Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

“Aplikasi Penentuan Status Gizi Biokimia Terhadap Masalah Kesehatan Masyarakat


(Gangguan Akibat Kekurangan Yodium dan Obesitas) ”
(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Penentuan Status Gizi Kelas B
Pada Hari Senin, 11 Maret 2019 pukul 13.20 – 16.00 WIB )

Dosen Pengampu :
Dr. Farida Wahyuningtyias, S.KM., M.Kes

Oleh
Kelompok 2:
1. Alan Subhan Dz.P 142110101258
2. Arwiyah Shafi N 162110101003
3. Anrista Dea F 162110101019
4. Yeni Hariyani 162110101045
5. Rachel Musfiratul R 162110101056
6. Anggi Eka S 162110101067
7. Nia Andriana 162110101072
8. Nuzulia Rahmawati 162110101080
9. Lidya Meidy R 162110101086
10. Toby Rochmanto 162110101119
11. Winda Ariyanti D 162110101155
12. Yusniar Ajeng F 162110101218
13. Dwi Estu P 172110101171

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Aplikasi Penentuan Status Gizi Biokimia Terhadap Masalah Kesehatan Masyarakat
(Gangguan Akibat Kekurangan Yodium dan Obesitas)” dengan tepat waktu. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Tidak lupa penulis
sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, yaitu:
1. Allah SWT, Tuhan semesta alam.
2. Ibu Dr. Farida Wahyuningtyias, S.KM., M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyusun makalah ini.
3. Rekan-rekan Penentuan Status Gizi Kelas B dan kelompok 2 yang telah memberikan
saran, kritik dan masukan yang membangun, serta semua pihak yang terlibat dalam
proses penyempurnaan makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi materi maupun
penyajiannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam
penyempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini dapat memberikan tambahan wawasan
bagi kita semua khususnya teman-teman mahasiswa serta bisa menjadi bahan referensi untuk
pembelajaran kita bersama.

Jember, 13 Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 2

1.4 Manfaat........................................................................................................................ 3

BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................................................ 4

2.1 Penilaian Status Gizi Secara Biokimia ........................................................................ 4

2.1.1 Pengertian Penilaian Status Gizi Secara Biokimia .............................................. 4

2.1.2 Kategori Penilaian Status Gizi ............................................................................. 4

2.2 Tujuan Status Gizi Secara Biokimia ........................................................................... 5

2.3 Macam-macam Penentuan Status Gizi Secara Biokimia ............................................ 7

2.3.1 Pemeriksaan Status Biokimia Tubuh ................................................................. 19

2.3.2 Tes Fungsional ................................................................................................... 21

2.4 Pemeriksaan Biokimia Zat Gizi ................................................................................ 21

2.4.1 Penentuan Status Gizi FE................................................................................... 21

2.4.2 Pengukuran Status Protein ................................................................................. 23

2.4.3 Penentuan Status Gizi Vitamin .......................................................................... 24

2.4.4 Penentuan Status Mineral (Iodium) ................................................................... 26

2.5 Penentuan Status Gizi pada Gangguan Akibat Kekurangan Yodium dengan Metode
Biokimia............................................................................................................................... 27

2.6 Penentuan Status Gizi pada Obesitas dengan Metode Biokimia .............................. 30

2.7 Keunggulan dan Kelemahan Pemeriksaan Biokimia ................................................ 30

2.8 Studi Kasus................................................................................................................ 32

2.8.1 Studi Kasus Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) ......................... 32

ii
2.8.2 Studi Kasus Obesitas.......................................................................................... 36

BAB 3 PENUTUP ................................................................................................................... 39

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 39

3.2 Saran .......................................................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 40

iii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia makan pada dasarnya memenuhi 3 fungsi makanan itu sendiri yaitu untuk
tenaga, pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh. Kurang konsumsi makanan maka akan diambil
dari cadangan tubuh dan jika makan berlebih akan disimpan dalam bentuk cadangan tubuh.
Status gizi merupakan sebagai keadaan fisik seseorang atau sekelompok orang yang
ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman,
2000). Gizi juga dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti KEP, EK, KVA, anemia dan
masih banyak lagi permasalahan gizi lainnya. Masalah gizi merupakan masalah kesehatan
tetapi penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan saja. Penentuan status gizi dibagi menjadi 2 yaitu penentuan status gizi secara
langsung dan secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi
menjadi 4 penilaian yaitu antropometri, Klinis, Biokima dan biofisik. Pengukuran status gizi
bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran dimana masalah gizi terjadi dan dianalisa
faktor-faktor ekologi yang langsung atau tidak langsung sehingga dapat dilakukan upaya
perbaikan (Suhardjo, 2002).

Penentuan status gizi dengan metode laboratorium adalah salah satu metode yang
dilakukan secara langsung pada tubuh atau bagian tubuh. Tujuan penilaian status gizi ini
adalah untuk mengetahui tingkat ketersediaan zat gizi dalam tubuh sebagai akibat dari asupan
gizi dari makanan. Metode penilaian status gizi dikelompokkan atas langsung dan metode
tidak langsung. Penilaian secara langsung terdiri dari metode biokimia, penilaian klinis,
penilaian biofisik, dan penilaian antropometri. Penilaian status gizi secara biokimia disebut
juga dengan metode pemeriksaan laboratorium. Penggunaan metode penilaian status gizi
secara biokimia digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan
malnutrisi yang lebih parah lagi.

Kelebihan metode laboratorium untuk menilai status gizi mempunyai beberapa


kelebihan dibandingkan dengan metode yang lain. Kelebihan tersebut adalah metode
laboratorium dapat mengukur tingkat gizi pada jaringan tubuh secara tepat, sehingga dapat
dipastikan apakah seseorang mempunyai kadar zat gizi yang cukup atau kurang. Bahkan
dalam jumlah kecil sekalipun dapat terdeteksi, seperti Gangguan Akibat Kekurang Yodium
(GAKY) dan obesitas. Dengan mengetahui tingkat gizi dalam tubuh, maka kemungkinan

1
kejadian yang akan datang dapat diprediksi. Dengan demikian dapat segera dilakukan upaya
intervensi untuk mencegah kekurangan gizi yang lebih parah. Selain itu kelebihannya adalah
data yang diperoleh pemeriksaan laboratorium hasilnya cukup valid dan dapat dipercaya
ketepatannya (Thamaria, 2017).

GAKY adalah rangkaian kekurangan yodium pada tumbuh kembang manusia yang
akan menyebakan gannguan mental, badan kerdil, berkerunganya kecerdasan, dan penyakit
lainnya. Penentuan pembesaran kelenjar gondok akibat GAKY dapat dilakukan dengan
metode biokimia yaitu pemeriksaan kadar Tyroid Stimulating Hormone (TSH) dalam darah.
Obesitas atau kegemukan disebabkan karena adanya penimbunan lemak yang ada didalam
tubuh, sehingga memungkinkan peluang besarnya terjadi gangguan penyakit. Pemeriksaan
obesitas dengan metode biokimia yaitu dengan pemeriksaan profil lipid ppada tubuh
penderita.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan urain latar belakang diatas maka rumusan masalah pada makalah ini adalah
Bagaimana cara penentuan gizi pada kasus Kekurangan Energi Protein dan obesitas dengan
metode biokimia?

1.3 Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Menganalisis cara penentuan status gizi dengan metode biokimia

1.3.2. Tujuan Khusus


a. Mengetahui Penenteuan Status Gizi (PSG) dengan metode biokimia
b. Mengetahui Penenteuan Status Gizi (PSG) Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium dengan metode biokimia
c. Mengetahui Penenteuan Status Gizi (PSG) obesitas dengan metode biokimia

2
1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis makalah ini diharapakan dapat menambah khasanah ilmu


pengetahuan Kesehatan Masyarakat khususnya bidang gizi terkait Penentuan Status
Gizi dengan metode biokimia

1.4.2 ManfaatP raktis


a. Bagi pembaca

Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai Penentuan Status


Gizi (PSG) dengan metode biokimia

b. Bagi penulis

Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis untuk lebih


memantapkan ilmu yang telah didapat sehingga dapat diterapkan kepada yang
memerlukan

3
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Penilaian Status Gizi Secara Biokimia

2.1.1 Pengertian Penilaian Status Gizi Secara Biokimia


Penilaian biokimia adalah pemeriksaan yang sifatnya langsung untuk
menentukan status gizi sesorang. Dibandingkan dengan cara penilaian lainnya
seperti antropometri dan penilaian klinis, penilaian secara biokimia ini
merupakan cara yang paling obyektif dan bersifat kuantitatif. Penilaian secara
biokimiawi ini dapat mendeteksi kelaianan status gizi jauh sebelum terjadi
perubahan dalam nilai antropometri serta gejala dan tanda-tanda kelaianan klinis
(Almatsier, Soetardjo, & Soekatri, 2011).
Penilaian status gizi dengan metode biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji di laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam
jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urin, tinja, hati dan otot.
Metode ini digunakan untuk peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi
keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang
spesifik, maka penentuan kimia faal dapat lebih banyak menolong untuk
menentukan kekurangan gizi yang spesifik (Alhamda & Sriani, 2015).
2.1.2 Kategori Penilaian Status Gizi
Ada beberapa tes yang digunakan dalam metode penilaian secara
biokimiawi yang berguna untuk melihat asupan zat gizi saat ini, yang dapat
dilakukan secara bersamaan dengan penilaian status gizi lainnya. Penilaian
status gizi dibagi dalam dua kategori, yaitu tes statis dan tes fungsional dapat
juga disebut dengan tes langsung dan tes tidak langsung (Almatsier, Soetardjo,
& Soekatri, 2011).
a. Tes statis didasarkan pada penetuan zat gizi atau hasil metabolisme dalam
darah, urin, feses, hati, otot dan jaringan tubuh lainnya. Misalnya
pengukuran Vitamin A, albumin atau kalsium di dalam serum. Meskipun
hasilnya langsung didapat, namun pada tes ini juga didapatkan kelemahan
yaitu walaupun hasil tesnya menunjukkan nilai gizi di dalam jaringan atau
cairan yang diambil sebagai sampel, tetapi hal ini tidak selalu
mencerminkan status gizi seseorang secara keseluruhan, pakah tubuh
secara keseluruhan menunjukkan gizi kurang, normal atau lebih. Misalnya

4
status seng (Zn) dalam darah/serum dapat dengan mudah ditentukan, tetapi
pengukuran statis yang dilakukan satu kali tersebut tidak bisa dijadikan
indikator yang spesifik untuk menentukan status seng (Zn) tubuh secara
keseluruhan.
b. Tes fungsional dilakukan untuk menetapkan status gizi berdasarkan
pertimbangan bahwa “hasil akhir dari kekurangan zat gizi dan kepentingan
biologinya tidak semata-mata ditentukan oleh kadarnya di dalam darah dan
jaringan, tetapi oleh kegagalan dari satu atau lebih proses fisiologi yang
tergantung pada zat gizi tersebut untuk menunjukkan penampilan yang
optimal”. Beberapa contoh tes fungsional adalah tes adaptasi gelap untuk
menilai status Vitamin A, dan gangguan status imun/kekebalan yang
merupakan akibat dari kekurangan zat gizi. Salah satu kelehaman tes
fungsional adalah ada kecenderungan untuk tidak spesifik. Hasil dapat
menyattakan status gizi secara umum, tetapi tidak dapat menyatakan
kekurangan zat gizi tertentu. Tes biokimia dapat digunakan untuk menguji
validitas berbagai metode dalam penilaian konsumsi makanan atau untuk
melihat apakah responden yang diwawancarai terlalu berlebihan atau
terlalu sedikit dalam memberikan informasi tentang apa yang
dikonsumsinya

2.2 Tujuan Status Gizi Secara Biokimia

Pemeriksaan biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang lebih tepat
dan objektif daripada menilai konsumsi pangan dan pemeriksaan lain. Pemeriksaan yang
sering digunakan adalah teknik pengukuran kandungan berbagai gizi dan substansi kimia
lain dalam darah dan urine. Adanya parasit dapat diketahui melalui pemeriksaan feses, urine,
dan darah.

