Anda di halaman 1dari 12

Jejak Islam di Brebes, Dari Pesisir

hingga Pegunungan
Jejak Islam di Brebes, Dari Pesisir
hingga Pegunungan

w
BREBES - Pengaruh Islam mulai masuk ke Kabupaten Brebes sejak abad 15.
Dalam buku Summa Oriental karya Tom Pirres mencatat bahwa wilayah yang
pertama kali didatangi saudagar Islam melalui jalur laut adalah daerah Losari.
Sejarawan Brebes Wijanarto menjelaskan, wilayah Losari yang dahulu
bernama Locarij merupakan sebuah pelabuhan di bawah pimpinan
Syahbandar yang masih memiliki pertalian darah dengan penguasa Demak.
"Losari telah ramai oleh kapal-kapal dagang dari berbagai negeri di Nusantara
serta dipengaruhi Islam sejak abad 15," jelas Wijanarto kepada
Panturapost.id.
Bukti sejarah lainnya, terdapat peninggalan makam Pangeran Angkawijaya
(Panembahan Losari) cucu dari Sunan Gunung Jati yang ditengarai dari abad
XVI.
"Makam di Pulosaren Losari Lor itu membuktikan pengaruh Islam dan
kekuasaan Cirebon," tutur Wijan yang juga merupakan Kasi Sejarah Cagar
Budaya dan Permusiuman pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Brebes.
Makam Pulosaren, Losari, Brebes. (Foto: Wijanarto)
Selai itu, Wijan menyebutkan, jejak lainnya yaitu adanya makam Syekh
Junaidi yang berada di Desa Randusanga Wetan yang merupakan wilayah
pesisir juga, sebagai tokoh yang banyak disebut sebagai pendakwah dan
penyebaran Islam. "Jika melihat tipikal, maka wilayah pesisirlah yang pertama
memperoleh pengaruh penyebaran Islam," tutur Wijan.
Dalam perkembangannya, Islam mulai merambah dari pesisir hingga wilayah
pegunungan. Hal tersebut dibuktikan dengan mulai berdirinya pondok
pesantren di beberapa tempat.
"Selain tokoh patut pula disebut jejak pesantren tua di Kabupaten Brebes
seperti pondok pesantren Lumpur di Losari, pesantren Karangmalang di
Ketanggungan (Brebes Tengah), Pesantren di Luwungragi, di Benda
Sirampog yang merupakan wilayah Brebes Selatan sebagai dataran tinggi
yang berdiri dari abad 19 dan awal abad 20," papar Wijan.
Di dalam pusat kota Brebes sendiri terdapat Masjid Agung Brebes yang
dibangun pada masa Bupati Aria Singasari Panatayuda II. "Masjid Agung
Brebes diperkirakan selesai setelah pembangunan Pendopo permanen," jelas
Wijan.
Masjid Agung Brebes. (Foto: Yunar Rahmawan/Panturapost.id)
Penataan ruang saat itu, disebut oleh Wijan, merupakan sebuah kosmologi
tradisional yang berpadu dengan Islam. "Konsep masjid agung diletakkan di
sebelah barat alun alun. Sementara Pendopo menghadap ke utara (laut
Jawa) membelakangi gunung slamet di selatannya. Alun alun adalah ruang
kosong yang menjaga keseimbangan ruang lainnya," jelas Wijan.
Di belakang Masjid Agung terletak kampung Kauman. Dalam istilah sosiologi
kampung ini merujuk pada wilayah yang dihuni kaum Islam saleh. Istilah
kaum santri. "Maka sampai sekarang kita masih mendengar kampung
Kauman selalu terletak di sekitar Masjid. Di kampung Kauman Brebes,
lahirlah Bupati Syatori," terang Wijan.
Dalam perkembangannya, masuknya Islam di Kabupaten Brebes juga dengan
perpaduan budaya. "Hal yang menarik adalah, adanya cultural compromize,
yakni penerimaan ajaran baru, namun tidak meninggalkan tradisi lama,
sehingga bisa diterima dengan baik, tanpa ada konfrontasi sosial," lanjut
Wijan.

