Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum kepailitan merupakan sub judul dari mata kuliah Hukum Dagang.
Keberadaannya di Indonesia sudah ada sejak lama. Dan mempunyai kasus yang
besar-besaran terjadi ketika tahun 1997, dimana terjadi krisis moneter yang
membuat banyak perusahaan harus gulung tikar. Peristiwa tersebut tercatat
sebagai krisis yang paling besar terjadi sejak kemerdekaan Indonesia. kondisi
keuangan yang memburuk kala itu menyebabkan tingkat suku bunga yang
melonjak tajam, sehingga banyaknya para debitur yang tidak mampu menunaikan
prestasi kepada kreditur.

Upaya demi upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi kasus


tersebut, sehingga terjadinya reformasi yang menyebabkan mundurnya Presiden
Soeharto kala itu. Nilai tukar rupiah menjadi barometer sehat tidaknya suatu
negara, apabila tidak bisa diatasi maka akan berdampak pada kondisi keuangan
negara yang melemah dan terjadi krisis dimana-mana.

Utang merupakan hal yang biasa dilakukan oleh setiap orang, utang juga
merupakan solusi bagi perusahaan mendapatkan tambahan modal untuk
operasional perusahaan selain daripada bursa efek. Akan tetapi, penggunaan
utang haruslah bijak. Harus ditempatkan untuk sesuatu yang produktif dan bukan
konsumtif. Karena utang yang tidak mampu dibayar akan sangat berbahaya dan
mengancam keberlangsungan usaha yang dijalankan.

Di masa kini, kepailitan banyak bermunculan pada perusahaan-perusahaan


yang berskala kecil. Persoalannya bukan tentang kurangnya modal ataupun
fundamental perusahaan yang melemah, akan tetapi terjadi pula ketika suatu
perusahaan gagal menunaikan prestasi kepada kreditorPKPU dilakukan bukan
berdasarkan pada keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utangnya dan

1
juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta kekayaan debitur
(likuidasi harta pailit).

PKPU adalah wahana Juridis Ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk
menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya.
Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara untuk menghindari kepailitan yang
lazimnya bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur. Bagi perusahaan,
PKPU bertujuan memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur
membuat laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan
menjaga jangan sampai debitur, yang karena suatu keadaan semisal keadaan
tidak likuid dan sulit mendapat kredit dinyatakan pailit, sedangkan kalau debitur
tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar harapan ia ia akan dapat membayar
utangnya. Putusan pailit dalam keadaan tersebut di atas akan berakibat
pengurangan nilai perusahaan dan ini akan merugikan para kreditur.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian latar
belakang, maka permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :

1. Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui mengenai konsep Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.

D. Sistematika Pembahasan

Makalah ini akan terbagi menjadi tiga bab, yaitu sebagai berikut :

BAB I :Pendahuluan yang meliputi; Kata Pengantar, Latar Belakang


dan Rumusan masalah

2
BAB II : Pembahasan masalah yang meliputi :

1. Konsep Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang.

BAB III : Penutup yang meliputi; Kesimpulan.

DAFTAR PUSAKA

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. KEPAILITAN
1. Definisi Hukum Kepailitan

Kata pailit, berasal dari kata fallere dari bahasa Latin yang artinya menipu.1
Failliet dalam bahasa Belanda, atau Taflis dalam bahasa Arab, masdar dari
fallasa yang artinya menjadikannya miskin, juga disebut iflas (jatuh miskin)
masdar dari kata Aflasa yang berarti dia menjadi orang yang dalam keadaan
tidak mempunyai uang2, atau bangkrut yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan bankrupt berasal dari undang-undang di Italia yang disebut dengan
banca rupta. Pada abad pertengahan di Eropa, terjadi praktik kebangkrutan
yang dilakukan dengan menghancurkan bangku-bangku dari para bankir atau
pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para
kreditornya. Adapun di Venetia (Italia) pada waktu itu, dimana para pemberi
pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu lagi
membayar utang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar
telah patah atau hancur. 3

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk


melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para
kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena
kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah
mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan
pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor
pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari.
Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil

1
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2012, hlm 14.
2
Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam, Al Ikhlas, Surabaya, 1995, hlm. 185.
3
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 1.

4
penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor
pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur
kreditor.4

Dalam kepustakaan, Poerwadarmita mengartikan “pailit” artinya “bangkrut”;


dan “bangkrut” artinya ialah menderita kerugian besar hingga jatuh
(perusahaan, toko, dan sebagainya). Menurut John M. Echols dan Hassan
Shadily, bankrupt artinya bangkrut, pailit dan bankruptcy artinya kebangkrutan,
kepailitan.5 Abdul R. Saliman dalam bukunya Hukum Bisnis dalam
Perusahaan, mengatakan bahwa pailit adalah suatu usaha bersama untuk
mendapat pembayaran bagi semua kreditor secara adil dan tertib, agar semua
kreditor mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang
masing-masing dengan tidak berebutan.6 Algra mendenisikan kepailitan
adalah “Faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van
een schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser”7 (kepailitan
adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang
debitor (si berutang) untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si
berpiutang)). Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary memberi
definisi “Bancrupt is the state or condition of one who is unable to pay his
debts as they are, or, become, due”8 (Bangkrut ialah keadaan atau kondisi
seseorang yang tidak mampu membayar hutangnya, atau telah jatuh tempo).

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 memberi arti


Kepailititan adalah “sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

4
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 2.
5
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 1.
6
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 133.
7
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 2.
8
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Minnesota, 1979, hlm. 134.

5
2. Sejarah Hukum Kepailitan

Pada masa Romawi di tahun 118 SM, apabila seorang debitor tidak dapat
melunasi utangnya, maka pribadi debitor secara fisik yang harus bertanggung
jawab. Pada abad ke-5 SM, apabila debitor tidak dapat melunasi utangnya,
maka kreditor berhak untuk menjual debitor sebagai budak. Hasil penjualan
pribadi debitor sebagai budak tersebut merupakan sumber pelunasan bagi
utangnya kepada kreditor. Namun demikian, sebelum dapat menjual debitor
sebagai budak, kreditor harus memberikan waktu selama 60 hari kepada
debitor untuk mengupayakan pelunasan utangnya itu.

Pada zaman Yunani kuno dan zaman Republik Romawi, kematian,


perbudakan, pemotongan atas anggota tubuh, hukuman penjara atau
pengasingan terhadap debitor merupakan konsekuensi dari tidak dibayarnya
utang oleh debitor. Dan apabila debitor meninggal dunia sementara ia belum
melunasi utang-utangnya, kreditor dapat juga menyita jenazahnya sebagai
jaminan utang terhadap ahli waris debitor sampai pelunasan utang itu
terselesaikan. Praktik tersebut sesuai dengan budaya Romawi pada saat itu,
yaitu kepercayaan bahwa jenazah seseorang harus tetap utuh agar arwah
dapat berhasil dalam perjalanannya menuju alam baka.

Mendekati abad ke-2 M, debitor hanya dapat ditahan sebagai jaminan


utang sampai ada teman atau keluarganya yang bersedia melunasi utang-
utangnya dan si debitor tidak dapat dijadikan pelayan (budak) bagi si kreditor.