Mengetahui tingkatan status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan status


biokimia pada jaringan dan cairan tubuh dan tes fungsional (Ningtyias, 2010).

a. Untuk menilai status gizi


Dengan Biokimia hasil yang didapatkan bisa memberikan gambaran
lebih tepat, objektif, dan hanya dilakukan orang yang terlatih. Hasil
pemeriksaan biokimia tersbut dibandingkan dengan standar normal yang telah
ditetapkan

5
b. Untuk mendekteksi keadaan defisiensi zat gizi sub-klinikal
Artinya sudah mengalami kelainan biokimia namun tanpa tanda-tanda
atau gejala klinis, sehingga sering digunakan untuk menggambarkan tahap
awal dari suatu penyakit atau kondisi, sebelum gejala terdeteksi oleh
pemeriksaan klinis atau pemeriksaan laboratorium.
c. Untuk melengkapi metode lain dalam penilaian status gizi.
Dengan adanya data biokimia, masalah gizi yang spesifik dapat lebih
mudah diidentifikasi (Par'i, et al., 2017).

Untuk mengetahui status gizi (obesitas) yang terjadi sebagai akibat pemasukan energi
yang melebihi kebutuhan tubuh untuk keperluan metabolisme dasar yang mencakup
metabolisme basal, SDA, aktivitas jasmani, pembuangan sisa makanan dan energi untuk
pertumbuhan. Kelebihan energi dapat terjadi sebagai akibat masukan energi yang berlebih,
penggunaan energi yang kurang atau kombinasi kedua hal tersebut.

Beberapa faktor yang berperan besar dalam meningkatkan resiko obesitas :

1. Masukan energi yang melebihi dari kebutuhan tubuh


2. Faktor psikologik
3. Life Style (Gaya Hidup)
4. Hormonal
5. Penggunaan kalori yang kurang

Menentukan diagnosis obesitas tidak selalu mudah, karena tidak ada garis pembatas
yang jelas antara gizi baik dan gizi lebih. Diagnosis didasarkan atas gejala klinis dan hasil
pemeriksaan antropometri, yang mencakup pengukuran BB, TB, lingkaran lengan atas, serta
tebal lipatan kulit dan sub kutan lengan atas kanan bagian belakang tengah, sebelah atas otot
triseps. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan gejala klinis obesitas, disertai dengan adanya
data antropometrik untuk perbandingan BB dan TB, lingkaran lengan atas, dan tebalnya
lapisan kulit, paling sedikit 10 % diatas nilai normal.

Sedangkan pada kelenjar tiroid hormon tiroksin, mengandung banyak iodium.


Kekurangan iodium menyebabkan pembesaran kelenjar gondok karena kelenjar ini harus
bekerja keras untuk membentuk tiroksin. Saluran ekskresi utama iodium saluran kencing
(urin) dan cara ini merupakan indikator utama pengukuran jumlah pemasukan dan status

6
iodium. Tingkat ekskresi (status iodium) yang rendah (25–20 µg/g creatin Reaksi Sandell-
Kolthoff) menunjukan risiko kekurangan iodium.

2.3 Macam-macam Penentuan Status Gizi Secara Biokimia

A. Penentuan Status Zat Besi


Ada beberapa indikator laboratorium untuk menentukan status besi yaitu:
– Hemoglobin (Hb)
– Hematokrit
– Besi serum
– Ferritin serum (Sf)
– Transferrin saturation (TS)
– Free erytrocytes protophophyrin (FEP)
– Unsaturated iron-binding capacity serum
1) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter yang digunakan secara luas untuk
menetapkan prevalensi anemia. Garby et al, menyatakan bahwa penentuan status
anemia yang hanya menggunakan kadar Hb ternyata kurang lengkap, sehingga
perlu ditambah dengan pemeriksaan yang lain.
Hb merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah.
Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat
digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Kandungan
hemoglobin yang rendah dengan demikian mengindikasikan anemia.
Bergantung pada metode yang digunakan, nilai hemoglobin menjadi akurat
samapai 2-3%. Metode yang lebih dulu dikenal adalah metode Sahil yang
menggunakan teknik kimia dengan membandingkan senyawa akhir secara visual
terhadap standar gelas warna. Ini memberi 2-3 kali kesalahan rata-rata dari
metode yang menggunakan spektrofotometer yang baik.
Nilai normal yang paling sering dinyatakan adalah 14-18 gm/100 ml untuk
pria dan 12-16 gm/100 ml untuk wanita (gram/100 ml sering disingkat dengan
gm% atau gm/dl). Beberapa literatur lain menunjukan nilai yang lebih rendah,
terutama pada wanita, sehingga mungkin pasien tidak dianggap menderita
anemia sampai Hb kurang dari 13 gm/100 ml pada pria dan 11 gm/100 ml untuk
wanita.
 Metode
7
Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan paling
sederhana adalah metode Sahli, dan yang lebih canggih adalah metode
cyanmethemoglobin.
Pada metode sahli, hemoglobin dihidrolisis dengan HCL menjadi globin
ferroheme. Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi
ferriheme yang segera bereaksi dengan ion Cl membentuk ferrihemechlorid
yang juga disebut hematin atau hemin yang berwarna coklat. Warna yang
terbentuk ini dibandingkan dengan warna standar (hanya dengan mata
telanjang). Untuk memudahkan perbandingan, warna standar dibuat konstan,
yang diubah adalah warna hemin yang terbentuk. Perubahan warna hemin dibuat
dengan cara pengenceran sedemikian rupa sehingga warnanya sama dengan
sangat berpengaruh. Disamping faktor mata, faktor lain, misalnya ketajaman,
penyinaran dan sebagainya dapat mempengaruhi hasil pembacaan.
Meskipun demikian untuk pemeriksaan di daerah yang belum mempunyai
peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode sahil ini masih
memadai dan bila pemeriksanya telah terlatih hasilnya dapat diandalkan.
Metode yang lebih canggih adalah metode cyanmethemoglobin. Pada
metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kaliumferrosianida menjadi
methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk
sian-methemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan
fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan alat
elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Namun, fotometer saat ini masih cukup
mahal, sehingga belum semua laboratorium memilikinya.
Mengingat hal diatas, percobaan denga metode sahli masih digunakan
disamping metode cyanmethemoglobin yang lebih canggih.
a. Prosedur pemeriksaan denga metode sahli
Reagensia :
– HCl 0,1 N
– Aquadest
Alat/sarana:
– Pipet hemoglobin
– Alat sahli
– Pipet pastur
– Pengaduk
8
Prosedur kerja
– Masukan HCl 0,1 N ke dalam tabung sahli sampai angka 2.
– Bersihkan ujung jari yang akan diambil darahnya
menggunakanlarutan desinfektan (alkohol 70%, betadin
dansebagainya), kemudian tusuk dengan lancet atau alat lain.
– Isap dengan pipet hemoglobin sampai melewati batas, gbersihkan
ujung pipet, kemudian teteskan darah samapai ketanda batas
denga cara menggeserkan ujung pipet ke kertas saring/kertas tisu.
– Masukan pipet yang berisi darah kedalam tabung hemoglobin,
samapi ujung pipet menempel pada dasar tabung, kemudian tiup
pelan-pelan. Usahakan agar tidak timbukl gelembung udara.
Bilas sisa darah yang me nempel pada dinding pipet dengan cara
mengisap HCl dan meniupnya lagi sebanyak 3-4 kali.
– Campur sampai rata dan diamkan selam kurang lebih 10 menit.
– Masukan ke dalam alat pembanding, encerkan dengan aquades
tetes demi mtetes sampai warna larutan (setelah diaduk samapai
homogen) sama denga warna gelas dari alat pembanding. Bila
sudah sama, baca kadar hemoglobin pada skala tabung.
b. Prosedur pemeriksaan dengan metode cyanmethemoglobin
– Larutan kalium ferriosianida (K3Fe(CN)6 0,6 mmol/l
– Larutan kalium sianida (KCN) 1,0 mmol/l
Alat/sarana:
– Pipet darah
– Tabung cuvert
– Kolorimeter
Prosedur kerja :
– Masukan campuran reagen sebanyak 5 ml ke dalam cuvert.
– Ambil darah kapiler seperti pada metode sahil sebanayak 0,02 ml
dan masukan ke dalam cuvert di atas, kocok dan diamkan selama
3 menit.
– Baca dengan kolorimeter pada lambda 546.
 Perhitungan:
Kadar Hb = absorpsi x 36,8 gr/dl/100 ml
Atau
9
Kadar Hb = absorpsi x 22,8 mmol/l
2) Hematokrit (HCT)
Hematokrit adalah volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan
cara memutarnya di dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam
persen (%). Setelah sentrifugasi, tinggi kolom sel merah diukur dan
dibandingkan dengan tinggi darah penuh yang asli. Persentase massa sel merah
pada volume darah yang asli merupakan hematokrit. Darah penuh antikoagulasi
disentrifugasi dalam tabung khusus. Karena darah penuh dibentuk pada
intiselnya oleh sel darah merah (SDM) dan plasma, setelah sentrifugasi
persentase sel-sel merah memberikan estimasi tidak langsung jumlah SDM/100
ml dari darah penuh (dan dengan demikian pada gilirannya merupakan estimasi
tidak langsung jumlah hemoglobin). Hematrokrit dengan demikian bergantung
sebagian besar pada jumlah SDM. tapi ada beberapa efek (dalam hal jauh lebih
sedikit) dari ukuran rata-rata SDM. nilai normal adalah 40%-54% untuk pria dan
37%-47% untuk wanita. HCT biasanya hampir 3 kali nilai Hb (dengan
menganggap tidak terdapat tanda hipokromia). Kesalahan rata-rata pada
prosedur HCT yaitu kira-kira 1-2%.
3) Serum Besi
Prosedur serum iron. Darah harus dikumpulkan menggunakan tabung
terevakuasi bebas elemen tembusan. Hanya air terdeionisasi terdistilasi yang
harus digunakan.
– Berilah label tabung uji dengan blanko, standar, referensi, pool, dan subjek
test masing-masing
– Tambahkan 2.5 ml reagen penyangga besi pada masing-masing tabung
– Pada tabung berblangko tambahkan 0.5 ml standar besi. Pada referensi
tambahkan 0.5 ml bahan referensi besi serum. Pada pool tambah dengan 0.5
ml serum pooled. Untuk masing-masing subjek uji, tambahkan 0.5 ml
serum pada tabung yang cocok.
– Campurkan masing-masing tabung uji secara merata dengan vortex mixer
– Pindahkan masing-masing sampel pada sebuah cuvet.
– Pasang pada panjang gelombang 560 nm. Nolkan spektofotometer pada
penyerapan nol dengan blanko reagen.
– Baca dan catat penyerapan awal sampel blanko, standar, referensi dan uji.
Kembalikan sampel-sampel itu pada tabung yang sesuai setelah dilakukan
10
pembacaan. Ini merupakan penyerapan awal (Ainitial) yang diukur agar
dilakukan pertimbangan mengenai pebedaan-perbedaan dalam turbiditas
sampel.
– Tambahkan 0.05 ml reagen warna besi pada masing-masing tabung.
Campur masing-masing tabung dan biarkan beridri selama kira-kira 10
menit dalam air pada 370 C
– Pindahkan isi masing-masing tabung pada cuvet
– Baca lagi dan catat penyerapan sampel blanko, standar, referensi, pool, dan
uji menggunakan blanko untuk membuat nol penunjukan spektrofotometer.
Ini merupakan penyerapan akhir (Afinal).
 Perhitungan hasil :
Jika standar besi berisi 500 µg/dl, konsentrasi besi serum (µg/dl) dari
sampel dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Faktor konversi pada satuan (µmol/L) = x 0,179.
4) Transferrin saturation (TS)
Penentuan kadar zat besi dalam serum merupakan satu cara menentukan
status besi. Salah satu indikator lainya adalah Total Iron binding capacity
(TIBC) dalam serum. Kadar TIBC ini meningkat pada penderita anemia. Karena
kadar besi di dalam serum menurun dan TIBC meningkat pada keadaan
defisiensi besi maka rasio dari keduanya (transferrin saturation) lebih sensitif.
Rumus tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila TS > 16 %, pembentukan sel-sel darah merah dalam
sumsum tulang berkurang dan keadaan ini disebut defisiensi besi untuk
eritropoiesis.
5) Free erythrocyte protophorphyrin (FEP)
Apabila penyediaan zat besi tidak cukup banyak untuk pembentukan sel-sel
darah merah di sumsum tulang maka sirkulasi FEP di darah meningkat
walaupun belum nampak anemia. Dengan menggunakan fluorometric assay,
maka penentuan FEP lebih cepat digunakan. Satuan untuk FEP dinyatakan
dalam µg/dl darah atau µg/dl darah merah. Dalam keadaan normal kadar FEP
berkisar 35 ± 50 µg/dl RBC tetapi apabila kadar FEP dalam darah lebih besar
dari 100 µg/dl RBC menunjukkan individu ini menderita kekurangan besi.
Prosedur free erythrocyte protoporphyrin:

