PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum kepailitan merupakan sub judul dari mata kuliah Hukum Dagang.
Keberadaannya di Indonesia sudah ada sejak lama. Dan mempunyai kasus yang
besar-besaran terjadi ketika tahun 1997, dimana terjadi krisis moneter yang
membuat banyak perusahaan harus gulung tikar. Peristiwa tersebut tercatat
sebagai krisis yang paling besar terjadi sejak kemerdekaan Indonesia. kondisi
keuangan yang memburuk kala itu menyebabkan tingkat suku bunga yang
melonjak tajam, sehingga banyaknya para debitur yang tidak mampu menunaikan
prestasi kepada kreditur.
Utang merupakan hal yang biasa dilakukan oleh setiap orang, utang juga
merupakan solusi bagi perusahaan mendapatkan tambahan modal untuk
operasional perusahaan selain daripada bursa efek. Akan tetapi, penggunaan
utang haruslah bijak. Harus ditempatkan untuk sesuatu yang produktif dan bukan
konsumtif. Karena utang yang tidak mampu dibayar akan sangat berbahaya dan
mengancam keberlangsungan usaha yang dijalankan.
1
juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta kekayaan debitur
(likuidasi harta pailit).
PKPU adalah wahana Juridis Ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk
menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya.
Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara untuk menghindari kepailitan yang
lazimnya bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur. Bagi perusahaan,
PKPU bertujuan memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur
membuat laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan
menjaga jangan sampai debitur, yang karena suatu keadaan semisal keadaan
tidak likuid dan sulit mendapat kredit dinyatakan pailit, sedangkan kalau debitur
tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar harapan ia ia akan dapat membayar
utangnya. Putusan pailit dalam keadaan tersebut di atas akan berakibat
pengurangan nilai perusahaan dan ini akan merugikan para kreditur.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian latar
belakang, maka permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui mengenai konsep Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
D. Sistematika Pembahasan
Makalah ini akan terbagi menjadi tiga bab, yaitu sebagai berikut :
2
BAB II : Pembahasan masalah yang meliputi :
DAFTAR PUSAKA
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEPAILITAN
1. Definisi Hukum Kepailitan
Kata pailit, berasal dari kata fallere dari bahasa Latin yang artinya menipu.1
Failliet dalam bahasa Belanda, atau Taflis dalam bahasa Arab, masdar dari
fallasa yang artinya menjadikannya miskin, juga disebut iflas (jatuh miskin)
masdar dari kata Aflasa yang berarti dia menjadi orang yang dalam keadaan
tidak mempunyai uang2, atau bangkrut yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan bankrupt berasal dari undang-undang di Italia yang disebut dengan
banca rupta. Pada abad pertengahan di Eropa, terjadi praktik kebangkrutan
yang dilakukan dengan menghancurkan bangku-bangku dari para bankir atau
pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para
kreditornya. Adapun di Venetia (Italia) pada waktu itu, dimana para pemberi
pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu lagi
membayar utang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar
telah patah atau hancur. 3
1
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2012, hlm 14.
2
Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam, Al Ikhlas, Surabaya, 1995, hlm. 185.
3
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 1.
4
penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor
pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur
kreditor.4
4
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 2.
5
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 1.
6
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 133.
7
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 2.
8
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Minnesota, 1979, hlm. 134.
5
2. Sejarah Hukum Kepailitan
Pada masa Romawi di tahun 118 SM, apabila seorang debitor tidak dapat
melunasi utangnya, maka pribadi debitor secara fisik yang harus bertanggung
jawab. Pada abad ke-5 SM, apabila debitor tidak dapat melunasi utangnya,
maka kreditor berhak untuk menjual debitor sebagai budak. Hasil penjualan
pribadi debitor sebagai budak tersebut merupakan sumber pelunasan bagi
utangnya kepada kreditor. Namun demikian, sebelum dapat menjual debitor
sebagai budak, kreditor harus memberikan waktu selama 60 hari kepada
debitor untuk mengupayakan pelunasan utangnya itu.
6
Ketentuan Romawi-Italia tersebut diikuti oleh Perancis dan berlaku
terutama di Lyon, yang pada waktu itu banyak dikunjungi oleh para pedagang
dari Italia. Ketentuan induk tentang kepailitan di Perancis terdapat di dalam
Ordonnance du Commerce (Peraturan Dagang) tahun 1673. Di dalam salah
satu bab dari Ordonnance tersebut diatur tentang kepailitan, yaitu Bab IX
tentang Des Faillites et Banqueroutes. Di dalam Ordonnance itu, sudah
dikenal perbedaan perlakuan antara kreditor konkuren dan kreditor preferen.
