Anda di halaman 1dari 9

1.

Kurva Disosiasi Oksihemoglobin


Hemoglobin adalah molekul protein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam
sel merah yang terdapat dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Molekul hemoglobin
terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu
atom besi. Untuk dapat memahami proses respirasi dengan jelas maka harus diketahui
afinitas oksigen terhadap hemoglobin karena suplai oksigen untuk jaringan dan
pengambilan oksigen oleh paru-paru sangat tergantung pada hubungan tersebut.
Kurva disosiasai oksigen adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara saturasi
oksigen atau kejenuhan hemoglobin terhadap oksigen dengan tekanan parsial oksigen pada
ekuilibrium yaitu pada keadaan suhu 37oC, pH 7.40 dan Pco2 40 mmHg.

 Kurva oksihemoglobin tergeser kekanan apbila pH darah menurun atau PC02


meningkat. Dalam keadaan ini pada P02 tertantu afinitas hemoglobin terhadap oksigen
berkurang sehingga oksigen dapat ditranspor oleh darah berkurang. Pergaseran kurva
sedikit kekanan akan membantu pelepasan oksigen kejaringan-jaringan. Pergeseran ini
dikenal dengan nama Efek bohr.
 Sebaliknya, penigkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan PCO2, suhu, dan 2,3- DPG
akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksihomoglobin kekiri. Pergeseran
kekiri menyebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Akibatnya
uptake oksigen dalam paru-paru meningkat apabila terjadi pergaseran kekiri, tetapi
pelepasan oksigen ke jaringan-jaringan terganggu.
Kurva Disosiasi Oksigen yang berbentuk sigmoid ini secara fisiologis menguntungkan
karena bagian puncak kurva yang mendatar memungkinkan jumlah oksigen arteri tetap
tinggi dan stabil walaupun terjadi perubahan tekanan parsial oksigen. Sebaliknya bagian
tengah dari kurva yang terlihat curam memungkinkan penglepasan oksigen dengan mudah
pada perubahan tekanan parsial oksigen yang kecil.

2. Efek Bohr
Efek Bohr pertama kali dijabarkan oleh ilmuwan Denmark bernama Christian Bohr.
Beliau menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi proton dan/atau CO2 akan menurunkan
daya serap hemoglobin terhadap oksigen. Peningkatan rasio plasma CO2 juga akan
menurunkan pH darah oleh karena sifat antagonis antara proton dan karbondioksida.
Peningkatan CO2 ini akan mempengaruhi kurva oksigen terlarut dalam darah. Pergeseran
kurva ke sebelah kanan berarti suatu pengurangan dalam afinitas dari hemoglobin untuk
oksigen. Efek fasilitas transport oksigen seperti hemoglobin membungkus oksigen di
dalam paru-paru, tetapi kemudian melepaskan ke jaringan-jaringan yang paling
membutuhkan oksigen. Ketika jaringan tersebut metabolismnya meningkatan, produksi
karbon dioksidanya pun meningkat. Karbon dioksida dengan cepat dijadikan molekul
bikarbonat dan proton asam oleh enzim karbonik anhydrase. Hal ini menyebabkan pH
jaringan menurun dan juga meningkatkan oksigen terlarut dari hemoglobin,
memperbolehkan jaringan tersebut memperoleh oksigen yang cukup sesuai kebutuhannya.
Kurva disosiasi bergeser ke kanan ketika karbon dioksida atau konsentrasi ion hydrogen
meningkat.

3. Efek Root

Efek Root didefinisikan sebagai penurunan kadar oksiden dalam darah, pada saat pH
darah menurun. Efek Root hanya dapat ditemukan pada ikan teleost (kecuali Amia calva)
dan pada tingkatan Hb. Efek Root ini dapat dikatakan sebagai lanjutan dari efek Bohr. Dasar
lengkap mengenai efek Root masih belum terpecahkan. Secara pisiologi, implikasi
mengenai transportasi gas pada efek Root sangat berbeda dibandingkan dengan efek Bohr.
Hal ini dikarenakan angka kecepatan O2 dari Hb ke mata dan sirip. Dengan demikian,
karakteristik Hb dan bentuk sistem laju dalam ikan teleost membentuk perkalian O2 yang
tidak ada bandingnya di kerajaan bintang dan mampu membagkitkan tekanan darah hampir
20 kali dibandingkan dalam arteri darah.
Kurva Disosiasi Oksihemoglobin

