusakan tersebut.

Namun, krisis ekologis ternyata memiliki dimensi yang lebih luas. Para

warga miskin, yang merasakan dampak yang paling besar dari kerusakan

lingkungan hidup, masih terabaikan. Perusahaan-perusahaan besar masih

meneruskan ekploitasi mereka terhadap alam. Masih ada juga para pemimpin

negara yang menolak membuat regulasi untuk menjaga kelestarian alam. Dunia

membutuhkan lebih dari sekadar solusi praktis untuk menanggulangi krisis

ekologis selama kepentingan politik dan ekonomi masih kuat pengaruhnya.

Dalam situasi tersebut, Paus Fransiskus menawarkan sebuah solusi alternatif

melalui ensiklik Laudato Si’. Melalui ensiklik ini, Paus melihat bahwa krisis

ekologis terjadi karena cara pandang kita yang salah terhadap alam. Dalam

kacamata Paus Fransiskus, ada sebuah kemendesakan akan sebuah spiritualitas

baru untuk mendasari tindakan kita terhadap pelestarian alam. Paus Fransiskus

kemudian mengusulkan sebuah solusi berupa ekologi integral: suatu cara pandang

yang menyeluruh dan utuh terhadap alam.

vii
ABSTRACT

In recent years, environmental degradation issues become much discussed.

Global warming and natural disasters which happened more frequently and

intensely encourage people to find out what causes these phenomena. Then the

practical actions to reduce carbon emissions are taken, which are considered to be

the source of all the damage.

However, the ecological crisis has a wider dimension. The poor, who

experience the worst impact of environmental damage, have been neglected.

Large companies continue their exploitation of nature. There are also country's

leaders who refuse to make regulations to preserve nature. The world needs more

than just practical solutions to overcome the ecological crisis since the political

and economic interests still have influence on it strongly.

In such situations, Pope Francis offered an alternative solution through his

encyclical, Laudato Si'. Through this encyclical, the Pope saw that the ecological

crisis occurs because there is a mistake on the way we look our nature. According

to Pope Francis, there is an urgency of a new spirituality that underlies our actions

in preserving the nature. Pope Francis then proposes a solution in the form of

integral ecology: a holistic and whole perspective of nature.

viii
KATA PENGANTAR

Kerusakan alam ciptaan adalah hal nyata yang sedang terjadi di dunia

sekarang ini. Adanya pemanasan global, iklim yang tidak menentu, serta anomali-

anomali yang terjadi di alam merupakan dampak dari kerusakan alam yang tidak

dapat kita abaikan. Tidak hanya itu, dampak yang bersifat politis dan ekonomis

pun kita rasakan. Kaum miskin menjadi semakin miskin dan penyalahgunaan

kekuasaan secara sewenang-wenang terhadap alam menunjukkan bahwa dampak

krisis ekologis yang sedang terjadi pun meluas hingga ke dimensi ekonomi dan

politik.

Berhadapan dengan kerusakan yang semakin masif, kita, manusia, tidak bisa

lagi mengandalkan hanya solusi-solusi teknis, yang hanya menyelesaikan sedikit

dari keseluruhan masalah yang terkandung dalam krisis ekologis. Dalam kondisi

demikian, Paus Fransiskus hadir dengan ensikliknya, Laudato Si’. Melalui

ensiklik ini, Paus memberi gambaran yang lebih luas mengenai akar krisis

ekologis dan solusinya. Dengan menggunakan spiritualitas Fransiskan untuk

memandang krisis ekologis, Paus menawarkan suatu ekologi yang lebih

menyeluruh dan integral, bukan semata-mata solusi teknis dan praktis dalam

menanggulangi krisis yang kita alami saat ini. Skripsi ini mencoba mensistemisasi

pemikiran Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ dalam kerangka akar-

solusi. Maka, diharapkan para pembaca dapat melihat alam ciptaan dan krisis

ekologis secara baru, melalui kacamata Paus Fransiskus dalam Laudato Si’.

ix
Atas terselesainya skripsi ini, penulis hendak menghaturkan puji syukur

kepada Allah Tritunggal Mahakudus —Bapa, Pencipta dan Bapa Semua Ciptaan;

Putra, Pendamai dan Penebus; serta Roh Kudus, Sang Pemelihara— yang telah

menginspirasi penulis untuk membuat skripsi ini serta senantiasa menyertai dalam

pengerjaannya. Tak lupa penulis ingin berterimakasih kepada beberapa pihak

sebagai berikut:

1. Mgr Johannes Pujasumarta (alm), Rm. FX Sukendar, Pr, dan Mgr. Robertus

Rubiyatmoko sebagai pimpinan Keuskupan Agung Semarang selama

penulis menyusun skripsi ini, yang memberi kesempatan kepada penulis

untuk menjalani hidup panggilan sebagai calon imam Keuskupan Agung

Semarang, termasuk menjalani studi di Fakultas Teologi Wedabhakti-

Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.

2. Rm. J. Kristanto, Pr sebagai rektor Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta

yang senantiasa memberikan dukungan dalam bentuk peringatan, teguran,

doa, motivasi, fasilitas, dan segala perhatian kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

3. Rm. Matheus Purwatma, Pr sebagai wali tingkat dan pembimbing rohani

penulis, yang dengan karisma kebapakannya telah meneguhkan dan

memberi semangat kepada penulis untuk terus menulis, sekalipun sulit,

hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Rm. Dionius Bismoko Mahamboro, Pr sebagai pembimbing pertama penulis

dalam menulis skripsi ini, yang senantiasa sabar menanti kiriman naskah

skripsi dari penulis, sekalipun seringkali terlambat, dan sangat teliti

x
memberikan koreksi dan masukan yang sangat berguna bagi tersusunnya

skripsi ini.

5. Teman-teman tingkat IV, baik dari Seminari Tinggi (Fr. Christian, Fr. Dhita,

Fr. Willy, Fr. Andri, Fr. Dhany, Fr. Windu, dan Mas Aji) maupun dari

konvik lain, yang telah berkenan menjadi teman seperjalanan yang baik bagi

penulis, dengan segala suka-duka dan keluh kesahnya, dalam menyelesaikan

skripsi ini.

6. Bpk. RB Suwandi dan Bpk. Lismiyanto sebagai petugas Perpustakaan

Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta, yang sangat membantu penulis

dalam menemukan referensi yang berguna bagi penulisan skripsi ini.

7. Bpk. Bernardus Budi Darmawan, Ibu Mathea Dalkiswati, dan Monica Latu

Melati sebagai orangtua dan adik penulis, yang dukungan doa dan

finansialnya sangat penulis rasakan sehingga penulisan skripsi ini dapat

berjalan dengan sangat lancar.

8. Keluarga besar Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta beserta jajaran staf,

karyawan, dan para frater, yang telah menjadi rumah dan anggota keluarga

bagi penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu per satu, yang dengan

keunikannya masing-masing telah mendukung penulis melalui caranya

masing-masing

Penulis sadar, bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka, penulis

dengan rendah hati dan terbuka menerima masukan yang membangun penulis

dalam karya-karya selanjutnya. Harapan penulis, skripsi ini dapat berguna bagi

xi
mereka yang membacanya ataupun tidak, terutama bagi mereka yang terpanggil

untuk bekerjasama merawat dan melestarikan keutuhan alam ciptaan.

Yogyakarta, 28 Mei 2017

Agustinus Rosario Daru Nelahi

Penulis

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMIBING ................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv

PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN SKRIPSI .......................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vi

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

ABSTRACT ......................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 4

1.3 Batasan Masalah............................................................................................ 5

1.4 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 5

1.5 Metode Penulisan .......................................................................................... 5

1.6 Sistematika Penulisan ................................................................................... 6

xiii
BAB 2 AKAR KRISIS EKOLOGIS MENURUT PAUS FRANSISKUS DALAM

LAUDATO SI’ ......................................................................................................... 8

2.1 Pernyataan-pernyataan Paus mengenai Krisis Ekologi ................................. 9

2.2 Hal-hal yang Sedang Terjadi pada Rumah Kita Bersama ........................... 14

2.2.1 Polusi dan Perubahan Iklim ................................................................. 14

2.2.2 Masalah Air .......................................................................................... 15

2.2.3 Hilangnya Keanekaragaman Hayati ..................................................... 16

2.2.4 Penurunan Kualitas Hidup Manusia dan Kemerosotan Sosial ............. 17

2.2.5 Ketimpangan Global ............................................................................ 17

2.2.6 Tanggapan-tanggapan yang Lemah ..................................................... 18

2.2.7 Keragaman Pendapat ............................................................................ 18

2.3 Akar Manusiawi Krisis Ekologis ................................................................ 19

2.3.1 Teknologi: Kreativitas dan Kuasa ........................................................ 19

2.3.2 Globalisasi Paradigma Teknokratis...................................................... 23

2.3.3 Krisis dan Efek Antroposentrisme Modern.......................................... 26

2.3.3.1 Relativisme Praktis ........................................................................ 28

2.3.3.2 Kebutuhan untuk Melestarikan Pekerjaan ..................................... 29

2.3.3.3 Teknologi Biologis yang Baru ...................................................... 30

2.4 Kesimpulan ................................................................................................. 31

BAB 3 EKOLOGI INTEGRAL SEBAGAI SOLUSI KRISIS EKOLOGIS ........ 33

3.1 Dimensi Vertikal Ekologi Integral .............................................................. 34


xiv
3.1.1 Hakikat Manusia di Hadapan Allah: Gambar dan Rupa Allah ............ 35

3.1.2 Hakikat Alam Ciptaan di Hadapan Allah: Setara dengan Manusia

Sebagai Bagian dari Kesatuan Seluruh Ciptaan ............................................ 36

3.1.3 Usaha Pendamaian antara Manusia, Alam Ciptaan, dan Allah ............ 40

3.1.3.1 Pribadi Yesus Kristus sebagai Sentral ........................................... 40

3.1.3.2 Pertobatan Ekologis....................................................................... 42

3.1.3.3 Pribadi Yesus Kristus sebagai Sentral ........................................... 44

3.2 Dimensi Horisontal Ekologi Integral .......................................................... 46

3.2.1 Ekologi Integral menurut Paus Fransiskus ........................................... 47

3.2.1.1 Ekologi Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial ................................... 47

3.2.1.2 Ekologi Budaya ............................................................................. 50

3.2.1.3 Ekologi Hidup Sehari-hari ............................................................ 52

3.2.1.4 Prinsip Kesejahteraan Umum ........................................................ 53

3.2.1.5 Keadilan Antargenerasi ................................................................. 55

3.2.2 Dialog dalam Mewujudkan Ekologi Integral ....................................... 56

3.2.2.1 Dialog tentang Lingkungan dalam Politik Internasional ............... 57

3.2.2.2 Dialog untuk Kebijakan Baru Nasional dan Lokal ....................... 60

3.2.2.3 Dialog dan Transparansi dalam Pengambilan Keputusan ............. 62

3.2.2.4 Politik dan Ekonomi dalam Dialog untuk Pemenuhan Manusia ... 65

3.2.2.5 Agama-agama dalam Dialog dengan Ilmu .................................... 67

3.3 Kesimpulan ................................................................................................. 68


xv
BAB 4 REFLEKSI KRITIS .................................................................................. 70

4.1 LS sebagai Dokumen Gereja ....................................................................... 71

4.1.1 Kapasitas LS sebagai Ensiklik ............................................................. 71

4.1.2 Perbandingan LS dengan dokumen Ajaran Sosial Gereja yang Lain .. 73

4.1.3 Spiritualitas Fransiskan sebagai Inti LS ............................................... 75

4.2 LS sebagai Dokumen tentang Lingkungan Hidup ...................................... 77

4.2.1 Interdisiplinaritas dan Usaha Kontekstualisasi Ajaran (Sosial) Gereja 77

4.2.2 Perbandingan dengan Dokumen Lingkungan Hidup Lain ................... 78

4.2.3 Relevansi LS bagi Warga Dunia .......................................................... 80

4.3 Kesimpulan ................................................................................................. 82

BAB 5 PENUTUP ................................................................................................ 83

5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 84

5.2 Relevansi dan Tindakan .............................................................................. 87

5.3 Refleksi ....................................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 92

A. Dokumen ...................................................................................................... 92

B. Buku ............................................................................................................. 92

C. Artikel, Majalah, dan Koran ......................................................................... 95

D. Internet ....................................................................................................... 101

xvi
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada tahun 2006, sebuah film dokumenter, An Incovenient Truth dirilis.

Film ini menceritakan bagaimana peran perusahaan-perusahaan besar di Amerika

terhadap pencemaran lingkungan. Sesuai dengan judulnya, fakta yang dipaparkan

dalam film ini membuat kenyamanan dan kemapanan dunia terusik. Pemanasan

global akan makin tak terkendali dan daya rusaknya akan semakin hebat jika

orang tidak mengambil tindakan secepatnya. Para pemimpin dunia terhenyak akan

adanya satu masalah yang menuntut tanggapan secepatnya dan setepatnya dari

seluruh warga dunia, yaitu kerusakan bumi. Setelah film An Inconvenient Truth

dirilis, istilah global warming atau pemanasan global menjadi akrab bagi seluruh

warga dunia.

Selanjutnya, pada tahun 2016, film serupa dirilis. Film dokumenter berjudul

Before The Flood menjadi sebuah proyek dari seorang aktor yang juga terkenal

sebagai aktivis lingkungan hidup, Leonardo DiCaprio. Before The Flood berfokus

pada usaha pencarian DiCaprio akan penyebab dan solusi dari krisis ekologis

berbentuk global warming yang semakin parah di bumi. Hasil penelitiannya

menunjukkan tingginya emisi karbon sebagai masalah utama krisis ekologis, yang
2

diperparah dengan kebijakan-kebijakan ekonomis. Ini merupakan hal baru yang

ditawarkan oleh DiCaprio, yaitu bahwa krisis lingkungan hidup secara eksplisit

dikaitkan dengan kebijakan ekonomi. “Negara-negara yang terdiri dari kepulauan

kecil yang berkontribusi paling kecil pada perubahan iklim adalah yang akan

merasakan dampak terburuknya,” ujar H. E. Tommy E. Remengesau Jr, presiden

Republik Palau 1 , salah satu narasumber yang diwawancarai oleh DiCaprio.

Memperbaiki kebijakan ekonomi dan perhatian kepada mereka yang ‘kecil’

adalah dua hal penting yang disinggung dalam Before The Flood.

Inconvenient Truth dan Before The Flood hanyalah sebagian kecil dari

begitu banyak contoh usaha memahami krisis ekologis. Logika yang digunakan

biasanya serupa: mencari akar krisis dan berdasarkan analisis tersebut ditawarkan

berbagai macam solusi. Maka kita sekarang mengenal berbagai usaha yang

dilakukan, baik oleh perseorangan maupun lembaga, sebagai wujud

penanggulangan atas krisis ekologis, mulai dari kantong plastik berbayar sampai

gerakan Earth Hour. Berbagai organisasi pencinta lingkungan hidup juga mulai

bermunculan. Batas-batas negara dan agama seakan-akan luruh di hadapan

persoalan bersama yaitu keselamatan ekologis.

Sayang, tidak semua gerakan membuahkan hasil yang diharapkan, karena

tidak semua orang sadar bahwa krisis ekologis berdimensi global dan politis.

Dalam kondisi semacam itu, Paus Fransiskus, melalui ensikliknya, Laudato Si’2

yang diterbitkan di Roma pada 18 Juni 2015 menawarkan satu alternatif cara

pandang yang baru dalam menganalisis krisis ekologis. Menurut Paus Fransiskus

1
Informasi lebih lengkap mengenai Republik Palau dapat diakses melalui situs resminya,
http://palaugov.pw/.
2
Dokumen Laudato Si’ yang digunakan adalah dokumen yang diterjemahkan oleh Martin Harun,
OFM. Untuk selanjutnya Laudato Si’ akan disebut dengan menggunakan singkatan LS.
3

dalam ensiklik LS, krisis ekologis tidak disebabkan oleh tindakan perseorangan,

melainkan melibatkan sistem berskala global. Krisis ekologis tidak hanya dialami

penduduk di negara maupun kota tertentu, melainkan dialami oleh seluruh warga

dunia, karena sesungguhnya seluruh bumi adalah “rumah kita bersama” dan

“saudari yang berbagi hidup dengan kita” (LS 1). Paus menunjukkan bahwa krisis

ekologis juga berdimensi politis, karena kita harus mengakui kalau politik

internasional tunduk pada teknologi dan keuangan (LS 54). Oleh karena itu,

sejauh tidak menyentuh dua dimensi tersebut, gerakan ekologis tidak akan

mencapai tujuan yang diharapkan.

Berhadapan dengan krisis ekologis, dunia membutuhkan solusi berupa

gerakan ekologis yang integral (LS 137). Untuk itu, penulis mengangkat

pemikiran Paus Fransiskus yang termuat dalam ensikliknya, LS, yang diterbitkan

pada 18 Juni 2015 yang lalu. Paus Fransiskus, sebagai pemimpin tertinggi agama

Katolik, beranggapan bahwa yang dibutuhkan adalah kesadaran mendasar pada

asal kita bersama, pada rasa saling memiliki, dan pada masa depan yang harus

dibagi dengan semua makhluk, yang memungkinkan pengembangan keyakinan,

sikap, dan bentuk kehidupan yang baru (LS 202). LS disusun dengan mencoba

menjawab satu pertanyaan pokok: “Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan

kepada keturunan kita, kepada anak-anak yang sekarang sedang bertumbuh?” (LS

160). Jawaban tersebut diberikan oleh LS dengan paparannya dalam enam bab

isinya: Apa yang Terjadi dengan Rumah Kita (Bab 1), Kabar Baik Penciptaan

(Bab 2), Akar Manusiawi Krisis Ekologis (Bab 3), Ekologi yang Integral (Bab 4),

Beberapa Pedoman untuk Orientasi dan Aksi (Bab 5), dan Pendidikan dan

Spiritualitas Ekologis (Bab 6). Skripsi ini akan mencoba menerangkan pemikiran
4

Paus Fransiskus yang terdapat dalam ensiklik LS sebagai bentuk partisipasi

Gereja dalam memahami penyebab dan solusi atas krisis ekologis yang terjadi di

dunia dewasa ini.

1.2 Rumusan Masalah

Pembicaraan mengenai solusi tidak akan lengkap tanpa pembicaraan

mengenai akar masalah. Maka, pertanyaan pertama yang ingin penulis jawab

melalui skripsi ini adalah apa yang menjadi akar krisis ekologis menurut Paus

Fransiskus? Melalui LS Paus Fransiskus mengatakan bahwa akar krisis ekologis

meliputi teknologi, globalisasi paradigma teknokrasi, dan antroposentrisme

modern (LS 101-132). Akar krisis ekologis tidak lain adalah manusia sendiri, di

mana “kecepatan yang sekarang dipaksakan kepadanya (bumi) oleh aktivitas

manusia, berkontras dengan kelambanan alamiah evolusi biologis” (LS 18).

Kehadiran manusia di dunia dengan segala kemajuannya mengancam keselamatan

bumi yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kecepatan kemajuan yang

dibawa oleh kegiatan manusia.

Kemudian, bermula dari akar krisis yang nantinya akan dipaparkan, penulis

akan mencoba menjawab pertanyaan kedua: Solusi apa yang ditawarkan oleh Paus

Fransiskus berkenaan dengan krisis lingkungan? Jawaban atas pertanyaan ini

terdapat dalam seluruh bab 4, yang diberi judul “Ekologi yang Integral”.

Persoalan krisis ekologis menuntut adanya gerakan bersama, menyeluruh, dan

lintas-ilmu dari semua warga bumi, terutama seluruh manusia di dunia. Krisis

ekologis tak bisa lagi disempitkan menjadi masalah pelestarian lingkungan hidup

dan segala macam ‘gerakan hijau’-nya, melainkan dilihat secara lebih menyeluruh

dalam kaitannya dengan krisis sosial, ekonomi, politik, dan budaya, seperti yang
5

tertulis dalam LS 137, bahwa “masalah-masalah masa kini membutuhkan suatu

visi yang memperhitungkan semua aspek dari krisis global... yang jelas

mempunyai dimensi manusiawi dan sosial”.

1.3 Batasan Masalah

Dalam skripsi ini, penulis akan membatasi permasalahan pada pemikiran

Paus Fransiskus yang terdapat dalam LS. Namun, karena ada beberapa istilah baru

yang digunakan Paus Fransiskus dalam LS, penulis akan menggunakan referensi

pembanding lain untuk mencoba menerangkan makna dari istilah baru tersebut.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami gagasan Paus

Fransiskus yang termuat dalam LS sebagai salah satu solusi yang dapat diterapkan

dalam menanggapi krisis ekologis yang terjadi di dunia sekarang ini.

Penulisan skripsi ini juga merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban

penulis dalam menjalani perkuliahan di Fakulktas Teologi Universitas Sanata

Dharma-Fakultas Teologi Wedabhakti selama delapan semester, dan sebagai

syarat untuk gelar Strata satu.

1.5 Metode Penulisan

Penulis menggunakan metode studi pustaka dalam penyusunan skripsi ini.

Acuan utama penulis adalah Ensiklik Paus Fransiskus, yaitu Laudato Si’. Dari

acuan tersebut, penulis akan mencoba membahasakan ulang dan menganalisa

pemikiran Paus Fransiskus yang termuat dalam LS dengan bantuan referensi lain

sebagai pembanding, seperti komentar-komentar yang pernah dibuat berkenaan


6

dengan artikel acuan tersebut, informasi-informasi tambahan, baik itu dari internet

ataupun buku-buku penunjang lain, yang dirasa bermanfaat.

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk memberikan alur serta garis besar gagasan yang akan disampaikan

dalam skripsi ini, berikut penulis cantumkan sistematika penulisan skripsi ini.

Bab I: PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini, penulis mencoba memberikan gambaran latar

belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan

penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab pertama ini menjadi

landasan bagi bagian-bagian selanjutnya.

Bab II: AKAR KRISIS EKOLOGIS MENURUT PAUS FRANSISKUS

DALAM LAUDATO SI’

Dalam bab yang kedua ini penulis akan memberi uraian dan analisa

mengenai akar dari krisis ekologis menurut pemikiran Paus Fransiskus. Uraian

akan diawali dengan gambaran singkat mengenai perhatian Paus terhadap

persoalan ekologis, dilanjutkan dengan pemaparan singkat mengenai situasi dunia

saat ini dan sejauh mana situasi tersebut diindikasikan sebagai krisis ekologis.

Kemudian, pembahasan akan dilakukan dengan mensistematisasi pemikiran Paus

Fransiskus mengenai akar krisis ekologis yang terdapat dalam LS Bab 3 (“Akar

Manusiawi Krisis Ekologis”).

Bab III: EKOLOGI INTEGRAL SEBAGAI SOLUSI KRISIS EKOLOGIS

Bab ketiga adalah bagian utama dari penulisan skripsi ini. Penulis pertama-

tama akan menjelaskan mengenai solusi krisis ekologis dari berbagai sudut

pandang, sebagai usaha menjelaskan ekologi integral yang ditawarkan oleh Paus
7

Fransiskus. Pembahasan mengenai solusi akan menyangkut hubungan manusia

dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan lingkungannya.

Bab IV: REFLEKSI KRITIS

Pada Bab IV, penulis akan memberikan tanggapan kritis berkenaan dengan

LS dan segala pembahasan yang terdapat di dalamnya mengenai krisis ekologis,

akar, dan solusinya, dan sejauh mana ensiklik ini berbicara bagi masyarakat luas,

baik masyarakat kristiani maupun non-kristiani. Bab ini juga akan memuat

beberapa catatan kritis mengenai LS.

Bab V: PENUTUP

Pada Bab V, penulis akan menarik kesimpulan dalam bentuk refleksi

mengenai krisis ekologis, yang mencakup akar permasalahan, solusi, dan

penerapan yang bisa dilakukan. Diharapkan, pada akhir skripsi ini, pembaca dapat

memperoleh inspirasi baru mengenai gerakan ekologis dari gagasan Paus

Fransiskus dalam LS.


