Dosen Pengampu :
Dr. Farida Wahyuningtyias, S.KM., M.Kes
Oleh
Kelompok 2:
1. Alan Subhan Dz.P 142110101258
2. Arwiyah Shafi N 162110101003
3. Anrista Dea F 162110101019
4. Yeni Hariyani 162110101045
5. Rachel Musfiratul R 162110101056
6. Anggi Eka S 162110101067
7. Nia Andriana 162110101072
8. Nuzulia Rahmawati 162110101080
9. Lidya Meidy R 162110101086
10. Toby Rochmanto 162110101119
11. Winda Ariyanti D 162110101155
12. Yusniar Ajeng F 162110101218
13. Dwi Estu P 172110101171
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Aplikasi Penentuan Status Gizi Biokimia Terhadap Masalah Kesehatan Masyarakat
(Gangguan Akibat Kekurangan Yodium dan Obesitas)” dengan tepat waktu. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Tidak lupa penulis
sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, yaitu:
1. Allah SWT, Tuhan semesta alam.
2. Ibu Dr. Farida Wahyuningtyias, S.KM., M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyusun makalah ini.
3. Rekan-rekan Penentuan Status Gizi Kelas B dan kelompok 2 yang telah memberikan
saran, kritik dan masukan yang membangun, serta semua pihak yang terlibat dalam
proses penyempurnaan makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi materi maupun
penyajiannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam
penyempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini dapat memberikan tambahan wawasan
bagi kita semua khususnya teman-teman mahasiswa serta bisa menjadi bahan referensi untuk
pembelajaran kita bersama.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat........................................................................................................................ 3
2.5 Penentuan Status Gizi pada Gangguan Akibat Kekurangan Yodium dengan Metode
Biokimia............................................................................................................................... 27
2.6 Penentuan Status Gizi pada Obesitas dengan Metode Biokimia .............................. 30
ii
2.8.2 Studi Kasus Obesitas.......................................................................................... 36
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 39
iii
BAB 1 PENDAHULUAN
Manusia makan pada dasarnya memenuhi 3 fungsi makanan itu sendiri yaitu untuk
tenaga, pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh. Kurang konsumsi makanan maka akan diambil
dari cadangan tubuh dan jika makan berlebih akan disimpan dalam bentuk cadangan tubuh.
Status gizi merupakan sebagai keadaan fisik seseorang atau sekelompok orang yang
ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman,
2000). Gizi juga dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti KEP, EK, KVA, anemia dan
masih banyak lagi permasalahan gizi lainnya. Masalah gizi merupakan masalah kesehatan
tetapi penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan saja. Penentuan status gizi dibagi menjadi 2 yaitu penentuan status gizi secara
langsung dan secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi
menjadi 4 penilaian yaitu antropometri, Klinis, Biokima dan biofisik. Pengukuran status gizi
bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran dimana masalah gizi terjadi dan dianalisa
faktor-faktor ekologi yang langsung atau tidak langsung sehingga dapat dilakukan upaya
perbaikan (Suhardjo, 2002).
Penentuan status gizi dengan metode laboratorium adalah salah satu metode yang
dilakukan secara langsung pada tubuh atau bagian tubuh. Tujuan penilaian status gizi ini
adalah untuk mengetahui tingkat ketersediaan zat gizi dalam tubuh sebagai akibat dari asupan
gizi dari makanan. Metode penilaian status gizi dikelompokkan atas langsung dan metode
tidak langsung. Penilaian secara langsung terdiri dari metode biokimia, penilaian klinis,
penilaian biofisik, dan penilaian antropometri. Penilaian status gizi secara biokimia disebut
juga dengan metode pemeriksaan laboratorium. Penggunaan metode penilaian status gizi
secara biokimia digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan
malnutrisi yang lebih parah lagi.
1
kejadian yang akan datang dapat diprediksi. Dengan demikian dapat segera dilakukan upaya
intervensi untuk mencegah kekurangan gizi yang lebih parah. Selain itu kelebihannya adalah
data yang diperoleh pemeriksaan laboratorium hasilnya cukup valid dan dapat dipercaya
ketepatannya (Thamaria, 2017).
GAKY adalah rangkaian kekurangan yodium pada tumbuh kembang manusia yang
akan menyebakan gannguan mental, badan kerdil, berkerunganya kecerdasan, dan penyakit
lainnya. Penentuan pembesaran kelenjar gondok akibat GAKY dapat dilakukan dengan
metode biokimia yaitu pemeriksaan kadar Tyroid Stimulating Hormone (TSH) dalam darah.
Obesitas atau kegemukan disebabkan karena adanya penimbunan lemak yang ada didalam
tubuh, sehingga memungkinkan peluang besarnya terjadi gangguan penyakit. Pemeriksaan
obesitas dengan metode biokimia yaitu dengan pemeriksaan profil lipid ppada tubuh
penderita.
Berdasarkan urain latar belakang diatas maka rumusan masalah pada makalah ini adalah
Bagaimana cara penentuan gizi pada kasus Kekurangan Energi Protein dan obesitas dengan
metode biokimia?
1.3 Tujuan
2
1.4 Manfaat
b. Bagi penulis
3
BAB 2 PEMBAHASAN
4
status seng (Zn) dalam darah/serum dapat dengan mudah ditentukan, tetapi
pengukuran statis yang dilakukan satu kali tersebut tidak bisa dijadikan
indikator yang spesifik untuk menentukan status seng (Zn) tubuh secara
keseluruhan.
b. Tes fungsional dilakukan untuk menetapkan status gizi berdasarkan
pertimbangan bahwa “hasil akhir dari kekurangan zat gizi dan kepentingan
biologinya tidak semata-mata ditentukan oleh kadarnya di dalam darah dan
jaringan, tetapi oleh kegagalan dari satu atau lebih proses fisiologi yang
tergantung pada zat gizi tersebut untuk menunjukkan penampilan yang
optimal”. Beberapa contoh tes fungsional adalah tes adaptasi gelap untuk
menilai status Vitamin A, dan gangguan status imun/kekebalan yang
merupakan akibat dari kekurangan zat gizi. Salah satu kelehaman tes
fungsional adalah ada kecenderungan untuk tidak spesifik. Hasil dapat
menyattakan status gizi secara umum, tetapi tidak dapat menyatakan
kekurangan zat gizi tertentu. Tes biokimia dapat digunakan untuk menguji
validitas berbagai metode dalam penilaian konsumsi makanan atau untuk
melihat apakah responden yang diwawancarai terlalu berlebihan atau
terlalu sedikit dalam memberikan informasi tentang apa yang
dikonsumsinya
Pemeriksaan biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang lebih tepat
dan objektif daripada menilai konsumsi pangan dan pemeriksaan lain. Pemeriksaan yang
sering digunakan adalah teknik pengukuran kandungan berbagai gizi dan substansi kimia
lain dalam darah dan urine. Adanya parasit dapat diketahui melalui pemeriksaan feses, urine,
dan darah.
5
b. Untuk mendekteksi keadaan defisiensi zat gizi sub-klinikal
Artinya sudah mengalami kelainan biokimia namun tanpa tanda-tanda
atau gejala klinis, sehingga sering digunakan untuk menggambarkan tahap
awal dari suatu penyakit atau kondisi, sebelum gejala terdeteksi oleh
pemeriksaan klinis atau pemeriksaan laboratorium.
c. Untuk melengkapi metode lain dalam penilaian status gizi.
Dengan adanya data biokimia, masalah gizi yang spesifik dapat lebih
mudah diidentifikasi (Par'i, et al., 2017).