11
– Tekan tombol “ON” pada henatofluorometer dan sisipkan blank glass cover
slip ke dalam pemegang sampel.
– Tekan tombol “MEASURE” dan catat pembacaan pda blank glass cover
slip. Gunakan hanya blank cover slip dengan pembacaan dari 000-006.
– Gunakan pipet pasteur plastik untuk menempatkan setetes darah penuh
(kira-kira 20 µL) di atas blank cover slip denga cara menyebarkannya,
sehingga berhubungan pada posisi lubang.
– Tekan tombol “MEASURE” dan catat pembacaan. Jangan subtraksikan
pembacaan pada blank cover slip.
– Ulangi (4) setelah 10 – 15 detik lewat dan kemudian kesampingkan glass
cover slip.
– Untuk kontrol darah, ambil setetes darah (sekitar 35 µL) di atas glass cover
slip yang bersih dengan menekan botol. Campurkan tetesan darah dengan
ujung botol. Pindahkan tutup botol.
– Tekan tombol “MEASURE” dan catat pembacaan. Kesampingkan glass
cover slip.
– Periksa kontrol-kontrol darah pada permukaan dan akhir setiap hari, atau
setelah 50 pengujiaan yang bisa diterapkan. Nilai kontrol rendah, medium
dan tinggi harus ada dalam harga yang dinyatakan.
Perhitungan hasil
Konsentrasi zink protoporphyrin yang dinyatakan dalam µmol/L RBX’s
dapat dihitung menggunakan rumus berikut, yang dalam hal ini hematokrit
dinyatakan sebagai fraksi volume dari paket sel darah merah:
Konsentrasi zink protoporphyrin juga dapat dinyatakan dalam µg/dL darah
penuh: faktor konversi pada satuan SI (mmol/L) = x 0,0177.
6) Serum ferritin (SF)
Untuk menilai status besi dalam hati perlu mengukur kadar ferritin.
Menurut cook (dalam Mahdin anwar husaini, 1989) banyak ferritin yang
dikeluarkan ke dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya
simpanan zat besi di dalam hati. Apabila didapatkan serum ferritin sebesar 30
mg/dl RBC berarti di dalam hati terdapat 30 x 10 mg = 300 mg ferritin. Untuk
menentukan kadar ferritin dalam darah dapat dilakukan dengan beberapa
metode, yaitu dengan cara immunoradiometric assay (IRMA) atau dengan radio
immuno assay (RIA) atau dengan cara enzyme-linked immuno assays (ELISA)
12
yang tidak menggunakan isotop, tetapi enzim. Dalam keadaan normal rata-rata
SF untuk laki-laki dewasa adalah 90 µg/l. perbedaan kadar serum ferritin ini
menggambarkan perbedaan banyaknya perbedaan zat besi pada tubuh dengan
zat besi pada laki-laki tiga kali lebih banyak dari wanita. Apabila seseorang
mempunyai kadar SF kurang dari 12 orang yang bersangkutan dinyatakan
sebagai kurang besi. Banyak orang yang sebenarnya menderita kurang besi,
tetapi tidak dapat terdeteksi dengan cara ferritin karena kadar ferritin yang
dikeluarkan dari hati menarik dalam darah apabila yang bersangkutan
menderita penyakit kronis, infeksi dan sakit hati. Namun, apabila penyakit
infeksi tidak umum terjadi di masyarakat, penentuan ferritin merupakan pilihan
yang tepat.
B. Penilaian Status Protein
Protein dalam darah mempunyai peranan fisiologis yang penting bagi tubuh antara
lain:
– Untuk mengatur tekanan air, dengan adanya tekanan osmose dari plasma protein.
– Sebagai cadangan protein tubuh.
– Untuk mengontrol peredaran darah (terutama dari fibrinogen).
– Sebagai transport yang penting untuk zat-zat gizi tertentu.
– Sebagai antibodi dari berbagai penyakit terutama dari gamma globulin.
– Untuk mengatur aliran darah, dalam membantu bekerjanya jantung.
Di dalam darah ada 3 fraksi protein yaitu:
– Albumin : kadar normalnya = 3,5 – 5 gram/100 ml
– Globulin : kadar normalnya = 1,5 – 3 gram/100 ml
– Fibrinogen : kadar normalnya = 0,2 – 0,6 gram/100 ml
Pemeriksaan biokimia terhadap status protein dibagi dalam 2 pokok, yaitu
penilaian terhadap somatic protein dan visceral protein. Perbandingan somatic dan
visceral dalam tubuh antara 75% dan 25%. Somatic protein terdapat pada otot skeletal,
sedangkan visceral protein terdapat di dalam organ/visceral tubuh yaitu hati, ginjal,
pankreas, jantung, erytrocyt, granulocyt dan lympocyt.
Konsentrasi serum protein dapat digunakan untuk mengukur status protein.
Penggunaan pengukuran status protein ini didasarkan pada asumsi bahwa penurunan
serum protein disebabkan oleh penurunan produksi dalam hati. Penentuan serum protein
dalam tubuh meliputi: albumin, transferrin, prealbumin (yang dikenal juga dengan

13
trasthyeritin dan thyroxine-binding prealbumin), retin ol binding protein (RBP), insulin-
Like growth factor-1 dan fibronectin.
 Prosedur penentuan serum protein
Ion kupri (Cu2+) dalam reagen biuret bereaksi dengan peptida (-CONH) dan
menghasilkan sen yawa peptida berwarna violet. Intensitas warna secara langsung
proporsional denga jumlah peptida pada pengukuran dengan kisaran yang luas.
Senyawa ini dibentuk hanya jika paling sedikit ada dua gabungan peptida (-CONH).
Akibatnya protein bereaksi dengan reagen beuret, sedangkan asam amino, ammonia,
urea dan senyawa lain berisi nitrogen sederhana tidak bereaksi. (Peters dan Biamente,
1982).
– Berilah label setiap tabung uji, yaitu standar, referensi, pool dan setiap subjek uji.
– Tambahkan 3,0 ml reagen biuret pada setiap tabung.
– Pada tabung standar, tambahkan 50 µl larutan standar; pada tabung referensi
tambahkan 50 µL serum referensi; pada tabung pool tambahkan 50 µL serum pool;
pada masing-masing subjek tambahkan dengan 50 µL serum uji.
– Campurkan setiap tabung secara merata, dan biarkan dalam lemari gelap pada
posisi berdiri minimal 10 menit.
– Tempatkan spectrophometer pada panjang gelombang 555 nm. Aturlah pada titik
nol dengan menggunakan cuvet reagen biuret sebagai referensi kosong.
– Pindahkan masing-masing isi tabung pada cuvet.
– Baca dan catat penyerapan sampel standar, referensi dan pool.
C. Penilaian Status Vitamin
Penilaian status vitamin yang terkait dengan penetuan status gizi meliputi
penentuan kadar vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin C, tiamin, riboflavin, niasin,
vitamin B6, vitamin B12.
1) Vitamin A
Deplasi vitamin A dalam tubuh merupakan proses yang berlangsung lama,
dimulai dengan habisnya persediaan vitamin A dalam hati, kemudian
menurunya kadar vitamin A plasma, dan baru kemudian timbul disfungsi retina,
disusul dengan perubahan jaringan epitel.
Kadar vitamin A dalam plasma tidak merupakan kekurangan vitamin A
yang dini, sebab deplesi terjadi jauh sebelumnya. Apabila sudah terdapat
kelainan mata, maka kadar vitamin A serum sudah sangat rendah (kurang dari 5
µg/100 ml), begitu juga kabar RBP-nya (<20 µg/100 ml) konsentrasi vitamin A

14
dalam hati merupakan indikasi yang baik untuk menentukan status vitamin A.
Akan tetapi, biopsi hati merupakan tindakan yang mengandung resiko bahaya.
Di samping itu, penentuan kadar vitamin A jaringan tidak mudah dilakukan.
Pada umumnya konsentrasi vitamin A penderita KEP rendah yaitu <15 µg/gram
jaringan hepar (Solihin Pujiadji, 1989).
Tabel 6-1. Batasan dan interpretasi pemeriksaan kadar vitamin A dalam
darah.
Umur(th) Kurang Margin Cukup
Plasma Vitamin Semua Umur <10 10-19>20
A(mg)