8

BAB 2

AKAR KRISIS EKOLOGIS MENURUT

PAUS FRANSISKUS DALAM LAUDATO SI’

Persoalan ekologi bukanlah topik yang baru untuk dibahas, baik oleh Gereja

ataupun akademisi, walaupun kemendesakannya baru semakin nampak pada

waktu-waktu belakangan ini. Berbagai macam disiplin ilmu telah mencoba

menganalisis persoalan ini dengan perspektifnya masing-masing. Al Gore dalam

film dokumenternya, An Inconvenient Truth memberikan pandangannya sebagai

tokoh politik mengenai akar dan solusi dari krisis ekologis. Analisisnya

membawanya pada kesimpulan bahwa pemanasan global merupakan masalah

pokok yang harus diselesaikan untuk mengatasi krisis ekologis. Melengkapi

pemikiran Al Gore, Leonardo DiCaprio, seorang tokoh seni, memberi pandangan

bahwa perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kepentingan ekonomi yang

kuat memperparah kondisi alam dengan emisi karbon. Perusahaan-perusahaan

tersebut juga mempengaruhi kebijakan ekologis dengan memberi dukungan

kepada tokoh-tokoh politik untuk menutupi kesalahan mereka. Jauh sebelum

mereka, Lynn White, seorang ahli abad pertengahan atau medieval, pada tahun

1967 pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “The Historical Roots of Our

Ecological Crisis” yang dimuat dalam majalah Science. Dalam artikel tersebut,
9

White mencoba mencari tahu akar historis dari krisis ekologis dan menemukan

bahwa Kristianitas (dan agama-agama Abrahamik) adalah agama yang paling

antroposentris yang pernah dimiliki dunia 3 . Pernyataan ini tentu tidak perlu

dipahami sebagai sebuah ‘serangan’ White terhadap kristianitas dan agama-agama

Abrahamik, namun sebuah opini pribadi, bahwa jikalau dibandingkan dengan

agama-agama lainnya, corak antroposentrik dalam Kristen dan agama Abrahamik

lainnya cukup kuat. Selanjutnya, Paus Paulus VI dalam surat apostoliknya,

Octogesima Adveniens memberi peringatan kepada kita bahwa “dengan

eksploitasi yang menyakiti alam mereka (manusia) berpotensi menghancurkannya

dan pada gilirannya akan menjadi korban kerusakan alam”4. Sementara itu, Paus

Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus Annus menyoroti masalah kekuatan

pasar yang dominan yang menyebabkan negara sulit melaksanakan tugasnya

dalam menjaga kelestarian alam 5 . Di tengah segala macam perspektif tersebut,

Paus Fransiskus dengan LS-nya hadir untuk memberi alternatif baru untuk

menganalisis persoalan krisis ekologis.

2.1 Pernyataan-pernyataan Paus mengenai Krisis Ekologi

Ensiklik Laudato Si’ mempunyai subjudul “Tentang Perawatan Rumah Kita

Bersama”. Dari subjudul itu, tampak dua unsur yang sekiranya dapat diberi

3
Terjemahan bebas dari kutipan “Christianity is the most anthropocentric religion the world has
seen”, L. White, Jr., “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, Science, Vol. 155 No. 3767
(1967):1205.
4
Terjemahan bebas dari kutipan surat apostolik Octogesima Adveniens artikel 21: “Man is
suddenly becoming aware that by an ill-considered exploitation of nature he risks destroying it
and becoming in his turn the victim of this degradation”, diunduh dari
http://w2.vatican.va/content/ paul-vi/en/apost_letters/documents/hf_p-vi_apl_19710514_
octogesima-adveniens.html, pada 2 Desember 2016 pukul 9.54 WIB.
5
Pernyataan ini disarikan dari kutipan dari ensiklik Centesimus Annus artikel 40: “It is the task of
the State to provide for the defence and preservation of common goods such as the natural and
human environments, which cannot be safeguarded simply by market forces”, diunduh dari
http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_01051991_
centesimus-annus.html, pada 2 Desember 2016 pukul 9.54 WIB.
10

perhatian lebih. Pertama, kata “perawatan”. Menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia, perawatan mengandung arti “pemeliharaan, penyelenggaraan,

pembelaan (orang sakit dsb.)”6. Namun, dalam Bahasa Perancis yang dijadikan

acuan penerjemahan oleh Martin Harun 7 , ungkapan ini berbunyi “sauvegarde”

yang dalam Bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai “to safeguard” 8 yang

berarti “to provide something intended as a protection against a possible risk or

danger” 9 . Di sini penulis memilih untuk menggunakan kata “perawatan” dan

bukan “to safeguard” dan “sauvegarde”, karena terjemahan ini jauh lebih tepat

digunakan, terutama jika dihubungkan dengan teologi LS yang menurut penulis

adalah “theology of care” 10 . Maka, alih-alih “melindungi” bumi, yang lebih

ditekankan oleh Paus Fransiskus adalah “merawatnya”. Dengan demikian,

“perawatan” yang kita lakukan tidak perlu menunggu sampai “rumah kita

bersama” betul-betul dalam bahaya. “Perawatan” yang dimaksud juga

mengandung arti mengantisipasi bahaya yang mungkin terjadi pada “rumah kita

bersama”.

Mengenai unsur kedua, yaitu “rumah kita bersama”, Laudato Si’ versi

Perancis menggunakan ungkapan “maison commune”. “Maison commune” —

seperti terjemahan Bahasa Inggrisnya— dapat diterjemahkan sebagai “common

6
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976.
7
Pada Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama hal. vi, disebutkan bahwa
alasan Martin Harun menggunakan acuan Laudato Si’ dalam bahasa Perancis adalah karena“segi
bentuk bahasa umumnya sangat dekat dengan versi Italia, Spanyol, dan Jerman”. Di sisi lain, versi
Inggris “lebih menyapa pembaca (‘kita’), membongkar kalimat panjang, menggunakan ungkapan
alternatif yang tampak lebih lazim di dunia Anglo-Saxon, memperlunak nada kritis, dan sering
menggunakan idiom Inggris yang tak mudah diterjemahkan”.
8
R. Weiman, Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York, 1978.
9
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
10
Subjudul LS dalam versi bahasa Italia yang dapat dilihat dalam laman
http://w2.vatican.va/content/francesco/it/encyclicals/documents/papa-
francesco_20150524_enciclica-laudato-si.html juga menggunakan kata “Sulla Cura Della Casa
Commune”.
11

home”. Terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia adalah “rumah umum”,

atau menggunakan terjemahan yang dipakai oleh Martin Harun, “rumah kita

bersama”. “Maison” menurut dalam Bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai

“house”11, yang dapat diartikan sebagai “a building for a person or family to live

in” 12 . Kita juga mengenal sinonim “house”, yaitu “home” —yang sama-sama

diterjemahkan dengan kata “maison”— yang berarti “the private living quarters of

a person or family13”. Satu kata lagi, yaitu “common”, dapat diartikan sebagai

“belonging or relating to more than one”14. Kita dapat menggantikan kata “rumah

kita bersama” dengan kata “planet bumi”. Dengan demikian, maksud dari ensiklik

ini semakin jelas, yaitu membahas tentang perawatan terhadap bumi, rumah kita

bersama, dan “anggota keluarga” yang memilikinya, termasuk kita, manusia.

Pertanyaan logis yang muncul saat membahas mengenai subjudul Laudato

Si’ adalah: “Mengapa “rumah kita bersama” perlu “dirawat”?” dan “Apa yang

sedang terjadi pada “rumah kita bersama” sekarang ini?”. Jawaban dari

pertanyaan ini terkait dengan pertanyaan inti yang ingin dijawab oleh Laudato Si’,

yaitu “Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada keturunan kita, kepada

anak-anak yang sekarang sedang bertumbuh?” (LS 160). Namun, sebelum masuk

ke dalam pembahasan mengenai akar krisis ekologis menurut Paus Fransiskus

dalam LS, kita akan melihat secara umum bagaimana pandangan Paus Fransiskus

berkaitan dengan ekologi.

Topik mengenai ekologi sebenarnya bukanlah topik yang baru dalam

pandangan Paus Fransiskus. Sebelum mengeluarkan LS, perhatian Paus

11
R. Weiman, Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York, 1978.
12
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
13
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
14
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
12

Fransiskus mengenai ekologi telah muncul dalam beberapa tulisan dan

khotbahnya. Ada lima tema besar yang diusung oleh Paus Fransiskus berkaitan

dengan ekologi, yaitu ekologi integral, kepedulian terhadap ciptaan, perubahan

iklim, budaya membuang, dan panggilan untuk membangun budaya solidaritas

dan perjumpaan15.

a. Ekologi Integral

Ada dua poin penting dari ekologi integral menurut Paus Fransiskus, yaitu

bagaimana kita berelasi dengan alam dan bagaimana kita berelasi dengan sesama

kita. Ekologi yang integral berarti ada kesinambungan antara cara kita menghargai

kehidupan, memperlakukan satu sama lain, mengangkat derajat orang miskin,

menyusun kebijakan ekonomi, dan membangun masyarakat dengan cara kita

merawat lingkungan dan sumber daya alam sebagai anugerah dari Tuhan. Hal ini

nampak, misalnya dalam kutipan audiensi umum yang diberikannya pada 5 Juni

2013: “Namun, untuk ‘merawat dan melestarikan’ tidak berhenti pada hubungan

kita dengan lingkungan atau hubungan manusia dengan ciptaan. Ini (merawat dan

melestarikan) juga melibatkan hubungan antarmanusia”16.

b. Kepedulian terhadap Ciptaan

Kepedulian terhadap ciptaan menurut Paus Fransiskus tidak akan pernah

dapat dilepaskan dari kepedulian dan kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Alam

adalah ciptaan Tuhan yang dianugerahkan bagi kita. Maka, jika kita gagal

merawat dan melestarikannya, kita berpotensi menghancurkan tanda cinta Tuhan

15
Pembagian lima tema ini dan pembahasannya merupakan rangkuman dari artikel “Pope Francis
Themes on Ecology” yang diunggah oleh USCCB (United States Conference of Catholic Bishops)
dalam situs resminya, diunduh dari http://www.usccb.org/issues-and-action/human-life-and-
dignity/environment/upload/pope-francis-encyclical-themes.pdf, pada 5 Desember 2016 pukul
9.25 WIB. Sitiran selanjutnya akan langsung menggunakan rumusan “Pope Francis Themes on
Ecology”, USCCB.
16
“Pope Francis Themes on Ecology”, USCCB, 1.
13

kepada kita. Dan, pemanfaatan alam ciptaan haruslah demi kebaikan bersama

umat manusia. Seperti nampak dalam kutipan audiensi umum yang diberikannya

pada 21 Mei 2014: “Alam ciptaan bukanlah milik kita, yang bisa kita gunakan

seturut kehendak kita” namun penciptaan adalah “sebuah pemberian yang indah

dari Tuhan, sehingga kita merawat dan menggunakannya untuk kebaikan

semua”17.

c. Perubahan Iklim

Hal yang paling disoroti oleh Paus Fransiskus mengenai perubahan iklim

adalah dampaknya yang tidak proporsional. Mereka yang miskin dan lemah, yang

menyumbang paling sedikit untuk perubahan iklim, terkena dampak yang paling

besar darinya. Oleh karena itu, perubahan iklim merupakan “tanggungjawab etis

dan moral yang serius”18 (Pesan Paus Fransiskus pada Konvensi PBB mengenai

Perubahan Iklim).

d. Budaya Membuang

Budaya membuang merupakan bagian dari ekonomi eksklusi. Budaya ini

merupakan mentalitas umum yang merasuki semua orang. Hidup manusia tidak

lagi dilihat sebagai “nilai utama yang harus dijaga dan dihormati”, terlebih hidup

mereka yang miskin, lemah, dan tidak berguna. Menurut Paus Fransiskus, budaya

membuang paling nampak dari tidak munculnya rasa bersalah saat kita membuang

makanan, sementara di bagian dunia yang lain, ada manusia yang kelaparan dan

menderita malnutrisi19 (Audiensi Umum 5 Juni 2013).

e. Membangun Budaya Solidaritas dan Perjumpaan

17
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 1.
18
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 2.
19
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 2.
14

Paus Fransiskus menekankan pentingnya “ambil bagian dalam aksi bersama

untuk melindungi sesama dan lingkungan”, dengan “menyingkirkan kepentingan-

kepentingan pribadi”, dan “tidak digoyahkan oleh tekanan-tekanan ekonomi dan

politik” 20 . Cirinya tampak dalam “makanan yang dibagikan secara adil dan

merata, tidak ada kebutuhan pribadi yang dirampas, masyarakat mampu

menghargai kebutuhan anggota masyarakatnya yang paling miskin, dan ekologi

manusiawi dan ekologi lingkungan bisa ‘bergandengan tangan’” 21 (Audiensi

Umum 5 Juni 2013).

2.2 Hal-hal yang Sedang Terjadi pada Rumah Kita Bersama

Dalam LS dinyatakan bahwa bahaya yang mengancam bumi bukan sesuatu

yang masih harus diantisipasi, melainkan sedang terjadi. Secara khusus, dalam

bab pertama, yaitu “Hal-hal yang sedang Terjadi pada Rumah Kita Bersama”,

disebutkan tujuh gejala yang menunjukkan bahwa bumi yang kita tinggali

sekarang sungguh berada dalam situasi krisis. Berikut ini tujuh gejala yang

menjadi perhatian Paus dalam LS Bab I.

2.2.1 Polusi dan Perubahan Iklim

Polusi bukanlah kata yang asing bagi manusia di zaman ini. Banyak hal

dapat mengakibatkan polusi, seperti asap bahan bakar, transportasi, asap industri,

limbah produksi, dan sebagainya. Menurut Paus Fransiskus dalam LS 22, masalah

ini erat kaitannya dengan budaya ‘membuang’ (istilah dalam bahasa Inggris:

“throwaway culture”). Budaya ‘membuang’ sendiri adalah kosakata khas Paus

Fransiskus, yang juga muncul dalam dokumennya yang lain, misalnya dalam

20
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 3.
21
“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 3.
15

22
seruan apostolik Evangelii Gaudium artikel 53 . Secara umum budaya

‘membuang’ dimengerti sebagai sebuah budaya yang lebih jauh daripada

eksploitasi atau penindasan, yaitu penyingkiran, di mana mereka yang

disingkirkan tidak lagi menjadi bagian, atau dieksklusikan23.

Masalah polusi ini berkaitan erat dengan perubahan iklim. Dampaknya

menjadi jelas dengan terjadinya kenaikan air laut karena pemanasan global dan

bertambahnya kejadian cuaca ekstrem. Perubahan iklim ini merupakan masalah

yang serius karena secara langsung berdampak buruk pada lingkungan,

masyarakat, ekonomi, perdagangan, dan politik, serta akan dirasakan secara paling

nyata oleh penduduk negara-negara berkembang. Di sisi lain, mereka yang tinggal

di negara maju dan memiliki kekuatan ekonomi justru belum menganggap serius

masalah ini. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk

perubahan iklim memang sudah banyak dilakukan, namun masih jauh dari massal.

2.2.2 Masalah Air

Masalah air merupakan masalah serius bagi Paus Fransiskus, karena “akses

ke air minum yang aman merupakan hak asasi manusia yang dasariah dan

universal, karena sangat menentukan untuk kelangsungan hidup manusia dan,

dengan demikian, merupakan syarat untuk pelaksanaan hak asasi manusia

lainnya” (LS 30). Sayangnya, persediaan air yang dulu relatif stabil, kini di

banyak tempat dieksploitasi melebihi batas. Bahkan, ditengarai ada gerakan yang

22
Evangelii Gaudium merupakan anjuran apostolik yang ditulis oleh Paus Fransiskus dan
dikeluarkan pada tanggal 24 November 2013. Dokumen ini sekaligus merupakan dokumen
pertama yang ditulis oleh Paus Fransiskus, dengan mengandaikan bahwa dokumen sebelumnya,
Lumen Fidei masih dipengaruhi oleh pemikiran Paus Benediktus XVI. Evangelii Gaudium biasa
disingkat dengan singkatan EG.
23
Kalimat ini merupakan ringkasan dari rumusan dalam EG artikel 53.
16

mengarah pada privatisasi sumber air, yang semakin menghalangi orang-orang

yang tidak mampu untuk mendapatkan haknya atas air bersih.

Permasalahan ketersediaan air bukan hanya soal kuantitas, melainkan juga

soal kualitas. Dalam hal ini, kegiatan manusia menjadi akar krisis air. Kegiatan

pertambangan, pertanian, dan industri tertentu di berbagai tempat menjadi

penyebab polusi air. Air yang tidak sehat mengakibatkan penyakit-penyakit

seperti disentri dan kolera berkembang, dan berdampak secara signifikan terhadap

jumlah kematian bayi.

2.2.3 Hilangnya Keanekaragaman Hayati

Spesies makhluk hidup mengalami ancaman yang nyata saat konsep

ekonomi, perdagangan, dan produksi jangka pendek ‘memperbolehkan’ manusia

untuk menjarah sumber daya bumi. Pokok permasalahannya, menurut Paus

Fransiskus adalah bahwa manusia melupakan fakta bahwa masing-masing

makhluk hidup “memiliki nilai dalam dirinya sendiri” (LS 33). Intervensi

manusia, yang diharapkan mampu mengatasi krisis geosistem justru membuat

bumi “kurang kaya dan indah”, karena seringkali dilakukan dalam konteks

“kepentingan bisnis dan konsumerisme” (LS 34).

Penurunan keanekaragaman hayati terjadi di semua ekosistem (hutan tropis,

tempat air bawah tanah, gunung es, lautan) dan melalui berbagai kegiatan (alih

fungsi hutan, penangkapan ikan besar-besaran, penggunaan racun). Analisis

secara menyeluruh mendesak untuk dilakukan, terutama untuk juga

memperhitungkan kelestarian keanekaragaman hayati di samping efek atas tanah,

air, dan udara (LS 35).


17

2.2.4 Penurunan Kualitas Hidup Manusia dan Kemerosotan Sosial

Jumlah penduduk dunia yang semakin bertambah berdampak secara

langsung pada penurunan kualitas hidup. Kota-kota menjadi begitu padat dan

ruang terbuka serta ruang hijau menjadi semakin sempit dan terbatas. Hal ini

membuat miris karena menurut Paus Fransiskus “penduduk bumi ini tidak

dimaksudkan untuk hidup terhimpit oleh beton, aspal, kaca, dan logam” (LS 44).

Selain penurunan kualitas hidup, terjadi pula kemerosotan sosial yang

dipicu oleh berkembangnya budaya baru, yakni budaya digital. Suatu perasaan

artifisial lahir, di mana perasaan ini “lebih berkaitan dengan perangkat dan

penampilan di layar daripada dengan manusia dan alam” (LS 47). Perasaan

artifisial dan keramaian informasi ini menenggelamkan kebijaksanaan sejati

sebagai “buah refleksi, dialog, dan pertemuan antarpribadi” (LS 47).

2.2.5 Ketimpangan Global

Kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat yang terjadi membuat

kita bisa mengambil satu kesimpulan: krisis ekologis selalu berkaitan dengan

krisis sosial, dan yang paling terkena dampaknya adalah mereka yang paling

lemah di bumi. Oleh karenanya, Paus Fransiskus menegaskan bahwa ada dua

jeritan perlu didengarkan secara lebih saksama: “jeritan bumi” dan “jeritan kaum

miskin” (LS 49).

Ironisnya, dunia justru mendengarkan mereka yang mampu dan profesional,

yang tidak memiliki kontak langsung dengan permasalahan lingkungan hidup dan

kemiskinan. Alih-alih mengkritik diri sendiri yang terjerat “konsumerisme

ekstrem”, dunia justru “menyalahkan pertumbuhan penduduk” yang meledak di

negara-negara berkembang (LS 50). Kemakmuran bagi negara-negara Utara


18

semakin diusahakan, sementara kesejahteraan negara-negara Selatan semakin

dikorbankan.

2.2.6 Tanggapan-tanggapan yang Lemah

Menurut Paus Fransiskus, kita, warga bumi, belum memiliki “budaya yang

diperlukan untuk menghadapi krisis” seperti yang dialami bumi selama dua ratus

tahun terakhir ini (LS 53). Maka dari itu, sekalipun banyak konferensi global

dilakukan, belum ada solusi yang betul-betul jitu guna menanggulangi krisis.

Berbagai kepentingan, terutama kepentingan ekonomi masih dengan mudah

mengalahkan kesejahteraan umum. Usaha yang dilakukan di banyak tempat pun

belum banyak berdampak secara global, sekalipun memberi sedikit harapan,

bahwa manusia masih mampu melakukan intervensi positif.

Paus Fransiskus dalam LS 53 menegaskan bahwa sangat perlu untuk

menciptakan sebuah kerangka hukum yang menetapkan batas-batas mutlak dan

menjamin perlindungan ekosistem, dan berlaku secara global. Kita tentu tidak

mengharapkan negara saling berperang di tengah menipisnya sumber daya alam,

atau melakukan kegiatan yang tanpa kita sadari menghancurkan diri kita sendiri.

Satu hal yang bisa dijadikan pegangan, kita tidak bisa berbuat seolah tidak terjadi

apa-apa pada rumah kita.

2.2.7 Keragaman Pendapat

Berhadapan dengan krisis yang sedang terjadi, kita mesti mengakui bahwa

pandangan manusia akan krisis ekologis dan sosial yang terjadi pun tidak

seragam. Paus Fransiskus menunjukkan ada dua ekstrem yang berkembang saat

ini. Di satu sisi, ada pihak yang “kuat mempertahankan mitos kemajuan dan
19

menegaskan bahwa masalah ekologi akan dipecahkan hanya melalui penerapan

teknologi baru, tanpa perlu pertimbangan etis atau perubahan mendalam”,

sementara di sisi yang lain, ada yang memandang bahwa “manusia dengan segala

intervensinya hanya bisa menjadi ancaman dan membahayakan ekosistem global,

dan oleh karena itu kehadirannya di planet ini harus dikurangi dan segala bentuk

intervensinya terhadap alam dicegah” (LS 60).

Kita mesti sadar bahwa jalan keluar yang bisa diambil tidak cuma satu.

Gereja pun “tidak memiliki alasan untuk memberikan pendapat definitif” (LS 61).

Yang diperlukan sekarang adalah kejujuran dalam melihat realitas dan

pengharapan mengatasi krisis. Kita patut sadar, bahwa di atas segalanya, kita

“telah mengecewakan harapan Allah” (LS 61).

2.3 Akar Manusiawi Krisis Ekologis

Berhadapan dengan tujuh gejala krisis ekologis (dan sosial) yang terjadi di

dunia, LS menawarkan beberapa hal yang dapat dikenali sebagai akar krisis.

Akar-akar tersebut adalah teknologi, globalisasi paradigma teknokratis, serta

krisis dan efek antroposentrisme modern.

2.3.1 Teknologi: Kreativitas dan Kuasa

Teknologi sejatinya bukan hal yang buruk. Bila dirunut dari awal

kemunculannya, teknologi identik dengan orang-orang dari kelas bawah, empiris,

dan berorientasi pada tindakan 24 . Teknologi menjadi begitu mendominasi dan

berdampak dan berdampak buruk saat bersanding dengan ilmu pengetahuan, yang

bercorak aristokratis (kaum kelas atas), spekulatif, dan memiliki maksud yang

24
L. White, Jr., “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, 1204.
20

cenderung intelektual 25 . Dua hal yang sebenarnya bertolakbelakang ini, jika

dicampuradukkan dalam satu payung “iptek” (ilmu pengetahuan dan teknologi)

menjadi satu kajian yang menyasar seluruh kelompok masyarakat, yang diikuti

dengan pemahaman yang tidak pernah menyeluruh (kaum kelas bawah akan sulit

memahami gaya berpikir kelas atas, begitu juga sebaliknya), dan jika dibiarkan

akan mendorong pada gaya berpikir antroposentrisme yang bercorak intelektualis-

praktis. Iptek inilah yang menurut penulis dimaksudkan Paus Fransiskus sebagai

akar krisis ekologis dalam LS, yang juga dirujuk dalam LS 103 versi Perancis: la

techno-science.

Dalam LS, Paus Fransiskus menyebut dua unsur yang menyertai iptek, yaitu

kreativitas dan kuasa. Kreativitas iptek nampak dalam kemampuannya

“menghasilkan sarana yang sungguh berharga untuk meningkatkan kualitas hidup

manusia” dan “menghasilkan hal-hal yang indah dan membantu manusia yang

tenggelam dalam dunia materi untuk melompat ke dalam dunia kesenian” (LS

103). Iptek merupakan wadah yang terus ‘membesar’ bagi pemikiran manusia

yang semakin berkembang. Melalui ilmu astronomi, manusia mampu mengetahui

alam semesta dan teknologi memungkinkan manusia untuk menjelajahinya. Ilmu

medis, misalnya, juga membuat manusia semakin mengenal anatomi tubuhnya,

dan, dengan teknologi, menerapkan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk

kesehatannya, bahkan tidak jarang memodifikasinya.

Seorang filsuf Yunani, Sokrates, pernah mengajukan tiga pertanyaan untuk

menguji suatu hal. Tiga pertanyaan tersebut adalah: “Apakah sesuatu itu baik?”,

25
L. White, Jr., “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, 1204.
21

“Apakah sesuatu itu benar?”, dan “Apakah sesuatu itu berguna?” 26 . Teknologi

tentu adalah sesuatu yang berguna, karena teknologi diciptakan untuk membantu

pekerjaan manusia dan menyelesaikan persoalan teknis yang dialami oleh

manusia. Ilmu pengetahuan juga sesuatu yang benar, karena didasarkan pada

pemikiran rasional dan dilakukan dengan metode-metode yang ilmiah. Namun,

sisi kebaikan dari iptek masih bisa diperdebatkan. Jika dimensi fungsional dan

rasional iptek dapat dipertanggungjawabkan, tidak demikian dengan dimensi

moralnya. Iptek membuat “alam kehilangan sisi konkritnya; menjadi tidak organis

dan teknis, dan mengesampingkan kualitas pengalaman nyata”27. Alam semesta,

termasuk manusia, dilihat hanya sebagai objek penelitian untuk memuaskan rasa

ingin tahu manusia yang tidak ada habisnya. Di sinilah tampak dampak buruk

kreativitas dari teknologi, di mana kreativitas mendorong manusia untuk terus

mencari tahu mengenai segala macam hal, dan dengan demikian menguasai segala

macam hal. Di sinilah unsur kedua dari teknologi menunjukkan wajahnya:

kekuasaan.