Misteri Syekh Junaedi


Randusanga Wali Penyebar
Islam di Brebes
Farid Firdaus
Senin, 29 Mei 2017 - 05:00 WIB
views: 38.415

Petilasan dan makam Syekh Junaedi Randusanga Wali penyebar Islam di Brebes. Foto/KORAN
SINDO/Farid Firdaus
A+ A-
Kelurahan Randusanga Wetan, Kabupaten Brebes, tak hanya dikenal karena
keberadaan obyek wisata Pantai Randusanga Indah dan kuliner lautnya. Tetapi juga
karena keberadaan makam keramat yang berada di kawasan permukiman di pesisir
Laut Jawa itu.
Makam keramat itu diyakini sebagai peristirahatan terakhir seorang waliyullah bernama
Syekh Junaedi. Lokasi makam yang ramai didatangi peziarah pada hari-hari tertentu ini
berada di tengah-tengah areal tambak milik warga.

Penanda keberadaan makam ini berupa papan dari kayu yang ditancapkan di tepi jalan
desa. Sebelum sampai di kompleks makam, peziarah harus melewati jalan setapak
yang membelah tambak-tambak.

Syekh Junaedi dipercaya sebagai ulama penyebar Islam di wilayah Brebes khususnya
di wilayah pesisir.
Sosoknya diperkirakan hidup satu masa dengan Walisongo. Sayangnya tak banyak
cerita ihwal perjalanan hidup dan kegiatan penyebaran Islam yang dilakukannya.

Juru kunci makam Syekh Junaedi, Syakhur Romli (81) mengatakan, warga di sekitar
makam hanya mengetahui keberadaan Syekh Junaedi setelah dimakamkan.

"Ke sini kapan dan berapa lama tinggal, dimakamkan kapan, kurang tahu. Tahunya
sudah ada makamnya," kata Syakhur saat ditemui KORAN SINDO, Sabtu 27 Mei 2017.

Menurut Syakhur, keberadaan makam awalnya diketahui saat warga penasaran


dengan burung-burung yang jatuh saat terbang di atas areal makam yang saat itu
masih berupa rawa-rawa. Setelah berupaya mencari penyebabnya, warga hanya
mendapati gundukan tanah yang ternyata adalah sebuah makam.

"Itu katanya kalau ada burung terbang, jatuh. Kemudian dicari ada apanya. Ternyata
tidak ada apa-apa. Hanya ada tempat yang lain dari pada yang lain. Gundukan tanah.
Terus dirawat sampai sekarang ini," ceritanya.

Dari cerita yang didapat Syakhur, Syekh Junaedi berasal dari Baghdad. Kedatangannya
ke Randusanga konon setelah wilayah itu ditinggalkan Walisongo ke Cirebon. Pernah
singgahnya Walisongo itu juga menjadi asal usul nama Randusanga.

"Randusanga itu berasal dari randu dari kata randa, artinya bekas. Jadi bekas
musyawarah Walisanga. Kenapa Randusanga disebut bekas musyawarah walisanga,
sebab saat Syekh Junaedi datang, Walisanga sudah berangkat. Tinggal bekasnya,"
ungkapnya.
ADVERTISEMENT

Sebagai juru kunci, Syakhur pernah beberapa kali didatangi sosok yang diyakininya
sebagai Syekh Junaedi di dalam mimpi. Dari mimpi yang dialaminya, dia
menggambarkan sosok Syekh Junaedi memiliki tubuh tinggi, berhidung mancung
seperti kebanyakan orang Arab, dan memakai sorban.

"Pernah dalam satu mimpi saat sudah jadi juru kunci, saya diberi yasin. Yasinnya
panjang seperti buku absen. Kertasnya kuning," ungkap juru kunci kesembilan ini.

Nama Syekh Junaedi juga dipercaya orang-orang dari mimpi salah satu juru kunci.
Tidak ada yang mengetahui nama aslinya, termasuk asal-usul namanya.

"Beliau juga tidak diketahui keturunannya, atau silsilahnya. Setahu saya tidak ada
keturunannya. Di sini hanya ada makam beliau saja," ujar Syakhur.

Meski sosok dan asal-usulnya lebih banyak diselubungi misteri, makam Syekh Junaedi
selalu didatangi banyak peziarah saat malam Jumat dan Selasa kliwon. Mereka datang
dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selain masyarakat biasa,
sejumlah habib juga pernah datang untuk berziarah dan berdoa.