I. Metode penentuan serum retinol


i. Cara HPLC (High Performance Liquid Choromatography)
 Prinsip:
Retinol dan standar retinil asetat yang ditambahkan dengan pelarut
organik setelah protein serum didenaturasi. Dengan sistem fase berputar
(revers phase) kedua protein tersebut dipisahkan dan diukur serapannya pada
panjang gelombang 328 nm dengan HPLC. Konsentrasi retinol dalam serum
dapat dihitung dari perbandingan puncak grafik retinol-asetat.
 Prosedur :
– Seratus mikroliter palsma dimasukan ke dalam tabung mikro ditambah
100 mikroliter etanol yang berisi standar retinil acetat (konsentrasi
setara dengan 20 µg retinil/dl) dan 200 mikroliter heksan.
– Kemudian dikocok dengan vortex selama 1 menit.
– Setelah disentifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit
lapisan heksan yang berisi ekstrak vitamin A dipipet sebanyak 150 µl.
– Ekstrak ini kemudian diuapkan dengan pertolongan gas nitrogen sampai
kering.
– Ekstrak yang sudah kering kemudian ditambah 100 mikroliter
isoprepanol, kemudian dikocok dan sebanyak 50 mikroliter disuntikan
ke HPLC, dengan spesifikasi sebagai berikut.
 Kolom : bondapak C18
 Buffer (solvent) : metanol/air, (95/5, perbandingan m3)

15
 Kecepatan aliran : 2,5 ml/menit
 Tekanan : disesuaikan kecepatan aliran tersebut
 Panjang gelombang detektor : 328 nm
 Sensitivitas detektor : 0,01 AUFS
 Suhu : kamar
 Kecepatan rekoder : 1 cm/menit
 Munculnya grafik : Retinol 2,2 menit
 Munculnya grafik : Retynil acetat 3,0 menit
 Perhitungan : konsentrasi retinol dalam serum

 Catatan:
– Semua tabung reaksi yang digunakan harus benar-benar bersih. Untuk
mencapai ini semua tabung-tabung harus direndam dalam nitrat atau
pun kromat selama 3 hari.
– Berdasarkan pengalaman, setiap 4-5 kali penyuntikan pada HPLC
kolom perlu dicuci dengan dialiri buffer tanpa sampel selama sekitar 30
menit.
– Bila ada dugaan kadar vitamin A dalam serum agak tinggi (misalnya
serum orang dewasa normal, anak yang baru saja diberi vitamin A dosis
tinggi) serum yang digunakan 50 µl saja.
Pengalaman di puslitbang gizi bogor selama ini semua kolom yang
sudah digunakan untuk penentuan sekitar 250 sampel sudah tidak bisa
digunakan lagi. Hal ini mungkin terkait dengan kualitas pereaksi yang ada di
Indonesia.
– Penentuan kadar vitamin A cara kolorimeter dengan pereaksi
trifluoroasetat/TFA (neeld & pearson)
 Prinsip:
Setelah protein didenaturasi dengan alkohol, vitamin A diextraksi
dengan pelarut organik. Extrak dipisahkan dan vitamin A ditentukan dengan
direaksikan dengan TFA dan warna biru yang terbentuk diukur serapanya
pada panjang 620 nm. Karena karotin juga memberikan reaksi dengan TFA,
meskipun juga lebih lemah, perlu ada faktor koreksi karena ada pengaruh dari
karotin ini.

16
 Cara kerja (semi mikro)
– Lima ratus mikroliter serum dalam tabung reaksi ditambah dengan 500
mikroliter etanol (atau dapat pula 1N KOH dalam 90% etanol).
– Dikocok dengan tangan sampai rata. Ditambahkan 1000 mikroliter ( = 1
ml) petroleum eter (40-60 ºC) lalu dikocok dengan voltrex selama 1
menit.
– Sentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 5-10 menit akan
memisahkan extarak vitamin A di bagian atas serta campuran serum
alkohol di bagian bawah.
– Extrak dipipet sebanyak 750 mikroliter lalu diukur serapannya pada
panjang gelombang 450 nm untuk penentuan karotin.
– Extrak tersebut kemudian diuapkan samapai kering dengan gas
nitrogen. Ditambah dengan 1500 mikrolier pereaksi TFA (campuran 1
bagian TFA dan 2 bagian kloroform yang disiapkan segar).
– Warna biru yang terbentuk harus sudah diukur serapannya dalam waktu
30 detik pada panjang gelombang 620 nm.
Standar vitamin A yang dilarutkan dalam kloroform da berisi 2 mg/ml, 4
mg/ml, dan 8 mg/ml disiapkan. Dipipet 25 ml dari masing-masing
konsentrasi tersebut dan diukur serapanya setelah ditambah 1500 mikroliter
pereaksi. Standar tersebut setara dengan konsentrasi vitamin A dalam serum
10 µg/dl, 20 µg/dl, 30 µg/dl dan 40 µg/dl.
Faktor koreksi karena pengaruh reaksi antara pereaksi dengan karotin
dibuat sebagai berikut:
– Disiapkan standar karotin yang berisi 10 µg/dl, 20 µg/dl, 40 µg/dl dan
80 µg/dl. Dipipet masing-masing sebanyak 750 mikroliter lalu diuapkan
sampai kering dengan nitrogen. Kemudian direaksikan dengan 155
mikroliter pereaksi dan serapannya diukur pada panjang gelombang 620
nm. Dengan demikian dapat dihitung faktor koreksi karena pengaruh
karotin.
– Pengalaman di puslitbang gizi bogor faktor koreksi pengaruh karotin ini
sekitar 15% pembacaan karotin pada panjang gelombang 450 nm. Jika
seandainya serapan karotin pada 459 nm adalah 0,100 maka pembacaan
vitamin A pada 620 nm perlu dikurangi 15 % dari 0,100 baru kemudian
dikurangi blangko.
17
Dari standar vitamin A dapat dihitung faktor perhitungan vitamin A dan
dari standar karotin dapat dihitung faktor perhitungan karotin dengan prinsip :

𝑆𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑥 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
𝑆𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟

Catatan:
– Kecepatan pada pengukuran kecepatan pada panjang gelomabang 620
nm tergantung pada pengalaman petugas laboratorium. Kalau sudah
berpengalaman waktu yang diperlukan semenjak penambahan pereaksi
samapai pengukuran serapan sejumlah 22-23 detik.
– Waktu melarutkan standar karotin mula-mula ditambah beberapa ml
kloroform, baru kemudian ditambah PE sesuai tujuan. Bila langsung
ditambah PE, sebagian karotin tidak larut.
– Pada penentuan vitamin A dengan cara kolorometri ini adalah total
vitamin A (retinol dan retinil ester), sedangkan dengan HPLC hanya
ditambah PE sebagai karotin tidak larut.
– Pada penentu vitamin A (retinol dan retinil ester), sedangkan dengan
HPLC hanya retinol saja.
– (suharjo, 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat, hlm. 172-175)
2) Vitamin D
Kekurangan vitamin ini dapat mengakibatkan penyakit rakhitis dan kadang-
kadang tetani. Apabila kekurangan terjadi pada masa pertumbuhan akan timbul
osteomalasia. Sangat jarang ditemukan rakitis bawaan, insiden tertinggi terdapat
pada umur 18 tahun.
Kekurangan vitamin D timbul kalsifikasi tulang yang tidak normal
disebabkan oleh karena rendahnya saturasi kalsium dan fosfor dalam cairan
tubuh. Keadaan resorpsi tulang akan melebihi pembentukannya hingga
menyebabkan demineralisasi umum pada rangka yang berakibat menjadi
lunaknya tulang-tulang serta deformitas torax, tulang punggung, pelvis dan
tulang-tulang panjang.
Beberapa zat yang berhubungan dengan aktivitas vitamin D adalah:
– Vitamin D2 (ersokalsiferol) yang dihasilkan oleh radiasi ersoterol
(dalam tumbuh-tumbuhan) secara artifisial dengan sinar ultraviolet.

18
– Vitamin D3 (kolekalsiferol) yang dihasilkan oleh radiasi pada kulit
manusia dengan komponen ultraviolet sinar matahari dan juga terdapat
secara alamiah pada sumber makanan hewani. Kolekalsiferol dikonversi
di dalam hati dan mungkin usus menjadi 25(OH) kolekalsiferon
Pada pemeriksaan biokimia penderita rakhitis ditemukan hasil:
– Kadar kalsium serum normal atau lebih
– Kadar fosfor rendah
– Kadar fosfatase meninggi
– Kadar 25 (OH) vitamin D dibawah 4 mg/ml
3) Vitamin E
Devisit vitamin E jarang sekali ditemukan oleh sebab makanan sehari-hari
mengandung cukup vitamin E. namun demikian kita harus tetap waspada adanya
kemungkinan keadaan subklinis, misalnya pada bayi berat badan lahir rendah
dimana transfer vitamin E melalui plasenta tidak efisien.
Gangguan yang dapat dilihat karena kekurangan vitamin E adalah hemolisis
dan mengurangnya umur hidup eritrosit. Penelitian pada binatang percobaan
didapatkan bahwa defisit vitaminE menyebabkan kemandulan baik pada jantan
dan betina. Gangguan lain adalah distrofi otot dan kelainan saraf pusat
(ensefalomalasia). Pada pemeriksaan biokimia seorang anak dikatakan memiliki
nilai normal vitamin E bila di dalam serum ≥ 0,7 mg.

2.3.1 Pemeriksaan Status Biokimia Tubuh

Pada umumnya pemeriksaan status gizi ada 4 yaitu: antropometri,


pemeriksaan klinik, pemeriksaan kuantifikasi/ diet, serta pemeriksaan biokimia.
Pemeriksaan biokimia tidak dilihat langsung pertumbuhan anaknya (seperti
antropometri). Antropometri digunakan untuk melihat kekurangan status gizi makro.
Pemeriksaan biokimia digunakan untuk menilai status gizi mikro yang lebih tepat,
obyektif, dan hanya dilakukan orang yang terlatih.
Pada umumnya yang dinilai yaitu: zat besi, vitamin, protein, dan mineral.
Contoh sampel berupa serum darah, urine, rambut (untuk melihat Zn), feces, maupun
biopsi jaringan. Plasma darah dapat menghasilkan komponen darah (didapatkan dari
darah yang dicentrifuge menjadi serum yang lebih sensitif dibanding plasma dan sel-
sel darah) yang bisa dihitung.

