Disusun Oleh:
A. Ramdhani Azzaki AK.1.16.005
Dini Erika Sandi AK.1.16.020
Erna Sari AK.1.16.017
Juliana Hidayati AK.1.16.027
M. Wisnu Suryaman AK.1.16.038
Palma Alfira AK.1.16.042
Puji dan syukur Tim penulis panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa atas Rahmat-
Nya yang telah dilimpahkan sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Klien dengan Trauma Dada:
Pneumotoraks ” yang merupakan salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat
Darurat I.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan masih terdapat beberapa
kekurangan, hal ini tidak lepas dari terbatasnya pengetahuan dan wawasan yang
penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang konstruktif untuk perbaikan di masa yang akan datang, karena manusia
yang mau maju adalah orang yang mau menerima kritikan dan belajar dari suatu
kesalahan.
Akhir kata dengan penuh harapan penulis berharap semoga makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Klien dengan Trauma Dada:
Pneumotoraks ” mendapat ridho dari Allah SWT, dan dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amiin....
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan 3
ii
BAB III Tinjauan Kasus
3.1 Kasus 58
3.2 Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Kepada Tn.X 59
BAB IV Penutup
4.1 Kesimpulan 60
4.2 Saran 60
Daftar Pustaka
iii
BAB I
PENDAHULUAN
2.1.3 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari
3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisanendosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat
pada permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, makaterdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater danarachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera
otak,pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinussagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
2.2.2 Epidemiologi
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam
terutama karena peningkatan penggunaankendaraan bermotor. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia. Di
Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan
sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang
(CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden
cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-
44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari
insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%- 9%
lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi
(Irwana,2009).
2.2.3 Etiologi
2.2.5 Klasifikasi
a. Cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh
Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk
menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan
neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi
membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan
reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan
nilai GCS atau tingkat keparahan, yaitu:
10 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
1) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat
kelainan berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan
operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2) Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan
kelainan pada CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk
lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3) Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah
trauma, score GCS < 9 (George, 2009).
11 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan
dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi:
komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner &
Suddarth, 2001; Long,1990)
Adapun Klasifikasi Cedera Kepala menurut Arif Muttaqin, 2008:
a) Cedera Kepala Primer
Cedera Kepala Primer mencakup: Fraktur tulang, cedera fokal,
cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme
etiologis dan fatofisiologis yang unik.
b) Kerusakan Otak Sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala
abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi,
dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering
pada kerusakan otak sekunder.
c) Edema Serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema
vasogenik dan edema iskemik
d) Pergeseran Otak (Brain Shift)
Adanya sat massa yang berkembang membesar (Haematoma,
abses atau pembengkakan otak) disemua lokasi dalam kavitas
Intra Kranial, biasanya akan menyebabkan pergerakan dan
distorsi otak.
2.2.6 Morfologi
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya,
dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii.
Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka
yaitu fraktur dengan luka tampak telah menembus duramater, dan
12 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih
intak (Sjamsuhidajat, 2010).
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung. Biasanya terletak di area temporal atau temporo
parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
fraktur tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri
merupakan penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan ini
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan
dengan perdarahan epidural (Sjamsuhidajat, 2010).
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak
dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila
otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus
frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu
beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral
yang membutuhkan tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang
berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh
nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat,
2010).
13 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
6. Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya
masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak
jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari.
Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik.
Gejala tergantung letak frakturnya:
1) Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau
kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau
Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga
terjadi hyposmia sampai anosmia.
2) Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga.
Fraktur memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di
dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara
darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
3) Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur
dapat melintas foramen magnum dan merusak medula
oblongata sehingga penderita dapat mati seketika (Ngoerah,
1991).
2.2.7 Patofisiologi
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan
contrecoup. Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan
pada tulang tengkorak dan daerah disekitarnya. Lesi contrecoup
merupakan lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan lokasi
benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala bergerak dan
berhenti mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan tengkorak bergerak lebih
cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
14 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat
yang berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007).
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain.
Kekuatan rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang
dianggap tidak berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan
contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan regangan pada akson-akson
dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi. Perubahan-
perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury
(Iskandar, 2002).
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan
adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi
cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer
dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu
proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan
dapat memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala
sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada
epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan
durameter, subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang
antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma
adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada
penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan
autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan
cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak. (Tarwoto, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
15 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang
tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan
otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup
dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen
yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi
yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif
dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat
fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP – ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak.
Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler
yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan
ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi,
kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino
Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-
Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid)
menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan
mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast
depolarisasi (klinis kejang-kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
16 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan
menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel
(BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi
sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid
untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut). Melalui
rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam
arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound
apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei,
fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
PATHWAY
Cidera kepala
Oedem otak
kebocoran cairan
kapiler
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
cerebral oedema paru cardiac output
Penumpukan
Ketidak efektifan
Ketidakefektif pola cairan/secret
perfusi jaringan
napas
perifer
Difusi O2
terhambat
Ketidakefektif bersihan
jalan napas
18 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat
pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
Manifestasi klinis menurut Elizabeth J.Corwin, 2009 yaitu:
1) Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun
2) Pola nafas menjadi abnormal secara progresif
3) Reson pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami
deteriorasi
4) Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama
peningkatan tekanan intracranial
5) Muntah dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial
6) Perubahan perilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan
berbicara dapat terjadi dengan kejadian segera atau secara lambat.
Amnesia yang berhubungan dengan kejadian ini biasa terjadi.
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala:
19 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
4) Hematom subdural kronik.
5) Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan
konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan.
Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular (konkusi labirintin)
(Adams, 2000).
20 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang
(Rasad, 2011).
5. BGA ( Blood Gas Analyze)
Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan
tekanan intra kranial (TIK).
6. Kadar elektrolit
Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan
tekanan intra kranial (Musliha, 2010).
2.2.11 Penatalaksanaan
a. Resusitasi jantung paru ( circulation, airway, breathing = CAB)
Pasien dengan trauma kepala berat sering terjadi hipoksia, hipotensi
dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu
urutan tindakan yang benar adalah:
1) Sirkulasi (circulation)
Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia
akibat perdarahan luar, ruptur organ dalam, trauma dada disertai
temponade jantung atau pneumotoraks dan syok septic. Tindakan
adalah menghentikan perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.
2) Jalan nafas (airway)
Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway
(OPA) atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
3) Pernafasan (breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan
perifer. Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi
21 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenic hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, infeksi. Gangguan
pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor
penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
b. Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat
didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6
B”(Arif Muttaqin 2008), yakni:
1) Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan
penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera
dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi,
trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila
perlu, merupakan tindakan yang berperan penting
sehubungan dengan edema cerebri.
2) Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan
laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah
dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu
peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah
yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan
adanya syok hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan
tindakan transfusi.
3) Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon
mata, motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini
merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu
pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil
(ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-
gerakan bola mata.
22 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
4) Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan
kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang penuh
merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga
tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5) Bowel
Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila
produksi urine tertampung di vesika urinaria maka dapat
meningkatkan tekanan intra cranial (TIK).
6) Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan
sekunder infeksi.
23 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein”.
Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena,
biasanya darah yang terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena
tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai
mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari.
Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan
pembuluh darah sehingga dapat memicu lagi timbulnya perdarahan-
perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural yang penuh
dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematome dibagi menjadi 3 fase,
yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72
jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3
minggu lebih setelah trauma.
2.3.2 Epidemiologi
Di Indonesia belum ada catatan catatan nasional mengenai
morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Di Amerika serikat
frekuensinya berbanding lurus terhadap kejadian cedera kepala.
Perdarahan subdural adalah bentuk yang paling sering terjadi dari lesi
intrakranial, kira – kira sepertiga dari kejadian cedera kepala berat (El-
Kahdi H et al, 2000).
Angka mortalitas pada penderita – penderita dengan perdarahan
subdural yang luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap
jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu
4 jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih
dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu berakhir dengan
kematian(Sone JL et al, 1983).
Epidemiology dari perdarahan subdural akut (PSD akut) serupa
dengan lesi-lesi massa intracranial traumatic lainnya. Penderita adalah
kebanyakan laki – laki dan kebanyakan umurnya lebih tua dari penderita
– penderita cedera kepala lainnya.
24 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Penyebab yang predominan pada umumnya ialah kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh dan perkelahian, merupakan cedera terbanyak
, sebagian kecil disebabkan kecelakaan olah raga dan kecelakaan industri
(Sone JL et al, 1983). Genareli dan thibault serta seelig dkk melaporkan
bahwa pada penderita – penderita cedera kepala berat tanpa lesi massa
(mass lesion) 89 % disebabkan kecelakan kendaraan (Seeliq JM et al,
1981).
2.3.3 Etiologi
Subdural hematom ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de
akselerasi bisa menarik dan memutuskan vena-vena.Pada waktu
akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke
arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah
dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan
bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi
kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di
seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak
terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi
kontusio “contercoup”.
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural. Perdarahan subdural dapat terjadi pada:
a) Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran
atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal
ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari
atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak-anak.
b) Non trauma
25 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam
ruangan subdural. Gangguan pembekuan darah biasanya
berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan
keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada orang
tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang
terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural akut dapat
terjadi pada:
1. Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin,
heparin, hemophilia, kelainan hepar, trombositopeni)
2. Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh
aneurisma serebral, malfromasi arterivena, atau tumor
(meningioma atau metastase dural.
3. Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
4. Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia
epidural spinal, lumboperitoneal shunt)
5. Child abuse atau shaken baby sybdrome
6. Spontan atau tidak diketahui
26 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia,
kelainan pembekuan, dan terapi antikoagulan oral lebih banyak
ditemui. Kista arachnoid lebih banyak ditemukan pada pasien
hematoma subdural kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada
pasien yang lebih tua, penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri
lebih banyak ditemukan, 16% pasien dengan hematoma subdural
kronik dalam terapi aspirin.
2.3.4 Klasifikasi
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera
kurang dari 48 jam setelah trauma. Terjadi pada cedera kepala yang
cukup berat sehingga dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut
pada pasien, serta baik kesadaran maupun tanda vital sudah
terganggu. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hiperdens.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari,
sekitar 2 sampai 14 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami
periode tidak sadar, kemudian mengalami perbaikan status
neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu
penderita akan memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan intrakranial,
pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap
rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi
sindrom herniasi dan menekan batang otak. Pada gambaran CT scan
didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens ini diakibatkan
oleh terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
c. Hematoma Subdural Kronik
27 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu
setelah trauma atau lebih. Gejala umumnya muncul dalam waktu
berminggu-minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau
trauma yang tidak jelas. Bahkan karena benturan ringanpun dapat
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami
gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada
perdarahan subdural kronik, hematoma atau perdarahan yang terjadi
lama kelamaan dapat membesar secara perlahan-lahan, yang pada
akhirnya mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada hematoma subdural kronik, terdapat kapsula jaringan
ikat yang terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang
lebih baru, kapsula jaringan ikat masih belum terbentuk atau dalam
ukuran yang masih tipis di daerah permukaan arachnoid. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah dengan dinding yang tipis, terutama
pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari
plasma darah dapat menembus dinding ini dan meningkatkan
volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan
menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan meningkatnya
volume hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang
dapat menghisap cairan dari ruangan subarachnoid. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri.
Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien
yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran CT scan didapatkan
lesi hipodens.
2.3.5 Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater) atau karena
robeknya arachnoid. Karena otak yang diselimuti cairan cerebrospinal
28 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat di mana vena tersebut menembus
duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut
menyerupai hematoma epidural.
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak
daerah parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura
interhemisferik serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar
tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura interhemisferik pernah
dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena - vena yang berjalan diantara
hemisfer bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan
oleh lesi traumatik dari arteri pericalosal karena cedera kepala.
Perdarahan subdural interhemisferik akan memberikan gejala klasik
monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-anak kecil perdarahan
subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering
ditemukan karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby
syndrome).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya
akan terbentuk jaringan ikat yang menyerupai kapsula. Gumpalan darah
lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan
mengembung sehingga memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intrakranial yang meningkat secara perlahan-lahan.
29 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Gambar 2.4. Proses Terjadinya Hematoma Subdural
30 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan
intrakranial dikompensasi oleh efluks dari cairan cerebrospinal ke axis
spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan
tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan
intrakranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran
hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup
besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemik serebral.
Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi
tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak
terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya
tekanan supra tentorial. Pada hematoma subdural kronik, didapatkan
juga bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalia lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural
kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari
bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan
protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan
menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang
mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada
kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang
ke dua mengatakan bahwa terjadi perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik. Faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsula dari subdural
31 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik
dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan subdural kronik.
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya
pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura
dan secara bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu
yang bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari
penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan
tipis, yang menempel pada dura. Sering kali, pembuluh darah besar
menetap pada skar, sehingga mengakibatkan skar tersebut rentan
terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan perdarahan
kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada perdarahan
subdural ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan
reparasi tubuh setiap individu sendiri.
32 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai
akibat cedera otak primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil
anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang paling sering
ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak
umumnya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan
kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi, gambaran pupil dan
gambaran defisit motorik tidak merupakan indikator yang mutlak dalam
menentukan letak hematoma.
Gejala defisit motorik dapat tidak sesuai bila kerusakan parenkim
otak terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau karena
terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas
tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak
pada saat terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral
terhadap trauma. Perubahan diamater pupil ini lebih dipercaya sebagai
indikator letak hematoma subdural.
Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti
pada tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran pada hematoma subdural tidak begitu hebat seperti
kasus cedera neuronal primer, kecuali apabila terdapat efek massa atau
lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi
dari peningkatan tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah,
vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, pupil
anisokor, dan defisit neurologis lainnya.
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik
dalam 24 sampai 48 jam pasca trauma. Keadaan ini berkaitan
erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan
tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
33 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol
atas denyut nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu
lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah trauma.
Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya
trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya
diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun
dalam jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-
tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran
mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan
tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun
nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial
yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu,
bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam
ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan adanya
selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan
perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
34 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan
tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan
paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan
pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, trauma yang terjadi
dianggap ringan, sehingga selama beberapa minggu gejalanya
tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan
lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali
diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-
gejala neurologis seperti:
1. sakit kepala yang menetap
2. rasa mengantuk yang hilang-timbul
3. aphasia
4. perubahan ingatan
5. kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh
yang berlawanan.