Situs Makam Angkawijaya Sebuah Sejarah


Masa Lalu
Bintang Irianto-Cirebon, Headline, Nusantara, Terkini





Foto: Citrust.id






Citrust.id – Terdengar nama angkawijaya atau biasa disebut Panembahan Losari, kala
itu saya masih duduk di semester empat di Jurusan Sejarah Peradaban Islam,
mendengar nama itu bukan dari kelas atau mata kuliah, melainkan dari tempat-tempat
diskusi diluar kelas. Dalam benak kok saya baru tahu padahal nama besar itu berada di
wilayah tempat kelahiran saya sendiri, meski agak jauh dari rumah saya. Tempatnya
berada di desa Limbangan kecamatan Losari, Brebes, namun lebih terkenalnya
Pasarean.
Dari penamaan pasarean sendiri sudah barang tentu ada sejarah yang menarik
didalamnya, benar saja ternyata. Saat rasa penasaran saya bertambah tentang
angkawijaya keinginan untuk menggali terus bertambah, namun hal demikian baru
terlaksana sekira pada semeter tujuh. Saat itu penggalian sejarah berhenti pada
sesepuh di desa saya, alhasil, nama pasarean itu sendiri disadur dari kata sare (bahas
sunda) kalau diartikan bisa tidur atau istirahat, diketahui dari penuturan sesepuh desa
kalau angkawijaya pergi dari keraton dan berjalan jauh menuju timur, ditengah jalan iya
berhenti untuk beristirahat, pundaknya ia sandarkan di pepohonan, kakinya diluruskan,
keteduhan pohon membuat kenyamanan tersendiri baginya, hingga tanpa sadar iapun
terlelap tidur sampai sore hari. Dari hal demikianlah ia bertekad membangun
perdukuhan ditempat itu, menurutnya ini adalah tempat yang subur, rindang dengan
pepohonan pas baginya untuk membuat semacam pedukuhan atau padepokan untuk
mensyiarkan agama islam. Kala itu memang pasarean masih hutan belantara tiada
berpenduduk dan lalu lalang manusia. mungkin itu sekilas tentang penamaan pasarean.
Ada hal yang lebih menarik ditempat itu beserta isinya dan yang menghuninya.

Dari pelbagai kesibukan yang membelenggu Akhirnya reasech tentang angkawijaya


baru bisa dilakukan pada bulan lalu tepatnya januari 2018.

Perjalan cirebon dimulai siang hari, satu jam lebih sekian menit tibalah di situs makam
angkawaijaya, meski saya orang losari namun sedang berdiam di Cirebon. Disana rasa
bingung ada, seperti parkir dimana, harus tanya-tanya kesiapa. Terlihat ada beberap
orang yang sedang menikmati kopinya di warung yang terletak di kopmplek makam itu,
sayapun memberanikan diri untuk bertanya karna teringat pepatah lampau yang
maenstream “malu bertanya sesat dijalan” kurang lebih bunyinya demikian. Setelah
bertanya kebebarap orang yang ada, semuanya serentak mengarah ke satu nama
ialah, Umarno sebagai narasumber tentang sejarah Angkawijaya, berbeda dengan
solikhin ia hanya sebatas kuncen ketika ada pengunjung yang hendak ziarah. Artinya
kalau kita mau menggali kisah Angkawijaya berbincangnya dengan Bapak Umarno,
namun jika hendak ziarah kuburnya saja bertemu dengan Bapak Solikhin.

Rupanya Bapak umarno tidak ada ditempat yang biasa ia jadikan semacam kantor,
namun sudah ku kantongi pula prihal alamat rumahnya, tanpa pikir panjang sayapun
menyambangi rumahnya, sama halnya seperti awal beliau tidak nampak dirumah, hari
itu ada sedikit kecewa. Namun tekad berniat kembali ke Cirebon minimnya membawa
informasi. Selang berapa menit sayapun putuskan untuk kembali kembali ke komplek
makam angkawijaya.
Sesampainya disana kaki ini melangkah ke area pekuburan itu, terlihat sebidang
bangunan tua dengan atap jerami yang disusun, bangun yang hanya tingginya sekitat
2-3 meter saja menjadi makbaroh, sedang makam Angkawijaya sendiri berada
didalamnya, di luar bangunan itu, persis dekat temboknya namun masih berada dalam
lingkup makbaroh terlihat dua makam, dan disamping kanannya, sekitar satu atau dua
meter saja ada seonggok makam yang panjang dan tidak lazim, makam ini memiliki
panjang 240cm (setelah saya ukur), cukup panjang bukan?. Pertanyaanya, itu makam
siapa? Kenapa ada di luar bangunan? Mengapa dibiarkan begitu saja? Pertanyaan
demi pertanyaan kian menambah rasa penasaran.