19
Pemeriksaan zat besi antara lain: Hb (mengetahui status anemi yang
merupakan standar WHO), Hct (tahap awal), serum besi (defisiensi besi tahap awal,
sebelum menurunnya Hb), saturasi transferin (untuk transpor Fe), serum feritin
(cadangan Fe tubuh), TIBC (digunakan pada penelitian), indeks eritrosit dan
morfologi darah (membedakan jenis anemianya).
Metode pemeriksaan Hb adalah Sahli dan cyanmetHb merupakan standar
penelitian. Simpanan besi terdapat di sumsum tulang, pada saat feritin menurun maka
serum besi menurun.
Penilaian status iodium paling mudah dilakukan dalam urine atau dengan TSH
(mahal).
Penilaian status Zn pada bayi dapat dilakukan pada rambut. Pada orang
dewasa, digunakan serum/plasma. Normalnya 12-17 mmol/L.
Penilaian status Calcium didapatkan dari pengukuran serum.
Penilaian status protein yaitu mengukur cadangan protein dalam tubuh, kadar
fibrinogen, transportasi zat gizi tertentu (ex. Fe), Ab, aliran darah. Albumin adalah
fraksi protein yang sering dinilai. Globulin diperiksa berkaitan dengan status imun.
Fibrinogen untuk pembekuan darah. Penurunan serum protein bisa disebabkan sintesis
protein dalam hepar yang menurun.
Penilaian status vitamin A diperlukan sebab penurunannya dalam hepar
menurunkan kadarnya dalam plasma sehingga bisa menyebabkan disfungsi retina.
Status vitamin A diperiksa di dalam serum (serum retinol dan retinol binding protein).
Pemeriksaan ini mahal. Masalah gizi di Indonesia antara lain: KEP, Anemia, KVA,
dan GAKI. Penilaian status KEP secara biokimia: prealbumin (baik pada 23,8 +/- 0,9
mg/dl),
Penilaian status KVA menggunakan indikator plasma dan liver vitamin A.
Terdapat program pemerintah yaitu pemberian kapsul vitamin A tiap bulan Februari
dan Agustus. Gejala subklinis KVA yaitu gangguan sistem imun dengan angka infeksi
yang makin meningkat (paling banyak yaitu ISPA). Gejala klinisnya yaitu
xerophtalmia (dapat menyebabkan cirrhosis conjunctiva dengan tanda-tanda sering
mengedip disertai bercak bitot) sehingga tampak busa yang menghilang bila dihapus
dan muncul lagi.
Anemia yang dianggap fisiologis adalah pada ibu hamil trimester 2 karena
terjadi hemodilusi.

20
Penilaian status GAKI yaitu menggunakan urine, di daerah endemis berat (<25
ug/ g kreatinin) dan sedang (25-50 ug/g kreatinin). Iodium urine biasanya akan
menurun sebelum struma muncul.
Pemeriksaan status gizi secara lab dapat mendiagnosis kurang gizi lebih dini
sebelum tanda-tanda klinis muncul.

2.3.2 Tes Fungsional

Penentuan status gizi secara biokimia/laboratorium terdiri dari pemeriksaan


status biokimia dalam tubuh dan tes fungsional/fisiologis. Pada pemeriksaan status
biokimia dalam tubuh diukur kandungan nutrien dalam cairan dan jaringan tubuh. Tes
yang dipilih merefleksikan nutrien total dalam tubuh atau ukuran jaringan dalam
tubuh (Ningtyias, 2010).
Tes fungsional/fisiologis bertujuan untuk mengukur fungsi spesifik organ
tubuh yang terganggu karena kekurangan nutrien. Tes ini lebih signifikasi jika
dibandingkan dengan pemeriksaan status biokimia dalam tubuh. Tes
fungsional/fisiologis dibagi menjadi tes fungsi biokimia dan tes psikologis (Ningtyias,
2010).

2.4 Pemeriksaan Biokimia Zat Gizi

2.4.1 Penentuan Status Gizi FE

Ada beberapa indikator laboratorium untuk menentukan status besi yaitu:

a. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter yang digunakan untuk menetapkan
prevalensi anemia. Garby et al menyatakan bahwa penentuan status anemia
yang hanya menggunakan kadar Hb ternyata kurang lengkap, sehingga perlu
ditambah dengan pemeriksaan yang lain.
Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah
dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah.
Kandungan hemoglobin yang rendah dengan demikian mengindikasikan
anemia. Bergantung pada metode yang digunakan, nilai hemoglobin menjadi
akurat samapai 2-3%. Metode yang lebih dulu dikenal adalah metode Sahil
yang menggunakan teknik kimia dengan membandingkan senyawa akhir secara
visual terhadap standar gelas warna. Ini memberi 2-3 kali kesalahan rata-rata

21
dari metode yang menggunakan spektrofotometer yang baik (Supariasa, Bakri,
& Fajar, 2016).
Nilai normal yang paling sering dinyatakan adalah 14-18 gm/100 ml
untuk pria dan 12-16 gm/100 ml untuk wanita (gram/100 ml sering disingkat
dengan gm% atau gm/dl). Beberapa literatur lain menunjukan nilai yang lebih
rendah, terutama pada wanita, sehingga mungkin pasien tidak dianggap
menderita anemia sampai Hb kurang dari 13 gm/100 ml pada pria dan 11
gm/100 ml untuk wanita (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
b. Hematokrit (HCT)
Hematokrit adalah volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan
cara memutarnya di dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam
persen (%). Setelah sentrifugasi, tinggi kolom sel merah diukur dan
dibandingkan dengan tinggi darah penuh yang asli. Persentase massa sel merah
pada volume darah yang asli merupakan hematokrit. Darah penuh antikoagulasi
disentrifugasi dalam tabung khusus. Karena darah penuh dibentuk pada
intiselnya oleh sel darah merah (SDM) dan plasma, setelah sentrifugasi
persentase sel-sel merah memberikan estimasi tidak langsung jumlah SDM/100
ml dari darah penuh (dan dengan demikian pada gilirannya merupakan estimasi
tidak langsung jumlah hemoglobin). Hematrokrit dengan demikian bergantung
sebagian besar pada jumlah SDM, tapi ada beberapa efek (dalam hal jauh lebih
sedikit) dari ukuran rata-rata SDM. Nilai normal adalah 40%-54% untuk pria
dan 37%-47% untuk wanita. HCT biasanya hampir 3 kali nilai Hb (dengan
menganggap tidak terdapat tanda hipokromia). Kesalahan rata-rata pada
prosedur HCT yaitu kira-kira 1-2% (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
c. Transferrin saturation (TS)
Salah satu indikator lainya menentukan status besi adalah Total Iron
binding capacity (TIBC) dalam serum. Kadar TIBC ini meningkat pada
penderita anemia. Karena kadar besi di dalam serum menurun dan TIBC
meningkat pada keadaan defisiensi besi maka rasio dari keduanya (transferrin
saturation) lebih sensitif.
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑏𝑒𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚
𝑇𝑆 = 𝑥100%
𝑇𝐼𝐵𝐶

22
Rumus tersebut adalah apabila TS > 16 %, pembentukan sel-sel darah
merah dalam sumsum tulang berkurang dan keadaan ini disebut defisiensi besi
untuk eritropoiesis (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
d. Free erythrocyte protophorphyrin (FEP)
Apabila penyediaan zat besi tidak cukup banyak untuk pembentukan
sel-sel darah merah di sumsum tulang maka sirkulasi FEP di darah meningkat
walaupun belum nampak anemia. Dengan menggunakan fluorometric assay,
maka penentuan FEP lebih cepat digunakan. Satuan untuk FEP dinyatakan
dalam μg/dl darah atau μg/dl darah merah. Dalam keadaan normal kadar FEP
berkisar 35 ± 50 μg/dl RBC tetapi apabila kadar FEP dalam darah lebih besar
dari 100 μg/dl RBC menunjukkan individu ini menderita kekurangan besi
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
e. Serum ferritin (SF)
Untuk menilai status besi dalam hati perlu mengukur kadar ferritin.
Menurut cook (dalam Mahdin anwar husaini, 1989) banyak ferritin yang
dikeluarkan ke dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya
simpanan zat besi di dalam hati. Apabila didapatkan serum ferritin sebesar 30
mg/dl RBC berarti di dalam hati terdapat 30 x 10 mg = 300 mg ferritin. Untuk
menentukan kadar ferritin dalam darah dapat dilakukan dengan beberapa
metode, yaitu dengan cara immunoradiometric assay (IRMA) atau dengan
radio immuno assay (RIA) atau dengan cara enzyme-linked immuno assays
(ELISA) yang tidak menggunakan isotop, tetapi enzim. Dalam keadaan normal
rata-rata SF untuk laki-laki dewasa adalah 90 μg/l. perbedaan kadar serum
ferritin ini menggambarkan perbedaan banyaknya perbedaan zat besi pada
tubuh dengan zat besi pada laki-laki tiga kali lebih banyak dari wanita. Apabila
seseorang mempunyai kadar SF kurang dari 12 orang yang bersangkutan
dinyatakan sebagai kurang besi. Banyak orang yang sebenarnya menderita
kurang besi, tetapi tidak dapat terdeteksi dengan cara ferritin karena kadar
ferritin yang dikeluarkan dari hati menarik dalam darah apabila yang
bersangkutan menderita penyakit kronis, infeksi dan sakit hati. Namun, apabila
penyakit infeksi tidak umum terjadi di masyarakat, penentuan ferritin
merupakan pilihan yang tepat (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
2.4.2 Pengukuran Status Protein

23
Pemeriksaan biokimia terhadap status protein dibagi dalam 2 pokok, yaitu
penilaian terhadap somatic protein dan visceral protein. Perbandingan somatic dan
visceral dalam tubuh antara 75% dan 25%. Somatic protein terdapat pada otot
skeletal, sedangkan visceral protein terdapat di dalam organ/visceral tubuh yaitu hati,
ginjal, pankreas, jantung, erytrocyt, granulocyt dan lympocyt (Supariasa, Bakri, &
Fajar, 2016).
Konsentrasi serum protein dapat digunakan untuk mengukur status protein.
Penggunaan pengukuran status protein ini didasarkan pada asumsi bahwa penurunan
serum protein disebabkan oleh penurunan produksi dalam hati. Penentuan serum
protein dalam tubuh meliputi: albumin, transferrin, prealbumin (yang dikenal juga
dengan trasthyeritin dan thyroxine-binding prealbumin), retin ol binding protein
(RBP), insulin-Like growth factor-1 dan fibronectin. Di dalam darah ada 3 fraksi
protein yaitu:
a. Albumin : kadar normalnya = 3,5 – 5 gram/100 ml
b. Globulin : kadar normalnya = 1,5 – 3 gram/100 ml
c. Fibrinogen : kadar normalnya = 0,2 – 0,6 gram/100 ml