Di kota-kota dagang di Italia di zaman Romawi itu, seperti, Genoa,


Florence, dan Venesia, eksekusi terhadap harta kekayaan debitor untuk
melunasi utang-utangnya telah merupakan praktik yang umum dilakukan.
Pengawasan pelaksanaan pelunasan utang-utang para kreditor dari hasil
penjualan harta kekayaan debitor itu, dilakukan oleh hakim yang memastikan
bahwa pelunasan tagihan masing-masing kreditor dilakukan secara
proposional sesuai dengan besarnya tagihan.

6
Ketentuan Romawi-Italia tersebut diikuti oleh Perancis dan berlaku
terutama di Lyon, yang pada waktu itu banyak dikunjungi oleh para pedagang
dari Italia. Ketentuan induk tentang kepailitan di Perancis terdapat di dalam
Ordonnance du Commerce (Peraturan Dagang) tahun 1673. Di dalam salah
satu bab dari Ordonnance tersebut diatur tentang kepailitan, yaitu Bab IX
tentang Des Faillites et Banqueroutes. Di dalam Ordonnance itu, sudah
dikenal perbedaan perlakuan antara kreditor konkuren dan kreditor preferen.
Pada tahun 1807, Ordonnance tersebut disempurnakan menjadi Code de
Commerce (KUH Dagang).

Di Inggris, hukum kepailitan Inggris lama yang paling penting adalah The
Statute of Bancrupts tahun 1570. Undang-undang itu bertujuan untuk
menindak dan menghukum debitor-debitor yang curang. Undang-undang itu
hanya berlaku untuk para debitor yang pekerjaannya adalah pedagang. Dalam
undang-undang tersebut, disebutkan bahwa berdasarkan pengaduan, Lord
Chancellor dapat menunjuk suatu komisi yang terdiri atas orang-orang yang
“wise, honest, and discreet” yang diberi wewenang untuk menyita harta
kekayaan debitor yang pailit dan menjualnya untuk melunasi secara pro rata
utang-utangnya. Debitor pailit tetap harus bertanggung jawab sepanjang
utang-utangnya belum dilunasi dan dapat ditempatkan di penjara oleh komisi
yang kemudian ditempatkan di pillory dan kehilangan kupingnya. Pikiran untuk
memperkenankan seorang debitor secara sukarela mengajukan permohonan
pernyataan pailit, yaitu sebagai cara keluar karena kesulitannya karena utang-
utang yang harus dibayar kepada para kreditornya, baru masuk ke dalam
hukum kepailitan Inggris pada abad ke-19. Kini, undang-undang kepailitan
yang berlaku di Inggris ialah Insolvency Act of 1986.

The Statute of Bankcrupts of 1570 yang berlaku di Inggris juga berlaku di


Amerika Serikat selama masa kolonial. Undang-undang kepailitan pertama
yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat adalah The Bankruptcy Act of 1800.
Lalu kesempatan bagi debitor untuk menyatakan secara sukarela dirinya
permohonan pailit baru ada pada Bankruptcy Act of 1841. Hukum kepailitan

7
Amerika Serikat selalu berubah seiring berkembangnya zaman, setelah The
Bankcruptcy Act of 1898, lalu pada akhirnya lahirlah Bankcruptcy Code pada
1979 yang sampai sekarang ini masih digunakan di Amerika Serikat. 9

Hukum Kepailitan di Indonesia sendiri pada awalnya diatur dalam dua


peraturan perundang-undangan, yaitu Wet Book Van Koophandel atau WvK
dan Reglement op de Rechtvoordering (RV). Wet Book Van Kophandel atau
WvK buku ketiga yang berjudul Van de vorzieningen in geval van onvormogen
kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang adalah
peraturan kepailitan untuk pedagang, sedangkan Reglement op de
Rechtvoordering (RV) Stb. 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh
dengan judul Van de staat van kennelijk onvermogen atau tentang keadaan
nyata-nyata tidak mampu.

Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi orang-orang bukan


pedagang. Akan tetapi, ternyata dalam pelaksanaannya kedua aturan tersebut
justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain:

a. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya.

b. Biaya tinggi.

c. Pengaruh kreditor terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan.

d. Perlu waktu yang cukup lama.

Oleh karena itu, dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu
banyak biaya. Maka, lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo. Stb.
1906-556) untuk menggantikan dua peraturan kepailitan tersebut. Peraturan
kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku untuk golongan Eropa, Tionghoa, dan
Timur Asing (Stb. 1924-556). Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam
Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348).

9
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2012, hlm. 10-14.

8
Kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian nasional terutama
terletak pada kemam puan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya.
Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka
pada para kreditor. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang
berantai dan apabila tidak segera diselesaikan, akan menimbulkan dampak
yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara
cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban
diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348.
Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening masih
baik. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian
berlangsung pesat sehingga wajarlah jika kebutuhan penyediaan sarana
hukum yang memadai, yakni yang cepat, adil, terbuka, dan efektif semakin
mendesak guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar
penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian nasional. Kemudian,
dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements
Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan undang-
undang tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998. Perpu ini diubah
menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara
(LNRI) tahun 1998 No. 13510 dikarenakan krisis ekonomi yang sangat
bergejolak yang melanda Indonesia dimana hampir seluruh sendi kehidupan
perekonomian nasional rusak, termasuk dunia bisnis dan masalah keamanan
investasi di Indonesia. Krisis tersebut, dengan sisi lain, membawa makna
perubahan yang sangat penting bagi perkembangan peraturan kepailitan di
Indonesia selanjutnya.

Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya


UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. UU No. 37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas
karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk

10
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Mataram, 2012, hlm. 213.

9
menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun
pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:

a. Agar tidak menimbulkan berbagai tafsiran dalam UU ini, pengertian


utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh
waktu.

b. Terdapat syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan


permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk
didalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan
putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran
utang.

3. Asas Hukum Kepailitan

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengandung beberapa asas yang


sejalan dengan yang seharusnya dianut oleh suatu undang-undang Kepailitan
yang baik. Asas-asas tersebut antara lain adalah:

a. Asas Keseimbangan

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengandung beberapa


ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu
di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang
tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh
Kreditor yang beritikad tidak baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, terdapat


ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif
tetap dilangsungkan.

c. Asas Keadilan

10
Dalam kepailitan, asas keadilan mengandung pengertian, bahwa
ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan
pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan
tidak mempedulikan Kreditor lainnya.

d. Asas Integrasi

Asas Integrasi dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU


mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum
materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dan hukum acara perdata nasional.11

4. Tujuan Hukum Kepailitan

Tujuan-tujuan dari adanya hukum kepailitan (bankruptcy law), adalah:

a. Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di


antara para kreditornya;
b. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat merugikan kepentingan para kreditor;
c. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari
para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.

Menurut Profesor Radin dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, tujuan


semua undang-undang kepailitan (bankcrupty laws) adalah untuk memberikan
suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih
terhadap aset seorang debitor yang tidak cukup nilainya.12

11
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 132.
12
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2012, hlm. 28.

11
5. Fungsi Hukum Kepailitan

Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


berfungsi baik untuk kepentingan debitor maupun kepentingan kreditor, antara
lain:

a. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu


yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari
debitor;
b. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang
milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para
kreditor lainnya;
c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor
berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau
beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan,
atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua
harta kekayannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung
jawabnya terhadap para kreditor.13

Mengutip Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang berpendapat bahwa hukum


harus merupakan sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat,
diharapkan undang-undang ini juga berperan dalam pembaharuan masyarakat
untuk menyelesaikan utang-piutangnya.14 Dan dapat memenuhi fungsi dan
peran hukum di tengah-tengah hidup bermasyarakat.

