Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MATA KULIAH EKONOMI KESEHATAN

MANAGED CARE

KELOMPOK 11

Herdinta Salsabella K (101611133047)


Adilah Anindito Difa Putri (101611133083)
Eka Fitria Sari (101611133116)
Lina Juhaidah (101611133167)
Hafiza Ajeng Dianing Sukma (101611133187)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

i
PEMBAHASAN
DEFINISI MANAGED CARE
Definisi managed care menurut Marcinko & Hetico (2006) ada tiga pengertian
antara lain:
1. Suatu sistem yang mengintegrasikan asuransi kesehatan, pembiayaan dan
fungsi pelayanan kesehatan termasuk risk sharing dalam rangka pemberian
pelayanan kesehatan dan menentukan jaringan provider (PPK);
2. Suatu sistem pembiayaan kesehatan atau pelayanan kesehatan yang
dirancang agar sebuah plan asuransi kesehatan dapat mengontrol dan
mengkoordinasikan pelayanan kesehatan dengan mewajibkan anggotanya
untuk menekan belanja kesehatan dan meningkatkan kualitas
3. Suatu pendekatan terhadap pemberian pelayanan kesehatan dan pemberian
manfaat, yang dirancang dengan mengintergrasikan pengelolaan dan
koordinasi pelayanan dengan pembiayaan, yang diharapkan dapat
mempengaruhi utilisasi, biaya, kualitas, dan hasil.
Maka, dapat disimpulkan bahwa managed Care merupakan sebuah sistem
yang menggabungkan antara pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan
upaya-upaya untuk memindahkan risiko sehingga diperoleh efisiensi dalam
pemberian pelayanan kepada pasien (Heryana, 2018).

CIRI MANAGED CARE


1. Kontrol utilisasi yang ketat sesuai mekanisme kontrak. Adanya kerjasama
antara pemberi layanan jasa kesehatan (provider) dan lembaga
penyelenggara asuransi.
2. Monitoring dan kontrol pelayanan yang diberikan.
3. Memakai dokter umum dan tenaga medik lainnya untuk mengelola pasien.
4. Menciptakan layanan kesehatan yangsesuai dengan standar yang ditetapkan
5. Ada program perbaikan kualitas
6. Sistem reimburse yang membuat sarana pelayanan kesehatan (dokter,
puskesmas, rumah sakit, dll) dapat mempertanggung jawabkan biaya dan
kualitas layanan kesehatan.