Paus Fransiskus menyadari bahwa umat manusia saat ini “memiliki

kekuasaan yang begitu besar atas dirinya sendiri; dan tidak ada jaminan bahwa itu

akan selalu digunakan dengan baik, terutama bila kita memperhatikan bagaimana

itu saat ini sedang digunakan” (LS 104). Ada sesuatu yang salah, menurut Paus

Fransiskus, saat manusia yang “tidak sepenuhnya otonom” tidak memiliki “etika

26
Kisah mengenai tiga pertanyaan Sokrates ini dapat ditemukan dari banyak sumber. Salah
satunya adalah http://www.thinkinghumanity.com/2014/04/socrates-the-test-of-three.html, yang
dikunjungi penulis pada Rabu, 17 Mei 2017, pukul 22.01 WIB.
27
Terjemahan bebas dari kutipan “nature has lost all concreteness; having become inorganic and
technical, it has lost the quality of real experience”, R. Guardini, The End of The Modern World,
Sheed & Ward, London, 1957, 88.
22

yang kuat, budaya dan spiritualitas yang benar-benar menetapkan batas-batas dan

mencerahkan dia untuk menahan diri” (LS 105).

Salah seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1623) pernah

mengatakan, “knowledge is power”28, pengetahuan adalah kekuasaan. Ungkapan

ini kemudian dipertegas oleh René Descartes (1596-1650), yang menyatakan

bahwa umat manusia bisa menjadi maîtres et possesseurs de la nature, penguasa

dan pemilik alam 29 . Pengetahuan manusia atas alam semesta membuat mereka

seakan-akan menguasainya pula. Berbicara mengenai kekuasaan, kita tentunya

akrab dengan teks Kitab Suci dari Kej 1:26:

“Berfirmanlah Allah” “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar


dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-
burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi.”30

Ada dua kata yang bisa kita beri perhatian lebih di sini, yaitu “gambar dan rupa

Kita” dan “berkuasa”. Menurut The New Interpreter’s Bible Volume I, ungkapan

“gambar dan rupa” berfungsi untuk “mencerminkan sosok Tuhan pada dunia,

menjadi Tuhan sebagaimana semestinya Tuhan bagi ciptaan selain manusia, dan

menjadi perpanjangan kuasa Tuhan sendiri”31. Sebagai ciptaan terakhir, manusia

merasa menjadi yang paling unggul dari ciptaan yang lain, yang membuat mereka

berhak untuk memperlakukan ciptaan lain seturut kehendak mereka. Kata

“berkuasa” bahkan lebih problematis. Kata ini menerjemahkan kata “have

28
K. Bertens, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, 283.
29
K. Bertens, Etika, 283.
30
Ayat ini dikutip dari Alkitab Deuterokanonika yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia tahun 1974 dan diterbitkan oleh Lembaga Biblika Indonesia tahun 2001. Penyuntingan
berupa cetak miring dilakukan oleh penulis.
31
L. E. Keck, Dkk. (editor), The New Interpreter’s Bible Volume I, Abingdon Press, Nashville,
1994, 345.
23

dominion 32 ” yang dipakai dalam terjemahan Bahasa Inggris versi NRSV (The

New Revised Standard Version, diterjemahkan pada tahun 1989). Sulit untuk tidak

membaca ayat ini sebagai legitimasi atas eksploitasi manusia terhadap alam,

sekalipun sebenarnya yang diharapkan adalah ungkapan ini dipahami sebagai

“peduli, bahkan mengembangkan, bukan mengeksploitasi”33. Iptek, dalam hal ini,

memiliki andil dalam mempermudah manusia untuk melanggengkan misinya

untuk semakin menunjukkan kuasanya terhadap alam. Hal ini dijelaskan Paus

Fransiskus dalam LS 107, yaitu bahwa “produk-produk teknologi tidak netral

karena mereka menciptakan kerangka kerja yang pada akhirnya membentuk gaya

hidup, dan mengarahkan peluang-peluang dalam masyarakat ke arah kepentingan

kelompok-kelompok berkuasa tertentu”. Maka, selama kepentingan yang

berkuasa adalah kepentingan kelompok-kelompok yang tidak memberi perhatian

pada masalah ekologis, teknologi akan selalu menjadi akar krisis ekologis dan

bukan solusi, karena teknologi cenderung mereduksi alam sebagai objek

penelitian dan menghilangkan mistik alam.

2.3.2 Globalisasi Paradigma Teknokratis

Teknokratis berasal dari kata Yunani, “techne” dan “kratia” yang berarti

“seni” dan “mengatur”. Teknokrasi berarti pemerintahan yang dilakukan dengan

melibatkan pakar-pakar teknik34. Jika demokrasi dilakukan dengan memberikan

kesempatan kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, teknokrasi

memberi kesempatan tersebut kepada para teknisi. Paus Fransiskus menyebutkan

ciri paradigma teknokratis ini, yaitu dengan adanya kecenderungan untuk

32
L. E. Keck, Dkk. (editor), The New Interpreter’s Bible Volume I, 339.
33
L. E. Keck, Dkk. (editor), The New Interpreter’s Bible Volume I, 346..
34
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
24

“menjadikan metode dan tujuan ilmu-ilmu teknik sebagai paradigma pemahaman

yang dipaksakan bagi kehidupan individu dan cara kerja masyarakat” (LS 107).

Mendunianya cara pandang teknokratis mengakibatkan manusia memandang alam

hanya dari satu sudut pandang, yaitu teknis.

Paradigma teknokratis membuat manusia tidak lagi “menghidupi

pekerjaannya, melainkan hanya menghitung kemungkinannya dan mengendalikan

efeknya dengan mengambil jarak” 35 . Bila paradigma ini diterapkan pada alam,

maka manusia hanya melihat alam sebagai objek untuk memenuhi kebutuhannya.

Dengan teknologi yang dimilikinya, manusia berusaha sedemikian rupa sehingga

sumber daya alam yang ada bisa dimanfaatkan untuk menambah kekayaannya.

Misalnya, manusia tahu bahwa minyak kelapa sawit adalah komoditi yang

berharga. Maka, pertanyaan yang dipikirkan para pengusaha adalah bagaimana

caranya bisa mendapatkan minyak kelapa sawit sebanyak-banyaknya. Kebun-

kebun kelapa sawit diperluas dan hutan-hutan ditebang. Alasannya sederhana,

yaitu karena hutan tidak memberi mereka keuntungan sebesar yang diberikan

kebun kelapa sawit kepada mereka. ‘Jeritan alam’ tidak mereka dengar karena

‘bisikan’ untuk menuruti keserakahan lebih bermakna bagi telinga mereka.

Sesungguhnya, kita tak dapat memperlakukan alam sebagai barang, di mana kita

merawatnya saat kita membutuhkan, namun membuangnya saat kita sudah tidak

memerlukannya. Logika ‘pakai dan buang’ ini semakin menurunkan martabat

ciptaan lain, yang degradasinya pun sudah terjadi saat kita mengeksploitasinya.

35
Terjemahan bebas dari “Man can no longer experience the work he does; he can only calculate
its possibilities and control its effects from a distance”, R. Guardini, The End of The Modern
World, 88.
25

Inilah yang terjadi apabila paradigma teknokratis sudah memasuki tahap yang

paling fatal, di mana dimensi moral dihilangkan.

Perkembangan paradigma teknokratis tidak dapat dipisahkan dari

perkembangan iptek, yang sudah dibahas dalam bagian sebelumnya. Iptek

memang memungkinkan manusia untuk menguasai alam, dengan meneliti

fenomena yang terjadi dan bagaimana memanfaatkannya untuk kebaikan manusia.

Namun, manusia lupa bahwa tidak semuanya yang bisa dilakukan dengan

kemampuan ilmiah dan teknologis boleh dilakukan juga36. Manusia jatuh karena

tidak bisa membedakan “apa yang mampu dilakukan” dan “apa yang boleh

dilakukan”.

Pada akhirnya perkembangan teknologi dan paradigma teknokratis tidak

bisa dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi. Sutarno dalam artikelnya,

“Perkembangan Ilmu dan Perkembangan Moral Manusia” membahasakan

demikian,

“Lebih dari 90% dari ahli-ahli ilmu dan teknologi di seluruh dunia itu hidup
dan bekerja di negara-negara yang sudah maju; bahwa lebih dari 90%
kegiatan penelitian mereka itu terpusat pada hal-hal yang bersangkutan
dengan negara-negara yang kaya saja dan hasilnya dilindungi secara ketat
oleh proses-proses teknis dan hukum37”

Paradigma teknokratis, yang merupakan ciri khas para teknisi yang bekerja di

negara-negara maju, dipaksakan untuk diterapkan pada seluruh lapisan

masyarakat di seluruh dunia. Kembali, alam menjadi korban tindakan manusia

yang belum sepenuhnya dipersiapkan untuk cara pandang ini. Sejauh indikasi

negara maju didasarkan pada pertumbuhan ekonomi, maka kepentingan yang

36
K. Bertens, Etika, 288.
37
Supardan (editor), Ilmu, Teknologi, dan Etika, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991, 139.
26

berada pada posisi paling atas adalah kepentingan ekonomi. Kepentingan-

kepentingan umum yang lebih luas dengan sendirinya diabaikan secara tidak adil.

Dalam suasana paradigma teknokratis yang mendunia, menjadi jelas bahwa

alam semakin terpinggirkan oleh kemajuan iptek dan pertumbuhan ekonomi.

Perhatian untuk segi etis perkembangan ilmu dan teknologi memang ada, namun

usaha pemikiran etis ketinggalan jauh dari usaha untuk memacu ilmu dan

teknologi 38 . Ironisnya, paradigma teknokratis pun diterapkan dalam gerakan-

gerakan ekologis mengatasi krisis ekologis, sesuatu yang justru disebabkan oleh

paradigma itu sendiri. Akibatnya, budaya ekologis direduksi menjadi

“serangkaian jawaban mendesak dan parsial atas masalah-masalah yang sedang

muncul dalam kaitan dengan kerusakan lingkungan” (LS 111). Pemanasan global

diatasi dengan mengurangi AC, namun masih menggunakan kendaraan pribadi

untuk bepergian. Menumpuknya sampah plastik yang tak terurai diatasi dengan

memberlakukan kantong plastik berbayar, namun tetap menghidupkan lampu

rumah semalaman. Dan, usaha menangkal paradigma teknokratis akan terus

menemui jalan buntu sejauh kita tidak bisa membatasi diri pada pertanyaan

“bagaimana?’, melainkan terus membarenginya dengan pertanyaan “untuk

apa?39”.

2.3.3 Krisis dan Efek Antroposentrisme Modern

Antroposentrisme berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, anthropos

(manusia) dan kentron (pusat). Antroposentrisme berarti paham yang meyakini

manusia sebagai pusat atau tujuan alam semesta40. Paham ini merupakan ekses

38
K. Bertens, Etika, 289.
39
K. Bertens, Etika, 286.
40
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
27

dari biosentrisme, yakni paham yang menganggap bumi sebagai pusat alam

semesta. Antroposentrisme tentu bukan paham yang baik, karena menganggap

martabat alam ada di bawah manusia, sebagai konsekuensi dari teknokratisme.

Paus Fransiskus mengkontraskan antroposentrisme ini dengan biosentrisme.

Biosentrisme bukan paham yang dianjurkan, karena tidak mengakui adanya

pengakuan dan penghargaan terhadap kemampuan manusia yang unik berupa

pengetahuan, kehendak, kebebasan, dan tanggungjawab (LS 118). Selain

mengkritik antroposentrisme dan biosentrisme, Paus Fransiskus juga mengkritik

pandangan yang menomorduakan hubungan antarmanusia. Baginya, tidak

mungkin untuk memulihkan relasi dengan alam dan lingkungan tanpa

menyembuhkan seluruh relasi manusia yang mendasar (LS 119).

Gagasan Paus Fransiskus mengenai antroposentrisme, biosentrisme, dan

pandangan yang menomorduakan hubungan antarmanusia sebenarnya sederhana:

manusia tidak dapat menemukan tempatnya yang benar di alam semesta (LS 115).

Di sini, ciri khas antropologi Kristiani yang memandang manusia sebagai citra

Allah bermakna besar. Manusia tidak bisa begitu saja mengambil jarak dari alam

semesta dengan berlaku sebagai pengamat —seperti ciri khas teknokratis—

melainkan hidup di tengah dan bersama ciptaan lain. Namun, sebagai ciptaan

yang paling sempurna, manusia bertanggungjawab —dengan akal budi, kehendak,

dan kebebasannya— terhadap keutuhan seluruh ciptaan. Segala macam

pandangan yang mengarah pada ekstrem yang lain dapat dipastikan membawa

dampak buruk bagi alam semesta.


28

Dalam LS Paus Fransiskus menyertakan tiga bahasan khusus menyangkut

efek antroposentrisme yang meliputi relativisme praktis, kebutuhan untuk

melestarikan pekerjaan, dan teknologi biologis yang baru.

2.3.3.1 Relativisme Praktis

Relativisme berasal dari bahasa Latin, relativus, yang berarti “nisbi,

relatif” 41 . Secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia,

budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan

perbedaan karena faktor-faktor di luarnya 42 . Menurut A. Mangunhardjana, ada

dua macam relativisme, yaitu relativisme etis subjektif atau analitis dan

relativisme etis kultural. Relativisme etis subjektif atau analitis menilai baik-buruk

dan benar-salah dengan tergantung pada orang masing-masing, sedangkan

relativisme etis kultural berpandangan bahwa penilaian etis tidak sama karena

tidak ada kesamaan masyarakat dan budaya43. Kiranya dua jenis relativisme inilah

yang bisa disejajarkan dengan pembedaan relativisme praktis dan relativisme

doktrinal yang dibuat oleh Paus Fransiskus, dengan relativisme praktis yang

dimaksud dalam LS 122 adalah relativisme subjektif.

Bahaya dari relativisme praktis yang mengandaikan bahwa kebenaran

tergantung dari masing-masing orang adalah tidak adanya kebenaran yang berlaku

umum dan objektif. Dengan kata lain, segala macam upaya politik dan kekuatan

hukum tidak akan berfungsi secara optimal karena setiap orang menganggap

kepentingannya selalu di atas kepentingan lain. Logika ‘pakai dan buang’ kembali

disebut oleh Paus Fransiskus di sini, sebagai akibat dari keinginan tak teratur

41
A. Mangunhardjana, Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997, 203.
42
A. Mangunhardjana, Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, 203.
43
A. Mangunhardjana, Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, 203-204.
29

untuk mengkonsumsi lebih banyak daripada yang sebenarnya dibutuhkan (LS

123). Akar dari logika ini adalah standar ‘kebutuhan’ yang relatif, yang membuat

manusia mengabaikan norma etis, sejauh dibutuhkan untuk memenuhi ataupun

tidak lagi memenuhi ‘kebutuhan’-nya.

2.3.3.2 Kebutuhan untuk Melestarikan Pekerjaan

Berbeda dengan efek sebelumnya yang cenderung negatif, kebutuhan untuk

melestarikan pekerjaan adalah efek yang baik dari antroposentrisme modern.

Mereka yang berpandangan bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta akan

juga berpikir bahwa kerja adalah campur tangan manusia untuk mengembangkan

dunia ciptaan dengan cermat (LS 124). Di sini Paus Fransiskus mengangkat

kembali refleksi mengenai kerja dari Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya,

Laborem Exercens, yang menyebut kerja sebagai “sebuah kunci, mungkin kunci

yang esensial untuk menjawab berbagai macam masalah sosial”44.

Persoalannya, kerja kadang dipahami secara tidak tepat. Situasi ini terjadi

saat kemampuan manusia untuk bermenung dan bersujud merosot (LS 127).

Padahal, diharapkan melalui kerja, panggilan kodrati dan adikodrati pribadi

menemukan pemenuhannya 45 . Kerja yang tidak dilengkapi dengan spiritualitas

kerja membuat manusia yang bekerja kehilangan identitasnya karena seolah-olah

dapat digantikan dengan mesin dan produk teknologi lain. Meluasnya paradigma

teknokratis memiliki andil besar dalam hal ini.

44
merupakan terjemahan bebas dari kutipan ensiklik Laborem Exercens artikel 3: “a key, probably
the essential key, to the whole social question”, diunduh dari http://w2.vatican.va/content/john-
paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_14091981_laborem-exercens.html, pada 3
Desember 2016, pukul 9.45 WIB.
45
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, Penerbit Ledalero,
Maumere, 2009, 70. Bandingkan juga dengan teks Kej 2:15, di mana kerja adalah perutusan Allah
bagi manusia untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (dunia).
30

Mengingat betapa pentingnya kerja bagi manusia, usaha membantu orang

miskin dengan memberi uang harus selalu menjadi “solusi sementara”, sementara

tujuan utamanya adalah “memungkinkan mereka untuk hidup bermartabat melalui

pekerjaan” (LS 128). Kuatnya kecenderungan yang dipicu oleh kepentingan

ekonomi untuk menggantikan tenaga kerja manusia dengan tenaga kerja mesin

mencederai martabat kerja, dan menjadi akar krisis sosial, krisis budaya, dan

krisis ekologis.

2.3.3.3 Teknologi Biologis yang Baru

Antroposentrisme modern yang dipadukan dengan paradigma teknokratis

dan keinginan untuk mendominasi memunculkan pandangan yang berbeda

terhadap ciptaan. Manusia melihat alam dan ciptaan sebagai objek penelitian yang

dapat digunakan, dimodifikasi, dan diintervensi seperlunya sejauh membantu

manusia untuk mencapai kesejahteraannya. Salah satunya adalah melalui

penerapan teknologi biologis yang baru, yang mengundang perdebatan yang

panas, mulai dari “penerimaannya dari sisi tilik moral, konsekuensi-

konsekuensinya bagi kesehatan manusia serta dampaknya atas lingkungan hidup

dan ekonomi”46.

Pada satu sisi, teknologi biologis yang baru membawa banyak kemajuan.

Kemakmuran negara yang maju dalam teknologi biologis meningkat, ditunjukkan

dengan kemudahan masyarakat negara tersebut untuk memperoleh obat-obatan,

pangan, dan sandang 47 . Di sisi lain, teknologi biologis ditentang karena

dikhawatirkan akan menyebabkan hal-hal yang mengerikan, bila masyarakat

dunia tidak segera mengendalikan dan membatasi penggunaan teknologi biologis

46
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 325.
47
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta, 2006, 67.
31

tersebut 48 . Dampaknya dapat kita lihat dan sudah terjadi, misalnya terjadinya

penurunan keanekaragaman hayati49.

Sulit untuk membuat penilaian umum mengenai teknologi biologis,

terutama yang menyangkut modifikasi genetik (LS 133). Namun, bila kita

melihatnya dalam konteks manusia yang harus melakukan campur tangan dalam

usaha pelestarian alam, campur tangan manusia yang merusakkan makhluk-

makhluk hidup atau lingkungan alam patut dicela, sedangkan campur tangan yang

meningkatkannya patut dipuji50. Masalah teknologi biologis memang merupakan

masalah lingkungan yang kompleks, dan penanganannya membutuhkan

pendekatan komprehensif (LS 135). Satu hal yang patut dijadikan pegangan,

bahwa teknologi yang dipisahkan dari etika tidak akan mudah untuk dapat

membatasi kekuasaannya sendiri. Hal itu terjadi jika kita lupa, bahwa nilai mutlak

manusia melampaui tahap perkembangannya.

2.4 Kesimpulan

Paus Fransiskus memberi judul Bab 3 dalam LS “Akar Manusiawi Krisis

Ekologis”. Hal ini kiranya menunjukkan bahwa akar dari krisis ekologis berpusat

pada manusia, baik itu hubungan manusia dengan alam maupun hubungan antara

manusia dengan sesamanya51. Secara eksplisit, Paus juga menyatakan dalam LS

101, bahwa kita perlu berfokus pada “paradigma teknokratis” dan “tempat

manusia dan aktivitasnya di dunia” apabila berbicara mengenai akar manusiawi

krisis ekologis. Ini menunjukkan bahwa manusialah yang bertanggungjawab atas

krisis ekologis yang sekarang sedang terjadi.


48
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 67.
49
Bdk. pembahasan dalam skripsi ini pada hal. 14.
50
Yosef Maria Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 325.
51
Bdk. pembahasan dalam skripsi ini pada hal. 12.
32

Namun, Paus juga menegaskan dalam LS 69, bahwa “justru karena

martabatnya yang unik dan karena diberkati dengan akal budi, manusia dipanggil

untuk menghormati sesama ciptaan dengan hukum-hukumnya”. Manusia memang

bertanggungjawab akan terjadinya krisis ekologis, namun kita tidak boleh lupa

bahwa manusia jugalah yang bertanggungjawab untuk mengusahakan berbagai

macam tindakan untuk menanggulangi krisis yang telah terjadi dan

meminimalisasi dampaknya, sehingga tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas

krisis ekologi.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa manusia adalah makhluk multidimensional

dan multirelasional. Berbicara tentang manusia dan tanggungjawabnya tidak bisa

lepas dari berbagai macam aspek yang melekat pada diri manusia dan hubungan

yang dibangun manusia dengan entitas lain. Di sinilah tampak kebenaran dari

solusi ekologi integral sebagai alternatif solusi atas krisis ekologi yang ditawarkan

oleh Paus Fransiskus. Tidak ada solusi tunggal yang bisa ditawarkan, sejauh

manusia dipahami sebagai makhluk multidimensional dan multirelasional. Solusi

yang diharapkan tentunya menyangkut aspek spiritual-religius (menyangkut

hubungan manusia dengan Tuhan), aspek sosial-ekonomi-politik-budaya

(menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya), dan aspek lingkungan hidup

atau ekologis (menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya).


33

BAB 3

EKOLOGI INTEGRAL SEBAGAI SOLUSI

KRISIS EKOLOGIS

Telah kita ketahui melalui pembahasan pada Bab 2, bahwa krisis ekologis

yang terjadi di dunia pada saat ini memiliki akar yang bercabang begitu banyak

dan luas, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Atas dasar

penemuan ini, Paus Fransiskus menawarkan solusi ekologi yang integral sebagai

solusi krisis ekologis. Penyelesaian tidak bisa lagi diharapkan hanya menyentuh

satu bidang saja —misalnya lingkungan hidup— karena penyelesaian tersebut

hanya menyelesaikan satu akar dari berbagai macam akar permasalahan ekologis.

“Ecology” (Ing) memiliki dua arti, yaitu “the branch of biology concerned

with the relation between organisms and their environment” dan “the set of

relationships between an organism and its environment”52. Ekologi berasal dari

dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos (rumah, kediaman) dan logos (ilmu)53.

“Intégral” dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai "integral, entire” 54 .

“Integral” memiliki tiga arti 55 , yaitu (1) “necessary to complete an entity,

essentially part of some whole”, (2) “forming a single unit with something else”,

52
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
53
A. Bakker, Kosmologi & Ekologi, Kanisius, Yogyakarta, 1995, 34.
54
R. Weiman, Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York, 1978.
55
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
34

dan (3) “whole and complete”. Sementara itu, “entire” juga memiliki tiga arti56,

yaitu (1) “whole and complete, absolute and unqualified”, (2) “not broken or

damaged, intact”, dan (3) “with an unbroken outer edge”. Berdasarkan definisi di

atas, penulis berkesimpulan bahwa ekologi yang integral berarti suatu cara

pandang terhadap relasi antara makhluk hidup dengan lingkungannya yang

menyeluruh, di mana unsur-unsur yang terdapat di dalamnya saling

mempengaruhi tanpa dapat terpisahkan satu sama lain.

Mengacu pada kesimpulan Bab 2, pembahasan mengenai ekologi integral

akan menyangkut dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Hal

ini juga dikemukakan Paus Fransiskus dalam LS 66 dengan menyebutkan bahwa

tiga hubungan penting telah rusak, yaitu “hubungan dengan Allah, dengan

sesama, dan dengan bumi”. Dimensi vertikal menyangkut hubungan manusia

dengan Tuhan (aspek spiritual-religius), sementara dimensi horisontal

menyangkut hubungan manusia dengan sesama dan alam ciptaan (aspek sosial-

ekonomi-politik-budaya) dan dengan lingkungannya. Dengan kata lain, dimensi

vertikal menyangkut aspek ilahi dari ekologi dan dimensi horisontal menyangkut

aspek manusiawi dari ekologi.

3.1 Dimensi Vertikal Ekologi Integral

Dimensi vertikal ekologi integral secara khusus diberi tempat oleh Paus

Fransiskus dalam LS Bab 2 yang berjudul “Kabar Baik Penciptaan” dan enam

subbab dalam Bab 6, yang meliputi “Pertobatan Ekologis”, “Kegembiraan dan

Damai”, “Tanda-tanda Sakramental dan Istirahat yang Dirayakan”, “Allah

Tritunggal dan Hubungan antara Makhluk”, “Ratu Seluruh Dunia Ciptaan”, dan

56
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.
35

“Melampaui Matahari”. Ekologi integral harus menyentuh dimensi vertikal ini

karena “tidak ada cabang ilmu dan tidak ada jenis kebijaksanaan yang dapat

diabaikan, termasuk kebijaksanaan agama dengan bahasanya sendiri” (LS 63).