13
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. ALUMNI,
Bandung, 2010, hlm. 72.
14
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. ALUMNI,
Bandung, 2010, hlm. 74.

12
6. Syarat-Syarat Kepailitan

Hal mengenai syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit ini


telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”

Ketentuan di atas mempunyai arti bahwa untuk mengajukan permhonan


pailit terhadap seorang Debitor harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Debitor yang ingin dipailitkan mempunyai sedikitnya dua utang,


artinya mempunyai dua atau lebih kreditor. Oleh karena itu, syarat
ini disebut syarat concurcus creditotorium.
b. Debitor tidak melunasi sedikitnya satu utang kepada salah satu
kreditornya.
c. Utang yang tidak dibayar lunas itu haruslah utang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih (due/expired and payable).
Yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh
waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu
penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi
atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan
pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.15

15
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 133.

13
7. Pihak-Pihak yang Berkaitan dalam Proses Kepailitan

a. Pihak pemohon pailit

Adalah mereka yang mengajukan permohonan pailit sesuai dengan


ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

b. Pihak debitor pailit

Adalah pihak yang memohon/dimohonkan pailit ke pengadilan yang


berwenang.

c. Hakim niaga

Adalah hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara di


pengadilan niaga. Perkara kepailitan hanya boleh diperiksa oleh hakim
majelis (tidak boleh oleh hakim tunggal). Baik untuk tingkat pertama
maupun untuk tingkat kasasi.

d. Hakim pengawas

Adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau
putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.

e. Kurator

Adalah salah satu pihak yang cukup memegang peranan dalam suatu
proses perkara pailit.

f. Panitia kreditor

Adalah pihak yang mewakili pihak kreditor sehingga panitia kreditor


tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak
kreditor. Panitia kreditor ada dua macam:

1) Panitia kreditor sementara

Yakni panitia yang ditunjuk dalam putusan pernyataan pailit

14
2) Panitia kreditor tetap

Yakni yang dibentuk oleh hakim pengawas apabila dalam putusan


pailit tidak diangkat panitia kreditor sementara.

g. Pengurus

Pengurus hanya dikenal dalam proses penundaan pembayaran, tetapi


tidak dikenal dalam proses kepailitan.

8. Kurator

a. Orang yang berhak menjadi Kurator

Di dalam Undang-Undang Kepailitan, yang dapat bertindak menjadi


kurator adalah sebagai berikut:

1) Balai Harta Peninggalan (BHP), atau

2) Kurator lainnya.

Yang dimaksud dengan kurator lainnya (yaitu kurator yang bukan Balai
Harta Peninggalan) adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

1) Perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang mempunyai keahlian


khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau
membereskan harta pailit, dan

2) Telah terdaftar pada departemen kehakiman sebagai Kurator.

b. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika menjadi kurator

Untuk melakukan tindakannya, kurator haruslah memerhatikan hal-hal


sebagai berikut:16

1) Apakah dia berwenang untuk melakukan hal tersebut

16
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005) Hlm. 42.

15
2) Apakah merupakan saat yang tepat (terutama secara ekonomi dan
bisnis) untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu

3) Apakah terhadap tindakan tersebutdiperlukan terlebih dahulu


persetujuan/izin/keikutsertaan dari pihak-pihak tertentu, seperti dari
pihak hakim pengawas, pengadilan niaga, panitia kreditor, debitor,
dan sebagainya.

4) Apakah terhadap tindakan tersebut memerlukan prosedur tertentu,


seperti harus dalam rapat dengan kuorum tertentu, harus dalam
sidang yang dihadiri/dipimpin oleh hakim pengawas, dan
sebagainya

5) Harus dilihat bagaimana cara yang layak dari segi hukum,


kebiasaan dan sosial dalam menjalankan tindakan-tindakan
tertentu. Misalnya, jika menjual aset tertentu, apakah melalui
pengadilan, lelang bawah tangan dan sebagainya.

c. Hak, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan khusus kurator

Diantara hak dan kewajiban kurator antara lain:17


1) memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian
yang belum atau baru sebagian dipenuhi oleh Debitor (Pasal 36
ayat (1) UUK)
2) berwenang menghentikan sementara sewa menyewa barang yang
telah dilakukan oleh Debitor (Pasal 38 UUK), menghentikan
hubungan perburuhan (Pasal 39 ayat (1) UUK).
3) mengangkat atau mengubah syarat penangguhan hak eksekusi
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, haktanggungan, hipotek,
atau hak agunan atas kebendaan lainnya, seolah-olah tidak terjadi
kepailitan (Pasal 57 ayat (2) UUK).

17
Moch Zulkarnain Al Mufti. “Tanggung Jawab Kurator dalam Penjualan Harta Pailit di Bawah Harga Pasar”, Lex
Renaissance, No. 1 Vol. 1 Januari 2016, hlm. 95.

16
4) menuntut kepada Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya
untuk menyerahkan benda yang menjadi agunan, setelah
berakhirnya jangka waktu bagi Kreditor tersebut untuk
melaksanakan hak eksekusi atas benda yang menjadi agunan
seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 59 ayat (2) UUK).
5) melanjutkan usaha Debitor, dengan persetujuan panitia Kreditor,
kurator berkuasa untuk melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan
pailit, walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut
diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Apabila dalam putusan
pernyataan pailit tidak diangkat panitia Kreditor, persetujuan untuk
melanjutkan usaha tersebut diatas, dapat diberikan oleh Hakim
Pengawas (Pasal 104 ayat (1) UUK).
6) membuka surat dan telegram yang ditujukan kepada Debitor (Pasal
105 UUK).
7) memberikan suatu jumlah uang yang ditentukan Hakim Pengawas
untuk penghidupan Debitor pailit dan keluarganya (Pasal 106 UUK).
8) mengalihkan harta pilit, dengan pertimbangan untuk menutup
ongkos kepailitan atau apabila penahanan barang-barang akan
mengakibatkan kerugian pada harta pailit, maka atas persetujuan
Hakim Pengawas, kurator dapat mengalihkan harta pailit.
Pengalihan harta pailit ini dapat diselenggarakan, meskipun
terhadap putusan pernyataan pailit diajukan kasasi atau peninjauan
kembali (Pasal 107 ayat (1) UUK).
9) mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang
sedang berjalan atau mencegah timbulnya perkara (Pasal 109
UUK).
10) meminta kepada Kreditor memasukkan surat yang belum
diserahkan, memperlihatkan catatan dan surat bukti asli, dalam
rangka pencocokan perhitungan piutang Kreditor (Pasal 116 ayat
(2) UUK).

17
11) berhak menarik kembali pengakuan sementara atau bantahannya,
atau menuntut supaya Kreditor menguatkan dengan sumpah
kebenaran piutangnya yang tidak dibantah oleh Kurator atau salah
seorang Kreditor (Pasal 124 ayat (3) UUK);
12) kurator dapat melakukan penjualan barang secara dibawah tangan,
dengan izin Hakim Pengawas (Pasal 185 ayat (2) UUK).

