Makroprudensial PDF
Makroprudensial PDF
Bank Indonesia
Agustus 2016
i
Daftar Isi
Daftar Isi....................................................................................................... ii
Prakata Gubernur Bank Indonesia.............................................................. iv
Bab I. Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial?........................ 1
I.1. Pendahuluan............................................................................ 1
I.2. Definisi dan Karakteristik Kebijakan Makroprudensial.......... 2
Boks 1.1. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya
Mengenai Perbankan?...................................................... 8
BAB II. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?...................... 13
II.1. Karakteristik Sistem Keuangan............................................... 13
II.2. Kebijakan Makroprudensial Sebagai Komplemen
Kebijakan Lain.......................................................................... 15
II.2.1 Kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial...... 15
II.2.2 Kebijakan Makroprudensial dan Moneter................... 16
II.2.3 Kebijakan Makroprudensial dan Fiskal......................... 17
Boks 2.1. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan
Kebijakan Moneter dan Mikroprudensial.................... 19
Bab III. Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?.............. 23
III.1. Mandat dan Kewenangan....................................................... 23
III.2. Landasan Hukum..................................................................... 27
Boks 3.1. Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas
Sistem Keuangan.......................................................... 29
Bab IV. Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan
Kebijakan Makroprudensial?.......................................................... 33
IV.1. Identifikasi Sumber Risiko Sistemik........................................ 35
IV.2. Pengawasan Makroprudensial............................................... 37
IV.2.1. Monitoring dan Analisis Risiko Sistemik........................ 37
IV.2.2. Pemberian Sinyal Risiko................................................ 40
IV.2.3 Pemeriksaan Tematik..................................................... 42
IV.3.Desain dan Implementasi Instrumen Kebijakan..................... 43
ii
IV.3.1. Motivasi Pengembangan Instrumen
Makroprudensial........................................................... 43
IV.3.2. Waktu Perumusan dan Implementasi Instrumen
Makroprudensial........................................................... 45
IV.3.3. Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Indonesia... 46
Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan
Regional Financial Surveillance...................................... 49
Boks 4.2. Stress Testing Perbankan: Menguji Ketahanan Bank
dalam Menghadapi Tekanan........................................ 52
Boks 4.3. Tidak Ada Lagi “Too-Big-To-Fail”................................... 55
Boks 4.4. Countercyclical Capital Buffer: Solusi Redam Rugi....... 60
Boks 4.5. Standar Internasional Pengaturan di Sektor
Keuangan: Basel III........................................................ 63
Bab V. Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis:
Protokol Manajemen Krisis............................................................ 67
V.1. Dasar Hukum PMK.................................................................... 68
V.2. Peran PMK Bank Indonesia dalam Memelihara Stabilitas
Sistem Keuangan..................................................................... 69
V.3. Koordinasi Antarlembaga dalam Pencegahan dan/atau
Penanganan Krisis.................................................................... 71
V.4. Opsi Kebijakan Bank Indonesia dalam Pencegahan dan
Penanganan Krisis..................................................................... 72
Boks 5.1. Pelajaran Berharga dari Krisis Keuangan Global 2008.... 75
Daftar Pustaka.............................................................................................. 79
Daftar Singkatan.......................................................................................... 82
Daftar Istilah................................................................................................. 84
Kontributor................................................................................................... 94
iii
Prakata Gubernur Bank Indonesia
Istilah makroprudensial mengemuka dan menjadi sangat populer di sektor
keuangan paska terjadinya krisis keuangan global. Krisis keuangan tersebut
ditengarai terjadi karena belum diterapkannya kebijakan makroprudensial
yang efektif di negara maju, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan dinamika
di sektor keuangan yang bersumber dari interaksi antara makro ekonomi
dengan mikro ekonomi. Di Indonesia sendiri, pendekatan makroprudensial
sudah dijalankan sebagai bagian dari pemulihan ekonomi akibat krisis
keuangan Asia tahun 1997/1998.
Pengalaman krisis tersebut sesungguhnya telah memberikan pelajaran
yang berharga, sehingga pada saat krisis keuangan global 2007/2008
yang dipicu oleh kegagalan produk subprime mortgage di Amerika Serikat,
Bank Indonesia dengan kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial
yang dimilikinya sudah lebih siap dengan berbagai langkah yang dapat
menahan pemburukan kondisi ekonomi dan sistem keuangan di dalam
negeri. Selanjutnya dengan berlandaskan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, fungsi mikroprudensial yang
terkait dengan kesehatan, kinerja, dan kelangsungan usaha individual
bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013,
sementara Bank Indonesia diamanatkan untuk tetap menjalankan fungsi
makroprudensial.
Meskipun kebijakan makroprudensial sudah sejak lama menjadi bagian
integral dari kebijakan Bank Indonesia, perkembangan kebijakan
makroprudensial di tataran internasional relatif baru menjadi perhatian
dan banyak didiskusikan dalam beberapa waktu terakhir. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika masih banyak kalangan yang belum memahami
apa yang menjadi esensi kebijakan makroprudensial. Sebagaimana
dilakukan otoritas keuangan lainnya di seluruh dunia, Bank Indonesia terus
berupaya melakukan pengembangan kerangka kebijakan makroprudensial
yang sejalan dengan standar dan praktik-praktik terbaik di tataran
internasional. Namun demikian, pemahaman berbagai pihak terhadap
iv
kebijakan makroprudensial akan memegang peranan penting dalam
efektivitas penerapan kebijakan makroprudensial tersebut, sehingga
proses komunikasi mengenai kebijakan makroprudensial mulai dari hal
yang paling mendasar perlu dilakukan.
Untuk mendukung proses komunikasi kebijakan makroprudensial tersebut,
Bank Indonesia memandang perlu untuk menerbitkan buku yang mengupas
berbagai hal yang terkait dengan kebijakan makroprudensial. Pada buku
ini, bab I (pertama) hingga III (ketiga) menjelaskan mengenai apa dan
bagaimana kebijakan makroprudensial, mengapa kebijakan itu diperlukan,
dan siapa yang melaksanakan mandat kebijakan tersebut. Sedangkan, Bab
IV (keempat) dan V (kelima) memaparkan mengenai strategi kebijakan
makroprudensial di Bank Indonesia, serta bagaimana Bank Indonesia
mencegah dan menangani krisis. Dua bab terakhir ini ditujukan kepada
yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana Bank Indonesia
menjalankan mandat di bidang makroprudensial, terutama dalam rangka
mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan. Buku ini juga
dilengkapi dengan tulisan-tulisan pendek dalam boks untuk memberikan
pemahaman yang lebih spesifik bagi pihak-pihak yang ingin mendalami isu
atau aspek tertentu dalam kebijakan makroprudensial.