2.4.3 Penentuan Status Gizi Vitamin

Penilaian status vitamin yang terkait dengan penetuan status gizi meliputi
penentuan kadar vitamin A, vitamin D, vitamin E.
a. Vitamin A
Kadar vitamin A dalam plasma tidak merupakan kekurangan vitamin A
yang dini, sebab deplesi terjadi jauh sebelumnya. Apabila sudah terdapat kelainan
mata, maka kadar vitamin A serum sudah sangat rendah (kurang dari 5 μg/100
ml), begitu juga kabar RBP-nya (<20 μg/100 ml) konsentrasi vitamin A dalam
hati merupakan indikasi yang baik untuk menentukan status vitamin A. Akan
tetapi, biopsi hati merupakan tindakan yang mengandung resiko bahaya. Di
samping itu, penentuan kadar vitamin A jaringan tidak mudah dilakukan
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
 Penentuan Serum Retinol dengan Cara HPLC (High Performance Liquid
Choromatography)
Prinsipnya retinol dan standar retinil asetat yang ditambahkan dengan
pelarut organik setelah protein serum didenaturasi. Dengan sistem fase berputar
(revers phase) kedua protein tersebut dipisahkan dan diukur serapannya pada
24
panjang gelombang 328 nm dengan HPLC. Konsentrasi retinol dalam serum dapat
dihitung dari perbandingan puncak grafik retinol-asetat (Supariasa, Bakri, & Fajar,
2016).
 Penentuan kadar vitamin A cara kolorimeter dengan pereaksi trifluoroasetat/TFA
(neeld & pearson)
Prinsipnya setelah protein didenaturasi dengan alkohol, vitamin A
diextraksi dengan pelarut organik. Extrak dipisahkan dan vitamin A ditentukan
dengan direaksikan dengan TFA dan warna biru yang terbentuk diukur serapanya
pada panjang 620 nm. Karena karotin juga memberikan reaksi dengan TFA,
meskipun juga lebih lemah, perlu ada faktor koreksi karena ada pengaruh dari
karotin ini (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
b. Vitamin D
Kekurangan vitamin ini dapat mengakibatkan penyakit rakhitis dan
kadang-kadang tetani. Apabila kekurangan terjadi pada masa pertumbuhan akan
timbul osteomalasia. Sangat jarang ditemukan rakitis bawaan, insiden tertinggi
terdapat pada umur 18 tahun (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
Kekurangan vitamin D timbul kalsifikasi tulang yang tidak normal
disebabkan oleh karena rendahnya saturasi kalsium dan fosfor dalam cairan tubuh.
Keadaan resorpsi tulang akan melebihi pembentukannya hingga menyebabkan
demineralisasi umum pada rangka yang berakibat menjadi lunaknya tulang-tulang
serta deformitas torax, tulang punggung, pelvis dan tulang-tulang panjang
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016).
Pada pemeriksaan biokimia penderita rakhitis ditemukan hasil:
1) Kadar kalsium serum normal atau lebih
2) Kadar fosfor rendah
3) Kadar fosfatase meninggi
4) Kadar 25 (OH) vitamin D dibawah 4 mg/ml
c. Vitamin E
Devisit vitamin E jarang sekali ditemukan oleh sebab makanan sehari-hari
mengandung cukup vitamin E. namun demikian kita harus tetap waspada adanya
kemungkinan keadaan subklinis, misalnya pada bayi berat badan lahir rendah
dimana transfer vitamin E melalui plasenta tidak efisien (Supariasa, Bakri, &
Fajar, 2016).

25
Gangguan yang dapat dilihat karena kekurangan vitamin E adalah
hemolisis dan mengurangnya umur hidup eritrosit. Penelitian pada binatang
percobaan didapatkan bahwa defisit vitaminE menyebabkan kemandulan baik
pada jantan dan betina. Gangguan lain adalah distrofi otot dan kelainan saraf pusat
(ensefalomalasia). Pada pemeriksaan biokimia seorang anak dikatakan memiliki
nilai normal vitamin E bila di dalam serum ≥ 0,7 mg (Supariasa, Bakri, & Fajar,
2016).

2.4.4 Penentuan Status Mineral (Iodium)

Iodium adalah salah satu mineral penting bagi kehidupan manusia


karena sangat diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi otak.
Kebutuhan rata-rata untuk orang dewasa per hari sangat sedikit, yaitu 0,15 mg
atau 150 μg (1 μg = 1/106 g). Kekurangan iodium akan menyebabkan
gangguan baik fisik maupun mental, mulai dari gangguan ringan hingga berat.
Gangguan pertumbuhan fisik antara lain mencakup penyakit gondok, badan
kerdil, gangguan motorik seperti kesulitan untuk berdiri atau berjalan normal,
bisu, tuli, atau mata juling. Sedangkan gagguan mental termasuk kekurangan
kecerdasan. Untuk mengetahui total goitre rate (pembesaran kelenjar gondok)
di masyarakat dapat dilakukan dengan palpasi atau dengan melakukan
pemeriksaan kadar iodium dalam urine dan kadar thyroid stimulating hormone
dalam darah. Adapun metode penentuan kadar iodium dalam urine adalah
metode Cerium, sebagai berikut: (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016)
1) 10 ml urine didestruksi ( pengabuan basah) dengan penambahan 25 ml
asam klorat 28% dan 1 ml kalsium kromat 0,5%
2) Panaskan di atas hot-plate sehingga volume larutan menjadi kurang dari
0,5 ml. Larutan ini kemudian diencerkan dngan air suling sehingga
volume larutan menjadi 100 ml
3) Dari larutan terakhir ini, diambil sebanyak 3 ml dengan pipet,
ditambahkan 2 ml asam arsenit 0,2 N; lalu didiamkan selama 15 menit
4) Ke dalam tiap larutan kemudian ditambahkan 1 ml larutan cerim (4+)
ammonium sulfat 0,1 M; dikocok kembali, lalu didiamkan selama 30
menit. Absorbsi dilakukan pada panjang gelombang 420 nm.
Kurva standar dibuat dengan cara yang sama seperti diatas pada kadar
iodium 0,01 ; 0,02; 0,03; 0,04 dan 0,05 ppm. Larutan standar induk yang
26
terkadar 100 ppm dibuat dengan melarutkan 0,0168 g K103 dalam 100 ml air
suling. Karena kadar iodium dalam urine dinyatakan dalam mg 1 per g
kreatinin, kadar kreatinin urine diukur pula dengan cara sebagai berikut:
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2016)
1) Sebanyak 0,1 ml urine yang telah diencerkan 100 kali ditambahkan 4 ml
H2SO4 1/12 N dan 0,5 ml natrium tungstat
2) Setelah itu, dikocok dan didiamkan selama 15 menit lalu diputar atau
disentrifugasi selama 10 menit
3) Supernatan dipisahkan, lalu ditambahkan 0,5 ml larutan campuran 1 ml
asam pikrat 10% dan 0,2 ml NaOH 10%.
4) Setelah didiamkan selama 15 menit, absorpsi larutan dibaca pada panjang
gelombang 520 nm.
Standar kreatinin dengan konsentrasi 1 mg/100 ml dikerjakan dnegan
cara yang sama.
 Perhitungan kadar iodium per g kreatinin :
Jika diketajui konsentrasi iodium a μg/l urine dan kadar kreatinin b g/l
, kadar iodium adalah a/b μg /g kreatinin.
 Batasan dan klasifikasi pemeriksaan kadar iodium dalam urine :
Suatu daerah dianggap endemis berat jika rata-rata ekskresi iodium
dalam urine lebih rendah dari 25 μg iodium/gram kreatinin, endemik sedang
jika ekskresi iodium dalam urine 25-50 μg iodium/gram kretinin. Anak
sekolah dapat digunakan sebagai target penelitian karena prevalensi GAKI
pada anak sekolah umunya menggambarkan prevalensi yang ada dalam
masyarakat.

2.5 Penentuan Status Gizi pada Gangguan Akibat Kekurangan Yodium dengan Metode
Biokimia

GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) merupakan rangkaian kondisi


kekurangan iodium pada tumbuh kembang manusia. Beberapa cara untuk mengetahui
GAKI pada masyarakat cukup dengan melakukan survei pada anak usia sekolah, yakni 6-
12 tahun. Disamping itu cara lain dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kadar
Tyroid stimulating hosmone (TSH dalam darah) dan mengukur ekskresi iodium dalam
urine (Depkes, Petunjuk Teknis Palpasi, 1997, hlm, 1).
1. Pemeriksaan Kadar Tyroid stimulating hosmone (TSH dalam darah)
27
Dalam saluran pencernaan, iodium dikonversi menjadi Iodida yang mudah diserap
& bergabung dengan pool-iodida intra/ekstraseluler kelenjar tiroid untuk disimpan
proses peroksidasi melekat dengan residu tirosin dari tiroglobulin. Struktur cincin
hidrofenil dari residu tirosin adalah iodinate ortho pada grup hidroksil dan berbentuk
hormon dari kelenjar tiroid yang dapat dibebaskan : tridothyronine tiroid (T3) dan
thyroxin (T4).
Kebanyakan Thyroxine (T4) dan Triidothyronine (T3) diangkut dalam bentuk
terikat-plasma dengan protein pembawa. Tingkat bebasnya hormon-hormon tersebut
dalam plasma dimonitor oleh hipotalamus mengontrol tingkat pemecahan proteolitis T3
dan T4 dari tiroglobulin dan membebaskannya ke dalam plasma darah, melalui tiroid
stimulating hormon (TSH).
Untuk menilai fungsi tiroid dilakukan pemeriksaan: Immunoserology analyzer
1. TSH serum (biasanya menurun)
2. T3,T4 (biasanya meningkat)
3. Yodium radioaktif (1311)
4. Anti-TG (antithyroglobulin)

Nilai Normal

T3 : 0,58-1,59 ng/mL

T4 : 4,87-11,72 µg/dL

TSH : 0,35-4,94 µU/mL

2. Yodium Urin

Sebagian besar yodium yang diserap tubuh dapat dilihat di urin karena eksresi yodium
urin menggambarkan asupan yodium harian. Secara individu eskresi yodium dapat
berubah tergantung konsumsi makanan setiap hari. Studi menunjukkan secara
meyakinkan profil konsentrasi yodium pagi hari atau sewaktu pada anak atau orang
dewasa merupakan penilaian adekuat nutrisi yodium pada populasi. (WHO, 2001).

Tabel kriteria epidemiologis penilaian yang berasal dari makanan yang disantap
berdasarkan nilai median kadar yodium urine.

Rata-rata
Asupan Yodium Status Yodium
Kadar Urine

28
(µg/L)
<20 Tidak cukup Kurang yodium berat
20-49 Tidak cukup Kurang yodium sedang
50-99 Tidak cukup Kurang yodium ringan
100-199 Cukup Optimal
Risiko hipotiroidisme yang diimbas
yodium pada 5-10 tahun ke depan setelah
200-299 Lebih dari cukup
suplementasi garam beryodium bagi
golongan rentan
Risiko hipertiroidisme diimbas yodium
>300 Berlebihan
dan penyakit tiroid autoimmune
(Dikutip dari: “Assessment of IDD and monitoring their elimination”.2nd ed. WHO
2001)
Prosedur pemeriksaan iodium dalam urin yaitu:
1. Pipet sampel urin, standar dan kontrol masing masing 250 μL kedalam tabung
reaksi;
2. Tambahkan masing masing ammonium persulfat sebanyak 1ml;
3. Panaskan dalam drybath pada suhu 80-100 derajat celcius selama 1 jam;
4. Setelah dingin ditambahkan arsen 2,5 ml dan diinkubasi pada suhu ruang
selama 20 menit;
5. Tambahkan cerium 300 μL pada masing-masing tabung dengan interval 30
detik;
6. Dibaca pada panjang gelombang 420 nm pada menit ke 30 dari pertama kali
menambahkan cerium pada tabung yang pertama;
7. Absorbans yang didapat selanjutnya dihitung konsentrasinya dengan program
Kc4.
Tahap keparahan gondok endemik:
1. Tahap 1 : Gondok endemik dengan rata-rata lebih dari 50 µg/g kreatinin di
dalam urin. Keadaan ini suplai hormontiroid cukup untuk perkembangan fisik
dan mental yang normal.
2. Tahap 2 : Gondok endemik dengan ekskresi iodium dalam urine rata-rata 25-
50 µg/g kreatinin. Kondisi ini sekresi hormon bisa jadi tidak cukup sehingga
ada risiko hipotiroidisme, tapi tidak sampai terjadi kreatinisme

29
3. Tahap 3 : Gondok endemik engan rata-rata ekskresi iodium dalam urine
kurang dari 25 µg/g kreatinin. Kondisi ini memiliki risiko menderita
kreatinisme.