Ada beberapa poin pokok yang bisa digunakan untuk membantu memahami

ujaran Paus dalam LS berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah dalam

kaitannya dengan ekologi integral, yaitu hakikat manusia di hadapan Allah,

hakikat alam ciptaan di hadapan Allah, dan usaha perdamaian antara manusia,

alam ciptaan, dan Allah.

3.1.1 Hakikat Manusia di Hadapan Allah: Gambar dan Rupa Allah

Pembahasan mengenai hakikat manusia di hadapan Allah tidak pernah bisa

dilepaskan dari Kitab Kejadian, yang “mengandung ajaran mendalam tentang

eksistensi manusia dan realitas sejarah” (LS 66). Secara khusus, ayat dari Kej

1:2657 harus diberi perhatian lebih karena menunjukkan martabat manusia yang

“diciptakan karena cinta, menurut gambar dan rupa Allah” (LS 65) dan “bukan

hanya sesuatu, tetapi seseorang sehingga mampu mengenal dan menguasai dirinya

sendiri serta mampu memberikan dirinya dan masuk ke dalam persekutuan

dengan orang lain secara bebas” 58 . Secara kronologis, penciptaan manusia pun

istimewa, karena manusia adalah ciptaan terakhir, yang menjadikannya puncak

57
“Berfirmanlah Allah” “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas
seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”, dikutip dari Alkitab
Deuterokanonika yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia tahun 1974 dan diterbitkan
oleh Lembaga Biblika Indonesia tahun 2001. Penyuntingan berupa cetak miring dilakukan oleh
penulis.
58
Terjemahan bebas dari kutipan Cathecism of The Catholic Church nomor 357: “Who is not just
something, but someone. He is capable of self-knowledge, of self-possession and of freely giving
himself and entering into communion with other persons”, diunduh dari
http://archeparchy.ca/wcm-docs/docs/catechism-of-the-catholic-church.pdf, pada 7 Februari 2017,
pukul 18.30 WIB.
36

atau mahkota penciptaan 59 . Namun, perlu disadari bahwa keserupaan citra

manusia dengan Allah tidak menjadikan manusia Allah (LS 67).

Ada dua pandangan yang berusaha menjelaskan apa artinya manusia

dijadikan serupa dengan Allah60. Pandangan pertama beranggapan bahwa manusia

merupakan gambar Allah dan rupa Allah karena manusia memiliki akal budi dan

kehendak bebas seperti Allah. Sementara itu, pendapat kedua beranggapan bahwa

manusia merupakan gambar dan rupa Allah karena ia ikut mengatur alam semesta.

Dari dua pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa di hadapan Allah manusia

memiliki tugas untuk ikut mencipta bersama Allah 61 . Kata “bersama” di sini

menjadi penting karena pada akhirnya tugas yang diemban manusia tidak pernah

dapat dipisahkan dari kehendak Allah. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia

harus mengelola dan memelihara dunia yang dipercayakan kepadanya 62. Di sini

hakikat manusia di hadapan Allah menjadi jelas, yaitu ciptaan yang paling mulia

yang dalam melaksanakan tugasnya harus selalu berpandangan teosentris, di mana

kehendak Allah menjadi yang terutama. Konsep ini sekaligus menangkal konsep

antroposentrisme yang menjadi akar manusiawi krisis ekologis.

3.1.2 Hakikat Alam Ciptaan di Hadapan Allah: Setara dengan Manusia

Sebagai Bagian dari Kesatuan Seluruh Ciptaan

Dalam tradisi Yahudi-Kristen, kata yang sepadan dengan kata “alam”

adalah kata “ciptaan”, yang memiliki arti lebih luas karena ada hubungannya

59
H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa,
Dioma, Malang, 1996, 119.
60
H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, 119.
61
H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, 119,
sebagaimana dikutip dari Stephen Greenhalgh, “Creative Partnership in Genesis”, Scripture
Bulletin Vol. XXII No.1 (1992):9-14.
62
H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, 120.
37

dengan “proyek kasih Allah di mana setiap makhluk memiliki nilai dan arti” (LS

76). Ciptaan bukan hanya sistem yang dapat dipelajari, dipahami, dan dikelola,

namun, lebih daripada itu, adalah hadiah dari tangan terbuka Bapa kita semua,

sebagai kenyataan yang disinari kasih yang memanggil kita ke dalam suatu

persekutuan universal (LS 76). Hal ini didukung oleh ilmu kosmologi, yang

melihat alam semesta sebagai pengkosmos, di mana sebutan sebagai pengkosmos

itu sendiri menunjukkan bahwa “substansi-substansi duniawi bukan saja menurut

salah satu segi dangkal, melainkan mengungkapkan seluruh kebertentuan mereka

sebagai substansi otonom dan unik dalam kebersamaan dengan dunia

seluruhnya” 63 . Kata-kata “substansi otonom dan unik” serta “kebersamaan”

tersebut perlu mendapat perhatian lebih, karena menunjukkan sisi subjektif dari

alam semesta, bahwa mereka bukan hanya dilihat sebagai objek, melainkan juga

sebagai subjek dalam kebersamaannya dengan substansi lain, termasuk manusia.

Ini berarti manusia tidak memiliki kuasa tunggal atas seluruh ciptaan, karena

apapun yang terjadi atas ciptaan pasti berpengaruh pula pada kehidupan manusia.

Lebih jauh, Santo Bonaventura menawarkan refleksinya terhadap alam

ciptaan sebagai manifestasi kasih Allah Tritunggal, yaitu sebagai ‘saudara’ yang

eksistensinya harus dihargai dan dihormati 64 . Konsekuensinya, penghormatan

terhadap eksistensi dan nilai intrinsik alam ciptaan menjadi sebuah tuntutan yang

fundamental, karena baik manusia maupun seluruh anasir alam diciptakan oleh

Pencipta yang sama, ditebus oleh Kristus yang sama, dan akan kembali kepada

63
A. Bakker, Kosmologi & Ekologi, 54.
64
Y. D. Udu, “Implikasi Ekologis dari Kristologi Bonaventura terhadap Cara Pandang Orang
Kristen dalam Melihat Alam”, Diskursus Vol. 37 No. 2 (2005):54.
38

Bapa yang satu dan sama 65 . Ide mengenai persekutuan, kebersamaan, dan

kesatuan antara manusia dengan alam ciptaan inilah yang dapat menjadi salah satu

kemungkinan untuk menumbuhkan dan menjaga sikap menghargai, menghormati

alam ciptaan, dan tenggang rasa dalam perlakuan manusia terhadapnya 66. Paus

Fransiskus mempertegas pandangan Santo Bonaventura ini dalam LS 89, di mana

Paus menulis: “Karena diciptakan oleh Bapa yang sama, kita (manusia) dan

semua makhluk alam semesta disatukan oleh ikatan tak kelihatan, dan membentuk

semacam keluarga universal, suatu persekutuan luhur yang memenuhi kita dengan

rasa hormat yang suci, lembut, dan rendah hati”. Persekutuan ini juga tidak hanya

dalam tataran moral, pragmatis, utiliaris, dan hedonis, melainkan eksistensial,


67
faktis, fenomenal, empiris, dan terutama eskatologis . Perspektif ini

memungkinkan manusia untuk menghayati nilai alamiah keragaman biologis

dalam konteks hubungan erat yang mengikat aneka ragam bagian ekosistem 68 .

Keberadaan dan kelestarian hutan, gunung, dan ekosistem lain di dunia, sekalipun

terpisahkan oleh jarak dengan demikian tidak mengurangi kepedulian kita

terhadapnya, karena masing-masing ekosistem tersebut juga mempunyai peran

penting dalam keseimbangan ekosistem seluruh planet bumi, tempat tinggal kita

bersama.

Kitab Suci Perjanjian Baru juga memberikan beberapa contoh mengenai

bagaimana ciptaan juga dihargai, bahkan dipelihara oleh Sang Pencipta. Melalui

sabda Yesus, kita mengimani bahwa Allah pun memelihara burung pipit (Mat

65
Y. D. Udu, “Implikasi Ekologis dari Kristologi Bonaventura terhadap Cara Pandang Orang
Kristen dalam Melihat Alam”, 54, sebagaimana dikutip dari Bonaventure, Breviloquium, III, c.11,
1-3, 124..
66
A. Woi, “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”, Menyapa Bumi Menyembah
Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2008, 22.
67
A. Woi, “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”, 22.
68
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 320.
39

10:29) dan bunga (Mat 6:28-30)69. Jaminan Allah bagi burung-burung di udara

maupun jaminan untuk kebutuhan manusia adalah sejajar 70 . Dari sini dapat

disimpulkan bahwa manusia dan ciptaan tidak hanya ada dalam persekutuan,

kesatuan, dan kebersamaan. Di hadapan Allah, manusia dan ciptaan memiliki nilai

yang sama pentingnya, sehingga keduanya dipelihara oleh-Nya. Di sini semakin

jelas bahwa tidak ada hierarki dalam persekutuan antara manusia dengan ciptaan,

karena Allah-lah yang menjadi satu-satunya penguasa sekaligus pemelihara

ciptaan. Ilmu etika memang melihat manusia memiliki nilai intrinsik paling tinggi

di antara semua makhluk ciptaan di dunia ini 71 , namun hal ini tidak berarti

menegasi nilai intrinsik yang terdapat pada semua makhluk ciptaan.

Gagasan mengenai kesatuan antara manusia dengan ciptaan yang lain secara

tegas mengkritik pandangan teknokratisme, yang juga menjadi salah satu akar

manusiawi krisis ekologis. Pandangan ini memberi makna bagi keberadaan

ciptaan, yang menyebabkannya tidak bisa dilihat hanya menggunakan kacamata

teknis. Namun, pandangan ini juga tidak dapat dipahami sebagai biosentrisme

karena yang menjadi pusat bukanlah ciptaan, melainkan Sang Pencipta itu sendiri.

Alam ciptaan memang rapuh, oleh karena itu Allah mempercayakan

perawatannya kepada manusia, dan menantang kita untuk menemukan jalan-jalan

yang cerdas untuk mengarahkan, mengembangkan, dan membatasi kekuatan kita

(LS 78). Inilah yang menjadi kunci hubungan antara alam ciptaan, manusia, dan

Allah.

69
C. Dane-Drummond, Teologi & Ekologi: Buku Pegangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta,
1999, 32.
70
C. Dane-Drummond, Teologi & Ekologi: Buku Pegangan, 32.
71
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2015, 36.
40

3.1.3 Usaha Pendamaian antara Manusia, Alam Ciptaan, dan Allah

Dalam pembahasan mengenai dimensi vertikal ekologi integral, usaha

pendamaian ini perlu dicantumkan, terutama karena melalui LS dan spiritualitas

Fransiskan yang menjiwainya, pemahaman akan dosa diperluas. Dosa tidak hanya

dipahami dalam konteks perbuatan buruk yang kita lakukan terhadap sesama

manusia, melainkan diperluas dengan juga mencakup perbuatan buruk yang kita

lakukan terhadap alam ciptaan. Di sini pertobatan dan pendidikan ekologis

mendapat tempat dan relevansinya untuk memulihkan hubungan manusia dengan

Allah yang rusak karena pengabaian terhadap kelestarian alam.

3.1.3.1 Pribadi Yesus Kristus sebagai Sentral

Manusia, alam ciptaan, dan Allah bersinggungan dalam satu pribadi, yaitu

Yesus Kristus. Melalui Yesus, kita mengenal status baru, yaitu hubungan

kebapaan yang dimiliki Allah dengan semua makhluk (LS 96). Dengan demikian.

persaudaraan antarciptaan diangkat ke tataran yang lebih tinggi, yaitu keluarga,

dengan Allah sebagai Bapa. Kiranya pandangan inilah yang juga melatarbelakangi

Paus Fransiskus untuk mencantumkan “Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama”

sebagai subjudul LS. Sebagai sesama anggota keluarga, manusia mempunyai

tanggungjawab untuk merawat bumi yang menjadi rumah yang didiaminya

bersama dengan makhluk ciptaan lain sesuai dengan kehendak Allah, Sang Bapa.

Keistimewaan peran Yesus Kristus ini terangkum secara indah dalam perikop Kol

1:15-23 72 terutama pada ayat 16 (“...karena di dalam Dialah telah diciptakan

72
“15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang
diciptakan,16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang
ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik
pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.17 Ia ada terlebih
dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.18 Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat.
Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama
41

segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang

tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun

penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”) dan ayat 20 (“...dan

oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di

bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah

salib Kristus”). Dari perikop tersebut dapat disimpulkan bahwa perdamaian antara

bumi dan sorga tak mungkin dapat dicapai tanpa melalui penebusan Kristus Yesus

adalah tokoh sentral untuk membumikan surga dan mensurgakan bumi73.

Dalam artikel yang ditulis oleh David Naugle, profesor filsafat dari Dallas

Baptist University disebutkan bahwa di hadapan ciptaan, Kristus adalah sekaligus

gambar Allah yang tak kelihatan, sulung dari segala ciptaan, pelaku penciptaan,

dan pemelihara ciptaan74. Melalui-Nya, keseluruhan ciptaan didamaikan dengan

Allah 75 . Namun, pendamaian segala sesuatu dengan Diri Kristus tidak terjadi

tanpa syarat. Pendamaian yang dibawa oleh salib Kristus tersebut perlu

diwartakan dan diterima dalam iman (bdk. Kol 1:23, 2:6), terwujud dalam mereka

yang menjadi anggota Tubuh Mistik Kristus yaitu Gereja (bdk. Kol 1:24) yang

dalam segala sesuatu.19 Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia,20 dan oleh
Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang
ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus. 21 Juga kamu yang
dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata
dari perbuatanmu yang jahat,22 sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh
kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-
Nya.23 Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan
mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh
alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.” sebagaimana dikutip
dari Alkitab Deuterokanonika yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia tahun 1974
dan diterbitkan oleh Lembaga Biblika Indonesia tahun 2001.
73
D. G. Hornell, “Yesus dan Ibu Bumi: Injil dan Ekologi”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5
(2016):31-32.
74
D. Naugle, “The Cosmic Christ Of Colossians: A Study Of Colossians 1:15-23”, 3-8, diunduh
dari http://www3.dbu.edu/naugle/pdf/Colossians1.15-23.pdf, diunduh pada 25 Maret 2017 pukul
11.12 WIB.
75
D. Naugle, “The Cosmic Christ Of Colossians: A Study Of Colossians 1:15-23”, 10.
42

bertahan dalam iman (bdk. Kol 1:23) hingga mencapai kedewasaan dalam Kristus

(bdk. Kol 1:28). Pendamaian tersebut dicapai melalui pertobatan ekologis76.

3.1.3.2 Pertobatan Ekologis

LS teks Prancis menggunakan kata “conversion” yang diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia sebagai pertobatan. Kata ini juga dipakai dalam bahasa

Inggris dan mengandung arti sama, yaitu (1) “a converting or being converted,

esp. to new beliefs or to new allegiance, e.g. from one Christian denomination to

another”, (2) “a change of role, purpose, etc.”, (3) “a voluntary change of stocks

and shares into others of a different kind” 77 . Kata ini dekat dengan kata

“metanoia” dalam bahasa Yunani diterjemahkan “decision by the whole man to

turn around”78 dan “a complete change of mind and heart away from sin and

toward God”79. Pertobatan ekologis mengandaikan perubahan secara radikal dari

sikap kita yang selama ini merusak alam menuju ke sikap merawat alam. Ini

sesuai dengan apa yang diharapkan Paus Fransiskus dalam LS 216, “Yang penting

bukanlah berbicara tentang ide-ide, tetapi terutama tentang motivasi yang lahir

dari spiritualitas, dan menumbuhkan semangat pelestarian dunia”.

76
Kata “pendamaian” dan “pertobatan” adalah dua kata yang memiliki kedekatan makna.
Sakramen tobat seringkali disebut sakramen rekonsiliasi. Sementara itu, dalam teks bahasa Inggris
dari ayat Kol 1:20, digunakan kata “reconciled” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
dengan “didamaikan”. Maka, untuk menerangkan makna “Pertobatan Ekologis” yang menjadi
istilah khusus Paus Fransiskus, penulis menghubungkannya dengan kata “pendamaian” sekalipun
dalam teks LS bahasa Inggris dan Perancis digunakan kata “conversion” (Ing) dan “conversion”
(Pra).
77
Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. Sebenarnya masih ada lima arti lagi
yang dicantumkan dalam kamus ini, namun kelimanya merupakan kosakata khusus dalam bidang
ekonomi, logika, matematika, fisika, dan kimia.
78
http://internetbiblecollege.net/Lessons/Repentance.pdf, 1, diunduh pada 27 Februari 2017 pukul
18.30 WIB.
79
http://internetbiblecollege.net/Lessons/Repentance.pdf, 1, sebagaimana dikutip dari Jay Green,
“A Concise Lexicon to the Biblical Languages”, 83.
43

Ada dua hal yang terkandung dalam pertobatan ekologis, yaitu visi

teosentris mengenai ciptaan dan solidaritas dengan generasi yang akan datang80.

Seperti telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, visi teosentris adalah hal yang

patut diusahakan dalam membangun spiritualitas yang ekologis. Kita tak lagi

dapat beorientasi antroposentris atau biosentris, melainkan teosentris, di mana

kehendak Tuhan, Sang Pencipta adalah pedoman bagi manusia dalam

memperlakukan alam ciptaan. Visi teosentrik ini dijabarkan, salah satunya oleh

Eco Learning Camp Bandung yang didirikan oleh Rm. Stanislaus Ferry Sutrisna

Wijaya, Pr pada tahun 2014 dengan uraian mengenai tujuh kesadaran baru hidup

ekologis, yang terdiri dari sikap berkualitas, sederhana, hemat, peduli, berbagi,

bermakna, dan harapan 81 . Kemudian, solidaritas dengan generasi yang akan

datang merupakan sebuah konsekuensi dari makna etimologis ekologi itu sendiri,

yang merupakan bentukan dua kata Yunani, yakni oikos (rumah) dan logos (ilmu,

refleksi, manajemen) 82 . Pertobatan ekologis tidak dapat dikatakan berhasil jika

tidak mengakibatkan tersedianya ‘rumah’ yang layak, bukan hanya untuk generasi

kita sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Inilah pentingnya

untuk “menciptakan suatu dinamisme perubahan yang berkelanjutan, juga

merupakan pertobatan komunal” (LS 219), karena pertobatan ekologis

sesungguhnya tidak pernah menjadi hanya sebagai pertobatan individual.

Seperti telah kita lihat, pertobatan ekologis berpangkal dari pandangan yang

melihat alam ciptaan sebagai keluarga, atau setidaknya sebagai saudara. Apa yang

dilakukan dalam menghayati pertobatan ekologis, yang di dalamnya mengandung

80
F. Gions, “Kesalehan Ekologis & Laudato Si’”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 1 (2016):8.
81
J. Dohut, “Eco Camp dan Pendidikan Nilai Berbasis Lingkungan Hidup”, Gita Sang Surya, Vol.
11 No. 5 (2016):13-14.
82
F. Gions, “Kesalehan Ekologis & Laudato Si’”, 8.
44

visi teosentris mengenai ciptaan dan solidaritas dengan generasi yang akan datang

mempunyai semangat yang sama dengan penghayatan kita akan pertobatan yang

kita lakukan atas kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama kita. Namun,

pertobatan ekologis hanya akan berada pada tataran manusiawi jika kita tidak

menyadari ciri sakramental yang ada di dalamnya. Maka, pembahasan mengenai

dimensi vertikal gerakan ekologis mencapai puncaknya dalam pembahasan ciri

sakramental, yang berpuncak pada hubungannya dengan Sakramen Ekaristi.

3.1.3.3 Ciri Sakramental dalam Gerakan Ekologis

Ciri sakramental terletak pada dua unsur yang selalu hadir bersama dan

saling berhubungan dan mengandaikan, yaitu unsur ilahi dan manusiawi, di mana

unsur ilahi menjadi segi isi yang disimbolkan dan unsur manusiawi menjadi

menjadi simbol yang mengungkapkan unsur ilahi itu83. Maka dari itu, sakramen-

sakramen adalah cara istimewa bagaimana “alam diangkat oleh Allah dan

dijadikan perantaraan kehidupan adikodrati” (LS 235). Bila dalam sakramen “air,

minyak, api, dan warna-warni diangkat dengan segala daya simbolisnya” (LS

235), segala unsur dalam alam ciptaan dapat ditransendensi menjadi lebih agung

daripada apa yang ditampakkan, karena manusia dapat menemukan unsur ilahi di

balik segala unsur manusiawi. Ciri sakramental ini selalu memiliki dasarnya pada

sesuatu yang bersifat historis, dalam artian selalu terjadi dalam dimensi ruang dan

waktu. Ciri sakramental ini berbeda dari ciri mitologis, yang menunjuk pada

sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah 84 . Contoh konkretnya, sebuah

pohon memiliki ciri sakramental jika dilihat sebagai karya Allah, bukan dengan

83
E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral,
Kanisius, Yogyakarta, 2003, 56.
84
E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, 57.
45

melihat ada ‘makhluk penunggu’ yang menjaganya. Kedua ciri sama-sama dapat

membuat kita menghormati sebuah ciptaan, namun dalam arti yang berbeda.

Tentu, yang dimaksudkan Paus Fransiskus adalah ciri yang pertama.

Rekonsiliasi dengan alam ciptaan dan dengan Allah mencapai puncaknya

dalam Ekaristi, yang merupakan sumber dan puncak seluruh kehidupan kristiani

(Lumen Gentium 85 11). Dalam Ekaristi, kehadiran pribadi Kristus dan karya

penebusan-Nya dalam kurban salib —di mana peran sentral dan unik-Nya telah

dibahas dalam bagian sebelumnya— itu mengalami penampakannya yang objektif

dalam kehadiran real Tubuh dan Darah-Nya dalam rupa roti dan anggur86. Dalam

Ekaristi, unsur ilahi dari alam ciptaan sangat nampak, misalnya dalam

mempersiapkan persembahan, kita berterimakasih kepada Pencipta untuk roti dan

anggur, “hasil dari usaha manusia”, tetapi pertama-tama “hasil dari bumi” dan

“pokok anggur”, anugerah Pencipta 87 . Dengan demikian, Ekaristi “menyatukan

langit dan bumi” serta “merangkul dan meresapi seluruh ciptaan” (LS 236). Tak

hanya dalam kaitannya dengan kelestarian alam, Ekaristi yang dirayakan pada hari

Minggu, yang merupakan hari istirahat untuk memusatkan diri pada Ekaristi,

“mendorong kita untuk lebih memperhatikan perlindungan alam dan kaum

miskin”, karena istirahat “membuka mata kita untuk dunia yang lebih luas dan

memungkinkan kita untuk mengakui hak-hak dari yang lain” (LS 237).

Demikianlah, Ekaristi merupakan perayaan perdamaian dan rekonsiliasi, karena

dalam perayaan tersebut setiap orang beriman diajak untuk menyadari keberadaan

Allah, dalam dirinya sendiri dan alam ciptaan —termasuk perhatian kepada
85
Selanjutnya disebut LG.
86
E. Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta,
2005, 356.
87
A. Cahyono, “Ekaristi: Rekonsiliasi dengan Alam Ciptaan”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5
(2016):15-16.
46

mereka yang terabaikan— dalam satu kesatuan relasi harmonis, yang dengan

sendirinya menjauhkan kita dari sikap eksploitatif dan mengobjekkan alam

ciptaan88.

3.2 Dimensi Horisontal Ekologi Integral

Ekologi integral tidak cukup hanya menyangkut hubungan manusia dan

alam ciptaan dengan Allah. Ekologi integral juga mencakup hal-hal praktis

mengenai bagaimana tanggungjawab manusia untuk merawat alam ciptaan

dilaksanakan. Di sinilah tempat dimensi horisontal ekologi integral di mana hal-

hal teknis dan praktis mengenai perawatan bumi sebagai “rumah kita bersama”

dibahas. Namun, patut dicatat bahwa pembedaan dimensi vertikal dan dimensi

horisontal ekologi integral tidak berarti bahwa keduanya terpisahkan. Untuk dapat

melaksanakan tanggungjawabnya dalam merawat alam, manusia perlu terlebih

dahulu memiliki pandangan yang tepat mengenai hubungannya dengan alam

ciptaan dan dengan Sang Pencipta, yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya.

Hanya dengan demikian manusia mendapat “motivasi kuat untuk mengurus

lingkungan tempatnya berada” karena “komitmen ekologis yang timbul dari

keyakinan imannya” (LS 64).

Seperti telah disebutkan pada awal bab, dimensi horisontal ekologi integral

menyangkut secara khusus aspek manusiawi dari ekologi integral. Aspek

manusiawi yang dimaksud adalah aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Dimensi horisontal ekologi integral ini secara khusus dibahas oleh Paus

Fransiskus dalam LS Bab 4 dan Bab 5. Untuk memahaminya, penulis

menawarkan pembahasan dengan dua kata kunci yang merangkum pedoman-

88
A. Cahyono, “Ekaristi: Rekonsiliasi dengan Alam Ciptaan”, 16.
47

pedoman yang terdapat dalam LS, yaitu ekologi integral yang dilaksanakan

dengan mengutamakan jalan dialog.