Akhir kata, kami berharap penerbitan buku ini dapat mendukung
tercapainya kesamaan pandangan dan pemahaman mengenai kebijakan
makroprudensial, sehingga dapat membantu peningkatan efektivitas
pengendalian risiko sistemik dan ketidakseimbangan keuangan untuk
mendorong terwujudnya stabilitas sistem keuangan. Saran, komentar
maupun kritik dari seluruh pihak sangat kami harapkan untuk lebih
menyempurnakan buku ini di masa mendatang.
Jakarta, Agustus 2016
v
1
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
I.1. Pendahuluan
Meskipun istilah makroprudensial telah diperkenalkan sejak tahun
19791, namun kebijakan makroprudensial baru populer pascakrisis
keuangan global (global financial crisis, GFC) yang terjadi pada tahun
2008. Krisis yang dipicu permasalahan subprime mortgage di sektor
keuangan ini tak hanya mengakibatkan penurunan kinerja sektor
keuangan, namun juga berdampak negatif pada memburuknya
perekonomian dunia. Keterkaitan hubungan, atau hubungan sebab
akibat (feedback loop), antara sektor keuangan dengan sektor riil
mengakibatkan biaya krisis menjadi tinggi dengan waktu pemulihan
yang tidak singkat.
Kondisi-kondisi tersebut mendorong pemimpin negara-negara
G20 pada pertemuan di Seoul tahun 2010 untuk meminta Financial
Stability Board (FSB), International Monetary Fund (IMF), dan
Bank for International Settlement (BIS) agar mengembangkan
kerangka kebijakan makroprudensial guna mencegah risiko
sistemik pada sektor keuangan (FSB, IMF, BIS, 2011). Sebagai tindak
lanjut, bank sentral dan otoritas keuangan beberapa negara turut
mengembangkan pendekatan makroprudensial dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan, antara lain melalui tren perubahan
penataan kelembagaan (institutional arrangement) otoritas
keuangan di beberapa negara.
Di Indonesia, istilah makroprudensial secara implisit telah digunakan
sejak awal tahun 2000 sebagai respons atas krisis keuangan tahun
1. Istilah makroprudensial pertama kali diperkenalkan pada pertemuan The Cooke Committee (saat ini dikenal
dengan Basel Committee on Banking Supervision/BCBS) tahun 1979 terkait dengan pembahasan excessive
lending growth. Pada pembahasan tersebut diidentifikasi adanya integrasi antara permasalahan micro-
economic dengan macro-economic yang disebut dengan istilah macro-prudential (Clement, 2010).
1
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
2
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
3
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
4
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
5
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
6
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
7
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
8
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
9
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
10
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
11
2
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
Mengapa Kebijakan
Makroprudensial Diperlukan?
II.1. Karakteristik Sistem Keuangan
Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, upaya menjaga stabilitas
sistem keuangan tidaklah cukup bila hanya difokuskan pada tingkat
kesehatan dan kinerja individu bank atau institusi keuangan lainnya.
Hal ini karena dalam sistem keuangan, antara institusi yang satu
dengan lainnya saling terkait dalam berbagai transaksi keuangan
yang ada. Aset pada satu bank merupakan kewajiban (liability)
pada bank lain. Sebagai contoh, pada transaksi Pasar Uang Antar
Bank (PUAB), di mana antara bank satu dengan bank lainnya dapat
melakukan kegiatan pinjam meminjam dana. Adanya gagal bayar di
satu bank dapat berdampak pada bank lain atau bahkan beberapa
bank sekaligus yang memiliki transaksi keuangan dengan bank
tersebut. Sifat keterkaitan dan interdependensi antarindividu dalam
sistem keuangan ini dikenal dengan istilah interconnectedness.
Dengan adanya karakteristik interconnectedness dalam sistem
keuangan, permasalahan pada satu institusi dapat dengan cepat
menyebar pada institusi lainnya, sehingga menjadi permasalahan
agregat sistem keuangan yang berpotensi menimbulkan dampak
hingga ke sektor riil.
Merujuk pada penjelasan di atas, potensi penyebaran risiko
(spillover) dari satu institusi ke institusi lain menjadi lebih tinggi
apabila permasalahan terjadi pada institusi keuangan yang besar
atau dominan. Kegagalan bank besar dengan pangsa yang cukup
tinggi dalam sistem keuangan akan memberikan dampak yang lebih
signifikan dibandingkan dengan kegagalan bank dengan skala yang
lebih kecil. Hal ini dikenal dengan konsep too-big-to-fail. Selain karena
skala usahanya, bank besar cenderung memiliki interkonektivitas
dengan bank lain yang lebih banyak dengan kompleksitas usaha
13
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
14
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
15
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
16
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
kondisi inflasi dan output gap yang rendah (IMF, 2013a). Sumber-
sumber risiko makroekonomi dapat berasal dari instabilitas sistem
keuangan. Oleh karena itu, adanya pengawasan agregat pada sistem
keuangan dari kebijakan makroprudensial dapat melengkapi fokus
kebijakan moneter. Kebijakan makroprudensial dapat digunakan
untuk melihat adanya potensi peningkatan risiko dari sistem
keuangan yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian secara
keseluruhan.
Secara umum, kedua kebijakan ini beroperasi di bawah paradigma
yang sama, yakni paradigma countercyclical: kebijakan moneter fokus
pada stabilitas harga, sedangkan kebijakan makroprudensial fokus
pada stabilitas keuangan. Kedua kebijakan ini saling terkait satu sama
lain. Kondisi makroekonomi yang merupakan hasil dari implementasi
kebijakan moneter, akan secara langsung memengaruhi stabilitas
sistem keuangan. Perlambatan ekonomi atau volatilitas nilai tukar,
misalnya, dapat secara langsung berdampak pada kinerja penyaluran
dan kualitas kredit perbankan. Oleh karena itu, kedua kebijakan ini
harus dijalankan secara optimal dari sudut pandang masing-masing,
karena kekurangan dari sisi kebijakan moneter tidak akan dapat
secara efektif ditangani oleh kebijakan makroprudensial. Dampak
yang dapat ditimbulkan satu sama lain juga perlu untuk diperhatikan.