Pada tahun 1807, Ordonnance tersebut disempurnakan menjadi Code de
Commerce (KUH Dagang).
Di Inggris, hukum kepailitan Inggris lama yang paling penting adalah The
Statute of Bancrupts tahun 1570. Undang-undang itu bertujuan untuk
menindak dan menghukum debitor-debitor yang curang. Undang-undang itu
hanya berlaku untuk para debitor yang pekerjaannya adalah pedagang. Dalam
undang-undang tersebut, disebutkan bahwa berdasarkan pengaduan, Lord
Chancellor dapat menunjuk suatu komisi yang terdiri atas orang-orang yang
“wise, honest, and discreet” yang diberi wewenang untuk menyita harta
kekayaan debitor yang pailit dan menjualnya untuk melunasi secara pro rata
utang-utangnya. Debitor pailit tetap harus bertanggung jawab sepanjang
utang-utangnya belum dilunasi dan dapat ditempatkan di penjara oleh komisi
yang kemudian ditempatkan di pillory dan kehilangan kupingnya. Pikiran untuk
memperkenankan seorang debitor secara sukarela mengajukan permohonan
pernyataan pailit, yaitu sebagai cara keluar karena kesulitannya karena utang-
utang yang harus dibayar kepada para kreditornya, baru masuk ke dalam
hukum kepailitan Inggris pada abad ke-19. Kini, undang-undang kepailitan
yang berlaku di Inggris ialah Insolvency Act of 1986.
7
Amerika Serikat selalu berubah seiring berkembangnya zaman, setelah The
Bankcruptcy Act of 1898, lalu pada akhirnya lahirlah Bankcruptcy Code pada
1979 yang sampai sekarang ini masih digunakan di Amerika Serikat. 9
b. Biaya tinggi.
Oleh karena itu, dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu
banyak biaya. Maka, lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo. Stb.
1906-556) untuk menggantikan dua peraturan kepailitan tersebut. Peraturan
kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku untuk golongan Eropa, Tionghoa, dan
Timur Asing (Stb. 1924-556). Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam
Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348).
9
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2012, hlm. 10-14.
8
Kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian nasional terutama
terletak pada kemam puan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya.
Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka
pada para kreditor. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang
berantai dan apabila tidak segera diselesaikan, akan menimbulkan dampak
yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara
cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban
diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348.
Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening masih
baik. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian
berlangsung pesat sehingga wajarlah jika kebutuhan penyediaan sarana
hukum yang memadai, yakni yang cepat, adil, terbuka, dan efektif semakin
mendesak guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar
penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian nasional. Kemudian,
dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements
Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan undang-
undang tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998. Perpu ini diubah
menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara
(LNRI) tahun 1998 No. 13510 dikarenakan krisis ekonomi yang sangat
bergejolak yang melanda Indonesia dimana hampir seluruh sendi kehidupan
perekonomian nasional rusak, termasuk dunia bisnis dan masalah keamanan
investasi di Indonesia. Krisis tersebut, dengan sisi lain, membawa makna
perubahan yang sangat penting bagi perkembangan peraturan kepailitan di
Indonesia selanjutnya.
10
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Mataram, 2012, hlm. 213.
9
menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun
pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:
a. Asas Keseimbangan
c. Asas Keadilan
10
Dalam kepailitan, asas keadilan mengandung pengertian, bahwa
ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan
pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan
tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
d. Asas Integrasi
11
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 132.
12
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2012, hlm. 28.
11
5. Fungsi Hukum Kepailitan
13
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. ALUMNI,
Bandung, 2010, hlm. 72.
14
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. ALUMNI,
Bandung, 2010, hlm. 74.
12
6. Syarat-Syarat Kepailitan
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”
15
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 133.
13
7. Pihak-Pihak yang Berkaitan dalam Proses Kepailitan
c. Hakim niaga
d. Hakim pengawas
Adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau
putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.
e. Kurator
Adalah salah satu pihak yang cukup memegang peranan dalam suatu
proses perkara pailit.
f. Panitia kreditor
14
2) Panitia kreditor tetap
g. Pengurus
8. Kurator
2) Kurator lainnya.
Yang dimaksud dengan kurator lainnya (yaitu kurator yang bukan Balai
Harta Peninggalan) adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
16
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005) Hlm. 42.