1
TEKNIK-TEKNIK MANAGED CARE
Untuk mencapai tujuan pada monitoring pelayanan kesehatan dan
pembiayaan, managed care sering bergantung pada serangkaian teknik manajemen,
atau yang lebih sering disebut sebagai teknik managed care (Conrad & Christianson,
2004). Beberapa teknik managed care yaitu critical practice guidelines, formularies,
profiling, utilization management, dan payment mechanisms.
Critical Practice Guidelines (CPGs) atau Pedoman Praktik Klinis adalah
serangkaian upaya untuk menstandarisasi pelayanan medis dan mengurangi variasi
praktik. Variasi praktik bukan hanya meningkatkan hasil yang tidak pasti dan
mengarah ke arah yang lebih buruk daripada hasil yang diinginkan pasien, tetapi juga
meningkatkan total biaya untuk kondisi medis tertentu. Pada kondisi yang lain,
standarisasi praktik klinis dan manajemen aktif ini mempunyai dampak yang positif
terhadap hasil pasien (Ara, 2004) dan menghemat biaya pelayanan kesehatan
(O’Brien, Jacobs & Pierce, 2000). CPGs memang tidak hanya untuk managed care.
Tetapi CPGs memberikan pengelolaan biaya dan pandangan pemantauan praktik
managed care, managed care bisa lebih aktif untuk mengimplementasikan CPGs
(Conrad & Christianson, 2004; Shapiro, Tym, Gudmundson, Derse & Klein, 2000).
Formularies digunakan dalam rencana kesehatan untuk mempromosikan
biaya efektif penggunaan obat. Pada tingkat tertentu, formularies dapat dilihat sebagai
pedoman praktik untuk resep. Satu-satunya perbedaan adalah adanya insentif
ekonomi yang kompleks yang dibuat dalam formularies. Managed care
mempromosikan pencegahan dan rawat jalan, yang untuk tingkat tertentu,
meningkatkan biaya pengobatan. Maka dari itu teknik formularies ada dalam konsep
managed care untuk mengefektifkan biaya pengobatan.
CPGs dan formularies mengatur tentang pedoman praktik untuk dokter atau
penyedia layanan kesehatan, sedangkan profiling adalah teknik lain yang digunakan
dalam managed care untuk mengurangi praktik variasi. Di dalam proses profiling,
dokter memberikan umpan balik terhadap hasil, nilai guna, sumber daya yang
dibutuhkan, dibandingkan dengan kelompok sebaya mereka. Tiap tekanan dan aksi
organisasi, dokter diharapkan mengubah perilaku mereka untuk mencapai hasil yang
beragam dan kontrol biaya yang lebih baik.
Manajemen utilization atau manajemen pemanfaatan merupakan ciri inti dari
managed care, meskipun tidak terbatas pada managed care saja. Ada beberapa
2
kegiatan pengelolaan manajemen pemanfaatan. Tujuan umumnya adalah
melaksanakan pemanfaatan layanan kesehatan yang tepat bagi pasien, yang sering
diartikan sebagai penurunan utilisasi dan pengurangan biaya. Utilisasi yang paling
umum adalah pertimbangan utilisasi, termasuk; pra-otorisasi (penguasaan) dan
concurrent review, manajemen kasus dan gatekeeping. Konflik langsung yang terjadi
antara dokter dan managed care adalah sering berlaku pada manajemen utilisasi
ketika dokter dan perencana managed care tidak setuju pada kelayakan layanan
tertentu. Dokter sering kritis terhadap manajemen utilisasi (Wickizer & Lessler, 2002)
dan menunjukkan ketidakpuasan yang tinggi terhadap penggunaan teknik tersebut
(Conrad & Christianson, 2004).
Payment mechanisms atau insentif keuangan melengkapi teknik managed
care yang lain sesuai dengan pemenuhan kebijakan managed care, atau bertindak
secara independen sebagai kategori dalam managed care untuk mencapai semua
penahanan biaya dan peningkatan pelayanan. Payment mechanisms dapat
dikategorikan dalam prospective, retrospective atau metode campuran (Robinson,
1999).
Pada referensi lain disebutkan bahwa teknik managed care dimaksudkan
untuk meniadakan moral hazard dalam pelayanan kesehatan yang dapat
mengakibatkan kerugian kesejahteraan masyarakat. Pengendalian biaya layanan
kesehatan dengan cara managed care dilakukan dari dua sisi yaitu dari sisi PPK
(Penyedia Pelayanan Kesehatan) atau disebut dengan supply dan dari sisi peserta
(demand).
1. Kendali Biaya dari Sisi PPK (Supply)
Metode pembayaran fasilitas kesehatan. Menurut Liu & Mills (2007), metode
pembayaran PPK yang ideal diharapkan mampu mendorong ke arah
pengendalian biaya, jaminan mutu dan efisiensi internal. Selain itu disertai
dengan tidak memberikan pelayanan yang berlebihan atau sebaliknya.
a. Utilization Review merupakan suatu metode untuk menjamin mutu
pelayanan terkait dengan pengendalian/penghematan biaya.
Pengendalian biaya utilization review dengan memeriksa apakah
pelayanan kesehatan secara medis perlu diberikan dan apakah
pemberian pelayanan kesehatan sudah tepat.

3
b. Standarisasi pelayanan, upaya pelayanan kesehatan untuk melakukan
pengendalian biaya sekaligus kendali mutu dengan menerapkan suatu
standarisasi pelayanan. Salah satu bentuk standarisasi pelayanan
kesehatan adalah dalam bentuk formularium obat. Peningkatan biaya
kesehatan bisa disebabkan karena pemakaian obat dikuar formularium
yang telah disepakati (Adipratikto, 2004)
2. Kendali Mutu
Perusahaan asuransi, pembayar dan penanggung biaya layanan kesehatan
memiliki persepsi yang berbeda tentang layanan kesehatan yang bermutu.
Bagi suatu penjamin biaya, layanan kesehatan yang bermutu adalah layanan
yang efisien dan dapat memberikan kepuasan kepada pasien. Sedangkan
pengertian mutu secara luas dan komprehensif dari Cosby (1984),
Donabedian (1980) dan Zeithaml e al (1990) adalah sejauh mana realisasi
layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kriteria dan standar
professional medis terkini dan baik yang sekaligus telah memenuhi atau
bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan tingkat efisiensi
yang optimal (Mukti, 2007).