Ada kalanya, kebijakan moneter yang berdampak pada seluruh
pelaku ekonomi, dapat menimbulkan dampak yang kurang
menguntungkan di sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial
dapat menutup gap di kebijakan moneter dengan kemampuannya
untuk mengatur target objek dari kebijakannya. Kebijakan
makroprudensial dan moneter dapat bersinergi untuk memberikan
dampak kebijakan yang paling sesuai bagi perekonomian (Baca Boks
2.1. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter
dan Mikroprudensial).
17
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
18
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
19
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
20
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
21
3
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
23
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
3. Secara sederhana, bank sentral memiliki fungsi Lender of the Last Resort yang berarti bank sentral adalah
lembaga terakhir yang bersedia memberikan pinjaman dalam kondisi lembaga lain tidak mau atau tidak
sanggup lagi memberikan pinjaman. Fungsi ini dikaitkan juga dengan fungsi bank sentral sebagai pencipta
uang.
24
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
25
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
26
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
III.2.Landasan Hukum
Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK khususnya
penjelasan pasal 7, Bank Indonesia memiliki kewenangan di
bidang makroprudensial. Kewenangan Bank Indonesia di bidang
makroprudensial juga dinyatakan dalam pasal 40 dan penjelasannya
mengenai kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan
pemeriksaan khusus kepada bank tertentu, serta penjelasan pasal 69
yang menyebutkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan
makroprudensial.
UU OJK mendefinisikan lingkup pengaturan dan pengawasan
makroprudensial sebagai pengaturan dan pengawasan selain aspek
kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan
bank yang merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan
mikroprudensial yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Sementara
itu, UU No. 9 Tahun 2016 tanggal 15 April 2016 tentang Pencegahan
dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), khususnya
penjelasan pasal 3 ayat 2c, menyebutkan makroprudensial mencakup
pengaturan dan pengawasan lembaga jasa keuangan yang bersifat
makro dan berfokus pada risiko sistemik dalam rangka mendorong
stabilitas sistem keuangan.
Untuk melaksanakan kegiatan pengaturan dan pengawasan
makroprudensial, Bank Indonesia menetapkan kerangka kebijakan
pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang
Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial. PBI diterbitkan
sebagai pedoman dalam implementasi kewenangan Bank Indonesia
di bidang makroprudensial, serta untuk meningkatkan pemahaman
pelaku pasar terhadap peran Bank Indonesia sebagai regulator
dan pengawas makroprudensial. Selanjutnya, mempertimbangkan
perlunya terdapat kerangka kebijakan yang tepat, jelas, transparan,
dan dapat dipertanggungjawabkan, disusunlah Peraturan Dewan
Gubernur (PDG) No. 17/17/PDG/2015 tanggal 31 Desember 2015
tentang Kerangka Kebijakan Makroprudensial yang berfungsi
sebagai aturan dan pedoman internal mengenai bagaimana Bank
Indonesia menjalankan kerangka kebijakan makroprudensial. Dengan
27
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
28
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
29
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
30
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
31
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
32
4
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
4. Financial imbalances atau ketidakseimbangan dalam sistem keuangan merupakan suatu kondisi dengan
indikasi peningkatan potensi risiko sistemik akibat perilaku ambil risiko yang berlebihan dari pelaku sistem
keuangan.
5. Di Bank Indonesia, pengembangan akses keuangan dilakukan antara lain melalui program Keuangan Inklusif
(financial inclusion). Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi paskakrisis 2008, yaitu dampak krisis
kepada kelompok in the bottom of the pyramid (pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah
terpencil, orang cacat, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan masyarakat pinggiran)
yang umumnya unbanked. Sebagai tindak lanjut, pada G20 Pittsburgh Summit 2009 dan dipertegas pada
Toronto Summit 2010, disepakati perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok tersebut, yang
selanjutnya dikenal dengan program Financial Inclusion (FI). FI di Bank Indonesia dilaksanakan dalam
Strategi Nasional Keuangan Inklusif, yang terdiri atas 6 (enam) pilar sebagai berikut: (i) edukasi keuangan;
(ii) fasilitas keuangan publik; (iii) pemetaan informasi keuangan; (iv) kebijakan/peraturan yang mendukung;
(v) intermediasi dan saluran distribusi; serta (vi) perlindungan konsumen.
6. Pengembangan UMKM dilakukan mengingat UMKM merupakan salah satu pemain penting bagi
perekonomian Indonesia, namun masih terkendala dalam hal pembiayaan oleh perbankan karena faktor
berikut. Karakteristik UMKM yang sebagian besar masih unbanked dan tidak memiliki laporan keuangan
yang memadai, menjadi keterbatasan bagi bank dalam menganalisa kelayakan usaha. Sebaliknya bagi
UMKM, informasi mengenai produk dan jasa bank masih terbatas. Pengembangan UMKM di Bank Indonesia
dilakukan melalui penyediaan media informasi bagi intermediasi bank dan UMKM, serta berbagai koordinasi
dan kerja sama dalam hal pengembangan UMKM.
33
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
34
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Gambar 4.1.
Strategi Operasional untuk Kerangka Kebijakan Makroprudensial
35
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
36
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
37
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
A. Monitoring
Monitoring sistem keuangan dilakukan dengan memantau
pergerakan indikator yang merepresentasikan kinerja elemen
sistem keuangan dan indikator makroekonomi yang dapat
memengaruhi kinerja sistem keuangan. Selain difokuskan pada
prioritas risiko yang telah ditetapkan dalam metode Balanced
Approach sebelumnya, secara umum objek monitoring dapat
mencakup seluruh elemen dalam sistem keuangan, yaitu: lembaga
keuangan bank dan nonbank, khususnya yang memiliki potensi
risiko sistemik, termasuk perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan
perusahaan anak dari bank yang berpotensi menimbulkan risiko
sistemik. Selain itu, objek monitoring juga mencakup pasar dan
infrastruktur keuangan, serta sektor rumah tangga dan korporasi.