15
2) Apakah merupakan saat yang tepat (terutama secara ekonomi dan
bisnis) untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
17
Moch Zulkarnain Al Mufti. “Tanggung Jawab Kurator dalam Penjualan Harta Pailit di Bawah Harga Pasar”, Lex
Renaissance, No. 1 Vol. 1 Januari 2016, hlm. 95.
16
4) menuntut kepada Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya
untuk menyerahkan benda yang menjadi agunan, setelah
berakhirnya jangka waktu bagi Kreditor tersebut untuk
melaksanakan hak eksekusi atas benda yang menjadi agunan
seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 59 ayat (2) UUK).
5) melanjutkan usaha Debitor, dengan persetujuan panitia Kreditor,
kurator berkuasa untuk melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan
pailit, walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut
diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Apabila dalam putusan
pernyataan pailit tidak diangkat panitia Kreditor, persetujuan untuk
melanjutkan usaha tersebut diatas, dapat diberikan oleh Hakim
Pengawas (Pasal 104 ayat (1) UUK).
6) membuka surat dan telegram yang ditujukan kepada Debitor (Pasal
105 UUK).
7) memberikan suatu jumlah uang yang ditentukan Hakim Pengawas
untuk penghidupan Debitor pailit dan keluarganya (Pasal 106 UUK).
8) mengalihkan harta pilit, dengan pertimbangan untuk menutup
ongkos kepailitan atau apabila penahanan barang-barang akan
mengakibatkan kerugian pada harta pailit, maka atas persetujuan
Hakim Pengawas, kurator dapat mengalihkan harta pailit.
Pengalihan harta pailit ini dapat diselenggarakan, meskipun
terhadap putusan pernyataan pailit diajukan kasasi atau peninjauan
kembali (Pasal 107 ayat (1) UUK).
9) mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang
sedang berjalan atau mencegah timbulnya perkara (Pasal 109
UUK).
10) meminta kepada Kreditor memasukkan surat yang belum
diserahkan, memperlihatkan catatan dan surat bukti asli, dalam
rangka pencocokan perhitungan piutang Kreditor (Pasal 116 ayat
(2) UUK).
17
11) berhak menarik kembali pengakuan sementara atau bantahannya,
atau menuntut supaya Kreditor menguatkan dengan sumpah
kebenaran piutangnya yang tidak dibantah oleh Kurator atau salah
seorang Kreditor (Pasal 124 ayat (3) UUK);
12) kurator dapat melakukan penjualan barang secara dibawah tangan,
dengan izin Hakim Pengawas (Pasal 185 ayat (2) UUK).
18
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.
135.
18
atau disebut juga secara pari pasu yaitu menurut perbandingan
besarnya masing-masing tagihan mereka, dari hasil penjualan
Harta Pailit yang tidak dibebani hak jaminan. Disebut juga
sebagai kreditor konkuren.19
b. Debitor sendiri
19
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 144.
20
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 134.
21
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Mataram, 2012, hlm. 215.
19
Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Pengajuan permohonan pernyataan pailit
bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-
mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan
sevara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini
tidak menghapuskan kewenangan Bank Indnesia terkait dengan ketentuan
mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan
likuidasi bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
22
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 136.
20
10. Tata Cara Permohonan Kepailitan
21
Setelah putusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa,
pengadilan dalam jangka waktu dua hariharus memberitahukan dengan surat
dinas tercatat atau melalui kurir tentang putusan itu beserta salinannya
kepada:
Dalam hal putusan telah dikeluarkan, dalam jangka waktu paling lambat
lima hari sejak tanggal diputuskannya permohonan kepailitan, maka kurator
mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan sekurang-
kurangnya dalam dua surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim
pengawas. Dalam pengumuman itu harus dikemukakan hal-hal yang
menyangkut:
22
f. Rehabilitasi, dengan menyebut tanggalnya masing-masing.23
11. Upaya Hukum
a. Upaya Hukum Kasasi
23
Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Mataram, 2012, hlm. 216-
219.
24
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 138.
23
b. Atau dalam putusan hakim Pengadilan Niaga yang bersangkutan
terdapat kekeliruan yang nyata.25
25
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami UU No. 37 Tahun 2004, PT. Pusaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2012, hlm. 167.
26
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 139.
24
pensiun, uang tunggu, atau uang tunjangan sejauh yang
ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
3) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu
kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.27
b. Akibat terhadap transfer dana.
27
Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2010, hlm. 140.
