Anda di halaman 1dari 4

Etos Kerja dan Kemandirian Hidup

Etos Kerja Islami


Kerja adalah sebuah aktivitas yang telah direncanakan dan dilakukan tahap demi
tahap agar bisa mendapatkan nilai lebih demi memenuhi kebutuhan hidup serta memberikan
manfaat bagi seluruh manusia (Agung, 2007: 112). Dari definisi akan menghasilkan suatu
presepsi, yakni persepsi kliru dengan menafsirkan pekerjaan tidak mengenal waktu dan
tempat sehingga dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun dan presepsi bener bila bekerja
karena memiliki motif untuk mendapatkan nilai tambah, baik dari dirinya sendiri maupun
untuk orang lain. Sehingga menciptakan prinsip bahwa bekerja adalah ibadah dengan
menjadikan taqwa sebagai landasannya dan tujuan utamanya adalah mencari ridha Allah,
tidak semata mengejar materi belaka.
Seorang muslim harus memperhatikan etika bekerja, yaitu:
a. Menyadari pekerjaannya terkait dengan Allah, sehingga membuat dia bersikap
cermat, bersungguh-sungguh dalam bekeerja, dan menjalin hubungan baik dengan
relasinya demi memperoleh keridhaan Allah;
b. Bekerja dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan;
c. Tidak membrikan beban berlebih pada pekerja, alat produksi atau binatang dalam
bekrja. Semua harus dipekerjakan secara profesional dan wajar.
d. Tidak melakukan pekrjaan yang melanggara aturan Allah.
e. Profesional dalam setiap pekerjaan (Ismail, 2012)
Etos Kerja
Kata Etos berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh dan
budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal juga kata etika yang
hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik-buruk
(moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk
mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya mencapai kualitas kerja
yang sesempurna mungkin. Dalam etos tersebut, ada semacam semangat untuk
menyempurnakan segala sesuatu dan menghindari segala kerusakan sehingga setiap
pekerjaannya diarahkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari
hasil pekerjaannya (no single defect) (Ismail, 2012). Berkaitan dengan etos kerja, Allah
berfirman:
Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun
berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan
memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya, orang-orang yang dzalim itu tidak
akan mendapat keberuntungan (Q.S. Al-An’aam: 135)
Allah tidah akan menurunkan rezeki dari langit, tetapi rezeki harus diusahakan. Umat
Islam diharuskan untuk bekerja dan dilarang untuk menganggur atau bermalas-malasan. Hal
ini disebutkan dalam Q.S al-Mulk ayat 15.

Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya
dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.
Ungkapan ’alfaraaghu mafsadtun’ berarti menganggur itu merusak. Sifat malas, tidak
memiliki etos kerja, dan menganggur, hanya akan melahirkan pikiran negatif, kesengsaraan,
penyakit jiwa, kerapuhan jaringan saraf, mengkhayal tanpa realitas, keresahan dan
kegundaan. Sebaliknya, kerja dan semangat akan menghadirkan kreativitas, kegembiraan,
sukacita, dan kebahagiaan.
Dengan bekerja, seseorang bisa hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain.
Dengan bekerja pula, seseorang dapat memiliki harga diri dan percaya diri, bahkan menjadi
manusia terhormat karena bisa meringankan beban orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak bermanfaat (HR. Bukhari
Muslim).
Agar dalam bekerja bisa memperoleh kesuksesan dan keridhaan, terdapat sejumlah
panduan yang perlu dipatuhi, diantaranya adalah:
a. Mulai mencari pekerjaan yang halal.
b. Jadilah pekerja yang jujur (bisa dipercaya) saat mengembangkan usaha.
c. Carilah mitra kerja yang baik dalam bekerja secara baik pula.
d. Gunakan cara yang baik dalam bekerja supaya memperoleh hasil yang baik.
e. Setelahnya memperoleh upah, keluarkanlah sebagian rezeki yang diperoleh untuk
zakat, infak atau sedehah.
f. Bersyukurlah atas nikmat Allah yang diperoleh dengan menjalankan segala perintah-
Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Uchrowi menyatakan bahwa untuk membuka pintu kesuksesan diperlukan lima kunci,
yaitu: berdoa, bercita-cita, bekerja keras, bekerja sama dan berhijrah (Anonim, 2013:14).
Tasmara (2002:73-105) menjelaskan bahwa etos kerja berhubungan dengan:
a. Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik (waktu
maupun kondisi) agar hari esok lebih baik dari hari kemarin.
b. Menghargai waktu. Disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting guna efisinsi
dan efektivitas bekerja.
c. Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi pekerjaan yang dilakukan merupakan
sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan kesungguhan.
d. Hemat dan sederhana agar pengeluaran bermanfaat untuk masa depan.
e. Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar saat bekerja tidak muddah patah
semangat dan berusaha menambah kreativitas diri.
Etos kerja islami memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah: (a) baik dan
bermanfaat; (b) kualitas kerja yang mantap; (c) kerja keras, tekun dan kreatif; (d)
berkompetisi dan tolong-menolong; (e) objektif (jujur); (f) disiplin dan konsekuen; (g)
konsisteen dan istiqomah; (h) percaya diri dan kemandirian; (i) efisien dan hemat (Ismail,
2012).
Kemandirian Dalam Islam
Konsep kemandirian Islam dibangun atas dasar tauhid sehingga manusia bergantung
hanya kepada Allah SWT. Dalam kehidupan, seseorang pasti membutuhkan orang lain, tetapi
tidak dengan membebani orang lain. Dalam Q.S. Al – Ra’d ayat 11 ditegaskan bahwa Allah
tidak mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu gigih mengubah nasibnya sendiri. Setiap
manusia diberi kemampuan Allah untuk mengubah nasibnya sendiri. Hal yang dimaksud
ialah kemampuan manusia untuk mandiri dalam mengarungi hidup untuk sukses di dunia dan
di akhirat kelak.
”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Gymnastiar (2004) menjelaskan bahwa kesungguhan berikhtiar agar tidak menjadi
beban bagi orang lain. selain itu, seseorang harus berani mencoba dan berani menanggung
resiko. Orang yang bermental mandiri tidak menganggap kesulitan sebagai hambatan,
melainkan sebagai tantangan dan peluang. Selanjutnya ialah mempertebal kenyakinan kepada
Allah, sebab dialah Dzat pencipta sekaligus pemberi rizki.
Islam mengutamakan pemahaman bahwa setiap manusia diciptakan oleh Allah SWT
dalam keadaan terbaik (Q.S. Al – tiin:4). Potensi yang dimiliki manusia menunjukkan bahwa
setiap manusia memiliki peluang untuk menjadi mulia. Oleh karenanya setiap muslim tidak
layak menjadi beban orang lain, sebagaimana sabda Nabi SAW bahwa tangan yang di atas
lebih baik dari tangan yang di bawah (HR. Muslim).

Anda mungkin juga menyukai