Untuk mengetahui status gizi (obesitas) yang terjadi sebagai akibat pemasukan energi
yang melebihi kebutuhan tubuh untuk keperluan metabolisme dasar yang mencakup
metabolisme basal, SDA, aktivitas jasmani, pembuangan sisa makanan dan energi untuk
pertumbuhan. Kelebihan energi dapat terjadi sebagai akibat masukan energi yang berlebih,
penggunaan energi yang kurang atau kombinasi kedua hal tersebut.
Menentukan diagnosis obesitas tidak selalu mudah, karena tidak ada garis pembatas
yang jelas antara gizi baik dan gizi lebih. Diagnosis didasarkan atas gejala klinis dan hasil
pemeriksaan antropometri, yang mencakup pengukuran BB, TB, lingkaran lengan atas, serta
tebal lipatan kulit dan sub kutan lengan atas kanan bagian belakang tengah, sebelah atas otot
triseps. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan gejala klinis obesitas, disertai dengan adanya
data antropometrik untuk perbandingan BB dan TB, lingkaran lengan atas, dan tebalnya
lapisan kulit, paling sedikit 10 % diatas nilai normal.
6
iodium. Tingkat ekskresi (status iodium) yang rendah (25–20 µg/g creatin Reaksi Sandell-
Kolthoff) menunjukan risiko kekurangan iodium.
11
– Tekan tombol “ON” pada henatofluorometer dan sisipkan blank glass cover
slip ke dalam pemegang sampel.
– Tekan tombol “MEASURE” dan catat pembacaan pda blank glass cover
slip. Gunakan hanya blank cover slip dengan pembacaan dari 000-006.
– Gunakan pipet pasteur plastik untuk menempatkan setetes darah penuh
(kira-kira 20 µL) di atas blank cover slip denga cara menyebarkannya,
sehingga berhubungan pada posisi lubang.
– Tekan tombol “MEASURE” dan catat pembacaan. Jangan subtraksikan
pembacaan pada blank cover slip.
– Ulangi (4) setelah 10 – 15 detik lewat dan kemudian kesampingkan glass
cover slip.
– Untuk kontrol darah, ambil setetes darah (sekitar 35 µL) di atas glass cover
slip yang bersih dengan menekan botol. Campurkan tetesan darah dengan
ujung botol. Pindahkan tutup botol.
– Tekan tombol “MEASURE” dan catat pembacaan. Kesampingkan glass
cover slip.
– Periksa kontrol-kontrol darah pada permukaan dan akhir setiap hari, atau
setelah 50 pengujiaan yang bisa diterapkan. Nilai kontrol rendah, medium
dan tinggi harus ada dalam harga yang dinyatakan.
Perhitungan hasil
Konsentrasi zink protoporphyrin yang dinyatakan dalam µmol/L RBX’s
dapat dihitung menggunakan rumus berikut, yang dalam hal ini hematokrit
dinyatakan sebagai fraksi volume dari paket sel darah merah:
Konsentrasi zink protoporphyrin juga dapat dinyatakan dalam µg/dL darah
penuh: faktor konversi pada satuan SI (mmol/L) = x 0,0177.
6) Serum ferritin (SF)
Untuk menilai status besi dalam hati perlu mengukur kadar ferritin.
Menurut cook (dalam Mahdin anwar husaini, 1989) banyak ferritin yang
dikeluarkan ke dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya
simpanan zat besi di dalam hati. Apabila didapatkan serum ferritin sebesar 30
mg/dl RBC berarti di dalam hati terdapat 30 x 10 mg = 300 mg ferritin. Untuk
menentukan kadar ferritin dalam darah dapat dilakukan dengan beberapa
metode, yaitu dengan cara immunoradiometric assay (IRMA) atau dengan radio
immuno assay (RIA) atau dengan cara enzyme-linked immuno assays (ELISA)
12
yang tidak menggunakan isotop, tetapi enzim. Dalam keadaan normal rata-rata
SF untuk laki-laki dewasa adalah 90 µg/l. perbedaan kadar serum ferritin ini
menggambarkan perbedaan banyaknya perbedaan zat besi pada tubuh dengan
zat besi pada laki-laki tiga kali lebih banyak dari wanita. Apabila seseorang
mempunyai kadar SF kurang dari 12 orang yang bersangkutan dinyatakan
sebagai kurang besi. Banyak orang yang sebenarnya menderita kurang besi,
tetapi tidak dapat terdeteksi dengan cara ferritin karena kadar ferritin yang
dikeluarkan dari hati menarik dalam darah apabila yang bersangkutan
menderita penyakit kronis, infeksi dan sakit hati. Namun, apabila penyakit
infeksi tidak umum terjadi di masyarakat, penentuan ferritin merupakan pilihan
yang tepat.
B. Penilaian Status Protein
Protein dalam darah mempunyai peranan fisiologis yang penting bagi tubuh antara
lain:
– Untuk mengatur tekanan air, dengan adanya tekanan osmose dari plasma protein.
– Sebagai cadangan protein tubuh.
– Untuk mengontrol peredaran darah (terutama dari fibrinogen).
– Sebagai transport yang penting untuk zat-zat gizi tertentu.
– Sebagai antibodi dari berbagai penyakit terutama dari gamma globulin.
– Untuk mengatur aliran darah, dalam membantu bekerjanya jantung.
Di dalam darah ada 3 fraksi protein yaitu:
– Albumin : kadar normalnya = 3,5 – 5 gram/100 ml
– Globulin : kadar normalnya = 1,5 – 3 gram/100 ml
– Fibrinogen : kadar normalnya = 0,2 – 0,6 gram/100 ml
Pemeriksaan biokimia terhadap status protein dibagi dalam 2 pokok, yaitu
penilaian terhadap somatic protein dan visceral protein. Perbandingan somatic dan
visceral dalam tubuh antara 75% dan 25%. Somatic protein terdapat pada otot skeletal,
sedangkan visceral protein terdapat di dalam organ/visceral tubuh yaitu hati, ginjal,
pankreas, jantung, erytrocyt, granulocyt dan lympocyt.
Konsentrasi serum protein dapat digunakan untuk mengukur status protein.
Penggunaan pengukuran status protein ini didasarkan pada asumsi bahwa penurunan
serum protein disebabkan oleh penurunan produksi dalam hati. Penentuan serum protein
dalam tubuh meliputi: albumin, transferrin, prealbumin (yang dikenal juga dengan
13
trasthyeritin dan thyroxine-binding prealbumin), retin ol binding protein (RBP), insulin-
Like growth factor-1 dan fibronectin.
Prosedur penentuan serum protein
Ion kupri (Cu2+) dalam reagen biuret bereaksi dengan peptida (-CONH) dan
menghasilkan sen yawa peptida berwarna violet. Intensitas warna secara langsung
proporsional denga jumlah peptida pada pengukuran dengan kisaran yang luas.
Senyawa ini dibentuk hanya jika paling sedikit ada dua gabungan peptida (-CONH).
Akibatnya protein bereaksi dengan reagen beuret, sedangkan asam amino, ammonia,
urea dan senyawa lain berisi nitrogen sederhana tidak bereaksi. (Peters dan Biamente,
1982).
– Berilah label setiap tabung uji, yaitu standar, referensi, pool dan setiap subjek uji.
– Tambahkan 3,0 ml reagen biuret pada setiap tabung.
– Pada tabung standar, tambahkan 50 µl larutan standar; pada tabung referensi
tambahkan 50 µL serum referensi; pada tabung pool tambahkan 50 µL serum pool;
pada masing-masing subjek tambahkan dengan 50 µL serum uji.
– Campurkan setiap tabung secara merata, dan biarkan dalam lemari gelap pada
posisi berdiri minimal 10 menit.