Kurva disosiasi oksihemoglobin terdiri dari dua bagian kurva, yaitu bagian curam (PO2 0-60
mmHg) dan bagian mendatar (PO2 >60 mmHg). Perbedaan dua bagian ini adalah pada
bagian kurva curam perubahan kecil pada PO2 menghasilkan perubahan besar pada saturasi oksigen.
Sebaliknya, pada bagian kurva yang mendatar, perubahan besar pada PO 2 hanya menghasilkan
perubahan kecil pada SaO2.
Kurva disosiasi oksihemoglobin juga dibagi menjadi bagian asosiasi dan bagian disosiasi.
Penggabungan oksigen dan hemoglobin terjadi di paru dimana PO 2 meningkat dari 40 mmHg pada
pembuluh darah vena menjadi 100 mmHg. Oleh karena akhir dari proses ini adalah masuknya oksigen
ke dalam darah yang terjadi pada fase kurva yang mendatar, maka bagian ini sering disebut juga bagian
asosiasi. Sebaliknya, bagian curam kurva ini sering disebut juga bagian disosiasi, karena merupakan
kurva bagian akhir pelepasan oksigen yang terjadi ketika PO 2 turun dari 100 mmHg menjadi 40 mmHg
pada kapiler sistemik. (Malley, 1990)
Faktor-faktor yang Menggeser Kurva Disosiasi Oksigen-Hemoglobin
Efektifitas ikatan hemoglobin dan oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-
faktor ini juga yang kemudian mengubah kurva disosiasi. Pergeseran kurva ke kanan
disebabkan oleh peningkatan suhu, peningkatan 2,3-DPG, peningkatan PCO2, atau
penurunan pH. Untuk kondisi sebaliknya, kurva bergeser ke kiri. Pergeseran kurva ke kanan
menyebabkan penurunan afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Sehingga hemoglobin sulit
berikatan dengan oksigen (memerlukan tekanan parsial yang tinggi bagi hemoglobin untuk
mengikat oksigen). (Nielufar, 2000)
Pergeseran kurva ke kiri dan peningkatan afinitas tampak memberikan manfaat bagi
pasien karena hemoglobin dapat mengikat oksigen lebih mudah. Bagaimanapun, hemoglobin
telah tersaturasi 97 % dengan afinitas yang normal,sehingga tidak terdapat penambhan
oksigen yang cukup bermakna dengan adanya pergeseran kurva ke kiri. Bahkan, peningkatan
afinitas Hb-O ini dapat mengganggu pelepasan oksigen ke dalam jaringan dan pada
umumnya menimbulkan dampak yang merugikan. (Malley, 1990)
Di sisi lain, penurunan afinitas Hb-O dan pergeseran kurva ke kanan, biasanya
meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan dan sering merupakan mekanisme kompensasi
yang berharga. Pergeseran kurva ke kanan menyebabkan seseorang dengan PO2 90 mmHg
mampu meningkatkan pelepasan oksigen hingga 60 %. Namun, pergeseran ini akan memiliki
dampak yang merugikan ketika seseorang memiliki PO 2 kurang dari 60 mmHg. Ketika terjadi
hipoksemia, pergeseran kurva ke kanan dapat menurunkan masuknya oksigen ke dalam
darah dengan cukup bermakna. Kerugian ini sepertinya lebih berat daripada manfaatnya.
(Malley, 1990)
DPG normal dalam darah mempertahankan kurva disosiasi oksigen-hemoglobin sedikit
bergeser ke kanan setiap saat. Tetapi, pada keadaan hipoksia yang berlangsung lebih dari beberapa
jam, jumlah DPG akan meningkat, dengan demikian, menggeser kurva disosiasi oksigen-hemoglobin
lebih ke kanan. Ini menyebabkan oksigen dilepaskan ke jaringan pada tekanan oksigen 10 mmHg lebih
besar daripada keadaan tanpa peningkatan DPG ini. Oleh karena itu, pada beberapa keadaan, hal ini
dapat menjadi suatu mekanisme penting untuk menyesuaikan diri terhadap hipoksia, khususnya
terhadap hipoksia akibat aliran darah jaringan yang kurang baik. Namun, adanya kelebihan DPG juga
akan menyulitkan hemoglobin untuk bergabung dengan oksigen dalam paru bila PO2 alveolus
dikurangi, dengan demikian kadang-kadang menimbulkan resiko juga selain manfaat. Oleh karena itu
pergeseran kurva disosiasi DPG memberi manfaat pada keadaan tertentu tetapi merugikan pada
keadaan lain. (Brandis, 2006)
Pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin sebagai respon terhadap perubahan karbon
dioksida dan ion hidrogen memberi pengaruh penting dalam meninggikan oksigenasi darah dalam paru
serta meningkatkan pelepasan oksigen dari darah dalam jaringan. Ini disebut Efek Bohr, dan dapat
dijelaskan sebagai berikut: Ketika darah melalui paru, karbon dioksida berdifusi dari darah ke dalam
alveoli.Ini menurunkan PCO2 darah dan konsentrasi ion hidrogen sebagai akibat penurunan asam
karbonat darah. Efek dari dua keadaan ini menggeser kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri dan
ke atas. Oleh karena itu, jumlah oksigen yang berikatan dengan hemoglobin menyebabkan PO2
alveolus meningkat, dengan demikian transpor oksigen ke jaringan lebih besar. Bila darah mencapai
jaringan kapiler, terjadi efek yang tepat berlawanan. Karbon dioksida yang memasuki darah dari
jaringan menggeser kurva ke kanan, memindahkan oksigen dari hemoglobin ke jaringan dengan PO2
yang lebih tinggi daripada seandainya tidak terjadi demikian. (Brandis, 2006)
Faktor-faktor lain yang bisa menyebabkan pergeseran kurva disosiasi :
 Effects of carbon dioxide. Carbon dioxide mempengaruhi kurva dengan 2 cara : pertama,
dengan mempengaruhi intracellular pH (the Bohr effect), dan kedua, akumulasi CO2 menyebabkan
penggunaan carbamine. Penurunan carbamin akan menggeser kurva ke kiri. (Brandis, 2006)
 Carbon Monoxide. Karbon monoksida mengikat hemoglobin 240 kali lebih kuat daripada
dengan oksigen, oleh karena itu keberadaan karbon monoksida dapat mempengaruhi ikatan
hemoglobin dengan oksigen. Selain dapat menurunkan potensi ikatan hemoglobin dengan oksigen,
karbon monoksida juga memiliki efek dengan menggeser kurva ke kiri. Dengan meningkatnya jumlah
karbon monoksida, seseorang dapat menderita hipoksemia berat pada saat mempertahankan
PO2 normal. (Brandis, 2006)
 Effects of Methemoglobinemia (bentuk hemoglobin yang abnormal). Methemoglobinemia
menyebabkan pergeseran kurva ke kiri.6
 Fetal Hemoglobin. Fetal hemoglobin (HbF) berbeda secara struktur dari normal hemoglobin
(Hb). Kurva disosiasi fetal cenderung bergerak ke kiri dibanding dewasa. Umumnya, tekanan oksigen
arteri pada fetal rendah, sehingga pengaruh pergeseran ke kiri adalah peningkatan uptake oksigen
melalui plasenta. (Brandis, 2006)