MEKANISME PEMBAYARAN PROVIDER


Kendali biaya dan kendali mutu (managed care) diterapkan untuk Universal
Health Coverage (UHC) melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Konsep
managed care dalam SJSN diharapkan dapat menekan biaya pelayanan yang
diikuti dengan peningkatan kualitas derajat kesehatan masyarakat. Sehingga perlu
adanya mekanisme yang mengatur pembayaran penyedia pelayanan kesehatan
(provider) yang sesuai dengan prinsip managed care. Secara garis besar
mekanisme pembayaran kepada provider dibagi menjadi dua yaitu Retrospective
Payment System (RPS) dan Prospective Payment System (PPS).
a. Sistem Pembayaran Retrospektif atau Retrospective Payment System (RPS)
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014, metode
pembayaran retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas
layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas
layanan yang diberikan, semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan
semakin besar biaya yang harus dibayarkan. Sistem retrospektif membayar
4
besaran biaya pelayanan kesehatan setelah pelayanan kesehatan selesai
diberikan. Sistem ini merupakan sistem yang paling banyak digunakan. Banyak
yang menyebut sistem ini sebagai sebagai sistem "Fee For Service".
Fee for services dalam managed care memiliki perbedaan dengan fee
for service tradisional yakni adanya pengendalian biaya yang dibangun melalui
sistem negotiated fee dan global fee. Negotiated fee adalah seperangkat tarif
yang berlaku untuk setiap jenis pelayanan yang telah disepakati bersama oleh
program Managed Care dan Provider atau PPK. Negotiated fee ditetapkan
berdasarkan pelayanan diskon terhadap tarif provider yang berlaku secara
umum. Sehingga provider dituntut untuk memberikan pelayanan se-efisien
mungkin. Sedangkan global fee adalah seperangkat negotiated fee dimana
didalamnya tercakup satu tarif untuk semua pelayanan yang diberikan pada satu
episode layanan. Global fee adalah anggaran yang akan diterima provider untuk
seperangkat pelayanan, sehingga provider dituntut untuk memberikan
pelayanan yang efektif-biaya (PAMJAKI, 2014).
Kelemahan dari sistem pembayaran ini adalah dari segi pengendalian
biaya. Baik kepada pasien yang bersangkutan ataupun asuransi yang menjadi
penanggungnya. Hal ini dikarenakan fasilitas kesehatan Indonesia tidak punya
insentif atau kepentingan untuk mengendalikan pembiayaan biaya kesehatan.
Justru dengan semakin banyak pelayanan yang diberikan, maka semakin
banyak fee yang diterima.