Monitoring terhadap korporasi dan rumah tangga penting dilakukan
mengingat kedua sektor tersebut memiliki hubungan langsung
dengan institusi keuangan, sehingga adanya permasalahan yang
terjadi pada kedua sektor tersebut berpotensi menimbulkan
dampak pada institusi keuangan. Luasnya cakupan monitoring
dimaksudkan untuk menangkap adanya unknown risk yang belum
teridentifikasi sebelumnya. Untuk keperluan ini jugalah, Bank
Indonesia telah memperluas cakupan monitoring terhadap risiko di
sistem keuangan dengan menambahkan peran Kantor Perwakilan
Dalam Negeri dalam mendukung tugas kantor pusat. (Baca juga
Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan Regional
Financial Surveillance).
B. Stress Identification
Stress identification dilakukan dalam rangka mengidentifikasi
dan mengukur kapan kinerja indikator-indikator yang dimonitor
memberikan sinyal yang membahayakan bagi sistem keuangan.
Hal ini dilihat berdasarkan pembandingan indikator pada ambang
(threshold) yang telah ditentukan dari hasil penelitian serta
pendeteksian indikator ketidakseimbangan yang terjadi di sistem
keuangan (imbalances indicators). Beberapa sarana (tools) yang saat
ini digunakan oleh Bank Indonesia dalam fase stress identification
38
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
C. Risk Assessment
Penilaian risiko (risk assessment) dilakukan dengan tujuan untuk
mengukur sejauh mana potensi dampak yang ditimbulkan dari risiko
yang telah teridentifikasi pada tahap sebelumnya terhadap sistem
keuangan maupun sektor riil. Salah satu metode yang digunakan
oleh Bank Indonesia dalam melakukan penilaian risiko adalah stress
test perbankan. Stress test merupakan metode untuk menilai tingkat
ketahanan atas skenario tekanan (shock) tertentu yang diberikan.
Saat ini, pelaksanaan stress test masih difokuskan pada perbankan,
mengingat bank masih mendominasi sistem keuangan di Indonesia.
Ke depan akan dikembangkan metode stress test untuk mengukur
ketahanan korporasi.
Di Bank Indonesia saat ini terdapat 2 (dua) jenis stress test.
Pertama, stresst test dengan cakupan industri (industry-wide),
yang bersifat dari atas ke bawah (top-down) dan dilakukan dengan
pendekatan yang sama untuk semua bank, baik dari sisi pemodelan
maupun pendekatan dalam simulasi neraca bank. Metode ini telah
diimplementasikan secara berkala dalam proses pengawasan
makroprudensial (Baca juga Boks 4.2. Stress Testing Perbankan:
Menguji Ketahanan Bank dalam Menghadapi Tekanan). Kedua,
metode perhitungan individual stress test (khusus bagi bank sistemik,
atau bank lainnya jika diperlukan), yaitu dengan menggunakan
pendekatan yang berbeda bagi setiap bank serta menggunakan data
8. Siklus keuangan didefinisikan sebagai interaksi antara persepsi dari harga (value) dan risiko, perilaku
terhadap risiko dan kendala pembiayaan (financial constraint), yang diterjemahkan sebagai boom yang
diikuti oleh bust (Borio, 2012).
39
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
yang lebih rinci (granular) dari tiap bank. Saat ini, metode individual
stress test sedang dalam tahap pengembangan. Pada jenis individual
stress test ini, metode granular akan diimplementasikan. Sebagai
informasi, pelaksanaan individual stress test akan dilakukan melalui
koordinasi dengan OJK dan komunikasi dengan bank dalam bentuk
pemeriksaan (apabila diperlukan) untuk memperoleh informasi dan
data secara langsung dari bank.
40
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
41
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
42
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
43
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
44
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
45
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
46
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
11. Rasio LFR merupakan rasio yang mencerminkan besarnya jumlah pembiayaan (kredit) yang telah diberikan
oleh bank terhadap jumlah pendanaan yang diperoleh bank. Dalam hal ini, pendanaan terdiri dari dana
pihak ketiga (DPK) yang diterima oleh bank ditambah dengan sumber pendanaan yang berasal dari surat
berharga yang diterbitkan oleh bank.
12. Besarnya LFR target saat ini adalah 78% - 92%. Terdapat insentif pelonggaran batas atas menjadi 94% apabila
bank telah menyalurkan kredit UMKM sebagaimana yang disyaratkan dalam PBI No. 17/12/PBI/2015 tentang
Perubahan atas PBI No. 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan
Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dengan kualitas kredit
yang tetap terjaga.
47
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
48
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
49
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
50
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
51
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
52
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
53
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
54
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
55
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
15. G-SIB adalah bank yang berdampak sistemik dalam cakupan global. Dalam hal ini bank yang
bersangkutan beroperasi lintasnegara sehingga memiliki pengaruh pada sistem keuangan global.
56
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
57
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
58
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
59
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
60
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
61
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
62
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
63
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
64
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
65
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
66
5
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
67
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
68
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
69
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Peran PMK tersebut di atas semakin terlihat jelas pada saat tekanan
terhadap sistem keuangan meningkat. Dalam kondisi tersebut
PMK dapat memberikan pedoman yang jelas, terintegrasi, dan
berkelanjutan bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan langkah-
langkah pencegahan dan penanganan. PMK sekaligus berfungsi
sebagai landasan hukum bagi Bank Indonesia dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan tindakan secara cepat,
termasuk dalam rangka koordinasi dengan Pemerintah, KSSK, dan/
atau institusi terkait.