25
Pasal 31 UU Kepailitan dan PKPU menjelaskan bahwa dengan adanya
putusan pernyataan pailit mengakibatkan segala sitaan pelaksanaan
(exeturial beslag) dan sitaan jaminan (conservatoir beslag) menjadi hapus.
g. Akibat kepailitan terhadap penyanderaan.
26
b) Pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat
menuntut ganti kerugian dan berkedudukan sebagai
kreditor konkuren.
4) Apabila kurator menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan
perjanjian, kurator wajib memberikan jaminannya atas
kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian dimaksud;
5) Ketentuan tentang akibat disebut di atas tidak berlaku untuk
perjanjian yang mewajibkan debitor melakukan sendiri perbuatan
yang diperjanjikan.
j. Akibat kepailitan terhadap perjanjian sewa-menyewa.
27
persetujuan atau menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pemutusan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling
sedikit 45 hari sebelumnya. Di samping itu, sejak tanggal putusan
pernyataan pailit, upah yang terutang sebelum atau sesudah putusan
pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.
28
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. ALUMNI,
Bandung, 2010, hlm. 107-119.
28
B. PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN HUTANG
PKPU diatur dalam pasal 222 s.d. 294 UU Kepailitan. PKPU ini sangat erat
kaitannya dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi) dari debitur
terhadap utang-utangnya kepada kreditor. PKUP dapat diajukan oleh :
a. Debitur yang mempunyai lebih dari 1(satu) kreditor; atau debitur yang
tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar
utang -utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat
memohon PKPU, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada
kreditor.
b. Kreditor. Dalam hal ini adalah kreditor konkuren dan kreditor preferen
(kreditor yang didahulukan). Kreditor yang memperkirakan bahwa debitur
tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan
dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitur diberi PKPU, untuk
memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
29
Kheriah, S.H.,M.H., Independensi Pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam Hukum
Kepailitan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 2, hal. 240
29
c. Pengecualian : Debitur Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan
Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.
1) Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan PKPU hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
2) Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh
Badan Pengawas Pasar Modal.
3) Dalam hal debiturnya Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan PKPU hanya
dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Dalam hal ada permohonan dinyatakan pailit dan permohonan PKPU yang
diajukan dan diperiksa pada saat bersamaan maka Pengadilan Niaga wajib
memberikan putusan terlebih dahulu atas permohonan PKPU dibandingkan
dengan permohonan pernyataan pailit. Adapun dalam hal permohonan PKPU
yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan
terhadap debitur maka agar permohonan PKPU tersebut dapat diputus terlebih
dahulu, permohonan PKPU tersebut harus diajukan pada sidang pertama
30
pemeriksaan permohonan pernyataan pailit diatur dalam pasal 229 ayat (3)
dan ayat (4) UU Kepailitan.30
a. PKPU Sementara
30
Jono, S.H., Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.169-170
31
Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., CN., Hukum Kepailitan (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015), h.148
31
segera mengabulkan permohonan PKPU selambat-lambatnya dua
puluh hari sejak didaftarkannya permohonan. Pengadilan
kemudian harus menunjuk hakim pengawas serta mengangkat satu
atau lebih pengurus. Putusan Pengadila Niaga tentang PKPU
sementara ini berlaku selama maksimum empat puluh lima hari
dan setelah itu harus diputus apakah PKPU terseut dapat
dilanjutkan menjadi suatu PKPU secara tetap.
b. PKPU Tetap
32
Dalam hal syarat-syarat diatas dipenuhi, maka Pengadilan Niaga
akan menetapkan PKPUtetap berikut perpanjangannya yang PKPU
tidak boleh melebihi dua ratus tujuh puluh hari setelah putusan
PKPU sementara diucapkan.32
Pengurus yang diangkat pada saat PKPU haruslah independen dan tidak
memiliki benturan kepentingan dengan debitur atau kreditor. Pengurus yang
terbukti tidak independen dikenakan sanksi pidana dan/atau perdata sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Yang dapat diangkat menjadi
pengurus adalah, sbb:
32
Diwa Ardhaza, Analisis Terhadap Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berdasarkan Ketentuan
UUK-PKPU (Tinjauan Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 335 K/Pdt.Sus PKPU/2013), FH UI, hal. 12-13
33
2) permohonan kreditor dan permohonan tersebut hanya dapat diajukan
apabila didasarkan atas persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor yang hadir
dalam rapat kreditor.