b. Sistem Pembayaran Prospektif


Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 27 Tahun 2014, metode
pembayaran prospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas
layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan
kesehatan diberikan. Contoh pembayaran prospektif adalah global budget
atau budget system, per diem, kapitasi dan case based payment atau
diagnostic related group (DRG). Jenis pembayaran secara sistem prospektif
antara lain:
a. Global Budget atau Budget System
Pembayaran yang dilakukan berdasarkan anggaran/jumlah biaya yang
tetap yang telah disepakati bersama. Dasar perhitungan biaya dapat
5
melalui mekanisme penyusunan anggaran biaya secara riil diperlukan atau
berdasarkan jumlah peserta (kapitasi).
b. Per Diem (Per hari rawat)
Metode pembayaran per diem merupakan metode pembayaran
kepada provider yang didasarkan pada hasil negosisasi dan kesepakatan
dimana jumlah pembayaran perawatan mengacu kepada jumlah hari rawat
yang dilakukan, tanpa mengindahkan biaya yang digunakan oleh rumah
sakit. Di dalam paket harian rumah sakit, rumah sakit dibayar sesuai
dengan jumlah yang telah ditetapkan, yang meliputi biaya inap serta
sejumlah kelompok tindakan medik. Semakin besar pengelompokkan
tindakan medik, sudah tentu akan semakin tumbuh dorongan efisiensi dan
keuntungan dari aspek penyederhanaan administrasi bagi rumah sakit.
c. Kapitasi
Konsep kapitasi (capitation concept system) adalah sebuah konsep
atau sistem pembayaran yang memberi imbalan jasa pada provider / pusat
pelayanan kesehatan (PPK) berdasarkan jumlah orang yang menjadi tugas
atau kewajiban PPK yang bersangkutan untuk melayaninya didasarkan
atas konsep wilayah, diterima oleh PPK yang bersangkutan dimuka
(prepaid) dalam jumlah yang tetap, tanpa memperhatikan jumlah
kunjungan, pemeriksaan, tindakan, obat dan pelayanan medis lainnya yang
diberikan oleh PPK tersebut.
Pada Pola Kapitasi Penyedia jasa kesehatan (provider) diposisikan
sebagai salah satu penanggung resiko, baik sebagian ataupun seluruhnya.
Dengan hal ini maka diharapkan terjadi efisiensi dan efektifitas pembiayaan
jasa pelayanan kesehatan. Konsep sederhananya adalah Penyedia jasa
pelayanan kesehatan diberikan dana fixed untuk melayani sejumlah peserta
melalui basis per member per month (PMPM). Dengan demikian
diharapkan pembiayaan dapat dikendalikan karena pihak provider juga
mempunyai kepentingan dalam hal tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28 Tahun 2014,
mekanisme pembayaran Kapitasi oleh BPJS Kesehatan didasarkan pada
jumlah peserta yang terdaftar di FKTP sesuai dengan data BPJS
Kesehatan. Pembayaran kapitasi kepada FKTP dilakukan oleh BPJS
6
Kesehatan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berjalan. Sebelum
diundangkannya Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah dan Peraturan
Menteri Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 19 Tahun 2014
tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan
dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama Milik Pemerintah Daerah, pembayaran Dana Kapitasi oleh BPJS
ke FKTP Pemerintah Daerah langsung ke Dinas Kesehatan Kab/Kota yang
selanjutnya disetor ke Kas Daerah (KASDA) atau langsung dari BPJS
Kesehatan ke Kas Daerah sebagai penerimaan daerah. Sejak
diundangkannya Peraturan Presiden No.32 Tahun 2014 dan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No.19 Tahun 2014 dana Kapitasi langsung
dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke FKTP milik Pemerintah Daerah.
Mekanisme pembayaran klaim non Kapitasi pelayanan JKN oleh BPJS
Kesehatan di FKTP milik Pemerintah Daerah dilakukan sesuai ketentuan
yang berlaku.
d. Case Based Payment atau DRG (Diagnostic Related Groups)
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014, di
Indonesia metode pembayaran prospektif dikenal dengan Casemix (case
based payment) dan sudah diterapkan sejak Tahun 2008 sebagai metode
pembayaran pada program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Sistem casemix adalah pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan
mengacu pada ciri klinis yang mirip atau sama dan penggunaan sumber
daya/biaya perawatan yang mirip atau sama, pengelompokan dilakukan
dengan menggunakan software grouper.
Secara sederhana, DRG diartikan sebagai cara pembayaran
pelayanan kesehatan dengan berdasarkan biaya satuan per diagnosis,
tanpa memperhatikan jumlah tindakan/pelayanan yang diberikan. Tujuan
penerapan DRGs adalah untuk upaya pengendalian biaya dan menjaga
mutu pelayanan. Jadi pada sistem ini, pembayaran jasa pelayanan
kesehatan bukan dihitung dari jenis pelayanan medis maupun non medis,
ataupun lama rawat inap yang diterima oleh pasien dalam upaya
7
penyembuhan suatu penyakit. Konsep DRG ini tidak mudah sehingga
hanya dilaksanakan untuk beberapa diagnosa yang terbatas.
Sistem casemix saat ini banyak digunakan sebagai dasar sistem
pembayaran kesehatan di negara-negara maju dan sedang dikembangkan
di negara-negara berkembang. Sistem casemix pertama kali dikembangkan
di Indonesia pada Tahun 2006 dengan nama INA-DRG (Indonesia
Diagnosis Related Group). pada Tahun 2006 dengan nama INA-DRG
(Indonesia Diagnosis Related Group). Implementasi pembayaran dengan
INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 pada 15 rumah sakit vertikal, dan
pada 1 Januari 2009 diperluas pada seluruh rumah sakit yang bekerja sama
untuk program Jamkesmas.
Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur
dari INA-DRG (Indonesia Diagnosis Related Group) menjadi INA-CBG
(Indonesia Case Based Group). Tarif INA-CBGs yang digunakan dalam
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Januari 2014
diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun
2014, dengan beberapa prinsip sebagai berikut:
1. Pengelompokan Tarif 7 kluster rumah sakit yaitu tarif Rumah
Sakit Kelas A, B, B pendidikan, C, D , Rumah Sakit Khusus
dan Rumah sakit Umum Rujukan Nasional. Pengelompokan
tarif berdasarkan penyesuaian setelah melihat besaran
Hospital Base Rate (HBR) sakit yang didapatkan dari
perhitungan total biaya pengeluaran rumah sakit. Apabila
dalam satu kelompok terdapat lebih dari satu rumah sakit,
maka digunakan Mean Base Rate.
2. Regionalisasi, Tarif terbagi atas 5 Regional yang didasarkan
pada Indeks Harga Konsumen (IHK) dan telah disepakati
bersama antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan.
3. Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA-
CBGs versi 4.0 untuk kasus – kasus tertentu yang masuk
dalam special casemix main group (CMG. Top up pada special
CMG tidak diberikan untuk seluruh kasus atau kondisi, tetapi
8
hanya diberikan pada kasus dan kondisi tertentu. Khususnya
pada beberapa kasus atau kondisi dimana rasio antara tarif
INA-CBGs yang sudah dibuat berbeda cukup besar dengan
tarif RS. Penjelasan lebih rinci tentang Top Up dapat dilihat
pada poin D.
4. Tidak ada perbedaan tarif antara rumah sakit umum dan
khusus, disesuaikan dengan penetapan kelas yang dimiliki
untuk semua pelayanan di rumah sakit berdasarkan surat
keputusan penetapan kelas yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan RI.
5. Tarif INA-CBGs merupakan tarif paket yang meliputi seluruh
komponen sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam
pelayanan baik medis maupun non-medis. Untuk Rumah Sakit
yang belum memiliki penetapan kelas, maka tarif INA-CBGs
yang digunakan setara dengan Tarif Rumah Sakit Kelas D
sesuai regionalisasi masing-masing.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014, perbedaan
antara mekanisme pembayaran retrospektif dan prospektif terletak pada kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki keduanya.
Retrospektif Prospektif
Kelebihan Kekurangan Kelebihan Kekurangan
Provider Risiko keuangan Tidak ada intensif Pembayaran lebih Kurangnya
sangat kecil untuk yang adil sesuai kualitas coding
member Preventif dengan akan
Care kompleksitas menyebabkan
pelayanan ketidak sesuaian
Pendapatan Supply induced Proses klaim lebih proses grouping
Rumah Sakit tidak demand cepat (pengelompokan
terbatas kasus)
Pasien Waktu tunggu Jumlah pasien Kualitas Pengurangan
yang lebih singkat sangat banyak, pelayanan baik kuantitas
pelayanan