– Tempatkan spectrophometer pada panjang gelombang 555 nm. Aturlah pada titik
nol dengan menggunakan cuvet reagen biuret sebagai referensi kosong.
– Pindahkan masing-masing isi tabung pada cuvet.
– Baca dan catat penyerapan sampel standar, referensi dan pool.
C. Penilaian Status Vitamin
Penilaian status vitamin yang terkait dengan penetuan status gizi meliputi
penentuan kadar vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin C, tiamin, riboflavin, niasin,
vitamin B6, vitamin B12.
1) Vitamin A
Deplasi vitamin A dalam tubuh merupakan proses yang berlangsung lama,
dimulai dengan habisnya persediaan vitamin A dalam hati, kemudian
menurunya kadar vitamin A plasma, dan baru kemudian timbul disfungsi retina,
disusul dengan perubahan jaringan epitel.
Kadar vitamin A dalam plasma tidak merupakan kekurangan vitamin A
yang dini, sebab deplesi terjadi jauh sebelumnya. Apabila sudah terdapat
kelainan mata, maka kadar vitamin A serum sudah sangat rendah (kurang dari 5
µg/100 ml), begitu juga kabar RBP-nya (<20 µg/100 ml) konsentrasi vitamin A
14
dalam hati merupakan indikasi yang baik untuk menentukan status vitamin A.
Akan tetapi, biopsi hati merupakan tindakan yang mengandung resiko bahaya.
Di samping itu, penentuan kadar vitamin A jaringan tidak mudah dilakukan.
Pada umumnya konsentrasi vitamin A penderita KEP rendah yaitu <15 µg/gram
jaringan hepar (Solihin Pujiadji, 1989).
Tabel 6-1. Batasan dan interpretasi pemeriksaan kadar vitamin A dalam
darah.
Umur(th) Kurang Margin Cukup
Plasma Vitamin Semua Umur <10 10-19>20
A(mg)
15
Kecepatan aliran : 2,5 ml/menit
Tekanan : disesuaikan kecepatan aliran tersebut
Panjang gelombang detektor : 328 nm
Sensitivitas detektor : 0,01 AUFS
Suhu : kamar
Kecepatan rekoder : 1 cm/menit
Munculnya grafik : Retinol 2,2 menit
Munculnya grafik : Retynil acetat 3,0 menit
Perhitungan : konsentrasi retinol dalam serum
Catatan:
– Semua tabung reaksi yang digunakan harus benar-benar bersih. Untuk
mencapai ini semua tabung-tabung harus direndam dalam nitrat atau
pun kromat selama 3 hari.
– Berdasarkan pengalaman, setiap 4-5 kali penyuntikan pada HPLC
kolom perlu dicuci dengan dialiri buffer tanpa sampel selama sekitar 30
menit.
– Bila ada dugaan kadar vitamin A dalam serum agak tinggi (misalnya
serum orang dewasa normal, anak yang baru saja diberi vitamin A dosis
tinggi) serum yang digunakan 50 µl saja.
Pengalaman di puslitbang gizi bogor selama ini semua kolom yang
sudah digunakan untuk penentuan sekitar 250 sampel sudah tidak bisa
digunakan lagi. Hal ini mungkin terkait dengan kualitas pereaksi yang ada di
Indonesia.
– Penentuan kadar vitamin A cara kolorimeter dengan pereaksi
trifluoroasetat/TFA (neeld & pearson)
Prinsip:
Setelah protein didenaturasi dengan alkohol, vitamin A diextraksi
dengan pelarut organik. Extrak dipisahkan dan vitamin A ditentukan dengan
direaksikan dengan TFA dan warna biru yang terbentuk diukur serapanya
pada panjang 620 nm. Karena karotin juga memberikan reaksi dengan TFA,
meskipun juga lebih lemah, perlu ada faktor koreksi karena ada pengaruh dari
karotin ini.
16
Cara kerja (semi mikro)
– Lima ratus mikroliter serum dalam tabung reaksi ditambah dengan 500
mikroliter etanol (atau dapat pula 1N KOH dalam 90% etanol).
– Dikocok dengan tangan sampai rata. Ditambahkan 1000 mikroliter ( = 1
ml) petroleum eter (40-60 ºC) lalu dikocok dengan voltrex selama 1
menit.
– Sentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 5-10 menit akan
memisahkan extarak vitamin A di bagian atas serta campuran serum
alkohol di bagian bawah.
– Extrak dipipet sebanyak 750 mikroliter lalu diukur serapannya pada
panjang gelombang 450 nm untuk penentuan karotin.
– Extrak tersebut kemudian diuapkan samapai kering dengan gas
nitrogen. Ditambah dengan 1500 mikrolier pereaksi TFA (campuran 1
bagian TFA dan 2 bagian kloroform yang disiapkan segar).
– Warna biru yang terbentuk harus sudah diukur serapannya dalam waktu
30 detik pada panjang gelombang 620 nm.
Standar vitamin A yang dilarutkan dalam kloroform da berisi 2 mg/ml, 4
mg/ml, dan 8 mg/ml disiapkan. Dipipet 25 ml dari masing-masing
konsentrasi tersebut dan diukur serapanya setelah ditambah 1500 mikroliter
pereaksi. Standar tersebut setara dengan konsentrasi vitamin A dalam serum
10 µg/dl, 20 µg/dl, 30 µg/dl dan 40 µg/dl.
Faktor koreksi karena pengaruh reaksi antara pereaksi dengan karotin
dibuat sebagai berikut:
– Disiapkan standar karotin yang berisi 10 µg/dl, 20 µg/dl, 40 µg/dl dan
80 µg/dl. Dipipet masing-masing sebanyak 750 mikroliter lalu diuapkan
sampai kering dengan nitrogen. Kemudian direaksikan dengan 155
mikroliter pereaksi dan serapannya diukur pada panjang gelombang 620
nm. Dengan demikian dapat dihitung faktor koreksi karena pengaruh
karotin.
– Pengalaman di puslitbang gizi bogor faktor koreksi pengaruh karotin ini
sekitar 15% pembacaan karotin pada panjang gelombang 450 nm. Jika
seandainya serapan karotin pada 459 nm adalah 0,100 maka pembacaan
vitamin A pada 620 nm perlu dikurangi 15 % dari 0,100 baru kemudian
dikurangi blangko.
17
Dari standar vitamin A dapat dihitung faktor perhitungan vitamin A dan
dari standar karotin dapat dihitung faktor perhitungan karotin dengan prinsip :
𝑆𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑥 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
𝑆𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
Catatan:
– Kecepatan pada pengukuran kecepatan pada panjang gelomabang 620
nm tergantung pada pengalaman petugas laboratorium. Kalau sudah
berpengalaman waktu yang diperlukan semenjak penambahan pereaksi
samapai pengukuran serapan sejumlah 22-23 detik.
– Waktu melarutkan standar karotin mula-mula ditambah beberapa ml
kloroform, baru kemudian ditambah PE sesuai tujuan. Bila langsung
ditambah PE, sebagian karotin tidak larut.
– Pada penentuan vitamin A dengan cara kolorometri ini adalah total
vitamin A (retinol dan retinil ester), sedangkan dengan HPLC hanya
ditambah PE sebagai karotin tidak larut.
– Pada penentu vitamin A (retinol dan retinil ester), sedangkan dengan
HPLC hanya retinol saja.
– (suharjo, 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat, hlm. 172-175)
2) Vitamin D
Kekurangan vitamin ini dapat mengakibatkan penyakit rakhitis dan kadang-
kadang tetani. Apabila kekurangan terjadi pada masa pertumbuhan akan timbul
osteomalasia. Sangat jarang ditemukan rakitis bawaan, insiden tertinggi terdapat
pada umur 18 tahun.