Untuk memastikan PMK dapat diimplementasikan secara cepat di
level strategis dan teknis dengan tetap menjaga tata kelola yang
baik, digunakan Crisis Binder17 sebagai pedoman (manual) yang
bersifat singkat namun komprehensif dan praktis. Crisis Binder Bank
17. Istilah Crisis Binder biasanya digunakan untuk dokumentasi kumpulan langkah-langkah atau aksi yang dapat
dilakukan dalam rangka penanganan krisis. Dokumen ini ditujukan untuk memastikan langkah-langkah atau
aksi penanganan krisis dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
70
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
71
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
72
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
73
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
18. Ambiguitas yang konstruktif dalam hal ini diimplementasikan dengan tetap memelihara diskresi dari BI
dalam proses pengambilan keputusan dalam pemberian FPJP agar bank tidak berperilaku sedemikian rupa
untuk menjamin keputusan pemberian FPJP. Perilaku ini yang dianggap sebagai moral hazard.
74
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
75
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
76
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
77
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
78
Daftar Pustaka
Bagehot, W. (1873). Lombard Street: A Description of the Money Market.
Bank Indonesia. (2007). Stabilitas Sistem Keuangan, Apa, Mengapa dan
Bagaimana? Booklet Stabilitas Sistem Keuangan. Mei.
___________. (2015). Guidelines Pelaksanaan Stress Test Perbankan di Bank
Indonesia. Laporan Program Strategi No. 2B. Departemen Kebijakan
Makroprudensial dan Departemen Surveillance Sistem Keuangan. Bank
Indonesia.
Basel Committee on Banking Supervision. (2010). Basel III: A Global
Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking Systems
_______________. (2012a). Model and Tools for Macroprudential Analysis.
BIS Working Paper No.12. Bank for International Settlements.
_______________. (2012b). A Framework for Dealing With Domestic
Systemically Important Banks.
_______________. (2013). Global Systemically Important Banks:
Updated Assessment Methodology and The Higher Loss Absorbency
Requirement.
_______________. (2013). Basel III: The Liquidity Coverage Ratio and
Liquidity Risk Monitoring Tools.
_______________. (2014). Basel III: The Net Stable Funding Ratio.
Bernanke, B. (2013). Monitoring the Financial System. Speech At the 49th
Annual Conference on Bank Structure and Competition sponsored by
the Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago, Illinois.
Billio, M; Mila, G; Andrew W.L dan Loriana P. (2010). Measuring Systemic
Risk in the Finance and Insurance Sectors. MIT Sloan School Working
Paper 4774-10.
Borio C., M. Drehman, dan K. Tsatsaronis. (2012). Stress-Testing Macro
Stress Testing: Does It Live Up To Expectations?. BIS Working Papers
No 369.
Borio, C. (2009). Implementing The Macroprudential Approach to Financial
Regulation and Supervision. Banque de France Financial Stability
Review, 13.
79
Borio. C. (2012). The Financial Cycle and Macroeconomics: What Have We
Learnt?. BIS Working Papers No 395.
Claessens, S. C. Pazarbasioglu, L. Laeven, M. Dobler, F. Valencia, O. Nedelescu,
dan K. Seal. (2011). Crisis management and Resolution: Early Lessons from
the Financial Crisis. IMF Staff Discussion Notes No.11/05
Clement, Piet. (2010). The Term “Macroprudential”: Origins and Evolution,”
BIS Quarterly Review, March.
Committee on The Global Financial System (CGFS). (2012). Operationalising
The Selection and Application of Macroprudential Instruments. CGFS
Papers No.48. Bank for International Settlements. December.
Crockett, A. (2000). Marrying The Micro- And Macro-Prudential Dimensions
Of Financial Stability. BIS Review 76/2000.
Eijffinger, S. C.W dan Karatas, B. (2013). Three Sisters : The Interlinkage
Between Sovereign Debt, Currency and Banking Crises. Centre for Policy
Research Discussion Paper Series 9369.
European Central Bank (ECB), 2010, “Financial Networks and Financial
Stability”, Financial Stability Reviews, pp. 138-146, June.
European Systemic Risk Board, 2013, “Recommendation of The ESRB on
Intermediate Objectives and Instruments of Macro-prudential Policy,”
Official Journal of The European Union, C 170/1, April.
Financial Stability Board, International Monetary Fund, and Bank for
International Settlements, 2011, “Macroprudential Tools and Frameworks,”
Update to G20 Finance Ministers and Central Bank Governors, February.
Financial Stability Board. (2010). Implementing OTC Derivatives Market
Reforms.
______________. (2010). Reducing The Moral Hazard Posed by Systemically
Important Financial Institutions. FSB Recommendations and Time Lines.
______________. (2011a). Key Attributes of Effective Resolution Regimes for
Financial Institutions
______________. (2011b) Shadow Banking: Strengthening Oversight and
Regulation.
______________. (2013). Policy Framework for Addressing Shadow Banking
Risks in Securities Lending and Repos.
80
______________. (2014). Key Attributes of Effective Resolution Regimes for
Financial Institutions.
______________. (2014). Strengthening Oversight and Regulation of Shadow
Banking: Regulatory framework for haircuts on non-centrally cleared
securities financing transactions.
______________. (2015). Transforming Shadow Banking into Resilient
Market-based Finance: Regulatory framework for haircuts on non-
centrally cleared securities financing transactions.
Galati, G., and Richhild M., 2011, “Macroprudential Policy – a Literature
Review,” BIS Working Paper No. 337, Bank for International Settlements.
Group of Ten, 2001, “Report on Consolidation in the Financial Sector”,
International Monetary Fund, January.
Harun, C.A. dan Sagita, R. (2013). Kerangka Kebijakan Makroprudensial
Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Departemen Kebijakan
Makroprudensial. Bank Indonesia..
______________. (2015). Revisit Kerangka Kebijakan Makroprudensial
di Bank Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Departemen Kebijakan
Makroprudensial. Bank Indonesia.
International Monetary Fund.(2011). Macroprudential Policy: An Organizing
Framework.
______________. (2013a). The Interaction of Monetary and Macroprudential
Policies.
______________. (2013b). Key Aspects Of Macroprudential Policy.
Kalirai, H. Scheicher, M. (2002), Macroeconomic Stress Testing: Preliminary
Evidence for Austria, Financial Stability Report, (3) Austrian National Bank.
Laeven, L. dan Valencia, F. (2013). Systemic Banking Crises Database: An
Update. IMF Economic Review 61 (2).
Pramono, B., Januar, H., Justina, A., M.H.Muhajir dan M.S. Alim. (2015).