Setelah tercengang karna makam yang begitu panjang, saya melangkah menuju pintu
masuk bangunan tua itu, ada yang menarik didepan bangunan itu, terlihat jelas piring-
pring buatan cina menempel di dindingnya, seperti di momplek makam Sunan Gunung
Jati, ada juga dua batu besar yang permukaanya rata membentuk persegi namun
lonjong, batu itu ada dua, berada di samping kanan dan kiri pintu masuk, di tiap batu
ada sesaji yang berisi kembang werna pitu (bunga tujuh rupa), rokok cerutu, kinang
(semacam dedauan yang biasa dikunyah dengan apu yang dikonsumsi oleh nenek-
nenek), bunga melati dan menyan, yang kesuamnya di bungkus dengan daun pisang
dan berada di atas batu itu. Semakin heran dan aneh, dalam benak ini mistis sekali,
padahal sedikit informasi yang saya himpun bahwa angkawijaya adalah sesosok alim,
ahli agama, keturunan dari Raden Fattah Demak, berangkat dari Ratu Mas Nayawa
yang memiliki anak Pangeran kesatriyan, Pangeran Losari atau Angkawijaya, Pangeran
Swarga, Pangeran Emas dan terakhir Pangeran Ratu. dari Pangeran Swarga beranak
Panembahan Ratu 1 hasil perkawinanya dengan Ratu Wanawati Raras anak dari
Tubagus Paseh keturunan sunan Gunung Jati hasil pernikahan dengan Dewi Tepasari.
Kalau disumpilkan dari silsilah tersebut bahwa Angkawijaya adalah saudara tertua
Pangeran Swarga yang mencetak Raja-raja Cirebon, hasil pernikahanya dengan
keturunan Sunan Guung Jati. Artinya sudah barang tentu ia adalah sosok orang besar
dimasanya. Namun melihat komplek pekamanya yang terkesan seadanya membuat
hati ini bersedih dan bergeming.

Disamping itu, Lagi-lagi kebiasaan masyarakat yang masih memperpercayai mitos dan
sejenisnya membuat makam Pangeran losari atau Angkawijaya ini sebagai objek
pengaduan untuk kekayaan.

Sumber demikian saya dapatkan dari orang-orang yang ada dipelataran komplek
makam angkawijaya, mereka menyebutkan irang yang lserung datang kesini biasanya
sering meminta kemudahan rizki, kemudahn urusan dan semacamanya. Dan yangwbih
mencengangkan bahwa tiap kali musim pemilihan kepala desa maka, makam
angkawijaya akan dipenuhi oleh para calon-calon kades tersebut. Pertanyaanya,
ngapain mereka disan? Jelas sudah, tidak lain tidak buka untuk meminta agar
kemenangan menjadi kepala desa ada dipihak mereka, bukan hanya satu dua kali hal
demikian terjadi, sudah bertahun-tahun lamanya praktek yang seperti ini dilangsungkan.

Kalau di kritisi, dari uraian di atas bahwa sikap meminta kepada makam tua tidak
dibenarkan dalam ajaran islam itu sendiri. Namun faktanya masih banyak orang-orang
yang melakukan hal demikian. Artinya, ajap kali makam dijadikan arena pesugihan bagi
mereka pecandu duniawi, padahal situs angkawijaya kaitanya bukan hanya dengan itu
melainkan kita bisa menggali sisi sejarahnya, semisal siapa dia, bagimana
kehidupanya, sudah barang tentu akan menyajikan unsur sejarah yang lugas hingha
kita bisa mentauladani kebaikan-kebaikan yang angkawijaya bawa semasa hidup.
/zarkasih giovani

Anda mungkin juga menyukai