2.3.7 Komplikasi
Kerusakan otak yang terjadi akibat kerusakan otak primer, termasuk
kerusakan otak oleh hipoksia, iskemia,pembengkakan otak dan TTIK,
serta hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini
dapat dikelompokkan atas dua yaitu :
a. Kerusakan hipoksik-iskemik menyeluruh (diffuse ischemic
damage)
1) Sudah berlangsung sejak terjadinya trauma sampai awal
pengobatan
2) Martin dkk membaginya atas 3 fase yaitu :
35 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
a) Fase hipoperfusi, terjadi pada hari 0 , dapat turun hingga
<18 ml/100g/min pada 2-6 jam sesudah cedera
b) Hyperemia terjadi pada hari 1-3
c) Vasospasme terjadi pada hari 4-15
Untuk pemeriksaan ini dapat dilakukan Xenon CT, karena dapat
menilai CBF secara quantitative pada berbagai lokasi di otak.
Kerusakan ini timbul karena :
a) Hipoksia : penurununan jumlah O2 dalam alveoli
b) Iskemia : berhentinya aliran darah
c) Hipotensi arterial sistemik
Pada pasien dengan autoregulasi baik, peningkatan tekanan darah
dalam batas tertentu tidak menyebabkan perubahan ICP dan CBF.
Sedangkan penurunan tekanan darah menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah otak, terjadi peningkatan volume pembuluh darah
otak dan akhirnya pengingkatan ICP
CPP(Cerebral Perfussion Pressure) = MABP-ICP
MABP = (Sistolik + 2Diastolik) / 3
MABP Normal 80-100 mmHg
ICP Normal 5-10 mmHg
Autoregulasi dapat berperan pada rentang CPP 50-140
36 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
penumpukan cairan tinggi protein pada ruang ekstrasel.
Edema ini terjadi di daerah sekitar tumor maupun infeksi
b) Cytotoxic oedem berhubungan dengan hipoksik-
iskemik, terjadi gangguan gradient ion yang
menyebabkan penumpukan intrasel. Edema ini terajdi
pada trauma
c) Hydrostatic oedem terjadi akibat peningkatan
menddadak tekanan darah apda vascular bed yang utuh,
terjadi penumpukan cairan rendah protein pada ekstrasel.
Edema ini terjadi intoksikasi air
d) Osmotic brain oedem, penurunan osmolaritas serum
yang berakibat pada peningkatan cairan intrasel. Edema
ini terjadi pada hiponatremia
e) Interstitial brain oedem, ekstravasasi air apda
periventrikuler terjadi akibat tingginya tekanan pada
hidosefalus obstruktif
1) Pembengkakan oleh karena kongesti, disebabkan
oleh hilangnya tonus vasomotor sementara setelah
cedera kepala dan merupakan suatu keadaan yang
tidak mengancam nyawa, sedangkan edema otak
adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa. Oleh
sebab itu, kongesti tidak memerlukan intervensi
sedangkan pada edema harus segera diintervensi
sesuai dengan penyebabnya agar tidak terhjadi
herniasi otak, miesalnya dengan pemberian mannitol
2) Perdarahan di pons dapat terjadi jika herniasi telah
berlangsung. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat
robekan pada arteri perforantes yang berasal dari
arteri basilaris. Robekan ini terjadi akibat pergeseran
otak yang terjadi akibat herniasi. Perdarahan ini
dikenal dengan nama, Duret hemorrhage.
37 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
2.3.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan
darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
b. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk
memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai
untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial
tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur
tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan
kontralateral terhadap SDH.
c. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila
disangka terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya
cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat
membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-
aksial. Setelah memeriksa riwayat pasien, termasuk riwayat jatuh
sebelumnya,cedera kepala minor, onset dan perjalanan gejala
klinis, penyakit kardiovaskular, gangguan pendarahan,
pengobatan,penggunaan alkohol atau obat-obatan terlarang;
pemeriksaan fisik; dan pemeriksaan darah; imaging otak perlu
dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti. CT-scan
(Computed Tomography scan) adalah modalitas imaging yang
paling baik untuk evaluasi awal SDH.