Kekurangan vitamin D timbul kalsifikasi tulang yang tidak normal
disebabkan oleh karena rendahnya saturasi kalsium dan fosfor dalam cairan
tubuh. Keadaan resorpsi tulang akan melebihi pembentukannya hingga
menyebabkan demineralisasi umum pada rangka yang berakibat menjadi
lunaknya tulang-tulang serta deformitas torax, tulang punggung, pelvis dan
tulang-tulang panjang.
Beberapa zat yang berhubungan dengan aktivitas vitamin D adalah:
– Vitamin D2 (ersokalsiferol) yang dihasilkan oleh radiasi ersoterol
(dalam tumbuh-tumbuhan) secara artifisial dengan sinar ultraviolet.
18
– Vitamin D3 (kolekalsiferol) yang dihasilkan oleh radiasi pada kulit
manusia dengan komponen ultraviolet sinar matahari dan juga terdapat
secara alamiah pada sumber makanan hewani. Kolekalsiferol dikonversi
di dalam hati dan mungkin usus menjadi 25(OH) kolekalsiferon
Pada pemeriksaan biokimia penderita rakhitis ditemukan hasil:
– Kadar kalsium serum normal atau lebih
– Kadar fosfor rendah
– Kadar fosfatase meninggi
– Kadar 25 (OH) vitamin D dibawah 4 mg/ml
3) Vitamin E
Devisit vitamin E jarang sekali ditemukan oleh sebab makanan sehari-hari
mengandung cukup vitamin E. namun demikian kita harus tetap waspada adanya
kemungkinan keadaan subklinis, misalnya pada bayi berat badan lahir rendah
dimana transfer vitamin E melalui plasenta tidak efisien.
Gangguan yang dapat dilihat karena kekurangan vitamin E adalah hemolisis
dan mengurangnya umur hidup eritrosit. Penelitian pada binatang percobaan
didapatkan bahwa defisit vitaminE menyebabkan kemandulan baik pada jantan
dan betina. Gangguan lain adalah distrofi otot dan kelainan saraf pusat
(ensefalomalasia). Pada pemeriksaan biokimia seorang anak dikatakan memiliki
nilai normal vitamin E bila di dalam serum ≥ 0,7 mg.
19
Pemeriksaan zat besi antara lain: Hb (mengetahui status anemi yang
merupakan standar WHO), Hct (tahap awal), serum besi (defisiensi besi tahap awal,
sebelum menurunnya Hb), saturasi transferin (untuk transpor Fe), serum feritin
(cadangan Fe tubuh), TIBC (digunakan pada penelitian), indeks eritrosit dan
morfologi darah (membedakan jenis anemianya).
Metode pemeriksaan Hb adalah Sahli dan cyanmetHb merupakan standar
penelitian. Simpanan besi terdapat di sumsum tulang, pada saat feritin menurun maka
serum besi menurun.
Penilaian status iodium paling mudah dilakukan dalam urine atau dengan TSH
(mahal).
Penilaian status Zn pada bayi dapat dilakukan pada rambut. Pada orang
dewasa, digunakan serum/plasma. Normalnya 12-17 mmol/L.
Penilaian status Calcium didapatkan dari pengukuran serum.
Penilaian status protein yaitu mengukur cadangan protein dalam tubuh, kadar
fibrinogen, transportasi zat gizi tertentu (ex. Fe), Ab, aliran darah. Albumin adalah
fraksi protein yang sering dinilai. Globulin diperiksa berkaitan dengan status imun.
Fibrinogen untuk pembekuan darah. Penurunan serum protein bisa disebabkan sintesis
protein dalam hepar yang menurun.
Penilaian status vitamin A diperlukan sebab penurunannya dalam hepar
menurunkan kadarnya dalam plasma sehingga bisa menyebabkan disfungsi retina.
Status vitamin A diperiksa di dalam serum (serum retinol dan retinol binding protein).
Pemeriksaan ini mahal. Masalah gizi di Indonesia antara lain: KEP, Anemia, KVA,
dan GAKI. Penilaian status KEP secara biokimia: prealbumin (baik pada 23,8 +/- 0,9
mg/dl),
Penilaian status KVA menggunakan indikator plasma dan liver vitamin A.
Terdapat program pemerintah yaitu pemberian kapsul vitamin A tiap bulan Februari
dan Agustus. Gejala subklinis KVA yaitu gangguan sistem imun dengan angka infeksi
yang makin meningkat (paling banyak yaitu ISPA). Gejala klinisnya yaitu
xerophtalmia (dapat menyebabkan cirrhosis conjunctiva dengan tanda-tanda sering
mengedip disertai bercak bitot) sehingga tampak busa yang menghilang bila dihapus
dan muncul lagi.
Anemia yang dianggap fisiologis adalah pada ibu hamil trimester 2 karena
terjadi hemodilusi.
20
Penilaian status GAKI yaitu menggunakan urine, di daerah endemis berat (<25
ug/ g kreatinin) dan sedang (25-50 ug/g kreatinin). Iodium urine biasanya akan
menurun sebelum struma muncul.
Pemeriksaan status gizi secara lab dapat mendiagnosis kurang gizi lebih dini
sebelum tanda-tanda klinis muncul.
a. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter yang digunakan untuk menetapkan
prevalensi anemia. Garby et al menyatakan bahwa penentuan status anemia
yang hanya menggunakan kadar Hb ternyata kurang lengkap, sehingga perlu
ditambah dengan pemeriksaan yang lain.
Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah
dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah.
Kandungan hemoglobin yang rendah dengan demikian mengindikasikan
anemia. Bergantung pada metode yang digunakan, nilai hemoglobin menjadi
akurat samapai 2-3%. Metode yang lebih dulu dikenal adalah metode Sahil
yang menggunakan teknik kimia dengan membandingkan senyawa akhir secara
visual terhadap standar gelas warna. Ini memberi 2-3 kali kesalahan rata-rata
21
dari metode yang menggunakan spektrofotometer yang baik (Supariasa, Bakri,
& Fajar, 2016).
Nilai normal yang paling sering dinyatakan adalah 14-18 gm/100 ml
untuk pria dan 12-16 gm/100 ml untuk wanita (gram/100 ml sering disingkat
dengan gm% atau gm/dl). Beberapa literatur lain menunjukan nilai yang lebih
rendah, terutama pada wanita, sehingga mungkin pasien tidak dianggap
menderita anemia sampai Hb kurang dari 13 gm/100 ml pada pria dan 11
gm/100 ml untuk wanita (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
b. Hematokrit (HCT)
Hematokrit adalah volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan
cara memutarnya di dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam
persen (%). Setelah sentrifugasi, tinggi kolom sel merah diukur dan
dibandingkan dengan tinggi darah penuh yang asli. Persentase massa sel merah
pada volume darah yang asli merupakan hematokrit. Darah penuh antikoagulasi
disentrifugasi dalam tabung khusus. Karena darah penuh dibentuk pada
intiselnya oleh sel darah merah (SDM) dan plasma, setelah sentrifugasi
persentase sel-sel merah memberikan estimasi tidak langsung jumlah SDM/100
ml dari darah penuh (dan dengan demikian pada gilirannya merupakan estimasi
tidak langsung jumlah hemoglobin). Hematrokrit dengan demikian bergantung
sebagian besar pada jumlah SDM, tapi ada beberapa efek (dalam hal jauh lebih
sedikit) dari ukuran rata-rata SDM. Nilai normal adalah 40%-54% untuk pria
dan 37%-47% untuk wanita. HCT biasanya hampir 3 kali nilai Hb (dengan
menganggap tidak terdapat tanda hipokromia). Kesalahan rata-rata pada
prosedur HCT yaitu kira-kira 1-2% (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
c. Transferrin saturation (TS)
Salah satu indikator lainya menentukan status besi adalah Total Iron
binding capacity (TIBC) dalam serum. Kadar TIBC ini meningkat pada
penderita anemia. Karena kadar besi di dalam serum menurun dan TIBC
meningkat pada keadaan defisiensi besi maka rasio dari keduanya (transferrin
saturation) lebih sensitif.