9
Overcrowded
clinics
Lebih mudah Kualitas Dapat memilih Provider merujuk
mendapat pelayanan provider dengan ke luar / Rumah
pelayanan kurang pelayanan terbaik Sakit lain
dengan teknologi
terbaru
Pembayaran Mudah mencapai Biaya Biaya Memerlukan
kesepakatan administrasi tinggi administrasi lebih monitoring pasca
dengan provider untuk proses rendah klaim
klaim
Meningkatkan Mendorong
resiko keuangan peningkatan
sistem informasi

IMPLEMENTASI MANAGED CARE DI INDONESIA


1. Bentuk-Bentuk
Menurut Sekhri (2000), managed care secara umum dapat diartikan sebagai
pengaturan finansial dan pelayanan kesehatan yang teritegrasi dan
berkesinambungan. Managed care dibagi manjadi beberapa bentuk, yaitu:
a. HMO (Health Maintanance Organization), HMO pertama sekali diperkenalkan
pada tahun 1970-an, yang menjelaskan tentang organisasi spesifik, dimana
jaminan kesehatan, dokter dan rumah sakit berada dalam satu organisasi.
Dokter biasanya bekerja di satu gedung rumah sakit tersebut. Dalam bentuk
ini, dokter mendapatkan gaji, perencana yang memiliki rumah sakit, pasien
(kecuali pasien emergensi) harus menggunakan pembiayaan kesehatan
sesuai peraturan rumah sakit.
b. PPO (Preferred Provider Organization), PPO memiliki kesamaan dengan IPA,
tetapi lebih kepada memilih salah satu dari provider yang ada dan membuat
persetujuan kontrak yang terfokus kepada harga. PPO dapat menarik lebih