Sesuai dengan teori, sebagai kelanjutan dari traumatic brain
injury, kontusio pada otak disertai dengan LCS dan darah yang
mengalir keluar ke dalam ruang subdural dari ruang
subarachnoid pada korban cedera kepala sedang, sedangkan
robekan arachnoid disekitar bridging vein menyebabkan
akumulasi sedikit cairan LCS dan darah pada korban dengan
cedera kepala ringan pada subdural.Pada CT scan kepala, klot
38 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
terlihat berwarna cerah atau densitas yang bercampur, berbentuk
blan sabut (lunate),memiliki batas yang jelas, dan tidak melewati
garis tengah karena terdapat falx cerebri. Sebagian besar SDH
terjadi pada permukaan hemisfer otak, tetapi terkadang dapat
juga muncul antara hemisphere atau lapisan diatas
tentorium.Densitas hematoma bervariasi tergantung dari stadium
evolusi hematoma. Sebuah SDH akut (< 3 hari; gambaran
hiperden pada CT -scan polos), berlanjut hingga sekitar 3 minggu
menjadi SDH subakut (3- 3minggu; gambaran isoden pada CT
scan polos), dan akhirnya menjadi SDH kronis (>3 minggu;
gambaran hipoden pada CT scan polos) (Gambar 2.5)
Terkadang dapat juga ditemukan SDH campuran dimana terdapat
gambaran SDH akut, subakut, dan kronis (Gambar 2.6).
Perhatian khusus pada gambaran isoden dari SDH subakut
karenadapat terlewat saat awal pemindaian. Magnetic resonance
imaging (MRI) memiliki tingkat keakuratan lebih baik daripada
CT scan; ketebalan hematoma dapat diukur secara tepatsehingga
gambaran isoden dan SDH kronis yang kecil lebih mudah
dikenali. Pada hampir semua kasus, membran hematoma dapat
dideteksi oada MRI, tetapi hanya 27% dapat ditemukanpada CT
scan.
Meskipun begitu CTscan tetap pilihan yang paling sering
digunakan dalam menegakkan diagnosis SDH karena harganya
yang lebih murah, mudah di akses, dan lebih cepat. Ketika
39 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
menggunakan MRI, pemeriksaan ini berfungsi untuk
menggambarkan batas SDH kronis dan menentukkan struktur
yang terdapat didalam hematoma.
40 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di
daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di
daerah bagian atas tentorium serebelli.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur
dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak
dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah
(midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang
sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus
dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat
harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya
(William VL et al, 2000; Koo AH et al, 1977).
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena
serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi
terhadap ’bridgingveins’ yang terdapat disana. Perdarahan
subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan
gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering
berhubungan dengan child abused (Cohen RA et al, 1986).
Perdarahan Subdural Subakut
Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens
terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran
CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI
sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam
waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-
weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens . Pada
pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak
jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan
jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk
lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalam
membedakannya dengan epidural hematoma (Lee KS et al, 1997).
Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi
subdural subakut tanpa kontras.
41 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Perdarahan Subdural Kronik
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat
mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Bila pada CT-
Scan Kepala telah ditemukan perdarahan subdural, sangat
penting untuk memeriksa kemungkinan adanya lesi lain yang
berhubungan, misalnya fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak
dan perdarahan subarakhnoid (William VL et al, 2000; Koo AH et
al, 1977).
Domenicucci dkk (Domenicucci M et al, 1995), memeriksa CT
scan preoperatif terhadap 31 penderita dengan PSD akut ;
menemukan penderita – penderita dengan ruang subarakhnoid
yang tidak terganggu (intact) dan cairan serebrospinal yang tidak
mengandung darah mempunyai prognosa akhir (outcome) yang
lebih baik ketimbang penderita – penderita PSD akut dengan
ruang subarakhnoid yang terobliterasi dan cairan serebrospinal
yang berdarah.
d. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan
mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa
SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan ketimbang
MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah
trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang
berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan
pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi
otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat
membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena
pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
42 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
2.3.9 Penatalaksanaan
a. Operatif
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang
signifikan terjadi terhadap status neurologis.Penatalaksanaan
terhadap pasien SDH kronis dengan kompressi pada otak dan
midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala neurologis masih
merupakan hal yang controversial.
1. Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift
>5mm pada CT scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot,
tanpa melihat GCS pasien. (surgical guideline)
2. Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS
kurangdari 9) harus dilakukan monitor tekanan intracranial.
3. Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10
mm dan midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan
evakuasi klot jika skor GCS berkurang dan/atau pasien
menunjukkan pupil yang anisokor dan/atau ICP yang lebih dari
20mmHg.
Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk
melakukaan evakusai terhadap SDH. Metoda yang paling sering
dilakukan adalah:
1. Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan
rawat dibawah anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik
ini pilihan untuk pasien yang terutama memiliki polimorbid
dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem
43 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
drainase tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan
drainase yang kontinyu dan memberikan brain expansion
setelah operasi.23TDC dilakukan dengan membuat lubang kecil
berukuran 10mm pada tengkorak. TDC sangat efektif pada
kasus dimana hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada
membrane yang menyelubungi.
2. Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling
sering digunakan untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan
untuk mengevakuasi SDH secaracepat dengan lokal anestesi.
BHC dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 30mm
pada tengkorak.25 Pada saat akut tindakan ini sulit untuk
dibenarkan karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan
keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan kenyal apalagi
kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari
seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma
lebih dari 200 ml.
3. Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak
sehingga memberikan dokter bedah kesempatan untuk bekerja
pada area operasi yang luas. Metoda ini juga merupakan metoda
yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi, besarnya
jumlah darah yang keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat
terjadi. Sebagian besar dokter bedah sekarang,setuju untuk
melakukan craniotomy hanya jika terdapat rekumulasi pada
subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi, kegagalan
otak untuk mengembang dan menutup ruang subdural, atau
terdapat membran yang tebal.25,26 Pada craniostomy dibuat
sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu
dilakukan evakuasi hematom, tulang yang diangkat tadi diganti
dan mejadikan suatu defek pada tulang tengkorak. Atau dapat
44 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
juga dilakukan craniectomy, dimana bagian tengkorak yang
dianagkat akan ditanam pada peritoneum, sambil menunggu
hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu ditanam kembali ke
lokasi asalnya.
4. Subtemporal decompressive craniectomy
5. Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural
grafting.
b. Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk
pasien yang asimtomatik, pasien yang menolak tindakan
operasi,atau pasien yang memiliki resiko tinggi untuk dilakukan
operasi. Meskipun metoda drainase operatif menjadi pilihan terapi
yang efektif untuk SDH kronis tetapi beberapa kasus dapat terjadi
reabsorbsi spontan dari SDH kronis.
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien
akan menentukan terapi konservatif yang akan diberikan. Jika
dilihat dari gejala klinis yang muncul seperti hematoma tanpa efek
massa yang signifikan, dan ada tidaknya tanda – tanda yang
menunjukkan herniasi transtentorial seperti abnormalitas pada pupil,
memberikan tanda kepada tenaga medis untuk mempersiapkan
terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain itu pertimbangan
terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur memberikan
perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga secara
umum terapi konservatif dapat diberikan pada pasien dengan:
a. Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang
(10mm)
b. Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
c. Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal
dengan cepat
d. Umur pasien kurang dari 40 tahun.
45 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi
konservatif seperti:
a. Koreksi faal hemostasis
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan
koagulopati dan memerlukan suatu penyesuaian kembali
profil koagulasinya.Perbaikan terhadap faal hemostasis
sangatlah penting pada semua psien dengan subdural
hematoma. Semua pasien yang sedang dalam pengobatan
antikoagulasi harus menghentikan penggunaan antiplatelet
atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus dilakukan
pemeriksaan serial PT (Prothrombin Time), PTT (partial
thromboplastin time), INR, dan level platelet dan fibrinogen.
b. Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis
menjadi faktor penting dalam patofisologi SDH kronis,
factor tersebut seperti : Tissue plasminogen activator, Il-
6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor inflamasi dan angiogenesis
ini terbukti dihambat oleh kortikosteroid.
c. Penatalaksanaan tekanan intracranial
Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk
oleh tulang yang terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang
tengkorak ini dapat dijelaskan menggunakan doktrin
Monroe-Kellie yang menyatakan hubungan antara volume
otak, cairan likuor cerebrospinal, dan aliran darah dikepala
sebagai pembentuk volume intrakranial.
46 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow. Rendahnya aliran
darah ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral perfusion pressure
dan tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan Cushing
response.
47 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
5. Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.
6. Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang
dengan phenytoin 18 mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg
/menit.
7. Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk
menururnkan TIK, dengan metoda operatif ventriculostomy
(burr hole).
48 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
segera dipasang guedel, darah dan lendir (sekret) segera disuction untuk
menghindari aspirasi. Jika penderita sadar dan dapat berbicara, maka
dinilai baik tetap perlu dievaluasi, lakukan intubasi jika apnea, GCS 8,
pertimbangkan juga pada GCS 9 dan 10 bila saturasi tidak mencapai 90
persen atau ada bahaya aspirasi akibat perdarahan dan fraktur
maksilofasial. Pada litertur lebih dianjurkan dengan pemasangan
nasotracheal tube, tetapi sebaliknya pada penderita dengan nafas spontan
dapat “false road” ke intrakranial pada kasus dengan fraktur basis
kranium anterior dan angka kegagalan lebih tinggi. Jika tidak
memungkinkan intubasi dapat dilakukan chrycothyroidetomy, ini tidak
dianjurkan pada anak karena dapat menyebabkan subglosis stenosis.
2) Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi :
fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Evaluasi
dilakukan dengan saksama melalui tindakan inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.
3) Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan
detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
49 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
a. GCS setelah resusitasi
b. Bentuk, ukuran dan reflex cahaya pupil kiri dan kanan, hati-
hati cedera langsung juga dapat menimbulkan dilatasi pada
sisi pupil tersebut
c. Nilai kekuatan motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau
tidak, hasil diimplementasikan untuh menyingkirkan EDH,
sebab harapan keberhasilan untuh EDH murni sangat baik
bila ditangani dengan cepat dan tepat
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
menghindarkan hipotermia, semua pakain yang dapat menutupi tubuh
penderita harus dilepas/dibuka agar tidak ada cidera yang terlewatkan
selama pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan
dengan log-rolling.