3.2.1 Ekologi Integral menurut Paus Fransiskus

Dalam Bab 4 LS, Paus Fransiskus menawarkan lima komponen yang dapat

dimasukkan ke dalam pembahasan mengenai ekologi integral, yaitu ekologi

lingkungan, ekonomi, dan sosial, ekologi budaya, ekologi hidup sehari-hari,

prinsip kesejahteraan umum, dan keadilan antargenerasi. Kelima komponen ini

mempunyai dimensi manusiawi dan sosial sebagai suatu visi yang

memperhitungkan semua aspek dari krisis global (LS 137).

3.2.1.1 Ekologi Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial

Ekologi lingkungan, ekonomi, dan sosial bukan sesuatu yang asing dalam

istilah pembangunan, karena sejak lama telah dikenal istilah yang erat maknanya

dengan ekologi lingkungan, ekonomi, dan sosial, yaitu pembangunan

berkelanjutan. Inti kegiatan ekologi lingkungan, ekonomi, dan sosial adalah

menjawab pertanyaan mengapa tempat tertentu tercemar dengan menjalankan

suatu studi tentang cara kerja masyarakat, ekonominya, perilakunya, dan cara

mereka memahami realitas (LS 139). Solusi yang dicapai kemudian diharapkan

sebagai satu solusi yang komprehensif untuk memerangi kemiskinan, memulihkan

martabat orang yang dikucilkan, dan pada saat yang sama melestarikan alam (LS

139).

Kondisi zaman sekarang sarat dengan iklim globalisasi. Perkembangan

teknologi dalam bidang komunikasi dan dan transportasi membuat kita memiliki

cara pandang yang baru terhadap dunia, yaitu sebagai sebuah desa global (global

village) di mana semua warga dunia ini seakan-akan menjadi tetangga dalam
48

sebuah desa tradisional 89 . Situasi ini pertama-tama membawa dampak dalam

hidup sosial masyarakat dunia, di mana seperti yang terjadi di desa, semua

warganya terhubung dan saling mempengaruhi. Warga dunia tidak lagi bisa

berpikiran bahwa apa yang terjadi di negara tempat tinggal mereka tidak akan

membawa pengaruh bagi negara di belahan dunia yang lain. Suka-duka setiap

warganya adalah suka-duka warga lain, baik di lain kota, lain negara, maupun lain

benua. Contoh konkretnya adalah bagaimana melalui media sosial warga

Indonesia dapat ikut menanggapi cuitan dari Presiden Amerika dan warga Eropa

dapat mengikuti dan memberi tanggapan atas kehidupan sehari-hari Presiden Joko

Widodo yang diunggah dalam akun media sosialnya. Perubahan secara sosial ini

kemudian diikuti dengan perubahan dalam banyak bidang lain, seperti politik,

ekonomi, dan budaya. Cara pandang ini sebenarnya merupakan sebuah peluang

bagi gerakan ekologis, karena kesadaran akan interkonektivitas yang ada dalam

setiap individu di dunia ini akan mendorong kita untuk berhati-hati dalam

memperlakukan alam, juga sebagai sarana ampuh untuk mensosialisasikan

gerakan sadar lingkungan. Namun, yang terjadi dalam era globalisasi di mana

suara setiap individu semestinya dapat didengarkan dan diperdengarkan ini justru

adalah pengabaian satu suara, yaitu suara Bumi, yang merupakan “rumah kita

bersama dan sumber segala macam kehidupan” 90 . Dalam konteks ekologis,

permintaan komoditi seperti kayu dan minyak kelapa sawit yang sangat tinggi dari

negara-negara maju mengakibatkan negara-negara berkembang, yang wilayahnya

masih memungkinkan untuk ditanami kayu dan kelapa sawit memperluas lahan

89
J. Moltmann, “A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological Perspective”,
The Ecumenical Review, Vol. 63 No. 1 (2011):16.
90
J. Moltmann, “A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological Perspective”,
17.
49

produksinya hingga merusak lingkungan di sekitarnya. Maka, Moltmann

menganjurkan agar manusia mengubah cara pandangnya terhadap dunia: tidak

lagi melihat sebagai “dunia” melainkan sebagai “bumi”91.

Pergeseran cara pandang dari “dunia” menjadi “bumi” tersebut dicontohkan

Moltmann, salah satunya dari bidang ekonomi. Ada tiga tahapan yang diamati

Moltmann dalam kaitannya dengan perubahan pandangan “ekonomi dunia”

menjadi “ekonomi bumi”92. Pada tahap pertama, muncul perusahaan-perusahaan

transnasional sebagai dampak dari tumbuhnya kesadaran akan makroekonomi.

Perdagangan yang sebelumya hanya dikenal dalam lingkup dalam negeri mulai

dilihat lebih luas dengan berkembangnya kebijakan impor-ekspor. Pada tahap ini,

kebijakan politik cenderung tunduk pada kebijakan ekonomi. Pada tahap yang

kedua, hubungan ekonomi tidak hanya dilihat sebagai hubungan antara negara

yang satu dengan negara yang lain; tidak hanya sebagai hubungan negara importir

dengan negara eksportir. Ekonomi nasional berpadu menjadi satu ekonomi dunia.

Di sini ketidakseimbangan mulai terjadi, ketika warga dunia harus ikut membayar

harga dari kerugian ekologis yang dilakukan oleh perusahaan trasnnasional. Pada

tahap yang ketiga, akhirnya tumbuh kesadaran akan pentingnya “ekonomi bumi”,

di mana bumi dimasukkan ke dalam faktor ekonomi. Konsekuensinya,

kepentingan bumi harus ikut dijaga dan mereka yang ‘melukai’ bumi harus

membayar ganti rugi. Moltmann menawarkan agar manusia belajar dari siklus

bumi, di mana dimungkinkan sebuah kekuatan untuk “lahir kembali”. Globalisasi

dalam ekonomi akan meningkatkan angka produksi yang akan diikuti dengan
91
Kesimpulan pribadi penulis, bahwa dalam “A Common Earth Religion: World Religions from
an Ecological Perspective”, 17-18, Moltmann menulis perkembangan “From world politics to
earth politics” dan “From a world economy to an earth economy”.
92
Bagian ini disarikan dari J. Moltmann, “A Common Earth Religion: World Religions from an
Ecological Perspective”, 17.
50

meningkatnya pula angka konsumsi. Maka, karena angka produksi tidak

memungkinkan untuk diturunkan, yang harus dilakukan oleh manusia adalah

memanipulasi kegiatan konsumsi. Salah satu hal yang bisa dilakukan di sini

adalah pengembangan sumber energi terbarukan dan industri daur-ulang, sehingga

keseimbangan ekologi dapat tetap terjaga. Inilah salah satu penerapan dari siklus

bumi dalam kegiatan ekonomi, di mana kemampuan regeneratif setiap ekosistem

dalam berbagai bidang dan aspeknya turut dipertimbangkan (LS 140). Pergeseran

cara pandang “ekonomi dunia” menjadi “ekonomi bumi” oleh Paus Fransiskus

dibahasakan sebagai pergeseran cara pandang “otomatisasi dan homogenisasi”

menjadi cara pandang humanisme (LS 141).

3.2.1.2 Ekologi Budaya

Ancaman terhadap kelestarian alam juga berarti ancaman terhadap warisan

sejarah, seni, dan budaya. Maka, gerakan ekologi haruslah juga meliputi

pelestarian kekayaan budaya umat manusia dalam arti yang luas, termasuk

sejarah, budaya, dan arsitektur lokal (LS 143). Dalam zaman ini, ekologi budaya

mendapat ancaman serius, terutama dari visi konsumeristik manusia yang

didorong oleh mekanisme ekonomi global, yang cenderung untuk

menyeragamkan budaya dan mengurangi keanekaragamannya (LS 144). Arti

penting kelestarian budaya oleh Paus Fransiskus termuat dalam LS 145 di mana

dalam artikel terebut tertulis bahwa hilangnya satu budaya dapat sama serius atau

lebih serius daripada hilangnya spesies tanaman atau binatang.

Apa yang ingin disampaikan Paus Fransiskus sebenarnya adalah ajakan

untuk menghargai kearifan lokal. Pentingnya kearifan lokal dalam kaitannya

dengan gerakan ekologis disebut secara eksplisit oleh Francis Wahono: “kearifan
51

lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam

menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai

bencana dan kendala serta keteledoran manusia”93. Kearifan lokal jauh lebih luas

daripada sekadar ritual. Beberapa kearifan lokal juga menyangkut tatacara

membangun rumah (arsitektur) atau tatacara menanam (agraris). Tingginya

penghargaan terhadap alam yang terdapat dalam kearifan lokal adalah

pembanding yang kontras dengan sistem ekonomi dunia saat ini, yang justru

semakin memandang rendah alam sebatas faktor produksi. Contoh kearifan lokal

di Jawa, misalnya adalah “Pranata Mangsa”. Kearifan lokal ini memberikan

arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam

mangsa yang bersangkutan dan tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri

meskipun sarana prasarana mendukung 94 . Dengan demikian, keseimbangan

ekologis terjamin karena petani tidak akan menanam tanaman pertanian dengan

orientasi ekonomis, melainkan ekologis. Contoh lain adalah pengkeramatan

pohon-pohon besar yang ada di hampir seluruh budaya lokal di Indonesia. Pohon-

pohon besar, terutama beringin adalah penanda bahwa di sekitar pohon tersebut

terdapat sumber air yang baik. Kita tahu bahwa air adalah salah satu unsur utama

penunjang kehidupan. Contoh kearifan lokal dalam bidang arsitektur, misalnya

penggunaan kayu Gopasa sebagai tiang rumah dan jembatan masyarakat Bajo,

Gorontalo, yang diambil dari luar kawasan mangrove, yang merupakan komponen

93
Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan”, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Fakultas
MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009, B-207, diunduh dari
http://eprints.uny.ac.id/12149/1/Bio_Suhartini2%20UNY.pdf, pada 4 Maret 2017 pukul 11.30
WIB.
94
Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan”, B-211.
52

penting pelestarian biota laut95. Di sini anjuran Paus Fransiskus dalam merawat

kearifan lokal menunjukkan relevansinya, yaitu bahwa dengan merawat kearifan

lokal, kita juga merawat lingkungan yang ada di wilayah kearifan lokal tersebut.

Kelompok-kelompok adat dan budaya mendapat peran dan perhatian khusus,

karena ketika mereka tinggal di wilayah mereka, justru merekalah yang

melestarikannya dengan paling baik (LS 146), sesuatu yang tidak bisa dilakukan

oleh antroposentrisme dan teknokratisme budaya modern.

3.2.1.3 Ekologi Hidup Sehari-hari

Gerakan ekologis pada akhirnya tidak hanya berbicara mengenai hal-hal

yang luas dan abstrak, namun juga dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, di

tempat di mana kita hidup sehari-harinya, baik di kamar, rumah, tempat kerja,

ataupun lingkungan di sekitar kita. Berbeda dengan gerakan ekologis dalam

bidang ekonomi dan politik yang bersifat konseptual dan kolektif, dalam ekologi

hidup sehari-hari Paus memberi tempat bagi spontanitas, kepekaan pribadi, dan

gerakan individu. Tempat tinggal yang layak, transportasi, ketersediaan ruang

gerak, panorama, pengakuan martabat manusia, dan penanggulangan kekerasan

adalah topik-topik yang erat kaitannya dengan ekologi hidup sehari-hari.

Ekologi hidup sehari-hari sangat ditentukan oleh kreativitas dan kemurahan

hati dari pelakunya, yang berusaha agar setiap tempat bukan menjadi neraka tetapi

berubah menjadi tempat kehidupan yang bermartabat (LS 148). Dengan cinta

yang memotivasi setiap tindakan, kepadatan penduduk yang menyesakkan di

lingkungan tempat tinggal diubah menjadi pengalaman komunitas, dinding ego


95
R. Utina, “Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo
Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo”, Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi
Lingkungan Hidup Indonesia ke- 21, 13-15 September 2012, diunduh dari
http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/4/7/Kecerdasan-Ekologis-Dalam-Kearifan-Lokal-
Masyarakat-Bajo-Desa-Torosiaje-Provinsi-Gorontalo.pdf pada 25 Maret 2017 pukul 11.35 WIB.
53

diruntuhkan, dan hal-hal yang tadinya merupakan hambatan diubah menajdi

peluang. Cara berpikir positif dan adaptif merupakan ciri lain dari ekologi hidup

sehari-hari, karena selalu berusaha memikirkan hal sederhana apa yang bisa

dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Tidak ada anjuran secara rinci mengenai

apa yang harus dilakukan, namun Paus Fransiskus memberi landasan motivasi

ekologi sehari-hari dengan menganggap bahwa seluruh dunia adalah “hadiah dari

Bapa dan rumah bersama” (LS 155). Ekologi hidup sehari-hari dapat dimulai

dengan belajar menerima tubuh kita sendiri, merawatnya dan menghormati

seluruh maknanya (LS 155). Dengan demikian, kita bisa merawat kamar, rumah,

dan bumi kita tanpa harus menikmati kekuasaan mutlak atasnya, seperti kita juga

tidak menikmati kekuasaan mutlak atas tubuh kita.

3.2.1.4 Prinsip Kesejahteraan Umum

Kesejahteraan umum adalah “keseluruhan kondisi kemasyarakatan yang

memungkinkan kelompok-kelompok maupun anggota perorangan, mencapai

kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah” (LS 156)96. Bentuk

kesejahteraan umum bisa macam-macam, mulai dari hal-hal yang sudah ada

(keindahan alam, gunung gemunung, air terjun, sinar matahari, dan sebagainya)

sampai dengan segala sesuatu yang masih harus dicapai atau diusahakan bersama

(rumah yang sehat, keamanan lingkungan, kemenangan, dan sebagainya)97.

Kesejahteraan umum mengandaikan adanya penghormatan terhadap pribadi

manusia apa adanya, kesejahteraan sosial, dan kedamaian sosial (LS 157).

Penghormatan terhadap pribadi manusia ditunjukkan dengan penghargaan

terhadap hak-hak asasi manusia. Kesejahteraan sosial digaransi dengan

96
Definisi ini dikutip oleh Paus Fransiskus dari Gaudium et Spes artikel 26.
97
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 219.
54

kemudahan akses kebutuhan yang memungkinkan manusia untuk hidup layak

sebagai manusia, misalnya soal makanan, pakaian, kesehatan, pekerjaan,

pendidikan, dan sebagainya. Kedamaian sosial mengandung arti stabilitas dan

keamanan dalam suatu tatanan yang adil, serta terciptanya keamanan masyarakat

dan masing-masing anggotanya dengan cara-cara yang bisa dibenarkan secara

moral98. Maka, kesejahteraan umum memiliki kekhasan yaitu hanya bisa dicapai

dengan usaha dan kerja bersama-sama 99 . Kesejahteraan umum bukan hanya

tanggungjawab pemerintah ataupun penguasa. Setiap individu pun dituntut untuk

menyumbangkan (mengusahakan) dan sharing kebaikan itu dalam sebuah cara

yang terorganisasi100.

Kesejahteraan umum merupakan salah satu tema etika yang sudah ada sejak

zaman Yunani dan Romawi kuno. Para filsuf Yunani dan Romawi kuno seperti

Plato, Aristoteles, dan Cicero sudah membahas kesejahteraan umum sebagai salah

satu tujuan negara 101 . Namun, di masa sekarang kesejahteraan umum semakin

bergeser ke arah universal sehingga menyangkut semua bangsa, tidak hanya

negara. Kesejahteraan umum semakin menemukan relevansinya di zaman

sekarang dengan begitu banyak ketimpangan dan makin banyak orang

terpinggirkan, dan dirampas hak-hak asasinya. Demikianlah penerapan prinsip

kesejahteraan umum sekaligus merupakan seruan solidaritas dan prioritas pilihan

bagi kaum miskin (LS 158).

Prinsip kesejahteraan umum juga terkait erat dengan masalah kemiskinan

dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Mengutip Surat Pastoral tentang

98
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 222.
99
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 219.
100
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 220.
101
C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 218.
55

Lingkungan dan Pengembangan Manusia di Bolivia yang dikeluarkan oleh

Konferensi Waligereja Bolivia tahun 2012, Paus Fransiskus menyebut dalam LS

48, bahwa “Baik pengalaman hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah

menunjukkan bahwa efek paling parah dari semua perusakan lingkungan diderita

oleh kaum miskin”. Maka, tidaklah adil apabila ada banyak pihak yang

mengambil keuntungan dari kerusakan alam sedangkan kaum miskin tidak

mendapat kompensasi yang wajar atas kerusakan yang terjadi pada alam yang

mereka tinggali. Mengenai keterikatan antara krisis ekologis dan kemiskinan ini,

yang harus dilakukan, menurut Paus Fransiskus, adalah mengusahakan suatu

“pendekatan ekologis sejati” yang “selalu berupa pendekatan sosial” (LS 49).

Dengan demikian, keadilan terjadi saat kita mampu mendengarkan “jeritan bumi

maupun jeritan kaum miskin” (LS 49).

3.2.1.5 Keadilan Antargenerasi

Prinsip kesejahteraan umum yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya

meluas, tidak hanya dalam dimensi ruang, melainkan juga dalam dimensi waktu.

Kesejahteraan umum tidak hanya dipahami pada masa sekarang, namun juga

dipikirkan pencapaiannya pada generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan

yang merupakan salah satu komponen ekologi integral tidak lagi dapat

dibicarakan tanpa solidaritas antargenerasi (LS 159). Mengutip Konferensi Uskup

Portugal, Paus melihat solidaritas antargenerasi ini dalam kacamata logika

penerimaan, di mana lingkungan yang kita miliki sekarang adalah “pinjaman


56

(utang) yang diterima setiap generasi dan harus diteruskan kepada generasi

berikut”102.

Kepedulian kita terhadap lingkungan dan generasi mendatang tampak dari

jawaban yang kita berikan atas pertanyaan mendasar: Dunia macam apa yang

ingin kita tinggalkan untuk mereka yang datang sesudah kita, anak-anak yang kini

sedang dibesarkan? (LS 160). Usaha menjawab pertanyaan ini adalah tugas

dramatis bagi diri kita sendiri, karena menyangkut makna perjalanan kita sendiri

di dunia ini. (LS 160). Maka, eksploitasi besar-besaran terhadap alam tidak hanya

menunjukkan kurangnya kepedulian manusia terhadap generasi yang akan datang,

melainkan juga kurangnya kesadaran manusia akan martabatnya sendiri, yang

sebenarnya berkepentingan untuk mewariskan planet yang layak huni kepada

generasi selanjutnya. Di sini Paus mengkritik individualisme dan konsumerisme,

yang selain membuat manusia tidak berpikir panjang mengenai nasib generasi

yang akan hadir kemudian, juga tidak memperhatikan orang-orang miskin di masa

sekarang yang terkucilkan dari pembangunan. Solidaritas antargenerasi tak dapat

dicapai tanpa mengusahakan solidaritas intragenerasi terlebih dahulu.

3.2.2 Dialog dalam Mewujudkan Ekologi Integral

Dialog adalah tujuan yang ingin dicapai oleh Paus Fransiskus dalam

penulisan LS. Beliau “mengundang dengan mendesak agar diadakan dialog baru

tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita” (LS 14). Paus juga

mengutip pernyataan para Uskup Afrika yang menyatakan bahwa “bakat dan

komitmen setiap orang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan yang

102
LS 159, sebagaimana dikutip dari Konferensi Uskup Portugal, Surat Pastoral Responsabilidade
Solidaria pelo Bem Comum (Tanggung Jawab Solider untuk Kesejahteraan Umum), 15 September
2003, 20.
57

disebabkan oleh manusia yang menyalahgunakan ciptaan Allah” 103. Yang ingin

disampaikan oleh Paus Fransiskus kiranya adalah bahwa gerakan ekologis tidak

pernah menjadi gerakan individu atau kelompok tertentu, melainkan gerakan

seluruh warga dunia, anggota keluarga ciptaan, untuk merawat rumah mereka

bersama. Oleh karena itu, pemahaman mengenai bagaimana berdialog

antarkelompok dan antardisiplin ilmu mendapat tempat istimewa dalam

pembahasan mengenai gerakan ekologis.

Pembahasan mengenai dialog sebagai unsur dimensi horisontal ekologi

integral akan mengikuti alur pikiran Paus Fransiskus dalam Bab 5 LS yang

menyangkut lima unsur, yaitu dialog tentang lingkungan dalam politik

internasional, dialog untuk kebijakan baru nasional dan lokal, dialog dan

transparansi dalam pengambilan keputusan, politik dan ekonomi dalam dialog

untuk pemenuhan manusia, dan agama-agama dalam dialog dengan ilmu. Inilah

beberapa jalur utama dialog yang dicoba digariskan oleh Paus Fransiskus yang

dapat membantu kita untuk keluar dari spiral penghancuran diri yang

menenggelamkan kita (LS 163).

3.2.2.1 Dialog tentang Lingkungan dalam Politik Internasional

Dasar dari pentingnya dialog ini adalah kesadaran akan adanya “saling

ketergantungan” yang memaksa warga dunia untuk berpikir tentang “dunia yang

tunggal, sebuah proyek bersama” (LS 164). Konsekuensinya, solusi-solusi

ekologis haruslah dalam skala global, dan mengandaikan dialog dalam skala

global pula. Di sini, dalam politik internasional memperoleh peran pentingnya,

103
LS 14, sebagaimana dikutip dari Konferensi Waligereja Afrika Selatan, Pastoral Statement on
The Environmental Crisis (Pernyataan Pastoral tentang Krisis Lingkungan), 5 September 1999.
58

yaitu bagaimana negara-negara di dunia dapat mencapai kesepakatan mengenai

langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menyikapi krisis ekologis.

Dalam LS Paus menyebutkan beberapa konferensi tingkat internasional

yang dapat dijadikan contoh bagaimana negara-negara seharusnya bersikap

menanggapi krisis ekologis. Antara lain Paus menyebutkan KTT Bumi yang

diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro (LS 167), Konvensi Basel

tentang “Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan

Pembuangannya”, Konvensi tentang “Perdagangan Internasional Spesies Fauna

dan Flora Liar yang Terancam Punah”, Konvensi Wina tentang “Perlindungan

Lapisan Ozon” beserta petunjuk pelaksanaannya melalui Protokol Montreal (LS

168), dan Konferensi Rio+20 (LS 169). Di antara konferensi-konferensi tersebut,

KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio de Janeiro dapat digolongkan istimewa

karena melahirkan tiga badan internasional yang secara khusus menangani krisis

ekologis, terutama perubahan iklim, yaitu CBD (Convention of Biological

Diversity, berdiri pada 29 Desember 1993, berkantor di Montreal, Kanada 104 ),

UNFCC (The United Nations Framework Convention on Climate Change, berdiri

pada 21 Maret 1994, berkantor di Bonn, Jerman105), dan UNCCD (United Nations

to Combat Desertification, berdiri pada Januari 1999, berkantor di Bonn,

Jerman 106 ). Ketiga badan internasional ini sampai sekarang masih aktif dan

menginisiasi berbagai macam deklarasi dan simposium internasional mengenai

bagaimana menyikapi krisis ekologis. Sayang, dampak dari berbagai macam

104
Informasi didapat dari mengunjungi situs resminya di https://www.cbd.int/secretariat/ pada 1
Maret 2017 pukul 21.30 WIB.
105
Informasi didapat dari mengunjungi situs resminya di http://unfccc.int/2860.php pada 1 Maret
2017 pukul 21.30 WIB.
106
Informasi didapat dari mengunjungi situs resminya di http://www2.unccd.int/ pada 1 Maret
2017 pukul 21.30 WIB.
59

persetujuan dan deklarasi tersebut tidak tampak signifikansinya. Alasannya,

menurut Paus adalah karena “posisi negara-negara yang menempatkan

kepentingan nasional mereka di atas kesejahteraan umum global” (LS 169).

Namun, Ian Burton, pengajar di University of Toronto bersama dengan rekannya

menambahkan satu perspektif baru mengenai alasan mengapa dialog-dialog

internasional tersebut tidak membawa dampak. Dunia seharusnya tidak lagi hanya

memikirkan mengenai bagaimana menanggulangi perubahan iklim —yang

hanyalah merupakan upaya mitigasi yang mengurangi dampak namun tidak

mencegah dampak yang lebih besar di masa depan— melainkan beradaptasi

dengan perubahan iklim dalam rangka mengatasi dampak yang tidak bisa

dihindari107. Adaptasi ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu108:

- Adaptasi di bawah pengaturan UNFCC

Memperkuat mekanisme dan dukungan untuk adaptasi proaktif di bawah

Konvensi dengan memfasilitasi strategi nasional yang komprehensif dan

mengusahakan pendanaan yang jelas untuk proyek implementasi

berprioritas tinggi.