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑏𝑒𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚
𝑇𝑆 = 𝑥100%
𝑇𝐼𝐵𝐶
22
Rumus tersebut adalah apabila TS > 16 %, pembentukan sel-sel darah
merah dalam sumsum tulang berkurang dan keadaan ini disebut defisiensi besi
untuk eritropoiesis (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
d. Free erythrocyte protophorphyrin (FEP)
Apabila penyediaan zat besi tidak cukup banyak untuk pembentukan
sel-sel darah merah di sumsum tulang maka sirkulasi FEP di darah meningkat
walaupun belum nampak anemia. Dengan menggunakan fluorometric assay,
maka penentuan FEP lebih cepat digunakan. Satuan untuk FEP dinyatakan
dalam μg/dl darah atau μg/dl darah merah. Dalam keadaan normal kadar FEP
berkisar 35 ± 50 μg/dl RBC tetapi apabila kadar FEP dalam darah lebih besar
dari 100 μg/dl RBC menunjukkan individu ini menderita kekurangan besi
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
e. Serum ferritin (SF)
Untuk menilai status besi dalam hati perlu mengukur kadar ferritin.
Menurut cook (dalam Mahdin anwar husaini, 1989) banyak ferritin yang
dikeluarkan ke dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya
simpanan zat besi di dalam hati. Apabila didapatkan serum ferritin sebesar 30
mg/dl RBC berarti di dalam hati terdapat 30 x 10 mg = 300 mg ferritin. Untuk
menentukan kadar ferritin dalam darah dapat dilakukan dengan beberapa
metode, yaitu dengan cara immunoradiometric assay (IRMA) atau dengan
radio immuno assay (RIA) atau dengan cara enzyme-linked immuno assays
(ELISA) yang tidak menggunakan isotop, tetapi enzim. Dalam keadaan normal
rata-rata SF untuk laki-laki dewasa adalah 90 μg/l. perbedaan kadar serum
ferritin ini menggambarkan perbedaan banyaknya perbedaan zat besi pada
tubuh dengan zat besi pada laki-laki tiga kali lebih banyak dari wanita. Apabila
seseorang mempunyai kadar SF kurang dari 12 orang yang bersangkutan
dinyatakan sebagai kurang besi. Banyak orang yang sebenarnya menderita
kurang besi, tetapi tidak dapat terdeteksi dengan cara ferritin karena kadar
ferritin yang dikeluarkan dari hati menarik dalam darah apabila yang
bersangkutan menderita penyakit kronis, infeksi dan sakit hati. Namun, apabila
penyakit infeksi tidak umum terjadi di masyarakat, penentuan ferritin
merupakan pilihan yang tepat (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
2.4.2 Pengukuran Status Protein
23
Pemeriksaan biokimia terhadap status protein dibagi dalam 2 pokok, yaitu
penilaian terhadap somatic protein dan visceral protein. Perbandingan somatic dan
visceral dalam tubuh antara 75% dan 25%. Somatic protein terdapat pada otot
skeletal, sedangkan visceral protein terdapat di dalam organ/visceral tubuh yaitu hati,
ginjal, pankreas, jantung, erytrocyt, granulocyt dan lympocyt (Supariasa, Bakri, &
Fajar, 2016).
Konsentrasi serum protein dapat digunakan untuk mengukur status protein.
Penggunaan pengukuran status protein ini didasarkan pada asumsi bahwa penurunan
serum protein disebabkan oleh penurunan produksi dalam hati. Penentuan serum
protein dalam tubuh meliputi: albumin, transferrin, prealbumin (yang dikenal juga
dengan trasthyeritin dan thyroxine-binding prealbumin), retin ol binding protein
(RBP), insulin-Like growth factor-1 dan fibronectin. Di dalam darah ada 3 fraksi
protein yaitu:
a. Albumin : kadar normalnya = 3,5 – 5 gram/100 ml
b. Globulin : kadar normalnya = 1,5 – 3 gram/100 ml
c. Fibrinogen : kadar normalnya = 0,2 – 0,6 gram/100 ml
Penilaian status vitamin yang terkait dengan penetuan status gizi meliputi
penentuan kadar vitamin A, vitamin D, vitamin E.
a. Vitamin A
Kadar vitamin A dalam plasma tidak merupakan kekurangan vitamin A
yang dini, sebab deplesi terjadi jauh sebelumnya. Apabila sudah terdapat kelainan
mata, maka kadar vitamin A serum sudah sangat rendah (kurang dari 5 μg/100
ml), begitu juga kabar RBP-nya (<20 μg/100 ml) konsentrasi vitamin A dalam
hati merupakan indikasi yang baik untuk menentukan status vitamin A. Akan
tetapi, biopsi hati merupakan tindakan yang mengandung resiko bahaya. Di
samping itu, penentuan kadar vitamin A jaringan tidak mudah dilakukan
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
Penentuan Serum Retinol dengan Cara HPLC (High Performance Liquid
Choromatography)
Prinsipnya retinol dan standar retinil asetat yang ditambahkan dengan
pelarut organik setelah protein serum didenaturasi. Dengan sistem fase berputar
(revers phase) kedua protein tersebut dipisahkan dan diukur serapannya pada
24
panjang gelombang 328 nm dengan HPLC. Konsentrasi retinol dalam serum dapat
dihitung dari perbandingan puncak grafik retinol-asetat (Supariasa, Bakri, & Fajar,
2016).
Penentuan kadar vitamin A cara kolorimeter dengan pereaksi trifluoroasetat/TFA
(neeld & pearson)
Prinsipnya setelah protein didenaturasi dengan alkohol, vitamin A
diextraksi dengan pelarut organik. Extrak dipisahkan dan vitamin A ditentukan
dengan direaksikan dengan TFA dan warna biru yang terbentuk diukur serapanya
pada panjang 620 nm. Karena karotin juga memberikan reaksi dengan TFA,
meskipun juga lebih lemah, perlu ada faktor koreksi karena ada pengaruh dari
karotin ini (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
b. Vitamin D
Kekurangan vitamin ini dapat mengakibatkan penyakit rakhitis dan
kadang-kadang tetani. Apabila kekurangan terjadi pada masa pertumbuhan akan
timbul osteomalasia. Sangat jarang ditemukan rakitis bawaan, insiden tertinggi
terdapat pada umur 18 tahun (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
Kekurangan vitamin D timbul kalsifikasi tulang yang tidak normal
disebabkan oleh karena rendahnya saturasi kalsium dan fosfor dalam cairan tubuh.
Keadaan resorpsi tulang akan melebihi pembentukannya hingga menyebabkan
demineralisasi umum pada rangka yang berakibat menjadi lunaknya tulang-tulang
serta deformitas torax, tulang punggung, pelvis dan tulang-tulang panjang
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
Pada pemeriksaan biokimia penderita rakhitis ditemukan hasil:
1) Kadar kalsium serum normal atau lebih
2) Kadar fosfor rendah
3) Kadar fosfatase meninggi
4) Kadar 25 (OH) vitamin D dibawah 4 mg/ml
c. Vitamin E
Devisit vitamin E jarang sekali ditemukan oleh sebab makanan sehari-hari
mengandung cukup vitamin E. namun demikian kita harus tetap waspada adanya
kemungkinan keadaan subklinis, misalnya pada bayi berat badan lahir rendah
dimana transfer vitamin E melalui plasenta tidak efisien (Supariasa, Bakri, &
Fajar, 2016).