50 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Sambil melakukan resusitasi, dapat ditanyakan riwayat kejadian yang
meliputu :
1. Waktu kejadian
2. Tempat kejadian
3. Memakai helm atau tidak (pada pengendara sepeda motor)
4. Mekanisme cedera, deselerasi yang tiba-tiba terhadap kepala
pada KLL atau jantung pada ketinggian, menyebabkan
kerusakan otak difuse dan kontusio polar. Benturan kuat
terhadap kepalamenyebabkan kerusakan otak fokaldengan
komponen difus yang lebih ringan. Benturan terhadap kepala
dalam posisi terfiksir menyebabkan kerusakan otak fokal di
bawah tempat benturan tanpa adanya pingsan
5. Ada tidaknya pingsan dan lamanya
6. Keadaan setelah kejadian seperti kejang, muntah, sakit kepala
dan lain-lain
7. Ada tidaknya pengaruh alcohol dan obat-obatan
b. Pengkajian sekunder
1) Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur ( kebanyakan terjadi pada usia
muda ), jenis kelamin ( banyak laki-laki, karena ngebut-ngebutan
dengan motor tanpa pengaman helm ), pedidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah
sakit, nomor register, diagnosa medis. Keluhan utama yang sering
menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran.
2) Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,dan trauma langsung
ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran
51 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
menurun ( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala,
wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis,
akumulasi sekret pada saluran pernafasan, adanya liquor dari
hidung dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan tingkat
kesadaran dihubungkan dengan perubahan didalam intrakranial.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan
koma. Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar
klien ( bila klien tidak sadar ) tentang penggunaan obat-obatan
adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa
klien yang suka ngebut-ngebutan.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung ,anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan,
konsumsi alkohol berlebih.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya anggota terdahulu yang menderita hipertensi dan
diabetes melitus.
5) Pengkajian Psiko, Sosio, Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya. Apakah
ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketautan akan
kesadaran, rasa cemas. Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien
merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif. Karena klein harus menjalani rawat inap maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi kilen, karena
biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Cedera otak memerlukan dana pemeriksaan, pengobatan,
52 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga
faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran
klein dan keluarga.
6) Pengkajian Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat bergguna untuk
mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan persistem ( B1-B6 ).
Keadaan Umum
Pada keadaan cedera otak umumnya mengalami penurunan
kesadran ( cedera otak ringan GCS 13-15, cedera otak sedang GCS
9-12, cedera otak berat GCS <8 ) dan terjadi perubahan pada tanda-
tanda vital.
B1 ( Breathing )
a. Sistem pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan
jaringan serebral akibat trauma kepala. Akan didapatkan
hasil:
b. Inspeksi : Didapatkan klien batuk. Peningkatan produksi
sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan
peningkatan frekuensi pernafasan.
c. Palpasi : Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi
yang lain akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada
rongga thoraks.
d. Perkusi : Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada thoraks.
e. Auskultasi : Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi,
ronkhi pada klein dengan pengingkatan produksi sekret dan
kemampuan batuak yang menuurn sering didapatkan pada
klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran
koma.
53 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien
dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi
stabil pada klien dengan cedera otak berat dan sudah terjadi
disfungsi pernafasan.
B2 ( Blood )
Pada sisitem kardiovaskuler didapatkan syok hipovolemik yang
sering terjadi pada klien cedera otak sedang sampa cedera otak
berat. Dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,
bradikardi, takikardi, dan aritmia.
B3 ( Brain )
Cedera otak menyebabakan berbagai defisit neurologi terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural
hematoma, dan epidural hematoma. Pengkajian tingkat kesadaran
dengan menggunakan GCS.
B4 ( Bladder )
Kaji keadaan urin meliputi waran, jumlah, dan karakteristik.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi urine dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala,
klien mungkin mengalami inkontinensia urinw karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan
kontrol motorik dan postural.
B5 ( Bowel )
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan adanya peningkatan produksi asam lambung.
Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan
peristaltik usus.
B6 ( Bone )
54 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
( Arif Muttaqin, 2008 ).
