Anda di halaman 1dari 4

MAKAM PAPAN TINGGI

RESLI TAMBUNAN
12070055
Kota Barus terletak di pantai barat pulau Sumatera, sekitar 60 km disebelah utara kota
Sibolga, berada di sebelah selatan Kecamatan Singkil, Aceh Selatan.
Kota barus dan sumatera Indonesia dilihat dari kompleks makam papan tinggu
MAKAM PAPAN TINGGI

Pemakaman tua pertama yang konon dianggap paling tua berada di sebuah bukit hijau nan terpencil.
Makam ini berlatar belakang panorama kota Barus dan Samudra Indonesia di sisi barat, berada diatas
ketinggian 153 meter diatas permukaan laut. Badan bukit menuju makam cukup terjal, memiliki
kemiringan hingga 45 derajat, cukup sulit untuk didaki. Bantuan lebih dari tujuh ratus anak tangga
sepanjang 225 meter tidak mampu mengurangi rasa lelah peziarah untuk mencapai puncaknya.

Masyarakat Barus menyebutnya Makam Papan Tenggi. Dalam bahasa Indonesia diartikan Makam Papan
Tinggi. Dahulu, bukit ini merupakan daerah pengambilan kayu oleh masyarakat yang akan dijadikan
bilah-bilah papan. Sejak hadirnya sebuah pemakaman, maka tempat ini dinamakan Makam Papan Tinggi.
Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Makam Papan Tinggi merupakan kompleks pemakaman tua Islam seorang tokoh penyebar agama Islam
pertama di Sumatera Utara. Pada kompleks Makam Papan Tinggi terdapat makam istimewa yang
memiliki panjang 9 meter, dengan nisan setinggi 1,5 meter. Di sekeliling makam panjang terdapat
beberapa makam sederhana dimana nisan makam berupa batu yang ditegakkan tanpa adanya tanda sama
sekali. Makam Papan Tinggi diperkirakan didirikan ada tahun 1239 M berdasarkan tulisan yang tertera
pada pilar di dekat makam panjang. Kompleks makam dikelilingi pagar dan dinaungi pohon besar.
Dahulu, di depan pagar tertanam guci keramat yang mengaliri air tanpa henti meski pada musim kemarau.
Kini hanya tinggal berupa lubang tanah berbentuk kotak sedalam 20 sentimeter.