- Integrasi dengan Pembangunan

Memasukkan unsur adaptasi ke dalam bantuan pembangunan melalui

langkah-langkah seperti kewajiban penilaian risiko terhadap iklim untuk

proyek-proyek yang dibiayai oleh pemberi pinjaman multilateral dan

bilateral.

- Asuransi Iklim

107
I. Burton, Dkk., Adaptation to Climate Change: International Policy Options, PEW Center on
Global Climate Change, 2016, diunduh dari https://www.c2es.org/docUploads/PEW_
Adaptation.pdf, 1, pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.
108
I. Burton, Dkk., Adaptation to Climate Change: International Policy Options, 15.
60

Mengusahakan dana untuk mendukung usaha-usaha pemulihan iklim atau

usaha-usaha lain yang berupa asuransi di negara-negara yang rentan

menderita kerugian akibat perubahan iklim.

Poin yang lebih penting menurut Paus Fransiskus daripada

menyelenggarakan berbagai macam deklarasi beserta penandatanganan

persetujuan internasional adalah menegakkannya, terutama karena pemerintah-

pemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi secara efektif (LS

173). Poin untuk transparansi dalam sistem penghitungan karbon dan

pengurangan emisi yang menjadi hasil KTT Perubahan Iklim Paris yang

dilaksanakan pada 2015 109 , misalnya harus dilaksanakan secara merata tanpa

diskriminasi terhadap negara tertentu atau mengistimewakan negara yang lain.

Juga pemberian dana kepada negara-negara yang mengalami dampak perubahan

iklim untuk memulihkan kondisinya. Paus Fransiskus banyak berharap pada

lembaga-lembaga internasional yang lebih kuat dan terorganisasi secara efisien

serta memiliki wewenang yang ditetapkan secara adil melalui kesepakatan antara

pemerintah-pemerintah nasional, dan memiliki kekuatan untuk menjatuhkan

sanksi (LS 175).

3.2.2.2 Dialog untuk Kebijakan Baru Nasional dan Lokal

Dialog tidak hanya dilakukan dalam lingkup yang besar, seperti antarnegara.

Dialog yang lebih efektif dan efisien harus dilakukan dalam lingkup yang lebih

kecil seperti lingkup nasional dan lokal. Memang, seperti telah disebutkan dalam

bagian sebelumnya, pemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi

109
Rangkuman mengenai lima poin yang menjadi hasil KTT Perubahan Iklim dilihat dalam laman
https://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/inilah-5-poin-penting-hasil-konferensi-perubahan-
iklim pada 1 Maret 2017 pukul 21.38 WIB.
61

secara aktif terhadap persetujuan-persetujuan internasional, namun setiap negara

tetap memiliki peranan penting, terutama dalam merencanakan, mengordinasikan,

mengawasi, dan memberikan sanksi kepada warganya (LS 177). Contoh

sederhananya adalah bagaimana di beberapa tempat berkembang koperasi untuk

mengeksplorasi sumber energi yang terbarukan, yang memungkinkan

swasembada lokal, dan bahkan penjualan surplus energi. Inilah contoh di mana

kalangan lokal dapat mengubah situasi, sementara kalangan internasional tidak

memungkinkan untuk turun tangan (LS 179). Berkaitan dengan dialog dalam

skala nasional dan lokal, tidak ada resep-resep yang seragam, karena tiap negara

atau wilayah memiliki masalah dan keterbatasan tersendiri (LS 180). Apa yang

cocok diterapkan di satu wilayah tertentu tidak tentu cocok diterapkan dalam

wilayah yang lain. Pencegahan peluasan kebun kelapa sawit yang mengancam

lingkungan hidup di Pulau Kalimantan tidak akan relevan diterapkan di Pulau

Jawa, sebagaimana pembahasan mengenai reklamasi Teluk Benoa tidak relevan

diterapkan di kawasan Raja Ampat.

Pengaturan untuk kebijakan lokal dan nasional dalam gerakan ekologis

sebenarnya bukan hal baru. Indonesia, misalnya telah memasukkannya dalam

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 110 Pasal 33 ayat (3) yang

berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat”111. Lebih lanjut, dalam ayat (4) disebutkan bahwa “perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

Selanjutnya disebut UUD ‘45.


110

Dikutip dari naskah UUD ’45 yang diunduh dari https://www.kpi.go.id/download/regulasi/


111

UUD%201945.pdf pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB.


62

efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” 112 .

Melalui dua ayat ini, kesadaran akan pentingnya peran negara dalam mencapai

kesejahteraan umum, yang merupakan prinsip yang memainkan peran sentral dan

pemersatu dalam etika sosial (LS 156) ditampakkan, yaitu dengan

memasukkannya ke dalam rumusan perundang-undangan. Secara tersirat, dua ayat

ini juga melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang

dalam wujud monopoli, oligopoli maupun praktek kartel 113 . Kaitan antara

pelestarian lingkungan dan kesejahteraan umum ini juga sedikit memperjelas

hubungan antara krisis ekologi dengan krisis ekonomi, yaitu bahwa rusaknya

sumber daya alam akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian kesejahteraan

umum.

3.2.2.3 Dialog dan Transparansi dalam Pengambilan Keputusan

Dalam LS, Paus Fransiskus mengkontraskan dialog yang transparan dengan

korupsi. “Penilaian dampak aneka usaha dan proyek terhadap lingkungan

menuntut suatu proses politik yang transparan dan berupa dialog, sementara

korupsi yang demi keuntungan tertentu menyembunyikan dampak nyata sebuah

proyek terhadap lingkungan, biasanya menghasilkan perjanjian-perjanjian semu

yang dicapai dengan menahan informasi dan mengelak dialog yang luas” (LS

112
Dikutip dari naskah UUD ’45 yang diunduh dari https://www.kpi.go.id/download/regulasi/
UUD%201945.pdf pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB.
113
A. Firmansyah, “Penafsiran Pasal 33 UUD 1945 dalam Membangun Perekonomian di
Indonesia”, Syiar Hukum, Vol. 13 No. 1 (2012):267, sebagaimana dikutip dari Arimbi HP dan
Emmy Hafild, “Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 1945”, Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia dan Fiend of the eart (FoE), Indonesia, 1999,1, diunduh dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=356422&val=5644&title=PENAFSIRAN%2
0PASAL%2033%20UUD%201945%20DALAM%20MEMBANGUN%20PEREKONOMIAN%2
0DI%20INDONESIA pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB.
63

182). Bagi Paus Fransiskus, dialog yang sehat mengandaikan keterbukaan dan

transparansi, dan dialog yang sehat inilah yang akan menentukan keberhasilan

gerakan ekologis serta mengantar masyarakat menuju kepada kesejahteraan.

Berhubungan dengan dialog nasional dan lokal yang telah dibahas sebelumnya,

Paus Fransiskus beranggapan bahwa tidak cukup hanya mencapai konsensus

antara aktor-aktor sosial yang berbeda, namun “penduduk setempat harus

mendapat tempat khusus di meja diskusi” (LS 183). Merekalah yang paling

terpengaruh kualitas hidupnya atas kebijakan-kebijakan yang dibuat. Maka,

“informasi yang memadai tentang berbagai aspek dan juga berbagai risiko dan

peluang” (LS 183) harus diberikan secara transparan kepada mereka. Kepentingan

ekonomis maupun politis pembuat kebijakan tidak boleh mendapat tempat yang

lebih tinggi daripada kepentingan kesejahteraan penduduk setempat. Di sini Paus

Fransiskus memberi alasan mendasar mengapa korupsi harus diperangi dalam

konteks kontrasnya dengan transparansi, yaitu bahwa transparansi berorientasi

kepada kesejahteraan yang lebih luas dan korupsi berorientasi kepada

kesejahteraan yang semakin sempit, bahkan hanya pada kelompok tertentu.

Dalam kaitannya dengan krisis ekologis, dalam bagian ini Paus juga banyak

menyinggung mengenai analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang

“harus diikutsertakan dari awal dan dikembangkan secara interdisipliner,

transparan, dan independen dari segala tekanan politik atau ekonomi” (LS 183).

Terkhusus di Indonesia, pelaksanaan AMDAL diatur dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan Hidup 114 . Paling tidak ada delapan jenis kegiatan yang menuntut

114
Selanjutnya disebut PP 27 Tahun 1999.
64

diterapkannya AMDAL 115 , yaitu (1) pembuatan jalan, bendungan/dam, jalan

kereta api, dan pembukaan hutan; (2) kegiatan pertambangan dan eksploitasi

hutan; (3) pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan

penggunaan energi yang tidak diikuti dengan teknologi yang dapat

mengefisienkan pemakaiannya; (4) kegiatan yang menimbulkan perubahan atau

pergeseran struktur tata nilai, pandangan dan/atau cara hidup masyarakat

setempat; (5) kegiatan yang proses dan hasilnya menimbulkan pencemaran,

kerusakan kawasan konservasi alam, atau pencemaran benda cagar budaya; (6)

introduksi suatu jenis tumbuh-tumbuhan baru atau jasad renik (mikro organisme)

yang dapat menimbulkan jenis penyakit baru terhadap tanaman, introduksi suatu

jenis hewan baru dapat mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada; (7)

penggunaan bahan hayati dan non hayati mencakup pula pengertian pengubahan;

dan (8) penerapan teknologi yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap

kesehatan. Pembahasan dalam PP 27 Tahun 1999 pun cukup lengkap, termasuk

pentingnya partisipasi masyarakat dan transparansi yang disebut dalam Pasal 33

ayat (1) yang berbunyi: “Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat

sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup” dan

Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi: “Semua dokumen analisis mengenai dampak

lingkungan hidup, saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat yang

berkepentingan, kesimpulan komisi penilai, dan keputusan kelayakan lingkungan

hidup dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum”. Dari dua ayat

115
Dikutip dari naskah Penjelasan PP 27 No. 1999 Pasal 3 ayat (1) yang diunduh dari
http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_27_99.htm pada 3 Maret 2017 pukul 10.00 WIB. Kutipan-kutipan
selanjutnya yang berhubungan dengan PP 27 No. 1999 diambil dari sumber yang sama.
65

tadi, tampak bahwa dialog dan transparansi secara de jure sudah diatur dalam

AMDAL, sekalipun secara de facto masih ada yang tidak melaksanakannya sesuai

dengan prosedur yang diharapkan.

3.2.2.4 Politik dan Ekonomi dalam Dialog untuk Pemenuhan Manusia

Bagi Paus Fransiskus, dialog antara ekonomi dan politik secara garis besar

berarti bahwa “politik tidak harus tunduk pada ekonomi dan ekonomi tidak harus

tunduk pada perintah atau paradigma efisiensi teknokrasi” (LS 189). Hal ini sesuai

dengan hakikat dari dialog yang mengandaikan adanya kesetaraan antara dua

pihak yang berdialog. Jika tidak, yang terjadi adalah politik dan ekonomi

cenderung untuk saling menyalahkan, terutama atas masalah kemiskinan dan

kerusakan lingkungan (LS 198).

Ada dua sistem ekonomi besar yang digunakan dalam banyak negara di

dunia, yaitu sistem ekonomi pasar bebas dan sistem ekonomi sentralistik116. Ciri

sistem ekonomi pasar bebas adalah masyarakat yang bersifat sangat konsumtif

dan tingkat produktivitas masyarakat yang tinggi 117 . Sementara itu, sistem

ekonomi sentralistik memiliki ciri semua alat produksi menjadi milik bersama, di

bawah kekuasaan pemerintah 118 . Dua sistem ekonomi ini berada pada dua

ekstrem, di mana sistem ekonomi pasar bebas memberi keuntungan sebesar-

besarnya kepada pengusaha dan sistem ekonomi sentralistik kepada pemerintah.

Bila anjuran Paus Fransiskus kita terapkan pada dua sistem ekonomi ini, dapat

disimpulkan bahwa Paus Fransiskus tidak menghendaki kedua sistem ekonomi ini

diterapkan secara absolut. Perlu dicari jalan tengah daripada kedua sistem

116
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 35-39.
117
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 37.
118
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39.
66

ekonomi ini sehingga ada tempat yang lebih berimbang bagi pemerintah

(representasi kekuatan politik) maupun para pengusaha (representasi kekuatan


119
ekonomi) . Beberapa contoh keberhasilan mengimplementasikan dialog

ekonomi dan politik dalam sistem ekonomi, misalnya, dapat kita temukan dalam

sistem ekonomi “negara kesejahteraan” yang diterapkan pada negara Swedia,

Norwegia, dan negara-negara di Skandinavia. Sistem ekonomi ini diterapkan

dengan memasukkan unsur “sosial” ke dalam sistem ekonomi pasar bebas. Di

negara-negara tersebut, para penganggur mendapat uang santunan dan hampir

semua warga negara memperoleh berbagai jaminan sosial dari pemerintah 120 .

Sebaliknya, sesudah tahun 1989, banyak negara yang bercorak komunis mencoba

memasukkan unsur-unsur “pasar bebas” ke dalam sistem ekonomi komunistik.

Contohnya adalah Republik Rakyat Tiongkok yang sejak beberapa tahun terakhir

ini mengizinkan masyarakat Hongkong untuk menggunakan sistem ekonomi pasar

bebas121. Indonesia sendiri menganut sistem ekonomi yang berupa perpaduan dari

dua sistem ekonomi besar di atas, di mana beberapa sektor ekonomi “yang

menguasai hajat orang banyak” hampir selalu dikendalikan oleh pemerintah,

sementara sektor-sektor ekonomi yang lain dibiarkan secara bebas dikelola oleh

pengusaha-pengusaha swasta122.

Peran ekologi kemudian menjadi penting, kembali dalam kaitannya dengan

kesejahteraan umum. Politik dan ekonomi yang tidak berpadu dengan baik tidak

dapat mencapai kesejahteraan umum. Juga dengan kepentingan politik atau

kepentingan ekonomi yang lebih diberi tempat daripada kesejahteraan warga

119
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39.
120
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39.
121
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39-40.
122
Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 40.
67

negara. Wacana ekologi tidak pernah bisa dikemas hanya dalam logika keuangan

atau teknokrasi (LS 194), karena mengkerdilkan makna ekologi itu sendiri sebagai

faktor penting dalam mencapai kesejahteraan umum.

3.2.2.5 Agama-agama dalam Dialog dengan Ilmu

Integralitas ekologi menyebabkannya harus dibahas dalam berbagai macam

disiplin ilmu. Pembahasan dengan hanya menggunakan satu disiplin ilmu tentu

saja tidak memadai, karena hanya akan menjawab satu aspek dari sekian banyak

aspek yang terdapat dalam krisis ekologis. Namun, Paus Fransiskus ternyata juga

mengajak untuk mendialogkan ilmu-ilmu tersebut dengan agama, karena “tak

dapat diklaim bahwa ilmu pengetahuan empiris memberikan penjelasan lengkap

tentang kehidupan” (LS 199). Pada bagian ini, nampak keterkaitan antara dimensi

vertikal dan dimensi horisontal ekologi integral. Hubungan manusia dengan alam

dan sesamanya kembali tidak bisa dipisahkan dari hubungan manusia dengan

Penciptanya. Telah kita lihat dalam bagian sebelumnya bagaimana dimensi

vertikal ekologi integral menunjukkan kesejajaran dengan dimensi horisontal

ekologi integral. Kedekatan manusia dengan Tuhan yang semakin intim

berkonsekuensi penghargaan yang semakin tinggi terhadap ciptaan. Maka, orang

yang beriman tidak akan mengabaikan kemajuan ilmu pengetahuan, karena

penghargaan terhadap ciptaan tidak mungkin terjadi tanpa pengetahuan yang

memadai.

Dialog antara agama dengan ilmu yang terjadi dengan baik, sesungguhnya

mengandaikan adanya dialog antaragama yang baik pula. Terlebih, mayoritas

penduduk planet ini menyatakan dirinya beriman, sehingga seharusnya agama-

agama semakin terdorong untuk masuk ke dalam dialog dengan maksud


68

melindungi alam, membela orang miskin, dan membangun jaringan persaudaraan

yang saling menghormati (LS 201). Dalam dialog inilah jati diri umat beriman

dapat dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman bersama tentang penderitaan

dan ancaman global. Paul F. Kniitter, seorang teolog, memandang ancaman global

yang dimaksud adalah penderitaan manusia dan lingkungan123. Berkaitan dengan

hal ini, Knitter mengusulkan sebuah “iman kosmologis”, yang tumbuh dari

tanggung jawab kosmologis, mewarnai dan membarui kesadaran religius manusia

lintas agama dan batas-batas negara 124 . Dan, sejak krisis ekologis dilihat juga

sebagai krisis moral, maka agama harus diberi tempat khusus dalam gerakan

ekologis. Menurut Knitter, agama bukan hanya “meyakinkan komitmen etis

perorangan, tetapi juga turut mendorong menggairahkan mereka (para pemeluk

agama)”125, sesuatu yang tak didapat dari ilmu pengetahuan dan filsafat.

3.3 Kesimpulan

Ekologi integral merupakan ekologi yang cakupannya sangat luas dan

menyentuh semua segi kehidupan manusia, baik dari sisi ilahi maupun sisi

manusiawi. Dengan cara pandang demikian, kita diajak untuk menyadari betapa

seriusnya krisis ekologis yang kita alami saat ini dan betapa pentingnya bagi

manusia untuk segera mengambil langkah yang tepat guna menyelesaikannya.

Berdasarkan pembahasan mengenai dimensi vertikal ekologi integral, Paus

Franiskus menawarkan pendidikan dan pertobatan ekologis sebagai solusi atas

dosa yang dilakukan manusia terhadap alam ciptaan. Selanjutnya, pembahasan

123
P. F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, 85.
124
P. F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global, 85.
125
P. F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global,
106.
69

mengenai dimensi horisontal ekologi integral memunculkan pembangunan

berkelanjutan dan dialog sebagai solusi yang bisa diimplementasikan.

Hal pertama yang diharapkan dari ekologi integral menurut Paus Fransiskus

adalah perubahan cara pandang kita dalam melihat krisis ekologis; bahwa pada

kenyataannya ada banyak unsur yang saling mempengaruhi di dalamnya. Dengan

berubahnya cara pandang ini, diharapkan juga muncul sebuah spiritualitas baru,

yang mendasari tindakan kita terhadap alam. Inilah yang menjadi inti ekologi

integral menurut Paus Fransiskus, bahwa bukan pertama-tama berbagai macam

tindakan praktis yang harus kita usahakan, melainkan perubahan cara pandang

kita terhadap alam yang mempengaruhi spiritualitas kita.

Solusi atas krisis ekologis pun meluas, baik dalam dimensi ruang maupun

waktu, sehingga kita tidak lagi dapat berpikir hanya mengenai kelompok kita di

masa sekarang. Keberhasilan ekologi integral sebagai solusi yang ditawarkan oleh

Paus Fransiskus atas krisis ekologis yang terjadi tidak dapat diharapkan akan

terjadi di masa sekarang. Justru, ekologi integral ini diharapkan menjadi sebuah

gaya hidup yang diwariskan kepada generasi-generasi yang akan datang, sehingga

anak-cucu kita tetap masih dapat tinggal di ‘rumah’ yang layak untuk mereka

diami, sekaligus layak untuk mereka wariskan kepada generasi-generasi yang

lahir lebih kemudian.


70

BAB 4

REFLEKSI KRITIS

LS merupakan ensiklik sosial pertama yang memfokuskan pembahasannya

pada ekologi126. Di satu sisi, hal ini merupakan kemajuan, bahwa Gereja mulai

memberi perhatian khusus kepada masalah lingkungan hidup. Hubungan baru

yang berdimensi ekologis, sosiologis, dan eklesiologis dengan demikian

terbentuk. Melalui LS, Paus Fransiskus menegaskan kembali relevansi pandangan

Gereja dan ajaran sosialnya dalam kaitannya dengan masalah ekologis. Namun,

apakah Gereja sungguh memiliki kapasitas yang cukup untuk memberi jawaban

atas krisis ekologis?

Pada bab 4 ini, penulis akan memberi tanggapan kritis atas LS dengan

berdasar pada dua kriteria, yaitu LS sebagai dokumen gereja dan LS sebagai

dokumen lingkungan hidup. Kriteria LS sebagai dokumen gereja digunakan

karena sejatinya LS adalah sebuah ensiklik, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh

seorang paus sebagai pemimpin Gereja Katolik Roma. Sementara itu, kriteria LS

sebagai dokumen lingkungan hidup digunakan karena Paus Fransiskus sendiri

menekankan universalitas LS dalam LS 14, di mana beliau mengundang suatu

“dialog baru” yang “melibatkan semua orang”, sehingga LS tidak dapat dipahami

hanya berlaku bagi warga Gereja, melainkan juga warga dunia.

126
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, Asian Horizons, Vol. 9 No. 4 (2015):616.
71

4.1 LS sebagai Dokumen Gereja

4.1.1 Kapasitas LS sebagai Ensiklik

Ensiklik adalah surat uskup yang ditujukan kepada umat dalam lingkup

yang luas127. Sejak abad kedelapan belas, ensiklik secara khusus digunakan untuk

menyebut surat-surat yang ditulis Paus untuk seluruh Gereja atau sebagian warga

Gereja128. Ada paling tidak empat hal yang membedakan ensiklik dari dokumen

Gereja lain menurut New Catholic Encyclopedia, yaitu:

(1) “sebuah surat kepausan dan karena itu dibedakan dari surat pastoral yang
ditulis oleh seorang ordinaris untuk keuskupannya”, (2) “sebuah surat dan
oleh karenanya dibedakan dari dokumen kepausan lainnya, seperti brevia,
bula, reskrip, dan konstitusi”, (3) “pastoral dan karenanya berkaitan dengan
urusan doktrinal dan moral”, dan (4) “ditulis untuk Gereja universal dan
karena itu dibedakan dari surat pribadi paus, yang ditulis oleh paus sendiri,
dan surat-surat ensiklik yang ditujukan hanya untuk bagian tertentu dari
Gereja universal”129.

Ensiklik berasal dari kata encyclius (Latin) atau enkyklios (Yunani) yang berarti

“in a circle, singular”130. Selain digunakan dalam Gereja Katolik, kata ensiklik

juga digunakan dalam Gereja Anglikan untuk menyebut pesan-pesan yang

dikeluarkan pada akhir konferensi-konferensi, setelah Konferensi Lambeth yang

pertama, yang diadakan pada tahun 1867131.

127
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta, 1996, 69.
128
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 69.
129
Terjemahan bebas oleh penulis dari definisi yang diberikan oleh New Catholic Encyclopedia
Volume V, The Catholic University of America, Washington D. C., 1967, 332, yang berbunyi: (1)
“a papal letters and is therefore distinguished from pastoral letters written by an ordinary for his
diocese”, (2) “a letter and is distinguished from other papal documents, such as briefs, bulls,
rescripts, and constitutions”, (3) “pastoral and hence pertains ordinarily to doctrinal, moral, or
disciplinary matters”, dan (4) “written for the universal Church and is therefore distinguished
from papal autograph letters, those written in the pope’s hand, and encyclical epistles addresed
only to parts of the universal Church”.
130
Definisi ini dikutip dari http://www.etymonline.com/index.php?term=encyclical, diakses pada
21 Maret 2017 pukul 20.30 WIB.
131
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 69.
72

Sebagai sebuah dokumen Gereja, ensiklik bukanlah pernyataan yang tidak

dapat salah 132 . Tingkatan otoritas ensiklik pun ada di bawah bulla, konstitusi

apostolik, dan motu proprio, sekalipun masih lebih tinggi daripada surat apostolik

seruan apostolik, surat dekrit, alokusio, reskrip kepausan, dan brevia 133 . LS

adalah ensiklik kedua Paus Fransiskus setelah Lumen Fidei 134 (terbit 29 Juni

2013) dan dokumen ketiga Paus Fransiskus setelah LF dan EG (terbit 24

November 2013)135.

Ensiklik ditulis oleh Paus, maka dari itu kebenaran ajarannya hanya dapat

diterima bila menyangkut iman dan moral. Umat Katolik maupun masyarakat

biasa berhak mengkritisi atau bahkan tidak menyetujui pemaparan ilmiah yang

diberikan oleh Paus dalam ensiklik136. Namun, LS bagaimanapun adalah ensiklik

yang unik karena secara khusus membahas mengenai lingkungan hidup, hal yang

sangat dekat kaitannya dengan kesejahteraan umum yang menjadi salah satu topik

moral, sosial, dan politik. Berhadapan dengan dua kemungkinan sikap tadi, LS

tidak bisa diabaikan begitu saja karena ensiklik merupakan ajaran resmi Gereja.