9. Pihak-Pihak Yang Berhak Mengajukan Permohonan Pailit


a. Kreditor atau beberapa kreditor
Menurut Pasal 55 UU No 37 Tahun 2004, kreditor atau para kreditor
meliputi:
1) Golongan separatisen, yaitu kreditor pemegang gadai, jaminan
fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya, biasanya disebut kreditor preferen atau
secured creditors yaitu para kreditor yang mempunyai hak
didahulukan, disebut demikian karena para kreditor yang telah
diberikan hak untuk mengeksekusi sendiri haknya dan
melaksanakan seolah-olah tidak ikut campur. Dalam arti lain,
kreditor ini dapat menyelesaikan secara terpisah di luar urusan
kepailitan. Meskipun demikian, untuk melaksanakannya menurut
ketentuan undang-undang para kreditor tidak bisa langsung
begitu saja melaksanakannya.
2) Golongan dengan hak privilege, yaitu orang-orang yang
mempunyai tagihan yang diberikan kedudukan istimewa, sebagai
contoh, penjual barang yang belum menerima bayarannya,
mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dari pendapatan
penjualan barang yang bersangkutan. 18
3) Kreditor lainnya atau unsecured creditors adalah kreditor yang
harus berbagi dengan para kreditor yang lain secara proposional,

18
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.
135.

18
atau disebut juga secara pari pasu yaitu menurut perbandingan
besarnya masing-masing tagihan mereka, dari hasil penjualan
Harta Pailit yang tidak dibebani hak jaminan. Disebut juga
sebagai kreditor konkuren.19
b. Debitor sendiri

Seorang debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit


terhadap dirinya (voluntary petition) apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:

a. Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor.


b. Debitor sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh
tempo waktu dan dapat ditagih.20
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum

Hal yang dimaksud dengan “untuk kepentingan umum” adalah


kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Kejaksaan dalam hal ini dapat sebagai pemohon pernyataan kepailitan
karena dikhawatirkan terjadi hal berikut:

1) Debitor melarikan diri.


2) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.
3) Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara
atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat.
4) Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu.
5) Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan
umum.21
d. Bank Indonesia

19
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 144.
20
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 134.
21
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Mataram, 2012, hlm. 215.

19
Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Pengajuan permohonan pernyataan pailit
bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-
mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan
sevara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini
tidak menghapuskan kewenangan Bank Indnesia terkait dengan ketentuan
mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan
likuidasi bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

e. Badan Pengawas Pasar Modal-LK (BAPEPAM-LK)


Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Peminjaman, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas
Pasar Modal.
Permohonan pailit sebagaimana dimaksud hanya dapat diajukan oleh
Badan Pengawas Pasar Mdal, karena lembaga tersebut melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan
dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal. Badan
Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal
pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang
berada di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank
Indonesia terhadap Bank.
f. Menteri Keuangan

Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan


reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak
di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan.22

22
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 136.

20
10. Tata Cara Permohonan Kepailitan

Permohonan kepailitan harus diajukan secara tertulis oleh seorang advokat


(kecuali jika permohonan diajukan oleh Bank Indonesia, Badan Pengawas
Pasar Modal, atau Menteri Keuangan tidak diwajibkan mempergunakan
advokat). Surat permohonan berisikan anatara lain:

a. Nama, tempat kedudukan perusahaan yang dimohonkan;


b. Nama, tempat kedudukan pengurus perusahaan atau direktur
perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas;
c. Nama, tempat kedudukan para kreditor;
d. Jumlah keseluruhan utang;
e. Alasan permohonan.

Selanjutnya, panitera pengadilan setelah menerima permohonan itu


melakukan pendaftaran dalam registernya dengan memberikan nomor
pendaftaran dan kepada pemohon diberikan tanda bukti tertulis yang
ditandatangani pejabat yang berwenang. Tanggal bukti penerimaan itu harus
sesuai dengan tanggal pendaftaran permohonan. Dalam jangka waktu tiga hari
panitera menyampaikan permohonan kepailitan itu kepada ketua pengadilan
untuk dipelajari selama dua hari untuk kemudian oleh ketua pengadilan akan
ditetapkan hari persidangannya.

Setelah hari persidangan ditetapkan, para pihak (pemoohon dan termohon)


dipanggil untuk menghadiri pemeriksaan kepailitan. Pemeriksaan harus sudah
dilakukan paling lambat dua puluh hari sejak permohonan didaftarkan di
kepaniteraan.

Apabila dalam pemeriksaan terbukti bahwa debitor berada dalam keadaan


berhenti membayar, hakim akan menjatuhkan putusan kepailitan kepada
debitor. Putusan atau penetapan kepailitan harus sudah dikeluarkan atau
diucapkan paling lambat tiga puluh hari sejak tanggal pendaftaran
permohonan kepailitan dan putusan ini harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.

21
Setelah putusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa,
pengadilan dalam jangka waktu dua hariharus memberitahukan dengan surat
dinas tercatat atau melalui kurir tentang putusan itu beserta salinannya
kepada:

a. Debitor yang dinyatakan pailit;


b. Pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit;
c. Kurator serta hakim pengawas.

Dalam hal putusan telah dikeluarkan, dalam jangka waktu paling lambat
lima hari sejak tanggal diputuskannya permohonan kepailitan, maka kurator
mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan sekurang-
kurangnya dalam dua surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim
pengawas. Dalam pengumuman itu harus dikemukakan hal-hal yang
menyangkut:

a. Ikhtisar putusan kepailitan;


b. Identitas, pekerjaan, dan alamat debitor;
c. Identitas, pekerjaan, dan alamat anggota sementara kreditor
(apabila telah ditunjuk);
d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor;
e. Identitas hakim pengawas.

Di samping itu, panitera pengadilan wajib menyelenggarakan suatu daftar


umum untuk mencatat setiap perkara kepailitan yang secara berurutan harus
memuat:

a. Ikhtisar putusan pailit atau pembatalan pailit;


b. Isi singkat perdamaian dan pengesahannya;
c. Pembatalan perdamaian;
d. Jumlah pembagian dalam pemberesan;
e. Pencabutan kepailitan; dan

22
f. Rehabilitasi, dengan menyebut tanggalnya masing-masing.23
11. Upaya Hukum
a. Upaya Hukum Kasasi

Permohonan kasasi diajukan dalam jangka waktu paling lambat


delapan hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi
ditetapkan, dengan mendaftarkannya pada panitera di mana pengadilan
yang telah menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit
berada.

Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan


menetapkan hari sidang paling lambat dua hari setelah tanggal
permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan
atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal
permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan atas
permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal
permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Terhadap putusan
atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. 24

b. Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 295 ayat (2) UU Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan PK dapat diajukan
apabila:

a. Terdapat bukti tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui


pada tahap persidangan sebelumnya, akan menghasilkan
putusan yang berbeda;

23
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Mataram, 2012, hlm. 216-
219.
24
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 138.

23
b. Atau dalam putusan hakim Pengadilan Niaga yang bersangkutan
terdapat kekeliruan yang nyata.25

Jika putusan Pernyataan Pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi


atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh
kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan
tentang putusan pembatalan tersebut, tetap sah dan mengikat debitor. 26

12. Akibat Kepailitan


a. Akibat terhadap harta kekayaan.

Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa kepailitan


meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit diucapkan
sertta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitor dan bukan
meliputi diri debitor.

Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa debitor


demi hukum kehilangan haknyauntuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pailit
diucapkan.