10
banyak pasien karena premi yang ditawarkan lebih rendah. Dokter dibayar
dengan sistem fee for service, dengan negosiasi sebelumnya mengenai setiap
pelayanan yang ditawarkan.
c. POS (Point of Service) Sering disebut dengan HMO tanpa pembatas. POS
memiliki sistem kapitasi untuk setiap pendaftar. Kompensasi POS adalah per
pasien per tahun.
2. Hal yang sering dikomplain
Berikut ini merupakan hal yang paling sering dikomplein dari sistem managed
care, yaitu:
1. Cost savings (penghematan biaya) Penghematan biaya yang diklaim oleh
managed care dianggap tidak benar atau tidak berkelanjutan.
2. Provider reimbursemen.t Reimbursement rumah sakit dan kompensasi untuk
dokter terlalu rendah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik
3. Quality of care (kualitas pelayanan). Kualitas pelayanan yang diberikan oleh
organisasi managed care di bawah standar, termasuk penolakan pelayanan,
akses yang sulit untuk konsultasi dengan dokter spesialis dan batas waktu untuk
rawat inap.
3. Keuntungan
Keuntungan dari sistem managed care, yaitu:
a. Manajemen penyakit
Dengan sistem manage care, sistem pembiayaan fee for service
dimana provider membayar untuk suatu penyakit, berubah ke sistem kapitasi
dimana keuntungan dapat diperoleh jika penduduk dalam keadaan sehat.
Pengobatan juga semakin efektif dengan melibatkan pasien dan keluarga
pasien dalam menangani penyakit kronik dan melakukan promosi manfaat dari
regimen obat yang digunakan. Selain itu, target utama lainnya adalah program
manajemen penyakit seperti asma pada anak, diabetes, cedera tulang
belakang, nyeri tulang belakang, penyakit ginjal kronik dan kesehatan mental
dengan biaya yang masuk akal.
b. Pengukuran kualitas
Beberapa teknik digunakan dalam managed care, salah satunya
adalah guideline yang berdasarkan praktik klinik terbaik, buku laporan yang
berkualitas yang berisikan informasi mengenai provider dan kinerja rencana
11
kesehatan dan evidencebased-medicines yang berhubungan dengan
penemuan kedokteran mutakhir serta data efektivitas biaya. Protokol klinis
yang dikembangkan oleh HMOs memiliki efek positif untuk memperpaiki
kualitas. Evidence-based-medicines memerlukan hal tersebut untuk
mempromosikan kualitas pelayanan, baik dokter dan pasien dapat melakukan
diskusi untuk meningkatkan kualitas dalam menentukan pengobatan yang
akan dilakukan.
c. Penyelarasan insentif
Managed care melakukan beberapa cara untuk membayar provider
dengan harga terbaik dan membuat kerangka agar pembiayaan kesehatan
menjadi efektif, produktif dan berkualitas. Biaya juga dibatasi dengan cara
mengeliminasi hal-hal yang tidak sesuai dan tidak penting dalam sistem
pelayanan kesehatan.
Dalam managed care pembayaran pada provider tidak berdasarkan fee
for service dan reimbursment, akan tetapi besar biaya telah ditentukan dan
dibayar untuk memberikan pelayanan yang komprehensif termasuk pelayanan
preventif seperti perawatan anak, imunisasi, papsmears dan lain-lain. Tidak
seperti asuransi indemnity, managed care memberikan pelayanan promotif
dan preventif. Dengan demikian dapat dipandang bahwa managed care
merupakan kombinasi dari perusahaan asuransi kesehatan dan system
pemberian pelayanan kesehatan.
4. SJSN
SJSN adalah program negara yang bertujuan untuk memberi
perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui
program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup
dasar yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya
atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami
kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Dalam
implementasi SJSN, pemerintah membentuk 2 Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan Badan
penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur keseluruhan
tentang SJSN.
12
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 dibentuk berdasarkan
pertimbangan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya
menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.
5. Kendali Mutu dan Kendali Biaya BPJS
Penyelenggaraan kendali mutu BPJS berlandaskan pada Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial
nasional pada pasal 24 alenia (3) “Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial
mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali kendali mutu
pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan”, dan pada Peraturan Presiden
Nomer 12 Tahun 2013 Pasal 42 “Pelayanan kesehatan kepada peserta Jaminan
Kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek
keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien
serta efisiensi biaya”, “Penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan
kesehatan dilakukan secara menyeluruh meliputi pemenuhan standar mutu
fasilitas kesehatan, memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai
standar yang ditetapkan, serta pemantauan terhadap luaran kesehatan
peserta”.Proses penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya (Managed
Care) oleh Badan Pelaksanaan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berdasarkan
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 8 Tahun
2016 Tentang Penerapan Kendali Mutu dan Kendali Biaya pada
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan melalui
pemenuhan standar mutu yang meliputi:
a. Standar mutu Fasilitas Kesehatan
b. Standar proses pelayanan kesehatan
c. Standar luaran kualitas kesehatan Peserta
Dalam rangka penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BPJS Kesehatan
menerapkan strategi pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan di
Fasilitas Kesehatan baik di FKTP dan FKRTL. BPJS Kesehatan membentuk tim
kendali mutu dan kendali biaya yang terdiri dari tim koordinasi dan tim teknis.
Tim koordinasi terdiri dari profesi, akademisi, dan pakar klinis. Sedangkan tim
13
teknis terdiri dari unsur klinisi yang merupakan komite medis rumah sakit yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Tugas dan tanggung jawab tim koordinasi (pasal 11 ayat 1):
a. melakukan evaluasi kebijakan kewenangan tenaga kesehatan
dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi;
b. memberikan rekomendasi apabila terjadi perbedaan pemahaman
antara BPJS Kesehatan dengan FKRTL dalam hal penerapan
mutu pelayanan medis;
c. melakukan pembahasan terhadap usulan perbaikan kebijakan;
d. membahas hasil audit medis yang memerlukan kebijakan baru;
dan
e. melakukan evaluasi pelayanan kesehatan bagi peserta untuk
menyusun profil pelayanan kesehatan dengan menggunakan data
milik anggota tim kendali mutu dan kendali biaya, data milik BPJS
Kesehatan yang berasal dari luaran data aplikasi BPJS
Kesehatan, dan data lainnya.
Tugas dan tanggung jawab tim teknis (pasal 12 ayat 1):
a. melakukan pertemuan pembahasan implementasi JKN yang
mencakup aspek pelayanan kesehatan tingkat pertama dan
pelayanan kesehatan tingkat lanjutan;
b. memberikan rekomendasi apabila terjadi perbedaan pemahaman
antara BPJS Kesehatan dengan FKRTL dalam hal penerapan
mutu pelayanan medis; dan
c. melakukan audit medis sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Kendali Mutu dan Kendali Biaya JKN
Regulasi tentang Kendali Mutu dan Kendali Biaya di JKN yang tertera
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional mengatur perihal kendali mutu
dan kendali biaya ini pada Bab VI pasal 33-38.
Wewenang menteri dalam menjamin kendali mutu dan biaya (pasal 33
ayat 1):
a. penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment);
b. pertimbangan klinis (clinical advisory);
14
c. penghitungan standar tarif;
d. monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan jaminan kesehatan.
Penjabaran tiap-tiap wewenang menteri (pasal 34 ayat 1-5):
1) Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dilakukan dalam
rangka pengembangan penggunaan teknologi dalam penyelenggaraan
jaminan kesehatan untuk peningkatan mutu dan efisiensi biaya serta
penambahan Manfaat jaminan kesehatan.
2) Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan dari
asosiasi fasilitas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan BPJS
Kesehatan.
3) Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tim Health
Technology Assessment (HTA) yang dibentuk oleh Menteri.
4) Tim Health Technology Assessment (HTA) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) bertugas melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan yang
dikategorikan dalam teknologi baru, metode baru, obat baru, keahlian
khusus, dan pelayanan kesehatan lain dengan biaya tinggi.
5) Tim Health Technology Assessment (HTA) memberikan rekomendasi
kepada Menteri mengenai kelayakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) untuk dimasukkan sebagai pelayanan kesehatan
yang dijamin.
Sedangkan pasal 36 menjelaskan bahwa:
Kendali mutu dan kendali biaya pada tingkat Fasilitas Kesehatan
dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan dan BPJS Kesehatan.
Penyelenggaraan kendali mutu dan biaya oleh Fasilitas Kesehatan (pasal
37):
a. pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan
praktik profesi sesuai kompetensi;
b. utilization review dan audit medis;
c. pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan;
dan/atau
15
d. pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, Alat Kesehatan, dan
bahan medis habis pakai dalam pelayanan kesehatan secara
berkala yang dilaksanakan melalui pemanfaatan sistem informasi
kesehatan.
Penyelenggaraan kendali mutu dan biaya oleh BPJS Kesehatan (Pasal 38
ayat 1-4):
1) Penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya oleh BPJS
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dilakukan
melalui pemenuhan standar mutu Fasilitas Kesehatan, pemenuhan
standar proses pelayanan kesehatan, dan pemantauan terhadap
luaran kesehatan Peserta.
2) Dalam rangka penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan
membentuk tim kendali mutu dan kendali biaya yang terdiri dari
unsur organisasi profesi, akademisi, dan pakar klinis.
3) Tim kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat melakukan sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan
dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi, utilization
review dan audit medis; dan/atau pembinaan etika dan disiplin
profesi kepada tenaga kesehatan.
4) Pada kasus tertentu, tim kendali mutu dan kendali biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat meminta informasi
tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan
dan riwayat pengobatan Peserta dalam bentuk salinan/fotokopi
rekam medis kepada Fasilitas Kesehatan sesuai kebutuhan.