Indikator Utama, Reciprocity dan Pengaturan Countercyclical Capital
Buffer di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Departemen Kebijakan
Makroprudensial. Bank Indonesia.
Thornton, H. (1939). An Enquiry in the Nature and Effects of the Paper Credit
of Great Britain. Esq. M.P. London
81
Daftar Singkatan
ATMR Aktiva Tertimbang Menurut Risiko
BCBS Basel Committee on Banking Supervision
BI Bank Indonesia
BIS Bank for International Settlement
BSSK Biro Stabilitas Sistem Keuangan
CAR Capital Adequacy Ratio
CCB Countercylical Capital Buffer
CET1 Common Equity Tier 1
CKPN Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
D-SIBs Domestic Systemically Important Banks
ESRB European Systemic Risk Board
FKSSK Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
FPJP(S) Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (Syariah)
FSB Financial Stability Board
GFC Global Financial Crisis
G-SIBs Global Systemically Important Banks
GWM Giro Wajib Minimum
IDMA Indeks Inter Dealer Market Association
IFSN International Financial Safety Net
IHSG Indeks Harga Saham Gabungan
IMF International Monetary Fund
IRSP Indeks Risiko Sistemik Perbankan
ISSK Indeks Stabilitas Sistem Keuangan
JPSK Jaring Pengaman Sektor Keuangan
KPwDN Kantor Perwakilan Dalam Negeri
KSK Kajian Stabilitas Keuangan
KSSK Komite Stabilitas Sistem Keuangan
LCR Liquidity Coverage Ratio
LDR Loan-to-Deposit Ratio
LFR Loan-to-Funding Ratio
LOLR Lender of the Last Resort
LPS Lembaga Penjamin Simpanan
82
LTV Ratio Loan-to-Value Ratio
NPL Non Performing Loan
NSFR Net Stable Funding Ratio
OJK Otoritas Jasa Keuangan
OPT Operasi Pasar Terbuka
OTC Over The Counter
PLJP Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek
PMK Protokol Manajemen Krisis
PPKSK Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
PUAB Pasar Uang Antar Bank
RDG Rapat Dewan Gubernur
RFS Regional Financial Surveillance
SIBs Systemically Important Banks
SIFIs Systemically Important Financial Institutions
SSK Stabilitas Sistem Keuangan
UMKM Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
83
Daftar Istilah
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
Nilai eksposur risiko yang dimiliki oleh bank dimana perhitungannya
mencakup eksposur risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Semakin tinggi risiko aktiva, semakin tinggi bobot risikonya. Bank wajib
memiliki dan menjaga tingkat modal minimum sebesar persentase
tertentu dari ATMR.
Bail-in
Langkah yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan keuangan
(likuiditas dan solvabilitas) institusi keuangan dengan melakukan
restrukturisasi hutang institusi keuangan, antara lain melalui konversi
kewajiban menjadi ekuitas untuk menyerap kerugian.
Bail-out
Langkah yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan keuangan
(likuiditas dan solvabilitas) institusi keuangan dengan menggunakan
dana Pemerintah (APBN).
Bank for International Settlement (BIS)
Organisasi keuangan internasional beranggotakan 60 bank sentral yang
mendorong kerjasama moneter dan keuangan secara internasional dan
melakukan tugas sebagai bank bagi bank sentral.
Bank Indonesia
Bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)
Komite/grup yang beranggotakan otoritas perbankan negara-negara,
bertujuan untuk menerbitkan rekomendasi dan standar pengaturan
kehati-hatian secara internasional bagi sektor perbankan.
Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK)
Biro yang berada pada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan
(DPNP) Bank Indonesia yang bertugas melaksanakan peran Bank
Indonesia dalam mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan.
84
BSSK didirikan pada tahun 2003 dan pada tahun 2013 perannya
digantikan oleh Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP)
sejalan dengan reorganisasi di Bank Indonesia.
Bottom-up Stress Test
Stress test perbankan yang dilakukan oleh individual bank dengan
model yang disesuaikan dengan pengelolaan risiko oleh bank.
Build-up Phase
Merupakan fase awal pembentukan risiko yang ditandai dengan
munculnya gejala overheating pada sistem keuangan atau per-
kembangan indikator monitoring dan hasil uji ketahanan yang
mengarah pada ambang instabilitas sistem keuangan, antara lain
seperti pertumbuhan kredit yang tinggi, kenaikan harga aset yang
tinggi (boom), dan perkembangan financial innovation yang cepat.
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
Cadangan yang wajib dibentuk bank jika terdapat bukti objektif
mengenai penurunan nilai aset keuangan atau kelompok aset keuangan
sebagai akibat dari satu atau lebih peristiwa yang terjadi setelah
pengakuan awal aset tersebut.
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Rasio kecukupan modal bank yang diukur berdasarkan perbandingan
antara jumlah modal dengan asset tertimbang menurut risiko (ATMR).
Common Equity Tier 1
Modal inti utama merupakan komponen modal bank yang terdiri atas
modal disetor dan cadangan tambahan modal (disclosed reserve).
Common Risk Factor
Kondisi dimana beberapa institusi keuangan memiliki eksposur dan
menghadapi risiko yang sama.
Concentration Risk
Risiko yang muncul akibat pemusatan eksposur pada portofolio tertentu
85
baik dalam 1 (satu) maupun beberapa institusi keuangan.
Contagion Effect
Risiko atau gangguan yang menular dari satu institusi atau elemen
sistem keuangan ke institusi atau elemen lainnya dalam sistem keuangan
karena adanya keterkaitan eksposur atau faktor informasi.
Countercyclical
Kecenderungan variabel atau indikator keuangan untuk bergerak
berlawanan arah dengan pergerakan siklus perekonomian.
Countercylical Capital Buffer (CCB)
Tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk
mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan
yang berlebihan sehingga berpotensi menganggu stabilitas sistem
keuangan.
Crisis Binder
Dokumentasi mengenai kumpulan langkah-langkah atau aksi yang
dapat dilakukan dalam rangka penanganan krisis. Dokumen ini ditujukan
untuk memastikan langkah-langkah atau aksi penanganan krisis dapat
dilakukan dengan cepat dan tepat.