Beberapa harta debitor yang tidak dimasukkan sebagai Harta Pailit:

1) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh


dibitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya,
alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur
dan perlengkapannya, yang dipergunakan oleh debitor dan
keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi debitor dan
keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
2) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah,

25
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2012, hlm. 167.
26
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 139.

24
pensiun, uang tunggu, atau uang tunjangan sejauh yang
ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
3) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu
kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.27
b. Akibat terhadap transfer dana.

Pasal 24 Ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa apabila


sebelum putusan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui
bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan dimaksud, transfer
tersebut wajib diteruskan. Hal demikian juga terjadi pada transfer Efek,
yang diatur dalam Pasal 24 Ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU, bahwa
transaksi Efek di Bursa Efek tersebut wajib diselesaikan.

c. Akibat terhadap perikatan debitor sesudah ada putusan pernyataan pailit.

Pasal 25 UU Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa apabila sesudah


debitor dinyatakan pailit kemudian timbul perikatan, maka perikatan debitor
tersebut tidak dapat dibayar dari harta pailit.

d. Akibat terhadap hukuman kepada debitor.

Pasal 25 Ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa


penghukuman badan yang didapatkan debitor tidak mempunyai akibat
hukum terhadap harta pailit.

e. Akibat hukum terhadap tuntutan atas harta pailit.


Pasal 27 UU Kepailitan dan PKPU menjelaskan bahwa mereka yang
merasa sebagai kreditor apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi
kepada harta pailit debitor, harus mendaftarkan piutangnya itu umtuk
dicocokkan dalam verifikasi.
f. Akibat hukum terhadap eksekusi (pelaksanaan putusan hakim).

27
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 140.

25
Pasal 31 UU Kepailitan dan PKPU menjelaskan bahwa dengan adanya
putusan pernyataan pailit mengakibatkan segala sitaan pelaksanaan
(exeturial beslag) dan sitaan jaminan (conservatoir beslag) menjadi hapus.
g. Akibat kepailitan terhadap penyanderaan.

Penyanderaan (gijzeling) adalah tindakan penahanan terhadap debitor


agar mau melunasi utangnya, pemikirannya ialah agar sanak saudaranya
mengeluarkannya dari penyanderaan dengan menebus utang debitor
tersebut. Namun Pasal 31 Ayat (3) UU Kepailitan menyatakan debitor yang
sednag dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah pernyataan
pailit diucapkan.

h. Akibat kepailitan terhadap uang paksa (dwangsom).

Pasal 32 UU Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa selama kepailitan


tidak dikenakan adanya uang paksa, mencakup uang paksa sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan.

i. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik.


Pasal 36 UU Kepailitan dan PKPU mengatur hal-hal sebagai berikut:
1) Pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat
meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang
kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut. Pihak yang
bersangkutan dan kurator dapat membuat kesepakatan
mengenaik jangka waktu pelaksanaannya;
2) Apabila kesepakatan jangka waktu tersebut tidak tercapai maka
Hakim Pengawas yang menetapkan jangka waktu yang
dimaksud;
3) Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan kurator tidak
memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan
pelaksanaan perjanjian maka:
a) Perjanjian berakhir.

26
b) Pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat
menuntut ganti kerugian dan berkedudukan sebagai
kreditor konkuren.
4) Apabila kurator menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan
perjanjian, kurator wajib memberikan jaminannya atas
kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian dimaksud;
5) Ketentuan tentang akibat disebut di atas tidak berlaku untuk
perjanjian yang mewajibkan debitor melakukan sendiri perbuatan
yang diperjanjikan.
j. Akibat kepailitan terhadap perjanjian sewa-menyewa.

Pasal 38 UU Kepailitan dan PKPU mengatur tentang kemungkinan


apabila sebelum dinnyatakan pailit, debitor telah menyewa suatu barang
kepada pihak lain, yaitu:

1) Kurator atau yang menyewakan dapat menghentikan perjanjian


sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian perjanjian
sewa tersebut dilaksanakan sebelum berakhirnya perjanjian
sesuai dengan adat kebiasaan setempat;
2) Untuk melakukan penghentian perjanjian sewa menyewa
tersebut harus dilakukan pembeitahuan menurut perjanjian atau
kelaziman dalam waktu palling singkat 90 hari;
3) Apabila uang sewa telah dibayar di muka maka perjanjian sewa
tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka
waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut;
4) Sejak tanggal putusan pernyataan pailit, uang sewa merupakan
utang harta pailit.
k. Akibat kepailitan terhadap perjanjian kerja.

Pasal 39 UU Kepailitan dan PKPU mengatur tentang akibat kepailitan


terhadap perjanjian kerja, bahwa pekerja yang bekerja pada debitor dapat
memutuskan hubungan kerja. Di pihak lain, kurator dapat
memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut

27
persetujuan atau menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pemutusan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling
sedikit 45 hari sebelumnya. Di samping itu, sejak tanggal putusan
pernyataan pailit, upah yang terutang sebelum atau sesudah putusan
pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.

l. Akibat kepailitan terhadap harta warisan

Pasal 40 UU Kepailitan dan PKPU mengatur dan menyebutkan bahwa


warisan yang jatuh kepada debitor selama kepailitan, oleh kurator tidak
boleh diterima, kecuali apabila harta warisan tersebut menguntungkan
harta pailit. Untuk tidak menerima harta warisan tersebut, kurator
memerlukan izin dari hakim pengawas.28

28
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. ALUMNI,
Bandung, 2010, hlm. 107-119.

28
B. PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN HUTANG

1. Definisi Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang

Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang adalah penawaran rencana


perdamaian oleh debitur yang merupakan pemberian kesempatan kepada
debitur untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi
pembayaran seluruh atau sebagian utangnya kepada kreditor. PKPU akan
membawa akibat hukum terhadap segala kekayan debitur, dimana selama
berlangsungnya PKPU, debitur tidak dapat dipaksakan untuk membayar uang-
utangnya, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh
pelunasan utang ditangguhkan.29

2. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan PKPU

PKPU diatur dalam pasal 222 s.d. 294 UU Kepailitan. PKPU ini sangat erat
kaitannya dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi) dari debitur
terhadap utang-utangnya kepada kreditor. PKUP dapat diajukan oleh :

a. Debitur yang mempunyai lebih dari 1(satu) kreditor; atau debitur yang
tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar
utang -utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat
memohon PKPU, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada
kreditor.
b. Kreditor. Dalam hal ini adalah kreditor konkuren dan kreditor preferen
(kreditor yang didahulukan). Kreditor yang memperkirakan bahwa debitur
tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan
dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitur diberi PKPU, untuk
memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.

29
Kheriah, S.H.,M.H., Independensi Pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam Hukum
Kepailitan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 2, hal. 240

29
c. Pengecualian : Debitur Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan
Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.
1) Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan PKPU hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
2) Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh
Badan Pengawas Pasar Modal.
3) Dalam hal debiturnya Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan PKPU hanya
dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

3. Permohonan PKPU dan Permohonan Pernyataan Pailit

Pada dasarnya, pemberian PKPU kepada debitur dimaksudkan agar


debitur yang berada dalam keadaan insolvensi, mempunyai kesempatan untuk
mengajukan rencana perdamaian, baik berupa tawaran untuk membayar utang
secara keseluruhan atau sebagian atas utangnya ataupun melakukan
restrukturisasi (penjadwalan ulang) atas utangnya. Oleh karena itu PKPU
merupakan kesempatan bagi debitur untuk melunasi utang-utang agar debitur
tidak sampai dinyatakan pailit.