2.6 Penentuan Status Gizi pada Obesitas dengan Metode Biokimia

Masalah gizi yang terkait dengan lipid/lemak adalah obesitas. Obesitas ditandai
dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Perut buncit atau obesitas
sentral merupakan pertanda adanya bahaya kesehatan. Meskipun belum ada keluhan,
dalam tubu orang dengan obesitas telah terjadi gangguan metabolisme yaitu sindrom
metaboik yang meningkatkan risiko diabetes mellitus serta penyakit jantung dan
pembuluh darah. Obesitas terjadi karena adanya perubahan pola makan yang bergeser ke
arah makanan tinggi kalori dan perubahan pola hidup modern yang kurang akan aktivitas
fisik.
Pemeriksaan biokimia pada obesitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan profil
lipid. Pemeriksaan profil lipid meliputi pemeriksaan kolesterol total, kolesterol low
density lipoprotein (LDL), kolesterol high density lipoprotein (HDL) dan trigliserida.
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui adanya dislipidemia yang berhubungan
dengan adanya penyakit jantung koroner. Selain itu juga dikenal pemeriksaan apo B yaitu
apolipoprotein utama kolesterol LDL. Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui risiko
terhadap penyakit jantung koroner. Rasio kolesterol LDL / Apo B < 1,2 menunjukkan
adanya small dense LDL (Kemenkes RI, 2017).
 Uji BioKimiawi pada Obesitas
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji
secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Metode ini
digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi
yang lebih parah lagi. Banyak gejala yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali
dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik. Status uji
yang sering digunakan adalah pengukuran jenis protein viseral dan somatik. Parameter
protein viseral adalah serum albumin, prealbumin, transferin, hitung jumlah limfosit dan
uji antigen pada kulit. Sementara parameter protein somatik selain melalui uji biokimiawi
dapat diketahui dengan mengukur lingkar pertengahan lengan atas (mid-arm
circumferences).

2.7 Keunggulan dan Kelemahan Pemeriksaan Biokimia

30
A. Keunggulan Biokimia
a. Dapat mendeteksi defisiensi zat gizi lebih dini
b. Hasil dari pemeriksaan biokimia lebih obyektif, hal ini karena menggunakan
peralatan yang selalu ditera dan pada pelaksanaannya dilakukan oleh tenaga
ahli
c. Dapat menunjang hasil pemeriksaaan metode lain dalam penilaian status gizi
B. Kelemahan Biokimia
a. Pemeriksaan biokimia hanya bisa dilakukan setelah timbulnya gangguan
metabolisme
b. Membutuhkan biaya yang cukup mahal
c. Dalam melakukan pemeriksaan diperlukan tenaga yang ahli
d. kurang praktis dilakukan di lapangan, hal ini karena pada umumnya
pemeriksaan laboratorium memerlukan peralatan yang tidak mudah dibawa
keman-mana
e. Pada pemeriksaan tertentu spesimen sulit untuk diperoleh, misalnya penderita
tidak bersedia diambil darahnya
f. Membutuhkan peralatan dan bahan yang lebih banyak dibandingkan dengan
pemeriksaan lain
g. Belum ada keseragaman dalam memilih reference (nilai normal). pada
beberapa reference nilai normal tidak selalu dikelompokkan menurut
kelompok umur yang lebih rinci
h. Dalam beberapa penentuan pemeriksaan laboratorium memerlukan peralatan
laboratorium yang hanya terdapat di laboratorium pusat, sehingga di daerah
tidak dapat dilakukan. (Susilowati Herman, 1991 dalam (Supariasa, Bakri, &
Fajar, 2011))

31
2.8 Studi Kasus

2.8.1 Studi Kasus Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)

Judul : Pola Konsumsi Makanan Sumber Yodium dan Goitrogenik dengan GAKY pada
Anak Usia Sekolah di Ponorogo (Studi Tahun 2017)
1. What (Apa) ?
Tujuan dilakukannya penelitian adalah karena peneliti ingin mengetahui faktor yang
berhubungan terhadap kejadian GAKY pada anak usia sekolah.
2. Where (Dimana) ?
Penelitian ini dilakukan di Desa Sidoharjo, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo.
3. When (Kapan)
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2017
4. Who (Siapa) ?
Responden yang dipilih adalah seluruh siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) IV Krebet.
5. Why (Kenapa) ?
Kondisi air dan tanah yang tidak mengandung yodium merupakan salah satu
penyebab suatu wilayah menjadi rawan GAKY. Selain itu, GAKY dapat disebabkan
karena rendahnya konsumsi yodium dan tingginya konsumsi goitrogenik. Dimana
GAKY yang terjadi dapat menurunkan kecerdasan anak, gondok, kretin dan
gangguan fungsi mental.
6. How (Bagaimana) ?
Tidak ada hubungan antara karakteristik keluarga meliputi pendidikan ayah,
pendidikan ibu, pendapatan, besar keluarga dengan kejadian GAKY pada anak usia
sekolah. Hasil uji statistik chi square dan fisher exact menunjukkan bahwa pola
konsumsi sumber yodium yang berhubungan dengan kejadian GAKY yaitu pola
konsumsi ikan laut dan telur. Hasil uji statistik chi square dan fisher exact
menunjukkan bahwa pola konsumsi sumber goitrogenik yang berhubungan dengan
kejadian GAKY yaitu pola konsumsi tiwul. Hasil uji regresi logistik menunjukkan
bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap GAKY yaitu pola konsumsi ikan
laut.
Analisis Kasus

Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) adalah efek yang diakibatkan karena
kekurangan yodium pada tumbuh kembang manusia. GAKY mengakibatkan seseorang

32
menderita gondok, dimana gondok memiliki beberapa stadium diantaranya kretin endemik
yang ditandai oleh gangguan mental, gangguan pendengaran, gangguan pertumbuhan pada
anak dan orang dewasa. Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dapat diakibatkan
oleh defisiensi yodium yang berlangsung lama akibat pola konsumsi pangan yang kurang
yodium sehingga akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid, yang secara perlahan
menyebabkan kelenjar membesar sehingga menyebabkan gondok. Titik paling kritis
GAKY adalah trimester ke-2 kehamilan sampai dengan 3 tahun setelah lahir (Wijaya,
2017).
Faktor yang disebutkan dalam jurnal yang berhubungan dengan kejadian GAKY pada
anak usia sekolah yaitu pola konsumsi ikan laut, pola konsumsi telur dan pola konsumsi
tiwul (Izati, et al., 2017). Sedangkan ada sumber lain yang menyatakan bahwa beberapa
penyebab GAKY adalah: (Wijaya, 2017)
1. Defisiensi Iodium dan Iodium Excess
GAKY umumnya disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi
fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan minuman yang kita
konsumsi. Iodium Excess terjadi apabila iodium yang dikonsumsi cukup besar secara
terus menerus, seperti yang dialami oleh masyarakat di Hokaido (Jepang) yang
mengkonsumsi ganggang laut dalam jumlah yang besar. Iodium yang dikonsumsi
dalam dosis tinggi akan terjadi hambatan hormogenesis, khususnya iodinisasi tirosin
dan proses coupling.
2. Lokasi (Geografis dan non geografis)
Kandungan Yodium di berbagai daerah berbeda-beda sehingga dapat memicu risiko
menderita GAKY. GAKY umumnya banyak ditemukan di daerah perbukitan atau
dataran tinggi, karena yodium yang berada dilapisan tanah paling atas terkikis oleh
banjir atau hujan dan berakibat tumbuh-tumbuhan, hewan dan air di wilayah ini
mengandung yodium rendah bahkan tidak ada.
3. Asupan Energi dan Protein
Protein transport memiliki fungsi mencegah hormon tiroid keluar dari sirkulasi dan
sebagai cadangan hormon. Jika terjadi defisiensi protein akan mempengaruhi
beberapa tahap dalam sintesis hormon tiroid terutama tahap transportasi hormon.
4. Pangan Goitrogenik
Zat goitrogenik dapat menghambat penyerapan yodida anorganik oleh kelenjar tiroid.
Ada 2 jenis zat goitrogenik yang terdapat pada makanan, antara lain (a) Tiosianat

33
(dalam sayuran kobis, kembang kol, sawi, rebung, ketela rambat dan jewawut); (b)
Isotiosianat dalam kobis.
5. Genetik
Adanya ketidaknormalan fungsi kerja pada kelenjar tiroid, adanya cacat metabolik
yang diturunkan (misal pada pengangkutan yodium, cacat pada iodinasi, cacat pada
perangkaian, defisiensi deiodinasi, dan produksi protein teriodinasi yang abnormal.

Upaya Pencegahan GAKY

Menurut modul Peningkatan Konsumsi Garam Beryodium Direktorat Bina Gizi


Masyarakat Depkes RI 2004, di Indonesia terdapat beberapa strategi pencegahan GAKY:
a. Strategi jangka panjang
1) Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), strategi ini lebih memberdayakan
msyarakat yang berkerjasama dengan komponen terkait untuk menyamakan visi misi
dalam menanggulangi GAKY melalui kegiatan pemasyarakatan informasi, advokasi,
pendidikan/penyuluhan tentang ancaman GAKY bagi kualitas sumber daya manusia.
Informasi yang diberikan terkait pentingnya mengkonsumsi garam beryodium, law
enforcement dan social enforcement, hak memperoleh kapsul beryodium bagi daerah
endemik dan penganekaragaman konsumsi pangan.
2) Surveillans, pemantauan secara berkesinambungan terhadap beberapa indikator untuk
melakukan deteksi dini terkait masalah yang akan muncul, sehingga dapat dilakukan
tindakan/intervensi. Surveillans juga digunakan untuk mengetahui luas dan beratnya
masalah pada situasi terakhir, mengetahui daerah yang harus diprioritaskan,
memperkirakan kebutuhan yang diperlukan untuk intervensi, mengetahui sasaran
yang tepat dan mengevaluasi keberhasilan program.
3) Iodisasi garam, merupakan kegiatan fortifikasi garam dengan Kalium Iodat (KOI3).
Tujuannya agar semua garam yodium yang dikonsumsi masyarakat mengandung
yodium minimal 30 ppm. Target program ini 90% masyarakat mengkonsumsi garam
beryodium yang cukup (30 ppm).
b. Strategi Jangka Pendek
Sedangkan strategi jangka pendek sebagai upaya penanggulangan GAKY yaitu
dengan melakukan kegiatan distribusi kapsul minyak beryodium. Program yang sudah
mulai dilaksanakan sejak tahun 1992 ini dilakukan untuk mempercepat perbaikan status
yodium masyarakat bagi daerah endemik sedang dan berat pada kelompok rawan. Kapsul
minyak beryodium 200mg diberikan pada Wanita Usia Subur (WUS) sebanya 2
34
kapsul/tahun, sedangkan untuk ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD kelas 1-6 sebanyak 1
kapsul/tahun.