Dimensi Cross Section
Dimensi antarsubjek yang mencerminkan bagaimana risiko terdistribusi
dalam sistem keuangan pada satu periode tertentu yang disebabkan
oleh secara individual atau sektoral terdapat risiko konsentrasi
(concentration risk) dan kesamaan eksposur (common risk factor) dan/
atau risiko tertularnya gangguan antarindividu/antarsektor karena
keterkaitan dalam sistem keuangan (contagion risk).
Dimensi Time Series
Dimensi runtun waktu yang menekankan pada bagaimana risiko dalam
sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk evolusi dengan
mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).
Domestic- Systemically Important Banks (D-SIBs)
Bank-bank yang ditengarai memiliki dampak yang signifikan terhadap
stabilitas sistem keuangan domestik dan berfungsinya perekonomian
dengan baik.
86
European Systemic Risk Board (ESRB)
Badan independen yang memiliki kewenangan makroprudensial,
bertugas mengawasi, mencegah dan membatasi terjadinya risiko
sistemik dalam sistem keuangan Uni Eropa. Anggota ESRB terdiri dari
perwakilan European Centar Bank (ECB), bank sentral dan otoritas
pengawas institusi keuangan negara-negara anggota Uni Eropa.
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek/Syariah (FPJP/S)
Fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada bank umum/syariah
untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami
oleh bank umum/syariah. Selanjutnya, berdasarkan UU PPKSK No. 9
Tahun 2016, disebut dengan pinjaman likuiditas jangka pendek/syariah
(PLJP/S).
Feedback Loop
Adanya hubungan sebab akibat, dimana hasil (output) dari sebuah
peristiwa akan menjadi masukan (input) lain dari dari situasi lainnya.
Dalam sistem keuangan, feedback loop terjadi antara sistem keuangan
dengan sektor riil. Permasalahan yang bersumber dari sektor keuangan
dapat berdampak hingga ke sektor riil, dan sebaliknya.
Financial Imbalances
Ketidakseimbangan dalam sistem keuangan yang ditandai dengan
adanya peningkatan potensi risiko sistemik akibat dari perilaku yang
berlebihan dari pelaku sistem keuangan.
Financial Inclusion
Pemberian layanan keuangan dengan biaya yang terjangkau kepada
pihak-pihak yang berasal dari segmen masyarakat yang berpenghasilan
rendah. Kegiatan keuangan inklusi juga merupakan bagian dari
upaya mitigasi risiko sistemik akibat sistem keuangan yang masih
terkonsentrasi pada kalangan masyarakat berpenghasilan menengah
ke atas.
Financial Stability Board (FSB)
Lembaga internasional yang beranggotakan pimpinan pemerintahan
dan bank sentral dari negara anggota G-20 dengan tujuan untuk
mengawasi dan memberikan rekomendasi terkait sistem keuangan
global.
87
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK)
Forum koordinasi yang dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan yang anggotanya terdiri dari Menteri Keuangan selaku
koordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku
anggota, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku
anggota, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan selaku
anggota. Selanjutnya, berdasarkan UU PPKSK No. 9 Tahun 2016, disebut
dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Giro Wajib Minimum (GWM)
Jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh bank yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari dana
pihak ketiga (DPK).
Global-Systemically Important Banks (G-SIBs)
Bank-bank yang ditengarai memiliki dampak yang signifikan terhadap
stabilitas sistem keuangan global dan berfungsinya perekonomian
dunia dengan baik.
Granular Stress Test
Stress test yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan dan data
yang lebih bersifat spesifik untuk setiap individual bank.
Idiosyncratic Risk
Risiko idiosyncratic adalah risiko yang spesifik pada setiap institusi,
sehingga pergerakannya bersifat independen terhadap pergerakan
pasar.
Indeks Inter Dealer Market Association (IDMA)
Indeks yang digunakan sebagai acuan harga obligasi pemerintah.
Indeks Risiko Sistemik Perbankan (IRSP)
Indeks komposit yang mencerminkan kontribusi perbankan pada
risiko sistemik dengan memperhitungkan indikator-indikator yang
menentukan dampak sistemik (degree of systemicity) dari masing-
masing individu bank.
Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK)
Indeks komposit yang mencerminkan kinerja institusi keuangan dan
pasar keuangan Indonesia.
88
Interconnectedness
Keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan.
International Financial Safety Net (IFSN)
Jaring Pengaman Keuangan Internasional (JPKI) adalah kerjasama yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik Indonesia
dalam rangka pencegahan dan/atau penanganan krisis untuk memenuhi
kecukupan cadangan devisa dan/atau memenuhi kesulitan likuiditas
jangka pendek, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral
dengan bank sentral atau otoritas moneter dan/atau otoritas lainnya,
organisasi atau lembaga internasional, dan forum internasional.
International Monetary Fund (IMF)
Lembaga internasional yang bertugas mendorong kerjasama
moneter dan stabilitas sistem keuangan, memfasilitasi perdagangan
internasional dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan
mengurangi kemiskinan antar negara di dunia.
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
Suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang
mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
Kajian Stabilitas Keuangan (KSK)
Publikasi rutin enam bulanan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
yang memuat hasil asesmen dan penelitan Bank Indonesia terhadap
kondisi sistem keuangan termasuk sumber-sumber kerentanan dan
ketidakseimbangan yang berpotensi memicu terjadinya ketidakstabilan
sistem keuangan.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan
Komite yang beranggotakan Menteri Keuangan sebagai koordinator,
Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota, Ketua Dewan Komisioner
OJK sebagai anggota, dan Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai
anggota tanpa hak suara, yang bertugas melakukan koordinasi dalam
rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan,
melakukan penanganan krisis sistem keuangan, dan penanganan
permasalahan bank sistemik baik dalam kondisi normal maupun krisis
sistem keuangan.
89
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Lembaga yang independen yang berfungsi untuk menjamin simpanan
nasabah.
Lender of the Last Resort (LOLR)
Bank sentral sebagai lembaga yang terakhir bersedia memberikan
pinjaman atau pembiayaan berbasis syariah kepada bank yang
mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek yang disebabkan oleh
terjadinya mismatch dalam pengelolaan dana.