Namun, sebagai sebuah ajaran resmi, tetap ada ketidaksetaraan dalam otoritas

unsur-unsur dalam LS. Usaha Paus Fransiskus untuk menyadarkan umat Katolik

mengenai kemendesakan masalah kelestarian lingkungan hidup sebagai unsur

pokok kesejahteraan umum tentu adalah hal yang tidak bisa disangkal

kebenarannya. Begitupun dengan wawasan alkitabiah yang diberikan sebagai

132
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 69.
133
C. Song, “Types Of Papal Documents”, diunduh dari
http://library.athenaeum.edu/c.php?g=30820&p=193150 pada 21 Maret 2017 pukul 20.35 WIB.
134
Selanjutnya disebut LF.
135
Disunting dari http://www.papalencyclicals.net/, diakses pada 21 Maret 2017 pukul 20.47 WIB.
136
A. Mena, “Infallible? Informal? How Binding Is The New Encyclical On Catholics?”, diunduh
dari http://www.catholicnewsagency.com/news/infallible-informal-how-binding-is-the-new-
encyclical-on-catholics-24963/, pada 21 Maret 2017 pukul 21.04 WIB.
73

landasan Paus Fransiskus dalam melihat akar dan solusi krisis ekologis. Dalam

dua bagian ini Paus menampilkan diri sebagai Gembala dan Pengajar tertinggi

seluruh kaum beriman, terkhusus dalam bidang iman dan moral137. Di sisi lain,

berbagai macam kemungkinan akar masalah dan solusi praktis yang terdapat

dalam LS lebih merupakan sebuah seruan dari Paus Fransiskus 138 , yang tidak

dimaksudkan sebagai suatu kebenaran karena Paus Fransiskus sendiri tidak

menyatakannya sebagai suatu kebenaran. Dalam LS, Paus Fransiskus tidak

berbicara mengenai bagaimana kita seharusnya berpikir (mengajar), melainkan

mengajak kita untuk masuk ke dalam dialog moral yang serius mengenai

kepentingan mendesak mengenai planet yang kita diami ini139.

4.1.2 Perbandingan LS dengan dokumen Ajaran Sosial Gereja 140 yang Lain

ASG adalah ajaran Gereja mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota

masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan bersama, baik dalam lingkup

nasional maupun internasional 141 . Dalam ASG termuat prinsip-prinsip untuk

refleksi, kriteria untuk penilaian dan pedoman-pedoman untuk tindakan, yang

menjadi titik tolak untuk memajukan sebuah humanisme yang terpadu dan

solider142. ASG terdiri dari berbagai dokumen yang memiliki tingkat kewibawaan

yang berbeda-beda, mulai dari dokumen-dokumen konsili dan ensiklik-ensiklik,

amanat-amanat para Paus, sampai berbagai dokumen yang disusun oleh berbagai

komisi pada Tahta Suci143.

137
Bdk. Kitab Hukum Kanonik 749 § 1.
138
Bdk. LS 13-16.
139
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 613.
140
Selanjutnya disebut sebagai ASG.
141
G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 20.
142
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 6.
143
Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 7.
74

Ada berbagai tema yang menjadi perhatian ASG, antara lain hak asasi

manusia, keluarga dan komunitas, keadilan sosial, kemiskinan, martabat kerja,

solidaritas, dan keutuhan ciptaan144. Kontribusi penting LS dalam ASG terlihat

secara nyata terutama dalam statusnya sebagai ensiklik pertama yang dikeluarkan

secara khusus untuk menanggapi masalah ekologis. Keberadaannya semakin

memperdalam dokumen-dokumen ASG sebelumnya yang juga sudah mulai

menyinggung persoalan lingkungan hidup 145 . Dibandingkan dokumen-dokumen

ASG sebelumnya, LS memberi kontribusi penting dalam menerangkan pengaruh

besar perubahan iklim bagi krisis ekologis dan ekologi integral sebagai alternatif

solusi dalam menanggapi krisis ekologis 146. LS juga membawa muatan teologi

dalam ASG ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu melihat kata “sosial” tidak hanya

mengenai relasi antarmanusia dan antarkomunitas, melainkan juga relasi Gereja

(dan warganya) dengan ‘dunia’ alam ciptaan dan mengundang ‘dunia’ manusia

untuk menjalin relasi yang harmonis dengannya147.

Kelebihan LS dibanding dokumen ASG lainnya tampak pada usahanya

mengutip ajaran-ajaran dari Konferensi Para Uskup dari setiap benua, termasuk

Asia; hal yang belum pernah dilakukan dalam ensiklik-ensiklik sosial

sebelumnya148. Kemudian, fakta bahwa LS sebagai ensiklik yang mengungkapkan

144
Dikutip dari http://www.usccb.org/beliefs-and-teachings/what-we-believe/catholic-social-
teaching/seven-themes-of-catholic-social-teaching.cfm, diakses pada 22 Maret 2017, pukul 11.15
WIB.
145
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 616. Dalam artikel dan halaman yang
sama disebutkan beberapa usaha Paus-paus sebelum Fransiskus (dimulai dari Paus Yohanes
XXIII) untuk menyinggung persoalan lingkungan hidup dalam ensikliknya, seperti Paus Yohanes
XXIII yang melihat bahaya senjata nuklir yang dapat menghancurkan bumi dan Paus Paulus VI
yang menyinggung isu mengenai polusi, krisis energi, dan kemendesakan diterapkannya
pembangunan berkelanjutan.
146
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 616-617.
147
F. Wilfried, “Theological Significance Of Laudato Si”, Vidyajyoti, Vol. 79 No. 9 (2015):646-
647.
148
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 616.
75

perhatian yang lebih pada spiritualitas, tidak seperti ajaran lain yang

kecenderungan antroposentristiknya masih terlihat149. Spiritualitas yang dimaksud

tentu adalah spiritualitas Fransiskan yang akan didalami pada bagian selanjutnya.

4.1.3 Spiritualitas Fransiskan sebagai Inti LS

Spiritualitas Fransiskan yang mewarnai LS dapat diprediksi dari keputusan

Paus menggunakan nama Santo Fransiskus dari Asisi. Dari nama yang digunakan,

terpampang dengan cukup jelas bahwa urusan kemiskinan dan ciptaan akan

menjadi prioritasnya 150 . Dalam homili pada misa inaugurasinya, beliau bahkan

mengatakan,

“Let us protect Christ in our lives, so that we can protect others, so that we
can protect creation! The vocation of being a “protector”, however, is not
just something involving us Christians alone; it also has a prior dimension
which is simply human, involving everyone. It means protecting all creation,
the beauty of the created world, as the Book of Genesis tells us and as Saint
Francis of Assisi showed us. It means respecting each of God’s creatures
and respecting the environment in which we live.”151

Dari teks homili ini, kita dapat menangkap seberapa besar spiritualitas Fransiskan

telah mempengaruhi pemikiran Bapa Suci dan melandasi ajaran yang

dikeluarkannya, termasuk LS.

Santo Fransiskus dari Asisi hidup pada tahun 1182-1226. Pengikutnya, yang

disebut dengan nama Fransiskan menghidupi sebuah spiritualitas yang berbeda

dari spiritualitas kristiani pada umumnya, bahkan cenderung unik. Hal ini tidak

lain disebabkan karena spiritualitas ini diturunkan oleh seorang awam (Santo

Fransiskus sendiri) yang tidak mengalami pendidikan klerus secara khusus. Maka

149
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 617.
150
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 610.
151
Diunduh dari http://w2.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2013/documents/papa-
francesco_20130319_omelia-inizio-pontificato.html pada 22 Maret 2017 pukul 22.05 WIB.
76

dari itu, sekalipun hidup pada zaman skolastik152 spiritualitas ini lebih dekat pada

spiritualitas rahib padang gurun daripada skolastik.

Ada lima tema yang menjadi ciri khas spiritualitas Fransiskan, yaitu Injil

sebagai referensi utama, pujian kepada Tuhan melebihi segala hal, kemiskinan

total, kasih persaudaraan kepada sesama anggota, dan kehadiran semua sebagai

saudara153. Tema-tema tersebut adalah tema-tema yang banyak dibahas dalam LS.

Misalnya, pada bab 2 Paus Fransiskus secara khusus membahas mengenai hikmat

cerita-cerita alkitab (LS 65-75) dan tatapan Yesus (LS 96-99) sehingga dia

mendasari pemikirannya mengenai gerakan ekologis bukan pertama-tama pada

doktrin melainkan pada Kitab Suci dan pengalaman empiris (LS Bab I). Tema

kemiskinan total muncul dalam gagasan mengenai pentingnya melindungi dan

mendengarkan mereka yang lemah (LS 48, 52). Kidung Fransiskus Asisi yang

dikutip dalam LS 87 juga menunjukkan bagaimana Paus Fransiskus menyajikan

pembahasan dalam LS dalam kerangka spiritualitas Fransiskan: bagaimana kita

memperlakukan sesama ciptaan sebagai saudara.

Implikasi dari saratnya unsur spiritualitas Fransiskan yang terkandung

dalam LS adalah bahwa LS menjadi dokumen Gereja yang mudah dicerna dan

praktis. Mudah dicerna, karena LS mendasari pembahasannya pada pengalaman

empiris dan Kitab Suci, serta ajaran-ajaran dari para Uskup di seluruh dunia, alih-

alih hanya mereferensi doktrin Gereja. Dengan spiritualitas Fransiskan yang

mewarnai pembahasan di dalamnya, LS mempromosikan pendekatan teologi yang

baru, yang diawali dengan pengalaman dan dilanjutkan dengan menempatkan data
152
Menurut Encyclopedia of Christian Theology Volume II, Routledge, 2005, 1448, zaman
skolastik adalah satu periode filsafat yang diwarnai dialektika dan berkembang di sekolah-sekolah
teologi pada abad 12.
153
Encyclopedia of Christian Theology Volume II, 1516.
77

empiris dalam dialog dengan sumber-sumber iman yang diwujudkan dalam aksi

dan langkah konkret154.

4.2 LS sebagai Dokumen tentang Lingkungan Hidup

4.2.1 Interdisiplinaritas dan Usaha Kontekstualisasi Ajaran (Sosial) Gereja

Salah satu kritikan paling tajam yang ditujukan kepada LS adalah bahwa LS

cenderung bertendensi anti-modern155. Hal ini tampak secara jelas, misalnya pada

LS 115-136, di mana secara khusus Paus Fransiskus membahas mengenai efek

antroposentrisme modern sebagai salah satu akar manusiawi krisis ekologis. LS

juga dipertanyakan, terutama dalam hal kapasitas Paus untuk memberi alternatif

cara pandang terhadap krisis ekologis. Memang, Paus Fransiskus sendiri adalah

seorang yang memiliki gelar master dalam kimia156, namun ternyata masyarakat

dunia masih belum dapat seluruhnya menerima intervensi Gereja yang terlalu

luas, termasuk ke dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, dan ekonomi. LS

menjadi contoh paling aktual bahwa “Gereja yang mendengar” sebagai harapan

masyarakat luas belum sepenuhnya tercapai melalui LS157.

Kaum konservatif Gereja juga melihat LS sebagai ensiklik yang unsur

pengajarannya lemah158. LS dianggap tidak banyak memberi pengajaran iman dan

justru memberi terlalu banyak porsi untuk pengajaran ilmiah. Mereka

membandingkan LS dengan dokumen ASG lainnya yang memadukan teologi

154
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 613.
155
M. A. Mills, “Is Pope Francis Anti-Modern?”, dikutip dari
http://www.thenewatlantis.com/publications/is-pope-francis-anti-modern, diakses pada 10 April
2017 pukul 21.12 WIB.
156
S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 615.
157
S. Gregg, “Laudato Si’: Well Intentioned, Economically Flawed”, dikutip dari
https://spectator.org/63160_laudato-si-well-intentioned-economically-flawed/, diakses pada 23
Maret 2017, pukul 18.53 WIB.
158
R.R. Reno, “The Weakness Of Laudato Si’”, dikutip dari https://www.firstthings.com/web-
exclusives/2015/07/the-weakness-of-laudato-si, diakses pada 23 Maret 2017 pukul 18.45 WIB.
78

dengan ilmu-ilmu sekuler karena dokumen ASG lain memberikan prinsip-prinsip

keterlibatan sosial yang didasarkan pada hukum kodrat sehingga relevan baik bagi

orang beriman maupun tidak beriman. LS, yang tidak banyak memberi prinsip-

prinsip sebagai panduan bertindak dianggap gagal meneruskan tradisi tersebut159.

Usaha mendamaikan iman dan ilmu pengetahuan adalah usaha yang perlu

diupayakan terus-menerus dan tidak akan pernah selesai secara definitif. Maka,

teolog dan ilmuwan adalah dua kelompok yang akan bereaksi paling keras dan

bersikap kritis dalam menanggapi munculnya usaha-usaha pendamaian iman dan

ilmu pengetahuan, termasuk LS. Gereja yang ‘kurang mendengar’ dan ilmu

pengetahuan yang ‘terlalu banyak berbicara’ tidak banyak membantu untuk

terjadinya dialog. Dalam hal ini, LS menurut penulis kurang peka dalam

menggunakan istilah-istilah yang cenderung dipahami mendiskreditkan hal-hal

sekuler seperti ekonomi (mis. LS 26), politik (mis. LS 165), dan teknologi (mis.

LS 113). Di sisi lain, ilmu pengetahuan juga kurang terbuka untuk menerima

interdisiplinaritas yang terkandung dalam LS sebagai sebuah usaha

kontekstualisasi ajaran Gereja melainkan menganggapnya sebagai intervensi

berlebihan dari pihak Gereja terhadap berbagai bidang kehidupan manusia.

4.2.2 Perbandingan dengan Dokumen Lingkungan Hidup Lain

Dihadapkan dengan dokumen lingkungan hidup lain, LS terasa lemah,

terutama dalam pedoman untuk aksi. Bahkan, beberapa istilah yang dianggap khas

dalam LS sebenarnya mengambil gagasan yang pernah dinyatakan orang lain.

Pertanyaan utama LS (“Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada

keturunan kita, kepada anak-anak yang sekarang sedang bertumbuh?”) yang

159
R.R. Reno, “The Weakness Of Laudato Si’”.
79

terdapat dalam LS 160, pernah diutarakan oleh Yugaratna Srivastha di hadapan

PBB September 2009160. Keyakinan bahwa “kurang adalah lebih” yang dikutip

Paus Fransiskus dalam LS 222 juga pernah dibahas secara khusus dalam satu bab

oleh Al Gore dalam bukunya, Our Choice161. Logika pakai-buang162 yang terdapat

dalam LS 123 juga sudah digunakan oleh Majalah Life yang terbit pada bulan

Agustus 1955 163 . Kata “integral” dalam konteks solusi juga sudah mulai

digunakan oleh Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya, Caritas In Veritate164.

Begitupun konsep pertobatan ekologis yang sudah mulai diperkenalkan

pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II dalam audiensi umumnya pada tanggal 17


165
Januari 2001 . Pembahasan mengenai langkah-langkah praktis dalam

menanggapi krisis ekologis juga lebih banyak ditemukan, misalnya dalam Our

Choice karangan Al Gore atau Protokol Kyoto yang dibuat pada tahun 1997, yang

dalam pelaksanaannya telah berhasil mengurangi emisi karbon sebanyak 22, 6 %

160
P. R. John, “Laudato Si: Challenges Faced Today for an Integral Ecology”, Vidyajyoti, Vol. 80,
No. 1 (2016):9. Yugaratna Srivastha adalah seorang anak kelas 9 dari Uttar Pradesh. Dia
mengatakan, “Dunia macam apa yang akan kalian (para pendahulu) tinggalkan bagi kami, anak-
anak?”
161
Al Gore, Our Choice: Rencana untuk Memecahkan Krisis Iklim, Kanisius, Yogyakarta, 2010,
258-289.
162
Dalam terjemahan Bahasa Inggris digunakan istilah “use and throw away logic”
163
B. Congsrove, “’Throwaway Living’: When Tossing Out Everything Was All The Rage”,
dikutip dari http://time.com/3879873/throwaway-living-when-tossing-it-all-was-all-the-rage/,
diakses pada 24 Maret 2017 pukul 9.30 WIB.
164
Paus Benediktus melengkapi judul lengkap ensiklik ini dengan pernyataan “On Integral Human
Development In Charity And Truth”. Teks diunduh dari http://w2.vatican.va/content/benedict-
xvi/en/encyclicals/documents/hf_ben-xvi_enc_20090629_caritas-in-veritate.pdf, 24 Maret 2017
pukul 9.43 WIB.
165
“We must therefore encourage and support the "ecological conversion" which in recent
decades has made humanity more sensitive to the catastrophe to which it has been heading”,
dikutip dari http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/audiences/2001/documents/hf_jp-
ii_aud_20010117.html, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 10.47 WIB.
80

pada tahun 2012 166 —jauh melebihi target 5 %— di negara-negara yang

menyetujui protokol ini167.

Praktis tidak ada gagasan baru yang ditawarkan oleh LS dalam kaitannya

dengan solusi atas masalah ekologis. Menurut penulis, LS lebih merupakan

kompilasi dari pemikiran-pemikiran dan solusi-solusi yang terdapat dalam

berbagai dokumen lingkungan hidup yang pernah diterbitkan. Sumbangan LS

lebih kepada pencerahan spiritualnya sebagai landasan segala gerakan ekologis

dan pemaparan berbagai macam solusi yang sebelumnya terdapat dalam

dokumen-dokumen terpisah dalam satu tulisan utuh.

4.2.3 Relevansi LS bagi Warga Dunia

Terlepas dari munculnya tanggapan buruk tentang LS, tak diragukan lagi

bahwa LS merupakan salah satu sumbangan paling penting untuk gerakan

ekologis di abad 21 168 . Justru, berbagai reaksi —baik pro maupun kontra—

menunjukkan bahwa banyak orang membaca LS dan bahwa efek dari LS telah

membawa dampak yang luar biasa, bahkan bagi orang non-kristiani169. Menurut

penulis, LS pertama kali membawa dampak dalam topik dialog antaragama.

Seperti disebutkan oleh A. Rashed Omar dalam artikelnya, “A Muslim Response

To Pope Francis’ Environmental Encyclical: Laudato Si’”, LS menginisiasi

166
Ed King, “Kyoto Protocol: 10 Years of The World’s First Climate Change Treaty”, dikutip dari
http://www.climatechangenews.com/2015/02/16/kyoto-protocol-10-years-of-the-worlds-first-
climate-change-treaty/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 10.06 WIB.
167
Saat ini ada 191 negara dan 1 organisasi integrasi ekonomi regional yang tergabung dalam
Protokol Kyoto. Data diperoleh dari
http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php. Diakses pada 24 Maret
2017 pukul 10.09 WIB. Teks lengkap Protokol Kyoto dapat diunduh dari
https://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf.
168
A. R. Omar, “A Muslim Response To Pope Francis’ Environmental Encyclical: Laudato Si’”,
dikutip dari https://sites.nd.edu/contendingmodernities/2015/12/17/a-muslim-response-to-pope-
franciss-environmental-encyclical-laudato-si/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 18.10 WIB.
169
M. Meier, “Global Response To Laudato Si’”, dikutip dari http://jesc.eu/global-response-to-
laudato-si/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 18.13 WIB.
81

Rabbinic Letters On Climate Crisis yang ditandatangani 330 rabi pada Juni 2015

dan Islamic Declaration On Global Climate Change yang dikeluarkan di Istanbul

pada Agustus 2015 170 . LS bahkan mengundang reaksi, meskipun cenderung

negatif, dari kalangan atheis 171 . Hal ini menunjukkan bahwa LS membawa

dampak bagi umat beriman lain dan juga umat yang tidak beragama.

Tak hanya dari golongan pemimpin agama, LS juga memicu reaksi dari

pemimpin dunia. Barack Obama menanggapi secara positif LS dengan mengajak

peserta Konferensi Perubahan Iklim di Paris (30 November 2015-12 Desember

2015) untuk “berefleksi bersama atas ajakan Paus Fransiskus akan perawatan

terhadap rumah kita bersama” 172 . Hal ini kemudian diafirmasi oleh François

Hollande, presiden Prancis, dengan menyatakan bahwa LS akan didengar di

seluruh dunia, dan tak hanya oleh mereka yang beriman173.

Selanjutnya, LS juga membawa dampak bagi kaum ilmuwan. Banyak jurnal

ilmiah internasional (Nature, Science, Nature Climate Change) secara khusus

bahkan memberi ruang untuk diskusi tentang LS174. Tanggapan juga muncul dari

media di mana beberapa artikel dan reportase secara khusus membahas LS 175 .

Menurut penulis, tidak banyak dokumen Gereja yang menuai tanggapan seluas

LS. Entah tanggapan tersebut pro atau kontra, hanya menunjukkan bahwa dialog

170
A. R. Omar, “A Muslim Response To Pope Francis’ Environmental Encyclical: Laudato Si’”.
171
Salah satu reaksi yang muncul adalah tulisan V. Abbas dalam
http://canadianatheist.com/2015/07/a-short-critique-of-laudato-si/ yang berjudul “A Short Critique
On Laudato Si’” yang diunggah pada 24 Juli 2015, tidak lama setelah LS dikeluarkan Paus
Fransiskus. Artikel ini antara lain menyebut LS sebagai karya yang “tidak praktis, banyak
mengulang-ulang, dan terorganisasi dengan buruk”.
172
M. Meier, “Global Response To Laudato Si’”.
173
M. Meier, “Global Response To Laudato Si’”.
174
Beberapa tanggapan jurnal ilmiah atas LS termuat dalam artikel M. Meier, “Global Response
To Laudato Si’”
175
Beberapa daftar media yang memberikan tanggapan terhadap LS dapat dilihat dalam
http://libguides.loras.edu/c.php?g=337751&p=2864455.
82

yang diharapkan oleh Paus Fransiskus dalam LS 14 sudah mulai terjadi, sekalipun

kata sepakat dan aksi nyata yang diharapkan belum banyak terwujud.

4.3 Kesimpulan

Tanggapan pro atas LS banyak muncul dari sudut pandang LS sebagai

dokumen Gereja. LS dianggap sukses mempromosikan sebuah cara berteologi

yang baru dengan bertolak dari pengalaman konkrit dan Kitab Suci, bukan hanya

dari doktrin, sejalan dengan spiritualitas Fransiskan yang menjiwainya. LS juga

dianggap berhasil memasukkan pemikiran-pemikiran yang kontekstual dan

interdisipliner dengan mengutip ajaran dari Konferensi Para Uskup di seluruh

dunia dan hasil konferensi ilmiah.

Sebaliknya, tanggapan kontra banyak muncul dari sudut pandang LS

sebagai dokumen lingkungan hidup. LS dianggap lemah dalam solusi praktis,

terutama jika dibandingkan dengan protokol-protokol dan perjanjian internasional

mengenai krisis ekologis. Kritikan-kritikan tajam yang diberikan dalam LS,

terutama pada sistem ekonomi, politik, dan teknologi juga mudah dipahami

sebagai tendensi anti-modernitas —paham yang sesungguhnya tidak relevan

dengan perkembangan zaman yang begitu pesat.


83

BAB 5

PENUTUP

Pada harian KOMPAS yang terbit pada Hari Minggu, 2 April 2017, Trias

Kuncahyono menulis demikian, “Pemahaman “rumah kita bersama” Indonesia

pun terasa semakin tipis. Kerap kali, sekarang ini, terdengar teriakan “rumahku,

rumah kami,” bukan “rumahmu, bukan rumah kita”” 176


. Beberapa hari

sebelumnya, harian KOMPAS juga memuat berita tentang Presiden Amerika

Serikat, Donald Trump, yang mencabut regulasi iklim. Menurutnya, dia sedang

membawa Amerika Serikat pada sebuah era baru dalam produksi energi. Melalui

keputusannya ini, Trump kembali membuka tambang-tambang batubara dan

membatalkan pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh Barack Obama (presiden

Amerika Serikat sebelum Trump) dalam hal produksi minyak. Alasan Trump

mencabut regulasi iklim adalah kebijakan lingkungan Obama dirasanya sebagai

penyebab hilangnya sejumlah lapangan pekerjaan177. Dua tulisan tadi sekiranya

dapat menjadi bukti bahwa cara pandang terhadap bumi sebagai “rumah bersama

yang harus dibangun atas dasar kasih sayang” 178 yang dipromosikan oleh Paus

Fransiskus melalui LS belum secara utuh diterima oleh masyarakat luas. Ekologi

integral yang ditawarkan oleh LS belum sepenuhnya dipahami, apalagi

176
T. Kuncahyono, “Kalabahi”, Kompas, 2 April 2017, 4.
177
“Trump Cabut Regulasi Iklim”, Kompas, 30 Maret 2017, 10.
178
T. Kuncahyono, “Kalabahi”, 4.
84

dipratikkan. Oleh karena itu, butuh waktu yang lebih panjang dan perjuangan

yang lebih tekun untuk mewartakan gagasan mengenai ekologi integral dalam LS

sehingga dapat menjiwai lebih banyak orang di dunia ini.

Pada bab terakhir ini, penulis akan menutup karya tulis ini dalam tiga bagian

besar, yaitu kesimpulan, relevansi dan tindakan, serta refleksi pribadi. Pada bagian

kesimpulan, penulis akan mencoba memberikan kilas balik atas pembahasan yang

sudah dibuat dalam karya tulis ini, terutama mengenai akar krisis ekologis, solusi

yang ditawarkan Paus, serta beberapa tanggapan kritis yang harus diperhatikan

berkaitan dengan LS. Pada bagian relevansi dan tindakan, penulis akan mencoba

memaparkan beberapa manfaat yang dapat diambil dari LS, termasuk bagaimana

mengimplementasikan gagasan yang terdapat di dalamnya dalam tindakan

konkret. Penulis kemudian akan menutup karya tulis ini dengan menuliskan

refleksi pribadi, terutama berkaitan dengan proses penulisan karya tulis ini.