Dalam hal ada permohonan dinyatakan pailit dan permohonan PKPU yang
diajukan dan diperiksa pada saat bersamaan maka Pengadilan Niaga wajib
memberikan putusan terlebih dahulu atas permohonan PKPU dibandingkan
dengan permohonan pernyataan pailit. Adapun dalam hal permohonan PKPU
yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan
terhadap debitur maka agar permohonan PKPU tersebut dapat diputus terlebih
dahulu, permohonan PKPU tersebut harus diajukan pada sidang pertama

30
pemeriksaan permohonan pernyataan pailit diatur dalam pasal 229 ayat (3)
dan ayat (4) UU Kepailitan.30

4. Syarat Pengajuan Permohonan PKPU

Pengajuan PKPU ditunjukan kepada Pengadilan Niaga dengan melengkapi


persyaratan :

a. Surat permohonan bermaterai yang ditunjukan kepada ketua


Pengadilan Niaga setempat, yang ditandatangani oleh debitor dan
penasihat hukumnya;
b. Surat kuasa khusus asli untuk mengajukan permohonan (penunjukan
kuasa pada orangnya bukan pada law-firm-nya);
c. Izin advokat yang dilegalisir;
d. Alamat dan identitas lengkap para kreditor konkuren disertai jumlah
tagihan pada masing-masing debitur;
e. Financial report; dan
f. Dapat dilampirkan rencana perdamaian (accoord) yang meliputi tawaran
pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada para kreditor
konkuren.31

5. Jangka Waktu Pemberian Putusan PKPU

PKPU sendiri terbagi dalam 2 tahap, yaitu sebagai berikut :

a. PKPU Sementara

Ini merupakan tahap pertama dari proses PKPU. Sebagaimana


diatur dalam UUKPKPU, apabila debitur mengajukan permohonan
PKPU, sejauh syarat-syarat administrasi sudah dipenuhi,
Pengadilan harus segera mengabulkannya paling lambat tiga hari
sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan. Sedangkan dalam
hal permohonan PKPU diajukan oleh kreditor, Pengadilan harus

30
Jono, S.H., Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.169-170
31
Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., CN., Hukum Kepailitan (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015), h.148

31
segera mengabulkan permohonan PKPU selambat-lambatnya dua
puluh hari sejak didaftarkannya permohonan. Pengadilan
kemudian harus menunjuk hakim pengawas serta mengangkat satu
atau lebih pengurus. Putusan Pengadila Niaga tentang PKPU
sementara ini berlaku selama maksimum empat puluh lima hari
dan setelah itu harus diputus apakah PKPU terseut dapat
dilanjutkan menjadi suatu PKPU secara tetap.

b. PKPU Tetap

Setelah ditetapkan penundaan sementara kewajiban


pembayaran utang, maka Pengadilan Niaga melalui pengurus wajib
memanggil debitur dan kreditor yang bersangkutan untuk
menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lambat pada
hari ke empat puluh lima terhitung sejak ditetapkannya putusan
PKPU sementara. Dalam sidang tersebut akan diputuskan apakah
dapat diberikan PKPU secara tetap dengan maksud untuk
memungkinkan debitur, pengurus, danpara kreditor untuk
mempertimbangkan dan menyetujui perdamaian. Adapun PKPU
secara tetap dapat disetujui apabila :

1) Mendapatkan persetujuan lebih dari setengah jumlah kreditor


konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir
dan mewakili sedikitnya 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang
diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau
kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan
2) Mendapatkan persetujuan lebih dari setengah jumlah kreditor
yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotik, atau hak angunan atas kebendaaan
lainnya, yang hadir dan mewakili sedikitnya 2/3 bagian dari
seluruh tagihan kreditor atau kuaanya yang hadir dalam sidang
tersebut.

32
Dalam hal syarat-syarat diatas dipenuhi, maka Pengadilan Niaga
akan menetapkan PKPUtetap berikut perpanjangannya yang PKPU
tidak boleh melebihi dua ratus tujuh puluh hari setelah putusan
PKPU sementara diucapkan.32

6. Pengurus dalam PKPU

Pengurus yang diangkat pada saat PKPU haruslah independen dan tidak
memiliki benturan kepentingan dengan debitur atau kreditor. Pengurus yang
terbukti tidak independen dikenakan sanksi pidana dan/atau perdata sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Yang dapat diangkat menjadi
pengurus adalah, sbb:

a. Orang-perseorangan yang berdomisili di wilayah Negara Republik


Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka
mengurus harta debitur; dan
b. Terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (Kemenkuham).
a. Tanggung Jawab Pengurus
Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya
dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian
terhadap harta debitur. Besarnya imbalan jasa pengurus ditetapkan oleh
Pengadilan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh menteri yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang hukum dan peraturan
perundang-undangan setelah PKPU berakhir dan harus dibayar lebih
dahulu dari harta debitur.
b. Pengangkatan Pengurus Lebih Dari Satu
Pengadilan mengangkat pengurus tambahan berdasarkan :
1) usul Hakim Pengawas

32
Diwa Ardhaza, Analisis Terhadap Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berdasarkan Ketentuan
UUK-PKPU (Tinjauan Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 335 K/Pdt.Sus PKPU/2013), FH UI, hal. 12-13

33
2) permohonan kreditor dan permohonan tersebut hanya dapat diajukan
apabila didasarkan atas persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor yang hadir
dalam rapat kreditor.
3) permohonan pengurus sendiri; dan
4) permohonan pengurus lainnya, jika ada.
c. Laporan dari Pengurus
Setiap tiga bulan sejak putusan PKPU diucapkan, Pengurus wajib
melaporkan keadaan harta debitur, dan laporan tersebut harus disediakan pula
di epaniteraan Pengadilan. Jangka waktu pelaporan tersebut dapat
diperpanjang oleh Hakim Pengawas.
7. Pengangkatan Ahli Pada saat PKPU
Jika PKPU telah dikabulkan, Hakim Pengawas dapat mengangkat satu
atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang
keadaan harta debitur dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya
yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas.
8. Panitia Kreditor
Pengadilan harus mengangkat panitia kreditor apabila :
a. Permohonan PKPU meliputi utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor;
atau
b. Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor yang mewakili paling
sedikit ½ bagian dari seluruh tagihan yang diakui.

Pengurus dalam menjalankan tugasnya wajib meminta dan


mempertimbangkan saran panitia kreditor.

9. Saksi-Saksi

Apabila diminta oleh pengurus, Hakim Pengawas dapat mendengar saksi


atau memerintahkan pemeriksan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang
menyangkut PKPU, dan saksi tersebut dipanggil sesuai dengan ketentuan
dalam Hukum Acara Perdata. Dalam hal saksi tidak hadir atau menolak untuk
mengangkat sumpah atau memberikan keterangan, berlaku ketentuan Hukum
Acara Perdata. Istria tau suami, bekas istri atau suami, dan kelaurga sedarah

34
menurut keturan lurus ke atas dan kebawah dari Debitur dapat mengguanakan
hak merkea untuk dibebaskan dari kewajiban memberi kesaksian.

