1. Hukum-Hukum
Hukum Faraday. Pada 1831 Faraday (1791-1867) menunjukkan bahwa
gejala listrik dapat dibangkitkan dari magnet. Dari kumpulan catatan
hasil percobaan yang dilakukan oleh Faraday, suatu formulasi matematis
telah diturunkan untuk menyatakan hukum Faraday, yaitu :
dλ
e=− (1)
dt
dengan e menunjukkan tegangan induksi [volt] pada suatu kumparan,
dan λ adalah fluksi lingkup yang dicakup oleh kumparan. Jika kumparan
mempunyai lilitan dan setiap lilitan mencakup fluksi magnit sebesar φ
[weber], maka fluksi lingkup adalah λ = φ [weber-lilitan] dan (1)
menjadi
1
dφ
e = − (2)
dt
Tanda negatif pada (1) diberikan oleh Emil Lenz, yang setelah
melanjutkan percobaan Faraday menunjukkan bahwa arah arus induksi
selalu sedemikian rupa sehingga terjadi perlawanan terhadap aksi yang
menimbulkannya. Reaksi demikian ini disebut hukum Lenz.
Persamaan (5) ini berlaku jika kedua kawat adalah sebidang. Jika kawat
ke-dua membentuk sudut θ dengan kawat pertama maka (5) menjadi
F = BlI1 sin θ (6)
µ 0 = 4π × 10 −7 (8)
[henry ]
dengan satuan . Hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.
[meter ]
[volt ] [detik ]
karena = [henry ] yaitu satuan induktansi.
[amp]
3
Intensitas Medan Magnet. Dalam perhitungan-perhitungan rangkaian
magnetik, akan lebih mudah jika kita bekerja dengan besaran magnetik
yang tidak tergantung dari medium. Hal ini terutama kita temui pada
mesin-mesin listrik dimana fluksi magnetik menembus berbagai macam
medium. Oleh karena itu didefinisikan besaran yang disebut intensitas
medan magnetik , yaitu
B
H≡ (10)
µ
∫ Hdl = Fm (11)
5
COTOH-1 : Suatu toroid terdiri dari dua macam material
ferromagnetik dengan belitan pembangkit medan magnetik yang
terdiri dari 100 lilitan, seperti
terlihat pada gambar di samping
ini. Material a adalah besi nikel
+ R
(nickel iron) dengan panjang
E
− La Lb rata-rata La = 0,4 m. Material b
adalah baja silikon (medium
silicon sheet steel) dengan
panjang rata-rata Lb = 0,2 m. Kedua bagian itu mempunyai luas
penampang sama, yaitu 0,001 m2. a). Tentukan Fm yang diperlukan
untuk membangkitkan fluksi φ = 6×10−4 weber. b). Hitung arus yang
harus mengalir pada belitan agar nilai fluksi tersebut tercapai.
Penyelesaian :
Untuk memperoleh Fm total yang diperlukan, kita aplikasikan hukum
rangkaian Ampère pada rangkaian magnetik ini.
Fm total = Fma + Fmb = H a L a + H b L b
1.5
1
Medium silicon sheet
0.75 steel
0.25
Cast iron
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
H [ampre-turn / meter]
Pemahaman :
Dalam pemecahan persoalan di atas, karakteristik medium tidak
dinyatakan oleh permeabilitas medium, melainkan oleh karakteristik
B-H dari masing-masing material. Kita lihat dari kutipan kurva B-H
pada Gb.1, bahwa hubungan antara B dan H adalah tidak linier.
Apabila kita menginginkan gambaran mengenai besar permeabilitas
masing-masing material, kita dapat menghitungnya dengan cara
yang diuraikan berikut ini.
Permeabilitas dari material a dan b masing-masing pada titik operasi
ini adalah
7
Ba 0,6
µa = = = 0,06 henry/meter
H a 10
µa 0.06
→ µr a = = = 47740
µ 0 4π × 10 −7
Bb 0,6
µb = = = 0,0092 henry/meter
Hb 65
µ 0,0092
→ µr b = b = = 7340
µ 0 4π × 10 −7
9
Perhitungan secara grafis ini tentu mengandung ketidak-telitian. Jika
kesalahan yang terjadi adalah ± 5%, maka hasil perhitungan ini
dapat dianggap memadai.
Pemahaman :
Jika kita bandingkan hasil pada Contoh-1. dan 1.2. maka akan
terlihat hal berikut.