5.1 Kesimpulan

Krisis ekologis tetap menjadi permasalahan besar yang membutuhkan

kerjasama dari seluruh warga dunia, semua disiplin ilmu, dan setiap kebenaran

iman untuk dapat mengatasinya. Berbagai macam regulasi dan tindakan praktis

tentu saja diperlukan, namun lebih daripada itu adalah suatu spiritualitas baru

yang dipengaruhi oleh perubahan cara pandang kita terhadap dunia dan mendasari

seluruh tindakan kita. Di sinilah ekologi integral yang ditawarkan oleh Paus

Fransiskus menemukan relevansinya, yaitu bahwa krisis ekologis terjadi karena

manusia gagal memiliki cara pandang yang tepat terhadap ciptaan, sehingga

diperlukan suatu perubahan cara pandang dan spiritualitas dalam bentuk ekologi

integral.
85

Paus Fransiskus mengidentifikasi tiga sebab pokok krisis ekologis, yaitu

teknologi, paradigma teknokratis, dan antroposentrisme. Teknologi seringkali

dipahami secara tidak tepat, misalnya sebagai sarana untuk memperluas

kekuasaan manusia atas ciptaan. Melalui teknologi (yang dikombinasikan dengan

ilmu pengetahuan), manusia mencoba untuk menjawab semua pertanyaan mereka

mengenai alam semesta dan dengan demikian menguasainya. Padahal, alam

semestinya tetap memiliki sisi misteri yang membuat manusia sadar akan

keterbatasan rasionya dan menumbuhkan rasa hormat terhadap alam. Keinginan

manusia yang sangat besar untuk mengeksplorasi dan mengatur alam semesta

pada akhirnya berujung pada ekstrem yang kurang tepat, yaitu eksploitasi dan

dominasi. Dua ekstrem tersebut mempengaruhi cara pandang manusia terhadap

alam, yaitu hanya sebagai objek pemuas kebutuhan. Cara pandang yang baru ini

dinamakan paradigma teknokratis. Dalam iklim ini, perkembangan iptek dan

pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang lebih diberi prioritas dibandingkan

kelestarian alam. Pada akhirnya, manusia mengklaim diri mereka sendiri sebagai

pusat alam semesta. Dengan cara pandang teknokratis dan antroposentristik ini,

manusia kehilangan identitasnya sebagai ciptaan dan lupa untuk memusatkan

segala pikiran dan perbuatan mereka pada kehendak Tuhan, Sang Pencipta dan

Penguasa Sejati.

Berhadapan dengan cara pandang yang keliru tersebut, Paus Fransiskus

mengusulkan suatu ekologi integral sebagai solusi. Kelupaan manusia akan

identitas sejatinya dipulihkan oleh kesadaran akan Yesus sebagai Penebus.

Melalui-Nya, segala ciptaan didamaikan dengan Sang Pencipta. Rekonsiliasi ini

tercapai dengan suatu pertobatan ekologis, perubahan cara pandang radikal dari
86

yang berpusat pada diri sendiri menuju persaudaraan sejati bersama seluruh

ciptaan dengan Tuhan sebagai Bapa. Inilah dimensi vertikal dari ekologi integral.

Spiritualitas baru inilah yang akan membawa manusia pada tindakan-tindakan

konkret untuk melestarikan ciptaan. Tindakan-tindakan ini diharapkan meliputi

berbagai macam aspek dan menyentuh banyak disiplin ilmu, yang didasari oleh

kesadaran akan interkonektivitas semua unsur di alam, bukan hanya dalam tataran

logis, namun juga dalam tataran spiritual sebagai saudara sepenciptaan. Kesadaran

akan fakta bahwa semua unsur di alam saling mempengaruhi ini mensyaratkan

adanya dialog yang baik, baik itu antara manusia dengan sesamanya, antara satu

ilmu dengan ilmu yang lain, dan antara ilmu-ilmu dengan agama.

Sebagai sebuah dokumen Gereja yang kaya akan pencerahan, LS tetap tidak

dapat luput dari tanggapan kritis. Memang LS unggul sebagai dokumen Gereja,

terutama atas upayanya merangkul berbagai macam jawaban yang diberikan ilmu

pengetahuan dan agama berkaitan dengan krisis ekologis dalam bingkai kekayaan

Gereja yang lama terlupakan: spiritualitas Fransiskan. Namun, dengan rendah hati

kita tetap harus membaca dokumen lingkungan hidup yang lain sebagai pedoman

untuk langkah-langkah konkret dan praktis dalam mengupayakan gerakan

ekologis. Di sini, porsi iman dan rasio harus seimbang, sehingga semua solusi

ilmiah mendapat pendasaran spiritual yang cukup dan spiritualitas mengalami

perwujudannya dalam berbagai macam tindakan konkret.

Skripsi ini mengambil judul “Melihat Krisis Ekologis melalui Kacamata

Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’”, dan memang sumbangan terbesar

LS bagi pembacanya adalah perubahan cara pandang. Cara pandang terhadap

alam diperbaharui dengan terang spiritualitas Fransiskan, yang menyatukan semua


87

ciptaan sebagai saudara dengan Allah sebagai Bapa. Cara pandang terhadap krisis

ekologis pun diubah, dengan tidak hanya meihat krisis ekologis hanya sebagai

permasalahan lingkungan hidup, melainkan juga melihatnya dalam konteks

interkonektivitas, di mana kepentingan ekonomi, politik, dan juga teknologi

berperan di dalamnya. Perubahan cara pandang inilah yang pertama-tama

diharapkan oleh Paus Fransiskus, sehingga kemudian seluruh spiritualitas dan

tindakan konkrit yang kita lakukan untuk merawat dan memelihara alam dimulai

oleh cara pandang kita yang benar terhadap alam.

5.2 Relevansi dan Tindakan

LS membuka mata kita bahwa krisis ekologis yang terjadi sekarang

disebabkan oleh banyak faktor dan membawa dampak pada berbagai macam

aspek kehidupan. Maka, untuk dapat mengimplementasikan gagasan yang

terdapat dalam LS, tidak cukup hanya menyangkut tindakan konkret. Sebelum

mencapai perwujudan dalam hal-hal praktis, gagasan dalam LS harus terlebih

dahulu diterapkan dalam tataran kognitif dan spiritual-religius.

Secara kognitif, fakta mengenai keterkaitan antara semua unsur yang

terdapat di alam harus membawa kita kepada pemahaman yang lebih luas

mengenai alam semesta. Mereka yang berkehendak untuk mengimplementasikan

LS akan terdorong untuk mempelajari lebih banyak ilmu. Memahami krisis

ekologis tidak dapat lagi hanya dilakukan dalam sudut pandang biologis, namun

juga ekonomis, teologis, filosofis, dan sebagainya. Bahkan, tidak hanya

mempelajari, LS justru menuntut pembacanya untuk mendialogkan ilmu-ilmu

yang dipelajari tersebut. Dengan demikian, suatu cara pandang dan pemahaman
88

yang lebih utuh akan krisis ekologis akan lebih menyeluruh karena dilaksanakan

dalam konteks interkonektivitas dan interdisiplinaritas.

Secara spiritual-religius, LS mengarahkan kita pada pentingnya membangun

suatu spiritualitas yang berangkat dari kesadaran kita akan interkonektivitas yang

ditemui di alam. Spiritualitas ini adalah jembatan antara pemahaman dan tindakan

konkret kita. LS menawarkan secara eksplisit satu spiritualitas, yaitu spiritualitas

Fransiskan untuk membingkai segala cara pandang dan upaya kita dalam menjaga

kelestarian alam. Alam dilihat sebagai saudara sepenciptaan, sehingga tidak

dimungkinkan manusia memperlakukannya secara semena-mena. Satu-satunya

kepentingan yang boleh diberi ruang adalah kehendak Allah, yang hanya dapat

dipahami lewat penebusan Yesus dan penyertaan Roh Kudus. Ilmu-ilmu yang

dipelajari tidak cukup apabila tidak disertai dan didialogkan dengan iman.

Menarik, memang, bahwa kelestarian ekologis juga tergantung dari seberapa besar

kita mengusahakan kedekatan dengan Allah: membaca Kitab Suci, merayakan

Ekaristi dan sakramen-sakramen lain, berdoa untuk kelestarian alam semesta.

Baru setelah menerapkan ekologi integral dalam tataran kognitif dan

spiritual-religius, kita dituntut untuk mewujudkannya dalam tindakan konkret.

Oleh karena spiritualitas Fransiskan memandang sesama ciptaan sebagai saudara,

tindakan ekologis paling mudah diterapkan jika dimulai dari keluarga. Setiap

keluarga dapat merumuskan tindakan-tindakan ekologis yang diinisiasi oleh

kepala keluarga dan disepakati oleh seluruh anggota keluarga. Kesadaran untuk

merawat rumah dan keluarga kita masing-masing dalam kasih sayang akan

mendorong kita untuk melakukan hal yang sama pada rumah dan keluarga kita

yang lebih besar: bumi dan seluruh ciptaan.


89

5.3 Refleksi

Penulis mengawali penulisan karya tulis ini dengan ekspektasi tinggi, yaitu

menemukan solusi yang radikal dan spektakuler dalam menangani krisis ekologis.

Mungkin suatu paham baru, atau sekadar mengkompilasi berbagai macam solusi

dalam sebuah istilah baru yang akan mengubah dunia. Namun, dalam

pengerjaannya, penulis justru semakin dibawa pada kesadaran bahwa solusi yang

penulis cari justru ditemukan dalam hal yang paling sederhana dan paling pribadi:

mengubah cara pandang terhadap dunia.

LS mengajak pembacanya bukan pertama-tama untuk membuat perubahan

besar bagi dunia, namun justru untuk kembali melihat ke dalam diri sendiri dan

relasi manusia dengan Tuhan. Tindakan-tindakan besar tidak akan bertahan lama

jika tidak dimulai dari kematangan rasio dan kedalaman batin. Paus Fransiskus

mengajak pembaca LS untuk melihat hubungan mereka dengan pribadi-pribadi

yang paling dekat dengan mereka, yaitu dengan Tuhan dan dengan keluarga

mereka. Kunci untuk ekologi integral adalah kasih: kasih yang mendasari

tindakan Allah dalam penciptaan, kasih yang mempersatukan anggota keluarga,

kasih yang “tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang”

(Mat 18:14).

Kehilangan salah seorang dari anggota keluarga selalu membawa duka yang

mendalam bagi anggota keluarga yang lain. Itulah yang sebenarnya terjadi saat

satu spesies punah atau satu ekosistem rusak. Lebih menyesakkan dari itu adalah

ketika salah satu anggota keluarga tega melukai anggota keluarga lain atau

merusak rumah yang menjadi tempat tinggal secara sengaja. Adakah manusia

sejahat itu sehingga membiarkan kerusakan lingkungan terus terjadi? Rumah dan
90

anggota keluarga macam apa yang akan dialami oleh generasi penerus kita apabila

sejak sekarang kita biasa untuk melukai dan merusak anggota keluarga dan rumah

kita tanpa merasa bersalah?

Yesus bersabda, “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk

salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya

untuk Aku” (Mat 25:40). Bumi, rumah dan saudara kita bersama, kini sedang

menderita dan ditelantarkan. Jeritannya tidak didengar oleh kita yang lebih

memilih untuk mendengarkan bisikan nafsu. Maka, sesungguhnya dengan

merawat bumi, kita memuliakan Allah, Bapa seluruh ciptaan. Implikasi dari

pandangan ini di zaman sekarang adalah bahwa menyembah Allah tidak dapat

dilakukan hanya di rumah ibadat. Dengan menyadari bahwa ada Allah ada di

dalam semua ciptaan, kita pun terbantu untuk melanjutkan ibadat yang kita

lakukan di rumah ibadat di kehidupan sehari-hari dengan menjaga dan

melestarikan alam, ciptaan-Nya dan saudara kita. Inilah motivasi paling luhur dari

gerakan ekologis, yaitu bahwa segala tindakan perawatan kita terhadap alam

adalah ibadah yang kita lakukan untuk menyembah dan memuliakan Allah. Maka,

di sisi lain, segala bentuk perusakan kita terhadap alam merupakan dosa besar

yang melukai hubungan kita dengan Allah. Dalam konteks ini, penebangan satu

batang pohon tidak lebih benar daripada pembunuhan seorang manusia. Dengan

demikian, seluruh gerakan ekologis yang gencar dilakukan di hari-hari ini perlu

dibingkai dalam kerangka pertobatan dan rekonsiliasi ekologis atas dosa yang

telah kita lakukan terhadap alam.

“Terpujilah Engkau” adalah terjemahan langsung atas frasa “Laudato Si’”.

Hal ini memiliki makna yang sangat mendalam dan mengandung konsekuensi
91

yang tidak ringan. Segala macam usaha kita untuk melestarikan alam sebenarnya

tidak lain merupakan usaha kita untuk memuji, menghormati, serta mengabdi

Allah, yang merupakan tujuan manusia diciptakan dan sarana keselamatan

jiwanya. Manusia tidak diciptakan untuk mengeksplorasi alam demi kepentingan

dirinya sendiri. Keselamatan jiwa manusia juga tidak ditentukan dari seberapa

besar kekayaan yang diperoleh dari memanfaatkan alam. Kemajuan teknologi dan

pertumbuhan ekonomi tidak akan ada artinya apabila Allah tidak dimuliakan.

Bagaimana mungkin kita lebih mendengarkan ‘bisikan nafsu’ kita daripada

‘jeritan bumi’ dan ‘jeritan orang miskin’?

LS adalah curahan hati seorang paus, seorang pemimpin agama dengan

pengikut terbesar di dunia, namun juga sebagai seorang pribadi yang terluka oleh

karena lingkungan hidup yang ada dalam status krisis. Ajakan beliau jelas, yaitu

agar kita bersedia meluangkan waktu untuk memikirkan perawatan mengenai

rumah kita bersama. “Apa yang dapat kaulakukan untuk saudaramu yang paling

hina dan menderita —bumi, orang miskin, dan lingkungan yang rusak— ini? Apa

yang dapat kaulakukan untuk-Nya?” adalah pertanyaan yang tersirat dari Paus

Fransiskus dalam LS. Semoga kita dapat segera mengusahakan apa yang perlu

dan penting untuk terjaminnya keberlangsungan rumah dan anggota keluarga kita,

sehingga bersama dengan Santo Fransiskus Asisi —santo pelindung ekologi yang

namanya dipilih oleh Paus Fransiskus— kita dapat memuji, “Laudato Si’, mi’

Signore! Terpujilah Engkau, Tuhanku!”.


92

DAFTAR PUSTAKA

A. Dokumen

Fransiskus,

2015 Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama,

Obor, Jakarta

Konferensi Waligereja Indonesia,

2016 Kitab Hukum Kanonik, Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta.

B. Buku

Bakker, A.,

1995 Kosmologi & Ekologi, Kanisius, Yogyakarta.

Bertens, K.

1993 Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Collins, G. O., & E. G. Farrugia,

1996 Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta

Dane-Drummond, C.,

1999 Teologi & Ekologi: Buku Pegangan, PT BPK Gunung Mulia,

Jakarta.
93

Florisan, Y. M., Dkk. (penerjemah),

2009 Kompendium Ajaran Sosial Gereja, Penerbit Ledalero, Maumere.

Gore, Al,

2010 Our Choice: Rencana untuk Memecahkan Krisis Iklim, Kanisius,

Yogyakarta.

Guardini, R.,

1957 The End of The Modern World, Sheed & Ward, London.

Hadiwardoyo, Al. Purwa,

2006 7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta

Keck, L. E., Dkk. (editor),

1994 The New Interpreter’s Bible Volume I, Abingdon Press, Nashville.

Knitter, P. F.,

2004 Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung

Jawab Global, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Kusmaryanto, C.B.,

2015 Bioetika, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Lembaga Alkitab Indonesia,


94

2001 Alkitab Deuterokanonika (terjemahan tahun 1974), Lembaga

Biblika Indonesia, Jakarta.

Mangunhardjana, A.,

1997 Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, Yogyakarta.

Martasudjita, E.,

2003 Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan

Pastoral, Kanisius, Yogyakarta.

2005 Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius,

Yogyakarta.

Supardan (editor),

1991 Ilmu, Teknologi, dan Etika, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Weiman, R.,

1978 Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York.

Poerwadarminta, WJS,

1976 Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta.

___,

1968 Longman’s English Larousse, Harlow & London.


95

___,

___ UUD ’45, diunduh dari https://www.kpi.go.id/download/regulasi/

UUD%201945.pdf pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB.

___,

1967 New Catholic Encyclopedia Volume V, The Catholic University of

America, Washington D. C..

___,

2005 Encyclopedia of Christian Theology Volume II, Routledge.

C. Artikel, Majalah, dan Koran

Abbas, V.,

2015 “A Short Critique On Laudato Si’”, diunduh dari

http://canadianatheist.com/2015/07/a-short-critique-of-laudato-si/

Burton, I., Dkk.,

2016 Adaptation to Climate Change: International Policy Options, PEW

Center on Global Climate Change, diunduh dari

https://www.c2es.org/docUploads/PEW_ Adaptation.pdf, pada 1

Maret 2017 pukul 21.30 WIB.

Cahyono, A.,

2016 “Ekaristi: Rekonsiliasi dengan Alam Ciptaan”, Gita Sang Surya,

Vol. 11 No. 5.
96

Congsrove, Ben,

___ “’Throwaway Living’: When Tossing Out Everything Was All The

Rage”, dikutip dari http://time.com/3879873/throwaway-living-

when-tossing-it-all-was-all-the-rage/, diakses pada 24 Maret 2017

pukul 9.30 WIB

Cornish, S.,

2015 “Laudato Si’: Making The Connections”, Asian Horizons, Vol. 9

No. 4.

Dohut, J.,

2016 “Eco Camp dan Pendidikan Nilai Berbasis Lingkungan Hidup”,

Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5.

Firmansyah, A,

1999 “Penafsiran Pasal 33 UUD 1945 dalam Membangun Perekonomian

di Indonesia”, Syiar Hukum, Vol. 13 No. 1, diunduh dari

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=356422&val=

5644&title=PENAFSIRAN%20PASAL%2033%20UUD%201945

%20DALAM%20MEMBANGUN%20PEREKONOMIAN%20DI

%20INDONESIA pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB.

Gions, F.,
97

2016 “Kesalehan Ekologis & Laudato Si’”, Gita Sang Surya, Vol. 11

No. 1.

Gregg, S.,

___ “Laudato Si’: Well Intentioned, Economically Flawed”, dikutip

dari https://spectator.org/63160_laudato-si-well-intentioned-

economically-flawed/, diakses pada 23 Maret 2017, pukul 18.53

WIB.

Hornell, D. G.,

2016 “Yesus dan Ibu Bumi: Injil dan Ekologi”, Gita Sang Surya, Vol. 11

No. 5.

John, P. R.,

2016 “Laudato Si: Challenges Faced Today for an Integral Ecology”,

Vidyajyoti, Vol. 80, No. 1

King, Ed,

___ “Kyoto Protocol: 10 Years of The World’s First Climate Change

Treaty”, dikutip dari

http://www.climatechangenews.com/2015/02/16/kyoto-protocol-

10-years-of-the-worlds-first-climate-change-treaty/, diakses pada

24 Maret 2017 pukul 10.06 WIB.


98

Kuncahyono, T.

2017 “Kalabahi”, Kompas.

Meier, M.,

___ “Global Response To Laudato Si’”, dikutip dari

http://jesc.eu/global-response-to-laudato-si/, diakses pada 24 Maret

2017 pukul 18.13 WIB.

Mena, A.,

___ “Infallible? Informal? How Binding Is The New Encyclical On

Catholics?”, diunduh dari

http://www.catholicnewsagency.com/news/infallible-informal-

how-binding-is-the-new-encyclical-on-catholics-24963/, pada 21

Maret 2017 pukul 21.04 WIB.

Mills, M. A.,

“Is Pope Francis Anti-Modern?”, diunduh dari

http://www.thenewatlantis.com/publications/is-pope-francis-anti-

modern, diakses pada 10 April 2017 pukul 21.12 WIB.

Moltmann, J.,

2011 “A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological

Perspective”, The Ecumenical Review, Vol. 63 No. 1.


99

Naugle, D.,

___ “The Cosmic Christ Of Colossians: A Study Of Colossians 1:15-

23” diunduh dari http://www3.dbu.edu/naugle/pdf/Colossians1.15-

23.pdf, pada 25 Maret 2017 pukul 11.12 WIB.

Omar, A. R.,

___ “A Muslim Response To Pope Francis’ Environmental Encyclical:

Laudato Si’”, dikutip dari

https://sites.nd.edu/contendingmodernities/2015/12/17/a-muslim-

response-to-pope-franciss-environmental-encyclical-laudato-si/,

diakses pada 24 Maret 2017 pukul 18.10 WIB.

Pidyarto, H.

1996 “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam

Pembangunan Bangsa, Dioma, Malang.

Reno, R.R.,

___ “The Weakness Of Laudato Si’”, dikutip dari

https://www.firstthings.com/web-exclusives/2015/07/the-

weakness-of-laudato-si, diakses pada 23 Maret 2017 pukul 18.45

WIB

Song, C.,
100

___ “Types Of Papal Documents”, diunduh dari

http://library.athenaeum.edu/c.php?g=30820&p=193150 pada 21

Maret 2017 pukul 20.35 WIB.

Suhartini,

2009 “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan”, Prosiding Seminar Nasional

Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA,

Universitas Negeri Yogyakarta, diunduh dari

http://eprints.uny.ac.id/12149/1/Bio_Suhartini2%20UNY.pdf, pada

4 Maret 2017 pukul 11.30 WIB.

Udu, Y. D.,

2005 “Implikasi Ekologis dari Kristologi Bonaventura terhadap Cara

Pandang Orang Kristen dalam Melihat Alam”, Diskursus Vol. 37

No. 2.

Utina, R.,

2012 “Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo

Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo”, Prosiding Konferensi dan

Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke- 21,

diunduh dari

http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/4/7/Kecerdasan-Ekologis-
101

Dalam-Kearifan-Lokal-Masyarakat-Bajo-Desa-Torosiaje-Provinsi-

Gorontalo.pdf pada 25 Maret 2017 pukul 11.35 WIB.

White Jr., L.,

1967 “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, Science, Vol. 155

No. 3767.

Wilfried, F.,

2015 “Theological Significance Of Laudato Si”, Vidyajyoti, Vol. 79 No.

9.

Woi, A.,

2008 “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”, Menyapa

Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas

Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta.

___,

2017 “Trump Cabut Regulasi Iklim”, Kompas.

D. Internet

http://w2.vatican.va/content/ paul-vi/en/apost_letters/documents/hf_p-

vi_apl_19710514_octogesima-adveniens.html, diunduh pada 2 Desember 2016

pukul 9.54 WIB.


102

http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-

ii_enc_01051991_ centesimus-annus.html, diunduh pada 2 Desember 2016 pukul

9.54 WIB.

http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-

ii_enc_14091981_laborem-exercens.html, diunduh pada 3 Desember 2016, pukul

9.45 WIB.

http://w2.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2013/documents/papa-

francesco_20130319_omelia-inizio-pontificato.html, diakses pada 22 Maret 2017

pukul 22.05 WIB.

http://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/encyclicals/documents/hf_ben-

xvi_enc_20090629_caritas-in-veritate.pdf, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 9.43

WIB.

http://w2.vatican.va/content/francesco/it/encyclicals/documents/papa-

francesco_20150524_enciclica-laudato-si.html.

http://www.usccb.org/issues-and-action/human-life-and-

dignity/environment/upload/pope-francis-encyclical-themes.pdf, diunduh pada 5

Desember 2016 pukul 9.25 WIB.


103

http://www.usccb.org/beliefs-and-teachings/what-we-believe/catholic-social-

teaching/seven-themes-of-catholic-social-teaching.cfm, diakses pada 22 Maret

2017, pukul 11.15 WIB.

http://unfccc.int/2860.php, diakses pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.

http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php, diakses

pada 24 Maret 2017 pukul 10.09 WIB.

https://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf.

http://palaugov.pw/.

http://www.thinkinghumanity.com/2014/04/socrates-the-test-of-three.html

http://archeparchy.ca/wcm-docs/docs/catechism-of-the-catholic-church.pdf,

diunduh pada 7 Februari 2017, pukul 18.30 WIB.

http://internetbiblecollege.net/Lessons/Repentance.pdf, diunduh pada 27 Februari

2017 pukul 18.30 WIB.

https://www.cbd.int/secretariat/, diakses pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.

http://www2.unccd.int/, diakses pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.


104

https://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/inilah-5-poin-penting-hasil-

konferensi-perubahan-iklim, diakses pada 1 Maret 2017 pukul 21.38 WIB.

http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_27_99.htm, diakses pada 3 Maret 2017 pukul

10.00 WIB.

http://www.etymonline.com/index.php?term=encyclical, diakses pada 21 Maret

2017 pukul 20.30 WIB.

http://www.papalencyclicals.net/, diakses pada 21 Maret 2017 pukul 20.47 WIB.

http://libguides.loras.edu/c.php?g=337751&p=2864455.

Anda mungkin juga menyukai