10. Akibat Hukum Atas Penetapan PKPU

Selama PKPU berlangsung, DEbitur tapa persetujuan Pengurus todal


dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau
sebagian hartanya. Apabila debitur melanggar ketentuan tersebut, Pengurus
berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk mekasitkan
bahwa harta debitur tidak dirugikan karena persetujuan dari pengurus yang
timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat

dibebankan kepada harta debitur sejauh hal itu menguntungkan karta


debitur.Dalam Pasal 242 ayat (1) UUK ditentukan bahwa selama
berlangsungnya PKPU, debitur tidak dapat dipaksa membayar untang-
utangnya, termasuk melakukan semua tidakan eksekusi yang telah dimulai
untuk memperoleh pelunasan utang, harus ditangguhkan. Kecuali telah
ditetapkan tanggal ang lebih awal oleh Pengadilan berdasarkan permintaan
pengurus, semua sitaan yang telah diletakkan gugur, dan dalam hal debitur
disandera, debitur harus dilepaskan segera setelah diucapkan putusan PKPU
tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dan atas permintaan pnegurus dan Hakim Pengawas, jika masih
diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas
benda yang termasuk hara debitur.

a. Debitur dalam Melakukan Pinjaman

Atas dasar persetujuan yang diberikan oleh Pengurus, debitur dapat


melakukan pinjaan dari pihak ketiga dalam rangka meningkatkan nilai
harta debitur. Apbila dalam melakukan pinjaman perlu diberikan agunan,
debitur dapat membebani hartanya dengan gadai, jaminan fidusia, hak
tanggunan, hipotek, atau hak aguanan atas kebendaan lainnya, sejauh
pinjaman tersebtu telah memperoleh persetujuan dari Hakim Pengawas.

b. Tagihan yang Dikecualikan dalam PKPU

35
Dalam Pasal 244 UUK dinyatakn secara tegas bahwa dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 246, PKPU tidak berlaku terhadap :

1) Tagigan yang dijamin dengan gaidai, jaminan fidusia, hak tanggunan,


hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya;
2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang
sudah dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah
tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan
kewaiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan
hak untuk diistimewakan; dan
3) Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik Debitur
maupun terhadap seluruh harta Debitur yang tidak tercakup pada poin
b di atas.
c. Perkara-Perkara yang sedang Berlangsung

Penetapan PKPU tidak menghentikan berjalannya perkara yang


sudah dimulai oleh Pengadilan atau menghalangi diajukannya perkara
yang baru. Apabila perkara tersebut mengenani gugatan pembayaran
suatu piutang yang sudah diakui debitur, sedangkan penggugat tidak
mempunyai kepentingan untuk memperoleh suatu putusan untuk
melaksanakan hak terhadap pihak ketiga, setelah dicatat pengakuan
tersebut, hakim dapat menangguhkan putusan sampai berakhirnya
PKPU. Tanpa persetujuan Pengurus, debitur tidak dapat menjadi
penggugat atau tergugat dalam perkara mengenai hak atau kewajiban
yang menyangkut harta kekayaannya.

d. Pembayaran Utang Selama PKPU

Pembayaran semua utang yang sudah lahir sebelum diberikannya


PKPU selama berlangsungya PKPU, tidak boleh dilakukan, kecuali
pembayaran utang tersebut dilakukan kepada semua Kreditor, menurut
piutang masing-masing,tanpa mengurangi berlakukan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (3) UUK.

36
e. Pelaksanaan Hak Kreditor Separatais

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan


Pasal 58 UU Kepailitan berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan
hak Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UU
Kepailitian dan Kreditor yang diistimewakan dengan ketentuan bahwa
penangguhan berlaku selama berlangsungnya PKPU.

f. Perjumpaan Utang

Orang yang mempunyai utang kepada Debitur atau piutang


terhadap Debitur tersebtu dapat memperjumpakan utang piutang
tersebut, dengan syarat bahwa utang piutang tersebut atau perbuatan
hukum yang menimbulkan utang piutang telah terjadi sebelum PKPU
berlangsung. Piutang terhadap Debitur tersebut dihitung menurut
ketentutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 dan Pasal 275 UU
Kepailitan.

g. Perjanjian TImbal Balik


Apabila pada saat pututsan PKPU diucapkan terdapat perjnanian
timbal balik (kecuali perjanjian yang mewajibkan debitur mealkukan
sendiri perbuatan yang diperjanjikan) yang belum atau baru sebgaian
dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan Debitur dapat
meminta kepada pengurus untuk memberikan kepasitan tentang
kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka wakut yang
disepakati oleh pengurus dan pihak tersebut. Dalam hal tidak tercapai
kesepakatan mengenai janga wakut itu, Hakim Pengawas menetapkan
jangka waktu tersebut. Apabila pengurus menaytakan kesanggupannya,
pengurus memberukan jaminan atas kesanggupannya untuk
melaksanakan perjanjian tersebut. Adapun apabila dalam jangka waktu
yang telah ditentukan tersebut, perjanjian itu, perjanjian berakhir dan
pihak yang mengadakan perjanjian itu dapat menutut ganti rugi sebagai
Kreditor konkuren.
1) Perjanjian Penyerahan Barang

37
Apabila terdapat perjanjian antara debitur dan pihak lawan
tentang penyerahan benda yang biasa diperdagangkan suatu
jangka waktu dan sebelum penyerahan dilaukan telah diucapkan
putusan PKPU sementara, maka perjanjian tersebut menjadi
hapus, dan dalam hal pihak lawan yang dirugikan karena
penghaosan tersebut, pihak lawan dapat mengajukan diri
sebagai Kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Akan
tetapi. Apabila harta dirugikan karena penghapusan tersebut,
maka pihak lawan wajib menbayar kerugian tersbeut.
2) Perjanjian Sewa-Menyewa
Dalam hal Debitur telah menyewakan suatu benda, maka
debitur dengan persetujuan pengurus, dapat menghentikan
perjanjian sewa tersebut, dengan sayarat pemberitahuan
pengehentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai
dengan adat kebiasan setempat. Undang-undang juga
menetukan bahwa untuk melakukan penghentian perjanjian swa
ersbeut, harus pula diindahkan jangka waktu menurut perjanjian
atau menurut kelaziman, dengan ketentutan bahwa jangka waktu
90 (Sembilan puluh) hari adalah cukup. Dalam hal telah dibayar
uang sewa di muka, perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih
awal sebelum berakhirnya jangka waktu sewa yang telah dibayar
uang muka. Sejak hari putusan PKPU sementara diucapkan
maka uang swa merupakan utang dari harta Debitur.
3) Perjanjian Kerja
Segera setelah diucapkannya putusan PKPU sementara maka
Debitur berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan
karyawannya, dengan catatan tetap mengindahkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dengan Pasal 240 UU Kepailitan dan
dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau
ketentuan perundang-undangna yang berlaku, dengan
pegneritan bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan

38
dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari
sebelumnya. Sejak berlakunya PKPU smentara, gaji dan biaya
lain yang timbul dalam hubungan kerja tersebut menjadi utang
harta Debitur.