Contoh-1. :
I = 0,17 A → B = 0,6 tesla → φ = 6 × 10 −4 weber
Contoh-2. :
I = 0,35 A → B = 0,825 tesla → φ = 8,25 × 10 −4 weber
Dapat kita simpulkan bahwa menaikkan arus belitan menjadi dua
kali lipat tidak menghasilkan fluksi dua kali lipat. Hal ini disebabkan
oleh karakteristik magnetisasi material yang tidak linier.
a b c
0.15 m
d
f e
0.15 m 0.15 m
Penyelesaian :
Rangkaian magnetik ini mempunyai tiga cabang, yaitu
cabang efab dengan reluktansi ℜ1; be dengan reluktansi ℜ2 dan
bcde dengan reluktansi ℜ3.
Rangkaian ekivalen dari rangkaian ℜ1
magnetik ini dapat digambarkan F ℜ2 ℜ3
m
seperti di samping ini. Fluksi yang
diminta di kaki kanan adalah φ3 =
Melihat lagi kurva B-H, kita dapatkan untuk H2 ini B2 = 1,125 tesla .
Luas penampang kaki kiri adalah 0,002 m2, sama dengan kaki kanan.
Kerapatan fluksinya adalah
φ1 0,0023
B1 = = = 1,15 tesla
0,002 0,002
11
Fmtot = Fm1 + Fm 2 + Fm3 = 108 + 36 + 36 = 180 AT
Pemahaman :
Dengan menghilangkan kaki tengah, mmf yang diperlukan menjadi
lebih kecil. Bagaimanakah jika kaki tengah diperbesar luas
penampangnya ?
Memperbesar penampang kaki tengah tidak mempengaruhi
kerapatan fluksi di kaki ini sebab Fm3 tetap harus muncul di kaki
tengah. H2 tak berubah, yaitu H2 = Fm3/Lbe = 240 AT/m dan B2 juga
tetap 1,125 tesla. Jika penampang kaki tengah diperbesar, φ2 akan
bertambah sehingga φ1 juga bertambah. Hal ini menyebabkan
meningkatnya B1 yang berarti meningkatnya H1 sehingga Fm1 akan
bertambah pula. Dengan demikian Fm total akan lebih besar.
Penjelasan ini menunjukkan seolah-olah kaki tengah bertindak
sebagai “pembocor” fluksi. Makin besar kebocoran, makin besar
mmf yang diperlukan.
13
energi yang disimpan. Sisa energi yang tidak dapat dilepaskan
digambarkan oleh luas bidang abca, dan ini merupakan energi yang
diserap oleh material dan tidak keluar lagi (tidak termanfaatkan)
sehingga disebut rugi energi histerisis.
Analisis di atas hanya memperhatikan setengah siklus saja. Untuk satu
siklus penuh, kerapatan rugi energi histerisis adalah luas bidang dari
loop histerisis. Jika kerapatan rugi energi histerisis per siklus (= luas loop
histerisis) kita sebut wh , dan jumlah siklus per detik (frekuensi) adalah f
, maka untuk material dengan volume v m3 besar rugi energi histerisis
per detik atau rugi daya histerisis adalah
joule
Ph = wh f v = wh f v [watt] (17)
det ik
Untuk menghindari perhitungan luas loop histerisis, Steinmetz
memberikan formula empiris untuk rugi daya histerisis sebagai
Ph = v f ( K h Bmn ) (18)
Rugi Arus Pusar. Jika medan magnetik berubah terhadap waktu, selain
rugi daya histerisis terdapat pula rugi daya yang disebut rugi arus pusar.
Arus pusar timbul sebagai reaksi terhadap perubahan medan magnet. Jika
material berbentuk balok pejal, resistansi material menjadi kecil dan rugi
arus pusar menjadi besar. Untuk memperbesar resistansi agar arus pusar
kecil, rangkaian magnetik disusun dari lembar-lembar material magnetik
yang tipis (antara 0,3 ÷ 0,6 mm). Formula empiris untuk rugi arus pusar
adalah
2
Pe = K e f Bm2 τ 2 v watt (19)
4. Gaya Magnetik
Energi yang tersimpan dalam B
B
medan magnetik dapat B1 b a
digunakan untuk melakukan
kerja mekanik (misalnya
menarik tuas rele). Untuk
mempelajari bagaimana gaya
ini dapat timbul, kurva B-H H 0 H1 H
normal yang tidak linier
seperti terlihat pada Gb.3.a, a) b)
kita dekati dengan suatu Gb.3. Linierisasi Kurva B-H.
kurva linier seperti pada
Gb.3.b. Jika kita menaikkan H dari 0 ke H1, maka B naik dari 0 ke B1.