KESIMPULAN
Managed Care merupakan sebuah sistem yang menggabungkan antara
pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan upaya-upaya untuk memindahkan
risiko sehingga diperoleh efisiensi dalam pemberian pelayanan kepada pasien. Ciri
dari managed care di antaranya adalah adanya kontrol utilisasi yang ketat sesuai
mekanisme kontrak, Monitoring dan kontrol pelayanan yang diberikan, Memakai
16
dokter umum dan tenaga medik lainnya untuk mengelola pasien, Menciptakan
layanan kesehatan yangsesuai dengan standar yang ditetapkan, Ada program
perbaikan kualitas, dan Sistem reimburse yang membuat sarana pelayanan
kesehatan (dokter, puskesmas, rumah sakit, dll) dapat mempertanggung jawabkan
biaya dan kualitas layanan kesehatan. Teknik dalam managed care yakni Critical
Practice Guidelines, Formularies, Profiling, Utilization Management, dan Payment
Mechanisms. Mekanisme pembayaran dapat berupa Retrospective Payment System
(RPS) atau Sistem Pembayaran Retrospektif dan Prospective Payment System (PPS)
atau Sistem Pembayaran Prospektif. Di Indonesia managed care diimplementasikan
lewat undang-undang SJSN, BPJS, dan JKN.