Liquidity Coverage Ratio (LCR)
Merupakan perhitungan perbandingan antara High Quality Liquidity
Asset (HQLA) atau aktiva lancar berkualitas tinggi dengan total arus kas
keluar bersih (net cash outflow) selama 30 hari kedepan dalam skenario
stress. LCR dimaksudkan untuk mengukur ketanan bank terhadap
potensi tekanan likuiditas jangka pendek.
Loan-to-Deposit Ratio (LDR)
Rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah dan
valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap dana
pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam Rupiah
dan valuta asing, tidak termasuk dana antar bank.
Loan-to-Funding Ratio (LFR)
Rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah dan valuta
asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap dana pihak
ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam Rupiah dan
valuta asing, tidak termasuk dana antar bank; dan surat-surat berharga
dalam Rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu
yang diterbitkan oleh bank untuk memperoleh sumber pendanaan.
Loan-to-Value Ratio (LTV Ratio)
Angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap
nilai agunan berupa properti pada saat pemberian kredit berdasarkan
harga penilaian terakhir.
Non Performing Loan (NPL)
Kredit bermasalah yang terdiri dari kredit yang berklasifikasi Kurang
Lancar, Diragukan, dan Macet.
90
Net Stable Funding Ratio (NFSR)
Merupakan perhitungan perbandingan antara sumber dana stabil yang
tersedia (available stable funding) dengan sumber dana stabil yang
diperlukan (required stable funding) selama 1 (satu) tahun ke depan.
NSFR dimaksudkan untuk meredam siklus ekspansi dan kontraksi
likuiditas yang berlebihan di sektor keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak
lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikkan sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Operasi Pasar Terbuka (OPT)
Kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter.
Over The Counter (OTC)
Kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana yang dilakukan tidak
melalui bursa.
Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
Kegiatan pinjam meminjam dana jangka pendek antar bank yang
dilakukan melalui jaringan komunikasi elektronis.
Procyclicality
Perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk
mengikuti siklus perekonomian.
Protokol Manajemen Krisis (PMK)
Pedoman dan tata cara dalam melaksanakan langkah-langkah
pencegahan dan penanganan krisis.
Rapat Dewan Gubernur (RDG)
Forum pengambilan keputusan tertinggi dalam menetapkan atau
melakukan evaluasi kebijkan-kebijakan Bank Indonesia yang bersifat
prinsipil dan strategis dan/atau menerima laporan atas kebijakan yang
wajib diketahui oleh Dewan Gubernur sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
91
Regional Financial Surveillance
Serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka pemantauan atas
kondisi sistem keuangan di daerah dalam rangka menjaga stabilitas
sistem keuangan dan mendukung pembangunan ekonomi daerah yang
inklusif dan berkesinambungan.
Risiko Sistemik
Potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular
(contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi
dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan
antar institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta
kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi
keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).
Shadow Banking
Intermediasi kredit yang melibatkan entitas dan aktifitas dengan pihak
diluar dari sistem perbankan regular.
Shock
Peristiwa tertentu yang memicu atau membarengi terjadinya krisis (the
proximate causes).
Siklus Keuangan
Interaksi antara persepsi dari harga (value) dan risiko, perilaku terhadap
risiko dan kendala pembiayaan (financial constraint), yang diterjemahkan
sebagai boom yang diikuti oleh bust.
Sistem Keuangan
Suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan,
infrastruktur keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah
tangga, yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan
pembiayaan perekonomian.
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)
Suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi
secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan
internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau
pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas
perekonomian nasional.
92
Stress Test Perbankan
Metode yang digunakan untuk menguji ketahanan perbankan pada
kondisi yang tidak diinginkan (stress scenario).
Surveillance
Kegiatan monitoring dan analisis terhadap risiko yang mungkin
timbul pada sistem keuangan dan kondisi makroekonomi yang dapat
mempengaruhi sistem keuangan.
Systemically Important Bank (SIB)
Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan atau
kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan
sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau
keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara
operasional maupun finansial, apabila bank mengalami gangguan atau
gagal.
Systemically Important Financial Institution (SIFI)
Institusi keuangan yang mengelola asset cukup besar, memiliki
keterkaitan yang besar dengan institusi keuangan lainnya, serta
menyediakan jasa keuangan yang cukup signifikan, sehingga jika
institusi keuangan ini gagal ditengarai memiliki dampak sistemik
terhadap stabilitas sistem keuangan.
Too-Big-to-Fail
Kondisi dimana korporasi atau institusi keuangan begitu besar dan
terkoneksi yang apabila institusi tersebut gagal maka akan berpengaruh
besar/signifikan pada keseluruhan sistem keuangan.
Top Down Stress Test
Industry-wide stress test yang dilakukan oleh bank sentral/lembaga
pengawasan bank dimana diterapkan parameter yang sama untuk
semua bank.
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Usaha ekonomi produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha
yang memenuhi kriteria usaha Mikro Kecil dan Menengah sebagaimana
diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
Vulnerability
Kondisi (preexisting features) sistem keuangan yang dapat memperkuat
(amplify) dan mempercepat penyebaran shock.
93
Kontributor
Pengarah
Filianingsih Hendarta, Yati Kurniati, Dwityapoetra S. Besar
Editor
Cicilia A. Harun, Sagita Rachmanira, Rani Wijayanti
Penulis
Cicilia A. Harun, Retno Ponco Windarti, Indra Gunawan, Ndari Surjaningsih,
Arlyana Abubakar, Ita Rulina, Clarita Ligaya, Sussy Wandayani, Kurniawan
Agung, Yanti Setiawan, Sagita Rachmanira, Rani Wijayanti, Leanita Indah
Parameswari, Danny Hermawan, Minar Iwan Setiawan, Januar Hafidz,
Riza Putera, Reska Prasetya, M. Firdaus Muttaqin, Shantie Noviantie,
Astrid Fiona Harningtyas, Apsari Anindita Nugroho Putri, Nanda Rizki
Fauziah, Amalia Insan Kamil, Aninditha Kemala Dinianyadarani, Khairani
Syafitri , Frimayudha Ardyaputra , Sri Noerhidajati
Pendukung Teknis
Aditya A. Taruna, R. Renanda Nattan, Nadia Refaniadewi
Konsultan Bahasa
Aditya Suharmoko
94