25
Gangguan yang dapat dilihat karena kekurangan vitamin E adalah
hemolisis dan mengurangnya umur hidup eritrosit. Penelitian pada binatang
percobaan didapatkan bahwa defisit vitaminE menyebabkan kemandulan baik
pada jantan dan betina. Gangguan lain adalah distrofi otot dan kelainan saraf pusat
(ensefalomalasia). Pada pemeriksaan biokimia seorang anak dikatakan memiliki
nilai normal vitamin E bila di dalam serum ≥ 0,7 mg (Supariasa, Bakri, & Fajar,
2016).
2.5 Penentuan Status Gizi pada Gangguan Akibat Kekurangan Yodium dengan Metode
Biokimia
Nilai Normal
T3 : 0,58-1,59 ng/mL
T4 : 4,87-11,72 µg/dL
2. Yodium Urin
Sebagian besar yodium yang diserap tubuh dapat dilihat di urin karena eksresi yodium
urin menggambarkan asupan yodium harian. Secara individu eskresi yodium dapat
berubah tergantung konsumsi makanan setiap hari. Studi menunjukkan secara
meyakinkan profil konsentrasi yodium pagi hari atau sewaktu pada anak atau orang
dewasa merupakan penilaian adekuat nutrisi yodium pada populasi. (WHO, 2001).
Tabel kriteria epidemiologis penilaian yang berasal dari makanan yang disantap
berdasarkan nilai median kadar yodium urine.
Rata-rata
Asupan Yodium Status Yodium
Kadar Urine
28
(µg/L)
<20 Tidak cukup Kurang yodium berat
20-49 Tidak cukup Kurang yodium sedang
50-99 Tidak cukup Kurang yodium ringan
100-199 Cukup Optimal
Risiko hipotiroidisme yang diimbas
yodium pada 5-10 tahun ke depan setelah
200-299 Lebih dari cukup
suplementasi garam beryodium bagi
golongan rentan
Risiko hipertiroidisme diimbas yodium
>300 Berlebihan
dan penyakit tiroid autoimmune
(Dikutip dari: “Assessment of IDD and monitoring their elimination”.2nd ed. WHO
2001)
Prosedur pemeriksaan iodium dalam urin yaitu:
1. Pipet sampel urin, standar dan kontrol masing masing 250 μL kedalam tabung
reaksi;
2. Tambahkan masing masing ammonium persulfat sebanyak 1ml;
3. Panaskan dalam drybath pada suhu 80-100 derajat celcius selama 1 jam;
4. Setelah dingin ditambahkan arsen 2,5 ml dan diinkubasi pada suhu ruang
selama 20 menit;
5. Tambahkan cerium 300 μL pada masing-masing tabung dengan interval 30
detik;
6. Dibaca pada panjang gelombang 420 nm pada menit ke 30 dari pertama kali
menambahkan cerium pada tabung yang pertama;
7. Absorbans yang didapat selanjutnya dihitung konsentrasinya dengan program
Kc4.
Tahap keparahan gondok endemik:
1. Tahap 1 : Gondok endemik dengan rata-rata lebih dari 50 µg/g kreatinin di
dalam urin. Keadaan ini suplai hormontiroid cukup untuk perkembangan fisik
dan mental yang normal.
2. Tahap 2 : Gondok endemik dengan ekskresi iodium dalam urine rata-rata 25-
50 µg/g kreatinin. Kondisi ini sekresi hormon bisa jadi tidak cukup sehingga
ada risiko hipotiroidisme, tapi tidak sampai terjadi kreatinisme
29
3. Tahap 3 : Gondok endemik engan rata-rata ekskresi iodium dalam urine
kurang dari 25 µg/g kreatinin. Kondisi ini memiliki risiko menderita
kreatinisme.
Masalah gizi yang terkait dengan lipid/lemak adalah obesitas. Obesitas ditandai
dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Perut buncit atau obesitas
sentral merupakan pertanda adanya bahaya kesehatan. Meskipun belum ada keluhan,
dalam tubu orang dengan obesitas telah terjadi gangguan metabolisme yaitu sindrom
metaboik yang meningkatkan risiko diabetes mellitus serta penyakit jantung dan
pembuluh darah. Obesitas terjadi karena adanya perubahan pola makan yang bergeser ke
arah makanan tinggi kalori dan perubahan pola hidup modern yang kurang akan aktivitas
fisik.
Pemeriksaan biokimia pada obesitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan profil
lipid. Pemeriksaan profil lipid meliputi pemeriksaan kolesterol total, kolesterol low
density lipoprotein (LDL), kolesterol high density lipoprotein (HDL) dan trigliserida.
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui adanya dislipidemia yang berhubungan
dengan adanya penyakit jantung koroner. Selain itu juga dikenal pemeriksaan apo B yaitu
apolipoprotein utama kolesterol LDL. Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui risiko
terhadap penyakit jantung koroner. Rasio kolesterol LDL / Apo B < 1,2 menunjukkan
adanya small dense LDL (Kemenkes RI, 2017).
Uji BioKimiawi pada Obesitas
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji
secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Metode ini
digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi
yang lebih parah lagi. Banyak gejala yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali
dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik. Status uji
yang sering digunakan adalah pengukuran jenis protein viseral dan somatik. Parameter
protein viseral adalah serum albumin, prealbumin, transferin, hitung jumlah limfosit dan
uji antigen pada kulit. Sementara parameter protein somatik selain melalui uji biokimiawi
dapat diketahui dengan mengukur lingkar pertengahan lengan atas (mid-arm
circumferences).
30
A. Keunggulan Biokimia
a. Dapat mendeteksi defisiensi zat gizi lebih dini
b. Hasil dari pemeriksaan biokimia lebih obyektif, hal ini karena menggunakan
peralatan yang selalu ditera dan pada pelaksanaannya dilakukan oleh tenaga
ahli
c. Dapat menunjang hasil pemeriksaaan metode lain dalam penilaian status gizi
B. Kelemahan Biokimia
a. Pemeriksaan biokimia hanya bisa dilakukan setelah timbulnya gangguan
metabolisme
b. Membutuhkan biaya yang cukup mahal
c. Dalam melakukan pemeriksaan diperlukan tenaga yang ahli
d. kurang praktis dilakukan di lapangan, hal ini karena pada umumnya
pemeriksaan laboratorium memerlukan peralatan yang tidak mudah dibawa
keman-mana
e. Pada pemeriksaan tertentu spesimen sulit untuk diperoleh, misalnya penderita
tidak bersedia diambil darahnya
f. Membutuhkan peralatan dan bahan yang lebih banyak dibandingkan dengan
pemeriksaan lain
g. Belum ada keseragaman dalam memilih reference (nilai normal). pada
beberapa reference nilai normal tidak selalu dikelompokkan menurut
kelompok umur yang lebih rinci
h. Dalam beberapa penentuan pemeriksaan laboratorium memerlukan peralatan
laboratorium yang hanya terdapat di laboratorium pusat, sehingga di daerah
tidak dapat dilakukan. (Susilowati Herman, 1991 dalam (Supariasa, Bakri, &
Fajar, 2011))
31
2.8 Studi Kasus
Judul : Pola Konsumsi Makanan Sumber Yodium dan Goitrogenik dengan GAKY pada
Anak Usia Sekolah di Ponorogo (Studi Tahun 2017)
1. What (Apa) ?
Tujuan dilakukannya penelitian adalah karena peneliti ingin mengetahui faktor yang
berhubungan terhadap kejadian GAKY pada anak usia sekolah.