17
DAFTAR PUSTAKA

Asuransi Sosial Managed Care.


http://ikma11.weebly.com/uploads/1/2/0/7/12071055/ekokes_kel_6.docx.
Diakses pada tanggal 11 September 2018.

Djuhaeini, Henni. 2007. Asuransi Kesehatan dan Manage Care. Program


Pascasarjana Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjajaran:
Bandung.

Heryana, Ade. 2018. Managed Care. Universitas Esa Unggul.


http://kma471.weblog.esaunggul.ac.id/wp-
content/uploads/sites/6475/2017/08/Asuransi-Managed-Care-Pertemuan-
13.pdf. Diakses pada tanggal 15 September 2018.

Marcinko, D. E. & Hetico, H. R., 2006. Dictionary of Health Insurance and Managed
Care. New York: Springer Publicer Company, Inc.

PAMJAKI. (2014). Managed Care Mengintegrasikan Penyelenggaraan


danPembiayaan Pelayanan Kesehatan. Jakarta: PAMJAKI.

Permenkes RI No. 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case
Base Groups (INA-CBGs).

Permenkes RI No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Progam Jaminan


Kesehatan Nasional.

Putri, Eka Asih. 2014. Paham SJSN: Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta:
Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia

Republik Indonesia. 2016. Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


Kesehatan Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penerapan Kendali Mutu dan Kendali

18
Biaya pada Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Sekretariat Negara. Jakarta.

Suhanda, Rachmad. 2015. Jaminan Kesehatan dan Managed Care. Aceh: Universitas
Syiah Kuala.

19

Anda mungkin juga menyukai