PENGANGKUTAN O2

O2 yang diangkut darah terdapat dalam 2 bentuk


O2 yang terlarut
O2 yang terikat secara kimia dengan Hb.
Jumlah O2 terlarut plasma darah berbanding lurus dengan tekanan parsialnya dalam
darah.
Pada keadaan normal, jumlah O2 terlarut sangat sedikit, karena kelarutannya dalam
cairan tubuh sangat rendah.
Pada PO2 darah 100mmHg, hanya + 3 mL O2 yang terlarut dalam 1 L darah.
Dengan demikian, pada keadaan istirahat, jumlah O2 terlarut yang diangkut hanya + 15
mL/menit.
Karena itu, transpor O2 yang lebih berperan adalah dalam bentuk ikatan dengan Hb.
Hb dapat mengikat 4 atom O2 per tetramer (1 @ subunit heme)
Atom O2 terikat pada atom Fe2+, pada ikatan koordinasi ke-5 heme.
Hb yang terikat pada O2 disebut oksihemoglobin (HbO2)
Dan yang sudah melepaskan O2 disebut deoksihemoglobin.
Hb dapat mengikat CO menjadi karbonmonoksidahemoglobin (HbCO), yang ikatannya
200x lebih besar daripada dengan O2.
Dalam keadaan lain, Fe2+ dapat teroksidasi menjadi Fe3+ membentuk methemoglobin
(MetHb).