3) permohonan pengurus sendiri; dan
4) permohonan pengurus lainnya, jika ada.
c. Laporan dari Pengurus
Setiap tiga bulan sejak putusan PKPU diucapkan, Pengurus wajib
melaporkan keadaan harta debitur, dan laporan tersebut harus disediakan pula
di epaniteraan Pengadilan. Jangka waktu pelaporan tersebut dapat
diperpanjang oleh Hakim Pengawas.
7. Pengangkatan Ahli Pada saat PKPU
Jika PKPU telah dikabulkan, Hakim Pengawas dapat mengangkat satu
atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang
keadaan harta debitur dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya
yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas.
8. Panitia Kreditor
Pengadilan harus mengangkat panitia kreditor apabila :
a. Permohonan PKPU meliputi utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor;
atau
b. Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor yang mewakili paling
sedikit ½ bagian dari seluruh tagihan yang diakui.
9. Saksi-Saksi
34
menurut keturan lurus ke atas dan kebawah dari Debitur dapat mengguanakan
hak merkea untuk dibebaskan dari kewajiban memberi kesaksian.
35
Dalam Pasal 244 UUK dinyatakn secara tegas bahwa dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 246, PKPU tidak berlaku terhadap :
36
e. Pelaksanaan Hak Kreditor Separatais
f. Perjumpaan Utang
37
Apabila terdapat perjanjian antara debitur dan pihak lawan
tentang penyerahan benda yang biasa diperdagangkan suatu
jangka waktu dan sebelum penyerahan dilaukan telah diucapkan
putusan PKPU sementara, maka perjanjian tersebut menjadi
hapus, dan dalam hal pihak lawan yang dirugikan karena
penghaosan tersebut, pihak lawan dapat mengajukan diri
sebagai Kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Akan
tetapi. Apabila harta dirugikan karena penghapusan tersebut,
maka pihak lawan wajib menbayar kerugian tersbeut.
2) Perjanjian Sewa-Menyewa
Dalam hal Debitur telah menyewakan suatu benda, maka
debitur dengan persetujuan pengurus, dapat menghentikan
perjanjian sewa tersebut, dengan sayarat pemberitahuan
pengehentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai
dengan adat kebiasan setempat. Undang-undang juga
menetukan bahwa untuk melakukan penghentian perjanjian swa
ersbeut, harus pula diindahkan jangka waktu menurut perjanjian
atau menurut kelaziman, dengan ketentutan bahwa jangka waktu
90 (Sembilan puluh) hari adalah cukup. Dalam hal telah dibayar
uang sewa di muka, perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih
awal sebelum berakhirnya jangka waktu sewa yang telah dibayar
uang muka. Sejak hari putusan PKPU sementara diucapkan
maka uang swa merupakan utang dari harta Debitur.
3) Perjanjian Kerja
Segera setelah diucapkannya putusan PKPU sementara maka
Debitur berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan
karyawannya, dengan catatan tetap mengindahkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dengan Pasal 240 UU Kepailitan dan
dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau
ketentuan perundang-undangna yang berlaku, dengan
pegneritan bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan
38
dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari
sebelumnya. Sejak berlakunya PKPU smentara, gaji dan biaya
lain yang timbul dalam hubungan kerja tersebut menjadi utang
harta Debitur.
33
Jono, S.H., Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.173-179
39
Jika perdamaian disetujui ole para kreditor, maka PKPU demi hukum akan
berakhir. Perdamaian hanya dapat diterima apabila memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
40
a. Harta debitor, termasuk barang-barang dengan hak retensi, jauh lebih
besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;
b. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;
c. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau sekongkol dengan satu
atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya-upaya lain yang tidak
jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja
sama untuk mencapai hal itu;
d. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan pengurus
belum dibayar atua tidak diberika jaminan untuk pembayarannya.
41
e. Selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, keadaan harta
debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya penundaan
kewajiban pembayaran utang; atau
f. Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya
terhadap para kreditor pada waktunya.
34
Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., CN., Hukum Kepailitan (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015), h.150-153
42
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pailit
2. PKPU
43
Di dalam Undang-undang Kepailitan Undang-undang No. 37 Tahun 2004
Pasal 222 ayat (2) dikatakan :
44
DAFTAR PUSTAKA
Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus.
Jakarta: Kencana. 2005.
Silondae, Arus Akbar dan Andi Fariana. Aspek Hukum dalam Ekonomi dan
Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2010.
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,
Jakarta: Kencana, 2005
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2005
45
Kheriah, S.H.,M.H., Independensi Pengurus Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) dalam Hukum Kepailitan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3,
Nomor 2
46