2. Where (Dimana) ?
Penelitian ini dilakukan di Desa Sidoharjo, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo.
3. When (Kapan)
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2017
4. Who (Siapa) ?
Responden yang dipilih adalah seluruh siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) IV Krebet.
5. Why (Kenapa) ?
Kondisi air dan tanah yang tidak mengandung yodium merupakan salah satu
penyebab suatu wilayah menjadi rawan GAKY. Selain itu, GAKY dapat disebabkan
karena rendahnya konsumsi yodium dan tingginya konsumsi goitrogenik. Dimana
GAKY yang terjadi dapat menurunkan kecerdasan anak, gondok, kretin dan
gangguan fungsi mental.
6. How (Bagaimana) ?
Tidak ada hubungan antara karakteristik keluarga meliputi pendidikan ayah,
pendidikan ibu, pendapatan, besar keluarga dengan kejadian GAKY pada anak usia
sekolah. Hasil uji statistik chi square dan fisher exact menunjukkan bahwa pola
konsumsi sumber yodium yang berhubungan dengan kejadian GAKY yaitu pola
konsumsi ikan laut dan telur. Hasil uji statistik chi square dan fisher exact
menunjukkan bahwa pola konsumsi sumber goitrogenik yang berhubungan dengan
kejadian GAKY yaitu pola konsumsi tiwul. Hasil uji regresi logistik menunjukkan
bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap GAKY yaitu pola konsumsi ikan
laut.
Analisis Kasus
Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) adalah efek yang diakibatkan karena
kekurangan yodium pada tumbuh kembang manusia. GAKY mengakibatkan seseorang
32
menderita gondok, dimana gondok memiliki beberapa stadium diantaranya kretin endemik
yang ditandai oleh gangguan mental, gangguan pendengaran, gangguan pertumbuhan pada
anak dan orang dewasa. Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dapat diakibatkan
oleh defisiensi yodium yang berlangsung lama akibat pola konsumsi pangan yang kurang
yodium sehingga akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid, yang secara perlahan
menyebabkan kelenjar membesar sehingga menyebabkan gondok. Titik paling kritis
GAKY adalah trimester ke-2 kehamilan sampai dengan 3 tahun setelah lahir (Wijaya,
2017).
Faktor yang disebutkan dalam jurnal yang berhubungan dengan kejadian GAKY pada
anak usia sekolah yaitu pola konsumsi ikan laut, pola konsumsi telur dan pola konsumsi
tiwul (Izati, et al., 2017). Sedangkan ada sumber lain yang menyatakan bahwa beberapa
penyebab GAKY adalah: (Wijaya, 2017)
1. Defisiensi Iodium dan Iodium Excess
GAKY umumnya disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi
fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan minuman yang kita
konsumsi. Iodium Excess terjadi apabila iodium yang dikonsumsi cukup besar secara
terus menerus, seperti yang dialami oleh masyarakat di Hokaido (Jepang) yang
mengkonsumsi ganggang laut dalam jumlah yang besar. Iodium yang dikonsumsi
dalam dosis tinggi akan terjadi hambatan hormogenesis, khususnya iodinisasi tirosin
dan proses coupling.
2. Lokasi (Geografis dan non geografis)
Kandungan Yodium di berbagai daerah berbeda-beda sehingga dapat memicu risiko
menderita GAKY. GAKY umumnya banyak ditemukan di daerah perbukitan atau
dataran tinggi, karena yodium yang berada dilapisan tanah paling atas terkikis oleh
banjir atau hujan dan berakibat tumbuh-tumbuhan, hewan dan air di wilayah ini
mengandung yodium rendah bahkan tidak ada.
3. Asupan Energi dan Protein
Protein transport memiliki fungsi mencegah hormon tiroid keluar dari sirkulasi dan
sebagai cadangan hormon. Jika terjadi defisiensi protein akan mempengaruhi
beberapa tahap dalam sintesis hormon tiroid terutama tahap transportasi hormon.
4. Pangan Goitrogenik
Zat goitrogenik dapat menghambat penyerapan yodida anorganik oleh kelenjar tiroid.
Ada 2 jenis zat goitrogenik yang terdapat pada makanan, antara lain (a) Tiosianat
33
(dalam sayuran kobis, kembang kol, sawi, rebung, ketela rambat dan jewawut); (b)
Isotiosianat dalam kobis.
5. Genetik
Adanya ketidaknormalan fungsi kerja pada kelenjar tiroid, adanya cacat metabolik
yang diturunkan (misal pada pengangkutan yodium, cacat pada iodinasi, cacat pada
perangkaian, defisiensi deiodinasi, dan produksi protein teriodinasi yang abnormal.
35
2.8.2 Studi Kasus Obesitas
Judul : Pola Konsumsi Fast Food, Aktivitas Fisik dan Faktor Keturunan Terhadap Kejadian
Obesitas (Studi Kasus pada Siswa SD Negeri 01 Tonjong Kecamatan Tonjong Kebupaten
Brebes) (Studi Tahun 2017)
1. What (Apa) ?
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pola konsumsi fast food, aktivitas fisik dan
faktor keturunan terhadap kejadian obesitas pada anak Sekolah Dasar Negeri 01 Tonjong,
Kabupaten Brebes.
2. Where (Dimana) ?
Penelitian dilakukan di SD Negeri 01 Tonjong, dengan pertimbangan status ekonomi
orang tua siswa sebagian besar tergolong menengah ke atas dan banyaknya jumlah anak
yang mengalami kegemukan.
3. When (Kapan) ?
Survei awal penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2016. Tanggal 18-19 Oktober
2016 dilakukan penghitungan IMT pada siswa.
4. Who (Siapa) ?
Kasus dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SD Negeri 01 Tonjong yang duduk di kelas
IV, V dan VI dengan jumlah 284 responden. Sampel berjumlah 72 responden (36 anak
gemuk dan 36 anak nomal).
5. Why (Kenapa) ?
Berdasarkan hasil wawancara dengan 7 orang tua siswa yang obesitas, 4 diantaranya
menyatakan bahwa anaknya untuk sering mengkonsumsi makanan siap saji atau fast food
sehingga beresiko menderita obesitas pada usia pertumbuhannya, selain itu untuk aktivitas
fisik yang dilakukan oleh anak masih kurang optimal, dimana anak masih sering sering
melakukan aktifitas seperti bermian gadget, menghabiskan waktu untuk menonton televisi
sehingga energi yang dikeluarkan tidak sebanding dengan energi yang di terima.
Disebutkan pula adanya faktor keturunan dari orang tua juga sehingga orang tua yang
mempunyai riwayat obesitas beresiko anaknya mengalami obesitas juga.
6. How (Bagaimana) ?
Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan menggunakan metode survey
analitik. Yang mana didapatkan hasil, anak normal yang mengonsumsi fast food masih
dalam batas yang wajar, sedangkan anak gemuk mengonsumsi fast food secara berlebihan.
36
Dikatakan juga bahwa baik kedua ataupun salah satu dari orang tua yang obes memiliki
kecenderungan untuk melahirkan anak yang obesitas.
Analisis Kasus
Penyakit ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dan
kebutuhan energi, yakni konumsi kalori terlalu lebih dibandingkan dengan kebutuhan atau
penggunaan energi. Kelebihan energi dalam tubuh ini akan disimpan dalam bentuk lemak.
Pada keadaan normal, jaringan lemak ini ditimbun di tempat--tempat tertentu diantaranya
dalam jaringan subcutan, dan di dalam jaringan tirai usus. Seseorang dikatakan menderita
obesitas bila berat badannya pada laki-laki melebihi 15% dan pada wanita melebihi 20% dari
berat badan ideal umurnya.