Yang menyebabkan O2 terikat pada Hb adalah jika sudah terdapat molekul O2 lain pada
tetramer yang sama.
Jika O2 sudah ada, pengikatan O2 berikutnya akan lebih mudah. Sifat ini disebut
‘kinetika pengikatan komparatif’, yaitu sifat yang memungkinkan Hb mengikat O2 dalam
jumlah maksimal pada organ respirasi dan memberikan O2 secara maksimal pada PO2 jaringan
perifer.
Pengikatan O2 disertai putusnya ikatan garam antar residu terminal karboksil pada
keseluruhan 4 subunit.
Pengikatan O2 berikutnya dipermudah karena jumlah ikatan garam yang putus menjadi
lebih sedikit.
Perubahan ini mempengaruhi struktur sekunder, tersier dan kuartener Hb, sehingga
afinitas heme terhadap O2 meningkat.
Setiap atom Fe mampu mengikat 1 molekul O2 sehingga tiap molekul Hb dapat mengikat
4 molekul O2.
Hb dikatakan tersaturasi penuh dengan O2 bila seluruh Hb dalam tubuh berikatan secara
maksimal dengan O2.
Kejenuhan Hb oleh O2 sebanyak 75% bukan berarti 3/4 bagian dari jumlah molekul Hb
teroksigenasi 100%, melainkan rata-rata 3 dari 4 atom Fe dalam setiap molekul Hb berikatan
dengan O2.

Faktor terpenting untuk menentukan % saturasi HbO2 adalah PO2 darah.


Menurut hukum kekekalan massa, bila konsentrasi substansi pada reaksi reversibel
rneningkat, reaksi akan berjalan ke arah berlawanan.
Bila diterapkan di reaksi reversibel Hb& O2, maka peningkatan PO2 darah akan
mendorong reaksi kekanan, sehingga pembentukan HbO2 (% saturasi HbO2) meningkat.
Sebaliknya penurunan PO2, menyebabkan reaksi bergeser ke kiri, O2 dilepaskan Hb,
sehingga dapat diambil jaringan.
PENGANGKUTAN CO2

CO2 yang dihasilkan metabolisme jaringan akan berdifusi ke dalam darah dan diangkut dalam 3
bentuk, yaitu:

CO2 terlarut - Daya larut CO2 dalam darah ; O2, namun pada PCO2 normal, hanya +10% yang
ditranspor berbentuk terlarut.

Ikatan dengan Hb dan protein plasma

+30% CO2 berikatan dengan bagian globin dari Hb, membentuk HbCO2 (karbaminohemoglobin).

Deoksihemoglobin memiliki afinitas lebih besar terhadap CO2 dibandingkan O2.

Pelepasan O2 di kapiler jaringan meningkatkan kemampuan pengikatan Hb dengan CO2. Sejumlah


kecil CO2 juga berikatan dengan protein plasma (ikatan karbamino), namun jumlahnya dapat
diabaikan.

Kedua ikatan ini merupakan reaksi longgar dan reversibel.

Ion HCO3 : 60-70% total CO2. Ion HCO3 terbentuk dalam eritrosit melalui reaksi:

CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3-

Setelah melepas O2, Hb dapat langsung mengikat CO2 dan mengangkutnya dari paru untuk
dihembuskan keluar. CO2 bereaksi dengan gugus α-amino terminal hemoglobin, membentuk
karbamat dan melepas proton yang turut menimbulkan efek Bohr.

Konversi ini mendorong pembentukan jembatan garam antara rantai α dan β, sebagai ciri khas
status deoksi.

Pada paru, oksigenasi Hb disertai ekspulsi, kemudian ekspirasi CO2.

Dengan terserapnya CO2 ke dalam darah, enzim karbonik anhidrase dalam eritrosit akan
mengkatalisis pembentukan asam karbonat, yang langsung berdisosiasi menjadi bikarbonat dan
proton.

Membran eritrosit relatif permeabel bagi ion HCO3, namun tidak untuk ion H.

Akibatnya, ion HCO3 berdifusi keluar eritrosit mengikuti perbedaan konsentrasi, tanpa disertai difusi
ion H.

Untuk mempertahankan pH tetap netral, keluarnya ion HCO3 diimbangi dengan masuknya ion Cl ke
dalam sel, yang dikenal sebagai ‘chloride shift’. Ion H di dalam eritrosit akan berikatan dengan Hb.
Karena afinitas deoksihemoglobin terhadap ion H > O2, sehingga walaupun jumlah ion H dalam
darah meningkat, pH relatif tetap karena ion H berikatan dengan Hb.

Fenomena pembebasan O2 dari Hb yang meningkatkan kemampuan Hb mengikat CO2 dan ion H
dikenal sebagai efek Haldene.

Dalam paru, proses tersebut berlangsung terbalik, yaitu seiring terikatnya Hb dan O2, proton dilepas
dan bergabung dengan bikarbonat, sehingga terbentuk asam karbonat.

Dengan bantuan enzim karbonik anhidrase, asam karbonat membentuk gas CO2 yang dihembuskan
keluar. Jadi, pengikatan O2 memaksa ekspirasi CO2. Fenomena ini dinamakan efek Bohr.

Anda mungkin juga menyukai