2. Masalah Keperawatan
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
3) Ketidakefektifan pola nafas
4) Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
5) Kerusakan integritas jaringan kulit
55 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan perfusi NOC: perfusi jaringan: cerebral NIC: Monitor tekanan intra kranial
jaringan otak
56 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t : H e m a t o m a S u b d u r a l
8. Ketidaknormalan dalam 5 Menunjukkan perhatian,
berbicara konsentrasi dan orientasi
kognitif
6 Menunjukkan memori
jangkan panjang dan saat
ini
7 Mengolah informasi
Indikator:
1. gangguan eksterm
2. berat
3. sedang
4. ringan
5. tidak ada gangguan
57 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t : H e m a t o m a S u b d u r a l
2 Ketidakefektifan bersihan NOC: status pernapasan: ventilasi NIC: manajemen jalan napas
jalan nafas nafas
1. posisiskan klien untuk
memaksimalkan ventilasi
Setelah dilakukan tindakan selama 1x 24 jam
2. lakukan penyedotan melalui
Faktor berhubungan: masalah teratasi dengan kriteria hasil:
endotrakea dan nasotrakea
1. Lingkungan; merokok, 3. kelola nebulizer ultrasonik
menghisap asap rokok, 4. posisikan untuk meringankan sesak
No Skala Awal Akhir
perokok pasif napas
2. Obstruksi jalan napas; 1 Kemudahan bernapas 5. monitor status pernapasan dan
terdapat benda asing oksigenasi
2 Frekuensi dan irama
dijalan napas, spasme
pernapasan
jalan napas
3. Fisiologis; kelainan 3 Pergerakan sputum keluar
dan penyakit dari jalan napas
4 Pergerakan sumbatan
Batasan karakteristik: keluar dari jalan napas
Subjektif Indikator:
58 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t : H e m a t o m a S u b d u r a l
1.Dispnea 1. gangguan eksterm
2. berat
Objektif
3. sedang
1. Suara napas tambahan 4. ringan
2. Perubahan pada irama 5. tidak ada gangguan
dan frekuensi
pernapasan
3. Batuk tidak ada atau
tidak efektif
4. Sianosis
5. Kesulitan untuk
berbicara
6. Penurunan suara napas
7. Ortopnea
8. Gelisah
9. Sputum berlebihan
10. Mata terbelalak
59 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t : H e m a t o m a S u b d u r a l
3 Ketidakefektifan pola nafas NOC: status pernapasan: ventilasi NIC: manajemen jalan napas
60 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t : H e m a t o m a S u b d u r a l
1.Dispnea 1. gangguan eksterm
2. berat
Objektif
3. sedang
1. Suara napas 4. ringan
tambahan 5. tidak ada gangguan
2. Perubahan pada irama
dan frekuensi
pernapasan
3. Batuk tidak ada atau
tidak efektif
4. Sianosis
5. Kesulitan untuk
berbicara
6. Penurunan suara napas
7. Ortopnea
8. Gelisah
9. Sputum berlebihan
10. Mata terbelalak
61 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t : H e m a t o m a S u b d u r a l
4 Kerusakan integritas NOC: intergritas jaringan: kulit dan membran NIC: perawatan luka tekan
jaringan kulit mukosa
1. monitor warna, suhu, udem,
kelembaban dan kondisi area
sekitar luka
Faktor berhubungan: Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam
2. lakukan pembalutan dengan tepat
masalah teratasi dengan kriteria hasil:
1.Cedera jaringan 3. berikan obat-obat oral
62 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t : H e m a t o m a S u b d u r a l
5 Luka berbau busuk
6 Granulasi
7 Pembentukan jaringan
parut
8 Penyusutan luka
Indikator:
1. gangguan eksterm
2. berat
3. sedang
4. ringan
5. tidak ada gangguan
63 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t : H e m a t o m a S u b d u r a l
2.4 Analisa Jurnal
(Terlampir)
Format PICO(T)
64 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
the recovery of acute respiratory
dysfunction or the avoidance of
respiratory dysfunction and
subsequent complications. We
believe that
65 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
BAB III
TINJAUAN KASUS
66 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pneumotorak adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di
rongga pleura akibat robeknya pleura visceral, dapat terjadi spontan atau
karena trauma, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan negatif
intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru. Pneumotorak
traumatik terjadi akibat penetrasi ke dalam rongga pleura karena luka
tembus, luka tusuk, luka tembak atau tusukan jarum. Sedangkan
Pneumotorak spontan terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga atau tanpa
penyakit paru-paru. Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan etiologi
penyebabnya. Prognosis pneumotorak sangat bervariasi dan dipengaruhi
oleh sejumlah faktor, diantaranya etiologi, jumlah udara yang terperangkap
di rongga pleura, komplikasi, dan penyakit yang menyertai.
4.2 Saran
Pneumotorak merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang dapat
menyebabkan gangguan pertukaran gas serta menimbulkan tekanan pada
mediastinum yang dapat mencetuskan gangguan jantung dan sirkulasi
sistemik . Oleh karena itu, akan lebih baik bagi kita untuk menjauhi etiologi-
etiologi dan faktor resiko yang dapat menyebabkan pneumotorak tersebut.
Selalu menjaga keselamatan diri, melakukan pemeriksaan kesehatan
langsung secara rutin dan pergi ke rumah sakit apabila mengalami
kecelakaan yang terutamamenyebabkan trauma daerah dada
karena merupakan hal penting yang perlu dilakukan untuk mendeteksi
penyakit sejak dini sebelum kian memburuk dan berakibat pada komplikasi
lebih lanjut.
67 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural
DAFTAR PUSTAKA
68 | A s u h a n K e p e r a w a t a n G a w a t D a r u r a t :
Hematoma Subdural