11. Pembayaran oleh Pihak Lain kepada Debitur

Pembayaran yang dilakukan kepada Debitur, setelah diucapkannya


utusan PKPU sementara yang belum diumumkan, untuk memenuhi perikatan
yang terbut sebelum putusan PKPU sementara, membebaskan pihak yang
telah melakukan pembayaran terhadap harta Debitur, kecuali dapat
dibuktikan bahaw pihak tersebut telah mengetaui adanya putusan PKPU
utang sementara.33

12. Perdamaian dalam PKPU

Perdamaian (akkoord) dalam tahapan PKPU merupakan tahapan yang


paling penting, karena dalam perdamaian tersebut debitor akan menawarkan
rencana perdamaiannya kepada kreditor. Dalam perdamaian tersebut
dimungkinkan adanya restrukturisasi utang-utang debitor. Biasanya program-
program restruturasi utang tersebut antara lain :

a. Moratorium, yakni yang merupakan penundaan pembayaran yang sudah


jatuh tempo;
b. Haircut, merupakan pemotongan pokok pinjaman dan bunga;
c. Pengurangan tingkat suku bunga;
d. Perpanjangan jangka waktu pelunasan;
e. Konversi utang kepada saham;
f. Debt forgiveness (pembebasan utang);
g. Bailout, yakni pengambilalihan utang-utang, misalnya pengambilalilahn
utang-utang swasta oleh pemerintah;
h. Write-off, yakni penghapusbukuan utang-utang.

33
Jono, S.H., Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.173-179

39
Jika perdamaian disetujui ole para kreditor, maka PKPU demi hukum akan
berakhir. Perdamaian hanya dapat diterima apabila memenuhi ketentuan
sebagai berikut :

a. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang


haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 UUK termasuk kreditor
sebagaimana dimaksud dala Pasal 280 UUK, yang bersama-sama
mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang
diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang
hadir dalam rapat tersebut; dan
b. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang piutangnya
dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya yang jadir dan mewakili paling sedikit 2/3
(dua pertiga) baigan dari seluruh tagihan dari kreditor tersebut atau
kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Ketentuan rencana perdamaian yang melibatkan persetujuan kreditor


separatis merupakan ketentuan baru. Dalam UUK 1998 tidak ada ketentuan
yang demikian. Menurut Fred B. O. Tumbuan ketentuan merupakan terobosan
besar UUK 2004 ini. lebih lanjut Fred B. O. Tumbuan mengemukakan bahwa
PKPU kita membuat terobosan yang memungkinkan resirukturasi dengan
mengiziknkan kreditor separatais yang mempunya agunan ikut menentukan
perdamaian tapi lalu terikat. Sehingga kreditor separatis tidak bisa nanti
membuyarkan meniadakan perdamaian dalam rangk restrukturasi. Itu justru
terobosan dalam PKPU berdasarkan undang-undang atau katakanlah revisi
undang undang kepailitan.

Perdamaian yang telah disetujui oleh para kreditor, harus dihomologasikan


di pengadilan. Pengadilan dalam memeriksa permohonan homologasi bisa
menerima bisa pula menolaknya. Alasan yang dapat dijadikan landasan untuk
menolak adalah :

40
a. Harta debitor, termasuk barang-barang dengan hak retensi, jauh lebih
besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;
b. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;
c. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau sekongkol dengan satu
atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya-upaya lain yang tidak
jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja
sama untuk mencapai hal itu;
d. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan pengurus
belum dibayar atua tidak diberika jaminan untuk pembayarannya.

Putusan pengesahan perdamaian tersebut mengikat bagi para pihak, baik


debitor maupun para kreditor yang setuju maupun yang tidak setuju terhadap
perdamaian tersebut.

13. Pengakhiran PKPU

Setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, PKPU dapat


diakhiri. Adapun yang dapat mengajukan pengakhiran PKPU adalah atas
permintaan hakim pengawas, atas permohonan pengurus, atas permintaan
kreditor, atau atas prakarsa Pengadilan Niaga. Sedangkan beberapa alasan untuk
mengajukan pengahiran PKPU adalah :

a. Debitor bertindak dengan iktikad buruk dalam melakukan pengurusan


terhadap hartanya selama waktu penundaan kewajiban pembaran utang;
b. Debitor telh merugikan atau mencoba merugikan kreditornya;
c. Debitor melanggar Pasal 240 ayat (1) UUK yang mengharuskan debitor
beritndak mengenai hartanya berdasarkan kewenangan yang diberikan
oleh pengurus;
d. Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya
oleh pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran
utang diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang
disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta deibtor;

41
e. Selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, keadaan harta
debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya penundaan
kewajiban pembayaran utang; atau
f. Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya
terhadap para kreditor pada waktunya.

Jika penundaan kewajiban pembayaran utang diakhiri berdasarkan sebab-


sebab tersebut diatas, maka debitor harus dinyatakan pailit dalam putusan
yang sama. Terhadap putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan
pengakhiran penundaan kewajiban pembayaran utang, maka berlaku mutatis
mutandis ketentuan yang ada dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14
UUK. Pasal 11 mengatur mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan
terhadap putusan pengakhiran PKPU adalah kasasi ke Mahkamah Agung.
Pasal 9 UUK, yang mengatur prosendru kasasi dimana pemohon kasasi waib
menyampaikan memoeri kasasi. Pasal 13 mengatur prosedur kasasi ke
Mahkamah Agung dimana dalam waktu 60 hari Mahkamah Agung harus
memutuskan kasasi tersebut. Sedangkan Pasal 14 megnatur tentang
kemungkinan peninjauan kembali.34

34
Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., CN., Hukum Kepailitan (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015), h.150-153

42
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pailit

Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang


karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata
Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut
bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa
dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat
seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor,
karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-
kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit
adalah mogok melakukan pembayaran.

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun


2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU
Kepailitan”), kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas.

2. PKPU

Menurut pendapat Munir Fuady Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang-
undang melalui putusan pengadilan niaga, dimana dalam periode waktu
tersebut kepada kreditor dan debitor diberikan kesepakatan untuk
memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan
memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau
sebagian utangnya itu, termasuk apabita perlu merestrukturisasi utangnya
tersebut

43
Di dalam Undang-undang Kepailitan Undang-undang No. 37 Tahun 2004
Pasal 222 ayat (2) dikatakan :

“Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan


membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat
memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran
sebagian atau seluruh utang kepada kreditor”.

44
DAFTAR PUSTAKA

Asyhadie, Zaeni dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan,


Mataram: Erlangga. 2012.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. Minnesota: Thomson West.


1979.

Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.

Muhammad, Abu Bakar. Terjemahan Subulussalam. Surabaya: Al Ikhlas.


1995.

Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus.
Jakarta: Kencana. 2005.

Sastrawidjaja, Man. S. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang. Bandung: PT. ALUMNI. 2010.

Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan. Jakarta: Kencana. 2015.

Silondae, Arus Akbar dan Andi Fariana. Aspek Hukum dalam Ekonomi dan
Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2010.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun


2004. Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti. 2012.

Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., CN., Hukum Kepailitan Jakarta:


Prenadamedia Grup, 2015.

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,
Jakarta: Kencana, 2005

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2005

Diwa Ardhaza, Analisis Terhadap Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang Berdasarkan Ketentuan UUK-PKPU (Tinjauan Kasus Putusan Mahkamah
Agung Nomor 335 K/Pdt.Sus PKPU/2013), FH UI.

45
Kheriah, S.H.,M.H., Independensi Pengurus Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) dalam Hukum Kepailitan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3,
Nomor 2

Moch Zulkarnain Al Mufti. “Tanggung Jawab Kurator dalam Penjualan Harta


Pailit di Bawah Harga Pasar”, Lex Renaissance, No. 1 Vol. 1 Januari 2016

46

Anda mungkin juga menyukai