Makam syekh Mahmut dimakam papan tinggi


Sejarahwan kota Barus, Djamaluddin Batubara mengatakan, tokoh utama yang dimakamkan di
Makam Papan Tinggi adalah Sykeh Mahmud, penyebar agama Islam yang berasal dari Hadramaut,
Yaman. Makam beliau berupa makam panjang, dengan batu nisan putih setinggi 1,5 meter berukir aksara
Persia dan Arab kuno.
Belum diketahui secara pasti tahun kedatangan Syekh Mahmud ke tanah Barus. Namun melihat
corak nisan makam dan jenis kaligrafi yang tertulis, serta unsur arkeologis lainnya, diperkirakan Syekh
Mahmud telah hadir di Barus sejak abad ke-9 Masehi.
Mengenai kota Barus sendiri, dahulunya merupakan kota pelabuhan terbesar yang pernah ada di
nusantara, jauh sebelum adanya Bandar Malaka dan Samudera Pasai di tanah rencong. Barus
mengokohkan dirinya sebagai penghasil kapur barus (kamper) yang terkenal hingga seluruh dunia.
Sehingga kota ini dinamakan Barus.
Sejarah mencatat, sejak abad ke-9 kota Barus sudah dikenal sebagai kota dagang. Di masa itu
komoditi yang sangat digandrungi semisal buah pala, cengkeh, lada, kulit manis, merica, kemenyan dan
kayu bulat, diperdagangkan di Barus. Konon bahan-bahan pembalseman para raja Mesir didatangkan dari
Barus.
Barus yang dikenal sebagai kota perdagangan antarbangsa, sangat dimungkinkan terjadinya kotak
budaya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berkenaan dengan itu pula, berdatangan rombongan
mubaligh asal tanah Arab ke negeri niuntuk tujuan penyebaran agama Islam yang dilatarbelakangi
perdagangan. Para mubaligh menghabiskan waktunya untuk syiar Islam di daerah baru. Mereka
menopang hidupnya dengan berdagang.
Hadirnya Sykeh Mahmud di tanah Barus merupakan salah satu tesis tentang keberadaan penyebar
Islam sejak agama ini pertama kali disyiarkan. Arkeolog dan ahli kaligrafi Arab kuno asal Perancis, Prof.
Dr. Ludwig Kuvi menyatakan dengan tegas bahwa bukti arkeologis berupa pahatan batu nisan makam
Syekh Mahmud menunjukkan beliau adalah seorang pendatang yang telah lama tinggal di Barus. Batu
nisan makam Syekh Mahmud bukan batu biasa yang digunakan oleh penduduk Barus, melainkan sejenis
batu yang didatangkan dari India. Maka, hampir mustahil Syekh Mahmud seorang biasa yang tidak terlalu
dikenal oleh masyarakat Barus. Ukiran batu ayat-ayat Al-Quran dan pesan singkat yang Nampak samar
memberi isyarat bahwa beliau seorang mubaligh besar.
Teori kedatangan Syekh Mahmud di tanah Barus diperkuat dengan pembuktian yang dilakukan
oleh sejarahwan Belanda, Dr. Ph. S. Van Ronkel. Sejarahwan Belanda ini menyatakan Syekh Mahmud
merupakan penyebar ajaran Islam yang pertama di Tapanuli. Dawah Syekh Mahmud berhasil menyentuh
tokoh etnis Batak, Raja Guru Marsakkot, yang akhirnya memeluk agama Islam.
Salah satu ukiran batu pada nisan makam Syekh Mahmud yang berbunyi: Fa Kullu Syaiun
Halikun Illa Wajhullah yang berarti, Maka segala sesuatunya hancur kecuali Dzat Allah. Menurut
Djamaluddin Batubara, nilai Islam yang disampaikan Sykeh Mahmud kepada masyarakat Barus adalah
ajaran Tauhid, yakni mengajak masyarakat pesisir Tapanuli untuk meng-esa-kan Tuhan, Allah SWT.
Mencermati posisi makam Syekh Mahmud yang berada di atas bukit, diperkirakan bahwa beliau
adalah guru bagi pengikutnya yang dimakamkan di Makam Mahligai. Terdapat 43 makam para ulama
yang berada di kompleks Makam Mahligai. Daintaranya adalah makam Syekh Rukunuddin, kompleks
makam Bukit Hasan, makam Tuanku Ambar, makam Tuan Kepala Ujung, makam Tuan Sirampak,
makam Tuan Tembang, makam Tuanku Kayu Manang, makam Tuanku Makhdum, makam Syekh Zainal
Abidin Ilyas, makam Syekh Ahmad Khatib Siddiq, dan makam Imam Muaazhamsyah.
Tidak mudah bersiarah ke Makam Papan Tinggi. Sebelum menaiki tangga, peziarah disyaratkan
untuk bersuci di kaki bukit yang telah tersedia pancuran air. Kemudian peziarah menaiki seribu anak
tangga yang dibangun permanen. Perlu ketangguhan fisik untuk menaiki anak-anak tangga yang curam
dan menanjak. Namun tangguh secara fisik saja tidak cukup, diperlukan pula niat ikhlas untuk
mengunjungi makam Syekh Mahmud yang berada di puncak bukit. Sebab bila niatnya tidak tulus, apalagi
disertai niat syirik, maka sulit untuk dapat mencapai puncak bukit Makam Papan Tinggi.

Sumber Pustaka:

Masjid dan Makam Bersejarah di Sumatera, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2008

Claude Guillot, Daniel Perret, Atika Suri Fanani (Translator), Marie-France Dupoizat, Untung
Sunaryo, Heddy Surachman, Barus: Seribu Tahun Yang Lalu, KPG, 2008

Anda mungkin juga menyukai