Luas bidang 0ab0 menyatakan kerapatan energi yang tersimpan dalam
material, dan besarnya adalah
1
w f = B1 H 1 joule/m3
2
Secara umum, dengan medan magnetik sebesar H dalam suatu material
akan terdapat kerapatan simpanan energi sebesar
1
wf = BH joule/m3 (20)
2
Perhatikan bahwa (20) kita peroleh setelah kita melakukan linierisasi
kurva B-H.
Karena (20) menunjukkan kerapatan energi, maka jika kita kalikan
dengan volume dari rangkaian magnetik kita akan mendapatkan energi
total yang tersimpan dalam rangkaian tersebut. Misalkan luas penampang
rangkaian A dan panjangnya L, maka energi total menjadi
1 1 1
W= BHAL = ( BA)( HL) = φFm joule (21)
2 2 2
Antara fluksi φ dan Fm terdapat hubungan φ = Fm / ℜ , sehingga (21)
dapat juga dituliskan
2
1 1 Fm 1 2
W= φFm = = φ ℜ joule (22)
2 2 ℜ 2
15
Untuk memahami timbulnya gaya
magnetik, kita lakukan percobaan R
dengan suatu rangkaian magnetik
+
yang terdiri dari tiga bagian yaitu Vs −
gandar, celah udara, dan jangkar,
seperti terlihat pada Gb.4.
Rangkaian ini dicatu oleh sumber gandar
tegangan Vs yang diserikan dengan Lg
resistor variabel R. Luas
penampang gandar sama dengan Lj
luas penampang jangkar. Untuk x
jangkar
suatu kedudukan jangkar tertentu,
dengan Vs dan R tertentu, terjadi Gb.4. Rangkaian
eksitasi sebesar Fm yang akan magnetik dengan jangkar
membuat simpanan energi dalam
rangkaian magnetik ini sebesar
W=
1 2
2
(
φ g ℜ g + φ u2 ℜ u + φ 2j ℜ j ) (23)
17
1 −1
Fx dx = −dW = − d ( Fm2 ℜ tot )
2
(28)
( )
2
1 d −1 1 Fm dℜ tot 1 dℜ tot
→ Fx = − Fm2 ℜ tot =− = − φ2
2 dx 2
2 ℜ tot dx 2 dx
Dengan persamaan (28) ini kita dapat menghitung gaya mekanik pada
jangkar rele elektromekanik, plunger, dan lain-lain peralatan listrik yang
memanfaatkan gaya magnetik.
d Lu d (2 x) φ2
Karena =− = −2 maka Fx = newton
dx dx µ0 A
ℜu 47740
untuk besi nickel : = ≈ 159 .
ℜg + ℜ j 300
5. Induktor if
Perhatikan rangkaian + +
induktor (Gb.5). Apabila
resistansi belitan dapat
v1 ≈ e1 1 φ
− −
diabaikan, maka menurut
hukum Kirchhoff
Gb.5. Rangkaian induktor.
di f
− v1 + e1 = 0 → v1 = e1 = L
dt
(29)
Persamaan (29) adalah persamaan rangkaian listrik yang terdiri dari
sumber v1 dan beban induktor L. Tegangan e1 adalah tegangan jatuh
pada induktor, sesuai dengan konvensi pasif pada dalam analisis
rangkaian listrik.
19
Sekarang kita lihat rangkaian magnetiknya dengan menganggap inti
induktor ideal (luas kurva histerisis material inti sama dengan nol).
Dalam rangkaian magnetik terdapat fluksi magnetik φ yang ditimbulkan
oleh arus if. Perubahan fluksi φ akan membangkitkan tegangan induksi
pada belitan sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.
dφ
et = − 1 (30)
dt
Tanda “−” pada (30) mempunyai arti bahwa tegangan induksi et harus
mempunyai polaritas yang akan dapat memberikan arus pada rangkaian
tertutup sedemikian rupa sehingga arus tersebut akan memberikan fluksi
lawan terhadap fluksi pembangkitnya, yaitu φ. Menurut kaidah tangan
kanan, polaritas tersebut adalah seperti polaritas e1 pada Gb.5. Jadi tanda
“−” pada (30) terpakai untuk menetapkan polaritas et sedangkan nilai et
tentulah sama dengan tegangan jatuh e1. Jadi
dφ di f
et = 1 = e1 = L (31)
dt dt
Persamaan (31) menunjukkan bahwa φ dan if berubah secara bersamaan.
Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus if yang juga
berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa. Arus if sendiri
berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk sinus. Jadi
dalam sistem ini baik tegangan, arus maupun fluksi mempunyai
frekuensi sama dan dengan demikian konsep fasor yang kita pelajari di
Bab-5 dapat kita gunakan untuk melakukan analisis pada sistem ini, yang
merupakan gabungan dari rangkaian listrik dan rangkaian magnetik. Jika
resistansi belitan diabaikan, persamaan (29) dan (31) dapat kita tulis
dalam bentuk fasor sebagai
E1 = jωLI f ; E t = jω 1Φ = E1 = jωLI f (32)
Diagram fasor dari keadaan terakhir ini diperlihatkan oleh Gb.6.c. Dalam
keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain untuk
mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya pada
belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, Pcu.
21
Penyelesaian: Dengan mengabaikan resistansi belitan maka
1ωΦ maks
E1 = V1 → = 115
2
115 2
⇒ Φ maks = = 0,00108 weber
400 × 2π × 60
Agar kerapatan fluksi tidak lebih dari 1,2 tesla maka
Φ maks Φ 0,00108 2
≤ 12 ⇒ A ≥ maks = m = 9 cm 2 .
A 1,2 1,2
dφ d 1i f 12 di f di f
1 = 1 =
ℜ dt = L
dt dt ℜ dt
12 µA
sehingga L= = 12 (36)
ℜ L
Induktansi Bersama. Jika pada induktor Gb.5. kita tambahkan belitan
kedua, maka pada belitan kedua ini akan diimbaskan tegangan oleh φ
seperti halnya pada belitan pertama. Besar tegangan imbas ini adalah
dφ d 1i f 2 1 di f
e2 = 2 = 2 = (37)
dt dt ℜ ℜ dt
Jika belitan kedua ini tidak dialiri arus (dalam keadaan terbuka), kita tahu
dari pembahasan di bab terdahulu mengenai induktansi bersama bahwa
di2 di f di f
e 2 = L2 +M =M
dt dt dt
sehingga kita peroleh induktansi bersama
2 1 µA
M= = 2 1 (38)
ℜ L
22 Sudaryatno Sudirham, Rangkaian Magnetik
Pembahasan di atas memperlihatkan bahwa rangkaian induktor dapat kita
analisis dari sudut pandang rangkaian listrik dengan mengaplikasikan
hukum Kirchhoff yang kemudian menghasilkan persamaan (29). Kita
dapat pula memandangnya sebagai rangkaian magnetik dan
mengaplikasikan hukum Faraday dimana fluksi magnetik yang berubah
terhadap waktu (dibangkitkan oleh arus magnetisasi if) menimbulkan
tegangan induksi pada belitan.
Penyelesaian :
Induktansi bersama :
2 1 1250 ×140
M = = = 1,094 ≈ 1,1 H
ℜ 160000
23
Penyelesaian :
Arus 5 A membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Dengan jumlah lilitan
1000 maka reluktansi dapat dihitung
1000 × 5
ℜ= = 10 8
0,05 × 10 −3
Induktansi masing-masing Gb.28.7. Diagram fasor induktor riil.
2 1000 2
L= = = 10 −2 H = 10 mH.
ℜ 10 8
Fluksi yang melingkupi kumparan yang lain 60% dari fluksi yang
dibangkitkan di salah satu kumparan. Reluktansi bersama adalah
ℜ 10 8
ℜM = = = 1,667 × 10 8
0.6 0,6
Induktansi bersama
1 2 1000 × 1000
M= = = 0,6 × 10 −2 H = 6 mH
ℜM 1,667 × 10 8
Catatan Tentang Diagram Fasor. Dalam menurunkan fasor tegangan
induksi Et , kita berangkat dari persamaan (30) dengan mengambil
tanda “−” sebagai penentu polaritas. Hasilnya adalah Et merupakan
tegangan jatuh pada belitan, sama dengan E1, dan hal ini ditunjukkan
oleh persamaan (32). Kita dapat pula memandang tegangan
terbangkit Et sebagai tegangan naik Et = −E1, dengan mengikut
sertakan tanda “−” pada (30) dalam perhitungan dan bukan
menggunakannya untuk menentukan polaritas. Jika ini kita lakukan
maka
E t = − jω1Φ = − E1 = − jωLI f (39)
Ic
VL
Et
Iφ γ If
b). ada rugi-rugi inti Φ
Ic VL
Et If R1
Iφ θ
If Vs
c). ada resistansi belitan Φ
25