Kebiasaan mengonsumsi fast food dikarenakan terlalu padatnya jadwal orangtua yang
mana tidak dapat menyiapkan makanan yang sehat dan bergizi bagi anak,lebih memilih
membiasakan mengonsumsi fast food tersebut karena dirasa tidakperlu menghabiskan waktu
banyak. Ditambah lagi dengan kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak menambah
risiko untuk menderita obesitas, karena ketidaksesuaian antara kalori yang masuk dalam
tubuh dengan kalori yang dibakar untuk energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi energi
dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab obesitas.
Apabila salah satu dari orang tua anak maupun kedua orantuanya menderita
obesitas,maka akan besar resiko untuk memiliki keturunan yang mengalami obesitas pula.
Soelistijani dan Herlianty (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang mempunyai bakat
gemuk karena faktor genetik akan cepat menjadi gemuk, apalagi jika didukung kebiasaan
makan orang tua yang menyukai makanan berkalori tinggi dan anak meniru kebiasaan makan
orang tuanya tersebut. (Septiani, et al., 2017)
a. Motivasi
Sebelum memulai program penurunan berat badan, pertama-tama yang harus diubah
adalah pola pikir dari orang gemuk. Motivasi menjadi kurus harus kuat tertanam di dalam
dirinya, bukan sekedar ikut-ikutan. Motivasi ini bisa diperkuat dengan bergabung dalam
kelompok mereka yang mempunyai program sama, berdiskusi dengan pakarnya, dan lain
sebagainya. Biasanya dalam kelompok, para anggota bisa saling mengingatkan dan saling
berkompetisi. Begitu pula dengan adanya pakar dalam kelompok tersebut, usaha yang
37
dilakukan menjadi sistematik dan terarah. Adalah lebih baik jika penurunan berat badan
dilakukan pada saat belum mengalami kondisi penyakit tertentu, bukan akibat dari penyakit
yang diderita.
b. Pengaturan Diet
Semakin gemuk seseorang maka semakin mudah untuk merasa lapar. Ini karena
pengaruh zat/hormon yang terdapat dalam sel-sel lemak. Maka usaha pembatasan diet harus
dilakukan sesegera mungkin. Jika yang bersangkutan menganggap bahwa usaha pembatasan
diet bisa dilakukan kapan saja (tetapi tidak saat ini), tentu usahanya menjadi lebih sulit.
Karena itu, pada saat ini juga, tetapkanlah bahwa saya harus membatasi diet saya, sebelum
menjadi lebih gemuk lagi dengan risiko lebih susah lagi untuk berdiet. Carilah makanan
yang rendah kalori. Jangan lupa pula membatasi makanan manis, asin, dan lemak. Anjuran
WHO, jumlah penurunan massa tubuh yang baik dan aman adalah sekitar setengah hingga 1
kg per minggu.
c. Pola Hidup Sehat
Selain pengaturan diet, seorang yang mengalami obesitas harus membiasakan diri untuk
menimbang berat badan untuk mengetahui dan mengevaluasi apakah program diet yang
dijalankan telah berhasil atau perlu dikoreksi.
38
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penilaian biokimia ini merupakan cara yang paling obyektif dan bersifat kuantitatif.
Penilaian secara biokimiawi ini dapat mendeteksi kelaianan status gizi jauh sebelum terjadi
perubahan dalam nilai antropometri serta gejala dan tanda-tanda kelaianan klinis. Penilaian
status gizi dengan metode biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji di laboratorium
yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urin,
tinja, hati dan otot. Untuk mengatahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan
pemeriksaan status biokimia pada jaringan dan cairan tubuh dan tes fungsional.
Pada status gizi (obesitas) yang terjadi sebagai akibat pemasukan energi yang
melebihi kebutuhan tubuh untuk keperluan metabolisme dasar yang mencakup metabolisme
basal, SDA, aktivitas jasmani, pembuangan sisa makanan dan energi untuk pertumbuhan.
Dalam menentukan diagnosa pada obesitas didasarkan atas gejala klinis dan hasil
pemeriksaan antropometri yang mencangkup pengukuran BB, TB, lingkar lengan atas, serta
tebal lipatan kulit dan sub kutan lengan atas kanan bagian belakang tengah, sebelah atas otot
triseps. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan gejala klinis obesitas, disertai dengan adanya
data antropometrik untuk perbandingan BB dan TB, lingkaran lengan atas, dan tebalnya
lapisan kulit, paling sedikit 10 % diatas nilai normal. Sedangkan pada kelenjar tiroid hormon
tiroksin, mengandung banyak iodium.Kekurangan iodium menyebabkan pembesaran kelenjar
gondok karena kelenjar ini harus bekerja keras untuk membentuk tiroksin.
3.2 Saran
Dengan adanya metode penilaian biokimia ini dalam penentuan status gizi pada
masyarakat dan petugas kesehatan sangat berguna. Karena dengan adanya penilaian biokimia
petugas kesehatan lebih mudah untuk melakukan diagnosa tidak hanya berpatokan pada
tanda-tanda klinis, tetapi juga bisa dilakukan uji biokimia tersebut. Diharapkan dengan
seiringnya waktu, kemajuan pengetahuan dan teknologi bisa berkembang dengan aplikasi-
aplikasi yang bisa diakses oleh masyarakat sehingga masyarakat bisa melakukan
pemeriksaannya sendiri. Tetapi juga bisa dilakukan di rumah sakit terdekat dan tersedianya
laboratorium untuk melakukan uji biokimia tersebut.
39
DAFTAR PUSTAKA
Alhamda, S., & Sriani, Y. (2015). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta:
Deepublish.
Almatsier, S., Soetardjo, S., & Soekatri, M. (2011). Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suhardjo, 2002. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Thamaria, N., 2017. Penilaian Status Gizi. [online access,
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/PENILAIAN-
STATUS-GIZI-FINAL-SC.pdf diakses pada 14-3-2019 9:58 AM]
Par'i, H. M., Wiyono, S. & Harjatmo, P. T., 2017. Penilaian Status Gizi (Bahan Ajar Gizi).
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Supariasa, I. D., Bakri, B., & Fajar, I. (2016). Penilaian Status Gizi (2nd ed.). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Supariasa, I. D., Bakri, B., & Fajar, I. (2011). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Izati, Imaniar Mahdiya dan Mahmudiono, Trias. 2017. Pola Konsumsi Makanan Sumber
Yodium dan Goitrogenik dengan GAKY pada Anak Usia Sekolah di Ponorogo. [Online]
2017. [Dikutip: 13 Maret 2019.] https://e-
journal.unair.ac.id/AMNT/article/download/6230/3850.
Septiani, Riswanti dan Raharjo, Bambang Budi. 2017. Pola Konsumsi Fast Food, Aktivitas
Fisik dan Faktor Keturunan Terhadap KejadianObesitas (Studi Kasus pada Siswa SD
Negeri 01 Tonjong Kecamatan Tonjong Kebupaten Brebes). [Online] Desember 2017.
[Dikutip: 13 Maret 2019.]
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/phpj/article/download/13787/7552.
Wijaya, Dwi. 2017. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). [Online] Juli 2017.
[Dikutip: 13 Maret 2019.] https://dinkes.pidiekab.go.id/kapita-selekta/r-43/gangguan-
akibat-kekurangan-yodium-gaky.
Supariasa, I. D. (2016). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Depkes, RI. 2000. Pedoman Pelaksanaan Pemantauan Garam Beryodium di Tingkat
Masyarakat. Jakarta : Depkes RI
WHO. 2001. Trace Element in Human Nutrition and Health. World health Organization,
Geneva.
40
41