35
2.8.2 Studi Kasus Obesitas

Judul : Pola Konsumsi Fast Food, Aktivitas Fisik dan Faktor Keturunan Terhadap Kejadian
Obesitas (Studi Kasus pada Siswa SD Negeri 01 Tonjong Kecamatan Tonjong Kebupaten
Brebes) (Studi Tahun 2017)

1. What (Apa) ?
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pola konsumsi fast food, aktivitas fisik dan
faktor keturunan terhadap kejadian obesitas pada anak Sekolah Dasar Negeri 01 Tonjong,
Kabupaten Brebes.
2. Where (Dimana) ?
Penelitian dilakukan di SD Negeri 01 Tonjong, dengan pertimbangan status ekonomi
orang tua siswa sebagian besar tergolong menengah ke atas dan banyaknya jumlah anak
yang mengalami kegemukan.
3. When (Kapan) ?
Survei awal penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2016. Tanggal 18-19 Oktober
2016 dilakukan penghitungan IMT pada siswa.
4. Who (Siapa) ?
Kasus dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SD Negeri 01 Tonjong yang duduk di kelas
IV, V dan VI dengan jumlah 284 responden. Sampel berjumlah 72 responden (36 anak
gemuk dan 36 anak nomal).
5. Why (Kenapa) ?
Berdasarkan hasil wawancara dengan 7 orang tua siswa yang obesitas, 4 diantaranya
menyatakan bahwa anaknya untuk sering mengkonsumsi makanan siap saji atau fast food
sehingga beresiko menderita obesitas pada usia pertumbuhannya, selain itu untuk aktivitas
fisik yang dilakukan oleh anak masih kurang optimal, dimana anak masih sering sering
melakukan aktifitas seperti bermian gadget, menghabiskan waktu untuk menonton televisi
sehingga energi yang dikeluarkan tidak sebanding dengan energi yang di terima.
Disebutkan pula adanya faktor keturunan dari orang tua juga sehingga orang tua yang
mempunyai riwayat obesitas beresiko anaknya mengalami obesitas juga.
6. How (Bagaimana) ?
Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan menggunakan metode survey
analitik. Yang mana didapatkan hasil, anak normal yang mengonsumsi fast food masih
dalam batas yang wajar, sedangkan anak gemuk mengonsumsi fast food secara berlebihan.

36
Dikatakan juga bahwa baik kedua ataupun salah satu dari orang tua yang obes memiliki
kecenderungan untuk melahirkan anak yang obesitas.

Analisis Kasus
Penyakit ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dan
kebutuhan energi, yakni konumsi kalori terlalu lebih dibandingkan dengan kebutuhan atau
penggunaan energi. Kelebihan energi dalam tubuh ini akan disimpan dalam bentuk lemak.
Pada keadaan normal, jaringan lemak ini ditimbun di tempat--tempat tertentu diantaranya
dalam jaringan subcutan, dan di dalam jaringan tirai usus. Seseorang dikatakan menderita
obesitas bila berat badannya pada laki-laki melebihi 15% dan pada wanita melebihi 20% dari
berat badan ideal umurnya.
Kebiasaan mengonsumsi fast food dikarenakan terlalu padatnya jadwal orangtua yang
mana tidak dapat menyiapkan makanan yang sehat dan bergizi bagi anak,lebih memilih
membiasakan mengonsumsi fast food tersebut karena dirasa tidakperlu menghabiskan waktu
banyak. Ditambah lagi dengan kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak menambah
risiko untuk menderita obesitas, karena ketidaksesuaian antara kalori yang masuk dalam
tubuh dengan kalori yang dibakar untuk energi. Tidak seimbangnya antara konsumsi energi
dengan aktivitas fisik yang dilakukan merupakan salah satu penyebab obesitas.
Apabila salah satu dari orang tua anak maupun kedua orantuanya menderita
obesitas,maka akan besar resiko untuk memiliki keturunan yang mengalami obesitas pula.
Soelistijani dan Herlianty (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang mempunyai bakat
gemuk karena faktor genetik akan cepat menjadi gemuk, apalagi jika didukung kebiasaan
makan orang tua yang menyukai makanan berkalori tinggi dan anak meniru kebiasaan makan
orang tuanya tersebut. (Septiani, et al., 2017)

Upaya Pencegahan Obesitas

a. Motivasi
Sebelum memulai program penurunan berat badan, pertama-tama yang harus diubah
adalah pola pikir dari orang gemuk. Motivasi menjadi kurus harus kuat tertanam di dalam
dirinya, bukan sekedar ikut-ikutan. Motivasi ini bisa diperkuat dengan bergabung dalam
kelompok mereka yang mempunyai program sama, berdiskusi dengan pakarnya, dan lain
sebagainya. Biasanya dalam kelompok, para anggota bisa saling mengingatkan dan saling
berkompetisi. Begitu pula dengan adanya pakar dalam kelompok tersebut, usaha yang

37
dilakukan menjadi sistematik dan terarah. Adalah lebih baik jika penurunan berat badan
dilakukan pada saat belum mengalami kondisi penyakit tertentu, bukan akibat dari penyakit
yang diderita.
b. Pengaturan Diet
Semakin gemuk seseorang maka semakin mudah untuk merasa lapar. Ini karena
pengaruh zat/hormon yang terdapat dalam sel-sel lemak. Maka usaha pembatasan diet harus
dilakukan sesegera mungkin. Jika yang bersangkutan menganggap bahwa usaha pembatasan
diet bisa dilakukan kapan saja (tetapi tidak saat ini), tentu usahanya menjadi lebih sulit.
Karena itu, pada saat ini juga, tetapkanlah bahwa saya harus membatasi diet saya, sebelum
menjadi lebih gemuk lagi dengan risiko lebih susah lagi untuk berdiet. Carilah makanan
yang rendah kalori. Jangan lupa pula membatasi makanan manis, asin, dan lemak. Anjuran
WHO, jumlah penurunan massa tubuh yang baik dan aman adalah sekitar setengah hingga 1
kg per minggu.
c. Pola Hidup Sehat
Selain pengaturan diet, seorang yang mengalami obesitas harus membiasakan diri untuk
menimbang berat badan untuk mengetahui dan mengevaluasi apakah program diet yang
dijalankan telah berhasil atau perlu dikoreksi.

Upaya yang Dapat Dilakukan Pemerintah


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah merilis Buku Pedoman Pencegahan dan
Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah pada tahun 2012. Buku ini
sangat bermanfaat dan didalamnya terdapat beberapa anjuran pola hidup sehat yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini dapat diakses oleh berbagai pihak baik
secara offline maupun online di web resmi Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

38
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penilaian biokimia ini merupakan cara yang paling obyektif dan bersifat kuantitatif.
Penilaian secara biokimiawi ini dapat mendeteksi kelaianan status gizi jauh sebelum terjadi
perubahan dalam nilai antropometri serta gejala dan tanda-tanda kelaianan klinis. Penilaian
status gizi dengan metode biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji di laboratorium
yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urin,
tinja, hati dan otot. Untuk mengatahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan
pemeriksaan status biokimia pada jaringan dan cairan tubuh dan tes fungsional.

Pada status gizi (obesitas) yang terjadi sebagai akibat pemasukan energi yang
melebihi kebutuhan tubuh untuk keperluan metabolisme dasar yang mencakup metabolisme
basal, SDA, aktivitas jasmani, pembuangan sisa makanan dan energi untuk pertumbuhan.
Dalam menentukan diagnosa pada obesitas didasarkan atas gejala klinis dan hasil
pemeriksaan antropometri yang mencangkup pengukuran BB, TB, lingkar lengan atas, serta
tebal lipatan kulit dan sub kutan lengan atas kanan bagian belakang tengah, sebelah atas otot
triseps. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan gejala klinis obesitas, disertai dengan adanya
data antropometrik untuk perbandingan BB dan TB, lingkaran lengan atas, dan tebalnya
lapisan kulit, paling sedikit 10 % diatas nilai normal. Sedangkan pada kelenjar tiroid hormon
tiroksin, mengandung banyak iodium.Kekurangan iodium menyebabkan pembesaran kelenjar
gondok karena kelenjar ini harus bekerja keras untuk membentuk tiroksin.

3.2 Saran

Dengan adanya metode penilaian biokimia ini dalam penentuan status gizi pada
masyarakat dan petugas kesehatan sangat berguna. Karena dengan adanya penilaian biokimia
petugas kesehatan lebih mudah untuk melakukan diagnosa tidak hanya berpatokan pada
tanda-tanda klinis, tetapi juga bisa dilakukan uji biokimia tersebut. Diharapkan dengan
seiringnya waktu, kemajuan pengetahuan dan teknologi bisa berkembang dengan aplikasi-
aplikasi yang bisa diakses oleh masyarakat sehingga masyarakat bisa melakukan
pemeriksaannya sendiri. Tetapi juga bisa dilakukan di rumah sakit terdekat dan tersedianya
laboratorium untuk melakukan uji biokimia tersebut.

39
DAFTAR PUSTAKA

Alhamda, S., & Sriani, Y. (2015). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta:
Deepublish.
Almatsier, S., Soetardjo, S., & Soekatri, M. (2011). Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suhardjo, 2002. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Thamaria, N., 2017. Penilaian Status Gizi. [online access,
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/PENILAIAN-
STATUS-GIZI-FINAL-SC.pdf diakses pada 14-3-2019 9:58 AM]
Par'i, H. M., Wiyono, S. & Harjatmo, P. T., 2017. Penilaian Status Gizi (Bahan Ajar Gizi).
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Supariasa, I. D., Bakri, B., & Fajar, I. (2016). Penilaian Status Gizi (2nd ed.). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Supariasa, I. D., Bakri, B., & Fajar, I. (2011). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Izati, Imaniar Mahdiya dan Mahmudiono, Trias. 2017. Pola Konsumsi Makanan Sumber
Yodium dan Goitrogenik dengan GAKY pada Anak Usia Sekolah di Ponorogo. [Online]
2017. [Dikutip: 13 Maret 2019.] https://e-
journal.unair.ac.id/AMNT/article/download/6230/3850.
Septiani, Riswanti dan Raharjo, Bambang Budi. 2017. Pola Konsumsi Fast Food, Aktivitas
Fisik dan Faktor Keturunan Terhadap KejadianObesitas (Studi Kasus pada Siswa SD
Negeri 01 Tonjong Kecamatan Tonjong Kebupaten Brebes). [Online] Desember 2017.
[Dikutip: 13 Maret 2019.]
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/phpj/article/download/13787/7552.
Wijaya, Dwi. 2017. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). [Online] Juli 2017.
[Dikutip: 13 Maret 2019.] https://dinkes.pidiekab.go.id/kapita-selekta/r-43/gangguan-
akibat-kekurangan-yodium-gaky.
Supariasa, I. D. (2016). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Depkes, RI. 2000. Pedoman Pelaksanaan Pemantauan Garam Beryodium di Tingkat
Masyarakat. Jakarta : Depkes RI
WHO. 2001. Trace Element in Human Nutrition and Health. World health Organization,
Geneva.

40
41

Anda mungkin juga menyukai